Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Gita Vani: Ceritaku Dengan Pemerkosaan dan Lesbianisme

Part Favorite? (kalau ada)

  • Part 1. Muslihat dan Penderitaan

    Votes: 6 35,3%
  • Part 2. Terbit dan Terbenamnya Matahari

    Votes: 0 0,0%
  • Part 3. Duri Dalam Kenyamanan

    Votes: 2 11,8%
  • Part 4. Perjuangan Buntu

    Votes: 0 0,0%
  • Part 5. Jatuh ke Tanah

    Votes: 5 29,4%
  • Part 6. Pelepasan

    Votes: 0 0,0%
  • Part 7. Kisah Dalam Kabut (END)

    Votes: 4 23,5%

  • Total voters
    17

viviaya

Semprot Kecil
Daftar
4 Oct 2022
Post
66
Like diterima
433
Bimabet
Disclaimer: cerita ini hanya fiksi belaka. Semua karakter dan tempat tidak berhubungan dengan dunia nyata. Tidak ditujukan untuk menyerang atau mendiskreditkan pihak manapun. Saran dan masukan dipersilahkan :Peace:


Index:
Part 1. Muslihat dan Penderitaan
Part 2. Terbit dan Terbenamnya Matahari
Part 3. Duri Dalam Kenyamanan
Part 4. Perjuangan Buntu
Part 5. Jatuh ke Tanah
Part 6. Pelepasan
Part 7. Kisah Dalam Kabut (END)

—----------


Part 1. Muslihat dan Penderitaan

Sluuurp sluurppp sluuurpp

Lidah kami beradu. Aku menindih tubuh Gita dengan tubuhku. Payudara besarnya bergoyang berirama dengan payudaraku yang menekannya dari atas. Aku menarik celana pendeknya serta celana dalamnya sekaligus. Gita mengangkat pantatnya sedikit sehingga bisa terlepas dengan mudah. Aku meraba selangkangannya. Sangat basah. Dengan mudah jariku menari-nari, memberikan kenikmatan yang luar biasa pada teman sekamarku ini.

Schlick shilck schloop

“Ah ah ahh. Vani. Vanii,”

Racauan Gita membuatku mempercepat gerakan tanganku. Kujilati bagian dalam mulutnya dengan rakus. Paha Gita mengapit tanganku dengan erat, tapi aku tidak berhenti. Tubuh Gita bergetar hebat selama beberapa saat. Dengan sabar aku menunggu Gita menikmati orgasmenya sambil mencium bibirnya lembut. Aku melirik jam pada hp ku.

“1 menit 39 detik. Rekor baru.”

“Vanii jangan diitungin! Kamu sih ga bisa pelan-pelan,” rengek Gita.

“Kamu yang terlalu mesum Git. Gampang banget keluar.”

Gita memandangku cemberut. Kedua tangannya terulur ke arahku. Aku menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Gita memelukku erat.

“Udah ya anak manja, nanti telat kita kuliah,” ujarku sambil melepaskan diri.

Gita dengan setengah hati melepaskanku. Aku membelai kepalanya, lalu bangkit berdiri.

“Aku mandi duluan ya Git.” ujarku.

Aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku melihat ada sisa-sisa lendir di sela-sela tanganku. Dengan cepat aku mencuci tangan.

“Jijik,” gumamku pelan.

Aku menyabuni tubuhku dua kali, menggosoknya dengan bersih, memastikan tidak ada aroma tubuh Gita yang menempel di tubuhku.


—----------


Aku mengetuk dan menunggu di depan sebuah pintu rumah. Seorang pria kemudian membuka pintu, lalu aku langsung memeluknya erat.

“Wow wow wow. Tahan dulu tahan,” ujar Doni sambil mendorong kepalaku menjauhinya. “Ngapain ke sini?”

“Pengen ketemu kamu Don,” jawabku. “Boleh kan?”

Doni menggaruk kepalanya. Ia tidak menjawab, tapi mempersilahkan ku masuk melalui gerakan tubuhnya. Aku masuk dengan riang, namun bau asap rokok tiba-tiba memenuhi indra penciumanku. Aku melihat di dalam rumah banyak teman-teman Doni sedang berkumpul. Aku menunggu Doni duduk, lalu duduk di sebelahnya, kemudian bersandar di pundaknya.

“Ntar dulu ya Van. Gue lagi nge game,” ujar Doni sambil mengambil hpnya.

Kesal dengan sikap cueknya, aku lalu mengeluarkan hpku, bersiap menggunakan senjata rahasiaku.

“Don, liat deh,”

Muka malas Doni perlahan berubah penasaran ketika melihat ke layar hp yang kujulurkan.

“Anjing, ini Gita??” teriak Doni. Teman-teman Doni serempak menghampiri dengan penasaran.

Layar hp ku menampilkan video rekaman aku dan Gita semalam yang kurekam dengan diam-diam.

“Gila lo keren Van. Akhirnya kesampean juga liat Gita bugil. Buset toketnya gede banget asli. Pentilnya nafsuin!”

Aku senang karena dipuji oleh Doni. Walaupun aku harus rela menggoda dan bercinta dengan Gita agar bisa memperoleh rekaman ini, aku mau melakukannya demi membuat Doni senang. Dia sudah lama terobsesi dengan Gita. Selain itu, aku berharap Doni juga akan jijik melihat Gita bercinta dengan sesama perempuan. Namun sepertinya itu tidak sesuai harapanku.

Doni membuka celananya, mengeluarkan penisnya yang mengacung keras. Aku seperti terhipnotis dengan pemandangan itu. Penis yang sudah lama tidak aku lihat dan ku rasakan. Doni mulai mengocoknya, namun kutahan dengan tanganku.

“Don, aku aja,”

Doni melepaskan tangannya, membuat posisi duduknya lebih rileks, lalu fokus pada layar hpku yang dipegangnya dengan kedua tangan. Aku berlutut di hadapannya dan mulai membelai, menjilati, mengulum, mengeluarkan semua teknik yang ku tahu untuk membuat Doni merasa enak. Penisnya terasa keras dan hangat. Aku melirik ke arah Doni, namun matanya tertutup oleh hpku. Dia sama sekali tidak melihat ke arahku.

Tak lama, penis Doni dalam mulutku berdenyut, lalu secara berirama menyemprotkan cairan ke dalam mulutku. Aku menghisap dan menelan semuanya. Menjilati ujung sampai pangkal, memastikan tidak ada yang tercecer.

“Dah Van cukup,” lagi-lagi Doni mendorong kepalaku menjauh.

“Don, yuk lanjut,” ucapku manja, menarik tangannya.

“Ga deh Van, gue lagi nikmatin videonya nih. Kalau bisa nanti lo rekam lagi ya Gita lagi mandi kek, atau lagi colmek kek. Lo kirim video ini ke hp gue ya.”

Aku kecewa karena tidak bisa merasakan penisnya dalam tubuhku.

“Don, lo bener-bener terobsesi sama si Gita ya,” ujar salah satu teman Doni yang aku tak cukup peduli untuk ingat namanya.

“Haha bukan gue doang kan. Lo semua juga tiap hari coli bayangin si Gita. Tenang nanti gue share videonya.”

“Itu bener Don. Tapi lo sampe cuek banget sama si Vani. Padahal si Vani juga ga kalah mantep sama si Gita. Diajak ngewe aja lo tolak. Eh Van, mending lo cari pacar lain deh. Kayak gue gitu haha.”

Mendengarnya saja aku mual.

“Woy, dia bukan pacar gue. Dia cuma pernah gue pake dulu, eh malah jadi tergila-gila sama gue haha.”

Ya, itu benar. Tapi aku benar-benar mencintainya.

“Parah lo Don. Mentang-mentang ganteng. Kita juga mau ngerasain cewek kayak Vani. Bosen sama perek melulu.”

“Lah kalo lo mau pake aja si Vani. Ga liat tadi dia udah sange berharap dikontolin?”

“Hah beneran boleh Don? Gue hajar ya?” tiba-tiba teman-teman Doni semua berfokus padaku.

“Don apaan sih, gamau. Aku tuh cinta sama kamu Don, ga bisa sembarang– AAAH!” Protesku terpotong karena tiba-tiba aku merasakan remasan pada dadaku.

Ku lihat salah satu teman Doni sudah berada di sampingku. Aku bangkit berdiri lalu berlari, namun ujung kakiku tertangkap, membuatku hilang keseimbangan lalu jatuh. Aku diseret kembali menjauh dari pintu. Berpasang-pasang tangan dengan sigap membatasi gerakan tangan dan kakiku.

Mereka menjamah bagian-bagian tubuhku dengan seenaknya sambil tertawa-tawa. Aku menjerit, namun dengan segera mulutku didekap dari belakang. Bajuku dilucuti satu persatu sampai tidak tersisa. Kakiku dibuka paksa. Aku meronta, namun tangan-tangan ini mencengkramku dengan kuat. Aku tidak bisa bergerak, tidak bisa teriak, dan tidak bisa merapatkan kakiku. Akhirnya, dengan mudahnya mereka memasukan penis mereka ke dalam vaginaku. Mereka memasukkannya dengan kasar dan tanpa ampun. Tangisanku tidak mampu membuat mereka melepaskanku. Dengan putus asa aku mencari Doni, dan mendapati dia sedang duduk santai di sofa, menonton video sambil memainkan kelaminnya.


—----------


Entah sudah berapa lama aku memandangi langit-langit rumah itu. Tubuhku bergoyang seirama dengan sodokan laki-laki yang sedang memakaiku. Tubuhku penuh dengan bekas cengkraman tangan, hisapan, dan tamparan. Wajah, dada, perut, dan vaginaku penuh dengan sperma yang dikeluarkan dengan sembarangan. Beberapa diantara mereka bahkan sudah bosan, kembali merokok dan melakukan aktivitas masing-masing, seolah tidak ada seorang wanita yang sedang diperkosa di sana. Beberapa masih bersemangat mengerjai tubuhku. Untungnya, tubuhku merespon perkosaan ini dengan mengalirkan pelumas pada vaginaku, sehingga aku tidak merasa terlalu sakit. Bahkan, mereka juga mampu membuatku orgasme berkali-kali, yang selalu disambut dengan ejekan dan hinaan mereka. Semua adegan ini diabadikan dengan hp mereka masing-masing.

“Ahh”

Satu orang lagi menyemburkan spermanya di dalam vaginaku. Hanya berselang berapa detik setelah orang itu berdiri, orang lain dengan segera menggantikan tempatnya. Terus-menerus, seperti lingkaran yang tidak pernah putus. Air mataku sudah lama kering. Mulutku sudah tidak bisa mengeluarkan suara. Hanya vaginaku yang masih bisa mengeluarkan pelumas alami, sehingga aku masih bisa merasakan orgasme demi orgasme. Hari sudah gelap. Saat orang-orang yang memakaiku sudah lemas, orang-orang yang tadi sudah bosan kembali menghampiriku. Aku kembali dipakai oleh orang-orang ini dengan seenaknya. Tidak ada yang memperdulikan perasaan atau kondisiku.

Saat terbangun, aku berbaring telanjang bulat di tempat yang sama. Aku lemas tidak bisa bergerak. Seluruh tubuhku sakit. Ku dengar ada suara langkah kaki mendekat ke arahku. Aku hanya bisa pasrah memandang langit-langit, lalu Doni muncul dalam pandangan mataku.

“Don..Dooni..hik hik,” aku berusaha bangun, tapi tidak bisa. Aku hanya bisa merangkak ke arah Doni, memeluk kakinya. Dia lalu berjongkok dan membelai rambutku.

“Udah Van, udah,” ujarnya menenangkan ku yang terisak.

“Kenapa mereka tega Don..kenapa?”

“Lo ga usah munafik Van, gue liat lo menikmati kok.”

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat.

“Engga Don, enggaa. Aku cuma mau sama kamu!” rengekku.

“Van, udahlah. Gue liat sendiri lo yang genjot sendiri. Oh iya Van,” tangan Doni tiba-tiba menjambak rambutku kencang. “Jangan berani-beraninya bilang lo diperkosa atau apa ya. Semua punya rekamannya Van. Orang-orang juga bisa lihat seberapa nafsunya lo.”

“Aw..i-iya Don. Engga kok, aku ga akan berani macem-macem.”

“Good,” Doni tersenyum. “Sekarang pulang ya Van.”

“Aku lemes Don. Kamu bisa anterin ga?”

“Van, gue sibuk. Lo pulang sendiri ya.”

“Aku boleh pinjam kamar mandi?”

Doni mendengus tidak sabar. Dengan setengah memaksa aku dibantunya berdiri, lalu diarahkan ke pintu keluar. Aku dilemparkan ke luar dalam kondisi telanjang. Kemudian dia menendang bajuku dari dalam.

“Jangan lupa rekam Gita lagi ya. Bye Van,” ujar Doni sambil menutup pintu rumahnya.
No quote

Bersambung

Cerita selanjutnya:
Part 2. Terbit dan Terbenamnya Matahari
 
Terakhir diubah:
Part 2. Terbit dan Terbenamnya Matahari

Aku terbangun dari mimpi buruk. Rasa sakit yang kurasakan menyatakan bahwa kejadian yang kualami dua hari yang lalu bukanlah mimpi. Saat membuka mata, kudapati sepasang mata memandangku dengan berbinar.

“Pagi Vani!” ujar Gita riang.

Aku tidak meresponnya, hanya menatap langit-langit.

“Van ayo bangun dong. Kamu tau ga, aku masak loh buat kita sarapan! Enak deh, kayaknya aku bakat masak hehe.”

Sejak aku dan Gita melakukan hubungan seksual, sikap Gita terhadapku berubah menjadi sangat hangat. Hmmph. Hanya dengan berpura-pura bersikap manis, dia semudah itu percaya pada ku. Sangat bodoh. Aku memandangnya dengan pandangan merendahkan. Gita, hanya tersenyum sambil menatapku. Tiba-tiba dia menjatuhkan badannya dan memelukku lembut.

“Van, aku ga akan ikut campur urusan kamu. Kita temen sekamar tapi aku tahu batasan kok. Aku ga mempertanyakan kenapa kamu waktu itu ga pulang semalaman, lalu paginya muncul dengan kondisi berantakan. Aku cuma mau kamu tau Van, aku ada disini dan kamu bisa ngandelin aku.”

Tubuh Gita yang memelukku lembut dan hangat. Bau tubuhnya harum. Sangat berbeda jauh dengan para laki-laki brengsek yang menodaiku. Beban tubuhnya menekanku ringan, tidak menyesakkan namun menimbulkan kesan nyaman. Air mataku keluar dengan sendirinya, tidak berhenti mengalir. Gita melepaskan pelukannya, namun aku menahannya. Aku tidak mau dia melihatku menangis.

“Sebentar lagi. Please.”

Gita tidak menjawab, namun mempererat pelukannya. Aku tertidur kembali, kali ini tanpa mimpi.

—----------

Aku duduk bertelanjang bulat di atas kasur. Gita bersamaku, mengoleskan obat ke bagian-bagian tubuhku yang memar. Tangannya yang halus terasa enak di kulitku.

“Kamu yakin ga mau cerita ini kenapa?” Telunjuk Gita menyusuri luka memar di dadaku, entah akibat cengkraman atau hisapan.

Aku mengernyit kesakitan saat dipegang, lalu menggeleng. Gita dengan telaten mengobatiku, tanpa berusaha mengintrogasiku lebih jauh. Kurasakan gosokan tangannya terhenti selama beberapa saat. Ku lihat pandangan Gita terpaku pada selangkanganku yang terbuka karena aku duduk bersila.

“Oi!” Tegurku, membangunkan Gita dari lamunannya.

“Haha sorry sorry.”

“Dasar mesum. Padahal temennya lagi kesakitan.”

“Maaf maaf! Abis kamu menggoda banget sih.”

Aku menjitak kepalanya pelan. Melihatnya menggosok-gosok kepalanya membuatku tersenyum. Aku segera menggelengkan kepalaku.

Ingat, ini Gita yang kamu benci loh. Gita yang merebut perhatian Doni dari kamu.

Doni. Aku berusaha tidak memikirkannya, tapi Doni yang mengakibatkan penderitaanku kemarin kan? Dia yang memancing teman-temannya untuk melecehkan ku? Meskipun dia tidak ikut melakukannya karena terlalu fokus dengan video Gita. Aku mengamati wajah Gita yang ada di depanku. Apa sih bagusnya dia sampai membuat Doni tergila-gila? Ya, Gita memang cantik. Bahkan sangat cantik. Rambutnya lurus bergelombang alami. Kulitnya putih bersih. Bulu matanya lentik, matanya besar, bibirnya menarik. Tubuhnya lebih tinggi dari ku, dengan proporsi layaknya model. Kakinya jenjang dan, tentu saja, payudaranya sangat indah. Belum lagi tubuhnya harum, lembut, dan enak saat disentuh.

Saat hari pertama kuliah, Gita sudah menjadi pusat perhatian. Orang-orang melihatnya sebagai sebuah kecantikan yang sempurna. Bahkan mereka iri padaku yang kebetulan menjadi teman sekamarnya, karena kami sama-sama mencari biaya yang lebih murah. Mereka tidak tahu saja, kalau Gita yang sempurna di mata kalian itu sebenarnya punya sisi ceroboh. Mereka juga tidak tahu kalau Gita punya masalah bersosialisasi. Dan mereka juga tidak tahu seberapa mesumnya Gita, seberapa gampang dia keluar, seberapa manjanya dia. Cuma aku yang tahu haha! Eh bentar-bentar, kayaknya tadi awalnya mikirin Doni, kok jadi malah jadi Gita sih?!

“Dah, semuanya dah diobatin!” Gita memecahkan lamunanku.

“M-makasih ya.” ujarku pelan.

“Oh iya satu lagi,”

Cup

Gita mencium pipiku.

“Ha, apa, kenapa?” aku tersipu sambil memegang pipiku yang terasa panas.

“Biar cepet sembuh, hehe.”

Aku mengambil bantal hendak memukulnya, namun dia sudah melompat menjauh. Aku menjulurkan lidahku padanya.

“Gita jelek!”

—----------

Tidak ada yang berubah. Sudah entah berapa jam, atau berapa hari, aku memandang langit-langit kamarku. Kuliah sedang libur sehingga aku kembali ke rumah. Aku hanya ingat dijemput oleh Om ku. Aku ingat sedikit wajah khawatir orang tua ku, namun aku sudah lupa pertanyaan demi pertanyaan yang mereka lontarkan kemudian. Sejak meninggalkan kos, tubuhku seperti kosong. Hidupku seperti berjalan dalam mode otomatis, melakukan gerakan minimal dan lebih banyak diam termenung. Pikiranku dipenuhi bayangan detail perkosaanku, terulang terus-menerus tanpa henti. Rasa rendah dan tidak berharga memenuhiku. Mengapa perasaan ini baru datang sekarang?

Gita. Perasaan buruk ini datang setelah aku jauh dari Gita. Kehangatan, perlindungan yang kurasakan hilang terangkat seiring dengan lenyapnya Gita dari pandanganku. Kehangatan Gita memberikanku kesan semu bahwa aku manusia yang utuh. Padahal, apa yang tersisa dari ku? Tidak ada. Harga diriku sudah hancur, tubuhku sudah kotor, hidupku tidak bisa kembali seperti dulu. Haha. Berani-beraninya aku tertawa seperti orang normal saat bersama Gita. Kamu itu bekas diperkosa, Vani!

Rasa geli kurasakan menjalar di tubuhku. Sensasi yang belakangan ini sering ku rasakan. Aku yang sudah hafal segera meraba selangkanganku. Setelah mengalami perkosaan brutal itu, tubuhku menjadi sering terangsang. Mungkin ini cara tubuh ku beradaptasi, aku tidak tahu. Aku harus bermasturbasi setiap beberapa jam sekali untuk melepas hasrat. Ini bukan keinginan ku. Tubuhku seperti bukan milikku lagi, tidak bisa kukendalikan seperti dulu. Jariku bersentuhan langsung dengan kulit. Aku melirik tubuhku, ternyata tidak ada pakaian yang melekat sama sekali. Mengapa aku telanjang? Hmm tapi itu tidak penting. Aku mengusap bagian paling sensitif dari kemaluanku. Dapat kurasakan sengatan-sengatan kenikmatan keluar dari bagian yang disentuh jari menjalar ke seluruh tubuh, memuncak di kedua puting payudaraku.

“Aah”

Pikiranku masih sibuk memutar adegan-adegan perkosaanku. Beberapa pria menggunakan tubuhku secara bersamaan. Mereka memakai ku semau mereka, mengganggapku hanya sebagai objek pemuas mereka. Hinaan dan ejekan mereka terngiang di telingaku. Jariku semakin cepat dan semakin cepat memainkan kelaminku. Saat pria di pikiranku memasukan alat kelaminnya, aku juga memasukan jari ku dan mengocoknya brutal, persis seperti yang dilakukan pria dalam ingatanku.

Schlick shilck schloop schloop schloop schloop schloop schloop schloop schloop schloop schloop schloop schloop schloop schloop schloop schloop schloop.

“Aaaaah!”

Kenikmatan total melumpuhkan tubuhku. Untuk beberapa waktu aku hanya sanggup mengusap tubuhku. Seolah memberikan apresiasi atas kerja kerasnya. Air mata ku tiba-tiba mengalir.

Rusak.

Aku benar-benar rusak.


—----------


“Sayang, makan yuk,” suara lembut Mama ku terdengar dari pintu.

Aku melirik ke arahnya sebentar, ku lihat mama dan papa berdiri di depan pintu dengan canggung. Aku kembali menatap langit-langit, kata-kata mama tidak diproses oleh otak ku, sehingga aku tidak tahu harus menjawab apa.

Papa berjalan ke arah ku, dan menyampirkan sesuatu di untuk menutup tubuh telanjangku. Tanganku dengan segera menepis kain itu sampai jatuh ke lantai. Ku dengar Papa menghembuskan napas, lalu berlutut di tepi tempat tidurku.

“Kamu kenapa sih sayang. Cerita sama Papa sama Mama.” ujar Papa sambil membelai kepalaku.

Lagi-lagi, aku tidak tahu bahwa aku diharapkan untuk merespon. Aku samar-samar ingat kalau tubuhku didudukan, lalu Mama menyuapiku dengan makanan yang tidak terasa apa-apa di lidahku. Satu hal yang kuingat, aku terangsang kembali saat sedang makan, sehingga aku melakukan masturbasi saat sedang disuapi, di hadapan kedua orang tuaku. Suatu suara di kepalaku mengatakan kalau ini hal yang salah, tapi tubuhku lagi-lagi bergerak dengan sendirinya. Setelah mereka menyelesaikan urusannya di kamarku, entah apa pun itu, mereka pergi dan aku kembali berbaring, menatap kosong ke langit-langit.

Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu. Aku tidak menghitung hari ataupun tanggal. Hari ke hari aku hanya ingat sekelebatan ingatan saat disuapi atau dimandikan, sisanya kosong. Aku bermasturbasi kapan pun aku mau. Tidak ada satu pun pakaian yang melekat pada tubuhku dari hari ke hari. Hari itu, ku dengar suara mobil di depan rumahku, diikuti dengan suara terbukanya pintu. Aku melihat langit masih terang, biasanya orang tuaku belum pulang. Tapi tentu saja aku tidak berniat sedikit pun untuk mengecek siapa yang datang.

“Halo Vani,”

Siapa?

Bersambung

Cerita selanjutnya:
Part 3. Duri Dalam Kenyamanan
 
Terakhir diubah:
Part 3. Duri Dalam Kenyamanan

Aku melihat sekilas ke arah pintu, ternyata itu adalah suara Om ku, adik dari Papa yang mengantarku dari kos ke rumah. Aku ingat beberapa kali dia menjengukku. Sebagai salah satu dari sedikit orang yang kutemui setelah hidup dalam kekosongan, mungkin dia juga merasa tidak enak bila tidak mengecek keadaanku. Om ku menarik kursi lalu duduk di tepi tempat tidurku. Ia lalu melambaikan tangan tepat di depan mukaku. Melihat aku tidak merespon, dia menyentuh pipiku, lalu mendorongnya. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya, dan tidak perduli.

“Kamu tuh melek tapi kayak orang ga sadar.” Gumamnya sambil terus mendorong-dorong pipiku.

Telunjuknya perlahan bergerak turun menyusuri kulitku, ke leher, lalu ke dada. Jarinya menekan-nekan dadaku pelan. Apa maksudnya? Tidak tahu, tidak perduli. Jarinya lalu menyentuh lembut putingku, dan seketika tubuhku merespon sentuhannya. Melihat putingku yang mengeras, dia menyapukan jarinya naik turun, memainkannya. Tubuhku menggeliat kecil seirama dengan gerakan jarinya. Tangan satunya meraba vaginaku dengan seenaknya, dan tubuhku meresponnya dengan mengangkat pinggulku, sehingga menekankan selangkanganku ke telapak tangannya. Ia lalu menggosoknya dengan teratur.

“Aaah.” desahku.

Sambil tetap memainkan vagina dan payudaraku, Om ku mencium bibirku dengan buas. Ciumannya terasa menjijikan, dapat ku rasakan air liurnya mengalir ke dalam mulutku. Namun, aku tidak merasa cukup pantas untuk berbuat apa-apa. Bukankah tubuhku ini sudah rusak?

“Kamu paling patah hati ya diputusin pacar. Jadi depresi gini.” Om ku mulai mengocok vaginaku dengan kencang. Ia juga mengeluarkan hpnya lalu merekamku.

Schloop schloop schloop schloop schloop.

“Om ngerti kok. Kamu bugil gini, memek basah, kamu pengen dipuasin kan biar lupa sama pacar. Om bantu ya biar kamu sembuh.”

Schloop schloop schloop schloop schloop schlick shilck.

“Aah aah ahhh.’”

“Bandel banget sih sampe menggeliat keenakan gini. Ayo keluarin sayang,”

“Aaaaaah!”

Orgasme yang kesekian kalinya kurasakan hari ini. Om ku memasukan jarinya yang berlumuran lendirku ke dalam mulutku, memintaku membersihkannya. Aku menjilatinya dengan telaten. Setelah itu, Om ku membuka celananya, lalu naik ke tempat tidur, memposisikan dirinya di antara kedua kakiku. Ia melebarkan kaki ku lalu memasukan alat kelaminnya secara penuh ke dalam tubuhku.

“Ouuh akhirnya ngerasain juga memekmu Vani!”

Hampir bertepatan dengan ucapannya, terdengar pintu terbuka. Om ku panik memakai celananya kembali lalu lari ke luar kamar. Sisanya, aku tidak ingat lagi. Hari ini memang cukup berbeda dari hari pada biasanya, tapi tidak cukup spesial sehingga membuatku terlalu mengingatnya.

—----------

Plok plok plok plok plok plok plok plok.

Om ku menggenjotku dengan kasar, seperti biasanya. Sudah beberapa hari ini dia selalu datang saat orang tuaku pergi. Ia datang, memakaiku, lalu pergi tanpa beban. Dia bahkan sudah tidak menyapaku lagi. Aku hanyalah tempat pembuangan sperma baginya. Sangat ideal bahkan, mengingat aku tidak pernah protes dan vaginaku selalu basah, siap digunakan kapan pun. Hari-hari ini pun tidak terasa spesial bagiku. Hari yang spesial baru datang ketika ku dengar orang tua ku pulang, lalu membuka pintu kamarku. Namun yang muncul dari balik pintu adalah kepala dari seorang wanita yang sangat cantik.

“Hei hei hei!”

“Gita!” Aku terduduk dengan kaget.

Gita berlari kecil ke arahku, lalu memelukku erat. Seketika air mataku tumpah. Aku menangis menjerit. Entah apa arti di balik air mataku. Apakah rasa rindu, rasa lega, rasa frustasi? Aku tidak tahu, yang jelas aku tidak berniat melepaskan Gita yang ada dalam pelukanku dalam waktu dekat.

—----------

Aku terbangun setelah merasa tidur sangat nyenyak, lebih nyenyak dari yang ku rasakan selama berhari-hari. Bantal ku terasa sangat nyaman saat itu, dan ketika kupegang ternyata itu adalah paha manusia. Aku melirik, dan mendapati aku tertidur di pangkuan Gita yang duduk di tempat tidurku. Tangannya membelai lembut rambutku dengan penuh kasih sayang.

“Udah bangun, Nak?”

“Mmmmmhhhhh,” sambil mengulat, hanya suara seperti itu yang keluar dari mulutku.

“Kamu tidur kayak bayi, lucu deh hehe.”

Aku menepuk pahanya sekali lagi, memastikan bahwa Gita yang ada dihadapanku ini nyata, bukan mimpi.

“Kok kamu bisa datang sih?” tanyaku sambil tetap menaruh tanganku di atas pahanya.

“Baru nanya sekarang, setelah 4 jam dasar!”

“Oh aku tidur 4 jam ya.” aku melirik ke langit di jendela, sepertinya ini tengah malam. “Kamu ga harus pulang?”

“Mengingat aku punya bayi yang harus diurus, jadi aku nginep deh.”

“Yeeeeaaaay,” ujarku sambil memeluk pinggangnya, menghirup aroma tubuhnya. Gita sangat harum. Dia menyambut pelukanku dengan memeluk kepalaku dengan kedua tangannya.

“Orang tuamu cari aku, ceritain kondisi kamu. Aku langsung ikut deh ke rumahmu.”

Rasa hangat menjalari tubuhku. Bukan hanya karena Gita yang mau jauh-jauh menengokku, tapi juga karena kepedulian orang tua ku.

By the way,’ ujar Gita, lalu menyentil keningku.

“Aww, apa sih?”

“Kenapa kamu ga hubungin aku sih? Kondisi kamu sampai kayak gini. Ditanyain kabar juga ga pernah bales.”

Aku mencoba mengingat di mana aku meletakan hp ku, namun tidak ada bayangan. Aku tidak menjawab, melainkan mempererat pelukanku di pinggangnya. Kami berdiam dalam posisi tersebut selama bermenit-menit. Tidak ada kata yang kami ucapkan, tapi perasaanku mengalir melalui kontak tubuh kami.

“Gimana, udah enakan?” tanya Gita setelah beberapa waktu.

“Udah, sejak kamu dateng.”

“Beneran? Udah sehat lagi? Udah kuat?”

“Iya Git,” aku mengangguk cemas. “Kenapa, kamu mau pulang ya?”

“Bukan, bodoh,” Gita mendorong tubuhku menjauh. Aku terhempas ke atas kasur. “Aku dari tadi udah berusaha nahan.”

Gita naik ke atas tubuhku. Ia mendekatkan kepalanya, lalu mencium bibirku. Rasanya jauh berbeda dengan ciuman menjijikan yang kurasakan beberapa hari ke belakang dari Om ku. Bibirnya terasa lembut dan hangat. Aroma tubuhnya memenuhi indra penciumanku. Lidahnya menyapu bibirku, mencoba mencari jalan masuk.

“Pfffffft.”

“Heh, kenapa ketawa!” Gita kaget dengan ciuman kami yang terpotong oleh tawa ku.

“ Sorry sorry. Cuma, pfft, hahahahaha. Aku kebayang kamu dari tadi nahan nafsu. Hahahha”

“Heeeh diem!” ujar Gita sambil berusaha mendekap mulutku. “Sadar diri ya, kamu telanjang bulat hei! Bayangin gimana tersiksanya aku.”

“Hahahaha. Tadi katanya kayak punya bayi. Masa nafsu sama bayinya sendiri. Hahhaha.”

“Ngeselin! Anak nakal harus dihukum!” ujar Gita sambil menggelitik tubuhku.

Kami tertawa lepas. Rahangku sakit karena tidak terbiasa tertawa sebanyak ini. Saat ini, tidak ada perasaan buruk dalam diriku. Rasa benci, tidak berharga, tidak lagi memiliki tempat. Yang kurasakan hanyalah kehangatan, yang berasal dari matahari kecil ku yang bernama Gita.

(Oh, dan kami melakukannya berkali-kali malam itu)

Bersambung

Cerita selanjutnya:
Part 4. Perjuangan Buntu
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd