Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Guruku, Objek Kepuasan Seksualku

sancti

Suka Semprot
Daftar
21 Jan 2011
Post
10
Like diterima
17
Bimabet
Cerita ini merupakan gabungan fakta dan fiksi (tidak sepenuhnya real). Terjadi sekitar tahun 2001an.


^^​


Nama guruku itu Uci M****** (nama lengkapnya sengaja kusamarkan), biasa dipanggil Bu Uci. Kuperkirakan usianya saat itu sekitar 30 tahun lebih. Guruku mengajar mata pelajaran matematika di kelasku, salah satu pelajaran yang paling kubenci. Walaupun begitu, aku tetap betah berada di dalam kelas ketika pelajaran berlangsung. Mengapa?

Apalagi kalau bukan karena daya tarik Bu Uci sendiri. Sebagai guru, wajahnya memang lumayan cantik, walaupun ekspresi normalnya agak galak dan jutek. Tetapi di tubuh guruku ini, tergantung sepasang buah dada yang padat dan besar di atas rata2, sangat2 menggairahkan. Kalau kutebak2, sepertinya ukuran branya 36B. Ditambah lagi pinggul dan pantatnya pun seksi abis. Saat di luar pelajaran matematika, aku dan teman2ku seringkali mengobrol tentang Bu Uci ini. Rata2 teman2ku berkata, walaupun galak dan cukup killer (terutama terhadap murid2 yang bandel), mereka mengagumi payudara Bu Uci. Bu Uci ini memakai jilbab, walaupun bukan jilbab lebar dan panjang seperti yang sering dipakai aktivis wanita dari organisasi agama. Kalau kubayangkan Bu Uci hampir telanjang (hanya tersisa bra dan celana dalam), maka aku dapat membayangkannya seperti foto di bawah,


ae945he4blsn54ea.jpg
tia-carrere-1.jpg


Wajah juteknya memang agak mirip wajah Tia Carrere, objek dua foto di atas. Apalagi bodinya, sama2 amat sangat menggairahkan sebagai wanita2 berstatus MILF.

“Anak2 sering ngeliatin dy pas ngajar.” kata salah satu temanku yang sering berotak mesum.

“O ya?” tanyaku tertarik, ikutan berpikir mesum.

“Toge gitu, mantep bangetlah. Seksi.”

“Toge tuh apaan?” tanyaku. (waktu itu aku belum mengenal istilah ini)

“Toge…toket gede.”

Akhirnya aku pun menjadi sering2 ikut memandangi dua gunung kembar yang seolah-olah menantangku. Benar saja, akupun jadi sangat betah di kelas matematika, tetapi dengan demikian aku sangat gak bisa berkonsentrasi, karena pikiranku berubah menjadi kotor terus-menerus . Sering sekali aku berfantasi sambil memandangi terus Bu Uci yang mengajar di depan. Salah satu fantasiku, berhubung Bu Uci orangnya galak, aku sering membayangkan aku menjadi budak seks Bu Uci yang setiap saat dipaksa melayani nafsu seksnya yang membara. Atau aku membayangkan sebaliknya, diriku berkuasa di atas Bu Uci dan memperlakukannya semauku hingga dirinya gak memiliki harga diri dan kehormatan. Fantasi2 kotor seperti inilah yang membuatku hampir selalu tegang di kelas saat pelajaran matematika. Dan ketegangan itu sering kueksekusi dengan semprotan2 sperma ke lantai kelas. Mula2nya aku hanya sekedar menggosok tongkolku dari luar celana hingga crot di dalam. Hingga bulan2 berikutnya, barulah aku mulai berani mengeluarkan tongkolku dari celana biru SMPku, padahal ada rolling posisi tempat duduk dari depan ke belakang, sehingga aku di depan, di tengah, atau di belakang dapat menikmati kenekatanku ini dengan resiko disaksikan teman2 sekelasku atau bahkan Bu Uci sendiri.

Tetapi, pada suatu hari, terjadilah satu kesempatan yang sangat gak kusangka. Kebetulan hari itu hari Senin, dan dilaksanakan upacara bendera. Selesai upacara, ternyata ada sekitar belasan murid dari kelasku yang dihukum di luar karena terlambat dari waktu masuk yang ditentukan. Aku pun gak ngerti kenapa mereka bisa terlambat. Nanti akan kuceritakan hubungan keterlambatan mereka dengan kesempatan yang gak kusangka itu. Di kelas, kebetulan pelajaran pertama adalah pelajaran Bu Uci. Seperti biasa, Bu Uci mengenakan blazer abu2 yang cukup ketat sehingga memperlihatkan dua bulatan indah yang selalu kutunggu di kelas matematika. Celana panjangnya pun cukup ketat juga dan menampilkan lekukan pantatnya yang seksi. Aku yang melihat Bu Uci kontan saja mengalami ‘ketegangan’ luar biasa. tongkolku berdiri menegak meninggi, seakan-akan gak mau turun lagi. Di celana biruku sudah terbentuk tenda yang berdiri tegak, dan aku gak dapat membongkar tendaku itu sebelum aku mengeluarkan isinya. Ntah kenapa, tongkolku ini sangat sulit disuruh diam, inginnya selalu memuntahkan cairan kenikmatan. Akhirnya akupun menyerah pada keinginan tongkolku, dan segera membuka resleting celanaku. tongkol kebesaranku ini kubantu keluar setelah cukup menderita karena pengap di dalam celanaku sekian menit. Kemudian kumulai memanjakan tongkolku pada hari itu.

Jam 08.45 WIB. Aku terus memandangi Bu Uci, pura2 memperhatikan catatan di papan tulis. Tangan kananku ikut mencatat (sebisa mungkin!), tetapi tangan kiriku terus mengocok tongkolku sendiri. Aku sebenarnya ingin sekali mendesah dan mengerang, mengekspresikan kenikmatan yang kualami dengan sempurna, tetapi terpaksa kutahan karena aku gak ingin membuat yang lain curiga. Akhirnya berhasil kutahan suaraku, tetapi jelas sekali napasku gak teratur. Jantungku berdegup kencang di antara rasa nikmat kocokanku dan rasa takut ketahuan. Aku terus melayani tongkolku hingga 10-15 menit kemudian. Selanjutnya dapat ditebak, cairan kenikmatanku tersembur keluar. Segera kuarahkan tongkolku ke lantai kelas supaya seluruh spermaku tertumpah di sana. Paling gak kakiku masih dapat menutupi noda di lantai tersebut sehingga aku gak ketahuan. Aku tersandar di bangku, ingin beristirahat dulu setelah selesai menimba rasa nikmat. Kubiarkan tongkolku terbuka di luar celana terus sepanjang Bu Uci mengajar.

Jam 09.15 WIB. Aku mengalami fantasi2 yang sama seperti dulu. Dulu, ketika aku baru masuk SMP dan bertemu dengan guru2ku yang wanita, khususnya Bu Uci, aku sering membayangkan mereka dalam balutan bikini dan swimsuit, seperti karakter2 wanita dalam game Dead or Alive 2 (DOA 2). Game tersebut saat itu baru saja dirilis di PS2, dan untuk promosinya pihak developer game tersebut membuat artwork2 karakter2 wanita tersebut dalam bikini dan swimsuit. Aku membayangkan Bu Uci mengenakan bikini dan thong warna biru, seperti milik Ayane, salah satu karakter dalam DOA 2.


Ayane480x360_2.jpg


Perbedaannya adalah Bu Uci memiliki rambut hitam yg terurai panjang dan lurus, tanpa memakai jilbab. Belahan dadanya benar2 menawan dan sangat jelas menyembul nakal. Menggodaku untuk menjamah tubuhnya yang menggairahkan itu. Sekarang aku mengalami fantasi yang sama pula. Tetapi melamunkan fantasi yang seperti itu saja dengan segera membuat tongkolku kembali bereaksi. tongkol yang semula tertidur dibelai angin kini bangun kembali, berdiri tegak menantang angin. Pikiranku kembali gak konsentrasi. Melihat Bu Uci masih mengajar di depan menggodaku untuk melayani kembali tongkolku. Aku gak kuasa menahan godaan dan kembali tanganku mengocok tongkolku itu. Seperti biasa, aku menahan mengeluarkan suara desahan, dan mencoba menikmatinya.

Sayangnya, mungkin karena beberapa menit yang lalu aku sudah melakukan hal yang sama, bermasturbasi dengan cara yang sama, aku jadi bosan mengulanginya. Aku ingin rasa yang berbeda, sensasi yang berbeda. Kemudian aku menyadari bahwa di kelasku ada yang aneh. Ya, belasan teman sekelasku yang dihukum di luar membuat kelasku agak lengang dan sepi. Di SMPku, hukuman untuk yang terlambat masuk kampus sekolah adalah memasuki mata pelajaran berikutnya. Dengan demikian, setelah pelajaran matematika ini selesai, mereka baru dapat masuk ke kelas. Kebetulan murid2 yang dihukum kebanyakan adalah murid2 yang berada dalam satu saf bangku yang sama denganku. Ketidakhadiran mereka membuat saf bangkuku hanya terisi oleh aku seorang. Kebetulan yang berikutnya, hari itu adalah hari dimana safku kebagian duduk di jajaran bangku paling belakang kelas. Menyadari segala kebetulan yang aneh ini, pikiranku memunculkan ide yang sangat nekat bagiku sendiri. Aku akan bermasturbasi dalam keadaan setengah telanjang ke bawah. Maksudku, aku akan memelorotkan celana biruku sepenuhnya, gak lupa boxerku juga kupelorotkan. Ini akan memperhatikan dengan sangat jelas tongkol kebanggaanku bagi siapa saja yang kebetulan melihatnya dari tempat yang tepat. Tapi, untunglah ada meja di depanku sehingga bagian telanjang itu masih dapat kusembunyikan dari penglihatan di depan.

Aku segera melakukan niat nekatku ini. Betul2 kupelorotkan celana biruku hingga mencapai mata kakiku. Juga boxerku turun hingga mata kaki. Akhirnya tongkolku terpampang jelas. Adrenalinku terpacu, membuatku tegang sekali. Tapi kulaksanakan juga niatku itu. Bu Uci terus mengajar, tanpa mengetahui bahwa di antara salah satu muridnya ada yang sedang melakukan perbuatan yang gak senonoh. Apalagi objek dari perbuatan itu adalah Bu Uci sendiri. Aaaaaaaahhhhhh…aku benar2 menikmati kenekatanku ini. Aku jadi semakin bernafsu mengocok tongkolku ini. Aku berfantasi berada di kolam renang. Di seberang sudah ada Bu Uci dalam balutan bikini terbaring dengan pose yang seksi, seperti di majalah2 dewasa, mirip gambar di bawah.

Bu Uci sendiri diam menatapku dengan tatapan yang nakal dan mengundang, sedangkan aku sendiri sangat tergiur dengan Bu Uci. Rasa tergiur itu membuatku rela berenang hingga tepi di sisi Bu Uci. Kemudian aku keluar dari kolam renang, ikut berbaring di samping Bu Uci dengan posisi berhadapan. Kami saling bercanda, tertawa, dan mendesah dengan nakal, tangan2 maupun kaki2 kami saling menyentuh bagian2 tubuh pasangan kami. Kemudian gak mau ketinggalan, bibir dan lidahku juga ikut menjamah seluruh tubuh Bu Uci. Berikutnya aku dan Bu Uci melakukan French kiss, bibir dan lidah kami saling berpagutan. Sesekali menggigit kecil, menambah sensasi geli. Bu Uci sendiri gak malu2 untuk membalas ciuman itu, terbukti dengan ikutnya bibir dan lidahnya menggoyang milikku. Saat itu tangan2ku menjamah lagi tubuh Bu Uci. Bahkan kuselipkan tangan2ku di balik bikini dan thongnya. Tanganku yang kanan meraba dan meremas payudara Bu Uci langsung. Jari2ku ikut memainkan puting susu Bu Uci yang juga tegang karena terjerumus nafsu. Sementara tanganku yang kiri meraba pinggulnya, meremas pantatnya. Jari2 tangan kiri juga menyelip ke dalam thong Bu Uci. Pertama menjelajah belahan pantatnya, masuk ke lubang anusnya. Kemudian terus ke depan hingga masuk dan menusuk2 vaginanya. Bu Uci pun menjamah tubuhku, tangannya masuk ke celanaku dan meraba2 tongkolku. Dy juga meremas dan menggosok tongkolku di dalam, mencoba membalas perlakuan baikku pada lubang miliknya. Terus berlanjut hingga kami sama2 berejakulasi dengan deras. Suara erangan dan desahan kami saling bersahutan di udara, gak peduli ada yang dengar atau gak. Yang pasti, kami sama2 tenggelam dalam kenikmatan kotor itu.

Seharusnya bagi laki2, sekali ejakulasi membuatnya sudah gak bernafsu kembali. Entah kenapa, setelah ejakulasi ini tongkolku masih tegang. Walaupun berkurang sedikit ketegangannya, tetapi masih dapat berdiri cukup tegak. Dengan sedikit rangsangan dari tangan Bu Uci yang kelihatannya sudah sangat ahli untuk urusan rangsang merangsang alat kelamin, tongkolku jadi tegang sekali, hanya dalam waktu dua menit. Bu Uci sendiri masih kelihatan bernafsu sekali. Jadilah kami memulai ronde kedua. Kami siap melakukannya dengan lebih keras dan lebih bergairah. Terang saja, Bu Uci tiba2 berubah menjadi agresif. Aku diserang olehnya sampai aku berada di bawahnya (posisi Woman on Top). Tapi, aku gak mau kalah darinya. Aku pun berinisiatif untuk berguling supaya aku berada di atasnya. Tetapi rupanya kami malah jadi saling terguling hingga kami tercebur ke kolam. Untunglah kolamnya gak terlalu dalam (sekitar 170 cm) sehingga kami dapat berdiri dan melanjutkan aksi ini lagi. Di dalam air, aku melucuti paksa bikini dan thong miliki Bu Uci, kemudian kulemparkan ke luar kolam, agar jauh dari jangkauannya. Bu Uci yang kaget segera membalasku dengan melorotkan boxerku dan melemparkannya juga ke luar. Kami jadi sama2 telanjang bulat di dalam kolam. Tetapi itu gak menghalangi kami untuk melakukan aksi ini. Sekitar 5 menit kemudian, tongkolku berhasil masuk ke dalam meki Bu Uci setelah agak susah payah mengatur supaya tongkolku mengarah dengan akurat ke arah lubang target. Kurasakan milik Bu Uci masih rapat walaupun dy sudah memiliki anak. Jepitan dinding vaginanya benar2 membuat tongkolku semakin tersengat tegangan tinggi. Kunaikturunkan tubuh Bu Uci seiring dengan masuk-keluarnya tongkolku. Hingga akhirnya,

“Bu Uci! A…aku uuuudah mmmmauuuuu…ke…luaaaaaaar!”

“Keluariiiiin di dalam ajaaaa…jaaaangaaan buang ke luaaaaar.”

Mendapat lampu hijau, dengan satu sentakan keras aku menusukkan tongkolku seluruhnya di dalam vagina Bu Uci,

“Bu Uccciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!”

“Apaan, Dol?”

Kubuka kedua mataku. Seisi kelas menoleh kearahku, termasuk Bu Uci yang dahinya sudah mulai mengerut tak mengerti. Sementara aku masih terpaku diam.

”Apaan, Dol? Tadi manggil Ibu kan? Kenceng gitu lagi suaranya.”

Segera aku tersadar, ternyata ketika aku menyebut nama Bu Uci dalam orgasme, suaraku terlalu keras. Sampai terdengar ke depan kelas. Aku jadi gelagapan.

”Eh, gak…gak, Bu. Gak sengaja…”

Seisi kelas tertawa. Aku malu berat! Gara2 kukocok punyaku sambil membayangkan Bu Uci, aku jadi melakukan hal yang gak perlu. Apalagi, kusebut nama Bu Uci seperti orang yang lagi mengerang keenakan saat ngeseks. Gawat!

”Gimana sih, Dol? Udah kenceng banget manggilnya, tapi gak ada apa-apa.” komentar Bu Uci agak pedas.

Bu Uci kemudian mesem sedikit, kemudian melanjutkan lagi mengajar. Semua murid di kelas kembali memperhatikan Bu Uci. Aku sendiri melihat di sekitar mejaku. Mejaku sendiri terlihat berantakan. Bercak2 sperma bertebaran, di atas meja, di bawah meja, di buku catatanku, di lantai. Benar2 kotor. Tapi aku membiarkan saja bercak2 tersebut karena aku malas membersihkannya. Kulihat jam dinding di kelas, sudah jam 09.25. Sekitar 10 menit aku bermasturbasi. tongkolku yang masih terbuka hanya kututupi dengan jaket (kebetulan aku juga suka pakai jaket ke sekolah) supaya gak terlihat.

“Anak2, kerjakan soal2 yang Ibu tulis, nomor 1 sampai 10.” perintah Bu Uci.

Murid2 sekelas pun langsung mengerjakan latihan yang disuruh. Bu Uci memantau murid2nya yang mengerjakan latihan. Hal ini berarti Bu Uci akan keliling kelas, dan melewatiku. Tapi beneran, aku masih belum mau memakai celanaku, jadinya kubiarkan saja aku setengah telanjang dengan jaket menutupi daerah pribadiku. Aku pun ikut mengerjakan apa yang Bu Uci suruh.

“Damn! Susah banget sih soalnya!”

Aku sudah memaki2 karena rupanya gak dapat mengerjakan soal2nya. Soal2 yang ada di latihan tersebut memang soal dari apa yang baru saja diajarkan tadi. Karena kebetulan aku berada di ‘dunia lain’, aku tertinggal pelajaran tersebut. Salahku sendiri gak dapat menjaga nafsu. Akhirnya akupun terdiam, hanya memelototi soal2 yang tertera di depanku. Gak kusadari disekelilingku, sampai akhirnya aku dikagetkan.

“Dol!”

Aku tersentak kaget. Ketika kumenoleh, aku sudah melihat sosok Bu Uci didekatku.

“Diam aja kamu teh. Bisa gak?”

Aku cuma bisa nyengir, sambil terus berusaha mengerti soal2 di depan.

“Gak bisa ya? Tadi ngelamun aja sih.”

Waduh! Ternyata Ibu tau aku dari tadi ngelamun.

“Ngelamun apaan sih dari tadi? Sepanjang Ibu ngajar, kamunya gak ngeliat ke papan tulis.”

Pingin banget rasanya bilang, “Tadi aku ngelamunin Bu Uci sama aku lagi ngeseks di kolam renang.“ Tapi, masa aku bilang begitu. Nanti aku diblacklist lagi.

“Gak, Bu. Ngelamun biasa aja.” jawabku takut2. Aku mulai khawatir Bu Uci akan bertanya lebih jauh lagi.

“Terus manggil2 Ibu tadi kenapa?”

Gawat, ternyata masih dibahas aja sama Bu Uci.

”Gak sengaja itu, Bu. Suer.” aku benar2 gak punya alasan untuk menjawab pertanyaan satu itu.

“Terus ini ngapain jaket dipakein kayak sarung gini?”

Deg! Waaah, bisa rusak persembunyian tongkolku. Tapi, untung aku untuk yang satu ini aku dapat berpikir cepat.

“Kaki lagi kedinginan, Bu. Makanya saya tutupin.” dalihku.

Sebenarnya aku hanya menjawab dengan asal, tapi ternyata jawabanku itu sangat tepat. Bagian tubuhku yang setengah telanjang ke bawah memang benar kedinginan. Bu Uci akhirnya gak bertanya lebih jauh lagi. Setidaknya aku bisa sedikit lega. Tapi Bu Uci masih memandangku curiga, aku merasakan tatapannya itu. Wajar aja sih, kemeja seragamku tiba2 menjadi kusut. Wajahku juga jadi sayu karena lemas. Tapi ada yang paling membuatku takut, yaitu bercak putih spermaku yang mengotori mejaku. Ketika aku muncrat untuk kedua kalinya, aku gak mengarahkan tongkolku ke bawah, sehingga spermaku tersembur ke atas. Itulah mengapa spermaku mengenai meja dan buku. Aku jadi takut. Gara2 aku malas membersihkannya setelah aku muncrat, Bu Uci pasti akan tambah curiga padaku. Apalagi tadi jari Bu Uci sempat mencolek bercak spermaku dan mencoba merasakannya di jarinya. Sesempatnya pula didekatkan ke hidungnya, mencium baunya. Aku hanya bisa diam, sambil berharap Bu Uci gak akan melakukan apa2 padaku. Tapi aneh sekali, di saat aku takut itu, karena Bu Uci berada di dekatku, aku ereksi lagi. Kacau! tongkolku perlahan membentuk tenda lagi di jaketku. Sial! Di saat begini malah nafsu. Bu Uci sambil merasakan spermaku di jarinya, matanya ternyata sempat memandang ke daerah berbahaya milikku, ketika tenda sudah terbentuk. Tapi gak lama. Bu Uci jalan kembali ke depan. Aku menarik napas sangat lega.

Jam 09.45 WIB. Pelajaran matematika akhirnya selesai juga. Kutunggu seluruh murid dan Bu Uci meninggalkan ruang kelasku hingga kosong. Saat kosong itu aku segera cepat memakai kembali celanaku lengkap. Kemudian aku segera ngibrit ke WC sekolah untuk mencuci tongkolku yang masih kotor dan lengket. Aku merasa sangat puas pagi ini. Dengan perasaan bangga kulihat tongkolku sendiri.

“Tongkol gw. Hebat banget lo tadi.”

Seandainya aku bisa benar2 memasukkan tongkolku ke vagina Bu Uci. Aku harus punya keberanian untuk itu, tapi ternyata hal itu gak pernah terjadi.

Ceritaku dengan Bu Uci gak selesai sampai disitu saja. Karena setelah kenekatan di kelas itu aku sering sekali menjadikan Bu Uci sebagai objek masturbasiku, baik di rumah maupun di sekolah. Kadang kulakukan kocokanku saat jam istirahat atau jam pulang di lorong sekolah atau di bawah tangga sekolah. Bahkan aku pernah melakukannya dalam barisan murid2 kelasku saat upacara bendera sedang berlangsung. Dan pada semua kesempatan itu aku selalu berfantasi tentang Bu Uci dan perlahan-lahan menyebut namanya dengan lirih dan hampir tak terdengar.


^^​


Pernah suatu saat aku melakukannya di ruang guru. Waktu itu aku terpaksa ikut ujian harian susulan matematika karena pada hari-H ujian tersebut aku sakit dan terpaksa tidak masuk sekolah. Bu Uci masih memberiku kesempatan mengikuti ujian dan menyuruhkan melakukannya di ruang guru. Bu Uci sendiri harus mengajar di kelasku karena memang bertepatan dengan jam pelajaran. Akhirnya aku terpaksa harus sendirian di ruang guru yang juga sepi. Seperti biasa, aku malas mengerjakan soal2 ujian tersebut sehingga aku pun menyudahi saja. Tetapi aku bingung harus bagaimana untuk menghabiskan waktu yang tersisa. Aku memandang ke seluruh ruangan yang kosong, masih bingung mau berbuat apa, hingga mataku kemudian kembali ke meja Bu Uci dan mendapatkan bahwa tasnya tertinggal di kursinya (entah disengaja atau tidak). Akhirnya kudatangi tas yang sesaat tak bertuan itu. Dengan penasaran, aku pun membuka tas Bu Uci dan mengintip isinya. Seperti biasa, ada bedak, lipstik, notes kecil, yang biasa ada di dalam tas perempuan.

“Biasa aja isinya.” pikirku.

Tetapi beberapa detik kemudian aku menemukan barang-barang menarik di dalam tas Bu Uci. Ternyata Bu Uci membawa bra dan celana dalam cadangan! Aku kaget menemukan barang2 tersebut. Mengapa ada barang2 begituan di dalam tasnya? Sambil bertanya-tanya (padahal mungkin ada dua barang tersebut di tas perempuan adalah wajar) aku mengeluarkan bra dan celana dalamnya dari tas tersebut. Kupandangi keduanya, rupanya Bu Uci penyuka tipe lingerie klasik, karena bra dan celana dalamnya bermotif dan berenda, kira-kira seperti gambar di bawah ini.


pink-mesh-beauty-bra.jpg
floral-designs-panty.jpg


Cocok sekali dengan seleraku, karena aku paling suka melihat wanita yang memakai lingerie klasik yang bermotif dan berenda. Paling seksi menurutku. Membayangkan Bu Uci memakai bra dan celana dalam berwarna pink yang kulihat sekarang ini, oohhh tidak...tongkol kebanggaanku jadi berdiri tegak lagi. Aku sedang mengalami underwear fetish sekarang ini, dan aku ingin sekali menyemprotkan spermaku lagi.

Kubuka resleting celanaku, mengeluarkan menaraku dan memosisikannya dengan tepat, kemudian kugosok-gosokkan bra dan celana dalam pink Bu Uci ke tongkolku. Sensasinya macam-macam, ada halusnya, ada juga kasarnya, tetapi yang pasti semuanya membuatku terangsang berat. Sesekali kuciumi kedua barang tersebut, menikmati aromanya yang tercampur dengan aroma Bu Uci sendiri. Karena ruang guru saat itu masih kosong, jadi aku bebas melakukan 'misi'ku sepuas-puasnya. Hingga 10 menit aku bermain dengan kedua barang Bu Uci. Saat aku sudah mau keluar, kutempelkan cup bra Bu Uci ke dekat ujung tongkolku. Dengan penuh klimaks, kusemprotkan spermaku ke cup kiri branya sebanyak 2 kali, kemudian kutahan semprotanku dan kutempelkan cup kanan branya ke ujung tongkolku. Kusemprotkan lagi spermaku dua kali. Dengan susah payah kutahan semprotanku supaya tidak keluar semua, dan segera kudekatkan celana dalam Bu Uci ke ujung tongkolku. Kutempelkan bagian celana dalam yang menutupi vaginanya ke ujung tongkolku dan dengan 6 kali pompa, seluruh sisa cairan spermaku membasahi celana dalamnya. Ahhhh...benar-benar nikmat sekali. Dan aku merasa bagaikan sudah menyetubuhi Bu Uci di ruang guru ini. Aku merasa menang, walaupun semu. Ketika aku kembali ke kesadaranku, segera kulipat rapi bra dan celana dalam Bu Uci yang basah oleh spermaku, dan kusimpan lagi di dalam tasnya. Kubiarkan saja tasnya seperti semula, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

Beberapa menit kemudian, Bu Uci datang ke ruang guru, rupanya jam pelajarannya sudah selesai. Aku pun mengumpulkan lembaran jawaban ujianku. Tetapi entah kenapa, aku belum mau meninggalkan ruang guru. Aku masih ingin memandangi tubuh Bu Uci yang menawan itu. Akhirnya aku berinisiatif ke belakang Bu Uci tanpa disadarinya. Bu Uci sendiri duduk dan langsung memeriksa tumpukan lembaran jawaban2 ujian murid2 kelasku, dan tidak menyadari bahwa aku sudah berdiri di belakangnya. Sambil berdiri, aku terus memandangi tubuh Bu Uci.

“Bu Uci...kenapa Ibu punya tubuh seindah ini? Bikin konak aja..." batinku.

Dengan mudahnya aku berfantasi lagi tentang Bu Uci. Harus kuakui, aku sangat sering berpikiran jorok, apalagi kalau itu sudah menyangkut urusan seks dan masturbasi. Dan adanya Bu Uci dalam kehidupanku semakin menegaskan kebiasaanku tersebut. Fantasi-fantasiku mau tidak mau membuatku kembali tenggelam dalam nafsu birahi. tongkolku kuat sekali, rupanya dia sudah tegak menegang kembali, siap dengan amunisi baru yang sudah terisi. Kulihat lagi sekelilingku, ternyata ruang guru masih kosong, belum ada guru lain yang kembali. Kesempatan datang lagi.

“Bu Uci, sebenernya aku pengen banget ngerasain Bu Uci langsung. Tapi aku gak berani. Aku gak bisa senekat itu.” pikirku.

Aku benar-benar tidak bisa melakukan 'serangan' langsung karena aku tidak mau melakukan seks pra nikah. Tetapi tanganku yang nakal ini dengan sendirinya merogoh ke dalam celanaku, memaksa (sekali lagi) tongkolku untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Bu Uci yang perhatiannya sedang teralihkan ke mejanya, tetap tidak menyadari bahwa di belakangnya sekarang ada seorang muridnya yang sedang tongkolnya sedang mengarah ke dirinya. Jadilah kulakukan kembali hobiku, bermasturbasi tentang Bu Uci. Kocokan demi kocokan kulakukan, mencoba untuk memaksakan tongkolku mengeluarkan isinya kembali. Sebagai murid aku benar-benar kurang ajar, mencoba melecehkan guru sendiri dengan bermasturbasi di belakangnya. Tapi sekarang aku tak peduli, dan yang kuinginkan hanyalah bagaimana aku bisa memuaskan diriku saja. Kulakukan itu semua tanpa berpikir, tanpa kewaspadaan lagi di sekelilingku. Setelah 5 menit penuh kenekatan itu, segera kuarahkan tongkolku ke arah pinggul Bu Uci. Kutembakkan amunisiku semuanya. Beberapa bercak spermaku bahkan ada yang menempel di pinggulnya, tetapi Bu Uci masih tetap tidak menyadarinya. Aaahhhhh...benar-benar melelahkan, tetapi sangat menyenangkan. Seperti biasa, kusimpan lagi tongkolku yang 'kosong' ke dalam kandangnya.

“Bu Uci, saya permisi keluar dulu ya” pamitku.

“Lho Dol, masih di sini? Ibu kira kamu udah keluar. Ngapain aja kamu tadi?”

“Tadi ikut merhatiin jawaban-jawaban ujian yang Ibu periksa.” jawabku ngeles.

“Ngebandingin jawaban ya?”

“Hehe...iya Bu. Ya udah, saya keluar ya.” pamitku tanpa menunggu jawaban Bu Uci, takut dy bertanya lebih banyak.

Di jalan, aku senyum-senyum sendiri membayangkan apa yang kulakukan tadi.

“Bu Uci bakal gimana ya ngeliat bra sama celana dalamnya basah?” aku berandai-andai.


^^​


Babak kali ini terjadi ketika mendekati masa2 ujian akhir semester. Karena nilai matematikaku termasuk salah satu yang paling jelek di kelasku (wajar! aku kan gak suka matematika), aku dan beberapa orang teman sekelasku disuruh Bu Uci untuk les privat dengannya. Tempat lesnya di rumah Bu Uci sendiri! Jelas aku senang sekali, karena akan ada banyak kesempatan untuk memandangi tubuh Bu Uci. Pada hari yang ditentukan aku dan teman2 sekelasku pergi ke rumah Bu Uci. Ternyata Bu Uci menyambut kami dengan tampilan yang lain dari biasanya. Jilbab yang biasa menutupi kepalanya gak dipakai, jadi rambutnya terlihat jelas. Rambutnya panjang sebahu, persis sesuai apa yang aku bayangkan dalam fantasiku. Yang jelas Bu Uci terlihat seksi, padahal hanya dari rambutnya saja. Bu Uci sendiri memakai daster longgar seperti yang biasa dipakai ibu2. Bu Uci jadi terlihat sangat berbeda, seperti ibu rumah tangga biasa. Tapi aku tau, dibalik tampilan biasa itu, tersembunyi tubuh dengan bentuk yang menawan. Dan benar saja, aku tetap penasaran untuk mengetahui tubuhnya di balik balutan daster. Bu Uci menyuruh kami duduk di ruang tamu, tetapi aku sendiri kebelet untuk kencing. Jadinya kutanya ke Bu Uci letak kamar mandinya. Bu Uci menunjuk ke sebuah arah, dan aku mengikuti arah tersebut. Beres menunaikan hajat, aku keluar kamar mandi, tetapi gak langsung menuju ke ruang tamu. Rumah Bu Uci cukup bikin aku penasaran untuk kutelusuri. Kulihat di ruang tengah, ada beberapa anak kecil sedang sibuk menonton TV. Mungkin anak2nya atau keponakan2nya. Selain mereka, gak kulihat lagi anggota keluarga yang lain. Aku mengendap-endap semakin ke dalam rumah itu. Hingga di bagian belakang rumah, agak jauh dari ruang tengah, aku menemukan sebuah kamar yang pintunya sedikit terbuka. Aku mendekati celah tersebut dan aku tiba2 tersentak kaget.

Di dalam kamar itu, kulihat Bu Uci sedang sendiri berdiri menghadap sebuah lemari. Dy membuka lemari itu, dan isinya pakaian2 Bu Uci semua. Aku sadar, ternyata Bu Uci ingin berganti pakaian. Dan aku sadar juga, betapa beruntungnya aku! Sekarang aku dapat melihat langsung tubuh Bu Uci langsung tanpa terhalang. Demi menikmati pertunjukan striptease dadakan yang sebentar lagi akan kudapatkan, aku melihat ke sekelilingku. Rumah Bu Uci tampak sepi, berarti hanya ada Bu Uci dan anak2 kecil tadi. Kupandangi juga kamar Bu Uci agak jauh dari manapun. Sepertinya ini memang kamar utama dari pasutri tersebut. Lagipula, membayangkan itu saja sudah membuatku ereksi lagi di dalam celana. Tongkolku susah payah tegak berdiri setegang-tegangnya.

Jadi apa lagi yang kutunggu? Akupun melaksanakan niat yang sangat spontan itu; mengintip ke dalam kamar, berusaha gak mengeluarkan suara apapun. Tampak Bu Uci sedang memilih pakaian yang akan dipakainya. Bu Uci memang menghormati tamunya, sekalipun itu murid2nya sendiri. Jadi Bu Uci akan berpenampilan yang pantas untuk menyambut tamunya. Sekian detik kemudian, Bu Uci mengeluarkan kemeja tanpa lengan berwarna biru tua dengan motif polkadot. Wow! Pilihan yang bagus! Aku sendiri menyukai pilihan itu, karena Bu Uci akan tampak lebih muda dari biasanya. Bu Uci juga tampaknya setuju dengan pilihannya, kemudian dilemparnya pakaian itu ke tempat tidur. Selanjutnya Bu Uci kembali melihat ke dalam lemarinya, sepertinya memilih-milih bawahan. Diambilnya celana panjang kain berwarna putih, yang juga sangat matching dengan atasannya. Aku memang gak pernah melihat Bu Uci memakai rok, tapi itu tak mengapa, karena aku dapat lebih menikmati lekukan pantat dan selangkangan Bu Uci jika dy memakai celana panjang. Celana panjang itu dilemparnya juga ke tempat tidur. Merasa sudah mendapatkan outfit yang cocok, Bu Uci akhirnya melaksanakan tugasnya yang paling ingin kulihat dari balik pintu ini. Di balik pintu, aku sudah mengeluarkan tongkolku dari celanaku. tongkolku sudah menegang sejak menemukan Bu Uci di dalam kamar ini. Tanpa sadar tangan kiriku mengocok tongkolku, ikut menikmati pemandangan indah yang kulihat. Perlahan-lahan Bu Uci mengangkat bagian bawah dasternya, sedikit demi sedikit membuka, ooohhhh…celana dalam berwarna hitam terpampang jelas depan mataku.

“Ooooohhhhhh….” bisikku lirih, semakin menikmati.

Kemudian terus sampai ke atas, menampakkan perutnya yg ternyata sedikit berlemak, tetapi seksi.

“Perutnyaaaaa…”

Hingga ke bagian tubuhnya yg paling kusukai. Payudaranya.

“Aaahhhhhhaaahhhh…”

Bu Uci memakai bra berwarna hitam. Lagi2 branya jg merupakan tipe bra yg kusukai, yaitu tipe klasik yg berenda di pinggirannya. Motif branya kira2 mirip dengan gambar di bawah,


27CBF7AC.jpg


Melihat Bu Uci hanya memakai bra dan celana dalam memberikan aku berbagai kesan. Lingerie tipe klasiknya memang membuat Bu Uci tampak elegan dan sensual, tetapi di lain hal juga membuatnya tampak semakin binal dan liar. Sementara dua gunung kembar yg ditutupi branya, terkesan ingin show off dan melompat keluar, saking besarnya. Dan kuakui, payudara Bu Uci memang benar2 besar dan gak palsu. Ukurannya pun sesuai dengan tebakanku, 36B. Pemandangan ini membuat darahku makin banyak yg berdesir ke tongkolku. tongkolku jadi amat sangat tegang dan keras, dan ini belum pernah terjadi sebelumnya selama aku bermasturbasi.


3356892320_6eb4550a3f.jpg


Bu Uci membuka seluruh dasternya, menampakkan dirinya yg semi telanjang, hanya terbalut bra dan celana dalam. Damn! Kocokan pada tongkolku semakin tak terkendali karena menyambut ketelanjangan guruku sendiri. Ini semua kulakukan tanpa sadar, bahkan aku jadi jauh lebih nekat. Aku jg jadi menelanjangi diriku sendiri. Kupelorotkan jins dan boxerku, juga kubuka kaosku. Benar2 gak menyisakan selembar benang di tubuhku. Rasanya aku ingin sekali masuk ke dalam dan mengeksekusi Bu Uci di tempat tidurnya. Aku ingin sekali merobek branya, membuka celana dalamnya dengan mulutku, kemudian memaksa Bu Uci melakukan missionary, doggy style, dan gaya2 kamasutra lainnya. Tapi rupanya untuk keinginan ini, akal sehatku masih dapat mencegahku. Akhirnya kuputuskan untuk bermasturbasi saja di balik pintu kamar Bu Uci sampai tongkolku meledak. Toh, masturbasipun masih tetap memberi kenikmatan seksual. Objeknya, tentu saja Bu Uci, guruku sendiri, yg sekarang sedang berganti pakaian di dalam kamar.

“Ya Bu Uci. Terussssssssss….aaaaaaaahhhhhhhhhh…”

Hingga kini, Bu Uci belum menyadari ada yg mengintipnya dari balik pintu. Dan aku makin tenggelam dalam kenikmatan mengintip tubuh Bu Uci yang sering kuimpikan.

Yg pasti Bu Uci memakai kemeja dan celana yg tadi ditaruhnya ke tempat tidur. Pertama Bu Uci memakai celana putihnya. Kemudian memakai kemeja biru polkadotnya, menutup semua kancingnya, kecuali kancing di bagian leher.

“Aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhaaaaaaaaaahhhhhhhhhhh…”

Crooooootttttzzzzzzz….seluruh spermaku mengenai pintu kamar Bu Uci. Jumlahnya pun banyak sekali, dan jelas sekali meninggalkan noda besar di pintu kamarnya. Tapi aku gak peduli dengan itu, karena seketika akal sehatku kembali, aku langsung memakai celana dan kaosku, kemudian kabur dari sana. Timingnya ternyata tepat sekali. Aku muncrat ketika Bu Uci baru saja selesai mengancingi kancing terakhirnya. Ketika Bu Uci jalan ke arah pintu, aku sudah kabur, langsung ke kamar mandi untuk membersihkan tongkolku yg benar2 nakal. Setelah bersih, aku langsung menuju ke ruang tamu untuk bergabung dengan yg lainnya. Bu Uci sendiri sudah ada di situ dengan tampilan barunya. Tapi kulihat rambut Bu Uci kini sudah terikat dan menampakkan bagian belakang lehernya yg ternyata jg seksi. Sepertinya ketika berjalan ke ruang tamu, Bu Uci mengikat rambutnya itu.

“Lama amat Dol ke kamar mandinya.” kata Bu Uci.

“Kayaknya hajatnya gak cuma yg kecil aja tuh.” celetuk salah satu teman sekelasku.

Semua tertawa, termasuk Bu Uci. Aku sendiri hanya mesem2 tersipu. Karena celetukan temanku itu memang benar. Aku gak hanya kencing, tapi jg ‘kencing’, yg sebenarnya. Les privat itu terus berlanjut sampai sore, hingga aku pulang tanpa prasangka apa2 terhadap Bu Uci. Yang penting aku harus bisa mengerjakan ujian kenaikan kelas.

Dan tiba hari-H, ujian kenaikan kelas. Pelajaran matematika. Berkat les di rumah Bu Uci, aku dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan cukup lancar. Meskipun ada beberapa kesalahan, tapi tidak terlalu banyak. Aku memang harus berterima kasih sekali pada Bu Uci, karena Bu Uci yang berjasa membuatku mampu melewati ujian matematika dengan baik. Dan itu saja belum cukup, karena aku juga harus berterima kasih lagi pada Bu Uci, selama setahun ini, Bu Uci selalu menghiasi pikiranku dan menjadi objek masturbasiku yang paling berharga. Sudah banyak kegiatan masturbasiku kusalurkan dengan memfantasikan Bu Uci seliar2nya, dan aku selalu puas ketika sudah muncrat. Maka aku segera menghampiri Bu Uci ke ruang guru untuk mengucapkan dua ucapan terima kasih itu (tentunya yang sebab kedua akan kuucapkan dalam hati saja).

Di ruang guru, yang ternyata juga tidak terlalu ramai. Hanya ada empat guru, dan salah satunya adalah Bu Uci. Bu Uci sendiri sedang menghitung total nilai masing2 muridnya di meja kerjanya. Akupun segera menyapa,

“Bu Uci.”

“Eh, kamu Dol. Gimana ujiannya? Bisa?”

“Bisa dong, Bu. Berkat les sama Ibu.”

“Nah, gitu dong.”

“Jadi gimana nilai-nilai saya, Bu?”

“Coba Ibu liat. Nah, kalau nilai ujian ini bagus, kamu bisa naik kelas.”

Aku mengangguk-angguk. Kemudian, Bu Uci menyuruhku duduk di meja depan.

“Dol, duduk sini. Ibu mau ngomong sama kamu.”

Aku jadi kaget dan bertanya-tanya. Kenapa ini?

“Kenapa, Bu?” tanyaku gak ngerti.

“Ibu mau tanya, Dol. Tadi pas ujian kamu ngelakuin hal yang aneh-aneh gak?” tanya Bu Uci lugas. Aku sontak terkejut dengan pertanyaan aneh ini.

“Aneh? Ya gak lah, Bu. Kan saya ngerjain soal ujian.”

“Tapi kok, kalau di kelas kamu suka aneh-aneh?”

“Maksudnya?”

“Kamu teh…suka pelorotin celana ya di kelas?”

Bagaikan tersambar petir, pertanyaan ini membuatku shock. Berarti aku pernah ketahuan Bu Uci dong. Tapi aku kok gak pernah sadar itu.

“Hah? Pelorotin celana?” aku bertanya masih dalam keadaan terkejut. Aku segera menoleh kiri-kanan, ternyata guru2 selain Bu Uci berada di posisi yang jauh dariku. Untunglah, jadinya gak terdengar.

“Iya, terus kamu gitu2in punya kamu.”

Terus terang aku speechless dan pucat pasi. Aku hanya terdiam saja, duduk di hadapan Bu Uci. Kepalaku menunduk, gak berani lihat Bu Uci langsung. Aku malu sekali.

“Jawab, Dol. Kamu suka gituan ya?” tanya Bu Uci, nada suaranya mulai terdengar seperti sedang menginterogasi.

Dengan susah payah, aku mencoba membuka mulut.

“I…iya, Bu.” jawabku takut-takut.

“Berapa kali kamu gituan?”

Wah, pertanyaan yang tajam sekali. Benar-benar gawat, Bu Uci memang mengetahui. Sepertinya diam-diam Bu Uci berhasil ngegep aku, tetapi aku tidak pernah ditegur langsung di kelas.

“Udah…sering, Bu.”

Bu Uci menghela napas. Napasnya terdengar menghembuskan kekecewaan. Wajar saja, salah seorang muridnya berani berbuat kurang ajar di kelasnya.

“Sering itu berapa kali, Dol?”

Aku gak pernah menghitung berapa kali, yang pasti sering itu berarti pada banyak kesempatan.

“Sa…saya udah gak inget lagi.”

Bu Uci diam. Sepertinya dia masih tidak percaya bahwa kecurigaannya padaku benar adanya.

“Kamu begituan pas di kelas Ibu aja atau ada di kelas lain?”

“Cu…cuma di kelas Ibu aja. Kalau di kelas lain gak pernah.”

“Tapi di tempat lain pernah kan?”

“I…iya, Bu.”

“Kenapa kamu lakuin itu di kelas Ibu?”

Aku diam saja. Pertanyaan itu jelas sangat tajam menusuk. Karena alasan aku melakukannya, memang ada sangkut-pautnya dengan Bu Uci. Aku terus diam, tak ada jawaban keluar dari mulutku.

“Jawab, Dol. Kamu gak boleh bohong soal ini.”

Akhirnya, dengan susah-payah aku mencoba mengumpulkan keberanianku untuk menjawab pertanyaan Bu Uci. Sangat susah, sehingga yang keluar hanya

“Karena…ada Ibu.”

Bu Uci tampak sangat terkejut. Dirinya tak pernah menyangka alasan kekurangajaran muridnya adalah dirinya sendiri. Dengan penasaran, Bu Uci terus menginterogasi aku.

“Kenapa…karena ada Ibu? Kamu pelorotin celana, terus gitu2an, karena ada Ibu?”

Aku ingin sekali menjawabnya, tetapi lidahku lagi-lagi kelu. Aku semakin takut berada di hadapan Bu Uci sekarang. Rasa malu aku semakin menjadi-jadi.

“Dol, kamu harus jawab. Asal kamu jujur, Ibu gak bakal coret nilai kamu.”

Sial, Bu Uci semakin berada di atas angin. Mau gak mau aku harus mengikuti apa kata Bu Uci. Aku merasa seperti korban pemerasan. Tapi, akhirnya, aku mengeluarkan semua kata2 yang terpikirkan untuk menjawab Bu Uci.

“Saya minta maaf, Bu. Saya ngaku, saya melorotin celana saya di kelas, saya gesek2 punya saya itu, pas Ibu ngajar itu…karena…”

“Karena?”

“Karena…saya memang ngebayangin Ibu pas saya melakukan ini.”

Bu Uci tambah terkejut. Napas kekecewaannya terus berhembus keras. Bu Uci tampak geregetan mendengar penjelasanku itu. Namun aku terus melanjutkan.

“Jujur…saya suka banget lihat Ibu di kelas. Karena bagian2 yang biasa laki2 suka lihat dari perempuan.”

“Maksud kamu?”

“Pas Ibu di depan kelas, saya sering banget gak konsen ke papan tulis. Soalnya yang justru saya lihat malah…dada Ibu.“

Spontan Bu Uci menutupi kedua payudaranya dengan kedua tangannya. Kulihat ekspresi jijik dari wajah Bu Uci. Dan aku tidak berhenti berbicara,

“Pinggul Ibu, paha, pantat. Hampir semuanya saya perhatiin.”

“Dol, kamu apa2an sih?!” tanya Bu Uci setengah berteriak. Guru2 lain sampai menoleh ke arah kami. Aku dan Bu Uci segera sadar akan keributan itu, dan setelah meminta maaf ke yang lainnya, melanjutkan interogasinya dengan suara lebih pelan.

“Maaf, Bu. Namanya juga laki-laki. Wajar kalau suka lihat yang gitu-gituan.”

“Tapi kamu kurang ajar namanya, Dol. Sampai kamu onani terang-terangan di kelas. Ibu gak pernah negur kamu karena berharap kamu sadar sendiri. Ternyata kamu terus aja begitu sampai akhir semester.”

Aku tertunduk diam. Ya sudahlah, aku terlanjur merasa sebagai orang yang paling brengsek di dunia. Rasa penyesalan mulai muncul.

“Kamu harusnya bisa tahan nafsu kamu di kelas. Kalau kamu kebiasaan nurutin hawa nafsu kamu, kamu bakal kecanduan terus ke depannya.”

Aku belum berkomentar apa-apa. Antara bingung dan menyesal aku terus mendengarkan Bu Uci berbicara. Hingga Bu Uci bertanya kembali, pertanyaan yang random.

“Ada cerita lain soal kamu onani ini di sekolah?”

“Saya mau ngaku lagi, Bu. Ingat waktu saya ikut ujian susulan kan di ruang guru?”

“Iya.”

“Saya pernah melakukan disitu. Waktu ujian susulan itu.”

“Pantes. Waktu itu pas Ibu buka tas di rumah, underwear Ibu udah basah. Jangan2…”

“Iya, Bu. Emang saya yang ngebasahin.”

“Dol…untung gak ketahuan sama suami Ibu. Bisa-bisa Ibu dikira selingkuh sama orang lain. Kamu Dol, emang kurang ajar.”

“Maaf, Bu. Saya suka banget sama underwear Ibu itu. Lingerie gaya klasik. Elegan, dan seksi.”

“Kamu sampai tahu istilah2nya begitu, Dol.”

Bu Uci kembali terdiam. Yang pastinya bingung harus berkata apa terhadapku. Aku sendiri sudah merasa ikhlas jika seandainya aku diblacklist Bu Uci.

“Terus, pas kamu sama teman2 kamu ke rumah Ibu.”

“Pas les itu? Kenapa, Bu?”

“Kamu ngintip Ibu di kamar ya?” Bu Uci menembakku sekali lagi. Aku sebenarnya terkejut, tapi aku pasang ekspresi pura2 gak tahu.

“Ngintip?”

“Jangan bohong, Dol. Kamu ngeliat Ibu ganti baju kan?”

Deg. Rupanya Bu Uci juga tahu kejadian di rumahnya waktu itu. Jadi selama ini Bu Uci tahu segala perbuatan yang kulakukan. Sekomplit-komplitnya. Aku gak bisa lagi memasang tampang pura2 gak tau. Percuma saja.

“Kok Ibu tahu sih?” tanyaku dengan sangat penasaran.

“Ibu ngeliat bayangan orang di cermin. Pintunya lagi kebuka sedikit, terus keliatan lagi ada orang yang ngintip? Itu pasti kamu ya?”

“I…iya, Bu. Saya waktu itu emang ngintip Ibu.”

“Terus kamu onani juga ya?”

“Iya…”

“Pantesan ada bercak di pintu kamar Ibu. Berani banget kamu ya.”

“Saya gak tahan lagi. Nafsu saya udah terlampau kegedean. Susah banget ngeredamnya.”

Wajah Bu Uci makin memerah menahan marah. Bu Uci semakin merasa bahwa anak muda di depannya adalah orang yang bajingan. Paling tidak begitu menurutku.

“Ibu gak tau harus ngomong apa ke kamu. Kamu emang bener2 kurang ajar, Dol.”

Aku menundukkan kepala. Aku pasrahkan segalanya pada Bu Uci.

“Kamu ini nilai matematikanya jelek, pasti karena keseringan onani. Makanya gak konsen. Yang ada di pikiran kamu cuma pikiran2 kotor, terus kamu juga gak bisa jaga diri. Jangan2 kamu udah pernah ‘hubungan’ lagi?”

“Sumpah, Bu. Saya belum pernah begituan. Cuma onani aja.”

“Beneran, Dol?”

“Iya, Bu. Sumpah.”

“Jangan sampai kamu melakukan ‘hubungan’. Masa depan kamu bisa hancur nanti.”

“Makanya saya lebih suka onani, Bu. Saya juga gak mau kalau sampai ber’hubungan’. Mendingan onani.”

“Tapi kamu tetap harus bisa nahan hawa nafsu. Apa kamu pernah mikir gimana perasaan perempuan yang kamu bayangin sambil begitu? Mereka pasti jijik.”

Bodohnya, aku malah mengajukan pertanyaan yang betul2 konyol.

“Kalau Ibu ngerasanya gimana?”

Bu Uci kaget mendengar pertanyaanku. Napasnya semakin keras terdengar.

“Pokoknya kamu jangan begituan lagi. Untung kamu mau jujur sama Ibu, makanya Ibu tetap bakal naikin kamu. Tapi, jangan begitu lagi, Dol.”

Aku mengangguk saja. Dalam hati aku berkata, “Mudah2an, Bu. Tapi saya gak bisa ngejamin.”

“Ya udah. Keluar sana, Dol. Langsung pulang ke rumah.”

“Jadi, saya gak diapa2in, Bu?”

“Gak, Dol.”

Aku menghembuskan napas sangat lega. Ternyata, Bu Uci baik banget sama aku.

“Makasih, Bu.”

Aku gak sengaja menatap bagian selangkanganku. Gawat, ternyata selama aku diinterogasi Bu Uci, ternyata tongkolku terus bereaksi. Kok aku bisa gak sadar ya. Dan lebih gawatnya lagi, kalau aku konak sedikit saja, pikiranku mudah sekali dikotori. Aku jadi punya niat iseng ke Bu Uci. Sambil ngeliat jam dinding, tanganku diam2 membuka resleting celanaku, kemudian menuntun tongkat kebanggaanku keluar.

“Ngapain ngeliat jam?”

“Gak, Bu. Saya permisi dulu Bu.” pamitku sambil berdiri. Perlahan dan pasti, ketika Bu Uci masih melihatku berdiri, tongkolku yang menjulang keluar terlihat oleh Bu Uci.

“Aaahhh…” Bu Uci menjerit kecil sambil cepat menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Rupanya Bu Uci masih enggan melihat ‘pemandangan’ indah ini. Tapi aku, dengan santai dan nakalnya berkata,

“Tau gak, Bu? Waktu saya onani di depan kamar Ibu, saya telanjang bulat lho.” kubeberkan satu lagi rahasiaku.

Bu Uci yang mendapat ‘serangan langsung’ seperti itu langsung shock. Aku kemudian memasukkan kembali tongkolku, mengambil tas, terus keluar dari ruang guru. Aku gak ekspresi Bu Uci sekarang seperti apa. Yang pasti, aku senang sekali karena pertama, karena aku gak jadi dihukum Bu Uci, dan kedua, aku berhasil mengerjai Bu Uci dengan memperlihatkan barang rahasia milikku. Mungkin saja Bu Uci akan tertarik padaku jika sudah melihat punyaku. Dasar kamu memang murid brengsek, Dol!


^^​


Setelah aku menyelesaikan ujian semester dan naik kelas, tentu saja aku liburan. Setelah liburan dan masuk sekolah kembali, aku mendapatkan kenyataan bahwa Bu Uci gak lagi mengajar di sekolahku. Bu Uci telah pindah ke sekolah lain. Desas-desus di sekolah mengatakan bahwa kepindahannya disebabkan karena masalah pembayaran gaji yg gak lancar di sekolahku, sehingga membuatnya memilih pindah. Tapi aku dan Bu Uci juga sama2 tahu, insiden diantara kami berdua menjadi alasan khusus bagi Bu Uci untuk pindah. Perasaanku terus terang campur aduk, antara penyesalan, rasa bersalah, dan lega. Aku cukup lega, karena tidak ada lagi yang tahu selain aku dan Bu Uci tentang perbuatanku dulu, sehingga aku tidak perlu khawatir ada orang2 yang bergosip ria tentang aku.

Dan sebenarnya, aku masih terus melakukan onani ini. Dan aku menikmatinya. Dengan modus operasi dan target manapun, aku menjadi semakin kecanduan melakukan ini. Aku selalu menikmati saat lendir2ku muncrat keluar dan hasratku terpuaskan. Kadang2, aku juga masih suka berfantasi tentang Bu Uci dalam ‘kegiatan’ku. Hitung2 nostalgia.

Yang pasti, aku sangat merindukan guruku yg paling seksi di sekolahku. Terima kasih Bu Uci, sudah memberikan surga duniawi untukku, walaupun hanya sementara. Aku sangat2 menikmati surga duniawi Bu Uci, walaupun gak pernah kurasakan langsung.


^^​


Mungkinkah suatu saat aku bakal bertemu lagi dengan Bu Uci? Sampai cerita ini kutulis, aku sering sekali mengingat kenangan rahasiaku dengan Bu Uci. Bahkan ketika penulisan cerita ini, aku juga sering terpaksa harus menghentikan menulis karena sudah keburu konak dan harus mengeluarkan segala isinya dari milikku.

Karena aku benar-benar nafsu kepadamu, Bu Uci. (Gesek gesek ~ tongkol panas) Aaaahhhhhhhh....!!!!! (CROOOTTTTTTTZZZZZZZZZ!!!!!!!!!!!!!!! ~ kebanjiran)

image.axd




sumber: penns
 
selamat meluncurkan lendirmu di segala tempat


:bacol: :bacol: :bacol:
 
Mantab gan....(=|   
<\&#59161; &#59142; &#65532;&#59142;&#59143;&#59143; &#59142; &#59143;
&#955; Crooott...&#59219;&#59142; &#59143;ah
 
ada yg aneh gan,,msa dia tau ada yg ngintip tpi diem z,,jgn2 dia jg mau lg :konak:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Keren banget lu bro..coba skarang cari tau keberadaannya dan SSI lagi..pasti dapet skarang..
 
Lancrooot kan gan, semoga ketemu lagi Ama Bu Uci. Cerita bisa seru lagi
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd