Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Belahan Hati (Cintaku pada Dosen)

liquidsticky

Semprot Baru
Daftar
13 Jan 2018
Post
34
Like diterima
981
Lokasi
Surabaya
Bimabet
Halo para suhu sekalian!

Perkenalkan ane Sticky Liquid (pen name), bisa dipanggil Pak Liq.

Setelah lama menjadi silent reader yang diam-diam ngecrot saja, akhirnya ane bisa memberikan kontribusi dalam perlendiran duniawi forum ini. ;)

Cerita ini terinspirasi dari beberapa kisah yang menyentuh hati, baik dari forum ini maupun buku-buku romansa semi-dewasa bacaan ane. Juga berawal dari keresahan ane dalam mencari cinta dan merasa butuhnya menumpahkan dalam sebuah cerita.

Kalau ditanya mulustrasi dong?
Jawab: ane memang sengaja tidak merinci bentuk tubuh dan memberikan mulustrasi agar kita semua bisa memasukkan tokoh kesukaan kita masing-masing. Juga rasanya kalau ane mendeskripsikan bentuk tubuh perempuan yang ane gunakan dalam cerita (yang mana memang benar-benar ane cintai) terasa sangat salah aja :(
Mohon maklum, ya, hu! Hehehe

Disclaimer:
Saat ane pertama memposting cerita, sudah tersusun struktur tiap chapter dan ending cerita. Cerita juga sudah ditulis setengah jalan dan harapannya nanti bisa selesai sesuai harapan. Jadi kalau agan-agan dan suhu-suhu sekalian ingin memberi masukan, sebaiknya untuk cerita Sequel atau Spin-off saja ya, hehe. :beer:

Rencana akan ane update normal seminggu dua kali.
Worst case
(karena ane sedang ada project), satu kali seminggu.
Ane juga menarget tiap chapter untuk lebih dari 1000 kata agar agan-agan bisa puas :)

JANGAN LUPA LIKES DAN COMMENT GANN
(TERUTAMA BUTUH FEEDBACK KALAU CERITANYA BIKIN CROTT ATAU KENTANG) :adek:


*TBP = To Be Published

1. KONTAK PERTAMA - Hal 1 (di bawah)
2. APARTEMEN - Hal 1 (di bawah)
3. FARAH AZIZIYAH - Hal 4
4. LOVEBIRD - Hal 6
5. PEDULI - Hal 7
6. RUMAH - Hal 9
7. BUNGA YANG MEKAR - Hal 11
8. DAYS GONE BY - Hal 13
9. TOGA DAN MAHKOTA - Hal 16
10. ASAM GARAM KEHIDUPAN - Hal 18
11. UNION - Hal 21

< > < > < > < > < > < > < > < > < > < >


PROLOG



Zul terbaring lemas tak berdaya di atas dipan. Anak-anaknya mengelilinginya. Lengkap. Dari si sulung hingga si bungsu. Istrinya pun dengan setia memegangi tangannya, mengecup kepalanya. Zul telah menjalani hidup yang bahagia. Ia pun banyak membahagiakan orang lain.

Setidaknya begitu pikiran orang-orang.

Kenangan Istri dan anak-anak akan Zul ternodai ketika surat wasiat diberikan kepada keluarganya. Zul tidak meninggalkan utang, bahkan ia memberi banyak warisan dan terbagi adil. Bukan. Ini bukan tentang harta. Ini tentang dendam masa lalu yang tersimpan jauh di lubuk hati Zul.

Bahwa Zul takut masa lalunya yang kelam akan membawa petaka bagi keluarganya.
Bahwa Zul takut sesuatu terjadi pada keluarganya dan perempuan yang pernah ia cintai itu.

Ketakutan bahwa kelak orang lain akan merasakan pedihnya cinta tak berbalas hanya karena kutukan yang diberikan oleh Zul. Dan keluarganya akan menerima akibat sebagai tumbal dari kutukan itu.




< > < > < > < > < > < > < > < > < > < >


CHAPTER 1
KONTAK PERTAMA



"Bintang," kataku menyebutkan namaku pada teman seangkatan. Kami bertukar nama, berusaha mengingat-ingat satu sama lain. Tugas ospek kuliah mengharuskan kami kenal satu angkatan. Seluruhnya berjumlah dua ratus tiga puluh anak.

Aku menggaruk kepala sambil terus merapal nama-nama anak di hadapanku. Hingga akhirnya kami bosan dan kegiatan kumpul angkatan itu berubah menjadi acara gosip. Topik paling hot tentu saja mengenai dosen killer.

Belum genap satu minggu kami kuliah, sudah beredar kabar dari kelas lain mengenai dosen killer yang satu itu: Ibu Wulan. Usia kepala empat yang katanya secantik artis namun berperingai seperti macan. Galaknya minta ampun. Telat satu menit harus rela mendapat alpa di absen. Bolos tiga kali harus bersiap mengulang tahun depan.

"Menurutmu gimana, Tang?" Yoga, teman baruku bertanya. Aku yang tidak siap akhirnya tergagap.

"Yah, eh, anu, kita ya harus... nurut aja mungkin?"

Yoga yang memang sejak lama membaca romansa aktivisme 98 langsung mendengus. "Kita gak boleh kalah. Harus ada perubahan yang kita bawa. Kalian ingat sama Farah?"

Kelompok gosip kami menggeleng.

"Bah!" Yoga menyahut kecewa. "Itu anak dari wakil rektor!"

Kami tetap menggeleng.

"Yang putih, cantik, berjilbab, tapi kadang pake baju agak ketat. Badannya bohai, itu loh yang pake bros mawar!" Yoga lalu menunjuk hati-hati pada seseorang di kelompok lain di kumpul angkatan itu.

"Oooooh," bak paduan suara teman-teman di sebelahku menyahut bersamaan. Tentu saja mereka ingat pada orang seperti itu. Ingat pada fitur tubuhnya, bukan namanya.

Aku yang tak biasa melihat perempuan hanya menggeleng. Yoga melihatku dengan tatapan kasihan. Memang sepertinya aku harus lebih banyak bergaul.

Masa SD-SMP aku habiskan di pondok pesantren, sebuah tradisi turun temurun di keluarga. Kemudian aku masuk SMA Negeri, tapi itu pun lebih banyak aktif di ekskul rohis. Sekarang pun aku memutuskan ikut LDK pula. Membuat pengalamanku dengan perempuan sangat minim.

"Intinya begini," Yoga lanjut berbicara, "kita bisa manfaatkan Farah buat mengadu ke wakil rektor supaya cara ngajarnya diubah. Lagian apa gunanya keras pada mahasiswa? Jaman kayak gitu sudah lama lewat!"

Kami mengangguk-angguk saja meng-iya-kan. Siapa pula yang akan menjalankan rencana bodohnya ini?

"Bintang, kamu sama-sama ikut LDK kan? Mungkin bisa deketin Farah!" tiba-tiba Yoga mengusulkan.

Aku hanya tertawa gugup. Berharap itu hanya guyonan semata.

< b >

"JANCOK" pertama kalinya aku mengumpat dalam hidupku.

Tidur siang setelah sholat Jumat merupakan hal paling nikmat setelah berusaha menahan kantuk selama khutbah. Naasnya, itu bisa membuatku bangun terlambat untuk ikut kuliah Bu Wulan.

Perkuliahan akan mulai sepuluh menit lagi. Tepat waktu yang diperlukan dari kosku ke kampus. Jika tak ingin terlambat, aku harus berlari.

Lorong-lorong berkelebat sementara aku terburu-buru menuju ke kelas. Kulihat jam tangan, tersisa satu menit lagi. Sialnya di ujung sana sudah kulihat Bu Wulan sedang memasuki ruang kelas.

Benar kata teman-teman. Usianya sudah kepala empat, ia terlihat anggun meski dari jauh. Tak terasa, aku memelankan lariku. Menyebabkan pintu kelas sudah tertutup saat aku sampai di depannya.

Aku benar-benar takut, namun mau tak mau kuketuk juga pintu kelas itu kemudian kubuka dan berusaha masuk.

"Kamu tahu kamu terlambat?" suara Bu Wulan menusuk tajam.

Aku hanya menunduk, setengah badanku masih di luar.

"Iya, Bu. Maaf, saya ketiduran," jawabku polos. Badanku semakin menunduk.

"Tatap mata saya kalau berbicara!" Bu Wulan membentak.

Aku benar-benar tak biasa melakukannya. Menatap mata perempuan, terutama dosen – guru -- biasanya adalah lancang dilakukan di pondok. Tapi melawan perintahnya lebih lancang lagi. Akhirnya kuangkat daguku dan kutatap matanya.

Bu Wulan memang sangat cantik. Kulitnya yang kuning langsat khas Indonesia. Rambutnya yang hitam, bergelombang dibiarkan terurai. Bibirnya yang tebal dan begitu sensual. Wajahnya yang minim make-up tapi terlihat sangat terawat. Ia begitu cantik tanpa perlu berusaha. Parasnya anggun dan tubuhnya seolah memanggilku. Aku begitu terpesona sampai tak bisa berkata-kata.

Sedang Bu Wulan menatapku balik dengan pandangan yang tajam. Ia tak berkata apa-apa juga. Ada diam yang tak mengenakkan di antara kami untuk beberapa saat.

Sampai akhirnya Bu Wulan yang berbicara duluan. Kali ini nadanya tak sekeras nada tadi.

"Ya-ya sudah... kamu cepat duduk," Bu Wulan berkata pelan. Hampir-hampir seperti berbisik.

Aku butuh sedetik untuk mengalihkan pandangan dari Bu Wulan dan bergerak ke kursi barisan belakang. Kulihat ekspresi teman-temanku yang kaget.

Bu Wulan yang galak kayak macan tiba-tiba berubah jinak?

< b >

Usai kelas, aku diminta tetap di ruangan. Mungkin ada hukuman atas 30 detik keterlambatanku. Aku berdoa semoga itu bukan sesuatu yang berat. Tugas ospek dan praktikum sudah cukup berat.

"Bintang, ya? Ambil kursi, duduk," Bu Wulan memberi instruksi. Nadanya jauh lebih tenang ketimbang waktu dia sedang mengajar.

Wajahnya terlihat lebih cerah dan menentramkan.

"Anda sepertinya terlihat familiar. Apa saya pernah bertemu anda sebelumnya?" Bu Wulan bertanya setelah aku mengambil kursi dan duduk di hadapannya.

Sekarang saat kupikirkan, aku merasa mengenal Bu Wulan. Seolah ia adalah seseorang yang dekat, tapi tak tahu kapan dan dimana.

"Maaf, Bu. Saya juga merasa pernah bertemu Ibu, tapi tidak ingat bertemu di mana," kujawab dengan jujur.

"Kamu asalnya dari mana?" Bu Wulan bertanya lagi. Nadanya semakin tenang.

"Sumbawa, Bu. NTB."

Bu Wulan menggeleng. "Aku tau ada keluargaku dari sana, tapi aku sendiri nggak pernah ke sana. Mungkin kita memang nggak pernah ketemu, ya?" Ia menghembus napas panjang.

Perubahan dari 'saya' menjadi 'aku' oleh Bu Wulan membuat kesannya menjadi sangat manja dan menghilangkan sekat yang ada sebelumnya.

“I… Iya, mungkin Bu…” jawabku sekenanya.

Rasa apa ini?
Mengapa Bu Wulan terasa begitu akrab?
Mengapa aku merasa begitu tertarik dengannya?

Kutatap matanya. Mata yang gelap, menghisapku ke dalamnya. Menenggelamkan dalam pesonanya. Dan aku rela...

Saat itu juga kulihat ada hal yang sama dalam mata Bu Wulan. Sebuah tatapan rindu.
Sebuah tatapan kasih sayang.
Tatapan yang menenggelamkanku dalam pesonanya.
Tatapan penuh perasaan... penuh... gairah...

Tenggelam dalam pesona masing-masing, wajah kami semakin mendekat. Hingga tak sadar, kami menutup mata dan bibir kami saling bersentuhan.

Bibirnya begitu empuk, lembut. Begitu hangat. Rasa yang begitu familier.
Sekejap, kecupan itu berubah menjadi ciuman yang bergairah. Tangan Bu Wulan meremas rambutku. Bibir kami mulai membuka dan saling memainkan satu sama lain. Lidah Bu Wulan juga ikut beraksi, membuat setiap kecupan kami menjadi sangat basah. Sementara tanganku kaku mengusap wajah Bu Wulan. Merasakan lembutnya kulit wajah itu.

Hingga suara office boy yang memutar kunci di kelas sebelah mengagetkan kami. Menyadarkan kami bahwa kami masih di kampus.

Kami melepas ciuman.

"Kamu ada acara nanti malam?" Bu Wulan bertanya cepat. Sepertinya nafsunya masih memburu.

Aku menggeleng. Tak bisa mengingat apa pun. Nafsuku pun masih mendahului proses berpikir.

"Ikut aku ke apartemen."

< b >

Ada perasaan aneh saat kami berada di lift menuju kamar Bu Wulan.

Otak warasku bertanya-tanya mengenai moral dan etis dalam kegiatan yang akan kulakukan.

Namun perasaanku begitu menggebu-gebu. Dadaku terasa panas dan detak jantungku terasa begitu keras seolah bisa terdengar Bu Wulan yang berdiri di sampingku.

Begitu kami masuk dan pintu apartemen tertutup, kami kembali berciuman. Masih bersepatu dan berbaju lengkap, tapi perasaan kami mendorong satu sama lain. Mulut Bu Wulan melumat habis bibirku dengan gelagapan. Tangan kami saling meraba punggung satu sama lain.

Tanpa melihat, kami terus berciuman dengan ganas menuju sofa. Di sana, Bu Wulan mendorongku ke sofa, membuka baju dan rok selututnya. Untuk kemudian dengan cepat kembali menyosor mulutku.

Tanganku diarahkan ke payudara dan vaginanya yang masing-masing masih terbungkus bh dan celana dalam. Satu tangan Bu Wulan mengelus penisku dari luar, sedang tangan yang lain mengusap putingku.

Kami berdua melenguh karena nikmatnya.

Bu Wulan seolah tak tahan, langsung menggesekkan vaginanya ke atas penisku. Bu Wulan masih memakai CD dan aku bahkan belum membuka celanaku.

Ia bergoyang dengan liar, berusaha menggesek sambil terus menciumku.

Tangan kananku mulai berpindah, mengelus perutnya yang terlihat terawat. Sedang tangan kiriku menyelip dari balik BH, memutir putingnya.

Setitik kesadaran dalam diriku bertanya-tanya.

Mengapa ini terasa familier?
Bentuk dan lekuk tubuhnya...
Helai rambut yang menggantung seksi di depan wajahnya...
Aroma tubuhnya...
Setiap kecup dan setiap tetes liur yang dengan rela kutampung...

Namun semua pikiran logis itu tenggelam saat aku merasakan sesuatu akan keluar. Bu Wulan terlihat sama. Napasnya semakin memburu. Kini ia merapatkan tubuhnya padaku. Menggesekkan vagina dan putingnya pada badanku sambil terus mengunci mulutnya dengan mulutku.

Ia terlihat begitu dilanda kenikmatan. Sedang aku pun sama nikmatnya. Setiap gesekannya pada ujung penisku (yang masih terbungkus) terasa nikmat tiada tara. Setiap pergerakan putingnya akan menggesek putingku dan memberikan setruman listrik, menambah kenikmatan itu.

Kami berpacu, bercumbu, saling bergesek. Ingin mendekap satu sama lain begitu hebatnya. Hingga akhirnya aku dan Bu Wulan bergetar hebat dalam selang waktu yang bersamaan. Membuat kami saling merangkul lebih ketat satu sama lain.

"Ohhhhhh!" lenguh Bu Wulan dan langsung mendekapku erat. Membenamkan mulutnya kembali dengan mulutku.

Spermaku meluncur deras tanpa halangan, membasahi celanaku.

Oh rasa nikmat ini?
Apakah ini surga?
Badanku ringan, seolah melayang di udara.




To be continued

JANGAN LUPA LIKES DAN COMMENT GANN
(TERUTAMA BUTUH FEEDBACK KALAU CERITANYA BIKIN CROTT, ATAU KENTANG, ATAU YANG LAIN) :pantat:
 
Terakhir diubah:
Halo para suhu sekalian!

Perkenalkan ane Sticky Liquid (pen name), bisa dipanggil Pak Liq.

Setelah lama menjadi silent reader yang diam-diam ngecrot saja, akhirnya ane bisa memberikan kontribusi dalam perlendiran duniawi forum ini. ;)

Cerita ini terinspirasi dari beberapa kisah yang menyentuh hati, baik dari forum ini maupun buku-buku romansa semi-dewasa bacaan ane. Juga berawal dari keresahan ane dalam mencari cinta dan merasa butuhnya menumpahkan dalam sebuah cerita.

Kalau ditanya mulustrasi dong?
Jawab: ane memang sengaja tidak merinci bentuk tubuh dan memberikan mulustrasi agar kita semua bisa memasukkan tokoh kesukaan kita masing-masing. Juga rasanya kalau ane mendeskripsikan bentuk tubuh perempuan yang ane gunakan dalam cerita (yang mana memang benar-benar ane cintai) terasa sangat salah aja :(
Mohon maklum, ya, hu! Hehehe

Disclaimer:
Saat ane pertama memposting cerita, sudah tersusun struktur tiap chapter dan ending cerita. Cerita juga sudah ditulis setengah jalan dan harapannya nanti bisa selesai sesuai harapan. Jadi kalau agan-agan dan suhu-suhu sekalian ingin memberi masukan, sebaiknya untuk cerita Sequel atau Spin-off saja ya, hehe. :beer:

Rencana akan ane update normal seminggu dua kali.
Worst case
(karena ane sedang ada project), satu kali seminggu.
Ane juga menarget tiap chapter untuk lebih dari 1000 kata agar agan-agan bisa puas :))

JANGAN LUPA LIKES DAN COMMENT GANN
(TERUTAMA BUTUH FEEDBACK KALAU CERITANYA BIKIN CROTT, ATAU KENTANG, ATAU YANG LAIN) :adek:


*TBP = To Be Published

PROLOG - Hal 1 (di bawah)
Chapter 1 KONTAK PERTAMA - Hal 1 (di bawah)
Chapter 2 APARTEMEN - (TBP)

< > < > < > < > < > < > < > < > < > < >


PROLOG



Zul terbaring lemas tak berdaya di atas dipan. Anak-anaknya mengelilinginya. Lengkap. Dari si sulung hingga si bungsu. Istrinya pun dengan setia memegangi tangannya, mengecup kepalanya. Zul telah menjalani hidup yang bahagia. Ia pun banyak membahagiakan orang lain.

Setidaknya begitu pikiran orang-orang.

Kenangan Istri dan anak-anak akan Zul ternodai ketika surat wasiat diberikan kepada keluarganya. Zul tidak meninggalkan utang, bahkan ia memberi banyak warisan dan terbagi adil. Bukan. Ini bukan tentang harta. Ini tentang dendam masa lalu yang tersimpan jauh di lubuk hati Zul.

Bahwa Zul takut masa lalunya yang kelam akan membawa petaka bagi keluarganya.
Bahwa Zul takut sesuatu terjadi pada keluarganya dan perempuan yang pernah ia cintai itu.

Ketakutan bahwa kelak orang lain akan merasakan pedihnya cinta tak berbalas hanya karena kutukan yang diberikan oleh Zul. Dan keluarganya akan menerima akibat sebagai tumbal dari kutukan itu.




< > < > < > < > < > < > < > < > < > < >


CHAPTER 1
KONTAK PERTAMA



"Bintang," kataku menyebutkan namaku pada teman seangkatan. Kami bertukar nama, berusaha mengingat-ingat satu sama lain. Tugas ospek kuliah mengharuskan kami kenal satu angkatan. Seluruhnya berjumlah dua ratus tiga puluh anak.

Aku menggaruk kepala sambil terus merapal nama-nama anak di hadapanku. Hingga akhirnya kami bosan dan kegiatan kumpul angkatan itu berubah menjadi acara gosip. Topik paling hot tentu saja mengenai dosen killer.

Belum genap satu minggu kami kuliah, sudah beredar kabar dari kelas lain mengenai dosen killer yang satu itu: Ibu Wulan. Usia kepala empat yang katanya secantik artis namun berperingai seperti macan. Galaknya minta ampun. Telat satu menit harus rela mendapat alpa di absen. Bolos tiga kali harus bersiap mengulang tahun depan.

"Menurutmu gimana, Tang?" Yoga, teman baruku bertanya. Aku yang tidak siap akhirnya tergagap.

"Yah, eh, anu, kita ya harus... nurut aja mungkin?"

Yoga yang memang sejak lama membaca romansa aktivisme 98 langsung mendengus. "Kita gak boleh kalah. Harus ada perubahan yang kita bawa. Kalian ingat sama Farah?"

Kelompok gosip kami menggeleng.

"Bah!" Yoga menyahut kecewa. "Itu anak dari wakil rektor!"

Kami tetap menggeleng.

"Yang putih, cantik, berjilbab, tapi kadang pake baju agak ketat. Badannya bohai, itu loh yang pake bros mawar!" Yoga lalu menunjuk hati-hati pada seseorang di kelompok lain di kumpul angkatan itu.

"Oooooh," bak paduan suara teman-teman di sebelahku menyahut bersamaan. Tentu saja mereka ingat pada orang seperti itu. Ingat pada fitur tubuhnya, bukan namanya.

Aku yang tak biasa melihat perempuan hanya menggeleng. Yoga melihatku dengan tatapan kasihan. Memang sepertinya aku harus lebih banyak bergaul.

Masa SD-SMP aku habiskan di pondok pesantren, sebuah tradisi turun temurun di keluarga. Kemudian aku masuk SMA Negeri, tapi itu pun lebih banyak aktif di ekskul rohis. Sekarang pun aku memutuskan ikut LDK pula. Membuat pengalamanku dengan perempuan sangat minim.

"Intinya begini," Yoga lanjut berbicara, "kita bisa manfaatkan Farah buat mengadu ke wakil rektor supaya cara ngajarnya diubah. Lagian apa gunanya keras pada mahasiswa? Jaman kayak gitu sudah lama lewat!"

Kami mengangguk-angguk saja meng-iya-kan. Siapa pula yang akan menjalankan rencana bodohnya ini?

"Bintang, kamu sama-sama ikut LDK kan? Mungkin bisa deketin Farah!" tiba-tiba Yoga mengusulkan.

Aku hanya tertawa gugup. Berharap itu hanya guyonan semata.

< b >

"JANCOK" pertama kalinya aku mengumpat dalam hidupku.

Tidur siang setelah sholat Jumat merupakan hal paling nikmat setelah berusaha menahan kantuk selama khutbah. Naasnya, itu bisa membuatku bangun terlambat untuk ikut kuliah Bu Wulan.

Perkuliahan akan mulai sepuluh menit lagi. Tepat waktu yang diperlukan dari kosku ke kampus. Jika tak ingin terlambat, aku harus berlari.

Lorong-lorong berkelebat sementara aku terburu-buru menuju ke kelas. Kulihat jam tangan, tersisa satu menit lagi. Sialnya di ujung sana sudah kulihat Bu Wulan sedang memasuki ruang kelas.

Benar kata teman-teman. Usianya sudah kepala empat, ia terlihat anggun meski dari jauh. Tak terasa, aku memelankan lariku. Menyebabkan pintu kelas sudah tertutup saat aku sampai di depannya.

Aku benar-benar takut, namun mau tak mau kuketuk juga pintu kelas itu kemudian kubuka dan berusaha masuk.

"Kamu tahu kamu terlambat?" suara Bu Wulan menusuk tajam.

Aku hanya menunduk, setengah badanku masih di luar.

"Iya, Bu. Maaf, saya ketiduran," jawabku polos. Badanku semakin menunduk.

"Tatap mata saya kalau berbicara!" Bu Wulan membentak.

Aku benar-benar tak biasa melakukannya. Menatap mata perempuan, terutama dosen – guru -- biasanya adalah lancang dilakukan di pondok. Tapi melawan perintahnya lebih lancang lagi. Akhirnya kuangkat daguku dan kutatap matanya.

Bu Wulan memang sangat cantik. Kulitnya yang kuning langsat khas Indonesia. Rambutnya yang hitam, bergelombang dibiarkan terurai. Bibirnya yang tebal dan begitu sensual. Wajahnya yang minim make-up tapi terlihat sangat terawat. Ia begitu cantik tanpa perlu berusaha. Parasnya anggun dan tubuhnya seolah memanggilku. Aku begitu terpesona sampai tak bisa berkata-kata.

Sedang Bu Wulan menatapku balik dengan pandangan yang tajam. Ia tak berkata apa-apa juga. Ada diam yang tak mengenakkan di antara kami untuk beberapa saat.

Sampai akhirnya Bu Wulan yang berbicara duluan. Kali ini nadanya tak sekeras nada tadi.

"Ya-ya sudah... kamu cepat duduk," Bu Wulan berkata pelan. Hampir-hampir seperti berbisik.

Aku butuh sedetik untuk mengalihkan pandangan dari Bu Wulan dan bergerak ke kursi barisan belakang. Kulihat ekspresi teman-temanku yang kaget.

Bu Wulan yang galak kayak macan tiba-tiba berubah jinak?

< b >

Usai kelas, aku diminta tetap di ruangan. Mungkin ada hukuman atas 30 detik keterlambatanku. Aku berdoa semoga itu bukan sesuatu yang berat. Tugas ospek dan praktikum sudah cukup berat.

"Bintang, ya? Ambil kursi, duduk," Bu Wulan memberi instruksi. Nadanya jauh lebih tenang ketimbang waktu dia sedang mengajar.

Wajahnya terlihat lebih cerah dan menentramkan.

"Anda sepertinya terlihat familiar. Apa saya pernah bertemu anda sebelumnya?" Bu Wulan bertanya setelah aku mengambil kursi dan duduk di hadapannya.

Sekarang saat kupikirkan, aku merasa mengenal Bu Wulan. Seolah ia adalah seseorang yang dekat, tapi tak tahu kapan dan dimana.

"Maaf, Bu. Saya juga merasa pernah bertemu Ibu, tapi tidak ingat bertemu di mana," kujawab dengan jujur.

"Kamu asalnya dari mana?" Bu Wulan bertanya lagi. Nadanya semakin tenang.

"Sumbawa, Bu. NTB."

Bu Wulan menggeleng. "Aku tau ada keluargaku dari sana, tapi aku sendiri nggak pernah ke sana. Mungkin kita memang nggak pernah ketemu, ya?" Ia menghembus napas panjang.

Perubahan dari 'saya' menjadi 'aku' oleh Bu Wulan membuat kesannya menjadi sangat manja dan menghilangkan sekat yang ada sebelumnya.

“I… Iya, mungkin Bu…” jawabku sekenanya.

Rasa apa ini?
Mengapa Bu Wulan terasa begitu akrab?
Mengapa aku merasa begitu tertarik dengannya?

Kutatap matanya. Mata yang gelap, menghisapku ke dalamnya. Menenggelamkan dalam pesonanya. Dan aku rela...

Saat itu juga kulihat ada hal yang sama dalam mata Bu Wulan. Sebuah tatapan rindu.
Sebuah tatapan kasih sayang.
Tatapan yang menenggelamkanku dalam pesonanya.
Tatapan penuh perasaan... penuh... gairah...

Tenggelam dalam pesona masing-masing, wajah kami semakin mendekat. Hingga tak sadar, kami menutup mata dan bibir kami saling bersentuhan.

Bibirnya begitu empuk, lembut. Begitu hangat. Rasa yang begitu familier.
Sekejap, kecupan itu berubah menjadi ciuman yang bergairah. Tangan Bu Wulan meremas rambutku. Bibir kami mulai membuka dan saling memainkan satu sama lain. Lidah Bu Wulan juga ikut beraksi, membuat setiap kecupan kami menjadi sangat basah. Sementara tanganku kaku mengusap wajah Bu Wulan. Merasakan lembutnya kulit wajah itu.

Hingga suara office boy yang memutar kunci di kelas sebelah mengagetkan kami. Menyadarkan kami bahwa kami masih di kampus.

Kami melepas ciuman.

"Kamu ada acara nanti malam?" Bu Wulan bertanya cepat. Sepertinya nafsunya masih memburu.

Aku menggeleng. Tak bisa mengingat apa pun. Nafsuku pun masih mendahului proses berpikir.

"Ikut aku ke apartemen."

< b >

Ada perasaan aneh saat kami berada di lift menuju kamar Bu Wulan.

Otak warasku bertanya-tanya mengenai moral dan etis dalam kegiatan yang akan kulakukan.

Namun perasaanku begitu menggebu-gebu. Dadaku terasa panas dan detak jantungku terasa begitu keras seolah bisa terdengar Bu Wulan yang berdiri di sampingku.

Begitu kami masuk dan pintu apartemen tertutup, kami kembali berciuman. Masih bersepatu dan berbaju lengkap, tapi perasaan kami mendorong satu sama lain. Mulut Bu Wulan melumat habis bibirku dengan gelagapan. Tangan kami saling meraba punggung satu sama lain.

Tanpa melihat, kami terus berciuman dengan ganas menuju sofa. Di sana, Bu Wulan mendorongku ke sofa, membuka baju dan rok selututnya. Untuk kemudian dengan cepat kembali menyosor mulutku.

Tanganku diarahkan ke payudara dan vaginanya yang masing-masing masih terbungkus bh dan celana dalam. Satu tangan Bu Wulan mengelus penisku dari luar, sedang tangan yang lain mengusap putingku.

Kami berdua melenguh karena nikmatnya.

Bu Wulan seolah tak tahan, langsung menggesekkan vaginanya ke atas penisku. Bu Wulan masih memakai CD dan aku bahkan belum membuka celanaku.

Ia bergoyang dengan liar, berusaha menggesek sambil terus menciumku.

Tangan kananku mulai berpindah, mengelus perutnya yang terlihat terawat. Sedang tangan kiriku menyelip dari balik BH, memutir putingnya.

Setitik kesadaran dalam diriku bertanya-tanya.

Mengapa ini terasa familier?
Bentuk dan lekuk tubuhnya...
Helai rambut yang menggantung seksi di depan wajahnya...
Aroma tubuhnya...
Setiap kecup dan setiap tetes liur yang dengan rela kutampung...

Namun semua pikiran logis itu tenggelam saat aku merasakan sesuatu akan keluar. Bu Wulan terlihat sama. Napasnya semakin memburu. Kini ia merapatkan tubuhnya padaku. Menggesekkan vagina dan putingnya pada badanku sambil terus mengunci mulutnya dengan mulutku.

Ia terlihat begitu dilanda kenikmatan. Sedang aku pun sama nikmatnya. Setiap gesekannya pada ujung penisku (yang masih terbungkus) terasa nikmat tiada tara. Setiap pergerakan putingnya akan menggesek putingku dan memberikan setruman listrik, menambah kenikmatan itu.

Kami berpacu, bercumbu, saling bergesek. Ingin mendekap satu sama lain begitu hebatnya. Hingga akhirnya aku dan Bu Wulan bergetar hebat dalam selang waktu yang bersamaan. Membuat kami saling merangkul lebih ketat satu sama lain.

"Ohhhhhh!" lenguh Bu Wulan dan langsung mendekapku erat. Membenamkan mulutnya kembali dengan mulutku.

Spermaku meluncur deras tanpa halangan, membasahi celanaku.

Oh rasa nikmat ini?
Apakah ini surga?
Badanku ringan, seolah melayang di udara.




To be continued

JANGAN LUPA LIKES DAN COMMENT GANN
(TERUTAMA BUTUH FEEDBACK KALAU CERITANYA BIKIN CROTT, ATAU KENTANG, ATAU YANG LAIN) :pantat:
Pantau dulu Hu.. kayaknya seru

"Zul mengucap kutukan"? Kok imbasnya pada keluarga sendiri?
Ada apa ini?

Milf jilbab malahan STW, kesukaan nih
 
CHAPTER 2
APARTEMEN



Bu Wulan meraba lembut dadaku. Tangannya yang halus menyapu ototku yang tak seberapa. Meski begitu, matanya memancar penuh kasih sayang. Kami berbaring tanpa sehelai benang pun setelah membuka baju kami yang basah kuyup.

“Nama kamu Bintang, ya?” Bu Wulan berbisik lembut. Setiap nada yang keluar dari mulutnya mengesankan rindu. Kuduga ia berusaha mengingat namaku dari absen tadi sore.

“Iya… Bu?” tanyaku. Ragu memanggilnya ‘Ibu’.

Bu Wulan menatap mataku. Ia terlihat agak kesal, tapi ada kesan imut di sana. Apakah dia ngambek seperti anak remaja?

Aku berusaha mengalihkan topik. “Kenapa, ya, kok rasanya aku udah lama kenal lama sama kamu…” kataku, mengganti ‘Ibu’ dengan ‘kamu.’

Ia mendekatkan kepalanya ke dadaku. Memeluk lembut.

“Aku juga ngerasa begitu. Kenapa ya?” katanya berbisik ke rongga dada. Getarannya membuat seluruh badanku berdesir.

Meski kami berbaring telanjang di sana, nafsu yang sudah tersalurkan tadi memuaskan kami. Meninggalkan kobaran api nafsu itu, mengubahnya menjadi bara cinta yang hangat. Sebuah keintiman yang mesra.

Sungguh kejadian hari ini bertolak belakang dengan kehidupan pribadiku. Seratus delapan puluh derajat. Aku yang tak pernah dekat dengan perempuan. Aku yang selalu taat beragama. Kini berbaring telanjang bersama seorang wanita dewasa yang baru kutemui hari ini.

Ada sedikit perasaan bersalah yang terbersit. Namun itu tak kuhiraukan karena wanita di depanku ini ‘terasa’ benar. Ia adalah sosok yang sempurna… seorang wanita yang ‘pas’. Segalanya begitu cocok. Bahwa dengan bersamanya aku menjadi lengkap.

Aku dan Bu Wulan hanya berbaring di sana. Merasakan kehangatan satu sama lain, berangkulan. Debar jantungku dan jantungnya yang seolah menyatu. Tak perlu ada kata-kata. Tak perlu ada basa-basi. Semuanya melebur.

Azan magrib mengumandang. Refleks, aku terbangun dan bersiap untuk sholat.

“Kamu mau ke mana?” tanya Bu Wulan. Nadanya terdengar sangat khawatir.

“Sholat,” jawabku sambil menuju ke kamar mandi.

Bu Wulan beranjak pula dari kasur. “Mandi dulu, ya? Aku ikut.”

Di dalam kamar mandi yang sempit untuk dua orang itu, kami melanjutkan kemesraan. Ia menyabuniku, aku pun menyabuninya. Setiap jengkal kulitnya terasa halus. Terasa begitu mempesona.

Setelahnya, Bu Wulan berlali kecil ke arah lemari. Ia lalu kembali dan memberikanku handuk.

“Bentar, aku cariin ganti, ya,” ucap Bu Wulan sambil ke lemari. Ia sempat mengecup pipiku sebelum membongkar lemarinya. Gestur yang sekali lagi membuatku seperti tersengat.

“Kayaknya ini cukup. Aku belinya kebesaran. Moga nggak ngatung, ya?” Bu Wulan berkata sambil menyodorkan sebuah kaus putih padaku.

Aku tersenyum. “Makasih.”

Kupasang baju itu, lalu celana jeans, terpaksa tanpa celana dalam. Lagipula air mani bukan najis. Sedang Bu Wulan memakai daster longgar dengan potongan minim di atas lutut. Tuhan, dia terlihat sangat cantik.

Setelahnya, Bu Wulan menyodorkan sajadah dan memberitahuku arah sholat.

Aku pun kembali ke kamar mandi karena wudu yang tadi sudah batal karena kecupan. Kemudian setelahnya lanjut sholat.

Dalam ibadahku, aku terus bertanya.

Jika ini semua salah, mengapa perasaan yang hadir terasa begitu benar?

Setelah selesai sholat, Bu Wulan sudah menyiapkan makanan di meja. Ia mengikat rambutnya asal-asalan. Menambah kecantikannya berkali-kali lipat.

“Makan dulu, sayang,” ucapnya. Kata terakhirnya membuat hatiku luruh. Sayang?

Aku menyuap nasi goreng alakadarnya itu ke mulutku. Namun hati dan mataku hanya terpusat pada bidadari di hadapanku. Terbersit satu kemungkinan aneh. Apakah ini mimpi?

Kucoba mencubit tangan kananku. Sakit. Bukan mimpi.

Bu Wulan tertawa melihat tingkahku. Tawa yang renyah dan lepas, ingin kudengarkan selamanya.

“Kamu ngapain?” tanya Bu Wulan di sela tawanya.

“Nggak. Aku cuman mau mastiin ini bukan mimpi,” jawabku.

Bu Wulan meraih tanganku dan mengelusnya. “Kalau ini mimpi, aku nggak mau bangun.”

Ya, aku juga tak mau bangun dari mimpi ini.

< b >

Esoknya aku bangun. Melihat langi-langit yang asing. Ini bukan kamarku. Sedetik, otakku kosong, sebelum kemudian memori hari sebelumnya membanjiri otakku. Refleks, aku menoleh, mendapati Bu Wulan tidur di sampingku. Ia tertidur pulas.

Kusingkirkan helai rambut yang menutup wajahnya. Agar aku bisa melihat dengan jelas wajah itu. Wajah yang memutarbalik hidupku dalam setengah hari. Kamar itu cukup gelap tapi aku bisa melihat dengan jelas parasnya. Ini bukan mimpi.

Bu Wulan terbangun saat aku mengambil air untuk berwudu.

Hari itu hari Sabtu. Tak ada perkuliahan. Kami menghabiskan waktu dengan berbicara banyak hal. Tentang hidupku. Tentang kuliah. Tentang hal-hal yang kami sukai.

Kami juga menghabiskan waktu dengan menonton drama. Sofa di ruang itu menjadi saksi betapa kami selalu berangkulan, berbicara dengan berbisik satu sama lain. Seolah tak ingin lepas. Hanya beristirahat sesekali untuk mengambil makanan atau aku menunaikan sholat.

Tapi akhirnya aku harus pergi juga. Ada kumpul angkatan sore ini, dan besok ada deadline untuk tugas angkatan.

“Aku anter, ya?” Bu Wulan bertanya lembut, menggamit tanganku di depan pintu.

“Nggak usah. Nanti teman-teman curiga,” kataku, mengecup bibirnya. Refleks yang mulai hadir setelah seharian bersamanya.

Bu Wulan teringat kami belum menyimpan nomor masing-masing. Ia menyimpan nomornya di hp milikku. Lalu kami masih bermesraan di ambang pintu beberapa saat. Sampai akhirnya Bu Wulan melepas tanganku dan membiarkanku pergi.

Kurasa saat itu perasaan kami sungguh menjadi satu. Aku tak ingin pergi, ia pun tak ingin aku pergi. Kami ingin berdua, bersama, selamanya.

< b >

Aku banyak melamun di kumpul angkatan kali ini. Sesuatu yang jarang kulakukan, karena aku tahu tidak baik banyak-banyak melamun. Tapi bayangan itu selalu hadir kembali, menarikku dari realitas menuju memori yang masih membekas jelas.

Sentuhan-sentuhannya.
Kecup bibirnya.
Tangan lembutnya.
Mata indahnya.
Serta seluruh gestur mesra miliknya.

Sebuah chat masuk. Kulihat pengirimnya: Endorfin. Alias Bu Wulan. Sengaja kuubah agar tak membuat curiga jika kebetulan terlihat teman-teman. Chat-chat mesra yang biasa dikirimkan oleh remaja perempuan yang sedang jatuh cinta.

Oh, betapa ironisnya hidup. Dulu ketika teman-temanku sibuk berpacaran, aku hanya nyinyir dari jauh. Memikirkan betapa absurdnya pola tingkah mereka. Kini aku bertukar chat dengan perilaku yang sama persis. Mungkin malah lebih parah.

Tapi ini semua terasa benar.

“Udah coba kontak Farah, Tang?” Yoga yang duduk bersila di sampingku bertanya.

Jujur, aku tak menyangka Yoga akan benar-benar menagihku untuk mendekati Farah. Aku menggeleng.

“Kirain kamu becanda aja, Yog,” bisikku pada Yoga agar tak mengganggu ketua angkatan yang sedang berbicara di depan.

Yoga menaikkan alisnya. Ia terlihat sedikit kecewa.

“Kamu aja yang coba, Yog. Mungkin aja anaknya gaul,” ucapku mencoba menghibur. Kini setelah aku bertemu Bu Wulan, aku tak yakin bisa melihat perempuan lain dengan semangat.

Kami melihat ke arah barisan depan tempat Farah duduk. Ia terlihat perian dan pecicilan. Sebuah tipe yang kurasa cocok untuk Yoga.

“Emang mau dia dichat sama anak kayak aku?” Yoga bertanya. Pertanyaan itu membuatku menarik kesimpulan lain dari motif Yoga.

“Kamu suka sama Farah ya?” aku balik bertanya. Muka Yoga merah padam. Aku tertawa kecil. “Dicoba dulu, Yog. Kalau nggak dicoba, nggak bakal tau.”

Aku pun kaget dengan balasanku yang satu itu. Biasanya aku akan menceramahi orang akan bahaya pacaran dan sebaiknya dijauhi. Namun, setelah merasakan sendiri perasaan yang menggebu-gebu, sekarang aku bisa menempatkan diriku dengan posisi yang sama seperti Yoga.

Kutepuk-tepuk punggung Yoga untuk menyemangatinya. Sementara pikiranku kembali melayang pada Bu Wulan.

< b >

Bu Wulan menjemputku ke bawah. Akses apartemen itu hanya bisa dibuka oleh kartu residen. Ia menghampiriku masih dengan baju yang sama seperti saat kutinggalkan, daster longgar dengan potongan pendek.

Kami hanya berpisah selama beberapa jam tapi perasaan itu hampir tak tertahankan. Jika aku tak menahan Bu Wulan, kami sudah akan saling menelanjangi di sana.

“Nanti dilihat orang-orang,” bisikku ke telinganya, menahan wajahnya agar tak menciumku dulu. Alhasil, Bu Wulan hanya mengecup pipiku sekilas dan langsung menarik lenganku.

Di lift, Bu Wulan memeluk tangan kiriku. Kepalanya bersandar dengan mesra di bahuku. Aku pun merasa tak tahan. Tangan kiriku menggenggam erat tangannya. Seperti kemarin, lift ini terasa sangat lamban mencapai lantai yang kami tuju.

Saat kami mencapai kamar dan menutup pintu, Bu Wulan langsung menerkamku. Menciumku dengan penuh gairah. Aku bahkan tak sempat memastikan apakah pintu sudah terkunci apa tidak. Yang kupikirkan sekarang hanyalah malaikat yang ada di hadapanku.

Tidak sama seperti sebelumnya, kini lidahku ikut bermain. Berputar dan saling mengadu dengan lidah milik Bu Wulan. Rasanya begitu lembut dan basah.

Tangan Bu Wulan meraba-raba di dadaku. Memutarnya di putingku, yang membuatku menggelinjang kenikmatan. Aku pun tak ingin kalah. Kuraih ke balik dasternya dan kugenggam payudara miliknya. Tak puas, tanganku menyelinap ke balik BH dan mengusap-usap puting miliknya. Kami berciuman, saling melenguh kenikmatan.

Bu Wulan kudorong menuju sofa. Lalu dengan lembut kuciumi setiap lekuk tubuhnya. Mulai dari pipinya yang empuk, lehernya, turun ke atas payudaranya. Lalu kuturunkan BH miliknya, menampangkan sepasang gunung kembar yang sangat indah. Bulat sekal, begitu pas di tangan. Begitu seksi untuk kukecup. Lama aku berdiam di sana, mengecup dengan penuh kelembutan. Membuat Bu Wulan melenguh, bergelinjang nikmat.

Lalu aku terus turun ke perutnya. Tidak buncit, namun tidak terlalu kurus pula. Hanya ada sedikit cembung yang di mataku terlihat begitu seksi. Kukecup dengan penuh perasaan.

Kemudian aku turun lagi ke daerah kewanitannya. Aroma yang tercium sangat khas. Membuat otakku mendidih dan ingin segera menerkamnya. Bu Wulan dengan sigap membuka celana dalamnya. Menampakkan segaris lubang cinta yang begitu indah, disertai potongan bulu halus yang tercukur rapi.

Aku kecup bibir bawah itu dengan lembut. Menikmati setiap sentuhannya. Bu Wulan melenguh nikmat.

“Ahhhhh… sayang!” serunya, hampir-hampir berteriak. Punggungnya melengkung naik. Tangannya meremas kepalaku, menekannya lebih dekat ke vaginanya.

Satu tanganku meraih putingnya, memberikannya rangsangan bertubi-tubi. Sedang tanganku yang lain berusaha membuka celana jeans. Menampakkan batang kejantananku yang sudah berdiri kokoh.

Aku mengangkat badan sebentar, melepas baju dan celana. Kemudian aku kembali menyosor bibir indah milik Bu Wulan. Lidah kami berpagutan kembali, saling menari di tengah birahi. Badanku menindih badannya. Penisku yang teracung kugesek ke kemaluannya. Aku tak tahu di mana tepatnya lubang itu. Jadi hanya kutekan-tekan saja di dekat bibir kemaluannya. Namun itu saja cukup membuat kami merasakan nikmat tiada tara.

“Jangan dimasukkin, ya… sayang?” ucapnya di sela ciuman kami. Aku mengerti. Lagipula aku tak benar-benar tahu di mana harus memasukkan.

Kugesek terus penisku ke bibir vaginanya. Sementara tanganku kini menggenggam kedua payudaranya. Meremas-remasnya.

“Ahhh! Ahhhhhhh!” racaunya semakin kencang dengan setiap gesekan. Aku melihat matanya terpejam penuh kenikmatan. Berseru-seru, “Terus, sayang. Iya, di situ enak….”

“Ah, iya… iya, enak,” aku ikut meracau. Goyanganku semakin tak terkendali. Kemaluan kami terus bergesek dengan nikmat. Aku mendekapnya, mengecupi bibirnya. Getaran-getaran tubuhnya memberi sinyal bahwa sebentar lagi ia sampai.

Aku mempercepat goyanganku, membuatnya semakin menjerit-jerit tak karuan. Kurasakan pula ada sesuatu yang ingin meledak dari penisku. Hingga kemudian kami berdua bergetar hebat, mencapai klimaks. Dalam puncak kenikmatan itu, aku memeluknya erat, sementara ia pun mencengkram punggungku dengan kuat. Kami meraihnya bersamaan.

“Ahhhh! Sayang enak!!” teriaknya. Tak peduli lagi akan apapun.

Sesaat kemudian, aku ambruk di sampingnya. Kembali melayang ke alam kenikmatan itu.

< b >

Besoknya hari Minggu. Aku dan Bu Wulan kembali menghabiskan waktu dengan bermesraan. Berbicara apa pun. Semua percakapan yang kami lakukan terasa sangat natural. Pengetahuan Bu Wulan akan semua topik yang kami bicarakan, dipadukan dengan keingintahuanku, membuat kami menjadi pasangan yang sangat cocok.

Aku akhirnya melempar satu hal yang sejak semalam menggangguku.

“Kamu masih perawan?” tanyaku. Agak tiba-tiba. Kami sedang menonton TV di sofa sambil berangkulan.

Ia mengangguk dan menatapku. Tatapan manja seperti perempuan muda berumur dua puluh tahun. Dan aku memang melihatnya setara denganku.

Aku memakluminya dan mengecup keningnya. Membuatku semakin menaruh perasaan padanya. Betapa aku menghormatinya karena telah menjaga kehormatannya selama ini. Kisah hidupnya masih menjadi misteri bagiku, dan aku juga tak ingin cepat-cepat menyinggungnya. Aku hanya ingin menikmati momen-momen ini.

Entah apa responsnya ketika aku menerima chat dari Farah malam itu.

To be continued


Klik ke CHAPTER 3

JANGAN LUPA COMMENT
"KARENA FEEDBACK KALIAN SANGAT BERHARGA"


:adek::adek:
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd