Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Gunung Kemukus (sebuah kisah nyata)

Status
Please reply by conversation.

preman_heuceut

Guru Semprot
Daftar
27 Dec 2017
Post
503
Like diterima
507
Bimabet



Gunung Kemukus

Prolog



Sebuah kisah nyata yang kualami saat melakukan Pesugihan di Gunung Kemukus untuk mendapatkan kekayaan, berbeda dengan ritual Pesugihan lain yang terkesan sakral dan menyeramkan. Ritual Pesugihan di Gunung Kemukus jauh dari dari kesan mistis, apalagi angker, bahkan seseorang paling penakut pun akan berani datang seorang diri untuk melakukan ritual. Aneh, tidak seperti tempat dan jenis pesugihan lain yang menuntut tumbal jiwa agar kekayaan datang pada kita, tempat ini tidak menuntut pelaku untuk mengorbankan orang terdekat yang dicintai menjadi.

Di Gunung Kemukus syarat mutlak ritual adalah berhubungan seks bebas dengan siapapun yang ditemui di sana, atau dengan pasangan selingkuhnya, kalau mereka punya. Bahkan ada anggapan yang lebih gila lagi, bahwa yang paling manjur adalah melakukan hubungan seks dengan orang yang memiliki hubungan darah, semakin kental hubungan darah itu akan semakin cepat hajat mereka tercapai.

Bagi seorang pemuda berusia 23 tahun pada saat pertama kali mendengar cerita tentang Gunung Kemukus, hal itu sangat memancing rasa ingin tahu ku, bayangkan aku bisa dengan bebas berhubungan seks dengan wanita yang kutemui di sana tanpa. Selain itu aku juga akan mendapatkan kekayaan dengan mudah tanpa bersusah payah, cukup berhubungan seks dengan para peziarah, tidak peduli tua atau muda, yang jelas berbeda kelamin. Tidak heran tempat itu selalu didatangi ribuan pengunjung setiap malam Jumat Pon dan malam Jumat Kliwon, walau tidak sebanyak malam Jumat Pon. Mereka yang datang tidak hanya ingin mencari kekayaan, ada juga yang ingin karier mereka menanjak cepat, pengasihan buat mereka yang kesulitan mendapatkan jodoh dan lain sebagainya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Pengalaman penulis ini dimulai pada tahu 1996 hingga tahun 2013, selama belasan tahun sudah banyak wanita yang melakukan ritual dengan penulis dan penulis hanya akan menceritakan perjalanan penulis dengan tujuh orang wanita yang menimbulkan kesan cukup dalam.
INDEKS :
Bab 1 : Sendang Ontrowulan
Bab 2 : Puncak Gunung Kemukus
 
Terakhir diubah:
Satu : Sendang Ontrowulan


Aku menarik nafas lega saat berdiri di pintu gerbang kawasan Gunung Kemukus setelah perjalanan panjang dari Bogor yang melelahkan, inilah tempat yang akan memberiku kekayaan berlimpah, kekayaan yang akan membuat hidup ibuku tenang dan ke dua adikku bisa melanjutkan pendidikannya hingga lulus menjadi sarjana. Dengan langkah ringan aku menghampiri seorang pria yang berdiri di depan loket, para pengunjung diwajibkan membeli tiket untuk memasuki tempat ini. Aku segera membayar harga tiket seperti yang tertera, aku menatap lembaran tiket yang akan membawaku ke puncak Gunung Kemukus, dengan berhati-hati aku memasukkan ke dalam dompet seperti sebuah jimat.

Tempat ini terlihat sepi, deretan warung sepanjang jalan terhampar di hadapanku. Maklum hari ini adalah Hari Selasa Kliwon, masih dua hari lagi menjelang malam Jumat Pon, malam paling sakral sehingga ribuan orang akan datang memadati tempat ini untuk melakukan ritual nyeleneh berhubungan seks dengan sesama peziarah yang datang. Cerita yang hampir sama dengan berbagai macam jenis pesugihan yang ada, hubungan seks seperti menjadi sebuah keharusan dalam setiap jenis pesugihan, bedanya di Gunung Kemukus pasangan berhubungan seks adalah manusia sedangkan pesugihan lain mereka berhubungan seks dengan bangsa siluman.

Konon menurut cerita dari mulut ke mulut yang sering aku dengar banyak jenis pesugihan yang ada di masyarakat, setiap para pelaku pesugihan yang berhasil akan menyediakan satu kamar khusus yang tidak boleh dimasuki orang lain. Setiap malam tertentu si pelaku pesugihan akan memasuki kamar tersebut untuk berhubungan seks dengan siluman yang memberinya kekayaan, setiap beberapa tahun mereka akan memberikan tumbal jiwa agar bisa menikmati kekayaan yang mereka dapat lebih lama, sebab biasanya kekayaan yang mereka dapat berjangka waktu sesuai dengan perjanjian awal mereka. Oleh sebab itu mereka harus menyediakan tumbal jiwa, agar waktu yang mereka miliki bertambah.

Pesugihan di Gunung Kemukus tidak memakai tumbal jiwa, itu alasanku tergerak untuk datang ke sini, dan aku tidak perlu berhubungan seks dengan bangsa siluman. Tumbal jiwa di sini diganti dengan berbuat zina dengan pasangan yang sebelumnya tidak kita kenal, entah dengan wanita lebih muda atau dengan yang lebih tua.

Entah dari mana sumber keyakinan seperti ini, ceritanya telah turun temurun selama ratusan tahun tentang Pangeran Samudro yang jatuh cinta kepada salah satu selir ayahnya yang paling cantik sehingga dia harus terusir dari istana, mengembara melewati hutan dengan hanya ditemani para prajurit dalam dan para emban yang masih setia kepadanya hingga akhirnya dia sampai di tempat ini, sebuah bukit kecil yang aku yakin dahulunya adalah sebuah hutan lebat untuk melakukan tirakat agar bisa dipertemukan kembali dengan kekasih yang dicintainya.

Namun fisiknya terlalu lemah, dia yang biasa hidup mewah tidak siap menjalani hidup terlunta-lunta. Tirakat yang dilakukannya justru semakin memperburuk keadaannya, namun dia tetap melakukan tirakat walau para prajurit dan emban memintanya untuk berhenti. Kesehatannya semakin memburuk, bayang bayang wanita yang dicintainya menjelma nyata.

"Tanggalkan pakaianmu, biar aku bisa menikmati setiap lekuk tubuhmu, akan kuberikan apapun permintaanmu !" Seru Pangeran Samudro lirih menatap sang emban yang paling muda dan cantik, dalam pandangannya adalah Dewi Ontrowulan sang kekasih pujaan hati yang dirindukannya sekian lama.

Pangeran Samudro terus menatap sang emban yang menunduk gelisah, perintah sang pangeran begitu jelas, dia harus mematuhinya atau kutukan akan menimpanya. Jangankan memintanya menanggalkan pakaian, bahkan nyawanya harus diberikan dengan suka rela. Itulah kewajibannya sebagai abdi dalam yang bersumpah setia di hadapan archa Dewa Syiwa.

Perlahan tanpa keraguan sedikitpun Sang Emban mulai menanggalkan kemben yang melilit tubuh nya di hadapan Sang Pangeran yang tergolek lemah, di hadapan para emban lainnya yang menunduk iri dengan karunia yang diperolehnya dan juga di hadapan para pengawal yang tidak berani menatap kemolekan tubuhnya karena itu akan berakibat fatal bila mereka melakukannya, murka sang Dewa Syiwa akan membakar jiwa mereka.

Semua terdiam dalam pikirannya masing masing, bahkan angin seperti berhembus mempermainkan dedaunan dan ranting pohon, membungkam celoteh riang para binatang hutan. Hening, menanti detik detik Sang Emban meraih anugerah terbesar yang membuat iri para wanita dari rakyat jelata.

"Lepaskan sanggulmu, Nyimas !" Seru Pangeran Samudro dengan suara terengah engah, inilah pertama kali dia berani memanggil Dewi Ontrowulan dengan sebutan Nyimas, membuat burung burung hutan terkejut, bergerak bersamaan menjauh.

Sang Emban menunduk, tangannya dengan cepat menanggalkan sanggul yang mengikat rambut panjangnya yang ikal, jatuh menyentuh tumitnya.

Perlahan Sang Emban menggapai tangan Pangeran Samudro yang terulur menyambut kedatangannya, jemari mereka bersentuhan, reflek Sang Emban berusaha menggenggam jemari Pangeran Samudro yang terkulai jatuh, namun gerakan jarinya gagal menggapai jemari Pangeran Samudro yang sudah kehilangan nyawa dengan senyuman karena di akhir hidupnya masih sempat melihat kekasihnya.

"Astaghfirullah !!" Seruku dengan suara keras, membuat seorang Ibu yang berjalan cepat mendahuluiku menoleh, terkejut.

"Kenapa, Nak ?" Tanyanya heran, dia berhenti menatapku penuh selidik.

"Nggak apa apa, Bu." Jawabku gelisah, aku baru saja berhalusinasi tentang Pangeran Samudro.

Sepertinya Sang Pangeran Samudro sedang menyambut kedatanganku, memberi tahu asal mula kepercayaan para peziarah yang bebas berhubungan seks di tempat yang sakral ini. Jalanku sudah benar, keyakinan ku semakin bertambah. Sekarang aku harus mulai melakukan tata cara ritual seperti lazimnya yang dilakukan para peziarah lain, hal yang pertama harus aku lakukan adalah mandi di Sendang Ontrowulan setelah mendapatkan pasangan ritual.

Aku menarik nafas panjang, mengumpulkan semangat yang agak kendor mengingat belum ada pasangan yang menemaniku ritual, sekarang aku harus mencari pasangan ritual sesama peziarah dan ini tidak mudah. Banyak PSK yang berkeliaran mengaku sebagai peziarah, setelah berhubungan seks mereka akan meminta imbalan atas jasanya. Itu cerita yang kudengar dari Dewi, seorang Ibu Rumah Tangga muda yang kukenal saat sedang memperbaiki plafon rumahnya.

"Kamu suka baca cerita misteri, ya?" Tanya Dewi mengagetkan keasyikan ku yang sedang membaca artikel tentang Gunung Kemukus dari majalah misteri yang tergeletak di meja, mengisi waktu beristirahat.

"Iseng Teh, sambil beristirahat." Jawabku menyeruput kopi yang mulai dingin karena keasyikanku membaca majalah Misteri edisi lama yang belum pernah kubaca, biasanya aku membeli majalah misteri bekas dari pada harus membeli edisi terbaru yang lebih mahal harganya.

"Gunung Kemukus, itu dekat kampung halamanku." Gumam Dewi duduk di sampingku, tanpa membersihkan lantai keramik yang didudukinya.

"Teh Dewi dari, Sragen?" Tanyaku tertarik, dia pasti sangat mengenal Gunung Kemukus.

"Dari kampungku Solo, jaraknya kurang lebih 30 kilometer. " Jawab Dewi, sekilas aku melihat matanya berkaca-kaca. "Gunung Kemukus sangat terkenal, banyak orang datang sekedar untuk ngalap berkah."

"Benarkan cerita tentang berhubungan seks dengan sesama peziarah itu, Teh ?" Tanyaku tidak bisa menahan rasa ingin tahuku yang besar, setelah membaca artikel yang kuulang hingga tiga kali.

"Iya, mereka akan melakukannya dengan orang yang sama sebanyak 7 kali malam Jumat Pon. Tapi hal itu sangat sulit dilakukan, makanya hal itu dimanfaatkan oleh para PSK yang berasal dari berbagai daerah untuk mencari uang di sana." "Jawab Dewi, senyumnya terasa hambar. "Kamu tertarik, ke sana?" Tanya Dewi, membuatku merasa jengah.

"Takut !" Jawabku, sambil meletakkan Majalah Misteri pada tempatnya.

"Takut, apa takut ?" Tanya Dewi tertawa geli melihatku yang terlihat kikuk, berusaha menghindari tatapan matanya.

"Memangnya sudah ada yang berhasil, Teh? " Tanyaku berandai andai melakukan ritual di sana, apakah aku akan jadi salah seorang yang berhasil menjadi kaya, atau seperti banyak orang lain yang gagal.

"Banyak, buktinya aku....." Dewi terdiam, kalimatnya menggantung.

"Teh Dewi pernah ke, Gunung Kemukus?" Tanyaku takjub, kekayaannya berasal dari Gunung Kemukus.

"Bukan, tetanggaku banyak yang pernah ke sana dan mereka berhasil menjadi kaya., tetanggaku banyak yang berhasil." Jawab Dewi meralat kalimatnya, namun aku sudah terlanjur percaya bahwa dia adalah salah satu orang yang berhasil setelah melakukan ritual.

Percakapan singkat, namun sudah cukup membuatku terobsesi untuk melakukan ritual, menempuh perjalanan panjang ke tempat yang menjadi harapan banyak orang yang putus asa dengan kemiskinannya. Dan sekarang aku sudah menjejakkan kakiku di sini, tempat sakral tempat jasad Pangeran Samudro dikebumikan, namun semua kesaktiannya masih tetap hidup di tempat ini dan mengabulkan hajat setiap orang yang datang.

Aku berhenti di hadapan tangga yang menuju ke Puncak Gunung Kemukus tempat Pangeran Samudro dimakamkan, ke sanalah tujuanku sekarang. Aku akan melakukan tirakat di dalam cungkup makam, menunggu wanita yang akan menjadi pasangan ritual. Tanpa ragu aku kembali melangkah, menaiki satu demi satu anak tangga.

Baru sampai pertengahan anak tangga, perutku terasa lapar dan kepalaku agak pusing karena belum ngopi sejak semalam. Akhirnya aku memutuskan masuk ke salah satu warung berdinding kayu yang sederhana, seorang wanita berusia 40 tahun menyambut kedatanganku dengan ramah.

"Makan dan kopi hitam, Bu !" Seruku sebelum duduk di bangku kayu panjang, hanya ada si ibu pemilik warung yang tersenyum genit, seperti genitnya para wanita yang kutemui di sepanjang jalan, menggodaku untuk mampir ke warung mereka yang terlihat sepi.

"Sendirian saja, Mas?" Tanya si ibu penuh basa basi, aku tidak perlu menjawab pertanyaannya, toh dia sudah melihatku sendiri, namun demi sebuah etika terpaksa aku menjawab pertanyaan itu.

"Iya Bu, saya datang sendiri. Sepi ya, Bu ?" Tanyaku ikut berbasa-basi, sambil memperhatikan sekeliling warung yang berdinding kayu. Sederhana, tanpa ornamen mencolok.

"Nanti hari Kamis akan sangat ramai, ribuan orang akan datang ke tempat ini. Sepertinya kamu dari Jawa Barat ya, Mas ?" Tanya si ibu, tangannya sigap mengisi piring kosong dengan nasi yang sudah dingin. "Mas, lauknya cuma ada sayur lodeh dan orek tempe, maklum hari ini bel ramai jadi cuma masak buat dimakan sendiri." Kata si Ibu menerangkan alasannya, kenapa hanya ada lauk pauk ala kadarnya, namun aku tidak keberatan dengan lauk pauk seperti itu, aku sudah terbiasa makan seadanya dan tentunya murah sebagai pertimbangan utama.

"Iya Bu, saya dari Jawa Barat, tepatnya dari Bogor." Jawabku menerima seporsi nasi beserta lauk pauknya, cukup membuat perutku kenyang.

Aku mulai menyantap makananku dengan nikmat, sementara si pemilik warung menyeduh kopi dengan air termos yang membuatku mengeluh dalam hati, kenikmatan kopi akan berkurang karena airnya tidak sepanas saat baru mendidih , namun aku tidak bisa protes dalam situasi seperti ini.

"Bermalam di sini saja, mumpung masih sepi." Kata si ibu mengaduk kopi dalam gelas, aromanya tercium menyegarkan.

Aku terus mengunyah nasi dalam mulutku tanpa memperhatikan tawaran si Ibu warung, sejak awal kedatanganku, aku berencana tidur di area makam sebelum mendapatkan pasangan titual. Aku harus mengatur keuanganku sedemikian rupa, aku tidak tahu berapa lama tinggal di sini hingga mendapatkan petunjuk dari Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan.

"Saya berencana tirakat dan tidur di area makam sampai mendapatkan petunjuk, saya tidak tahu sampai kapan tinggal di sini, jadi harus berhemat." Jawabku setelah semua isi dalam piring bersih, tidak ada remah remah nasi yang tersisa.

"Biasanya mereka yang datang ke sini akan mencari pasangan untuk melakukan ritual berhubungan seks sebanyak 7 kali dalam sehari semalam dan pada malam Jumat Pon yang akan datang, mereka akan kembali melakukan ritual seks dengan pasangan yang sama. Begitu Mas, jarang yang datang untuk melakukan tirakat." Jawab si pemilik warung merasa aneh dengan rencana ku tirakat di area makam, padahal menurutku itu adalah hal yang lumrah.

"Iya Bu, saya berniat tirakat untuk mendapatkan pasangan ritual sesama peziarah sehingga niat saya semakin cepat terkabul." Jawabku bingung harus menjelaskan dari mana, ritual dan tirakat itu sebenarnya dua hal yang kuanggap sama, entah menurut pandangan orang lain seperti pemilik warung ini.

"Tirakat di sini kan ngentu, berhubungan seks sebagai syarat utama ritual." Jawab si pemilik warung vulgar, tidak ada yang perlu ditutupi di sini, itu menurut cerita yang aku dengar. Setiap pria yang datang tidak akan sungkan mengajak wanita yang ditemuinya berhubungan, justru hal itu yang dimanfaatkan para pelacur yang datang dari daerah yang berdekatan untuk mencari rejeki dan sekaligus melakukan ritual agar keinginan mereka ikut tercapai.

"Apakah harus dengan orang yang sama, Bu ?" Tanyaku menatap wajah si pemilik warung, dan aku baru menyadari penampilannya yang sederhana tidak bisa menyembunyikan kecantikan wajahnya yang natural.

"Ya, harus dengan orang yang sama. Tapi hal itu sulit, aku sudah hampir lima tahun di sini, namun belum pernah melakukan ritual dengan orang yang sama selama 7 malam Jum'at Pon berturut turut." Jawab si pemilik warung membuatku heran, menurut dugaan ku dia bukanlah peziarah.

"Tapi kan, ibu bukan peziarah !" Seruku, heran.

Aku mulai memperhatikan wajahnya yang oval, hidungnya yang bangir, bibirnya yang tipis dan yang paling mencolok adalah sorot matanya yang keibuan seperti menyimpan sebuah derita panjang.

"Awalnya aku datang sebagai peziarah seperti yang lainnya, melakukan ritual agar semua hajatku tercapai. Namun setelah 7 Jumat Pon, ternyata aku selalu gagal menemukan pasangan yang sana untuk melakukan ritual. Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di sini, kebetulan ada orang yang menjual tempat ini dan langsung aku beli." Jawab si pemilik warung, menjelaskan asal mula dia tinggal di sini.

"Jadi Ibu bukan orang sini, namun peziarah yang menetap di sini?" Tanyaku, heran.

"Iya, banyak pemilik warung di sini dan para wanita yang mangkal di sini awalnya datang untuk berziarah, namun setelah berkali kali melakukan ritual, akhirnya kami memutuskan tinggal di sini agar hajat kami tercapai." Jawab si pemilik warung menjelaskan panjang lebar tentang fenomena di sini, banyak dari mereka yang awalnya memang peziarah sebelum memutuskan menjadi wanita yang menyediakan jasa menemani ritual para pelaku pesugihan, dengan imbalan sesuai kesepakatan. Mereka beranggapan dengan menemani para lelaki melakukan ritual, mereka sudah melakukan tirakat agar semua hajat mereka tercapai dan mereka akan mendapatkan uang sebagai imbalan, uang itu adalah berkah dari Sang Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan.

"Itu sudah saya dengar dan menurut keterangan yang saya dapat, ritual berhubungan seks sebaiknya dilakukan dengan para peziarah, itu lebih manjur." Jawabku berhati hati jangan sampai menyinggung perasaan si ibu pemilik warung, aku yakin dia juga wanita yang menjajakan tubuhnya untuk para pelaku ritual.

"Memang kebanyakan mereka yang datang pada awalnya akan mencari pasangan sesama peziarah, namun hal itu sangat sulit. Mayoritas yang datang itu pria, sedangkan peziarah wanita sangat sedikit dan kalaupun ada sebagian besar dari mereka datang dengan pasangannya sendiri." Makanya Mas, banyak wanita yang menjajakan dirinya untuk menemani ritual..

Aku menatap wajah cantik si ibu pemilik warung yang bercerita panjang lebar mengenai situasi di tempat ini, semakin banyak informasi yang aku dapat, akan semakin Bagus.

"Kami merasakan penderitaan yang sama seperti yang dialami Kanjeng Dewi Ontrowulan dengan situasi yang berbeda, kami mengorbankan harga diri kami sebagai seorang istri dan ibu agar semua hajat kami tercapai." Ujar si Ibu pemilik warung seperti sebuah gumaman panjang, mengetuk relung relung hatiku, mengingatkanku pada Ibuku di rumah.

Ibuku adalah alasanku datang ke sini, wanita yang sudah bersusah payah membesarkan empat orang anaknya setelah ayahku meninggal 15 tahun yang lalu saat aku berusia 9 tahun dan adik terkecilku baru saja lahir. Sejak usia 11 tahun aku sudah mengambil keputusan berhenti sekolah untuk membantu ibu mencari nafkah dengan mengumpulkan bawang merah di Pasar Ramayana Bogor, ( waktu itu bawang merah masih menyatu dengan akarnya dan para pedagang akan membayar para ibu ibu untuk mengambil bawang merah berukuran besar sedangkan bawang merah kecil tertinggal di akar, bawang merah itulah yang kami ambil dan kumpulkan untuk kami jual dengan harga murah ), menjual kantong kresek besar untuk ibu ibu yang sedang belanja dan menawarkan jasa membawakan barang belanjaan mereka.

"Kami yang paling mengerti penderitaan panjang Dewi Ontrowulan saat memutuskan untuk mengembara melintasi hutan untuk mencari putra tiri yang dicintainya, meninggalkan semua kenikmatan Istana yang megah yang sudah mengurungnya sekian lama. Dia mencari kebebasan, mencari cintanya yang entah ke mana."

"Apakah benar Pangeran Samudro itu adalah anak dari Prabu Brawijaya V dari salah satu selirnya, Bu ?" Tanyaku memotong kalimat si Ibu pemilik warung, aku ingin mengetahui seberapa banyak dia mengetahui kisah Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan.

"Seperti itulah kabar yang kami dengar, Pangeran Samudra adalah salah satu putra Prabu Brawijaya V yang berjumlah lebih dari 117 orang dari banyak selir yang dimilikinya. Dan Dewi Ontrowulan adalah salah satu selir yang dimiliki Sang Prabu. Cinta terlarang mulai bersemi di antara keduanya, walau secara urutan Dewi Ontrowulan adalah ibu tiri Pangeran Samudro, tapi usia Pangeran Samudro lebih tua beberapa tahun." Ibu pemilik warung terdiam, nafasnya tersengal-sengal menceritakan semua yang diketahuinya dengan bersemangat.

Kisah yang kudengar ini sangat menarik, Ibu pemilik warung sangat paham dengan sejarah Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan yang kubaca dari majalah Misteri. Aku bisa merasakan penderitaan Dewi Ontrowulan yang berkelana mencari Pangeran Samudro melintasi hutan hutan angker namun saat dia berhasil menemukannya, Pangeran Samudro sudah wafat, terkubur bisu di Puncak Gunung Kemukus.

"Sayang, Dewi Ontrowulan hanya menemukan gundukan tanah yang mengubur jasad Pangeran Samudro." Gumamku lirih, membayangkan betapa hancur hati Dewi Ontrowulan yang mendengar kabar dari para pengikut pangeran Samudro tentang kematian kekasihnya.

"Kami bisa merasakan duka dan derita dari Dewi Ontrowulan, berhari hari dia menangisi kuburan Pangeran Samudro ditemani para pengawal dan emban hingga air matanya kering, jiwanya hampa, dia berbalik menatap para pengikutnya yang setia dan bersabda ':" barang siapa yang datang dan melakukan cinta kasih dengan wanita atau pria yang ditemuinya di tempat ini, maka semua keinginannya akan terkabul." Si ibu pemilik warung terdiam beberapa saat, nafasnya tersengal-sengal setelah bercerita panjang dengan penuh emosi.

"Lalu, Bu ?" Tanyaku semakin tertarik dengan cerita yang disampaikan si ibu pemilik warung, mengingatkanku dengan kejadian tadi saat berhalusinasi melihat kematian Pangeran Samudra.

"Sayang, mereka yang datang tidak selalu membawa pasangan dan mayoritas dari mereka adalah pria hidung belang, tujuan mereka tidak selalu ngalap berkah, banyak dari mereka yang datang hanya karena tertarik dengan keyakinan tempat ini. Melakukan seks bebas dengan para peziarah yang mereka temui, melihat peluang itu akhirnya kami gunakan untuk terus melakukan tirakat di sini dan sekaligus mencari uang dengan menjajakan tubuh kami. " Kata si Ibu pemilik warung menerangkan kenapa di sini banyak warung warung yang menyewakan kamar dan sekaligus pasangan ritual.

"Begitu Bu, selain dapat berkah meraka dapat uang." Aku manggut-manggut, mengerti. Walau aku merasa alasan itu terlalu dipaksakan, ritual berhubungan seks di tempat ini dengan menjual diri itu dua hal yang tidak bisa disamakan.

"Kadang kadang kalau peziarah yang datang cocok dengan hatinya, mereka bersedia menemani ritual tanpa bayaran sepeserpun." Kata si pemilik warung tertawa kecil memperlihatkan deretan giginya yang putih rata membuat wajahnya terlihat semakin cantik, di masa mudanya dia pasti menjadi rebutan para pemuda di tempatnya. Sayang, kecantikannya harus berakhir di tempat ini, menjajakan tubuhnya untuk para pelaku ritual dengan imbalan rupiah.

"Oh, seperti itu." Aku mengangguk anggukkan kepala, pengetahuan tentang tempat ini bertambah. Semoga saja niatku mendapatkan pasangan ritual bisa terlaksana dengan mudah, entah siapa yang akan jadi pasangan ritual ku nanti.

Sesaat aku melihat ke dalam warung, aku yakin ada kamar kamar untuk menginap para peziarah. Mungkin aku akan melakukan ritual di kamar yang disediakan si Ibu pemilik warung setelah mendapatkan pasangan, namun semangatku langsung ciut mengingat kondisi keuanganku yang sangat minim. Aku tidak memperhitungkan biaya sewa kamar saat akan melakukan perjalanan, atau aku harus mengurangi biaya makan selama di sini ? Sepertinya itu hal yang paling masuk akal, bukankah aku berniat melakukan tirakat/puasa selama di sini.

"Kamu, belum punya pasangan ?" Tanya si ibu, membuyarkan lamunanku.

"Belum, Bu." Jawabku pelan, dia tidak perlu bertanya hal itu yang membuatku semakin minder mengingat isi kantongku yang tidak seberapa, membayangkan biaya sewa kamar saja sudah membuatku pusing, apa lagi biaya sewa pasangan ritual yang tidak sedikit.

Satu satunya harapanku saat ini adalah melakukan tirakat di areal makam Pangeran Samudro, menyerahkan semua urusanku dan berharap menemukan pasangan ritual sesama peziarah sehingga aku tidak perlu membayar, kami bisa patungan nyewa kamar saat melakukan ritual.

"Mau Aku temani ritual, Mas?" Tanya si Ibu dengan senyum khasnya, senyum yang menggambarkan dia sudah terbiasa mengajak pria yang datang ke sini untuk melakukan ritual. Senyum yang sama kudapatkan saat berjalan sepanjang jalan di lokasi Gunung Kemukus, beberapa wanita yang kutemui tersenyum menggoda dan menyuruhku mampir ke warung tempat mereka duduk.

"Saya tidak punya cukup uang, Bu. Saya harus berhemat selama melakukan ritual, entah berapa lama saya tinggal di sini hingga mendapatkan petunjuk." Jawabku dengan hati berdesir gelisah, tawaran ini sulit aku tolak. Namun kondisi keuangan mengharuskan aku untuk selektif memilih pasangan sesama peziarah, bukan para PSK yang mangkal dan berpura-pura sebagai peziarah, setelah itu mereka akan meminta imbalan.

"Gratis, kamu tidak perlu membayar sepeserpun selama melakukan ritual denganku, bahkan kamu bisa tinggal di sini dan makan gratis." Jawab si ibu tegas, dengan senyum yang terus tersungging dari bibirnya yang tipis.

Aku menatapnya tak percaya, tawarannya terlalu mengada ada. Bukankah dia sudah mengakui sebagai wanita yang menemani ritual dengan imbalan, kenapa tiba-tiba berubah. Mungkin ini jebakan, setelah kami selesai berhubungan seks, dia akan menguras semua isi kantongku yang tidak seberapa, membuatku terlunta-lunta di tempat yang asing ini.

"Eh !" Seruku pelan, senyumku terasa hambar membalas senyumnya. Aku tidak tertarik membahas ajakannya, apalagi mempercayainya.

"Kamu, nggak percaya ?" Tanya si Ibu, dia berpindah duduk di sisiku. Tangannya mengelus paha kurusku, menimbulkan sensasi yang membuat bulu kudukku berdiri.

Jantungku berdegup kencang, mendapatkan perlakuan agresif si ibu pemilik warung. Tubuhku menjadi dingin, namun keringatku justru mengalir deras membasahi wajahku. Keteguhanku nyaris hilang, mendapat serangan frontal dari wanita cantik dengan tubuh montoknya yang menggoda.

"Per, percaya !" Aku terkejut dengan jawabanku, seharusnya aku mengatakan tidak percaya.

"Kenapa kamu jadi gemetaran seperti, ini ?" Tanya si pemilik warung semakin menggodaku, jemarinya yang lentik meremas paha kurusku. Dia sudah berpengalaman dan tahu apa yang harus dilakukannya pada pemuda bau kencur seperti diriku. Tangannya semakin naik ke atas, mendekati pangkal pahaku, pertahanan ku nyaris hilang.

"Nggak tahu, Bu." Jawabku pelan, kesadaranku mulai pulih. Aku harus bertahan dengan tujuan awalku, tidak boleh ada yang bisa menggoyahkan niatku tirakat di tempat ini hingga tujuanku tercapai.

Namun pikiranku kembali goyah, remasan tangan itu menyenggol biji pelerku dan membangunkan ular yang sedang nyenyak tertidur. Aku mulai percaya dengan ucapan si ibu pemilik warung itu, bisa jadi ini adalah sebuah jalan yang disiapkan oleh Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan yang merestui niatku melakukan ritual. Kedatanganku sudah ditunggu oleh pasangan ritual, tidak ada unsur kebetulan.

"Wah Mbak, jam segini sudah dapat penglaris ?" Tanya seorang wanita berusia 20 an yang muncul dari dalam, bibirnya mencibir melihat adegan di depannya. "Ganteng, masih muda." Matanya yang tajam menatapku, layaknya seorang pembeli yang sedang menaksir nilai barang yang ingin dibelinya.

Kehadiran wanita itu kembali menyadarkan ku, ini hanyalah sebuah godaan seperti yang sering aku lihat di film-film layar tancap. Seseorang yang sedang bertapa akan mendapatkan godaan dari jin jin yang ingin menggagalkan tapanya.

"Bukan, ini pasangan ritualku. Semoga kami berjodoh sehingga aku bisa meninggalkan tempat ini secepatnya.* Jawab si pemilik warung bersemangat, suaranya terdengar penuh rasa percaya diri.

Tidak boleh, aku harus sadar dari tipu daya yang sedang kualami saat ini. Aku harus segera pergi dari tempat ini dan menuju puncak Gunung Kemukus, namun niatku kandas ketika si wanita muda yang baru datang itu menjawab.

"Amiin, semoga saja Mbak. Aku ikut mendoakan kamu, semoga semuanya cepat terlaksana dan berkumpul kembali dengan anak Mbak yang hilang. Siapa namanya, Mbak ?" Tanya si wanita itu membuatku tertarik dengan percakapan mereka yang akrab, sepertinya tidak ada tipu daya yang sedang mereka rencanakan

"Dewi, entah di mana dia sekarang. Aku yakin, pemuda ini akan menjadi jalanku untuk menentukan anakku, aku yakin itu." Jawab si ibu pemilik warung, dia menatapku, berusaha menunjukkan kejujuran dalam sorot matanya yang keibuan.

"Tapi....!" Aku menarik nafas lega mendengar satu kata yang keluar dari mulutku, setelah sekian lama bibirku terkunci rapat.

Aku menatap mata si Ibu pemilik warung yang bersinar seperti menemukan harapannya yang hilang. Mata yang konon tidak pernah bisa berdusta, jujur menceritakan isi hatinya. Tapi bagaimana cara membaca isi hati seseorang dari matanya, kalau tidak ada suara yang terucap.

"Kenapa, lagi ? Sudah aku katakan, kamu tidak perlu bayar selama kita melakukan ritual. " Kata si pemilik warung ketus, melihatku yang masih ragu ragu. Tatapan matanya kembali membuat bibirku terkunci, segenap keberanian ku untuk menyanggah ucapannya hilang dalam sekejap.

*Kamu ini Mas, diajak ngentot gratis masa nggak mau ? Semua orang yang datang ke sini untuk melakukan ritual ngentot, kamu pasti tahu hal itu. Lagi pula setahuku, jarang Mbak Ayu mau melakukan ritual dengan sembarang lelaki." Kata si Mbak membela si Ibu pemilik warung yang ternyata bernama Ayu, se Ayu wajahnya yang keibuan.

"Be, benar gratis?" Tanyaku pelan, berusaha memastikan apa yang kudengar itu nyata. Bukan sebuah tipu daya seperti yang dialami kenalanku di Bogor, terpaksa dia pulang dengan surat keterangan dari kepolisian di terminal. Aku tidak mau mengalami nasib buruk seperti itu, terlebih aku tidak mau perjalan jauh ini sia sia.

Aku sudah bersusah payah mengumpulkan uang selama tiga bulan untuk melakukan ritual ini, aku harus memanfaatkan uang yang kumiliki sebaik mungkin. Setiap tetes keringat, tenaga yang terkuras, semua usaha yang kulakukan harus membuahkan hasil.

"Ayo, Mas !" Si pemilik warung tiba tiba menarikku berjalan memasuki kamar, bahkan dia begitu sigap membawa tas ransel milikku.

Dia tidak memberiku kesempatan untuk menolaknya, sehingga aku terpaksa mengikuti langkahnya masuk ke dalam pintu yang tertutup hordeng, melewati beberapa pintu kamar yang tertutup rapat.

"Ini kamar siapa, Bu ?" Tanyaku heran ketika kami masuk ke dalam kamar terakhir, berbatasan dengan dapur. Aku terpaku menatap kamar yang cukup luas ini, sebuah ranjang besi ukuran 120 x 200, lemari pakaian kayu dan sebuah meja rias menempel pada sisi ranjang.

"Maaf, aku bikin kamu kaget. Ini akan jadi kamar kita selama melakukan ritual dalam waktu yang belum bisa aku tentukan, sama seperti niatmu yang akan melakukan tirakat dalam waktu yang juga belum bisa kamu tentukan." Jawab si pemilik warung tegas, dia mendorongku duduk di atas ranjang besi yang empuk.

"Ibu, serius?" Aku menarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri.

Aku harus berpikir positif, tidak ada gunanya menolak semua yang kualami saat ini. Sebaiknya aku menyerahkan semua urusanku selama di sini kepada Yang Maha Kuasa, semoga ini bukan tipu daya yang akan menjerumuskan aku terlunta-lunta.

*Minum dulu, agar kagetmu hilang." Jawab Ibu pemilik warung yang yang akan kusebut Ayu, seperti yang kudengar tadi.

Dia mengangsurkan segelas air putih yang sudah tersedia di meja rias, aku langsung meminumnya hingga habis tidak tersisa. " Terima kasih, Bu." Aku meletakkan gelas kosong pada tempatnya.

Pikiranku mulai jernih, serpihan peristiwa yang aku alami kembali terbayang satu satu. Berusaha mencerna ajakan si pemilik warung yang tiba-tiba, sepertinya ini bukan sekedar basa-basi. Perlahan aku menoleh ke arahnya yang duduk di sampingku, dia tersenyum membalas tatapanku dengan lembut. Aura keibuannya terpancar nyata membuatku merasa nyaman berdekatan dengannya, perasaan ini mengisyaratkan padaku, bahwa niatnya tulus. Bau tubuhnya begitu lembut, mengingatkanku dengan ibu yang membesarkan seorang diri. Ibu juga alasanku melakukan ritual di Gunung Kemukus ini agar hidupnya lebih terjamin dan ke dua adikku bisa lulus menjadi seorang sarjana, hidup sukses tidak seperti diriku yang pekerja serabutan

"Siapa, namamu ?" Tanyanya, geli. Inilah pertama kali bertanya namaku setelah membuatku shock, pertanyaan yang seharusnya dia tanyakan tadi.

"Chandra, ibu siapa ?" Tanyaku balik bertanya, wanita ini usianya jauh lebih tua dariku, namun aura kecantikannya begitu matang dan penuh misteri. Berbagai macam perasaan bergejolak, rasa nyaman dan gairah seks yang kembali bangkit.

" Ayu Wandira, panggil saja Ayu, karena wajahku memang Ayu !" Seru Ayu tertawa kecil, ada semburat duka yang sempat kubaca dari raut wajahnya, namun dia berhasil menyembunyikannya di balik tawanya yang merdu.

"Cantik !" Gumamku lirih, mengagumi kecantikannya.

"Hihihi, ternyata kamu bisa memuji. Kupikir kamu ini pemuda culun yang nekat datang ke sini untuk melakukan ritual, ternyata kamu sama seperti pria lain yang datang hanya untuk seks." Matanya menatapku tajam, membaca ekspresi wajahku yang bersemu merah.

Aku tidak mampu membalas tatapan matanya lebih lama, perlahan aku aku mengalihkan pandanganku pada dasarnya yang membusung besar, sepertinya aku belum pernah melihat buah dada sebesar ini.

"Benarkan, kamu melotot melihat dadaku !" Seru Ayu, kembali dia tertawa melihat kelakuanku yang serba kikuk. " Apa lagi kalau kamu melihatnya langsung, bisa habis payudaraku."

Tidak cukup menggodaku dengan membusungkan dadanya, Ayu berdiri di hadapanku dan menarik wajahku ke dalam dekapan dadanya yang hangat dan lunak, membuat nafasku terhenti beberapa detik. Seakan dia ingin menunjukkan kesungguhannya, tawarannya bukan sekedar basa-basi yang biasa ditemui di tempat ini, setelah itu para peziarah pria itu akan dimintai sekian rupiah uang, sehingga tidak sedikit para peziarah sial itu harus kehabisan uang bekal mereka.

"Kenapa Ibu mau melakukan ritual dengan ku, gratis?" Tanyaku dengan penekanan kata gratis, jangan sampai aku terjebak seperti pria lain yang bernasib sial.

"Panjang ceritanya, intinya aku sudah menunggu pasangan ritual yang bisa menemaniku di sini tanpa terputus dari malam Jumat Pon hingga bertemu malam Jumat Pon kembali sesuai dengan petunjuk yang aku dapat. Sudah banyak pria yang kutemui, entah kenapa aku merasa tidak cocok dengan mereka. Begitu melihatmu, aku merasa kamulah pasangan yang aku tunggu di sini, bukankah kamu akan melakukan tirakat di sini tanpa dengan waktu yang belum pasti." Ayu melepaskan pelukannya, dia menatapku serius.

"Ya, aku bersedia menemani ritual Ibu agar hajat kita tercapai." Jawabku gembira, aku tidak perlu kelaparan di tempat asing ini.

"Anak baik, terima kasih !" Ayu kembali memelukku, kehangatan payudaranya kembali kurasakan.

Kali ini aku balas memeluk pinggang Ayu, sehingga wajahku semakin erat menempel di gundukan payudaranya yang berbau harum, samar samar ingatanku terbawa pada situasi masa kecilku yang bahagia. Ibu, ibuku yang selalu memeluk wajahku ke dalam dekapan dadanya yang hangat saat aku pulang menangis, atau saat aku merajuk menginginkan sesuatu.

*Nakal, kamu !" Seru Ayu tertawa geli merasakan wajahku mendorong payudaranya, wajahku terjepit di antara sepasang payudara yang belum kutahu ukurannya. Detak jantung Ayu terdengar teratur, memukul mukul wajahku yang terasa panas.

"Sudah cukup, sekarang kita melakukan prosesi ritual dengan urutan yang sudah ditetapkan di sini." Suara Ayu berhasil menyadarkan ku, ritual harus dilakukan dengan tata cara yang benar dan sesuai dengan urutannya, agar semuanya berjalan sempurna dan hasilnya semakin cepat kita rasakan.

"Iya, Bu." Jawabku agak kecewa, aku ingin berlama lama memeluk tubuh montok yang memberiku rasa nyaman. Setelah menjalani semua proses ritual, aku bisa memeluknya lagi.

Aku menatap ibu pemilik warung yang juga sedang menatapku, pandangan kami berpadu, banyak cerita yang terucap lewat mata kami dan tiba tiba kami tertawa bersamaan, mentertawakan sesuatu yang hanya bisa kami rasakan. Kami seperti sudah saling memahami, semua keraguanku sudah lenyap tak bersisa.

"Kita ke Sendang Ontrowulan, melakukan ritual pertama membersihkan tubuh dan jiwa kita dari hal hal negatif dan menghalangi semua hajat kita. " Ayu beranjak dari ranjang, menutup jendela kamar sehingga suasana dalam kamar berubah menjadi temaram, walau semuanya masih terlibat jelas dan siluet bentuk tubuh Ayu terlihat semakin menggoda.

"Bu !!!!" Seruku tidak percaya melihat Ayu menanggalkan daster yang dipakainya, tanpa merasa risih dengan kehadiranku. Sama seperti saat dia menanggalkan pakaiannya di hadapan para peziarah lain, entah kenapa tiba tiba aku merasa cemburu. Bukan aku satu satunya pria yang menikmati tubuh polosnya, aku hanyalah pria yang kesekian.

Ayu tersenyum geli melihatku terbelalak melihat tubuhnya yang nyaris bugil, dia berlenggak-lenggok dan meremas payudaranya yang menggantung telanjang.

"Kamu belum pernah lihat cewek telanjang ya, Chan ?" Goda Ayu semakin menjadi, dia meremas sepasang payudaranya yang besar sehingga putingnya bisa menjangkau bibirnya.

Mataku tak berkedip memandangnya, namun aku tidak punya cukup keberanian untuk meraih sepasang payudara yang membuatku dahaga, merasakan semprotan asi yang mengalir dari putingnya. Aku hanya bisa meneguk air liur yang nyaris keluar dari sisi bibirku, meneguknya berkali kali.

"kamu masih hijau, aku yakin kamu perjaka ting-ting !" goda ibu pemilik warung tertawa geli melihat wajahku yang bersemu merah, dia melepaskan payudaranya sehingga aku bisa melihat setiap bagiannya.

"Sabar, kamu akan bebas menyusu nanti !" Seru Ayu memutar tubuhnya membelakangi ku, sehingga aku bisa mengagumi bokongnya yang besar itu terlihat serasi dengan lekukan pinggang yang terlihat jelas, seperti lekukan pada sebuah gitar.

Kupikir Ayu sengaja melakukannya untuk menggodaku, namun anggapan itu salah. Ayu membuka lemari yang berada di hadapannya dan mengambil selembar baju dengan hati hati, dengan cepat dia memakainya dengan tetap membelakangi ku. Ritual harus dilakukan secepatnya, tidak boleh ditunda-tunda. Seks adalah bagian dari ritual, jangan sampai menjadikan seks sebagai tujuan dari ritual.

*Ayo, kita berangkat ke Sendang Ontrowulan !" Ajak Ayu menarik tanganku berdiri gamis berwarna krem yang dikenakannya sangat serasi dengan warna kulitnya yang bersih, dipercantik dengan selendang yang dijadikan kerudung menutupi rambut hitamnya yang lebat.

Tak ada ucapan keluar dari lisanku yang kelu, semuanya seperti mimpi saat aku berjalan beriringan ke luar warung, samar samar aku mendengar sapaan wanita yang berada di warung dan jawaban cepat Ayu yang terkesan acuh. Langkahku begitu ringan menjejeri langkah Ayu, langkahku seperti tidak menginjak bumi, melayang ringan di antara gemerlap cahaya yang berpijar di mataku.

" Apakah tempatnya masih jauh, Bu ?" Tanyaku, setelah sekian lama membisu. Kakiku menginjak anak tangga terakhir, kami berbelok ke arah kiri di jalan lebar yang hanya di plester semen.

"Sudah dekat, siapkan diri dan tekad mu." Jawab Ayu lembut, tangganya menggenggam erat pergelangan tanganku.

Aku menarik nafas lega, pijaran cahaya yang sempat mengaburkan pandanganku sudah hilang, aku bisa merasakan kakiku kembali menginjak bumi, pendengaran ku sudah kembali normal. Aku sudah kembali dari alam mimpi, menapak dunia nyata. Aku melihat sekelilingku, warung yang berjejer sepanjang jalan, beberapa wanita yang kami temui menatapku heran, atau hanya perasaanku saja. Beberapa kali Ayu menjawab sapaan orang yang kami temui, kadang dia yang menyapa terlebih dahulu.

"Kita, sampai." Ayu menarik tanganku berbelok ke arah kanan, tanpa banyak bicara dia membeli kembang kepada seorang ibu tua yang menunggu dagangannya dengan sabar.

Aku tidak tertarik basa basi di antara keduanya yang sudah saling mengenal, aku mencari letak Sendang Ontrowulan sehingga aku melihat sebuah tulisan di dinding sebuah bangunan, "SENDANG ONTROWULAN." Dahiku berkerut heran, menurut pengetahuanku Sendang adalah mata air yang menjadi kolam besar, atau sepertinya kolam besar itu berada dalam bangunan yang tertutup rapat. Sepertinya begitu, sama seperti kobak (kolam penampungan dari mata air) di daerah Jawa barat, tempat masyarakat mandi, mencuci dan mengambil air untuk dimasak. Awalnya kupikir Sendang adalah telaga, atau di Jawa Barat Setu.

"Loh, bukankah kita mau mandi ?" Tanyaku heran saat Ayu justru melewati bangunan Sendang Ontrowulan yang pintunya terbuka sehingga aku bisa melihat bagian dalamnya, sama seperti kamar mandi lainnya, ada sebuah sumur dan tanpa bak mandi. Ayu menggandengku berjalan ke arah samping kamar mandi, kami melewati bilik tanpa atap dan tanpa pintu, di dalamnya ada sebuah sumur cukup besar di bawah sebuah pohon yang akarnya menyembul di dinding sumur. Aku yakin sumur ini mengandung aura mistis yang kuat, kesan angker terasa lebih menonjol dibandingkan kamar mandi yang bertuliskan Sendang Ontrowulan, atau mungkin sumur ini yang sejatinya Sendang Ontrowulan.

Kami berhenti tepat di depan sebuah pintu bangunan luas yang temboknya setinggi satu meter, di atas tembok dipasangi kawat. Ayu mengajakku masuk ke dalam ruangan luas yang tampak lengang, ada sebuah kamar yang pintunya terbuka dan menebarkan bau menyan yang tajam, ke situlah Ayu membawaku masuk. Di dalam ada sepasang payung kecil, tebaran bunga di atas sebuah meja keramik yang tengah tengahnya berlobang dan sebuah tempat pembakaran menyan dengan bara api yang masih menyala.

Aku mengikuti Ayu bersila dengan perasaan khusuk, kesan sakral mulai kurasakan sejak memasuki area Gunung Kemukus. Ayu mengambil menyan yang dibelinya tadi dan membakarnya diatas bara api yang mulai mengecil, dengan bersusah payah Ayu meniupi bara api agar kembali besar. Tanpa di suruh, aku membantu Ayu meniupi bara api, mengatur posisi arang agar Baranya menyebar rata. Dengan cepat bara api kembali membesar, Ayu segera menaburkan menyan diatasnya.

*Bu, kok nggak ada juru kuncinya?" Tanyaku berbisik, sebelum Ayu membakar menyan.

*Di warung depan Sendang, dia sudah mengenal aku, jadi nggak ikut masuk." Jawab Ayu menerangkan,

"Niat ingsung ngobong dupo, kukuse dumugi angkoso, kang anggodo arum pinongko tali rosoningsung manembah dumateng Gusti kang akaryo jagad." Bulu kudukku bangkit mendengar Ayu membaca mantra dengan khusuk, kepulan asap menyan membubung memenuhi ruangan kamar yang kecil.

Mantra yang dibaca Ayu berbeda dengan yang biasa aku dengar saat Abah atau para kuncen ( juru kunci makam keramat ) di daerah Jawa Barat saat membakar menyan, bahkan aku sudah menghafal mantra tersebut sebelum datang ke sini. Perbedaan mantra bukanlah soal penting, yang paling utama adalah khusuk mengikuti ritual ini. Maka aku mulai membaca amalan yang aku yakini bisa membuka pintu alam ghaib di mana Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan bersemayam. Dengan segenap perasaan, aku memanggil keduanya, memohon setiap hajat terkabul dengan perantara keduanya.

"Wahai Kanjeng Dewi Ontrowulan, aku sudah tinggal di sini selama hampir lima tahun, sudah lima puluh lima bulan purnama berlalu, kini datang seorang pemuda yang akan menjadi pasangan ritualku. Kabulkan hajatku, kabulkan Kanjeng Dewi seperti sabdamu yang akan mengabulkan hajat kami yang mabuk kepayang." Sekilas aku melirik Ayu yang berkeluh kesah memohon hajatnya terkabul, entah seperti apa hajatnya hingga dia bisa bertahan selama hampir lima tahun.

"Anakku yang hilang selama sepuluh tahun tanpa kabar berita, kembalikan dia kepada kami." Itulah kalimat terakhir yang sempat aku dengar, sebelum Ayu menutup semua doanya dalam sebuah mantra berbahasa Jawa. Wajahnya terlihat basah oleh air yang mengalir deras dari matanya yang bulat, kerinduan terpancar jelas membuat hatiku ikut terenyuh.

"Kamu sudah selesai, Chan ?" Tanya Ayu, menatapku yang sejak tadi khusuk mendengar keluh kesah Ayu, sehingga aku lupa berdoa untuk diri sendiri, namun aku yakin Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan sudah mengetahui hajatku sejak pertama kali menjejakkan kaki di Gunung Kemukus, buktinya aku begitu mudah mendapatkan pasangan ritual, bukankah ini sebuah pertanda yang nyata.

*Sudah, Bu." Jawabku tersenyum, entah kenapa wajah Ayu terlihat semakin cantik, wajahnya yang chubby terlihat semakin menarik dan membuatku terangsang.

"Yu, kita ke Sendang !" Seru Ayu memegang pundakku sebagai tumpuan beban tubuhnya saat berdiri, lalu berjalan mendahuluiku keluar dari kamar pembakaran menyan.

Aku menarik nafas lega, terbebas dari asap menyan yang menyengat. Kembali Ayu menggandengku ke jalan yang kami lalui dan berhenti di bilik tanpa pintu tepat di belakang bangunan pembakaran menyan, Ayu kembali masuk dan menaburkan kembang di dalam sumur.

"Nggak berdoa dulu, Bu ?" Tanyaku heran, Ayu langsung menggandengku meninggalkan sumur yang terlihat angker.

"Sudah tadi, sekarang kita mandi di Sendang." Jawab Ayu berhenti di pintu kamar mandi tempat Sendang Ontrowulan, jaraknya hanya beberapa langkah dari sumur angker tadi. Aku heran, kenapa Ayu justru melewati tempat ini yang menurutku mengandung aura mistis yang kuat sehingga bulu kudukku berdiri.

Ayu menarikku masuk ke dalam kamar mandi pertama yang kami di lalui tadi, sekarang aku bisa melihat jelas sumur di dalamnya yang lumayan dalam. Inilah Sendang Ontrowulan tempat banyak peziarah menyucikan badan dan jiwa mereka sebelum nyekar ke makam Pangeran Samudro. Konon sumur ini tercipta dari tangisan Dewi Ontrowulan yang melakukan tapa Brata, menyerahkan semua keluh kesahnya sebelum mencapai moksa. Walau aku tidak setuju dengan kata moksa, karena moksa hanya bisa terjadi saat seseorang sudah bisa melepaskan semua nafsu duniawinya versi agama terdahulu.

"Isi ember itu dengan air dari Sendang, Chan !" Seru Ayu, menyadarkanku untuk segera berkonsentrasi dengan semua tujuanku, tujuan kami melakukan ritual.

Namun konsentrasi ku kembali terusik saat melihat Ayu menanggalkan pakaiannya di hadapanku, di baliknya dia sudah tidak lagi mengenakan bra dan celana dalam. Mataku terbelalak melihat setiap detail tubuhnya yang kuanggap sempurna, sehingga aku lupa dengan tugasku mengisi ember dengan air dari Sendang.

"Berhentilah menatapku seperti itu, Chan! Kita akan melakukan ritual mandi menyucikan tubuh dan jiwa kita, berserah diri ke Sang Maha Kuasa agar semua hajat kita tercapai lewat perantara Kanjeng Gusti Pangeran Samudro dan Kanjeng Gusti Dewi Ontrowulan sebelum kita mendaki puncak Gunung Kemukus. Konsentrasi, seks bukan tujuan dari ritual ini, seks hanya jalan bagi kita untuk menggapai restu Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan." Ayu kembali menyadarkanku dengan tujuan kami, aku bersyukur mendapatkan pasangan yang sudah menguasai seluk beluk ritual.

"I, iya Bu." Jawabku dengan suara bergetar, mataku terpejam berusaha mengumpulkan semua ingatan dan niatku datang ke sini, bukan semata berhubungan seks dengan wanita yang aku temui, tapi aku ingin menjadi kaya raya sehingga bisa mencukupi kebutuhan Ibu dan menyekolahkan adik adikku hingga menjadi seorang sarjana

Aku mulai memenuhi ember kosong dengan air dari Sendang, Ayu segera menaburkan kembang yang dibelinya pada ember yang sudah terisi air. Ayu berjongkok membaca mantra dengan khusuk, membuatku harus bersabar menunggu perintah selanjutnya.

"Kenapa kamu belum buka baju, agar ritual ini secepatnya kita mulai ?" Tanya Ayu berdiri di hadapanku, memperlihatkan lekuk tubuh polosnya yang montok dan sexy terutama bagian payudaranya yang sangat besar dengan putingnya yang terlihat tegang.

"Eh, telanjang Bu ?" Tanyaku kikuk, belum pernah aku bugil di hadapan seorang wanita. Aku tidak pede dengan tubuh kerempengku dan selalu menjadi bahan ledekan teman temanku yang mempunyai tubuh kekar berisi, walau aku sudah berusaha menaikkan berat tubuhku namun tidak berhasil.

"Memangnya, kamu mau mandi dengan berpakaian lengkap seperti itu ? Setiap orang yang datang ke tempat ini sudah siap untuk bertelanjang di hadapan pasangannya masing masing, melakukan hubungan seks sebebas bebasnya dengan pasangan yang belum kamu kenal." Jawab Ayu lembut, menohok kesadaranku yang sempat hilang saat melihatnya telanjang. Terpesona oleh lekuk tubuh seorang wanita dewasa yang berdiri polos, mengingatkanku dengan gambar gambar telanjang di Majalah dewasa.

Ini bukan hanya khayalan yang selama ini tersusun rapi di otakku sebelum datang ke tempat ini, menggumuli tubuh bugil wanita yang aku temui di sini lalu pulang dengan kekayaan berlimpah. Ini nyata, tidak Boleh ada keraguan sedikitpun. Kesannya terlalu mudah, entah dengan kenyataan yang akan aku hadapi nanti, benarkah aku akan menjadi kaya setelah berhubungan seks dengan Ayu selama melakukan ritual di sini, atau hanya sekedar angan angan bodoh yang diperkuat oleh sebuah mitos yang berkembang di masyarakat.

Tidak, aku tidak boleh meragukan kesakralan dan kesaktian Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan. Setiap bulan ribuan orang datang ke sini selama puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu, tentu sudah jutaan orang yang berhasil menjadi kaya.

"Buka bajumu, sayang !" Seru Ayu tidak sabar, dia menarik kaosku melewati kepala dan mengaitkan di sebuah paku tepat di samping pakaiannya.

"Saya bisa buka baju sendiri, Bu !" Seruku gugup, namun Ayu seperti tidak mendengar perkataanku atau dia sudah habis kesabaran sehingga mengambil alih tugas yang sebenarnya mudah. Tangannya terampil membuka sabuk, kancing celana jeans ku dan resletingnya dengan cepat.

"Kelamaan !" Jawab Ayu, berusaha menarik celana jeans ku, terpaksa aku mengangkat kakiku satu persatu dengan perasaan tidak menentu, inilah pertama kali seorang wanita menelanjangiku seperti yang terjadi di film film porno yang aku tonton, cuma bedanya sekarang aku menjadi aktor utamanya.

"Walah, kontolmu sudah ngaceng toh !" Seru Ayu tertawa geli melihat kontolku berdiri dengan gagah, menodong wajah cantiknya yang berjongkok di hadapanku. Aku hanya bisa menunduk malu, namun gairahku sendiri semakin bergejolak liar.

"Sabar ya Le, setelah selesai nyekar di makam Pangeran Samudro, kamu akan dijepit memekku semalaman. Hihihi...." Ayu meremas kontolku dengan gemas dan tiba tiba mengulum kontolku dengan cepat, membuatku nyaris jatuh terduduk dengan perlakuannya.

"Sudah, kita selesaikan ritual ini secepatnya, sebelum aku lupa diri melihat kontolmu yang keras itu !" Seru Ayu, dia menyuruhku berjongkok di hadapan air kembang yang sudah menunggu sejak tadi.

Ritual ini sudah tidak bisa ditunda tunda lagi, sebelum aku kehilangan kendali dan memperkosa Ayu. Aku segera berjongkok dan membaca mantra mandi warisan Guruku, bersamaan dengan Ayu menyiramku dengan air kembang yang dingin.

"Cukup, air satu ember ini harus kita gunakan bersama, sebagai simbol penyatuan jiwa dan raga." Kata Ayu, membuyarkan konsentrasinya.

Aku bangkit berdiri, membiarkan Ayu menempati posisiku. Kembali dia membaca mantra dengan suara yang lebih jelas, membiarkanku yang bingung harus melakukan apa. Aku ingin segera menyudahi semua rentetan prosesi ritual yang terasa lama, mengakhirinya dengan puncak ritual berhubungan seks.

"Mandikan aku Chan, biar semuanya segera selesai, kamu tentu tidak sabar untuk melakukan ritual terakhir !" Seru Ayu, membuatku buru buru mengambil air dengan gayung dan menyiramkannya ke kepala Ayu, membasahi rambutnya yang tergerai indah.

*Selesai !" Seru Ayu saat sisa air aku guyurkan seluruhnya, dia bangkit dengan perasaan lega. Satu lagi prosesi ritual kami selesaikan, itu artinya kami sudah semakin mendekat puncak ritual penyatuan raga.

Aku mendahului Ayu mengenakan pakaianku tanpa membasuh sisa sisa air ditubuh, begitu juga dengan Ayu, bergerak lincah memakai celana dalam dan beha mendahuluiku yang bersusah payah mengaitkan kancing celana dan sabuk. Ternyata anggapan wanita akan berlama lama mengenakan pakaian itu salah, Ayu sudah selesai mengenakan pakaiannya saat kaos yang aku kenakan terpakai sempurna.

Kami segera bergegas ke arah puncak Gunung Kemukus melalu jalan menanjak dekat Sendang Ontrowulan sehingga kami tidak akan melewati warung Ayu.
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd