Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

BENGAWAN [LKTCP 2021]

lintangselatan

Semprot Kecil
Daftar
25 May 2021
Post
80
Like diterima
1.063
Bimabet
Entah harus darimana aku mulai cerita usang yang sudah berlalu puluhan tahun, tapi tetap saja meninggalkan goresan yang teramat dalam, terutama buat diriku sendiri dan juga kakak atau ayahku ah entahlah harus kupanggil dengan sebutan apa.

Kemaren sore salah seorang tetangga dari kampung, datang ke kediamanku hanya untuk mengabarkan bahwa kakakku tengah sakit namun enggan di bawa ke rumah sakit oleh tetangga yang berbaik hati berkenan merawatnya.

Saat itu aku hanya bisa terdiam, haruskah aku juga keras kepala sama dengannya, meski ada rasa bimbang karena harus melanggar kata kataku sendiri yang terucap dulu.

Pada akhirnya di sinilah aku sekarang, bersama wanita yang kucintai di sampingku dan kedua buah hati kami yang masih tertidur pulas di belakang.

Semalaman sudah kami lakukan perjalanan dari ibukota ke kampung halamanku, dan kini hampir sampai di ujungnya ketika mobil yang kukemudikan sendiri telah menyusuri jalan bulak panjang yang menghubungkan kampungku dengan kampung lainnya.

Hamparan persawahan yang menghijau karena masih dalam masa tanam berpadu dengan semilir sejuk angin pagi jujur saja membuatku merasa sangat nyaman dan serasa kembali berada dalam buaian penuh kasih seorang ibu yang tak pernah kurasakan.

Kulihat di sebelah barat tampak dua buah gunung besar berjajar menampakkan kegagahannya sedang di timur sebuah gunung juga tampak berwibawa dengan kakinya tampak memunculkan semburat kemerahan yang makin lama makin membuat terang dunia.

Sungguh karunia panorama alam yang maha sempurna, aku yakin tiap orang yang melihat akan mengagumi keindahan alam yang sempurna ini tanpa pernah berpikir dulu berpuluh puluh tahun silam di atas tanah yang subur ini pernah menyimpan sebuah tragedi yang memilukan bagi para penduduknya.

Tragedi yang sudah lama berlalu yang mungkin sudah tak berbekas lagi buat sebagian banyak orang tapi tidak buatku.

Setelah hampir satu dasawarsa akhirnya aku kembali ke kampung halamanku lagi.

Beberapa kali aku harus membunyikan klakson untuk menghalau gerombolan kebo piaraan yang melintang di tengah jalan ataupun saat berpapasan dengan orang orang yang mulai berangkat ke lahan lahan sawahnya yang hanya tersenyum ke arah mobilku saja tanpa tau akulah yang berada di dalamya.

Namaku adalah Untoro, yang maknanya apa aku ngga pernah dan ngga mau tau karena nama itu adalah pemberian dari kakakku yang merupakan keluargaku satu satunya setelah ibuku yang melahirkanku wafat hanya beberapa saat setelah melahirkanku ke dunia ini, serta ayah kami yang tak pernah kujumpai sedetikpun dari lahir hingga kini.

Sejak aku lahir aku hanya mengenal kakakku saja yang aku biasa menyebutnya dengan sebutan kang Minto, sedang usia kami sendiri terpaut cukup jauh menurutku yaitu 18 th.

Setelah waktu berlalu begitu cepat rasanya aku terus bertumbuh menjadi anak yang harus ku akui sangat cerdas dan pintar, meski aku tumbuh menjadi pribadi yang sangat introvert.

Nyaris berkebalikan dengan dugaan dari kakakku sendiri yang mengasuhku yang sering mengatai aku akan bodoh dan tolol dan hal hal jelek lain sebagainya.

Hingga akupun sering merasa marah dan ujungnya kami sering perang kata kata.

Ahh...brengsek cerita kakakku itu kembali terkenang dalam benakku lagi.

Saat itu adalah akhir september tahun 1975, awan tebal dan semburat hitam selalu terlihat di langit yang akhirnya benar benar menumpahkan limpahan airnya yang tak terhitung lagi jumlahnya yang jelas siang malam selama seminggu penuh hujan dengan intensitas tinggi mengguyur tanpa henti.

Bila sudah begitu aku tanggap harus melakukan apa, ya seperti biasa aku akan menyiapkan lesung dan beberapa makanan pokok untuk kebutuhanku dan emakku yang kini menderita lumpuh di separo badannya.

Di saat seperti ini aku sangat membutuhkan figur ayahku yang justru sudah hampir dua tahun ini tak pernah pulang kampung dari perantauannya.

"Minto...apa hujannya belum reda juga dari tadi ?" tanya dari emakku yang sedang berbaring di ranjangnya.

Paini begitulah nama lengkap emakku itu.

"Reda apa mak...malah tambah gede iya" jawabku mulai cemas.

Jujur saja hampir tiap musim hujan kampungku selalu di landa banjir tapi yang seperti ini rasanya baru sekarang ini terjadi.

Hujan deras di sertai petir menggelegar dan angin badai terus terusan selama beberapa hari.

Yang paling ku takutkan adalah jika kali bengawan juga meluapkan airnya, jelas daerahku yang akan sangat terkena imbasnya karena daerah aliran sungai bengawan seperti mengelilingi kampungku laksana ular raksasa yang membelit sebatang kayu.

Kulihat di luar rumah air mulai menggenangi mungkin setinggi lutut dan masih aman untuk rumah gubugku yang berbentuk panggungan tapi dengan guyuran hujan deras seperti ini jelas hanya tinggal tunggu waktu saja untuk mencapai badan rumah.

"Lebih baik kita ngungsi sekarang saja nak, bukankah orang orang juga sudah mulai ngungsi" ucap emak lirih.

"Iya mak tapi hujannya masih begitu deras aku takut emak tambah sakit nanti" jawabku yang sedang bimbang antara mengungsi sekarang atau nunggu hujan reda, kalo banjir jelas bisa di pastikan akan semakin tinggi.

"Lesungmu sudah kau siapkan ?" tanya emak lagi yang kulihat raut mukanya di penuhi kecemasan yang teramat sangat.

"Sudah mak, sudah Minto siapkan semuanya di belakang rumah"

Emak lalu minta di bantu untuk bangkit dari pembaringannya setelah mendengar jawaban dariku.

Entahlah tapi tiba tiba saja perasaanku menjadi kelam begitu dengar kata lesung yang di ucapkan emak tadi.

Akupun bergegas ke belakang untuk mengecek lesung yang tadi ku tambatkan talinya dengan salah satu tiang penyangga rumah.

Sejenak aku termangu mangu dan bingung kulihat berkali kali untuk memastikan tapi kulihat lesungku benar benar telah lenyap kulihat talinya terputus bekas sayatan.

"Bajingannnnnn....Anjinggg !!!" teriakku keras di sertai amarah, lalu aku berlari masuk ke ruang dalam lagi.

"Mak...lesungnya hilang mak di curi orang.." kataku keras pada emakku yang hanya diam lalu menangis tersedu.

Tak menunggu emak bicara lalu menyambar parang yang terselip di dinding bambu rumah, lalu keluar rumah.

Aku terkejut begitu masuk ke halaman air telah hampir setinggi pundakku.

Aku lalu sedikit berenang dan mencapai gugusan rimbun bambu petung yang ada di depan rumah masih masuk pekarangan rumah kami.

Dengan sigap aku tebas batang batang bambu petung muda yang berukuran sebesar pergelangan tangan, meski harus sangat hati hati dengan beberapa hewan berbisa yang dalam kondisi seperti ini sering bersarang di tempat tempat rimbun seperti bambu petung.

Setelah mendapat tiga batang lalu aku menebang batang batang gedebog pisang kepok punyaku yang sebenarnya baru muncul bunga pisangnya.

Dengan empat batang gedebog pisang itu aku membuat gethek yang kusatukan dengan batang bambu.

Tiba tiba kudengar suara gemuruh berdebur cukup nyaring dari arah timur dan tak lama kemudian riak gelombang air seperti menerpa tubuhku yang membuat aku seperti tenggelam beberapa saat.

Sial yang kucemaskan benar benar terjadi, kali bengawan benar benar meluapkan airnya yang berarti kiamat bagi kampungku.

Setelah memancang gethek yang baru saja ku buat dengan tiang penyangga depan rumah, aku segera masuk ke rumah dengan basah kuyup.

"Mak kita pergi sekarang, bengawan telah meluap !" kataku agak keras.

Emak diam saja ketika tubuhnya yang mungil aku bopong lalu ku letakkan di atas gethek, emak terlihat langsung menggigil begitu air hujan langsung mengguyurnya.

Tanpa berpikir apapun lagi akupun segera naik ke atas gethek dan mengayuhnya dengan kayuh seadanya karena kayuhku yang bagus ikut di curi bersama lesungku.

Hari semakin gelap pekat, kulihat kampungku benar benar sudah senyap seperti kampung mati karena di tinggal penduduknya mengungsi ke bukit cempluk berdesak desakkan dengan mungkin ribuan jiwa dari beberapa kampung di sekitar bukit cempluk yang terlewati oleh daerah aliran kali bengawan.

Sambil memeluk tubuh emak yang menggigil kedinginan satu tanganku yang lain kugunakan untuk mengayuh.

Namun hujan yang terus mengguyur dan penerangan yang nyaris tidak ada membuatku seperti orang buta yang tak tau arah kemana harus mengarahkan gethekku.

Pada akhirnya gelombang air lah yang menuntun jalan dan menyeret gethekku sesuai keinginannya yang ternyata membawa kami masuk ke tengah tengah kali bengawan yang bunyi arus airnya membuat jantungku serasa mau rontok.

Satu satunya hal baik adalah emak tetap tenang dan tidak panik sedikitpun.

Bahkan ketika pusaran arus membuat gethek yang kami tumpangi berputar putar seperti ingin menyedot kami.

Aku hanya bisa memeluk tubuh emak makin erat sambil memasrahkan nasib kami pada sang Maha Kuasa.

Hatiku sedikit tenang karena gethek yang kubuat dadakan ternyata tetap stabil meski arus air yang begitu kuat seakan ingin mencabik cabik gethekku.

Rasanya cukup lama kami membiarkan diri terbawa arus yang entah membawa kami sampai kemana karena setelah itu kurasakan gethekku mulai tenang dan tidak terombang ambing lagi.

Dalam keremangan sedikit cahaya kulihat sesuatu menahan gethek yang aku dan emakku tumpangi yang setelah kuperhatikan lebih jelas ternyata ranting ranting pohon trembesi yang menahan gethek.

Hujan yang juga sudah reda membuat napas kami semakin lega, lalu dengan hati hati ku ikat tali pancang di ujung ujung batang pasak bambu dengan ranting yang menahan gethekku.

"Kita aman mak sekarang" kataku sambil memeluk lagi tubuh emak yang terus saja menggigil.

"Kita dimana sekarang ?" tanya emak dalam bisikan yang lirih dengan badannya gemetar menggigil meski aku telah memeluknya erat erat.

"Di atas trembesi pinggir seberang kali mak" bisikku di dekat telinga emak.

Sesaat kami terdiam meski sesekali terdengar suara emak yang menggigil meski masih kalah dengan suara arus air berkecipak yang sering membuat gethek terombang ambing.

Tiba tiba saja kurasakan jemari emak menggenggam erat jari jemariku, ternyata emak sedang berusaha memutar tubuhnya untuk menghadapku.

Akupun segera beringsut dan lalu memeluk tubuh emak dari depan.

Dengan hanya satu tangannya yang bisa bergerak, emak melingkarkannya di pinggangku lalu merebahkan kepalanya di pundakku, aku pun semakin erat memeluk tubuh emak.

Entah kenapa hal seperti itu membuat perasaanku seperti terbang dan sangat nyaman yang akhirnya membuat kontolku berkedut kedut tanpa bisa di kendalikan.

Gelap pekat malam dan suasana sunyi akhirnya mendukungku untuk melanjutkan kenyamanan ini.

Perlahan kucium pipi emak yang membuatnya semakin erat mengencangkan pelukannya di pinggangku.

Setelah itu semakin sering aku menciumi pipi dan leher emak yang respon emak hanya diam saja.

Bahkan ketika aku memegang kepalanya lalu bibirnya ku ciumi dengan bibirku, emak masih tanpa respon meski juga sama sekali tidak menolak.

Barulah ketika setelah itu kurebahkan emak di atas gedebok gethek yang basah emak menolak.

"Jangan begini nak" ucap emak pelan yang langsung menghentikan tindakanku.

Setelah itu ku tarik lagi tubuh emak dan kembali kupeluk seperti awal emak tak menolak justru tangannya meraba kontolku yang sudah sangat tegang sekali meski celana yang kupakai basah total demikian juga pakaian emak yang basah total.

"Kamu pengen kenthu ?" bisik emak lirih.

"Iya mak..." jawabku juga pelan karena malu meski hanya samar samar saja melihat wajah emak.

"Kalo begitu lakukan dengan duduk saja yah...emak takut kalo kau menindih emak di gethek seperti ini" ucap emak pelan.

"Dengan duduk mak !... tapi lalu gimana caranya mak ?" tanyaku bingung karena setauku orang kenthu itu lelaki menindih perempuan.

"Lepaslah celanamu dulu !" ujar emak yang langsung kuturuti hingga langsung terlihat kontolku telah mengacung kencang terayun ayun.

"Bantu menyingsingkan kain panjang emak ! Lalu angkat bokong emak dan tumpangkan di atas kontolmu" ujar emak datar.

Segera saja kulakukan apa kata emak, menyingsingkan ke atas kain panjangnya yang membuat aku samar samar dapat melihat bagian selangkangan emak yang di tumbuhi bulu bulu rambut yang lebat.

Emak mendesah pelan ketika aku mencoba merabanya dan merasakan rambut rambut itu dalam keadaan sangat lembab yang mungkin karena kelamaan basah kena guyuran air hujan tadi atau sebab lain.

Pelan pelan kuangkat bokong emak dan kuposisikan di atas kontolku sementara satu tangan emak telah memegang batang berurat kencang kontolku.

Kurasakan emak menggesek gesekkan belahan tempiknya dengan helm kepala kontolku sejenak sebelum menekan bokongnya ke bawah yang membuat kontolku langsung menembus lubang tempiknya.

Sejenak kami berdiam di posisi seperti itu sebelum aku mengoyangkan bokongku untuk membuat kontolku bisa menusuk keluar masuk lubang tempik emak.

Tiba tiba saja emak semakin liar menggerakkan bokongnya dan menggesek gesekkan tempiknya membuat kontolku makin lancar saja menembusi lubang kemaluannya.

Hanya beberapa saat saja setelah itu satu tangan emak mencengkeram leherku dan menekan nekan kepalaku ke dadanya.

Kami seakan tak peduli gerakan kami membuat gethek juga ikut bergoyang timbul tenggelam, rasa nikmat membuat kami lupa segalanya.

Emak mendesah cukup keras lalu diam dan merebahkan kepalanya di pundakku, setelah terakhir tadi sempat menggoyangkan bokongnya dengan begitu liar dan keras yang sempat membuatku takut kalau kalau batang kontolku patah karenanya.

"Emak sudah keluar nak" bisik emak di telingaku saat aku menatapnya emak menyunggingkan senyumnya.

Aku sama sekali belum tau keluar itu artinya apa yang jelas setelah itu emak bersedia ku kenthu dengan kutindih tubuhnya sampai kontolku menyemburkan kencing yang sama sekali tak bisa ku tahan namun rasanya membuatku benar benar melayang ke awang awang.

Begitupun emak kurasakan malah semakin sering menciumiku sesaat setelah ku kencingi tempiknya.

Setelah itu kami segera buru buru bangkit karena mendengar bunyi kecipak arus air yang rasanya makin kencang saja.

Setelah itu aku memakai kembali celanaku dengan kontol yang telah terkulai lemah sementara emak juga membenahi kain panjangnya lalu kami kembali berpelukan dengan emak kini tak segan lagi tidur dalam dekapan tanganku.

Keesokan harinya kami terbangun dan memandang sekeliling kami hanya ada air yang berwarna coklat keruh namun aku bisa melihat kampungku yang hanya terlihat genting genting rumahnya saja sementara bagian bawah telah terendam.

Aku menunggu sampai matahari benar benar telah bersinar untuk kemudian mengayuh perlahan gethekku menuju tempat yang kurasa lebih aman sebelum gedebok gedeboknya membusuk.

Dengan penglihatan yang jelas setidaknya aku bisa mengarahkan kemana harus ku kayuh gethek meski beberapa kali aku harus berjuang keras untuk melepaskan diri dari seretan arus air yang ingin membawa kami ke tengah kali bengawan lagi.

Setelah hampir tengah hari barulah kami sampai di daerah perkampungan yang juga terendam banjir meski tak separah kampungku, karena air yang merendam hanya setinggi lutut saja yang membuat gethekku tak bisa di pakai lagi karena kandas.

Kemudian aku yang dalam keadaan sangat lapar dan lemas menggendong emak, dan mencoba mencari bantuan di salah satu rumah penduduk yang sederhana saja.

Di rumah itu kami di perlakukan cukup baik setelah kami menceritakan perjuangan kami melawan arus kali bengawan semalaman, yang tentu saja tanpa cerita hubungan intim yang ku lakukan dengan emak.

Beberapa hari kami numpang di rumah itu sampai akhirnya kami berpamitan untuk pulang ke kampung kami meski harus memutar lebih jauh karena jarak yang lebih dekat harus menyeberangi kali bengawan lagi.

Berulang kali kami harus berterimakasih pada tuan rumah yang sangat murah hati itu meski keadaan kehidupannya pun tak lebih baik dari kami, mereka tak kuasa melepas kami tanpa bekal apapun hingga membekali kami dengan beberapa potong singkong rebus untuk perjalanan kami.

Sambil menggendong tubuh emak aku berjalan selama seharian penuh untuk sampai di rumahku yang keadaannya sudah tak menentu selama kebanjiran, bahkan aku harus mengusir dan membunuh beberapa binatang berbisa yang tiba tiba saja ikut menghuni rumahku.

Meski masih utuh berdiri tapi beberapa bagian rumah terlihat rusak parah yang baru esoknya kuperbaiki sendirian.

Sementara itu hubungan intim yang kulakukan dengan emak rupanya telah mengubah hubungan kami selamanya karena setelah peristiwa itu kami makin mesra dan hampir tiap malam kami tidur dalam ranjang yang sama dengan intensitas hubungan intim hanya berselang semalam saja sebelum keesokan malamnya kami berhubungan intim lagi.

Hal itu kemudian menyebabkan emaku hamil yang sama sekali tak di ketahui orang orang, dan menginjak kehamilan emak yang keempat bulan, ayahku datang dari perantauannya.

Mendapati keadaan emak yang seperti itu ayahku terlihat sangat kecewa meski setelah kami jujur mengatakan yang sebenarnya, ayah tak lagi mempersoalkannya tapi jelas sekali kalo ayahku sangat kecewa.

Dan puncaknya sebulan setelah emak melahirkan anak kami, ayahku pamit pergi merantau lagi dan tak pernah kembali lagi dan menyuruhku berjuang membesarkan anakku seorang diri di usia 18 tahun karena emak telah menghembuskan napas terakhirnya hanya beberapa saat melahirkan anak yang kunamai dengan Untoro.

Anak yang aku sangat membencinya karena kelahirannya melenyapkan kebahagiaanku.

Meski begitu karena anak itu aku bekerja keras untuk bisa menghidupinya, menjadi tukang bangunan dan menggarap sepetak ladang cukup untuk membuat anak itu mengenyam pendidikannya sampai akhirnya membuatnya pergi merantau ke negeri eropa karena bakat dan kecerdasannya hingga mendapat beasiswa dari pemerintah.

Dan aku kini sebatang kara kehilangan segalanya dalam usia yang belum begitu senja aku telah menikmati siksaan dunia karena kesunyian ini.

Sakit di tubuhku bukan karena rapuhnya ragaku namun lebih karena terhinanya jiwaku yang telah tenggelam dalam kubang kelam penuh dosa, betapapun aku sesali tapi tak akan mengembalikan apapun yang ku inginkan.

"Pah sudah sampai...?" tanya istriku sambil meliukkan tubuhnya yang mungkin pegel karena duduk semalaman di jok mobil.

Kutatap wajah cantik yang telah memberiku dua malaikat kecil untukku itu.

Aku bimbang dan sedikit terbesit ketakutan jikalau dia nanti tau akan jati diriku yang sebenarnya.

"Kok berhenti disini seh pah..jangan bilang papah lupa rumah kang Minto kakaknya papah itu" tukas istriku berucap lagi setelah tadi tak kujawab.

"Kita sudah sampai mah... itulah rumah gubug kang Minto itu" kataku sambil menunjukkan rumah panggung yang masih cukup kokoh hanya saja kaki kaki penyangganya sudah di ubah dari kayu menjadi cor.

"Ya sudah tunggu apa lagi ayo kita turun dan temui kang Minto kalo perlu sekalian kita bawa ke rumah sakit...kok papah malah bengong seh" ucap istriku yang mulai bawel.

"Kak Tiar bangun kak kita sudah sampai di rumah uwak, kak Tiar bangunin dede Tian juga" kata istriku lalu membuka pintu mobil kemudian kembali membangunkan anak anakku yang masih terlihat malas malasan.

Namun setelah mamahnya membangunkan paksa, anak anakku langsung bangun meski menggerutu.

Aku hanya tersenyum melihat tingkah buah hatiku yang terlihat lucu itu.

Akhirnya kamipun turun dari mobil dan membiarkan mobil terparkir di halaman dengan agak menutupi gerbang masuk.

"Kang...kang Mintooo...!" ucapku sambil mengetuk pintu rumah panggung itu sementara istri dan kedua anakku melihatku dari bawah.

"Siapaaa...?" terdengar sebuah jawaban dari dalam rumah meski sangat lirih.

"Aku...Untoro..." jawabku keras.

"Masuklah...tidak di kunci !".

Aku pun melambaikan tangan sebagai tanda mengajak masuk pada anak dan istriku yang di sambut mereka dengan gembira.

Perlahan ku buka pintu yang memang tidak di tulak dari dalam itu, dan langsung mendapati pria paruh baya yang berbaring di ranjang berselimutkan kain batik lurik panjang yang terlihat usang dan kumal.

"Ku dengar kau sakit kang.. gimana keadaanmu sekarang ?" tanyaku sambil menyentuh kening kakak sekaligus ayahku itu.

"Kau dengar dari orang gila mana yang mengabarkan aku sakit.." ujar kang Minto terlihat ketus acuh tak acuh padaku.

Barulah ketika istri dan anak anakku ikut masuk ke dalam ruang rumah yang tak terlalu longgar itu, kang Minto berusaha untuk bangkit dan tersenyum.

Ku biarkan istri dan anak anakku menyalim tangan kang Minto yang terlihat senang dengan kehadiran mereka itu.

Sesaat kemudian kang Minto dengan raut wajah senang lalu beramah tamah dan berbincang bincang sambil tak henti hentinya memuji anak anakku yang berparas manis manis.

Entahlah aku memang termakan hoaks dengan berita yang di sampaikan oleh lik Yoso kemaren itu atau sebab lain tapi kulihat kang Minto tiba tiba saja langsung terlihat bugar yang menandakan dia memang baik baik saja.

Kang Minto begitu cekatan dengan segera merebus air minum untuk kami, bahkan saat istriku menawarkan diri untuk membantunya kang Minto dengan tegas melarangnya dan malah menyuruhnya istirahat saja.

Anak anakku yang memang tergolong bocah super aktif langsung bermain main yang sama sekali tak di tegur oleh kang Minto meski aku tau kakakku itu cukup bengis.

Setelah menyuguhkan teh tubruk gula aren buatannya yang ku akui sangatlah sedap menyegarkan tubuhku yang memang lelah itu, kang Minto ku ajak bicara empat mata terutama setelah istri dan anak anakku pamit untuk mandi di sumur belakang rumah.

Untuk kesekian kalinya kuminta ayah biologisku itu untuk tak sekali sekali mengungkit tentang jati diriku pada siapapun juga.

"Harusnya dulu aku melemparkanmu ke kali bengawan Toro..." ucap lirih kang Minto.

"Kenapa tak kau lakukan...aku sudah bilang menikahlah kang biar ada teman yang bisa kau ajak berbagi... tidak seperti kau sekarang ini, hidup tak mau matipun segan" ujarku tak kalah pelan.

"Ngerti apa kamu anak bau kencur ingin sesorah padaku" tukas kang Minto pedas.

"Setidaknya aku berharap umurmu panjang dan bisa menikmati sisa hidupmu" balasku.

"Dalam hidupku sudah tak ada yang layak lagi buat keinginanku, aku hanya mencintai satu wanita dan itu akan kekal" ujarnya sangat lirih.

"Kalo begitu mati sajalah... apa kau tau kata katamu tentang wanita itu membuatku muak" geramku.

Aku heran apa yang sebenarnya ada dalam otak kang Minto, secara terang terangan dia mengatakan hanya mencintai satu wanita yang mana wanita itu ibunya sendiri.

Sesaat kemudian dari mulut kang Minto telah berhembus asap pekat berwarna putih kelabu hasil dari buangan hisapannya pada bakaran bako lintingnya.

"Kenapa..? kenapa kau begitu ngotot ingin aku kawin, kau pikir apakah ada yang mau dengan pria setua diriku ini" ujar kang Minto sambil menghembuskan asap rokok lintingnya setelah ia menghisapnya dalam dalam.

"Bukalah mata hatimu kang, kaulah yang slalu menuakan dirimu sendiri, kau slalu berpikir dengan seperti itu kau akan di anggap berwibawa padahal omong kosong dengan bersikap cengeng seperti itu kau tak lebih seperti seorang anak manja tapi sikapmu lebih memuakkan, sebaiknya ngacalah sekali lagi kang, hidup ini terlalu sayang untuk di sia siakan, kalo kau mau aku bisa bantu menemukan pendamping buatmu yah ngga usah terlalu muluk aku pikir janda janda yang di tinggal mati cukup banyak tersedia nanti kalo kang Minto kersa bisa ikut denganku ke ibukota pembantu di rumahku pun seorang janda yang lumayan cantik" ujarku

"Tutup mulutmu bocah tengik, apa kau tau kau itu sama busuknya dengan tempat yang menjadi awal kelahiranmu, sejak malapetaka itu terjadi aku harus menjadi sebatang kara sepanjang hidupku brengsek" ujar kang Minto sambil melotot penuh amarah.

"Itu karena hatimu buta kang kau sebut bengawan itu busuk padahal tanpa kejadian itu kau sama sekali tak bisa menyentuh apa yang jadi anganmu itu, lagipula lihatlah sekarang apa ada banjir lagi sejak proyek pelurusan kali, buka matamu juga dan lihat kemakmuran yang terjadi di lahan lahan persawahan subur itu karena air dari bengawan..." ujarku tenang menanggapi kang Minto yang masih terlihat marah.

"Aku tau kang Minto marah karena berpikir kehadiranku telah merusak kebahagiaanmu bersama ibu, tapi pernahkah kang Minto sekali saja memahami perasaanku yang sama sekali tidak menyukai cara kalian yang menjadi penyebab hadirku, kau ingin tau kang, aku bahkan sangat jijik pada diriku sendiri dan rasanya mimpi buruk itu terus menghantuiku bahkan sampai detik ini" ujarku lagi melanjutkan, namun saat kang Minto hendak berucap, terdengar suara gurauan anak anakku yang lalu membuka pintu belakang keras keras.

Seperti biasa anak anakku selalu langsung menghampiriku dan menciumi pipiku sehabis mereka mandi untuk minta di nilai sudah wangi apa belum, yang tentu saja aku balas dengan menciumi pipi pipi mereka yang terlihat gembil dan lucu itu.

Sengaja aku pamerkan sikap sebuah hubungan keluarga yang sebenarnya pada kang Minto.

"Aku masih berharap kau menemukan kehidupanmu yang sejati kang" bisikku lirih ketika anak anakku langsung berlari menghampiri mamahnya yang juga sudah selesai mandi.

"Pah mau mandi ngga, airnya segar sekali pah..." ujar istriku sambil menyisir rambutnya yang sedikit basah oleh air.

"Pantesan lama mandinya" ucapku sambil melangkah mendekati wanita yang sudah tujuh tahun ini kunikahi lalu mengecup bibir dan pipinya.

Istriku tidak menolak tapi segera mendorong tubuhku, sambil matanya melirik ke arah kang Minto sebagai pertanda dia malu di perlakukan seperti itu di depan kakak iparnya.

"Pikirkanlah ucapanku tadi kang" kataku sambil memeluk istriku di depan kang Minto.

"Aku akan bikin sarapan" ujar kang Minto lalu beringsut dari duduknya dan berdiri.

"Uwak biar saya saja yang masak" kata istriku sambil meronta ingin melepaskan pelukanku.

Namun aku justru semakin erat memeluk tubuh wanitaku itu yang membuatnya pura pura memelototiku, yang aku hanya tersenyum saja lalu menciumi wajah cantik istriku itu.

Sore hari aku mengajak keluargaku jalan jalan menikmati udara segar yang sudah sangat susah di dapatkan di ibukota.

Di sebuah jembatan besar yang melintang dengan anggunnya yang baru beberapa tahun ini di resmikan pembangunannya, yang di tujukan untuk menyatukan daerah daerah yang terpisah oleh lebarnya kali bengawan, kami berdiri di sisi jembatan dan menengok ke bawah tepatnya melihat rupa kali yang beberapa puluh tahun lalu pernah memporak porandakan daerah ini dengan luapan airnya yang menggenangi hampir seluruh daerah yang sekarang begitu subur dan makmur dan menjadi salah satu lumbung padi ini.

Setelah puas memandangi panorama bengawan dari atas jembatan yang di saat sore banyak orang berlalu lalang sekedar untuk menghidup udara segar atau berjalan jalan bersama kekasih hatinya, lalu kubawa keluargaku berjalan jalan ke seputaran alun alun kabupaten dan sejenak mampir untuk menikmati aneka kuliner yang tersaji di sepanjang wilayah alun alun.

Jam sebelas malam kami menyudahi acara jalan jalan kami untuk kemudian pulang dengan hati yang cukup puas.

Namun begitu sampai rumah kediaman kang Minto, terlihat suasana begitu sepi senyap meski lampu penerangan sudah menyala.

Saat masuk rumah itulah kami semua shok dan terkejut karena mendapati kang Minto telah terbujur diam dan kaku berselimutkan kain batik lurik panjang yang sudah kumal dan usang itu, sementara di sudut sudut bibirnya terlihat bekas lelehan busa berwarna kuning pekat.

Aku tak kuasa menahan istriku yang segera menjerit histeris dan juga tak kuasa menahan air mataku sendiri untuk tak keluar dan dengan derasnya lalu membasahi wajahku meski aku sama sekali tak terisak karenanya.

Tak kusangka pertemuan hari ini menjadi pertemuan terakhirku dengan ayah kandungku sendiri.

Betapapun besarnya penyesalanku, ayahku benar adanya aku biadab laksana bengawan, diam namun mematikan, yang kehadirannya ibarat membawa dua unsur sekaligus yang berlawanan.

Kemakmuran yang terjadi akibat hadirnya selalu saja berimbang dengan tragedi yang di sebabkan olehnya.

Namun bagi banyak orang kali bengawan adalah sumber kemakmuran yang sudah tak di ragukan lagi yang hadirnya akan slalu di syukuri buat daerah daerah yang di laluinya.

Setelah bersama penduduk memulasara jenazah kang Minto, sore itu juga kami sekeluarga berpamitan tak lupa kami wakafkan tanah kediaman kami itu atas nama Minto dan Paini untuk keperluan pembangunan tempat ibadah baru buat warga setempat.

"Papah...Tiar akan kangen dengan desa ini lagi" ucap anak gadisku yang sulung yang baru berusia 6 th itu.

"Sama kakak...kita semua akan slalu kangen tapi demi leluhur, kita harus ikhlas menyedekahkannya bukan" jawabku.

"Tiar kasihan sama uwak Minto pah" ujar anak sulungku itu lagi yang ternyata sukses membuat mataku berkaca kaca dan kemudian melelehkan butiran butiran bening yang sama sekali tidak bisa ku tahan.

"Tapi kang Minto itu mirip banget loh sama papah" tukas istriku menyahut.

"Aku kan adiknya mah kami sedarah daging" jawabku.

"Sayang sekali yah pah kang Minto tak memiliki keturunan" ujar istriku berucap lagi namun sama sekali tak ku tanggapi.

"Padahal pah aku baru saja ingin menjodohkan kang Minto dengan bi Sarah" ujar istriku melanjutkan.

"Bi Sarah adik bapak yang di Garut maksud mamah ?" tanyaku.

"Iya pah...padahal kayanya mereka cocok pah.." kata istriku lagi.

"Mau gimana lagi mah kita doakan saja kang Minto bertemu dengan wanita yang di cintainya di alam kuburnya" jawabku sambil mengusap pipi istriku yang bernama lengkap Ika Wulandari itu.

Sebagai responnya istriku lalu memegang tanganku kemudian di cium ciumnya beberapa kali sebelum tangannya membawa tangan kiriku yang tidak memegang stir untuk di letakkan di paha kanannya.

Masih tak habis fikirku kenapa kang Minto harus melakukan kebodohan seperti itu, apakah cintanya pada ibuku sedahsyat itu hingga membuatnya nekad menenggak cairan pestisida dalam jumlah besar yang akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri.

35 hari sudah hari kematian kang Minto, beberapa hari lagi aku harus rehat lagi dari pekerjaanku di perusahaan industri aviation plat merah sebagai kepala produksi karena di minta menghadiri acara doa bersama almarhum kang Minto di kampung.

Sementara sebelum itu oleh istriku yang nanti tak bisa ikut, aku di suruh mampir ke rumah mertuaku di Garut, karena dapat kabar ibu mertuaku sedang dapat sakit.

Karena sesuai permintaan istriku aku mampir di kampung halaman istriku lewat jalur selatan.

Disana kulihat ibu mertuaku memang terlihat sedikit pucat lalu aku membujuk beliau untuk ikut denganku saja dan berobat di beberapa alternatif medicine yang ada di sekitar kampungku.

Ayah mertua yang mudah termakan propagandaku akhirnya merelakan istrinya untuk ikut bersamaku dan menjalani pengobatannya pada ahli pengobatan yang kusebutkan.

Mula mula ibu mertuaku hanya duduk di jok tengah yang membuatku hanya bisa sesekali mencuri pandang dari kaca tengah untuk sekedar memelototi payudaranya yang cukup besar mungkin berukuran 36D entahlah yang jelas besar buatku.

Ibu mertuaku bernama yang bernama Nenih Rosmawati ini tergolong cantik untuk usianya yang sudah menginjak 45 tahun saat ini, cukup cair dan nyambung saat di ajak ngobrol.

Hingga pas berhenti di spbu di daerah Ciamis beliau bersedia ketika ku minta pindah duduk di depan.

Aku masih menjaga kesopananku meski mataku sering memelototi belahan payudaranya yang kadang terlihat sesekali.

"Ibu kalo ngantuk tidur saja gapapa" kataku saat kulihat beliau mulai sering menguap.

"Sebenarnya memang ibu ngantuk banget Un tapi liat pemandangan di luar kok sayang di lewatkan begitu saja" jawab beliau sambil terus melihat ke arah luar dan sama sekali tak menyangka bahwa aku menantunya selalu menatapi bentuk bentuk tubuhnya yang begitu bohay.

"Kalo ibu mau kita bisa berhenti sejenak untuk sekedar melepas lelah" ujarku.

"Emm jalan aja terus liat pemandangan dari jendela kan bisa ngapain berhenti segala" jawab beliau.

"Lagian acaramu sendiri bisa telat loh" lanjut beliau lagi.

"Masih lusa kok ibu" jawabku lirih saja.

"Lah kok buru buru berangkatnya harusnya berangkat besok pagi kan juga bisa kan" ujar beliau sambil menatapku.

"Tadinya begitu bu inginnya, tapi kata bapak supaya buru buru ya sudah" jawabku santai.

"Lalu besok acaranya gimana ?" tanya beliau.

"Mungkin nganter ibu berobat dulu gapapa kan bu ?" kali ini akulah yang bertanya.

"Ya sudah atur saja olehmu Un, ibu apa kata kamu saja" jawab beliau sambil kembali menguap untuk kesekian kalinya.

Tak lama kemudian ibu mertuaku tertidur dengan menyandarkan kepalanya di jok beberapa saat kemudian dengkuran halus mulai terdengar.

Kata istriku dulu saat masih pacaran, ibunya kalo tidur seperti orang pingsan yang susah di banguninnya.

Lalu ku coba peruntunganku dengan memegang tangannya lalu ku gunakan tangannya yang cukup halus itu untuk mengusap usap kontolku dari luar celana.

Kusingkap gaun panjang beliau yang ternyata melapisi kakinya dengan stoking hampir se pangkal pahanya.

Ternyata istriku benar bahwa ibunya kalo sudah tertidur akan seperti orang pingsan.

Membuatku makin leluasa, lalu kuberanikan menyelipkan tangan kiriku menelusup tengkuk leher beliau lalu merangkulnya dan menyenderkan tubuhnya merapat padaku dengan kepalanya bersender di pundakku.

Posisi begitu setidaknya bertahan selama 2 jam membuatku leluasa menggerayangi tubuh beliau dan sesekali mengecup kening maupun pipi beliau yang chubby.

Dan setelah perjalananku sudah sampai daerah Banyumas, aku menghentikan mobilku di sebuah tempat wisata pemandian air panas yang menyediakan private room yang bisa di sewa khusus untuk satu pasang pengunjung.

Perlahan kubangunkan ibu yang masih menyandar di tubuhku.

"Bu bangun bu" ucapku pelan sambil membelai rambutnya yang berkeringat.

Cukup lama untuk membuat ibu mertuaku benar benar terbangun dan membuatnya terlihat gugup dan malu mengetahui dirinya sedang merapat di tubuhku.

"Un sudah sampai mana ini ?" tanya beliau sambil mengucek ucek matanya sementara tanganku masih melingkar di punggungnya.

"Banyumas bu di pemandian air panas untuk terapy" kataku sambil melepaskan tanganku dari pundak ibu mertua.

"Sebentar yah bu aku booking tempat dulu" kataku lalu keluar dari mobilku yang juga tergolong mobil mewah pada masanya.

setelah membooking private room untuk pemandian klas vip, ku hampiri ibu mertuaku yang masih berada di dalam mobil.

Dengan sedikit bujukan aku berhasil mengajaknya untuk masuk ke tempat pemandian.

"Aku kan cuma bawa sesetel baju ganti Un, kenapa seh pake acara mandi air panas segala" gerutu ibu mertuaku terlihat kesal.

Beberapa kali beliau menyingkirkan tanganku yang mencoba merangkulnya saat berjalan, namun kemudian dia sendiri yang merapat padaku ketika ada beberapa orang yang berada di dalam kolam mencoba iseng menggoda beliau.

Sampai di private room yang ku booking, ibu mertua terlihat bengong karena tak mendapati siapapun selain kami.

Bahkan ketika kemudian aku membuka seluruh pakaianku beliau masih hanya tertegun.

Dan barulah ketika aku menyuruhnya membuka pakaiannya, ibu mertuaku sedikit keberatan.

"Un kok kamu bisa berlaku seperti ini padaku, apa kau lupa aku ini ibu istrimu sendiri yang berarti ibumu juga" ucap beliau keras.

"Maaf bu mungkin ini sangat tidak sopan tapi aku pikir tak ada ruginya buat ibu terapi dengan media air panas seperti ini" jawabku santai sambil kedua tanganku mendekap kemaluanku yang telah keras menegang.

"Awas nanti klo sampe ada yang tau..." gerutu ibu mertuaku sambil melotot padaku meski aku hanya membalasnya dengan senyuman kecil.

Akhirnya ibu mertuaku membuka gaun panjang yang di pakainya membuat kontolku makin beringas, apalagi setelah buah dadanya yang jumbo lalu terpampang jelas di depanku.

Gerakannya dalam membuka stokingnya pun benar benar membuatku tak tahan lagi ingin segera menubruknya.

Dan terakhir ibu mertuaku melemparkan celana dalamnya yang telah di lepasnya ke arahku yang langsung ku cium cium aromanya, sementara beliau langsung terjun ke kolam kecil itu lalu mencipratiku dengan air kolam yang lumayan hangat, lalu tiba tiba saja beliau menarik tanganku yang membuatku ikut masuk ke dalam kolam.

Pada akhirnya aku pun sama seperti ayahku yang bahkan rela mati untuk mempertahankan prinsip cintanya yang aku cela dan nista mati matian.

Namun kini aku pun bahkan secara sadar telah melakukan hal yang sama hinanya dengan ayahku.

"Ayah kau benar...aku memang dungu ayah..jiwaku lebih kotor darimu karena aku seorang munafik sedangkan kau sama sekali tak pernah menyangkal dosa dosamu".



SELESAI
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd