Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

HARIMAU JANTAN DARI ALAS GIRIWONO [ LKTCP 2021 ]

Raganata61

Semprot Lover
Daftar
15 Feb 2020
Post
249
Like diterima
9.554
Bimabet
Maguwo, 19-12-1948

"BBBRRRRR....NGOOEENNGG !!"

"BBBRRRRR...NGOEENNGGG !!"

gemuruh suara pesawat jet terdengar terbang rendah berlalu lalang memekakkan telinga mengawali pagi itu.

"Belum juga jam 6 tapi tni au sudah bikin kebisingan saja" gerutu seorang wanita paruh baya yang sedang menampi beras.

"mungkin kadet baru yang baru lulus pendadaran sedang berlatih Nyi" sahut pria yang juga sudah paruh baya sambil senderan di kursi usangnya di temani teh manis bikinan istrinya.

"Slessss..DUARRRRRR...."

"Slesss...DUARRRRRRR..."

Sesaat keduanya masih melihat sebuah kilatan cahaya yang menyilaukan, namun sekejap kemudian kedua orang itu sudah tak pernah tau lagi apa yang sedang terjadi, keduanya bersama ratusan penghuni komplek yang menghuni pemukiman dekat bandara, hancur lebur luluh lantak rata dengan tanah setelah pesawat pesawat tempur itu mengebom kawasan itu.


Tiba tiba dari sebuah pesawat yang lebih besar terlihat memuntahkan ratusan bunga bunga yang bermekaran memenuhi langit Maguwo, dan dengan cepatnya pasukan terjun payung itu memberondongkan senapannya menyapu bersih penghuni bandara yang belum paham apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Di sisi lain derap pasukan yang bergerak sangat cepat memasuki kota dari tiga jalur utama, mengiringi tank tank yang sesekali menembakkan moncong canonnya ke beberapa tempat yang langsung luluh lantak.

4 jam kemudian semuanya telah berakhir dengan pendudukan kota oleh pihak asing yang kemudian menamakan dirinya NICA.

Para pemimpin bangsa yang sedianya akan berunding langsung di tawan tanpa diplomasi apapun.

Namun sebelum Bung Besar pendiri bangsa itu di tawan beliau sempat merestui seorang panglima besar yang mohon izin untuk mengobarkan perlawanan semesta untuk melawan kesewenang wenangan ini.

Dalam keadaan sedang mendapat perawatan sang jendral memanggil para ajudannya yang kemudian memberi komando untuk mengadakan perlawanan dari luar kota dan bersifat semesta dan gerilya guna mengusir para agresor asing itu dari bumi pertiwi ini.

Sementara itu di sebuah pedukuhan kecil yang masuk dalam lingkup Kademangan Nguntoroharjo bernama Dukuh Nadi yang juga kesohor sebagai dukuh seni karena memang kebanyakan penduduknya mahir dalam olah seni terutama karawitan yang menjadi profesi sampingan selain bercocok tanam.

Bahkan kepala dukuh itu sendiri adalah seorang dalang wayang kulit yang cukup punya nama di sekitaran Karesidenan Surakarta bernama Ki Gondo Sujiwo.

Kebanyakan para niyogo yang mengiringinya pun juga adalah para warganya sendiri dari Dusun Nadi, karena hampir semua penduduk Nadi mahir memainkan gamelan.

Dukuh Nadi juga memiliki setidaknya dua sinden waranggono yang terkenal akan kecantikan dan kemerduan suaranya yang membuat penampilan pagelaran wayang kulit Ki Dalang Gondo selalu ramai akan penonton dan tanggapan.

Nyi Dasiyem adalah waranggono yang sudah kawakan dengan pengalaman puluhan tahun adalah istri dari Dalang Gondo sendiri yang hanya memiliki satu putra yang bernama Jumeno yang telah beristrikan seorang waranggono jelita yang sedang naik daun bernama Menur yang sering juga di sebut Sinden Menur.

Sinden Dasiyem meski sudah cukup berumur tapi pesona kecantikannya masih tergores jelas di wajahnya, begitu juga dengan Menur yang sudah cantik jelita dari awalnya, membuat kedua waranggono itu sering jadi bintang pentas yang menghasilkan banyak saweran dari para penggemarnya.

Seperti sore hari itu ketika mereka sedang berlatih untuk untuk persiapan pentas di halaman katumenggungan di keraton kasunanan yang rencananya akan berlangsung pekan depan.

Sementara di sisi lain seorang penabuh kendang yang masih berusia belia yang berparas manis tampan dan juga masih terhitung kemenakan Ki Dalang sendiri, karena ibu dari pemuda itu adalah adek kandung dari Ki Dalang, terlihat slalu menatapi wajah cantik yang duduk bersimpuh tak jauh darinya meski tangannya tetap terampil memainkan kendang kendangnya.

Sudah beberapa malam ini pemuda yang bernama Utomo itu slalu gelisah hati terbayang bayang akan senyum manis yang membuat jantungnya berdegup semakin kencang.

Wanita itu juga bukannya tak tau kalo adek sepupu suaminya itu selalu memperhatikannya diam diam, bahkan hatinya pun sering berdesir saat beradu tatap dengan pemuda tanggung yang beberapa tahun usia di bawah usianya sendiri itu.

Tiba tiba dari arah halaman terlihat seorang pria paruh baya tengah berlari lari kecil dan langsung mendekat ke Ki Dalang dan duduk bersimpuh di sebelahnya.

"Ada apa Parto kamu sudah berumur kok masih main lari lari an sampai terengah engah begitu?" ujar Ki Dalang sambil memainkan wayang kulitnya.

"Maaf Ki Dalang saya membawa berita gawat..***wat Ki Dalang" ujar Parto masih dengan terengah engah.

"Tenangkan dirimu dulu Parto lalu bicaralah dengan benar apanya yang gawat ?" kembali Ki Dalang bertanya.

"Ngayogjokarto di bom Walanda Ki Dalang, ibukota hancur luluh lantak dan para pemimpin bangsa di tawan Ki Dalang" ujar Parto memberikan informasi yang langsung membuat aktivitas latihan itu terhenti seketika.

"Tunggu tunggu kau dapat berita seperti itu darimana Parto, jangan sembarangan bicara kamu" ujar Ki Dalang.

"Maaf Ki Dalang berita itu saya dengar dari paklik Sastro yang baru siang tadi tiba di rumah kami untuk mengungsi bersama seluruh keluarganya" kata Parto terlihat jujur apa adanya.

"Sastro paklikmu yang tinggal di Jatinom maksudmu ?" Tanya Ki Dalang dengan nada keras.

"Benar Ki Dalang" jawab Parto.

"Wah kalo apa yang kau katakan itu benar berarti memang beneran gawat Parto hemm" gumam Ki Dalang sambil meletakkan wayang yang di pegangnya di atas tumpukan wayang yang lain.

Tiba tiba Ki Dalang terbayang akan uang pemanjer yang diberikan oleh Tumenggung Suryorekso kepadanya tempo hari untuk biaya pertunjukan semalam suntuk juga dirinya yang telah memesan satu set kostum baru pada Nyi Demang yang belum lunas sepenuhnya.

"Ahhh..." keluh Ki Dalang.

"Jadi bagaimana selanjutnya Ki Dalang, sebagai warga tentu kami menunggu kbijaksanaan Ki Dalang selaku kepala dukuh disini" ujar Parto yang sedikit membuat gugup Ki Gondo.

"Untuk selanjutnya tentu belum bisa di putuskan Parto, kita tunggu dulu dawuh Ki Demang nanti bagaimana tapi yang jelas kita harus waspada dengan segala situasinya" kata Ki Dalang yang di amini oleh semua orang yang ada di pendopo banjar dukuh itu.

Setelah itu Ki Dalang membubarkan acara latihan sore hari itu dan menyuruh juru gudang yang di bantu oleh para niyogo menyimpan kembali peralatan gamelan yang mereka gunakan di gudang perkakas yang letaknya ada di sebelah pendopo banjar.

Seperti biasanya mereka semua melakukan semua tugas dan kewajiban dengan tertib meski sesekali mereka berseloroh tentang berita yang mereka dengar dari Parto tadi yang juga termasuk rekan mereka di lingkung karawitan karena Parto sendiri oleh Ki Dalang di dapuk sebagai asistennya yang membantunya saat mementaskan pagelaran wayang purwonya.

Setelah minum dan makan ala kadarnya yang di sediakan pembantu di rumah Ki Dalang, satu persatu mereka undur diri ke rumah masing masing kecuali Utomo yang masih menyempatkan diri untuk bercakap cakap dengan Menur sejenak sebelum Utomo pergi saat Menur di panggil Jumeno suaminya yang kebetulan memerlukannya.

Malam datang dengan begitu cepatnya, suasana yang biasanya semarak dengan alunan tembang pangkur yang bersahut sahutan dari tiap rumah berganti dengan keheningan yang mencekam.

Berita tentang kejatuhan Kota Ngayogjakarto dan disertai dengan di tawannya para pemimpin bangsa benar benar membuat kepanikan dan rasa gelisah yang luar biasa bagi setiap jiwa di seluruh penjuru negeri.

"Tong..tong..tongg..tonggg"

Bunyi kentongan yang di pukul titir terdengar dari banjar pedukuhan, yang langsung di respon hampir seluruh warga di pedukuhan yang didiami sekitar 40 an kk itu dan menjadikan pedukuhan itu sebagai pedukuhan yang paling padat di Kademangan Nguntoroharjo.

Dengan tertib para warga itu berkumpul jadi satu di pendopo banjar yang juga masih termasuk dalam lokasi lahan rumah Dalang Gondo Sujiwo.

Disana telah menunggu para pamong kademangan di sertai beberapa orang berseragam tentara.

Melihat para warganya telah berkumpul Ki Demang pun segera mengucapkan kata sambutan yang di sambung pengumuman tentang keadaan darurat yang tengah di hadapi bangsa ini sehubungan agresi militer yang dilakukan pihak asing yang menamakan diri NICA.

Keadaan darurat itu di karenakan jatuhnya ibukota dan di tawannya para pemimpin bangsa yang seketika membuat lumpuh sendi pemerintahan yang baru berusia seumur jagung itu.

Atas dasar itu tentara nasional lewat panglima besarnya langsung bereaksi untuk mengadakan perlawanan meski dengan peralatan seadanya.

"Karena itu saudara sekalian seperti amanat panglima besar yang hendak mengobarkan perlawanan semesta menyeluruh di berbagai daerah memerlukan dukungan baik yang bersifat moril maupun materiil dari seluruh rakyat negara tercinta ini" ujar Ki Demang.

"Sekali lagi kita harus berkorban saudaraku semua...demi kehidupan hari depan yang lebih baik, kita harus bersatu padu untuk melawan penindasan oleh pihak asing itu, jika rakyat manunggal dengan tentara maka bangsa ini akan menjadi kuat untuk mengusir para penjajah, apakah saudara sekalian setujuuu ?" ujar Ki Demang dengan lantang.

"Setujuuuu..." jawab warga serempak.

Untuk kesekian kalinya para warga itu dan mungkin seluruh rakyat bangsa ini kembali di tuntut untuk berkorban baik jiwa maupun raga untuk membela kehormatan dan harga diri bangsa ini.

Orang orang itu sangat memahami karena telah ratusan tahun mengalami berbagai bentuk penindasan oleh pihak asing, dan kali ini pun mereka akan melakukannya lagi berkorban jiwa raga demi tegaknya bangsa yang kelak akan jadi bangsa besar dan terhormat.

Selanjutnya pihak tentara nasional yang di wakili Mayor Supardjo menambahkan sambutan yang mengguggah jiwa patriotisme seluruh warga yang hadir, dimana kabar kondisi terkini pasukan tentara nasional berhasil menghalau pasukan agresor asing di beberapa daerah meski di pihak kita juga terdapat banyak korban jiwa.

Mayor Supardjo juga menyampaikan amanat panglima besar tentara nasional yang memohon dukungan seluruh rakyat tanpa kecuali untuk mengobarkan perlawanan semesta di berbagai daerah dengan tetap mengutamakan perlindungan atas warga sipil terutama wanita dan anak anak.

"Demikian saudara sekalian pada akhirnya dengan manunggalnya rakyat dan tentara maka negara kita akan semakin kuat. Rawe rawe rantas malang malang tuntas. Merdekaaa....!" seru perwira muda ajudan terpercaya panglima besar itu dengan menggebu gebu.

"Merdekaaaa" jawab seluruh yang hadir sambil mengacungkan tangan ke atas dengan penuh semangat.

Akhirnya malam itu juga Mayor Supardjo di bantu anak buahnya mendata warga yang berniat bergabung dalam laskar rakyat yang ternyata hampir semua lelaki dewasa di dukuh itu menyatakan minatnya.

Namun saat Utomo hendak ikut mendaftarkan dirinya, ibunya melarangnya.

Sekeras apapun Utomo menyatakan tekadnya entah kenapa ibunya tidak mengijinkannya hingga Jumeno kakak sepupu Utomo langsung menyindirnya.

"Ibumu benar Tomo kau masih ingusan, sebaiknya kau tak usah ikut berperang, kau bisa tidur di rumah dan tenang menyusu ibumu" ujar Jumeno yang langsung membuat muka Utomo memerah dan hatinya terasa panas.

"Apa katamu kang ?" Ujar Utomo lantang.

"Dengarlah kau masih ingusan kau harus berpikir tentang keseluruhan kalo kau ikut ke medan laga apakah kau nanti membantu atau justru malah akan menyusahkan kami. Paham kan...!" ucap Jumeno sambil mendekati Utomo dan menepuk nepuk pipinya.

Utomo benar benar gusar dan marah belum pernah ia merasa di hinakan sedemikian rupanya apalagi oleh kakak sepupunya sendiri.

"Lihatlah dengan matamu baik baik kang" kata Utomo lalu memungut sebuah batu berukuran segenggaman tangannya.

Lalu pemuda berparas manis tampan itu membidik dan melemparkan batunya ke atas ke arah rimbunnya daun daun pohon mangga yang sedang kembang yang semakin pekat karena minimnya penerangan.

"Krosakk...deghhh...bughhh"

Seekor ular hijau gadung berekor merah sebesar jempol kaki pria dewasa jatuh ke tanah dengan kepala hancur meski badannya yang cukup panjang itu masih meliuk liuk.

Hampir semua orang yang kebetulan menyaksikan apa yang di lakukan Utomo itu terperanjat, dan secara jujur mengagumi kemampuan anak muda itu bahkan Mayor Supardjo pun juga termasuk orang yang mengagumi karena ia yakin belum tentu ia dapat melakukan persis apa yang di lakukan Utomo tersebut.

"Kalo kakang ragu dengan kemampuanku gimana kalo kita coba dengan kepalamu itu" bisik Utomo.

"Persetan" balas Jumeno pelan.

Meski begitu ibu Utomo tetap tidak mengijinkan anak semata wayangnya itu untuk ikut bergabung ke medan laga yang membuat ibu dan anak itu terlibat pertikaian sejenak, hingga Ki Demang merasa perlu ikut campur karena Ki Wiryo, bapaknya Utomo sendiri yang merasa tak mampu mengatasi kekeras kepalaan istri dan anaknya itu memilih berdiam diri.

"Hemm...bolehkah saya ikut campur, begini nak bapak bisa merasakan apa yang kamu rasakan saat ini karena bapak pun pernah seusia denganmu tapi sebaiknya memang menurut bapak kau harus patuh pada ibumu sendiri karena bapak yakin seorang ibu paham betul tentang apa yang terbaik buat anaknya." ujar Ki Demang.

"Tapi saya juga ingin berjuang Ki Demang" kata Utomo.

"Hehe bagaimana kalo bapak beri peran lain misalnya menjadi pengawal kademangan dalam hal ini menjaga tempat pengungsian itu kalo kamu tak keberatan, bagaimanapun kita wajib memikirkan keselamatan para wanita dan anak anak yang nanti akan di tinggalkan, bukan" ujar Ki Demang sambil tersenyum ramah.

Utomo hanya berdiam diri jujur saja ia sangat kecewa apalagi dengan peran yang di tawarkan Ki Demang jelas akan membuat impiannya untuk bertemu sosok jendral besar panglima tentara nasional makin terkikis.

"Jawablah nak kamu bersedia bukan menjadi petugas keamanan kademangan" kali ini ibunya lah yang bicara.

"Baik Ki Demang saya bersedia" jawab Utomo pelan.

"Baik trimakasih kalo begitu aku akan pilihkan beberapa orang sebayamu untuk menemani kamu menjadi pengawal keamanan" ujar Ki Demang sembari tersenyum dan mengusap usap pundak Utomo yang hanya menganggukkan kepala pertanda menyetujui usul orang nomer satu di Kademangan Nguntoroharjo itu.

Setelah semua selesai acara pun di lanjutkan dengan pengarahan tentang tata cara yang perlu di lakukan terutama oleh para wanita dan anak anak apabila pihak penjajah benar benar menginjakkan kakinya di daerah itu.

Namun seperti sebelumnya saat Jepang yang menjajah mereka selalu menempatkan anak anak dan wanita di alas bambu yaitu suatu daerah di puncak Bukit Mungkur yang di kelilingi alas tutupan Giriwono di sekelilingnya, yang di anggap sebagai salah satu daerah yang cukup aman selain lereng Gunung Sungging Tirtomoyo.

Keesokan harinya semuanya segera tenggelam dalam kesibukan yang luar biasa para pria sibuk membenahi alas bambu yang selama ini di jadikan pengungsian sejak masa pendudukan Jepang.

Bangunan dari bambu yang sudah usang itu mereka ganti baru dan bunker bunker galian di bawah gubug panggungan itu juga di perbesar dan di benahi.

Sementara para wanita turun ke ladang ladang memanen hasil tanaman mereka yang sebenarnya belum waktu panen.

Dan hasilnya sebagian mereka kumpulkan jadi satu di gudang penyimpanan alas bambu dan sebagian lain di usung oleh petugas kademangan guna persiapan logistik bagi para pasukan pembela kemerdekaan.

Setelah petang tiba dan memastikan semua wanita dan anak anak serta lansia sudah di tempatkan di alas bambu, para pria yang tergabung dalam laskar rakyat itu berangkat ke kademangan untuk bergabung dengan barisan tentara nasional.

Malam itu dengan di temani penerangan temaram obor bumbung bambu yang di isi dengan minyak jarak, Utomo sibuk membuat lembing lembing dari bambu kuning yang di buat seukuran tombak dalam jumlah cukup banyak.

Beberapa kali Utomo mengganti bumbung obor yang telah padam atau redup, namun kembali setelah itu ia tenggelam dalam kesibukannya membuat lembing lembing yang ia buat runcing sedemikian rupa.

Utomo tak mengetahui ada sepasang mata indah yang sedari tadi memperhatikannya.

"Adi...sudah selarut ini kau masih belum istirahat ?" ucap suara merdu yang sangat Utomo kenali.

"Eh mbakyu ini masih tanggung sebentar lagi selesai" jawab pemuda itu sembari menatap wajah cantik jelita yang bibirnya menyunggingkan senyum yang sangat manis itu.

"Boleh aku duduk disini adi ?" ucap Menur pelan lalu duduk di sebelah Utomo.

"Silahkan mbakyu...mbakyu sendiri kenapa belum tidur bukankah ini sudah hampir tengah malam" ujar Utomo sambil tersenyum dan melirik wajah ayu yang tak pernah membuatnya bosan untuk slalu memandanginya itu.

"Entahlah adi rasanya mataku sulit terpejam" kata Menur pelan.

"Atau barangkali mbakyu belum terbiasa tidur terpisah dari kang Jumeno" canda Utomo menggoda istri sepupunya itu.

"Hihihi...mungkin tapi tepatnya aku tak tahan mendengar dengkuran Yu Mijem dan Yu Turah yang seakan saling berlomba itu" jawab Menur.

"Ahh hahahaaa..." kata Utomo sembari ketawa agak keras.

"Hushh.. jangan keras keras adi" ujar Menur sambil mencubit pinggang pemuda itu, yang membuat Utomo langsung menggenggam tangan Menur yang sangat lembut itu.

Beberapa saat Menur membiarkan adek sepupu suaminya itu menggenggam tangannya, sebelum pemuda itu tersadar dan melepaskan genggamannya perlahan.

"Mbakyu bisa tidur dengan ibuku beliau tidak mendengkur" ucap Utomo pelan.

"Tempat ibumu sudah penuh anak anak adi, lagipula aku lebih suka disini bersamamu" ucap Menur sambil kembali tersenyum yang rasanya sangat memabukkan buat Utomo.

"Ahhh...tapi kalo nanti ada yang lihat bisa jadi masalah mbakyu" ujar Utomo.

"Biarlah...apa kau takut ?" tanya Menur seakan menantang Utomo.

"Tidak mbakyu sama sekali tidak hanya nantinya merasa tak enak hati saja" jawab Utomo sambil menatap wajah ayu Menur.

"Kalo begitu antarkan aku jalan jalan sejenak, bukankah kau malam ini tidak tugas meronda kan" pinta Menur.

"Iya mbakyu aku baru besok malam tugas meronda tapi mau jalan jalan kemana mbakyu ini sudah larut malam" ujar Utomo agak segan memenuhi permintaan istri kakak sepupunya itu.

"Ayolah !" ajak Menur sembari menarik tangan Utomo yang sama sekali tak bisa menolaknya.

Utomo memperhatikan sekelilingnya yang telah begitu sepi senyap, di atas gardu pos di lihatnya Ragil dan Pardi tidur pulas mendengkur.

Utomo lalu mengikuti kemana Menur membawanya karena sekejap kemudian mereka sudah berada di luar alas bambu.

Dengan hanya mengandalkan tajamnya penglihatan dan sedikit terang malam yang langitnya tak bermendung itu, mereka berjalan bergandengan menyusuri jalan setapak menuju Sendang Tirto Khayangan, sebuah sumber air dari mata air Bukit Mungkur yang airnya sangat hangat meski di malam hari sekalipun.

"Mbakyu apakah kita mau ke sendang ?" tanya Utomo yang masih membiarkan tangannya di gandeng Menur.

"Tidak adi kita hanya jalan jalan tapi ada sedikit yang ingin kutanyakan padamu adi" kata Menur sembari menghentikan langkah dan berbalik menghadap ke arah Utomo yang tertegun.

"Tanya apa mbakyu ?" ucap pemuda berwajah manis tampan itu amat pelan.

"Aku ingin tau adi kenapa kau slalu memandangi aku, apakah ada salah yang kuperbuat padamu adi" ujar Menur yang membuat Utomo terlihat salah tingkah.

"Tidak mbakyu sama sekali tidak ada salah dari mbakyu hanya saja aku memang suka melihat mbakyu" jawab Utomo pelan.

"Maksud adi bagaimana ?" sahut Menur lagi.

"Sudahlah mbakyu tentu saja aku lebih suka memandangi mbakyu Menur daripada memandangi kang Parto atau pakde Pono atau pakde Gondo sekalipun hehehe" ujar Utomo sedikit bercanda.

"Jangan bercanda adi aku serius" ujar Menur cemberut yang membuatnya makin terlihat manis.

"Ehmm...aku mencintai mbakyu Menur karena itu aku slalu suka melihat mbakyu" kata Utomo pelan.

"Muacchhh..."

Tiba tiba saja Menur mengecup bibir Utomo yang tak menyangka akan ketiban pulung seperti itu.

"Apakah itu yang sebenarnya adi, kau tak bohong kan ?" tanya Menur sambil memegang tangan Utomo.

"Aku berkata sebenarnya mbakyu sudah lama aku mencintai mbakyu" ujar Utomo pelan.

Menur tiba tiba saja mendekap tubuh kekar pemuda itu, dan membenamkan wajahnya di dada Utomo seakan ingin merasakan betapa kencangnya degup jantung Utomo saat itu.

Utomo akhirnya balas memeluk tubuh sinden muda yang semok sintal itu lalu bibirnya mengecup kepala Menur yang lalu mendongak dan merekapun saling mengadu bibir masing masing.

"Ehmmm ahh jangan disini adi" kata Menur sambil melepaskan lumatan bibir mereka.

"Mari mbakyu aku tau tempat yang aman" ujar Utomo lalu merangkul pundak Menur dan di bawanya ke sebuah tempat yang tak begitu jauh dari tempat itu.

Sebuah gubug bambu kecil yang berbentuk panggung di tengah tanaman jagung yang rimbun yang meski buahnya sudah di panen paksa namun pohonnya belum sempat di tebangi.

"Ini bukankah tegalan milik kang Soma Gati adi ?" tanya Menur sambil menaiki panggungan gubug yang cukup tinggi itu, sementara Utomo sudah naik duluan dan membersihkan galar galar bambu petung yang jadi alas gubug itu.

"Iya mbakyu bukankah tempat ini cukup aman" jawab Utomo sambil merengkuh tubuh Menur yang sangat montok itu dan segera di peluknya dan di ciuminya wajah cantik istri sepupunya itu.

Menur makin mendesah kencang ketika Utomo dengan nakalnya memasukkan tangannya ke dalam kain panjang yang melilit bagian bawah tubuhnya lalu mengusap usap lipatan selangkangannya yang di tumbuhi bulu bulu halus yang cukup pepat itu.

Menur hanya bisa pasrah saat kemudian Utomo yang terus menciumi wajahnya itu langsung merebahkannya dan menindihnya, sementara batang kontol Utomo yang telah mengeras terus mencucuk cucuk daerah di sekitar bawah perutnya yang masih tertutup kain panjang.

"Mbakyu aku sudah tidak tahan lagi..." bisik Utomo sembari menjilati kuping istri sepupunya itu, yang makin membuat Menur makin terbuai.

"Lakukanlah adi...karena aku juga sebenarnya mencintaimu" ucap Menur pelan.

Lalu keduanya segera melepaskan seluruh pakaian yang menempel di tubuh masing masing kemudian segera saling bergumul berkelonan sebelum Utomo lalu menindih dan menunggangi tubuh montok sempurna sinden muda yang berwajah jelita itu.

Utomo lalu menghentak hentakkan kepala batang kontolnya yang cukup besar berurat itu untuk menembusi lubang kenikmatan milik istri sepupunya yang tak lama kemudian segera amblas tertelan masuk ke dalam gua yang menawarkan sejuta kenikmatan itu.

"Ahh...ahh..ahh..nikmat sekali tempikmu mbakyu..." racau pemuda tanggung itu sambil memaju mundurkan batang kontolnya yang keras keluar masuk lubang kewanitaan Menur.

Sementara Menur hanya berdesah pelan sambil menggoyangkan pinggulnya menyambuti hujaman kontol yang membuatnya melayang itu.

Tak terasa air mata Menur menetes membasahi pelipisnya tanpa bisa ditahannya.

Ada rasa bersalah dalam lubuk hatinya meski wanita itu tak memungkiri dirinya lebih nyaman bersama Utomo daripada bersama suaminya sendiri.

"Ahhh...ahhh...ahhhh...." racau Utomo ketika dari mulut batang kontolnya menyemburkan cairan pekat yang langsung mengalir deras ke dalam lubang kenikmatan Menur yang juga sudah sangat lembab dan becek itu.

Utomo langsung rebah telungkup menindih tubuh montok Menur sembari mendengus dengus sambil terus menciumi wajah wanita yang berhidung bangir itu.

Menur sendiri sebenarnya hampir mencapai puncak knikmatan andai saja Utomo mau bersabar sedikit waktu lagi, namun buat ukuran seorang perjaka Utomo rasanya sudah cukup memuaskan buatnya.

"Gimana adi enak tidak ?" Bisik Menur sembari mengecup bibir Utomo yang baru saja mengecupi keningnya.

"Sungguh luar biasa mbakyu aku belum pernah merasakan nikmat yang seperti ini sebelumnya" ujar Utomo yang lalu melumat bibir Menur.

"Apakah adi benar benar mencintaiku ?".

"Tentu saja mbakyu aku memang sangat mencintaimu".

"Kalo begitu rebutlah aku dari kang Jumeno apakah kau bersedia ?".

"Tentu saja aku ingin sekali mbakyu tapi apakah mbakyu sanggup menerima segala akibat yang timbul nantinya?".

"Ngga masalah selama kau tetap mencintaiku aku akan bersedia kau bawa kemanapun kau pergi" ucap Menur sambil tersenyum semringah.

"Baiklah cintaku kita bicarakan ini nanti yah sekarang kita gunakan sisa malam ini untuk istirahat dulu" ujar Utomo lalu mengecup kening Menur.

"Dinginnn...keloninn.." rajuk Menur manja yang segera di respon Utomo dengan mendekap tubuh Menur erat erat dan meletakkan lengannya di bawah kepala Menur untuk di jadikan bantal buat wanita cantik itu, sementara kain panjang Menur di pakai buat selimut.

Sejenak kemudian suasana menjadi begitu hening dan semakin dingin, hanya suara desah angin yang sesekali berhembus meniup dedaunan yang kemudian menimbulkan suara kemerisik akibat bergesekan.

Cenggoret dan cengkerik pun terus bernyanyi tak henti hentinya seakan ingin memperlihatkan eksistensinya.

Hingga terdengar suara ledakan menggelegar mengagetkan kedua pasangan yang baru saja terlelap itu.

"BLEDUGGGGG...DUARRRR!!!"

Menur dan Utomo langsung terbangun bersamaan.

"Suara apa itu adi ?" tanya Menur sambil memeluk Utomo yang juga terlihat bingung.

"Entahlah mbakyu.." jawab pria muda itu.

"Lihat disana adi !" ujar Menur sambil menunjuk ke arah lembah sebelah tenggara tampak agak sedikit terang daripada yang lain di sertai kepulan asap yang makin menambah pekatnya malam.

"Ahh jangan jangan perang sudah berkecamuk di daerah sini mbakyu" gumam Utomo sambil menatap kepulan asap pekat itu.

"Lalu gimana adi ? Aku takut Walanda akan menemukan tempat kita adi" ucap Menur sambil makin merapatkan pelukannya pada tubuh Utomo.

"Tenanglah mbakyu biar aku cari tau apa yang terjadi, mari ku antar pulang dulu mbakyu" ujar Utomo lalu segera menyambar pakaiannya dan mengenakannya kembali.

Menur yang berpikir takut terpergok ibu mertuanya langsung berkata sebaliknya.

"Biarlah aku pulang sendiri adi" kata wanita itu sembari melakukan hal yang sama mengenakan busananya.

"Tapi mbakyu ini masih terlalu malam apa kau tidak takut ?" ujar Utomo mencemaskan keselamatan wanita yang sangat di cintainya itu.

"Aku sudah biasa adi, kau jangan cemas justru kamulah yang harus berhati hati, jika benar perang telah berkecamuk lebih baik kau menghindar saja adi aku tak mau terjadi sesuatu denganmu" ujar Menur pelan.

"Percayalah cintaku tidak akan terjadi apa apa denganku" kata Utomo sambil memakai ikat kepalanya.

Menur sekali lagi memeluk Utomo dan menciumi bibir pemuda berwajah manis tampan itu.

"Berjanjilah kau akan kembali sayank...kini aku tak akan bisa hidup tanpamu" bisik Menur.

"Aku berjanji Menur, dan kau hati hati yah mmuaacchhh" ujar Utomo lalu melesat hilang di balik rimbunnya tanaman jagung setelah sekali lagi melumat bibir Menur.

Sementara wanita cantik itupun juga segera berlalu, menyusuri pematang dan terus berlalu menuju sendang tirto khayangan seperti yang ia lakukan setiap tengah malam di hari weton kelahirannya.

Dalam pada itu Utomo yang sudah mendekati Dukuh Turi terus bergerak mengendap endap di balik semak belukar dan pohon pohon trembesi yang tumbuh kokoh di sepanjang jalan.

Dari kejauhan pemuda itu melihat api yang berkobar dan menimbulkan asap pekat bersumber dari sebuah tank yang terbakar.

Beberapa saat pemuda itu masih mengamati keadaan yang tampak lengang, karena seperti Dukuh Nadi yang di kosongkan Dukuh Turi pun juga melakukan hal yang sama hanya bedanya pengungsi dari Dukuh Turi di ungsikan ke lereng Gunung Tirtomoyo.

Tiba tiba dari arah selatan tempatnya mengintai Utomo mendengar suara rentetan bunyi senjata yang memuntahkan amunisinya.

"Dor..dor..dor..dor....dorr..."

Utomo segera berlari lalu mengendap endap bergerak sepelan mungkin dari satu pohon ke pohon lain mendekati sumber suara tembak menembak itu.

Segera saja dalam keremangan di lihatnya beberapa orang asing sedang tiarap dalam posisi membidik, sementara tak jauh dari sederet pasukan itu terlihat sebuah kendaraan tempur yang di tumpangi tiga orang dengan dua diantaranya duduk di depan sementara yang satunya berada di belakang sambil memegang sebuah senapan besar yang di kelilingi banyak sekali peluru.

Setelah memastikan pasukan di depannya itu adalah pasukan asing, Utomo segera memunguti batu batu seukuran kepalan tangan orang dewasa yang banyak bertebaran di sekitaran tempat itu.

Utomo menunggu saat yang tepat, dan begitu pasukan itu kembali terlibat adu tembakan dengan musuh yang berada seberang, Utomo segera melemparkan batu yang di pegangnya yang langsung tepat menghantam tengkuk seorang tentara yang memegang senapan besar.

"Wutt..bughh...Derrrrrrrrrrrttt"

Dan hasilnya tentara yang terkejut itu justru menembakkan senapannya pada dua rekannya yang duduk di depan yang langsung tewas dengan tubuh dan kepala yang hancur sebelum tentara itu sendiri juga tumbang setelah untuk kali kedua batu yang lebih besar kembali menghantam tengkuknya.

Sementara pasukan yang sedang tiarap itu terkejut dengan serangan tiba tiba justru melakukan kesalahan ketika tak sengaja berdiri langsung menjadi sasaran tembak dari seberang.

Sisa pasukan yang terlihat gusar itu lalu memberondongkan senapannya ke berbagai arah termasuk ke tempat Utomo yang langsung tiarap berlindung di balik pohon trembesi besar.

Lalu setelah tembakan mereda pemuda itu langsung merayap berpindah tempat berlindung di balik pohon yang lain.

Sementara tembak menembak terus terjadi, Utomo melihat posisi pasukan itu mulai renggang dan itu segera di manfaatkan pemuda itu untuk kembali membidikan batu ke arah seorang tentara yang posisinya paling dekat dengannya.

Tentara naas itu segera tumbang setelah pelipisnya yang sama sekali tak terlindungi terhantam batu yang yang di lempar Utomo dengan kerasnya.

Sementara seorang tentara yang lain langsung berlari ke arah Utomo sambil menembakkan senapannya yang membuat pemuda itu langsung di liputi kecemasan luar biasa, namun dengan dingin ia langsung memanjat pohon trembesi hingga menghilangkan jejaknya dari pandangan tentara yang mengetahui kehadirannya.

"Bughh...".

Utomo terjun dari atas dan menimpa seorang tentara yang nekad mengejar sampai di bawah pohon tempatnya berlindung, dan sebelum tentara itu bangun dari jatuhnya, tentara naas itu kembali tumbang setelah Utomo menghantam kepalanya dengan sebongkah batu dengan kerasnya.

Lalu dengan senapan tentara naas itu, pemuda itu langsung membombardir sisa pasukan asing yang sama sekali tak mampu berbuat banyak.

Beberapa saat kemudian suasana telah menjadi hening mencekam, dimana mana Utomo hanya melihat mayat mayat pasukan asing yang tergeletak bergelimpangan.

Sebelum kemudian dari balik gerumbul gerumbul perdu dan rumput gajah bermunculan beberapa orang di antaranya ada seorang yang ia kenali yaitu tetangganya yang juga rekannya dalam bermain karawitan bernama Karta, dan tak lama kemudian dari arah yang lain muncul beberapa orang lagi yang di antaranya ayahnya sendiri dan Mayor Supardjo.

"Utomo kaukah itu nak ?" Tanya Ki Wiryo ayahnya yang langsung menghampirinya.

Lalu pria paruh baya itu segera memeluk anak semata wayangnya yang terlihat gemetaran dan pucat pasi.

"Apa yang kau lakukan disini nak kenapa kau tinggalkan ibumu" kembali berujar ayahnya setelah pria paruh baya itu melepaskan pelukannya.

"Aku telah membunuh ayah...aku telah membunuh" kata Utomo pelan.

"Iya ayah tau tindakanmu yang sangat berani itu telah menyelamatkan kami semua nak, kau pahlawan sekarang" ujar Ki Wiryo dengan penuh rasa bangga.

"Apakah ayah baik baik saja ?" tanya Utomo setelah sedikit tenang pikirannya.

"Iya nak ayah baik baik saja tapi tidak dengan pakdemu, sekarang beliau sedang terluka parah nak" jawab bapaknya.

"Dimana pakde Gondo sekarang ayah ?" Tanya Utomo kembali namun sebelum terjawab oleh ayahnya, Mayor Supardjo telah mendekati mereka.

"Trimakasih nak apa yang kau lakukan tadi benar benar sangat berarti bagi kami semua" ujar perwira itu.

"Ahh bukan apa apa pak mayor bukankah itu juga kewajiban kita semua" jawab Utomo pelan.

"Apapun itu kami semua sangat berterima kasih padamu nak, dan satu lagi bapak telah melihat kemampuan bidikmu yang sungguh luar biasa suatu saat gunakan kemampuanmu itu di jalur yang tepat nak" ujar Mayor Supardjo lagi

"Oh iya nak kita harus segera pergi dari sini sebelum bantuan dari pihak Walanda datang dan sekali lagi bapak mengharap pertolonganmu" kata komandan brigade X itu lagi.

"Jika saya mampu kenapa tidak" jawab Utomo pelan.

"Baiklah nak tolong kau bawakan ki dalang yang saat ini terluka untuk mendapat perawatan, karena kemampuan medis kami sangat terbatas, kamu bersedia bukan ?" ujar perwira itu lagi yang di jawab dengan sebuah anggukan saja oleh Utomo.

Dan benar saja setelah itu Utomo langsung di antar ke tempat markas sementara dimana pasukan dari brigade X dan laskar rakyat membuat basis kekuatan.

Dari sana Utomo yang segera di kejar waktu langsung membawa pakdenya yang terluka cukup parah di paha kanannya.

Setelah mendapatkan cukup banyak pesan pesan baik dari Mayor Supardjo maupun dari ayahnya sendiri Utomo segera menggendong pakdenya yang sudah menjadi semakin pucat karena terlalu banyak kehilangan darah merahnya.

Menyusuri pinggiran Dukuh Turi lalu melalui jalan rumpil menanjak ke arah tegalan yang menjadi satu satunya jalur pintas untuk menuju puncak bukit mungkur dimana alas bambu berada.

Meski dirasakan makin lama makin berat saja tapi demi keselamatan pakdenya Utomo semakin menegarkan langkahnya meski dengan napas yang semakin terengah engah serasa abis, bahkan sesekali pemuda itu menjadi terhuyung huyung karenanya.

Sementara itu di alas bambu Nyi Wiryo tengah menangis tersedu sedu karena kehilangan anak semata wayangnya yang tak di ketahui rimbanya.

Meski beberapa orang termasuk Nyi Dasiyem kakak iparnya berusaha menenangkannya namun wanita paruh baya itu tetap tak bisa menahan tangis sedihnya.

"Tomo dimana kamu nak ?" ratapnya memilukan.

Tangis wanita itu baru berhenti setelah Menur membisikkan sesuatu di telinganya.

"Saya tau dimana adi Tomo bulik" demikianlah bisikan perempuan cantik itu.

"Benarkah nduk...kau tau dimana Tomo...dimana dia nduk dimana dia...?" tanya Nyi Wiryo sambil mengguncang guncang badan Menur.

"Semalam aku memang bersamanya bulik tapi sekarang aku belum tau keberadaannya" bisik Sinden jelita itu sangat pelan namun cukup jelas di telinga Nyi Wiryo yang membuat wanita paruh baya itu tertegun sejenak.

"Kita sama sama sedang menunggunya bulik" kembali berucap pelan wanita yang sangat menawan itu di dekat telinga Nyi Wiryo yang kali ini membuat ibu Utomo itu tersenyum dan mengangguk pelan meski di benaknya berbagai pertanyaan langsung bermunculan.

Dalam pada itu Utomo yang makin kembang kempis sambil menggendong tubuh pakdenya, makin sempoyongan ketika telah memasuki puncak Bukit Mungkur.

"Keringatmu kok bau harum wanita nak" bisik Ki Gondo yang mulai merasakan sedut senut pada lukanya meski pria paruh baya itu sekuat mungkin menahan rasa sakitnya.

"Ah mana bisa pakde keringat apek gini kok di bilang bau harum wanita" jawab Utomo dengan tersengal sengal dan mendengus denguskan napas.

"Berhenti dulu gapapa nak kalo kau sudah terlalu letih".

"Tidak pakde sebentar lagi kita akan sampai".

Dan benar saja setelah mengitari semak belukar sekali lagi Utomo langsung mempercepat langkah kakinya yang terasa makin berat setelah melihat alas bambu sudah di depan matanya.

Orang orang yang kebanyakan wanita itu langsung histeris saat melihat kedatangan Utomo yang sempoyongan sambil menggendong Ki Dalang Gondo yang pahanya di bebat kain yang sudah berwarna kemerahan.

Melihat keadaan suaminya yang terkulai lemah hampir pingsan Nyi Dasiyem berteriak histeris yang membuat semua orang jadi sibuk karenanya.

Utomo sendiri langsung merebahkan tubuhnya begitu selesai menempatkan tubuh pakdenya di dalam gubug untuk mendapatkan perawatan dari Nyi Ratmi yang seorang dukun beranak dan ahli tanaman empon empon.

Sementara yang lain berkerumun di gubug tempat Ki Dalang di rawat, diam diam Menur mendatangi Utomo sambil membawakan sebuah kendi berisi air minum yang segera saja langsung di teguk habis oleh Utomo.

Bahkan sepincuk nasi thiwul dan plencing daun ketela yang di bawakan Menur kemudian dengan cepatnya berpindah ke dalam perut pemuda itu.

Namun semuanya segera berhamburan masuk ke dalam gubuk atau berlindung di bawah gubug sambil menyiram perapian dengan air ketika terdengar suara pesawat tebang mendekati tempat itu.

Setelah pesawat pesawat itu berlalu barulah Utomo yang sudah kenyang dan segar kembali langsung menarik tangan Menur diam diam dan mengajak wanita yang telah memberikan kenikmatan surgawi padanya semalam itu menuju sendang.

Setelah puas berendam di air hangat sendang, kedua orang yang sedang di mabuk cinta itu lalu bertelekan berdua di atas lempeng batu besar yang berada di lokasi paling puncak di tempat itu dan menikmati semilir udara pagi serta hangatnya sinar matahari yang baru saja naik dari ufuk timur.

Saat kedua insan itu tengah asik bercumbu, tiba tiba mereka melihat dari arah barat dan selatan masing masing sebuah iring iringan barisan berseragam biru tengah bergerak menuju satu titik pertemuan.

Iring iringan barisan dari sebelah barat tampak lebih besar kekuatannya dari pada barisan yang datang dari selatan, namun jarak yang di perlukan kedua barisan itu untuk mencapai wilayah ini lebih dekat dari arah selatan.

"Wah gawat pasukan brigade X bisa di gilas ini" gumam Utomo

Setelah berpikir sesaat pemuda itu langsung menarik tangan Menur dan mengajaknya menuruni tempat itu lalu berlari ke alas bambu.

"Apapun yang terjadi berjanjilah untuk baik baik saja kasihku" bisik Utomo pelan.

"Kita akan slalu bersama sayank jangan cemas aku akan slalu mendampingimu" jawab Menur dengan senyum manisnya.

Setelah sampai di alas bambu, Utomo segera mempersiapkan semua lembing yang di buatnya sementara Menur berlari entah kemana.

Kawan kawan Utomo yang berjumlah enam orang itu langsung mendekati Utomo yang terlihat bergelagat aneh.

Setelah beberapa kali di paksa akhirnya Utomo bercerita tentang apa yang baru saja di lihatnya juga rencananya yang segera saja di setujui rekan rekannya.

Ketujuh pemuda itu langsung bereaksi cepat sambil menyusun strategi mereka mempersiapkan semua persenjataan yang bisa mereka gunakan.

Lalu diam diam Utomo menemui ibunya yang sedang ikut menunggui kakak lelakinya yang sedang mendapatkan perawatan.

"Ibu Tomo mohon pamit dan mohon doa restunya" bisik Utomo di telinga ibunya

"Loh kamu mau kemana lagi tow nak ?" tanya ibunya.

"Tomo mau bantu ayah ibu" jawab Utomo.

"Loh loh bantu apa jangan macam macam" ujar ibunya keras.

"Pasukan brigade X dalam bahaya ibu ada dua pasukan asing datang dari dua arah saat ini Tomo takut kedua pasukan itu akan menggilas pasukan ayah" kata Utomo pelan.

"Pergilah nak lakukan tugasmu dengan baik pakde percaya kamu...ini bawalah keris ini tapi hati hatilah sebab warangan di keris ini sangat kuat" sahut Ki Dalang yang masih berbaring itu.

Perlahan Ki Dalang menyerahkan sebuah keris yang warangkanya sendiri terbuat dari kayu hitam berukir sangat indah.

"Baik pakde trimakasih, Tomo mohon pamit ibu..." ucap Tomo sambil mengecup pipi ibunya lalu segera berlalu pergi.

Sampai di luar dilihatnya teman temannya malah bercanda dengan seseorang yang ternyata Menur yang menyamarkan diri dengan memakai setelan busana pria.

Lalu sambil bergegas mereka mengatur strategi penyerangan pukul mundur dan lokasi penyergapan pasukan yang datang dari selatan mereka pilih daerah berbatu kapur di sebelah timur bulak Dukuh Turi yang penuh batu batu besar yang cocok untuk berlindung
sekaligus melakukan serangan.

setelah sampai di lokasi penyergapan Utomo segera menjelaskan detil serangan yang akan di lakukan juga posisi posisi yang harus mereka tempati.

terakhir Utomo juga menjelaskan kapan saat tepat harus menyerang dan mundur serta dimana mereka harus bertemu setelah melakukan penyergapan.

Utomo benar benar merancang sebuah penyergapan yang menurut rekan rekannya justru sangat jitu dan tepat buat mereka.

"Baiklah sebelum kita menempati posisi masing masing mari kita berdoa sejenak supaya kita semua selamat dan upaya kita sedikit meringankan beban pasukan brigade X berhasil dengan demikian para orang tua kitapun juga terhindar dari pembantaian oleh pasukan asing. Berdoa mulai..!" ucap Utomo amat sangat pelan.

Mereka lalu mengheningkan cipta sejenak, sebelum kemudian enam orang rekan Utomo saling berlompatan untuk menempati posisi yang telah di atur sebelumnya.

Menur sendiri oleh Utomo di tempatkan paling belakang di bawah perlindungan sebongkah batu besar yang tertutup oleh tanaman perdu.

Sesaat kemudian suasana berganti mencekam dan waktu seakan terasa begitu lama membuat wajah wajah muda itu di liputi penuh ketegangan.

Namun tak lama kemudian derap langkah sepatu tentara mulai terdengar, dan makin lama makin jelas dan akhirnya sebuah barisan pasukan asing yang berkekuatan sekitar satu peleton mulai bergerak mendekati daerah penyergapan, dimana Utomo dan kawan kawannya telah menunggu dengan perasaan tegang luar biasa.

"Wuttt...jlebb..Arggggghhhh!!"

Seorang tentara yang berada di barisan tengah tiba tiba tumbang setelah sebuah lembing menembus lehernya, yang membuat barisan itu langsung gempar.

"God verdommed...inlander verrot..." teriak salah seorang tentara yang justru dari belakang, yang kemudian memberi aba aba lain yang membuat barisan pasukan itu tampak siaga.

Namun tentara itu semakin bingung ketika tiba tiba saja batu batu berukuran sekepalan tangan pria dewasa menghujani mereka dari berbagai arah.

Mereka makin kocar kacir setelah dari arah yang tak terduga muncul lembing yang selalu makan korban di pihak mereka.

"Dorr..dorr..dorr..dorr..."

Pasukan asing itu menembakkan senapannya ke berbagai arah yang membuat serangan kecil buat mereka berhenti sejenak.

Namun sebentar kemudian para pasukan asing itu kembali gusar saat sebuah lembing kembali makan korban pada seorang tentara yang memberi aba aba yang juga komandan peleton itu.

Akhirnya dengan gusar mereka terus memberondong ke segala arah dengan membabi buta meski mereka tau hanya bebatuan yang jadi sasaran mereka.

Namun setelah pasukan itu reda menembak, hujan batu kembali terjadi membuat hampir seluruh pasukan itu berteriak teriak dalam bahasa yang sama sekali tidak di mengerti anak anak muda yang justru mulai semringah dan makin semangat itu.

"Wuttt..wutt..wutt..jleb..jleb..jleb"

Kembali lagi tiga anggota pasukan itu tumbang setelah berturut turut lambung dan leher mereka tertembus oleh lembing lembing yang di lemparkan Utomo.

Akhirnya satu persatu anggota pasukan asing itu bertumbangan tanpa sekalipun dapat membuat perlawanan berarti meskipun telah begitu banyak amunisi yang mereka tembakkan, dan mereka sama sekali tak melihat ada tanda tanda korban di pihak lawan.

Sisa lima orang tentara itu pun benar benar makin menderita ketika kembali di hujani bebatuan dari berbagai arah.

Di saat genting itu tiba tiba muncul sebuah jeep ranpur yang di tumpangi 4 orang berhenti di tempat itu.

Tiga orang berseragam sama biru putih dan yang seorang berpakaian pribumi tampak selalu menundukkan mukanya.

Salah seorang dari tentara itu turun dari kendaraan dan langsung menghampiri kelima orang pasukan yang tersisa namun juga terlihat babak belur.

Seorang tentara itu langsung marah dan membentak bentak sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Tiba tiba sebuah lembing meluncur dengan derasnya lalu menembus lambung seorang tentara yang justru berada di atas ranpur yang juga berfungsi sebagai swapper.

Setelah itu hujan batu kembali terjadi yang membuat orang orang asing itu kelimpungan apalagi di tambah dengan bertumbangannya satu persatu dari sisa lima tentara yang kini tak bersisa lagi setelah tak kuasa lagi menahan timpukan bebatuan yang mengenai sekujur tubuh mereka.

Sementara orang yang berpakaian pribumi terlihat bersembunyi di balik ranpur ketika kemudian tentara yang berada di balik kemudi ranpur juga tumbang setelah kepalanya retak terhantam batu.

Dengan dua orang tersisa, yang mana satu di antaranya adalah seorang pribumi membuat Utomo langsung memberikan kode buat teman temanya untuk menyingkir.

Setelah itu Utomo menghampiri tempat di mana Menur sembunyi dan menemukan wanita yang di pujanya itu telah tergeletak entah pingsan ataukah ahhh.

Utomo kalang kabut hatinya langsung kecut ketika Menur sama sekali tak merespon saat ia goyang goyangkan badannya.

"Aarrgggghhhhh..." teriakan Utomo yang keras mengagetkan kedua orang yang tersisa itu hingga seorang di antaranya langsung memberondongkon senapan ke arahnya.

Utomo tak begitu menghiraukan karena toh mereka berada dalam lindungan sebongkah batu besar.

"Apalah arti hidup ini tanpamu Menur..lebih baik aku musnah sekalian bersamamu cintaku" gumam Utomo pelan sambil memeluk dan menciumi Menur yang terlihat pucat.

Setelah itu pemuda itu menyandarkan tubuh lemah Menur pada batu kapur besar itu dan langsung melompat dan berlari mengendap mendekati kedua orang yang tengah bercakap cakap itu.

"Apa kalian mencariku ?" Ujar Utomo lantang dari arah belakang kedua orang itu.

Salah seorang tentara itu langsung berusaha memberondong Utomo dengan senapan yang di pegangnya namun sayang amunisinya telah kosong.

Tentara itu mengumpat sesaat sembari membuang senapan yang di pegangnya lalu mencabut pistolnya sendiri namun...

"Bughh.."

Pistol yang di pegang tentara itu melenting terlepas ketika sebuah batu menimpuk tangannya.

Pistol yang jatuh di dekat orang pribumi itu segera di pungut oleh orang itu.

"Kau...lekas tembak orang itu !" Perintah dari tentara yang berpostur tinggi besar itu.

Pribumi itu sesaat mengarahkan pistol yang di pegangnya ke arah Utomo yang segera mengenalinya meski menyamarkan diri sedemikian rupa hanya lewat tatapan mata.

"Kang Jumeno kaukah itu ?" bertanya lantang Utomo.

"Cepat tembak inlander itu goblokkk bukankah kau ingin jadi tentara!!" Teriak tentara itu lagi.

"Tidak kapten dia adalah adek saya" jawab orang pribumi yang ternyata Jumeno itu pelan.

"God verdommed..inlander tak tau diri.." gerutu tentara itu sembari menghunus pedang panjangnya.

Di lain pihak Utomo yang sudah tak peduli akan nyawanya itu segera menghunus kerisnya dari warangkanya yang dia selipkan di balik bajunya.

Jumeno yang merasa mengenali keris yang di pegang Utomo itu terkejut sesaat.

Namun pertempuran segera terjadi tak terelakkan lagi setelah tentara berpostur raksasa itu berlari dengan mengacungkan pedangnya ke arah Utomo yang dengan sigap menyongsong dengan kerisnya.

"Trang...trang..trang.."

Bunyi dua senjata tajam yang beradu itu cukup menggetarkan siapa saja yang melihatnya.

Duel sengit dengan masing masing tekhnik beladiri yang berbeda itu berlangsung seru.

Meskipun kalah postur namun Utomo yang unggul dalam hal kegesitan mampu memaksimalkan kemampuannya hingga saat pertarungan dalam jarak rapat pemuda itu berhasil menggoreskan ujung kerisnya di lengan tentara itu, meski dia sendiri juga merelakan pinggangnya sobek oleh samberan ujung pedang tentara itu.

Namun segores luka di lengan tentara itu dalam sekejap membuatnya tumbang terkapar dengan tubuh membiru terkena warangan yang begitu kuat.

"Kapten...Kapten van Decrott anda tak apa apa" ujar Jumeno yang segera menghampiri tubuh tentara yang tengah kejang kejang sekarat itu.

"Dia takkan selamat kakang" ucap Utomo pelan

"Ah sayang sekali padahal dia sudah berjanji akan membantuku jadi demang" gumam Jumeno

"Apaaa..jadi kakang telah berkhianat" ujar Utomo keras

"Aku terpaksa melakukannya Tomo, pasukan kami pun sebelumnya telah di jebak karena sebuah pengkhianatan" ujar Jumeno keras.

"Apa maksudmu kang ?" ujar Utomo berteriak.

"Aku tergabung dalam pasukan Sersan Sungkono sedianya akan ke Ponjong untuk membantu pejuang disana tapi di daerah Wuryantoro pasukan kami terjepit oleh dua pasukan Walanda yang segera membantai kami dan hanya aku yang tersisa" kata Jumeno

"Lalu kakang menyerah dan merelakan diri menjadi pengkhianat bangsa kita bukan?" tanya Utomo tak kalah keras.

"Iya..karena aku sayang nyawaku terlebih tawaran menjadi demang susah aku tolak brengsek" kata Jumeno tak kalah sengit.

Tiba tiba dari balik gerumbul muncul sesosok yang segera menghampiri mereka.

Sesaat sosok itu terlihat bergidik melihat begitu banyak mayat tentara yang bergelimpangan.

"Mbakyu kau tak apa apa ?" Ujar Utomo sembari berlari menghampiri Menur yang berbusana lelaki.

Menur tak menjawab melainkan lebih memilih memeluk Utomo meski ada suaminya sendiri di dekatnya.

"Kau Menur apa yang kau lakukan disini ?" Ujar Jumeno sambil berusaha menarik tangan istrinya yang sedang memeluk adek sepupunya itu.

Namun tak di sangka Menur istri yang di cintainya itu mengibaskan tangan Jumeno.

Jumeno tertegun dan terhenyak mendapati kenyataan yang benar benar gila itu.

"Kalian...apa yang telah terjadi?" Ucap Jumeno pelan

"Maaf kakang kita ternyata mencintai wanita yang sama" gumam Utomo pelan sambil mengecup kening Menur yang lalu tersenyum manis.

Jumeno bergetar lalu jatuh terduduk tanpa bisa berkata apapun.

Pengkhianatan yang di lakukannya ternyata langsung terbayar tunai dengan kenyataan yang ia dapati.

Jumeno hanya menatap nanar melihat istrinya yang kini pergi tanpa mengucap apapun lagi padanya.




Selesai
 
Terakhir diubah:
Maguwo, 19-12-1948

"BBBRRRRR....NGOOEENNGG !!"

"BBBRRRRR...NGOEENNGGG !!"

gemuruh suara pesawat jet terdengar terbang rendah berlalu lalang memekakkan telinga mengawali pagi itu.

"Belum juga jam 6 tapi tni au sudah bikin kebisingan saja" gerutu seorang wanita paruh baya yang sedang menampi beras.

"mungkin kadet baru yang baru lulus pendadaran sedang berlatih nyi" sahut pria yang juga sudah paruh baya sambil senderan di kursi usangnya di temani teh manis bikinan istrinya.

"Slessss..DUARRRRRR...."

"Slesss...DUARRRRRRR..."

Sesaat keduanya masih melihat sebuah kilatan cahaya yang menyilaukan, namun sekejap kemudian kedua orang itu sudah tak pernah tau lagi apa yang sedang terjadi, keduanya bersama ratusan penghuni komplek yang menghuni pemukiman dekat bandara, hancur lebur luluh lantak rata dengan tanah setelah pesawat pesawat tempur itu mengebom kawasan itu.


Ijin menyimak om @Raganata61 ... mudah2an menang :)
 
Ini udah selesai belum sih? Kok cuma segitu?
Suhu sekalian mohon maaf saat ini saya sedang mengetik naskah untuk lktcp dan karena kendala peralatan yang kurang memadai saya hanya bisa uplod sdikit demi sdikit karena kapasitas yang sangat terbatas.

Jadi mohon untuk menunggu sampai selesai dulu yah saudaraku semuanya, mohon kerjasamanya, atas bantuannya saya ucapkan banyak trimakasih
 
Ruang pribadi kang
Dek halaman ngarep dewe iku loh

ME3P0ZG_t.jpg

Mending nang kono sek nganti tamat
Kenapa ga dari kemaren ada info seperti ini bossq jadi aq ga perlu mumet begini
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd