Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Bb M — Baby Maker (Ribak Sude Story)

Masih memakai kostum merah tadi, aku dan Pipit kembali bergumul dua kali malam itu sampai jam 2 lewat. Aku ngecrot sepuas-puasnya di témpek mungilnya dan mereguk kenikmatan bareng Pipit di kamar itu. Ia melepasku gak rela sebenarnya, terlihat dari pandangannya saat melepasku pergi dari kamar itu. Pengen rasanya aku masuk kembali dan memeluknya lagi. Memuaskannya kembali sampai ia terlelap lalu aku bisa pergi dengan tenang. Aku mengabaikan perasaan itu. Ingat perjanjian; No Baper-Baper.

Aseng: Ping

Iva: jadi bg?

Aseng: lewat mana masuknya?

Iva: lewat belakang aja. bntr Ipa bukain dulu. asiiik

Langsung kuhubungi Iva dan ia langsung ready. Ternyata ia benar-benar menungguku. Entah apa yang dilakukannya selama menunggu ini. Kemungkinan besar nonton TV atau browsing-an internet karena ia langsung cepat respon ping-ku barusan. Dari samping rumah Pipit aku beranjak ke bagian belakang. Inilah gunanya aku sering jalan-jalan bareng anak-anakku jadi aku tau persis jalan pintas lingkunganku ini. Kalo MILF lingkungan lain aku mungkin akan kesulitan tanpa observasi permulaan.

Lagi-lagi lampu belakang sudah dimatikan sang empunya rumah. Memudahkanku masuk dan mengurangi kecurigaan siapapun. Begitu masuk kututup rapat pintu dan bergerak ke depan karena ini adalah area dapur. Iva sudah menunggu di depan pintu kamarnya. Rumah ini yang paling luas adalah ruangan tamunya, dimana wayang kulit Prabu Pandu Dewanata itu berada yang terlihat jelas dari kede di samping ruangan itu. Wayang itu sekarang hanyalah sekedar wayang kulit semata saja adanya.

"Bang Aseng... Makasih yaaa... Udah mau datang malam-malam begini... Kirain gak jadi datang udah jam segini..." katanya lirih tapi dengan senyum manis khasnya. Ia hanya memakai baju kaos yang kebesaran sampai setengah pahanya. Rambutnya diikat ekor kuda agar praktis bila harus dibuka nanti.

Iva4


"Tapi aman kan, Ipa? Toni masih di jermal?" tanyaku padanya. Jangan pulak lagi enak-enak genjot biniknya, lakiknya pulang mancing. Berabe semuanya nanti.

"Aman, bang... Dia masih mancing... Tadi barusan abis chat juga... Pulangnya nanti siang bareng boat yang bawa barang-barang jermal... Lagian di tengah laut gitu kan gak bisa pulang semaunya... Aman, bang..." katanya mengacungkan dua jempolnya. "Yuk... Sini, bang..." katanya mengajakku masuk ke kamarnya lagi. Digamitnya tanganku dan memasuki kamar. Sejuk kamar ini menyambutku kembali. WELCOME TO THE JUNGLE kalo kata Guns n Roses.

"Dari mana aja abang? Kok baru jam segini datangnya?" endusnya pada rambutku. Ia duduk di pangkuanku yang mencoba menyamankan diri di atas ranjangnya yang tadi siang sudah kunodai. Tubuhnya rapat hingga aku bisa tau kalau ia tidak pakai bra di balik kaos gombrang itu, mungkin juga tak bercelana dalam.

"Baru bangun tidur... Abiis..." kataku gantung sambil memutar-mutar mataku. Ia terkikik geli karena paham. Ia mencubit dadaku karena gemas. "Biasa, kan... Namanya juga suami istri..." sambungku.

"Iyaa tau... Masih ada baunya... Ipa aja yang udah lama dianggurin Toni bertahun-tahun... Baru juga mulai sama bang Aseng tadi siang... Ipa masih kepengen... Maunya terusss..." katanya merebahkan kepalanya di leherku. Diraba-rabanya dadaku yang tadi dicubitnya. Lalu diciuminya rahangku. Pantatnya bergerak-gerak mencari posisi yang nyaman di pangkuanku karena Aseng junior mulai mengganjal.

"Nanti Toni pulang makanya diajak dulu test drive... Harusnya dia udah bisa tuh... Udah idup burungnya... Jamin pasti idup..." kataku sebenarnya menghindari ciumannya menjalar naik ke mulutku.

"Abang kok bisa gitu-gitu, sih? Kok baru sekarang bantuin Ipa? Kita kan dah lama tetanggaan, kan?" katanya tentang pembasmian genderuwo yang selama ini menyanderanya. Genderuwo yang gak rela dirinya digauli pria manapun. Sampai kehidupan pernikahan mereka menjadi hambar begini. Toni, suaminya malah lebih betah mancing sampai jauh daripada di rumah bersama istrinya yang cantik dan seksi begini. Yang harusnya dikeloni dan digasak abis-abisan seperti yang sudah kulakukan tadi siang dan nanti.

"Gak usah bahas itu... Intinya perjanjian nomor dua... Jangan membicarakan masalah ini sama orang lain... Ingat?" kataku menghentikan pertanyaannya. Untung aku sudah mengantisipasi pertanyaan ini dengan perjanjian kami. Rencana bagus, kan?

"Paham... Biar nanti kalo Ipa hamil anak bang Aseng... adik Mei-Mei... Toni gak curiga kan? Kirainnya anak dia juga..." ujar Iva merengut manja dengan pipi digembungkan. Dipeluknya perutku erat-erat.

"Yak... Seratus buat Ipa..."

"Seratus dapat apa, bang? Paling kecil itu jajanan gopek..." katanya malah terkekeh geli sendiri.

"Ish... Dasar yang punya kede..." kataku tiba-tiba malah menarik tubuhnya dengan gemes rebah ke ranjang. Ia menjerit manja. Aku langsung menyingkap kaos gombrangnya dan benar ia tak memakai apa-apa di baliknya hingga aku langsung berhadapan dengan tubuh polosnya yang sangat menggiurkan apalagi memek berbulu lebatnya tepat di depanku. Kutindih Iva dan ia menyambutku dengan tangan terbuka, malah kakinya terbuka lebih lebar.

Yang mula-mula kuterkam adalah kedua bukit manjanya. Takala satu kuremas, yang satunya masuk ke dalam mulutku. Kukenyot-kenyot getol, baik digigit pelan maupun kusedot kuat apalagi disentil lidah. Iva mendesah-desah sambil mengacak-acak rambutku. Kakinya mengalung di perutku, menekankan memeknya padaku sembari menggeol-geolkannya hingga jembut lebatnya terasa bergesekan. Tanganku yang bebas berusaha melepaskan celana yang kupakai saat ini. Iva berkarya dengan melepaskan pakaianku. Jadilah kami sudah saling berbugil ria di atas ranjang. Hanya berdua di kamar ini.

Iva sangat pengertian dalam mencari kenikmatannya, ia bahkan sudah menyiapkan dildo itu di atas meja lampu di dekat ranjang. Mungkin ia berpikir siapa tau aku akan menggunakannya lagi padanya seperti tadi siang. Belum, Pa... Aku masih mau make alatku sendiri untuk itu. Aku mengobel-ngobel memeknya sesudah menyibak jembut lebat itu. Kutik-kutik kacang itilnya sampai ia meringis-ringis keenakan. Apalagi saat jariku menerobos masuk ke dalam liang kawinnya, tubuhnya menjengit melengkung menahan nikmat. Matanya terpejam erat menikmati semua kenikmatan itu. Jariku rajin mengocok memeknya sambil bukit manjanya terus kusedot juga. Serangan di beberapa titik sensitif sekaligus tak terperi bagi Iva dan tak lama ia segera mencapai kenikmatannya.

Aseng junior kuarahkan ke bukaan memeknya yang sudah menganga pasrah karena kakinya kulebarkan tanpa bisa Iva cegah. Kepala Aseng junior masuk dengan lancar membelah rimbun vegetasi jembut lebat itu dan segera terbenam dalam kala kudorong. Kami berdua mengaduh keenakan. Apalagi Iva baru saja mendapatkan puncak orgasmenya walau hanya dengan jariku. Pelan-pelan kupompa tubuhnya walau Iva mengerang. Makin lama gerakanku bertambah cepat. "Bang... Enaak, baang... Mmm... Isep jughaa, baang... Mmm..." pintanya.

Kuturuti maunya, dan aku menggenjotnya kencang sekaligus menyedot-nyedot bukit manjanya bergantian kanan-kiri. Tak lama aku sudah merasakan bibit-bibitku menggelegak minta keluar menuju alam bebas. Ini masih terlalu cepat makanya buru-buru kucabut dan mengatur nafas. Aku kebawa nafsu jadinya malah kesusu. Tubuh Iva kugulingkan hingga ia menelungkup tanpa protes sedikitpun. Pantatnya kuangkat agar lebih tinggi, bertumpu di kedua lututnya. Aseng junior masih cenat-cenut udah mau ngecrot aja daripada-daripada, kusambar dildo di atas meja dan kumasukkan pelan-pelan pengganti sementara.

"Auuh... Baaang... Kok pake itu? Uuh..." ternyata Iva tau taktik kotorku memakai benda lain untuk memuaskannya. Sambil berdiri kukocokkan dildo itu pelan-pelan.

"Bentar aja, Paa... Ini tadi ampir keluar... Bentar ajaa..." alasanku. Kucabut dildo itu dan kucaplok gantian dengan mulutku. Lidahku menjilat lebar belahan memek merah itu dengan semi kesetanan. Kucucup-cucup kacang itilnya hingga pantat Iva meliuk-liuk seperti pohon kelapa disapu badai. Kusedot-sedot liang kawinnya sembari meremas-remas buah pantatnya yang kenyal lembut. Hidungku mengais-ngais isi belahan memek itu hingga taraf gemes. Rasa kemaluannya sampai berbekas ke otakku.

"Ooo-ohh... Oohh... Uhmm..." Iva melolong menerima serangan mulutku di tunggingan pantatnya. Aku tak jemu-jemu memakan memeknya sembari tetap mempersiapkan Aseng junior agar siap tempur lagi. Dan ini saatnya, mulutku digantikan sodokan Aseng junior kembali. "Aahh!!" erangnya merasakan Aseng junior melesak masuk tanpa tedeng aling-aling. Langsung gas gigi tinggi. Aku juga bertumpu di lututku di gaya doggy ini. Pegangan di kedua sisi pinggulnya, perutku dan pantatnya beradu tepuk. Plak plak plak bersahut-sahutan. Walau suhu dingin kamar ber-AC tetap saja kami merasa panas akibat kegiatan entot-mengentot ini. Birahi sudah semakin di ubun-ubun dan aku tak berniat menahan lagi...

"Croot crooot crooottt!" semprotan spermaku meluncur masuk dan menanamkan benihku kembali di kesempatan kedua ini. Iva masih menungging dengan bukit manjanya yang bergantungan merasakan bibit anakku memasuki tubuhnya, memenuhi rahimnya. Kusumpal memek lebatnya untuk beberapa saat sampai semua spermaku tak ada yang keluar lagi. Kurebahkan tubuhnya ke ranjang baru kucabut Aseng junior dari liang kawin becek sperma itu. Tentu saja dengan cara tradisional ini–ganjal bantal yang sudah terbukti ampuh pada istriku dan Aida.

Kami berdua berbaring berdampingan dengan nafas terengah-engah memandangi langit-langit yang berhias plafon berukir. Kepala kami bersentuhan. Tangan Iva nakal mengelus-elus Aseng junior yang beringsut mengecil malah menggeliat bangkit lagi karena sentuhan tangan lembut hangatnya. Berlepotan sperma kental dan cairan pelumasnya tak masalah baginya. "Masih banyak aja, bang...?" tanyanya pelan.

"Untuk Ipa harus dibanyakin stoknya... biar puas... kalo udah puas... hepi pasti cepat hamilnya..." bualku dan memeluk perutnya kemudian mengelus-elus perut ratanya.

"Amin..." jawabnya cepat. Kami berdua tertawa-tawa. "Bang Aseng kapan mau nambah adeknya Mei-Mei?" tanya Iva tiba-tiba.

"Mmm... Belom tau juga, Pa... Kalo cuma ngasih makan sih... bisa-lah... Tapi maunya orang tua, kan nyekolahin anak setinggi-tingginya... Kalo banyak anak gak banyak rejeki sekarang ini... Kalo jaman dulu iya-lah..." kataku sesuai pembicaraanku dengan orang rumah usai melahirkan Salwa beberapa bulan lalu. Itu masalah yang harus dibicarakan dengan serius.

"Enak ya abang sama kakak itu... Mau buat anak aja pake diskusi dulu... Gampang lagi buatnya... Kek Ipa... gak pernah diajak diskusi sama sekali... Apalagi disentuh... Hu-uh... Iri Ipa, deh..." katanya lalu mencari pembenaran dengan memelukku dan menyusupkan kepalanya ke leherku. Nafasnya terasa panas di kupingku. Tangannya masih mencengkram Aseng junior yang mulai bangun lagi karena dikocoknya. "Apa lagi dapat anak sendiri... sampe Ipa harus ngangkat Ara jadi anak..." nadanya sedih.

"Hush... Udah-udah... Ini kan kita lagi buat anak buat Ipa... sekalian enak... Jangan gitu ya, Ipa... Harus dengan suka cita... Riang gembira... Jangan pake stress-stressan... OK, Ipa cantik..." hiburku mengelus-elus rambutnya. Ia makin membenamkan mukanya di leherku. Untung belum ada isakan walau ia sedikit mellow dengan kondisinya akhir-akhir ini. "Apalagi... Toni sekarang sudah sembuh... Ipa juga gak boleh selingkuh-selingkuh lagi... Ingat janjinya, kan?" kataku menambahkan.

"Kalo sama bang Aseng boleh... Curang ih..." bisiknya tepat di kupingku lalu menjilatnya hingga aku bergidik kegelian.

"Awas ya!" balasku dengan menggelitiki iganya sampai ia menggeliat-geliat kek uget-uget nan seksi karena bugil. Ia tertawa-tawa kegelian karena aku ngotot terus menggelitikinya di situ. Ia menghindar dan memelukku sampai akhirnya entah bagaimana kami malah berciuman. Berciuman hanya saling mengulum bibir bergantian. Walau hanya sebentar tetapi rasanya sangat indah dan nyaman.

Berikutnya aku sudah mengayunkan pinggangku kembali dengan lembut dibalas dengan gerakan menyambutnya yang menjelang rojokanku hingga terasa sangat harmonis sekali. Kami berciuman pendek-pendek, sekedar patukan ringan dengan pandangan mata sayu. Terasa sangat syahdu. Tak lama Aseng junior tak kuasa lagi bertahan dan kembali menyemprotkan muatannya. Selama semburan terjadi, kami berciuman sambil bergulingan mengitari ranjang ini. Seperti sepasang ular yang bergelut saling belit. Berhenti saat tak ada lagi spermaku yang mengucur masuk. Kedutan masih terjadi, Iva menguras semuanya untuk disimpan di dalam rahimnya.

Lama kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Tak ada yang perlu disesali karena karena berdua sama-sama menginginkannya. Iva menginginkan keturunan yang lahir dari rahimnya sendiri. Aku ingin membantunya mewujudkan impiannya itu. Dan kami sama-sama menikmatinya seberapa salahpun cara ini. Iva berbaring di ranjang berbantalkan lenganku, kami memandangi plafon kamar, menembusnya ke batas imaji, melanglang buana.

"Yang tadi... yang terakhir tadi enak, bang Aseng..." kata Iva lirih. "Iva bisa merasakan semua emosi bang Aseng... Itu..." lanjutnya.

"Jangan diteruskan, Pa... Jangan... Nanti semua jadi berubah jadi mimpi buruk... Cukup diingat saja... Cukup dikenang saja... Jangan diteruskan..." potongku. Aku takut kejadian tadi akan berimplikasi kemana-mana. Melakukan ini semua sudah cukup salah. Aku seperti kehilangan waktu berharga dengan keluargaku. Terutama pada istriku yang bahkan harus curi-curi waktu untuk bisa bermesraan denganku. Padahal seharusnya dialah yang utama. Segala-galanya. Malah di sini aku sekarang. Bersama perempuan lain. Membagi cin.. Tidak. Bukan itu. Aku gak akan mau mengakuinya. Gak akan mau terjerumus di sana.

Iva terdiam masih berbaring berbantalkan lenganku. Hanya ada suara sepi dan hembusan blower AC yang dalam mode swing. Suara jangkrik di luar teredam baik. "Masih bisa sekali lagi... Mau... Yuk?" tawarku sedikit bangkit. Aku berusaha menatap matanya tetapi ia menghindar dengan terpejam.

"Ya..." jawabnya pendek dan hanya melebarkan kakinya agar aku bisa mudah memasukinya. Jembut lebatnya melindungi memek merahnya dengan kerimbunan vegetasi. Ia inisiatif langsung meletakkan sebuah bantal di pantatnya hingga pinggangnya sudah tinggi dari awal. Aseng junior yang belum sepenuhnya mengeras maksimal kugesek-gesekkan ke belahan merah rimbun itu untuk mendapatkan bantuan basah, agar mudah penetrasi. Kucucuk-cucukkan ngetes sudah cukupkah ia masuk. Aseng junior masuk membelah walau lemah–terpatah-patah menerobos memek Iva yang becek namun sempit. Ia melenguh pelan.

Kami bersenggama dalam diam. Hanya gerutuan kenikmatan yang terdengar beserta nafas yang berat. Iva cenderung menahan suaranya kali ini. Entah karena percakapan kami sebelumnya penyebabnya atau moodnya berubah. Diamnya perempuan itu seperti dalamnya laut. Apa artinya?

Aseng junior sudah gagah ke ukuran primanya. Dengan berani ia mengobrak-abrik memek Iva sampai ia bisa mendapatkan orgasmenya dua kali di session terakhir ini sampai akhirnya ia ngecrot untuk kesekian kalinya. Mengakhiri rangkaian kegilaanku seharian penuh. Ini kegilaan, kah? Jelas-jelas ini gila. Dari pagi sampai dini hari ini aku sampai lupa sudah berapa kali ejakulasi. Memaksa Aseng junior sampai batas maksimalnya. Ia sanggup dan terus meradang. Dari Dani, Iva, Aida, istri sendiri, Pipit, dan kembali Iva lagi. Apa memang ini kemampuanku yang tak pernah kuketahui? Jangan-jangan abis ini aku tepar? Jangan sampe. Amit-amit jabang bayi.

Iva menemaniku ke pintu belakang untuk keluar dari rumahnya dengan kembali memakai kaos kebesaran itu. Dipeluknya aku dari belakang sebentar lalu melepasku pergi tanpa kata-kata. Aku meninggalkan pintu gelap itu untuk menjauh dari sana. Tak lama lampunya menyala dan aku sudah menelusuri gang sepi ini. Lampu penerangan di tiang listrik menciptakan bayangan-bayangan abstrak di sekitar pendarnya.

Rumahku sepi dan damai di kejauhan sana sudah terlihat. Bayangan gelap pohon mangga golek yang sedang belajar berbuah menandai posisi rumahku. Tepat 5 tahun ia mulai berbunga walau banyak yang gugur. Kutanam dari biji dan dirawat dengan baik hingga ia mulai berbakti. Ada banyak tanaman-tanaman lain yang segaja kutanam di sekitar halamanku. Bunga-bungaan, tanaman hias, tanaman herbal dan terutama tanaman pelindung. Apa itu tanaman pelindung? Yang biasa itu adalah sereh. Keuntungan normalnya adalah menjauhkan nyamuk dan tikus karena aromanya yang tajam. Bisa dipakai untuk bumbu masakan juga. Juga aneka jeruk seperti nipis, kasturi dan purut. Aroma daunnya sangat segar bagi kita tapi menyengat bagi 'mereka'. Yang paling super adalah duo bidara dan kelor. Kelor kutanam di empat sudut tanahku, tumbuh subur dan berdaun lebat. 'Mereka' enggan menyerang...

Kuperiksa lagi pintu dan jendela sudah pada terkunci dengan baik atau belum. Mematikan lampu yang tak perlu untuk menghemat listrik. Lalu duduk di tengah kamar ini. Ini seharusnya kamar anak tetapi kedua anakku masih tidur bersama kami jadinya kamar ini hanya jadi gudang penyimpanan mainan mereka. Berkonsentrasi...

Aku sudah memasuki daerah kekuasaan ke-Menggala-anku. Sebuah daerah yang menurutku cukup merepresentasikan diriku sebagai seorang Menggala yang banyak—bahkan mayoritas memakai dedaunan sebagai senjata. Ada beberapa pohon besar yang tumbuh subur di sini, di daerah berbentuk taman luas–ada sekitar 5 hektar yang selalu diterangi sinar matahari semu karena selalu dalam keadaan terang benderang. Tak ada matahari atau benda angkasa apapun terlihat di sini karena ini sejatinya adalah dimensi yang sama sekali berbeda dengan realitas.

Kami; aku, Iyon dan Kojek pernah diberitau kalau menilai golongan Menggala itu dari keadaan daerah kekuasaanya. Semakin terang daerah itu, semakin terang juga sifat dan tentu juga kebaikannya. Dan sebaliknya bila semakin gelap, maka semakin gelaplah sifatnya. Semacam itu. Liat kan? Dari beberapa Menggala yang sudah kulawan sebelumnya di kisah ini, rata-rata daerah kekuasaannya gelap gulita karena mereka mempraktekkan kemampuan mereka untuk kejahatan. Santet, teluh dan guna-guna beserta kroco-kroconya.

Eniwei, kembali ke pohon lagi, aku menuju sepasang cemara yang kutambatkan sebuah tempat tidur gantung; hammock buatan dari jalinan akar-akaran dan beralaskan rumput kering. Aku duduk dan berayun pelan memandangi taman ajaib yang semakin hari semakin bertambah koleksi tanamannya. Perlu diketahui, aku tidak sengaja menanam semua tanaman ini melainkan otomatis tumbuh begitu aku memakainya di luaran sana kala bertarung atau memanfaatkannya. Contohnya tanaman lidah mertua yang kuambil dari taman hotel saat menghajar siluman pohon beringin waktu itu. Atau juga tanaman Peace Lily untuk mencincang jerangkong yang merasuki Dani di kantor. Juga lili paris yang kupetik dari teras rumah Aida menjadi pisau terbang. Lalu pohon pisang kepok yang kupakai membabat dukun di hutan bambu, semua itu lalu berpindah dan tumbuh di sini. Menjadi koleksi terbaruku. Seolah menjadi pengingat kalau aku pernah menggunakannya saat bertarung.

Jadi aku memandangi tanaman-tanaman itu dan ingat semua pertarungan yang pernah kulakukan memanfaatkan jasa dedaunannya. Dari pertama hingga terakhir, semua tumbuh subur disini. Dedaunan hijau, kekuningan, merah, ungu bercampur dengan meriahnya warna-warni bunga beserta buahnya. Seperti surga. Yaa... Ada banyak buah di sini. Tapi jangan coba-coba memakannya, sesegar apapun bentuk atau aromanya karena yang kubilang tadi di atas, ini taman ajaib. Tentunya bunga dan buahnya juga ajaib. Bukan untuk dimakan, bukan pula untuk obat. Bukan juga beracun atau karena enggak enak. Tapi lebih ke efek yang gak menyenangkan untuk beberapa waktu. Pemakannya akan terbuka mata bathinnya dan dapat melihat semua yang tak ingin dilihatnya. Kebayang kan kalau kamu ngeliat bentuk sejati dari mahluk-mahluk tak kasat mata itu. Berani mencoba?

Gemericik air yang mengalir dari mata air melenakan mataku yang sudah rebahan di hammock ini. Walaupun hanya beralaskan rumput dan daun kering, sangat nyaman untuk istirahat menenangkan jiwa. Sungai kecil ini berbentuk mengitari taman ini membagi nutrisinya bagi vegetasi yang tumbuh subur. Aku pernah berteori sendiri kalau aliran sungai kecil itu adalah representasi aliran lini milikku sendiri. Dan tumbuhan-tumbuhan ini sebagai hasil pencapaianku.

Tepat di samping hammock ini adalah sebuah pohon terbesar dan tertinggi di sini, sebuah tanaman dengan nama latin Garcinia atroviridis atau pohon Asam Glugur. Aku diberitau kalau umurnya seumuran denganku karena ia mulai berkecambah saat aku lahir ke dunia ini. Di dahan terbesarnya, di sela-sela buahnya yang kuning, bertengger sepasang bakiak Bulan Pencak bercat merah dengan tempelan stiker norak old skool semacam Nirvana dan Bob Marley yang kami beli rame-rame di pelataran stadion Teladan Medan sepulang sekolah. Sekolah kami tak jauh di belakang stadion itu.

Terlelap dan bermimpi tentang hari-hariku saat remaja dulu. Bersama teman-temanku. Melalui segala macam suka duka. Menjelang mimpi dan cita-cita dari anak-anak muda yang labil dan penuh semangat. Kami bersama-sama melakukan banyak hal. Ada hal baik. Ada hal buruk. Nakal dan juga brengsek. Semua membentuk pribadi kami saat ini.

-----------------------------------------------------------------------------
Minggu pagi, bangun pagi sarapan dan leyeh-leyeh menikmati hari libur yang berharga dan dirusak oleh suara dering telepon dari HP-ku.

"Haa... Hamik su, ci?" (Haa... Ada apa, kak?) angkatku begitu tau siapa yang nelpon.

"Seng lu orang ingat yang kita mau pergi ke pekong di Pangkalan Brandan itu?" tanya kak Sandra tembak langsung aja.

"Ya ingat... Kenapa rupanya, kak?" tanyaku lagi. Kalau tidak salah sekitar Jumat atau Sabtu ini kami kesana karena mau mengurus sesuatu tentang hoki perusahaan di salah satu pekong di sana.

"Dipercepat... Disuruh si bos... Lu ada acara gak ini hari?" sergahnya kembali tembak langsung.

"Hah? Hari ini, kak? Gak salah?" kagetku. Hari Minggu begini harusnya hanya quality time untuk keluarga.

"Iyah... Kalo sesuai rencana Jumat ato Sabtu takutnya kita sibuk... Abisan harus kita berdua yang pergi ke sana langsung... Yang handle pabrik siapa? Tiwi?" kata kak Sandra lagi ada benarnya. "Ato lu bawa anak bini lu sekalian... Anggap aja jalan-jalan..." sambungnya.

"Tunggu bentar-ya, kak... Kutanya binikku dulu..." jawabku lemes dan nge-hold telponnya dan beralih pada istriku yang melipat keningnya melihat percakapan barusan. "Mah...?"

"Kenapa?" tanyanya dengan muka masam. Padahal kami tadi sedang merencanakan sesuatu untuk pergi jalan-jalan kemana gitu di hari libur begini. Melanjutkan jalan-jalan tadi malam.

Kuceritakan apa yang terjadi beserta situasinya dan juga urusan mendadak yang sangat super dadakan ini. Walau ia berat, tapi ia tidak bisa berbuat banyak karena ia paham posisiku di pekerjaan itu. Sudah menjadi tugas dan tanggung jawabku walau sudah di luar jam kerja. Buyar sudah rencana yang sudah kami bicarakan tadi dan aku memberitau kak Sandra kalo aku bisa berangkat dengannya untuk urusan mendadak ini. Ia ternyata sudah sangat yakin kalo aku bisa berangkat dan ia langsung jalan untuk menjemputku di rumah. Keluargaku gak ikut, terutama istriku. Aku paham alasannya.

Sekitar 1 jam kemudian mobil kak Sandra sudah terparkir di halaman rumahku.

"Kak... Mobil baru lagi nih? Wah..." kataku mematut-matut mobil mentereng berwarna hitam mengkilat berjuluk Pajero itu. Gagah bener nih mobil.

Sandra



"Iyaa... baru dibeliin ko Amek buat wa... Biar wa gak merepet (nyinyir) aja kek radio rusak... Sogokan tuh ceritanya..." kata kak Sandra yang baru keluar dari pintu supir dan menenteng tasnya. Kak Sandra seperti biasa hanya berdandan tipis seperti harian di pabrik. Hanya saja kali ini ia memakai rok span mencapai lutut.

Kak Sandra menyapa istriku dan anak-anakku terutama Salwa yang digendongnya sebentar. Kak Sandra bahkan tak segan nyawer kedua anakku dengan dua lembar duit merah masing-masing karena tau kalo waktu berharga mereka bersamaku terganggu karena dirinya juga. Diciuminya Salwa dengan gemes dan memuji-muji keimutannya setinggi langit. Kak Sandra juga menceritakan apa yang diperintahkan bos pada istriku dan minta-minta maaf karena ini kejadiannya sungguh mendadak.

Singkat cerita, kami sudah ada di jalan menuju tujuan kami ke Pangkalan Brandan. Kota kecil ini ada dekat perbatasan dengan provinsi Aceh. Pangkalan Brandan mempunyai sejarah sebagai lokasi sumur minyak pertama di Indonesia dan kedua di dunia. Mulai dieksploitasi sejak tahun 1892 dan berlangsung sampai sekarang. Dari Medan kami menuju Binjai terlebih dahulu lalu melanjutkan ke daerah Langkat dan lanjut terus ke Utara. Aku yang nyetir dan kak Sandra berceloteh di sampingku.

"Mangkin cantik wa liat istri lu... Lu sering selingkuh, ya?" tanyanya ngawur.

"Lah.. Apa hubungannya istrinya awak tambah cantik karena awak selingkuh? Tah hapa-hapa kakak ni-la ngomongnya..." jawabku sambil tetap konsentrasi ke jalan. Di depanku ada mamak-mamak naik metik gak pake helm dan gamis berkibar-kibar tinggi sampe BH-nya keliatan di belakang.

"Karna suaminya selingkuhlah mangkanya istri nyoba mempercantik diri... supaya gak kalah sama selingkuhanmu..." teori ngawur darimana di dapatnya itu. Dari apek-apek sama encim-encimnya kali ya?

"Ah... Nyeritain diri sendiri-nya kakak ini... Ko Amek banyakan selingkuh mangkanya kakak rajin perawatan sampe tipis tuh barang..." kataku balik mengolok-olok dirinya. Aku tau semua masalahnya luar dalam. Trus berkendara dengan kecepatan menengah karena memang gak buru-buru. Lagian ini masih pagi.

"Cibay-lu... Sok tau lu tipis barang wa tipis... Tebel barang wa tau lu? Segini..." katanya memperagakan membentuk cembung dengan kelima jari tangannya disatukan mengumpamakan bentuk tebal kemaluannya. "Makanya Amek tergila-gila ama wa... Tau lu..." ceplas-ceplos kak Sandra. Ini enaknya ngobrol sama perempuan satu ini karena mulutnya ember kalo udah ngomongin masalah kek gini.

"Kulitnya kak tipis... Bukan cepet-nya... Ngeres kali kakak..." kataku. (Di bahasa Hokkian seharusnya cipet, yang artinya vagina. Tetapi di bahasa pasaran Medan sering menjadi 'cepet' dan dipakai rata orang kebanyakan. Terkadang menjadi lepet juga). Kak Sandra memukul lenganku kuat-kuat karena tengsin kukelakari sedemikian rupa.

"Ish... KDRT nih kakak... Sakit tau!" aduhku mengelus lenganku yang baru ditonjoknya. Sekuat tenaganya ia memukuli tanganku

"Mampus lu... Lagian lu bukan misua wa aja... Ha ha ha..." lanjutnya malah tertawa-tawa. Malah nambah nyubit lagi. Tambah sakit, cibay!

Pekong yang kami tuju ada di pinggiran kota Pangkalan Brandan. Sebenarnya yang rutin kemari adalah bos besar kami, sang komisaris utama. Karena dia yang paling fanatik terhadap hal-hal seperti ini. Dia rutin datang setahun sekali walau ia tidak lagi tinggal di Indonesia. Pak Effendi atau lebih sering dipanggil pak Asui sudah jadi warga negara Singapur. Ia punya beberapa usaha lain di sana-sini. Perusahaan ini dipimpin sekenanya oleh adiknya, pak Bustami atau pak Atam karena yang banyak menjalankan roda kepemimpinan adalah kak Sandra ini. Dia cuma ACC aja di keputusan akhir.

Nah pak Asui tahun ini berhalangan hadir untuk meramalkan peruntungan perusahaan kami ini dan mendelegasikannya pada kami berdua yang dianggapnya sudah cukup memadai lagi mewakili. Kak Sandra yang lebih logis sebenarnya tidak terlalu percaya dengan metode seperti ini karena sering tidak terbukti benar. Malah sering ia yang harus pontang-panting berpikir keras untuk kemajuan perusahaan. Beberapa terobosan dilakukannya agar membuka peluang-peluang baru di manajemen atau juga pemasaran.

Pekong ini untuk beribadah ummat beragama Konghucu, tetapi kami kemari bukan untuk beribadah melainkan menemui salah satu penghuni pekong ini yang terkenal di kalangannya sebagai ahli meramal. Ini kali kedua aku ikut kemari. Pertama kalinya hanya menemani saja dan tak banyak andil. Kali aku disertakan juga atas permintaan kak Sandra pada pak Asui.

Aroma dupa hio memenuhi tempat yang didominasi warna merah dan emas. Ada banyak patung-patung Dewa yang mereka sakralkan di tempat ini dan yang paling utama adalah Dewa Kera Emas. Bagi mereka yang percaya, Dewa ini dapat memberikan keuntungan materil yang melimpah. Karena itu banyak pengusaha yang rajin berdoa dan berderma di sini untuk mengalap berkah.

Kak Sandra mengutarakan niatnya dan juga menyampaikan salam dari pak Asui yang berhalangan hadir kali ini. Ia juga menyampaikan derma yang dibawanya atas nama pak Asui. Aku gak bisa cerita banyak tentang semua prosesinya karena takut menyinggung para Dewa-Dewa yang ada di sini. Kenapa? Karena kalo aku memakai mata bathin, aku melihat banyak sekali 'mereka' berkeliaran di sekitar sini. Aku paham apa mereka itu dan paham juga kenapa mereka berada disini.

Seorang medium kerasukan sang Dewa Kera Emas setelah melakukan beberapa komunikasi. Medium inilah yang paling terkenal dan merupakan pendeta utama yang sering melayani berbagai konsultasi. Ia memakai semacam busana keagamaan kebesarannya untuk dirasuki oleh entitas ini. Untuk menemui sang Dewa Kera Emas inilah kami ada di sini sekarang. Tidak banyak orang yang ada di ruangan yang seakan menjadi sempit karena gerakan liar sang Dewa Kera Emas yang urakan. Mereka percaya kalau dewa ini adalah Kera Sakti yang terkenal di cerita yang menemani gurunya mencari kitab suci ke Barat. Tau sendiri kan gimana urakan dan lasak (gak bisa diam)-nya seekor kera, lompat sana-lompat sini, garuk-garuk dan bermacam tingkah lainnya.

Seorang pria lain dengan pakaian yang senada dengannya melakukan dialog untuk menyampaikan maksud kedatangan kami. Semua itu dilakukan dalam bahasa Mandarin yang blas aku gak paham sama sekali. Aku hanya membayangkan sedang nonton film kungfu jadul aja jadinya mendengar tanya jawab mereka. Kak Sandra yang otomatis paling banyak berbicara karena ia bisa bahasa Mandarin dan ia berkomunikasi intens dengan sang Dewa Kera Emas itu. Kebanyakan tentang peruntungan perusahaan setahun ke depan.

Beberapa kali kak Sandra melirikku untuk mencari dukungan moril dan kekuatan psikis karena aku paham ia tertekan di depan entitas yang sedang merasuki medium pria ini. Aku hanya menepuk pelan bahunya, memberinya dukungan; aku menjagamu, kak. Aman. Begitu kira-kira yang kumaksud padanya tanpa kata.

Yang sempat mengagetkan, adalah sekali sang medium menyentuh perut kak Sandra dan ia terlonjak—melompat mundur naik ke sebuah meja yang dipenuhi mangkok hio dan keranjang buah persembahan, sehingga ambyar berantakan. Beberapa orang mendekati sang dewa dan memeganginya agar tidak terjatuh dari meja. Medium itu memandangi dan menunjukku berkali-kali dalam bahasa yang tak kupaham. Melompat ringan, bergulingan lalu mengutip sebuah jeruk yang luput dari pungutan akibat insiden barusan. Diciumnya sebentar lalu dilemparnya tiba-tiba padaku.

Tap! Aku menangkap jeruk itu dengan sigap. Mata semua orang yang hadir di ruangan ini menatapku takjub sampai mengalihkan perhatian mereka dari sang Dewa Kera Emas yang terkulai lemas di lantai. Kiranya sang entitas sudah keluar dari tubuhnya. Tak merasuki lagi. Pasti tubuhnya lemas setelah prosesi barusan. Tapi karena ia rutin melakukan ini, daya tahan tubuhnya sudah cukup kuat.

Juru dialog meminta jeruk yang sudah dilemparkan tadi dan kuserahkan. Jeruk mandarin berkulit tebal itu lalu dibelah dan ditengah ruas daging buahnya ada lipatan kertas kuning, dilipat sampai kecil seukuran duit logam seratus perak. Kami menunggu sampai sang medium pulih kembali untuk menyerahkan kertas itu padanya untuk dianalisa. Selama prosesi tadi, kak Sandra terus merekam dengan HP-nya. Ini berguna untuk laporan kepada bos agar ia juga bisa melihatnya nanti. Karena ini menyangkut masa depan investasinya di perusahaan ini.

"Tadi kenapa, kak?" tanyaku pada kak Sandra sambil bisik-bisik. "Dewa-nya marah sama awak, ya? Sampe dilempar gitu?"

"Bukaan... Memang gitu caranya... Kalo dia yakin... dia lempar kek tadi... Ada juga yang dikasih pelan-pelan... Ada yang diletakkan gitu aja di lantai... Macam-macam... Pokoknya kertas di dalam jeruk tadi adalah isi ramalannya... Lu liat kan ada kertas di dalam jeruk tadi... Asli itu gak boong..." bisik kak Sandra juga ke arah kupingku. Jadi kami ngomong pelan-pelan, dari kuping ke kuping. "Lu dikiranya misua wa... Hi hi hi..."

"Ah... Yang boneng, kak... Kakak berjanda aja..." kataku menanggapinya. Alhasil lenganku dicubitnya lagi sampe aku meringis.

Beberapa saat kami menunggu sampai beliau–sang medium benar-benar pulih, aku yakin kepalanya pusing kek abis tenggen tuak satu pakter dan badannya pegel kek dihajar satu kampung. Tapi ia sudah terbiasa begini dan ia bukan orang biasa juga. Dan kami berkumpul di belakang pekong, ada halaman luas yang dipakai untuk melatih barongsai atau kegiatan lain. Ada meja dan kursi lipat di sini. Kami disuguhi minuman dan pengganan kecil. Hanya kami bertiga yang duduk di sini, tanpa orang lain sehingga lebih privasi.

Untunglah kali ini, semua ucapannya dituturkan dalam bahasa Indonesia jadi aku ngerti seluruh perkataannya. "... perusahaan kalian akan dihadapkan pada pilihan sulit... Ada orang penting yang terpaksa harus meninggalkan posisinya karena disebabkan suatu masalah yang juga penting baginya... Tetapi penggantinya juga tidak masalah... Hanya saja karena ia masih baru tentu saja perlu penyesuaian... Ke depannya perusahaan akan lebih bagus-loh... Cuan bagus akan datang sendirinya karena derma-derma yang sudah perusahaan berikan... Apalagi doa banyak orang membantu itu semua... Ini pastinya para karyawan yang hidupnya bergantung pada hoki perusahaan juga..." secara umum beliau memberi arahan tentang prospek perusahaan setahun mendatang setelah membaca kertas kuning yang tadinya ada di dalam jeruk. Cukup baik. Ini pasti yang ingin didengar pak Asui. Lagi-lagi kak Sandra merekamnya.

"Khusus untuk A Fan (Sandra)... Masalah kamu sebenarnya mudah saya liat... Suami kamu ini tentunya bisa memberi keturunan yang A Fan inginkan... Dia sehat... kuat dan sangat subur... Dia bisa menyembuhkanmu... Saya liat dia bisa menyembuhkanmu... Benar, kan begitu?" tanya sang medium tiba-tiba padaku.

"Sori, koh... Awak bukan suaminya... Saya cuma nemanin aja ke pekong ini..." kataku cengengesan sambil garuk-garuk belakang kepala.

"Iya, koh... Suami saya Amek yang bulan kemarin kemari itu-loh..." kata kak Sandra menimpali juga cengengesan malu karena dikira membawa suami baru.

"Ooh... Masih yang itu suami kamu... Saya kira dah ganti... Makanya saya heran kamu bawa laki-laki ini... He he he..." katanya dengan sedikit bercanda. Banyak keknya pasien beliau ini sampe dia tidak hapal detil tertentu dari pasiennya. "Minta dia untuk menghamilimu... Dia bisa... Kalo gak mau paksa... Wa jamin... Lu gak usah datang mari lagi kalo wa boong..." katanya tiba-tiba. Matanya terpejam, beda dari beberapa saat sebelumnya.

Sontak kami berdua kaget mendengarnya. Kenapa tiba-tiba suaranya berubah menjadi suara Dewa Kera Emas lagi dan melontarkan kata-kata mengejutkan itu. Dan dalam bahasa Indonesia pulak laginya. Kami berdua pandang-pandangan gak ngerti. Ia tiba-tiba dirasuki dewa itu lagi tanpa ada komunikasi sebelumnya. Dewa Kera Emas membajak kesadarannya hanya sebentar saja dan beliau kembali ke dirinya semula. Dan ia tak sadar itu.

"Coba saya hitung keberuntungan kamu, Fan... Mm..." katanya malah sibuk membuka-buka buku catatannya yang lumayan tebal. Ia lumayan sistemik tentang pasiennya, dicatat data-datanya yang bisa diperiksa sewaktu-waktu. "Kamu shio Kerbau air yang menurut hitungan saya sangat cocok dengan shio Ular api... Suami kamu, Amek bukan shio Ular, kan? Dia shio Anjing besi..."

"Dia ini shio Ular, koh..." potong kak Sandra menunjukku. Beliau menatap kak Sandra sebentar lalu beralih padaku. Lalu matanya terpejam lagi.

"Benar, kan?... Dia shio Ular api yang cocok pas denganmu... Paksa dia untuk menghamili lu kalo nolak... Selamat berjuang..."

Kembali kami berpandangan heran akan situasi membingungkan ini. Beliau, sang medium kembali membuka mata dan sadar. Tapi tak tau kalau entitas tadi kembali membajak tubuhnya dan menjejali kami dengan informasi gila tadi. Dewa Kera Emas mengambil alih tubuhnya hanya sekonyong-konyong saja dan langsung pergi seperti ada dua kepribadian di dalam dirinya yang bisa muncul sewaktu-waktu.

"... kamu yang Shio Kerbau air akan menenggelamkan Anjing besi yang tak pandai berenang ini... Saya gak nyarankan hal yang tak pantas... tapi sementara ini dalam hal bisnis atau keturunan... dia partner yang tepat untukmu..." tutur beliau hati-hati. Menjaga kata-katanya agar tidak disalah artikan. Ia lalu menuturkan beberapa nasehat lainnya sesuai dengan keilmuannya. Seperti tentang kesehatan dan juga hubungan dengan orang tua.

-------------------------------------------------------------------------------
"Apa pendapat lu?" tanya kak Sandra serius. Kami sedang di sebuah restoran kecil di tengah kota Pangkalan Brandan. Ia biasa kemari sepulang konsultasi dari pekong tadi. Restoran ini sepi dan kami memilih meja jauh terpencil di sudut sana agar tak terganggu apapun.

"Payah cakap awak... Gak ngerti aku, kak..." jawabku bingung. Kami sedang membicarakan apa yang disampaikan Dewa Kera Emas tentang kondisinya. Aku tak berani menatap wajahnya. Aku selalu menganggapnya seperti kakakku sendiri dalam bergaul, apalagi dia seumuran dan memang teman kakakku; kak Dedek. Seorang pemimpin yang kusegani dalam organisasi perusahaan kami. Dia yang mengangkat derajatku hingga aku jadi sedemikian ini dalam karier. Aku dulu hanyalah seorang kenek tukang cuci AC selepas tamat SMA. Sepupuku yang punya usaha servis dan cuci AC, memperkerjakanku. Kak Sandra mengenaliku saat aku sedang bekerja membersihkan AC di pabrik ini, sebagai adik temannya. Dia duluan yang mengenaliku, aku tidak. Diajaknya aku bekerja di pabrik ini mulai dari nol. Disuruhnya aku les komputer sampai mahir karena dia akan menaikkan jabatanku yang awalnya hanya bagian lapangan ke office. Meningkat terus seiring waktu sampai sekarang.

"Lu mau dengar rencana-rencana hidup wa, gak?" katanya setelah menyeruput es teh manis miliknya. Aku beralih menatapnya sebentar tetapi sedikit menunduk. "Wa gak selamanya mau terus di pabrik itu walau sudah setinggi ini jabatan wa... Wa yakin entar-entar lagi juga koh Asui bakalan nendang tuh adiknya koh Atam yang gak becus jadi direktur... trus wa yang gantiin dia... Tinggal nunggu waktu aja itu... Tapi tetap bakal wa tinggalin ini semua... Wa tinggalin ini semua kalau wa udah punya anak... Anak yang gak pernah diberikan Amek sama wa... Lu tau cerita seterusnya..." tutur kak Sandra serius seperti biasa kala kami sedang bekerja. Tapi kami sedang tidak bekerja dan itu terdengar sangat menegangkan.

"Kenapa batasnya sampai kalau sudah punya anak?... Anggap aja lu nanya gitu... Karena wa merasa belum jadi orang yang sempurna... Manusia yang sempurna... Perempuan yang sempurna... Lu tau wa gimana... Wa dah pernah cerita... Wa dari esde, esempe, esema... wa selalu rangking satu... Kuliah IP wa 3 koma 98... Wa lulus cum laude... Wa kerja sampe jadi Factory Manager sekarang... Wa gak sempurna apa lagi kata orang idup wa... Kata wa... 'wa gak sempurna'... Wa belum bisa hamil dan melahirkan... Karena itu wa belum sempurna..." katanya dengan sistematis, step by step, lugas.

"Tapi kenapa harus resign kalo dah punya anak?" tanyaku mulai tertarik dengan jalan pikirannya. Gak semua perempuan bisa berpikir seperti ini.

"Wa jabanin apa maunya si Amek... Mau dia punya gundik sampe berapa juga wa ikutin maunya... Tapi satu... Biayain wa dan anak wa... Wa mau didik anak wa jadi orang yang sukses seperti apa yang wa capai sekarang... Itu baru orang yang sempurna... Dalam kasus wa... perempuan yang sempurna... Gak usah banyak cingcong deh... Perempuan itu kodratnya di rumah ngasuh anak sama ngurus laki... wa paham itu... Trus kalau wa gak punya anak ama laki wa ntah dimana mending wa kerja, kan?" rentetan kata-katanya terdengar menggebu-gebu khas kak Sandra.

"Iya, sih..." komentarku pendek saja. Ada benarnya pendapatnya barusan.

"Jadi... lu hamilin wa... Wa kasih sama lu tuh Pajero... Trus nanti wa resign... wa rekomendasi'in lu buat gantiin wa sama koh Asui..." katanya mantap menatapku tajam. Serius. Petir meledak di dalam kepalaku.
Tunggu EksekusiEksekusi Ka
 
Paten kali lah bang aseng ini, dapet cepet baru lagi

Thanks updatenya suhu TS

:pandapeace:
sori baru bales comment hari ini.
makasih atensinya
Kirain tadi aseng mau bertarung ama dewa kera emas..ndak taunya malah dewa kera emas malah nyuruh sandra minta aseng bikin anak..mo dikasih pajero lagi..

Makasih superupdatenya suhu
:ampun:
makasih kembali
Dapet job lagi da Aseng rupanya....
Makasi apdetnya suhu.....
tenkyu juga
mantap dapet jabatan baru dapet mobil baru dapet memek baru lagi

sikat bang aseng hahha
sikaaat
hidup aseng...dapat pajero dapat jabatan mantap dah
semua pada senada ya... enak bener idup Aseng
Demen banget ane.. sama Iva.. jembi nya itu lohh 🤪👍
lebat n panjang...
Jaga kesehatan bang Aseng, buang tai macan kebanyakan enga baik juga untuk kesehatan. 🤪👍
Aseng banyak podingnya kata orang Medan
beruntung kali si aseng, kemarin udah dapet enak2 dapet 100jt, sekarang dapet enak2 lagi masih dapet pakjero sama kenaikan jabatan :semangat:
ini lebih banyak dari yg kemaren itu yaa... Pajero baru dah berapa harganya... plus jabatan lagi.
Wah bakal untung lagi si Aseng
wah enyak enyak dapat cepet dan duet
Murah rasaki ajo... Dpek cipet perei. Dpk pitih. Dpek lo pajero ciek.... Kq plang k toboh japuik wak k pauh kamba yo jo. Pai raun jo oto baru🤭🤭🤭🤭🤭
beko Aseng ka pulang kampuang ko mah kabaralek adiaknyo. Ba anak daro di Toboh
Anjir, ngentot plus ngebuntingin dapet Pajero sama naik jabatan?
Duh, nikmat mana lagi yang Aseng dustakan
🤣
Aseng selalu bersukur bro.
Updet siang ..
Trimo ksh bnyk Ajo @Ryuzaziken.
Baru dicaliak Balasan Ajo.kironyo la Lanjuik lo bliek.
Jatah kak Sandra slnjuiknyo ko ,Bahenol,Padek,GOSU.
tambah marasai Aseng lai ko.

Lanjuiknyo jan lamo2 Jo
Sx lai trimo ksh Lnjuiknyo jo.
Sihaik tarui andaknyo.

:beer: :beer: :beer:
mokasih dunsanak. lai banyak padusi mandaket ko Aseng ko ma. Ntah bara lai pulo alun ditulih. Kok ditunggu jadi?
Sikat Ci Sandra Seng, gaspoolll
gasss
 
Wah, dapat pasien baru. Harusnya buka klinik spesialis menghamili :pandaketawa:
kalo gitu enak di binor gak enak di para lakinya. Bisa digang bang Aseng sama para laki2 (sensor)
Mulai asik nih ceritanya.. Otak dan sperma bekerja dengan sempurna😄😄
kerja sama Aseng dan Aseng juniot
Wah, kira2 harus hajar siluman yang bikin Sandra tidak bisa hamil gak ya?

Asyik nih perkembangan ceritanya :mantap:
nantikan terus
Hajar seng
hajar bleh
Ketemu aja proyek buat anak. Aseng-aseng... Dibikin bisnis, kayaknya si aseng makin sejahtera
Aseng diam2 aja uda begini lucky apalagi kalo dipromosiin, kalah tuh Neng Tinampi itu
Ma cibay, lu mau kasih pajelo.
siapa yang nolak blo dikasih cepet ama pajelo
Saran ciek Ajo @Ryuzaziken.
Kok dibuek Indek nyo iko Carito,rasonyo labiah rancak jo sanang baconyo jo.
Saran yo jo.

🙏 :beer:
saran ditampuang. kok ado lai waktu sangang yo dunsanak
Terima kasih updetenya suhu @RyuzakiKen
Sehat selalu,,
tenkyu
dasar penjantan..
:kangen: :kangen: :kangen: :kangen: :kangen: :kangen:
dasar Aseng
Ee busyeeettt....Sekarang malah kak Sandra ikut2an minta dihamilin ma Aseng?? Bener2 hokinya gak ketulungan nih si Aseng sampe kak Sandra mo ngasih Pajeronya ma Aseng...

Makasih atas updatenya om @RyuzakiKen
itu lucky-nya Aseng. makasih juga atensinya.
 
pasien baru lagii... sikat lae
sikat
Makasih updatenya bang @RyuzakiKen ...
makasih juga
:ampun: :ampun: Terimakasih update nya lek.
Semakin menarik & menantang nih ceritanya. Kayak nya kedepan bakal semakin banyak konflik ya lek ? (nebak aja sih).

Ada beberapa hal yg bikin penasaran di beberapa update ceritamu, terutama yg terakhir.

1. Ciuman, rule ciuman sepertinya sdh mulai dilanggar. Menarik juga klo dapat client yg mau ciuman tapi tetap bisa nahan diri hubungan gak pake hati/perasaan, kenapa enggak (ya kan lek). Akan adakah karakter seperti ini??

2. Kedepan kayaknya akan ada layanan service jasa (buntingin binor) diluar lingkungan keseharian bang aseng (nebak aja lek).

3. Kayaknya bakalan ada konflik yang lebih besar. (Betul gak lek?).

4. Yang ini lebih ke saran sih lek.
  • Adegan service jasa buntingin binor nya sekali² pas laki nya lagi ada dirumah/ato lagi gak diluar kota (mungkin bisa lebih seru & nambah variasi).
  • Perkelahian gaib dengan orang dekat binor yg di service.
  • Perkelahian fisik tapi juga menggunakan kemampuan mangala (bisa sama org sektar kehidupan bang aseng ato org sekitar binor)
Sehat terus lek (semoga rezeki rl mu tambah lancar).
Ditunggu update selanjutnya ya lek. :ampun:
anda membaca dengan jeli pasti akan merasakannya. karena walau klaim pertama saya nulisnya asal suka hati aja, tentu akan ada konflik. ditunggu aja. Nanti jadi spoiler. Hidup itu gak selalu lurus dan mudah.
gelar tenda dulu
silahkan.
Makasih updatenya Bang Aseng, mantap ceritanya.
makasih juga atensinya
Gas bosny biar bunting
Binor semua bunting
Akhirnya dapet ci Sandra juga, walau adek maunya ci sandra ini jadi bini kedua abang aja.. ahaay ~
Adek mau dimadu, bang... Asal dia diracun... (kira-kira gitu nanti binik si Aseng ngomongnya)
Mantap kali huu
tenkyu hu
Ceritanya AWESOME bangettt,,
makasih atensinya
Ninggalin jejak dulu dah
silahkan dinikmati
 
Menang banyak ni c aseng...
Mantap suhu...salute
makasih. Aseng the Champion
Dapet mangsa lagi aceng junior
ini mangsa kakap ya
menang makin banyak ya Seng?
banyaaaaak
Walah....lelananging jagat....Raja Agung Sejagat iki...xixixi
belum selevel itu. Coba baca cerita saya sebelumnya. Lebih bombastis... fantasinya
Wiidiih.....
Pengen jadi asenglole......
impian yg ditulis menjadi cerpan ya begini ini.
Wuiiiih ... pejantan tangguh ditantangin .... sikat seng ...... two thumbs up
Sikat
Tunggu EksekusiEksekusi Ka
Kita tunggu bersama ekse-nya
Lanjut suhu
lanjut...
Dapet amoy nih
panlok first class ini
Saya mengaku kalau menunggu kelanjutan ceritanya :beer:
Saya juga mengaku menunggu waktu yang tepat untuk melanjutkannya...
Pajero bah
Ini ceritanya setting taon 2009 pertengahan, jadi Pajero-nya masih tipe lama ya...
Kirain update laeku yg ganteng ini

liat di bawah ini pengumumannya...
Wow..baru baca maraton suhu, lanjutkannnn :beer: :kretek:
kalo sesuai itungan 5 hari, dari Sabtu terakhir update... Seharusnya update berikutnya adalah besok, Rabu.
Ditungguin ya man-teman.
 
makasih. Aseng the Champion

ini mangsa kakap ya

banyaaaaak

belum selevel itu. Coba baca cerita saya sebelumnya. Lebih bombastis... fantasinya

impian yg ditulis menjadi cerpan ya begini ini.

Sikat

Kita tunggu bersama ekse-nya

lanjut...

panlok first class ini

Saya juga mengaku menunggu waktu yang tepat untuk melanjutkannya...

Ini ceritanya setting taon 2009 pertengahan, jadi Pajero-nya masih tipe lama ya...


liat di bawah ini pengumumannya...

kalo sesuai itungan 5 hari, dari Sabtu terakhir update... Seharusnya update berikutnya adalah besok, Rabu.
Ditungguin ya man-teman.
Sekarang kah ban aseng...?
 
Lanjoot seng., lancrotkan.. habiskan puki2 binor di sekitar lu..
wa siap jadi teman lu menghantam musuh yang ada di dimensi lain.. wkwkwkwkw
 
Sandra


"Jadi... lu hamilin wa... Wa kasih sama lu tuh Pajero... Trus nanti wa resign... wa rekomendasi'in lu buat gantiin wa sama koh Asui..."

"Kakak berjanda lagi-ah..." elakku mencoba menggodanya lagi.

"Wa gak bercanda... Wa serius, Seng... Lu liat muka wa ini bercanda apa enggak... Lu hamilin wa dan wa kasih semua tadi itu..." katanya menunjuk mobil Pajero yang terlihat parkir di halaman restoran sebagai bagian dari kesungguhannya. Mukanya memang serius abis. Aku hapal air mukanya. Aku bisa membedakan saat ia pura-pura serius dan serius beneran selama bertahun bergaul dengannya.

"Wa gak masalah dihamili sama lu orang... karena sebelumnya wa udah pernah nyoba sama laki-laki lain dan gak berhasil..." sambungnya.

"Masak kakak percaya sama dewa monyet tadi itu? Biasanya kakak gak percaya yang begitu-begituan..." kataku berusaha menyanggahnya. Membelokkan kesablengan rasa yakinnya ini.

"Wa gak punya jalan lain... Wa udah coba berbagai macam cara demi tujuan wa ini... Gak ada yang berhasil... Jadi wa pikir ini salah satu cara... Kalo ini juga gak berhasil... wa tetap akan mencari jalan yang lainnya... Entah apa nantinya..." katanya lalu duduk bersandar. Seorang pelayan membawakan makanan pesanan kami. Makanan itu jadinya tak membangkitkan selera di hadapan masalah seperti ini.

Aku menghamili kak Sandra seperti aku sudah menghamili Aida? Ah. Aku bahkan gak pernah berpikir ke arah sana. Saat menggauli Aida, Yuli, Pipit, Iva dan bahkan Dani, gak pernah terlintas sekalipun melakukan hal yang sama pada kak Sandra. Karena ya itu... Dia ini kakakku. Dia idolaku. Penyelamatku. Karena bantuannya aku bisa bermimpi untuk menikahi istriku sekarang. Memiliki rumah dengan anak-anak yang ganteng dan cantik di dalamnya. Tak pernah terbersit sedikitpun melakukan hal yang tak pantas dengannya—ini malah menghamilinya.

"Kok diam aja lu... Jawab, dong?" desaknya.

"Awak bingung, kak... Kakak ini... sudah kuanggap kek kakakku sendiri... Kek kak Dedek sama awak... Masak jadi gini?" jelas aku bingung setengah mampus.

"Ah... Ga usah pake alasan itu, Seng... Wa ini masih perempuan normal kan, Seng? Lu gak tertarik liat bodi wa ini? Wa liat lu sering meratiin wa kalo pake baju yang agak kebuka gitu... Lu orang ga usah boong deh..." katanya membuka rahasia. "Ato... lu gak mau karena wa chinese ya? Sering makan babi gitu... Anak lu nantinya jadi makan yang haram-haram gitu?" katanya malah ngelantur. Eh tapi iya juga.

"Kakak ntah hapa-hapa jadi ngomongnya... Awak itu bingung kenapa kakak sampe mau punya anak dari awak... Itu aja-nya... Ga osah percaya kali sama yang tadi-tadi itu... Gak ada itu semua... Bongak (bual) aja yang besar semua tadi itu..." aku malah jadi kesal berada di kondisi terjepit beberapa dimensi seperti ini. Di satu sisi aku ingin membalas budi padanya. Di sisi lain dia adalah sosok kakak yang kukagumi. Lain sisi dia juga perlu bantuan kemampuanku. Sisi sebelah sana aku mulai membayangkan tubuh telanjangnya.

"Lu dengar sendiri tadi Dewa Kera Emas tadi bilang kalo lu bisa menghamili wa... Pendeta itu juga bilang hal yang sama... Bagi wa ini pertanda baik-loh... Wa jarang yakin sampe segininya hanya karena ada dua pendapat yang sama... Tapi keduanya yakin kalau elu bisa ngehamilin wa..." kata kak Sandra keukeuh dengan kemauannya. Aku masih terdiam. Tentu berat mengabulkan keinginannya ini. Akan jadi seperti apa hubungan kami ke depannya jika aku—menghamilinya? "Lu boleh gak percaya sama omongan dua orang tadi itu... Tapi lu harus percaya sama omongan wa... Orang yang lu anggap sebagai kakak... Wa mau lu ngehamilin wa..."

Kembali diam. Bungkam. Bahkan aku diam kala ia sudah memasukkanku ke dalam sebuah kamar di hotel kecil yang asri yang ada di pinggiran kota Pangkalan Brandan ini. Ia masuk ke dalam kamar mandi, katanya mau bersih-bersih dulu. Aku duduk terpekur di atas ranjang memandangi ujung sepatuku. Di dalam kamar mandi sana terdengar cipratan-cipratan air dari kak Sandra yang pastinya sedang membersihkan apa yang perlu dibersihkan. Menyabuni apa yang perlu disabuni. Menyegarkan apa yang perlu disegarkan.

Untuk kunikmati...

Tentu aja jantungku berdegub kencang. Bergemuruh sampai terasa sakit. Jangan-jangan jantungku terganggu karena terus merasa tegang begini. Kepalaku juga sakit karena terlalu berpikir keras bagaimana cara menolaknya. Pada Aida, Yuli, Pipit, Iva dan Dani, aku memang tidak berusaha menolak mereka, menikmati malah. Tapi kasus ini berbeda. Ini kak Sandra-loh.

Saat suara pintu kamar mandi terbuka, aku melepaskan nafas yang dari tadi kutahan. Aku gak berani menoleh ke arahnya yang berjalan ke arahku. Kamar hotel ini kecil. Ada taman luas di luar sana. Ditanami berbagai tanaman-tanaman berbunga. Hotel jenis begini kebanyakan digunakan untuk mesum short-time. Lepas hasrat dan tinggal pergi. Hmm... Kak Sandra sudah dekat. Kakinya sudah terlihat di dekat kakiku. Betisnya terlihat segar karena sudah diguyur air barusan. Seluruh tubuhnya pasti juga segar.

"Seng... Siap gak siap... Here I come!" katanya tiba-tiba memberi peringatan awal dan langsung menyerang.

"Ump..." bibirku yang pertama kali dicokoknya. Ia mengangkangi kakiku, duduk di pangkuanku yang masih berpakaian lengkap, memegangi pipiku dan berusaha bringas menciumi bibirku. Dikulum-kulumnya bibir atas-bawahku bergantian. Lidahnya mencoba menerobos masuk dan aku tak berani menatapnya. Mataku terpejam. Basah lidahnya terasa menikmati mulutku. Nafasnya terasa panas. Radiasinya membuatku juga panas. Kak Sandra memelukku erat hingga terasa payudara besarnya menekan dadaku. Ia sudah tidak berpakaian sama sekali menilik rasa yang menempel di seluruh tubuhku.

Ia berusaha menindih tubuhku hingga kami berhimpitan di atas ranjang hotel ini. Kak Sandra terus menyerang bibirku dan tangannya menggerayangi badanku, berusaha melepaskan baju kaos polo yang kukenakan. Nafas kak Sandra semakin panas oleh gairahnya. Tapi itu semua tak kurasakan. Aku terus memejamkan mata.

"Hiks..." kak Sandra berhenti. Menghentikan semua serangannya dan diam menduduki perutku. Bajuku sudah terangkat sampai ke dada. Kak Sandra terisak. "Kenapa wa jadinya kek sedang memperkosa lu, Seng? Lu ga rela? Hiks..."

Aku diam tak mau membuka mataku yang artinya akan melihat tubuh telanjangnya. "Lu gak mau bantuin wa, ya?" ia masih terisak. Terasa tubuhnya berguncang karena isakan tangisnya. Kak Sandra menangis? Perempuan tangguh itu menangis. Menangis karena aku tak mau meladeni maunya? "Malang kali nasib wa, ya? Wa udah memaksakan diri merendahkan diri begini... Buka kamar di hotel begini... Buka baju semua... Lu-nya gak mau... Hiks... Tega kali lu, Seng..." katanya tambah menyedihkan isakannya. "Pathetic..." bisiknya di dalam isakannya.

Kak Sandra memeluk kedua payudaranya dengan satu tangan sedang satu tangan lainnya sedang mengelap air matanya, memandang ke samping—aku memberanikan diri mengintip, hanya dengan membuka mataku sedikit aja. Terlihat dari sela-sela bulu mataku yang juga basah. Mataku juga lembab. Bahunya berguncang-guncang karena tangis tanpa vokal. Ya dia merendahkan dirinya demi mendapatkan tujuan ini. Merendahkan dirinya di hadapanku.

"Apa wa harus memohon dan mengemis sama lu, Seng? Kalo itu yang lu minta... wa akan memohon... wa akan mengemis sama lu... Wa ikutin semua perintah lu... Apa itu yang lu mau?" tangisannya makin kuat. Pipinya basah oleh air mata. Matanya merah dan banjir air mata. Aku masih diam.

"Baik... Wa akan ngemis sama lu, Seng..." ia beranjak dan turun dari posisi duduk di perutku. Ia menuruni ranjang dan bersimpuh di lantai menghadapku yang masih berbaring di atas kasur hotel. Bimbang. Ia semakin merendahkan dirinya sampai pada taraf ini. Sampai mengemis? Aku tidak boleh membiarkan ia melakukan hal ini. Ia wanita yang terhormat di mataku. Setara dengan ibuku, para guru panutanku, wanita-wanita terhormat di seluruh dunia... Para pahlawan.

"Aseng aku meminta padamu dengan rendah hati..." ia mulai permohonannya.

"Kak Sandra... Jangan, kak!" aku cepat-cepat turun dan mencekal tangannya. Mencegahnya untuk bersimpuh begitu di lantai yang kotor. Tempatnya bukan di sana. Ia wanita yang terhormat. Perempuan terhormat. Tidak sepantasnya melakukan hal yang rendah seperti ini hanya untuk mendapatkan perhatianku.

"Wa mau mengemis sama lu, Seng... Supaya lu mau mengabulkan permohonan wa ini... Kabulkanlah... Wa mohon sekali lagi... Ini yang lu mau, kan? Lu mau wa ngemis-ngemis kek gini, kan? Wa rela melakukan ini asal lu mau ngamilin wa..." ujarnya dengan suara parau karena tangisan penuh harapan. Aku mencekal tangannya berusaha membuatnya bangkit lagi dan tidak bersimpuh, menjura mengemis. Aku gak memperhatikan tubuhnya.

"Iya, kak... Iya, kaak! Awak mau... Awak mau, kak... Jangan begini, kak... Kakak gak boleh begini, kak... Maafin awak, kak.. Maafin..." kataku memeluk tubuhnya, mengelus-elus rambutnya. Ia masih menangis dan aku menenangkannya. Ia sampai tersedu-sedu. Kami berdua duduk deprok di lantai.

--------------------------------------------------------------
"Gede juga punya lu..." pujinya saat kami duduk berdampingan di ranjang ini. Meneruskan rencana kak Sandra untuk bisa hamil dariku. Aku sudah membuka bajuku dan Aseng junior sudah menegang karena dirancapnya pelan-pelan. Celana panjangku bertumpuk di pergelangan kaki. Aku curi-curi pandang pada payudara yang menggantung besar indah di dadanya. Putingnya besar berwarna terang tetapi dengan aerola besar gelap. Kulit putih mulus panloknya sangat benderang di kamar ini plus tubuh lumayan berisinya. Binor ini lebih berumur dari padaku, seumuran Yuli.

"Punya kakak juga gede, tuh..." kataku menunjuk dengan gerakan dagu.

"Eleh... Tadi sok nolak... Ngaceng juga lu liat toket wa..." katanya tidak terisak lagi. Walau matanya masih sembab.

"Tadi kan awak merem, kak? Takut tadi ceritanya anak mudanya... Diperkosa cici-cici pajak (pasar) Petisah... Awak, kan masih ijo, kak?" candaku agar ia kembali ke mood awalnya. Tidak sedih lagi karena sempat kutolak. "Aduuh... Sakit, kak... Jangan keras-keras..." diremasnya Aseng junior dengan kuat sampai aku menjerit tadi.

"Lu sih sok jaim... Timbang disuruh bantuin mbuntingin kakaknya aja belagak gak mau... Lu kan ngerasain enak juga... Macam wa gak tau aja tingkah lu di kantor sama Dani..." tembak kak Sandra. JLEGERR!!

"Heh?" ketat langsung mukaku saat ini. Dani?

"Iya... Gak usah pake kaget gitu... Wa tau... lu masuk ruang Meeting ato gudang kira-kira 2 menit abis Dani masuk... Lu bedua keluar lagi kek gitu–ganti-gantian 1 jam kemudian... Ngapain lagi kalo gak gituan..." kata kak Sandra santuy terus merancap Aseng junior-ku pelan-pelan.

"Dari CCTV, ya?" bisikku mati kutu. Aku gak berani lagi melirik toketnya yang bergerak-gerak sesuai gerakan tangannya di Aseng junior. Ambyar ini semua. Ternyata aku dipergoki masuk ke sana oleh kak Sandra. Hanya CCTV tebakanku karena di ruangan kak Sandra sebagai Factory Manager ada monitor CCTV itu untuk memantau keseluruhan unit pabrik. Di office juga ada beberapa walau tak seketat lapangan. Itupun jarang dipantau karena jarang ada kejadian luar biasa.

"Ya... Mloohh... Enak burung-lu... Gedenya pas..." tanpa bisa kucegah lagi, kak Sandra sudah menyaplok Aseng junior dan mulai mengemutnya. Aku memundurkan tubuhku agar ia mudah mengeksplor Aseng junior. Lidahnya menari-nari gesit berputar-putar di kepala Aseng junior sampai kuyup. "Lu gak usah takut... Rahasia lu aman deh sama wa... Tadi wa kan gak pake itu buat ngancam lu..." katanya fair. Benar juga. Ia malah memilih merendahkan dirinya dengan memohon–bahkan mengemis agar ini bisa terjadi. Padahal ia bisa menggunakan skandalku dengan Dani untuk mendapatkan ini dengan mudah. Ala-ala kriminal gitu, tapi tidak dilakukannya.

"Makasih, kak..." jawabku mulai menikmati rasa enak di Aseng junior-ku yang terasa nyaman.

"Wa juga senasib sama Dani, kan? Sama-sama belum punya anak..." katanya berhenti sebentar menggelomoh Aseng junior lalu melahapnya lagi. Ditelannya seluruh batang Aseng junior semampunya–menahan nafas untuk beberapa detik lalu lepas. Lidahnya kemudian mengait batangku, menelusurinya naik turun. Aseng junior sudah kemerahan penuh dengan birahi. "Siapa tau kami berdua bisa berhasil hamil dari lu..."

"Kaakk... Enak, kak... Gitu, kak... Uhh... Mmm..." desahku tak lagi khawatir tentang masalah Dani karena kak Sandra juga sedang melakukan hal yang sama dengan kepala PPIC berhijab itu. Kepalanya naik turun cepat merancap Aseng junior dengan kekepan mulutnya ditambah kocokan tangan di bagian pangkal. Ko Amek pasti sering mendapat servis ini dan gak puas? Paok kao ko Amek.

Selagi menjilat-jilat bagian bawah batang Aseng junior, tangannya mengutik-utik kantong pelerku. Juga terusan saluran yang menuju anus. Rasanya nyaman sekali. Aku sampai mengangkat kakiku lebar agar kak Sandra bisa mengakses semuanya. Dijilat-jilatnya kemudian peler keriputku tanpa rasa jijik sedikitpun. Malah sangat menikmatinya sambil terus merancap batang Aseng junior. Dikulumnya pelan-pelan penuh penjiwaan dan kehati-hatian penuh agar tidak terasa ngilu saat bola peler itu dipermainkannya. Ia melakukannya sepenuh jiwa.

Sudah kepalang basah begini, aku juga tidak mau tanggung-tanggung. Apalagi kami berdua sudah saling berbugil ria. Dua orang dewasa yang sama-sama sudah setuju dan punya keinginan yang sama walau berbeda motif. Kak Sandra bermotifkan keturunan, aku... bermotifkan kenikmatan. Yaa... Cuma itu yang kudapat. Eh. Ada bantuan. Dengan ini aku bisa membantu kak Sandra, orang yang sudah membantuku selama ini, mendapatkan keturunan yang sangat dinantinya.

Aku harus menyentuhnya. Dengan sedikit membungkuk, aku menjangkau satu toketnya yang bergantung. Terasa lembut dan kenyal. Tak lama karena aku memasuki satu dimensi asing. Aku sudah antisipasi ini. Pastinya ada gangguan yang menyebabkan kak Sandra menjadi seperti ini. Segala macam daya upaya sudah dilakukannya agar dapat hamil dan itu semuanya selalu memakai yang terbaik. Disini masalah itu. Masalah dengan dua kaki dan dua tangan dan satu ekor panjang.

Begini ternyata bentuk aslimu. Tipuanmu tak mempan padaku. Ia berdiri di salah satu puncak bukit batu padas yang berjejer acak, menjulang menunjuk langit. Ia memegang dua buah gada di kedua tangannya. Gada besar bergerigi, pasti akan sakit sekali terkena hantaman senjata tempur andalannya. Berbeda dari pakem yang seharusnya tongkat emas yang bisa memanjang, menampakkan siapa kau sebenarnya, Dewa Kera Emas.

Menyaru dan meniru Sun Go Kong yang memakai simpai emas, siluman monyet ini terkikik-kikik mengejekku. Ia pamer kekuatan dengan berlompatan satu bukit ke bukit padas lainnya. Arena ini ternyata berbentuk lingkaran dan ia memutariku dari atas bukit itu. Aku mengancingkan kembali celana panjangku. Bakiak Bulan Pencak andalanku sudah kupakai di kedua kakiku. Siap sedia begitu ia, sang lawan mulai menyerang.

"Dewa?... Berani kali kau pakek nama Dewa di namamu... Yakin kau kekuatanmu setara Dewa? Kau hanya menipu orang-orang saja-nya..." kataku membuka dialog dengannya. "Bagus kau maen gitar aja kek Dewa Bujana itu... Pas dia jadi Dewa gitar kurasa..." kataku asal jeplak aja. Monyet itu masih pecicilan lompat sana-sini sambil garuk-garuk. Banyak kali kutunya kurasa.

"Dan kau juga gak cocok pake nama Kera... Salah itu etimologinya... Kau itu monyet bukan kera... Kera itu gak ada ekornya... Ekormu itu panjang gitu..." kataku mengikuti kemana bergerak. kearah sana aku menghadap. "Dewa Monyet Emas... Gak-gak... Dewa Monyet aja... karena senjatamu itu bukan emas... Simpai-mu juga tiruan..." kataku mencoba menarik perhatiannya. Ia terus memprovokasiku seperti yang juga kulakukan padanya ini.

"Kamu kira aku akan terpengaruh sama ucapanmu itu? Dasar tidak tahu berterima kasih!" sahutnya. Diluar dugaan. Monyet ini berbicara dengan nada sopan dan teratur. Seperti seorang yang terpelajar dan tau sopan santun. Mungkin-mungkin dia ngerti table manner. Ia telah turun dan berdiri tegak seperti manusia walau kakinya sedikit pendek dan bengkok huruf O.

"Wah... Ada yaa... monyet kek kau ini... Menguasai satu pekong gitu dan mengambil keuntungan begini... Tunggu aku tidak tau apa... keuntungan apa yang kau dapat dari membuat kakakku ini tidak bisa hamil?... Lalu menyuruhnya memaksaku menghamilinya... Itu sangat kontradiktif sekali... Tunggu kenapa aku malah ngobrol intelek gini sama monyet, ya?" aku garuk-garuk kepala sendiri.

"Itu kenapa kau seharusnya memanggilku dengan sebutan Dewa... Karena aku memang Dewa... Aku dapat mengabulkan banyak permintaan orang-orang yang percaya padaku... Mereka dapat harta yang berlimpah... Jabatan yang tinggi... Posisi basah... Proyek yang besar... Apa saja... mintalah padaku... Akan kukabulkan semuanya... Dengan harga yang pas tentunya..." bongkarnya sendiri akan metodenya. Tumbal.

"Kau mengambil anak-anak orang yang datang meminta padamu..." simpulku. Rahangku mengetat.

"Tidak dengan terang-terangan tentunya... Aku hanya minta derma saja... Lagipula aku ini Dewa, kan? Dewa tidak perlu makan daging manusia... Cukup derma yang menolong sesama... Samarkan dengan sakit... kecelakaan... pembunuhan... Dan aku tak tersentuh... Tidak ada yang mengira aku pelakunya... Siapa yang mengira Dewa tega melakukan itu semua? Tidak ada... Cerdas bukan?" katanya sambil mengetuk-ngetukkan kedua gada itu ke tanah berbatu. Ekor panjangnya berkibas-kibas santai berjuntaian.

"Kapan kau mengambil anak kak Sandra? Dia belum pernah hamil..." tentu saja aku penasaran.

"Ah ha ha ha... Kalau perempuan ini... aku bukan yang pertama... Dia bukan seorang klien yang percaya padaku... Pertama kali dia datang bukan sebagai klien... Hanya menemani pria tua itu... Bos kalian, kan? Aku sudah mengambil dua anaknya... Yang satu tewas karena bermain olahraga gak lazim di luar negeri, Inggris sana... Polo namanya... Orang kaya raya seperti mereka mainannya pasti harus berbeda dari orang kebanyakan seperti kau... Kepalanya diinjak seekor kuda saat terjatuh... Sangat disayangkan... Padahal potensinya sangat besar... Lalu yang kedua tewas karena diperkosa temannya beramai-ramai saat liburan... Ada dua lagi anaknya yang kuincar... Aku menunggu waktu yang tepat..." ia membeberkan semua rahasianya. Aku ingat semua tragedi itu. Pak Asui sangat berduka saat anak pertamanya yang kuliah di negeri Ratu Elizabeth itu pulang tanpa nyawa karena kecelakaan olahraga itu. Tragedi kedua, aku tidak tau persis. Ternyata karena diperkosa rupanya. Dan dua lagi sedang diincar. Rahangku semakin ketat.

"... Sandra ini muncul di hadapanku sudah dengan masalah sendiri... Ada siluman lain yang sudah mendahuluiku... Siluman laba-laba merah... Ia diikuti sejak masih muda... Kehidupan masa mudanya sudah liar walau berprestasi... Gonta-ganti pasangan sudah bukan hal baru baginya... Siluman laba-laba merah itu memakan semua bibit laki-laki yang memasukinya... membuatnya mandul sejak dulu... Dia-lah sebenarnya yang membuat perempuan ini mandul bukan aku... Laba-laba itu penyuka energi pria dalam bentuk murni... sperma... Ia selalu mempengaruhi perempuan ini untuk bersenggama tanpa pengaman..."

"Lalu kemudian Sandra datang di hadapanku... Kumusnahkan siluman laba-laba merah itu karena berani bertingkah di hadapan Dewa..."
ia melemparkan seonggok bangkai mahluk yang membusuk di hadapanku. Berkaki banyak bak laba-laba yang berbulu lebat berwarna merah sedikit aksen hitam dan gelang-gelang putih . Ini untuk meyakinkanku kalau ia memang kuat bisa mengalahkan siluman perkasa yang dianggapnya biasa aja. Inferior dibanding kekuatannya.

"Dan kau berani datang di depanku... di depan Dewa yang perkasa... Mempertanyakan kekuatanku? Haah! Terlalu cepat 500 tahun bagimu... seorang Menggala abal-abal sepertimu untuk tidak tunduk di hadapanku... Bangkit!" serunya tiba-tiba memukul sebelah gadanya ke tanah. Rengkahan tanah menjalar ke arah bangkai siluman laba-laba merah itu. Bergetar bangkai itu sebentar lalu kaki-kakinya yang berjumlah 8 bergerak skeletal, meluruskan posisi sendi pada posisi normalnya semula dan berdiri. Badan laba-laba berkaki banyak dan perut besarnya dengan penanda tengkorak, ternyata ada tubuh humanoid-nya yang bergerak ke posisinya. Bertubuh perempuan yang sudah membusuk yang sangat menyeramkan. Dulunya mungkin agak sedikit menarik melihat payudara besarnya gondal gandul tak berpenutup beserta kulit pucat segarnya. Sekarang ungu menyedihkan dengan banyak bekas luka menganga.

"Sebelum mati... aku sempat bersenang-senang dengannya... Tapi aku bosan... Liat hasilnya..." ujarnya sombong. "Bersenang-senanglah dengannya juga..." ia menggerakkan gada itu dan bangkai siluman laba-laba merah itu bergerak maju menyerangku bak zombie lapar. Whoa! Siluman monyet satu ini tidak main-main rupanya. Tangannya yang berkuku tajam menggapai-gapai hendak mencakarku. Untung saja ini zombie—siluman mati yang digerakkan satu kekuatan ghaib dari siluman monyet itu, gerakannya jadi tersendat karena ternyata ada dua kaki laba-labanya yang rusak parah. Patah dan menjuntai rusak.

"Segininya kau memperlakukan sesama siluman... Kau memang tak perlu dikasihani..." aku kembali memakai fitur Call a Friend kali ini. Aku memanggil Guntur Setiono bin Ahmad Guntur bin Tjokro Guntur bin Krama Guntur. Secara ghaib pula muncul teman yang kupanggil ini.

"Eh? Seng? Ah... Kau?... Aku lagi makan, nih..." katanya dengan posisi seperti menungging karena tadinya sedang duduk di suatu tempat, sedang makan siang entah dimana. Tangannya juga seperti sedang memegang sendok hendak menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Yon... Sori, Yon... Sedang perlu bantuan nih... He he he... Sori ya kawanku yang paliiiiing baek sedunia akherat..." kataku merayu agar dia tidak marah-marah. Dalam kelompok kecil kami–Trio Ribak Sude, Guntur Setiono ini menjadi pemimpin tak resminya. Bukan karena paling kuat atau paling jago berkelahi atau juga paling tua diantara kami bertiga, karena ia sering menjadi motor penggerak atau pemberi ide kemana kami harus melangkah. Sehari-harinya ia adalah seorang supir seorang bos besar Grup BSCA, salah satu bos utama perusahaan itu yang bernama Buana. Ia menyupiri bos besar itu kemana-mana, bahkan sampai ke luar negeri kalau sang bos sedang ada urusan di sana. Memang dia hanya supir, tapi bukan sembarang supir. Nanti kalian liat sendiri.

"E-yoow... Ish... Ada zombie pulak!" ia langsung meloncat kaget dan menjauhi zombie siluman laba-laba merah itu mendatangi kami. "Ah ada-ada aja-pun kau, Seng... Orang lagi makan-pun kau panggil... Ilang selera makanku jadinya..." katanya sambil gidik-gidik geli melihat zombie yang rusak dan berbau busuk dari luka-luka tubuhnya itu. Melihatku sudah memakai bakiak Bulan Pencak di kedua kakiku, ia juga mengeluarkan senjata utamanya. Sebuah cambuk yang panjangnya sekitar satu setengah meter. "Siluman monyet itu, ya?" tanggap Iyon begitu menyadari ada mahluk lain di sebelah sana.

"Ya... Kau mau yang mana? Zombie ato monyet itu?" tanyaku memberinya pilihan.

"Abis ini aku masih mau makan... Yang monyet aja..." katanya lalu berlari ke arah siluman monyet dengan menyeret cambuk itu. Larinya tidak terlalu cepat dan siluman monyet itu menyeringai licik karena sepele dengan sahabatku itu. Tak lama aku tidak boleh hilang fokus dan harus segera mengatasi zombie siluman laba-laba merah ini.

Sebagai zombie, ternyata mahluk mati ini hanya mencakar-cakar–memanfaatkan cakar runcing di kedua tangannya. Walau begitu repot juga menghindari semua sabetan cakar itu. Disamping ketajamannya, belum lagi racun akibat bakteri yang ada di tubuh membusuknya. Bisa-bisa aku terkena tetanus atau apapun kalau tergores sedikit aja. Lagi-lagi bakiak Bulan Pencak kupakai di tangan untuk menangkis semua sabetan cakar itu. Kekuatan bakiak andalan ini dapat diuji ketangguhannya kalau menghadapi serangan semacam ini. Selagi menangkis, aku juga menilai bentuk tubuh mantan siluman ini untuk menaksir titik lemahnya. Aku bisa memanfaatkan bentuk serangga berkaki delapan ini.

"YOOON!! MINTAAA DAUUUNN!" teriakku pada Iyon yang sedang sibuk bertarung dengan siluman monyet itu di sana.

"Nah!" ujarnya cepat dan memberikan apa yang kupinta. Tapi gak gini juga kaleee...

"Kimak kau, Yooon... Ini daun pintu... DAUN BENERAAAN!!" kataku memaki temanku yang tertawa tergelak-gelak di sana.

"Ngomong yang bener-lah kauuu... Kau minta daun apaaa?" teriaknya masih mengibas-ngibaskan cambuknya pada siluman monyet itu. "Daun telinga mau kauuu?" terdengar jeritan pilu siluman monyet yang mengaku dewa itu. Sekelebat kemudian Iyon menyerahkan sebuah kuping monyet yang masih berdarah segar di tanah di hadapanku.

"KIMAK KAU, YAAA!!! MANA BISA KUPING MONYET KUPAKE!!" makiku lagi sambil tersenyum geli juga. Iyon memapas sebelah kuping Dewa Kera Emas itu tanpa ampun. Siluman monyet itu menjerit meraung-raung sambil memegangi sisi kanan kepalanya yang tak memiliki kuping lagi. Darah mengucur deras dari sana.

"Nah... Ini..." berhamburan berbagai macam daun seperti hujan di atas kepalaku. Ada yang berukuran kecil, ada yang sedang, ada yang besar juga. Ini komplit. Bak restoran, ini restoran All You Can Eat. Kalau cabe pedas ini namanya cabe rawit. Kalau bagian tubuh ini namanya silit. Paok!

Sebuah pelepah daun kelapa yang kupilih. Daun dan lidinya bisa menjadi senjata yang sangat ampuh. Dua buah helai daunnya menjadi pedang panjang nan tipis mirip anggar di tanganku. Sontekan lompatan bakiak Bulan Pencak membuatku melambung kencang saat membabatkan pedang daun kelapa ini pada zombie siluman laba-laba merah ini. Gempuran cepat ini tak ayal lagi membuat bangkai siluman itu menjadi bulan-bulananku. Tidak perlu mengasihani bangkainya juga karena semasa hidupnya juga ia sudah banyak melakukan kejahatan hingga bangkainya-pun masih bisa melakukan sesuatu yang jahat semacam ini.

Kedelapan kaki laba-laba-nya terputus menjadi beberapa potongan rapi berkat tajamnya sepasang pedang daun kelapa ini. Ia tak dapat bergerak lagi dan memaksakan merangkak dengan bantuan tangannya yang mencakar tanah. Melambung tinggi lagi dan berencana mendarat tepat di pungungnya, menyiapkan jurus andalanku, Gugur Glugur!

"BROOOKKHH!!" hantaman dua buah bakiak Bulan Pencak telak menghancurkan punggung serangganya. Beberapa isi bagian dalam tubuh siluman serangga itu mbrojol dari beberapa sisi tubuhnya. Isinya berwarna coklat tua dengan bau yang sangat busuk. Ia bergerak-gerak menyedihkan sebelum kupenggal kepalanya. Kita semua taunya kalo ngebunuh zombie dengan cara memotong kepalanya. Itu juga yang kulakukan, zombie siluman laba-laba merah ini diam tak bergerak lagi.

Iyon masih bertarung dengan siluman yang mengaku Dewa Kera Emas itu. Ia menghindari hantaman sepasang gada milik siluman itu. Siluman itu meradang marah karena telah kehilangan sebelah telinga. Sesekali Iyon melecutkan cambuk yang dipegangnya untuk menangkis hantaman gada. Aku tau gaya bertarung Iyon dan aku melihatnya sedang mengulur waktu. Jangan-jangan...

"Kau udah siap, kan? Ayo!" tiba-tiba dia sudah ada disampingku dan menarikku. "Siuut!" kami sudah ada di depan siluman monyet itu. Tepat saat monyet itu menghantamkan gadanya ke arahku. Tak perlu pikir panjang, refleks aku menangkis dengan dua pedang tipisku.

"Trang!!" suara nyaring dua senjata keras beradu kekuatan. "Guh!" tekanan pukulan gada itu sangat kuat. Pedang yang kupakai tertekan hampir mencelakaiku sendiri karena terdorong hampir melukai mukaku. Berpikir cepat dan kutendangkan kakiku yang memakai bakiak Bulan Pencak, kaki kananku yang di posisi depan kuda-kuda menghantam perut siluman monyet itu. Tidak! Dia sempat menahan dengan gada yang satunya. Kami berdua melompat mundur. Monyet ini jago berkelahi ternyata. Karena itu Iyon tidak bisa cepat menyudahinya.

"Kau liat, kan? Jago dia berantem... Kau enak dapat zombie yang gak pakek otak... Cuma haaahh... haahh aja..." kata Iyon meniru gerakan zombie yang sedang meradang minta makan daging segar.

"Kan kau sendiri yang milih monyet itu..." alasanku. "Kau lagi ngerencanain apa? Keknya lagi ngulur-ngulur sesuatu..." tanyaku kepo. Pasti dia sedang melakukan itu dengan kemampuannya.

Matanya bergerak ke atas dengan cepat, seolah takut rahasianya ketauan sama lawan. Aku melirik ke arah kemana matanya bergerak tadi. OH MY GAES! Ada beberapa buah batu besar nangkring di atas sebuah bukit yang mengitari tempat ini. Batu-batu itu seperti hidup dengan membentuk raksasa batu yang lengkap kepala, badan, dua tangan dan dua kaki. Ternyata batu-batu pembentuk raksasa batu itu merupakan bekas potongan dari bukit-bukit batu itu sendiri. Entah kapan ia memotong bebatuan bukit itu selama pertarungan tadi? Gak ding. Aku tidak perlu tau kapan ia melakukan itu karena itulah kemampuannya. Seperti juga dari mana ia mendapatkan daun pintu sialan itu? Daun-daun berjumlah banyak itu? Dia bergerak sangat cepat? Apa yang dilakukannya?

Namanya adalah jurus B3. Bukan berbau, beracun dan berbahaya itu. Kepanjangannya adalah Bayangan Bunga Bujur. Ini semacam jurus teleportasi. Ia bisa kemana saja sejauh imajinasinya. Ia bahkan bisa keluar masuk dimensi kekuasaan siluman monyet ini sesuka hatinya dan mengambil pintu tadi dari satu tempat, atau mengambil dedaunan itu di satu tempat lain, apalagi kalau hanya berpindah ke belakang monyet itu dan memotong kuping kanannya. Dengan cara itu pula, ia memotong-motong batuan bukit dan menjadikan mereka sebagai raksasa batu yang bergerak kikuk seolah akan melakukan lompatan dari puncak bukit. Menjatuhkan tubuhnya ke arah apapun yang ada di bawah.

"Tigaa!" teriaknya dengan sangat kurang ajar dan menghilang dengan mudah. Harusnya itungannya dari satu dulu, kan? Ini langsung tiga! Kimak memang si Iyon ini. Aku yang kelabakan dengan menghentakkan bakiak Bulan Pencak-ku agar aku melesat melompat jauh menghindari runtuhan raksasa kikuk itu dari puncak bukit. Tepat waktu aku menjauh dari gemuruh berderak-derak batuan raksasa yang rengkah akibat menghantam bumi. Menggencet siluman monyet di bawahnya yang bahkan tidak sempat tau apa yang telah luruh di atas kepalanya. Kepulan debu tebal menutupi semua kejadian ini. Aku bergantungan pada satu batu padas yang menjorok keluar dari pertengahan satu bukit tempatku bertengger menyelamatkan diri. Menyaksikan kedahsyatan siasat yang telah dilancarkan Iyon untuk membasmi siluman monyet itu.

"Kimak kau, Yon! Gak bilang-bilang kau pakek cara itu lagi... Hampir copot jantungku kau buat..." kataku menghampiri Iyon yang sedang melakukan sesuatu pada batu-batu yang telah diperintahnya membentuk raksasa batu tadi—sisa-sisa raksasa tadi.

"Kalok kubilang dulu gak seru-lah... Paok kali kau..." katanya setelah menghapus beberapa tanda yang telah dibuatnya di batu itu. Batu-batu itu berhenti bergerak. "Yang penting kan udah mampos itu monyet... Eh... Kapan kita kumpul-kumpul lagi? Dah lama kita gak ngopi lagi... Kapan terakhir kau jumpa Kojek?" ia tiba-tiba membelokkan topik.

"Kau aja-nya yang sibuk kali... Bentar-bentar kau lagi di Belanda... Lagi di Amerika... Lagi di sini... Disana... Kami-kami ini masih di sini-sini aja-nya... Gak kek kau luar negri tros mainannya..." manyunku mengejeknya. Ia hanya cengengesan.

"Namanya juga kerja, Seng-Seng... Kek gak kerja kantoran aja-pun kau-ah... Cuma si Kojek aja yang kerja bebas kek gitu ngurusin pinahan (piaraan)-nya..." katanya membela diri.

"Aku sempat dua kali manggil Kojek kek gini..." kataku mengingat teman kurus kami itu. Pertama di pertarungan di hutan bambu, ia menghanguskan seluruh hutan itu menjadi arang. Kedua di pertarungan melawan siluman pohon beringin itu, ia menelan semua mahluk ghaib yang ada di sana sekaligus.

"Siapa yang sedang kau lawan ini, Seng? Musuh lama atau musuh baru..." tanya Iyon.

"Keknya hanya dukun-dukun iseng sama siluman-siluman biasa aja... Gak terlalu gawat, sih... Tapi yaaa... tetap perlu bantuan kalian juga kalo awak sedang terdesak..." jawabku sekenanya. "Tapi betol, yaa... Nanti kita ngumpul lagi bertiga... Kojek udah suntuk kali itu di kampung cuma maen babi sama si Tiur aja kerjanya... Kemana kita gitu kek pake B3-mu itu..." kataku mendesaknya agar kami bisa berkumpul. Sekedar nostalgia ato apa gitu.

"Iyalah... Terakhir kita ngumpul waktu aqiqah anakmu yang paling kecil itu, kan? Udah bisa apa dia? Siapa namanya?" ingat Iyon samar-samar.

"Salwa... Udah bisa merangkak dia sekarang... Mau belajar jalan-lah bentar-bentar lagi..." jawabku.

"Iya-iya... Anakmu udah dua aja... Si Kojek malah udah empat... Anakku masih satu aja dari dulu... Mungkin karena aku kebanyakan kerja ya?" katanya sambil garuk-garuk kepala. Cambuk yang menjadi senjata andalannya lalu disimpan sebagaimana bakiak Bulan Pencak-ku juga. "Ada tempat enak yang gak bisa digantikan kapanpun... Kede kopi bapakmu, Seng... Walau sederhana tapi nyaman untuk kita semua... Gak ada yang neruskan kede itu, ya?" tanya Aseng.

"Gak-lah... Mamakku-pun gak pande buat kopi seenak bapakku... Pensiun aja dia... Kakakku ikut lakiknya... Adikku ini sedang dijodohkan sama orang kampung kami juga..." ceritaku sedikit.

"Selvi dijodohkan? Kok mau dia?" heran Iyon.

"Dah lama jomblo cemana-la... Akhirnya nyerah juga dia... Minta dicariin malah kalo dengar cerita dari kak Dedek..." Lah... Kami malah ngobrol di sini.

"Ah... Cocok kali kalo gitu... Pake pesta kan kalo gitu? Nanti kita ngumpul pas pesta Selvi aja? Cocok kau rasa?" simpul Iyon khas idenya. Ia memang teman yang baik dalam segala hal. Ia selalu ingin menyatukan kami dalam segala kesempatan.

"Cocok-cocok... Nanti kukasih tau tanggalnya, ya..."

----------------------------------------------------------------------------------------
"Remas yang kuat, Seng..." bisiknya di sela permainan mulutnya yang masih menelan Aseng junior-ku. Terakhir kali aku meremas sebelah toket kak Sandra sebelum memasuki dimensi kekuasaan si siluman monyet yang sudah sukses dibasmi dengan taktik jitu Iyon. Sembari meremas, jariku mengutik-ngutik puting besar tegangnya yang terasa menggemaskan.

"Kak... Dengar yaaa, kak? Uuhh... Mm... Enak, kak... Yaahh... Itu... Kalo betul kakak seriussshhh... Mmm... Awak mau buaat perjanjian duluuu sama kakak... Mau dengar, kaaak? Aahhss..." kataku tidak boleh melupakan ini.

"Nanti aja... Siap ini aja itu..." tundanya tak sabar.

"Gak bisa nanti, kaaak... Harus sekarang juuuga... Sebeluuum jauh..." kataku mendesaknya.

"Ya udah... Apa? Perlu materai gak?" sahutnya terus sambil merancap Aseng junior yang sudah menegang meradang.

"Cuma salaman aja udah cukup, kaaak... Aahh... Brenti dulu, kaaak... Uuh..." ia tak kunjung membiarkan Aseng junior-ku nganggur. "Dengerin ya... Hanya ada tiga pasal perjanjiannya..."

"He-ehmm..."

"Pertama mengenai hubungan. Jadi hubungan kita hanya sebatas ini saja. Tidak akan bertambah atau berkurang. Tidak ada hubungan yang emosional berlebih... Pendeknya gak pake perasaan sama sekali... Jadi mulai sekarang kakak gak boleh pake cium-cium awak lagi... Awak cuma membantu kak Sandra sampai hamil saja... Tidak lebih... Paham, kak?" kataku tentang pasal pertama. Ia masih memegangi Aseng junior dan duduk berjongkok di antara kakiku.

"Tunggu-tunggu... Gak boleh cium-cium itu terlalu berlebihan, Seng... Wa gak mau terima kalo gak boleh cium-ciuman... Ngentot kok ga boleh pake ciuman... Apaaa itu?" protesnya. Aku kaget karena ini kali pertama ada yang protes pada perjanjian yang kubuat.

"Supaya gak ada perasaan lain, kak... Awak rasa kalo ciuman itu urusannya pribadi kali... Nantinya awak takut ada perasaan lain gara-gara itu... Gitu, kak..." jelasnya tentang asal muasal dibentuknya pasal tentang hubungan ini.

"Gak! Gak ada itu... Ciuman ciuman aja... Wa gak akan kebawa perasaan sampe jatuh cinta sama lu orang... Selebihnya wa setuju... Lanjut yang kedua..." putusnya. Memang businesswoman sejati kak Sandra ini. Ia bisa menegosiasikan hal seperti ini dengan mudah. Aku hanya bisa manyun.

"Kedua tentang kepercayaan... Kita berdua tidak boleh membicarakan tentang hal ini pada orang lain... Ini hanya urusan kita berdua aja... Dua pihak aja... Sedikit tambahan... kakak gak boleh... itu... selingkuh sama laki-laki lain... siapapun... Sori, kak... Semoga kakak paham..." kataku agak takut-takut membeberkan pasal kedua ini. Takut ia marah kalau ia pernah melakukan hal serupa ini dengan orang lain.

"Yaa... Wa paham. Wa gak mau ngeralat yang ini... Ini ada benarnya... Lagian ngapain juga wa selingkuh lagi kalau wa udah punya anak... Make sense, kan?" jawabnya setuju. Aku lega mendengarnya. "Wa tau maksud lu apa... Lu gak mau wa ngebesarin anak lu yang wa-nya menclok sana menclok sini sama laki-laki sembarangan, kan? Paham wa itu..." tambahnya. "Plus... Wa mau nambahin juga... Wa gak akan ngasih anak ini makanan yang haram seperti yang lu percaya... Jadi wa ga akan ngasih anak ini makan babi sama temen-temennya biar lu gak was-was sekalian... Lu orang boleh ingat janji wa ini sampai kapanpun..." sampe segitunya kak Sandra untuk menghargai bantuanku ini.

"Makasih ya, kak... Yang ketiga ini tentang masa depan... Ini yang awak rasa paling penting, kak... Karena ini menyangkut masa depan anak ini nantinya... Anak ini walau bagaimana adalah anak kakak dan ko Amek karena kalian berdua yang membesarkannya... Cara merawatnyapun awak serahkan sepenuhnya sama kakak... Mau kakak jalanin janji tambahan kakak tadi awakpun terimakasih kali..." kataku mantap kembali di perjanjian terakhir ini.

"Ya... Wa janji merawatnya sebaik mungkin... Semuanya wa curahkan kepadanya... Lu gak khawatir akan kualitas hidupnya... Lu pegang omongan wa ini... Udah semua, kan?" katanya yang tak kunjung melepas Aseng junior dari tadi. Dirancapnya kembali Aseng junior agar tetap greng dengan remasan kuat sampai urat-urat di sekujur batangnya bertonjolan kasar.

"Udah, kak... Cuma tiga aja..." kataku lalu mengangsurkan tanganku untuk deal perjanjian ini. Dilepasnya Aseng junior untuk menyambut tanganku. Genggamannya kuat dan mantap, diguncangnya tanganku dengan senyum lebar seakan paham apa arti sebenarnya perjanjian ini. Pada dasarnya perjanjian ini tidak jauh beda dengan perjanjian-perjanjian bisnis yang selama ini sudah dilakoninya. Ada makna yang lebih dari simbolis dan sakral di sana. Perjanjian antar dua manusia untuk saling mematuhi isi pasal-pasal di dalamnya. Perjanjian suci.

"Udah, yaa? Tiga aja?" katanya memastikan kembali lalu bergerak lebih merapat. Ia kembali memposisikan dirinya ke posisi awalnya, menduduki pangkuanku. Aseng junior tepat ada di perutnya. "Kalau begitu... kita bisa mulai maen beneran..."
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd