Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG AZUMATH: WORLD OF MAGIC

Status
Please reply by conversation.
CHAPTER 13


Naga yang selama ini dianggap angker dan jarang didatangi oleh manusia, kini berada tepat di depanku. Kemarahan sang naga benar-benar terlihat dari sorot matanya yang semakin menggelap. Hembusan napas keras yang semakin panas terhempas dari lubang hidungnya. Penasaran yang terjawab, kesimpulan yang teruji benar, membuktikan bahwa sang naga sedang murka.

“Ma..maaf ... Tuan naga ... Maaf ... Saya sudah menganggu ketenangan tuan ...” Kata dibuat memelas sambil membungkuk-bungkuk badan memberi hormat pada sang naga.

“Kau bukan saja mengganggu! Tapi telah melanggar wilayah!” Suaranya menggeram marah dan menampilkan gigi runcingnya sebesar pedang ke arahku. Ya, memang dia sangat marah.

“Melanggar wilayah? Apakah ini wilayah bangsa naga?” Tanyaku terkejut bukan main.

“Ya ... Kau telah memasuki wilayah bangsa Naga tanpa izin dan membuat kekacauan di sini. Kau akan mendapat hukuman yang sangat berat.” Geram sang naga dengan mengenduskan nafasnya sangat keras sampai-sampai aku harus menahan dorongan napasnya.

“Kalau begitu ... Maafkan saya, karena saya tidak tahu telah memasuki wilayah bangsamu. Sungguh, saya benar-benar tidak tahu kalau ini wilayah bangsa naga. Saya hanya pengelelana yang pergi kemana pun yang saya mau.” Kataku berkilah.

“Kau tetap harus mendapat hukuman karena telah mengacau di wilayah naga!” Ujar sang naga lagi.

“Saya tidak merasa melakukan kekacauan tuan naga. Kalau boleh saya tahu, kekacauan apa yang telah saya lakukan?” tanyaku lagi karena bingung telah disangka membuat kekacauan.

“Kau telah menyembuhkan burung-burung elang raksasa. Ketahuilah! Mereka itu hama peternakan bangsa naga. Mereka mencuri ternak-ternak kami. Burung-burung elang raksasa itu sengaja kami buru dan kami bunuh karena mereka adalah hama yang sangat ganas. Dan kau telah menyembuhkan dan menyehatkan mereka yang berarti kau adalah bagian dari mereka. Kau harus dihukum.” Jelas sang naga membuatku terhenyak hebat. Lagi pula, aku baru tahu kalau bangsa naga beternak juga seperti bangsa manusia.

“Tuan naga ... Saya benar-benar tidak tahu kalau burung-burung elang itu hama. Seandainya aku tahu kalau mereka itu hama, aku pasti tidak akan menyembuhkannya. Mohon tuan naga mempertimbangkan ketidak-tahuan saya.” Kataku memohon belas kasihnya.

“Kau tetap harus dihukum!” Ujar sang naga tetap pada pendiriannya. Akhirnya aku pun menyerah.

“Baiklah ... Aku menerima hukumannya. Apa yang akan tuan naga berikan padaku sebagai hukuman?” Tanyaku kemudian.

“Kau harus mati!” Ucapnya membuatku tertegun beberapa saat.

“Mati?! Ca..caranya???” Tanyaku gugup.

“Kau akan dibakar oleh semburan apiku.” Jawabnya.

Entah kenapa aku menjadi tersenyum dalam hati dan mempunyai ide yang sangat cemerlang, “Aku akan menerima hukumanmu tuan naga. Tetapi saya boleh meminta sesuatu sebelum saya mati?” Kataku yang kubuat sememelas mungkin.

“Apa yang kau inginkan?” Tanya sang naga tampak keheranan.

“Tuan naga harus bersumpah untuk saya. Bersumpah mengabulkan keinginanku.” Jawabku.

“Hhhmm ... Baiklah ... Aku bersumpah akan mengabulkan keinginanmu.” Ungkap sang naga penuh keyakinan.

“Terima kasih tuan naga ... Tuan naga ternyata sangat bijaksana. Permintaanku sangat sederhana tuan naga. Tuan naga akan menghukumku dengan membakar saya dengan semburan api yang tuan naga miliki. Permintaan saya adalah apabila tuan naga telah menyemburkan api pada saya dan ternyata saya tidak mati, maka tuan naga harus melepaskan saya dan saya bisa pergi dengan damai dari sini.” Kataku yang sontak membuat mata sang naga terbelalak hebat. Tampak mata sang naga hampir jatuh dari rongganya, terlihat ketidakpercayaan yang tak terlukiskan di wajah seramnya.

“Kau sangat percaya diri manusia! Dan kau benar-benar licik! Aku tahu kau mampu menahan semburan apiku! Kau benar-benar licik!” Seru sang naga sangat kecewa.

“Sebagai bangsa terhormat ... Naga tidak akan menarik sumpahnya ...” Kataku memprovokasi.

“Aku tidak akan membatalkan sumpahku. Bersiaplah! Aku akan membakarmu dengan kekuatan penuh!” Katanya.

Tak lama, aku melihat bola api besar keluar dari mulut sang naga. Bola api tersebut langsung menyelimuti tubuhku. Ternyata sang naga tidak menembakan bola apinya melainkan menempatkan bola api itu tepat di tubuhku dan mempertahankannya selama mungkin. Semakin lama semakin membesar si bola api dan semakin pekat energi sihir yang kurasakan. Bahkan bola api di tubuhku kini mulai berwarna kehitam-hitaman saking kuatnya energi sihir yang dikeluarkan sang naga. Namun tetap saja, aku tak merasakan apa-apa. Tubuhku tak terbakar sampai pakaianku pun utuh. Sang naga yang tahu usahanya sia-sia lantas melepas sihir bola apinya.

“Kau sekarang bebas, manusia ... Aku melepaskanmu pergi ...” Ucap sang naga sembari menegakkan tubuhnya. Luar biasa! Aku sampai harus menengadah maksimal untuk melihat wajah sang naga. Aku perkirakan tegaknya sang naga setinggi sepuluh meteran lebih. Leher dan kepalanya tegak menatap angkasa.

“Kalau begitu, izinkan saya pergi tuan naga.” Kataku sambil mengubah warna sinar energi sihirku menjadi putih.

“Tunggu!” Ucap sang naga membuatku menahan kepergianku. “Apakah kau manusia yang mempunyai elemen sihir cahaya?” Tanya sang naga sembari mengarahkan wajahnya padaku.

“Benar tuan naga.” Jawabku singkat.

“Hhhmm ... Berarti ramalan Yang Dipertuan Agung Naga Suci Khor benar adanya.” Sang naga seperti bergumam.

“Oh ya?” Kataku juga yang lumayan terkejut. “Tuan naga ... Apakah saya bisa bertemu dengan Yang Dipertuan Agung Naga Suci Khor?” Tanyaku yang mendadak antusias.

“Suatu saat nanti, kau akan bertemu dengan Yang Dipertuan Agung Naga Suci Khor. Itu adalah ramalannya.” Ucap sang naga yang kini terdengar sangat ramah.

“Begitu ya ...” Gumamku sambil menatap mata sang naga. “Tuan ... Boleh saya mengenal tuan?” Tanyaku lagi.

“Aku adalah Panglima Kesembilan yang bertugas mengamankan wilayah bagian barat. Namaku Bilaggo.” Jawabnya sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

“Salam kenal Tuan Bilaggo. Nama saya Azka.” Kataku memperkenalkan diri.

“Senang bertemu denganmu, Tuan Azka. Aku akan memberitahukan pada Yang Dipertuan Agung Naga Suci Khor kalau manusia cahaya telah datang ke wilayah kami. Dan ini, pakailah...!” Tiba-tiba sebuah kalung emas dengan hiasan kepala naga sebagai bandulnya melayang ke arahku. Segera saja aku ambil. Sejenak aku perhatikan kalung perhiasan yang sangat indah di tanganku ini. “Tunjukkan pada naga yang kau temui di perjalanan. Kau akan aman di wilayah naga.” Ujarnya.

“Wow!” Gumamku takjub. “Terima kasih Panglima Kesembilan. Terima kasih atas kebaikan Panglima.” Kataku sambil mengenakan kalung naga di leherku.

“Berhati-hatilah! Karena kau akan menemui berbagai kejadian yang tidak akan pernah kau duga di wilayah ini.” Ujar Bilaggo yang kemudian tiba-tiba melesat sangat cepat ke udara meninggalkanku.

“Wow! Keren!” Kataku bermonolog sambil memegang bandul kalung naga pemberian Bilaggo. Memang perhiasan ini terlihat sangat indah sekali. Kemilau sinar emasnya keluar seakan menyelimuti kalung naga di leherku.

Kau beruntung saudaraku. Benda pemberian naga itu mempunyai kekuatan magis mengeluarkan kharismamu berlipat-lipat. Siapapun yang melihatmu akan merasa segan dan menganggapmu makhluk yang luar biasa.” Tiba-tiba terdengar suara Petteri.

“Ya ... Ini benar-benar keren ...” Kataku sambil menyimpan kalung di balik pakaianku. “Pet ... Kemana aku harus melanjutkan perjalanan?” Tanyaku.

Kau bergerak saja ke utara. Perjalananmu tinggal sebentar lagi.” Kata Petteri yang langsung terputus jalur komunikasi kami.

Tanpa berlama-lama, aku melesat ke utara. Hari mulai gelap, namun aku tetap bisa melihat jelas sekitarku. Sekitar dua jam berselang, tiba-tiba aku melihat pertempuran sedang terjadi antara puluhan burung elang raksasa dengan seekor naga kecil. Tentu saja, naga kecil itu dalam keadaan terdesak hebat. Berkali-kali cakar elang raksasa mengenai tubuhnya hingga terpental dan jatuh ke daratan. Namun sang naga kecil masih bisa bertahan dan melawan. Si naga kecil yang ukurannya hampir sama dengan burung elang raksasa terus melawan walau terlihat sangat kepayahan.

Langsung saja aku melesat ke arah pertempuran itu. Pedang cahayaku mulai menghalau para burung elang raksasa. Sengaja aku tidak melukai mereka, aku hanya berusaha mengusir para burung elang raksasa itu. Sial! Dasar binatang! Aku malah menjadi sasaran serangan para burung. Dengan sangat terpaksa aku meleburkannya menjadi debu satu persatu hingga kawanan yang tersisa kabur terbirit-birit meninggalkan arena pertempuran. Setelah semua burung elang hilang, aku melesat mendekati naga kecil yang tergeletak di tanah.

“Naga kecil ... Apa kamu terluka?” Tanyaku saat berada di dekatnya.

“Ya ...” Jawabnya singkat sambil menundukkan kepalanya.

“Bolehkah aku memeriksa dan mengobatimu?” Tanyaku hati-hati.

“Ya ...” Jawabnya masih dengan kepala menunduk hampir menyentuh tanah. Tampaknya naga kecil ini terluka parah.

Aku segera mengubah warna sinar energi sihirku, lalu mengobati luka-luka yang diderita si naga kecil. Hampir setengah jam aku terus melakukan pengobatan dan akhirnya selesai. Si naga kecil mulai bisa mengepak-ngepakan sayap dan terlihat sangat sehat.

“Terima kasih manusia. Namaku Belinde. Siapa namamu?” Tanya sang naga kecil.

“Namaku, Azka.” Jawabku.

“Bisakah kita berteman?” Tanyanya lagi riang.

“Kita akan selalu menjadi teman, Belinde. Tapi, kenapa kamu bisa diserang oleh makhluk-makhluk tadi? Kemana orangtuamu?” Tanyaku setengah mengira-ngira. Aku pikir naga kecil ini adalah bocah naga yang tersesat. Aku bisa memperkirakan itu karena melihat ukuran naganya yang kelewat kecil bila dibading dengan naga yang kutemui sebelumnya dan nada bicara naga kecil ini terdengar seperti anak-anak.

“Aku tidak tahu. Aku tidak tahu ibuku dimana.” Jawabnya sedih.

“Kalau begitu. Kita cari ibumu.” Kataku sambil mengubah lagi warna sinar energi sihirku.

“Ayo!” Sahutnya bersemangat.

Aku kemudian mengajaknya terbang ke arah dia datang. Sengaja aku membimbingnya ke arah sebaliknya agar Belinde bisa kembali ke tempat awal semula dia terpisah dengan ibunya. Aku baru tahu jika daya ingat naga begitu tajam, Naga kecil ini hanya perlu diarahkan sedikit dan ia langsung ingat darimana ia berangkat. Sekitar satu jam terbang mencari jalan, tiba-tiba dari kejauahan melesat seekor naga dewasa mengarah pada kami. Aku bisa merasakan aura kemarahan naga itu dari jarak ratusan meter. Lekas-lekas aku keluarkan kalung pemberian Bilaggo dan mengangkatnya ke atas. Benar saja, sang naga berhenti mendadak saat melihat kilatan cahaya yang keluar dari kalung nagaku.

“Oh ... Anakku ...” Sang naga dewasa terbang pelan mendekati naga kecil di dekatku. Moncongnya menempel di moncong naga kecil.

“Ibu ... Orang ini menyelamatkan aku. Dia orang yang baik.” Celoteh khas bocah kecil keluar dari mulut sang naga kecil. Naga dewasa pun kini menolehkan mukanya padaku.

“Terima kasih manusia. Kau telah menyelamatkan anakku.” Naga dewasa mengepakkan sayapnya sambil mengangguk-anggukan kepalanya seperti sedang memberi hormat padaku.

“Saya kebetulan lagi melintas dan melihat anak ibu sedang dikeroyok burung elang.” Jawabku sambil menjura hormat pada sang naga dewasa.

“Anakku terpisah dariku karena badai ... Kami sedang terbang ke selatan.” Ujar sang naga dewasa.

“Sekarang sudah kembali bersama. Waktunya aku melanjutkan perjalanan ke utara.” Kataku.

“Tunggu manusia ... Aku akan memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasihku karena engkau sudah menyelamatkan anakku.” Katanya dan tiba-tiba melayang sebuah pedang yang sangat indah. Sebuah pedang yang terbuat dari emas. Dari gagang sampai bilahnya terbuat dari emas. Terpancar cahaya emas yang berkilauan.

“Terima kasih ... pedang ini indah sekali ...” Kataku saat pedang pemberian naga dewasa itu sudah berada digenggamanku.

“Pedang itu berusia ribuan tahun. Aku mendapatkannya dari orangtuaku sebagai warisan. Kata orangtuaku pedang itu milik ksatria sihir tanpa tanding bernama Liu Gan, maka pedang itu dinamakan pedang Liu Gan. Terimalah karena engkau pantas mendapatkannya.” Ujar sang naga.

“Sekali lagi terima kasih.” Ucapku sambil menjura hormat.

“Kami akan melanjutkan perjalanan. Mari anakku!” Sahut sang naga dewasa pada anaknya.

“Iya, bu ...” Sahut si bocah naga.

Mereka pun akhirnya melesat pergi ke selatan. Sementara aku masih melayang-layang sambil memperhatikan pedang emas di tanganku. Entah kenapa aku sangat mengagumi keindahan pedang emas ini. Selain emas, digagangnya terdapat batu-batu permata yang bernilai estetuka sangat tinggi.

Pedang Liu Gan ... Aku tak menyangka kau memilikinya sekarang.” Tiba-tiba terdengar lagi suara Petteri.

“Pedang ini sangat indah, pet ... Aku sangat menyukainya ...” Kataku.

Selain indah, pedang itu bisa menciptakan badai sangat besar. Dengan kekuatan petirmu, kau bisa menciptakan badai petir yang sangat besar. Pedang itu juga sangat kuat dan keras. Benda apa saja aku tertembus olehnya.” Jelas Petteri.

“Keren ...” Kataku sambil menyimpan pedang Liu Gan dalam lemari sihir.

Pulau yang kautuju hanya beberapa menit dari sini. Segeralah pergi. Aku sudah menyiapkan kendaraan cahaya di dekat pulau itu, karena kau tidak akan bisa masuk tanpa menggunakan kendaraan cahayaku.” Ujar Petteri yang membuatku heran.

“Kenapa? Kenapa aku tidak bisa masuk ke sana begitu saja?” Tanyaku ingin tahu.

Pulau yang kau tuju terselubung sihir pelindung bangsa Demon yang sangat kuat. Makhluk-makhluk tidak akan melihat kalau pulau itu ada di sana, termasuk bangsa Naga.” Ungkap Petteri.

“Sihir pelindung bangsa Demon? Apa yang mereka lakukan di sana?” Tanyaku.

Kau akan mengetahuinya sendiri setelah sampai di pulau itu.” Jawab Petteri dan sambungan komunikasi pun terputus.

Aku pun langsung melesat lagi ke utara. Kini aku tak menemui lagi hambatan karena suasana malam ini begitu lengang, hanya sinar rembulan yang menemaniku selama di perjalanan. Sekitar dua jam berlalu, aku melihat sinar kemilau dari kejauhan. Aku memburu sinar itu kemudian masuk ke dalamnya. Ya, sekarang aku berada di dalam kendaraan cahaya yang pernah aku naiki saat pergi ke Azumath dari bumi. Tak lama, kendaraan cahaya melesat, dan hanya setengah detik kendaraan cahaya berhenti.

Kau sudah sampai.” Ucap Petteri.

“Baik.” Jawabku. Aku turun dari kendaraan cahaya dan melihat daratan. Aku melesat ke tanah langsung disuguhi pemandangan sebuah gunung yang sedang mengeluarkan magma dari kawahnya.

Bukan di gunung itu tempat yang kau harus datangi. Lihat! Di sebelah gunung itu ada bukit. Di sana ada sebuah gua. Pergilah ke sana! Calon istrimu sudah menunggumu.” Kata Petteri lagi.

“Siap!” Jawabku langsung melesat ke arah bukit yang ditunjuk Petteri. Jujur, aku sangat ingin melihat wanita tercantik se-Azumath yang menurut Patteri adalah calon istriku di Azumath.

Aku berkelebat melewati hutan lebat menuju sebuah bukit kecil di sebelah gunung berapi yang tak henti mengeluarkan magmanya. Hanya beberapa detik aku sampai di bukit itu. Benar saja, aku menemukan sebuah gua yang cukup besar. Aku pun masuk ke dalam, semakin dalam semakin gelap, terlihat di ujung ada obor-obor di dinding gua. Aku pun mengikuti obor-obor itu hingga berada sebuah pelataran yang sangat luas. Aku benar-benar bingung, kenapa di dalam gua ada pelataran yang luasnya lebih dari luasnya lapangan bola. Dan yang tak kalah mengejutkan adalah pelataran luas ini beralaskan koin emas. Aku segera turun ke tumpukan koin emas yang aku perkirakan kedalamannya lebih dari satu meter.

Aku menatap ke sekeliling, dan aku dibuat terkagum dengan gambar-gambar yang terletak di dinding gua ini. Tampak lukisan-lukisan seperti huruf Hieroglif dari mesir, dan ya, aku tentu saja tidak bisa membacanya. Aku terus memperhatikan tulisan paku (Hieroglif) itu dengan pandangan kagum sebelum mataku terkunci pada sebuah gambar yang terlihat cukup besar dibandingkan dengan yang lain. Gambar itu terlihat seperti makhluk humanoid dengan dua tanduk besar yang berada di kepalanya. Makhluk itu memiliki ekor di belakang tubuhnya dan memegang sebuah tombak di tangannya. Aku mengerutkan dahi, sepertinya makhluk ini terlihat seperti sedang dipuja oleh orang yang tinggal di reruntuhan ini.

Aku terus menyelidik ukiran paku (hieroglif) di dinding gua. Tiba-tiba aku melihat semacam tombol yang terbuat dari emas di antara ukiran paku (hieroglif) di dinding gua. Segera saja aku tekan tombol itu. Aku langsung mengalihkan pandangan ketika tak jauh dari tempatku tiba-tiba dinding dengan ukiran paku (hieroglif) terbelah, dan dari sana aku dibuat terpukau dengan kemunculan patung raksasa berbentuk makhluk humanoid dengan tanduk besar di kepalanya dan ekor besar di belakangnya, serta tak lupa tombak yang ada di tangannya. Tepat di bawah patung raksasa itu, aku melihat sebuah pintu dengan penampakan yang cukup mewah. Aku menatap pintu itu dengan tatapan menyelidik.

Pintu rahasia ...” Gumamku dalam hati.

Aku pun bergegas mendatangi pintu itu. Kemudian aku membuka pintu dan masuk ke dalam sebuah ruangan di balik pintu yang baru saja aku buka.

Sesampai di dalam, aku dibuat terdiam ketika aku melihat apa yang ada di depanku. Di hadapanku saat ini hanyalah sebuah ruangan yang sangat luas. Aku menatap ke sekitar dan hanya menemukan kegelapan. Aku beberapa saat menatap ruangan gelap itu dengan kekuatan magis yang kudapat dari mata hiu raksasa yang menjadikan aku bisa melihat di kegelapan. Tak lama berselang, aku berjalan menuju sesuatu yang menyerupai pegangan tangga. Aku mengerutkan dahi ketika tanganku merasakan cairan yang licin. Aku mengangkat tangan dan mencium ciaran itu.

"Ugh... Bau apa ini...? Seperti bau minyak hewan.” Gumamku dalam hati.

Aku dengan cepat mengesekan kedua tangan menciptakan bunga api dengan kekuatan petirku yang kemudian memercik ke atas celah berisikan minyak hewan itu.

BRUUSH!

Minyak yang terkena bunga api dari gesekan dua tanganku terbakar menjadi api. Api dengan cepat menyebar mengikuti jalur dari susunan batu itu. Api terus menjalar hingga menerangi setiap sudut ruangan. Setelah ruangan itu mendapatkan cukup mendapatkan cahaya maka terlihatlah isi ruangan tempatku berada, semakin jelas di pandangan mata.

Aku melebarkan mata selebar mungkin ketika melihat isi dari ruangan ini. Tumpukan emas, permata dengan warna berbeda, guci, armor bahkan senjata berlapiskan emas ada di sini, berjajar membentuk sebuah jalur menuju ke arah sebuah menara tinggi yang terletak cukup jauh dariku. Aku menatap menara itu dengan kagum sampai aku menyipitkan mata ketika melihat cahaya berwarna ungu menjulang dari atas menara itu.

Apa itu? Seperti lingkaran sihir.” Gumamku lagi dalam hati.

Aku berjalan mendekati menara itu. Cahaya keunguan yang terpancar di ujung menara mungkin sekali adalah sihir teleportasi, yang artinya pintu keluar dari tempat ini. Kemudian aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Dahiku berkerut, ini aneh, untuk ukuran harta karun sebanyak ini, belum lagi yang berada di luar ruangan tadi, tidak ada sistem perlindungannya sama sekali. Tempat seluas ini juga entah kenapa terasa sangat tenang dan disitulah keanehannya. Tempat ini seharusnya dilindungi oleh sistem jebakan maut atau setidaknya makhluk sihir yang menjaga seluruh harta di ruangan ini. Namun nampaknya tempat ini tidak memiliki semua keamanan itu, benar-benar sangat aneh.

Aku yang tengah melihat sekitar, tiba-tiba mengalihkan pandangan ke depan atas, dan mataku menyipit ketika aku melihat sesuatu tengah berdiri di tepi menara dengan senjata tombak di tangannya. Sesuatu itu mengambil posisi ancang-ancang sebelum ia bersinar terang dan melesat dengan kecepatan setara kilat ke arahku.

ZOOOORSH...!

Aku langsung berkelebat menghindari sinar yang meluruk ke arahku. Langsung terdengar ledakan keras dan menghancurkan apa saja yang terkena sinar tersebut. Aku yang kini berada di tengah-tengah ruangan menatap sesosok makhluk yang bertengger di atas menara. Bola mataku menangkap sesosok makhluk humanoid dengan tanduk besar di kepalanya, ekor besar dan kuat di belakang tubuhnya, dan tak lupa sebuah tombak di tangannya. Dia! Makhluk yang ada di gambar hieroglif. Aku kemudian mengeluarkan pedang emas Liu Gan dari lemari sihir dan menatap waspada makhluk itu.

“Siapa kau?! Dan makhluk apa kau?!” Tanyaku dengan meninggikan nada suaraku.

Makhluk humanoid itu mengerutkan wajahnya sebelum ia membuka mulutnya, “Aku adalah Roh Petir Level Tertinggi, dan namaku adalah Ran Sillanpa.”

Aku mengerutkan dahi mendengar nama dari makhluk yang memanggil namanya sebagai Ran Sillanpa. Dan apa itu roh level tertinggi? Apa ada dunia roh? Apa di dunia roh ada tingkatan-tingkatan level? Ran Sillanpa yang melihatku kebingungan langsung terkekeh sebelum ia memutar tombak miliknya.

“Tidak perlu dipikirkan, manusia. Sebab...”

SRING...!

“Kau tidak punya waktu untuk berpikir lagi...”

Aku lagi-lagi membulatkan mata ketika Ran Sillanpa yang ada di depanku menghilang dan tiba-tiba muncul di belakangku. Aku berniat menghalaukan pedang emas milikku namun Ran Sillanpa mengagalkan niatanku. Dengan cepat Ran Sillanpa memukulkan telapak tangan kirinya ke punggungku dan seketika kejutan listrik langsung menyambarku dan menyetrumku dengan tegangan tinggi. Tentu saja apa yang dilakukan Ran Sillanpa akan bernilai nol besar. Selain aku telah siaga dengan sihir elemen petirku, juga tubuhku terlindungi ‘Tesseract’ benda magis pemberian penguasa neraka yang menjadikan tubuhku kebal oleh serangan apapun.

“Seranganmu tidak membuatku terluka roh petir!” Kataku sambil mengayunkan pedang emas yang telah terlapisi sinar petir berkekuatan tinggi. Namun seranganku pun hanya menebas tempat kosong. Ternyata, Ran Sillanpa menghilang dalam kilatan cahaya dan muncul di atas menara.

“Luar biasa, manusia! Kau satu-satunya makhluk yang bisa menahan seranganku setelah jutaan tahun.” Ujar Ran Sillanpa sembari bertepuk tangan.

“Tidak usah memujiku, roh petir. Tetapi aku sangat penasaran padamu. Maksudku, siapa sebenarnya dirimu?” Tanyaku sungguh-sungguh ingin tahu tentang sosok roh petir di hadapanku.

“Baiklah ... Aku adalah roh yang ditugaskan untuk menjaga ruangan ini oleh Raja Kerajaan Danburg. Perlu kau ketahui, Kerajaan Danburg adalah kerajaan bangsa Demon yang telah berkuasa ratusan juta tahun sebelum terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan bangsa Demon sekarang. Boleh dikata Kerajaan Danburg adalah cikal bakal kerajaan-kerajaan Demon sekarang ini. Ya, sekarang memang tinggal sejarah dan semua yang ada di sini adalah sejarah Kerajaan Danburg. Dan aku adalah roh terkuat dari roh elemen petir lainnya yang bertugas memusnahkan penyusup ke tempat ini.” Jelas Ran Sillanpa dengan bangganya.

“Berarti usiamu sudah ratusan juta tahun?” Tanyaku.

“Ya ... Usiaku hampir menyamai usia kehidupan di planet ini.” Jawabnya. “Nampaknya, kau memiliki ketahan tubuh yang menganggumkan. Baru kali ini ada manusia yang bisa menahan seranganku ... Kau menarik, manusia.” Lanjut Ran Sillanpa.

Aku menatap waspada Ran Sillanpa yang juga menatap diriku dengan mata putih miliknya. Aku menyiapkan kuda-kuda siap tarung dan memposisikan pedang emas di depan tubuhku. Sekilas aku ingin mengganti warna sinar energi sihirku menjadi cahaya, tetapi aku urungkan niatku. Aku ingin tahu, apakah dia benar-benar roh petir level tertinggi.

"Baiklah ... Kau ingin melawanku? Menarik...! Apa kau yakin dapat bertahan melawanku, manusia?” Ucap Ran Sillanpa terdengar meremehkanku.

“Lebih baik mencoba dan gagal daripada gagal sebelum mencoba! Aku akan melawanmu meskipun kesempatanku mendekati kata mustahil.” Jawabku merendah.

Mendengar deklarasiku, Ran Sillanpa mengeluarkan seringai tanda ia tertarik. Roh petir itu lantas memutar tombak di tangannya sebelum mengarahkannya padaku.

“Cobalah untuk bertahan selama mungkin, manusia ...” Ujarnya.

Setelah mengatakan itu Ran Sillanpa menghilang dalam kilatan petir sebelum tiba-tiba ia muncul di hadapanku dengan tombak yang siap memukul dan menusuk. Aku yang melihat kemunculan Ran Sillanpa di depanku membulatkan mata, sebelum aku dengan susah payah menahan tombak itu dengan pedang emas milikku. Sungguh, kecepatan roh petir ini melebihi kilatan petir. Menurutku, dia memang pantas bergelar roh petir level tertinggi.

TRANK...!

Aaaahh... Kuat sekali...!” Gumamku dalam hati. Aku mengeraskan wajah ketika merasakan tekanan yang diberikan oleh Ran Sillanpa. Karena tak kuat menahan tekanan luar biasa dari Ran Sillanpa, aku akhirnya terhempas ke samping hingga melesat dan membentur tumpukan harta dengan keras.

WUSH!

BOOOM!

Aku bangkit secepat mungkin. Tetapi ketika aku menatap ke depan dan seketika iris mataku membulat sempurna. Di hadapanku terlihat Ran Sillanpa tengah menatap ke arahku dengan tombak petir yang bersinar terang.

BLAAAAR...!

Ledakan hebat menerbangkan semua yang ada disekitarnya tak lupa asap hitam yang membumbung tinggi, dari asap itu aku melesat keluar dengan Ran Sillanpa yang mengejar. Aku mengeraskan wajahku. Kecepatan roh petir ini sangat gila! Dan juga daya serangan roh petir ini sangat dashyat. Sedetik saja tadi diriku tidak membelokan tombak Ran Sillanpa maka kepalaku akan terkena serangannya. Sekuat apa diriku, tetapi bagian kepala adalah bagian tubuh yang paling kujaga dari serangan lawan.

TRANK...!

TRANK...!

TRANK...!

Aku terus menahan serangan super cepat dan sangat liar dari Ran Sillanpa tanpa diberi kesempatan menyerang. Meski aku mempunyai kecepatan kilat dari elemen petir namun tetap saja percuma sebab kecepatanku tidak bisa menyamai kecepatan dari serangan Ran Sillanpa yang super cepat.

JRASH...!

Aku terkena tusukan tombak Ran Sillanpa pada bagian dada. Saat sadar serangannya tak menimbulkan luka, Ran Sillanpa tak berhenti sampai di situ, roh petir itu langsung mengangkat tangannya yang dipenuhi oleh percikan petir sebelum ia dengan cepat menghantam perutku dengan telapak tangan penuh energi petir. Aku merasakan perutku sedikit tersengat akibat energi petir yang bersarang di perutku sebelum energi petir itu meledak.

BRRRSSSST...!

WUSH...!

BLAAAR...!

Aku terhempas dengan kecepatan tinggi sebelum akhirnya terhenti ketika menabrak dinding dengan sangat kuat hingga membuat debu membumbung tinggi dan menghalangi penglihatan. Ran Sillanpa menatap ke arah dimana aku terhempas sebelum dengan santai ia berjalan mendekati tempatku jatuh.

WUSSH...!

Ran Sillanpa dibuat terkejut ketika dari balik debu yang menghalangi pemandangannya aku melesat cepat untuk memangkas jarak dengan kecepatan tinggi. Ran Sillanpa tampak semakin terkejut ketika melihatku sudah ada di depannya dengan tangan berada di atas gagang pedang emas milikku.

Sial!” Gumamku dalam hati selagi tanganku mengenggam kuat pedang emas milikku. Ran Sillanpa yang melihatku akan melakukan serangan, dengan cepat mengarahkan tombaknya ke kepalaku.

Aku menatap serangan Ran Sillanpa yang berkilat menakutkan itu dan membuatku memutar tubuh dengan cepat hingga tombak itu hanya melewati tubuhku. Dengan keadaan masih berputar, aku dengan cepat melakukan tebasan ke arah Ran Sillanpa yang sulit diikuti oleh mata.

JRASSSH...!

Untuk pertama kalinya aku berhasil mendaratkan satu serangan dan membuat tubuh Ran Sillanpa terbelah menjadi dua. Namun bukannya senang, aku malah terkejut.

Aku benar-benar terkejut, mungkin keterkejutanku saat ini adalah keterkejutan terhebat yang pernah aku alami seumur hidupku. Makhluk ini masih hidup! Aku menatap ke arah tubuh bagian bawah yang masih berdiri di tempat itu. Aku kemudian melihat sesuatu seperti energi petir membentuk sesuatu seperti tali yang menghubungkan bagian bawah tubuh dengan bagian atas tubuh Ran Sillanpa. Kedua tubuh Roh petir itu kembali menyatu dan ia tetap hidup. Aku menyeringai tipis makhluk ini boleh juga.

“Aku akui kalau kau memang benar-benar roh petir level tertinggi!” Pujiku pada Ran Sillanpa.

“Terima kasih atas pujiannya, manusia. Sekarang bersiaplah! Karena aku akan menggunakan kekuatanku yang sesungguhnya.” Ucap Ran Sillanpa tidak main-main.

“Aku akan menerima seranganmu tuan roh petir level tertinggi.” Tantangku. Perlahan seringai lebar tercipta di wajah Ran Sillanpa. Roh petir itu mengangkat tinggi tombak miliknya dan...

GOOOOOOORRRRRRR...!

Sedetik kemudian ruangan ini bergetar hebat, sebab Ran Sillanpa kini tengah mengeluarkan seluruh kemampuannya. Kilatan petir memancar liar dari seluruh tubuh Ran Sillanpa. Tombak di tangan roh petir itu perlahan tetapi pasti berkobar dalam energi petir yang mengamuk.

“Berbanggalah kau, manusia! Aku memuji semangat dan cara bertempurmu, karena itu aku akan menyerangmu dengan seluruh kekuatanku!” Ran Sillanpa terus mengobarkan kekuatannya hingga getaran pada ruangan ini semakin meningkat. Aku menatap semua hal itu dengan seringai di wajah. Aku pun menguatkan kuda-kuda dan menatap Ran Sillanpa dengan seringai yang semakin lebar.

"Majulah! Roh petir terkuat, Ran Sillanpa!" Jawabku sangat bersemangat.

Ran Sillanpa menyeringai sebelum ia menenangkan kobaran energi sihir miliknya dan membuat getaran hebat mereda. Ran Sillanpa menatapku dengan tombak petir yang saat ini terlihat menakutkan dengan percikan petir ganas yang menyelimuti seluruh permukaan tombak itu.

“Terimalah ini, manusia ...! Serangan terkuat milikku ...!” Ucap Ran Sillanpa sambil mengambil ancang-ancang untuk melempar tombaknya. Kuatnya pijakan Ran Sillanpa membuat lantai di bawah kakinya amblas cukup dalam, dan dalam sekejap Ran Sillanpa melemparkan tombak petirnya ke arahku.

WUUSSHHH...!!!

Aku menyeringai melihat tombak petir yang melesat dengan kecepatan gila itu. Dengan gerakan cepat, aku mengarahkan tangan ke depan di mana jalur tombak itu melesat. Tombak petir itu membentur tanganku. Namun bukannya meledak hebat, tombak itu malah dengan cepat terhisap ke dalam tanganku yang berubah menjadi hitam. Setelah semua bagian tombak terhisap, aku dengan kuat mengepalkan tangan itu dengan kuat.

DUAAAAAAR ...!

Ledakan hebat menelan tempat di mana aku berdiri. Ran Sillanpa yang melihatnya hanya bisa terdiam, ia mengira jika serangannya telah memusnahkanku. Aku lihat ia pun bermaksud kembali ke atas menara. Namun ketika ia baru saja berbalik, suaraku menghentikannya.

"Hey! Mau kemana kau! Pertarungan kita baru saja dimulai." Kataku setengah mengejeknya.

Ran Sillanpa menoleh ke belakang dan ia terkejut maksimal ketika melihat aku yang disangkanya sudah musnah akibat serangan kuat miliknya masih berdiri dengan penampilan yang berubah drastis. Ya, tubuhku saat ini diselimuti oleh petir ganas. Rambut hitam milikku memanjang hingga rambutku berkibar-kibar seperti tertiup angin. Aku merasakan tubuhku dipenuhi oleh kekuatan yang meluap-luap. Sebenarnya, aku telah menyerap energi petir milik Ran Sillanpa dengan konsep seperti baterai kosong yang diisi saat dicharger. Aku telah berhasil menciptakan sihir yang bisa menghisap segala jenis sihir musuh dan merubahnya menjadi sihir kekuatanku. Dan seperti yang aku rasakan saat ini, kekuatan meluap-luap dari seluruh sel tubuhku.

Kau memang cerdik saudaraku.” Tiba-tiba terdengar suara Petteri yang memujiku.

Aku menatap seluruh tubuhku yang diselimuti oleh petir ganas, sebelum aku mengeratkan tangan senang. “Aku akan menamakan teknik ini, Teknik Penyerap Sihir ... Dan saatnya kita mulai ronde kedua kita, Ran Sillanpa!”

“Hebat sekali, manusia! Kau terus membuatku terkejut! Kau sangat menarik, manusia!” Ucap Ran Sillanpa sambil tersenyum lebar sebelum ia mengangkat tangannya dan seketika enerti petir berkumpul dan membentuk sebuah Great Sword yang memancarkan kekuatan petir yang hebat.

Aku dan Ran Sillanpa menatap satu sama lain sebelum kami berdua melesat dengan kecepatan kilat, dan kami pun bertukar serangan dengan kecepatan yang sama hingga menciptakan suara dentingan logam yang bergema di ruangan ini. Aku dan Ran Sillanpa terus melesat dan menukar serangan dengan kecepatan kilat milik kami. Aku menyeringai melihat aku sudah bisa mengimbangi roh petir terkuat, Ran Sillanpa, dengan kekuatan petirku. Akhirnya, rasa penasaranku terbayar sudah.

TRANK...!

TRANK...!

TRANK...!

JRASSSH...!

Setelah hampir satu jam bertempur, sebenarnya aku beberapa kali terkena serangan Ran Sillanpa. Tetapi sekuat apapun serangan Ran Sillanpa tidak mampu melukaiku. Dan pada akhirnya aku mendapatkan waktu lengah roh petir level tertinggi ini. Aku berhasil memotong tangan Ran Sillanpa menyebabkan pedang besar milik Ran Sillanpa terlepas dan melayang di udara. Aku yang melihat pedang itu dengan kecepatan kilat menyambarnya. Aku pun mengalihkan pandangan ke depan dimana aku melihat Ran Sillanpa melesat menjauh dariku. Hei, dia mau kabur ke lingkaran sihir ungu di atas menara! Tentu tidak bisa kubiarkan! Aku melesat mengejar Ran Sillanpa dengan kecepatan tinggi. Ketika jarak kami sudah menipis, aku dengan cepat menebaskan kedua pedang di tanganku ke tubuh Ran Sillanpa.

JRASH...!

JRASH...!

Tak henti sampai di sana, aku dengan cepat menebas tubuh Ran Sillanpa hingga terbelah menjadi dua dengan pedang besar yang telah mengeluarkan cahaya menyilaukan milik Ran Sillanpa.

BLAAAAAAAR...!

Pedang besar itu meledak dan melepaskan energi petir dalam skala besar dan menyapu sekitar. Tak lama ledakan itu mereda dan terlihatlah sebuah kawah dengan ukuran lumayan besar dengan Ran Sillanpa sebagai pusatnya. Tubuh roh petir terkuat itu terpotong jadi dua. Tak jauh dari posisi Ran Sillanpa, aku menatap datar Ran Sillanpa yang tergeletak di depanku.

“Nampaknya aku kalah darimu anak muda.” Kata Ran Sillanpa yang masih saja hidup walau tubuhnya telah terpotong menjadi dua bagian.

Aku menatap datar Ran Sillanpa dan berkata dengan nada pelan, “Ya, kau kalah. Tapi aku menang atas dasar keberuntungan. Melawan roh petir terkuat sepertimu adalah hal mustahil untuk aku menangkan.” Ucapku merendah.

Ran Sillanpa terdiam sebelum ia tersenyum tipis dan berkata, “Untuk manusia yang telah mengalahkanku, melihatmu merendah membuatku sakit. Anak muda, sejak awal kemenanganmu sudah ditentukan. Anak muda, berbanggalah untuk itu.” Perlahan tubuh Ran Sillanpa bersinar lembut dan memudar, aku menatap hal itu dengan datar. “Ini perpisahan kita, anak muda ... Pertarungan tadi adalah pertarungan terbaik yang aku rasakan. Dan, kini seluruh harta peninggalan Kerajaan Danburg yang selama ini aku jaga menjadi milikmu seutuhnya. Anggap saja sebagai hadiah karena berhasil mengalahkanku.” Ujar Ran Sillanpa.

Setelah mengatakan itu, tubuh Ran Sillanpa menghilang menjadi butiran-butiran cahaya. Aku menatap kepergian Ran Sillanpa dengan perasaan agak bersedih. Jujur saja dari semua lawan yang pernah dihadapiku, Ran Sillanpa merupakan yang terkuat. Aku terdiam sebelum aku menatap ke arah tanganku dimana pedang besar milik Ran Sillanpa tergenggam dengan erat. Perlahan pedang besar itu terhisap ke tanganku dan menghilang. Aku menghela napas dan perlahan menon-aktifkan mode terkuat sihir petirku saat ini.

“Fuuhhh ... Akhirnya ...” Lirihku bermonolog. “Tapi, di mana calon istriku?” Tanyaku pada diri sendiri.

Kau bersihkan dulu tempat ini. Karena kau harus menggunakan ledakan dari pukulan sihir cahayamu. Kecuali kau merelakan seluruh harta karun ini menjadi debu.” Tiba-tiba Petteri bersuara.

“Wow! Sayang kalau aku jadikan debu. Aku akan simpan di lemari sihirku dulu.” Jawabku.

Langsung saja aku masukan semua harta karun yang sangat banyak dalam ruangan ini ke dalam lemari sihirku. Tentu saja aku memasukan barang-barang berharga yang masih utuh karena banyak juga yang telah rusak karena terkena serangan-serangan saat aku dan Ran Sillanpa bertarung. Jangan bingung kalau semua harta karun yang begitu banyak muat dalam lemari sihirku, karena lemari sihir adalah ruang dimensi tanpa batas. Dengan menggunakan sekop yang kutemukan, aku dengan sabar memasukan koin-koin emas, batu-batu permata, senjata, armor dan lain-lain barang berharga ke dalam lemari sihirku. Memang gila! Aku hampir seharian memasukkan harta karun itu ke dalam lemari sihirku. Aku rasa dengan harta karun sebanyak ini, aku akan bisa membangun kerajaan sendiri.

Entah berapa lama aku membersihkan harta karun di ruangan ini. Dan yang kurasa mungkin lebih dari 12 jam hingga benar-benar bersih. Sesuai dengan perintah Petteri, aku mengeluarkan Pedang Emas Liu Gan dan mulai menciptakan ledakan-ledakan sihir menggunakan elemen cahaya. Aku terus mengeluarkan sinar-sinar dari Pedang Emas Liu Gan hingga ruangan ini menjadi terang benderang. Tiba-tiba pedang emasku bergerak sendiri. Pedangku terlepas dari genggaman tanganku dan melaju sendiri tanpa bisa kuhentikan. Tiba-tiba pedang emasku menukik turun dan menancap di sebuah crystal raksasa yang entah kapan berada di ruangan ini. Tentu aku terkejut karena crystal raksasa ini seakan-akan muncul secara tiba-tiba.

JLEB...!

Aku melihat pedang emas milikku kini telah tertancap di sebuah crystal yang memiliki warna transparan yang begitu indah. Aku dengan pelan berjalan menuju pedang emasku dan mengambilnya dari batu crystal besar itu. Aku menatap ke arah crystal lekat-lekat. Aku sangat penasaran dengan crystal indah yang tiba-tiba muncul. Sekian menit aku terus berkeliling memutari crystal raksasa ini. Setelahnya, aku merasa tidak ada apa-apa. Aku berjalan berbalik menuju ruangan sebelah bermaksud untuk mengumpulkan koin-koin emas di sana.

“Hey manusia...” Aku mendengar suara. Ya, itu suara seorang wanita.

Aku yang baru saja mengambil langkah ketiga tiba-tiba terhenti ketika suara itu mengetuk gendang telingaku. Aku menatap ke kanan dan ke kiri namun tidak dapat menemukan siapa pun. Aku terdiam sebelum aku menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Sepertinya aku kurang tidur, membuatku berhalusinasi mendengar suara aneh.” Aku bergumam pelan sebelum aku mengangkat bahu tak peduli dan melanjutkan langkah.

“Manusia ... Berani sekali kau mengabaikanku!” Suara wanita itu lagi yang kudengar.

Aku kembali menghentikan langkah sebelum aku menghela napas dan menatap datar ke sekeliling, “Aku tidak tahu siapa kau. Tetapi maaf saja, aku tidak ingin bermain-main denganmu. Jadi keluarlah dan tunjukan dirimu padaku." Kataku dengan nada kesal.

Aku terus mencari di mana asal suara itu sebelum aku tersentak ketika merasakan tatapan membunuh yang begitu pekat menusuk punggungku. Aku dengan pelan menoleh ke belakang dan melebarlah mata ketika garis pandanganku menangkap sepasang mata merah yang bersinar dari dalam crystal raksasa di belakangku. Aku lantas berbalik badan. Kini di depanku terdapat sesosok wanita dengan tubuh penuh luka di setiap inchi tubuhnya. Wajahnya benar-benar mengerikan. Selain banyak luka, dia pun berwajah seperti iblis wanita berparas buruk rupa yang datang dari mitologi Melanesia.

“Akhirnya kau menyadari keberadaanku, manusia ...” Suara berat nan menakutkan bergema di ruangan ini. Aku terdiam sambil menatap ke arah makhluk yang berada di dalam crystal itu dengan gesture berpikir selama beberapa saat sebelum aku memiringkan sedikit kepala.

"Oh... Ternyata kamu?” Kataku cuek. Keheningan melanda ruangan ini untuk beberapa saat. “Siapa dirimu?” Akhirnya aku dengan polosnya bertanya pada sosok makhluk yang terkurung di dalam batu crystal itu yang hanya terdiam menatap ke arahku.

“Kau ... Tidak tahu siapa aku?” Tanyanya seakan tidak percaya kalau aku benar-benar tidak mengetahui siapa dirinya.

Aku terdiam sejenak sebelum bersedekap dada dan menatap datar ke arah makhluk wanita buruk rupa di dalam crystal itu, "Tidak tahu dan aku tidak peduli tentang siapa kau ... Lagi pula memang siapa kau hingga aku harus mengetahui dirimu?” Perkataanku pedas dan dengan mulus keluar dari mulutku.

Makhluk wanita itu terdiam sebelum sepasang mata merah itu bersinar terang dan dilanjutkan dengan tempat itu yang tiba-tiba bergetar hebat. Dia pun berkata dengan bentakan marah, “Aku adalah sosok yang pernah menebar teror di Azumath ... Dan namaku adalah ... Hei?! Mau kemana kau?!” Makhluk itu mengubah topik pembicarannya ketika melihatku yang berbalik badan lalu berjalan menjauh darinya.

Tak lama aku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang dengan pandangan datar, “Maaf Pet ... Aku tidak tertarik mendengar cerita dari makhluk yang terperangkap di dalam crystal itu.” Kataku tertuju pada Petteri berharap makhluk cahaya itu mendengarkanku.

“Tu..tunggu sebentar...! Hey...! Aku bilang tunggu sebentar...! Aku peringatkan kau untuk berhenti sekarang juga...! Atau aku akan... Aku akan... Hiks hiks hiks ...” Aku yang baru melangkah dua kali menghentikan langkah ketika aku mendengar makhluk itu mulai terisak. “Pa..padahal aku... Hiks... Hanya ingin ngobrol setelah sekian lama tidak ada yang datang ke sini... Hiks...”

Aku menghela napas dan berbalik, lalu aku duduk tepat di depan makhluk wanita itu dengan posisi tangan menyilang di depan. “Baik ... Baik ... Aku akan menjadi teman ngobrolmu, jadi berhentilah menangis...” Ucapku membuat suara isak tangis makhluk di depanku perlahan berhenti.

Makhluk wanita buruk rupa itu nampak menatapku sejenak sebelum ia sesegukan pelan. “Be..benarkah? Benar kau mau menjadi teman ngobrolku?” Tanya makhluk itu kemudian dan kujawab dengan anggukan kepala.

“Ya ... Aku akan jadi teman ngobrolmu ... Jadi kau ingin membicarakan tentang apa?” Tanyaku sambil tersenyum.

“Sebelumnya ... Aku ingin tahu namamu ...” Kata si makhluk sedikit malu-malu.

“Namaku Azka ... Kalau dirimu?” Jawabku yang diteruskan dengan bertanya.

“Namaku Quirima.” Jawabnya. Dahiku sontak berkerut. Aku pernah mendengar cerita dari Panglimaku, Gardana, saat aku menjadi Raja Alvar. Gardana pernah menceritakan bahwa Quirima adalah iblis betina yang melambangkan segala hal kejahatan.

"Baiklah, Quirima ... Kau ingin menanyakan hal apa lagi padaku?” Tanyaku agak serius.

Quirima terdiam selagi mata merahnya menatap ke arahku dengan senyuman menantang. Dan tak lama ia pun berkata, “Tuan Azka adalah seorang penyihir tanpa tanding saat ini. Terbukti Ran Sillanpa dapat tuan kalahkan. Oleh karena itu, aku ingin sekali meminta bantuan pada Tuan Azka.” Ucap Quirima membuatku terdiam sebelum aku melunakan posture waspadaku dan memasukan kembali pedang emas ke dalam lemari sihir lalu mataku menatap serius Quirima.

“Aku ingin bebas dari crystal ini.” Suaranya sangat memelas. Kesedihan sangat ketara di wajahnya. “Aku sudah jutaan tahun terkurung di sini. Aku ingin bebas.” Lanjutnya merintih sedih.

“Quirima ... Aku pernah mendengar sepak terjangmu yang membuat kekacauan di Azumath. Mungkin inilah hukumanmu. Aku sangat beresiko membebaskanmu. Jangan-jangan Azumath akan menjadi kacau dengan kebebasanmu.” Kataku berdiplomasi.

“Aku berjanji ... Aku tidak akan membuat kekacauan lagi di Azumath. Aku hanya ingin bebas. Tolonglah aku. Hiks ...” Terdengar lagi isak tangisnya.

Pinta dia jadi istrimu.” Bisikan super pelan terdengar di telingaku. Itu bisikan Petteri.

Apa?! Kau gak salah?!” Teriakku dalam hati yang kutujukan pada Petteri. Makhluk cahaya itu kurasa sudah miring otaknya. Bagaimana mungkin aku memperistri seorang demon buruk rupa seperti dia.

Pinta dia jadi istrimu.” Bisik Petteri lagi.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, sungguh aku terkejut dengan ucapan Petteri yang memintaku untuk memperistri Quirima yang terbukti kalau dia berasal dari bangsa Demon, terlebih berparas sangat buruk. Aku tidak paham lagi dengan semua ini. Petteri seperti sedang mengerjaiku dengan sebuah lelucon.

Aku adalah saudaramu. Aku tidak akan menjerumuskanmu.” Terdengar lagi bisikan Petteri. Setelah mendengar perkataan Petteri seperti itu, tiba-tiba saja aku merasa percaya. Aku percaya kalau Petteri tidak akan menyengsarakanku.

“Quirima ... Aku akan mengabulkan permintaanmu untuk membebaskanmu dari batu crystal itu. Tapi aku akan mengajukan dua syarat padamu.” Kataku setelah merenung beberapa saat.

“Katakan! Aku akan menuruti persyaratanmu! Asalkan aku bisa terbebas dari sini!” Suara Quirima terdengar sangat gembira. Sepertinya Quirima sudah sangat tidak sabar.

“Baiklah dan dengarkanlah! Syarat pertama, jika kau bebas nanti. Kau tidak boleh membuat kekacauan lagi di Azumath.” Kataku menjeda ucapan ingin mendengar jawabannya.

“Aku berjanji dan bersumpah, aku tidak akan membuat kekacauan di Azumath. Aku akan menjadi sosok yang baik.” Jawabnya riang.

“Bagus ... Syarat kedua ...” Kali ini aku menjeda lagi ucapanku. Mata Quirima membulat menunggu kelanjutan ucapanku. “Kau harus mau menjadi istriku.” Lanjutku. Aku melihat mata merahnya terbelalak hebat. Dari ekspresi wajahnya, aku bisa tahu kalau kini dia sedang terkejut sekaligus ingin tahu kejelasan kalimatku tadi. “Aku akan membebaskanmu kalau kamu bersedia menjadi istriku.”

Tiba-tiba Quirima menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tak lama terdengar tangisan pilu. Sial! Aku kok jadi khawatir Quirima akan menolak permintaanku. Tiba-tiba perasaan takut itu muncul. Perasaan takut jika iblis betina buruk rupa di depanku menolak jadi istriku. Tiba-tiba aku berpikiran, kalau pun dia menolak, tetap aku akan membebaskannya.

Tak lama Quirima menghentikan isak tangisnya. Kedua tangan Quirima lepas dari wajahnya dan bertanya, “Kenapa Tuan Azka menginginkanku menjadi istri tuan. Lihatlah! Betapa buruknya wajahku ini. Tidak ada seorang pun yang menginginkan diriku. Selama ini aku selalu dihina karena memiliki wajah yang buruk dan menyeramkan. Perlu tuan ketahui, aku membuat kekacauan di Azumath karena aku kecewa pada semua makhluk yang menghina wajahku yang buruk ini.”

“Entahlah ... Aku hanya bicara sesuai kata hati saja. Mungkin awalnya aku iba melihat penderitaanmu yang jutaan tahun terkurung di sini. Tetapi, perasaanku tidak bisa berbohong kalau aku menyukai dirimu.” Kataku yang sengaja aku dramatisir.

“Hiks ... Hiks ... Hiks ... Aku menerima suamiku ... Aku menerima permintaanmu ...” Tangis kebahagiaan pecah. Aku bisa melihat ketulusan dalam sorot matanya dan merasakan kejujurannya.

“Kalau begitu ... Bersiaplah bebas istriku ...” Kataku sambil bangkit dan mengeluarkan pedang cahayaku.

Aku melesat secepat cahaya dan menebas crystal sampai puluhan tebasan. Aku melihat semakin lama crystal itu retak-retak dan akhirnya pecah berkeping-keping. Tiba-tiba, Quirima terbang melayang-layang seperti burung yang gembira menyambut hari. Dia tertawa-tawa yang sangat memekakan telinga. Aku membiarkannya sampai Quirima bosan dan akhirnya mendarat indah tepat di depanku.

“Terima kasih suamiku ... Terima kasih ...” Ucap Quirima sambil mendekatkan dirinya padaku.

Aku pun tersenyum sambil mengambil tangannya, “Tubuhmu banyak luka. Biar aku sembuhkan dulu.”

“Hei! Apakah suamiku seorang tabib juga?” Quirima bertanya dengan wajah keheranan.

“Ya ... Aku pernah menjadi tabib ...” Jawabku.

Tiba-tiba Quirima melepaskan bajunya begitu saja. Mataku sampai tidak berkedip melihat kepolosan tubuh Quirima. Wajah boleh buruk rupa tetapi Quirima memiliki tubuh yang sangat sempurna. Payudaranya begitu bulat sempurna. Lekuknya pun aduhai ditambah dengan perut yang ramping, pinggul yang berkelok sempurna. Tubuh yang seperti itu selalu menjadi idamanku.

“Hei! Malah bengong? Ayo! Sembuhkan dulu luka-lukanya!” Goda Quirima sembari mengibaskan tangan ke mukaku.

“Oh ... I..iya ... Tubuhmu luar biasa ...” Kataku dan tak kuasa untuk tidak memujinya.

“Hi hi hi ... Terima kasih suamiku ... Aku sangat bahagia hari ini. Aku sangat bahagia. Kesengsaraanku jutaan tahun seakan lenyap dengan kegembiraanku saat ini.” Ucapnya tiba-tiba kedua tangan Quirima merangkul leherku.

“Aku akan mengobatimu dulu ...” Kataku lalu mencium bibirnya yang keriput, seperti bibir nenek-nenek.

“Iya suamiku ...” Jawabnya.

Kemudian aku mulai mengobati luka-luka di tubuh Quirima yang umurnya telah jutaan tahun. Ya, aku sangat iba dan terharu dengan penderitaan yang telah ia alami selama itu. Bayangkan, jutaan tahun terpenjara dengan luka yang tak pernah sembuh yang menurutnya sangat menyiksa dirinya. Aku dengan telaten menyembuhkan luka-luka menahun yang diderita Quirima, bahkan sebagian sudah agak membusuk dan mengeluarkan bau tak sedap. Cukup lama aku mengobati luka-luka Quirima, mungkin lebih dari sepuluh jam. Selama sepuluh jam itu, aku saling berbicara. Namun, aku lebih menjadi pendengar setia baginya.

Menurut Quirima sendiri, kalau dirinya dulu adalah iblis betina paling ganas se-Azumath. Dia mengaku saat ini ia telah berumur 7 juta tahun, dan terkurung selama 3 juta tahun. Dia dikurung oleh Raja Danburg yang berkuasa saat itu. Quirima dikalahkan oleh lima kstaria sihir dari bangsa Demon, termasuk Raja Danburg. Kekalahan itulah yang membuat terkurung dalam crystal yang diciptakan oleh kelima ksatria sihir itu. Selanjutnya, Ran Sillanpa lah yang menjaga tempat ini.

“Saatnya kita keluar dari sini.” Kataku setelah merasa semua luka Quirima sembuh.

“Oh ... Aku sangat menginginkannya ...” Jawabnya sambil bangkit dan memakai kembali pakaiannya.

Aku pun menggandeng tangan Quirima. Saat melintasi ruangan penuh koin emas, tanganku ditahan Quirima, “Kita ambil koin-koin emas ini dulu, suamiku.”

“Aku sudah punya banyak. Buat apa lagi?” Kataku agak keberatan.

“Tidak! Kita pasti akan memerlukannya.” Quirima bersikukuh sambil membuka lemari sihirnya.

Aku tersenyum saat melihat Quirima dengan mudah memasukan semua koin emas yang ada di ruangan ini. Tidak sepertiku yang harus menggunakan sekop, Quirima hanya mengibaskan tangannya sehingga koin-koin emas itu terlihat seperti ular terbang yang masuk ke dalam lemari sihirnya. Tentu saja, semua koin emas sangat cepat beralih ke lemari sihirnya. Bisa dibayangkan, koin semas seluas lapangan bola dengan ketinggian tidak kurang dari satu meter, harta karun sebanyak itu tidak akan pernah habis sampai tujuh turunan. Karena merasa lama, aku pun akhirnya membantu Quirima memasukkan koin-koin emas itu dengan caraku sendiri. Setelah hampir empat jam, akhirnya pekerjaan kami selesai juga.

“Koin emas sebanyak ini, kau akan apakan?” Tanyaku pada Quirima.

“Aku ingin membuat istana untuk anak-anak kita, suamiku ...” Jawab Quirima sambil menggandeng mesra tanganku.

Kami pun berhasil keluar dari dalam gua. Sinar matahari langsung menyorot wajah Quirima hingga dia merasa silau dan menghalangi mata dengan tangannya. Aku langsung menggendong tubuh Quirima dan memberinya selubung cahaya. Setelah itu, aku melesat dengan kecepatan cahaya ke arah tenggara. Aku diberitahu oleh Petteri kalau aku sudah bisa langsung keluar pulau karena selubung sihir yang menjaga pulau ini telah hancur berbarengan dengan batu crystal yang menahan Quirima hancur. Aku melesat meninggalkan pulau dan tidak berhenti melesat sampai perutku keroncongan saat matahari berada pesis di tengah dunia. Aku pun memutuskan singgah di sebuah pulau kecil berniat untuk mengisi perut.

Setelah menjejekan kaki di sebuah batu besar berbentuk ceper yang di bawahnya terdapat sungai kecil dan dangkal, aku pun menurunkan Quirima. Tunggu! Bukankah tadi wajah Quirima seperti iblis? Mengapa sekarang terlihat sebagai wanita yang sangat cantik? Apa itu hanya imajinasiku? Ah, aku terlalu banyak berimajinasi! Aku mengucek-ucek mata, guna memperjelas penglihatanku. Tak ada yang berubah, mataku tetap melihat seorang wanita yang sangat cantik. Dikatakan sebagai wanita yang sangat cantik karena aku pun sulit menggambarkannya dengan kata-kata. Melihat kecantikannya saja sampai-sampai birahiku melecut secara tak diduga. Tiba-tiba saja, aku memeluk Quirima sampai wanita itu terperanjat.

“Ada apa suamiku?!” Pekik Quirima yang aneh melihat tingkahku.

“Em ... Aku menginginkan dirimu, sayang ... Aku ingin membuahi rahimmu sekarang juga ...” Kataku penuh nafsu.

“Hi hi hi ... Nggak menunggu saja sampai di daratan, suamiku?” Goda Quirima sambil membelai wajahku mesra.

“Tidak! Aku menginginkannya sekarang.” Kataku sembari meloloskan pakaiannya yang memang tidak ada kancing atau serupanya yang menahan gaun Quirima untuk tidak terlepas dari tubuhnya.

Setelah Quirima benar-benar telanjang, aku segera melucuti pakaianku sendiri. Quirima memekik lirih saat aku baringkan tubuhnya di atas batu ceper yang kami singgahi dan menindihnya. Aku pegang kedua belah pipinya, serentak itu aku cium bibirnya lama. Ciuman kami semakin dalam, kami saling menghisap, menyecap, memainkan lidah dan tanpa sadar erangan keluar dari bibir mungilnya. Kami berdua kini terbawa nafsu birahi yang kami ciptakan sendiri.

Quirima memejamkan matanya saat aku mulai menciumi leher jenjangnya lalu menghisapnya dan menggitnya hingga berwarna kemerahan. Quirima melenguh tertahan, dia menggapai kepalaku dan menekannya sebagai pelampiasan rasa nikmat. Aku turun ke bagian payudara Quirima. Aku sangat mengaguminya sekilas dan langsung mencicipinya dengan mulut. Aku menghisap puting kiri Quirima seperti bayi kelaparan dan mengocok payudara kanannya hingga Quirima mendesah berat.

"Angghhh suamiku... Hemmnnhh..." Quirima menengadahkan kepalanya tinggi-tinggi akibat pekerjaanku yang hebat. Hingga aku melepas kedua kebanggaan miliknya dan membuat Quirima menghela nafas lega. Aku melihat wajah cantik Quirima yang sudah pasrah dan memerah. Dia sungguh terlihat menggairahkan.

Aku tak mau mengulur lebih banyak waktu. Aku kembali menyusu di payudaranya yang super bulat dan kenyal. Setelah puas ciumanku turun ke perut dan akhirnya aku menemukan lembah nikmat yang selalu menjadi canduku. Aku tertegun saat mataku mendapati kewanitaan milik seorang wanita bangsa Demon yang begitu indah. Bagian kewanitaannya begitu bersih tanpa bulu dan terlihat merah merona. Aku menoleh ke arah Quirima, wanita Demon itu tengah merona karena dipandangi dengan intens. Dengan perlahan aku mendaratkan bibirku di permukaan kewanitaan Quirima. Quirima bergerak kegelian saat bibirku mendarat dan memberinya sebuah kecupan, dan napas memburu yang menyentuh permukaan kewanitaan itu telah membuat sekujur tubuh Quirima bergetar-getar.

Aku kembali mengangkat wajah. Aku mendekati wajah Quirima dan mencium bibirnya secara singkat namun berarti. Quirima mengangguk dan meraih leherku. Dia menyembunyikan wajahnya dibahuku dengan erat. Aku yang tahu akan ketakutan Quirima mengusap punggung sehalus sutra itu menenangkan.

“Aku baik-baik saja...” Bisik Quirima seakan tidak mau ketahuan jika dirinya memang ketakutan. Padahal begitu jelas.

Aku terkekeh kecil. Aku dengan jahil menyeludupkan jemariku diantara lipatan itu dan menyentuh klirotis Quirima dengan telunjuk serta jempolku.

"Kau mulai basah istriku." Ujarku dengan nada jahil.

Quirima memejamkan matanya dan mendesah erotis, "Eungghhh... Lakukan saja suamiku ... Aaaakh..."

Aku mengerti dan melepaskan tanganku dari daerah kewanitaannya. Aku menyiapkan kejantananku tepat di depan kewanitaan Quirima. Wanita cantik itu memejamkan matanya erat dan mencengkram bahuku kuat-kuat. Aku menggeram rendah saat kejantananku mulai memasuki Quirima. Kejantananku serasa begitu kuat dijepit oleh otot-otot kewanitaan Quirima yang mudah-mudahan masih suci.

"Aaaakkhh... Suamiku ... Sa..sakit!" Quirima menjerit saat kejantananku mulai memenuhi dirinya secara utuh. Aku terkejut sekaligus sangat bahagia. Ternyata wanita Demon yang dulunya bengis dan simbol kejahatan ini masih suci. Aku menggeram sambil menciumi seluruh wajahnya karena teriakan kesakitan Quirima. Pada saat yang sama aku merasa kejantananku seperti terhisap ke dalam tubuh Quirima dengan kuat.

"Ughh... Ta..tahan sayang ah..." Ujarku sambil memejamkan mata. Quirima tanpa sadar mencakari bahuku dengan kukunya.

Kami terdiam dengan nafas tersenggal untuk beberapa menit. Quirima memelukku, sementara aku setia bertengger di atas tubuhnya. Kami pun saling pandang lalu saling melemparkan senyum bahagia. Aku kembali mengecupi wajahnya penuh kasih sayang dan cinta. Sungguh, aku sangat mencintainya.

Quirima mengendurkan pelukannya dan mendesah kecil, "Punyamu terlalu besar suamiku ... Dia menyakitiku ..." Desis Quirima dengan sedikit tergagap.

Aku terkekeh kecil, "Ini akan menyenangkan... Aku janji." Quirima mengangguk dan mulai memelukku lagi.

Aku mulai memaju mundurkan pinggang, membuat kejantananlu mulai keluar dan masuk ke kewanitaan Quirima dengan mudah, mengingat kewanitaan Quirima sudah basah karena ulahku. Gerakan pinggulku semakin cepat dan semakin menghentak. Desahan seksi semakin kentara terdengar. Bahkan suara kecipak basah perpaduan dua kelamin makin keras.

"Aaahmm suamiku...! Akh akh aghh...!" Tubuh Quirima tersentak-sentak tatkala aku menggenjotnya semakin cepat. Quirima menjerit seperti kesetanan akibat rasa nikmat yang menumbuk dirinya secara bertubi-tubi.

Aku menggeram berat saat otot kewanitaan Quirima mengurut kejatananku dengan cara terbaik. Aku pun menambah genjotan sembari meraup payudara yang bergoyang menggodanya sejak awal. Aku menyusu pada payudara Quirima dengan ganas sekaligus mempercepat genjotanku.

"Hemnnhh... Sayanghh... Kau sem..phit ... Aaaakh!" Geramku merasakan nikmat tiada tara.

Suara kecipak makin menggema saat cairan Quirima melumer lebih dulu dan melumasi kegiatan kami. Aku tertarik dan melihat penyatuan kami yang semakin menggila. Aku pun tersenyum bangga mendapati ada darah yang merembes di antara cairan kental Quirima.

"Kau berdarah sayang..." Aku berkata dengan lirih dan segera menatap Quirima dengan lembut.

Sementara Quirima masih memejamkan matanya erat sambil menjerit, "Aaakh ... Suamiku... jangan berhentiii...!"

Aku pun tidak berhenti, aku malah semakin bersemangat menyatukan tubuh kami. Suara benturan kulit kami terdengar nyaring di telingaku. Pinggulku masih tetap mempertahankan gerakan cepatnya. Menghisap payudara kanan dengan kuat, membuat desahan Quirima lolos keluar.

"Aahhh... Aaahhh... Aaahh..." Quirima tak dapat menahan desahanya lagi, rangsangan yang diterima tubuhnya membuatnya kalah. Sudah cukup lama vagina Quirima menerima gempuranku.

"Aahhh... Aaaku akan keluarrr... Aaaahhh..." Desah Quirima dan aku melumat kembali bibir Quirima. Tiba-tiba kedua kaki Quirima melingkar di pinggulku memaksa penisku masuk semakin dalam.

"Mmmmmmmhhh..."

Beberapa kali hentakan kuatku menyemburkan sperma bersamaan dengan Quirima mendapatkan orgasmenya. Tubuh kami berdua sama-sama bergetar nikmat saat puncak kenikmatan melanda kami. Bibirku terus melumat bibir Quirima, mengeluarkan lidahnya dan menjilati bibir Quirima. Tanpa sadar Quirima mengeluarkan lidahnya dan disambut dengan hangat lidahku.

"Mmmmmmhh...." Membuat ciuman kami semakin intens. Quirima perlahan mulai mengikuti alur ciumanku. Dua menit berlalu ciuman kami berakhir. Kami pun saling menjauhkan wajah.

"Haahh... Haahh..." Quirima masih terengah-engah.

"Tadi sangat luar biasa istriku!" Kataku dengan penisku masih tertancap di dalam vagina Quirima.

Quirima menangkup wajahku sangat mesra sambil berkata, “Suamiku adalah laki-laki pertama yang membuatku merasa sebagai wanita ... Terima kasih suamiku ...”

“Kamu memang wanita sejati, istriku ...” Kataku lalu mencium bibirnya.

Jika saja tempat kami adalah kamar, sudah sangat dipastikan aku akan ‘menghajarnya’ lagi dan lagi. Namun, kami berada di alam terbuka dan perutku terasa sangat lapar, maka kami pun menyudahi kegiatan panas kami. Aku berkelebat mencari buah-buahan dan langsung saja menyantapnya bersama Quirima. Setelah selesai makan, Quirima memutuskan untuk berendam di sungai. Sementara aku duduk di atas batu ceper sambil memperhatikan wanita cantik itu berendam dengan riangnya.

Tiba-tiba aku mendengar suara Petteri, “Dia akan berwajah cantik jika hatinya bahagia ... Jika dia marah atau sifat iblisnya keluar, wajahnya akan berubah menjadi iblis lagi. Pertahankan suasana hatinya agar tetap bahagia.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Petteri seperti itu. Ternyata aku baru tahu, wajah Quirima akan berubah sesuai dengan suasana hatinya. Tapi yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah ritual pernikahan dengan bangsa Demon? Pasti ini akan menjadi masalah bila aku mendeklarasikan berisitri dengan seorang wanita Demon. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak melakukan ritual pernikahan. Aku akan menganggap kalau aku sudah mempunyai istri. Ya, Quirima lah istriku.

“Apakah kita akan menginap di sini, istriku?” Tanyaku pada Quirima.

“Oh ... Yuk!” Quirima pun segera bangkit dan melayang ke batu ceper tempatku berada lalu memakai pakaiannya yang selembar dan transparan.

Aku pun tersenyum melihatnya yang begitu seksi memakai pakaiannya. Setelah itu, aku gendong ala bridal style dan memberinya selubung cahaya. Segera saja aku melesat meninggalkan pulau tempat kami melakukan senggama pertama. Aku menggenjot kecepatan lajuku supaya cepat sampai di daratan benua. Rasanya aku sangat bahagia saat bersamanya. Bahkan sekarang Quirima menyandarkan kepalanya ke dadaku untuk menutup matanya dan tertidur sebentar di dadaku.
Bersambung

Chapter 14 di halaman 120 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd