Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761
Wah terimakasih atas update ceritanya suhu @Kisanak87 ..
Selamat atas tamatnya Impian I nya..
Ditunggu Impian II nya..
Bisa2 nya rahasia Gilang dan Joko ini bisa terkunci rapat di PMDCC dan Matahari..
Walaupun jasanya besar thd pondok merah..
Curiganya Gilang dan Joko ini sebenarnya masih terlibat di belakang layar..
Ato sosok Abimanyu tunangan Mala anak Satria itu adalah anak dari Gilang ato Joko???
Ini Aliansi Selatan tapi di Desa Utara, hehe..
Sapa yak Mr. Cruel? Apa rambutnya keriting, terus cruel2..
Btw koq update yg minggu kemaren Aku ga dapat notip yak? Jadi ketinggalan banyak halaman, hahaha
Kirain mo 3S, ternyata cuma kentang, hahaha..
Masih penasaran nanti dengan sapa si Gilang bersanding di Pelaminan..
Sepertinya suhu @Kisanak87 mo gantian pokus ke cerita Matahari..
Tetap sehat, lancar dan konsisten update ceritanya suhu..
 
Selamat malam Om dan Tante.

Updetannya tipis - tipis dan ditamatin dulu, entar dilanjut di IMPIAN 2.
Semoga masih diberi kesehatan dan diberi inspirasi, supaya bisa melanjutkan cerita ini sampai tamat.

Terimakasih atas dukungan, masukan dan sarannya.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
Cerita dari kisanak87 selalu menarik... Ditunggu seri 2 nya....terimakasih atas cerita2 bagusnya..
 
Selamat malam Om dan Tante.

Updetannya tipis - tipis dan ditamatin dulu, entar dilanjut di IMPIAN 2.
Semoga masih diberi kesehatan dan diberi inspirasi, supaya bisa melanjutkan cerita ini sampai tamat.

Terimakasih atas dukungan, masukan dan sarannya.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
Aku tetap mendukungmu wahai kisanak
 
Wah terimakasih atas update ceritanya suhu @Kisanak87 ..
Selamat atas tamatnya Impian I nya..
Ditunggu Impian II nya..
Bisa2 nya rahasia Gilang dan Joko ini bisa terkunci rapat di PMDCC dan Matahari..
Walaupun jasanya besar thd pondok merah..
Curiganya Gilang dan Joko ini sebenarnya masih terlibat di belakang layar..
Ato sosok Abimanyu tunangan Mala anak Satria itu adalah anak dari Gilang ato Joko???
Ini Aliansi Selatan tapi di Desa Utara, hehe..
Sapa yak Mr. Cruel? Apa rambutnya keriting, terus cruel2..
Btw koq update yg minggu kemaren Aku ga dapat notip yak? Jadi ketinggalan banyak halaman, hahaha
Kirain mo 3S, ternyata cuma kentang, hahaha..
Masih penasaran nanti dengan sapa si Gilang bersanding di Pelaminan..
Sepertinya suhu @Kisanak87 mo gantian pokus ke cerita Matahari..
Tetap sehat, lancar dan konsisten update ceritanya suhu..
Gilang kenal Ilham codet otomatis Gilang jg kenal Sandi
 
Kenal ilham itu karena si gilang sering ngamen di terminal

Yang benar itu jasa orang tua gilang kepada keluarga mbah jati itu seperti apa, kok sampai segitunya ayah irawan jati kepada gilang dan joko??
Huffft
Kakeknya gilang masih sodara jauh dr mbah jati
 


BAGIAN 23
SEMANGAT NGANTI BONGKO



“Piye cok.?” (Gimana cok.?) Tanyaku kepada Joko, yang wajahnya terlihat gelisah sekali.

“Iku kata – kataku cok, lapo koen gawe.? Huppp, iiihhhhh.” (Itu kata – kataku cok, kenapa kamu pakai.? Huppp, iiihhh.) Protes Joko yang sedang duduk, lalu terlihat dia sangat gelisah sekali. Wajahnya seperti sedang menahan sesuatu dan dia sangat kebingungan.

“Kate neseng ta awakmu.?” (Mau buang air besar kah kamu.?) Tanyaku.

“Anu Lang, anu. Uhhhhhh.” Jawabnya, lalu mengeluarkan hembusan nafas yang agak panjang.

DUTTT, DUTTT, DUTTT.

Kentutnya terdengar keras dan baunya langsung menyengat.

“Cok, kari ngomong iyo ae mbulet.” (Tinggal ngomong iya aja berputar – putar.) Ucapku lalu berjalan kearahnya.

“Hehehe.” Joko tertawa malu – malu.

Aku berjalan kebelakangnya, lalu aku membungkukkan tubuhku dan memegang kedua ketiaknya dari arah bawah. Aku angkat tubuhnya keatas dan Joko berdiri perlahan, dengan punggung yang bertumpu pada dadaku.

“Huuppp.” Gumam Joko pelan sambil berdiri, lalu kami berdua jalan kearah kamar mandi.

Oh iya, pertempuran seminggu yang lalu digudang satu, mengakibatkan Joko cidera yang sangat parah sekali. Kedua lengannya patah dan wajahnya babak belur. Untung saja Pakde Irawan cepat membawanya ke tukang pijat yang sangat sakti. Kalau enggak, bisa saja Joko akan kehilangan kedua tangannya dan Joko pasti akan cacat seumur hidupnya.

Kedua tangan Joko masih bisa diperbaiki, tapi butuh waktu untuk bisa beraktifitas seperti biasa. Untuk saat ini, pergelangan tangannya masih terlihat bengkak dan sulit untuk digerakkan. Jadi segala aktifitasnya selalu aku bantu. Mulai menyuapi makan, memandikan, mengganti pakaian, sampai urusan buang air besar dan buang air kecil, aku yang membantu membersihkannya. Mba Denok juga sering datang kemari ketika sudah pulang kerja. Dia selalu memasakkan makan malam buat kami dan kalau ada Mba Denok, dia yang akan menyuapi makan Joko.

“Suwon Lang.” (Terimakasih Lang.) Ucap Joko ketika aku baru selesai mencebokinya dan memakaian celananya.

“Ngomong suwon maneh, tak slentek endokmu.” (Ngomong terimakasih lagi, kusentil bijimu.) Ucapku sambil membalikkan tubuhku dan keluar dari kamar mandi.

“Jiancok.” Maki Joko lalu dia keluar dari kamar mandi juga.

Aku lalu menyalakan tv diruang tengah, setelah itu duduk dan Joko juga duduk disebelahku.

Aku mengambil rokokku dikantong belakang, lalu mengambilnya sebatang, setelah itu membakarnya. Aku lalu mengambil rokokku yang menyelip dibibir ini dan aku selipkan dibibir Joko. Aku mengambil sebatang lagi dan membakarnya untukku.

Joko menghisap dalam – dalam rokoknya, lalu dia mengambilnya dengan tangan yang sangat kaku sekali. Aku sengaja membiarkannya, agar Joko bisa melatih menggerakkan tangannya itu.

“Kate nangdi rencanamu isuk iki.?” (Mau kemana rencanamu pagi ini.?) Tanya Joko sambil melihat televisi yang menayangkan acara tentang pelajaran anak – anak SMP.

“Nang omae Bu Har, kate mbahas masalah duwe kosan.” (Kerumahnya Bu Har, mau bahas masalah uang kosan.) Jawabku.

“Terus.?” Tanyanya lagi.

“Nang kampus, terus marani Satria.” (Ke kampus, terus datangi Satria.) Jawabku.

“Ooo.” Ucap Joko singkat.

“Lapo seh.?” (Kenapa sih.?) Tanyaku sambil melihat kearah Joko, yang berusaha mengangkat lengan kanannya untuk menghisap rokok dijemarinya.

“Ahhhh.” Joko menyandarkan lengannya dipaha, sebelum rokok itu sampai dibibirnya.

“Aku muleh ae yo Lang.” (Aku pulang aja ya Lang.) Ucap Joko dengan tatapan lurus kearah televisi.

“Koen iku lapo seh.?” (Kamu itu kenapa sih.?) Tanyaku, sambil mengerutkan kedua alisku.

“Wes seminggu iki aku gak iso opo - opo. Kabeh seng ngurusi awakmu. Ngedusi, ndulang, nyewo’i, ngganteni klambi, sampe nggolek duwe, awakmu seng ngurus. Aku iku me’ dadi bebanmu Lang. Mending aku muleh ae, ben dirawat mbokku.” (Sudah seminggu ini aku gak bisa apa – apa. Semua yang urus kamu. Memandikan, menyuapi, menceboki, menggantikan baju, sampai mencari uang, kamu yang urus. Aku itu cuman jadi bebanmu Lang. Lebih baik aku pulang aja, biar dirawat Ibuku.) Ucap joko dengan nada yang sangat sedih sekali.

“Cok. Lah koen kiro aku gak iso ngurusi awakmu nde kene ta.?” (Cok, lah kamu kira aku gak bisa urus kamu disinikah.?) Tanyaku.

“Gak ngono Lang. Awakmu iku akeh kegiatan. Lek aku terus nde kene, sakno awakmu. Mending aku cuti kuliah. Emben lek wes sehat, aku rene maneh.” (Gak gitu Lang. kamu itu banyak kegiatan. Kalau aku terus disini, kasihan kamu. Lebih baik aku cuti kuliah. Besok kalau aku sudah sehat, aku kesini lagi.) Ucap Joko dan sekarang dia melihat kearahku.

“Seng cidera iki tanganmu opo ndasmu seh.? Kok iso nduwe pikiran koyok ngono iku loh.?” (Yang cidera itu tanganmu apa kepalamu sih.? Kok bisa punya pikiran kayak gitu itu loh.) Ucapku sambil membalas tatapannya.

“Lang.” Ucap Joko dengan nada yang memelas.

“Gak telek – telek’an cok. Lek awakmu cuti, aku yo cuti. Lek awakmu muleh, aku yo muleh. Awak dewe iku budal wong loro, muleh kudu wong loro. Paham gak koen cok.?” (Gak tai – tai an cok. Kalau kamu cuti, aku juga cuti. Kalau kamu pulang, aku juga pulang. Kita itu berangkat berdua, pulang juga harus berdua. Paham gak kamu cok.?) Ucapku dengan penekanan kata yang tegas.

“Assuu.” (Anjingg.) Gumam Joko.

Dia lalu mengangkat tangan kanannya sekuat tenaga, untuk mendekatkan rokok ke bibirnya lagi. Dia berusaha sambil menahan rasa sakitnya dan itu berhasil.

“Hiufftttt, huuuuu.” Joko menghisap dalam – dalam rokoknya, lalu meletakkan pergelangan tangannya keatas pahanya lagi.

“Delok’en. Ngangkat rokok ae aku ngos – ngosan cok.” (Lihatlah. Ngangkat rokok aja aku ngos – ngosan cok.) Ucap Joko.

“Untung tanganmu ae seng cidera, lek ‘manukmu’ melu cidera, opo gak tambah ngelu ndasmu.?” (Untung tanganmu aja yang cidera, kalau ‘burungmu’ ikut cidera.? Apa gak tambah pusing kepalamu.?) Ucapku, yang mencoba menenangkan Joko dengan mengajaknya bercanda.

“Matamu Lang, Lang.” Gerutu Joko.

“Westalah cok. Intine iku, Gusti Pengeran ngongkon awakmu istirahat. Wes ngono ae.” (Sudahlah cok. Intinya itu, Sang Pencipta menyuruh kamu istirahat. Sudah gitu aja.) Ucapku sambil melihat kearah televisi lagi.

“Iyo cok, aku paham. Mangkane aku muleh, istirahat nde omah ae.” (Iya cok, aku paham. Makanya aku pulang, istirahat dirumah aja.) Ucap Joko yang masih ngotot untuk pulang kedesa.

“Mulah - muleh ae. Tak slentek endokmu, bongko koen engko cok.” (Pulang – pulang aja, Kusentil bijimu, mampus kamu nanti cok.) Ucapku.

“Omonganmu nggateli cok. Sekelku gak cidera loh. Njaluk tak sepak cangkemmu ta.?” (Ucapanmu menjengkelkan cok. Kakiku gak cidera loh. Minta ku sepak mulutmu kah.?) Ucap Joko dengan jengkelnya.

“Sepak’en gak opo - opo cok. Seng penting awakmu tetep nde kene.” (Sepak aja gak apa – apa cok. Yang penting kamu tetap disini.) Sahutku.

“Kirek.” (Anjing.) Maki Joko.

“Yo wes lah, tak metu ae.” (Ya sudah lah, aku keluar aja.) Ucapku sambil berdiri, lalu aku menghisap rokokku, setelah itu aku mematikan rokokku diasbak.

“Terus.?” Tanya Joko.

“Terus opone.? Njaluk tak slentik tenanan ta.?” (Terus apanya.? Minta ku sentil benaran kah.?) Ucapku sambil berdiri.

“Matamu.” Ucap Joko sambil melotot.

Aku pun langsung membalikkan tubuhku dan berjalan kearah kamarku. Didalam kamarku, tampak Intan sedang duduk dikursi dan melihat kearahku. Aku menutup pintu kamarku, lalu mendekat kearah Intan.

Intan langsung berdiri dan menatapku dengan mata yang sayu. Kami berdiri berhadapan dan Intan langsung menyentuh keningku, yang lukanya sudah mengering dan sedikit lagi sembuh.

Intan menyentuhnya dengan sangat lembut, memakai tangannya yang terasa dingin, serta sedikit bergetar. Tatapan matanya sekarang melihat kearah keningku dan kekhawatiran terlihat jelas dibola matanya.

Aku lalu mengangkat kedua tanganku dan aku langsung meletakkannya dipunggung bawahnya, setelah itu aku memeluknya dengan lembut.

“Maaf kalau aku membuatmu bersedih.” Ucapku pelan dan Intan langsung menatap kedua mataku.

“Aku sudah biasa bersedih, jadi kamu gak usah khawatir tentang itu.” Ucapnya dengan dingin, sambil menurunkan tangannya dari keningku dan membuat pelukanku terlepas.

“Aku sudah biasa terluka, jadi gak usah tambah kesedihanmu ketika melihat itu.” Sahutku.

“Apa aku tidak boleh bersedih, ketika melihat laki – lakiku terluka.?” Tanya Intan.

“Boleh. Tapi aku juga boleh khawatir ketika melihat wanitaku bersedihkan.?” Tanyaku balik.

“Huuuu.” Intan menghembuskan nafasnya dengan lembut dan dia langsung menundukan kepalanya.

Aku langsung merangkul tubuh Intan, sampai wajah sampingnya tersandar didadaku. Aku memeluk dan mendekapnya dengan sangat lembut sekali. Perlahan kedua tangannya terangkat dan membalas pelukanku ini.

“Luka dikulitku ini bisa cepat sembuh Tan. Tapi ketika melihatmu bersedih, ada luka baru yang tergores didalam hatiku dan itu pasti tidak akan bisa sembuh.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Kamu jahat Lang, kamu egois dan kamu mau menang sendiri.” Ucap Intan dengan sedihnya.

Dadanya langsung bergetar dan tangisnya perlahan mulai terdengar pelan.

“Itu adalah bentuk perhatian, cinta dan sayangku kepadamu Tan. Perhatianku jahat, agar kamu tidak tersakiti. Cintaku egois, agar cintamu tidak berpaling ke yang lain. Sayangku mau menang sendiri, agar kamu tau kalau aku benar – benar sayang kamu.” Ucapku sambil mengelus rambut belakangnya.

“Ucapanmu gak sesuai dengan kenyataan Lang.” Ucap Intan sambil mengangkat wajahnya dari dadaku, tapi kami tetap berpelukan.

“Aku tersakiti, setiap kamu tidak mendengarkan ucapanku. Kamu tidak mencintaiku Lang, karena kamu selalu mengabaikan nasehatku. Kamu tidak menyanyangi aku, karena kamu selalu meninggalkan aku dengan tetesan air mata.” Ucap Intan dengan mata yang berkaca – kaca.

“Jadi maumu aku tetap menemani kamu disini dan melihatmu terus bersedih.? Jadi maumu aku tetap disini dan melihatmu tersiksa, karena aku tidak mampu memecahkan semua mistery ini.? Kamu mau aku jadi laki – laki bodoh, yang bersembunyi dibalik ketiak cinta.?”

“Aku bukan laki – laki seperti itu Tan, bukan. Aku ingin melihatmu bahagia, walaupun akhirnya aku tersiksa karena kamu pasti akan meninggalkan aku, ketika semua tabir mistery ini telah terbuka.”

“Lebih baik aku menangis dan merana karena perpisahan, dari pada kita terus bersama tapi aku harus melihatmu tersiksa dunia.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Lang.” Ucap Intan dengan tetesan air mata yang mulai turun lagi dari kelopak matanya.

“Jangan menangis sayang, jangan. Aku janji akan menuntaskan semua ini segera, lalu pergilah bersama cintaku. Tunggu aku disana untuk mengambil cinta yang aku titipkan kepadamu.” Ucapku sambil membersihkan air matanya yang terus mengalir.

Intanpun langsung memelukku dengan erat, disertai air matanya yang tidak berhenti menetes. Aku mencoba menenangkannya, dengan mengelus punggungnya pelan. Mataku memang tidak menangis, tapi hatiku teriris dan jiwaku merana tersiksa.

Aku memang punya keinginan yang kuat, untuk memecahkan semua mistery ini. Tapi jujur disisi lain hatiku, cinta dan sayangku berontak karena tau ujungnya pasti tersakiti oleh perpisahan. Tapi apa mau dikata, memang inilah takdir cinta dan sayangku. Aku harus kuat, demi mahluk yang sangat berarti untuk kehidupanku ini.

“Gak usah ngomongin sakitnya perpisahan, kalau kamu belum ngerasain sakitnya rokokkan, waktu tanganmu habis patah. Sesakit - sakitnya patah hati, lebih sakit kalau gak bisa cebok sendiri cok. Apalagi kalau lubang bokongmu digosok sama temanmu, itu sakitnya terasa sampai diubun – ubun. Bajingan.” Ucap Joko dari luar kamarku dan langsung merusak suasana haru yang memenuhi ruang kamarku.

“Jiancok.” Gerutuku pelan.

Ganggu suasana yang lagi syahdu aja manusia gatel itu. Kenapa gak mulutnya aja sih yang cidera. Supaya mulutnya beristirahat sebentar, dari celetukan yang membangsatkan itu. Bajingan.

“Jangan terlalu keras kalau bicara sama Joko. Dia itu malu sama kamu, karena kamu sudah merawatnya selama dia sakit.” Ucap Intan sambil mengangkat wajahnya dari dadaku.

Intan lalu dia memundurkan tubuhnya dari tubuhku, sampai pelukan kami terlepas. Intan lalu membersihkan sisa – sisa air matanya, setelah itu senyum mulai terlihat dari bibirnya yang manis.

Cok. Jadi lepaskan pelukannya. Padahal aku masih mau berpelukan dengan Intan lebih lama lagi. Jiampuutt.

“Iya.” Jawabku singkat.

CUUPPP.

Tiba – tiba Intan mengecup bibirku dengan lembutnya.

“Kok cuman ngecup sih.? Bisa ditambahin lumatan sedikit gak.?” Tanyaku.

“Kene, tak lumat ambe sekelku.” (Sini, kulumat pakai kakiku.) Sahut Joko dengan suara yang terdengar sangat menjengkelkan sekali.

“Cok. Ngomong pisan kas, tak pancal congormu.” (Cok. ngomong sekali lagi, ku injak mulutmu.) Omelku.

“Hey. Kasar banget sih ngomongnya.” Ucap Intan dan matanya langsung melotot.

“Ooo, assuu. Wanine ambe wong loro.” (Ooo, anjingg. Beraninya sama orang sakit.) Omel Joko.

“Sudah ya, sudah.” Ucap Intan ketika aku akan menyahut ucapan Joko barusan.

“Argghh.” Gerutuku.

CUUPPP.

Intan mengecup bibirku lagi dan langsung membuatku terdiam, dengan benih – benih cinta yang mulai bermekaran.

“Dah pergi sana. kelihatannya hari ini jadwalnya padat banget.” Ucap Intan sambil mengelus pipiku pelan.

“Iya.” Jawabku tapi aku belum beranjak dari tempatku berdiri.

“Kok belum jalan.?” Tanya Intan sambil mengerutkan kedua alis matanya.

Aku lalu tersenyum, setelah itu aku memajukan bibirku dan aku berharap untuk mendapatkan kecupannya lagi.

“Ko, Gilang minta dikecup.” Ucap Intan dan aku langsung melotot kearahnya.

“Kongkonen metu, ben tak kecup nggawe dengkulku.” (Suruh keluar, biar kukecup pakai lututku.) Sahut Joko dengan senangnya.

Intan langsung tersenyum, lalu dia menutup mulutnya dengan tangan kanannya.

“Oooo. Sekarang sudah mulai kerjasama ya.” Ucapku sambil menganggukan kepalaku pelan.

“Ko, Gilangnya ngambek.” Ucap Intan.

“Jarno ae. Lek dijak ngomong terus, tambah ngalem arek iku. Mari ngene lek metu, tak ceples bokonge.” (Biarkan aja. Kalau diajak ngomong, makin manja anak itu. nanti kalau keluar kupukul pantatnya.) Sahut Joko dengan nada bicara seperti orang tua.

“Hihihi.” Intan tertawa pelan dan aku langsung membalikkan tubuhku, lalu berjalan kearah pintu kamarku.

“Gak jadi minta kecupnya.?” Goda Intan ketika aku memegang gagang pintu kamarku.

“Males.” Jawabku singkat, lalu aku membuka pintu kamar dan keluar dengan mimic wajah yang pura – pura meraju.

“Hihihi.” Terdengar tawa Intan lagi, dari dalam kamarku.

“Njaluk disun ta.?” (Minta dikecup kah.?) Tanya Joko yang masih duduk didepan televisi.

“Matamu.” Ucapku sambil melangkah kearah pintu kosan.

“Hahaha.” Joko tertawa dengan puasnya.

Aku lalu memakai sepatuku, setelah itu aku keluar kosan dan menuju kerumah Bu Har.

Hiufftt, huuu.

Tawa dari orang – orang yang kusayangi tadi, membuatku memiliki kekuatan untuk menghadapi semuanya. Aku semakin bersemangat dan aku semakin yakin, bisa menuntaskan satu persatu masalah yang ada. Walaupun semuanya masih abu – abu dan belum ada titik terang, tapi aku selalu optimis dan yakin pasti ada jalan keluarnya.

Akupun langsung melangkahkan kedua kakiku kearah rumah Bu Har. Aku ingin membicarakan tentang berapa biaya yang akan kami keluarkan, untuk biaya kos – kosan.

Selama seminggu kemarin aku belum bisa kerumah Bu Har, karena wajahku masih banyak lebamnya. Sekarangpun sebenarnya masih ada, tapi tidak sebanyak kemarin.

Dan sekarang aku sudah berdiri didepan pagar rumah Bu Har. Tampak terlihat pintu rumah Bu Har tertutup, tapi pagar tidak terkunci. Aku lalu membuka pagar perlahan, setelah itu aku menutupnya lagi. Aku berjalan kearah pintu dapur, yang terhalang mobil Bu Har yang terparkir. Aku ingin menemui Bi Ati dulu, untuk menanyakan apakah Bu Har sibuk atau tidak.

Pintu dapur yang terhalang pandangannya oleh mobil Bu Har ini, ternyata terbuka sedikit. Dan ketika aku mendekat kearah pintu, terdengar dua orang yang sedang berbisik dan aku langsung melihat kearah dalam ruangan dapur.

Dan betapa terkejutnya aku, ketika melihat pemandangan yang ada didalam sana. Bu Har dan Bi Ati sedang berdiri, sambil berpelukan dengan mesra Sesekali bibir mereka saling melumat dan kedua mata mereka sampai terpejam, menikmati ciuman yang pasti sangat nikmat itu. Bajingaann.

Kedua wanita itu sama – sama memakai kaos dalam yang sangat ketat, sampai kedua buah dada mereka mau tertumpah keluar. Bedanya Bi Ati menggunakan bawahan celana panjang, sedangkan Bu har menggunakan Rok yang sangat pendek dan agak lebar bawahnya.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Ciuman mereka terlihat makin memanas dan lidah mereka saling bergantian, menjelajah kedalam mulut pasangannya.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Bi Ati melumat sambil meremas buah dada Bu Har bagian kiri, dengan sangat lembutnya. Buah dada Bu Har yang pernah aku pegang dan aku remas itu, terasa sangat besar ditelapak tangan Bi Ati.

Bajingaann, apa aku masuk aja dan bergabung dengan pesta mereka ini ya.? Janganlah. Aku tidak boleh masuk kedalam, karena mereka berdua terlihat sangat menikmati permainan itu. Lagian mereka saling mencintai dan menyayangi. Aku hanya akan merusak kebahagian yang sedang mereka rasakan saat ini.

Terus aku harus bagaimana.? Apa aku pergi saja dari disini.? Apa aku akan melewatkan pemandangan yang belum pernah aku lihat ini.?

Belum pernah seumur hidupku, aku melihat adegan bercinta sepasang wanita seperti ini. Jadi apa aku akan tetap disini.? Terus kalau nanti ketahuan bagaimana.?

Sudahlah, lebih baik aku pergi saja dari tempat ini. Nanti sore atau besok pagi aku akan kembali lagi, untuk berbicara dengan Bu Har.

Tapi ketika aku akan membalikan tubuhku, kakiku terasa kaku untuk digerakkan dan kepalaku justru tetap dengan posisi mengintip seperti ini. Pandanganku seperti malas untuk berpaling dan justru aku semakin menikmati pemandangan yang sangat erotis ini.

Terlihat Bi Ati memegang tali penyangga kaos dalam Bu Har, lalu menurunkan perlahan. Buah dada bagian kiri Bu Har yang bulat dan kenyal itu, terlihat jelas dari pandanganku ini. Putting Bu Harpun, seperti menggodaku untuk kesana dan memainkannya. Bajingannn.

Bi Ati meremas dengan lembut, sambil sesekali memainkan putting Bu Har yang menggoda itu.

“Ahhhh, sayang.” Desah Bu Har, lalu Bi Ati membungkukan tubuhnya dan melumat putting Bu Har.

“Uhhhh.” Desah Bu Har lagi, ketika Bi Ati melahap sambil meremas buah dada Bu Har agak kuat.

Bi Ati menurunkan tali kaos dalam bagian kanan Bu Har, lalu menurunkan kaos dalam itu, sampai sebatas perut. Kedua buah dada Bu Har sekarang terbuka dan Bi Ati langsung meremasnya bersamaan.

“Ahhhhh.” Desah Bu Har sambil memegang kedua tali penyangga kaos dalam Bi Ati.

“Jangan, aku lagi dapet.” Ucap Bi Ati ketika Bu Har akan menurunkan kaosnya.

“Ihhhh, sayang. Aku kan mau isap puttingmu juga.” Rengek Bu Har.

“Entar kalau aku mau lebih gimana.? Sudah ah, dilanjut gak ini.?” Ucap Bi Ati, lalu dia meremas kedua buah dada Bu Har pelan.

“Uhhh. Jahat.” Ucap Bu Har dengan manja sekali.

Bi Ati lalu memajukan wajahnya dan melumat bibir Bu Har.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Kembali mereka berdua berciuman dengan panasnya. Bi Ati lalu menjulurkan lidahnya dan Bu Har menyambutnya, dengan menghisap lalu menjilati lidah Bi Ati dengan penuh nafsu.

Gila. Ganas banget mereka berdua berciumannya. Kalau aku diantara mereka, bisa menggila aku. Hehehe.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Bi Ati mendorong tubuh Bu Har, agar bersandar pada meja makan. Remasan demi remasan Bi Ati didada Bu Har, membuat tubuhku yang panas dingin menyaksikannya. Kemaluanku pun sampai berdiri dengan tegaknya.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Ciuman mereka mengganas, lalu Bi Ati menghentikannya dan membalikkan tubuh Har. Diremasnya bokong Bu Har, lalu diangkat rok pendek Bu Har keatas sedikit. Bokong yang mulus, putih, bersih, semok dan tanpa ditutupi CD itupun, terlihat jelas dari tempatku berdiri ini.

“Auuu, uhhhh.” Desah Bu Har dan kedua tangannya bertumpu pada ujung meja makan.

Bi Ati Jongkok dibelakang Bu Har, sambil terus meremas bokong Bu Har.

Plak.

“Sayang.” Rengek Bu Har dengan manja, ketika bokongnya ditampar.

“Nggemesin banget sih.” Ucap Bi Ati lalu meremasnya sedikit keras.

“Uuuuuuhhhh.” Desah Bu Har yang terdengar mendayu - dayu.

Lalu dengan posisi yang jongkok itu, Bu Ati membuka belahan bokong Bu Har, lalu menjilat lubang Bu Har dengan ganasnya.

Slurrpppp.

“Geli yang, geli.” Ucap Bu Har, sambil menoleh kearah Bi Ati.

Bi Atipun semakin bernafsu. Dia menjilat lubang Bu Har, sambil memainkan lubang kemaluan Bu Har.

“Ahhhh, uuhhh, ahhhh.” Desah Bu har yang kenikmatan, sambil menggelengkan kepalanya kekanan dan kekiri.

Clok, clok, clok, clok, clok.

Bunyi kemaluan Bu Har yang dikocok Bi Ati dan itu semakin membuat kemaluanku tegak berdiri.

Clok, clok, clok, clok, clok.

Bunyi itu semakin terdengar jelas, sejelas pemandangan yang nampak dihadapanku ini.

Slurrpppp, slurrpppp, slurrpppp, slurrpppp, slurrpppp.

Bi Ati terus menjilati lubang bokong Bu Har, sambil sesekali menusukkan lidahnya kedalam lubang bokong Bu Har.

“Yang..” Ucap Bu Har dan kedua kakinya menjijit.

Bu Har lalu menghentikan kegiatannya, setelah itu dia berdiri, dan.

Plak.

Bi Ati menampar bokong Bu Har lagi.

“Auuuu.” Jerit manja Bu Har.

“Balikkan tubuhmu, terus duduk diatas meja.” Perintah Bi Ati dan Bu Har langsung membalikkan tubuhnya, setelah itu duduk diatas meja makan.

Kedua kaki Bu Har ditekuk dan kedua telapak kakinya bertumpu dimeja makan. Perlahan dia mengangkang dihadapan Bi Ati dan membuatku ingin masuk kedalam ruang dapur, terus menusuk lubang kenikmatan yang terbuka itu. Bajingaannn.

Bi Ati meremas dada bagian kanan Bu Har menggunakan tangan kiri, lalu jari tengah kanannya, menerobos masuk kedalam lubang kemaluan Bu Har.

“AHHHHH.” Desah Bu Har sambil meletakkan kedua telapak tangannya kebelakang tubuhnya, untuk dijadikan tumpuan bersandar.

Clok, clok, clok, clok, clok.

Jari tengah Bi Ati keluar masuk dan mengocok kemaluan Bu har.

Clok, clok, clok, clok, clok.

Jari tengah Bi Ati tampak dipenuhi carian kenikmatan Bu Har.

Clok, clok, clok, clok, clok.

“YANGGG.” Desah Panjang Bu Har.

Clok, clok, clok, clok, clok.

Bi Ati lalu mencabut jari tengahnya, lalu kemudian memasukan lagi jarinya kedalam kemaluan Bu Har. Dan kali ini yang masuk bukan hanya jari tengah, tapi juga jari telunjuk Bi Ati ikut juga masuk kedalam kemaluan Bu Har.

“Yang.” Ucap Bu Har dengan kedua mata yang melotot.

Kedua jari Bi Ati itu tertanam dan dibiarkan saja didalam sana. Entah apa yang dilakukan oleh Bi Ati dengan kedua jarinya itu. Hanya diam saja atau dimainkan didalam sana. Tapi yang jelas kedua mata Bu Har terlihat merem melek, dengan desahan yang semakin menjadi.

“Ha, ha, ha, ha, ha.” Desah Bu Har dengan mulut yang menganga dan kepala yang mendanga keatas.

Bi Ati langsung merangkul leher Bu Har, sampai wajah mereka berdekatan. Setelah itu Bu Har langsung menyambar bibir Bi Ati dan Bi Ati semakin memainkan kedua jarinya didalam kemaluan Bu Har.

Clok, clok, clok, clok, clok.

Hem, hem, hem, hem.

Desah Bu Har di tengah lumatan yang menggila. Dan beberapa saat kemudian, Bi Ati mencabut tangannya. Dan,

Sret, sret, sret, sret, sret. Sret, sret.

Cairan kenikmatan keluar sangat deras dari dalam kemaluan Bu Har, sampai pinggulnya terangkat.

“Hemmmmmm.” Desah Bu Har yang bibirnya terus dilumat Bi Ati.

Tubuh Bu Har terlihat mengejang kenikmatan dan lututku sampai bergetar melihatnya.

Gila, ini gila banget. Bisa ya Bu Har merengkuh kenikmatan walau dengan sesama jenis.? Aku kira kenikmatan seperti itu, hanya bisa didapat dengan orang yang berlainan jenis. Tapi hari ini dengan kepalaku sendiri, aku bisa melihat Bu Har mengejang kenikmatan dan itu diberikan oleh Bi Ati.

“Uhhhh.” Aku sampai menghela nafas panjang dan aku tidak berkedip sekalipun. Aku menikmati permainan dan pemandangan yang sangat luar biasa erotis ini.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafas Bu Har terdengar cepat dan memburu. Bu Har masih dalam kondisi duduk dan mengangakang, sedangkan Bi Ati dihadapannya terlihat tersenyum senang.

“Lanjut.?” Tanya Bi Ati sambil menyentuh kemaluan Bu Har.

“Yang, entar dulu. Sabar ya. Hu, Hu, hu, hu.” Ucap Bu Har sambil menahan tangan Bi Ati.

Bi Ati tidak mendengarkan ucapan Bu Har. Dia malah menepis tangan Bu Har, lalu membungkukan tubuhnya dan menjilat kemaluan Bu Har.

“Yang.” Rengek Bu Har dan aku langsung memundurkan tubuhku.

Cukup, cukup sudah aku melihat adegan itu. Aku sudah tidak kuat lagi dan nafsuku perlahan mulai menguasai kepalaku. Lebih baik aku pergi secepatnya dari tempat ini, dari pada aku nekat masuk dan bergabung dengan pesta itu, walaupun tanpa seijin mereka berdua.

Akupun langsung membalikan tubuhku dan berjalan pelan, agar tidak mengganggu keasyikan mereka berdua. Cukup sudah aku menikmati pertunjukan itu dan aku tidak ingin melihatnya lebih jauh lagi. Bagiku dengan melihat itu semua, sudah membuatku senang dan aku tidak ingin berandai – andai lebih jauh lagi. Biarlah mereka asyik dengan kenikmatan mereka dan aku tidak akan mengungkitnya, ketika aku bertemu dengan salah satu diantara mereka nanti.

Aku membuka pintu pagar pelan sekali, lalu menutupnya dengan rapat. Aku lalu melanjutkan perjalananku menuju perempatan jalan besar dekat kampus teknik kita. Tujuanku adalah ke kantor aparat untuk mendatangi Satria yang ditahan disana. aku ingin mengetahui kabarnya dan aku ingin memberikan dia dukungan, agar kuat dalam menjalani hukuman yang akan dia jalanin. Selain itu aku ingin memberitahukan kepada Satria, agar ketika dipindahkan kerumah tahanan, dia lebih berhati – hati. Karena menurut Begal dihari itu, Satria akan disambut oleh teman – teman Begal ketika didalam sana. Huuuu.

Kasihan sekali Satria. Pemuda seusia dia, harus menghadapi masalah yang sangat besar seperti ini.

“Lang.” Panggil seseorang, ketika aku lewat didepan kampus teknik kita.

Aku lalu melihat kearah suara itu dan terlihat Mas Pandu duduk seorang diri di sebuah warung kopi.

“Ya mas.” Ucapku sambil melambaikan tangan kananku kearahnya.

Aku lalu menyebrang jalan dan mendatangi Mas Pandu. Dan ketika aku sampai dihadapannya, Mas Pandu melihat kearah luka diwajahku yang telah mengering.

“Duduk dulu.” Ucap Mas Pandu, lalu dia menghisap rokoknya.

“Oh iya Mas.” Ucapku, lalu aku duduk didepan Mas Pandu.

Tiba – tiba Mas Pandu mengeluarkan dua botol minuman gepeng dari kantong belakangnya, lalu menyerahkan satu botol kepadaku.

“Minum dulu, supaya luka diwajahmu cepat hilang.” Ucap Mas Pandu dengan santainya, sambil membuka satu botol minuman gepeng yang ada ditangannya.

“Emang bisa gitu.?” Tanyaku dengan herannya.

“Ya kalau kamu percaya dan yakin.” Ucap Mas Pandu, lalu meminum minumannya.

Cok. Ya mana bisa minuman alcohol seperti ini menyembuhkan luka. Aneh juga pertanyaanku tadi. Mau itu luka hati sekalipun, alcohol tidak akan bisa menyembuhkannya. Alcohol justru akan semakin menambah parah perihnya dan semakin menambah derita tersiksa karena cinta.

Terus kalau ada masalah lain lalu lari ke alcohol bagaimana.? Ya pasti akan semakin menggila lagi masalahnya.

Terus sekarang aku sedang banyak masalah, apa aku akan menolak pemberian Mas Pandu ini.? Ya enggaklah, masa sudah dikasih terus ditolak. Lagian dah lama aku gak minum seperti ini, rezeki kok ditolak.? Gila aja.

Aku pun langsung meraih botol gepeng pemberian Mas Pandu, lalu aku membukanya. Aku meminumnya perlahan dan aku menikmati sensasi minuman ini masuk ketenggorakanku.

Glek, glek, glek, glek, glek.

“Ahhhhh.” Ucapku sambil meletakan minuman yang sisa setengah botol ini.

“Kamu habis ngaret dimana Lang.? kok kayaknya haus banget.?” Tanya Mas Pandu dan kulihat botol minuman Mas Pandu, hanya berkurang sedikit. Berbeda dengan punyaku yang berkurang setengah. (Ngaret = cari rumput)

“Hehe.” Akupun hanya tertawa, sambil mengeluarkan bungkusan rokokku, lalu aku mengambilnya sebatang dan membakarnya.

Kami lalu diam beberapa saat dan kami sama – sama menikmati, efek minuman yang perlahan mulai naik kekepala.

“Terus bagaimana.?” Tanya Mas Pandu yang membuatku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Bagaimana apanya Mas.?” Tanyaku.

“Desa Utara dan aliansi selatan.” Ucap Mas Pandu dan aku langsung terkejut dibuatnya.

“Maksudnya Mas itu gimana sih.? Aku gak paham.” Ucapku.

“Seminggu yang lalu kan kamu menyerang ke Desa Utara bersama Joko. Desa Utara itu salah satu basisnya aliansi selatan.” Ucap Mas Pandu dan aku semakin terkejut dibuatnya.

“Aku gak tau kalau Desa Utara dan aliansi selatan saling terkait Mas. Lagian tujuan kami kesana, hanya untuk mengambil kimba yang mereka curi. Emang ada apasih Mas.?” Ucapku dan Mas Pandu langsung meminum sedikit lagi minumannya.

“Ahhhh.” Ucap Mas Pandu, sambil meletakkan botol minumannya.

“Kamu pasti pernah mendengar tentang aliansi selatan, yang menjadi musuh dari keluarga Jati.” Ucap Mas Pandu sambil menatapku dan aku hanya diam tanpa memotong ucapan Mas Pandu.

“Aliansi selatan ini diketuai Cak Herman, sedangkan Desa Utara dikomandoi oleh Cak Bagong.”

“Aliansi selatan itu sebenarnya kelompok baru dan mereka berusaha menggeser kelompok keluarga Jati.”

“Beberapa daerah yang bersebrangan dengan keluarga Jati, mereka rangkul termasuk Desa Utara. Mereka itu licik dan akan melakukan apapun untuk mencapai tujuan mereka.” Ucap Mas Pandu lalu dia menghisap rokoknya.

“Mungkin itu garis besar cerita tentang aliansi selatan dan Desa Utara. Dan tujuanku menanyakan tentang aliansi selatan dan Desa Utara itu, karena kamu sudah pernah masuk kesana.” Ucap Mas Pandu menutup ceritanya, lalu meminum minumannya lagi.

“Ooo, begitu.” Ucapku lalu aku meminum minumanku sedikit.

“Ahhhhh.” Ucapku lalu aku meletakan botol minumanku.

“Nama petinggi aliansi selatan dan Desa Utara yang sampean sebutkan barusan, ada semua ketika aku kegudang satu.” Ucapku yang sekarang bergantian bercerita.

“Dan kelihatannya apa yang sampean sampaikan barusan itu, ada benarnya sedikit.” Ucapku lagi.

“Maksudnya.?” Tanya Mas Pandu.

“Mereka itu benar kelompok baru. Tapi kalau menurutku, mereka pasti digerakkan oleh orang lama dan pasti orang yang sangat kuat.” Jawabku.

“Bagaimana kamu bisa menyimpulkan seperti itu.?” Tanya Mas Pandu.

“Hanya orang bodoh saja yang berani membentuk kelompok baru, lalu mencoba menggeser kelompok sekuat keluarga jati.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku.

“Aku juga sependapat kalau masalah itu. Tapi aku masih belum bisa bicara banyak, karena aku belum ada bukti dan aku belum tau siapa dibalik aliansi selatan.” Ucap Mas Pandu.

“Oh iya, bagaimana kamu bisa yakin kalau ada orang lama yang menggerakan aliansi selatan.?” Tanya Mas Pandu.

“Ketua aliansi selatan Cak Herman dan siapapun yang ada digudang satu kemarin, tidak ada satupun yang berani menerima tantangan Pakde irawan. Masa seorang pimpinan kok gak berani menerima tantangan orang lain.?” Jawabku.

“Cok. Mas Irawan datang kekota ini, waktu kamu kegudang satu.?” Tanya Mas pandu dengan terkejutnya.

“Loh, sampean gak tau.? Terus dari mana sampean tau kalau aku kegudang satu seminggu yang lalu.?” Tanyaku yang juga terkejut.

“Mas Irawan yang cerita ke aku, kalau kamu dan Joko mendatangi gudang satu. Tapi Mas Irawan gak cerita kalau dia datang kekota ini. Aku kira Mas Irawan dipulau seberang dan dia mendapatkan informasi ini dari orang – orangnya yang ada dikota ini.” Jawab Mas Pandu.

“Cok.” makiku pelan.

Bodoh. Pakde Irawan kan bilang sama aku, kalau aku jangan bercerita kepada siapapun kalau beliau datang kekota ini. Kenapa juga aku bisa terpancing dengan omongan Mas Pandu tadi.? Bajingan.

“Mas, tolong jangan cerita sama siapa – siapa, kalau Pakde Irawan kekota ini.” Ucapku dengan memelas.

“Itu pesan Mas Irawan Ya.?” Tanya Mas Pandu dan aku langsung menganggukan kepalaku.

“Hiufffttt, huuuu.” Mas Pandu menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Oh iya Mas. Walaupun aliansi selatan itu kelompok baru, jangan menganggap remeh mereka semua. Mungkin sekarang kekuatan mereka belum seberapa, tapi entah beberapa tahun kedepan. Mereka punya bibit petarung yang hebat dan tinggal mengasah jam terbangnya saja, mereka pasti akan menjadi kelompok yang kuat dan hebat.” Ucapku.

“Iya. Aku paham itu dan aku juga paham maksud kedatangan Mas Irawan kekota ini. Selain ingin menyelamatkan kamu, Mas Irawan ingin memberikan mereka peringatan. Si misterius Irawan Jati masih ada dan tidak akan tinggal diam, kalau aliansi selatan sampai berbuat kelewat batas.” Ucap Mas Pandu.

“Tapi bisa juga itu pancingan Mas. Mungkin orang yang menggerakan aliansi selatan itu, musuh Pakde Irawan dan dia menunggu waktu yang tepat untuk memulai pertempuran yang sangat besar.” Ucapku dan Mas Pandu langsung menatapku dengan tajam.

“Cok. Ternyata benar apa yang diucapkan Mas Irawan. Kamu itu termasuk bagian penting dari pondok merah dan kamu mempunyai semangat pondok merah, walaupun kamu tidak tinggal bersama kami.” Ucap Mas Pandu dan aku hanya mengerutkan kedua alisku.

“Maksudnya Mas.?” Tanyaku.

“Ren.” Tiba – tiba Mas Pandu berteriak, lalu aku menoleh kearah belakangku.

Tampak Rendi keluar dari pagar kampus teknik kita dan berjalan kearah kami.

“Jangan bahas masalah ini lagi.” Bisik Mas Pandu dan aku langsung melihat kearah Mas Pandu.

“Kenapa wajahmu itu Lang.? Kamu habis berkelahi dengan siapa.?” Tanya Rendi, ketika sudah berada didekatku.

“Hehe.” Aku pun hanya tertawa pelan dan tidak menjawab pertanyaan Randi.

“Ditanya malah tertawa.” Ucap Rendi sambil duduk disebelah Mas pandu.

“Habis jatuh aku.” Jawabku berbohong, sambil mengambil sebatang rokokku lagi dan membakarnya.

“Kurang ajar, dikiranya aku anak kecil yang bisa dibohongi Mas.” Ucap Rendi ke Mas Pandu.

“Hahaha.” Mas Pandu tertawa mendengar ucapan Rendi barusan.

“Oh iya. Joko dimana.?” Tanya Mas Pandu dan seperti mengalihkan pembicaraan.

“Dikosan Mas, lagi banyak tugas.” Ucapku berbohong lagi.

“Eleh, pasti dia lebih bonyok dari kamu kan.?” Tanya Rendi.

“Kamu itu kenapa sih Ren.? Perhatian banget dari tadi. Kamu itu cinta sama kami berdua kah.?” Ucapku.

“Taikkk.” Ucap Rendi sambil mengeluarkan sebotol minuman gepeng dari kantong belakangnya.

“Hahahaha.” Mas Pandu kembali tertawa.

“Oh iya, kamu mau kemana sih.? Kok rapi banget.?” Tanya Mas Pandu kepadaku.

“Kekantor aparat dipusat kota Mas.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku.

“Kamu wajib lapor.?” Tanya Rendi.

“Enggak, aku mau lihat temanku yang lagi ditahan.” Jawabku.

“Dia sudah gak dikantor aparat. Dia dititipkan sementara dia rumah tahanan.” Ucap Mas Pandu.

“Emang sampean kenal temanku Mas.?” Tanyaku.

“Kenal dekat sih enggak, tapi dia anak Pak Tomo kan.? Namanya Satria.” Ucap Mas Pandu.

“Kok sampean tau.?” Tanyaku.

“Ya tau lah.” Jawab Mas Pandu lalu meminum minumannya.

“Maksudnya Mas Pandu, Pak Tomo itu dosen sipil.?” Tanya Rendi.

“Iya.” Jawab Mas Pandu.

“Kasus apa anaknya Mas.?” Tanya Rendi lagi.

“Bunuh anak kampus teknik kuru yang menyerang sekolahnya.” Jawab Mas Pandu.

“Gila. Preman juga anaknya Pak Tomo itu. kelihatannya calon – calon penerus pondok merah anak itu.” Ucap Rendi, lalu dia meminum minumannya.

“Mungkin.” Jawab Mas Pandu sambil melihat kearahku.

“Menurut sampean, Satria aman ajakah di rumah tahanan.?” Tanyaku.

“Justru dia lebih aman di rumah tahanan saat ini. Kalau dia berkeliaran dijalan, dia pasti jadi incaran anak – anak kampus teknik kuru.” Jawab Mas Pandu.

“Kok bisa Mas.? Apa banyak teman – teman Satria didalam sana.?” Tanyaku.

“Orang – orang dari keluarga Jati yang pegang didalam sana, pasti akan menjaga Satria.” Jawab Mas Pandu.

“Oh iya.? kenapa bisa begitu.?” Tanyaku.

“Karena Pak Tomo itu pendiri pondok merah bersama Mas Irawan, serta tiga orang temannya lagi.” Jawab Mas Pandu.

“Beneran Mas.?” Tanya Rendi.

“Iya, dan Pak Tomo itu salah satu orang kesayangan Mbah Jati.” Jawab Mas pandu.

“Huuuuuu.” Aku menghela nafas panjang dan aku sangat lega sekali mendengarnya.

“Kenapa kamu Lang.? kok kayaknya kamu lega gitu.?” Tanya Mas Pandu.

“Aku kira Satria tamat di rumah tahanan, karena gak ada yang jaga.” Jawabku.

Mas Pandu hanya tersenyum sambil meraih botol minumannya, lalu menghabiskannya. Aku juga meraih botol minumanku dan aku menghabiskannya juga.

“Mas, aku kerumah tahanan dulu ya.” Pamitku.

“Naik apa.?” Tanya Mas Pandu.

“Angkot lah.” Jawabku.

“Kenapa gak naik itu.?” Ucap Mas Pandu, sambil menunjuk sebuah kendaraan roda dua berwarna putih dan sangat tidak asing bagiku. Kendaraan itu terparkir diseberang jalan dan diujung parkiran.

“Itu kimba Mas.?” Tanyaku yang terkejut dan sangat tidak percaya, kimba ada disana.

“Iya.” Jawab Mas Pandu singkat.

“Tapi bagaimana bisa.? Waktu itukan kimba hangus terbakar.” Tanyaku dengan heran tapi juga senang.

“Aku malas jawab pertanyaanmu. Tugasku dari Mas Irawan, hanya menyerahkan kimba itu sama kamu. Kalau kamu ada pertanyaan, nanti tanya aja sama Mas irawan kalau ketemu.” Ucap Mas Pandu.

Pakde Irawan.? Ini semua karena Pakde Irawan.? Gila. Bagaimana bisa sih.? Hari itukan Pakde Irawan keluar gudang satu, sambil gendong Joko dan bareng aku. Terus dilanjut mengantarkan Joko berobat, lalu mengantar kami kerumah sakit. Jadi kapan Pakde Irawan ambil kimba dan kapan juga kimba diperbaikinya.? Kok bisa kimba yang hangus terbakar, kondisinya kembali seperti semula.? Atau jangan – jangan itu bukan kimba, tapi vespa yang lain.?

Akupun langsung menyebrang jalan dan mendekat kearah kimba. Warna putih berkilau, lebih bersih dan baru, membuatku sedikit ragu kalau ini adalah kimbaku. Akupun memastikan lagi dengan melihat plat nomornya. K 87 GJ.

Cok, ini nomor plat kimba cok. Beneran ini kimba dan kimba telah hidup kembali. Walaupun memakai cat baru, tapi semua aksesoris sangat mirip dengan kimba dan semua terlihat baru serta mulus sekali.

“INI KIMBA MAS, INI KIMBA. HAHAHAHA.” Aku tertawa sambil mengelus spidometer yang sangat mulus ini.

Mas Pandu hanya tersenyum sambil mengacungkan jempolnya kepadaku.

Kretek, kretek, kretek.

Aku mengengkol kimba dengan semangatnya.

Kretek, teng, teng, teng, teng.

Mesin Kimba mulai menyala dan suaranya tidak berubah seperti waktu pertama kali aku membelinya. Gila, merdu banget cukkk.

Aku lalu naik kimba dan menurunkan dari standart dua

“Suwon mas. suwon.” Ucapku dan Mas Pandu mengangguk pelan.

Kletek.

Aku memasukan perseneling kimba, setelah itu aku menarik gas kimba menuju rumah tahanan yang ada ditengah kota.

Trenteng, teng, teng, teng.

Pakde Irawan. Waw, aku gak tau harus berbicara apa lagi tentang beliau. Beliau datang pada saat aku sedang menghadapi masalah dan beliau membantu menyelesaikannya. Entah apa tujuannya, tapi yang jelas semua bantuan Pakde irawan ini tidak akan aku lupakan seumur hidupku.

Hiuffttt, huuu.

Dan sekarang aku memacu kimba kearah rumah tahanan. Dan setelah sampai disana, aku memarkir kimba setelah itu aku menuju ruangan yang biasa digunakan untuk menjenguk tahanan.

Setelah aku melapor tentang tujuan kedatanganku, aku disuruh menunggu disebuah ruangan yang cukup ramai dengan para penjenguk dan tahanan yang dijenguk.

Beberapa saat kemudian, dari arah dalam sana dua orang berjalan kearahku dan aku mengenalnya keduanya. Satria dan satu lagi bernama Ilham codet.

Cok, Ilham codet ada dikota ini dan dia ditahan disini.? Kena kasus apa dia.?

Ilham codet ini salah satu cucu Mbah Jati dan dia berasal dari Desa Jati Luhur. Bagaimana aku bisa kenal dia.? Kami sering bertemu waktu aku mengamen diterminal kotaku dan kami sangat akrab. Dia sering nongkrong dan minum disana bersama Gani sepupunya. Kalau dengan Gani aku kurang begitu akrab, karena Gani anaknya ga sesantai Ilham Codet.

Upss. Kalau manggil dia jangan ada codetnya ya, bisa dikuliti hidup – hidup siapapun yang berani manggil dia begitu.

Ilham itu memang memiliki codet dikepala. Tapi entah siapa yang berani membuat bekas codet itu, dikepala seorang cucu preman yang sangat disegani. Mungkin orang yang melakukan itu sangat kuat atau juga orang biasa, yang sekarang sudah hilang entah kemana.

“Mas Gilang.” Ucap Ilham ketika dia melihatku.

“Ham.” Ucapku sambil berdiri dan menjulurkan tangan kananku kearahnya, sementara Satria terlihat bingung melihat keakraban kami.

“Ngapain sampean disini Mas.?” Tanya Ilham dan dia membalas jabatan tanganku.

“Jenguk dia.” Jawabku sambil melepaskan jabatan tanganku dan menunjuk kearah Satria.

“Ooo, sampean jenguk Satria.? Aku kira siapa yang mau jenguk manusia gatel ini.” Ucap Ilham.

“Cok.” Maki Satria ke Ilham, lalu melihat kearahku.

“Sampean kenal Ilham Mas.?” Tanya Satria.

“Iya, kami tetangga desa.” Jawabku.

“Ooo, tetangga desa.” Ucap Satria sambil melihat kearah keningku

“Kenapa kening sampean itu Mas.? Kok kayaknya habis berkelahi.?” Tanya Satria.

“Jatuh dikamar mandi.” Jawabku berbohong.

“Ngapusi.” (Bohong.) Sahut Ilham dan aku hanya tersenyum aja.

“Entar dulu Mas, kok sampean bisa ada dikota ini dan sampean bisa kenal Satria.?” Tanya Ilham melanjutkan obrolan kami.

“Aku kuliah dikampus teknik kita dan Ayahnya Satria ini dosenku.” Jawabku.

“Sampean kuliah disana.? Sama Lek Pandu dong.” Ucap Ilham.

“Iya. Aku adek tingkatnya Mas Pandu.” Jawabku.

“Salut aku Mas, salut. Sampean pasti pakai biaya sendirikan.?” Ucap Ilham dan kembali aku hanya tersenyum saja.

“Oh iya, kenapa kamu bisa masuk disini.?” Tanyaku kepada Ilham.

“Biasa Mas, kenakalan remaja. Hahahaha.” Jawab Ilham, lalu tertawa dengan nada yang sumbang.

“Kenakalan remaja codetmu itu.” Sahut Satria sambil melihat kearah Ilham, lalu melihat kearahku.

Waw, berani sekali Satria mengejek Ilham dengan sebutan codet.? Kelihatannya mereka sangat akrab, sampai Ilham tidak marah kepada Satria yang menyinggung codetnya.

“Ooo. Assuu.” (Ooo. Anjing.) Maki Ilham tapi Satria tidak menghiraukannya.

“Sebenarnya dia ini difitnah Mas.” Ucap Satria kepadaku.

“Gak usah aneh – aneh kamu cok.” Sahut Ilham sambil melirik Satria.

“Difitnah apa.?” Tanyaku yang penasaran.

“Dia masuk kesini karena kasus pemukulan dan penganiayaan ringan.” Jawab Satria.

“Terusno cok, terusno.” (Teruskan cuk, teruskan.) Ucap Ilham sambil berjalan kearah meja sebelah, yang berisi beberapa orang berwajah sangar.

Ilham dengan cueknya mengambil sebungkus rokok yang ada dimeja itu, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya. Setelah itu Ilham kembali lagi kearah kami, sambil membawa bungkusan rokok mereka satu – satunya yang ada dimeja itu, beserta koreknya juga. Mereka yang ada dimeja itupun hanya diam dan tidak ada yang berani menegur tingkah kurang ajar Ilham itu. Bajingan.

“Rokok Mas.” Ucap Ilham menawarkan rokok itu kepadaku.

“Rokok siapa ini Ham.? Ngawur aja kamu itu.” Ucapku kepada Ilham.

“Kalau aku yang pegang, berarti rokokku. Kalau gak percaya tanya aja sama mereka.” Ucap Ilham sambil menunjuk kearah meja yang diambil rokoknya tadi.

“Iki rokokku to.?” (Ini rokokku kan.?) Tanya Ilham dengan cueknya.

“Yo.” Jawab mereka dengan nada yang kurang ikhlas.

“Tuhkan Mas. Sampean dengar kan. Hahaha.” Ucap Ilham lalu tertawa dengan kerasnya.

“Assuu. Arek iki.” (Anjingg anak ini.) Ucap Satria.

Akupun hanya menggelengkan kepala sambil duduk kembali, lalu aku meraih rokok itu dan mengambilnya sebatang, lalu membakarnya.

“Jadi dia difitnah dan dia gak melakukan itu.?” Tanyaku membahas kasus Ilham lagi dan mereka langsung duduk dihadapanku.

“Ya gimana ya Mas.? Korbannya memang cuman lecet dikening. Tapi,” Ucap Satria terpotong dan dia meraih bungkusan rokok lalu mengambilnya sebatang, kemudian membakarnya.

“Sat.” Ucap Ilham sambil melotot.

“Tapi apa.?” Tanyaku.

“Hidungnya patah, giginya patah, kedua tangannya patah. Tulang iga bagian kanan dan bagian kiri juga patah.” Ucap Satria dan Ilham hanya menikmati rokoknya, sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Kakinya.?” Tanyaku dengan refleknya.

“Kalau kaki cuman yang kiri aja yang patah Mas, jadi jalannya kayak main engklek gitu.” (Main engklek = main asinan) Jawab Satria.

“Cok, penganiyaan berat itu.” Ucapku sambil menggelengkan kepalaku.

“Jiancok, lambene arek iki rek. Turu ambe Karina koen bengi iki cok. Asli gak goro aku, Bajingan.” (Jiancok, Mulutnya anak ini bro. Tidur sama Karina malam ini kamu cok. Asli gak bohong aku. Bajingan.) Ucap Ilham ke Satria.

“Awakmu cemburu.?” (Kamu cemburu.?) Tanya Satria.

“Matamu. Hahahaha.” Ucap Ilham dan dia tertawa lagi.

“Hehehe.” Satriapun langsung tertawa pelan.

Satria tertawa tapi dari sorot matanya, terlihat dia sedang menanggung beban yang begitu beratnya. Berbeda dengan Ilham yang seperti tidak ada masalah sama sekali. Ilham seperti tidak menyesal dan dia terlihat menikmati didalam sini. Gila.

“Kalian lagi bicarakan aku ya.?” Ucap sesorang dengan nada yang gemulai.

Kami bertiga langsung melihat kearah suara itu dan diluar ruangan yang dibatasi jeruji besi ini, berdiri seorang laki – laki dengan gaya yang gemulai seperti suaranya tadi.

“Cok. Siapa itu.?” Tanyaku yang terkejut.

“Ojobe Ilham Mas.” (Istrinya Ilham Mas.) Ucap Satria.

“Matamu.” Gerutu Ilham.

“Gak usah nyocot ae, awakmu disusul ojobmu iku loh.” (Gak usah ngomel aja, kamu disusul istrimu itu loh.) Ucap Satria.

“Hahahaha. Assuu. Iku ojobmu cok. Hahaha.” (Hahaha. Anjingg. Itu istrimu cok. Hahaha.) Ucap Ilham lalu dia tertawa dengan kerasnya.

“Kalian jahat, kalau didalam sini kalian rebutin aku. Giliran disitu, malah gak ada yang mau ngaku.” Ucap laki – laki aneh itu dan aku langsung mengerutkan kedua alisku.

Siapa Karina ini dan kenapa gayanya seperti perempuan.? Dengan gayanya seperti ini, apa dia aman saja didalam sana.? Ahhh. Ngapain juga aku mikirin manusia aneh ini.? Masih banyak hal yang lebih penting yang harus aku pikirkan. Bajingann.

“Jangan gitu lah cantik. Masa gitu aja ngambek.” Ucap Ilham kepada Karina.

“Kalian jahat. Pokoknya entar malam gak aku kasih.” Sahut Karina, lalu membuat gerakan dengan mengepalkan tangan kanannya dan diarahkan kemulutnya yang membentuk huruf O.

“Bajingaann.” Makiku, Satria dan Ilham bersamaan.

Suara kami bertiga sangat keras, sampai kami menjadi pusat perhatian. Tapi walapun terdengar keras, tidak ada yang berani menegur kami. Padahal selain beberapa orang yang diambil rokoknya oleh Ilham tadi, banyak tahanan lain yang sedang menerima tamu dan wajah mereka tidak kalah garangnya, serta tubuh mereka dipenuhi tattoo. Tamu – tamu yang berkunjungpun, sebagian berwajah garang dan kelihatannya mereka juga preman – preman.

“Gitu ya sekarang. Aku dimaki – maki didepan umum.” Ucap Karina dan wajahnya dibuat sesedih mungkin.

“Jangan sedih gitu dong. Masuk dulu sana, nanti kamu diganggu om – om disini loh.” Ucap Ilham.

“Takut, antarin.” Ucap Karina dan sekarang nadanya dibuat manja sekali.

“Nggateli arek iki. Hahaha.” (Menjengkelkan anak ini. Hahaha.) Ucap Ilham dan lagi – lagi di akhiri dengan tawa yang keras.

“Terno cok, terno.” (Antarkan cok, antarkan.) Ucap Satria ke Ilham.

“Lapo seh.? Awakmu ae seng ngeterno kono loh.” (Kenapa sih.? Kamu aja yang ngantar sana loh.) Ucap Ilham ke Satria.

“Aku loh ngancani Mas Gilang nde kene.” (Aku loh temanin Mas Gilang disini.) Ucap Satria.

“Asuuig.” (Anjingg) Maki Ilham, lalu dia menghisap rokoknya.

“Ayyooo.” Ucap Karina dan suaranya terdengar makin manja saja.

“Terno cok. Koen gak cemburu lek Karina digudo kare wong – wong nde njero.?” (Antarkan cok. Kamu gak cemburu kalau Karina digodain sama orang – orang didalam.?) Ucap Satria.

“Matamu. Hahahaha.” Maki Ilham dan tawanya terdengar sangat sumbang sekali.

“Terno Ham. Sepet motoku ndelok arek iku.” (Antarkan Ham. Sakit mataku lihat anak itu.) Ucapku ke Ilham.

“Kok sampean ndukung Satria Mas.? Bajingan.” (Kok kamu dukung Mas.? Bajingan.) Ucap Ilham dan aku hanya tersenyum mendengarnya.

“Mas Gilang iku ngerti seng normal ambe seng enggak cok.” (Mas Gilang itu tau yang normal sama yang enggak normal.) Ucap Satria dengan cueknya.

“Jiancok koen Sat.” (Jiancok kamu Sat.) Sahut Ilham.

“Iiiiihhh, lama banget sih.” Ucap Karina sambil menghentakan kaki kanannya kelantai.

“Sek tala tel, gatel.” (Sebentar dulu orang yang menjengkelkan) Ucap Ilham Ke Karina.

“Iiihhh.” Ucap Karina dengan manjanya.

“Ham.” Aku dan Satria memanggil Ilham dengan nada suara yang lembut.

“Nggateli.” (Jengkelin.) Ucap Ilham lalu dia berdiri dengan terpaksanya.

“Aku nang njero disek Mas. Kate ngeterno arek seng ayune gak ono seng ngalai nde rutan iki.” (Aku kedalam dulu Mas. Mau antarkan anak yang kecantiknya gak ada yang ngalahin satu rutan.) Pamit Ilham kepadaku dan aku langsung mengangkat jempolku kepada Ilham.

Terlihat Karina tersenyum dengan senangnya, ketika Ilham berjalan mendekat kearahnya. Lalu ketika Ilham berada didekatnya, Karina langsung menggelendot di bahu Ilham dengan sangat manja.

“Assuu, kok ngelama koen.” (Anjing, kok ngelunjak kamu.) Ucap Ilham sambil menggeser tubuhnya sedikit.

“Hahaha.” Aku dan Satriapun tertawa melihat tingkah mereka berdua.

“Seng mesra po’o cok.” (Yang mesra kenapa cok.) Ucap Satria.

“Iya, kalau didalam aja dia mesranya.” Sahut Karina sambil melihat kearah kami.

Lalu tiba – tiba,

PAKKK.

Ilham menampar bokong Karina.

“Iiihhhh, jahat.” Ucap Karina pura – pura meraju.

“Hahahaha.” Ilham kembali tertawa, lalu dia merangkul Karina dan mereka berjalan kearah dalam sana.

“Ilham beneran main gila sama Karina.?” Tanyaku ke Satria.

“Enggaklah Mas. Mereka itu sahabatan sudah lama. Justru Ilham lebih mengenal Karina terlebih dahulu dari pada aku.” Jawab satria dan aku langsung menarik isapan rokokku.

“Mereka biasa bercanda dan sebenarnya Karina itu sadis Mas. Cuman dengan aku dan Ilham aja dia mau bercanda.” Ucap Satria dan aku langsung melihat kearahnya.

“Sadis gimana.?” Tanyaku.

“Dia masuk kesini karena membunuh dua orang.” Jawab Satria.

“Kok bisa.?” Tanyaku yang terkejut.

“Dia membunuh karena diejek bencong. Kedua korbannya dibunuh dengan sadis dan Karina memotong kemaluan mereka, terus digantung dileher mereka masing – masing.” Jawab Satria.

“Cok.” Makiku pelan.

“Karina itu sebenarnya laki – laki tulen dan normal, cuman gayanya aja yang begitu dan dia sering berkumpul dengan komunitas yang orang – orang begitulah.”

“Oh iya. Walaupun tidak ada Ilham disini, tidak ada tahanan yang berani mengganggunya, apalagi menghinanya." Ucap Satria dan aku hanya terus mengangguk mendengar ceritanya.

Kami berdua lalu sama – sama diam beberapa saat, sambil menikmati rokok kami. Suasana langsung terasa canggung, karena Satria tidak bercerita lagi dan aku tidak bertanya.

Suara – suara orang yang mengobrol disekitar kami, membuatku sesekali melirik kearah mereka.

Hiuuffftt, huuuu.

“Kok bisa Sat.?” Tanyaku membuka obrolan lagi dan Satria sepertinya paham maksud pertanyaanku.

“Ya bisalah Mas.” Jawab Satria singkat, lalu dia menghisap rokoknya.

Aku tidak melanjutkan pertanyaanku, karena aku melihat mimic wajah Satria berubah. Tatapannya tajam kedepan dan dia seperti sedang menahan emosinya.

“Mereka itu terlalu kurang ajar. Mereka berani mencariku kesekolah dan mereka berteriak – teriak mencariku. Bukan namaku yang mereka sebut, tapi nama Ayahku dan dengan kata – kata yang sangat kasar.” Ucap Satria mulai bercerita dan dengan suara yang bergetar.

“Salah satu dari mereka berteriak sambil mengacungkan senjata tajam yang dibawanya. Dia mengancam guruku dan semua teman – temanku yang tidak tau apa – apa.”

“Aku menghajar orang itu dan aku membunuhnya dengan senjata yang dibawanya. Semua teman – temanku membantuku dan membantai teman – temannya yang ikut menyerang kesekolah kami.” Ucap Satria dengan kedua mata yang berkaca – kaca dan emosi yang tertahan. Rokok yang ada ditangannya pun, sampai terjatuh dilantai tanpa dia sadari.

Aku menepuk pundaknya pelan dan Satria langsung menundukan kepalanya.

“Kamu itu laki – laki sejati yang membela harga diri. Aku salut sama laki – laki seperti kamu Sat.” Ucapku dan Satria terus menundukan kepalanya dihadapanku.

“Tapi aku akan lebih salut, kalau kejadian itu dan tempat ini bisa menjadikan dirimu semakin dewasa, dalam menghadapi kerasnya kehidupan kedepan.”

“Angkat kepalamu dan mulai sekarang tanamkan didalam dirimu, bahwa setelah kamu keluar dari tempat ini, kamu harus bisa membuat kedua orang tuamu bangga. Kamu harus bisa membuat tangis sedih mereka ketika kamu masuk ketempat ini, menjadi senyum kebanggaan ketika kamu sudah diluar sana.”

“Tidak usah menjadi orang yang hebat, tapi cukup menjadi orang baik dengan menjalankan kewajibanmu sebagai seorang anak. Itu saja.” Ucapku sambil mematikan puntung rokokku dan perlahan Satria menegakkan kepalanya pelan.

Air mata menetes dari kedua kelopak matanya dan wajahnya tidak terlihat semarah tadi. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini, tapi tiba – tiba dia berdiri dan berjalan kesebelahku.

Aku juga berdiri dan Satria langsung memelukku dengan sangat erat sekali. Lalu tiba – tiba tangisnya meledak dipelukanku ini dan dia seperti sedang mengeluarkan semua ganjalan yang ada dihatinya.

Suasana diruangan ini pun langsung sunyi dan tidak ada suara obrolan dari meja – meja sebelah kami. Mereka semua terdiam dan tidak ada yang berani melihat kearah kami.

Aku lalu memeluk Satria sambil mengelus punggungnya pelan. Aku membiarkannya mengeluarkan tangisnya ini dan aku juga tidak bersuara lagi.

Beberapa saat kemudian, terdengar langkah beberapa orang yang berjalan diarah belakangku.

“Cak Tomo.” Panggil seseorang diujung meja sana, kearah orang yang ada dibelakangku.

Satria langsung melepaskan pelukannya dan dia melihat kearah belakangku.

“Ibu, hiks, hiks.” Ucap Satria dengan suara yang bergetar dan tangisnya yang tidak berhenti.

Aku lalu membalikkan tubuhku dan terlihat tiga orang berdiri dihadapanku saat ini. Pak Tomo dan dua orang wanita setengah baya.

“Nak.” Ucap salah satu wanita setengah baya itu dan Satria langsung menghambur kepelukannya.

“Ibuuu.” Ucap Satria dan kembali Satria menangis dipelukan Ibunya.

Pak Tomo yang melihat hal itu, langsung melihat kearah yang lain dengan mata yang berkaca – kaca. Sementara wanita setengah baya yang satu, menepuk pundak pak Tomo pelan.

Tangis Satria semakin menjadi, ketika Ibunya juga ikut menangis. Satria langsung bersujud dan mencium kedua kaki Ibunya.

“Maaf Bu, maafkan Satria. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Satria lalu mencium punggung kaki Ibunya.

“Bangun nak, bangun lah.” Ucap Ibu Satria sambil membungkuk dan menarik pundak Satria yang sujud dikakinya.

Satria tidak bergeming dan dia tetap bersujud.

Suasana diruangan ini semakin haru dan sampai detik ini, semua orang yang ada diruangan ini belum ada yang berani bersuara. Semua penjenguk dan tahanan hanya diam dan tetap menunduk. Entah kenapa mereka tidak ada yang berani bersuara atau bahkan mengangkat wajah mereka. Tapi yang jelas, air mataku perlahan menetes dan aku mengingat Ibuku yang ada didesa.

Karena Satria tetap bersujud, akhirnya Ibunya pun bersimpuh dan sekarang Satria mencium kedua lutut Ibunya.

“Maaf Bu, Maafkan Satria yang hanya bisa membuat Ibu menangis dan bersedih. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Satria dengan diiringi tangis yang sesenggukan.

“Tangis penyesalanmu ini, sudah mengobati segala kesedihan Ibu, mulai dari seminggu kemarin nak.” Ucap Ibu Satria sambil membelai rambut putra kesayangannya itu.

“Bangun lah nak.” Ucap Ibu Satria dan perlahan Satria langsung mengangkat wajahnya, lalu memeluk Ibunya lagi.

Pak Tomo lalu berjalan mendekat kearahku dan aku menyambutnya dengan uluran tangan, lalu aku membungkan tubuhku dan mencium punggung tangan beliau.

“Kita keluar sebentar.” Ucap Pak Tomo ketika aku sudah menegakkan tubuhku dan beliau langsung merangkulku.

Kami berdua meninggalkan ruangan yang masih diselimuti suasana haru itu.

“Terimakasih ya.” Ucap Pak Tomo ketika kami sudah berdiri didepan gedung rumah tahanan.

“Untuk apa Pak.?” Tanyaku yang agak bingung.

Pak Tomo diam sejenak sambil mengeluarkan rokoknya, lalu membakarnya dan menghisapnya.

“Hiufftt, huuuu.” Pak Tomo mengeluarkan kepulan asap rokoknya, dari dalam mulutnya.

“Belum pernah aku melihat Satria menangis seperti itu seumur hidupku.” Ucap Pak Tomo.

“Ibunya baru hari ini datang dan baru hari ini siap untuk menjenguk Satria.”

“Aku tau Satria pasti akan menangis ketika melihat Ibunya. Tapi aku tidak menyangka kalau sampai seperti itu tangisannya. Dan itu pasti karena kedatanganmu dan nasehatmu barusan kepada Satria.” Ucap Pak Tomo dan wajah beliau terlihat sangat bersedih sekali.

“Bukan Pak, itu bukan karena saya. Tapi itu memang keluar dari dalam hatinya sendiri. Dia meluapkan semua kesedihan, penyesalan dan apapun yang mengganjal didalam hatinya.” Jawabku.

“Iya, aku paham kalau itu semua dari dalam hatinya. Dan aku yakin semua itu bisa keluar karena nasehat – nasehatmu.”

“Waktu aku pertama kali menemui Satria dikantor aparat seminggu yang lalu, dia tidak seperti itu. Dia hanya diam dan memendam semua kesedihannya didalam hatinya sendiri.” Ucap Pak Tomo, lalu beliau menghisap rokoknya lagi.

“Mungkin Satria malu dengan Bapak dan dia malu meneteskan air matanya dihadapan Bapak. Dan hari ini, hanya kasih sayang Ibu yang bisa mengeluarkan semua isi hatinya yang terpendam Pak.” Ucapku.

“Hiuufftt, huuu.” Pak Tomo menarik isapan rokoknya dalam – dalam, lalu mengeluarkan asapnya perlahan.

Mata Pak Tomo kembali berkaca – kaca dan pandangan beliau lurus kedepan, kearah jalan raya.

“Tom.” Panggil seorang wanita dari arah belakang dan Pak Tomo langsung membersihkan air mata yang mengambang dikelopak matanya.

“Iya Yan.” Ucap Pak Tomo sambil membalikan tubuhnya.

Aku juga membalikan tubuhku dan melihat kearah perempuan setengah baya yang sangat cantik ini.

“Masuklah. Satria cari kamu itu.” Ucap Wanita itu.

“Iya Yan.” Ucap Pak Tomo sambil membuang batang rokoknya yang masih panjang itu.

“Oh iya. Kenalin ini Gilang Yan. Lang ini Yanti, Damayanti Kusuma. Timnya Yanti ini yang menjadi pengacara kami, untuk kasus Satria.” Ucap Pak Tomo kepada Bu Yanti dan kepadaku.

Aku pun langsung menjulurkan tanganku kearah beliau dan beliau menyambut jabatan tanganku ini.

“Yanti Mas.” Ucap Bu Yanti dengan lembut, selembut tangannya yang aku jabat ini.

“Gilang Bu.” Jawabku dan kami berdua langsung melepaskan jabatan tangan yang singkat ini.

“Oh iya Yan. Kamu bisa bantu Gilang untuk membuat akte perusahaan ya.?” Ucap Pak Tomo dan aku langsung terkejut mendengarnya.

Cok. Untuk siapa akte perusahaan itu dibuat.? Untuk aku.? Gila aja. Aku kan gak punya dana dan aku belum ada rencana membuat kantor dalam waktu dekat ini. Masih lama dan masih butuh proses yang panjang, untuk mempersiapkan semuanya itu. Bagaimana Pak Tomo bisa mempunyai pikiran seperti ini, tanpa berbicara dengan aku dulu.?

Bukannya aku gak senang, bukan seperti itu. Tapi ya itu tadi, semua gak bisa dibuat tanpa perencanaan yang matang dulu.

“Bisa. Datang aja kekantorku.” Ucap Bu Yanti sambil membuka dompetnya.

Beliau lalu mengambil kartu nama dan menyerahkan kepadaku.

“Tapi Pak.” Ucapku terpotong, sambil melihat kearah Pak Tomo dan aku tidak mengambil kartu nama yang ada ditangan Bu Yanti.

“Sudahlah, datang aja kesana dulu.” Ucap Pak Tomo.

“Iya Mas, datang aja kekantor saya.” Ucap Bu Yanti sambil terus menyodorkan kartu namanya kepadaku.

Dengan tangan kanan yang bergetar, aku akhirnya mengambil kartu nama ditangan Bu Yanti.

“Aku tunggu dikantor.” Ucap Bu Yanti dan belum juga aku menjawab, beliau langsung membalikan tubuhnya dan berjalan kearah dalam ruangan lagi.

“Percuma kamu mempunyai impian, kalau kamu tidak segera melangkah untuk menggapainya.” Ucap Pak Tomo sambil merangkulku dan mengajakku berjalan kearah dalam ruangan lagi.

“Bukan saya tidak mau melangkah Pak, bukan. Banyak hal yang harus direncanakan dan dipersiapkan. Mulai dari pembentukan tim tenaga ahli, tenaga perencana dan tenaga lapangan. Mulai dari ijazah, akte perusahaan, dan sertifikasi keahlian. Mulai mencari kantor untuk tempat bekerja, sampai melobi proyek yang akan dikerjakan. Mulai dari bla bla bla, sampai bla bla bla lainnya Pak. Semua itu membutuhkan waktu yang panjang dan dana yang tidak sedikit. Dan dari semua yang saya sebutkan tadi, tidak satupun yang saya punyai sekarang ini Pak, tidak ada satupun.” Ucapku yang mencoba menjelaskan kepada Pak Tomo.

“Kamu punya pengalaman kerja diproyek.?” Tanya Pak Tomo dan aku mengangguk pelan.

“Kamu bisa membuat dokumen perencanaan.?”

“Kamu bisa mengawasi suatu proyek.?”

“Kamu punya kenalan orang pemerintahan.?”

“Kamu punya kenalan orang lapangan yang biasa bekerja disuatu proyek.?”

“Kamu punya pengalaman mulai dari awal perencanaan, mengikuti lelang, penunjukan pemenang lelang, tandatangan kontrak lelang, pelaksanaan pekerjaan, sampai laporan akhir.?” Tanya Pak Tomo bertubi – tubi sambil menghentikan langkahnya dan menatapku.

“Ada sih Pak, tapi baru sedikit saja pengalamannya. Lagian yang saya bicarakan barusan, persiapan panjang sebelum mendapatkan proyek itu.” Ucapku yang mencoba meyakinkan Pak Tomo.

“Kamu punya impian, tapi gak punya tekad. Payah.” Ucap Pak Tomo dengan cueknya, lalu berjalan lagi.

“Bu, bukan begitu Pak.” Ucapku dan Pak Tomo langsung menoleh kearahku.

“Kalau kamu punya kemauan dan tekad, impianmu pasti ada jalannya. Tapi kalau hanya sekedar wacana, selamat beronani dengan khayalanmu.” Ucap Pak Tomo lalu memalingkan wajahnya dan berjalan masuk kedalam ruangan.

Jiancookk. Onani dengan khayalan.? Itu sama aja aku hanya bersenang - senang dengan apa yang ada difantasiku, tanpa mau memperjuangkannya dong. Bajingaann.

Bukan seperti itu dan itu bukan aku. Buktinya sampai hari ini aku bisa kuliah dan masih berdiri dikota ini, untuk memperjuangkan impianku. Aku tidak terkurung dengan khayalanku, tapi aku berusaha mewujudkan impian dan cita – citaku.

Sedangkan untuk mendirikan sebuah kantor, aku akan tetap berusaha mewujudkannya. Tapi bukan sekarang, masih banyak yang harus di..

Arrgghhh, kembali lagi pembahasannya seperti perencanaan pendirian sebuah perusahaan diatas. Asuuu.

“Pak, Pak.” Panggilku dan Pak Tomo tetap berjalan kearah ruangan dan tidak menghiraukan panggilanku.

Aku lalu menyusul Pak Tomo kedalam ruangan dan aku masih belum puas dengan obrolan kami yang menggantung.

Dan ketika aku masuk kedalam ruangan, suasana haru kembali menyelimuti ruangan ini. Satria memeluk Pak Tomo dan menangis dipelukan Ayahnya itu.

“Mungkin sekarang impianmu harus terhenti sementara ditempat ini, karena kamu harus banyak belajar lagi tentang kehidupan nak. Tapi tenang saja, banyak orang – orang yang menyayangi, mendukung dan akan membantumu melewati semua ini.” Ucap Pak Tomo dengan suara yang bergetar.

“Semua yang dilakukan orang – orang yang menyayangi kamu ini, bukan untuk memanjakanmu. Tapi untuk menguatkanmu dalam melangkah, agar kamu bisa berlari untuk mengejar impianmu.” Ucap Pak Tomo dan aku juga merasa tersindir oleh semua ucapannya kepada Satria barusan.

Pak Tomo mungkin sengaja mengucapkan ini kepada Satria dan juga ditujukan kepadaku, agar aku tidak keras hati menolak bantuannya dan bantuan Bu Yanti.

Kondisi Satria saat ini sama dengan apa yang aku alami. Kalau Satria terhenti impiannya karena harus berada ditempat ini, aku ‘terhenti sementara’ karena bingung dengan semua permasalahan yang aku hadapi. Satria terkurung didalam jeruji besi, sedangkan aku terkurung dengan biaya untuk kelanjutan kuliah dan segala kebutuhanku selama dikota ini.

Apa aku datang saja kekantor Bu Yanti dan menerima bantuan beliau beserta Pak Tomo.? Atau aku akan tetap bertahan dengan kerasnya hatiku ini.? Terus bagaimana dengan kelanjutan kehidupanku, kalau aku masih angkuh seperti ini.? Mungkin saja ketika aku datang kekantor Bu Yanti, ada jalan keluar dari permasalahan pendirian perusahaan yang aku pikirkan ini.

Baiklah. Aku akan datang dan aku akan memujudkan impianku, dengan bantuan dari keluarga baruku ini.

Ya, mereka itu keluarga baruku, karena hanya keluarga saja yang memberikan perhatian, dukungan dan kasih sayang seperti ini. Dan sekali lagi aku berjanji, aku akan membalas semua kebaikan dari orang – orang yang menyayangi aku ini.

Cok. Hari ini hari yang sangat dipenuhi emosi. Banyak hal yang aku dapatkan selama seharian ini. Mulai cinta, kasih sayang, persahabatan, pengorbanan, perhatian keluarga dan banyak lagi. Aku tidak bisa menjabarkannya semua satu – persatu dan hanya bisa menikmatinya didalam hati. Aku sangat bersyukur hari ini, karena disetiap hembusan nafasku, aku mendapatkan sesuatu yang baru dan akan aku jadikan sebagai pelajaran hidupku.

Hiuufftt, huuuu.

Dan sekarang aku sedang menuju kekosanku. Aku sudah tidak sabar untuk membagi kebahagiaanku bersama Joko dan Intan. Aku ingin tertawa bersama mereka dan aku ingin mereka merasakan apa yang aku rasakan saat ini, karena tawa mereka adalah salah satu penyemangat hidupku.

Aku memacu Kimba menuju kosanku. Dan ketika sudah didekat kosan, aku mematikan mesin Kimba. Aku ingin memberi kejutan kepada Joko, dengan memarkirkan kimba diteras.

Pada saat aku berdiri dipagar kosan, terlihat ada sepatu wanita didekat pintu kosan. Itu pasti sepatu Mba Denok dan mereka pasti sedang memadu kasih dikamar Joko.

Akupun mendorong kimba pelan, lalu memarkirkannya diteras. Aku melakukannya sangat pelan dan sangat berhati – hati, agar tidak menimbulkan suara.

Intan yang ada diruang tamu menyambutku, dengan senyum yang manis dan wajah yang terlihat bahagia. Aku berjalan kearahnya dan Intan langsung memeluk tubuhku dengan sangat erat sekali.

Tidak ada kata yang kami ucapkan dan hanya pelukan ini yang mewakili perasaan bahagia ini. Entah Intan mengetahui atau tidak, tentang apa saja yang aku lalui hari ini. Tapi yang jelas pelukannya terasa lebih istimewa.

“Kok sudah ciumannya.?” Terdengar suara Joko dari dalam kamarnya.

“Iiihh, Mas Jo ini maunya ciuman aja terus.” Sahut Mba Denok dengan manjanya.

Aku dan Intan langsung melepaskan pelukan kami, lalu kami saling memandang dengan senyum yang tertahan.

“Emang aku gak boleh cium kekasihku sendiri.?” Tanya Joko.

“Gak apa – apa sih Mas, tapi jangan sering – sering, entar Mas Jo bosan lagi.” Jawab Mba Denok.

“Biarpun bibir ini menempel terus setiap saat, aku gak akan pernah bosan yang.” Ucap Joko.

“Iya, habis itu gak makan dan gak minum. Ciuman aja terus. Gitu maksud Mas Jo.?” Ucap Mba Denok.

“Cintamu mengalihkan duniaku yang. Kalau lagi berduaan begini, aku ga kepikiran makan atau minum. Lihat wajahmu aja, aku sudah kenyang lahir batin.” Ucap Joko.

“Ya udah lihat wajah Denok aja, gak usah pakai ciuman dong.” Sahut Denok.

“Pakai cium dong yang, masa cuman lihat aja.? Berduaan gak pakai ciuman, itu ibarat suara gendang yang berbunyi cuman TAK, gak ada DUNG nya.” Ucap Joko.

“Ada aja jawabnya.” Ucap Mba Denok.

Aku dan Intan langsung menahan tawa, mendengar rayuan yang menggatelkan itu. Aku lalu melangkah kearah kamar Joko, tapi tangan kiriku langsung ditahan Intan.

Aku menoleh kearah Intan dan Intan langsung menggeleng pelan. Dia mengkodeku supaya aku tidak mengganggu mereka yang sedang dimabuk asmara.

Aku lalu memegang tangan Intan yang memegang tangan kiriku, dengan tangan kananku. Aku lalu melepaskannya dengan lembut, sambil tersenyum.

“Jahat.” Ucap Intan pelan.

Aku lalu melangkah lagi dan berdiri didekat pintu kamar Joko.

“Ayolah yang, sekali lagi aja.” Rayu Joko.

Aku memajukan kepalaku dan melihat kearah dalam kamar yang pintunya terbuka. Mereka berdua sedang berdiri didekat kasur, dengan posisi Mba Denok memunggungi aku.

Terlihat mereka berdua sedang berpelukan dengan sangat mesra. Kepala mereka saling mendekat dan akan berciuman lagi.

“Ehem.” Ucapku sambil memalingkan wajahku dan melihat kearah dapur.

“Cok.” Maki Joko yang terkejut dan Mba Denok langsung melepaskan pelukannya.

Mba Denok melangkah kesebelah Joko, lalu menghadap kearahku dengan malu – malu, dan perlahan menundukkan kepalanya.

“Jek kurang ta.? Kene tak lumat ambe sepatuku.” (Masih kurang kah.? Sini kulumat pakai sepatuku.) Ucapku dan aku membalikkan kata – kata Joko tadi pagi.

“Jiancok, mbales koen cok.” (Jiancok, balas kamu cok.?) Ucap Joko untuk menutupi geroginya.

“Balas apa Mas Jo.? Tadi Mas Gilang juga lagi ciuman, terus Mas Jo ganggu gitu.?” Tanya Mba Denok sambil mengangkat wajahnya dan melihat kearah Joko.

“Anu yang.” Ucap Joko yang langsung salah tingkah.

“Mas Gilang sudah punya pacar ya.? Dimana sekarang dia Mas.? Kok Denok gak pernah lihat selama Denok disini.? Besok sore bawa kesini dong Mas, Denok mau kenalan.” Ucap Mba Denok sambil melihat kearahku dan aku terdiam beberapa saat.

“Mau aja dibohongi Joko.” Ucapku sambil melihat kearah mereka berdua bergantian.

“Iya kah Mas Jo.?” Tanya Mba Denok yang penasaran, sambil memalingkan wajahnya dan melihat kearah Joko.

“Gilang itu menang tampang aja, tapi gak berani pacaran yang.” Jawab Joko sambil melirik kearahku.

“Kok gitu Mas.? Mas gak mau cari cewe dikota pendidikan gitu.? Entar kalau kalau stok cewenya sudah habis, Mas gak punya jodoh lagi loh.” Ucap Mba Denok sambil menoleh lagi kearahku.

“Biarkan jodohku dijaga sama pria lain mba. Entar kalau sudah waktunya, pria itu akan datang kepelaminanku dan akan menangis dihadapanku.” Jawabku dengan cueknya.

“Asuuu.” Maki Joko.

“Hihihihi.” Mba Denok pun langsung tertawa mendengarnya.

“Oh iya, Denok mau masak ah.” Ucap Mba Denok sambil melangkah keluar kamar dan melewati aku. Dia terlihat masih malu – malu, sambil terus berlalu kearah dapur.

“Bajingan.” Gerutu Joko yang masih tidak puas, karena aku mengganggu kebahagiaannya.

“Hahaha.” Aku tertawa sambil membalikan tubuhku dan berjalan kearah pintu kosan. Aku berharap Joko mengikuti aku dan melihat kimba tanpa aku memberitahunya.

“Tunggu pembalasanku anak muda.” Terdengar suara Joko yang keluar kamar dan menyusul dibelakangku.

Aku keluar keluar kosan dan berdiri diteras sambil melihat kearah kimba. Aku lalu mengambil bungkusan rokokku dan mengambilnya sebatang, lalu membakarnya.

“JIANCOKKK.” Teriak Joko ketika dia berdiri dipintu kosan, sambil melihat kearah kimba.

“Kenapa yang.?” Ucap Mba Denok yang terkejut dan berlari kearah Joko.

“Kimba yang, kimba. HAHAHAHA.” Ucap Joko, lalu dia tertawa dengan kerasnya.

“Kok bisa ada disini Mas.?” Tanya Mba Denok sambil melihat kearahku.

Aku hanya tersenyum lalu menghisap rokokku dalam – dalam.

Joko berjalan pelan kearah kimba, lalu dia mengangkat kedua tangannya yang masih terlihat agak bengkak itu, dan mengelus jok dan spedo motor kimba pelan.

“Kimba, kimba, kimba.” Ucap Joko dengan senangnya.

“Kok iso cok.?” (Kok bisa cok.?) Tanya Joko sambil melihat kearahku.

“Aku og.” (Aku kok.) Ucapku dengan sombongnya, sambil menepuk dada kiriku.

“Gak po – po koen sombong cok, gak po – po. Tak restui sombongmu, seng penting kimba mbalek cok. Hahahaha.” (Gak apa – apa kamu sombong cok, gak apa – apa. Aku restui kesombonganmu, yang penting kimba kembali cok. Hahaha.) Ucap Joko lalu tertawa dengan bahagia.

Aku menghisap rokokku dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku merogoh kantong celana bagian kiri, untuk mengambil sesuatu didalamnya.

“Awak dewe mene moro nang kantor iki yo.” (Kita besok datang kekantor ini ya.) Ucapku sambil menunjukan kartu nama Bu Yanti kepada Joko.

“Kantor opo iku.? Awak dewe kate kerjo nde kono ta.?” (Kantor apa itu.? Kita mau kerja disana kah.?) Tanya Joko dengan wajah yang semakin terlihat bahagia.

“Mas mau kerja lagi kah.?” Ucap Mba Denok ikut bersuara.

“Enggak, tapi kita yang menciptakan lapangan kerja.” Jawabku, lalu aku menghisap rokokku.

“Assuuu, Hahahaha.” Maki Joko lalu tertawa, tapi kali ini tertawanya mengejek sekali.

“Sombongmu kelewatan cok. Tak tarik restuku.” Ucap Joko sambil memalingkan wajahnya dan melihat kearah kimba lagi.

Aku diam saja sambil terus menikmati rokokku. Joko yang heran dengan sikapku ini, lalu melihatku lagi dengan tatapan penuh selidik.

“Koen serius ta cok.?” (Kamu serius kah cok.?) Tanya Joko dengan mimic wajah yang serius.

Hiuffttt, huuuu.

Aku menarik dalam – dalam isapan rokokku, lalu aku mendangakkan kepalaku dan mengeluarkan asap rokokku keatas.

“Guyonanmu gak lucu cok.” (Candaanmu gak lucu cok.) Ucap Joko dan aku tetap diam.

“Nggatelli arek iki.” (Menjengkelkan orang ini.) Ucap Joko dan aku langsung melihat kearahnya.

“Kalau kamu punya kemauan dan tekad, impianmu pasti ada jalannya. Tapi kalau hanya sekedar wacana, selamat beronani dengan khayalanmu.” Ucapku, mengikuti kata – kata Pak Tomo tadi.

“Bajingaann. Awakmu entok duwe tekondi nggawe perusahaan cok.?” (Bajingaann. Kamu dapat uang dari mana buat perusahaan cok.?) Tanya Joko yang terlihat sudah mulai percaya dengan ucapanku.

“Aku gak nduwe duwe cok. nduweku mek.” (Aku gak punya uang cok. Punyaku cuma.) Ucapku terpotong, lalu aku mengepalkan tangan kiriku kearah Joko.

Joko menggelengkan kepalanya pelan, tapi aku tetap mengepalkan tangan kiriku kearahnya.

“Semongko.” Ucapku pelan, sambil menganggukan kepalaku.

“Semangat nganti bongko cok.” (Semangat sampai mampus cok.) Jawab Joko dengan suara yang bergetar.

Perlahan dia mengepalkan tangan kirinya yang sakit itu, dengan bersusah payah. Joko lalu mengarahkan kepalan tangannya itu kearahku, dengan sekuat tenaganya. Tangan kiri sahabatku itu bergetar dan kedua matanya pun terlihat berkaca – kaca.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO COK.” Teriakku.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO COK.” Teriakku lagi.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.!!!” Teriakku dengan semangatnya dan Joko langsung meninju kepalan tanganku pelan.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.!!!” Teriak kami bersama.





#Cuukkk. Semangat ini tidak akan pernah berubah dan akan tetap menggema, sampai mencapai impian kami bersama. Semangat nganti bongko cok. JIANCOOKK.!!!


TAMAT DULU YA CUUKKK..
NANTI DILANJUT DI IMPIAN 2..
Di tunggu updatenya di rumah yang baru hehe
 
Bimabet


BAGIAN 23
SEMANGAT NGANTI BONGKO



“Piye cok.?” (Gimana cok.?) Tanyaku kepada Joko, yang wajahnya terlihat gelisah sekali.

“Iku kata – kataku cok, lapo koen gawe.? Huppp, iiihhhhh.” (Itu kata – kataku cok, kenapa kamu pakai.? Huppp, iiihhh.) Protes Joko yang sedang duduk, lalu terlihat dia sangat gelisah sekali. Wajahnya seperti sedang menahan sesuatu dan dia sangat kebingungan.

“Kate neseng ta awakmu.?” (Mau buang air besar kah kamu.?) Tanyaku.

“Anu Lang, anu. Uhhhhhh.” Jawabnya, lalu mengeluarkan hembusan nafas yang agak panjang.

DUTTT, DUTTT, DUTTT.

Kentutnya terdengar keras dan baunya langsung menyengat.

“Cok, kari ngomong iyo ae mbulet.” (Tinggal ngomong iya aja berputar – putar.) Ucapku lalu berjalan kearahnya.

“Hehehe.” Joko tertawa malu – malu.

Aku berjalan kebelakangnya, lalu aku membungkukkan tubuhku dan memegang kedua ketiaknya dari arah bawah. Aku angkat tubuhnya keatas dan Joko berdiri perlahan, dengan punggung yang bertumpu pada dadaku.

“Huuppp.” Gumam Joko pelan sambil berdiri, lalu kami berdua jalan kearah kamar mandi.

Oh iya, pertempuran seminggu yang lalu digudang satu, mengakibatkan Joko cidera yang sangat parah sekali. Kedua lengannya patah dan wajahnya babak belur. Untung saja Pakde Irawan cepat membawanya ke tukang pijat yang sangat sakti. Kalau enggak, bisa saja Joko akan kehilangan kedua tangannya dan Joko pasti akan cacat seumur hidupnya.

Kedua tangan Joko masih bisa diperbaiki, tapi butuh waktu untuk bisa beraktifitas seperti biasa. Untuk saat ini, pergelangan tangannya masih terlihat bengkak dan sulit untuk digerakkan. Jadi segala aktifitasnya selalu aku bantu. Mulai menyuapi makan, memandikan, mengganti pakaian, sampai urusan buang air besar dan buang air kecil, aku yang membantu membersihkannya. Mba Denok juga sering datang kemari ketika sudah pulang kerja. Dia selalu memasakkan makan malam buat kami dan kalau ada Mba Denok, dia yang akan menyuapi makan Joko.

“Suwon Lang.” (Terimakasih Lang.) Ucap Joko ketika aku baru selesai mencebokinya dan memakaian celananya.

“Ngomong suwon maneh, tak slentek endokmu.” (Ngomong terimakasih lagi, kusentil bijimu.) Ucapku sambil membalikkan tubuhku dan keluar dari kamar mandi.

“Jiancok.” Maki Joko lalu dia keluar dari kamar mandi juga.

Aku lalu menyalakan tv diruang tengah, setelah itu duduk dan Joko juga duduk disebelahku.

Aku mengambil rokokku dikantong belakang, lalu mengambilnya sebatang, setelah itu membakarnya. Aku lalu mengambil rokokku yang menyelip dibibir ini dan aku selipkan dibibir Joko. Aku mengambil sebatang lagi dan membakarnya untukku.

Joko menghisap dalam – dalam rokoknya, lalu dia mengambilnya dengan tangan yang sangat kaku sekali. Aku sengaja membiarkannya, agar Joko bisa melatih menggerakkan tangannya itu.

“Kate nangdi rencanamu isuk iki.?” (Mau kemana rencanamu pagi ini.?) Tanya Joko sambil melihat televisi yang menayangkan acara tentang pelajaran anak – anak SMP.

“Nang omae Bu Har, kate mbahas masalah duwe kosan.” (Kerumahnya Bu Har, mau bahas masalah uang kosan.) Jawabku.

“Terus.?” Tanyanya lagi.

“Nang kampus, terus marani Satria.” (Ke kampus, terus datangi Satria.) Jawabku.

“Ooo.” Ucap Joko singkat.

“Lapo seh.?” (Kenapa sih.?) Tanyaku sambil melihat kearah Joko, yang berusaha mengangkat lengan kanannya untuk menghisap rokok dijemarinya.

“Ahhhh.” Joko menyandarkan lengannya dipaha, sebelum rokok itu sampai dibibirnya.

“Aku muleh ae yo Lang.” (Aku pulang aja ya Lang.) Ucap Joko dengan tatapan lurus kearah televisi.

“Koen iku lapo seh.?” (Kamu itu kenapa sih.?) Tanyaku, sambil mengerutkan kedua alisku.

“Wes seminggu iki aku gak iso opo - opo. Kabeh seng ngurusi awakmu. Ngedusi, ndulang, nyewo’i, ngganteni klambi, sampe nggolek duwe, awakmu seng ngurus. Aku iku me’ dadi bebanmu Lang. Mending aku muleh ae, ben dirawat mbokku.” (Sudah seminggu ini aku gak bisa apa – apa. Semua yang urus kamu. Memandikan, menyuapi, menceboki, menggantikan baju, sampai mencari uang, kamu yang urus. Aku itu cuman jadi bebanmu Lang. Lebih baik aku pulang aja, biar dirawat Ibuku.) Ucap joko dengan nada yang sangat sedih sekali.

“Cok. Lah koen kiro aku gak iso ngurusi awakmu nde kene ta.?” (Cok, lah kamu kira aku gak bisa urus kamu disinikah.?) Tanyaku.

“Gak ngono Lang. Awakmu iku akeh kegiatan. Lek aku terus nde kene, sakno awakmu. Mending aku cuti kuliah. Emben lek wes sehat, aku rene maneh.” (Gak gitu Lang. kamu itu banyak kegiatan. Kalau aku terus disini, kasihan kamu. Lebih baik aku cuti kuliah. Besok kalau aku sudah sehat, aku kesini lagi.) Ucap Joko dan sekarang dia melihat kearahku.

“Seng cidera iki tanganmu opo ndasmu seh.? Kok iso nduwe pikiran koyok ngono iku loh.?” (Yang cidera itu tanganmu apa kepalamu sih.? Kok bisa punya pikiran kayak gitu itu loh.) Ucapku sambil membalas tatapannya.

“Lang.” Ucap Joko dengan nada yang memelas.

“Gak telek – telek’an cok. Lek awakmu cuti, aku yo cuti. Lek awakmu muleh, aku yo muleh. Awak dewe iku budal wong loro, muleh kudu wong loro. Paham gak koen cok.?” (Gak tai – tai an cok. Kalau kamu cuti, aku juga cuti. Kalau kamu pulang, aku juga pulang. Kita itu berangkat berdua, pulang juga harus berdua. Paham gak kamu cok.?) Ucapku dengan penekanan kata yang tegas.

“Assuu.” (Anjingg.) Gumam Joko.

Dia lalu mengangkat tangan kanannya sekuat tenaga, untuk mendekatkan rokok ke bibirnya lagi. Dia berusaha sambil menahan rasa sakitnya dan itu berhasil.

“Hiufftttt, huuuuu.” Joko menghisap dalam – dalam rokoknya, lalu meletakkan pergelangan tangannya keatas pahanya lagi.

“Delok’en. Ngangkat rokok ae aku ngos – ngosan cok.” (Lihatlah. Ngangkat rokok aja aku ngos – ngosan cok.) Ucap Joko.

“Untung tanganmu ae seng cidera, lek ‘manukmu’ melu cidera, opo gak tambah ngelu ndasmu.?” (Untung tanganmu aja yang cidera, kalau ‘burungmu’ ikut cidera.? Apa gak tambah pusing kepalamu.?) Ucapku, yang mencoba menenangkan Joko dengan mengajaknya bercanda.

“Matamu Lang, Lang.” Gerutu Joko.

“Westalah cok. Intine iku, Gusti Pengeran ngongkon awakmu istirahat. Wes ngono ae.” (Sudahlah cok. Intinya itu, Sang Pencipta menyuruh kamu istirahat. Sudah gitu aja.) Ucapku sambil melihat kearah televisi lagi.

“Iyo cok, aku paham. Mangkane aku muleh, istirahat nde omah ae.” (Iya cok, aku paham. Makanya aku pulang, istirahat dirumah aja.) Ucap Joko yang masih ngotot untuk pulang kedesa.

“Mulah - muleh ae. Tak slentek endokmu, bongko koen engko cok.” (Pulang – pulang aja, Kusentil bijimu, mampus kamu nanti cok.) Ucapku.

“Omonganmu nggateli cok. Sekelku gak cidera loh. Njaluk tak sepak cangkemmu ta.?” (Ucapanmu menjengkelkan cok. Kakiku gak cidera loh. Minta ku sepak mulutmu kah.?) Ucap Joko dengan jengkelnya.

“Sepak’en gak opo - opo cok. Seng penting awakmu tetep nde kene.” (Sepak aja gak apa – apa cok. Yang penting kamu tetap disini.) Sahutku.

“Kirek.” (Anjing.) Maki Joko.

“Yo wes lah, tak metu ae.” (Ya sudah lah, aku keluar aja.) Ucapku sambil berdiri, lalu aku menghisap rokokku, setelah itu aku mematikan rokokku diasbak.

“Terus.?” Tanya Joko.

“Terus opone.? Njaluk tak slentik tenanan ta.?” (Terus apanya.? Minta ku sentil benaran kah.?) Ucapku sambil berdiri.

“Matamu.” Ucap Joko sambil melotot.

Aku pun langsung membalikkan tubuhku dan berjalan kearah kamarku. Didalam kamarku, tampak Intan sedang duduk dikursi dan melihat kearahku. Aku menutup pintu kamarku, lalu mendekat kearah Intan.

Intan langsung berdiri dan menatapku dengan mata yang sayu. Kami berdiri berhadapan dan Intan langsung menyentuh keningku, yang lukanya sudah mengering dan sedikit lagi sembuh.

Intan menyentuhnya dengan sangat lembut, memakai tangannya yang terasa dingin, serta sedikit bergetar. Tatapan matanya sekarang melihat kearah keningku dan kekhawatiran terlihat jelas dibola matanya.

Aku lalu mengangkat kedua tanganku dan aku langsung meletakkannya dipunggung bawahnya, setelah itu aku memeluknya dengan lembut.

“Maaf kalau aku membuatmu bersedih.” Ucapku pelan dan Intan langsung menatap kedua mataku.

“Aku sudah biasa bersedih, jadi kamu gak usah khawatir tentang itu.” Ucapnya dengan dingin, sambil menurunkan tangannya dari keningku dan membuat pelukanku terlepas.

“Aku sudah biasa terluka, jadi gak usah tambah kesedihanmu ketika melihat itu.” Sahutku.

“Apa aku tidak boleh bersedih, ketika melihat laki – lakiku terluka.?” Tanya Intan.

“Boleh. Tapi aku juga boleh khawatir ketika melihat wanitaku bersedihkan.?” Tanyaku balik.

“Huuuu.” Intan menghembuskan nafasnya dengan lembut dan dia langsung menundukan kepalanya.

Aku langsung merangkul tubuh Intan, sampai wajah sampingnya tersandar didadaku. Aku memeluk dan mendekapnya dengan sangat lembut sekali. Perlahan kedua tangannya terangkat dan membalas pelukanku ini.

“Luka dikulitku ini bisa cepat sembuh Tan. Tapi ketika melihatmu bersedih, ada luka baru yang tergores didalam hatiku dan itu pasti tidak akan bisa sembuh.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Kamu jahat Lang, kamu egois dan kamu mau menang sendiri.” Ucap Intan dengan sedihnya.

Dadanya langsung bergetar dan tangisnya perlahan mulai terdengar pelan.

“Itu adalah bentuk perhatian, cinta dan sayangku kepadamu Tan. Perhatianku jahat, agar kamu tidak tersakiti. Cintaku egois, agar cintamu tidak berpaling ke yang lain. Sayangku mau menang sendiri, agar kamu tau kalau aku benar – benar sayang kamu.” Ucapku sambil mengelus rambut belakangnya.

“Ucapanmu gak sesuai dengan kenyataan Lang.” Ucap Intan sambil mengangkat wajahnya dari dadaku, tapi kami tetap berpelukan.

“Aku tersakiti, setiap kamu tidak mendengarkan ucapanku. Kamu tidak mencintaiku Lang, karena kamu selalu mengabaikan nasehatku. Kamu tidak menyanyangi aku, karena kamu selalu meninggalkan aku dengan tetesan air mata.” Ucap Intan dengan mata yang berkaca – kaca.

“Jadi maumu aku tetap menemani kamu disini dan melihatmu terus bersedih.? Jadi maumu aku tetap disini dan melihatmu tersiksa, karena aku tidak mampu memecahkan semua mistery ini.? Kamu mau aku jadi laki – laki bodoh, yang bersembunyi dibalik ketiak cinta.?”

“Aku bukan laki – laki seperti itu Tan, bukan. Aku ingin melihatmu bahagia, walaupun akhirnya aku tersiksa karena kamu pasti akan meninggalkan aku, ketika semua tabir mistery ini telah terbuka.”

“Lebih baik aku menangis dan merana karena perpisahan, dari pada kita terus bersama tapi aku harus melihatmu tersiksa dunia.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Lang.” Ucap Intan dengan tetesan air mata yang mulai turun lagi dari kelopak matanya.

“Jangan menangis sayang, jangan. Aku janji akan menuntaskan semua ini segera, lalu pergilah bersama cintaku. Tunggu aku disana untuk mengambil cinta yang aku titipkan kepadamu.” Ucapku sambil membersihkan air matanya yang terus mengalir.

Intanpun langsung memelukku dengan erat, disertai air matanya yang tidak berhenti menetes. Aku mencoba menenangkannya, dengan mengelus punggungnya pelan. Mataku memang tidak menangis, tapi hatiku teriris dan jiwaku merana tersiksa.

Aku memang punya keinginan yang kuat, untuk memecahkan semua mistery ini. Tapi jujur disisi lain hatiku, cinta dan sayangku berontak karena tau ujungnya pasti tersakiti oleh perpisahan. Tapi apa mau dikata, memang inilah takdir cinta dan sayangku. Aku harus kuat, demi mahluk yang sangat berarti untuk kehidupanku ini.

“Gak usah ngomongin sakitnya perpisahan, kalau kamu belum ngerasain sakitnya rokokkan, waktu tanganmu habis patah. Sesakit - sakitnya patah hati, lebih sakit kalau gak bisa cebok sendiri cok. Apalagi kalau lubang bokongmu digosok sama temanmu, itu sakitnya terasa sampai diubun – ubun. Bajingan.” Ucap Joko dari luar kamarku dan langsung merusak suasana haru yang memenuhi ruang kamarku.

“Jiancok.” Gerutuku pelan.

Ganggu suasana yang lagi syahdu aja manusia gatel itu. Kenapa gak mulutnya aja sih yang cidera. Supaya mulutnya beristirahat sebentar, dari celetukan yang membangsatkan itu. Bajingan.

“Jangan terlalu keras kalau bicara sama Joko. Dia itu malu sama kamu, karena kamu sudah merawatnya selama dia sakit.” Ucap Intan sambil mengangkat wajahnya dari dadaku.

Intan lalu dia memundurkan tubuhnya dari tubuhku, sampai pelukan kami terlepas. Intan lalu membersihkan sisa – sisa air matanya, setelah itu senyum mulai terlihat dari bibirnya yang manis.

Cok. Jadi lepaskan pelukannya. Padahal aku masih mau berpelukan dengan Intan lebih lama lagi. Jiampuutt.

“Iya.” Jawabku singkat.

CUUPPP.

Tiba – tiba Intan mengecup bibirku dengan lembutnya.

“Kok cuman ngecup sih.? Bisa ditambahin lumatan sedikit gak.?” Tanyaku.

“Kene, tak lumat ambe sekelku.” (Sini, kulumat pakai kakiku.) Sahut Joko dengan suara yang terdengar sangat menjengkelkan sekali.

“Cok. Ngomong pisan kas, tak pancal congormu.” (Cok. ngomong sekali lagi, ku injak mulutmu.) Omelku.

“Hey. Kasar banget sih ngomongnya.” Ucap Intan dan matanya langsung melotot.

“Ooo, assuu. Wanine ambe wong loro.” (Ooo, anjingg. Beraninya sama orang sakit.) Omel Joko.

“Sudah ya, sudah.” Ucap Intan ketika aku akan menyahut ucapan Joko barusan.

“Argghh.” Gerutuku.

CUUPPP.

Intan mengecup bibirku lagi dan langsung membuatku terdiam, dengan benih – benih cinta yang mulai bermekaran.

“Dah pergi sana. kelihatannya hari ini jadwalnya padat banget.” Ucap Intan sambil mengelus pipiku pelan.

“Iya.” Jawabku tapi aku belum beranjak dari tempatku berdiri.

“Kok belum jalan.?” Tanya Intan sambil mengerutkan kedua alis matanya.

Aku lalu tersenyum, setelah itu aku memajukan bibirku dan aku berharap untuk mendapatkan kecupannya lagi.

“Ko, Gilang minta dikecup.” Ucap Intan dan aku langsung melotot kearahnya.

“Kongkonen metu, ben tak kecup nggawe dengkulku.” (Suruh keluar, biar kukecup pakai lututku.) Sahut Joko dengan senangnya.

Intan langsung tersenyum, lalu dia menutup mulutnya dengan tangan kanannya.

“Oooo. Sekarang sudah mulai kerjasama ya.” Ucapku sambil menganggukan kepalaku pelan.

“Ko, Gilangnya ngambek.” Ucap Intan.

“Jarno ae. Lek dijak ngomong terus, tambah ngalem arek iku. Mari ngene lek metu, tak ceples bokonge.” (Biarkan aja. Kalau diajak ngomong, makin manja anak itu. nanti kalau keluar kupukul pantatnya.) Sahut Joko dengan nada bicara seperti orang tua.

“Hihihi.” Intan tertawa pelan dan aku langsung membalikkan tubuhku, lalu berjalan kearah pintu kamarku.

“Gak jadi minta kecupnya.?” Goda Intan ketika aku memegang gagang pintu kamarku.

“Males.” Jawabku singkat, lalu aku membuka pintu kamar dan keluar dengan mimic wajah yang pura – pura meraju.

“Hihihi.” Terdengar tawa Intan lagi, dari dalam kamarku.

“Njaluk disun ta.?” (Minta dikecup kah.?) Tanya Joko yang masih duduk didepan televisi.

“Matamu.” Ucapku sambil melangkah kearah pintu kosan.

“Hahaha.” Joko tertawa dengan puasnya.

Aku lalu memakai sepatuku, setelah itu aku keluar kosan dan menuju kerumah Bu Har.

Hiufftt, huuu.

Tawa dari orang – orang yang kusayangi tadi, membuatku memiliki kekuatan untuk menghadapi semuanya. Aku semakin bersemangat dan aku semakin yakin, bisa menuntaskan satu persatu masalah yang ada. Walaupun semuanya masih abu – abu dan belum ada titik terang, tapi aku selalu optimis dan yakin pasti ada jalan keluarnya.

Akupun langsung melangkahkan kedua kakiku kearah rumah Bu Har. Aku ingin membicarakan tentang berapa biaya yang akan kami keluarkan, untuk biaya kos – kosan.

Selama seminggu kemarin aku belum bisa kerumah Bu Har, karena wajahku masih banyak lebamnya. Sekarangpun sebenarnya masih ada, tapi tidak sebanyak kemarin.

Dan sekarang aku sudah berdiri didepan pagar rumah Bu Har. Tampak terlihat pintu rumah Bu Har tertutup, tapi pagar tidak terkunci. Aku lalu membuka pagar perlahan, setelah itu aku menutupnya lagi. Aku berjalan kearah pintu dapur, yang terhalang mobil Bu Har yang terparkir. Aku ingin menemui Bi Ati dulu, untuk menanyakan apakah Bu Har sibuk atau tidak.

Pintu dapur yang terhalang pandangannya oleh mobil Bu Har ini, ternyata terbuka sedikit. Dan ketika aku mendekat kearah pintu, terdengar dua orang yang sedang berbisik dan aku langsung melihat kearah dalam ruangan dapur.

Dan betapa terkejutnya aku, ketika melihat pemandangan yang ada didalam sana. Bu Har dan Bi Ati sedang berdiri, sambil berpelukan dengan mesra Sesekali bibir mereka saling melumat dan kedua mata mereka sampai terpejam, menikmati ciuman yang pasti sangat nikmat itu. Bajingaann.

Kedua wanita itu sama – sama memakai kaos dalam yang sangat ketat, sampai kedua buah dada mereka mau tertumpah keluar. Bedanya Bi Ati menggunakan bawahan celana panjang, sedangkan Bu har menggunakan Rok yang sangat pendek dan agak lebar bawahnya.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Ciuman mereka terlihat makin memanas dan lidah mereka saling bergantian, menjelajah kedalam mulut pasangannya.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Bi Ati melumat sambil meremas buah dada Bu Har bagian kiri, dengan sangat lembutnya. Buah dada Bu Har yang pernah aku pegang dan aku remas itu, terasa sangat besar ditelapak tangan Bi Ati.

Bajingaann, apa aku masuk aja dan bergabung dengan pesta mereka ini ya.? Janganlah. Aku tidak boleh masuk kedalam, karena mereka berdua terlihat sangat menikmati permainan itu. Lagian mereka saling mencintai dan menyayangi. Aku hanya akan merusak kebahagian yang sedang mereka rasakan saat ini.

Terus aku harus bagaimana.? Apa aku pergi saja dari disini.? Apa aku akan melewatkan pemandangan yang belum pernah aku lihat ini.?

Belum pernah seumur hidupku, aku melihat adegan bercinta sepasang wanita seperti ini. Jadi apa aku akan tetap disini.? Terus kalau nanti ketahuan bagaimana.?

Sudahlah, lebih baik aku pergi saja dari tempat ini. Nanti sore atau besok pagi aku akan kembali lagi, untuk berbicara dengan Bu Har.

Tapi ketika aku akan membalikan tubuhku, kakiku terasa kaku untuk digerakkan dan kepalaku justru tetap dengan posisi mengintip seperti ini. Pandanganku seperti malas untuk berpaling dan justru aku semakin menikmati pemandangan yang sangat erotis ini.

Terlihat Bi Ati memegang tali penyangga kaos dalam Bu Har, lalu menurunkan perlahan. Buah dada bagian kiri Bu Har yang bulat dan kenyal itu, terlihat jelas dari pandanganku ini. Putting Bu Harpun, seperti menggodaku untuk kesana dan memainkannya. Bajingannn.

Bi Ati meremas dengan lembut, sambil sesekali memainkan putting Bu Har yang menggoda itu.

“Ahhhh, sayang.” Desah Bu Har, lalu Bi Ati membungkukan tubuhnya dan melumat putting Bu Har.

“Uhhhh.” Desah Bu Har lagi, ketika Bi Ati melahap sambil meremas buah dada Bu Har agak kuat.

Bi Ati menurunkan tali kaos dalam bagian kanan Bu Har, lalu menurunkan kaos dalam itu, sampai sebatas perut. Kedua buah dada Bu Har sekarang terbuka dan Bi Ati langsung meremasnya bersamaan.

“Ahhhhh.” Desah Bu Har sambil memegang kedua tali penyangga kaos dalam Bi Ati.

“Jangan, aku lagi dapet.” Ucap Bi Ati ketika Bu Har akan menurunkan kaosnya.

“Ihhhh, sayang. Aku kan mau isap puttingmu juga.” Rengek Bu Har.

“Entar kalau aku mau lebih gimana.? Sudah ah, dilanjut gak ini.?” Ucap Bi Ati, lalu dia meremas kedua buah dada Bu Har pelan.

“Uhhh. Jahat.” Ucap Bu Har dengan manja sekali.

Bi Ati lalu memajukan wajahnya dan melumat bibir Bu Har.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Kembali mereka berdua berciuman dengan panasnya. Bi Ati lalu menjulurkan lidahnya dan Bu Har menyambutnya, dengan menghisap lalu menjilati lidah Bi Ati dengan penuh nafsu.

Gila. Ganas banget mereka berdua berciumannya. Kalau aku diantara mereka, bisa menggila aku. Hehehe.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Bi Ati mendorong tubuh Bu Har, agar bersandar pada meja makan. Remasan demi remasan Bi Ati didada Bu Har, membuat tubuhku yang panas dingin menyaksikannya. Kemaluanku pun sampai berdiri dengan tegaknya.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Ciuman mereka mengganas, lalu Bi Ati menghentikannya dan membalikkan tubuh Har. Diremasnya bokong Bu Har, lalu diangkat rok pendek Bu Har keatas sedikit. Bokong yang mulus, putih, bersih, semok dan tanpa ditutupi CD itupun, terlihat jelas dari tempatku berdiri ini.

“Auuu, uhhhh.” Desah Bu Har dan kedua tangannya bertumpu pada ujung meja makan.

Bi Ati Jongkok dibelakang Bu Har, sambil terus meremas bokong Bu Har.

Plak.

“Sayang.” Rengek Bu Har dengan manja, ketika bokongnya ditampar.

“Nggemesin banget sih.” Ucap Bi Ati lalu meremasnya sedikit keras.

“Uuuuuuhhhh.” Desah Bu Har yang terdengar mendayu - dayu.

Lalu dengan posisi yang jongkok itu, Bu Ati membuka belahan bokong Bu Har, lalu menjilat lubang Bu Har dengan ganasnya.

Slurrpppp.

“Geli yang, geli.” Ucap Bu Har, sambil menoleh kearah Bi Ati.

Bi Atipun semakin bernafsu. Dia menjilat lubang Bu Har, sambil memainkan lubang kemaluan Bu Har.

“Ahhhh, uuhhh, ahhhh.” Desah Bu har yang kenikmatan, sambil menggelengkan kepalanya kekanan dan kekiri.

Clok, clok, clok, clok, clok.

Bunyi kemaluan Bu Har yang dikocok Bi Ati dan itu semakin membuat kemaluanku tegak berdiri.

Clok, clok, clok, clok, clok.

Bunyi itu semakin terdengar jelas, sejelas pemandangan yang nampak dihadapanku ini.

Slurrpppp, slurrpppp, slurrpppp, slurrpppp, slurrpppp.

Bi Ati terus menjilati lubang bokong Bu Har, sambil sesekali menusukkan lidahnya kedalam lubang bokong Bu Har.

“Yang..” Ucap Bu Har dan kedua kakinya menjijit.

Bu Har lalu menghentikan kegiatannya, setelah itu dia berdiri, dan.

Plak.

Bi Ati menampar bokong Bu Har lagi.

“Auuuu.” Jerit manja Bu Har.

“Balikkan tubuhmu, terus duduk diatas meja.” Perintah Bi Ati dan Bu Har langsung membalikkan tubuhnya, setelah itu duduk diatas meja makan.

Kedua kaki Bu Har ditekuk dan kedua telapak kakinya bertumpu dimeja makan. Perlahan dia mengangkang dihadapan Bi Ati dan membuatku ingin masuk kedalam ruang dapur, terus menusuk lubang kenikmatan yang terbuka itu. Bajingaannn.

Bi Ati meremas dada bagian kanan Bu Har menggunakan tangan kiri, lalu jari tengah kanannya, menerobos masuk kedalam lubang kemaluan Bu Har.

“AHHHHH.” Desah Bu Har sambil meletakkan kedua telapak tangannya kebelakang tubuhnya, untuk dijadikan tumpuan bersandar.

Clok, clok, clok, clok, clok.

Jari tengah Bi Ati keluar masuk dan mengocok kemaluan Bu har.

Clok, clok, clok, clok, clok.

Jari tengah Bi Ati tampak dipenuhi carian kenikmatan Bu Har.

Clok, clok, clok, clok, clok.

“YANGGG.” Desah Panjang Bu Har.

Clok, clok, clok, clok, clok.

Bi Ati lalu mencabut jari tengahnya, lalu kemudian memasukan lagi jarinya kedalam kemaluan Bu Har. Dan kali ini yang masuk bukan hanya jari tengah, tapi juga jari telunjuk Bi Ati ikut juga masuk kedalam kemaluan Bu Har.

“Yang.” Ucap Bu Har dengan kedua mata yang melotot.

Kedua jari Bi Ati itu tertanam dan dibiarkan saja didalam sana. Entah apa yang dilakukan oleh Bi Ati dengan kedua jarinya itu. Hanya diam saja atau dimainkan didalam sana. Tapi yang jelas kedua mata Bu Har terlihat merem melek, dengan desahan yang semakin menjadi.

“Ha, ha, ha, ha, ha.” Desah Bu Har dengan mulut yang menganga dan kepala yang mendanga keatas.

Bi Ati langsung merangkul leher Bu Har, sampai wajah mereka berdekatan. Setelah itu Bu Har langsung menyambar bibir Bi Ati dan Bi Ati semakin memainkan kedua jarinya didalam kemaluan Bu Har.

Clok, clok, clok, clok, clok.

Hem, hem, hem, hem.

Desah Bu Har di tengah lumatan yang menggila. Dan beberapa saat kemudian, Bi Ati mencabut tangannya. Dan,

Sret, sret, sret, sret, sret. Sret, sret.

Cairan kenikmatan keluar sangat deras dari dalam kemaluan Bu Har, sampai pinggulnya terangkat.

“Hemmmmmm.” Desah Bu Har yang bibirnya terus dilumat Bi Ati.

Tubuh Bu Har terlihat mengejang kenikmatan dan lututku sampai bergetar melihatnya.

Gila, ini gila banget. Bisa ya Bu Har merengkuh kenikmatan walau dengan sesama jenis.? Aku kira kenikmatan seperti itu, hanya bisa didapat dengan orang yang berlainan jenis. Tapi hari ini dengan kepalaku sendiri, aku bisa melihat Bu Har mengejang kenikmatan dan itu diberikan oleh Bi Ati.

“Uhhhh.” Aku sampai menghela nafas panjang dan aku tidak berkedip sekalipun. Aku menikmati permainan dan pemandangan yang sangat luar biasa erotis ini.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafas Bu Har terdengar cepat dan memburu. Bu Har masih dalam kondisi duduk dan mengangakang, sedangkan Bi Ati dihadapannya terlihat tersenyum senang.

“Lanjut.?” Tanya Bi Ati sambil menyentuh kemaluan Bu Har.

“Yang, entar dulu. Sabar ya. Hu, Hu, hu, hu.” Ucap Bu Har sambil menahan tangan Bi Ati.

Bi Ati tidak mendengarkan ucapan Bu Har. Dia malah menepis tangan Bu Har, lalu membungkukan tubuhnya dan menjilat kemaluan Bu Har.

“Yang.” Rengek Bu Har dan aku langsung memundurkan tubuhku.

Cukup, cukup sudah aku melihat adegan itu. Aku sudah tidak kuat lagi dan nafsuku perlahan mulai menguasai kepalaku. Lebih baik aku pergi secepatnya dari tempat ini, dari pada aku nekat masuk dan bergabung dengan pesta itu, walaupun tanpa seijin mereka berdua.

Akupun langsung membalikan tubuhku dan berjalan pelan, agar tidak mengganggu keasyikan mereka berdua. Cukup sudah aku menikmati pertunjukan itu dan aku tidak ingin melihatnya lebih jauh lagi. Bagiku dengan melihat itu semua, sudah membuatku senang dan aku tidak ingin berandai – andai lebih jauh lagi. Biarlah mereka asyik dengan kenikmatan mereka dan aku tidak akan mengungkitnya, ketika aku bertemu dengan salah satu diantara mereka nanti.

Aku membuka pintu pagar pelan sekali, lalu menutupnya dengan rapat. Aku lalu melanjutkan perjalananku menuju perempatan jalan besar dekat kampus teknik kita. Tujuanku adalah ke kantor aparat untuk mendatangi Satria yang ditahan disana. aku ingin mengetahui kabarnya dan aku ingin memberikan dia dukungan, agar kuat dalam menjalani hukuman yang akan dia jalanin. Selain itu aku ingin memberitahukan kepada Satria, agar ketika dipindahkan kerumah tahanan, dia lebih berhati – hati. Karena menurut Begal dihari itu, Satria akan disambut oleh teman – teman Begal ketika didalam sana. Huuuu.

Kasihan sekali Satria. Pemuda seusia dia, harus menghadapi masalah yang sangat besar seperti ini.

“Lang.” Panggil seseorang, ketika aku lewat didepan kampus teknik kita.

Aku lalu melihat kearah suara itu dan terlihat Mas Pandu duduk seorang diri di sebuah warung kopi.

“Ya mas.” Ucapku sambil melambaikan tangan kananku kearahnya.

Aku lalu menyebrang jalan dan mendatangi Mas Pandu. Dan ketika aku sampai dihadapannya, Mas Pandu melihat kearah luka diwajahku yang telah mengering.

“Duduk dulu.” Ucap Mas Pandu, lalu dia menghisap rokoknya.

“Oh iya Mas.” Ucapku, lalu aku duduk didepan Mas Pandu.

Tiba – tiba Mas Pandu mengeluarkan dua botol minuman gepeng dari kantong belakangnya, lalu menyerahkan satu botol kepadaku.

“Minum dulu, supaya luka diwajahmu cepat hilang.” Ucap Mas Pandu dengan santainya, sambil membuka satu botol minuman gepeng yang ada ditangannya.

“Emang bisa gitu.?” Tanyaku dengan herannya.

“Ya kalau kamu percaya dan yakin.” Ucap Mas Pandu, lalu meminum minumannya.

Cok. Ya mana bisa minuman alcohol seperti ini menyembuhkan luka. Aneh juga pertanyaanku tadi. Mau itu luka hati sekalipun, alcohol tidak akan bisa menyembuhkannya. Alcohol justru akan semakin menambah parah perihnya dan semakin menambah derita tersiksa karena cinta.

Terus kalau ada masalah lain lalu lari ke alcohol bagaimana.? Ya pasti akan semakin menggila lagi masalahnya.

Terus sekarang aku sedang banyak masalah, apa aku akan menolak pemberian Mas Pandu ini.? Ya enggaklah, masa sudah dikasih terus ditolak. Lagian dah lama aku gak minum seperti ini, rezeki kok ditolak.? Gila aja.

Aku pun langsung meraih botol gepeng pemberian Mas Pandu, lalu aku membukanya. Aku meminumnya perlahan dan aku menikmati sensasi minuman ini masuk ketenggorakanku.

Glek, glek, glek, glek, glek.

“Ahhhhh.” Ucapku sambil meletakan minuman yang sisa setengah botol ini.

“Kamu habis ngaret dimana Lang.? kok kayaknya haus banget.?” Tanya Mas Pandu dan kulihat botol minuman Mas Pandu, hanya berkurang sedikit. Berbeda dengan punyaku yang berkurang setengah. (Ngaret = cari rumput)

“Hehe.” Akupun hanya tertawa, sambil mengeluarkan bungkusan rokokku, lalu aku mengambilnya sebatang dan membakarnya.

Kami lalu diam beberapa saat dan kami sama – sama menikmati, efek minuman yang perlahan mulai naik kekepala.

“Terus bagaimana.?” Tanya Mas Pandu yang membuatku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Bagaimana apanya Mas.?” Tanyaku.

“Desa Utara dan aliansi selatan.” Ucap Mas Pandu dan aku langsung terkejut dibuatnya.

“Maksudnya Mas itu gimana sih.? Aku gak paham.” Ucapku.

“Seminggu yang lalu kan kamu menyerang ke Desa Utara bersama Joko. Desa Utara itu salah satu basisnya aliansi selatan.” Ucap Mas Pandu dan aku semakin terkejut dibuatnya.

“Aku gak tau kalau Desa Utara dan aliansi selatan saling terkait Mas. Lagian tujuan kami kesana, hanya untuk mengambil kimba yang mereka curi. Emang ada apasih Mas.?” Ucapku dan Mas Pandu langsung meminum sedikit lagi minumannya.

“Ahhhh.” Ucap Mas Pandu, sambil meletakkan botol minumannya.

“Kamu pasti pernah mendengar tentang aliansi selatan, yang menjadi musuh dari keluarga Jati.” Ucap Mas Pandu sambil menatapku dan aku hanya diam tanpa memotong ucapan Mas Pandu.

“Aliansi selatan ini diketuai Cak Herman, sedangkan Desa Utara dikomandoi oleh Cak Bagong.”

“Aliansi selatan itu sebenarnya kelompok baru dan mereka berusaha menggeser kelompok keluarga Jati.”

“Beberapa daerah yang bersebrangan dengan keluarga Jati, mereka rangkul termasuk Desa Utara. Mereka itu licik dan akan melakukan apapun untuk mencapai tujuan mereka.” Ucap Mas Pandu lalu dia menghisap rokoknya.

“Mungkin itu garis besar cerita tentang aliansi selatan dan Desa Utara. Dan tujuanku menanyakan tentang aliansi selatan dan Desa Utara itu, karena kamu sudah pernah masuk kesana.” Ucap Mas Pandu menutup ceritanya, lalu meminum minumannya lagi.

“Ooo, begitu.” Ucapku lalu aku meminum minumanku sedikit.

“Ahhhhh.” Ucapku lalu aku meletakan botol minumanku.

“Nama petinggi aliansi selatan dan Desa Utara yang sampean sebutkan barusan, ada semua ketika aku kegudang satu.” Ucapku yang sekarang bergantian bercerita.

“Dan kelihatannya apa yang sampean sampaikan barusan itu, ada benarnya sedikit.” Ucapku lagi.

“Maksudnya.?” Tanya Mas Pandu.

“Mereka itu benar kelompok baru. Tapi kalau menurutku, mereka pasti digerakkan oleh orang lama dan pasti orang yang sangat kuat.” Jawabku.

“Bagaimana kamu bisa menyimpulkan seperti itu.?” Tanya Mas Pandu.

“Hanya orang bodoh saja yang berani membentuk kelompok baru, lalu mencoba menggeser kelompok sekuat keluarga jati.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku.

“Aku juga sependapat kalau masalah itu. Tapi aku masih belum bisa bicara banyak, karena aku belum ada bukti dan aku belum tau siapa dibalik aliansi selatan.” Ucap Mas Pandu.

“Oh iya, bagaimana kamu bisa yakin kalau ada orang lama yang menggerakan aliansi selatan.?” Tanya Mas Pandu.

“Ketua aliansi selatan Cak Herman dan siapapun yang ada digudang satu kemarin, tidak ada satupun yang berani menerima tantangan Pakde irawan. Masa seorang pimpinan kok gak berani menerima tantangan orang lain.?” Jawabku.

“Cok. Mas Irawan datang kekota ini, waktu kamu kegudang satu.?” Tanya Mas pandu dengan terkejutnya.

“Loh, sampean gak tau.? Terus dari mana sampean tau kalau aku kegudang satu seminggu yang lalu.?” Tanyaku yang juga terkejut.

“Mas Irawan yang cerita ke aku, kalau kamu dan Joko mendatangi gudang satu. Tapi Mas Irawan gak cerita kalau dia datang kekota ini. Aku kira Mas Irawan dipulau seberang dan dia mendapatkan informasi ini dari orang – orangnya yang ada dikota ini.” Jawab Mas Pandu.

“Cok.” makiku pelan.

Bodoh. Pakde Irawan kan bilang sama aku, kalau aku jangan bercerita kepada siapapun kalau beliau datang kekota ini. Kenapa juga aku bisa terpancing dengan omongan Mas Pandu tadi.? Bajingan.

“Mas, tolong jangan cerita sama siapa – siapa, kalau Pakde Irawan kekota ini.” Ucapku dengan memelas.

“Itu pesan Mas Irawan Ya.?” Tanya Mas Pandu dan aku langsung menganggukan kepalaku.

“Hiufffttt, huuuu.” Mas Pandu menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Oh iya Mas. Walaupun aliansi selatan itu kelompok baru, jangan menganggap remeh mereka semua. Mungkin sekarang kekuatan mereka belum seberapa, tapi entah beberapa tahun kedepan. Mereka punya bibit petarung yang hebat dan tinggal mengasah jam terbangnya saja, mereka pasti akan menjadi kelompok yang kuat dan hebat.” Ucapku.

“Iya. Aku paham itu dan aku juga paham maksud kedatangan Mas Irawan kekota ini. Selain ingin menyelamatkan kamu, Mas Irawan ingin memberikan mereka peringatan. Si misterius Irawan Jati masih ada dan tidak akan tinggal diam, kalau aliansi selatan sampai berbuat kelewat batas.” Ucap Mas Pandu.

“Tapi bisa juga itu pancingan Mas. Mungkin orang yang menggerakan aliansi selatan itu, musuh Pakde Irawan dan dia menunggu waktu yang tepat untuk memulai pertempuran yang sangat besar.” Ucapku dan Mas Pandu langsung menatapku dengan tajam.

“Cok. Ternyata benar apa yang diucapkan Mas Irawan. Kamu itu termasuk bagian penting dari pondok merah dan kamu mempunyai semangat pondok merah, walaupun kamu tidak tinggal bersama kami.” Ucap Mas Pandu dan aku hanya mengerutkan kedua alisku.

“Maksudnya Mas.?” Tanyaku.

“Ren.” Tiba – tiba Mas Pandu berteriak, lalu aku menoleh kearah belakangku.

Tampak Rendi keluar dari pagar kampus teknik kita dan berjalan kearah kami.

“Jangan bahas masalah ini lagi.” Bisik Mas Pandu dan aku langsung melihat kearah Mas Pandu.

“Kenapa wajahmu itu Lang.? Kamu habis berkelahi dengan siapa.?” Tanya Rendi, ketika sudah berada didekatku.

“Hehe.” Aku pun hanya tertawa pelan dan tidak menjawab pertanyaan Randi.

“Ditanya malah tertawa.” Ucap Rendi sambil duduk disebelah Mas pandu.

“Habis jatuh aku.” Jawabku berbohong, sambil mengambil sebatang rokokku lagi dan membakarnya.

“Kurang ajar, dikiranya aku anak kecil yang bisa dibohongi Mas.” Ucap Rendi ke Mas Pandu.

“Hahaha.” Mas Pandu tertawa mendengar ucapan Rendi barusan.

“Oh iya. Joko dimana.?” Tanya Mas Pandu dan seperti mengalihkan pembicaraan.

“Dikosan Mas, lagi banyak tugas.” Ucapku berbohong lagi.

“Eleh, pasti dia lebih bonyok dari kamu kan.?” Tanya Rendi.

“Kamu itu kenapa sih Ren.? Perhatian banget dari tadi. Kamu itu cinta sama kami berdua kah.?” Ucapku.

“Taikkk.” Ucap Rendi sambil mengeluarkan sebotol minuman gepeng dari kantong belakangnya.

“Hahahaha.” Mas Pandu kembali tertawa.

“Oh iya, kamu mau kemana sih.? Kok rapi banget.?” Tanya Mas Pandu kepadaku.

“Kekantor aparat dipusat kota Mas.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku.

“Kamu wajib lapor.?” Tanya Rendi.

“Enggak, aku mau lihat temanku yang lagi ditahan.” Jawabku.

“Dia sudah gak dikantor aparat. Dia dititipkan sementara dia rumah tahanan.” Ucap Mas Pandu.

“Emang sampean kenal temanku Mas.?” Tanyaku.

“Kenal dekat sih enggak, tapi dia anak Pak Tomo kan.? Namanya Satria.” Ucap Mas Pandu.

“Kok sampean tau.?” Tanyaku.

“Ya tau lah.” Jawab Mas Pandu lalu meminum minumannya.

“Maksudnya Mas Pandu, Pak Tomo itu dosen sipil.?” Tanya Rendi.

“Iya.” Jawab Mas Pandu.

“Kasus apa anaknya Mas.?” Tanya Rendi lagi.

“Bunuh anak kampus teknik kuru yang menyerang sekolahnya.” Jawab Mas Pandu.

“Gila. Preman juga anaknya Pak Tomo itu. kelihatannya calon – calon penerus pondok merah anak itu.” Ucap Rendi, lalu dia meminum minumannya.

“Mungkin.” Jawab Mas Pandu sambil melihat kearahku.

“Menurut sampean, Satria aman ajakah di rumah tahanan.?” Tanyaku.

“Justru dia lebih aman di rumah tahanan saat ini. Kalau dia berkeliaran dijalan, dia pasti jadi incaran anak – anak kampus teknik kuru.” Jawab Mas Pandu.

“Kok bisa Mas.? Apa banyak teman – teman Satria didalam sana.?” Tanyaku.

“Orang – orang dari keluarga Jati yang pegang didalam sana, pasti akan menjaga Satria.” Jawab Mas Pandu.

“Oh iya.? kenapa bisa begitu.?” Tanyaku.

“Karena Pak Tomo itu pendiri pondok merah bersama Mas Irawan, serta tiga orang temannya lagi.” Jawab Mas Pandu.

“Beneran Mas.?” Tanya Rendi.

“Iya, dan Pak Tomo itu salah satu orang kesayangan Mbah Jati.” Jawab Mas pandu.

“Huuuuuu.” Aku menghela nafas panjang dan aku sangat lega sekali mendengarnya.

“Kenapa kamu Lang.? kok kayaknya kamu lega gitu.?” Tanya Mas Pandu.

“Aku kira Satria tamat di rumah tahanan, karena gak ada yang jaga.” Jawabku.

Mas Pandu hanya tersenyum sambil meraih botol minumannya, lalu menghabiskannya. Aku juga meraih botol minumanku dan aku menghabiskannya juga.

“Mas, aku kerumah tahanan dulu ya.” Pamitku.

“Naik apa.?” Tanya Mas Pandu.

“Angkot lah.” Jawabku.

“Kenapa gak naik itu.?” Ucap Mas Pandu, sambil menunjuk sebuah kendaraan roda dua berwarna putih dan sangat tidak asing bagiku. Kendaraan itu terparkir diseberang jalan dan diujung parkiran.

“Itu kimba Mas.?” Tanyaku yang terkejut dan sangat tidak percaya, kimba ada disana.

“Iya.” Jawab Mas Pandu singkat.

“Tapi bagaimana bisa.? Waktu itukan kimba hangus terbakar.” Tanyaku dengan heran tapi juga senang.

“Aku malas jawab pertanyaanmu. Tugasku dari Mas Irawan, hanya menyerahkan kimba itu sama kamu. Kalau kamu ada pertanyaan, nanti tanya aja sama Mas irawan kalau ketemu.” Ucap Mas Pandu.

Pakde Irawan.? Ini semua karena Pakde Irawan.? Gila. Bagaimana bisa sih.? Hari itukan Pakde Irawan keluar gudang satu, sambil gendong Joko dan bareng aku. Terus dilanjut mengantarkan Joko berobat, lalu mengantar kami kerumah sakit. Jadi kapan Pakde Irawan ambil kimba dan kapan juga kimba diperbaikinya.? Kok bisa kimba yang hangus terbakar, kondisinya kembali seperti semula.? Atau jangan – jangan itu bukan kimba, tapi vespa yang lain.?

Akupun langsung menyebrang jalan dan mendekat kearah kimba. Warna putih berkilau, lebih bersih dan baru, membuatku sedikit ragu kalau ini adalah kimbaku. Akupun memastikan lagi dengan melihat plat nomornya. K 87 GJ.

Cok, ini nomor plat kimba cok. Beneran ini kimba dan kimba telah hidup kembali. Walaupun memakai cat baru, tapi semua aksesoris sangat mirip dengan kimba dan semua terlihat baru serta mulus sekali.

“INI KIMBA MAS, INI KIMBA. HAHAHAHA.” Aku tertawa sambil mengelus spidometer yang sangat mulus ini.

Mas Pandu hanya tersenyum sambil mengacungkan jempolnya kepadaku.

Kretek, kretek, kretek.

Aku mengengkol kimba dengan semangatnya.

Kretek, teng, teng, teng, teng.

Mesin Kimba mulai menyala dan suaranya tidak berubah seperti waktu pertama kali aku membelinya. Gila, merdu banget cukkk.

Aku lalu naik kimba dan menurunkan dari standart dua

“Suwon mas. suwon.” Ucapku dan Mas Pandu mengangguk pelan.

Kletek.

Aku memasukan perseneling kimba, setelah itu aku menarik gas kimba menuju rumah tahanan yang ada ditengah kota.

Trenteng, teng, teng, teng.

Pakde Irawan. Waw, aku gak tau harus berbicara apa lagi tentang beliau. Beliau datang pada saat aku sedang menghadapi masalah dan beliau membantu menyelesaikannya. Entah apa tujuannya, tapi yang jelas semua bantuan Pakde irawan ini tidak akan aku lupakan seumur hidupku.

Hiuffttt, huuu.

Dan sekarang aku memacu kimba kearah rumah tahanan. Dan setelah sampai disana, aku memarkir kimba setelah itu aku menuju ruangan yang biasa digunakan untuk menjenguk tahanan.

Setelah aku melapor tentang tujuan kedatanganku, aku disuruh menunggu disebuah ruangan yang cukup ramai dengan para penjenguk dan tahanan yang dijenguk.

Beberapa saat kemudian, dari arah dalam sana dua orang berjalan kearahku dan aku mengenalnya keduanya. Satria dan satu lagi bernama Ilham codet.

Cok, Ilham codet ada dikota ini dan dia ditahan disini.? Kena kasus apa dia.?

Ilham codet ini salah satu cucu Mbah Jati dan dia berasal dari Desa Jati Luhur. Bagaimana aku bisa kenal dia.? Kami sering bertemu waktu aku mengamen diterminal kotaku dan kami sangat akrab. Dia sering nongkrong dan minum disana bersama Gani sepupunya. Kalau dengan Gani aku kurang begitu akrab, karena Gani anaknya ga sesantai Ilham Codet.

Upss. Kalau manggil dia jangan ada codetnya ya, bisa dikuliti hidup – hidup siapapun yang berani manggil dia begitu.

Ilham itu memang memiliki codet dikepala. Tapi entah siapa yang berani membuat bekas codet itu, dikepala seorang cucu preman yang sangat disegani. Mungkin orang yang melakukan itu sangat kuat atau juga orang biasa, yang sekarang sudah hilang entah kemana.

“Mas Gilang.” Ucap Ilham ketika dia melihatku.

“Ham.” Ucapku sambil berdiri dan menjulurkan tangan kananku kearahnya, sementara Satria terlihat bingung melihat keakraban kami.

“Ngapain sampean disini Mas.?” Tanya Ilham dan dia membalas jabatan tanganku.

“Jenguk dia.” Jawabku sambil melepaskan jabatan tanganku dan menunjuk kearah Satria.

“Ooo, sampean jenguk Satria.? Aku kira siapa yang mau jenguk manusia gatel ini.” Ucap Ilham.

“Cok.” Maki Satria ke Ilham, lalu melihat kearahku.

“Sampean kenal Ilham Mas.?” Tanya Satria.

“Iya, kami tetangga desa.” Jawabku.

“Ooo, tetangga desa.” Ucap Satria sambil melihat kearah keningku

“Kenapa kening sampean itu Mas.? Kok kayaknya habis berkelahi.?” Tanya Satria.

“Jatuh dikamar mandi.” Jawabku berbohong.

“Ngapusi.” (Bohong.) Sahut Ilham dan aku hanya tersenyum aja.

“Entar dulu Mas, kok sampean bisa ada dikota ini dan sampean bisa kenal Satria.?” Tanya Ilham melanjutkan obrolan kami.

“Aku kuliah dikampus teknik kita dan Ayahnya Satria ini dosenku.” Jawabku.

“Sampean kuliah disana.? Sama Lek Pandu dong.” Ucap Ilham.

“Iya. Aku adek tingkatnya Mas Pandu.” Jawabku.

“Salut aku Mas, salut. Sampean pasti pakai biaya sendirikan.?” Ucap Ilham dan kembali aku hanya tersenyum saja.

“Oh iya, kenapa kamu bisa masuk disini.?” Tanyaku kepada Ilham.

“Biasa Mas, kenakalan remaja. Hahahaha.” Jawab Ilham, lalu tertawa dengan nada yang sumbang.

“Kenakalan remaja codetmu itu.” Sahut Satria sambil melihat kearah Ilham, lalu melihat kearahku.

Waw, berani sekali Satria mengejek Ilham dengan sebutan codet.? Kelihatannya mereka sangat akrab, sampai Ilham tidak marah kepada Satria yang menyinggung codetnya.

“Ooo. Assuu.” (Ooo. Anjing.) Maki Ilham tapi Satria tidak menghiraukannya.

“Sebenarnya dia ini difitnah Mas.” Ucap Satria kepadaku.

“Gak usah aneh – aneh kamu cok.” Sahut Ilham sambil melirik Satria.

“Difitnah apa.?” Tanyaku yang penasaran.

“Dia masuk kesini karena kasus pemukulan dan penganiayaan ringan.” Jawab Satria.

“Terusno cok, terusno.” (Teruskan cuk, teruskan.) Ucap Ilham sambil berjalan kearah meja sebelah, yang berisi beberapa orang berwajah sangar.

Ilham dengan cueknya mengambil sebungkus rokok yang ada dimeja itu, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya. Setelah itu Ilham kembali lagi kearah kami, sambil membawa bungkusan rokok mereka satu – satunya yang ada dimeja itu, beserta koreknya juga. Mereka yang ada dimeja itupun hanya diam dan tidak ada yang berani menegur tingkah kurang ajar Ilham itu. Bajingan.

“Rokok Mas.” Ucap Ilham menawarkan rokok itu kepadaku.

“Rokok siapa ini Ham.? Ngawur aja kamu itu.” Ucapku kepada Ilham.

“Kalau aku yang pegang, berarti rokokku. Kalau gak percaya tanya aja sama mereka.” Ucap Ilham sambil menunjuk kearah meja yang diambil rokoknya tadi.

“Iki rokokku to.?” (Ini rokokku kan.?) Tanya Ilham dengan cueknya.

“Yo.” Jawab mereka dengan nada yang kurang ikhlas.

“Tuhkan Mas. Sampean dengar kan. Hahaha.” Ucap Ilham lalu tertawa dengan kerasnya.

“Assuu. Arek iki.” (Anjingg anak ini.) Ucap Satria.

Akupun hanya menggelengkan kepala sambil duduk kembali, lalu aku meraih rokok itu dan mengambilnya sebatang, lalu membakarnya.

“Jadi dia difitnah dan dia gak melakukan itu.?” Tanyaku membahas kasus Ilham lagi dan mereka langsung duduk dihadapanku.

“Ya gimana ya Mas.? Korbannya memang cuman lecet dikening. Tapi,” Ucap Satria terpotong dan dia meraih bungkusan rokok lalu mengambilnya sebatang, kemudian membakarnya.

“Sat.” Ucap Ilham sambil melotot.

“Tapi apa.?” Tanyaku.

“Hidungnya patah, giginya patah, kedua tangannya patah. Tulang iga bagian kanan dan bagian kiri juga patah.” Ucap Satria dan Ilham hanya menikmati rokoknya, sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Kakinya.?” Tanyaku dengan refleknya.

“Kalau kaki cuman yang kiri aja yang patah Mas, jadi jalannya kayak main engklek gitu.” (Main engklek = main asinan) Jawab Satria.

“Cok, penganiyaan berat itu.” Ucapku sambil menggelengkan kepalaku.

“Jiancok, lambene arek iki rek. Turu ambe Karina koen bengi iki cok. Asli gak goro aku, Bajingan.” (Jiancok, Mulutnya anak ini bro. Tidur sama Karina malam ini kamu cok. Asli gak bohong aku. Bajingan.) Ucap Ilham ke Satria.

“Awakmu cemburu.?” (Kamu cemburu.?) Tanya Satria.

“Matamu. Hahahaha.” Ucap Ilham dan dia tertawa lagi.

“Hehehe.” Satriapun langsung tertawa pelan.

Satria tertawa tapi dari sorot matanya, terlihat dia sedang menanggung beban yang begitu beratnya. Berbeda dengan Ilham yang seperti tidak ada masalah sama sekali. Ilham seperti tidak menyesal dan dia terlihat menikmati didalam sini. Gila.

“Kalian lagi bicarakan aku ya.?” Ucap sesorang dengan nada yang gemulai.

Kami bertiga langsung melihat kearah suara itu dan diluar ruangan yang dibatasi jeruji besi ini, berdiri seorang laki – laki dengan gaya yang gemulai seperti suaranya tadi.

“Cok. Siapa itu.?” Tanyaku yang terkejut.

“Ojobe Ilham Mas.” (Istrinya Ilham Mas.) Ucap Satria.

“Matamu.” Gerutu Ilham.

“Gak usah nyocot ae, awakmu disusul ojobmu iku loh.” (Gak usah ngomel aja, kamu disusul istrimu itu loh.) Ucap Satria.

“Hahahaha. Assuu. Iku ojobmu cok. Hahaha.” (Hahaha. Anjingg. Itu istrimu cok. Hahaha.) Ucap Ilham lalu dia tertawa dengan kerasnya.

“Kalian jahat, kalau didalam sini kalian rebutin aku. Giliran disitu, malah gak ada yang mau ngaku.” Ucap laki – laki aneh itu dan aku langsung mengerutkan kedua alisku.

Siapa Karina ini dan kenapa gayanya seperti perempuan.? Dengan gayanya seperti ini, apa dia aman saja didalam sana.? Ahhh. Ngapain juga aku mikirin manusia aneh ini.? Masih banyak hal yang lebih penting yang harus aku pikirkan. Bajingann.

“Jangan gitu lah cantik. Masa gitu aja ngambek.” Ucap Ilham kepada Karina.

“Kalian jahat. Pokoknya entar malam gak aku kasih.” Sahut Karina, lalu membuat gerakan dengan mengepalkan tangan kanannya dan diarahkan kemulutnya yang membentuk huruf O.

“Bajingaann.” Makiku, Satria dan Ilham bersamaan.

Suara kami bertiga sangat keras, sampai kami menjadi pusat perhatian. Tapi walapun terdengar keras, tidak ada yang berani menegur kami. Padahal selain beberapa orang yang diambil rokoknya oleh Ilham tadi, banyak tahanan lain yang sedang menerima tamu dan wajah mereka tidak kalah garangnya, serta tubuh mereka dipenuhi tattoo. Tamu – tamu yang berkunjungpun, sebagian berwajah garang dan kelihatannya mereka juga preman – preman.

“Gitu ya sekarang. Aku dimaki – maki didepan umum.” Ucap Karina dan wajahnya dibuat sesedih mungkin.

“Jangan sedih gitu dong. Masuk dulu sana, nanti kamu diganggu om – om disini loh.” Ucap Ilham.

“Takut, antarin.” Ucap Karina dan sekarang nadanya dibuat manja sekali.

“Nggateli arek iki. Hahaha.” (Menjengkelkan anak ini. Hahaha.) Ucap Ilham dan lagi – lagi di akhiri dengan tawa yang keras.

“Terno cok, terno.” (Antarkan cok, antarkan.) Ucap Satria ke Ilham.

“Lapo seh.? Awakmu ae seng ngeterno kono loh.” (Kenapa sih.? Kamu aja yang ngantar sana loh.) Ucap Ilham ke Satria.

“Aku loh ngancani Mas Gilang nde kene.” (Aku loh temanin Mas Gilang disini.) Ucap Satria.

“Asuuig.” (Anjingg) Maki Ilham, lalu dia menghisap rokoknya.

“Ayyooo.” Ucap Karina dan suaranya terdengar makin manja saja.

“Terno cok. Koen gak cemburu lek Karina digudo kare wong – wong nde njero.?” (Antarkan cok. Kamu gak cemburu kalau Karina digodain sama orang – orang didalam.?) Ucap Satria.

“Matamu. Hahahaha.” Maki Ilham dan tawanya terdengar sangat sumbang sekali.

“Terno Ham. Sepet motoku ndelok arek iku.” (Antarkan Ham. Sakit mataku lihat anak itu.) Ucapku ke Ilham.

“Kok sampean ndukung Satria Mas.? Bajingan.” (Kok kamu dukung Mas.? Bajingan.) Ucap Ilham dan aku hanya tersenyum mendengarnya.

“Mas Gilang iku ngerti seng normal ambe seng enggak cok.” (Mas Gilang itu tau yang normal sama yang enggak normal.) Ucap Satria dengan cueknya.

“Jiancok koen Sat.” (Jiancok kamu Sat.) Sahut Ilham.

“Iiiiihhh, lama banget sih.” Ucap Karina sambil menghentakan kaki kanannya kelantai.

“Sek tala tel, gatel.” (Sebentar dulu orang yang menjengkelkan) Ucap Ilham Ke Karina.

“Iiihhh.” Ucap Karina dengan manjanya.

“Ham.” Aku dan Satria memanggil Ilham dengan nada suara yang lembut.

“Nggateli.” (Jengkelin.) Ucap Ilham lalu dia berdiri dengan terpaksanya.

“Aku nang njero disek Mas. Kate ngeterno arek seng ayune gak ono seng ngalai nde rutan iki.” (Aku kedalam dulu Mas. Mau antarkan anak yang kecantiknya gak ada yang ngalahin satu rutan.) Pamit Ilham kepadaku dan aku langsung mengangkat jempolku kepada Ilham.

Terlihat Karina tersenyum dengan senangnya, ketika Ilham berjalan mendekat kearahnya. Lalu ketika Ilham berada didekatnya, Karina langsung menggelendot di bahu Ilham dengan sangat manja.

“Assuu, kok ngelama koen.” (Anjing, kok ngelunjak kamu.) Ucap Ilham sambil menggeser tubuhnya sedikit.

“Hahaha.” Aku dan Satriapun tertawa melihat tingkah mereka berdua.

“Seng mesra po’o cok.” (Yang mesra kenapa cok.) Ucap Satria.

“Iya, kalau didalam aja dia mesranya.” Sahut Karina sambil melihat kearah kami.

Lalu tiba – tiba,

PAKKK.

Ilham menampar bokong Karina.

“Iiihhhh, jahat.” Ucap Karina pura – pura meraju.

“Hahahaha.” Ilham kembali tertawa, lalu dia merangkul Karina dan mereka berjalan kearah dalam sana.

“Ilham beneran main gila sama Karina.?” Tanyaku ke Satria.

“Enggaklah Mas. Mereka itu sahabatan sudah lama. Justru Ilham lebih mengenal Karina terlebih dahulu dari pada aku.” Jawab satria dan aku langsung menarik isapan rokokku.

“Mereka biasa bercanda dan sebenarnya Karina itu sadis Mas. Cuman dengan aku dan Ilham aja dia mau bercanda.” Ucap Satria dan aku langsung melihat kearahnya.

“Sadis gimana.?” Tanyaku.

“Dia masuk kesini karena membunuh dua orang.” Jawab Satria.

“Kok bisa.?” Tanyaku yang terkejut.

“Dia membunuh karena diejek bencong. Kedua korbannya dibunuh dengan sadis dan Karina memotong kemaluan mereka, terus digantung dileher mereka masing – masing.” Jawab Satria.

“Cok.” Makiku pelan.

“Karina itu sebenarnya laki – laki tulen dan normal, cuman gayanya aja yang begitu dan dia sering berkumpul dengan komunitas yang orang – orang begitulah.”

“Oh iya. Walaupun tidak ada Ilham disini, tidak ada tahanan yang berani mengganggunya, apalagi menghinanya." Ucap Satria dan aku hanya terus mengangguk mendengar ceritanya.

Kami berdua lalu sama – sama diam beberapa saat, sambil menikmati rokok kami. Suasana langsung terasa canggung, karena Satria tidak bercerita lagi dan aku tidak bertanya.

Suara – suara orang yang mengobrol disekitar kami, membuatku sesekali melirik kearah mereka.

Hiuuffftt, huuuu.

“Kok bisa Sat.?” Tanyaku membuka obrolan lagi dan Satria sepertinya paham maksud pertanyaanku.

“Ya bisalah Mas.” Jawab Satria singkat, lalu dia menghisap rokoknya.

Aku tidak melanjutkan pertanyaanku, karena aku melihat mimic wajah Satria berubah. Tatapannya tajam kedepan dan dia seperti sedang menahan emosinya.

“Mereka itu terlalu kurang ajar. Mereka berani mencariku kesekolah dan mereka berteriak – teriak mencariku. Bukan namaku yang mereka sebut, tapi nama Ayahku dan dengan kata – kata yang sangat kasar.” Ucap Satria mulai bercerita dan dengan suara yang bergetar.

“Salah satu dari mereka berteriak sambil mengacungkan senjata tajam yang dibawanya. Dia mengancam guruku dan semua teman – temanku yang tidak tau apa – apa.”

“Aku menghajar orang itu dan aku membunuhnya dengan senjata yang dibawanya. Semua teman – temanku membantuku dan membantai teman – temannya yang ikut menyerang kesekolah kami.” Ucap Satria dengan kedua mata yang berkaca – kaca dan emosi yang tertahan. Rokok yang ada ditangannya pun, sampai terjatuh dilantai tanpa dia sadari.

Aku menepuk pundaknya pelan dan Satria langsung menundukan kepalanya.

“Kamu itu laki – laki sejati yang membela harga diri. Aku salut sama laki – laki seperti kamu Sat.” Ucapku dan Satria terus menundukan kepalanya dihadapanku.

“Tapi aku akan lebih salut, kalau kejadian itu dan tempat ini bisa menjadikan dirimu semakin dewasa, dalam menghadapi kerasnya kehidupan kedepan.”

“Angkat kepalamu dan mulai sekarang tanamkan didalam dirimu, bahwa setelah kamu keluar dari tempat ini, kamu harus bisa membuat kedua orang tuamu bangga. Kamu harus bisa membuat tangis sedih mereka ketika kamu masuk ketempat ini, menjadi senyum kebanggaan ketika kamu sudah diluar sana.”

“Tidak usah menjadi orang yang hebat, tapi cukup menjadi orang baik dengan menjalankan kewajibanmu sebagai seorang anak. Itu saja.” Ucapku sambil mematikan puntung rokokku dan perlahan Satria menegakkan kepalanya pelan.

Air mata menetes dari kedua kelopak matanya dan wajahnya tidak terlihat semarah tadi. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini, tapi tiba – tiba dia berdiri dan berjalan kesebelahku.

Aku juga berdiri dan Satria langsung memelukku dengan sangat erat sekali. Lalu tiba – tiba tangisnya meledak dipelukanku ini dan dia seperti sedang mengeluarkan semua ganjalan yang ada dihatinya.

Suasana diruangan ini pun langsung sunyi dan tidak ada suara obrolan dari meja – meja sebelah kami. Mereka semua terdiam dan tidak ada yang berani melihat kearah kami.

Aku lalu memeluk Satria sambil mengelus punggungnya pelan. Aku membiarkannya mengeluarkan tangisnya ini dan aku juga tidak bersuara lagi.

Beberapa saat kemudian, terdengar langkah beberapa orang yang berjalan diarah belakangku.

“Cak Tomo.” Panggil seseorang diujung meja sana, kearah orang yang ada dibelakangku.

Satria langsung melepaskan pelukannya dan dia melihat kearah belakangku.

“Ibu, hiks, hiks.” Ucap Satria dengan suara yang bergetar dan tangisnya yang tidak berhenti.

Aku lalu membalikkan tubuhku dan terlihat tiga orang berdiri dihadapanku saat ini. Pak Tomo dan dua orang wanita setengah baya.

“Nak.” Ucap salah satu wanita setengah baya itu dan Satria langsung menghambur kepelukannya.

“Ibuuu.” Ucap Satria dan kembali Satria menangis dipelukan Ibunya.

Pak Tomo yang melihat hal itu, langsung melihat kearah yang lain dengan mata yang berkaca – kaca. Sementara wanita setengah baya yang satu, menepuk pundak pak Tomo pelan.

Tangis Satria semakin menjadi, ketika Ibunya juga ikut menangis. Satria langsung bersujud dan mencium kedua kaki Ibunya.

“Maaf Bu, maafkan Satria. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Satria lalu mencium punggung kaki Ibunya.

“Bangun nak, bangun lah.” Ucap Ibu Satria sambil membungkuk dan menarik pundak Satria yang sujud dikakinya.

Satria tidak bergeming dan dia tetap bersujud.

Suasana diruangan ini semakin haru dan sampai detik ini, semua orang yang ada diruangan ini belum ada yang berani bersuara. Semua penjenguk dan tahanan hanya diam dan tetap menunduk. Entah kenapa mereka tidak ada yang berani bersuara atau bahkan mengangkat wajah mereka. Tapi yang jelas, air mataku perlahan menetes dan aku mengingat Ibuku yang ada didesa.

Karena Satria tetap bersujud, akhirnya Ibunya pun bersimpuh dan sekarang Satria mencium kedua lutut Ibunya.

“Maaf Bu, Maafkan Satria yang hanya bisa membuat Ibu menangis dan bersedih. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Satria dengan diiringi tangis yang sesenggukan.

“Tangis penyesalanmu ini, sudah mengobati segala kesedihan Ibu, mulai dari seminggu kemarin nak.” Ucap Ibu Satria sambil membelai rambut putra kesayangannya itu.

“Bangun lah nak.” Ucap Ibu Satria dan perlahan Satria langsung mengangkat wajahnya, lalu memeluk Ibunya lagi.

Pak Tomo lalu berjalan mendekat kearahku dan aku menyambutnya dengan uluran tangan, lalu aku membungkan tubuhku dan mencium punggung tangan beliau.

“Kita keluar sebentar.” Ucap Pak Tomo ketika aku sudah menegakkan tubuhku dan beliau langsung merangkulku.

Kami berdua meninggalkan ruangan yang masih diselimuti suasana haru itu.

“Terimakasih ya.” Ucap Pak Tomo ketika kami sudah berdiri didepan gedung rumah tahanan.

“Untuk apa Pak.?” Tanyaku yang agak bingung.

Pak Tomo diam sejenak sambil mengeluarkan rokoknya, lalu membakarnya dan menghisapnya.

“Hiufftt, huuuu.” Pak Tomo mengeluarkan kepulan asap rokoknya, dari dalam mulutnya.

“Belum pernah aku melihat Satria menangis seperti itu seumur hidupku.” Ucap Pak Tomo.

“Ibunya baru hari ini datang dan baru hari ini siap untuk menjenguk Satria.”

“Aku tau Satria pasti akan menangis ketika melihat Ibunya. Tapi aku tidak menyangka kalau sampai seperti itu tangisannya. Dan itu pasti karena kedatanganmu dan nasehatmu barusan kepada Satria.” Ucap Pak Tomo dan wajah beliau terlihat sangat bersedih sekali.

“Bukan Pak, itu bukan karena saya. Tapi itu memang keluar dari dalam hatinya sendiri. Dia meluapkan semua kesedihan, penyesalan dan apapun yang mengganjal didalam hatinya.” Jawabku.

“Iya, aku paham kalau itu semua dari dalam hatinya. Dan aku yakin semua itu bisa keluar karena nasehat – nasehatmu.”

“Waktu aku pertama kali menemui Satria dikantor aparat seminggu yang lalu, dia tidak seperti itu. Dia hanya diam dan memendam semua kesedihannya didalam hatinya sendiri.” Ucap Pak Tomo, lalu beliau menghisap rokoknya lagi.

“Mungkin Satria malu dengan Bapak dan dia malu meneteskan air matanya dihadapan Bapak. Dan hari ini, hanya kasih sayang Ibu yang bisa mengeluarkan semua isi hatinya yang terpendam Pak.” Ucapku.

“Hiuufftt, huuu.” Pak Tomo menarik isapan rokoknya dalam – dalam, lalu mengeluarkan asapnya perlahan.

Mata Pak Tomo kembali berkaca – kaca dan pandangan beliau lurus kedepan, kearah jalan raya.

“Tom.” Panggil seorang wanita dari arah belakang dan Pak Tomo langsung membersihkan air mata yang mengambang dikelopak matanya.

“Iya Yan.” Ucap Pak Tomo sambil membalikan tubuhnya.

Aku juga membalikan tubuhku dan melihat kearah perempuan setengah baya yang sangat cantik ini.

“Masuklah. Satria cari kamu itu.” Ucap Wanita itu.

“Iya Yan.” Ucap Pak Tomo sambil membuang batang rokoknya yang masih panjang itu.

“Oh iya. Kenalin ini Gilang Yan. Lang ini Yanti, Damayanti Kusuma. Timnya Yanti ini yang menjadi pengacara kami, untuk kasus Satria.” Ucap Pak Tomo kepada Bu Yanti dan kepadaku.

Aku pun langsung menjulurkan tanganku kearah beliau dan beliau menyambut jabatan tanganku ini.

“Yanti Mas.” Ucap Bu Yanti dengan lembut, selembut tangannya yang aku jabat ini.

“Gilang Bu.” Jawabku dan kami berdua langsung melepaskan jabatan tangan yang singkat ini.

“Oh iya Yan. Kamu bisa bantu Gilang untuk membuat akte perusahaan ya.?” Ucap Pak Tomo dan aku langsung terkejut mendengarnya.

Cok. Untuk siapa akte perusahaan itu dibuat.? Untuk aku.? Gila aja. Aku kan gak punya dana dan aku belum ada rencana membuat kantor dalam waktu dekat ini. Masih lama dan masih butuh proses yang panjang, untuk mempersiapkan semuanya itu. Bagaimana Pak Tomo bisa mempunyai pikiran seperti ini, tanpa berbicara dengan aku dulu.?

Bukannya aku gak senang, bukan seperti itu. Tapi ya itu tadi, semua gak bisa dibuat tanpa perencanaan yang matang dulu.

“Bisa. Datang aja kekantorku.” Ucap Bu Yanti sambil membuka dompetnya.

Beliau lalu mengambil kartu nama dan menyerahkan kepadaku.

“Tapi Pak.” Ucapku terpotong, sambil melihat kearah Pak Tomo dan aku tidak mengambil kartu nama yang ada ditangan Bu Yanti.

“Sudahlah, datang aja kesana dulu.” Ucap Pak Tomo.

“Iya Mas, datang aja kekantor saya.” Ucap Bu Yanti sambil terus menyodorkan kartu namanya kepadaku.

Dengan tangan kanan yang bergetar, aku akhirnya mengambil kartu nama ditangan Bu Yanti.

“Aku tunggu dikantor.” Ucap Bu Yanti dan belum juga aku menjawab, beliau langsung membalikan tubuhnya dan berjalan kearah dalam ruangan lagi.

“Percuma kamu mempunyai impian, kalau kamu tidak segera melangkah untuk menggapainya.” Ucap Pak Tomo sambil merangkulku dan mengajakku berjalan kearah dalam ruangan lagi.

“Bukan saya tidak mau melangkah Pak, bukan. Banyak hal yang harus direncanakan dan dipersiapkan. Mulai dari pembentukan tim tenaga ahli, tenaga perencana dan tenaga lapangan. Mulai dari ijazah, akte perusahaan, dan sertifikasi keahlian. Mulai mencari kantor untuk tempat bekerja, sampai melobi proyek yang akan dikerjakan. Mulai dari bla bla bla, sampai bla bla bla lainnya Pak. Semua itu membutuhkan waktu yang panjang dan dana yang tidak sedikit. Dan dari semua yang saya sebutkan tadi, tidak satupun yang saya punyai sekarang ini Pak, tidak ada satupun.” Ucapku yang mencoba menjelaskan kepada Pak Tomo.

“Kamu punya pengalaman kerja diproyek.?” Tanya Pak Tomo dan aku mengangguk pelan.

“Kamu bisa membuat dokumen perencanaan.?”

“Kamu bisa mengawasi suatu proyek.?”

“Kamu punya kenalan orang pemerintahan.?”

“Kamu punya kenalan orang lapangan yang biasa bekerja disuatu proyek.?”

“Kamu punya pengalaman mulai dari awal perencanaan, mengikuti lelang, penunjukan pemenang lelang, tandatangan kontrak lelang, pelaksanaan pekerjaan, sampai laporan akhir.?” Tanya Pak Tomo bertubi – tubi sambil menghentikan langkahnya dan menatapku.

“Ada sih Pak, tapi baru sedikit saja pengalamannya. Lagian yang saya bicarakan barusan, persiapan panjang sebelum mendapatkan proyek itu.” Ucapku yang mencoba meyakinkan Pak Tomo.

“Kamu punya impian, tapi gak punya tekad. Payah.” Ucap Pak Tomo dengan cueknya, lalu berjalan lagi.

“Bu, bukan begitu Pak.” Ucapku dan Pak Tomo langsung menoleh kearahku.

“Kalau kamu punya kemauan dan tekad, impianmu pasti ada jalannya. Tapi kalau hanya sekedar wacana, selamat beronani dengan khayalanmu.” Ucap Pak Tomo lalu memalingkan wajahnya dan berjalan masuk kedalam ruangan.

Jiancookk. Onani dengan khayalan.? Itu sama aja aku hanya bersenang - senang dengan apa yang ada difantasiku, tanpa mau memperjuangkannya dong. Bajingaann.

Bukan seperti itu dan itu bukan aku. Buktinya sampai hari ini aku bisa kuliah dan masih berdiri dikota ini, untuk memperjuangkan impianku. Aku tidak terkurung dengan khayalanku, tapi aku berusaha mewujudkan impian dan cita – citaku.

Sedangkan untuk mendirikan sebuah kantor, aku akan tetap berusaha mewujudkannya. Tapi bukan sekarang, masih banyak yang harus di..

Arrgghhh, kembali lagi pembahasannya seperti perencanaan pendirian sebuah perusahaan diatas. Asuuu.

“Pak, Pak.” Panggilku dan Pak Tomo tetap berjalan kearah ruangan dan tidak menghiraukan panggilanku.

Aku lalu menyusul Pak Tomo kedalam ruangan dan aku masih belum puas dengan obrolan kami yang menggantung.

Dan ketika aku masuk kedalam ruangan, suasana haru kembali menyelimuti ruangan ini. Satria memeluk Pak Tomo dan menangis dipelukan Ayahnya itu.

“Mungkin sekarang impianmu harus terhenti sementara ditempat ini, karena kamu harus banyak belajar lagi tentang kehidupan nak. Tapi tenang saja, banyak orang – orang yang menyayangi, mendukung dan akan membantumu melewati semua ini.” Ucap Pak Tomo dengan suara yang bergetar.

“Semua yang dilakukan orang – orang yang menyayangi kamu ini, bukan untuk memanjakanmu. Tapi untuk menguatkanmu dalam melangkah, agar kamu bisa berlari untuk mengejar impianmu.” Ucap Pak Tomo dan aku juga merasa tersindir oleh semua ucapannya kepada Satria barusan.

Pak Tomo mungkin sengaja mengucapkan ini kepada Satria dan juga ditujukan kepadaku, agar aku tidak keras hati menolak bantuannya dan bantuan Bu Yanti.

Kondisi Satria saat ini sama dengan apa yang aku alami. Kalau Satria terhenti impiannya karena harus berada ditempat ini, aku ‘terhenti sementara’ karena bingung dengan semua permasalahan yang aku hadapi. Satria terkurung didalam jeruji besi, sedangkan aku terkurung dengan biaya untuk kelanjutan kuliah dan segala kebutuhanku selama dikota ini.

Apa aku datang saja kekantor Bu Yanti dan menerima bantuan beliau beserta Pak Tomo.? Atau aku akan tetap bertahan dengan kerasnya hatiku ini.? Terus bagaimana dengan kelanjutan kehidupanku, kalau aku masih angkuh seperti ini.? Mungkin saja ketika aku datang kekantor Bu Yanti, ada jalan keluar dari permasalahan pendirian perusahaan yang aku pikirkan ini.

Baiklah. Aku akan datang dan aku akan memujudkan impianku, dengan bantuan dari keluarga baruku ini.

Ya, mereka itu keluarga baruku, karena hanya keluarga saja yang memberikan perhatian, dukungan dan kasih sayang seperti ini. Dan sekali lagi aku berjanji, aku akan membalas semua kebaikan dari orang – orang yang menyayangi aku ini.

Cok. Hari ini hari yang sangat dipenuhi emosi. Banyak hal yang aku dapatkan selama seharian ini. Mulai cinta, kasih sayang, persahabatan, pengorbanan, perhatian keluarga dan banyak lagi. Aku tidak bisa menjabarkannya semua satu – persatu dan hanya bisa menikmatinya didalam hati. Aku sangat bersyukur hari ini, karena disetiap hembusan nafasku, aku mendapatkan sesuatu yang baru dan akan aku jadikan sebagai pelajaran hidupku.

Hiuufftt, huuuu.

Dan sekarang aku sedang menuju kekosanku. Aku sudah tidak sabar untuk membagi kebahagiaanku bersama Joko dan Intan. Aku ingin tertawa bersama mereka dan aku ingin mereka merasakan apa yang aku rasakan saat ini, karena tawa mereka adalah salah satu penyemangat hidupku.

Aku memacu Kimba menuju kosanku. Dan ketika sudah didekat kosan, aku mematikan mesin Kimba. Aku ingin memberi kejutan kepada Joko, dengan memarkirkan kimba diteras.

Pada saat aku berdiri dipagar kosan, terlihat ada sepatu wanita didekat pintu kosan. Itu pasti sepatu Mba Denok dan mereka pasti sedang memadu kasih dikamar Joko.

Akupun mendorong kimba pelan, lalu memarkirkannya diteras. Aku melakukannya sangat pelan dan sangat berhati – hati, agar tidak menimbulkan suara.

Intan yang ada diruang tamu menyambutku, dengan senyum yang manis dan wajah yang terlihat bahagia. Aku berjalan kearahnya dan Intan langsung memeluk tubuhku dengan sangat erat sekali.

Tidak ada kata yang kami ucapkan dan hanya pelukan ini yang mewakili perasaan bahagia ini. Entah Intan mengetahui atau tidak, tentang apa saja yang aku lalui hari ini. Tapi yang jelas pelukannya terasa lebih istimewa.

“Kok sudah ciumannya.?” Terdengar suara Joko dari dalam kamarnya.

“Iiihh, Mas Jo ini maunya ciuman aja terus.” Sahut Mba Denok dengan manjanya.

Aku dan Intan langsung melepaskan pelukan kami, lalu kami saling memandang dengan senyum yang tertahan.

“Emang aku gak boleh cium kekasihku sendiri.?” Tanya Joko.

“Gak apa – apa sih Mas, tapi jangan sering – sering, entar Mas Jo bosan lagi.” Jawab Mba Denok.

“Biarpun bibir ini menempel terus setiap saat, aku gak akan pernah bosan yang.” Ucap Joko.

“Iya, habis itu gak makan dan gak minum. Ciuman aja terus. Gitu maksud Mas Jo.?” Ucap Mba Denok.

“Cintamu mengalihkan duniaku yang. Kalau lagi berduaan begini, aku ga kepikiran makan atau minum. Lihat wajahmu aja, aku sudah kenyang lahir batin.” Ucap Joko.

“Ya udah lihat wajah Denok aja, gak usah pakai ciuman dong.” Sahut Denok.

“Pakai cium dong yang, masa cuman lihat aja.? Berduaan gak pakai ciuman, itu ibarat suara gendang yang berbunyi cuman TAK, gak ada DUNG nya.” Ucap Joko.

“Ada aja jawabnya.” Ucap Mba Denok.

Aku dan Intan langsung menahan tawa, mendengar rayuan yang menggatelkan itu. Aku lalu melangkah kearah kamar Joko, tapi tangan kiriku langsung ditahan Intan.

Aku menoleh kearah Intan dan Intan langsung menggeleng pelan. Dia mengkodeku supaya aku tidak mengganggu mereka yang sedang dimabuk asmara.

Aku lalu memegang tangan Intan yang memegang tangan kiriku, dengan tangan kananku. Aku lalu melepaskannya dengan lembut, sambil tersenyum.

“Jahat.” Ucap Intan pelan.

Aku lalu melangkah lagi dan berdiri didekat pintu kamar Joko.

“Ayolah yang, sekali lagi aja.” Rayu Joko.

Aku memajukan kepalaku dan melihat kearah dalam kamar yang pintunya terbuka. Mereka berdua sedang berdiri didekat kasur, dengan posisi Mba Denok memunggungi aku.

Terlihat mereka berdua sedang berpelukan dengan sangat mesra. Kepala mereka saling mendekat dan akan berciuman lagi.

“Ehem.” Ucapku sambil memalingkan wajahku dan melihat kearah dapur.

“Cok.” Maki Joko yang terkejut dan Mba Denok langsung melepaskan pelukannya.

Mba Denok melangkah kesebelah Joko, lalu menghadap kearahku dengan malu – malu, dan perlahan menundukkan kepalanya.

“Jek kurang ta.? Kene tak lumat ambe sepatuku.” (Masih kurang kah.? Sini kulumat pakai sepatuku.) Ucapku dan aku membalikkan kata – kata Joko tadi pagi.

“Jiancok, mbales koen cok.” (Jiancok, balas kamu cok.?) Ucap Joko untuk menutupi geroginya.

“Balas apa Mas Jo.? Tadi Mas Gilang juga lagi ciuman, terus Mas Jo ganggu gitu.?” Tanya Mba Denok sambil mengangkat wajahnya dan melihat kearah Joko.

“Anu yang.” Ucap Joko yang langsung salah tingkah.

“Mas Gilang sudah punya pacar ya.? Dimana sekarang dia Mas.? Kok Denok gak pernah lihat selama Denok disini.? Besok sore bawa kesini dong Mas, Denok mau kenalan.” Ucap Mba Denok sambil melihat kearahku dan aku terdiam beberapa saat.

“Mau aja dibohongi Joko.” Ucapku sambil melihat kearah mereka berdua bergantian.

“Iya kah Mas Jo.?” Tanya Mba Denok yang penasaran, sambil memalingkan wajahnya dan melihat kearah Joko.

“Gilang itu menang tampang aja, tapi gak berani pacaran yang.” Jawab Joko sambil melirik kearahku.

“Kok gitu Mas.? Mas gak mau cari cewe dikota pendidikan gitu.? Entar kalau kalau stok cewenya sudah habis, Mas gak punya jodoh lagi loh.” Ucap Mba Denok sambil menoleh lagi kearahku.

“Biarkan jodohku dijaga sama pria lain mba. Entar kalau sudah waktunya, pria itu akan datang kepelaminanku dan akan menangis dihadapanku.” Jawabku dengan cueknya.

“Asuuu.” Maki Joko.

“Hihihihi.” Mba Denok pun langsung tertawa mendengarnya.

“Oh iya, Denok mau masak ah.” Ucap Mba Denok sambil melangkah keluar kamar dan melewati aku. Dia terlihat masih malu – malu, sambil terus berlalu kearah dapur.

“Bajingan.” Gerutu Joko yang masih tidak puas, karena aku mengganggu kebahagiaannya.

“Hahaha.” Aku tertawa sambil membalikan tubuhku dan berjalan kearah pintu kosan. Aku berharap Joko mengikuti aku dan melihat kimba tanpa aku memberitahunya.

“Tunggu pembalasanku anak muda.” Terdengar suara Joko yang keluar kamar dan menyusul dibelakangku.

Aku keluar keluar kosan dan berdiri diteras sambil melihat kearah kimba. Aku lalu mengambil bungkusan rokokku dan mengambilnya sebatang, lalu membakarnya.

“JIANCOKKK.” Teriak Joko ketika dia berdiri dipintu kosan, sambil melihat kearah kimba.

“Kenapa yang.?” Ucap Mba Denok yang terkejut dan berlari kearah Joko.

“Kimba yang, kimba. HAHAHAHA.” Ucap Joko, lalu dia tertawa dengan kerasnya.

“Kok bisa ada disini Mas.?” Tanya Mba Denok sambil melihat kearahku.

Aku hanya tersenyum lalu menghisap rokokku dalam – dalam.

Joko berjalan pelan kearah kimba, lalu dia mengangkat kedua tangannya yang masih terlihat agak bengkak itu, dan mengelus jok dan spedo motor kimba pelan.

“Kimba, kimba, kimba.” Ucap Joko dengan senangnya.

“Kok iso cok.?” (Kok bisa cok.?) Tanya Joko sambil melihat kearahku.

“Aku og.” (Aku kok.) Ucapku dengan sombongnya, sambil menepuk dada kiriku.

“Gak po – po koen sombong cok, gak po – po. Tak restui sombongmu, seng penting kimba mbalek cok. Hahahaha.” (Gak apa – apa kamu sombong cok, gak apa – apa. Aku restui kesombonganmu, yang penting kimba kembali cok. Hahaha.) Ucap Joko lalu tertawa dengan bahagia.

Aku menghisap rokokku dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku merogoh kantong celana bagian kiri, untuk mengambil sesuatu didalamnya.

“Awak dewe mene moro nang kantor iki yo.” (Kita besok datang kekantor ini ya.) Ucapku sambil menunjukan kartu nama Bu Yanti kepada Joko.

“Kantor opo iku.? Awak dewe kate kerjo nde kono ta.?” (Kantor apa itu.? Kita mau kerja disana kah.?) Tanya Joko dengan wajah yang semakin terlihat bahagia.

“Mas mau kerja lagi kah.?” Ucap Mba Denok ikut bersuara.

“Enggak, tapi kita yang menciptakan lapangan kerja.” Jawabku, lalu aku menghisap rokokku.

“Assuuu, Hahahaha.” Maki Joko lalu tertawa, tapi kali ini tertawanya mengejek sekali.

“Sombongmu kelewatan cok. Tak tarik restuku.” Ucap Joko sambil memalingkan wajahnya dan melihat kearah kimba lagi.

Aku diam saja sambil terus menikmati rokokku. Joko yang heran dengan sikapku ini, lalu melihatku lagi dengan tatapan penuh selidik.

“Koen serius ta cok.?” (Kamu serius kah cok.?) Tanya Joko dengan mimic wajah yang serius.

Hiuffttt, huuuu.

Aku menarik dalam – dalam isapan rokokku, lalu aku mendangakkan kepalaku dan mengeluarkan asap rokokku keatas.

“Guyonanmu gak lucu cok.” (Candaanmu gak lucu cok.) Ucap Joko dan aku tetap diam.

“Nggatelli arek iki.” (Menjengkelkan orang ini.) Ucap Joko dan aku langsung melihat kearahnya.

“Kalau kamu punya kemauan dan tekad, impianmu pasti ada jalannya. Tapi kalau hanya sekedar wacana, selamat beronani dengan khayalanmu.” Ucapku, mengikuti kata – kata Pak Tomo tadi.

“Bajingaann. Awakmu entok duwe tekondi nggawe perusahaan cok.?” (Bajingaann. Kamu dapat uang dari mana buat perusahaan cok.?) Tanya Joko yang terlihat sudah mulai percaya dengan ucapanku.

“Aku gak nduwe duwe cok. nduweku mek.” (Aku gak punya uang cok. Punyaku cuma.) Ucapku terpotong, lalu aku mengepalkan tangan kiriku kearah Joko.

Joko menggelengkan kepalanya pelan, tapi aku tetap mengepalkan tangan kiriku kearahnya.

“Semongko.” Ucapku pelan, sambil menganggukan kepalaku.

“Semangat nganti bongko cok.” (Semangat sampai mampus cok.) Jawab Joko dengan suara yang bergetar.

Perlahan dia mengepalkan tangan kirinya yang sakit itu, dengan bersusah payah. Joko lalu mengarahkan kepalan tangannya itu kearahku, dengan sekuat tenaganya. Tangan kiri sahabatku itu bergetar dan kedua matanya pun terlihat berkaca – kaca.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO COK.” Teriakku.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO COK.” Teriakku lagi.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.!!!” Teriakku dengan semangatnya dan Joko langsung meninju kepalan tanganku pelan.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.!!!” Teriak kami bersama.





#Cuukkk. Semangat ini tidak akan pernah berubah dan akan tetap menggema, sampai mencapai impian kami bersama. Semangat nganti bongko cok. JIANCOOKK.!!!


TAMAT DULU YA CUUKKK..
NANTI DILANJUT DI IMPIAN 2..
suwek cuk...amyarrr tenan.....
wedus gateli sampeyan hu....epic ending..yg berlanjut....
sukses hu....***nbaroo
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd