Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

HARI YANG MUDAH HANYA KEMARIN [LKTCP 2021]

john robert

Senpai Semprot
Daftar
24 Nov 2013
Post
914
Like diterima
700
Bimabet





HARI YANG MUDAH HANYA KEMARIN



Only The Dead Have Seen The End of War.”

- Plato



BAB 1



What the hell, kenapa kamu tidak bisa mengatur vice president agar meninjau pos kami?” bentakku dalam bahasa Inggris kepada seorang anggota Secret Service bernama Billy. Billy pria berkebangsaan Amerika, memiliki postur gagah dan hidung mancung. Dia berdiri tegak mengenakan kacamata hitam pekat dengan earphone menempel di telinga. Tubuh Billy lebih dari 190 cm. Sedangkan tubuhku yang hanya setinggi 170 cm tampak seperti anak kecil ketika berhadapan dengannya.

“Lettu Dewi, come on, apa yang membuatku harus memperpanjang waktu kunjungan vice president? Apalagi hanya demi mengunjungi pos kalian? Memangnya siapa kalian?”

Sudah cukup.

Kalimat tadi menyentuh sisi sensitifitas hati seorang wanita militer sepertiku.

Don’t fuck with me!” telunjukku mengacung tinggi, “Apa katamu? Kamu mau melecehkan negara kami, hah?”

Bukan main-main, aku masih mengenakan seragam loreng cokelat pasukan perdamaian PBB ketika membentak seorang Secret Service. Baret biru laut dengan logo United Nation menempel erat di kepala. Pada bagian bawah, sepatu boot hitam tampak mengkilap terkena terik mentari dan membuatku terlihat garang.

Sebenarnya aku tidak sendiri. Empat orang rekan kontingen Indonesia berdiri mengamati kami di belakang, mereka adalah Letnan Susi, Sersan Anton, Sersan David, serta Sersan Hamzah. Letnan Susi, rekan satu angkatanku di akademi. Seorang perwira wanita berkulit putih khas Sunda. Karena warna kulitnya, Susi biasa dipanggil Amoy. Cara bicaranya sangat blak-blakan, topik apapun mampu dibahas secara bebas.

Sersan Anton, anak buah pletonku, berusia tiga puluh lima tahun dan memiliki tatapan mata setajam elang. Tepat di samping Anton, berdiri juga Sersan David, driver spesialis kami. Laki-laki berkepribadian tenang. Cocok menjadi driver militer karena selain tenang cara mengemudinya, dia juga sangat handal dalam bermanuver pada situasi pertempuran. Terakhir ada Sersan Hamzah. Laki-laki bertubuh hitam keling, karena sejak pertama kali menjadi tentara, ia terus-menerus bertugas di lapangan. Anak buahku rata-rata berusia 35 tahun. Mereka jauh lebih tua dari aku dan Susi yang baru memasuki usia 27 tahun. Tapi karena pangkat, aku dan Susi menjadi atasan mereka.

“Memangnya kalian ada di bagian mana pada peta dunia?” balas laki-laki anggota Secret Service itu tidak mau kalah.

Sial baginya karena aku, Letnan Satu Dewi, paling tidak suka diremehkan. Apalagi ketika lambang bendera merah putih tertempel di lengan bajuku, tidak seorangpun boleh meremehkan negaraku. “Goddamn it! Kamu menghina negaraku lagi! Jangan main-main! Kamu tidak akan lolos dari ini! Akan kulaporkan kau pada atasanmu, atas tindak pelecehan kepada negara lain!” tukasku.

Susi bergerak maju bersama tiga orang anak buah kami. Susi tahu persis reputasiku sebagai perwira wanita bermulut pedas. Namun, sebelum si amoy dapat melerai, seorang pria bule berseragam militer lain datang mendekat.

“Ada apa, Billy?”

Suara itu berasal dari seorang tentara bule yang memiliki tubuh lebih tinggi daripada Billy. Bila ditaksir, mungkin tingginya mencapai 195 cm. Bahunya tampak lebar seperti perenang bertubuh kekar dihiasi wajah tampan berbola mata biru. Sebersit lesung pipit terpahat di pipinya. Lambang Trident Poseidon yang melekat di pakaian pria tampan membuatku terkesima. Dia adalah seorang Navy Seal. Pasukan Elite Angkatan Laut Amerika.

“Sir, wanita ini memaksa agar vice president berkunjung ke pos mereka,” Billy menjawab sambil memberikan hormat sebagaimana layaknya bawahan kepada atasan.

Pria berbola mata biru itu mengenakan tanda pangkat seorang Letkol. Pangkat Perwira menengah. Jauh di atas pangkatku. Nama Erick tertera pada bagian atas bajunya. Berdasarkan peraturan kehidupan militer, aku wajib bersikap hormat kepada sang perwira. Tapi setiap emosi melanda, akal sehat selalu meninggalkanku. Alih-alih menghormat kepada perwira kekar yang usianya kutaksir hampir memasuki kepala empat namun terlihat masih sangat bugar ini, aku justru berdiri tegak dengan sikap tubuh menantang. Hanya Susi dan tiga anak buah kami yang menghormat kepadanya.

“Terima kasih,” ucap Letkol Navy Seal setelah melihat Susi dan rekan lainku menghormat. Perwira tampan itu melihat sikap kurang ajarku, tapi tidak tampak sedikitpun kemarahan dalam dirinya. Perwira bernama Erick hanya mengangguk dan menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Kenapa VP tidak boleh ke pos kami?” tanyaku sebagai upaya merespon kalimat Billy. “Kami sudah delapan bulan di sini, lebih lama dari tentara perdamaian negara mana pun, termasuk tentara Amerika.”

“Letnan kamu sadar, aku bisa saja menamparmu di sini untuk menghentikan segala bullshit yang kamu ucapkan?” tukas Billy.

Damn it! Kamu mau menamparku? Coba saja kalau kamu berani. Ayo!” Aku maju menantang. Sersan Anton dan Hamzah mencoba membelaku bersamaan.

Melihat keadaan menjadi sedemikian runyam, perwira kekar bernama Erick merentangkan tangan kepada rekan-rekanku. Dia berkata, “Kalian, tenanglah! Semua terkendali! Biarkan aku, Billy dan Letnan Dewi membereskan segala kesalahpahaman kami ini!”

Karisma Letkol Erick membuat seluruh rekanku tersihir untuk mematuhi ucapannya, termasuk Susi. Ia terdiam, bahkan tampak terpukau.

“Nona, kupikir masalah ini bisa diselesaikan secara baik-baik,” perwira berlesung pipit mendekatiku. Aroma parfumnya menonjolkan pesona maskulinitas nan pekat. Simbol eliksir tubuh laki-laki jantan.

“Tidak bisa! Dia telah menghina negaraku!” selain mudah marah, aku juga terkenal sebagai wanita yang tidak mau kalah dalam perdebatan.

“Percayalah, aku kenal Billy. Dia pernah menjadi bawahanku di Seal. Billy bukan orang yang suka melecehkan siapa pun, apalagi sebuah negara besar seperti kalian.” Erik menatap lurus mataku sebelum melanjutkan, “Bukankah kau juga seorang anggota Pasukan Khusus, jika kulihat dari lencanamu, Letnan?”

“Ya, sama sepertimu, aku juga seorang Navy Seal di negaraku.”

Perwira berbola mata biru mengernyitkan dahi. “Kamu seorang Seal?”

“Ya, memang kenapa? Apakah wanita tidak boleh menjadi seorang anggota Navy Seal?”

Well, tidak di Amerika.”

“Kalau begitu negaramu masih kalah dalam menjunjung emansipasi wanita dari negaraku.”

“Jaga sopan santunmu!” Billy memotong. Aku tahu ucapanku ketika berbicara dengan atasannya sangat tidak sopan. Akan tetapi, seperti inilah karakterku. Kalau sudah berdebat, Letnan Dewi akan terus berdebat sampai menang.

“Sudahlah,” Letkol tampan menyela kami lagi. “Anggaplah ini impas.”

“Impas apanya? Enak saja!”

“Maksudku, tudingan saling melecehkan antar negara tadi! Kita anggap impas saja.” Erik menawarkan.

“Tidak! Enak saja!”

Well, kamu, aku, dan Billy, kita sama-sama Seal. Minimal itu persamaan yang membuat kita bisa berdamai.” Letkol Erick memegang bahu kami berdua dan mendekatkan kami sebagai isyarat mendamaikan. “Lagi pula ini aspirasi berharga bagi kami, bahwa wanita juga layak menjadi seorang anggota pasukan khusus.”

Billy dan aku sudah sama-sama berhadap-hadapan.

“Ayo Billy, tidak ada salahnya kamu menyampaikan permohonan maaf kepada Letnan Dewi yang cantik ini!”

Kalimat gombal.

Khas laki-laki.

Menurutku, standar kecantikan bagi bule setampan Erik atau Billy pasti berbeda. Mereka lebih memandang wanita blonde berpinggang ramping dan tubuh layaknya model victoria secret sebagai gambaran wanita cantik. Sedangkan aku, jauh dari gambaran wanita seperti itu. Sejak dulu aku selalu beranggapan sebagai wanita, pesonaku biasa saja. Padahal cukup banyak orang berkata padaku, bahwa wajahku sangatlah cantik dengan ciri khas hitam manis berhidung mancung dan bibir sensual. Tapi aku tidak pernah mau mempercayai pendapat orang lain.

“Jangan coba merayuku!” tukasku.

“Oh tidak! Aku tidak sedang merayumu. Kamu memang cantik, dan sudah selayaknya Billy mengajukan permohonan maaf. Sekarang juga!” kalimat terakhir dilontarkan Erick sambil sedikit membentak. Billy langsung patuh. Dia menyodorkan tangan.

“Nona Dewi, aku minta maaf.”

Aku buang muka kesal. Tidak semudah itu.

“Ayo, Wi, maafkanlah dia!” Susi datang mendekat sembari memaksa tanganku untuk bersalaman.

“Apa-apaan sih, Kamu?” protesku.

“Ayolah, terima permintaan maafnya!”

Sedikit dipaksa, akhirnya aku menyambut tangan Billy, lalu kami saling berjabat tangan.

Letkol tampan tersenyum melihat tingkah laku kami berdua yang seperti anak kecil. “Ini sebuah kemajuan besar.” kata Erick.

“Tapi salaman ini belum memenuhi permintaanku!”

“Apa permintaanmu?”

“Aku ingin VP mengunjungi pos kami!”

Pegangan tangan Susi di lengan terasa semakin kuat. Dia mencengkeramku. Apakah permintaanku ini terlalu berlebihan?

Billy sudah siap memprotesku. Sedari tadi dialah yang paling keras menentang rencanaku.

“Sudah,” perwira kekar berlesung pipit menyadari ini dan memotongnya di tengah jalan. “Aku akan mencoba menyampaikan kepada pimpinan Secret Service di sini agar VP mengunjungi pos kalian!”

“Tapi bagaimana? Bagaimana kalau kau ingkar janji, dan vice president tidak mengunjungi pos kami?” tanyaku.

“Hei jaga ucapanmu. Sadarkah kamu sedang bicara dengan seorang perwira berpangkat lebih tinggi darimu?” anggota Secret Service berkacamata hitam terpancing.

“Aku tidak bicara denganmu, son of a Bitch!” tunjukku tepat di mukanya.

Susi langsung menarikku agar tidak terpancing lagi.

“Ayolah! Kalian berdua seperti kucing dan anjing,” untuk pertama kali perwira berlesung pipit terlihat gusar menghadapi tingkah kami. “Ini janjiku Letnan, kalau memang nanti VP tidak berkunjung ke pos kalian, maka aku berhutang padamu.”

“Serius? Jangan sampai kamu tidak menepati janji, Letkol! Jika tidak, kamu akan ...”

“Hush, Kamu keterlaluan, tahu!” Susi menginjak sepatuku.

“Ahh ... Susi! Apa-apaan kamu?” si amoy menginjak dengan kuat sekali sebelum aku selesai bicara. Kuku kakiku bisa copot karena injakannya.

Erick menepuk Susi di bahu sambil memberikan senyum lebar sebelum bicara, “Jangan begitu kasihan kaki temanmu!”

Diajak senyum oleh perwira kekar, temanku langsung tersipu malu. Rona merah muncul di pipinya. Benar-benar gampang dibuat ‘ge-er’ temanku ini.

Letkol tampan beralih kepadaku kemudian berkata, “Aku selalu serius, Letnan Dewi! Sekarang kembalilah bersama rekan-rekanmu! Kamu bisa memegang ucapanku.”

Aku memandang mata Letkol Erick sekali lagi. Wajar saja Susi dibuat tersipu olehnya. Laki-laki ini memang sangat mempesona.


BAB 2


Markas pasukan PBB di Kindia, Guinea, sudah siap menyambut kedatangan Wakil Presiden Amerika. Kindia baru memasuki musim kemarau setelah beberapa bulan diselimuti hujan tiada henti. Sebuah kondisi ideal untuk negara tropis yang memiiliki tingkat kesuburan tanah teramat tinggi. Secara geografis, kondisi Kindia tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah di Indonesia yang subur dan diberikan karunia kekayaan alam berlimpah. Di sejauh mata memandang selalu tersaji hijaunya pemandangan alam, tumbuhan beraneka ragam, hutan belantara, disertai satwa beraneka jenis.

Matahari selalu bersinar terang di sini. Udara terasa kering di musim kemarau, namun guyuran hujan di bulan-bulan sebelum ini membuat transisi musim menjadi terasa nyaman. Bagi rekan-rekan tentaraku yang berasal dari wilayah Eropa memerlukan transisi lebih lama dalam menghadapi udara di Guinea. Sedangkan kami, tentara asal Indonesia, diuntungkan karena Indonesia pun memiliki iklim tropis.

Negara tropis hanya memiliki dua musim. Pergantian cuaca membuat tanah menjadi lebih subur dan mampu menumbuhkan berbagai jenis tanaman. Laju pembangunan Kindia belum segencar di Indonesia. Nuansa alam Kindia yang indah belum dibabati oleh tuntutan kemajuan jaman.

Markas Pasukan Penjaga Perdamaian PBB terletak di pinggiran Kota Kindia. Kondisi markas kami pun diselimuti oleh suasana alam indah ini. Kami hidup di sebuah area berhuruf U di mana markas utama PBB terletak di bagian garis datar huruf U. Indonesia mendapatkan bagian sayap kanan markas, bersebelahan dengan kontingen Australia dan Belgia. Lokasi kunjungan Vice President Harris nantinya berada tepat di markas besar. Letkol Navy Seal bernama Erick kemarin menjanjikan Secret Service dapat membawa VP bergerak ke sayap kanan untuk mengunjungi markas pasukan Indonesia.

Layaknya di tanah air, sebelum kedatangan tamu berkategori “VVIP”, para Secret Service akan membangun parimeter pengamanan sampai lima ring. Ring pertama beradius terdekat dengan lokasi kunjungan VP sudah disterilkan sejak malam hari. Jaring kedua berjarak tidak sampai lima ratus meter dari jaring pertama. Secret Service dibantu oleh tentara bersenjata lengkap bersiaga di sektor ini.

Ring ketiga melibatkan sebagian pasukan PBB yang dilengkapi sarana teknologi terkini untuk berjaga-jaga apabila terjadi ancaman menggunakan kekuatan cyber. Jaring keempat terdiri dari kendaraan militer canggih, termasuk keterlibatan satelit serta drone yang beterbangan di atas kepala. Jaring terakhir meliputi pengawalan oleh para sniper, atau tentara berkemampuan menembak jarak jauh di atas rata-rata. Para sniper sudah memanjat titik tertinggi di sekitar kawasan, jauh dari pandangan manusia awam.

Kami kontingen Indonesia sudah berbaris rapih di sayap kanan lokasi acara. VP dijadwalkan akan masuk dari pintu utama, lalu turun di depan markas besar pasukan PBB untuk melakukan pembicaraan dengan pimpinan pasukan gabungan PBB dari Tunisia, General Salman Abid. Setelah itu wakil presiden akan mengunjungi satu per satu barisan Pasukan Penjaga Perdamaian PBB berseragam lengkap.






Namun, hal melelahkan dari sebuah kunjungan wapres adalah menunggu. Jika kuhitung, sudah lebih dari satu jam kami menunggu kedatangan VP. Berdiri sambil memanggul senjata, terjemur terik mentari musim kemarau Kindia. Rasanya sangat melelahkan. “Fuck!

“Kamu maki apa?” Lettu Susi yang berdiri di sampingku sedikit terkejut.

“Menunggu sangat menyebalkan!”

“Bersabarlah! Lagi pula kita bisa mencuci mata. Lihat itu! Letkol tampan yang kemarin berdebat denganmu sudah ada di depan markas PBB.” Lettu Susi menunjuk ke arah Erick menggunakan dagunya.

Kami dapat melihat jelas seluruh kawasan markas berpola huruf U ini. Letkol Erick memang sudah terlihat di lokasi. Dia tampak mengomando seluruh anak buahnya agar membereskan segala urusan sebelum kedatangan wapres wanita pertama Amerika.

“Kamu hebat bisa bicara dengan laki-laki seganteng itu,” si amoy bicara lagi.

“Aku tidak bicara dengannya, tapi berdebat! Dan dia kalah dalam perdebatan itu!”

“Berani sekali kamu, Wi. Bagaimana kamu bisa bersikap tidak hormat ketika berbicara dengan seorang perwira berpangkat jauh lebih tinggi? Kamu sudah gila, ya?”

“Aku hormat, kok.”

“Kemarin, tidak ada satu pun sikap atau perkataanmu menunjukkan bentuk penghormatan kepadanya.”

Tertunduk sambil menatap sepatu, hanya itu yang dapat kulakukan ketika menyadari sebuah kebenaran.

“Kalau di tanah air, aku sudah disuruh berenang melintasi Selat Sunda bila melawan senior,” ujarku lirih.

“Bolak-balik!” Susi menekankan. “Merak-Bakauheni, berenang bolak-balik, mengingat kesalahan sefatal itu.”

Kami masih menunggu sembari berdiri gontai.

“Kamu masih berenang?” si amoy bertanya.

“Masih.”

“Di mana? Kenapa kamu tidak pernah ajak aku?”

“Di hotel bagus dekat sini. Fasilitas kolam renang mereka lengkap dan terjangkau.”

“Pantas saja badanmu sexy, Wi. Ternyata karena masih rajin berenang.”

“Tubuhku jelek! Jauh dari kata sexy.”

Susi menatapku, “Badanmu bagus. Kamu sudah seperti artis berkulit eksotis. Seperti Beyonce! Aku berani bertaruh, waktu kamu berenang di hotel, banyak mata laki-laki yang berupaya manatap ke arahmu.”

Pikiranku berusaha membuka ingatan tentang apa yang dimaksud Susi. Dia tidak salah.

“Kamu benar.”

“Banyak laki-laki yang terpana melihat tubuhmu, kan?”

“Tidak sebanyak itu. Tapi ada dua orang yang terus melihatku tanpa berkedip. Aku memang berenang memakai bikini merah tempo hari.”

Si amoy menoleh penasaran. “Siapa mereka? Laki-laki kaya?”

“Kalau mereka kaya, memang kamu mau sama mereka?”

“Kenapa tidak. Kamu tahu, bercinta dengan laki-laki berkulit hitam yang perkasa dan kaya tujuh turunan adalah salah satu fantasi favoritku.”

“Kalau begitu kau ambil mereka. Dua-duanya!”

Susi tertawa lebar tanpa suara, “Aku tidak setamak itu, Wi. Lagi pula apakah mereka memang benar orang kaya?”

Anggukanku menjadi jawaban paling tepat untuk si amoy, “Bukan hanya kaya, setelah kuselidiki, mereka merupakan panglima militer di sini!”

“Di Kindia?”

Aku mengangguk, “Iya, tapi jangan lupa! Ada dua orang. Kakaknya yang panglima Kindia, namanya Mutombo. Tinggi badannya lebih dari dua meter dan kekar. Tapi pandangan matanya, aku tidak akan lupa cara dia menatapku! Ibarat banteng menatap kain merah milik matador, terlalu bernafsu, seperti ingin melahapku. Sedangkan adiknya, pejabat militer di Conakry, namanya Muzamba.”

“Terus penisnya sepanjang apa, ya?” pertanyaan vulgar khas si amoy yang selalu menyerempet hal-hal berbau esek esek.

“Sepanjang penis kuda.”

“Hei, memangnya kamu tahu penis kuda sepanjang apa?”

Lenganku menyenggol Susi, “Sudahlah! Pertanyaanmu itu tidak bermutu. Lagi pula, mana aku tahu barang pribadinya!”

Kami tertawa kencang, beberapa orang memelototi kami. Akan tetapi, tentu saja aku merasa cuek ketika dipelototi seperti itu. Biasanya aku semakin melawan kalau dimarahi. Sayangnya Susi mencubit lenganku sembari berkata, “Kita harus diam. Rombongan wapres sudah datang.”

Sirine mobil pengawalan wapres terdengar elegan. Bukan bunyi sembarangan, melainkan menunjukkan kerapihan serta kedisiplinan rombongan mobil pengawal yang berderap mendampingi seorang pimpinan tinggi negara adikuasa. Iring-iringan mereka terlihat sangat mewah, mobil-mobil berkelas membentuk barisan. Irama mesin-mesin dengan performa kualitas wahid terdengar halus. Kekuatannya bisa menjelajahi seluruh medan di darat. Seumur hidup aku belum pernah melihat konvoi mobil seelegan ini.

Ketika iring-iringan tiba di depan markas, vice president segera turun bersama rombongan pejabat lain. Tidak seorangpun dari rombongan pejabat utama dapat kulihat, karena terhalang oleh pagar betis Secret Service.

Seluruh anggota Secret Service bergerak taktis dalam melindungi wapres. Mereka mengawal wapres untuk bersalaman dengan pimpinan pasukan PBB, lalu VP langsung diarahkan masuk markas. Vice president dijadwalkan akan bercengkarama sejenak dengan pimpinan pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, General Salman Abid, sebelum meninjau pasukan. Awalnya kupikir acara di dalam akan lama, namun dugaanku salah. Tidak sampai sepuluh menit, wapres sudah keluar dari markas utama.

Masih menggunakan iring-iringan ketat seperti sebelumnya. Rombongan vice president mulai bergerak ke sayap kanan guna melakukan defile pemeriksaan pasukan. Melihat ini, aku bersikap sempurna, menegakkan bahu sembari memegang erat senjata M4. M4 merupakan salah satu senjata favoritku, versi pendek dan memiliki bobot lebih ringan dari M16. Cocok dipegang oleh kami kaum wanita. Di Guinea, pasukan PBB dipersenjatai oleh senjata Amerika.

Iring-iringan vice president terlihat semakin dekat. Derap sepatu pantopel berderu ketika memijak tanah dalam tempo cepat, menimbulkan jejak-jejak debu panas yang beterbangan. Aku berusaha melirik. Pada saat itu di antara rombongan pejabat VVIP, aku melihat Letkol Erick. Mataku terpaku kepadanya.

Entah mengapa aku masih dapat mengenali sosoknya, meskipun ia tersembunyi di antara lautan manusia. Bahkan aku masih dapat mengagumi caranya berpakaian. Hari ini dia mengenakan seragam loreng lengkap ditemani topi komando. Tatapan mata kalem Erick yang penuh kedewasaan selalu membiusku. Sosok pria kekar berbola mata biru ini sangat mencuri perhatian, fokus pandanganku betul-betul tertuju pada si Letkol Navy Seal, bahkan wapres menjadi tampak buram di sampingnya.

Padahal wakil presiden terus tersenyum manis sambil menyapa pasukan PBB yang berbaris paling depan. Terlebih, wapres menyapa pasukan baris depan dengan sangat ramah. Begitu fokusku pulih, aku menyadari posisi berdiriku pun berada pada baris terdepan. Aku pun bisa memperoleh kesempatan yang sama, mendapatkan sapaan serta pertanyaan dari Wapres.

Seandainya vice president bertanya padaku, aku harus siap.

Mungkinkah ia akan menanyakan asal kontingen kami? Apakah vice president akan menanyakan jumlah pasukan atau mungkin ketersediaan makan dan minum bagi pasukan?
Otakku terus membuat sederetan pertanyaan yang justru membuat cemas. Apalagi ketika aku menyadari bahwa rombongan itu sudah semakin dekat. Vice president sudah melewati pasukan dari Inggris, India, dan Afrika Selatan. Tinggal pasukan Australia, lalu ia akan sampai di pasukan kami.

Hatiku berdegup kencang. Tinggal satu lagi, setelah itu Indonesia.

Rombongan terus mendekat.

Tinggal beberapa langkah saja. Satu jengkal lagi.

Namun, sebelum vice president tiba di pasukan Australia, seorang Secret Service menghampirinya dan berbisik.

Sebuah pertanda buruk.

VP tampak menyimak sejenak berita yang disampaikan kepadanya, lalu mengangguk. Sesaat beliau mengatupkan tangan dan tersenyum kepada pasukan PBB yang tersisa, kemudian melambaikan tangan sembari beranjak pergi begitu saja.

Letkol Erick terlihat berusaha menanyakan informasi kepada anggota Secret Service yang berbisik pada VP. Dia tampak mengangguk setelah mendapatkan jawaban singkat. Aku dapat melihat raut wajahnya berubah kecewa, kepalanya beberapa kali menggeleng.

Janjinya kepadaku gagal.

Kalau Perwira kekar ini saja terlihat kecewa, maka yang timbul dalam dadaku adalah rasa murka. Tentu saja, sasaran kemurkaanku hanya satu orang. Kemarin dia telah berjanji padaku.

Go to hell, Erick!

Aku mengumpat tepat ketika dia menoleh ke arahku.

Sial. Sebuah kebetulan tidak menyenangkan.

Erick berujar lirih, “I am really sorry.”

Fuck you! Go to hell with your promise!” aku menatap tajam tepat pada kedua matanya.

I owe you. I am sorry.

Kalau saja senjata MP4 bisa kulemparkan ke kepala Erick, pasti kulempar dia dengan gagang senjata ini.

Aku tidak suka orang ingkar janji. Apa pun alasannya.

Dan Erick adalah seorang pengingkar janji.



BAB 3


Keesokan harinya, vice president sudah pergi. Tidak ada kenangan untuk kubagikan kelak yang dapat menyatakan bahwa pasukan kami pernah dikunjungi serta disapa langsung oleh Wakil Presiden Harris. Vice president wanita pertama Amerika sepanjang sejarah.

Dasar pengingkar janji kamu, Erick! Hampir selama dua belas jam sisa hariku dipenuhi makian dan kekesalan kepada perwira tampan berbola mata biru. Meskipun hanya dapat kulakukan di dalam hati.

Aku mengenakan seragam loreng lagi. Kali ini dilengkapi helm dan rompi anti peluru, tentu saja masih sambil bersungut-sungut. Rasanya memang lebih ringan mengawali hari dengan memaki seseorang. Apalagi hari ini tugas berat telah menantiku.

Kami harus mengamati demonstrasi di ibu kota Guinea, Conakry. Negara Guinea berbatasan dengan negara Siera Leone. Sama seperti di negeriku, suhu udara paling tinggi di Guinea mencapai 35 derajat celcius, sementara itu titik suhu paling rendah 22 derajat celcius. Bedanya, cukup banyak masyarakat buta huruf di Guinea. Negara ini memiliki tingkat melek huruf paling rendah di Afrika.






Padahal sumber daya alam mereka berlimpah. Tembaga, nikel, bauksit, emas. Guinea berlimpah semua itu. Dalam perjalanan menuju ibu kota, aku dapat melihat orang-orang desa berangkat menuju lokasi penambangan atau perkebunan. Di Guinea, kopi, karet, cokelat tumbuh subur menjadi sejumlah komoditas unggulan. Seharusnya mereka bisa hidup makmur sebagai sebuah bangsa.

Hanya saja kudengar dari pembicaraan sesama rekan pasukan perdamaian, korupsi menggerogoti kehidupan bernegara secara fatal. Kekayaan alam hanya dinikmati oleh segelintir orang hingga selalu mengakibatkan gelombang ketidakpuasan.

Demonstrasi besar hari ini adalah salah satu cara mengekspresikan ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahnya. Ketidakadilan yang terjadi di beberapa wilayah membuat rakyat berteriak, “Abattre le Président!” (Turunkan Presiden!). Demonstran yang berjalan terus berteriak sampai kendaraan kami tiba tepat di depan stadion General Lansana Conte dé Nongo. Sebuah stadion megah. Seperti GBK di Jakarta, namun memiliki kapasitas lebih kecil.

Masyarakat menjadikan stadion termegah di Guinea ini sebagai tempat menyuarakan pendapat. Tatapan lautan manusia di luar stadion begitu berapi-api, aspirasi mereka hanya satu, secara tegas menyuarakan keinginan pergantian kepala negara. Selama delapan bulan tinggal di Kindia, aku sedikit mempelajari bahasa Prancis hingga dapat memahami perkataan para pendemo.

Begitu turun dari kendaraan, aku dan rombongan pasukan perdamaian lain langsung berjaga di depan stadion. Udara panas musim kemarau bercampur hawa tubuh lautan manusia terasa semakin menusuk kulit. Perjalanan dari Kindia ke Conakry memakan waktu dua jam setengah ditambah medan yang cukup sulit dilewati membuatku cukup kelelahan. Akibatnya, aku mengalami mabuk darat. Fisikku tidak terlalu sanggup mendengar teriakan lantang dari pengeras suara para pendemo. Aroma keringat para pendemo yang berbau amis membuat hidungku mengantarkan rasa mual ke pencernaan.

Biasanya aku kuat menghadapi bau seamis apa pun. Akan tetapi hari ini perutku terasa sensitif bagaikan air pasang di lautan. Naik turun membuat bingung untuk mencari titik keseimbangan terbaik. Pada titik ini aku merasa lemah sebagai seorang manusia. Tidak kuat lagi menahan gejolak aroma amis yang membuat pusing kepalaku, pada akhirnya aku berlari menuju sebuah tempat parkir tersepi di samping stadion. Duduk bersandar untuk sekadar menghirup udara segar sebelum kembali bertugas.

“Letnan Dewi kamu sakit?” sebuah suara yang kukenal menyapa. Dia berdiri gagah di dekatku. Letkol Navy Seal. Bola mata biru dan lesung pipitnya selalu bisa menggetarkan hatiku setiap saat.

“Kau?” seruku tertahan sambil mengumpulkan tenaga yang tersisa untuk berdiri kembali dan menjauh darinya.

Akan tetapi, belum sempat aku berjalan, Letnan Kolonel Erick sudah berdiri di sampingku. Dia mengenakan kaos polo biru tua berkerah serta celana jeans hitam. Barangkali dia sedang menyamar.

“Kamu sakit?”

“Aku tidak sakit!”

Kedua lengan perwira kekar memegang bahuku dengan kuat. Postur jangkungnya dengan sepasang tangan penuh otot membuatku merasa tidak berdaya. “Ada apa? Wajahmu sangat pucat! Kamu punya obat? Kalau tidak, ikut aku! Di dekat sini ada kedutaan Amerika, mereka punya dokter terbaik.”

“Letkol aku baik-baik saja. Go to hell with your aid!” teriakku sampai air ludah mengenai wajahnya. Aku tidak sudi mendapat bantuan dari seorang pembohong.

Dia bergeming, tatapannya tetap penuh kekhawatiran.

“Kamu marah kepadaku?”

Erick masih memegang kedua bahuku dengan erat. Aku menggeleng sebagai sebuah jawaban.

“Dewi.”

Menggunakan kedua tangan, kutepis tangan pria berlesung pipit dari bahuku. Aku sama sekali tidak tertarik menjawab pertanyaannya.

“Aku berhutang padamu ...” Erick berkata lembut setelah melihatku tidak merespon.

“Kamu tahu, persetan denganmu! Kamu telah membuatku kehilangan muka di depan seluruh anggota pasukan negaraku. Janji palsumu membuatku terlihat seperti wanita murahan yang mudah tertipu. Kamu memang keparat!”

Perkataanku membuat bulu kuduk di tengkuk berdiri sendiri. Jika ini kulakukan di negaraku, aku pasti sudah dihukum sangat berat.

Akan tetapi perwira berbola mata biru tampak tenang menghadapi segala tingkah polahku. Sebersit senyum terbit ketika dia berkata, “Dewi, gaya bicaramu itu membuatmu makin mirip wanita Amerika.”

Bullshit!” kataku lantang. “Pergilah! Aku sangat kecewa padamu!” kutepis upaya pendekatannya.

“Aku berhutang padamu. Itu janjiku. Kamu tidak percaya padaku?”

“Aku tidak percaya! ”

“Tapi kamu sedang sakit.”

“Aku sehat,” ujarku. “Tidak pernah aku merasa sesehat ini! Yang terpenting, aku tidak percaya padamu, sedikit pun! Kamu pembohong! Pengingkar janji!”

Letkol tampan tiba-tiba tersenyum.

“Kenapa kamu senyum?” tanyaku.

Dia tersenyum lagi. Sekarang lebih lebar. Ia malah mengambil sebungkus permen dari dalam saku kausnya, dan memakan permen itu dengan santai. Ia memakannya sendiri, tanpa berbasa-basi untuk menawariku.

“Sorry, tapi kamu sangat manis, mulutmu lebih cepat daripada kereta shinkansen. Bahkan ketika kamu sakit, mulutmu terus saja melontarkan kata-kata begitu cepat.” Bibir pria berlesung pipit bergoyang menikmati sensasi manis permen. Padahal saat ini akulah yang lebih membutuhkan permen itu.

“Kamu meledekku? Mulut ini milikku. Apa urusanmu mempermasalahkannya.” Untuk pertama kalinya seorang pria demikian tampan menyebutku manis. Jantungku bergedup sangat kencang, tapi aku terus menutupi kegugupanku dengan berbicara tanpa henti.

“Mulutmu sensual.” Erik melontarkan satu kata yang membuatku terhenyak. “ Gaya bicaramu eksentrik. Aku suka gayamu.”

“Eksentrik pantatmu!” tudingku dengan setengah hati. Hatiku berada di persimpangan. Goyah di antara dua perasaan, berbunga oleh pujian dan tatapannya atau keinginan untuk terus membencinya. “Ini gaya bicaraku. Aku bangga dengan gayaku sendiri.”

“Tentu. Aku tidak mencela gaya bicaramu, tapi kalau kamu tidak mau kuajak berobat, itu akan menyakti dirimu sendiri, Dewi.”

“Kamu tahu. Aku tidak pernah melihat laki-laki yang lebih menyebalkan daripada dirimu!” Aku menuding jari ke arah Letkol tampan. Yang mengejutkan Dia sengaja menekuk tubuh agar dekat dengan jariku. Sial, lagi-lagi pria ini terlalu mempesona untuk kubenci!

“Aku benci kamu! Benci ... Benci!”

Sebelum aku bisa mengucapkan kata benci ketiga, Erick menekan tubuhku pada tembok stadion. Secara sengaja dia semakin merapatkan tubuhnya padaku, telingaku bahkan dapat mendengar debaran jantungnya yang semakin cepat. Aroma woody bercampur bunga irish dari tubuh Erick serta dada bidangnya yang terasa hangat, seketika meredakan pusing di kepalaku. Semua kenyamanan itu membangkitkan alarm dalam otakku. Ini tidak boleh terjadi, tidak boleh terjadi! Otakku terus berkata seperti itu, tapi hatiku menyukai apa yang perwira kekar lakukan padaku, bahkan menginginkannya.

Sebagai pertahanan terakhir, kedua tanganku berupaya memukulnya. Sayangnya gerakan Erick lebih cepat. Dengan taktis dia menangkap kedua tanganku dan menguncinya tepat di samping badanku. Letkol tampan hanya memerlukan sebelah tangan serta dadanya untuk membuat kedua tangan serta tubuhku tidak bergerak. Mungkin akulah yang membiarkannya mengunciku.

Erick menundukkan wajah dan perlahan mulai mencium bibirku. Otakku tiba-tiba membeku, mungkin aku mengalami hipotermia. Namun, bibir kami yang saling terpaut, serta perpaduan napas kami yang membentuk simfoni menggelora, seolah berteriak menegaskan bahwa aku ... Normal.

Bibir pria berlesung pipit terasa sangat manis, hangat dan beraroma mint. Lembut namun kuat. Sangat dominan, menuntut, memburu, seakan ingin menuangkan seluruh isi hatinya kepadaku dalam sebuah ciuman. Dia menggigit lembut bibir bawahku, saat itulah sang laki-laki pemenang menatap mataku dengan lembut.

Bibir cerewetku seketika terbungkam.

Tidak seorangpun sanggup menahan laju bibirku, tapi Erick mengunci bibirku dengan ciuman membara. Sebuah ciuman panas di udara panas kota Conakry. Perwira kekar kemudian menyelipkan lidahnya ke dalam mulutku. Sebuah benda bulat yang terasa seperti permen mendarat ke dalam mulutku, bersamaan dengan cairan saliva beraroma mint yang terasa manis dan hangat. Lidahnya menari, menyeruak, dan memainkan permen di setiap sudut rongga mulutku, menuntut sebuah pengakuan padaku. Ciumannya membuatku merasa seperti diserbu, didominasi, sekaligus dicintai.

Aku tidak suka didominasi oleh lelaki, tapi Erick berbeda. Meskipun dominan, dia tahu apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Ia mengetahui pasti ke mana lidah itu harus menjelajah sambil mengantarkan simpul kenikmatan di dalam kepalaku. Hembusan napasnya membelai wajahku dengan cara paling sensual. Ciumannya, dan permen yang terselip menjadi obat penyembuh dari segala rasa mualku tadi.

Penuh rasa sayang dia memeluk tubuhku, mendekatkan jarak di antara kami, hingga dadaku menempel erat pada tubuh kekarnya. Seakan seluruh tubuh telah mengkhianati akalku, kedua tanganku telah melingkar erat pada leher Erick, menuntut kedekatan yang lebih dalam. Deru suara pendemo tetap keras terdengar di telinga. Akan tetapi telingaku seolah membuat selubuh tebal dan enggan mengantarkan impuls suara kepada otak. Aku terjatuh semakin dalam pada kenikmatan ciuman dari seorang pria tampan berdaya pikat mematikan. Aku tidak ingin mengakhiri ciuman ini, tapi dialah yang pada akhirnya melepas ciuman panas kami.

“Letnan,” kata Erik sambil mengatur nafas. “Kalau kamu hendak melaporkanku atas dugaan pelecehan seksual, maka aku akan siap menerima konsekuensi itu. Tapi sekarang aku harus mengajakmu ke dokter! Kamu terlihat sangat pucat!”

Aku terdiam. Mulutku tidak bisa bicara. Bibir cerewet ini benar-benar terbungkam oleh sebuah ciuman. Mungkin itu yang membuatku terlihat pucat pasi. Rasa terpukul akibat ciuman dari orang yang berbohong padaku atau rasa kecewa karena ciuman itu berakhir secara tiba-tiba. Dalam kebingungan, aku berjalan gontai menjauh darinya.

“Ayo kita ke dokter!”

Tanganku mengibas sebagai isyarat penolakan. “Kamu berhutang padaku, Letkol!” kataku sambil menjauh.

“Kalau kamu bersedia, aku akan menjemputmu sore ini di markas, setelah kamu lepas jaga. Untuk membayar hutangku, Letnan!”

Langkahku semakin menjauh darinya.

Come on!” Dia terdengar frustasi.

Mendengar suaranya yang mengiba, aku menghentikan langkah dan menoleh padanya sambil berujar, “Jam enam sore.”

“Apa?”

“Aku lepas jaga jam enam sore.”

Erik tersenyum lebar dan berkata dengan lembut, “Aku akan tiba sebelum jam enam sore dan menunggumu di gerbang markas, Cantik!”

Pujiannya betul-betul terdengar seperti gombalan para lelaki buaya.

Masalahnya, hatiku selalu senang setiap kali dia memujiku.

“Dewi!” sekali lagi dia memanggilku,

“Apa lagi?” tanyaku dengan tidak sabar.

“Semoga perment mintnya bisa menjadi obat untukmu!” Letkol Erick menyunggingkan senyum menggoda padaku.

Dengan cepat kubalikkan badan dan berlari.

Sial! mulai hari ini, setiap melihat permen mint, aku akan selalu teringat padamu dan mengingat ciuman pertama kita!



BAB 4


Markas Pasukan PBB sore ini lebih cerah dari biasa. Dari kejauhan, lengkingan kijang hutan jantan yang memanggil anggota kerumunannya cukup menarik hati, bahkan suara kepakan sayap burung shoebill terdengar indah seperti lantunan melodi. Namun sayang, keindahan alam Kindia kali ini tidak dapat mencegah kegundahan hatiku. Sejak ciuman itu, seluruh otakku dipenuhi oleh nama Erick, sang Letkol Navy Seal. Sejak pertama kali ia muncul dalam hidupku, sosoknya selalu menggelisahkan sekaligus membuatku penasaran. Siapa dia sebenarnya?

Padahal dia perwira pasukan elite Angkatan Laut Amerika. Pangkatnya jelas jauh lebih tinggi. Usianya jauh lebih tua. Barangkali lebih dari sepuluh tahun di atasku. Kenapa kok dia menerima saja makianku? Pertanyaan ini terus singgah di dalam pikiranku. Kami tentara Indonesia hanya tahu dari film-film Hollywood tentang keberadaan pasukan elite bernama US Navy Seal. Anggota mereka hanya terdiri dari para laki-laki. Tidak ada satu pun perempuan dapat bergabung dalam pasukan mereka. Konon pasukan elite ini dilatih teramat keras, sampai-sampai tingkat kelulusan calon siswa untuk menjadi anggotanya sangat rendah.

Tempat latihan mereka berada di Coronado, California. Sebuah kawah candradimuka bagi para pria yang ingin menjadi seorang ksatria. Kawah ini menggodok mereka, melatih keras, dan mematangkan para pasukan khusus. Mereka disimbolkan sebagai singa laut dan pengebom bawah laut (Seal / UDT).

Semua pikiranku dipenuhi oleh segala hal berbau pasukan elite angkatan laut Amerika. Demikian pula segala hal tentang perwira tampan berbadan kekar bernama Erick mendadak singgah di kepalaku. Mungkin aku merasa cemas memikirkan kemungkinan berkencan, jika ini bisa disebut kencan, dengan seorang perwira dari kesatuan itu. Bukan laki-laki bule sembarangan. Sebenarnya sejak awal pertemuan kami, kesanku padanya adalah dia teramat tampan. Terkadang Erick tampak begitu bersinar, berwibawa, dewasa, terlebih ia sangat .. Jantan. Aku tidak boleh memalukan ketika bertemu dengannya.

Jadi setelah tiba di barak aku segera mandi, membersihkan diri secara total sebelum mengenakan jeans ketat dan kaos kuning pas badan. Butuh waktu bagiku untuk memilih pakaian apa yang layak untuk kupakai. Kami tentara militer wanita tidak terbiasa dandan berlebihan. Tuntutan tugas malah meminta kami berpenampilan sporty layaknya kaum laki-laki. Namun untuk urusan ini, kami tetap seorang wanita. Kodrat kami menjadi feminin. Kami diharuskan tampil rapih dan enak dipandang saat bertemu lawan jenis dalam keadaan apa pun. Tidak terkecuali pertemuan malam ini, tentu saja aku ingin menjadi cantik di mata seorang perwira bule tampan.


Aku sadar jeans ketat yang kukenakan, pasti memamerkan salah satu aset tubuhku yang paling berharga, yaitu pinggul lebar dan bokong bulat sempurna akibat disiplin melakukan jogging dan berenang. Bisa saja perwira tampan menganggapku sebagai wanita murahan akibat jeans ini. Namun demikian, sekali-kali aku ingin menunjukkan lekuk tubuh kepada seorang laki-laki yang menerbitkan ketertarikan di hatiku. Begitu pula dengan kaus kuning ketat yang membalut bagian atas tubuhku. Kaus ini memamerkan lengan serta leher jenjangku secara jelas. Aku ingin dia dapat melihat bagaimana keeksotisan kulit cokelatku bersanding dengan tubuh kencang yang kumiliki.

Tubuhmu memang indah, Dewi. Kamu harus lebih menghargai dirimu sendiri. Kamu itu cantik, sexy dan memiliki tubuh idaman setiap wanita. Lebih percaya dirilah di hadapan Erick! Lagi-lagi, nama itu muncul di benakku. Aku sudah menjadi tergila-gila rupanya.

Segera kutepis semua pikiran dan memandang sekeliling. Sebagai perwira pertama, aku mendapat jatah kamar berdua bersama sahabatku, Susi. Sedari tadi aku belum melihat batang hidungnya. Kalau tadi pasukan kami bertugas ke Conakry. Susi mendapat penugasan di tempat lain. Kami jarang bisa bertemu kalau sudah ditugaskan oleh Pimpinan.

Karena kami cuma tinggal berdua sudah menjadi tuntutan bagi kami untuk mengabarkan apabila ingin pergi di malam hari. Aku mengambil sebuah ballpoint lalu menulis pesan pada secarik kertas yang kuletakkan di atas meja kerja Susi.

Aku pergi jalan-jalan sebentar ke Ibu Kota.

Setelah itu kugantungkan kertas di papan kecil samping jendela, kemudian beranjak keluar dari kamar. Akan tetapi, baru saja melangkah keluar, seseorang mengejutkanku.

“Hei!” si amoy menudingku.

“Loh?” terkejut, kutuding balik dia.

Sore ini Susi mengenakan kemeja panjang merah dan rok berwarna senada yang membalut ketat tubuhnya. Warna merah sangat cocok dipakai oleh si Lettu Amoy, karena kulit putihnya terlihat semakin mempesona. Kalau aku tidak tahu bahwa Susi adalah seorang pasukan khusus, aku akan mengira dirinya adalah seorang model. Walaupun tinggi Susi hanya mencapai 165 Cm, sedikit lebih pendek dariku, Susi memiliki tubuh langsing dan kencang.

“Mau ke mana kamu?” serempak kami berdua menanyakan pertanyaan yang sama.

“Mau pacaran kamu, ya?” lagi-lagi kami bertanya secara serempak sambil menunjuk satu sama lain. Pada akhirnya, kami berdua tertawa terbahak-bahak. Kami seperti seorang remaja yang kepergok sedang melakukan kenakalan.

“Biar aku dulu yang bicara!” setelah puas tertawa, Susi berinisiatif. “Kamu mau ke mana?”

“Mau jalan.”

“Sama siapa?”

“Kamu mau jalan sama siapa?” tidak mau terpojok, kuserang balik dia.

“Ini giliranku yang bertanya, Wi!”

Menghembuskan nafas panjang kuanggap sebagai sebuah jawaban paling mengesalkan dariku untuk si amoy.

“Mau jalan ke mana kamu?” Susi mengulang pertanyaannya.

“Ke ibu kota.”

“Sama siapa?”

“Jangan mulai bersikap seperti penyelidik!”

“Sudah jawab! Sama teman sendiri saja main rahasia-rahasian!”

Cukup lama aku terdiam sambil menatap lekat teman sekamarku. Padahal dia sendiri sudah berdandan sedemikian cantik. Pasti dia juga mau berkencan. Dasar!

“Ayo jawab!”

“Erick!” aku menjawab sambil menundukkan kepala.

“Hah? Letkol tampan itu? Wow kamu memang playgirl, Wi. Hebat kamu!”

Kusikut pinggang teman angkatanku. “Playgirl?” ujarku dengan mata melotot. “Kamu yang playgirl!”

“Hebat kamu! bisa dapat perwira seal ganteng!”

“Kamu sendiri mau jalan sama siapa?” selidikku.

Susi merunduk malu-malu. Kakinya merapat. Kedua tangan putihnya yang terbalut kemeja lengan panjang saling bertautan di depan perut, menunjukkan sikap malu.

“Hei, jawab!”

“Billy.”

“Hah?” gantian aku yang terkejut. “Si Secret Service itu?”

“Iya,” si amoy masih saja tersipu sambil memandang ke lantai.

“Dia tidak terlihat sama sekali kemarin.”

“Tugas Billy hanya menyurvei lokasi sebelum VP datang, Wi.”

Mendengar perkataannya seperti mendentingkan lonceng di atas kepalaku. “Jangan-jangan kamu sudah jalan sama si Secret Service sejak dari kemarin?”

Susi mengangguk kemudian menjawab, “Sejak semalam kami jalan.”

Kupukul lengannya, “Kamu tidak cerita-cerita lagi!”

“Kenapa harus cerita-cerita sama kamu?” Jawab Susi sambil tersenyum. “Kamu saja tidak pernah cerita soal hubunganmu sama si Letkol.”

“Itu bukan urusanmu! Lagi pula aku tidak jadian sama dia!”

“Sama, aku juga!” jawab Susi.

“Ah, kalau kamu pasti sudah jadian!”

Si Amoy menggeleng-geleng persis seperti gadis SMA yang kepergok pertama kali pacaran, “ aku tidak jadian, Dewi!”

“Jangan bohong! Kuadukan nanti pada ibumu!”

Kami berdua sudah seperti saudari sekandung. Kehidupan di akademi telah mengakrabkan hati kami begitu erat. Keluargaku dan keluarga Susi sudah saling mengenal satu sama lain. Jika terjadi sesuatu pada Susi selama di Guiena ini, Ibunya pasti menghubungiku, demikian pula sebaliknya.

“TIdak seru kamu, Wi!” Susi merapihkan rambut pendeknya. Pesona temanku sangat alami, cukup sedikit berdandan kecantikannya langsung terpancar.

“Kamu harus ceritakan hubunganmu dan Billy, segera!”

Mendengar kalimat itu, si amoy melotot, “Sama! Kamu juga harus menceritakan kencanmu sama Letkol tampan itu! SEGERA!”

“Kalau sudah begini kamu terdengar lebih galak dariku!” pujiku kepada Susi.

“Kamu kan hanya galak pada bule saja, Wi!”

“Enak saja!”

Kuraih bahu temanku sembari melingkarkan lengan di lehernya.

“Ah, sakit tahu!” Susi memberontak.

Aku tidak pernah tega kepadanya. Sejak di akademi, Susi sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Dia selalu kujaga dari segala kekerasan kehidupan militer.

“Aku pergi dulu!” ujarku setelah melepas pelintiran di bahunya.

“Kamu mau ke mana?”

“Kan tadi sudah kubilang mau ke ibu kota, aku juga sudah menulis pesan di kamar. Kalau kamu mau ke mana sama si Secret Service?”

“Sama, mau ke ibu kota juga. Jangan-jangan kita nanti bisa ketemu!”

Tanganku melambai sebagai sebuah isyarat. “Sebaiknya jangan sampai bertemu!”

“Kenapa?”

“Bisa-bisa Billy kumaki-maki lagi nanti!”

Susi tertawa terbahak sambil memohon agar aku tidak lagi memperlakukan Billy secara kasar. Permintaan aneh. Sulit bagiku untuk memenuhinya.

Kami berpisah di pintu keluar barak kontingen Indonesia. Aku menarik napas panjang, mencoba untuk berjalan dengan tenang menuju gerbang markas pasukan perdamaian PBB, tempat yang telah dijanjikan Erick untuk bertemu denganku. Tapi semakin dekat jarakku dengan gerbang markas, semakin bergemuruh pula dada ini.

Apalagi ketika sudut mataku menangkap sosok perwira berlesung pipit telah menungguku di depan sebuah mobil Hummer hitam. “Selamat malam, Letnan Dewi, apakah ada orang yang pernah mengatakan bahwa kamu memiliki wajah yang sangat cantik?” seperti seorang gentleman, Erick meraih tanganku lalu mengecupnya dengan lembut.

Aku memandang Erick, rasa sesak di dalam dada semakin membuncah. Terlebih ketika melihatnya mengenakan kemeja putih lengan panjang yang telah ia lipat hingga siku, disertai celana bahan kecoklatan, bahkan rambutnya telah ditata lebih rapih dari biasanya. Pria berbola mata biru yang sedang berdiri di hadapanku tampak seperti seorang pangeran.

Aku tersipu, kecupannya membuatku merasa bagai seorang putri. Tapi bagi diriku, sebuah pujian selalu kuartikan sebagai pancingan. Pancingan untuk menjawabnya dengan tingkat kecerewetan membabi buta, “Kamu tidak perlu menggombaliku. Sudah jelas-jelas dusta, atau kamu memang pendusta. Kami semua orang Asia tahu selera para lelaki Amerika seperti dirimu. Kalian menyukai wanita blonde berdada dan bokong besar. Aku tidak memiliki keduanya.”

Letkol Navy Seal mengernyitkan dahi, “Faktanya bokongmu sangat hot dan kamu tidak perlu rambut blonde untuk mempunyai bokong seindah milikmu!”

“Hei, jaga mulutmu!”

“Maafkan aku,” dia tertawa. “Kamu terlalu banyak menonton film Hollywood.”

“Tapi bukankah kalian memang seperti itu?” tanyaku.

Pria berlesung pipit menggeleng sebagai sebuah jawaban.

“Masa?”

“Hollywood telah berjasa membuat citra yang salah tentang kami di mata kalian.”

Tatapan mataku memintanya melanjutkan.

Perwira kekar meraih kedua tanganku sambil berbicara dengan lembut, “Kebanyakan kami tidak suka dengan wanita yang kamu gambarkan tadi. Sebaliknya kami sangat suka wanita bertubuh alami. Wanita yang memiliki warna kulit seeksotis dirimu adalah impian bagi kami.”

“Jadi maksudmu menjadi impian bagi kebanyakan pria, tapi tidak bagimu. Begitu kan?”

“Kamu itu sangat cerdas, Letnan.” Katanya sembari tertawa lebar. “Seluruh kalimat yang kuungkapkan diproses cepat sekali oleh pikiranmu, lantas kamu balikkan kepadaku dalam hitungan detik.”

“Itulah kenapa mereka bilang Lettu Dewi adalah seorang wanita yang cerewet,” mataku menghindar dari tatapan perwira tampan.

“Tidak!” tukasnya. “Bagiku, kamu adalah seorang wanita impian.”

Perkataan Letkol tampan bisa membuat setiap wanita tersipu. Tidak terkecuali, diriku. Seandainya Erick jeli, pasti melihat pipiku telah merona merah karena malu. Hanya saja aku adalah tipe wanita yang tidak mudah menyerahkan perasaan pada lelaki, apalagi menunjukkan bahwa aku tengah tersipu. “Hentikan segala gombalanmu! Kamu berhutang padaku!” sambil melepaskan genggaman kedua tanganku padanya.

“Tentu saja,” pria berbola mata biru tersenyum simpul. Lesung pipit dan belahan dagunya ketika tersenyum membuatnya terlihat makin mempesona.

“Kamu berhutang sangat banyak kepadaku.”

Sure. No worries. Akan kubayar semuanya.”

Kepalaku menggeleng, “Kamu pasti kewalahan membayar hutangmu.”

“Mmm. I will try.”

“Janji yang sebelumnya saja sudah gagal kau tepati.”

Letkol Navy Seal mengangguk.

“Apa jaminan kalau kamu tidak akan ingkar janji lagi?”

“Kami punya sebuah pepatah di Coronado.”

Tatapanku serius menyimak baik-baik perkataannya.

“Untuk menjadi seorang pasukan singa laut, kami harus melalui setiap tantangan satu demi satu.”

Wajah bingungku memintanya melanjutkan. “Artinya kita tidak boleh berpikir terlalu jauh. Walaupun tantangan kehidupan sangatlah banyak. Kita hanya harus menjalaninya satu demi satu. Malam ini adalah malam pertama aku berusaha melunasi hutang kepadamu!”

Aku terpana. Biasanya bibir ini akan cepat sekali merespon. Sering kali tanpa berpikir. Kini bibirku terdiam seribu bahasa menyimak ucapannya.

“Bagaimana kalau kita jalan saja sekarang, Cantik?” katanya sambil meraih kembali tangan kananku dan melingkarkannya di lengan. Gerakan sang Letkol tampan sangat lembut dan penuh penghormatan. “Kita nikmati malam ini bersama. Aku akan berupaya menepati janjiku kepadamu. Bagaimana?”

“Terdengar seperti sebuah rencana meyakinkan, tapi kalau kamu ingkar janji lagi. Surely I will kick your ass.”

“Sepertinya dalam kehidupan sebelum ini, kamu memang terlahir sebagai wanita Amerika.”

Sambil cemberut, aku menjawab, “Kiss my ass!

“Oh tentu, aku akan menciumi setiap senti bokongmu, Sexy!”

Mataku membelalak, rupanya ucapanku sudah menjadi bumerang. Aku benar-benar tidak bisa membalas kata-kata pria jantan di sampingku.
 
Terakhir diubah:
BAB 5





Erick menghentikan laju mobil tepat di depan lobby hotel Sheraton Grand Conakry. Sebuah Hotel mewah di ibu kota. Hotel ini langsung menghadap Teluk Sarangeya. Kesan mewah kudapatkan begitu pertama kali kuinjakkan kaki di hotel ini. Bangunannya terlihat modern, sangat luas dan kokoh di tengah nuansa kehidupan kota yang menjunjung tinggi keetnikan Afrika Barat.

Begitu pulih dari ketertarikanku pada bangunan hotel, pria berlesung pipit ternyata telah berdiri membukakan pintu mobil untukku. Penuh aura kejantanan dia mendekat, aroma napasnya melintas dengan perlahan ketika wajahnya hanya berjarak beberapa centi di hadapanku. Mataku terpejam, kedua tanganku mencengkeram erat tali seatbelt, bersiap untuk menerima sebuah ciuman yang mungkin akan ia daratkan. Tapi Erick hanya tertawa pelan, sang Letkol Navy Seal hanya berusaha membantuku melepaskan ikatan seatbelt.

Malu dengan pikiran kotorku sendiri, pada akhirnya aku hanya dapat berjalan dengan cepat memasuki lobby hotel, berusaha meninggalkannya yang sedang berurusan dengan petugas valley.

“Kenapa terburu-buru?” Erick tersenyum tipis sambil meraih tanganku.

“Aku lapar.” Jawabku sekenanya yang membuat Letkol tampan tertawa lebar.

“Cocok sekali, kalau begitu, ayo kita makan!”

Ternyata dia sudah memesan sebuah meja di bagian outdoor restoran hotel. Restoran ini bersebelahan dengan kolam renang sehingga kami bisa menatap pemandangan kolam renang dan lautan lepas sambil bercengkrama. Meja yang dipesan berposisi terbaik. Jauh dari tamu lain serta memungkinkan kami memandang laut secara utuh.


Perwira kekar menarik kursi untuk kududuki, kami duduk berhadap-hadapan sehingga diam-diam aku merasa puas dapat memandang wajahnya dengan jelas. Seorang pelayan datang membawa menu makanan. Nama-nama makanan dan minuman yang tertera pada daftar menu terlihat sangat asing bagiku. Aku sungguh-sungguh tidak tahu harus memesan apa.

Letkol Erick tampaknya paham melihat kebingunganku. Dia memilihkan makanan bernama “Yetisse” berbahan dasar tuna bertabur rempah-rempah alami, serta segelas jus jeruk segar. Dia mengatakan makanan ini mungkin cocok dengan lidahku. Aku langsung setuju. Lagipula apapun makanannya, semua akan tercerna di dalam perut.

Setelah itu pelayan pergi meninggalkan kami berdua dalam cahaya temaram lampu restoran dan alunan musik instrumental city of stars . Aroma laut dan wewangian bergamot bercampur bunga marigold khas Afrika Barat membuatku menikmati momen intim yang disajikan.

“Aku selalu suka laut,” Letkol tampan berbola mata biru memulai percakapan.

“Aku juga,” jawabku sambil memalingkan wajah menatap lautan lepas.

Gelombang laut saling berkejaran dalam pantulan sinar bulan memberikan kenyamanan tiada terkira.

“Di negaraku, kami suka dipaksa berenang malam melintasi lautan,” tanpa mengalihkan pandangan, bibirku mencoba mencairkan suasana.

Erick mencodongkan tubuh. “Serius? Kupikir hanya kami yang dipaksa berenang malam di laut.”

“Hei, bukan hanya kamu yang Seal. Aku juga. Lihat lenganku, kencangkan? Ini akibat berenang terus di lautan,” sengaja aku memamerkan lengan kecoklatanku yang terbuka karena baju kuning ketat ini.

Perwira kekar mengangguk sambil tertawa, “Belum pernah kulihat lengan wanita seindah ini.”

“Erick, kenapa kamu suka sekali menggombal. Berapa banyak wanita yang sudah jatuh ke pelukanmu?”

“Hmmm. Sangat sedikit.”

Bullshit!” dengusku sambil menyandarkan diri ke kursi.

“No. Ini jujur. Aku bukan stereotype laki-laki Hollywood yang biasa kamu lihat di bioskop.” Letkol Erick tidak merubah posisi. Tubuhnya mengarah padaku, seolah seluruh panca inderanya benar-benar tertuju hanya untukku.

Saat dia duduk sedekat ini, aku dapat mencium aroma parfum yang sama seperti hari itu. Hari ketika dia menciumku. Aroma itu selalu terngiang-ngiang dan tersimpan dalam memoriku. Wangi samarnya membangkitkan kenyamanan, namun juga menggelitik indera perasa untuk berusaha mengetahui lebih dalam tentang karakter seorang pria yang duduk tepat di hadapanku.

“Bagiku, laki-laki Amerika itu persis seperti film Hollywood.” Jawabku berupaya memajukan posisi duduk agar lebih erat mencium aroma maskulinnya.

“Berarti kamu salah, Dewi. Kami tidak seperti itu.”

“Kamu tahu? Aku bukan tipe wanita yang mudah dibohongi oleh ucapan bullshit laki-laki. Jangan coba-coba menipuku seperti sebelumnya, aku bisa ...”

“Bisa apa?”

“Bisa menendang bokongmu!”

Erick tertawa lebar. Rangkaian gigi putih bersih berderet rapih terlihat jelas ketika dia berkata, “Selain senior, tidak pernah ada orang lain yang berani berkata ingin menendang bokongku.”

Aku terbatuk mendengar ucapannya, aku benar-benar lupa pada kenyataan bahwa perwira kekar ini memiliki pangkat lebih tinggi dariku. Mungkin rona kekaguman Erick padaku terpancar begitu kuat dari tatapan matanya, sehingga membuatku sedikit lupa diri. Belum pernah ada sosok pria yang mengarahkan semua fokus perhatian hanya kepadaku seorang, terutama ketika ia sedang berbicara. Tidak ada ponsel, pemandangan laut, atau irama jazz, bahkan deru ombak yang bisa mengalihkan pandangannya dari menatapku.

Kedatangan seorang pelayan berdasi kupu-kupu mengantarkan makanan dan minuman yang menjeda perbincangan kami. Setidaknya pelayan ini datang di saat yang tepat, sehingga dia melupakan ucapanku yang ingin menendang bokongnya.

“Ayo kita makan!” seruku berupaya meredakan desir emosi di dalam hati.

Lidahku berupaya mencecap rasa daging ikan tuna yang dilumuri oleh rempah-rempah alam. Tampilan Yetisse hampir mirip dengan kari dengan saus berwarna cokelat. Kombinasi asam dan gurih, serta tekstur lembutnya tuna menyeruak begitu suapan pertama tiba di mulutku.

“Kamu tidak makan?” tanyaku heran melihat laki-laki di depanku hanya diam menatapku tanpa menyantap hidangan.

“Aku senang melihatmu makan.”

“Kamu tidak pernah melihat wanita makan sebelumnya?”

“Pernah. Tapi tidak secantik kamu.”

“Apa pun kata-kata gombal yang kamu ucapkan, jangan pernah berharap aku akan menghapus hutangmu!” aku berusaha membelokkan rayuannya. “Membawaku ke sini kuanggap belum cukup melunasi hutangmu.”

“Tentu. Oleh karenanya aku telah menyiapkan tawaran lain.”

Tanpa menunggunya menyelesaikan kalimat, aku menudingkan garpu ke wajahnya sambil bicara, “Kamu mau membelikan aku baju, emas, berlian, mobil? Letkol kamu harus berupaya lebih daripada itu guna melunasi hutangmu.”

Erick tersenyum lalu berkata, “Dewi, aku belum terpikir membelikanmu semua benda tadi untuk melunasi hutangku. Tapi setelah kamu mengutarakannya, aku akan mencatatnya dalam list benda yang harus kubelikan untukmu nanti.”

Garpu yang menunjuk lantas kuturunkan sambil melontarkan pertanyaan, “Jadi apa yang kamu usulkan untuk melunasi hutangmu?”

Letkol tampan terdiam sejenak. Dia menyandarkan punggung ke kursi, menarik nafas panjang sebelum berujar, “Untuk mengetahui cara pelunasan hutangku, kita harus naik ke lantai teratas hotel ini.”

Aku mendelik, “Kenapa harus ke lantai teratas?”

“Karena hanya di atas sana kita dapat menikmati pelunasan hutangku.” Erik menatapku serius. Wibawa seorang perwira pasukan khusus jelas terpancar di dalam dirinya.

Ucapannya membawa gelombang rangsangan mengejutkan ke dalam labirin pikiranku. Berbagai kemungkinan tentang apa yang akan dia lakukan berputar-putar di kepalaku. Apalagi pria berbola mata biru berbicara sambil menatap kedua mataku lekat.

Jarang aku kalah dalam adu tatap melawan seorang laki-laki.

Akan tetapi kini melihat sebuah tatapan yang kurasakan penuh kesungguhan membuatku tertunduk. Sebagian diriku tersipu.

“Bagaimana menurutmu, Dewi? Ini hanya sebuah awal dari pelunasan hutangku kepadamu.”

Aku masih terus menunduk, tidak tahu harus berkata apa.

“Cantik.” Erik berupaya menjalin kontak mata kembali. Ia menggunakan jemari menyentuh daguku hingga tatapan kami saling bertemu. “Apakah kamu bersedia?”

Meskipun malu, aku berusaha menatap Letkol tampan di hadapanku. Dia bisa menggombali setiap wanita dengan mulutnya. Tapi wanita menentukan menerima atau tidak gombalan itu, bukan dari telinga tapi dari tatapan serta hatinya. Aku adalah wanita yang peka di kedua indera itu.

Ketika menatap mata perwira kekar, aku dapat melihat sebuah kesungguhan diiringi keberanian luar biasa. Mata yang jujur, tidak ada kebohongan di dalamnya. Hatiku pun mengamini apa yang diantarkan oleh indera penglihatan. Semakin kuselami tatapannya, hatiku terus mengatakan bahwa pria ini bersungguh-sungguh. Dia benar-benar memujaku.

Lantas aku harus bagaimana. Apakah aku harus menerima permintaannya begitu saja?

Pikiran kewanitaanku segera terjebak dalam sebuah dilema. Segala nalar, argumentasi, opini membisu dalam gua bernama hati.

Kami para wanita ketika terjebak dalam sebuah dilema akan selalu kembali kepada kelembutan perasaan dari dalam hati. Kelembutan ini membentuk kodrat feminin. Sayang sisi kelembutan ini sering dimanfaatkan pria untuk melakukan tipu daya agar si wanita terjebak masuk ke dalam perangkap.

“Dewi bagaimana? Apa kita harus ke lantai atas sekarang? ” dia bertanya lagi.

Kepalaku kembali tertunduk.

Aku sangat bingung.

Sebagian diriku terus menolak dan memberontak. Tapi aku tidak akan mengabaikan penilaian mata sendiri yang tidak pernah berbohong.

“Cantik.”

Diselimuti oleh dilema besar, pada akhirnya aku memutuskan mempercayakan segalanya pada mata dan hatiku.

Sambil terus menunduk, aku menganggukkan kepala dan menjawab, “Baiklah ... Aku bersedia.”

What the hell, Dewi. Kamu benar-benar tolol.



BAB 6


Erik membawaku ke lantai teratas hotel Sheraton Grand Conakry. Perwira kekar menggandeng tanganku di sepanjang perjalanan kami, bahkan ketika berada di dalam lift dia sama sekali tidak melepaskan genggamannya.

“Kuharap kamu bersedia menutup matamu sekarang dan tidak membukanya sampai kuizinkan.” Erick memandangku, bibirnya tertarik ke atas membuat lesung pipitnya semakin tampak jelas.

“Kenapa?”

“Tidak akan seru kalau kuberitahu sekarang. Jadi, ayo tutup matamu!”

“Kalau begitu jangan lepaskan genggamanmu. Aku tidak mau tersandung.” Akupun memejamkan mata, tentu saja irama jantungku sekencang detak jantung pelari marathon. Otakku terus mengingat-ingat apakah pakaian dalam yang kukenakan adalah pakaian dalam terbaikku? Serta memikirkan sudahkah aku membersihkan bulu-bulu di seluruh tubuh? Sial! sejak kapan pikiranku menjadi begitu mesum?

Lift berdenting cukup kencang, menandakan bahwa kami telah sampai di lantai teratas hotel. Erick menuntun jalanku dengan perlahan. “Ingat, jangan mengintip!” tukasnya ringan.

“Hah, aku bukan pembohong sepertimu!” jawabku dengan jantung yang semakin berdebar.

Dia berhenti sejenak, Aku mendengar suara kunci pintu otomatis yang terbuka. Letkol Erick memapahku masuk lebih jauh, tentu saja hanya dia yang dapat melihat ruangan apa yang sedang kami masuki. Tidak lama kemudian dia melepaskan genggamannya. Langkah kakinya terdengar menjauh.

“Erick?” tidak ada jawaban. Aku hanya dapat merasakan hembusan angin lembut menerpa rambutku.

“Aku tidak suka ini, jangan lepaskan genggamanmu!” aku masih memegang janji untuk tidak membuka mata. Kali ini selain hembusan angin, aku dapat mencium aroma benda terbakar, diikuti oleh suara desiran.

“Dewi, buka matamu sekarang!” akhirnya aku dapat mendengar suaranya kembali. Aku membuka mata dengan perlahan, cahaya berwarna-warni diikuti dengan suara ledakan merdu membuatku takjub. Bunga-bunga api meledak di udara, membentuk dandelion api, terkadang berbentuk bunga peony dan chrysanthemum. Tanpa sadar senyuman merekah di bibirku. Sudah lama, aku tidak melihat kembang api, dan pria tampan di hadapanku membawakan keindahan ini khusus untukku seorang. Rasa hangat seketika menjalar di dalam dadaku.

Rupanya dia menuntunku menuju balkon kamar president suite hotel untuk sebuah pertunjukan kembang api. Mendadak aku menjadi malu pada pikiranku sendiri. Erick tersenyum begitu menawan, ia berjalan menghampiri dan memberikan sebuah kembang api.

“Ayo nyalakan sumbunya!” perintahnya.

“Kamu yakin? Apa kita boleh main kembang api di sini?” tanyaku sambil mengamati pemandangan sekitar.

“Tentu, kamar president suit ini sengaja kupesan untuk kita! Di balkon sini kita boleh bermain kembang api sepuasnya. Ayo nyalakan!”

Aku menyalakan kembang api. Bagaikan kembali ke masa kecil di tempat kelahiran di daerah Jawa, aku berjingkrak-jingkrak riang. Saat kecil aku terbiasa bermain kembang api bersama teman-teman. Pria berkemeja putih itu berdiri membelakangi kembang api. Cahaya berkilat-kilat seakan membuat sang perwira tampak seperti sosok malaikat yang turun dari langit. Tanpa sadar aku tersenyum sambil menikmati benar suasana langit malam yang tercerahkan oleh kombinasi warna dari letupan kembang api.

“Kamu senang?” tanyanya sambil memelukku dari belakang.

Sesaat aku berusaha berontak. Namun segala nuansa romantis yang telah terbangun membuatku tunduk dan menjawab, “Aku suka kembang api.”

“Kebanyakan anggota militer pasti suka kembang api.”

“Kenapa begitu?” aku menoleh. Postur tubuh tinggi besar perwira kekar membuatku merasa aman berada dalam pelukannya.

“Nyala kembang api membuat setiap tentara tidak takut melihat ganasnya ledakan mesiu di medan perang. Suara ledakan kecilnya membuat letupan senjata menjadi tak berarti.”

Erick meraih daguku dan mengecup ringan sudut bibirku. Tubuh tingginya membuat sang perwira tidak kesulitan untuk menciumku dari belakang. Perlahan ciuman ringan berubah menjadi ciuman mesra yang penuh dengan cinta dan gairah. Bibir kami kembali saling melumat, terkadang menghisap.

“Apakah kamu pernah takut menjadi seorang tentara wanita?” ia bertanya setelah melepas ciumannya.

“Pernah,” jawabku jujur.

Erick mengelus bahu dan lenganku menggunakan lengan kekarnya. Bibirnya menciumi tengkuk jenjangku sambil sesekali menghirup aroma tubuhku.

“Apakah kamu pernah berpikir untuk berhenti jadi tentara?”

“Tidak,” jawabku yang mulai mendesah pelan. Dari belakangku, kedua tangan Erick mulai berani menyentuh dadaku sambil berupaya memelukku penuh kasih sayang.

“Kenapa?”

“Aku harus menjadi seorang wanita pemberani!”

Letkol Navy Seal kemudian mencium leherku. Lidahnya menari-menari, aku memiringkan leher, memberi akses luas baginya untuk mengeksplorasi leherku di tengah kembang api yang perlahan mulai padam.

“Aaaahhhhhh,” desahku lirih.

“Aku suka padamu, Dewi!” gumam Erick.

Aku kesulitan menjawab. Sensasi leherku yang terus dikecup membuatku merinding. “Kenapa kau menyukaiku?” tanyaku setelah berusaha keras mengendalikan nafsu yang mulai bangkit.

“Aku suka wanita pemberani!”

Erick membalik tubuhku sehingga tubuh kami saling berhadapan. Perlahan dia mulai melumat kembali bibirku dengan ciuman dan hisapan paling menggoda. Untuk beberapa saat ia bermain-main dengan bibir bagian bawahku, terkadang ia menghisap, menggigit, atau membasahi dengan bibir hangat miliknya. Kami berciuman mesra sekali. Begitu lama. Seakan langit Conakry menjadi saksi panasnya percumbuan di antara kami.

Saat ciuman kami terlepas, aku memandang pria berbola mata biru dengan lekat. Tanganku menggapai kedua sisi wajahnya, dan tanpa berpikir panjang mulai menciumnya lagi, terus dan terus menciumnya tanpa henti. Hingga hanya deru napas kami yang terdengar setelah kembang api terakhir berhenti meletuskan keindahan di tengah langit malam.

“Dewi, apa aku boleh bertindak lebih jauh? Kalau kamu mengizinkannya, aku akan membayar hutang yang kujanjikan padamu.”

Aku mengangguk pelan, seketika dia melingkarkan lenganku di lehernya, lalu mengangkat tubuhku. Kedua kakiku mengapit erat pinggang Erick. Sang perwira menggendongku tanpa melepas ciuman kami. Setelah tiba di kamar utama, pria berlesung pipit mendudukkanku di tepian ranjang, lalu dengan sebelah tangannya, dia melepaskan kausku. Erick lantas mendaratkan ciumannya pada telingaku, leherku, dan di antara kedua payudaraku. Jejak panas tertinggal di setiap titik tubuh yang ia cium, dan aku menyukai semua yang dilakukannya padaku.


“Dewi, aku ingin memijatmu!” Erick melepaskan ciuman kami dan membaringkanku di atas ranjang berukuran king size. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku. Aku benar-benar malu menyadari bahwa Letkol Erick terkesima menatap tubuhku, bahkan berkata ingin memijatku.

Pria berbola mata biru menurunkan kedua tanganku sambil tersenyum menggoda, “Kamu mau, Sayang?”

“Aku ... mau. Tapi tolong jangan ledek bentuk tubuhku.” Aku menutup wajah sekali lagi.

“Percayalah padaku, lagipula tubuhmu sudah terlihat setengahnya, dan aku benar-benar menyukai setiap lekuk tubuhmu. Jangan menutup wajahmu. Aku ingin melihat wajah cantikmu.” Jawabnya singkat. Kali ini aku memberanikan diri menatap wajahnya

Perwira kekar lantas melepaskan celana jeans dari tubuhku. Aku nyaris telanjang, hanya tersisa bra dan g-string putih yang membalut tubuhku.

Erick tampak terpana melihat tubuhku. Mataku tidak pernah berbohong. Aku melihat tatapan mata laki-laki penuh gairah. Bukan tatapan kekecewaan yang sebelumnya kuprasangkai.

Di balik cahaya temaram kamar, aku dapat melihat Erick menelan ludahnya, matanya tertuju pada pinggul dan bokong bulatku. Dia terlihat bergairah. Tatapannya menjelajahi tubuhku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ketika tatapan matanya tiba di kedua bukit payudaraku yang masih terbungkus, dia berkata, “Dewi, tubuhmu sangat indah! Aku, sangat beruntung.”

Payudaraku membusung dan berukuran alamiah. Saat aku bernafas, kedua bukit payudaraku mengembang mengempis berikut kedua puting tegak menantang. Perwira kekar semakin kagum menetap kedua buah surgawiku.

Perlahan aku mulai mendapat kepercayaan diri setelah menyadari bahwa Erick benar menganggapku sebagai wanita bertubuh sempurna. Tidak akan kusia-siakan kepercayaan diri yang mulai bangkit, “Aku juga mau kamu membuka pakaianmu!”

“Apa?”

“Aku tidak mau telanjang sendirian!”

“Baiklah.”

Sedikit tergagap, dia membuka kemeja putih yang membalut bahu lebarnya. Setiap kali Erick melepas kancing kemeja, dada bidang tergurat kokoh ditemani otot trapesius melingkar di pundak semakin tampak jelas. Aku menahan napas menyaksikan pemandangan itu. Ketika Erick menjatuhkan kemejanya, aku dapat melihat perut six pack tergurat sempurna yang menunjukkan bahwa tubuh laki laki jantan ini sangatlah terlatih.

Dengan dua gerakan, celana bahan cokelatnya telah terlepas. Kini perwira kekarku hanya tinggal mengenakan boxer berwarna hitam. Aku dapat memandang penisnya yang sudah ereksi dari balik boxer itu. Sedikit malu melihat batang kejantanan laki-laki berdiri sempurna. Aku mencoba mengalihkan pandangan. Kutatap kedua paha pria berlesung pipit, kulihat paha yang sangat kokoh. Sepasang kaki terlatih. Kaki seorang anggota pasukan elite.

Setelah kami berdua sama-sama dalam kondisi nyaris telanjang, dia maju mendekatiku. Tubuh kami saling menempel di atas ranjang. Tanpa pakaian, aroma kayu bercampur bunga irish khas Erick segera membuat khayalanku terbang tinggi. Aku begitu terpesona menatap tubuh kekar seorang pejantan. Kulitku ingin segera bersentuhan dengannya.

Erik menggengam tanganku. Aku balas genggamannya. Begitu erat sampai kami seperti tidak ingin terpisahkan satu sama lain. Wajah kami saling bertatapan. Mencoba saling menghantarkan rangsangan visual. Perlahan dia mendekat sambil merunduk. Diikuti oleh upayaku untuk mendangak. Tinggal satu centi lagi, kami sudah siap saling berpagutan. Nafasku berhembus semakin cepat. Dia pun demikian.

Akan tetapi Erick justru menjauhkan tubuh dan mengendurkan pegangan kami, “ bagaimana kalau kita mulai saja sesi pijatan kita?” ujarnya masih dalam kondisi nafas memburu.

“Baiklah.” Jawabku sedikit kecewa sembari mencoba mengatur nafas.

“Berbaringlah dalam posisi tengkurap, Cantik. Aku akan memijat bagian belakang tubuhmu!”

Aku pun mengubah posisi tubuh menjadi tengkurap.

Erick sudah mempersiapkan semua. Aku tinggal membaringkan kepala dalam posisi menyamping. Kedua tangan kurebahkan di dekat kepala. Hidungku mencium wewangian vanila. Aromanya membangkitkan libidoku. Membuatku merasa sangat nyaman. Menghantarkan desir birahi ke bagian tubuh lainnya.

Letkol tampan kemudian menuangkan minyak beraroma vanila sambil mengusap-usap kedua telapak tangannya guna menimbulkan efek hangat. Benar saja, ketika Erick meletakkan telapak tangannya di atas kulitku, telapak tangannya terasa sangat hangat. Dia mulai memijatku secara lembut namun kuat dengan tenaga meningkat secara bertahap. Diawali dari kedua telapak kaki, perwira kekar mulai naik menyentuh tungkai kaki, kemudian perlahan menuju betis. Rasa lelah akibat beban pekerjaan sehari-hari membuatku senang sekali mendapat pijatan ini. Apalagi tangannya seakan mampu mencari urat-urat kaki yang tersumbat sembari melancarkan peredaran darah di sana.

Sejenak berlalu dari betis, Erick membuka kedua kakiku agar melebar. Dia bergerak menyentuh paha. Setiap sentuhan tangannya menimbulkan kehangatan yang membuat desiran bergejolak dan membuatku menginginkan lebih. Namun Letkol Erick benar-benar memanfaatkan waktu untuk bermain-main dengan tubuhku. Warna kulit cokelatku kurasa menjadi daya tarik lebih. Dia jadi betah berlama-lama karena warna kulitku membangkitkan imajinasi liar tersendiri baginya.

Pada sisi sebaliknya hal yang sama pun tengah kurasakan. Ketika pijatannya mulai merambah paha, tanpa tertahan desahan keluar dari mulutku, “Aahhh.” Sebuah erangan perlahan.

Mulutku tidak sanggup menyembunyikan lagi apa yang pori-pori kulitku sendiri rasakan. Setiap gesekan tangan perwira kekar di kulitku membawa kenikmatan. Bagai gesekan penuh ransangan birahi yang mengantarkan gelombang kenikmatan bergerak dari kaki kemudian naik ke kepala secara bertahap. Begitu panas, hingga aku tidak ingin tangan itu terlepas dari setiap bagian tubuhku yang disentuh olehnya.

Tangan Erick merambati tubuhku dengan godaan ternakal. Tiga kali tangannya sengaja hinggap di garis g-string putih guna menggodaku.

“Aaaahhhh,” responku setengah berteriak ketika tangannya hinggap di area kewanitaan yang telah tercukur bersih. Kupikir setelah asyik memijat paha, pijatan Letkol Navy Seal selanjutnya adalah hinggap di bokong bulatku. Tapi ternyata dugaanku salah. Mungkin dia ingin menyimpan itu untuk nanti. Alih-alih menuju bokong, Erik lebih memilih naik jauh memijat bahuku kemudian turun ke punggung.

Baluran hangat minyak beraroma vanilla yang melekat di punggung membuatku semakin terangsang. Selain itu aroma parfum ini benar-benar membangkitkan libido. Semakin lama kuhirup makin bangkit gairah seksual di dalam diri.

Erick cukup lama memijat area punggung. Dia kemudian berujar pada saat memijat bagian di antara tulang belikat, “Bokong yang sempurna. Bolehkah aku mencium bokong ini, Cantik?”

Sebuah desahan lembut dariku menandakan kepadanya agar melanjutkan. Tanpa menunggu, bibirnya mulai menciumi bokong bulat kebangganku. Aku merasa sangat dicintai sekaligus tersanjung mendapat ciuman dari lelaki sempurna ini tepat di bokongku yang menonjol. Pria berbola mata biru menciumku secara perlahan, terkadang ia menjulurkan lidah menjilati kulitku. Setiap sentuhannya membuat area kewanitaanku terasa kembang-kempis menahan hasrat untuk segera disentuh.

“Maaf,” kata perwira kekar di sela-sela penjelajahannya. “Bolehkah aku menampar bokongmu, Dewi? Bokongmu sangat menggemaskan.”

“Bo ... Boleh,” jawabku.

“Maafkan aku, ya.”

Dia meminta maaf sekali lagi sebelum menampar keras bokongku.

“Aggghhhhh,” aku meraung ketika tamparannya di bokongku terasa perih namun nikmat .

Kemudian berturut-turut dia menampar pantatku lagi.

Raunganku semakin nyaring. Tanganku mulai bergerilya meremasi seprai, mencoba mengendalikan ledakan rangsangan akibat tamparan keras itu.

“Sakit, Sayang?” bisik Erick di telingaku.

“Uuuhhh, no.”

“Aku akan menampar lagi, tapi sekarang akan lebih lemah tenaganya.”

“Eheeem,” gumamku.

Letkol Erick menamparku lebih pelan. Kemudian lagi, dan lagi.

No!” kuhentikan dia.

Pria berlesung pipit mencium telingaku sambil bertanya, “Hmm kenapa, Dewi?”

No! Slap me harder.” Ujarku. “Slap my ass harder!”

Erik menciumku lembut kemudian berkata, “Kamu mau aku menampar keras bokongmu?”

Yes!”

Naughty girl!” ujarnya sebelum mulai menampar keras. empat tamparan lagi kuterima, betul-betul membuatku terangsang hebat. Aku mendesah sangat keras sambil menarik kencang seprei tempat tidur.

“Bolehkah kulepas g-stringmu, Sayang? Aku ingin lebih bebas menampar bokongmu?”

“Uhhuuhh boleh.”

Aku membuka kaki lebih lebar. Untuk membantunya, bokongku sedikit menungging tinggi.

Alih-alih menggunakan tangan. Erick menggigit tali g-string di pinggangku kemudian menariknya turun, gerakannya terasa sangat sensual. Kepalaku tertengadah semakin terangsang saat bibirnya sesekali menyentuh kulitku ketika menurunkan g-string dengan perlahan-lahan.

What a wonderfull pussy.” Letkol tampan terkesima melihat vaginaku yang bersih tanpa rambut setelah berhasil melepaskan g-string. “Nice color. Very tight. Very wet. Bolehkah kamu lebih menungging, Dewi?’

“Kenapa?” tanyaku dengan nafas memburu.

I want to lick your pussy!”

“Ahhhhh!” mendengar kalimat itu saja sudah hampir membawaku klimaks.

Erick lantas membantuku menungging hingga kedua kakiku terlipat, dengkulku menumpu pada matras yang lembut, sedangkan kedua tanganku terlipat menahan kepala.

“Aku bisa seharian menjilati pussy seindah ini.”

“E ... Rick ... Aahh!”

Jilatan lidah lembut itu akhirnya menyeruak menyentuh area kewanitaanku. Pria berlesung pipit pintar sekali mengolah area kewanitaanku dari kulit luarnya kemudian mulai menggarap bagian inti terdalam. Lidah Erik bergerak dengan sangat bersemangat terkadang menusuk, menghisap, dan menjilat, membuat klitorisku berdenyut menikmati rangsangan luar biasa ke sekujur tubuh. Tubuhku merasakan frustasi luar biasa terutama puting payudaraku yang menegang menginginkan sentuhan.

“Erick ... Ahh ... Dadaku ... Ah!” aku menginginkan Erick menyentuh payudaraku, tapi rangsangan yang begitu hebat menelan kata-kataku. Kadang kutarik kencang seprai tempat tidur, atau kujambak rambut pendekku menggunakan kedua tangan penuh rasa frustasi dibalut kenikmatan sekaligus. Pada akhirnya perwira kekar memahami isyarat rintihanku. Kedua tangannya menyusup ke bawah mulai meremas payudaraku yang masih terbalut bra tipis. Dia meremasnya dengan kuat, jari tengah serta telunjuknya terkadang memutar puting payudaraku.

“Erick….” aku meraung memanggil namanya.

Yang kupanggil tidak menjawab. Dia menjilatiku semakin cepat sebagai sebuah jawaban.

“Aku mau sampai, Sayang … Oooh shiit …! I’m gonna cum!”

“Sabar, Dewi!”

Laki-laki tampanku tiba-tiba menghentikan jilatan.

Dia menjauh.

Aku hanya bisa menyorongkan pussyku gusar minta dilanjutkan karena sudah hampir tiba pada titik klimaks.

“Tidak .... Jangan berhenti ... Kumohon!”

“Aku akan menjilatimu, tapi hanya dengan satu syarat.”

“Apa itu … Oh my God ...! Apa syaratmu?”

“Teriakkan namaku!” jawabnya.

“Fuck …! Apa?”

“Teriakkan namaku saat kamu klimaks. Kamu bersedia?”

“Ya … Aku bersedia..”

Dan perwira tampan kembali menjilatiku. Jilatannya lebih dalam, lebih cepat dari sebelumnya. Bahkan ketika dia sudah puas menjilati pussy, lubang anusku menjadi sasaran jilatan berikutnya.

“Ooh fuckkk, Honey! Yesss!”

Tanpa sadar kedua tanganku menjambaki rambut sendiri. Rasanya begitu luar biasa. Kepalaku pusing tujuh keliling seakan merasakan seluruh aliran darah yang semula tersebar berkumpul di klitorisku kemudian berpindah ke area bokong, lalu beralih ke g-spot yang siap meledak dalam hitungan detik.“Ahh .... Aahhh ... Aahh ...”

Tubuhku bergetar, desir hebat merambat dari ujung kaki hingga kepalaku.

Erriicckk … Honeeyy ... I come, Baabbyy ...”

Aku meledak, tubuhku berkontraksi tegang dalam posisi menungging. Bokongku teracung tinggi. Berdenyut-denyut. Area kewanitaanku meledakkan cairan nikmat yang tumpah ruah di mulut Letkol Navy Seal.

Errriiiiccckkkk….. Fuuuccckkkk… Baabbyy!”

Aku memekakkan namanya beberapa kali, kemudian bokongku jatuh di ranjang. Nafasku tersengal-sengal. Untuk sesaat tenagaku hilang. Pandanganku kabur. Perwira kekar bangkit setelah sadar orgasmeku selesai. Dia memeluk tubuhku erat. Erick tidak meninggalkanku pasca mengalami orgasme. Tubuh telanjang kekarnya berikut segala aroma maskulin itu membantuku meredakan desiran nafsu yang tersisa.



BAB 7


Lima belas menit lamanya kami berbaring saling berpelukan. Saling berbagi. Menguatkan satu sama lain. Mendentingkan gelombang cinta indah di balik persetubuhan manusia menjadi pertunjukan indah tentang kasih sayang dua insan.

Erick merasakan tingkat sensitifitas tubuhku sudah mulai berkurang. Dia bertanya, “Apa kamu sudah siap untuk pijatan berikutnya?”

Aku yang biasanya cerewet, kali ini benar-benar tidak berdaya ketika dihadapkan pada gelombang kenikmatan tingkat tinggi seperti ini, namun aku mengangguk lemah.

“Sebentar, ya,” perwira kekarku beranjak bangkit. Dia mengambil sebuah benda yang kukenali sebagai penutup mata lantas kembali ke ranjang.

“Apa itu?”

“Penutup mata.”

“Aku tidak mau diikat sambil ditutup mata!” dengan cepat kutolak dia.

“Tidak! Aku tidak mau mengikat tanganmu. Ini hanya penutup mata. Aku hanya ingin membuatmu merasakan kenikmatan yang lebih luar biasa.”

Mataku menatapnya baik-baik. Lag-lagi dia serius. “Hanya penutup mata! Ingat baik-baik!” tegasku.

“Aku janji, Cantik! Maafkan aku harus menutup matamu!”

Erick mengalungkan penutup mata di kedua mataku setelah itu aku mulai berbaring dalam kondisi mata tertutup berupaya mematuhi keinginannya.

Tangan perwira kekar bergerak lembut mengikuti garis bra yang kukenakan, dengan perlahan dia melepaskan kaitan bra hingga membuat payudaraku terbebas dari dekapan bra yang mengungkung.

“Angkat kedua tanganmu di atas kepala, Cantik!” perintah perwira kekarku kemudian.

Kembali kuturuti dia. Tapi sayang aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya, yang pasti kedua payudaraku kini terasa menegang. Aku mengangkat tinggi kedua tanganku. Dua bukit surgawiku pasti semakin terlihat montok di matanya.

Tanpa menunggu lama kurasakan dia kembali memulai semua pijatan dari bawah. Dia angkat kakiku mulai menjilati satu persatu ujung kaki. Suatu sensasi berbeda. Rangsangan yang lain. Tanpa indera penglihatan seluruh indraku meningkat sensitivitas rangsangnya. Dikulum jari-jari kaki membuat desiran rangsanganku bangkit kembali begitu cepat.

“Ahh, Baby …!”

Pria berlesung pipit terus saja menjilati. Dari kaki dia mulai memijati seluruh pahaku. Membuatku semakin merasa tak karuan.

“Baby, I’m about to cum again..shit.”

Sadar aku akan meledak lagi, Erick menghentikan olahan di pahaku. Dia berpindah. Perwira kekar naik membaluri seluruh tangan dan tubuhku dengan minyak beraroma vanilla sehingga sensitifitasnya kembali meningkat, lalu perlahan dia mulai memijati jari-jemari tanganku.

“Jari yang lentik,” pujinya. “Seorang tentara wanita yang memiliki jari-jari cantik.”

Satu per satu jariku dipijatinya tanpa terlewat. Kemudian dia beranjak pada kedua lenganku yang masih dalam kondisi terangkat tinggi.

“Ahhhhhh, Baby!”

Sebuah kejutan tak terduga. Tangannya hingap di ketiakku lantas memijat pelan.

“Ketiak yang sangat sexy sekali.”

“Ahhhh.”

“Boleh kucium aromamu, Sayang,” laki laki tampanku bertanya.

Dengan mata tertutup, aku menggeleng.

Please,” mohonnya. Mendengar laki-laki jantan ini mengiba, pada akhirnya aku mengangguk.

Tanganku tegang mengantisipasi gerakan berikutnya. Di detik berikutnya kepalaku tertengadah sambil meraung, “Babbyyy ... Oh ... Apa yang kamu lakukan padaku? Ooh shit!”

Alih-alih hanya mencium. Erick langsung menjilati serta melumat ketiakku.

Fuckkk … Aaaaahhh.”

Kepalaku menengadah tinggi. Kenikmatannya tak terkira. Perwira kekar benar-benar buas menjilati ketiakku sampai aku tak tahan lagi.

I am gonna cum, Erick! Please!”

Lagi-lagi mendengarku hampir sampai dia mendadak berhenti. Dia mendiamkanku. Nafasku memburu. Sudah dua kali dia hampir membawaku ke langit tertinggi tapi dihentikan. Dibiarkannya aku terdiam dalam napas memburu selama beberapa saat sebelum memulai lagi pijatannya.

Ketika Erick merasa sudah cukup memberiku waktu untuk mengatur napas, ia mulai memijat leherku. Mengurut lembut saraf-saraf yang ada, kemudian turun ke area dada.

“Payudaramu adalah payudara terindah yang pernah kulihat. Besar, padat, kencang dengan sepasang puting cokelat teracung sempurna,” ia mulai bermain di bukit kembarku. Kedua tangannya mulai menjamahku dari pinggir payudara terluar secara bersamaan. Dia mengurutku perlahan kemudian berhenti di bagian yang berbatasan dengan ketiak lantas memijatnya menggunakan jari tengah. Pada waktu bersamaan kedua jempolnya mengurut payudara bagian dalamku naik-turun secara pelan sekali.

Kurasakan pijatan Erick selalu begitu. Dia meningkatkan kekuatan dan kecepatan secara perlahan. Demikian pula di kedua payudaraku. Dia mengurutku dari pelan sekali kemudian semakin kuat sampai tiba di ujung puting.

“Aaaahhh ...!” raungku.

Tapi Erick tidak mau menyentuh putingku. Dia hanya menggodaku. Lagi dia ulang pijatan dari luar secara lembut. Kemudian semakin merapat menggunakan tenaga kuat lalu berhenti lagi.

“Shit!” rasa frustasiku semakin membuncah.

Sambil menempelkan bibir di telingaku, dia berbisik, “Maaf bolehkah aku menggigit puting payudaramu, Sayang?”

Goddamn it, Erick. Just bite me already! Please!” Aku tak tahan lagi, kedua tanganku langsung menarik kepalanya agar terbenam ke payudaraku. Erick segera saja menghisap sambil menggigit dengan buas di sana. Hisapannya terasa sangat nikmat. Mataku mendelik nyaris mencapai titik kenikmatan tertinggi. Jambakanku tidak lagi kuarahkan pada rambut sendiri. Kepala pria berbola mata biru sudah dekat sekali denganku. Kujambak rambut pendeknya kuat-kuat.

“Ah yes ...! Harder, Honey. Please bite me harder! Shiittttt!”

Kedua payudaraku dihisap dan digigit bergantian. Pada saat payudaraku dirangsang hebat, vaginaku turut berdenyut-denyut kencang, kelopak mataku terbuka lebar meskipun terhalang oleh penutup mata. Aku tidak bisa menentukan titik pandang, Semua terasa nikmat seperti di awang-awang. Penutup mata ini membuatku lebih terfokus merasakan kenikmatan setiap rangsangan yang dia berikan.

Letkol tampanku tidak kenal lelah terus menghisap puting dan meremas kedua payudaraku tiada henti. Tindakannya membuat tubuhku melenting, menjungkit dari kasur dan di saat itulah Erick melepas cengkeramannya dari payudaraku. Dia kini memilih meremas bokongku.

“Bolehkah aku menampar bokongmu lagi, Sayang?”

“Ahhh shiiittt …!” rasa frustasiku memuncak.

Tiga tamparan keras di pantat segera kurasakan.

“Ahhhhhhhhh.”

My Naughty girl!

Tubuhku semakin melenting ke udara. Vaginaku siap meledak.

“Aku hampir sampai lagi, Baby!” raungku.

Letkol Navy Seal kembali menggigitku. Hisapan di putingku diganti gigitan keras. Dan tamparan di bokong datang lagi bertubi-tubi. Aku sudah tiba di gerbang kenikmatan. Dan Erick, dia berhenti lagi.

Goddamn it!”

Untuk kesekian kalinya perwira kekar mendiamkanku begitu saja. Dia beranjak dari tempat tidur membiarkan sensitivitas tubuhku menurun sendiri. Setelah beberapa saat dia baru naik lagi menuju pusarku. Dari pusar pasti dia berniat turun menyerang vaginaku lagi dengan oral mautnya. Sekuat tenaga kutahan dia. Cepat kubuka penutup mataku. Kutarik dia agar naik.

No … No ...!” kataku menggeleng dengan wajah merah padam.

“Aku masih ingin menjilatimu, Manis!”

“No ...!”

“Ayolah!”

No licking ... Please fuck me already! Just put your big dick inside of me!” laki-laki kekarku terbelakak kaget.

C’mon honey. Aku sudah tidak tahan lagi. Please!” sedikit frustasi aku meraih penis Erik. Sudah ereksi sempurna. Keras seperti batu. Dan dia sudah mengenakan kondom. Rupanya dia sudah bersiap dari tadi tapi berusaha mengulur-ulur waktu. Aku arahkan penis itu ke vaginaku.

“No.. tahan, Sayang.”

“Honey, please! Apa lagi sekarang? Setubuhi aku, Sayang! Cepatlah.”

Perwira kekar tersenyum.

“Aku mencintaimu, Dewi,” katanya.

I love you too, Erick.”

Setelah itu dengan sekali dorong, penis besar miliknya menembus vaginaku yang telah basah sempurna. Sudah lima kali dia membawaku ke posisi edging. Posisi nyaris orgasme. Sekarang merasakan penis besarnya sliding menembusku ledakan orgasmeku sudah di depan mata.

Erick memompa penisnya perlahan, gesekan penisnya yang menyentuh klitorsku membuat tubuhku merasakan kenikmatan tiada tara. Kulingkarkan kedua kaki pada pinggangnya sambil mencoba bergerak seirama dengan setiap tusukan mendalam yang ia berikan.

Perwira kekar menciumi bibirku, telingaku, dan menghisap leherku dengan kuat. Dadanya yang menempel pada payudaraku bergerak naik turun sehingga menimbulkan gesekan nan nikmat. Kedua tanganku merangkul tubuhnya, menjelajah dengan bebas pada bokong miliknya, berharap agar penetrasi penisnya dapat kurasakan semakin dalam dan nikmat. Napas Erick dan napasku berpadu dengan sempurnya, berkali-kali lenguhan kenikmatan ia lepaskan di dekat telingaku.

Kemudian dia mengangkat tubuhku, kakiku yang telah melingkar di pinggangnya menahan penis Erick untuk tetap berada di dalam vaginaku. Laki-laki jantan ini duduk memangkuku pada pinggiran ranjang, sehingga kini akulah yang berinisiatif memompa persenggamaan kami. Erick menatap payudaraku yang bergerak naik-turun seiring dengan pompaan vaginaku. Tubuhku turut bergerak ke atas dan bawah, vaginaku mencengkeram penisnya yang tegak. Pria berlesung pipit menghisap payudaraku secara bergantian, dan meremasnya sehingga kenikmatanku bertambah. Tubuhku melenting. Kepalaku tertengadah. Mulut ini terbuka lebar sambil meraung, “Errriccckkk! Fuckkk me harder, Baabbyyyy!”

“Ooo yeah your pussy is so tight, Honey.

“Aaaahhhh ... Uuuhhhhhh”

You’re so wet.”

Fuckk! I love you ... I love you!”

I love you too, Baby!”

Orgasmeku tidak tertahan lagi. Area kewanitaanku mencengkram kejantanannya. Tanganku berupaya meremas rambut Erick, tapi aku tidak ingin rambut. Aku ingin meraba punggungnya. Kepalaku bersandar pada lehernya. Sebagai wanita aku telah menyerah pada kenikmatan yang membabi-buta.

Ketika Erik mendayung perahu cinta kami, tekanan penetrasinya begitu kuat. Orgasmeku tanpa tertahan keluar begitu deras. Aku berupaya memejamkan mata. Berupaya menggigit bibir agar rangsangan bisa mereda walau hanya sesaat.

Tapi itu gagal. Rangsangan dari pentrasi membuat seluruh titik tubuhku semakin bergetar. Cukup ditiup oleh hembusan nafasnya saja tubuhku menggelinjang hebat.

Tidak tahan lagi, kupegangi punggung Erick sambil mencium bibirnya. Ia tampak sangat menikmati ciuman kami. Dengan segera lidahnya menyeruak masuk. Dalam waktu bersamaan tusukan penisnya di vaginaku diperdalam dan dipercepat. Berkat otot tubuh terlatihnya, perwira kekar begitu mudah menyetubuhiku dalam ritme cepat. Dia berhasil terus-menerus membawaku berada pada titik puncak kenikmatan. Selanjutnya Erick mengangkat tanganku ke atas dan menjilati ketiakku secara bergantian. Jilatan lidahnya di ketiak disertai tusukan tanpa henti dalam tempo tinggi membuatku semakin bergoyang erotis untuk mencengkeram kuat penisnya.

Sang perwira melepaskan desahan kenikmatan tak terkira. Di lain pihak ia terus memompa penisnya begitu kencang. Iramanya konstan, penuh stamina, penuh kekuatan. Apabila aku pernah memimpikan disetubuhi oleh seorang laki-laki perkasa maka inilah dia. Segala otot-otot di tubuh laki-laki perkasa ini betul-betul dimanfaatkan untuk menyetubuhiku.

Erick mengubah posisi kami, ia membalikkan tubuhku sehingga menungging pada bagian pinggir ranjang dan kedua kakiku menapak lantai. Perut Erick yang kuat digunakan untuk mendorong penisnya sekuat tenaga. Ia menarik rambut pendekku sehingga wajahku tertengadah menatap matanya. Pose persetubuhan ini membuatku merasa sangat seksi. Apalagi sebelah tangan pria berbola mata biru kemudian menjamah payudaraku, otot tubuh bagian bawahnya dimanfaatkan untuk mengobok-obokku diseluruh penjuru.

Terkadang penis Erick yang berada di dalam vaginaku menusuk ke kanan, terkadang ke kiri, ke atas, dan ke bawah, berubah-ubah terus hingga membuat mataku semakin mendelik nikmat. Tanpa bisa kutahan kepalaku semakin tertengadah. Pada saat itu, Erick mendaratkan ciuman di bibirku, mengulumnya dengan kuat, terkadang sedikit menggigitku dengan lembut. Rangsangan di ketiga titik, vagina, payudara, dan bibir membuatku tidak berdaya dalam kenikmatan terpanas.

“Aaaahhhhhhhh.” Aku menjerit diantara rasa nikmat dan sakit, ketika dia melepaskan ciumannya tanpa mengurangi remasan di payudaraku sambil mempertahankan irama penetrasi yang konsisten. Kurasakan kuat sekali otot kaki laki-laki tampan ini. Dia menyodokku begitu kokoh dengan topangan kaki baja. Akibat dari seluruh kombinasi otot yang sempurna, melodi persetubuhan kami terdengar bagai komposisi musik yang indah. Kami berdua saling mendesah, berteriak, melontarkan kata-kata kotor tanpa ragu, dengan tujuan agar persenggamaan ini mencapai nikmat paripurna.

Setelah puas menyetubuhiku dalam posisi doggy style Erick merebahkanku kembali dalam posisi terlentang. Tanganku diangkat tinggi. Kami saling meremas. Saling menggenggam erat. Tidak ingin terpisahkan. Dalam posisi ini segala kendali kuserahkan lagi padanya. Ericklah pendayung perahu persetubuhan kami dan dia melakukan itu dengan penetrasi semakin cepat.

“Ahhhhhhhhhhhhhh.” Akibat penetrasinya yang semakin dalam tubuhku melenting.

Say may name, Honey! Say my name!” perintahnya.

“Arrgggghhhhh!” aku menggigit bibir agar bertahan tidak sampai di titik puncak dulu.

“Agggghhhhhh,” Erick ikut meraung. Jari-jemariku meremas punggungnya.

Pada saat yang sama kuketatkan otot vagina agar semakin mencengkram penisnya.

“Dewi, it’s really tight!

Fuck me harder, Erick!”

Erick memenuhi permintaanku. Tusukannya dipercepat. Dia tidak sadar masuk dalam perangkapku. Merasakan jepitan kuat di vaginaku setelah melakukan penetrasi sekuat tenaga, pada akhirnya dia menyerah.

Fuuucckkk, your pussy so tight, Dewi! I wanna cum ... Aaaaaggghhh!”

Look at me, Baby!” aku mengalihkan tangan menarik kepala pria tampan ini agar menatapku. Dalam waktu seperesekian detik, kami saling memandang raut wajah yang sudah merah padam terbakar nafsu. Kemudian aku berujar, “Say my name when you cum!”

Fuuuckkk!”

Say my name, Baby!”

Dewwiiii!” Erick meracau.

Louder!” aku menampar wajah laki-lakiku.

“Uggggghhhhh”

Louder!” aku menamparnya dua kali lagi.

“Uuuggghhh, Dewwwwiiiii ...!” wajah Erik berubah jadi semakin merah.

Dewwiiiii. I cum, Honey!”

Good boy!” aku mengalihkan tangan dari pipi menepuk bokong Erick sambil berkata lembut, “I love you, Baby! Keluarkan semua, Sayang!”

“Uuuuggggggghhhh fuckkk! Ohhhhhh!”

Merasakan penis yang membesar dari balik kondom aku tahu Erick telah sampai ke puncak kenikmatan. Maka aku pun tidak perlu menahan apa-apa lagi. Aku melepaskan pertahanan diri terakhir setelah berkali-kali dibuatnya mengalami kenikmatan dan kami tiba di puncak persenggamaan bersama.

Sebuah klimaks nan sempurna, pada waktu yang bersamaan.

Di awal orgasme, kami masih dapat saling melihat ekspresi masing-masing yang telah sampai di langit ketujuh. Namun pada momen berikutnya, mata kami sama-sama terpejam, tubuh kami melenting dalam kenikmatan persenggamaan sempurna.



***



Setelah sama-sama mengalami kenikmatan persetubuhan paripurna, Erick memelukku erat dan mencium keningku penuh kasih, tangannya menelusuri tulang selangkaku, lalu jari telunjuknya menyapu lekuk bibirku. Sekali lagi sang perwira mendaratkan kecupan pada bibirku yang telah merekah.

“Dewi, besok waktu terakhirku sebelum kembali ke Coronado.” Erick bergumam sangat pelan.

Entah kenapa mendengar ucapannya tidak membuatku kaget. Kami tentara suka sekali berpindah-pindah. Tapi setelah semua kedekatan ini, aku tidak ingin kehilangan dirinya.

Dalam kondisi itulah emosiku tumpah. Aku bukan lagi menjadi seorang Lettu Dewi, sang tentara wanita. Dipelukan laki-laki perkasa, aku menjadi seorang wanita biasa yang hanya dapat menangis dan mendekap tangan laki-laki tampanku dengan erat.

“Kamu masih berhutang padaku!”

Merasakan air mataku jatuh ke pelukannya membuat perwira kekar memelukku makin erat.

“Iya cantik aku berhutang padamu!”

“Jadi, kamu jangan pernah berani meninggalkanku!”

Erick menggeleng. Campuran aroma jeruk bergamot dan bunga irish pada tubuhnya selalu membuatku merasa tenang.

“Aku tidak ingin meninggalkanmu!”

“Tadi katamu mau pergi ke Coronado.”

“Hanya sebentar, Sayang! I just want to kick some bad ass people.”

Tidak terbendung lagi, pada akhirnya air mataku mengalir tiada henti.

“Besok aku akan menjemputmu lagi, di markas pada waktu yang sama, jam enam sore!” kata Letkol Navy Seal sambil menghampus air mataku dengan ibu jarinya.

Semakin berderai air mataku mendengar perkataan laki-laki perkasa ini. Sambil membuang muka, aku berkata penuh rasa kesal, “Kamu masih berhutang padaku!”
 
Terakhir diubah:
BAB 8


Keesokan hari setelah apel pagi, Sersan Anton, datang menghampiriku. Tidak biasanya anak buah peleton yang memiliki tatapan setajam elang mengajakku bicara empat mata.

Sambil menahan pusing akibat kurang tidur, aku mengajaknya masuk ke sebuah ruang meeting kecil di gedung utama pasukan PBB. Sebelum mempersilahkan si mata elang duduk, aku menyeduh kopi hitam guna membantuku terjaga.

“Kopi, Pak Anton?” tawarku.

“Sudah, Dan!” jawab laki-laki berusia 35 tahun sambil merapihkan baju seragam loreng-loreng cokelat di badannya.

“Duduklah!” tanganku menawarkan agar dia duduk pada kursi di depanku.“Ada apa, Pak?”

Biasanya Sersan Anton tidak suka curhat empat mata. Terlihat dari sikap duduk si mata elang yang tampak tidak nyaman.

“Sebenarnya saya tidak enak mau ceritanya, Dan.”

Alis mataku terangkat heran mengantisipasi permasalahan apa yang akan disajikan. Ada apa ini?

“Tidak apa-apa cerita saja!”

Sersan Anton melepas baret birunya, kemudian menyelipkan baret itu pada penahan pangkat di bahu. “Ini terkait dengan Bu Susi, Dan.”

“Susi? Kenapa dia?” nada suaraku meninggi mendengar nama teman sekamarku disebut.

“Jangan keras-keras, Dan!” sikap tubuh si mata elang seperti menyiratkan secara jelas betapa tidak menyenangkan topik yang akan kami bahas.

Aku mencoba menyeruput dulu secangkir kopi hitam agar efek kafein menyegarkan pikiran. Baru setelah menghirup aroma kopi sambil merasakan hangat kafein di tenggorokan, tanganku bergerak meminta Sersan Anton untuk memulai cerita.

“Apakah Komandan yakin mau mendengar laporan, Saya?”

Tanpa menjawab tanganku menyuruhnya segera melanjutkan.

“Ibu Susi mulai jadi bahan gunjingan beberapa tentara di sini. Saya pikir siapa lagi yang bisa menegur Beliau kalau bukan Komandan.”

“Bahan gunjingan apa?”

Affair, Dan.”

Affair sama siapa?” rasa pensaranku semakin bertambah.

Sersan Anton menarik napas panjang, sang sersan tampak begitu berat melanjutkan kalimatnya.

“Pak Anton, Susi affair sama siapa?” kuambil lagi cangkir, lalu kuminum satu teguk kopi hitam dengan gugup.

“Sama dua orang sekaligus, Dan.”

Hampir saja kopi di mulutku muncrat saking kagetnya. Aku terbatuk-batuk akibat kesulitan menelan. “Apa? Dua orang?” suaraku hampir terdengar seperti orang berteriak.

Sersan Anton mengangguk.

“Siapa saja?”

Si mata elang mencondongkan tubuh, kemudian bicara pelan, “Hamzah dan bule yang ribut sama Komandan tempo hari.”

Kupukul meja dengan keras, sampai kopi tumpah dari cangkir. “Brengsek!”

“Jangan emosi, Komandan!”

“Bagaimana aku tidak emosi? Brengsek temanku ini!” rasa panas amarah menjalar di seluruh wajahku. “Cepat cerita, Pak! Apa yang terjadi sebenarnya?”

Ragu-ragu sekali Sersan Anton memulai laporan ini. Namun setelah kudesak terus, sang sersan akhirnya mulai bercerita. Menurut pengakuan Anton, Susi telah menjadi bahan omongan di sekitar markas PBB. Pertama, affairnya dengan Hamzah yang notabene merupakan bawahannya sendiri. Ada beberapa tentara yang memergoki mereka tengah berciuman mesra di gudang perlengkapan.

Kata Pak Anton, si amoy sebenarnya masih beruntung karena kisah cintanya bisa diredam oleh sesama pasukan dari Indonesia. Tapi bola liar sudah terlanjur bergulir. Gosip di luaran telah berkembang menjadi-jadi. Mereka mengatakan Susi menyukai laki-laki berkelamin besar. Hamzah merupakan laki-laki bertubuh hitam kelam. Gosip menghembuskan kabar bahwa alat kelamin Hamzah pasti sangat besar sehingga Susi mau saja menjalin hubungan diam-diam dengannya. Bahkan menurut cerita si mata elang, amoy digosipkan sudah ketagihan dimasuki oleh alat kelamin bawahannya.

Fuck!” mendengar ini, kembali kugebrak meja sambil mengumpat.

“Dan, apakah laporan saya cukupkan di sini saja?”

“Jangan! Cerita sampai selesai!”

Si mata elang kemudian melanjutkan laporannya. Permasalahan ini sebenarnya sudah berupaya diredam. Akan tetapi temanku si amoy bikin ulah lagi. Sejak dua hari lalu dia mendekati laki-laki bule Secret Service. Hampir aku meneriakkan nama Billy, namun berhasil kuredam. Billy yang katanya kemarin mengajak kencan ternyata tidak sepenuhnya demikian. Fakta yang terjadi menurut Sersan Anton, Susilah yang berinisiatif mengajak Billy untuk kencan bertiga dengan Hamzah. Beberapa pasukan dari Belgia dan Australia melaporkan telah melihat mereka bertiga memasuki hotel di kawasan Kindia, dua hari lalu. Parahnya semalam datang laporan lagi dari pasukan lain yang mengatakan melihat mereka bertiga memasuki hotel lain di kawasan ibu kota.

“Kami takut kalau tidak segera ditegur, Lettu Susi bisa terkena hukuman berat.”

“Bapak betul!”

“Terus apa langkah kita, Komandan?”

Aku segera berdiri sembari memakai baret biru. “Kudamprat dia nanti di truk! Kita mau ambil bahan makanan dulu di bandara Conakry! Bersiap saja,Pak! Sepanjang jalan akan kumaki-maki dia!”

Tadi aku baru tidur dua jam. Erick mengantarkanku pulang jam lima pagi. Perwira tampan bilang ini hari terakhirnya di sini. Dia ingin meninggalkanku untuk kembali ke Coronado. Markasnya Navy Seal. Karena itu, emosiku pagi ini sangat tidak stabil menghadapi agenda perjalanan ke ibu kota Conakry menggunakan truk.

Seharusnya ini tugas ringan. Ada satu truk yang akan kunaiki bersama Susi, Sersan David, Sersan Hamzah dan Sersan Anton. Truk kosong. Kami baru akan ambil barang di ibu kota. Sebuah tugas mudah. Akan tetapi emosiku yang meledak-meledak akan mempersulit tugas ini. Hampir pasti.

Begitu tiba waktu keberangkatan kami menuju ibu kota. Tanganku sudah mengepal erat ketika akan menaiki truk. Kutahan emosi sekuat tenaga. Sersan David sudah naik di kursi kemudi. Hamzah laki-laki yang ingin kutendang bokongnya berjaga di bagian belakang truk bersama si mata elang. Tatapan Susi yang tidak terlepas dari Hamzah membuatku muak. Temanku itu sudah terlebih dulu duduk di samping pengemudi.

“Naik, Wi!” kata temanku polos seperti tidak terjadi apa-apa.

Aku diam saja. Wajahku cemberut.

“Jalan, Pak!” perintahku setelah duduk di kursi depan dekat jendela.

“Kamu sepertinya lagi bad mood, Beib!” hanya si amoy yang berani memanggilku dengan sebutan Beib. Pada hari biasa, panggilan ini terdengar menyenangkan. Sekarang tidak. Aku mau muntah mendengarnya.

“Beib!” Susi menyenggol lenganku.

Aku tetap tidak menjawab.

“Bule Erick itu menyakitimu, ya?”

“Bukan Erick yang menyakitku!” aku paling tidak bisa diam seperti wanita lain dalam situasi memendam amarah.

“Terus siapa?”

Susi mendekatkan kepalanya kepadaku. Bukan pilihan bijak.

“Beib! Terus siapa yang menyakitimu?”

“Kamu!” tepat pada saat kalimatku terucap, tangan kananku mencengkram kerah baju temanku lantas menarik kepalanya agar mendekat padaku. “Kamu tanya siapa yang menyakitiku? Kamu mau tahu jawabannya?” mataku sudah melotot dengan muka merah padam. Susi terlihat ketakutan sekali melihatku. Sersan David yang membawa truk juga demikian. “Kamu yang membuatku kesal!”

“Apa salahku, Wi?”

“Kamu bikin malu!” tangan kiriku hampir menempel di dagu temanku, siap meninjunya.

“Bikin malu bagaimana?”

Affairmu itu! Kamu pikir aku tidak mengetahui kelakuanmu?”

Muka susi pucat pasi.

Matanya menyiratkan segala kenakalannya sudah ketahuan. Untung bagiku karena Susi tidak berusaha menjawab satu kata pun lagi. Dia mengalihkan pandangan. Tatapan matanya menatap ke tanganku. Kalau saja dia menjawab satu patah kata lagi, tangan kiriku bisa menghajar dagunya seketika.

“Maaf, Wi,” ujar si amoy lirih.

Ketarik kedua tanganku, lalu bersedekap sambil menatap jalan. Aku tidak berusaha menjawab permohonan maaf temanku. Kami bertiga hanya terdiam selama beberapa menit.

“Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” akhirnya setelah sepuluh menit berlalu, aku mencoba mencairkan pembicaraan. Kami sudah hampir tiba di pasar utama Kindia.

Susi tidak menjawab. Tangannya bergetar lalu berkata, “Wi, aku,” matanya mulai berkaca-kaca.

“Jangan menangis! Simpan air matamu itu!” aku membentak bukan karena kejam. Tapi aku menghargai posisi temanku yang berpangkat lebih tinggi dari Sersan David. Walaupun kecewa oleh perilakunya, Susi sudah kuanggap sebagai saudariku sendiri. Menjaga baik-baik harga dirinya sudah menjadi kewajiban bagiku. Untunglah adegan canggung ini tidak berlangsung lama. Dari arah belakang Sersan Anton, si mata elang, berbicara dari balik kaca di belakang pengemudi. “Dan, kita harus berhenti!”

“Ada apa?”

“Ada kejadian di depan!”

“Aku tidak lihat apa-apa!” kepalaku menoleh ke belakang.

“Percayalah, Dan!”

Mataku menatap tajam ke arah anak buah kompiku. Anton si mata elang bukan julukan sembarangan. Pasukan PBB di Kindia sudah kenal reputasinya sebagai tentara bermata tajam dan mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata orang biasa. Menyaksikan kesungguhan di matanya, aku memerintahkan Sersan David agar menepi.

Sersan Anton dan Hamzah turun dari truk. Mereka menyiapkan senjata M4 dalam posisi tempur. Melihat dua anak buah turun, aku ikut turun dari truk. Pandanganku tertuju pada Hamzah dengan wajah hitam kelingnya. Seandainya saja kami tidak dalam situasi bersiap siaga, aku pasti sudah menghajar laki-laki kurang ajar ini. Berani-beraninya dia meniduri sahabatku.

“Ada apa, Sersan?” berusaha mengalihkan pandangan dari Hamzah, aku memandang langsung Sersan Anton.

“Ada yang tidak beres di depan, Komandan.”

“Apa yang tidak beres?” Susi bertanya. Emosinya sudah pulih. Tangannya tidak lagi bergetar. Si amoy menajamkan mata indahnya. Dengan saksama ia turut membaca situasi medan di hadapan.

Si mata elang menggeleng. “Saya juga belum tahu, Dan. Kalau diijinkan saya dan Hamzah akan mengecek segera.”

Tanganku menepuk bahu Susi, “Tolong ambilkan senjata M4 kita di dalam!”

Susi segera melaksanakan perintahku.

“Kami berdua ikut!” ujarku tegas.

“Jangan, Dan! Situasi di depan bisa saja sangat berbahaya.”

“Tidak! Kami berdua ikut!”

Setelah senjata M4 berada dalam genggamanku. Kubuka kunci pengaman senjata itu, lalu kurapihkan baret di kepala. “Pak David, stand by di sini, sembunyikan truk kita!”

Driver kami yang sudah turun dari mobil menjawab, “Siap, Dan.”

“Ayo kita maju!”

Sersan Hamzah membuka jalan. Kami bergerak serempak. Kuperhatikan dari jauh punggung kekar laki-laki berkulit hitam ini, membayangkannya telah menyetubuhi temanku Susi yang memiliki kulit putih bersih. Gambaran itu membuatku mual.


BAB 9


Kami mengendap-ngendap mendekati pasar utama Kindia yang di kelilingi oleh jalan aspal bercampur tanah cokelat. Semakin jauh kami berjalan, semakin jelas bahwa hanya ada kesunyian yang menyelimuti pasar. Alih-alih mobil atau motor, tidak ada satu orang pun berjalan melintas di depan pasar. Kios dan tenda-tenda penuh barang dagangan ditinggalkan begitu saja. Sepanjang delapan bulan kami di sini, pasar selalu penuh. Tidak pernah seperti ini. Dari kejauhan tampak berbagai jenis kendaraan militer Kindia memblokade jalan. Jeep-jeep yang memiliki senapan mesin tampak berjaga di sejumlah ruas jalan. Secara perlahan kami bergerak sambil menyembunyikan diri di satu bangunan ke bangunan lain.

“Berhenti!” Sersan Anton merunduk tiba-tiba. Tangannya mengepal sebagai isyarat penting.

Kami semua segera bersembunyi, berlindung di antara dinding kios maupun peti-peti berisi barang dagangan. Jarak kami tinggal seratus meter menuju titik pasar teramai, yaitu persimpangan jalan pasar tradisional Kindia. Isyarat si mata elang tepat, di depan kami sejumlah pasukan militer terlihat sedang berdiri sambil menyandang senjata. Mereka berjaga dengan penuh kewaspadaan.

Aku merangkak bersama Susi menuju samping Sersan Anton dan Hamzah.

“Ada apa?” tanyaku.

Sersan Anton menunjuk. Mataku sangat sehat, demikian pula Susi. Kami bisa melihat sekumpulan tentara bersenjata lengkap menggiring ratusan orang warga sipil -para pedagang dan pengunjung pasar- ke bagian tengah perempatan jalan terbesar pasar. Melihat tentara bersenjata lengkap membuat kami berempat mempersiapkan senjata dalam posisi siap tembak.


Suara tentara membentak-bentak diikuti rintihan ketakutan anak-anak, serta bisik doa yang bergetar dari para wanita memecah kesunyian. Wajah para tawanan tampak pucat pasi, teror telah mengambil sinar kehidupan di dalam mata mereka.

Beberapa tentara memisahkan tawanan menjadi tiga kelompok. Laki-laki dipisahkan dari kaum wanita. Sedangkan kaum wanita dibagi lagi menjadi kelompok wanita berusia muda dan kelompok berusia tua.

“Hari ini kami telah berhasil melakukan kudeta di Conakry! Seluruh Guinea telah berhasil direbut oleh pasukan bersenjata!” setelah kuperhatikan, pemilik suara itu adalah laki-laki yang menatapku penuh nafsu di kolam renang. Dia adalah Panglima Perang Kindia bernama Mutombo, kakak dari Muzamba, sang Panglima Perang Conakry.

“Kalian semua adalah pendukung presiden sebelumnya. Kalian semua adalah lalat pengganggu!” Mutombo menunjuk mereka.

Tangan Susi tampak sedikit bergetar di atas pegangan senapan M4. Aku hanya menggeleng sebagai isyarat agar ia segera menguasai diri, terlalu berbahaya jika peluru tanpa sengaja meluncur dan membongkar persembunyian kami.

“Sebagai Panglima Perang Kindia sekaligus Pemimpin Kudeta Guinea, aku memutuskan menghukum mati kalian semua!”

Kalimat itu segera disambut oleh gemuruh riang dari seluruh anak buah sang panglima.

“Tapi kalian beruntung!” Mutombo menunjuk kumpulan sandera di depannya. “Kalian tidak mati sendirian! Warga desa di sekitar sini yang mendukung presiden sebelumnya akan menyusul kalian ke neraka!”

Mutombo lalu berbalik sambil berteriak kepada anak buahnya, “Bunuh mereka semua!”

Panglima Perang Kindia berjalan santai menuju mobil jeep diikuti sejumlah pengawal. Di waktu bersamaan, tentara-tentara pendukung kudeta berlari liar melaksanakan perintah pemimpin tertingginya. Mereka yang bertugas menjaga tawanan wanita bersikap bagai anjing gila dengan tatapan ternanar. Nafsu birahi segera mereka lampiaskan kepada wanita-wanita malang yang berdiri di depan dalam kondisi tidak berdaya. Kupikir mereka hanya akan memperkosa para tawanan wanita muda. Tapi mereka benar-benar bejat, tawanan wanita tua juga mereka gauli secara paksa.

Susi menyumpal mulut dengan tangan, tidak percaya dengan kedua matanya sendiri yang menyaksikan pemandangan paling mengerikan seumur hidup. Demikian pula Hamzah dan Anton, mereka tampak sama terpukulnya denganku. Tindak pemerkosaan masal, sex orgy secara paksa terjadi tepat di depan mata kami. Jerit meminta tolong para wanita tertutup oleh suara tentara laki-laki yang memaksa kaum wanita memenuhi nafsu bejat mereka.

“Tolong!” teriak seorang wanita.

“Lepaskan aku!” jerit wanita lain.

“Jangan sentuh aku!” raung seorang wanita tua.

“Biadab kalian!” pekik wanita berbeda lagi.

Kengerian, frustasi, sekaligus mual seketika menerjang diriku.

“Diam!” seorang tentara berteriak balik sambil memukul.

“Buka bajumu dasar wanita keparat!” tentara lainnya menumpahkan amarah yang diikuti tendangan telak pada perut wanita tua.

“Kamu mau mati, hah? Buka bajumu! Cepat!” teriakan-teriakan ancaman diiringi pukulan, jambakan, tendangan, terus terdengar tanpa jeda. Kelompok tawanan pria yang menyaksikan kaum wanitanya tengah diperkosa hanya dapat menunduk. Todongan senjata di depan mata telah menghilangkan nyali mereka. Militer pendukung kudeta yang menawan mereka begitu kejam. Mereka sengaja memperkosa kaum wanita Kindia sambil membiarkan para tawanan pria melihat kebiadaban terjadi di depan mereka tanpa dapat memberikan pertolongan.

“Wi, apa yang akan kita lakukan?” Susi berlinang air mata.

Kedua sersan di samping juga melontarkan pertanyaan sama. Mereka menunggu jawabanku. peganganku pada senjata M4 diperkuat. Aku belum bisa mengambil sikap. Kalau aku menyerang sekarang, keselamatan kami berempat sudah pasti dalam bahaya besar. Empat tentara melawan sepasukan besar militer adalah hal mustahil. Bisa-bisa kami semua mati di tangan mereka. Tapi warga Kindia membutuhkan bantuan kami.

Dewi putuskan cepat. Apa yang akan kamu lakukan. Hidup dan mati anak buahmu dan orang-orang malang itu bergantung pada keputusanmu.

Di tengah kebimbanganku terdengar raungan seorang wanita yang sangat menyayat hati. Teriakan ini berasal dari sebuah puncak akhir dari ketidakberdayaan. Penuh keputusasaan. Wanita malang yang berteriak putus asa ini tengah disetubuhi secara bergilir oleh tiga laki-laki berbadan kekar.

Teriakan demi teriakan terus menggema. Tawanan pria Kindia hanya bisa tertunduk mendengar suara wanitanya diperkosa. Kemudian setelah laki-laki pemerkosa selesai menuntaskan hajatnya, dia berdiri mengencingi wajah wanita malang. Bahkan laki-laki bejat itu menyuruh temannya untuk menendangi wajah wanita malang berkaftan jingga.

“Hentikan!” teriak seorang laki-laki bertubuh kurus.

“Apa maumu?”

“Hentikan kebiadaban kalian!” teriak warga pemberani itu.

Anggota militer bertubuh gemuk yang tengah dituding menjawab dengan cara meludah. Warga sipil bertubuh kurus berusaha lebih maju untuk menyelamatkan wanita berkaftan. Akan tetapi tentara lain datang meringkus dan memaksanya berlutut.

“Dasar sok berani!” tentara gemuk mengeluarkan pistol kecil dari saku. Pistol dimasukkan pada mulut laki-laki kurus sambil berkata, “Kalian semua lihat ini! Manusia sok berani akan berakhir seperti apa di sini!” tanpa ampun, ia meledakkan mulut dan isi kepala pria kurus itu dalam satu kali tembakan.

“Wi!” Susi menatap wajahku dengan tatapan penuh kengerian.

Aku memejamkan mata, mengumpat diriku sendiri yang hanya diam saja menyaksikan seluruh kebiadaban ini. Apa yang harus kulakukan? Aku perwira yang bertanggung jawab terhadap keselamatan anak buah. Segala perubahan yang terjadi harus kuamati baik-baik sebagai dasar melakukan langkah terbaik. Mereka atau kami yang mati, hanya dua pilihan. Apakah aku akan mengambil opsi penyelamatan yang berarti mengorbankan nyawa kami semua, atau aku memilih menunggu. Sebuah opsi lain yang lebih aman. Opsi yang pasti menyelamatkan aku, Susi, Anton dan Hamzah.

Setelah kepala laki-laki pemberani tadi meledak, wanita berkaftan dipaksa berdiri. Wajahnya penuh luka akibat tendangan sepatu boot. Hatiku kecut melihat pemandangan memilukan itu. Militer gemuk dengan santai mendekati wanita malang itu. Dia mengambil pisau belati dari pinggang dan merobek kaftan jingga. Si gemuk mengarahkan pisau belati ke salah satu payudara wanita itu, bersiap memotongnya dari samping. Kontan saja jerit kesakitan segera menggema begitu belati berhasil menyakiti sang wanita. Belum puas dengan perbuatannya, militer gemuk itu menusuk perut wanita berkaftan hingga tidak ada lagi napas kehidupan dalam dirinya.

Pada waktu bersamaan tiga orang tentara bersenjata AK47 membidik beberapa tawanan laki-laki Kindia yang ketakutan dan mulai menembaki. Satu per satu laki-laki malang itu tewas seketika. Mereka berjatuhan seperti daun di musim gugur. Tawa terbahak para militer membahana. Aroma amis darah seketika menguar terbawa angin. Tiga orang tentara bersenjata berhasil membunuh banyak sekali orang hanya dalam satu kali rentetan tembakan.

Aku menjambak rambutku sendiri. Kali ini pilihanku sudah teguh. Mata pasukan khususku mencari-cari celah untuk melakukan penyelamatan. Dapat! Jajaran toko onderdil berisi tong-tong oli berada dekat tentara musuh.

Fuck! Sudah cukup! Let’s kill all of this bastard! Ayo ikuti aku!” Aku bangkit. Segala kekejaman ini membuat seluruh sisi kemanusiaanku menggeliat. Aku akan menyelamatkan mereka semua yang tersisa dari kekejian ini. Senapan M4ku menembak beruntun. Peluru menembus pemegang senapan AK 47 dan menewaskannya seketika. Peluru berikutnya kuarahkan menembaki laki-laki gemuk yang kejam tadi tepat di kepala.

Tanpa ampun aku terus maju sambil menembak tepat sasaran. Tentara Kindia kaget melihat kehadiran kami. Dari belakangku, Susi, Hamzah dan Anton ikut menembak. Banyak sekali tentara Kindia terkena tembakan kami. Warga sipil yang masih hidup berupaya untuk tiarap.

Dalam kondisi kritis, kemampuanku sebagai seorang anggota pasukan khusus sangat terasa berguna. Tembakan yang kulakukan semuanya tepat sasaran. Mataku membidik posisi militer Kindia. Karena jumlah mereka lebih banyak, aku harus menembak ke arah objek-objek mudah meledak untuk melumpuhkan sekaligus mengalihkan perhatian musuh. Tentu saja targetku adalah tong-tong oli yang berjajar di depan toko-toko onderdil.

Akibat aksiku, setumpuk tong-tong oli segera meledak. Api berkobar-kobar membakar beberapa tentara Kindia sehingga mereka menjadi panik dan berhamburan melarikan diri. Aku berteriak kepada beberapa warga sipil yang masih hidup, “Lari! Ada truk kami di sana! Kalian lari ke arah sana! Ayo cepat!”

Susi turut berteriak, “Ayo ke truk PBB!”

“Susi, Sersan Anton, kawal mereka semua ke truk! Hamzah, bantu aku bertahan di sini, lindungi warga!”

Mereka paham. Susi berlari cepat menggendong seorang anak kecil. Sersan Anton menyusul di belakangnya sambil terus membantu warga sipil yang tersisa untuk berlari menuju truk. Mereka berlari secepat mungkin bagai dikejar setan. Tentara Kindia di arah sebaliknya tidak mau kehilangan orang-orang yang akan mereka bantai. Mereka mulai menembak.

Senapan M4ku terus menyalak, menembak tepat sasaran, berupaya melindungi warga yang sedang dievakuasi. Aku dan Sersan Hamzah terus-menerus melakukan serangan balasan sampai orang terakhir berhasil cukup jauh berlari menuju arah truk.

“Letnan, semua sudah selamat! Ayo mundur!” teriak Hamzah, aku mengangguk kepadanya. Kami terus terlibat baku tembak.

“Sersan Hamzah!” teriakku.

“Siap, Komandan!” Sersan berkulit hitam keling tidak berhenti menembak.

“Kamu masih punya peluru?”

“Masih,” jawabnya sambil melempar sekotak peluru.

Tanganku yang memegang senjata berupaya menangkap magazinenya. Lalu dengan cepat mengisi peluru pada senjataku.

“Hamzah lindungi aku!” perintahku.

Laki-laki berkulit hitam keling segera mematuhi perintahku. Sambil berlari mundur di antara dinding-dinding kios, tembakanku bisa membuat tentara Kindia yang mengejar mulai berjatuhan. Beberapa kali aku membidik tong-tong oli maupun bensin pada kios-kios yang dapat kami temukan di sekitar jalur pelarian kami.

Kami terus berlari mundur menuju truk sambil melakukan serangan balik dan melindungi satu sama lain. Dari kejauhan Susi dan Sersan Anton sudah menyiapkan senjata untuk menolong kami. Berkat kerja tim yang solid, kami berempat dapat mengimbangi pasukan Kindia. Hanya saja, di saat jarak antara kami tinggal beberapa langkah lagi. Bala bantuan pasukan Kindia datang, dipimpin langsung oleh Mutombo yang ditemani oleh dua jeep bersenjatakan senapan mesin.

“Cepat, Wi, naik!” teriak Susi.

Jarak kami sudah semakin dekat. Senapan mesin dari atas jeep meletup-letup memuntahkan banyak cahaya api dalam sekali tembakan. Peluru-peluru itu memberondongku, menghantam sisi samping truk, mengakibatkan warga sipil yang ada di dalam berteriak panik. Aku mendorong Hamzah agar naik ke dalam truk sambil berteriak, “Pak David, cepat jalan!”

Mobil jeep musuh mulai menembak kembali, berondongan demi berondongan tembakan terus dilontarkan.

“Jalan! Jalan, Susi!” teriakku.

“Dewi, kami tidak akan meninggalkanmu!” teriak letnan Susi.

“Aku akan melindungi kalian! Kalau tidak, kita semua akan mati di sini!” bentakku.

“Aku tidak akan meninggalkanmu!” pekik Susi kembali.

“Bodoh kamu! Aku tahu wilayah ini! Aku bisa melarikan diri nanti! Gas, Pak David!”

Driver tidak mau melaksanakan perintahku. Dengan sengaja kutembak senjata ke udara sebagai isyarat tegas. Pak David memahami isyaratku. Dengan berat hati dia menancap gas. Aku tidak ingin pengorbanan kami sia-sia. Pada bagian belakang truk, beberapa warga sipil Kindia sudah berhasil kami selamatkan. Jika truk tidak segera pergi, mereka semua akan mati.

Truk bergerak berlawanan dengan datangnya pasukan Mutombo. Sersan David adalah driver teramat tenang, namun sangat agresif dalam situasi perang. Truk melesat secepat kilat meninggalkan lokasi baku tembak. Tapi tepat sebelum truk memacu kecepatan, jantungku seakan berhenti berdetak. Mataku membelalak ketika melihat Sersan Hamzah meloncat turun dari truk sambil membawa senjatanya.

“Kenapa turun kamu?” bentakku.

“Saya tidak akan meninggalkan, Komandan, sendirian.”

“Bodoh kamu!” hardikku

Hamzah mengangguk tanpa ekspresi, kami segera berlari menuju gang-gang sempit pertokoan pasar. Aku menaiki tumpukan peti dan memanjat dinding, lalu berlindung di balik tower air milik salah satu kios sayur. Dari situ aku dapat membidik musuh dengan jelas, serta memantau posisi Hamzah yang bersembunyi di balik pagar beton. Hamzah terlihat membidikkan senjatanya melalui lubang kecil pagar beton.

Dari arah depan kami tampak dua mobil jeep mendekat diikuti oleh dua truk berisikan puluhan tentara, mobil salah satu mobil jeep melaju cepat sambil terus menembak ke arah truk PBB yang telah menjauh. Peluru yang kutembakan melesat secepat kilat, meledakkan ban bagian depan jeep hingga membuat mobil itu terguling dan menabrak satu truk militer Kindia yang meluncur di sampingnya.

Serta merta kendaraan militer lain berhenti bergerak, seluruh tentara Kindia mencari keberadaan kami dengan pembidik senjata mereka. Mutombo turun dari jeep lainnya dan berlindung di balik body mobil itu. Hamzah tampak membidik Mutombo, namun kali ini tembakannya meleset, sang panglima menghindar dengan cepat. Rentetan tembakan balasanpun menerjang kami.

Bagaimana pun ganasnya serangan mereka, aku terlatih menghadapi situasi penyerbuan. Sambil tiarap, aku berusaha membidik jeep Mutombo dan menembak balik. Demikian pula Sersan Hamzah, dia berupaya melakukan perlawanan sebisanya dengan terus menembak.

Hanya saja lawan kami cukup banyak, selain militer Kindia yang sangat terlatih, juga dua buah jeep bersenapan mesin. Mereka bisa menghamburkan ratusan peluru dalam hitungan detik. Target kami hanyalah menahan pengejaran mereka pada truk PBB. Aku dan Hamzah sadar bahwa peluang kami untuk menang sangat kecil, dua melawan sebegitu banyak musuh. Sedangkan untuk kabur, dibutuhkan usaha dan keberanian ekstra.

Dalam keadaan kritis musuh menangkap posisi Hamzah, target tembakan terarah kepadanya. Pagar beton tebal cukup mampu melindungi Sersan berbadan hitam itu. Namun, kesadaranku bagai terhantam badai, ketika melihat seorang tentara Kindia turun dari truk dan membidikkan senapan Barrett M82. Senapan itu mampu menembus beton, keselamatan anak buahku terancam. Aku membidik pemegang Barrett M82, tapi tembakanku meleset karena tembakan sniper lain hampir mengenaiku. Sniper Barrett M82 melepaskan beberapa tembakan menembus beton. Seketika peluru menerjang Hamzah.

“Hamzaahh!” aku berteriak terpukul bukan main. Tanganku terus menekan pelatuk, menembak tiada henti, membunuh satu persatu tentara yang dapat kulihat dari balik tower air. Begitu peluru habis, aku melompat turun dari atas tower, masuk ke dalam gang sempit. Namun seorang tentara Kindia berjanggut lebat sudah bersiap menghadang jalur pelarianku. Tangannya mengacungkan pedang suku Mandinka. Salah satu suku di Guiena. Tidak punya banyak pilihan, aku berlari menghampirinya. Saat tentara itu berusaha menyabetkan pedangnya, aku menangkis dengan senapan di tangan, kemudian kami saling menendang.

Sabetan pedangnya kali kedua membuat senapanku patah. Sebelum sabetan ketiga, tangan kiriku lebih dulu menangkap pergelangannya, lalu dengan cepat kusikut lengan pria itu hingga ia kehilangan cengkeraman pada pedang. Pedang terjatuh, aku menendang pedang sekuat tenaga agar menjauh dari kami. Tangan kiriku masih mencengkeram tentara berjanggut ketika tangan kananku menghajar wajahnya. Meskipun dia sudah terhuyung, tapi kesadarannya cepat pulih.

Salope!” ( Jalang!)

Tentara itu meludah sambil memakiku sebelum melompat dan balas meninju wajahku. Darah menetes dari hidungku. Sebelum sang tentara Kindia menarik tangan yang ia gunakan untuk meninjuku, aku sudah memelintir tangan dan menendang kakinya, lantas menggunakan punggungku sebagai tumpuan untuk membantingnya. Benturan antara tulang dan tanah terdengar cukup keras. Tapi dia begitu kuat, meskipun berhasil kujatuhkan, tentara berjanggut lebat itu bangkit lagi. Secepat kilat aku melompat dengan bertumpu satu kaki pada dinding membentuk tendangan putar. Kali ini tendanganku tepat mengenai ulu hatinya.

Suara tembakan tiba-tiba menggetarkan dinding-dinding gang sempit di tengah perkelahian kami. Sebuah peluru bius menancap pada belikatku. Seketika rasa nyeri merambat ke seluruh tubuhku, melumpuhkan seluruh otot-ototku. Tubuhku ambruk, namun kesadaranku tidak mau mengalah. Penuh kemenangan, tentara berjanggut tebal menampar wajahku dengan keras, kemudian kedua tentara Kindia menyeretku keluar dari gang sempit, menuju jalan utama.

Meskipun sulit, tubuhku berusaha untuk terus memberontak. Saat itulah sudut mataku menangkap jasad Hamzah yang telah terkulai tanpa nyawa, turut diseret bersamaku. Dadaku teramat sesak, aku membenci para pelaku kudeta Kindia, tapi aku lebih membenci diriku sendiri karena sebagai pemimpin, aku gagal melindungi Hamzah.

Walaupun dia memiliki affair dengan sahabatku. Bagaimana pun Hamzah telah bersama denganku selama delapan bulan di Guinea. Kami telah menjadi seperti keluarga sendiri. Kehilangan seorang anggota keluarga apalagi melalui cara sebrutal ini sangat menyakiti hatiku.

Setiap perwira harus memimpin dan berani bertanggung jawab atas segala keputusan kepemimpinannya di lapangan. Keputusanku untuk maju menyelamatkan warga Kindia telah memakan korban dari kalangan anak buahku sendiri. Sama sekali tidak terpikiran olehku akan kehilangan nyawa anak buah pada saat mengikuti misi PBB, dan kondisi ini benar-benar telah memukulku.


BAB 10


“Bangun!” seseorang menyiram air dingin kepadaku.

Wajah dan tubuhku menggigil hebat. Pedih, nyeri, serta dingin menyerang secara bertubi-tubi. Paru-paruku gelagapan mencari oksigen. Kedua mata melekat erat, sedangkan kepalaku serasa mau pecah. Obat bius mereka benar-benar membuatku tidur pulas. Entah berapa lama aku kehilangan kesadaran.

“Kita sukses besar melaksanakan kudeta,” sebuah suara terdengar sayup-sayup. “Ibu kota sudah jatuh. Presiden sudah ditawan. Pasukan PBB dan kedutaan Amerika dievakuasi keluar dari Guinea. Hebatnya kita berhasil melakukan kudeta setelah kunjungan Wakil Presiden Amerika.”

“Sebuah coup de etat yang sempurna,” sahut suara lain. “Kamu yakin sudah menahan Presiden?”

“Sudah. Dia berada di markas militer Conakry.”

Aku membuka mata dengan susah payah, pemandangan pertama yang kulihat adalah sepuluh orang dengan kedua tangan di rantai ke atas. Sama sepertiku. Kami semua terikat dalam kondisi telanjang bulat. Meskipun lemah, tanganku berusaha melepaskan diri.

“Kamu sudah bangun?” Mutombo menoleh kepadaku.

“Bukankah dia wanita PBB yang Kakak incar? Mau kita apakan wanita ini” aku menoleh pada pemilik suara tersebut. Aku mengingatnya adalah Muzamba, adik dari Mutombo. Mereka menghisap ceritu kuba. Aroma cerutu yang paling kubenci, kepekatannya membuatku terbatuk.

“Betul katamu. Aku memang mengincar wanita PBB ini, tapi dia sudah banyak membunuh anggota pasukan kita.” Mutombo bangkit dari kursi, tubuh tingginya bergerak mendekatiku. Sebelah tangan panglima Kindia mencengkeram daguku dan menamparku berulang kali. “Wanita sialan aku akan bertanya padamu, maukah kau bercinta denganku? Sebab bagaimana pun brengseknya sifatmu, Aku telah mengagumi tubuhmu sejak di kolam renang.”

Pipiku langsung terasa pedih, “Go to hell!” jawabku sambil meludahinya. “Bangsat kalian!” tangan dan kakiku meronta berusaha melepaskan ikatan, meskipun otot-otot tubuhku terasa sangat lemah. Mutombo menyeka ludahku sambil mendecak sinis.

Kali ini Muzamba turut mendekatiku, kumis melintang di atas bibirnya berkedut-kedut. “Wanita yang galak, ya!” serta merta dia menjambak rambutku lantas berupaya menciumku. Sekuat tenaga berusaha kutolak dia, tapi tenaganya terlalu kuat. Kedua tangan kasarnnya secara kurang ajar hinggap di payudaraku lantas memompa secara kasar. Aku meronta. Sama sekali tidak berdaya. Lama sekali Muzamba memompa kedua bukit surgawiku sebelum akhirnya melepas ciuman serta rabaannya. Setelah ciumannya lepas, aku meludahinya. Ludahku tepat mengenai mata Muzamba.

Son of a Bitch!” makiku.

“Wanita jalang bermulut kasar!” Muzamba menamparku, kemudian mengambil sebuah belati dari pinggang dan mengarahkannya ke samping payudaraku. “Kamu lihat di pasar Kindia? anak buahku mengiris payudara seorang wanita!” tajamnya belati digesekkan naik turun pada kulitku. Darahku mulai menetes. “Mau kupotong juga payudaramu di sini?”

Gigiku bergemeretak menahan sakit.

“Mau kamu?” bentak adik panglima Kindia lagi.

“Lebih baik kalian bunuh aku saja, Bangsat!” kuludahi lagi dia.

Mutombo menepuk bahu adiknya. “Tahan, Muzamba. Dia wanita tangguh. Anggota pasukan khusus. Dia terlatih menghadapi kondisi terburuk. Tapi Dewi pasti tidak tahu betapa kejamnya kita orang Guinea,” katanya sambil mendekati seorang tawanan. Seorang laki-laki tua dengan perut buncit. “Kamu lihat dia, Dewi. Dia bernama Zied. Zied adalah seorang pejabat pemerintahan dari era presiden lama. Orang ini bersembunyi di bawah kasur rumah mewahnya ketika kami datang menangkap.”

Tangan Mutombo mengambil sebuah kawat tipis yang sudah tergantung di samping kepala Zied. Sang panglima mengalungkan kawat tipis itu pada leher si laki-laki tua. “Apa kata-kata yang pas untuk menggambarkan kami? Kami kejam? Ya, kejam juga biadab!” ujar Pimpinan Militer Kindia setelah mengikat kawat. Muzamba masih berdiri di sampingku. Dia menjambak rambutku sambil memaksa agar aku menatap ke arah Zied.

“Sekarang kamu saksikan sendiri bagaimana kejamnya kami!” Mutombo bicara sambil memberikan sebuah isyarat agar anak buahnya menarik kawat itu ke atas menggunakan sebuah mesin derek.

Zied langsung meronta-ronta kesakitan. Lehernya ditarik ke atas, sedangkan kakinya terikat erat di lantai. Anak buah Mutombo menggantung Zied seperti sebuah pegas yang disentak paksa. Pria tua itu menggunakan seluruh kekuatan ototnya untuk melawan daya tarik tubuh, tapi upayanya sia-sia. Tubuh gemuknya justru membuatnya semakin tercekik.

“Tolong …” Ujarnya dengan nafas tersengal. “Jangan bunuh aku… Tolong!”

Mutombo menunjuk ke arahku. “Kamu lihat? Inilah arti dari kata kejam! Tarik lebih kuat!”

Anak buah Panglima Kindia melaksanakan perintah itu. Kawat diangkat semakin naik menggunakan mesin Derek. Zeid tergantung mengerikan dengan kawat menjerat lehernya, serta kedua tangan dan kaki turut terikat. Jeratan kaki menahan tubuhnya agar tidak naik sepenuhnya. Kakinya masih bisa menapak sedikit ke tanah. Hanya leher Zeid yang tertarik maksimal sehingga dia tertengadah. Seandainya saja dia ditarik dengan cepat, dia bisa mati sama cepatnya seperti orang dihukum gantung.

Tapi mereka membuat proses menuju kematian yang sangat mengerikan. Aku mulai menyadari bahwa inilah arti biadab yang dikatakan Mutombo. Tubuh lelaki gemuk itu terlihat meronta-ronta. Suaranya tercekat karena leher terikat. Wajah Zied mulai tidak bisa kulihat karena kepalanya sudah terjerat ke belakang.

Refleks kututup kedua mataku.

“Hei buka matamu!” Muzamba berteriak. “Buka!”

Aku menutup mata erat-erat. Muzamba menjambakku, terus memaksa agar aku membuka mata.

“Lakukan perintah Kakakku!” Muzamba melepas jambakan. Kali ini, ia menggunakan kedua tangan besarnya untuk membuka paksa kedua mataku agar aku menyaksikan penyiksaaan tersadis ini. “Masih beranikah kamu meludahiku setelah melihat ini?”

Zeid masih hidup. Padahal dia sudah tergantung lima menit. Dia hanya meronta-ronta parah dengan leher terikat. Mereka betul-betul ingin membawanya menuju kematian yang paling menyakitkan. Aku mulai tidak sanggup melihat kekejian yang mereka lakukan. Aku meronta dan berteriak agar mereka mengakhiri segala penyiksaan kejam pada lelaki tua itu.

Mutombo kembali bicara. “Kekejaman adalah sifat dasar kami, Dewi. Kalau Zied belum meyakinkan kamu betapa kejamnya kami, kamu harus lihat aksi kami kepada wanita ini!” pimpinan Kindia menunjuk seorang tawanan wanita yang sudah telanjang bulat di sisi kanan Zied.

Anak buah pimpinan kudeta Kindia mendekati wanita yang sudah tergantung pasrah. “Mau apa kalian? Lepaskan tangan kalian, jahanam! Kalian semua akan jadi cacing di neraka!”

“Dia bernama Nila. Nila adalah seorang pekerja bank pemerintah! Buka rantai kakinya, lalu kalian buka lebar kedua kakinya!” perintah Mutombo.

“Kalian orang-orang jahat! Bajingan! Lepaskan! Jahanam! Lepaskan! Aaaaggggghhhhhh!” Nila menjerit sekuatnya. Jerit Nila terdengar semakin pilu.

“Kamu! Masukkan gagang senjatamu ke dalam liang kewanitannya!” perintah Pimpinan Militer Kindia dengan santai kepada salah seorang anak buahnya yang memegang Ak 47.”

“Laksanakan!” jawab anak buah yang ditunjuk.

“Jangan! Jangan! Agggggghhhhhhhhhhhhh!”

Kembali aku mencoba menutup mata saat kelamin Nila mulai dimasuki oleh ujung senjata AK 47.

“Berhenti!” jeritku dengan kedua tangan Muzamba masih memegangi mataku agar tidak mengatup.

“Apa katamu?” tanya adik sang pemimpin militer.

“Berhenti! Jangan kalian lakukan itu!”

Mutombo mendekatiku. Langkahnya santai seperti melakukan semua siksaan kepada orang tidak bersalah adalah perbuatan wajar.

“Kenapa kami harus menghentikannya?” kata sang pemimpin kudeta.

Please, damn it! Jangan kalian lakukan ini.”

Tubuhku mulai bergetar. Apalagi saat gagang senjata AK 47 sudah mulai dimasukkan ke dalam area kewanitaan Nila. Wanita cantik itu berteriak mengerikan, darah mulai mengucur dari kelaminnya. Sedangkan para anak buah Mutombo disekelilingnya tertawa terbahak-bahak saat Nilla disiksa. Mereka bersenang-senang di tengah penderitaan orang lain.

Please! Hentikanlah kekejaman kalian!” aku memohon.

“Kenapa kami harus berhenti?” tanya Muzamba. “Apa yang bisa kamu berikan kepada kami?”

Nafasku terasa berat. Aku tidak pernah membayangkan akan bertemu orang-orang kejam seperti mereka. Dengan sekuat tenaga kukatakan kepadanya, “Kalau kamu ingin aku bercinta denganmu. Aku akan bercinta denganmu. Tapi tolong! Bebaskan Zied dan Nila! Tolong!”

Tubuh Zied masih kejang-kejang. Dia masih hidup. Namun perut gemuknya sudah membiru. Seakan usus beserta segala isi perutnya siap menyembul karena cekikan di lehernya. Kondisi Nila sama mengenaskan. Area kewanitaannya sudah banjir darah dan anggota militer yang sedang menyiksa tampak sangat menikmati apa yang tengah mereka lakukan.

Panglima perang Kindia mengangguk. “Tawaran yang menarik. Lepaskan dia! Dia mau menerima tawaran bercinta denganku.”

Seorang tentara melepas ikatanku, tapi kedua kaki serta tubuhku terasa lemah dan sakit. Aku jatuh terduduk melihat anak buah Mutombo masih menusuk alat kelamin Nila dengan senapan, serta Zeid yang terus meronta-ronta.

“Lepaskan mereka!” pintaku. “Aku akan melayanimu! Aku rela menjadi budak seksmu selama kalian hentikan sikaan kepada mereka berdua.” Aku memohon di kaki Mutombo.

“Budak seks kakakku? ini semakin menarik. Kamu ingin mereka dilepaskan?” Muzamba sang adik balik bertanya. “Kamu hanya mau menjadi budak seks kakakku. Bagaimana denganku?”

Sambil terengah-engah aku menjawab, “Aku akan melayanimu juga! Menjadi budak seksmu juga. Segala permintaan kalian berdua akan kulayani, tapi tolong hentikan siksaan kalian kepada mereka!”

“Kamu yakin bisa melayani kami berdua?” Mutombo ganti bertanya.

“Aku akan layani kalian berdua sebisaku,” jawabku sambil menunduk.

“Baikah!” sang panglima kudeta menjawab. Dia berjalan mendekati Nila. “Minggir kalian!” perintahnya kepada tentara yang sedari tadi menganiaya Nila sambil menarik senjata AK47 berlumuran darah segar dari alat kelamin Nila. Jerit kesakitan Nila menggema di udara. Panglima perang Kindia melangkah menjauh. Senjata Ak 47 itu digenggamnya dengan erat. Tapi dua langkah kemudian dia berbalik, mengarahkan senjata itu ke kepala Nilla.

“Jangan!” aku berteriak histeris. “Tadi kamu bilang..!”

Muzamba tertawa lebar. Dia menjambak rambutku lagi agar menatap ke arah Nila. Mata Nila tengah menatap mataku. Tatapannya penuh rasa pilu, benci, pedih, sedih, dan tidak berdaya. Dia berharap kepadaku. Dia berharap aku bisa menolongnya.

Mutombo menarik pelatuknya di hadapanku. Seketika bunyi tembakan terdengar begitu nyaring. Mata yang sebelumnya kulihat begitu sedih, kini hancur terburai berceceran darah.

“Inilah arti kekejaman, Wanita Jalang!” Muzamba berteriak tepat di telingaku, tangannya semakin kuat menjambakku.

“Kalian mengingkari janji!” aku semakin histeris, air mataku mengalir deras. “Kalian benar-benar kejam! jahanam kalian!”

“Tidak!” Mutombo menjawab. “Zied masih belum mati. Kamu masih mau membantunya?”

Tatapanku beralih dari sisa otak dan isi kepala yang berceceran. Aku melihat ke Zied. Perutnya sudah hampir meledak. Pimpinan kudeta menghampiri laki-laki malang, mengarahkan senjata ke perut gemuknya lantas menembaknya. Pekikan senjata bercampur jerit kematian Zied seperti menyayat telingaku.

Darah dan isi perut Zied muncrat ke arahku. Seketika tubuhku dipenuhi warna merah keunguan berbau amis. Kesadaran pikiranku terbang menjauh dariku seiring dengan muncratan daging beserta ceceran darah di lantai. Mereka adalah makhluk terkeji. Sumber kekejaman tidak berperi. Aku membenci betapa manusia bisa melakukan kebiadaban kepada sesama manusia lainnya. Sebuah kebiadaban yang binatang paling buas sekalipun tidak akan pernah melakukannya kepada hewan lain.

Aku mulai berteriak, “Kalian orang-orang jahat! Bajingan! Lepaskan! Jahanam! Lepaskan!” suara teriakan Nila terekam kuat di kepalaku menjadi satu-satunya sisa kesadaran yang tertanam di dalam otakku. Aku terus berteriak-teriak. Aku terus menerus mengumpulkan darah, usus, dan sisa otak yang berceceran di lantai.

Mereka bisa tertolong, aku bisa menolong mereka, darah, usus, dan sisa otak ini harus kukumpulkan. Aku harus mengembalikan semua ini ke tubuh mereka. Mereka bisa hidup. Mereka akan hidup! Hatiku terus menerus mengatakan kalimat itu.

Jiwaku terasa perih. Nila, Zeid, Hamzah, warga pasar yang dibantai, satu-persatu wajah mereka bermunculan di hadapanku. Aku berteriak, membawa-bawa usus ditanganku sambil berlarian kesana-kemari meminta siapapun untuk ikut mengumpulkan organ-organ yang terburai. Sambil menangis, aku terus meneriakkan kalimat yang sama, “Kalian orang-orang jahat! Bajingan! Lepaskan! Jahanam! Lepaskan!”

“Sepertinya dia sudah jadi gila! Dia tidak sanggup menghadapi kekejaman kita!” Laki-laki bertubuh besar mendorongku hingga terjungkal.

“Kakak kenapa kita tidak bunuh saja dia sekarang?” laki-laki hitam berkumis tebal menendangku.

“Kamu benar bunuh saja dia! Dia sudah tidak berguna bagi kita!”

“Kalian orang-orang jahat! Bajingan! Lepaskan! Jahanam! Lepaskan!”

Aku terus menjerit, berputar, serta membasuh seluruh tubuhku dengan darah segar milik Nila dan Zied. Hanya dua nama itu yang tertinggal di pikiranku.

Tiba-tiba sepasang tangan-tangan kuat mencengkram lenganku, kemudian merebahkanku di lantai. Salah seorang dari mereka menggunakan dengkul untuk menahan dadaku, lalu menyumpal mulutku dengan kain. Satu orang lainnya mengaitkan kawat di leherku.

“Ikatkan kawat di lehernya!” seseorang berteriak lantang.

“Kami akan membuat kematian yang lebih menyakitkan bagimu, Wanita Gila! Lehermu akan kujerat pelan-pelan. Dan saat lehermu terjerat kesakitan, aku akan menyunat area kelaminmu dari bawah. Ini akan menjadi sebuah kematian yang menyakitkan lebih daripada yang kamu lihat tadi!”

Setelahnya, jeratan di leher mulai mencekikku. Bibirku tersumpal. Nafasku tersengal. Eratnya kawat begitu menyakitkan. Kakiku terasa direntangkan paksa. Area kelaminku bagai digosok terus-menerus oleh sebuah benda tajam, menimbulkan rasa sakit bertubi-tubi. Cairan panas dan pekat mengalir di kedua pahaku. Aku terus meronta-ronta, menjerit teramat nyeri.

Leherku panas. Akibat lilitan kawat, isi perutku seperti ingin menyembul keluar. Sakit di area kewanitaan semakin menjadi. Aku tidak tahu apa yang sedang kualami, tapi rasanya benar-benar menyakitkan. Tangisku semakin histeris.

“Pelan-pelan!” kata sebuah sebuah suara di tengah kesakitanku. “Aku tidak ingin wanita gila ini cepat mati! Longgarkan dulu ikatan di lehernya.”

Nafasku kembali. Rasa sakit di leherku sesaat mereda.

“Jerat lagi lehernya! Sunat dia!”

Leherku terjerat kuat. Lidahku mulai keluar dengan tegang. Dari area kewanitaanku, darah mengalir semakin deras.

Shoot fire! Shoot fire!


Pintu tiba-tiba didobrak paksa. Ada orang-orang baru datang berteriak, “Shoot fire!” Aku bisa melihatnya dari samping kepalaku. Dari balik pintu, orang-orang memakai helm hijau, berseragam militer, serta bersenjata lengkap berdatangan. Senjata mereka memancarkan sinar berwarna merah. Sinar itu terbang ke segala penjuru. Menyapu sisi-sisi terjauh dan mencari kepala para laki-laki jahat. Laki-laki jahanam.

Shoot fire! Shoot fire!

Aku melihat setiap kali sinar menempel di kepala laki-laki jahat, laki-laki jahanam itu jatuh begitu saja dengan kepala pecah. Satu per satu berjatuhan. Termasuk mereka yang menyakitiku. Mereka semua hancur seketika. Sinar merah itu terus beterbangan, berasal dari senjata yang digenggam para laki-laki berhelm hijau.

Mereka melenyapkan dengan mudah para lelaki jahat. Termasuk laki-laki bertubuh tinggi yang sangat kejam itu, juga laki-laki satunya yang berkumis dan sangat bajingan itu. Kepala mereka disinari cahaya merah, lantas kepala-kepala itu meledak begitu saja. Orang-orang berhelm hijau yang memakai kacamata hitam bisa memusnahkannya dengan mudah.

Salah seorang dari laki-laki berhelm mendekatiku. Pada papan namanya tertulis Erick. Tapi aku tidak bisa bicara dengannya, yang dapat kukatakan setelah dia melepas sumpalan di mulutku hanyalah kalimat, “Kalian orang-orang jahat! Bajingan! Lepaskan! Jahanam! Lepaskan!” Aku memukul orang itu berkali-kali.

“Demi Tuhan Dewi! Apa yang terjadi denganmu?” tanya laki-laki itu. “Dewi, ini aku sayang! Ini aku, Erick.”

Aku melihat kedua bola matanya. Seorang laki-laki baik. Tapi aku tidak bisa menjawabnya, aku hanya bisa menatap matanya dan menggumamkan kalimat yang sama.

“Dewi!” Laki-laki baik itu memelukku. Air matanya menetes membasahi bahuku yang berlumuran darah. Bisa bersih noda darah di tubuhku nanti oleh air matanya. “Sayang! Sadarlah, Cantik! Aku masih berhutang padamu. Sayang!”

“Letkol! Kita harus tinggalkan tempat ini,” kata sebuah suara. “Kami akan mengangkut dia.”

Laki-laki baik itu menggeleng. “Bukan dia. Nama wanita ini Letnan satu Dewi. Dewi adalah perwira wanita pemberani yang pernah kukenal.”

“Siap, Letkol. Tapi kita harus segera mengangkutnya.”

“Biar aku sendiri yang akan menggendongnya ke helicopter black hawk. Kalian selamatkan para tawanan lainnya!”

“Aye aye, Sir. Bravo! Tanggo! Kita mendapatkan tujuan, over! Kami minta ijin evakuasi terhadap satu target utama dan beberapa tawanan lainnya!” kata suara itu.

Roger, bravo! Alva! Helicopter black hawk sudah siap melakukan evakuasi, over! ”

“Dewi ayo kita pulang, Sayang! Aku akan lunasi hutangku kepadamu!”

Laki-laki ini begitu baik. Dia memeluk kemudian menggendongku penuh perasaan cinta yang tulus.


BAB 11


Hatiku terasa sakit, karena pikiranmu masih belum dapat melupakan peristiwa mengerikan yang terjadi. Kamu masih terus mengulang-ulang kalimat yang sama, setiap waktu.

“Letkol Erick, sekarang sudah hampir satu tahun. Dewi belum juga pulih. Kenapa Letkol terus saja mau mendampingi temanku ini?” wanita berseragam tentara, Susi, sahabatmu, saat ini duduk di depan kita. “Kenapa tidak menyerahkannya kepada kami, supaya bisa dirawat di Indonesia?”

Aku merangkulmu dan mengelus rambut halusmu. Dewi, kamu selalu tampak cantik, meskipun saat ini kamu hanya dapat duduk dalam rangkulanku, dengan tatapan kosong di atas tempat tidur. Tapi kondisi ini sudah lebih baik. Dulu aku sama sekali tidak dapat mendekatimu. Kamu sama sekali tidak mau disentuh oleh siapapun.

“Dokter terbaik di Coronado menyatakan kondisi setraumatis yang dialami Dewi perlu waktu bertahun-tahun untuk pulih.”

“Tapi, dokter itu juga mengatakan ... Kemungkinan Dewi tidak akan pulih ... Sangatlah besar.” Sahabatmu menunduk, air mata yang menetes dari pelupuk matanya segera diusap.

“Aku selalu berharap Dewi akan pulih,” ujarku dengan napas tertahan. Melihat dirimu tampak tidak berdaya sangatlah menyakitkan.

“Dewi adalah wanita yang sangat cerewet. Dewi suka sekali ribut sama siapa saja, termasuk satu tahun lalu, betapa beraninya dia membentak-bentak dan mengumpatmu. Maafkanlah temanku ini, Letkol.” Susi mengelus pipimu. “Wi, sadarlah. Ini aku, temanmu. Teman baikmu yang selalu kamu lindungi sejak dulu.”

Kamu hanya menatap lurus wajah Susi dengan tatapan kosong. Entah apalagi yang dapat kulakukan untuk mengembalikan kesadaranmu. Meskipun sampai ujung dunia, akan kucari obat itu jika memang dapat menyembuhkanmu.

“Kalian orang-orang jahat! Bajingan! Lepaskan! Jahanam! Lepaskan!” Kamu mulai memberontak. Gadisku, kamu mengucapkan kata-kata yang sama lagi.

“Sayang … Tidak apa-apa, semua sudah berakhir. Kamu aman, kamu aman bersamaku.” Aku merangkul tubuhmu semakin dalam, mengelus kepala dan punggungmu sampai kau bernapas dengan tenang kembali.

“Kamu tidak perlu meminta maaf padaku, Susi. Aku tidak pernah membenci mulut manis Dewi. Aku mencintai setiap kecerewetan, kejujuran, dan perilakunya yang apa adanya. Dia wanita luar biasa dalam hidupku. Dia benar-benar seorang Dewi.”

“Namanya memang Dewi, Letkol.”

“Tidak,” aku mengayunkan tangan. “Aku mempelajari bahasa Indonesia. Dewi dalam bahasa kami berarti goddess. Wanita yang memiliki sifat mulia, sifat illahiah. Aku bersaksi dalam hidup dan matiku bahwa kekasihku ini, benar-benar wanita berhati mulia.”

Susi kembali duduk di kursinya.

“Tapi sekarang …” suaraku bergetar, napasku tersengal, aku menatap lekat kedua bola matamu, pujaan hatiku. “Dewiku ... Dewiku yang teramat cantik ini bahkan tidak bisa menyebut namaku,” pelupuk mataku terasa panas, aku meraba rintik air yang mengalir perlahan. Aku tidak pernah menangis untuk seorang wanita sebelumnya. Tapi Dewi, aku tidak ingin kehilangan dirimu lagi.

Susi ikut menangis, “Letkol kamu yakin mau merawatnya?”

“Tentu,” kuseka air mata. Tentu saja aku yakin akan merawatmu. Aku tidak akan meninggalkan dirimu seorang diri lagi.

“Sampai kapan?”

“Selamanya.”

“Tapi, Letkol, bukankah Dewi akan mengganggu kariermu? Maksudku, kamu adalah perwira Navy Seal. Karier cerah menunggumu di depan mata.”

“Persetan dengan itu semua! Bagiku semenjak kejadian yang menimpa Dewi, hari yang mudah itu hanya hari kemarin! Oleh karenanya, setiap hariku sekarang hanya kuabdikan untuk merawat Dewiku ini. Seorang wanita yang gagah berani.”

Aku meraih tanganmu dan menempelkannya di pipiku, kemudian melanjutkan ucapanku, “Yang aku inginkan hanya satu.”

“Apa itu?” lagi-lagi temanmu bertanya kepadaku.

“Aku hanya ingin dia memanggil namaku, seperti dulu saat dia memanggilku dengan penuh cinta.”

Air mataku menetes lagi. Tanganmu terasa berkedut di pipiku. Sesaat aku merasa bahwa kamu sedang mencoba mendekap wajahku. Kulihat baik-baik kedua bola matamu. Mungkin aku berhalusinasi, tapi kamu seperti sedang memandangku, mengenaliku, walaupun tatapanmu hanya berlangsung selama satu detik. Aku berkedip, aku ingin mempercayai bahwa kau, gadisku, memang mengenaliku. Namun, yang kulihat di kedua mata indahmu itu, lagi-lagi hanya ada kekosongan dan kepedihan.

“Aku harap, kalian berdua akan mendapatkan kebahagiaan. Kalau begitu, aku pamit dulu. Besok aku akan datang lagi.” Susi kembali memelukmu dengan erat, lalu menegakkan tubuhnya dan memberi hormat padaku. Aku hanya mengangguk membalas salam hormatnya. Aku tidak ingin melepaskan pelukanku padamu.

“Terima kasih sudah mengunjungi kami. Maaf aku tidak bisa mengantar kepergianmu.”

“Tidak apa-apa. Tolong jaga sahabatku dengan baik.” Susi melangkah keluar kamar. Selepas kepergian sahabatmu, aku hanya dapat memandang langit-langit kamar sambil memelukmu. Aku menyandarkanmu pada sandaran ranjang. Merapihkan bantal agar tubuhmu merasa nyaman, kemudian merogoh saku bajuku, mengambil sebuah permen yang kubeli sebelumnya di supermarket. Sudah lama aku tidak menemukan permen merek ini. Permen ini mengingatkanku pada ciuman pertama kita, ciuman di tengah demonstrasi Conakry. Aku tersenyum mengingat kenangan itu. Saat itu kamu terlihat sangat menggemaskan, mulutmu yang cerewet membuatku ingin menciummu.

Aku membuka bungkus permen, aroma segar mint dengan setuhan manis langsung menggelitik hidungku. Aku memasukkan permen itu ke dalam mulutku. Rasa dan aromanya masih sama seperti dalam ingatanku, rasa ciuman manis yang akan selalu kurindukan, rasa dirimu.

Aku memandangmu untuk kesekian kalinya. Kamu tetap cantik seperti biasanya.

“Aku hanya ingin kamu memanggil namaku lagi.” Ucapanku terdengar sangat lirih, bahkan oleh telingaku sendiri. Susah payah aku menahan air mata. Sambil memejamkan mata, aku mengecup pelan bibir lembutmu, memainkan bibir bawahmu, seperti yang kulakukan pada ciuman pertama kita, dan memindahkan permen mint dari mulutku ke dalam mulutmu. Aku menciummu dengan setiap tetes cinta yang kumiliki.

Aku berharap semoga kamu akan mengingat ciuman ini seperti aku selalu mengingat ciuman pertama kita!





Tamat.
 
Terakhir diubah:
Semoga sukses ...
Terima kasih, Suhu Mawar Berduri
satu kata :mantap:
Terima kasih, Suhu Fq Lex
Makin insekyur dengan para peserta....
Terima kasih, Suhu Nuzula22
Selamat berjuang
Terima kasih, Suhu Bagaskara91
Jangan nyari menang makanya hu... Anggap aja tantangan tuk mengapgred diri sendiri dalam menulis cerita... Mau sebagus apapun cerita lain mah kita gak peduli karena fokus kita ya ke tulisan kita :D


Btw komen dulu.. Baca nanti :baca:
keknya tema tembak-tembakan seru nih.
Terima kasih, Suhu Topi Jerami
 
Cerita yang bagus, sepertinya TS penggemar film bertema perang romantis, kalo menurut ane ini cerita yang memang dibuat dengan sepenuh hati oleh author, kalo saya pribadi menilai cerita ini luar biasa, dan saya menilai ts sukses dan apik mengeksekusi apa yang menjadi imaginasinya, good luck bro
 
Maddepp brooo
Terima kasih, Suhu Bagundal Bansel
Cerita yang bagus, sepertinya TS penggemar film bertema perang romantis, kalo menurut ane ini cerita yang memang dibuat dengan sepenuh hati oleh author, kalo saya pribadi menilai cerita ini luar biasa, dan saya menilai ts sukses dan apik mengeksekusi apa yang menjadi imaginasinya, good luck bro
Terima kasih banyak, Suhu Pujangga 2000. Dukungan Suhu sangat berarti buat ane. Good luck juga, Suhu Pujangga utk ceritanya. Cerita Mayor Pram dan Dokter Frieskanya sangat luar biasa.
ini kerenn.. makknyossss
Terima kasih, Suhu Kopraljono24444
ijin baca yaa.. terima kasih
Terima kasih, Suhu Ivet. Selamat membaca sangat ditunggu ditunggu komen tanggapanya.
 
Jangan nyari menang makanya hu... Anggap aja tantangan tuk mengapgred diri sendiri dalam menulis cerita... Mau sebagus apapun cerita lain mah kita gak peduli karena fokus kita ya ke tulisan kita


Btw komen dulu.. Baca nanti
keknya tema tembak-tembakan seru nih.
Iya hu, untuk latih mental dulu wkwk
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd