Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 345 45,5%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 537 70,8%

  • Total voters
    759


BAGIAN 22
MANUSIA MISTERIUS



Kembali menjalani rutinitas seperti awal kuliah, menjadi kegiatanku sekarang ini. Makan, tidur, kuliah, mengamen, dan mengerjakan tugas. Sedangkan kesibukan mengerjakan laporan proyek kantor dan kelapangan, hanya menjadi kenangan dan kujadikan renungan beberapa bulan terakhir ini.

Aku mencoba ikhlas dengan apa yang aku alami saat ini. Karena kalau boleh jujur, dari dalam hati yang terdalam aku masih belum bisa menerima keputusan pemecatanku. Sesabar – sabarnya aku, aku juga punya rasa jengkel dan dongkol. Aku manusia dan aku tidak sesempurna yang dibayangkan orang terdekatku selama ini. Tapi sudahlah, kalau aku mengikuti sifat burukku itu, semua permasalahan yang aku hadapi akan semakin melebar dan tidak akan terselesaikan.

Untuk saat ini lebih baik aku berkonsentrasi dengan kuliahku, sambil mencari jalan lain untuk menyelesaikan masalah Intan.

Hiufftt, huuu.

“Piye cok.?” (Gimana cok.?) Tanya Joko ketika kami berdua sedang beristirahat disebuah emperan toko.

Oh iya, siang ini aku dan Joko sedang mengamen karena kami berdua tidak ada jadwal kuliah.

“Piye opone.?” (Gimana apanya.?) Tanyaku balik, lalu aku menghisap rokokku.

“Moso awak dewe ngene – ngene ae terus.?” (Masa kita begini – begini aja terus.?) Ucap Joko dengan wajah yang sangat serius sekali.

“Maksudmu iku opo seh.? Ojo mbulet ngono ta lek ngomong.” (Maksudmu itu apa sih.? Jangan berputar – putar begitulah kalau ngomong.)

“Asuuig. Je’ ngomong pisan ae diarani mbulet.” (Anjingg. Baru ngomong sekali aja dibilang berputar – putar.) Gerutu Joko.

“Yo terus maksudmu iku opo.?” (Ya maksudmu itu apa.?) Tanyaku dan sekarang nadaku juga aku buat serius.

Joko menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Awak dewe gak nggolek kerjoan liane ta.? Lek ngandalno ngamen tok, abot cok.” (Kita gak cari kerjaan lainnya kah.? Kalau mengandalkan mengamen aja, berat cok.) Ucap Joko, lalu dia membakar rokoknya.

Aku terdiam mendengar ucapan Joko ini, karena apa yang diucapkannya memang benar sekali. Uang simpanan kami untuk pembayaran dua semester kedepan, sudah banyak terpakai untuk pendaftaran praktikum, kebutuhan tugas – tugas besar, serta keperluan kuliah lainnya.

Uang dari hasil mengamen kami, hanya cukup untuk kebutuhan sehari – hari saja. Jujur, hasil yang kami dapatkan ketika mengamen sangat sedikit sekali, karena waktu mengamen kami tidak banyak. Kuliah, mengerjakan tugas, dan beberapa praktikum, sangat menguras banyak waktu. Jadi bagaimana kami akan mendapatkan hasil yang maksimal.? Kalau seandainya saja kami masih bekerja dikantor Pak Danang, masalah seperti ini mudah sekali diatasi.

Hiuufftt, huuu.

Ternyata mencari biaya kuliah itu, gak semudah yang aku pikirkan selama ini. Aku kira hanya dengan bermodalkan gitar atau biola dan juga gendang, masalah biaya akan mudah diatasi. Tapi ternyata salah besar. Masalah biaya bukan hanya sulit, tapi juga sangat memberatkan sekali.

Apa aku akan menyerah.? Gila aja. Aku sudah hampir setengah jalan dan aku akan menyerah begitu saja.? Gak mungkin lah.

Terus apa yang harus aku lakukan saat ini dan rencana apa yang akan aku jalankan untuk beberapa bulan kedepan.? Itu dia masalahnya. Aku tidak bisa berpikir dan pikiranku benar – benar sudah mentok. Entah kenapa bisa seperti ini. Aku yang biasa tenang menghadapi suatu permasalahan, sekarang malah bingung sendiri dan gak tau harus berbuat apa. Bajingan.

“Opo awak dewe ngamen ndek cafene Mas Kelvin ae.?” (Apa kita ngamen di Cafenya Mas Kelvin aja.?) Tiba – tiba Joko bersuara dan mengejutkanku dari lamunan.

“Sungkan aku cok. Mas Kelvin wes ngeke’i awak dewe kerjoan nde kantor Pak Danang. Moso iyo mari dipecat terus awak dewe ngamen nde kono.? Kate ngomong opo awak dewe nang Mas Kelvin.?” (Segan aku cok. Mas Kelvin sudah kasih kita kerjaan dikantor Pak Danang. Masa iya habis dipecat terus kita ngamen disana.? Mau ngomong apa kita ke Mas Kelvin.?) Jawabku.

“Assuu. Nuruti sungkan, gak entok duwek cok.” (Anjingg. Ngikutin segan, gak dapat uang cok.) Ucap Joko, lalu dia menghisap rokoknya.

“Dipikir engko aelah. Saiki awak dewe ngamen ae disek.” (Dipikir nanti ajalah. Sekarang kita ngamen aja dulu.) Ucapku lalu aku menghisap rokokku, setelah itu aku membuang puntung rokokku. Aku lalu berdiri perlahan dan meraih gitarku yang aku sandarkan didinding.

“Kaekan mikir koen cok.” (Kebanyakan mikir kamu cok.) Ucap Joko yang juga berdiri dan meraih gendangnya.

“Hehe.” Aku hanya tersenyum dengan lirihnya.

Kami berdua lalu berjalan lagi dan melanjutkan mengamen, ditengah terik sinar matahari yang menyengat disiang hari ini.

Kami berjalan dari toko satu ketoko yang lain, dari rumah makan satu kerumah makan yang lain, dan dari tempat keramaian yang satu ketempat keramaian yang lain.

“Kudu maksimal awak dewe dino iki. Mumpung rodo longgar waktune” (Harus maksimal kita hari ini. mumpung agak longgar waktunya.) Ucap Joko sambil melangkahkan kedua kakinya.

“Sakareb wes. Seng penting iso digawe mbayar kosan wulan ngarep.” (Terserahlah. Yang penting bisa dibuat bayar kosan bulan depan.) Jawab ku dan Joko langsung terkejut, sambil menghentikan langkahnya.

“Iyo yo. Mulai wulan ngarep awak dewe wes mbayar kosan. (Iya ya. Mulai bulan depan kita sudah bayar kosan.) Ucap Joko yang akhirnya teringat, karena waktu gratisan kami selama setahun setengah dikosan sudah berakhir.

Sebenarnya gratisnya hanya enam bulan, terus ditambah enam bulan dan ditambah enam bulan lagi. Aku dan Joko tidak enak dengan Bu Har, kalau kami tinggal gratis terus menerus. Dan akhirnya kami sepakat kalau bulan depan kami sudah mulai bayar, tapi kami belum tau berapa nilainya. Kami belum menemui Bu Har lagi untuk kelanjutannya.

“Wes talah, gak usah terlalu dipikir nemen - nemen. Nggarai tambah ngelu.” (Sudahlah, gak usah terlalu dipikir. Buat tambah pusing.) Ucapku sambil merangkul Joko dan mengajaknya berjalan lagi.

“Cok. enak’e congormu lek ngomong cok.” (Cok, enaknya mulutmu kalau ngomong cok.) Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Semongko cok, semongko. Awak dewe iki jek iso ambekan, jek iso mlaku, jek iso nggolek duwek. Kurang nikmat opo cok.?” (Semongko cok, semongko. Kita ini masih bisa bernafas, masih bisa jalan, masih bisa cari uang. Kurang nikmat apa cok.?) Ucapku sambil memeteng leher Joko.

“Jiuhhh. Kelekmu mambu bathang.” (Jiuhhh. Ketekmu bau bangkai.) Omel Joko sambil melepaskan petenganku.

“Ababmu seng mbalik iku cok. Mangkane ta, sikatan lek isuk iku. Hehehe.” (Bau mulutmu yang balik itu cok. Makanya, sikat gigi kalau pagi itu. Hehehe.) Ucapku mengajak bercanda Joko.

“Lek sikatan, nadaku elek lek nyanyi cok.” (Kalau sikat gigi, nadaku jelek kalau nyanyi cok.) Jawab Joko.

“Matamu.” Makiku dan Joko hanya tersenyum saja.

Sengaja aku mengajak Joko bercanda, agar kami melupakan sejenak semua masalah yang ada dipikiran. Selain itu, Joko itu mudah emosi kalau sudah banyak masalah seperti ini. Dari pada dia menggila dan menambah masalah baru, lebih baik diajak bercanda.

Dan ketika kami sedang asyik bercanda, beberapa mobil truck aparat melewati kami dan berhenti didepan sekolah STM didepan sana. Aku dan Joko langsung tersadar, karena disana sangat ramai sekali. Sebuah mobil ambulance dan beberapa mobil aparat yang lain, juga sudah terparkir terlebih dulu disana.

“Ono opo iku.?” (Ada apa itu.?) Tanya Joko sambil menggerakkan kepala serta bahunya, kekanan dan kekiri.

“Koen takon aku, lah aku takon sopo cok.?” (Kamu tanya aku, lah aku tanya siapa cok.?) Tanyaku balik.

“Takono supir ambulance kono loh cok. Be’ne ono obat gawe congormu seng bejat iku.” (Tanya sama supir ambulance sana loh cok. Siapa tau ada obat buat mulutmu yang rusak itu.) Gerutu Joko.

“Hahaha.” Akupun hanya tertawa sambil terus berjalan kearah keramaian itu.

Kami lalu berhenti diseberang jalan sekolah itu, sambil melihat kearah dalam sekolah. Kami berhenti disebuah warung dan banyak sekali orang yang mengobrol disekitar kami.

“Ada apa itu mas.?” Tanya Joko kepada seseorang yang berdiri didekat kami.

“Tawuran Mas.” Jawab Orang itu.

“Ooo, tawuran antar sekolah ya.?” Tanya Joko sambil menganggukan kepalanya pelan.

“Bukan Mas, anak sekolah STM ini diserang sama anak kampus kuru.” Jawab orang itu.

Aku dan Jokopun langsung saling melihat, setelah itu melihat kearah orang itu lagi.

“Anak kampus kuru ada yang mati Mas. Ditusuk sama anak STM itu.” Ucap orang itu lagi dan langsung membuatku terkejut.

“Assuu. kok ngeri gitu sekolah ini.?” Ucap Joko dengan herannya.

Cok, kok aku langsung teringat Satria ya.? Apa ini sekolah Satria dan yang menyerang kesini itu anak kampus kuru, musuh Satria digudang satu waktu itu.? Enggak lah, gak mungkin. Masa iya Satria senekat itu.? Lagian iya kalau STM ini sekolah Satria. Aneh – aneh aja pikiranku ini.

Beberapa saat kemudian, puluhan anak STM dan juga belasan pemuda yang berpakaian bebas, diangkut kedalam beberapa truck aparat yang terparkir. Pandanganku langsung tertuju pada satu anak yang berpakaian sekolah dan kedua tangannya diborgol. Dia tampak diapit dua orang aparat dan wajahnya tampak dipenuhi darah. Anak itu tidak melihat kearahku dan tatapan matanya terlihat kosong.

“Satria.” Ucap Joko dengan suara yang bergetar.

“Cok.” Makiku yang terkejut.

“Sampean kenal dia Mas.? Dia itu yang nusuk anak kampus kuru sampai mati.” Ucap Orang itu dan membuatku makin terkejut.

Aku lalu menyebrang jalan sambil menenteng gitarku, mendekat kearah truck aparat itu.

“Lang.” Teriak Joko tapi aku tidak memperdulikannya.

Satria tampak dimasukkan kedalam truck yang tertutup dan aparat yang mengapitnya, langsung menutup pintu belakang truck. Langkahku mendekat kearah truck, terhalang karena beberapa orang menandu seseorang yang terlihat sudah tidak bernyawa. Orang yang ditandu itu tertutup kain disekujur tubuhnya.

“Pak, pak. Bisa lihat korbannya.?” Tanya Joko kepada salah satu petugas.

“Kamu temannya.? Kamu ikut tawuran tadi ya.?” Tanya salah satu aparat yang ada didekat kami.

“Saya ini baru selesai ngamen Pak, jadi bagaimana mungkin saya ikut tawuran. Lagian kalau saya ikut tawuran terus saya kembali kesini, sama aja saya bunuh diri. Saya itu cuman mau lihat korbannya aja. Saya mau memastikan dia itu teman saya atau tidak. Kalau dia teman saya, saya bisa mengubungi keluarganya.” Ucap Joko berbohong sambil melirikku sebentar.

Aparat itu tidak berbicara lagi dan dia hanya melihatku dan Joko, dari ujung kaki sampai rambut kami.

Perlahan jenazah itupun dimasukan kedalam mobil ambulance.

“Mas kalau mau lihat kesini.” Ucap aparat yang lain dan dia berdiri didekat pintu ambulance.

Joko langsung mendekat kearah jenazah, sementara aku berjalan kearah Satria yang ada didalam truck.

“Mundur, mundur.” Beberapa orang aparat langsung menghalangi jalanku dan mendorong dadaku.

“Saya mau ketemu adek saya Pak.” Ucapku sambil menunjuk kearah truck.

“Nanti aja dikantor aparat.” Ucap orang itu dengan mata yang melotot.

Lalu tiba – tiba Joko merangkulku dari belakang dan menarikku menjauh dari kerumunan.

“Opo seh cok.” (Apa sih cok.) Ucapku dan aku sebenarnya masih ingin mendekat kearah truck sana.

“Seng dipateni iku arek seng nde gudang siji cok.” (Yang dibunuh itu anak yang digudang satu cok.) Bisik Joko dan dia terus merangkulku menjauh dari truck.

“Bajingan.” Makiku pelan dan tubuhku langsung terasa lemas.

Aku langsung teringat Pak Tomo dan membayangkan wajah beliau yang pasti akan sangat sedih sekali. Bayangan adikku Damar yang kira – kira seumuran Satriapun, juga terlintas dikepalaku. Aku pasti akan sangat terpukul kalau Damar yang ada diposisi itu. Kedua orang tuaku pun, pasti tidak kalah terpukulnya. Kasihan sekali Pak Tomo.

Bajingann anak – anak kampus teknik kuru itu. Kenapa mereka berani menyerang anak – anak sekolah sih.? Terus kenapa juga Satria sampai membunuhnya.? Jiancuukkk.

“Awak dewe gak usah melu – melu cok.” (Kita gak usah ikut – ikut cok.) Ucap Joko dan dia terus merangkulku, menjauh dari tempat itu.

“Gak iso cok. Awak dewe iku wes terlibat masalah iki, kaet awak dewe marani Satria nde gudang siji mbiyen iku. Arek – arek kuru iku pasti dendam pisan ambe awak dewe. Opo maneh koncone ono seng dipateni ambe Satria” (Gak bisa cok. Kita itu sudah terlibat masalah ini, sejak kita mendatangi Satria digudang satu dulu itu. Anak – anak kuru itu pasti dendam juga sama kita. Apa lagi temannya ada yang dibunuh sama Satria) Ucapku dan Joko langsung melepaskan rangkulannya dipundakku.

Kami berdua langsung berhenti dipinggir jalan yang agak sepi, jauh dari sekolah Satria tadi.

“Terus koen kate lapo cok.? Awak dewe iku wes akeh masalah, gak usah nambah masalah.” (Terus kamu mau apa cok.? Kita itu sudah banyak masalah, gak usah nambah masalah.) Ucap Joko.

“Aku gak nambah masalah cok. aku mek kate marekno masalah iki.” (Aku gak nambah masalah cok. Aku cuman mau menyelesaikan masalah ini.) Ucapku dan Joko langsung menggelengkan kepalanya.

“Masalah iki pasti ono hubungane ambe awak dewe, pas awak dewe marani Satria nde gudang siji dino iku.” (Masalah ini pasti ada hubungan sama kita, waktu kita mendatangi Satria digudang satu hari itu.) Ucapku yang mencoba menjelaskan kepada Joko, tapi terlihat wajahnya kecewa kepadaku.

“Lang, aku njaluk tolong awakmu. Tolong banget. Ga usah terlibat masalah iki Lang. Awakmu iku wes kakean pikiran.” (Lang, aku minta tolong sama kamu. Tolong banget. Ga usah terlibat masalah ini Lang. Kamu itu sudah kebanyakan pikiran.) Ucap Joko dengan wajah yang memelas dan aku hanya menatapnya saja.

“Jiancok koen iku Lang.” (Jiancok kamu itu Lang.) Maki Joko.

Wajahnya sekarang terlihat mulai emosi dan aku hanya mendiamkannya saja.

“Rungokno cok, rungokno. Biaya kuliahmu, manganmu, biaya kos - kosan wulan ngarep, masalah pribadimu, kabeh koen pikir dewe, gak ono seng ngerewangi cok. Dadi lapo koen ngurus masalah uwong iku, lapo.?” (Dengarkan cok, dengarkan. Biaya kuliahmu, biaya kos – kosan bulan depan, masalah pribadimu, semua kamu pikir sendiri, gak ada yang bantuin cok. Jadi kenapa kamu ngurus masalah orang itu, kenapa.?) Ucap Joko dengan emosi yang semakin menjadi.

“Delok’en kondisimu saiki, delok’en. Ngoco’o kono loh. Awakmu iku kakean pikiran, mangkane awakmu tambah kuru. Terus kate koen tambai masalah maneh.? Assuuu.” (Lihat kondisimu sekarang, lihat. Ngaca sana loh. Kamu itu kebanyakan pikiran, makanya badanmu makin kurus. Terus mau kamu tambah masalah lagi.? Anjingg.) Joko berkata dengan sangat geregetan sekali.

“Hehe.” Akupun hanya tertawa pelan.

“Bajingan. Dikandani malah cengengesan. Asuu, asuu.” (Bajingan. Dikasih tau malah ketawa. Anjing, anjing.) Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Jenenge wong urip iku, pasti nduwe masalah Jok. Lek gak gelem nduwe masalah, gak usah urip.” (Namanya orang hidup itu, pasti punya masalah Jok. Kalau gak mau punya masalah, gak usah hidup.) Ucapku sambil menepuk pundak Joko pelan.

“Tapi dudu masalah uwong seng koen badok cok. Badoken masalahmu dewe iku loh.” (Tapi bukan masalah orang yang kamu makan cok. Makan masalahmu sendiri itu loh.) Ucap Joko dengan mata yang melotot.

“Masalahku iku ibarate koyo sego putih Jok. Moso aku mangan sego putih tok.? Ben enak mangane, kudu ono iwak’e. Paham gak.?” (Masalahku itu ibaratnya seperti nasi putih Jok. Masa aku makan nasi putih aja.? Biar enak makannya, harus ada ikannya. Paham gak.?) Ucapku dengan santainya.

“Iwak matamu iku.” (Ikan matamu itu.) Ucap Joko.

“Lek awakmu kate ngurusi masalah iki, urusen dewe. Aku gak gelem melu – melu. Assuu.” (Kalau kamu mau urus masalah ini, urus sendiri. Aku gak mau ikut – ikut. Anjingg.) Ucap Joko lagi. Dia berkata seperti itu sambil mendekatkan wajahnya kewajahku dengan mata yang melotot, lalu setelah itu dia membalikkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan aku.

Cok. kelihatannya Joko sangat serius sekali dengan ucapannya. Belum pernah dia berbicara dengan tatapannya seperti itu kepadaku selama ini.

Maaf Jok, maaf. Bukannya aku gak mau mendengarkan nasehatmu. Aku harus terlibat masalah ini, karena aku ingin membalas kebaikan dari Pak Tomo yang telah membantuku diawal kuliah waktu itu. Selain itu, entah kenapa hatiku menuntunku agar aku masuk kedalam pusaran permasalahan ini. Aku merasa semua permasalahan yang ada dikepalaku saat ini, seperti saling terkait satu dengan yang lain. Walaupun aku tidak tau dimana letak saling keterkaitannya.

Hiuufftt, huuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Aku ambil rokokku dikantong, lalu aku membakarnya dan menghisapnya, setelah itu aku mengikuti Joko yang berjalan didepanku.

“Gak luwe koen cok.?” (Gak lapar kamu cok.?.) Tanyaku sambil mengikuti Joko dibelakangnya. Aku mencoba mencairkan suasana yang masih tegang ini dan jujur aku juga sangat lapar.

“Wes warek aku.” (Sudah kenyang aku.) Jawab Joko dan terdengar dari nada suaranya, dia masih jengkel kepadaku.

“Mangan opo.?” (Makan apa.?) Tanyaku.

“Mangan ati.” (Makan hati.) Jawab Joko singkat.

“Ojo kakean mangan ati. Iso nggarai darah tinggi.” (Jangan banyak makan hati. Bisa menyebabkan darah tinggi.) Ucapku.

“Babahno.” (Biarin aja.) Jawab Joko dan dia terus berjalan.

Bajingann. Aku tau dia sebenarnya lapar juga dan belum makan seperti aku. Tapi dia terlanjur emosi dan dia gengsi untuk mengakuinya.

“Cok. Delok’en kondisimu saiki, delok’en. Ngoco’o kono loh. Awakmu iku saiki tambah kuru, terus kate gak mangan.? Ngomong opo aku ambe Mbahmu emben.? Assuuu.” (Cok. Lihat kondisimu sekarang, lihat. Ngaca sana loh. Kamu sekarang itu tambah kurus. Terus mau gak makan.? Ngomong apa aku sama Mbahmu besok.? Anjingg.) Ucapku membalikkan kata – kata Joko tadi.

Joko menghentikan langkahnya, lalu menunduk dan menggelengkan kepalanya pelan. Perlahan dia membalikkan tubuhnya, sambil mengangkat wajahnya dan menatap wajahku dengan tatapan yang sangat jengkel sekali.

“Koen iku njacuk’i Lang.” (Kamu itu menjacukkan Lang.) Ucap Joko.

“Lek aku gak njancuk’i, opo koen gelem koncoan karo aku.?” (Kalau aku gak menjancukkan, apa kamu mau berteman sama aku.?) Ucapku lalu aku tersenyum.

“Assuu.” (Anjing.) Maki Joko lalu dia membalikkan tubuhnya dan berjalan lagi.

“Nangdi koen cok.?” (Mau kemana kamu cok.?) Tanyaku.

“Mangan tel. Aku luwe.” (Makan tel. Aku lapar.) Ucap Joko sambil terus berjalan. (Tel = gatel = gateli = menjengkelkan.) Jawab Joko.

Aku lalu berjalan cepat, sampai berada disebelah Joko dan aku langsung merangkul lehernya.

“Koen iku gak usah muring – muring lapo seh.? Wes elek tambah elek koen cok.” (Kamu itu gak usah marah – marah kenapa sih.? Sudah jelek tambah jelek kamu cok.) Ucapku.

“Matamu.” Gerutu Joko dan dia sudah tidak semarah tadi.

Kami berdua terus berjalan, lalu kami singgah disebuah warung untuk beristirahat dan makan siang. Bukan makan siang sih, lebih tepatnya makan sore. Dari pagi perut ini belum terisi nasi dan baru sore ini perut dimanjakan nasi putih, sayur bening, mendoan, kerupuk dan sambel.

Kami berdua makan dengan lahapnya. Dan setelah makanan habis, kami beristirahat sejenak sambil menikmati kopi panas dan isapan rokok kretek.

Pikiranku kembali melayang, memikirkan permasalahan – permasalahan yang ada diotakku. Mistery kematian Intan, dipecat, biaya kuliah, biaya kosan dan ditambah masalah Satria.

Jiancuk. Kata – kata Joko tadi memang ada benarnya. Aku terlalu banyak pikiran dan sebagian besar itu sebenarnya bukan masalahku sendiri. Tapi apa mau dikata, semua ini sudah jalannya dan aku harus menyelesaikannya.

Semoga saja semua masalah ini dapat segera aku selesaikan satu persatu, sehingga aku bisa konsentrasi pada kuliahku.

Hufftt, huuu.

Setelah menghabiskan rokok dan kopi, kami berdua kembali kekosan dengan berjalan kaki. Dan ketika kami berdua sampai dikosan, ada pemandangan yang agak mengganjal didepan teras kosan. Kimba tidak ada diteras tempat biasa terpakir.

“Kimba koen parkir nde endi Jok.?” (Kimba kamu parkir dimana Jok.?) Tanyaku sambil melangkah masuk kedalam pagar kosan.

“Yo nde kene lah.” (Ya disini lah.) Jawab Joko dengan wajah yang panic, sambil menunjuk teras tempat dimana kimba biasa terparkir.

“Jiancok. Kok gak onok.?” (Jiancok, kok ga ada.?) Ucapku yang terkejut, lalu aku bergegas masuk kedalam kosan.

“Bajingan.” Ucap Joko dan dia berlari keluar kosan.

“Intan, tan.” Ucapku sambil membuka kamarku dengan terburu – buru.

Intan yang berada dikamarku, langsung menatapku dan wajahnya terlihat sangat khawatir sekali.



Intan

“Dimana kimba.? Siapa yang ambil.?” Tanyaku dan Intan hanya menatapku, tanpa bersuara sama sekali.

“Kok kamu diam sih.? Kamu pasti lihat siapa yang mengambilnya tadi.” Ucapku dan Intan tetap diam saja.

“Jiancok.” Makiku pelan lalu aku membalikan tubuhku.

Karena begitu paniknya aku, aku sampai mencari ke kamar Joko, dapur, lalu kehalaman samping kosan, tapi tetap saja tidak ada. Assuu.

Siapa yang berani mengambil kimba dikosan ini dan bagaimana bisa mereka mengambilnya.? Siapapun orang dikota ini, pasti tidak ada yang berani masuk kedalam area pagar kosanku, apalagi berani mencuri. Semua orang sudah tau bagaimana keangkeran kosan ini, tapi kenapa ada yang nekat seperti ini.? Terus tujuannya apa mengambil kimba.? Setauku belum pernah ada kejadian dimanapun, orang mencuri vespa. Ini ada yang tidak beres dan yang mengambil kimba pasti bukan orang sembarangan.

Siapa ya orang nekat itu.? Apa mereka tidak tau kalau disini ada penghuni dari alam lain yang melegenda.? Terus kenapa juga Intan kok diam saja, melihat kimba dicuri.? Jiancuukk.

“Kimba ilang tenanan cok. Hu, hu, hu.” (Kimba hilang beneran cok. Hu, hu, hu.) Ucap Joko yang masuk kedalam kosan, dengan nafas yang memburu dan keringat yang memenuhi wajahnya.

“Jiancok. Sopo seng wani mlebu kosan iki cok.?” (Jiancok. Siapa yang berani masuk kedalam kosan ini.?) Ucapku dengan emosi yang tertahan.

“Sudah ikhlasin aja.” Ucap Intan yang keluar dari kamarku.

“Apanya yang mau di ikhlasin.?” Ucap Joko yang langsung membalikkan tubuhnya dan melihat kearah Intan. Baru kali ini, setelah sekian lama kami berdua tinggal dikosan ini, Joko berbicara dengan Intan dihadapanku.

“Gak semudah itu Tan. Kimba itu kami beli dengan hasil keringat dan perjuangan. Kami gak akan semudah itu mengikhlaskan kimba.” Sahutku.

“Ini memang masalah yang besar. Tapi kalau kalian mencari kimba, masalahnya akan semakin besar.” Ucap Intan dan wajahnya terlihat sangat tegang sekali.

Joko yang ada disebelahku langsung terdiam beberapa saat dan dia langsung melirikku.

“Siapapun orang yang mengambil kimba, dia yang sedang berada dalam masalah besar. Aku tidak perduli siapa mereka dan aku akan mencari mereka, walau mereka berada dineraka.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan emosiku mulai menguasai kepalaku.

“Lang, tolong jangan cari mereka.” Ucap Intan dengan mata yang sayu dan dia terlihat ketakutan.

Cok. Ada apa ini.? Kenapa Intan sangat ketakutan seperti ini.? Apa mereka yang mengambil kimba ini, orang – orang yang terlibat pada kematiannya.? Bajingann.

“Tan.” Ucapku sambil menatap matanya dan Intan langsung menggelengkan kepalanya pelan.

“Kalau urusan kendaraan yang hilang, cuman satu tempat yang kita ketahui dikota ini.” Ucap Joko dan aku langsung melihat kearahnya.

“Cok.” Makiku pelan dan aku langsung tersadar, karena tempat yang dimaksud Joko pasti gudang satu didesa utara.

Bajingan. Apa mereka yang mengambil kimba.? Tapi apa tujuan mereka.? Apa mereka sengaja melakukan ini, supaya memancing kami untuk mengambil kimba kesana.? Apa ini rentetan kejadian tadi siang, karena Satria telah membunuh salah satu anggota mereka.? Dan apa mereka juga terlibat dalam kematian Intan, sampai Intan terlihat ketakutan seperti ini.?

“Kalian jangan kesana, aku mohon.” Ucap Intan dengan mata yang berkaca – kaca.

Cok. Sikap dan perkataan Intan ini justru membuatku ingin berangkat ke gudang satu.

“Enggak. Aku akan tetap pergi kesana, karena mereka sudah berani mengusik sampai dikosan ini.” Jawabku, sambil mengepalkan kedua tanganku.

“Lang.” Ucap Intan.

“Kenapa Tan.? Kenapa kok kamu takut.? Apa mereka itu berhubungan dengan.” Ucapku terpotong.

“Aku mohon Lang, aku mohon. Mereka itu orang – orang yang berbahaya.” Ucap Intan memotong ucapanku, tapi tidak menjawab pertanyaanku.

“Semakin kamu melarang dan bersikap seperti ini, aku malah semakin yakin untuk kesana.” Ucapku dan Joko langsung melangkah keluar kosan.

“Nangdi koen cok.?” (Mau kemana kamu cok.?) Tanyaku.

“Kate njupuk kimba.” (Mau mengambil kimba.) Ucap Joko tanpa melihat kearahku.

Cok. Aku kira aku akan kesana seorang diri, karena kemarahannya tadi siang. Tapi ternyata Joko tidak membiarkanku berangkat seorang diri .

“Lang.” Panggil Intan dan aku langsung melihat kearahnya.

“Aku pergi dulu.” Pamitku dan kembali Intan meneteskan air matanya.

Akupun langsung melangkahkan kakiku menuju pintu kosan.

“Ternyata air mata ini tidak bisa mencegah kepergianmu. Baiklah, aku hanya berpesan kepadamu, hati - hati dan segeralah kembali kalau urusanmu sudah selesai. Aku menunggumu disini.” Ucap Intan dengan sedihnya dan aku tidak melihat kearahnya. Aku terus melangkah keluar kosan dan menyusul Joko yang menungguku didepan pagar kosan.

“Awakmu tenan kate rono ta.?” (Kamu beneran mau kesana kah.?) Tanyaku sambil mengeluarkan rokok kretekku, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya.

“Hem.” Jawab Joko singkat.

“Nde kono nggone bajingan loh.” (Disana itu tempatnya bajingan loh.) Ucapku meyakinkan Joko.

“Tujuanku mek njupuk kimba.” (Tujuanku hanya mengambil kimba.) Ucap Joko sambil melihat kearah yang lain.

Assuu. Joko berbohong. Bukan itu tujuan utamanya kesana. Dia kesana pasti karena tidak ingin melepas kepergianku seorang diri. Berangkat kegudang satu, bukan hanya tentang masalah kimba saja. Masalah ini pasti berhubungan dengan Satria dan Joko pasti sadar akan hal itu. Walaupun dia tadi sempat marah karena aku terlalu mencampuri urusan Satria, aku yakin dia pasti akan membantuku menyelesaikan semua masalah – masalahku.

Aku sebenarnya tidak ingin melibatkan Joko dengan semua masalahku. Tapi apa bisa seperti itu.? Tidak mungkinlah. Dia pasti akan marah kalau aku meninggalkannya.

Dan kalau sampai ada pertarungan disana, itu adalah pertarungan paling luar biasa yang akan kami hadapi. Para bajingan – bajingan kelas kakap itu, pasti mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa. Dan yang lebih luar biasanya, kami akan kemarkas mereka berdua saja. Bajingaann.

Aku dan Joko pun berjalan kearah jalan utama, untuk mencari angkot menuju desa utara. Kami tidak banyak bicara ketika sudah didalam angkot pertama yang menuju perbatasan, maupun di angkot kedua yang menuju desa utara.

Kami berdua berdiam diri sambil menikmati rokok kretek yang sudah habis beberapa batang. Terus terang aku sedikit tegang dengan situasi ini dan Joko pasti juga merasakannya. Ada terselip rasa takut, karena musuh kami bukan orang sembarangan. Tapi rasa takut itu justru membangkitkan amarah, karena mereka sudah berani menerorku dengan mengambil kimba tersayang dan mungkin mereka juga yang terlibat dengan kematian Intan.

Tapi entar dulu, bagaimana kalau bukan mereka yang mengambil kimba dan mereka juga tidak terlibat dengan kematian Intan.? Tidak ada bukti yang kami pegang dan kami bergerak hanya berdasarkan dengan keyakinan yang sebetulnya tidak berdasar. Sudahlah, yang penting kesana aja dulu. Mungkin kalau tidak ada kimba disana, kami bisa bertanya tentang penampungan motor curian yang ada didaerah lain. Mereka pasti tau, karena jaringan pencurian kendaraan itu pasti saling terkait. Aku tau mendapatkan informasi itu sulit, tapi bagaimanapun caranya aku tidak boleh pulang dengan tangan hampa.

Hiufftt, huuu.

Setelah sampai digerbang desa utara, perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Malam mulai menyapa dan menambah ketegangan didalam diriku, apalagi ketika sudah melihat lampu yang menerangi gudang satu. Jantungku makin berdetak dengan cepat dan aku mencoba menguasai ketegangan didalam diriku ini.

Tampak beberapa orang duduk didepan teras gudang satu dan mereka langsung berdiri, ketika melihat aku dan Joko berjalan kearah mereka.

“Piye cok.?” (Gimana cok.?) Tanya Joko yang akhirnya bersuara sambil terus berjalan, lalu dia menghisap rokoknya.

“Piye opone.?” (Tanyaku balik.) dan kami berdua langsung berhenti, tidak jauh dari segerombolan orang yang berdiri didepan gudang satu itu.

“Lawanne awak dewe.” (Lawannya kita.) Ucap Joko sambil mengkodeku, untuk melihat ke segorombolan orang didepan sana.

Wajah – wajah mereka tampak garang dan seperti binatang buas yang ingin menerkam mangsanya.

“Wedi.?” (Takut.?) Tanyaku sambil mengeluarkan bungkusan rokokku dan mengambil sebatang rokok terakhir. Aku lalu membuang bungkusan rokokku dan membakar rokokku yang aku selipkan dibibir.

“Cok. aku iku paling muangkel lek awakmu ngomong ngono cok.” (Cok. Aku itu paling jengkel kalau kamu ngomong gitu cok.) Ucap Joko sambil melirikku dan aku hanya tersenyum mendengarnya. Tersenyum ditengah suasana yang penuh ketegangan pastinya.

“Tamunya sudah datang. Ayo masuk – masuk.” Ucap salah satu dari mereka kepada kami.

Bajingan. Ternyata kedatangan kami sudah ditunggu dan mereka benar – benar telah mengambil kimba dikosan, untuk memancing kedatangan kami kesini.

Aku lalu mengepalkan tangan kananku kearah Joko.

“Semongko.” Ucapku pelan.

“Semangat nganti bongko.” (Semangat sampai mampus.) Jawab Joko sambil meninju kepalan tangan kananku.

“Baguslah kalian sadar, kalau kalian berdua akan mampus ditempat ini.” Ucap orang itu lalu dia berjalan masuk kearah pintu gudang satu.

Seluruh teman - temannya lalu memberi jalan kepadaku dan Joko. Kami berdua lalu berjalan kearah pintu gudang itu dengan santainya, sambil menghisap rokok masing – masing.

Salah seorang menggertakku dengan menghentakkan kaki kanannya kelantai dan kepalan tangannya seolah akan meninju wajahku.

Buhhgg.

Aku tidak menghindar dan aku melirik orang itu, sambil berjalan kearah dalam gudang. Orang itu tersenyum dengan sinisnya dan seperti ingin memakanku saja.

Dan ketika kami berdua sampai didalam gudang, tampak puluhan orang sedang berdiri menyebar dipinggir gudang, sementara Gondes dan Begal duduk dikursi sambil memutar minuman.

Pandangankupun langsung tertuju dibagian tengah gudang yang sangat luas dan terlihat kimba terpakir dengan gagahnya. Diatas jok kimba ada sebotol bensin dan entah kenapa mereka menaruh botol itu disitu.

“Kimba cok, kimba.” Ucap Joko pelan.

“Jopo kimbane, terus obong gedung iki ambe bensin iku.” (Ambil kimbanya, terus bakar gedung ini sama bensin itu.) Ucapku sambil melirik Joko.

“Cangkemu lek ngomong uenak cok.” (Mulutmu kalau ngomong enak cok.) Gerutu Joko dan lagi – lagi aku tersenyum kepadanya.

“Hey pengamen. Selamat datang digudang satu.” Ucap Begal kepadaku dan Joko.

Aku dan Joko saling melirik lagi, lalu melihat kearah Begal lagi.

“Satria telah membunuh salah satu anggotaku dan mungkin dengan membantai kalian berdua disini, bisa mengobati sedikit dendam kami.” Sahut Gondes.

“Sedikit aja sih terobatinya. Karena urusan Satria, akan menjadi urusan anggota kami didalam sana. Dia akan mati membusuk dan akan disiksa oleh anggota - anggota kami yang ada didalam sel sana.” Ucap Begal.

Cok. Apa benar seperti itu.? Kasihan sekali nasibnya Satria kalau begitu.

“Sudahlah, gak usah banyak bacot. Sekarang kita mulai saja pertarungan malam ini, supaya aku bisa mengambil kimba secepatnya.” Ucap Joko dengan cueknya, lalu dia menghisap dalam – dalam rokoknya, setelah itu membuang puntung rokoknya.

“Masih bisa sombong kamu disini.” Ucap Begal lalu dia berdiri dan berjalan kearah kimba.

Belasan orang langsung bergerak ketengah gudang dan berdiri didekat Begal. Sementara puluhan orang lainnya tetap berada dipinggir gudang dan ada juga yang berjaga dipintu gudang.

“Kamu mau ngambil vespa bututmu ini ya.?” Ucap Begal sambil mengambil botol bensin diatas jok kimba.

“Aku kasih kamu waktu lima menit kesini, kalau enggak kubakar vespa bututmu ini. Hehehe,” Ucap Begal lagi, lalu tiba - tiba menumpahkan bensin ke jok kimba dan dilanjut keseluruh bodi kimba.

“JIANCOK.” Makiku dan Joko dengan emosinya, lalu kami berlari kearah Begal.

Belasan orang yang ada didekat Begal, langsung berkumpul didepan Begal dan bersiap menyambut kami berdua.

Aku berlari sambil mengincar tiga orang yang posisinya mudah aku serang. Dan ketika didekat mereka, aku langsung melompat sambil mengarahkan injakan kakiku ke arah wajah salah satu dari mereka.

BUHGGG.

“ARRGGHHH.” Dia berteriak kesakitan, dengan wajah yang terdanga dan termundur kebelakang.

BUHGGG, BUHGGG.

Aku menghantam wajah satu orang disebelah kiriku dengan kepalan tangan kanan, lalu aku lanjut menghantam mulut satu orang disebelah kananku dengan tinju tangan kiriku.

“ARGGHHH.” Mereka berdua oleng bersamaan dan seluruh temannya yang ada tengah gudang, langsung menyerangku dan Joko bersama – sama.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Injakan, pukulan, dan tendangan mereka, langsung mendarat disekujur tubuhku. Aku tidak diam dan pasrah dengan serangan mereka semua. Kepalan tangan, injakan kaki, serangan lutut dan sikutku, aku arahkan kesegala penjuru arah para penyerangku.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

“JIANCOOKKK.” Terdengar teriakan Joko yang menggila dan dia membabi – buta merobohkan lawan – lawannya.

Aku menghajar lagi orang – orang yang ada sekelilingku, sambil mendekat kearah Joko yang menggila.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Aku tiba didekat Joko dan kami berdua berdiri dengan saling memunggungi. Belasan anggota Begal dan Gondes langsung mengelilingi kami berdua, sedangkan puluhan lainnya masih tetap berdiri dipinggiran gudang. Orang – orang yang kami robohkan tadipun, berdiri dan bersiap menyerang kami.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan aku merasa darahku mulai menetes dari pelipisku sampai membasahi pipiku.

“Jiancok. Jek iso ngadek ae bedes – bedes iki.” (Jiancok. Masih bisa berdiri aja monyet - monyet ini.) Ucap Joko dibelakangku dan aku langsung meliriknya. Wajah Joko tampak babak belur dan darahpun keluar dari luka – luka yang ada diwajahnya.

“Wedi.?” (Takut.?) Tanyaku dan aku sengaja memancingnya dengan pertanyaan ini, karena Joko pasti akan marah ketika mendengarnya.

“Matamu.” Ucap Joko dengan emosinya, lalu dia mengepalkan kedua tangannya didepan wajahnya. Joko terlihat semakin emosi dan bersiap menyerang musuh – musuh kami.

“Waktu kalian habis.” Ucap Begal, lalu.

Cres, cres, cres.

Begal menyalakan koreknya dan melemparkan kearah kimba.

Bluppp.

Api lalu menjalar dan membakar jok serta seluruh bodi kimba yang sudah disiram bensin oleh Begal tadi.

“BAJINGAAANN.!!!.” Teriakku ketika melihat bodi mulus kimba terbakar.

“JIANCOK JARANNN.” Ucap Joko yang tidak kalah emosi.

“Habis mereka.” Ucap Begal dengan santainya, lalu dia berjalan kearah Gondes yang dari tadi duduk dan menikmati minumannya.

“SERAANNGG.” Teriak salah satu anggota Begal.

“TAK PATENI KOEN COK, TAK PATENI.” (Kubunuh kamu cok, kubunuh.) Teriak Joko sambil menunjuk kearah Begal, tapi Joko tidak berlari kearahnya. Joko berlari kearah Kimba yang terbakar dan aku langsung mengkuti dibelakangnya.

Belasan orang langsung berlari kearah kami dan menyerang kami bersama – sama.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Aku menginjak dada salah satu orang yang berlari kearahku.

“HUUPPP.” Tubuhnya tertahan injakanku dan aku langsung melayangkan hantamanku kearah wajahnya.

BUHGGG. BUMMMM.

“ARRGGHHH.” Teriaknya kesakitan, lalu dia tumbang kebelakang.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Beberapa orang menyerangku bersama dan aku langsung menghindar, sambil sesekali menangkis serangan mereka. Pukulan beberapa orang itu ada yang masuk kearah wajah, dada, perut dan punggungku. Darah kembali keluar dari wajahku dan aku langsung membalas serangan mereka.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Satu, dua, tiga, empat dan lima orang langsung tumbang, karena aku sudah menggila dan aku dikuasai emosiku.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Dan segila – gilanya aku, pukulan mereka tetap masuk ketubuhku tapi aku terus maju dan menghajar mereka satu persatu.

“Bajingan, bangsat, assuu, jiancokk.” Ucap Joko dengan emosinya, sambil terus menghajar lawan – lawanya. Dan setiap makian yang terucap, satu orang tumbang dibuatnya.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Kami berdua menghajar para bajingan ini sambil berjalan ke arah kimba yang terbakar, dengan diiringi gelak tawa dari Begal dan Gondes. Kami berdua ingin memadamkan api itu dulu, baru kami akan membantai mereka berdua.

“Hahahaha.” Mereka tertawa melihat aku dan Joko yang panik, emosi dan menghajar anggota mereka. Bajingaaann.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Akhirnya kami bisa merobohkan belasan anggota mereka, dan tingggal dua orang yang berdiri didekat kimba. Sigondrong dan sibotak.

“Ndrong, Tak. Bantai mereka, bantai.” Puluhan teman – teman sibotak dan sigondrong yang berdiri dipinggir lapangan, memberi mereka semangat untuk membantai aku dan Joko.

“Jiancokk.” Maki kami berdua dan kami langsung berlari kearah sibotak dan sigondrong.

Dan ketika kepalan tanganku sudah mengarah kewajah sigondrong.

PUNGG.

Sebuah benda keras menghantam keningku dari arah samping, dan langsung membuat kepalaku terdanga, serta tubuhku limbung kebelakang.

“ARRGHHHH.” Teriakku kesakitan dengan kepala yang berkunang – kunang dan darah yang mengalir dengan derasnya dari keningku. Jiancokkk.

Aku berdiri sempoyongan dan pandanganku berbayang, lalu tiba - tiba.

BUHGGG. BUMMM.

Sebuah injakan dari arah belakangku dan langsung membuat aku roboh kedepan. Aku terjatuh dengan posisi tertelungkup, wajah yang tertoleh kesamping dan darah segar dari keningku yang membasahi wajah sampingku. Bajingaann.

Dipandanganku yang berbayang ini, aku melihat Joko juga tumbang dan dia terlentang dilantai.

“Hahahaha.” Terdengar suara tawa dari orang – orang yang ada didalam gudang satu ini.

PUNGG, PUNGG, PUNGG, PUNGG.

Terdengar bunyi benda keras yang dihantamkan kelantai. Suara benda itu terus mendekat kearahku dan berhenti tepat didepan wajahku yang tertoleh kesamping.

Cok. ini stick baseball dan benda ini yang menghantam keningku sampai berdarah. Bajingaann.

PUNGG, PUNGG, PUNGG, PUNGG.

Ujung stick itu terus dihantamkan kelantai tepat diwajahku. Bunyi stick yang memekan telinga itu, membuat kepalaku semakin berkunang – kunang dan bumi ini terasa bergoyang. Aku tertelungkup tidak berdaya dan tenagaku seolah hilang, karena hantaman dikeningku ini. Asuuu.

“Kelihatannya ada pesta disini.” Ucap sesorang dari arah pintu gudang.

“Eh Cak Herman, Cak Bagong, Panglima.” Terdengar suara Gondes menjawab.

“Pesta kacangan ini. Masa menghadapi dua orang anak muda seperti itu, anak buahmu banyak yang tumbang.?” Ucap seseorang tapi aku tidak tau siapa dia, karena pandanganku masih berbayang.

“Bukan begitu Panglima. Mereka ini cuman buat mainan untuk ngisi waktu luang.” Jawab Begal dan orang yang bertanya tadi rupanya bernama Panglima. Entah namanya yang panglima, atau dia itu panglima dikelompok ini.

“Kalau mau buat mainan, gak usah mengorbankan anak buahmu. Lebih baik cepat selesaikan mereka berdua.” Ucap seseorang dan suaranya bukan suara Panglima.

“Iya Cak Herman.” Jawab Begal, lalu tiba – tiba.

BUUMMM.

Suara ledakan terdengar dan membuat seisi ruangan ini terkejut termasuk aku. Beberapa saat kemudian, dari arah ledakan itu sebuah benda roboh tidak jauh dari tempatku terkapar.

BRAAKKK.

“Goblokkk. Kenapa bakar vespa butut di dalam gudang sih.?” Ucap seseorang dengan emosinya.

“Maaf Cak Bagong, maaf.” Ucap Begal.

Bajingaann. Itu suara kimba yang meledak ya.?

Assuu. Hasil keringat dan hasil jerih payahku dibuat hancur oleh binatang ini. Bangsat. Mereka harus mendapatkan balasannya dan mereka harus aku bantai sekarang juga.

Ini tidak bisa di diamkan. Manusia yang paling bertanggung jawab karena kimba terbakar adalah Begal. Dia harus aku bakar hidup – hidup, agar dia merasakan panasnya api yang berkobar. Bajingaann.

Emosikupun perlahan mulai membakar isi kepalaku lagi dan aku mulai bangkit perlahan, sambil memejamkan kedua mataku. Aku menguatkan tubuhku yang bergetar akibat hantaman stick dikeningku tadi.

Aku lalu duduk dan menekan kedua mataku menggunakan kedua jempolku. Aku melakukan itu agar penglihatanku tidak berbayang lagi. Dan pada saat aku menyentuh kedua mataku, aku merasakan kentalnya darah yang menetes dari keningku dan itu membuat emosiku semakin membakar isi kepala.

Aku membuka membuka kedua mataku dan perlahan pandanganku mulai sedikit terang. Terlihat Joko sahabatku juga duduk dan dia melihat kearahku.

“Kimba cok, kimba.” Ucap Joko sambil melihat kearah kimba yang roboh dan hangus terbakar. Suaranya terdengar lirih dan tatapan yang sangat tajam sekali.

“Tak obong raine wong iku cok, tak obong.” (Kubakar wajahnya orang itu cok, kubakar.) Ucapku sambil berdiri dengan bertumpu pada kepalan tangan kananku dilantai.

“Begal bagianmu, Gondes bagianku.” Ucap Joko yang juga perlahan mulai berdiri juga.

“Sudah bangun itu, selesaikan cepat. Gak usah anak buahmu lagi yang maju.” Ucap Seseorang dan wajahnya terlihat tenang tapi tatapannya sangat tajam.

“Iya Cak Herman.” Sahut Begal.

“Dia bagianmu apa bagianku Ndes.?” Ucap seseorang yang lain lagi dan wajahnya terlihat garang. Orang itu berucap sambil melirik kearah Joko.

“Jangan begitu Panglima. Jadi gak enak aku.” Jawab Gondes.

“Sudahlah. kamu bantai saja kedua orang ini dan jangan banyak bicara.” Ucap Cak Herman dan membuat Gondes langsung terdiam.

“Supaya pertarungan berimbang, semua yang ada diruangan ini tidak boleh ada yang ikut campur dengan perkelahian ini.” Ucap Cak Herman lagi, sambil melihat kearahku.

“Kalau kamu dan temanmu bisa mengalahkan kedua anak buahku ini, silahkan pulang. Tapi kalau kalian kalah, Hehe.” Ucap Cak Herman dan diakhiri dengan tawa yang meledekku. Jiancok.

Akupun langsung melihat kearah Joko dan dia melihat kearahku juga.

“Digawe dulinan awak dewe.” (Dibuat mainan kita berdua.) Ucap Joko dan terlihat kemarahan yang sangat luar biasa dimatanya.

“Maringene, wong – wong seng nde njeru kene sing dadi dulinane awak dewe.” (Setelah ini, orang – orang yang ada didalam sini yang jadi mainan kita.) Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Semongko.” Ucap Joko sambil mengepalkan tangan kanannya kearahku.

“Semangat nganti Bongko.” (Semangat sampai mampus.) Ucapku sambil meninju pelan kepalan tangan Joko, lalu kami melihat kearah Begal dan Gondes yang sudah bersiap menyerang kami.

“Kamu akan kubuat menjadi bangkai, seperti vespa bututmu ini.” Ucap Begal sambil menunjuk kearahku, lalu menunjuk kearah kimba yang hangus terbakar.

“Jiancookk.” Makiku sambil berlari dan mengarahkan kepalan tangan kananku kearah wajah Begal.

WUUTTT.

Begal menunduk lalu dengan cepatnya dia melayangkan pukulan kearah dadaku dengan kuatnya.

BUHHGGG.

“HUUPPP.” Nafasku tertahan dan dadaku terasa sesak sekali.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Begal langsung melancarkan serangannya kearah wajahku bertubi – tubi.

Pelipis, jidat, mata, pipi, hidung dan mulutku, dihajar menggunakan tinju kanan dan kirinya bergantian.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

TAP, TAP, TAP, TAP, TAP, TAP, TAP, TAP.

Setelah terkena pukulan yang lumayan telak dan keras, aku lalu menangkis serangan Begal menggunakan lengan kanan dan kiriku bergantian.

TAP, TAP, TAP, TAP, TAP, TAP, TAP, TAP.

Aku terus melindungi wajahku dari serangan Begal, sambil menunduk. Lalu tiba – tiba Begal mengangkat lututnya dan diarahkan kewajahku.

TAP.

Akupun langsung membloknya dengan kedua tanganku, sambil mengarahkan keningku yang terluka kearah batang hidungnya.

JEDUK.

“ARGGHHH.” Teriak kami bersamaan dan Begal langsung terdanga dengan darah yang bercucuran dari hidungnya.

Aku mengelus sebentar keningku yang sakit dan terluka ini, lalu aku meloncat kearah Begal sambil mengarahkan kepalan tangan kiriku kearah mata bagian kanannya.

BUHGGG.

“COKK.!!!.” Teriak Begal yang oleng kebelakang.

Aku lalu menyerang bagian wajahnya dan dia memblok semua seranganku, sambil menunduk

TAP, TAP, TAP, TAP, TAP, TAP, TAP, TAP.

Aku arahkan lutut kananku kearah wajahnya, tapi hanya menggertaknya dan dia langsung menggerakkan kedua tangannya kearah bawah, untuk gerakan tipuanku ini. Lalu dengan cepatnya aku menghantam pelipis kirinya dengan sekuat tenagaku, dari arah bawah.

BUHGGG.

“ARRGGHHH.” Ucap Begal yang terdanga dan kesakitan, karena pukulanku masuk dengan keras dan telak.

Kepalanya oleng kekanan dan aku langsung mengarahkan jap kiriku kearah rahangnya.

BUHGGG.

Lalu.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Aku hantam seluruh wajahnya dengan kepalan tangan kiri dan kananku bergantian.

Begal termundur dengan wajah yang dipenuhi darah dan aku terus menyerangnya.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Aku lalu membalikan tubuhku dengan cepat, sambil mengarahkan tendangan balik kearah wajah samping Begal.

BUHGGG, JEDUUKKK, BUUMMM.

Begal terkena tendangan balikku dan dia langsung tumbang kesebelah kiri, dengan wajah sampingnya menghantam lantai dengan keras.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan aku menghentikan seranganku, sambil mengumpulkan sisa tenagaku.

“Masa kamu tumbang sih gal.?” Ucap Panglima, mengejek Begal yang masih tertidur dilantai.

“COK.” Maki Begal dengan emosinya.

Aku lalu melirik pertarungan disebelahku yang cukup berimbang. Joko dan Gondes saling jual beli serangan dan mereka sama – sama mengeluarkan darah diwajah yang cukup banyak.

“Bajingan kamu.” Ucap Begal yang sudah berdiri dengan tubuh sempoyongan.

Aku lalu melihat kearah Begal lagi dan aku menarik nafasku dalam – dalam.

Hiuufftt, huuu.

“Kubunuh kamu.” Ucap Begal lalu dia meloncat kearahku, sambil mengarahkan injakan kedadaku.

Aku langsung memblok tendangannya, menggunakan kedua tangan yang aku satukan didepan dadaku.

BUHGGG.

Aku termundur kebelakang, karena kerasnya injakan Begal.

Begal meloncat lagi, sambil mengarahkan pukulannya ke arah wajahku. Aku yang belum siap menerima serangan itupun, akhirnya terkejut dan tidak bisa menghindar atau memblok serangannya.

BUHGGG.

“ARRGGHHH.” Teriakku dan pukulannya tepat mengenai pelipis kiriku.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Aku yang oleng ini, mendapatkan serangan beruntun dari Begal.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Beberapa saat kemudian, Begal menghentikan serangannya sejenak, lalu.

BUHHGG.

Lututnya mengarah kemulutku dan membuat aku terdanga dengan darah yang menyembur dari mulutku. Aku roboh kebelakang dan kepala belakangku menghantam lantai dengan kerasnya.

JEDUK, BUMMM.

Aku tumbang untuk kesekian kalinya dan kedua mataku tertutup kelopak mataku yang membengkak. Bajingaannn.

PROKKK, PROKKK, PROKKK.

Terdengar tepuk tangan yang sangat meriah dan menggema didalam gedung ini.

“Gitu dong, dua – duanya tumbang bersamaan.” Terdengar suara samar – samar ditelingaku.

Cok. apa maksudnya Joko juga tumbang seperti aku.? Asuuu.

“Ah, percuma. Terlalu lemah gerakan mereka berdua ini. Masa merobohkan dua curut ini aja, harus berdarah – darah gitu wajahnya.” Terdengar suara ejekan kepada Begal dan Gondes.

Akupun hanya terdiam, karena tenagaku benar – benar terkuras. Mungkin kalau tadi aku langsung menghadapi Begal tanpa melawan anak buahnya dulu, aku bisa merobohkan Begal dengan cepat. Bajingaann.

Akupun hanya bisa terlentang, dengan pandangan kearah langit – langit gedung yang berbayang.

“Harusnya kalian tidak usah membakar vespa butut mereka. Tapi kalian selesaikan mereka berdua, lalu membuang mereka kejurang bersama vespa butut itu, seperti Mr. Cruel membantai Hendra Sanjaya waktu itu.” Ucap seseorang dan langsung mengejutkanku.

Jiancuukk. Jadi Mr. Cruel yang membunuh Mas Hendra dan membuang jasadnya berserta sepedanya kedalam jurang.? Bajingaann.

Tapi siapa itu Mr. Cruel.? Apa dia bagian dari orang – orang ini atau dari kelompok lain.? Apa Mr. Cruel juga terlibat dengan kematian Intan.?

Bangsat. Aku harus cepat bangkit dan aku harus mendapatkan informasi dari tempat ini, sekarang juga. Aku harus tau siapa itu Mr. Cruel dan dimana dia berada.

Emosiku kembali terbakar dan membuat sisa – sisa tenagaku terkumpul dengan cepatnya.

Aku menegakkan tubuhku dengan bersusah payah, karena aku merasa seluruh tulang – tulangku remuk akibat pertempuran kali ini.

“Masih bisa bangun dia Gal.” Ucap seseorang.

Pandanganku berbayang dan kelopak mataku tidak bisa terbuka sempurna. Aku memaksa membuka dengan lebar kelopak mataku yang membengkak, sambil menggoyangkan kepalaku kekanan dan kekiri.

“Tenang aja Panglima. Aku akan membunuhnya kali ini.” Terdengar suara Begal yang begitu emosi.

PAKKK, BUUHHGG, PAKKK, BUUHHGG, PAKKK, BUUHHGG.

Terdengar baku pukul tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku melirik kearah suara perkelahian itu dan pandangan sedikit mulai menerang. Tampak Joko sudah bangkit dan dia menghajar Gondes dengan buasnya.

Aku lalu melihat kearah Begal lagi dan kedua tanganku terkepal dengan kuatnya. Kubantai kamu Gal, kubantai. Cukup sudah luka yang aku alami dan sekarang akan aku buat kamu lebih sakit dari pada apa yang aku rasakan saat ini. Setelah itu, aku akan menatang ketiga orang yang baru datang itu. Aku akan memaksa mereka untuk bersuara tentang siapa itu Mr. Cruel.

Walapun kelihatannya pasti sangat sulit dengan kondisiku seperti ini, aku akan membantai siapapun disini untuk membuka mistery kematian Mas Hendra dan Intan. Selagi aku masih bisa bernafas, tidak ada yang tidak mungkin. Aku akan mengeluarkan semua tenaga dan kekuatanku yang tersisa.

“Bajingaannn.” Ucap Begal sambil menyerang dengan injakan kakinya yang mengarah kearah wajahku.

WUUTTT, BUMMMMM.

Aku menghindar kesamping kiri, dan injakan Begal hanya mengenai angin dan turun kelantai. Aku lalu melayangkan kepalan tanganku, kearah wajah Begal yang berdiri tepat didepan bagian kananku.

BUUHHGG.

“ARGHHH.” Teriak Begal dan aku langsung memutar tubuhku, sambil mengarahkan sikut kiriku kearah hidung Begal.

BUUHHGG, KRAKKKK.

“ARRGGHHH.” Teriak Begal yang kesakitan, karena hidungnya patah kedalam.

Begal termundur sambil menutupi hidungnya yang mengeluarkan banyak darah itu. Kepalan tangan kananku langsung aku arahkan kedada Begal dengan kuatnya.

BUGHHH.

“HEUUKKSSS.” Begal memuntahkan darah segar dan kedua tangannya, langsung memegang dadanya yang kesakitan.

Aku menarik rambut belakang Begal, sampai dia berlutut dihadapanku dan aku arahkan wajahnya kelututku.

BUUHHGG, KRAKKKK. BUUHHGG, KRAKKKK. BUUHHGG, KRAKKKK.

Setelah itu aku menjambak rambut atasnya dengan tangan kiriku, sampai kepalanya terdanga. Dan.

BUUHHGG, BUUHHGG, BUUHHGG, BUUHHGG.

BUUHHGG, BUUHHGG, BUUHHGG, BUUHHGG.

Aku menghantam wajahnya sampai dia tidak bergerak lagi, lalu aku membanting kepalanya kearah belakang, dan kepala bagian belakangnya menghantam lantai gudang ini.

JEDUK, BUMMM.

“JIANCOOKKK.” Teriakku, sambil melihat kearah Begal yang masih bernafas itu.

Nafasnya terdengar berat dan dia sudah tidak bisa bergerak lagi. Aku lalu membungkukkan tubuhku dan menjambak rambut Begal. Dengan sekuat tenagaku, aku menyeret Begal kedekat kimba yang hangus terbakar dan mengeluarkan asap, dengan posisinya yang terlentang

“ARGGHHH.” Begal kesakitan dan mencoba melepaskan jambakanku.

Aku lalu membalikkan paksa tubuh Begal sampai dia tertelungkup. Aku jambak rambut belakangnya dengan tangan kiriku dan aku angkat kerah baju bagian leher belakangnya dengan tangan kananku. Aku menggeretnya dan aku arahkan wajah sampingnya ke bodi kimba yang masih panas dan berasap.

NYESSSS..

“ARRGGHHHHH.” Teriak Begal dan aku langsung melepaskan pegangan kedua tanganku, lalu aku injak leher bagian belakangnya dengan kuat.

Tubuh Begal mengejang dan teriakannya kesakitannya semakin menjadi.

“ARRGGGHHH.”

“KRAAKKK..” Terdengar bunyi patahan bagian tubuh dan dilanjut dengan lengkingan suara kesakitan yang memekakan telinga.

“ARGGGHHHHH”

Itu bukan suara Begal yang kesakitan, tapi suara orang lain. Aku lalu melihat kearah suara itu dan terlihat Joko sudah berlutut, dengan tangan kanan yang menjuntai kelantai. Tangan kiri Joko lurus kesamping dan Panglima sudah siap memutarnya sampai patah.

Bajingaannn. Mereka melanggar janji dan mereka ikut campur dengan pertempuran antara Joko dan Gondes yang sudah terkapar tidak berdaya.

“BANGSATTT.” Ucapku dengan emosinya, sambil mengangkat kaki kananku dari leher bagian belakang Begal.

Aku sangat emosi sekali melihat sahabatku yang sangat kesakitan itu. Darahku mendidih dan aku ingin membantai Panglima, lalu meremukkan seluruh tubuhnya saat ini juga. Bajingaann.

“Kamu sudah terlalu berlebihan membantai temanku.” Ucap Panglima dengan santainya, lalu.

“KRAAKKK..” Panglima memutar tangan kiri Joko berlawanan arah, sampai terdengar bunyi patahan.

“ARGGHHHH.” Teriak Joko kesakitan dan kedua tangannya telah dipatahkan oleh Panglima.

“JOKOOOO.” Teriakku dengan kencangnya dan air mataku langsung mengalir dengan derasnya.

“ASUUU.” Maki Panglima, lalu dia membanting wajah Joko kedepan, sampai wajah sahabatku itu terhantam lantai dan darah langsung menggenang disekitar wajah Joko yang tertelungkup. Sahabatku itu sekarang sudah tidak bersuara dan bergerak lagi.

“BAJINGAANNN.” Teriakku, lalu aku berlari kearah Panglima dan aku mengarahkan kepalan tangan kananku kearah wajahnya.

WUUTTT.

Panglima menunduk dan aku langsung mengarahkan kepalan tangan kananku dari arah bawah, kewajah Panglima yang menunduk.

BUHHGGG.

Pukulanku mengenai wajahnya dengan telak, sampai dia terdanga dan aku langsung menghantamnya lagi dengan tangan kananku.

BUHHGGG.

Panglima termundur dan aku langsung menginjak perutnya dengan kaki kananku.

“JIANCOOKKK.” Teriakku, sambil menginjak dengan kuatnya.

BUHGGGG.

“ARGGHHHH.” Panglima kesakitan dan tubuhnya terlempar kebelakang.

Aku yang benar – benar emosi karena sahabatku baru dibantai itu, langsung maju lagi dan,

BUHHGGG.

Sebuah hantaman keras menghantam wajahku, dan membuat aku termundur beberapa langkah.

“Kubunuh kamu.” Ucap Cak Bagong yang baru saja menghantam wajahku.

“Persetan dengan kamu.” Ucapku dan ketika aku akan maju untuk menyerang Cak Bagong, tiba – tiba ruangan ini dipenuhi aura mistis yang sangat menakutkan dan membuat langkahku terhenti.

Emosiku yang meledak ledak ini, langsung mereda dan hilang seketika. Bajingaann.

Aura apa ini dan siapa yang membawanya.? Kenapa aura ini baru terasa sekarang.? Gilaaa.

“Aku terlambat ya.?” Ucap seseorang dari arah pintu gudang dan semua mata yang ada digudang ini, langsung tertuju pada orang yang baru datang itu.

“Pakde Irawan.” Ucapku yang terkejut dengan kehadiran orang itu.

Pakde Irawan tampak berdiri dengan tatapan mata merah khas keluarga Jati. Tatapan itu terlihat mengerikan dan mematikan, sehingga membuat takut bagi siapa saja yang melihatnya.

“Kalian ini memang kurang ajar. Masa menghadapi dua orang mahasiswa, harus main keroyokan seperti ini.” Ucap Pakde Irawan, lalu beliau melangkah kearahku sambil menghisap rokok andalannya.

“I, I, Irawan.” Ucap Cak Herman yang terbata.

“Herman. Kamu mau duel sama aku.?” Tanya Pakde Irawan dan beliau sudah berdiri disebelahku.

Cak Herman tidak bersuara dan dia langsung mundur satu langkah kebelakang, dengan kedua kaki yang bergetar.

“Jadi siapa yang mau duel sama aku.?” Ucap Pakde Irawan lagi.

Semua orang diruangan ini tidak ada yang bersuara dan menjawab tantangan Pakde Irawan.

“Sayang banget, aku harus menyelamatkan pemuda ini. Kalau tidak, aku akan membantai kalian semua sampai tidak bersisa.” Ucap Pakde Irawan sambil melihat kearah Joko yang tertelungkup.

Pakde Irawan melangkah kearah Joko dan beliau langsung membalikan tubuh Joko perlahan, lalu membopong tubuh Joko dengan kedua tangannya.

Pakde Irawan melangkah kearahku dan berhenti tepat didepanku, tanpa melihat kearahku.

“Cukup pertarunganmu malam ini. Kita obati sahabatmu ini dulu.” Ucap Pakde Irawan.

“Tapi Pakde.” Ucapku terpotong dan Pakde Irawan langsung melihat kearahku dengan tatapan matanya yang memerah.

Aku langsung menundukan kepalaku dan Pakde Irawan melangkah keluar gudang. Dengan langkah gontai aku lalu mengikuti Pakde Irawan dibelakangnya.

Jujur aku masih belum puas dan aku ingin membantai Panglima, karena dia sudah membuat kedua tangan Joko patah dan Joko tidak sadarkan diri. Aku juga belum puas karena belum mendapatkan informasi tentang siapa itu Mr. Cruel. Tapi karena tatapan mata Pakde Irawan serta kondisi Joko yang kritis dan harus segera diobati, aku harus mengubur sementara emosi dikepala. Ingat, hanya sementara, karena aku akan kembali lagi untuk menuntaskan semuanya.

Dan sekarang, kami telah berada dimobil yang dikemudikan Pakde Irawan. Aku duduk didepan bagian kiri, sementara Joko yang belum sadar, ditidurkan dikursi tengah.

Oh iya. Beliau yang duduk disebelahku ini namanya Pakde Irawan. Beliau ini anak tertua dari Mbah Jati, sang preman yang terkenal dikotaku dan dipropinsi ini. Pakde Irawan sudah lama meninggalkan pulau ini dan entah kenapa, hari ini beliau datang menolongku dan juga Joko. Pakde Irawan ini orang yang sangat misterius dan beliau ini juga disegani sama seperti Mbah Jati.

Bagaimana bisa aku mengenal Pakde Irawan.?

Pakde Irawan ini menikah dengan Bude Anjani, anak dari Mbah Ranajaya. Sedangkan Mbah Ranajaya itu sepupu dua kali dari mbahku. Jadi Pakde Irawan itu masih ada hubungan keluarga denganku, walaupun keluarga jauh.

Aku tidak tau Pakde Irawan ini masih mengingatku atau tidak, karena waktu beliau menikah dengan Bude Anjani, aku masih sangat kecil sekali.

Tapi kalau beliau tidak mengingatku, kenapa beliau datang menyelamatkan aku.? Apa tujuan beliau sebenarnya.?

Hiufftt, huuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku memegang wajahku yang bonyok ini. Kedua kelopak mataku masih lumayan bengkak, tapi gak separah tadi. Wajahku tadi sudah dibasuh oleh cairan yang dibawa Pakde Irawan dan aku juga sudah meminum ramuan yang juga dibawa Pakde Irawan. Seluruh wajah dan tubuh Joko juga sudah dibasuh oleh Pakde Irawan, tapi Joko belum meminum ramuannya. Ini pasti ramuan dari Desa Jati Bening yang tersohor itu. Ramuan yang bisa mengurangi rasa sakit dan mengeringkan luka dengan cepat.

“Bagaimana kondisimu Lang.?” Ucap Pakde Irawan dan aku langsung melihat kearah wajah samping beliau, yang sedang konsentrasi menyetir. Aku terkejut karena beliau mengingatku dan memanggil namaku.

“Pakde masih ingat saya.?” Tanyaku dan Pakde Irawan hanya melirikku sebentar, lalu melihat kearah depan lagi.

“Kenapa Pakde menyelamatkan saya dan Joko.?” Tanyaku lagi, sebelum Pakde Irawan menjawab pertanyaanku tadi.

“Semua sudah jalannya dan aku memang harus membantumu.” Ucap Pakde Irawan dengan santainya.

“Tapi kenapa Pakde.? Saya mau tau alasannya.” Tanyaku yang tidak puas mendengar jawaban Pakde Irawan.

“Kamu sering membantu orang lain, apa itu perlu memakai alasan.?” Pakde Irawan bertanya balik dan aku hanya bisa menarik nafasku dalam – dalam lagi.

“Kalau kamu bisa memberikan aku satu alasan saja. Aku akan memberikan jawaban untuk pertanyaanmu itu.” Ucap Pakde Irawan dan membuatku semakin terdiam.

Untuk beberapa perbuatan baikku, aku mempunyai alasan karena aku ingin membalas budi baik orang yang pernah menolongku. Tapi banyak hal yang aku lakukan, padahal aku tidak pernah mengenal baik orang itu sebelumnya. Salah satu contoh, mistery kematian Mas Hendra dan Intan yang ingin aku pecahkan. Walaupun sekarang aku mencintai Intan, tapi sebelumnya aku tidak pernah mengenal Intan dan tiba – tiba aku mau membantunya. Sedangkan untuk Mas Hendra, aku malah hanya mengenalnya dari cerita – cerita orang desaku dan aku tidak mempunyai hubungan saudara dengan Mas Hendra. Itu salah satu contoh dan masih banyak hal yang tidak bisa aku ungkapkan satu persatu. Gila gak.? Terus kalau Pakde Irawan bertanya seperti ini, aku harus menjawab apa.?

Akhirnya, akupun terdiam dan tidak melanjutkan pertanyaanku. Kami berdua berdiam diri dan mobil ini terus melaju entah kemana.

Setelah cukup lama perjalanan, mobil kami berhenti disebuah rumah, didesa yang jauh jaraknya dari kota pendidikan.

“Rumah siapa ini Pakde.?” Tanyaku.

“Ini rumah tukang urut. Kita urutkan dulu tangan Joko yang patah.” Jawab Pakde Irawan.

Pakde Irawan tidak mematikan mesin mobilnya dan beliau masih tetap duduk ditempatnya.

“Oh iya, tidak usah berbicara kepada siapapun, tentang kehadiranku malam ini. Kamu juga tidak usah bercerita kepada Joko, kalau aku dan kamu kerumah ini untuk mengobati tangannya yang patah.” Ucap Pakde Irawan yang membuatku terkejut.

“Kenapa Pakde.?” Tanyaku.

“Jangan bertanya lagi dan lakukan saja perintahku ini, apapun yang terjadi nanti.” Ucap Pakde Irawan, sambil menatapku.

Tatapan beliau sudah tidak memerah, semenjak kami berada mobil tadi. Tapi tetap saja, tatapan itu terlihat menakutkan dan aku tidak berani terlalu lama menatapnya.

“Aku harap kamu benar – benar mengingat setiap perkataanku tadi Lang.” Ucap Pakde Irawan, lalu beliau mematikan mesin mobil dan turun dari mobil ini.



#Cuukkk. Kenapa sih Pakde Irawan ini.? Beliau ini adalah manusia yang paling misterius, tapi juga menakutkan, tapi juga baik, tapi juga terlihat sadis, tapi juga.. Ahhh, Jiancuukk.
Mantap update nya suhu @Kisanak87 ..
 
Ternyata benar dugaan saya bahwa hendra tidak mati bunuh diri tetapi di bunuh mr. Cruel.. Sepertinya intan juga di bunuh makannya masih jadi arwah gentayangan sampai sekarang.. Dan ternyata sang manusia misterius irawan jati datang membantu gilang dan joko..dan itu mungkin alasannya irawan jati langsung menantang herman pas pondok merah menyerang desa utara..ada dendam lama sepertinya antara irawan sm herman.. sayang gilang dan joko ga ikut serta sm pondok merah pas menyerang desa utara.. Ntah apa alasannya hanya suhu kisanak yg tau.. Heheheh.. Semongko
 
Wes...wes...wes...Rak ono Obat e Tenan Rak Iso Komen Opo-Opo....
Anda Paling Best Pokok E Suhu Kisanak87,update kali ini sungguh WoW WoW WoW Seng Ada Lawan E,Gak Sabar Nunggu Kelanjutannya Pasti Sik Asik Dan Mak Nyuusss karena Sang Maestro Irawan Jati sudah tampil di IMPIAN pasti cerita ini tambah Mbledos,Aku Tunggu Suhu Kisanak87 Next Episode nya tetap Sangat Sehat Selalu We Love U
SALAM SEMONGKO
SALAM SEMPROT "JAYA SELAMANYA"
 
Jancoookkkkk,,,sang legenda mata merah Irawan muncul,,,,,,asuuuuuuuuu
Gilang walau tanpa kekuatan mata bisa bantai beberapa orang termasuk yang disebut 'panglima',,,,kereeen abiisss
Joko yang asli keturunan sumber banyu sepertinya belum sepenuhnya keluar kekuatannya yang entah itu apa ane belum bisa menebak,,,saaaluuuttttt
Mr.Cruel apakah dia Cakra?misteri yang sepertinya masih perlu nunggu dengan sabar.
Jadi inget scene sandi bantai Zaki,,tipikalnya sama kaya Irawan,,,lonewolf sejati. Datang sendirian tapi bikin lawan gemetaran ngelihat penampakannya.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd