Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2



BAGIAN 37
MEMULAI PERJALANAN



“Mas Rendi. Sampean yang hari itu datang sama rombongan Mas Pandu, waktu kedua orang tua Mas Joko gak ada kan.?” Tanya adikku Damar ke Rendi.

“Emang kenapa Mar.?” Rendi bertanya balik.

“Rombongan sampean keren Mas. Apalagi semuanya pakai jaket merah yang ada tulisan “red custle” dipunggungnya, tambah kelihatan sangar.” Ucap Damar dengan wajah yang terlihat kagum.

“Ah, biasa aja itu.” Jawab Rendi dengan gayanya yang santai.

“Memangnya itu perkumpulan apa sih Mas.?” Tanya Damar lagi.

“Komunitas pencinta dangdut De.” Sahutku.

“Bangsat. Hahahaha.” Maki Rendi lalu tertawa.

“Sampean gak ikut perkumpulan itu Mas.?” Tanya Damar yang percaya dengan ucapanku.

“Masmu ini seleranya terlalu tinggi Mar.” Rendi yang menjawab pertanyaan Damar.

“Tinggi rendahnya selera seseorang, bukan dirinya sendiri yang menilai, tapi orang orang lain. Dan untuk aku, aku gak perduli orang lain menilai aku seperti apa.” Sahutku.

“Cok. serius banget sih jawabanmu.” Ucap Rendi yang melirikku, sambil mengeluarkan rokoknya, lalu membakarnya.

“Ini bahas apa sih sebenarnya.?” Tanya Damar dengan wajah yang kebingungan dan aku hanya tersenyum saja.

“Kopi, kopi.” Ucap Lintang yang datang dari dalam rumah, sambil membawa nampan yang berisi dua gelas kopi.

“Wah, enak banget ini. Suasana pagi buta yang indah seperti ini, ditemani sama segelas kopi.” Ucap Rendi dengan wajah yang sangat senang sekali.

Oh iya, di pagi buta ini, aku, Rendi dan Damar, sedang duduk dibalai – balai bambu diteras rumahku. Ibu dan Mery sedang sibuk didapur, sementara Bapakku lagi menyiapkan peralatan untuk kesawah.

“Mas Trisno sudah gak kuliah lagi ya Mas.?” Tanya Lintang, setelah meletakkan nampan di dekatku.

“Gak tau.” Jawabku.

“Masa sampean gak tau Mas.? Sampean kan satu kampus.” Ucap Lintang.

“Mahasiswa kampus teknik kita itu, jumlahnya ribuan De. Jadi gak mungkin aku memperhatikan satu persatu mahasiswa yang berkuliah atau tidak. Buang – buang waktu.” Jawabku lalu aku menyeruput kopi panas ini.

Sruuppppp.

“Ahhhhhh.” Ucapku sambil meletakan gelas kopiku dinampan lagi.

“Mas Gilang itu bukannya gak tau, tapi malas tau. Mana mau Mas Gilang ngurusin si ndowe (Mulut yang suka menganga.) itu.” Sahut Damar.

“Damar. Gak boleh nyebut nama Trisno dengan sebutan itu.” Ucapku dengan mata yang sedikit melotot.

“Hahaha. Kelihatannya Damar punya dendam pribadi sama si ndowe Lang.” Ucap Rendi yang ikut – ikutan menyebut Trisno, dengan sebutan si ndowe.

“Hehehe.” Damar pun hanya tertawa saja.

“Kamu kenapa ikut – ikutan nyebut Trisno dengan panggilan si ndowe Ren.? Jangan – jangan kamu yang punya dendam sama dia.?” Tanyaku ke Rendi.

“Enggak, aku gak punya masalah sama anak itu. Cuman kalau aku lihat bibirnya yang ndowe itu, rasanya pengen kutinju aja. Hehehe.” Ucap Rendi lalu tertawa.

“Iya Mas, Damar juga seperti itu. Hahaha.” Sahut Damar lalu dia ikut tertawa.

“Iiiihhh. Kok ngomongnya gitu sih.? Lintang kedapur aja kalau gitu.” Ucap Lintang.

“Makasih kopinya ya Ade manis.” Ucap Rendi ke Lintang.

“Sama – sama Mas ganteng.” Jawab Lintang lalu berjalan kearah dapur.

“Mas Trisno itu sudah beberapa bulan gak masuk kuliah. Teman – teman satu kosan Mas Trisno mengadukannya ke Pak Tejo dan istrinya, waktu beliau berdua ke Kota Pendidikan.” Ucap Damar bercerita.

“Terus.?” Tanya Rendi.

“Ya MasTrisno langsung diangkut pulang hari itu juga.” Jawab Damar.

“Cok. Memangnya dia sapi, pakai acara diangkut.?” Tanya Rendi.

“Dia bukan sapi Mas, tapi sekarang jadi penjaga sapi. Hahaha.” Ucap Damar lalu tertawa.

“Hahaha.” Rendi pun ikut tertawa senang.

“Sudah, sudah. Ngapain juga sih kita bahas dia.? Lebih baik kita mandi di sungai aja.” Ucapku lalu aku menyeruput kopiku lagi.

“Kalau mau mandi, harus ke sungai ya.?” Tanya Rendi kepadaku.

“Iya lah, segar tau Mas.” Sahut Damar.

“Oke.” Ucap Rendi lalu dia berdiri dengan semangatnya.

“Eh, kalian mau kemana.?” Tanya Mery yang baru keluar dari ruang tengah.

Suara Mery terdengar lembut dan wajahnya terlihat ceria, tidak seperti semalam.

“Mau mandi disungai.” Jawabku.

“Ikutan dong.” Ucap Mery.

“Jangan Mba, gak boleh mandi bareng sama laki – laki. Perempuan itu ada tempatnya sendiri.” Ucap Lintang dibelakang Mery.

“Emang kenapa.?” Tanya Mery sambil menoleh ke arah Lintang, lalu melihat ke arahku.

“Ya gak boleh aja Mba. Masa cewe sama cowo mandi bareng sih.?” Sahut Damar.

“Iya, tapi alasannya apa.?” Tanya Mery lagi.

“Gak boleh Ndhuk.” Ucap Bapakku dan kami semua langsung melihat ke arah beliau. (Ndhuk = Panggilan untuk anak perempuan dipulau ini.)

“Eh, Bapak.” Ucap Mery.

“Gak baik perempuan dan laki – laki mandi bersama disungai desa ini.” Ucap Bapakku.

“Iya Pak. Maaf.” Ucap Mery dan tidak berani bertanya lagi atau membantah ucapan Bapakku.

“Kita tetap boleh mandi disungai kok Mba. Tapi tempatnya terpisah.” Ucap Lintang.

“Ya sudah, kalian pergi mandi sana.” Perintah Bapak lalu beliau masuk kedalam rumah lagi.

“Mas, Damar mau ambil air dulu ya.” Ucap Damar kepadaku dan aku langsung menganggukan kepalaku.

Aku lalu mengambil perlengkapan mandi, setelah itu kesungai bersama Rendi.

Suasana desa Sumber Banyu pagi ini, diselimuti sedikit kabut dan hawanya sangat sejuk sekali.

“Adem, tenang dan damai.” Ucap Rendi lalu dia mengisap dalam – dalam nafasnya.

“Ya inilah desa Sumber Banyu.” Ucapku.

“Udaranya segar banget.” Ucap Rendi lalu dia membakar rokoknya.

“Segar kok malah bakar rokok.” Ucapku sambil mengeluarkan bungkusan rokokku juga.

“Terus kenapa juga kamu mau rokokkan.?” Tanya Rendi.

“Temanin kamu biar gak kesepian.” Jawabku lalu aku membakar rokokku.

“Assuuu.” Maki Rendi dan kami berdua terus berjalan.

Didepan sana tampak rumah Pak Nyoto dan terlihat Bu Nyoto sedang menyapu halaman rumahnya. Dengan posisi membelakangi kami dan sedikit membungkuk, bodi semok Bu Nyoto terlihat jelas dibalutan jarik yang dikenakannya.

“Cok. Ngeri juga tante – tante desa ini ya.?” Ucap Rendi yang ternyata melihat kearah bokong Bu Nyoto yang semok itu.

“Ya iyalah. Gak kalah sama Tante – tante yang ada dikota.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Kalau dilihat dari lekukan bodinya, kelihatannya cantik banget perempuan itu.” Bisik Rendi dan jarak kami sudah dekat dengan Bu Nyoto.

“Hem.” Jawabku singkat, bertepatan dengan Bu Nyoto selesai menyapu dan membalikan tubuhnya ke arah kami.

“Eh Gilang. Kapan datang.?” Tanya Bu Nyoto yang terkejut, sambil mengelap keringatnya dikening, menggunakan punggung tangan kirinya.

“Semalam Bu.” Jawabku sambil menghentikan langkahku, tidak jauh dihadapannya..

“Bagaimana kabarnya.? Lancar ajakan kuliahnya.?” Tanya Bu Nyoto.

“Iya Bu.” Jawabku dan Bu Nyoto langsung tesenyum dengan manisnya.

“Ini teman kuliahnya.?” Tanya Bu Nyoto sambil melihat ke arah Rendi, lalu melihat ke arahklu lagi.

“Iya Bu. Saya temannya Gilang.” Sahut Rendi sambil mengangguk.

“Oooo.” Ucap Bu Nyoto dan tatapan beliau ke arahku, terlihat menggoda.

“Eh Gilang. Gimana kabar Le.?” Tiba – tiba Pak Nyoto keluar dari dalam rumah.

“Baik Pak. Bagaimana kabar Bapak, sehatkah.?” Tanyaku balik.

“Ya beginilah.” Ucap Pak Nyoto sambil mendekat ke arahku dan aku langsung mengajak beliau bersalaman. Aku lalu mencium tangan kanan beliau, setelah itu beliau bersalaman dengan Rendi.

“Gimana kuliahmu, kapan kamu lulus.?” Tanya Pak Nyoto kepadaku.

“Semoga tahun depan selesai Pak.” Jawabku dan Rendi langsung melihat ke arahku.

“Guntur sudah kusuruh berhenti kuliah. Mau kunikahkan sama Kinanti aja dia itu.” Ucap Pak Nyoto dan langsung membuat kupingku panas.

Bu Nyoto yang berdiri dibelakang Pak Nyoto, memejamkan kedua matanya perlahan, seperti mengkodeku untuk bersabar.

“Memangnya ada apa dengan Guntur Pak.?” Tanya Rendi.

“Loh, kamu kenal sama anak saya ya.?” Tanya Pak Nyoto ke Rendi.

“Gak kenal dekat sih Pak, cuman sama – sama tau aja, karena kami satu kampus.” Jawab Rendi.

“Oh Gitu.” Ucap Pak Nyoto.

“Guntur itu sama seperti Trisno. Mereka berdua berfoya – foya di Kota Pendidikan, sampai jarang masuk kuliah. Jadi untuk apa saya biayai lagi. Mending saya suruh nikah, terus ngurus salah satu penggilingan padi punya saya.” Ucap Pak Nyoto lagi.

“Oooo. Begitu ya Pak.” Ucap Rendi sambil mengangguk.

“Pak, saya permisi dulu ya. Mau mandi disungai.” Ucapku yang langsung memotong pembicaraan mereka, karena aku malas terlalu lama berhadapan dengan Pak Nyoto.

“Oh iya Le.” Jawab Pak Nyoto.

“Pamit Bu.” Ucapku ke Bu Nyoto.

“Iya Lang, hati – hati ya.” Jawab Bu Nyoto.

Aku langsung merangkul pundak Rendi dan menariknya berjalan.

“Eh.” Ucap Rendi yang terkejut.

“Permisi Pak.” Pamit Rendi ke Pak Nyoto.

“Iya le.” Jawab Pak Nyoto. (Le = Tole = Panggilan anak laki – laki dipulau ini.)

Aku terus merangkul pundak Rendi sampai menjauh dari rumah Pak Nyoto.

“Kenapa sih buru – buru.?” Tanya Rendi sambil melepaskan rangkulanku.

“Kalau lama – lama disana, Pak Nyoto bisa bercerita sama kamu, tentang seluruh harta kekayaannya yang ada didesa ini.” Jawabku dan kami berdua sudah mulai melewati jalan setepak, yang berada dipinggir persawahan.

“Bisa begitu ya.?” Tanya Rendi dan tidak terasa, sungaipun sudah mulai terlihat didepan sana.

“Bisa aja lah.” Jawabku singkat.

“Oooo. Tapi ngomong – ngomong, kakaknya Guntur tadi cantik juga ya.” Ucap Rendi dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Yang mana.?” Tanyaku dengan herannya.

“Itu yang nyapu dihalaman tadi.” Ucap Rendi.

“Cok. Itu istrinya Pak Nyoto. Ngawur aja kamu ini.” Ucapku dan Rendi langsung terkejut dibuatnya.

“Bajingan. Masa dia istrinya Pak Nyoto sih.? Umur berapa dia mengandung Guntur.?” Tanya Rendi.

“Beliau itu istri mudanya Pak Nyoto dan beliau itu Ibu tirinya Guntur.” Jawabku.

“Cok. beruntung banget Pak tua itu.” Ucap Rendi sambil menggelengkan kepalanya.

“Sudahlah, gak usah bahas keluarga beliau.” Ucapku.

“Kenapa kamu sewot begitu sih.?” Tanya Rendi.

“Yang sewot siapa.?” Tanyaku sambil menatap wajahnya.

“Kok wajahmu aneh begitu.? Jangan – jangan kamu cemburu ya.?” Tanya Rendi lalu dia tersenyum dengan pandangan yang meledek.

“Yang cemburu siapa sih.? Gak usah aneh – aneh kamu ya Ren.” Ucapku sambil mengalihkan pandanganku.

“Bangsat. Makanya Bu Nyoto ngelihatin kamu kayak gitu, rupanya kalian berdua main gila ya.?. Bajingan kamu Lang. Hahaha.” Ucap Rendi yang semakin ngelantur aja.

“Djiancok.!” Makiku.

“Hahaha. Hup.” Rendi tertawa dengan kerasnya, lalu tiba – tiba dia terdiam sambil melihat ke arah sungai.

“Kenapa kamu itu.?” Tanyaku.

“Gila, keren banget pemandangan disungai ini.” Ucap Rendi sambil melihat ke arah hulu sampai hilir sungai, dengan pandangan yang sangat takjub sekali.

“Hati – hati. Nanti punyamu bisa mengkerut kalau masuk ke dalam sungai.” Ucapku lalu aku membuka kaosku, setelah itu aku membuka celana yang kukenanakan dan menyisakan celana dalam yang menempel diselangkangan.

“Anjing. Sudah main buka baju aja kamu Lang.” Ucap Rendi dan dia juga membuka pakaiannya, sampai telanjang bulat.

“Woi, woi, woi. Kenapa kamu telanjang bulat.?” Tanyaku, sambil melihat ke arahnya sebentar, lalu melihat ke arah sungai lagi.

“Aku gak bawa baju ganti. Lagian disinikan gak ada perempuan.” Ucap Rendi, lalu dia menutupi selangkangannya, dengan kedua tangannya.

“Nggilani koen cok.” (Menjijikan kamu cok.) Ucapku lalu aku berlari ke arah sungai, dan.

Byur. Blup, blup, blup.

Aku menyelam kedalam sungai yang jernih, segar dan sangat bersih ini. Lalu setelah beberapa saat, aku memunculkan kepalaku sambil mengayuhkan kedua kakiku, agar tubuhku mengambang di air.

“Mulutmu Lang. Kamu itu sebenarnya kepengen lihat punyaku yang besar dan kekar ini kan.?” Tanya Rendi sambil melepaskan pegangan ditengah selangkangannya, lalu dia menunjuk ‘peliharaannya’ itu sambil tersenyum, kemudian dia berlari ke arahku.

“AAAAAA.” Teriak Rendi dengan senangnya, lalu.

Byur.

Rendi menyelam tepat didepanku, setelah itu dia muncul dibelakangku.

“Wahhh. Gila. Seger banget cok.” Ucap Rendi sambil merapikan rambut panjangnya, yang menutupi wajahnya.

“Jangan dekat – dekat aku.” Ucapku sambil berenang menjauh dari Rendi.

“Kurang ajar. Kamu kira aku mau perkosa kamu gitu.? Bajingan.” Ucap Rendi, lalu dia berenang gaya punggung dan menampakan ‘peliharaannya’ dipermukaan air.

‘Peliharaannya’ itu seperti melihat ke arahku sambil tersenyum mengejek.

“Assuu.” Makiku sambil memercikan air ke arahnya, menggunakan telapak tangan kananku.

“Hahahaha.” Rendi tertawa senang, sambil terus berenang.

Gila juga anak satu ini. Aku kira anaknya anteng dan kalem, tapi ternyata otaknya geser juga. Bajingan.

Aku lalu berenang ke pinggir sungai, untuk menyabuni seluruh tubuhku, lalu aku berenang lagi ketengah sungai. Giliran Rendi menyabuni tubuhnya, lalu setelah itu masuk kesungai lagi dan berenang dengan semangatnya. Rendi seperti melepaskan semua beban pikirannya di aliran sungai ini.

“Ahhhh.” Ucap Rendi sambil menegakkan tubuhnya, lalu dia merapikan rambutnya kebelakang.

“Jangan lama – lama berenangnya Ren.” Ucapku lalu aku berenang kepinggir sungai.

“Kenapa emangnya.?” Tanya Rendi dan dia masih berada ditengah sungai.

“Manukmu dicucup pacet loh.” (Burungmu disedot lintah loh.) Jawabku dan aku keluar dari sungai, lalu duduk diatas batu besar.

“Bangsat. Serius kamu Lang.?” Tanya Rendi dengan paniknya, lalu dia berenang kepinggir sungai dengan cepatnya.

“Hahahaha.” Aku tertawa dengan kerasnya, lalu aku meraih rokokku dikantong dan mengambilnya sebatang.

“Bajingan. Kamu ngerjain aku ya.?” Omel Rendi dan dia sudah keluar dari sungai.

“Hahaha.” Aku terus tertawa, lalu aku membakar rokokku.

Rendi mengambil sempaknya, setelah itu dikenakannya, lalu dia duduk disebelahku.

“Taik kamu itu.” Gerutu Rendi sambil mengambil bungkusan rokokku, lalu dia mengambil sebatang dan membakarnya.

“Kamu jadi balik hari ini.?” Tanyaku lalu aku menghisap rokokku. Kami berdua sama – sama melihat ke arah sungai yang ada dihadapan kami.

“Kamu ngusir aku.?” Tanya Rendi sambil melihat ke arahku sebentar, setelah itu melihat ke arah depan lagi, sambil merapikan rambutnya kebelakang.

“Mulutmu Ren. Kan tadi malam kamu sendiri yang bilang, kalau kamu menginap semalam aja didesaku.” Ucapku.

“Eleh. Bilang aja kalau kamu ngusir aku.” Sahut Rendi.

“Gak lama kusikut loh mulutmu.” Ucap dan Rendi langsung tersenyum.

Kami berdua lalu diam sambil melihat ke arah hutan yang ada seberang sungai.

“Seram juga kelihatannya itu Lang.” Ucap Rendi dan nada bicaranya berubah menjadi serius.

“Namanya hutan terlarang dan hutan itu mengelilingi mata air sungai ini Ren.” Jawabku.

“Kenapa disebut hutan terlarang dan dimana mata airnya.?” Tanya Rendi sambil melihat ke arahku.

“Tempat mata airnya disana.” Jawabku sambil menunjuk ke hulu sungai.

“Dan kenapa disebut hutan terlarang.? karena orang yang masuk kedalam sana, tidak ada yang bisa keluar.” Ucapku lagi.

“Serius.? Jadi gak ada orang yang berani masuk kehutan itu.?” Tanya Rendi lalu dia menghisap rokoknya.

“Ada.” Jawabku singkat.

“Katamu tadi orang yang masuk kedalam sana, gak bisa keluar. Gimana sih kamu ini.?” Tanya Rendi.

“Kan gak setiap orang. Buktinya aku sama Joko bisa.” Ucapku dan Rendi langsung melihat ke arahku.

“Bajingan. Serius kamu sama Joko sudah masuk kedalam sana.?” Tanya Rendi dengan wajah yang semakin terlihat terkejut.

Aku hanya memainkan kedua alis mataku dan Rendi langsung menggelengkan kepalanya pelan.

“Orang gila.” Gumam Rendi dan kembali kami berdua melihat ke arah hutan terlarang itu.

“Oh iya. Ngomong – ngomong, beneran tahun depan kamu mau wisuda.?” Tanya Rendi.

“Semoga.” Jawabku singkat.

“Emang kamu sudah PKN.?” Tanya Rendi lagi.

“Setelah Ujian Akhir semester ini.” Jawabku

“Terus tugas akhir mu bagaimana.? Sudah punya rencana mau ngambil judul apa.?” Tanya Rendi.

“Sudah.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku dalam – dalam, setelah itu aku membuang puntung rokokku.

“Kalau kamu.?” Tanyaku ke Rendi.

“Hehehe.” Rendi hanya tertawa pelan.

“Cepat selesaikan Ren. Jangan sampai kamu jadi mahasiswa abadi.” Ucapku lalu aku berdiri dan memakai pakaianku.

“Doamu jelek betul sih.?” Tanya Rendi dan dia juga berdiri, lalu memakai pakaiannya.

“Bukan mendoakan, tapi mengingatkan.” Ucapku lalu aku membalikan tubuhku, dan.

“Cok.” Makiku ketika melihat Mery dan Lintang yang berdiri sambil melihat ke arah kami.

“Ha.?” Rendi terkejut juga ketika membalikan tubuhnya.

“Lama banget sih pakai bajunya.?” Tanya Mery sambil melotot.

“Kamu dari tadi disini Mer.?” Tanyaku dan aku tidak menjawab pertanyaan Mery.

“Ya dari tadi lah Mas. Sampean habis mandi gak langsung pakai baju, malah ngobrol sempakan aja. Iiiiiiiiiiii.” Ucap Lintang sambil menggidikan tubuhnya.

Bajingan. Apa adikku melihat Rendi telanjang bulat.? Wah. Aneh – aneh aja Rendi ini. Assuu.

“Tapi kalian gak lihat.” Ucap Rendi terpotong.

“Lihat apa Mas.?” Tanya Mery.

“Enggak, enggak jadi.” Ucap Rendi dan terlihat dia salah tingkah.

“Gak jelas loh Mas Rendi ini.” Ucap Mery.

“Sudah ah, kita balik yuk.” Ucap Rendi dan dia berjalan duluan.

“Iya. Kita pasti sudah ditunggu Bapak sama Ibu.” Sahut Lintang sambil membalikan tubuhnya dan menarik tangan Mery.

“Duluan ya De. Mba Mery mau ngomong sama Mas Gilang sebentar.” Ucap Mery kepada Lintang dan Lintang pun langsung mengangguk, lalu dia berjalan menyusul Rendi.

“Mau ngomong sama aku.?” Tanyaku dan aku turun dari batu, lalu berjalan ke arah Mery.

“Iya.” Jawab Mery singkat dan aku menatap ke arah wajahnya yang ayu.

Rambutnya agak basah karena habis keramas, wajahnya terlihat segar, bola matanya terlihat sangat indah, bibirnya basah dan sangat menggoda sekali.

Cok. Wanita ini benar – benar sempurna dan dia wanita yang sangat cantik jelita. Laki – laki yang bisa mendapatkan cintanya, pasti akan menjadi orang yang paling beruntung didunia ini. Tapi apakah aku bisa menjadi laki – laki yang beruntung itu.? Arrgghhh. Kok pikiranku jadi ngelantur begini sih.?

Enggak, ini gak boleh terlintas dipikiranku. Selain karena dia adik sahabatku, cukup sudah beberapa wanita yang membuat kepalaku pusing. Kalau Mery aku jadikan ratu dihatiku juga, bisa geger geden (ribut besar) didalam otakku. Assuuu.

“Kenapa Mas Gilang lihat Mery begitu.?” Tanya Mery yang mengejutkanku dari lamunan.

“Karena kamu cantik.” Ucapku yang keceplosan.

Duh. Kok aku gak bisa mengontrol mulutku sih.? Kenapa juga mulutku bisa berbicara seperti ini.? Bajingann.

“Ha.?” Ucap Mery dengan yang terkejut dengan kedua mata yang terbuka lebar.

“A, a, anu Mer.” Ucapku terbata.

“Mas Gilang mau merayu Mery nih.?” Tanya Mery.

“A, a, anu Mer.” Ucapku dan aku benar – benar tidak bisa mengeluarkan kata – kata yang lain lagi.

Wanita ini benar – benar menaklukan aku lewat tatapan matanya dan dia membuatku tidak berkutik. Belum pernah aku segugup dan sebingung ini, ketika berhadapan dengan seorang wanita. Biasanya segugup – gugupnya aku ketika berhadapan dengan wanita lain, aku masih bisa mengendalikan pikiranku dan aku masih bisa berbicara dengan tenang.

Tapi entah. Entah kenapa ketika aku berhadapan dengan mahluk terindah dimuka bumi yang satu ini, aku bisa seperti ini. Aku benar – benar bertekuk lutut dihadapannya. Gila. Dan yang lebih gilanya, sekuat – kuatnya aku menolak pikiranku ini, aura Mery benar – benar luar biasa.

“Anunya Mas kenapa.?” Tanya Mery dan terlihat sekarang nada bicaranya sudah terlihat santai. Terlihat sekali dia ingin mencairkan suasana dan terlihat juga, dia mengulur waktu, agar aku bisa sedikit tenang.

Hiuufftt, huuuu.

“Anuku mengkerut, soalnya sempakku basah.” Ucapku dan sengaja jawabanku bercanda, agar pikiranku tidak larut dalam tatapan matanya.

“Iiihhhhh. Jorok banget sih.” Ucap Mery sambil mendorong dadaku pelan.

“Memang mengekerut kok.” Ucapku lalu aku berjalan meninggalkannya.

“Maka nya. Lain kali kalau mandi disungai, bungkus ‘anunya’ pakai daun pisang.” Ucap Mery dengan cueknya dan dia berjalan disebelahku.

“Cok. Memangnya ‘anuku’ lontong, pakai acara dibungkus daun pisang segala.?” Ucapku lalu aku melihat ke arah Mery.

“Mana Mery tau, itukan ‘anunya’ Mas. Weeee.” Ucap Mery lalu dia memeletkan lidahnya dan itu semakin membuatnya terlihat cantik sekali.

“Asuuu.” Gumamku pelan, lalu aku melihat ke arah depan lagi sambil terus berjalan.

“Sudah ah bahas masalah itu. Mery itu mau tanya sesuatu ke Mas Gilang.” Ucap Mery dan aku langsung menghentikan langkahku.

“Tanya apa.? Apa aku sudah punya pacar.? Itukah pertanyaanmu.?” Tanyaku dengan refleknya dan Mery juga menghentikan langkahnya.

“Mas ini kenapa sih.? Dari tadi kok pertanyaannya menyerempet ke masalah perasaan.? Mas Gilang suka dengan Mery.?” Tanya Mery tanpa basa – basi dan pertanyaan Mery itu, seperti menusuk jantungku dengan belati cintanya.

“A, a, anu Mer.” Ucapku yang kembali terbata dan aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.

“Dengar ya Mas. Supaya ini tidak berlarut – larut dan Mas Gilang tidak berandai – andai dengan pikiran Mas Gilang sendiri, Mery tegaskan ke Mas Gilang sekarang juga. Mery sudah punya kekasih hati dan tidak ada yang bisa menggantikannya sampai kapanpun.” Ucap Mery dan itu seperti petir yang menyambar dengan kerasnya.

Kata – katanya itu seperti tombak yang menusuk telingaku, seperti belati yang menyayat – nyayat hatiku, seperti pedang yang menebas dan mencacah – cacah seluruh tubuhku. Sakit tapi tak berdarah.

“Maaf Mer, aku bercanda aja dari tadi.” Ucapku yang berbohong dan dengan suara yang bergetar.

“Ooo, bercanda. Baguslah.” Ucap Mery sambil menganggukan kepalanya pelan dan dia menatap ke arah mataku.

Tatapan matanya seperti tau tentang kebohonganku, tapi terlihat dia tidak mau melanjutkan pembahasan yang menggathelkan ini.

“Oh iya Mas. Mery itu mau tanya tentang semalam.” Ucap Mery yang langsung mengalihkan pembicaraan.

“Apa itu.?” Tanyaku dan kali ini aku sudah focus dengan pertanyaan Mery.

“Kenapa semalam ada yang aneh dari tatapan Bapak dan Ibu, ketika melihat Mery turun dari mobil.?” Tanya Mery.

“Enggak kok. biasa aja.” Jawabku dan aku bingung harus jawab apa.

Jujur aku gak tau ada apa dengan kedua orang tuaku semalam, ketika melihat Mery datang. Bapak dan Ibu seperti melihat seseorang yang sudah lama tidak pernah dijumpai. Rasa rindu, sedih dan bahagia, dibungkus dengan keterkejutan yang sangat luar biasa. Sebenarnya aku ingin bertanya kepada beliau berdua, tapi belum ada kesempatan sampai saat ini.

Semalam setelah kedatangan kami bertiga, Bapak dan Ibu langsung menutupi rasa yang mereka rasakan, dengan mengajak kami semua mengobrol. Bapak dan Ibu dengan cepat membuat suasana yang penuh dengan kekeluargaan, sehingga aku melupakan kejadian yang agak mengganjal diawal pertemuan malam tadi.

Dan rupanya, Mery juga merasakan hal yang sama. Tapi maaf Mer, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu dan aku juga pasti akan menutupi apa yang aku lihat semalam. Nanti ketika kamu dan Rendi pulang ke Kota Pendidikan, baru aku akan bertanya kepada Bapak dan Ibu.

“Hiuufftt, ternyata Mas Gilang sama aja sama Ibu dan Bapak. Sama – sama menutupi sesuatu.” Ucap Mery dan dia langsung berjalan lagi.

Cok. Ternyata Mery ini luar biasa sekali kepeka’annya.

“Mer, Mery. Bukan begitu. Aku memang gak ngerti tentang semalam.” Ucapku dan aku berjalan disebelahnya.

“Mas Gilang memang gak ngerti, tapi Mas Gilang merasakan apa yang terjadi semalam kan.?” Tanya Mery.

“Aku gak memang gak ngerti Mer.” Ucapku.

“Sudahlah. Gak usah dibahas.” Ucap Mery dengan nada yang sedikit kecewa.

“Kok gitu.?” Tanyaku dan Mery hanya melirikku sambil tersenyum dengan dipaksakan.

Aku membalas lirikannya dan Mery kembali melihat ke arah depan.

“Eh iya Mer. Beneran kamu sudah punya kekasih hati.?” Tanyaku yang ingin mengalihkan pembicaraan, tapi dengan pertanyaan yang sangat bodoh sekali.

Entah kenapa aku malah membahas masalah hatinya, yang jelas – jelas tadi sudah menegaskan tidak ada peluang sedikitpun untukku. Assuuu.

“Kurang jelas ya penjelasan dari Mery tadi.” Jawab Mery sambil melirik ke arahku.

“Jelas banget, tapi aku masih kurang yakin.” Ucapku dan kembali Mery menghentikan langkahnya.

“Mas. Hati Mery sudah dipenuhi oleh cinta seorang laki – laki dan cinta itu pasti akan terus mengisi hati ini.” Ucap Mery dengan di iringi tatapan dinginnya.

“Siapa laki – laki beruntung itu.?” Tanyaku dan wajah Mery terlihat sedih beberapa saat, tapi dengan cepatnya dia menguasai dirinya lagi.

“Mas gak perlu tau orangnya.” Jawab Mery, lalu melanjutkan langkahnya lagi.

“Apa kamu yakin dengan orang itu.?” Tanyaku lagi.

“Yakin pakai banget.” Jawab Mery.

“Gak ada celah sedikitpun dihatimu.?” Tanyaku.

“Mas Gilang gak mencoba memaksa hati ini kan.?” Mery bertanya balik.

“Enggak kok, aku kan bertanya aja. Siapa tau ada celah sedikit dan kamu mau membuka cabang lain dihatimu.” Ucapku dengan nada sedikit bercanda.

“Apa sih Mas ini. Emangnya hati Mery ini perusahaan, yang bisa membuka cabang dimana – mana.?” Tanya Mery sambil menghentikan langkahnya lagi dan aku langsung terdiam membisu.

Bajingan. Kembali kata – kata Mery membuat gendang telingaku mendengung, karena kata – kata ini seperti kembali kepada diriku sendiri.

Jadi selama ini hati dan cintaku bercabang, karena hatiku seperti sebuah perusahaan yang berkembang.? Assuuu. Ini cinta apa berinvestasi sih.? Kok bodoh sekali pemikiranku selama ini.? Dan bodohnya aku, belum selesai masalah hatiku, sekarang aku malah mencoba membuka hatiku bagi wanita lain. Wanita yang ada dihadapanku saat ini. Djiancok.

“Mas. Sejak pertama kali Mery melihat Mas Gilang, Mery seperti memiliki ikatan yang sangat dekat dengan Mas Gilang. Ikatan cinta dan sayang, tapi bukan sebagai kekasih, melainkan sebuah ikatan kekeluargaan.”

“Sampai detik ini, perasaan Mery kepada Mas Gilang tidak berubah. Makanya Mery bertanya arti tatapan mata Bapak dan Ibu semalam, yang seperti menyembunyikan sesuatu.”

“Kalau saja sekarang bukan Mas Gilang yang bertanya tentang perasaan dihati ini dan bukan Mas Gilang yang berdiri dihadapan Mery, Mery pasti sudah meninggalkan Mas dari tadi.” Ucap Mery sambil menatap mataku dan langsung membuatku tertunduk.

Aku kalah dengan tatapan matanya dan dia wanita satu – satunya yang tidak bisa takluk dengan tatapan mataku. bajingan.

Malu aku cok, malu banget. Assuu.

“Dihati Mas Gilang ini ada cinta sejati dan cinta itu bukan untuk Mery. Mery yakin itu.” Ucap Mery sambil menyentuh dada bagian kiriku dan aku langsung mengangkat wajahku.

“Mas Gilang saat ini hanya mencari tempat pelampiasan untuk melepaskan kesepian hati, tanpa melibatkan sayang dan cinta Mas Gilang yang tulus.”

“Entah Mas Gilang menyadari atau tidak, cinta dan sayang Mas Gilang yang sangat tulus, ada di salah satu wanita – wanita disekitar Mas Gilang.”

“Ingat, hanya satu bukan semua.” Ucap Mery sambil terus memegang dadaku dan aku merasakan kedamaian yang sangat luar biasa, ketika Mery menyentuh dadaku.

“Sudah – sudahi jadi bajingan lendir, karena itu bukan sifat Mas Gilang.” Ucap Mery lalu dia tersenyum dengan manisnya.

“Cok.” Makiku pelan.

“Sekarang mari kita pulang, karena Ibu dan Bapak pasti sudah menunggu untuk sarapan bareng.” Ucap Mery lalu dia merangkul lengan kiriku dan menariknya pelan.

Mery menggelendot dilenganku, tapi tidak merapatkan tubuhnya. Dia seperti menjaga bagian dadanya, supaya tidak tersentuh sikutku.

Kami berdua pun akhirnya berjalan ke arah rumahku, tanpa berbicara lagi. Merypun menggelendot hanya beberapa menit, setelah itu dia melepaskannya.

“Lama banget sih.?” Tanya Damar ketika aku dan Mery sampai dirumahku.

“Pemandangan desanya sangat indah, jadi harus dinikmati perlahan.” Jawab Mery.

“Kalau begitu, menginap aja beberapa minggu disini.” Ucap Ibuku yang keluar dari dapur.

“Gak bisa Bu, Mery kan mau persiapan ujian akhir.” Jawab Mery sambil mendekat ke arah Ibuku.

“Ya sudah. Kalau begitu beberapa hari aja.” Ucap Bapakku.

“Gak bisa juga pak. Siang ini Mery sama Mas Rendi harus balik ke Kota Pendidikan.” Jawab Mery dengan nada yang sangat sedih dan kedua orang tauku langsung saling melihat. Tiba – tiba wajah kedua orang tuaku terlihat sangat sedih sekali.

“Kok buru – buru banget Mba.?” Tanya Lintang.

“Iya de. Mau persiapan ujian.” Jawab Mery dan jujur suasana rumahku sekarang diselimuti dengan kesedihan.

“Sudah ah. kita sarapan dulu yuk.” Ucapku sambil melirik ke arah Damar.

“Iya, perut Damar lapar.” Jawab Damar dan dia terlihat mengerti arti lirikanku.

“Oh iya. kita sarapan yuk.” Ucap Ibuku sambil merangkul Mery dan mengajaknya berjalan ke arah dapur.

“Ren. Makan dulu.” Ucapku kepada Rendi yang sedang asyik dengan rokoknya.

“Ya iyalah. Lapar aku ini.” Jawab Rendi lalu dia mematikan rokoknya, setelah itu dia berdiri.

Kami semua lalu sarapan pagi, dengan suasana yang kembali penuh kekeluargaan dan keakraban.

Siang hari Mery dan Rendi pamit untuk kembali ke Kota Pendidikan. Suasana haru dan diselingi dengan air mata Mery serta Ibuku, melepas kepergiannya.

Beberapa saat kemudian, Bapak pergi kesawah dan aku langsung menyusul beliau. Aku sudah tidak sabar untuk bertanya tentang siapa itu Mery dan apa yang membuat kedua orang tuaku sampai seperti itu, ketika melihat sosok seorang Mery.

Dan setelah sampai disawah, Bapak terlihat sedang duduk dipondok dipinggir sawah. Aku lalu mendekat ke arah pondok, setelah itu duduk dibalai – balai bambu didekat Bapak.

“Bagaimana keadaanmu nak.?” Tanya Bapak kepadaku.

“Baik Pak.” Jawabku sambil melihat ke Bapak, lalu aku tersenyum kepada beliau.

“Baik yang seperti apa, sampai kamu pulang kerumah mendadak seperti ini.?” Tanya Bapak dan aku pun menunduk sesaat, setelah itu melihat ke arah wajah beliau lagi.

“E, e.” Ucapku yang kebingungan, karena Bapak menatap mataku.

Bapak lalu memalinglan wajahnya, menatap lurus kedepan dan aku juga melihat ke arah depan juga.

“Emery Naila Unna. Anak dari Jefri Aminoto dan Irene Van Gerrit.” Ucap Bapak yang langsung membuatku bingung dan menoleh ke arah beliau lagi.

“Itu nama lengkap Mery dan kedua orang tuanya.” Ucap Bapak dan aku semakin bingung saja.

Bagaimana aku gak bingung.? Bapak bertanya tentang kabarku dan sepertinya beliau paham tentang tujuanku pulang. Entah dari mana beliau tau tentang itu. Tapi belum sempat aku mengobrol lebih lanjut tentang pembicaraan awal tadi, tiba – tiba Bapak membahas masalah Mery. Gila. Dan yang lebih gilanya, Bapak tau nama lengkap Mery dan juga kedua orang tuanya.

Apa hubungan kedatanganku dengan pembahasan tentang Mery.?

Aku memang ingin tau tentang siapa itu Mery, tapi kenapa pembahasannya dicampur aduk oleh Bapak.? Ahh. Sudahlah. lebih baik aku mendengarkan saja cerita lanjutan Bapak.

“Irene Van gerrit, seorang wanita tangguh keturunan van Gerrit dan negeri kincir angin dan juga keturunan dari desa Jati Bening. Sementara Jefri Aminoto, keturunan asli desa Sumber Banyu.” Ucap Bapak yang kembali mengejutkanku.

“Keturunan asli desa kita Pak.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.

“Iya. Keturunan Aji Minoto.” Jawab Bapakku.

“Ha.?” Lagi dan lagi ucapan Bapak membuatku terkejut.

Aji Minoto itu adalah kakek dari Bapakku. Berarti Bapaknya Mery itu sepupu dari Bapakku dan Mery sepupu dua kali dengan aku. Begitu kan.? Tapi bagaimana mungkin.? Bapak pernah bercerita, kalau kedua adik mbahku telah meninggal karena sakit dan kenapa tiba – tiba sekarang malah mempunyai anak. Ada apa sebenarnya ini.?

“Mbah Aji Minoto itu mempunyai tiga anak. Bapak Warji, Lek Narji dan Lek Tarji. Ketiga keturunan Aji Minoto ini hanya dikaruniai anak tunggal. Bapak Warji itu mempunyai anak Bapakmu ini, Lek Narji mempunyai anak bernama Jefri dan Lek Tarji mempunyai anak bernama Wati.” Ucap Bapakku mulai bercerita.

“Bu, bukannya Bapak pernah bercerita, kalau Mbah Narji dan Mbah Tarji telah meninggal diperantauan karena sakit.? Kata Bapak beliau berdua meninggal sebelum menikah. Ja, jadi bagaimana mereka mempunyai keturunan.?” Tanyaku dengan terbata.

“Lek Narji dan Lek Tarji pergi dari desa ini, kira - kira seusia denganmu nak. Beliau berdua memang sudah meninggal, tapi sebelum itu mereka sempat menikah dan mempunyai keturunan.” Ucap Bapak, lalu beliau menghentikan ceritanya.

“Kenapa Bapak baru bercerita dan kenapa Bapak tidak menceritakan masalah itu dengan Mery.? Terus dimana Lek Wati, anak dari Mbah Tarji.?” Tanyaku.

“Ini karena kemauan beliau berdua sendiri nak.” Jawab Bapakku dan itu semakin membuatku bingung.

“Lek Narji dan Lek Tarji pergi dari desa ini, karena merasa bersalah dengan Mbah Aji Minoto. Beliau berdua telah menerima kekuatan mata bening, yang oleh Mbah Aji Minoto tidak pernah digunakan, atau lebih tepatnya ditolak oleh Mbah Aji Minoto.” Jawab Bapakku.

“Lek Narji dan Lek Tarji tidak ingin keturunannya melakukan hal yang sama, jadi mereka menutupi asal usul mereka.”

“Ja, jadi Mbah Narji dan Mbah Tarji pergi karena telah menerima kekuatan itu.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar sambil melihat ke arah Bapak.

“Ya. Dan entah kebetulan atau tidak, setelah beliau berdua menikah dan mempunyai keturunan, berbagai musibah mulai berdatangan.”

“Lek Tarji, istrinya dan Wati, meninggal dalam sebuah kecelakaan.” Ucap Bapak dengan suara yang bergetar.

“Lek Narji dan istrinya meninggal karena sakit, lalu disusul Jefri dan istrinya yang meninggal dalam sebuah perampokan dirumahnya.” Ucap Bapak lagi dan langsung membuat seluruh tubuhku merinding.

“Ja, jadi Mery yatim piatu.?” Tanyaku dengan mata yang berkaca – kaca dan Bapakku langsung mengangguk pelan

“Kalau saja aku tidak terlambat di malam terkutuk itu, kemungkin Mery dan pengasuhnya bisa mati dihutan yang ada dibelakang rumah mereka.” Jawab Bapak dan mata beliau juga terlihat berkaca – kaca.

“Ba, Bapak.” Ucapku ketika Bapak menundukan kepalanya pelan.

“Penyesalan terbesar didalam hidupku adalah, aku datang terlambat di malam itu. Kalau saja aku datang lebih awal, bukan hanya Mery dan pengasuhnya yang aku selamatkan. Tapi mungkin aku juga bisa menyelamatkan kedua orang tua Mery dari para perampok jahanam itu.” Ucap Bapak dengan kesedihan yang sangat mendalam sekali

“Aku hanya bisa membawa Mery kerumah sakit dan hanya itu yang bisa aku lakukan.” Ucap Bapakku lagi.

“Hari itu benar – benar hari yang sangat berat bagi keluarga besar kita Nak. Mbah Aji Minoto menceritakan semua tentang kedua anaknya yang sudah meninggal itu. Mbah Aji yang merasa ajalnya sudah dekat, memintaku untuk mengumpulkan keluarga besar yang masih hidup, salah satunya adalah Jefri dan keluarganya.”

“Hari itu juga aku mencari Jefri, dengan berbekal petunjuk dari Mbah Aji. Tapi sayang semuanya terlambat.”

“Aku tidak bisa membawa Jefri dan istrinya karena sudah meninggal, aku tidak bisa membawa Mery karena dia terluka parah dan aku juga tidak sempat melihat detik – detik terakhir Mbah Aji.” Ucap Bapak dengan penuh penyesalan.

Cok. Jadi ini penyebab Bapak menghilang, ketika Mbah Aji meninggal waktu itu. Bapak pergi sehari semalam dan baru datang ketika Mbah Aji akan dikuburkan.

Hiuufftt, huuuu.

“Siapa pelaku perampokan itu Pak.?” Tanyaku dan dengan suara yang bergetar.

“Kelompok palu abang dan mereka semua sudah dihabisi oleh Papahnya Rendi bersama temannya.” Jawab Bapakku.

“Aku tidak bisa ikut dalam pesta itu, karena aku harus balik kedesa ini.” Ucap Bapak, setelah itu kami berdua berdiam diri beberapa saat.

Gila. Ini gila banget. Begitu beratnya berbagai macam musibah akibat pengaruh mata bening yang diterima Mbah Tarji dan Mbah Narji.

Dan entah ini kebetulan atau tidak, kedatanganku kali ini ingin melepaskan kekuatan yang ada di diriku. Kalau Mbah Tarji dan Mbah Narji menerima satu kekuatan yaitu mata bening, aku menerima dua kekuatan sekaligus. Mata hitam dan mata bening. Beliau yang menerima satu kekuatan saja, harus menanggung beban yang begitu besar, apalagi aku.? Kira – kira musibah apa yang akan aku dapatkan.? Atau jangan - jangan kelak keluargaku yang akan menangungnya.? Bajingan.

Aku harus segera melepaskan pengaruh mata hitam dan bening dalam diriku secepatnya, atau keluargaku akan menerima akibatnya. Kalau aku saja yang menerima akibatnya, aku tidak akan menyesalinya. Tapi kalau sampai istri atau anakku kelak yang akan menanggungnya, itu dosa yang sangat besar sekali bagiku.

Ternyata selain bisa menyakiti perasaan wanita yang ada disekitarku, anugrah yang membangsatkan ini bisa juga menyakiti keluargaku. Djiancok.

Aku harus pergi kehutan terlarang saat ini juga, sebelum semuanya terlambat. Aku harus melepaskan kekuatan ini, hari ini juga.

“Baliklah ke Kota Pendidikan.” Ucap Bapakku dengan nada yang sangat berat sekali.

“Maaf Pak, maaf. Gilang harus ke hutan terlarang saat ini juga.” Ucapku sambil berdiri.

“Jangan Nak. Jangan.” Ucap Bapak yang mencoba menahanku, sambil berdiri disebelahku.

“Pak. Gilang sudah terlalu ceroboh dan Gilang sangat malu dengan Bapak, karena Gilang sudah menerima kekuatan ini. Gilang gak mau, kalau dimasa yang akan datang, istri dan anak – anak Gilang yang akan menanggung akibat ini.” Ucapku sambil menoleh ke arah Bapak.

“Apa kamu yakin masuk kedalam sana.?” Tanya Bapak.

“Maksud Bapak.?” Tanyaku balik.

“Belum ada yang bisa melepaskan kekuatan yang sudah terlanjur masuk kedalam tubuhnya, termasuk Lek Narji dan Lek Tarji.” Jawab Bapakku.

“Beliau dulu pernah mencoba untuk melepaskan kekuatannya di hutan terlarang, tapi selalu gagal karena beratnya rintangan yang menghadang untuk masuk kedalam sana.”

“Dan konon menurut cerita leluhur kita, kalau sampai ada yang bisa menembus kedalam hutan, kemungkinan terbesar nyawanya akan melayang.” Ucap Bapak.

“Kalau ada kemungkinan terbesar, berarti ada kemungkinan terkecil Pak. Gilang akan tetap masuk kedalam sana, untuk meraih kemungkinan terkecil itu.” Ucapku.

“Jangan Nak. Masih ada satu cara lagi, kalau kamu ingin melepaskan kekuatan itu.” Ucap Bapak.

“Apa itu Pak.?” Tanyaku.

“Melakukan ritual tepat pada saat gerhana matahari, ketika fenomena itu datang didesa ini.” Jawab Bapakku.

“Pak. Gerhana matahari itu datangnya setiap 18 bulan sekali di suatu tempat di bumi, tetapi untuk tempat yang sama, diperkirakan hanya terjadi rata - rata setiap 360 hingga 410 tahun. Terus sampai kapan Gilang akan menunggu fenomena itu datang ke desa kita.?” Ucapku.

“Kira – kira beberapa tahun lagi Nak.” Jawab Bapakku.

“Beberapa tahun lagi, berarti Gilang sudah menikah dan berkeluarga. Bisa saja sebelum gerhana matahari itu datang, justru musibah yang lebih dulu menimpa istri dan anak – anak Gilang.” Ucapku.

“Nak. Terlalu besar resiko yang akan kamu hadapi, kalau kamu nekat kehutan terlarang saat ini.” Ucap Bapakku yang terus menahanku.

“Gilang sudah pernah masuk kedalam hutan terlarang dan Gilang juga sudah biasa mandi di sumber mata air didalam sana, jadi Bapak gak perlu terlalu khawatir. Lagian Bapak sudah tau Gilang ini seperti apa kan.? Kalau Gilang sudah bertekad akan sesuatu, walaupun kesempatannya sangat kecil, Gilang pasti akan mengejarnya.” Ucapku yang terus meyakinkan Bapak.

“Ini gak semudah yang kamu pikir nak. Dulu kamu pernah masuk kedalam hutan itu dan bisa keluar dengan selamat, karena kamu tidak memiliki tujuan dan ambisi. Tapi kalau sekarang.?” Ucap Bapakku yang terus mencoba menahanku.

“Pak. Gilang butuh restu dari Bapak dan setelah Bapak merestui Gilang dengan sangat ikhlas, Gilang pasti bisa masuk kedalam sana. Dengan kesempatan terkecil sekalipun, Gilang janji, Gilang pasti bisa keluar.” Ucapku dengan tatapan yang sangat memelas kepada Bapak.

“Baiklah Nak. Bapak akan merestuimu dengan sangat ikhlas. Tapi Bapak mohon kepadamu, kalau memang kamu tidak bisa menembus kedalam hutan, jangan memaksakan diri dan cepatlah pulang kerumah.” Ucap Bapak dengan suara yang bergetar dan aku langsung tersenyum.

Aku langsung meraih tangan kanan Bapak dan aku mencium punggung tangannya dengan lembut.

Cuuppp.

“Gilang mohon restu Pak.” Ucapku dan Bapak langsung memeluk tubuhku dengan erat.

“Bapak merestuimu Nak, Bapak merestuimu.” Ucap Bapak sambil mendekap tubuhku dengan erat.

Dada Bapak terasa bergetar dan Bapak menahan tangisnya. Beliau menepuk punggungku pelan, sambil bergumam sesuatu didekat telingaku. Entah apa yang di ucapkan Bapak, karena suaranya tidak begitu jelas.

Di dalam pelukan Bapak inipun, aku menguatkan hatiku dan aku juga menguatkan niatku. Aku telah berbuat kesalahan, karena aku menerima kekuatan mata bening dan mata hitam. Aku telah mengecewakan Bapak dan aku juga pasti mengecewakan Mbah Warji serta leluhurku terdahulu. Aku harus bisa menebus kesalahanku ini dan aku harus bisa keluar dari hutan terlarang.

Hiuufftt, huuu.

Beberapa saat kemudian, kami berdua melepaskan pelukan ini.

“Titip salam buat Ibu Pak. Tolong sampaikan, Gilang akan balik secepatnya.” Ucapku kepada Bapak, lalu aku tersenyum sambil membalikan tubuhku.

Aku berjalan pelan meninggalkan Bapak, yang terlihat mulai menitikkan air matanya.

Hiufftt, huuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Aku berjalan dengan keyakinan yang sangat kuat dan langkah yang begitu mantap.

Matahari sudah berada dibarat dan beberapa saat lagi akan terbenam, ketika aku sampai disungai. Aku lalu melewati sungai yang agak dangkal dan aku menginjak bebatuan yang agak besar, untuk menyebrangi sungai.

Setelah sampai disebrang sungai, aku disambut oleh pohon – pohon yang sangat besar dipinggir hutan.

Aku tatap pepohonan itu, sambil menghentikan langkahku.

“Permisi Mbah. Cucumu ini datang, hanya untuk mengembalikan sesuatu yang bukan miliknya. Mohon maaf dan tunjukan jalan yang benar, menuju ke mata air.” Gumamku lalu aku memejamkan kedua mataku sesaat, setelah itu aku membuka mataku lagi, sambil mengambil rokokku dikantong belakang. Rokok kretekku sisa satu batang dan aku mengambilnya lalu membakarnya.

Aura yang menyeramkan dari dalam hutan sana, membuat tubuhku merinding. Aku sengaja membakar rokokku ini, untuk mengurangi ketegangan dan ketakutan yang ada di diriku.

Aku lalu berjalan lagi, sambil menarik isapan rokokku dalam – dalam.

“Huuuu.” Aku mengeluarkan asap rokokku, sambil melihat pepohonan yang jaraknya tidak terlalu rapat ini.

Tujuan pertamaku yaitu pondok tua yang ada di dekat gerbang hutan terlarang. Pondok itu biasanya aku gunakan untuk beristirahat, ketika aku dan Joko ke dalam hutan sana. Tapi untuk kali ini, aku tidak akan beristirahat dipondok itu. Aku akan melewatinya saja dan aku akan terus berjalan ke pintu gerbang hutan terlarang.

Beberapa saat kemudian, bagian belakang pondok tua mulai terlihat. Di dekat pondok tua itu, ada sebuah air terjun kecil. Dulu biasanya ketika aku akan masuk kedalam sana bersama Joko, kami berdua pasti akan meminum dari air terjun itu.

Aku terus berjalan sambil terus menghisap rokokku.

Dan ketika aku sudah melewati bagian samping pondok, aku dikejutkan oleh suara seorang wanita yang memanggilku.

“Lang.” Panggil wanita itu dan aku langsung melihat ke arah bagian depan pondok.

Wanita itu duduk dibalai – balai bambu, dengan kedua kaki yang menjuntai diatas tanah.

“Bu Nyoto.” Ucapku yang terkejut, karena wanita itu adalah Bu Nyoto.

Beliau menggunakan kain jarik yang menutupi tubuhnya dan dilapisi dengan kebaya yang berwarna hijau muda. Sebagian rambutnya tertutup oleh selendang dan itu membuatnya terlihat sangat cantik sekali.

Cok. Kenapa wanita ini ada dipinggiran hutan terlarang dan bersama siapa beliau kesini.? Tapi sebentar dulu. Apa bener wanita ini Bu Nyoto.? Atau jangan – jangan wanita salah satu penghuni hutan ini dan menjelma sebagai Bu Nyoto, untuk menghalangi niatku masuk kedalam hutan.? Ahhh. Bajingan.

“Kamu kira aku ini mahluk jadi – jadian.?” Tanya mahluk itu, ketika aku melihatnya dengan tatapan yang sangat ragu sekali.

“Duduk, terus kamu pegang tanganku ini, supaya meyakinkan kamu kalau aku ini benar – benar manusia.” Ucap Bu Nyoto dengan nada sedikit agak ketus, sambil menjulurkan tangan kanannya ke arahku.

Dengan langkah yang agak ragu, aku mendekat ke arah Bu Nyoto, lalu duduk disebelahnya. Aku tidak menyentuh tangannya dan aku langsung menghadap ke arah air terjun yang ada didepan sana, sambil menghisap rokokku untuk menenangkan pikiranku.

“Kenapa Ibu ada disini dan Ibu bersama siapa.?” Tanyaku sambil melihat ke arah kanan kiri dan ternyata tidak ada orang lain ditempat ini, selain kami berdua.

“Aku biasa menenangkan diri ditempat ini.” Jawab Bu Nyoto dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Kalau siang, mungkin saya percaya. Tapi ini sudah sore dan sebentar lagi matahari akan segera tenggelam.” Ucapku, lalu melihat ke arah depan lagi.

“Aku dari tadi siang disini dan sengaja aku menunggumu.” Ucap Bu Nyoto.

“Kenapa.?” Tanyaku yang terkejut, sambil melihat ke arahnya lagi.

“Aku ingin membimbingmu, agar kamu tidak salah jalan didalam hutan sana.” Jawab Bu Nyoto.

“Emang Ibu tau tujuanku datang kehutan ini.?” Tanyaku lagi.

“Lang. Kamu taukan kalau Bapakku itu orang asli dari desa Sumber Banyu dan memiliki sedikit ‘ilmu’.” Ucap Bu Nyoto dan ketika dia mengucapkan kata ilmu, dia menatapku sangat dalam sekali.

“Terus.?” Tanyaku sambil mengerutkan kedua alis mataku.

“Dengarkan setiap kata yang aku ucapkan, maka tujuanmu akan tercapai.” Jawab Bu Nyoto sambil menoleh ke arahku.

“Sebentar dulu Bu, sebentar. Ini ada apa.? Kenapa Ibu mau membantu saya, sampai nekat datang ke gerbang hutan terlarang ini.? Mana sore banget seperti ini lagi. Jangan – jangan Ibu ini beneran makluk tidak nyata dan datang untuk menghalangi jalan saya untuk kedalam sana.” Ucapku, lalu tiba – tiba.

Plak.

Bu Nyoto menampar pipi kiriku cukup keras, sampai aku terkejut dan aku tidak sempat menghindari tamparannya yang begitu cepat itu.

“Kenapa Ibu tampar saya.?” Tanyaku sambil mengelus pipi kiriku.

“Supaya kamu sadar, kalau aku ini beneran nyata. Kalau aku salah satu mahluk penunggu hutan ini yang menghalangi jalanmu, wes ta cucup mbun mbunanmu. (Sudah kuhisap ubun – ubunmu.)” Ucap Bu Nyoto dengan nada yang sangat ketus sekali.

“Aduh, duh.” Ucapku sambil mengelus bagian atas kepalaku.

“Sudah percaya atau belum.?” Tanya Bu Nyoto dengan mata yang sedikit melotot.

“Iya Bu, iya. Aku percaya.” Jawabku dengan terpaksa.

“Sebenarnya aku tadi itu ingin memberi petunjuk kepadamu tanpa syarat sama sekali. tapi berhubung kamu sempat meragukan aku, aku jadi punya satu persyaratan.” Ucap Bu Nyoto sambil mengalihkan pandangannya ke arah depan lagi.

“Ha.? Syarat apa Bu.?” Tanyaku yang kebingungan.

“Setuju apa enggak.?” Bu Nyoto tidak menjawab pertanyaanku, malah justru bertanya balik sambil melihat ke arahku lagi.

“Tapi syaratnya apa Bu.?” Tanyaku lagi.

“Setuju apa enggak.?” Tanya Bu Nyoto sambil menggerakan tangan kanannya, seperti ingin menamparku lagi.

“Setuju Bu.” Jawabku dengan refleknya.

“Baguslah.” Ucap Bu Nyoto sambil melihat ke arah depan lagi.

“Tapi.” Ucapku terpotong, karena Bu Nyoto langsung melirikku dengan tajam.

Cok. Padahal aku mau bertanya lagi tentang syaratnya, tapi malah dilirik seperti itu. Bajingan.

“Masuk kedalam hutan terlarang sana, tidak semudah yang kamu pikirkan Lang.” Ucap Bu Nyoto dan posisi sekarang, kami berdua tidak saling menghadap. Kami berdua sama – sama melihat ke arah air terjun.

“Masuk kedalam hutan sampai bertemu sumber air, melepaskan kekuatanmu, lalu pulang. Bukan seperti itu.” Ucap Bu Nyoto dengan nada bicara yang sekarang terdengar serius. Akupun hanya diam dan mendengarkan setiap perkataannya, sesuai dengan perintahnya tadi.

“Sebelum kamu masuk kedalam sana, kamu harus mandi di air terjun itu. Lalu setelah itu, lanjutkan perjalananmu kedalam sana, sampai bertemu air terjun kedua. Mandi lagi di air terjun kedua itu, setelah itu lanjutkan perjalananmu ke sumber mata air yang ada ditengah hutan sana.”

“Setelah bertemu mata air, kamu mandi lagi dan lepaskan kekuatanmu disumber mata air itu.” Ucap Bu Nyoto dan aku langsung melihat ke arahnya.

Cok. Jadi ritualnya hanya ditambahkan mandi disetiap air terjun, lalu ditutup mandi di sumber mata air.? Kalau seperti itu sih mudah saja dan aku pasti bisa melakukannya.

“Lang. Jangan menganggap remeh perjalananmu ini.” Ucap Bu Nyoto sambil melirik ke arahku dan dia seperti mengerti apa yang ada didalam pikiranku.

“Banyak godaan, halangan dan rintangan, disetiap langkahmu. Hutan ini juga akan dipenuhi halusinasi, yang mungkin bisa membawamu ketempat awal berjalan, yaitu di gerbang ini. Kamu akan terus berputar – putar dan kamu tidak akan menemukan jalan. Atau lebih parahnya lagi, kamu akan disesatkan didalam sana dan tidak akan pernah kembali lagi.”

“Dan itu salah satu alasanku, menyuruhmu mandi disetiap air terjun yang kamu temui. Pintu hatimu akan terbuka dan itu akan sedikit meringankan langkahmu.”

“Tapi yang perlu kamu ingat, jangan sampai kamu meminum setetes airpun ketika kamu mandi. Baik itu di air terjun pertama, air terjun kedua, ataupun disumber mata air sana.” Ucap Bu Nyoto yang menutup penjelasannya.

“Boleh saya bertanya Bu.?” Tanyaku.

“Tentang banyaknya orang yang gagal ketika masuk kedalam hutan terlarang.?” Tanya Bu Nyoto dan memang itu yang ada dipikiranku saat ini.

“Keyakinan hati mereka tidak kuat, sehingga mereka bisa dikelabui oleh halusinasi hutan terlarang ini.” Ucap Bu Nyoto.

“Apa menurut Ibu, keyakinan hati saya sangat kuat dan bisa berhasil dengan tujuan saya.?” Tanyaku.

“Hanya dirimu sendiri yang bisa menjawabnya.” Jawab Bu Nyoto.

“Hiuufftt, huuuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Aku tau kamu masih labil dengan emosimu, aku tau kamu masih berusaha untuk mengendalikan dua makluk yang ada dirimu dan aku tau juga kalau itu salah satu alasanmu, untuk melepaskan anugrah yang kamu miliki ini.”

“Langkahmu kedalam sana pasti sangat berat sekali Lang. Mereka yang pernah masuk kedalam sana dan akhirnya gagal, memiliki satu warna mata. Sedangkan kamu memiliki dua warna mata dan kamu belum menguasai sepenuhnya, dua mahluk yang ada di dirimu ini.” Ucap Bu Nyoto dan aku langsung tertunduk dibuatnya.

“Kamu menyerah ya Lang.?” Tanya Bu Nyoto dan aku langsung mengangkat wajahku lagi.

“Tidak ada kata menyerah didalam hidup saya Bu. Saya pasti akan bisa mendapatkan apa yang sudah saya niati.” Jawabku.

“Lagian kekuatan saya hanya ada dua bu. Masa saya tidak bisa mengendalikan dan mengeluarkannya dari tubuh ini.” Ucapku sambil melirik ke arah Bu Nyoto.

“Hanya ada dua.? Emang ada gitu yang mempunyai kekuatan mata lebih dari dua, untuk saat ini.?” Tanya Bu Nyoto yang seperti memancingku.

“Ibu tidak tau atau pura – pura tidak tau.?” Tanyaku dan Bu Nyoto hanya diam sambil menoleh ke arahku.

“Pakde Irawan.” Ucapku dan Bu Nyoto langsung menggeleng pelan.

“Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, waktu Pakde Irawan bertarung Bu. Dibelakang beliau, berdiri lima mahluk yang menyeramkan dengan berbagai warna mata. Mata merah, mata hitam, mata biru, mata hijau dan mata bening.” Ucapku meyakinkan Bu Nyoto.

“Irawan Jati itu hanya memiliki satu warna mata dan dia pemilik sejati warna mata itu. Warna merah dari Desa Jati Luhur.” Ucap Bu Nyoto.

“Kelima warna mata itu hanya akan keluar, ketika ada pertarungan yang sangat dasyat di saat gerhana.” Ucap Bu Nyoto lagi.

Cok. Pantas saja kelima mata itu hanya berdiri dibelakang Pakde Irawan dan tidak masuk didalam tubuhnya. Aku gak bisa membayangkan, kalau kelima mata itu masuk kedalam tubuh Pakde Irawan. Kekuatan beliau pasti sangat dasyat dan tidak bisa dikalahkan. Ketika mata merahnya saja yang keluar, beliau sudah mengerikan sekali. Apa lagi keempat lainnya masuk. Gila.

“Kira – kira, ada gak manusia yang bisa menaklukkan kelima mahluk itu.?” Tanyaku ke Bo Nyoto.

“Sudahlah. Cukup sudah pertanyaanmu dari tadi. Sekarang lebih baik kamu focus dengan perjalananmu malam ini.” Ucap Bu Nyoto dan terlihat dia sengaja tidak menjawab pertanyaanku.

“Baiklah Bu. Kalau begitu saya sekarang akan masuk kedalam.” Ucapku sambil berdiri.

“Kamu tidak akan masuk kedalam sana, karena kamu belum memenuhi satu persyaratanku tadi.” Ucap Bu Nyoto dan aku langsung melihat ke arah beliau yang masih duduk dibalai – balai bambu.

“Ibu dari tadi tidak menjawab pertanyaan saya, tentang persyaratan apa yang Ibu minta. Jadi bagaimana saya bisa memenuhinya.?” Tanyaku.

Bu Nyoto langsung terseyum, sambil menggeser tubuhnya ke arah ujung tiang. Beliau lalu menghadap ke arahku dan menyandarkan punggungnya disana.

Pandanganku langsung tertuju ke arah dadanya dan aku baru menyadari, kalau belahan kebaya itu sangat rendah sekali. Buah dada bagian atasnya sedikit terlihat dan sangat menggoda sekali. Bajingan.

“Sebenarnya persayaratan ini bukan keinginanku, tapi kita berdua harus melakukannya.” Ucap Bu Nyoto yang langsung membuatku bingung.

Perlahan Bu Nyoto mengangkat kaki kanannya keatas balai – balai bambu, sedangkan kaki kirinya tetap menjuntai ketanah. Belahan kain jarik yang dikenakannya langsung terbuka, sampai memperlihatkan paha putihnya yang mulus.

Cok. maksudnya apa ini.? Apa Bu Nyoto ingin mengajakku bersetubuh, dipinggir hutan terlarang ini.? Gila.

“Bu, Bu.” Ucapku terbata.

“Kita harus bersetubuh Lang. Lepaskan beban yang ada dipikiranmu, karena didalam sana godaannya akan lebih berat.” Ucap Bu Nyoto sambil melihatku dengan tatapan yang menggoda, lalu dia menunduk dan meraba tulang kering bagian kaki kanannya dengan lembutnya.

“Ta, tapi.” Ucapku dan jujur aku sangat tergoda sekali dengan gerakan erotis Bu Nyoto itu.



Bu Nyoto



“Waktu kita tidak banyak dan kalau kamu tidak segera melakukannya, aku pastikan kamu akan tersesat didalam hutan sana.” Ucap Bu Nyoto.

Bajingan. Apa memang ini harus aku lakukan atau ini bagian dari ujian ketika akan masuk hutan dan aku harus menghindarinya.?

Cok. Pikiranku sekarang dipenuhi nafsu dan aku tidak bisa menghindari ini.

“Kalau aku mau mengujimu atau menghalangi jalanmu, untuk apa aku ceritakan semua ritual yang harus kamu lakukan. Kalau niatku jelek, sudah dari tadi aku ajak kamu bersetubuh tanpa perlu basa – basi.” Ucap Bu Nyoto dan aku hanya terdiam sambil menatap paha mulus Bu Nyoto.

“Rupanya pikiranku selama ini benar. Kamu itu suka melihat lekuk tubuhku.” Ucap Bu Nyoto dan aku langsung melihat ke arah wajah Bu Nyoto.

“Ha.” Ucapku dan aku langsung malu dibuatnya.

“Lang. Matahari akan segera terbenam dan ketika sudah benar – benar gelap, persetubuhan kita akan percuma dan sekali lagi, kamu pasti tidak akan bisa mencapai tujuanmu didalam sana.” Ucap Bu Nyoto sambil menurunkan kaki kanannya dari balai – balai bambu, lalu beliau merapikan kain jariknya.

Pikiranku semakin bingung dan ragu dengan semua ini. Aku ingin segera melanjutkan perjalanan, tapi nafsuku menahannya. Aku ingin membalikan tubuhku, tapi kaki kananku justru melangkah ke arah Bu Nyoto yang masih duduk itu.

“Kamu beneran ingin melakukannya, atau masih ada keraguan dihatimu.?” Tanya Bu Nyoto sambil mendangakkan kepalanya, karena posisiku sekarang berdiri tepat dihadapannya.

“Aku gak tau Bu, aku bingung.” Jawabku sambil menggeleng pelan.

Perlahan Bu Nyoto berdiri sambil tersenyum kepadaku. Gerakannya pelan, tubuhnya agak membungkuk dan buah dadanya seperti mau berontak dari balik kebayanya yang ketat itu.

Pandangan mataku kembali tertuju ke arah belahan buah dada Bu Nyoto dan aku tidak sadar kalau beliau sudah berdiri dengan tegak.

“Tatap mataku dan tanyakan dalam hatimu, mau atau tidak.” Ucap Bu Nyoto yang mengejutkanku.

Pandanganku ku alihkan ke arah matanya, tapi terturun lagi ke arah dadanya.

Bu Nyoto merapatkan tubuhnya ke arahku, lalu.

CUUPPP.

Bibirnya ditempelkan dibibirku, tanpa gerakan lumatan sama sekali. Bibir Bu Nyoto terasa lembut, hangat dan mengalirkan getaran – getaran yang menenangkan jiwaku. Akupun hanya terdiam sambil memejamkan kedua mataku, untuk menikmati sentuhan bibir manis Bu Nyoto ini. Pikiranku melayang dan terombang – ambing, karena jujur aku belum pernah merasakan yang seperti ini.

Bajingan. Baru disentuh dengan bibirnya seperti ini saja, aku bisa terbuai oleh kenikmatan. Bagaimana ya kalau Bu Nyoto mulai mengulum dan memainkan lidahnya didalam mulutku, apa gak tambah nikmat.? Assuuu.

Tiba – tiba Bu Nyoto memundurkan wajahnya, sampai sentuhan bibirnya terlepas dari bibirku. Aku langsung membuka mataku dan Bu Nyoto menatapku dengan tatapan yang menggoda.

Tatapan mata ini membuat seluruh tubuhku bergairah. Aku ingin segera mendekapnya dan menikmati setiap inchi bagian tubuhnya.

“Bu, huuuu.” Ucapku lalu aku menghembuskan nafas panjangku.

Aku memajukan wajahku dan.

CUPPP.

Aku tempelkan bibirku dibibir Bu Nyoto dan beliau langsung membuka bibirnya sedikit, sehingga bibir bawahku masuk disela – sela bibirnya.

“Hem, hem, hem.” Aku lumat bibir atasnya dengan lembut dan Bu Nyoto melumat bibir bawahku.

“Hem, hem, hem.” Ciuman kami perlahan mulai memanas dan diselingi dengan desahan yang tertahan.

Kedua tanganku langsung memegang pinggulnya yang tertutup kain jarik.

“Hem. hem, hem.” Bibirnya terus aku lumat dan kedua tanganku meremas lekuk pinggulnya.

Aku tarik merapat tubuh Bu Nyoto dan kedua tanganku meraba ke arah bokongnya yang padat.

Cok. Akhirnya aku bisa menyentuh dan meremas bokong Bu Nyoto, yang selama ini hanya menjadi impianku.

“Hem, hem, hem, muacchhh.” Bu Nyoto melepas lumatan kami.

“Nakal juga ya tanganmu ini. Hemmmm.” Ucap Bu Nyoto sambil memegang kedua pipiku dan aku terus meremas bokongnya.

“Maaf Bu. Kalau boleh jujur, aku sudah lama ingin memegang ini.” Ucapku sambil meremas bokongnya dan merapatkan ke arahku.

“Uhhh. Aku tau itu. Tapi waktu kita tidak banyak, jadi jangan terlalu lama memegangnya.” Ucap Bu Nyoto, lalu memejamkan kedua matanya dan menggigit bibir bawahnya.

Beliau seperti sangat menikmati setiap remasanku dan ingin lebih lama menikmati permainan ini, tapi waktu yang tidak mengijinkan.

“Terus bagaimana Bu.?” Tanyaku dan Bu Nyoto langsung melihat ke arah matahari yang sedikit lagi tenggelam.

“Langsung aja kamu masukan.” Ucap Bu Nyoto sambil memundurkan tubuhnya dan duduk dipinggir balai – balai bambu.

Beliau memundurkan duduknya kebelakang, lalu menyingkap kain jarik yang dipakainya, sampai kedua pahanya yang putih bersih itu terlihat dengan jelas.

“Kenapa harus buru – buru sih Bu.?” Tanyaku.

“Siapa suruh kamu lama – lama mengobrol dengan Bapakmu.? Kalau kamu dari tadi kesini, aku mau mengajakmu mandi bersama dia air terjun itu. Tapi sudahlah, sekarang cepat kita tuntaskan permainan ini.” Ucap Bu Nyoto sambil menurunkan celana dalam yang dipakainya, sampai terlepas.

“Emang boleh mandi bersama di air terjun itu.? Laki – laki dan perempuan kan gak boleh mandi bersama di aliran air desa ini.” Ucapku sambil melihat ke arah tengah selangkangannya dan Bu Nyoto tetap memakai kain jariknya

“Cerewet kamu itu.” Ucap Bu Nyoto.

Perlahan beliau melepas kain jariknya dan melebarkan kain itu kesamping kanan serta kiri.

Uhhhh. Seorang wanita setengah baya duduk sedikit mengangkang dihadapanku, dengan tetap memakai atasan kebaya, sementara perut kebawah tanpa ditutupi selembar kain pun. Bajingann.

Diusianya yang seperti ini, kulitnya masih terlihat kencang dan perutnya juga masih terlihat rata. Selangkangannya terlihat bersih, walaupun ditutupi dengan rambut yang sedikit agak tebal.

“Kamu mau lihat aja.?” Tanya Bu Nyoto sambil merapatkan selangkangannya.

“Saya mau melakukannya segera Bu, tapi.” Ucapku sambil melirik ke arah selangkanganku.

Aku memang dikuasai nafsu, tapi entah kenapa, kemalauanku justru tidak bangun sama sekali.

“Belum bangun.?” Tanya Bu Nyoto dengan herannya dan aku langsung menganggukan kepalaku pelan.

“Dasar anak muda. Harus dipancing dulu, baru bisa bangun.” Ucap Bu Nyoto yang langsung memajukan duduknya lagi dan tanpa basa – basi, langsung membuka celanaku dan menurunkannya sampai setengah pahaku.

Celana dalamku pun juga ikut terturun dan Bu Nyoto langsung tertegun melihat kemaluanku yang masih tertidur ini.

“Tidur aja sebesar ini, bagaimana kalau bangun.” Ucap Bu Nyoto, lalu.

Tap.

Tangan kanannya memegang kemaluanku dan aku langsung memejamkan kedua mataku, sambil mendangakkan kepalaku.

Cok. Pegangan tangannya sangat lembut dan membuat batangku berdiri perlahan.

Telapak tangannya memegang batang kemaluanku bagian atas dan jempolnya menghusap kepala batangku pelan.

“Uhhhhh.” Desahku dan batangku belum sepenuhnya tegak berdiri.

“Lang.” Panggil Bu Nyoto dan aku langsung menundukan kepalaku, sambil membuka kedua mataku.

“Ya Bu.” Ucapku dengan suara yang bergetar, sambil menatap matanya yang indah itu.

“Seberapa besar keinginan terpendammu, untuk menikmati tubuhku.?” Tanya Bu Nyoto, lalu beliau mulai mengocok pelan kemaluanku.

“Gak tau Bu. Uhhhh.” Ucapku dan aku akhiri dengan desahanku.

“Seberapa besar.?” Tanya Bu Nyoto lagi dan aku langsung memejamkan kedua mataku lagi.

“Lang.” Panggil Bu Nyoto dan beliau langsung menghentikan kocokannya.

“Ya Bu.?” Tanyaku sambil membuka kedua mataku dan aku merasakan kekecewaan yang sangat luar biasa, karena Bu Nyoto menghentikan kocokannya.

“Seberapa besar keinginanmu, untuk menikmati tubuhku.?” Tanya Bu Nyoto lagi dan beliau meremas kemaluanku dengan kuat.

“Ahhhhh.” Desahku.

“Besar banget Bu. Uhhhhh.” Jawabku dan Bu Nyoto langsung tersenyum, sambil mengocok lagi.

Clok, clok, clok.

“Kamu mau masukan ini dikemaluanku.?” Tanya Bu Nyoto dan pertanyaannya, membuat batangku semakin tegak berdiri.

“I, I, I, Iya Bu.” Jawabku terbata.

Clok, clok, clok.

“Sambil mencium bibirku.?” Tanya Bu Nyoto.

“I, I, I, Iya Bu.”

Clok, clok, clok.

“Sambil meremas buah dadaku.?” Tanya Bu Nyoto lagi, sambil meremas buah dadanya yang masih tertutup, menggunakan tangan kirinya.

“I, I, I, Iya Bu.”

Clok, clok, clok.

“Terus kamu keluarkan air kenikmatanmu didalam mulutku.?” Tanya Bu Nyoto dan semua pertanyaannya ini, semakin membakar birahiku dan kemaluanku benar – benar berdiri dengan tegak, diremasan tangannya.

“I, I, I, Iya Bu.” Jawabku dan aku langsung membungkukan tubuhku, lalu aku menyambar bibirnya yang seksi itu.

Aku sudah tidak kuat lagi dan dia benar – benar pintar memainkan nafsuku.

Cuppp, cuppp, cuuppp.

“Hemm.” Desah kami bersahut – sahutan, disela lumatan bibir kamu ini.

Clok, clok, clok.

Bu Nyoto mengocok kemaluanku, lalu menghentikannya, sambil melepaskan kuluman bibir kami.

“Sekarang kita lalukan.” Ucap Bu Nyoto sambil memundurkan tubuhnya lagi, lalu tidur dibalai – balai bambu.

Kedua kakinya diangkat lalu ditekuk, setelah itu dia membukanya sedikit lebar.

Kembali aku terpukau, melihat posisi Bu Nyoto yang siap untuk persetubuhan kami ini. Aku berdiri terpaku dengan kemaluanku yang berdiri dengan gagahnya dan siap menerobos lubang kenikmatan itu.

Bu Nyoto menganggukan kepalanya pelan dan aku langsung melepaskan celanaku yang terturun dipahaku, lalu aku naik ke atas balai – balai bambu. Posisiku merangkak dan wajahku langsung menuju kekemaluannya yang tertutup rambut itu.

Aku belai rambut kemaluannya perlahan, lalu aku membuka kemaluannya dengan kedua jempolku.

Cok. kemalauannya yang tertutup rambut yang sedikit tebal itu, berwarna kemerahan dan terlihat sangat sempit sekali. Lubangnya berkedut dan seperti mengundangku untuk menjelajah kedalam sana.

“Boleh saya basahin dulu Bu.?” Tanyaku sambil melihat ke arah Bu Nyoto dan beliau menganggukan kepalanya.

Sluurrpppp.

Aku jilat lubang kemaluannya, sampai mengenai daging kecil ditengahnya.

“Ahhhhhh.” Desah Bu Nyoto sambil menjambak rambut atasku.

Sluurrpppp, sluurrpppp, sluurrpppp, sluurrpppp.

Aku jilat terus kemaluan Bu Nyoto dan perlahan kemaluannya terasa sangat basah sekali.

“Ahhhhh.” Desah Bu Nyoto dan sekarang kedua pahanya menjepit kepalaku.

Sluurrpppp, sluurrpppp, sluurrpppp, sluurrpppp.

“Lang, cukup lang. Aku sudah basah. Uhhhhh.” Ucap Bu Nyoto sambl menahan kepalaku, supaya aku tidak melanjutkan jilatanku.

Aku menegakan kepalaku, lalu sambil berlutut aku memegangi kedua lutut Bu Nyoto yang tertekuk. Aku buka agak lebar lagi, setelah itu aku memegang kemalauanku dengan tangan kanan dan aku meraba kemaluan Bu Nyoto dengan tangan kiri.

“Pelan – pelan ya. Uhhhhh.” Ucap Bu Nyoto, lalu diakhiri dengan desahan.

Aku anggukan kepalaku, lalu aku gesekan kepala kemalunku ketengah kemaluan Bu Nyoto.

Lalu.

Blesss.

Kepala kemaluanku mulai membelah kemaluan Bu Nyoto.

“Ahhhhh.” Desah Bu Nyoto sambil mendangakkan kepalanya.

Aku hentikan gerakanku, ketika kemaluanku sudah mulai masuk seperempat didalam kemaluan Bu Nyoto. Aku lalu memajukan tubuhku dan dengan bertumpu pada kedua telapak tanganku disebelah kepala Bu Nyoto, aku mendorong lagi pinggulku, sambil memajukan wajahku dan melumat bibir Bu Nyoto.

CUPPPP.

“Hemmmm.” Desah Bu Nyoto dan kemaluanku sudah masuk setengah.

Dinding kemaluan Bu Nyoto menjepit batangku dan seperti menghisapnya, untuk masuk lebih dalam lagi.

“Heemmmm.” Desahku dan aku terus menekan pinggulku, sampai masuk seutuhnya kedalam sana.

“Muaacchhhh.” Bu Nyoto melepaskan lumatan bibir kami, dengan nafas yang tersengal.

“Hu, hu, hu, hu, hu. Besar banget Lang.” Ucap Bu Nyoto lalu dia menggigit bibirnya lagi.

“Punya Ibu yang terlalu sempit. Ahhhhhh.” Ucapku dan jepitan kemaluan Bu Nyoto memang sangat luar biasa.

Kemaluanku seperti diremas didalam lubang kemaluan Bu Nyoto yang sempit ini. Nikmat dan sangat nikmat sekali. Kemaluannya seperti milik perawan dan seperti jarang sekali dijamah.

“Kamu nyindir atau bagai mana sih.? Aku kan sudah tua. Uhhhhh.” Ucap Bu Nyoto dan wajahnya semakin terlihat menggairahkan saja.

“Beneran sempit Bu. Lagian Ibu gak tua kok, siapa yang bilang Ibu tua.?” Tanyaku dan aku masih membiarkan kemaluanku didalam, tanpa menggoyangnya.

“Sudahlah. Kamu pintar banget sih merayunya.” Ucap Bu Nyoto dan aku hanya tersenyum saja.

“Kenapa senyum.? Terus kenapa gak digoyang.?” Tanya Bu Nyoto.

Aku tidak menjawab pertanyaan Bu Nyoto, tapi aku memajukan wajahku lagi, lalu.

Cuuppp.

Aku melumat bibir Bu Nyoto, sambil menarik pinggulku ke atas sedikit.

“Hem, hem, hem.” desah kami berdua.

Pinggulku aku tekan kedepan, lalu aku tarik setengah, setelah itu aku tekan lagi dan aku menariknya sampai menyisakan kepala batangku didalam.

“Hemmm.” Desah Bu Nyoto dan bibir bawahku langsung digigitnya.

“Arrghhh.” Aku menahan sakitnya gigitan Bu Nyoto dan aku menggoyangkan pinggulku perlahan.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

“Ahhhh, ahhh, ahhh, ahhh.” Gigitannya dilepaskan, lalu beliau mendesah kenikmatan.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Aku terus menggoyangkan pinggulku, sambil menatap wajah Bu Nyoto yang kemerahan. Butiran keringatnya terlihat mulai keluar dikeningnya dan wajahnya menoleh kekanan lalu kekiri.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

“Ahhh, ahhh, ahhh.” Desah kami bersahut – sahutan.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Aku lalu menghentikan goyanganku dan Bu Nyoto langsung menatapku dengan sedikit tajam.

“Kenapa.? Hu, hu, hu, hu.” Tanya Bu Nyoto, disela nafasnya yang memburu.

“Boleh saya pegang buah dada Ibu.?” Tanyaku.

“Hemmm.” Ucap Bu Nyoto sambil membuka pengait pakaiannya disebelah kanan, lalu membuka atasan kebayanya itu, sampai memperlihatkan bra yang melindungi buah dadanya.

Punggungnya diangkat sedikit, lalu dia meraih kaitan branya dan dilepaskannya.

Bra yang tadinya mengencang, sekarang sudah agak mengendur. Bra itu tidak bisa terlepas, karena Bu Nyoto masih memakai atasan kebaya..

“Diraba dari bawah aja ya.” Ucap Bu Nyoto dan aku langsung tersenyum dengan senangnya.

Kedua tanganku mulai meraba dada bagian bawahnya, lalu naik kegundukan buah dadanya.

“Uhhhhh.” Desah By Nyoto, ketika aku meremas buah dadanya yang besar dan kenyal itu.

“Cepat dituntaskan, karena waktu kita tinggal sedikit lagi.” Ucap Bu Nyoto.

“Tapi sebentar dulu.” Ucap Bu Nyoto ketika aku kan menggoyangkan pinggulku.

Lalu tiba – tiba, kemaluan Bu Nyoto berkedut dan seperti menghisap kemaluanku dengan kuat.

“Bu, uuhhhhh.” Ucapku menahan kenikmatan.

“Enak.?” Tanya Bu Nyoto sambi terus mengedutkan didinding kemaluannya.

“Cukup Bu, cukup. Nanti saya bisa keluar cepat.” Ucapku dan Bu Nyoto ,menghentikan kedutannya.

Kedua kakinya yang tadinya menekuk disamping tubuhku, sekarang melingkar dan mengunci bokongku.

“Uhhhhh.” Ucapku karena pinggulku semakin maju kedepan dan kemaluanku semakin menekan kedalam.

Lalu sambil meremas buah dada Bu Nyoto, aku pun mulai menggoyang lagi.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

“Ahhhh, ahhhh, ahhhh.” Desah kami bersahutan.

Aku menggoyangkan pinggulku, sambil meremas buah dada Bu Nyoto dan sesekali memainkan puttingnya.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Tubuh kami disudah dibasahi keringat dan nafas kami semakin memburu.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

“Hu, hu, hu, hu, hu.”

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

“Jangan keluarkan didalam. Hu, hu, hu.” Ucap Bu Nyoto.

“Jadi dimana Bu.? Hu, hu, hu, hu.” Tanyaku dan kemaluan Bu Nyoto sudah sangat becek, oleh cairan kenikmatannya.

“Kalau mau keluar, cabut aja.” Ucap Bu Nyotu dan aku menganggukan kepalaku.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

“Aku keluar Lang, aku keluar. Ahhhhh.” Ucap Bu Nyoto dan aku semakin mempercepat goyanganku.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

“Ahhhh, ahhhh, ahhhh.” Desah Bu Nyoto.

“Langg.” Ucap Bu Nyoto sambil mengangkat kepalanya sedikit dan Tubuhnya langsung mengejang.

“AHHHHHHH.” Bu Nyoto berteriak kenikmatan dan aku merasa ada cairan yang merembes keluar dari kemaluannya.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Aku bukannya menghentikan gerakanku, tapi aku makin mempercepat goyanganku.

Jepitannya semakin kuat terasa dan cairan kenikmatanku sudah siap tertumpah.

“Bu. Aku mau keluar Bu, aku mau keluar. Hu, hu, hu.” Ucapku sambil terus menggoyang.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

“Cabut Lang, cabut.” Ucap Bu Nyoto dan aku langsung mencabut kemaluanku.

Plop.

Dan cairan berwarna putih, tampak meleleh keluar dari kemaluan Bu Nyoto.

“Berdiri kamu.” Perintah Bu Nyoto dan aku mengikutinya.

Bu Nyoto langsung duduk dan meraih batangku yang penuh dengan cairan kenikmatannya.

Aku yang berdiri ini sangat terkejut, karena Bu Nyoto mengocok batang kemalauanku yang lengket.

“Ahhhhhhh.” Desahku sambil mendangakkan kepalaku.

“Aku keluar Bu, aku keluar.” Ucapku dan aku tetap mendanga dengan mata yang terpejam.

Tiba – tiba aku merasa kepala kemaluan sedang dilumat dan aku langsung membuka kedua mataku sambil menunduk. Betapa terkejutnya aku, karena ternyata Bu Nyoto sedang mengoral kemaluanku. Dan.

Crott, crott, crott, crott, crott, crott, crott.

Air kenikmatanku tertumpah didalam mulutnya, tanpa bisa aku hindari lagi.

“Buuuu. Uhhhhhh.” Ucapku dan Bu Nyoto menyedot kepala batangku dengan kuat, sampai seluruh air kenikmatanku masuk kedalam mulutnya.

Matanya berair dan dia langsung melepaskan sedotannya dikemaluanku, lalu menelan lendir yang ada didalam mulutnya itu.

“Glukkkk. Ahhhhh.” Ucap Bu Nyoto.

“Kenapa dikeluarkan didalam mulut dan kenapa ditelan Bu.? Hu, hu, hu, hu.” Tanyaku.

“Tadi kamu bilang mau keluar didalam mulutku. Hu, hu, hu.” Ucap Bu Nyoto sambil membersihkan tepi bibirnya.

“Bukan saya yang mau. Tadi itukan pertanyaan dari Ibu.” Ucapku lalu aku duduk disebelahnya yang sedang bersimpuh.

“Tapi kamu sukakan.?” Tanya Bu Nyoto.

“I, I, I, iya sih.” Jawabku terbata dan aku meraih celana panjangku serta cdku.

“Jangan dulu dipakai celanamu. Sekarang kamu mandi di air terjun itu.” Ucap Bu Nyoto sambil maraih kain jarik yang menjadi alas persetubuhan kami tadi.

“Istirahat dulu sebentar, bolehkan Bu.?” Tanyaku.

“Matahari sudah terbenam dan itu berarti, kamu harus segara masuk kedalam.” Ucap Bu Nyoto sambil melihat ke arah hutan terlarang.

Aku lalu melihat ke arah hutan terlarang yang gelap. Hutannya makin terlihat menakutkan dan jalannya se akan tertutup.

Aku lalu melihat ke arah Bu Nyoto dan beliau tetap melihat ke arah hutan terlarang.

“Mandilah.” Ucap Bu Nyoto tanpa melihat ke arahku.

Aku sebenarnya sangat kecewa dan aku ingin mengulanginya satu kali lagi. Tapi karena waktu sudah tidak mengijinkan, terpaksa aku berdiri sambil membuka kaosku.

Tenggorokanku terasa terasa sangat kering dan tubuhku sangat lemas sekali. Sepertinya berendam sambil minum air, akan membuat tubuhku segar dan hausku hilang.

“Jangan minum air selama perjalananmu, baik ketika masuk ataupun ketika jalan keluar dari hutan terlarang. Ingat itu.” Ucap Bu Nyoto dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Dah mandi sana.” Ucap Bu Nyoto lagi.

Wajah Bu Nyoto tampak nggemesin sekali dan aku ingin sekali menggodanya.

Dengan kondisi yang telanjang bulat, aku merapatkan tubuhku ke arah Bu Nyoto yang duduk dibalai – balai bambu. Aku lalu membungkukan tubuhku dan mendekatkan wajahku ke arah wajahnya.

“Cukup.” Ucap Bu Nyoto sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah bibirku.

“Masa cium sedikit aja gak boleh.?” Tanyaku menggodanya.

“Enggak.” Jawab Bu Nyoto singkat.

“Ya..” Ucapku dengan sedikit kecewa dan aku langsung menegakkan tubuhku.

“Hihihi.” Bu Nyoto tertawa pelan dan itu langsung membuatku jengkel.

Aku lalu membalikan tubuhku dan ketika aku akan melangkah, Bu Nyoto langsung memanggilku.

“Lang.” Panggil Bu Nyoto dan aku menoleh ke arahnya dengan semangat.

“Ya Bu.? Mau kasih cium ya.?” Tanyaku dengan senangnya.

“Enggak.” Jawab Bu Nyoto.

“Terus.?” Tanyaku lagi.

“Bawa pakaianmu kesana. Jadi setelah mandi, kamu bisa langsung melanjutkan perjalananmu.” Ucap Bu Nyoto.

“Cok.” Gumamku pelan, lalu aku memunguti semua pakaianku.

“Hihihi.” Bu Nyoto tertawa lagi dan aku langsung membalikan tubuhku, lalu berjalan ke arah air mancur.

“Semongko Lang.” Ucap Bu Nyoto dan aku tidak menghiraukannya.

Aku terus berjalan dan pandanganku tertuju ke arah hutan terlarang. Terlihat jalan ke arah dalam hutan tertutup oleh pepohonan dan tidak ada jalan lain disekitarnya.

Bajingan. Apa ini bagian dari halusinasi hutan terlarang.? Atau karena suasananya yang gelap, jadi jalanan tidak terlihat.? Arrghhh. Aku harus lebih konsentrasi dan lebih focus, agar tidak tersesat didalam sana. Dan sekarang lebih baik aku segera mandi, setelah itu aku akan melanjutkan perjalananku.

Hiuuftttt, huuuu.

Aku letakkan pakaianku di atas batu yang cukup besar, setelah itu aku masuk ke aliran sungai kecil dan berjalan menuju air terjun. Hawa dingin pun langsung terasa, ketika aku sudah berdiri dibawah air terjun. Air yang berjatuhan membasahi kepala dan seluruh tubuhku, terasa sangat segar sekali. Ingin sekali aku meminum air ini, untuk melepas dahagaku. Tapi sayang, aku tidak bisa melakukan itu karena Bu Nyoto melarangnya.

Aku lalu duduk bersila dibawah pancuran air terjun, dengan posisi kedua tanganku diatas kedua lututku. Aku pejamkan kedua mataku dan aku buang semua pikiran yang mengganjal. Pikiranku aku fokuskan kepada perjalanan ini saja.

Setelah beberapa saat, kedua mataku aku buka. Aku miringkan kepalaku kesamping kanan, lalu kebelakang, kesamping kiri dan aku akhiri dengan menunduk.

Aku lalu menegakkan kepalaku sambil berdiri, setelah aku berjalan keluar sungai. Aku kenakan pakaianku lagi dengan diiringi tatapan Bu Nyoto yang belum beranjak dari tempat duduknya.

Aku merasa ada yang berbeda dengan diriku. Entah apa itu, tapi yang jelas tubuhku terasa ringan dan pikiranku benar – benar tertuju pada sumber air ditengah hutan terlarang itu.

Jalan yang menuju ke arah hutan terlarang yang tadinya tertutup oleh pepohonan, sekarang terlihat diremangan malam yang mulai menyapa.

“Ingatlah setiap yang aku ucapkan tadi Lang.” Ucap Bu Nyoto, ketika aku selesai memakai pakaianku.

Aku lalu melihat ke arah Bu Nyoto yang sudah berdiri dan sekarang beliau hanya mengenakan kain jarik sampai menutupi buah dadanya. Kebaya hijau muda yang dikenankannya tadi, ditinggalkan di balai – balai bambu.

“Iya Bu.” Jawabku, ketika beliau sudah berdiri dihadapanku dan beliau melihat ke arah air terjun.

“Oh iya, untuk yang terakhir kalinya, aku ingin menyampaikan satu hal kepadamu dan ini tadi pasti tidak diceritakan Bapakmu kepadamu.” Ucap Bu Nyoto dan tetap tidak melihat ke arahku.

“Kamu harus bisa sampai ke sumber mata air dan menuntaskan apa yang menjadi tujuanmu disana. Kalau tidak..” Ucap Bu Nyoto terpotong.

“Kalau tidak.?” Tanyaku dengan hati yang berdebar.

“Nyawa Bapakmu yang akan menjadi taruhannya.” Ucap Bu Nyoto sambil menoleh ke arahku dengan tatapan mata yang sangat dingin, setelah itu berjalan ke arah air terjun dan mandi dibawah pancurannya.

DUAARRR.

Tiba – tiba petir menyambar dengan kerasnya, lalu diikuti dengan hembusan angin yang sangat kencang sekali. Suasana yang tadinya hening dan tenang, langsung berubah dengan badai yang datang tiba – tiba ini.

Aku tidak terkejut atapun takut, dengan petir dan badai yang datang ini. Tapi kata – kata Bu Nyoto barusan yang membuat seluruh tubuhku bergetar dengan hebatnya. Nyawa Bapakku menjadi taruhannya, kalau aku sampai gagal dimalam ini. Bajingan.

Kenapa Bapak tadi tidak cerita masalah itu dan kenapa Bapak justru menyuruhku balik ke Kota Pendidikan, sebelum akhirnya aku berkeras untuk melakukan perjalanan ini.? Ada apa dengan Bapak.? Apa beliau takut kalau sampai terjadi apa – apa denganku didalam hutan terlarang ini.? Atau Bapak tidak ingin menambah beban yang ada dipikiranku.?

Djiancokk. Aku harus menyelesaikan masalah ini bagaimanapun caranya. Ucapan Bu Nyoto ini menjadi semangat baru bagiku dan pastinya aku akan semakin menggila dengan tekadku.

Aku akan menaklukan hutan ini dan aku akan kembali dengan senyum keluarga yang menyambutku.

Semongko Lang, semongko.

“SEMONGKO.!!!” (Semangat nganti bongko = semangat sampai mampus.) Teriakku dengan lantangnya.

“Aku pamit Bu.” Ucapku ke Bu Nyoto yang mandi di air terjun dengan posisi membelakangi aku.

Bu Nyoto membalikan tubuhnya dan menoleh ke arahku, sambil membenarkan kain jarik yang dipakainya.

Tubuhku langsung merinding dan kedua mataku melotot, karena yang berdiri di air terjun itu bukan Bu Nyoto lagi, tapi wanita lain. Entah siapa wanita itu, karena aku belum pernah melihatnya sama sekali.



????


“Pergilah, karena sudah waktunya kamu pergi Lang.” Ucap Wanita itu, lalu dia tersenyum kepadaku.

Aku berdiri terpaku dan aku tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Aku tetap melihat ke arah wanita cantik itu dengan jantung yang berdetak cepat dan nafas yang memburu.

“Hu, hu, hu, hu.”

“Pergi sekarang juga.” Ucap wanita itu dan tatapannya berubah menjadi sangat tajam.

“I, I, I, I, iya.” Ucapku terbata, lalu aku memalingkan wajahku dan melihat ke arah hutan terlarang.

Aku berjalan mengikuti jalan setapak dengan pikiran yang kembali kacau, dengan kejadian – kejadian barusan.

Badai yang sangat kencang, sekarang mulai di iringi dengan hujan yang sangat lebat sekali.

Langkahku terhenti karena tiba – tiba jalan yang tadinya terlihat, sekarang tertutup oleh pepohonan lagi. Bajingan.

Dan ditengah kebingunganku, datang seekor burung yang terbang tidak jauh diatas kepalaku, lalu hinggap disalah satu pohon. Burung itu berwarna hitam pekat dan matanya berwarna merah darah. Tatapan burung itu sangat tajam dan menakutkan. Dan kalau aku tidak salah ingat, ini adalah burung rajawali, binatang peliharan penjaga Desa Jati Luhur.







#Cuukkk. Kelihatannya perjalananku ini akan sangat – sangat berat dan mengerikan. Pasti akan banyak sekali makluk – makluk alam ghaib yang datang. Entah itu mungkin akan membantu diperjalanan ini sampai ketujuanku, atau malah menghalangi jalanku. Entahlah. Tapi aku Gilang, Gilang Adi Pratama. Aku akan menaklukan hutan terlarang ini, malam ini juga. Bajingan.
Matur suwun hu ws di up maneh....
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd