Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2



BAGIAN 27
KEHILANGAN ORANG YANG KUSAYANG



Pov Joko

“Mas Jo, kurang – kurangilah rokoknya.” Ucap kekasihku tercinta, ketika aku akan membakar rokokku.

“Baru juga mau dibakar yang, dari tadi aku kan gak merokok. Lagian ini baru selesai makan, masa aku boleh merokok sebatang aja sih.?” Ucapku sambil memegang batang rokok ditangan kiri dan korek ditangan kanan.

“Emang kenapa kalau habis makan.? Pahit ya mulutnya.? Padahal aku ada dihadapan Mas Jo loh. Emang aku kurang manis, sampai Mas Jo harus merokok setelah selesai makan.?” Ucap Denok pelan lalu dia menundukan wajahnya sebentar, setelah itu menatapku lagi sambil membenarkan kacamatanya.

“Emang sayang mau..” Sahutku pelan dan sengaja aku menghentikan ucapanku, sambil mendekatkan wajahku kearahnya. Aku lalu menyapu bibir atas dan bibir bawahku menggunakan lidahku.

“Iiihhh, jembek’i.” (Ihhh, menjengkelkan.) Ucap Denok sambil mendorong pipi kananku pelan.

“Ha, ha, ha, ha.” Aku hanya tertawa, lalu aku memundurkan wajahku lagi, setelah itu aku menyalakan rokokku dan menghisapnya.

“Huuuu.” Aku membuang asap rokok yang ada didalam mulutku keatas.

“Beneran dibakar rokoknya.” Ucap Denok dengan wajah yang sedikit kecewa.

“Maumu itu bagaimana sih yang.? Kalau mau melarang aku rokok’an, ya larang aja. Jangan ada kata kurang – kurangi. Kata kurang – kurangi itu kan berarti boleh, tapi gak boleh banyak rokokannya. Berarti gak salah dong aku membakar rokokku.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku lagi.

“Iya, aku memang ngomong seperti itu. Karena merokok itu kesenangannya Mas, aku gak melarang tapi meminta Mas untuk mengurangi. Kalau aku melarang, entar Mas pikir aku mengekang dan mengatur kehidupannya Mas.” Ucap Denok yang langsung membuat aku mengerutkan kedua alisku.

“Kita ini bahas masalah apasih yang.? Kok sampai ngomongin mengekang dan mengatur kehidupan segala.?” Tanyaku sambil menatap matanya.

“Kalau boleh jujur. Selain karena untuk kebaikan dan kesehatan Mas, dadaku itu sesak kalau kena asap rokok.” Ucap Denok dan langsung membuatku terkejut.

“Kenapa baru ngomong sekarang kalau dadamu itu sesak kena asap rokok.?” Tanyaku sambil menjatuhkan batang rokokku yang masih sangat panjang ini kelantai, lalu aku menginjaknya.

“Kan aku tadi sudah bilang, aku gak mau mengganggu kesenangan Mas.” Jawab Denok dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

“Jangan berpikiran seperti itu dong yang. Kalau seorang kekasih mengingatkan sesuatu untuk kebaikan kekasihnya, kenapa tidak.? Aku berbicara seperti ini, bukan hanya tentang rokok tapi segalanya.”

“Kewajiban seorang kekasih itu, mengingatkan kesalahan kekasihnya dalam segala hal. Kalau tidak mau di ingatkan, untuk apa membangun komitmen dalam sebuah hubungan.” Ucapku sambil menatap mata Denok.

“Kok tumben banget ngomongnya serius yang.?” Tanya Denok sambil melebarkan kedua matanya dan memiringkan sedikit kepalanya.

“Aku itu orangnya memang seperti ini, kalau dengan wanita yang kucintai. Diluar sana boleh orang bilang aku itu Joko yang ngawur, suka menyeletuk, suka bercanda dan suka main - main. Tapi kalau sudah urusan cinta, aku gak bisa bercanda. Cinta itu bukan untuk lucu - lucuan, apalagi untuk banyolan. Cinta gak sebercanda itu kekasih.” Ucapku dan membuat nya sedikit terkejut.

“Hei. Ada apa sama kekasihku ini ya.? Kok tumben jadi romantis seperti ini sih.?” Tanya Denok sambil mengerutkan kedua alisnya.

“Bukannya romantisnya yang. Aku memang berbicara apa adanya, karena aku benar – benar mencintaimu.” Jawabku dengan nada yang serius.

“Jangan terlalu seserius itu mencintai aku yang. Aku jadi takut mengecewakanmu, karena cintaku tak sebesar cintamu. Jangan bebani aku dengan cintamu yang luar biasa, karena aku pasti bingung untuk membalasnya.” Ucap Denok.

“Gak usah bingung apa lagi takut yang. Kamu jangan terbebani dengan semua ini. kamu juga gak perlu memikirkan bagaimana membalas cintaku, tapi cukup jadilah dirimu sendiri. Denok, wanita cantik yang kucinta.” Ucapku.

“Hemm. Mulai mengobral rayuan ya.?” Tanya Denok dengan wajah yang bersemu kemerahan

“Aku itu tidak suka mengobral rayuan. Karena tanpa dirayu pun, kamu tetap cantik.” Ucapku.

“Gombal. Berarti kalau aku gak cantik, kamu gak cinta dong.?” Tanya Demok.

“Bukan karena kamu cantik, aku cinta. Tapi karena aku cinta, kamu jadi cantik.” Jawabku dengan santainya.

“Mas Jo ah.” Ucap Denok lalu dia menunduk sejenak karena malu, setelah itu dia mengangkat wajahnya lagi dan menatap mataku lagi.

Aku pun tersenyum dan membalas tatapannya dengan tatapan cintaku yang tulus dari dalam hati.

“Mas Jo, jangan gitulah lihatnya. Aku jadi malu.” Rengek Denok dengan manjanya.

“Kenapa harus malu ketika kekasihmu ini menatapmu.?” Tanyaku.

“Karena tatapanmu itu membuat hatiku bergetar. Dan cuman kamu aja yang bisa melakukannya.” Ucap Denok yang langsung membuat hatiku berbunga – bunga.

Aku terbuai dan dibuatnya sampai salah tingkah. Jiancookk.

Mau tersenyum, tapi aku malu. Mau berteriak, entar dia marah. Mau melihat kearah yang lain, tapi tidak ada pemandangan yang seindah dia. Mau mengucapkan kata – kata yang manis, tapi pasti kalah dengan senyumnya yang manis.

Kata – kata Denok barusan itu sederhana, tapi mampu memporak porandakan seluruh hatiku. Assuu, assuu.

Terus bagaimana kalau sudah begini.? Ya aku hanya bisa diam terpaku, dengan bibir yang menahan senyum dan wajah yang pasti kemerahan.

“Ihhhh, nggemesin banget sih wajahnya.” Ucap Denok sambil memencet hidungku dengan gemasnya.

Aku tidak menepis tangan kekasihku ini, ataupun berpura - pura kesakitan. Aku justru senang, karena kekasihku ini menyentuhku dengan rasa cintanya dan aku ingin dia terus menyentuhku dengan berbagai caranya.

“Udah ah, entar kita malah diam – diaman aja sampai nanti.” Ucap Denok sambil menurunkan tangannya dari hidungku.

“Oh iya, proyekmu dah selesai ya yang.?” Tanya Denok mengalihkan pembicaraan.

“Sudah. Tadi pagi dibawa Mas Candra ke kantor Mas Jago.” Jawabku.

“Waw, luar biasa banget kalian bertiga ini. Kerjaan yang super berat seperti itu, bisa diselesaikan dalam waktu satu minggu.” Ucap Denok dengan wajah yang terlihat bangga kepadaku.

Cok. Yang luar biasa itu kamu nok. Kamu gak pernah bertanya tentang upah yang akan kami dapatkan dan ketika kamu tau proyek ini sudah selesai, kamu juga gak meminta sesuatu dari aku. Padahal seminggu ini kita tidak pernah bertemu dan kamu memberikan aku kesempatan, untuk menyelesaikan proyek ini. Kamu tidak pernah memintaku untuk menjemput atau mengantarkan kamu kemanapun. Kamu juga tidak pernah memintaku untuk menemani makan atau bahkan menyuruhku kerumahmu. Kamu benar – benar mengerti dengan kondisi kesibukanku.

Hari ini saja aku yang menelponmu dikantor dan memintamu makan siang bareng, karena waktuku sudah sangat longgar. Luar biasa banget kekasihku ini.

“Kamu minta apa yang.?” Tanyaku dan sengaja aku mengatakan ini, untuk menebus seminggu waktu kesibukanku yang super padat.

“Maksudnya.?” Tanya Denok.

“Kamu minta dibelikan apa.? Aku dapat hasil yang lumayan dari proyek ini loh.” Ucapku menawarkan sesuatu yang mungkin di inginkannya.

“Sayang.” Ucap Denok dengan merdunya, sambil memegang punggung tangan kananku pelan dan aku langsung membalikan tanganku, lalu aku meremas telapak tangannya dengan lembut.

“Simpan uangmu dan gunakan untuk kebutuhan kuliahmu, serta kebutuhan hidupmu. Kamu belum ada kewajiban untuk menafkahi aku.” Ucap Denok menolak tawaranku, dan kata - katanya menurutku sangat romantis sekali. Gila, makin sayang aku sama wanita satu ini.

“Terus kapan aku bisa menafkahi kamu.?” Tanyaku.

“Kalau kamu sudah mencapai impianmu dan membahagian kedua orang tuamu, baru kita bicarakan masalah ini lebih lanjut.” Jawab Denok.

“Impianku itu bersanding denganmu dan pasti itu membahagiakan kedua orang tuaku.” Jawabku dan membuat kedua mata Denok berkaca – kaca.

“Sayang. Jawabanmu itu laki – laki banget sih.” Ucap Denok lalu dia tersipu malu.

“Karena kamu itu perempuanku.” Sahutku sambil mengangkat tangannya, lalu aku mengecup punggung tangan kanannya dengan lembut.

CUUPPP.

“Aku sayang kamu.” Jawabku sambil menatap matanya, lalu.

CUUPPP.

Aku mengecup punggung tangannya sekali lagi.

Denok langsung berdiri sambil membungkuk dan memajukan wajahnya kearah wajahku, lalu.

CUUPPP.

“Aku juga sayang kamu.” Ucap Denok, setelah mengecup bibirku dengan lembutnya.

Cok, bergetar hati ini nok. Bergetar sampai biji rasanya. Hehehe.

Denok lalu menegakkan tubuhnya pelan, sambil menarik tanganku agar aku berdiri juga.

“Mau kemana.?” Tanyaku dan sekarang aku juga sudah berdiri.

“Jam berapa ini Mas.? Waktunya aku balik kekantor.” Ucap Denok.

“Kok cepat banget sih.?” tanyaku sambil melihat kearah jam dinding yang ada dicafe ini.

Jiancok, ternyata sudah satu jam kami nongkrong disini dan itu gak terasa sama sekali. Aku merasa baru satu detik duduk disini dan sekarang sudah mau beraktifitas masing – masing lagi. Bajingan.

“Nanti sore kalau Mas ada waktu, kita keluar lagi.” Ucap Denok.

“Okelah. Aku sudah gak ada kesibukan lagi kok.” Jawabku dengan senangnya, lalu aku melepaskan pegangan tangan kami dan aku berjalan kearah kasir, untuk membayar makan siang kami.

Setelah membayar, aku berjalan kearah Denok lagi, lalu aku menggandeng tangannya. Denok menggelendot dipundakku dan kami berdua keluar dari café ini.

“Ga usah diantar ya Mas, aku bisa naik angkot sendiri kok.” Ucap Denok ketika kami sudah diluar café dan berdiri dipinggir jalan.

“Ya.. Padahal aku mau antarkan kekantor.” Ucapku dengan nada yang sedikit kecewa.

“Nanti sore kan kita ketemu lagi yang.” Ucap Denok sambil menegakkan kepalanya dari pundakku.

“Iya, ya.” Ucapku, lalu aku menoleh kearahnya dan.

CUUPPP.

Aku kecup rambut bagian kepala sampingnya dengan lembut dan denok langsung melihat kearahku, dengan diiringi senyumnya yang sangat menawan hati.

“Aku naik angkot itu ya.” Ucap Denok sambil menunjuk sebuah angkot yang terparkir, tidak jauh dari tempat kami berdiri. Angkot itu terlihat sedang menunggu penumpang.

Akupun mengantarkan Denok sampai dia naik keatas angkot. Dan pada saat dia naik keangkot, bokongnya yang padat dan semok terpampang jelas dihadapanku. Bajingaann. Jadi pengen cepat kunikahi aja rasanya. Assuuu.

Denok duduk didalam angkot dan dia melihat kearahku, di iringi senyumnya yang manis itu.

Pandanganku langsung aku alihkan kekaca angkot yang berdebu ini. Lalu dengan refleknya, jari telunjuk tangan kananku tergerak untuk menggambar sesuatu. Aku menggambarnya cukup cepat dan Denok hanya melihatnya dengan wajah yang heran.

“Sayang.” Ucap Denok yang melotot, sambil memunculkan wajahnya keluar kaca angkot yang terbuka. Dia tampak terkejut melihat hasil gambarku dikaca angkot yang berdebu ini.

Bajingan. Rupanya aku menggambar jempol yang terjepit jari telunjuk dan jari tengah. Jiancok. Jiancok.

“Ma, maaf yang.” Ucapku sambil menghapus gambar jempol terjepit itu, lalu menggambar bentuk hati disebelahnya gambar yang baru aku hapus itu.

“Maksudku tadi mau gambar ini.” Ucapku dan membuat Denok menggelengkan kepalanya.

“Hehehe.” Akupun langsung tertawa, untuk menutupi rasa maluku.

“Aku sayang kamu.” Ucapku sambil mendekatkan wajahku kearah Denok.

“Ihhhhh.” Ucap Denok dengan gemasnya, sambil mencubit pipiku.

“Hehehehe.” Aku tertawa lagi, melihat wajah kekasihku yang semakin menggemaskan ini.

Beberapa saat kemudian, beberapa penumpang mulai naik dan angkotpun mulai berjalan meninggalkan aku.

Aku melambai kearah Denok dan Denok juga melambai, lalu dia mengakhirinya dengan kecupan jarak jauh.

Cok, kekasihku itu cok. kekasihku yang tercinta.

Dan tiba – tiba aku terpikirkan untuk memberikan Denok sebuah kejutan nanti sore. Aku ingin membelikan dia sebuah cincin dan aku mau mengikatnya dalam sebuah hubungan yang sangat serius. Istilah kerennya itu melamar, ya walaupun nikahnya setelah aku lulus nanti. Gak apa – apa kan mulai sekarang aku mengikatnya.? Pasti gak apa – apa, karena kami berdua itu saling mencintai.

Akupun segera meninggalkan tempat ini, menuju toko emas yang tidak jauh disana. Kebetulan aku membawa sedikit tabunganku dan pasti cukup untuk membeli sebuah cincin. Tidak perlu yang terlalu mahal, yang penting tulus dan membuktikan keseriusanku untuk hubungan yang lebih serius lagi. Hehehe.

Aku melangkahkan kakiku dengan hati yang berbunga – bunga, menuju toko emas itu. Dan setelah sampai ditoko emas itu, pandanganku langsung tertuju pada sebuah cincin emas mungil yang bermata biru muda. Cincin itu sangat indah dan pasti lebih indah, kalau terpasang dijari manis Denok.

Harga cincin itu ternyata sama dengan jumlah uang yang ada dikantongku. Tidak lebih ataupun kurang. Karena jumlah uang yang kubawa pas – pasan, aku diberi bonus sebuah kotak cincin mungil berwarna merah hati. Cok, lengkap banget ini kalau dibuat kejutan untuk Denok. Lengkap banget.

Setelah membayar, aku mengantongi kotak cincin ini lalu balik menuju kosan dengan berjalan kaki. Aku berangkat kekafe tadi, sengaja tidak naik kimba. Selain karena jarak cafenya tidak terlalu jauh dengan kosan, aku ingin merenggangkan tubuhku, setelah semingguan ini terlalu banyak duduk.

Aku berjalan kaki kekosan dengan hati yang sangat bahagia, sambil sesekali meraba kotak cincin yang ada dikantongku. Akupun membayangkan senyum manis Denok, ketika aku memasangkan cincin ini jari manisnya. Suasananya pasti sangat haru dan akan dipenuhi dengan cinta kami berdua.

Dan tidak terasa, perjalananku pun akhirnya sampai dikosan. Aku berjalan pelan masuk kedalam kosan dan terdengar obrolan dikamar Gilang yang tertutup.

“Yang, kurang - kurangilah rokokmu itu.” Samar – samar terdengar suara Intan dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

Cok. kok ucapannya sama seperti ucapan Denok tadi ya.? Apa semua wanita disemesta ini sama seperti itu, ketika melihat kekasihnya merokok.?

Apa salahnya merokok itu sih.? Apa mengganggu kesehatan dan tidak berumur panjang.? Mbahku isapan rokoknya lebih keras dari pada aku, tapi sampai sekarang beliau terlihat sehat – sehat aja. Jadi apa dasarnya, orang bilang rokok itu menggangu kesehatan.? Ahhh. Asssuu.

“Kamu itu sudah sering bergadang, terus rokoknya malah kayak kereta api.” Ucap Intan dan tidak terdengar suara Gilang sama sekali.

Kalau sudah berbicara masalah rokok, Gilang pasti tidak mau mendebat ucapan kekasihnya. Aku paham sekali sifat sahabatku yang sangat penyabar itu. Paling banter dia menjawabnya dengan ucapan yang singkat. Iya.

“Iya.” Jawab Gilang. Tuhkan. Hehehe.

“Kalau dikasih tau, pasti itu jawabannya.” Ucap Intan dan aku langsung melangkah kearah kamarku.

Aku tidak mau mendengarkan percakapan mereka lagi, dari pada mulutku latah untuk nimbrung dipercakapan mereka.

Aku masuk kedalam kamarku dan aku langsung merebahkan tubuhku dikasur, sambil mengeluarkan kotak cincin dari dalam kantong celanaku. Aku menatap cincin ini dan tidak sabar untuk memakaikannya dijari manis Denok.

“Huaaaaaa.” Tiba – tiba rasa kantuk menyerangku dan aku langsung menutup kembali kotak cincin ini, lalu memasukkannya kedalam kantong depan celanaku. Aku tidak ingin tertidur, tapi kotak ini masih aku pegang. Nanti kalau Mas Candra dan Gilang lihat, bisa iri mereka berdua kepadaku. Hahaha.

Oh iya, kalau seandainya aku menunggu uang bagianku diproyeknya Mas Candra, pasti aku bisa membeli cincin yang lebih mahal. Tapi iya kalau Denok suka.? Kalau dia marah karena aku terlalu menghamburkan uang bagaimana.? Kalau cincin yang baru aku beli ini, pasti dia tidak marah. Harga cincin ini tidak terlalu mahal kok.

“Huaaaaaa.” Aku menguap lagi dan perlahan mataku mulai memberat, serta sedikit lagi terpejam.

Cok. kok ngantuk banget ya aku.? Apa mungkin karena setelah semingguan ini aku kurang istirahat, jadi aku mengantuk dan ingin beristirahat sejenak.

Ahhhhh. Tubuhku terasa benar – benar santai dan lelahku perlahan mulai menghilang, dengan mata yang mulai terlelap.

Sejuk, tenang dan damai, itu yang aku rasakan sekarang.

Perlahan aku merasa rambutku seperti sedang dibelai seseorang. Aku seperti sedang tertidur diatas pangkuan ibuku dan rambutku dibelai dengan lembut olehnya. Aku juga merasa kedua kakiku sedang dipijat oleh seseorang dan pijatan ini, pijatan seperti ini hanya Bapakku yang melakukannya. Ini semua mengingatkan aku pada masa kecilku dulu.

Cok, kok aku bisa terasa seperti ini ya.? Dan kenapa tiba – tiba aku kepikiran dengan kedua orang tuaku.? Apa karena aku ingin ‘melamar’ Denok kekasihku, tapi aku belum ijin dengan kedua orang tuaku.?

Argghh. Aku memang belum pernah menyeritakan hubunganku dengan Denok, kepada Bapak dan Ibu. Padahal aku sudah pernah kedesa, tapi belum sekalipun aku bercerita tentang Denok. Apa Bapak dan Ibu merestui hubungan kami ini ya.?

Menjalin hubungan sampai kejenjang kepernikahan, itu sangat sakral sekali didesaku. Orang tua harus dilibatkan, karena pasti ada hitungan weton yang harus kami lewati terlebih dahulu. Kalau hitungan itu cocok, kami boleh melanjutkan kejenjang selanjutnya. Tapi kalau tidak cocok, seberapapun besar cinta kami, kami harus menguburnya dalam – dalam. Bajingaann.

Apa aku harus pulang kedesa dulu, untuk meminta restu pada Bapak dan Ibu ya.?

Hiuufftt, huuuu.

Belaian dikepala dan pijitan dikedua kakiku, semakin membuatku terasa nyaman dan jiwaku seperti terbang entah kemana. Belaian dan pijitan ini, sangat – sangat terasa nyata bagiku.

Perlahan aku membuka mataku yang terpejam.

“Ibu.” Ucapku yang terkejut, ketika aku membuka kedua mataku.

Aku terbangun dipangkuan Ibuku dan aku berada disebuah pondok yang sangat aku kenal. Pondok ini berdiri di dekat sumber mata air didesaku dan tempat ini berada didalam hutan belantara.

Pondok ini sebenarnya sangat angker dan jarang ada yang berani bermain sampai ketempat ini. Jangankan masuk kedalam hutan dan duduk dipondok ini, bermain dipinggiran hutan saja, tidak ada yang berani. Apalagi sampai mendekat kearah sumber mata air yang sangat sakral itu, bisa ketakutan sampai gila orang – orang itu.

Tapi aku dan Gilang justru sering bermain kepondok ini. Kami berdua senang mencari ketenangan ditempat yang katanya menyeramkan ini. Bagi kami tempat ini jauh dari kata yang namanya seram dan menakutkan. Tempat ini sangat indah dan sangat tepat untuk dijadikan tempat perenungan. Banyak inspirasi yang kami dapatkan, ketika kami sudah keluar dari hutan belantara ini. Apalagi kalau kami menutupnya dengan membasuh wajah di sumber mata air, pikiran dan hati ini terasa sangat segar sekali.

Oh iya, kalau untuk sekedar menenangkan diri, hutan ini mudah dimasuki sampai kepondok ini. Tapi kalau tujuannya untuk ritual, pondok dan sumber mata air ini tidak akan mudah untuk ditemukan. Itu kata orang – orang tua kami dulu.

Hiufftt, huuuu.

“Sudah bangun le.?” Tanya Ibuku yang kembali mengejutkanku, lalu beliau tersenyum sambil terus membelai rambut bagian atas kepalaku.

“Kenapa Joko ada disini Bu.?” Tanyaku yang masih tertidur membujur dan kedua kakiku terasa dipijit seseorang.

“Ba, Bapak.” Ucapku sebelum Ibu menjawab pertanyaanku dan aku melirik kearah kakiku, yang ternyata memang dipijit Bapakku.

“Pak, Bu. Kok kita ada disini.?” Tanyaku lagi dengan herannya dan aku merasa seluruh tubuhku sangat sulit sekali digerakkan. Aku sebenarnya ingin duduk dan memeluk kedua orang tuaku ini, tapi tidak bisa.

“Bapak dan Ibu kangen Le.” Jawab Ibuku dengan tatapannya yang sangat meneduhkanku, sementara Bapakku diam dan terus memijit kedua kakiku.

“Ta, tapi kenapa bisa ditempat ini Bu.? Kok kita gak dirumah aja.?” Tanyaku.

“Dimanapun tempatnya, gak masalah Le. Yang penting kangen ini bisa terobati.” Jawab Ibuku dan langsung membuat seluruh tubuhku merinding.

Aku baru merasa tangan Ibu yang sekarang membelai keningku ini, terasa sangat dingin. Begitu juga tangan Bapakku yang memijit kedua kakiku.

“Kok tangan Bapak dan Ibu dingin.?” Tanyaku.

“Gak apa – apa Le.” Jawab Ibuku singkat.

Cok. Ini ada yang aneh dan aku merasa seperti berada dialam yang lain. Bukan dihutan tempat mata air desaku, tapi tempat yang berbeda.

Pondoknya dan hutannya sama, tapi suasananya sangat – sangat berbeda sekali. Bajingaann.

“Bu, ini ada apa sih sebenarnya.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.

Ibu tidak menjawab pertanyaanku dan begitu juga Bapakku. Lalu tiba – tiba Ibu menyanyikan sebuah lagu, yang biasa dinyanyikan ketika aku kecil dulu.


Aku terbuai dengan lantunan lagu yang dibawakan Ibuku, sampai aku tidak bisa mengucapkan kata – kata.

“Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan.” (Jangan mudah sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan pula mudah sedih manakala kehilangan sesuatu. Sang Maha Kuasa atas segala yang ada di alam semesta beserta isinya, tiada apapun di dunia ini kecuali karena sudah kehendak Nya. Berjiwa besar, lapang dada dan ikhlas menerima adalah sikap yang kesatria.) Ucap Ibuku sambil terus membelai kepalaku.

Cok, ada apa ini.? kenapa Ibu mengucapkan kata – kata ini.? Ini nasehat yang sering Ibu sampaikan kepadaku, waktu aku kecil dulu. Sudah lama sekali aku tidak mendengar nasehat ini dari Ibu dan sekarang kata – kata itu keluar lagi. Dan anehnya Ibu mengucapkannya disuasana dan tempat yang seperti ini. Ada apa ini.? Ada apa.?

Perlahan kedua air mataku mengalir, mendengarkan nesehat dari wanita yang mengenalkan cinta untuk yang pertama kalinya didalam kehidupanku ini.

“Sekuat apapun kamu menggariskan jalan kehidupanmu, tidak akan bisa mengubah jalan hidup yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Manusia hanya bisa berencana, sementara garis ketetapan Sang Pencipta adalah mutlak. Sabar, ikhlas dan berprasangka baiklah pada ketetapannya.” Ucap Ibu dengan tenangnya dan air mataku semakin deras mengalir.

Entah kenapa aku bisa seperti ini, yang jelas aku seperti mendengar nasehat Ibu untuk yang terakhir kalinya. Bajingaann.

“Sejauh – jauhnya kamu mencari jati diri dan sebesar – besarnya ilmu yang kamu dapatkan, Semua akan bermuara pada Sang Sejatinya Hidup.”

“Jalani kehidupan ini dengan keikhlasan, karena itu yang akan menuntunmu menemukan akhir kehidupan ini.” Ucap Ibuku sambil mengangkat wajahnya dan melihat kearah mata air didepan sana.

“Bu, Pak.” Ucapku dengan deraian air mataku.

“Perjalananmu masih panjang Le.” Ucap Ibuku sambil menunduk dan melihatku yang masih terbaring dipangkuannya.

Perlahan tangan kanan beliau menghusap seluruh wajahku, sampai kedua mataku terpejam.




“IBUUU, BAPAKKK.” Ucapku berteriak, sambil membuka kedua mataku dan aku langsung duduk dari posisi tidurku.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku cepat dan memburu.

Aku terbangun dikosanku lagi dan pandanganku pun tertuju kedepan pintu kamarku, karena disana ada Gilang dan Cak Ndut.

Cok. Ternyata barusan aku bermimpi, tapi mimpi itu terasa sangat nyata sekali. Kenapa bisa aku bermimpi seperti itu.? Apa Bapak dan Ibu kangen denganku.? Kelihatannya aku harus pulang kedesa dan bertemu dengan kedua orang tuaku.

Tapi ngomong – ngomong, ada apa Cak Ndut kekosanku.? Apa dia mau main – main kesini.? Tumben banget.

“Awak dewe muleh saiki cok.” (Kita pulang sekarang cok.) Ucap Gilang dengan suara yang berat dan mata yang berkaca – kaca.

“Muleh nangdi.?” (Pulang kemana.?) Tanyaku dengan herannya dan pikiranku saat ini sangat kalut sekali.

“Muleh nang ndeso.” (Pulang ke desa.) Jawab Gilang singkat, lalu dia memalingkan wajahnya.

Terlihat air matanya mulai mengalir dengan deras dan dia menyembunyikan wajahnya dari aku.

“O, o, ono opo cok.?” (A, a, ada apa cok.?) Tanyaku terbata dan entah kenapa air mataku mulai terkumpul dikelopak mataku.

“Ba, Ba, Bapak, I, I, Ibumu.” Ucap Gilang terbata dan dia tidak melihat kearahku.

“Ba, Ba, Bapak, I, Ibu, Ibuku. Kenapa cok.?” Tanyaku dan aku menahan agar air mata ini tidak tertumpah.

Gilang tidak menjawab pertanyaanku dan dia tetap tidak mau melihat kearahku.

“KENAPA COK.? KENAPA.?” Aku berteriak dengan kencangnya, tapi Gilang tetap tidak menjawab pertanyaanku.

“Cak. Bapak Ibuku kenapa Cak.?” Tanyaku ke Cak Ndut dan aku langsung berdiri.

Wajah Cak Ndut juga terlihat sedih dan sekarang terlihat ketakutan sekali.

“CAK. BAPAK IBUKU KENAPA.?” Teriakku.

“Se, sedo Mas.” (Me, meninggal Mas.) Jawab Cak Ndut dengan refleknya dan terbata – bata.

“Cok. Gak usah guyon Cak.” (Cok. Gak usah bercanda Cak.) Ucapku dengan suara yang berat dan emosi yang tertahan. Kedua mataku melotot dan aku menahan sekuat tenaga, agar air mata ini tetap menggenang dikelopak mataku..

Cak Ndut menggelengkan kepalanya pelan, dengan di iringi air matanya yang perlahan mulai mengalir.

Aku terdiam dengan tatapan yang kosong kearah Cak Ndut dan Gilangpun langsung menoleh kearahku.

Tidak ada kata dan tidak ada kesedihan yang sanggup aku keluarkan saat ini, karena aku merasa ini hanya sebuah mimpi. Mimpi yang sangat membangsatkan.

PLAKK.

Aku menampar pipi kananku dengan keras.

PLAKK.

Giliran pipi kiri yang aku tampar dan aku berharap segera bangun dari mimpi buruk ini.

PLAKK, PLAKK, PLAKK, PLAKK, PLAKK.

PLAKK, PLAKK, PLAKK, PLAKK, PLAKK.

Aku terus menampar kedua pipiku bergantian, tapi aku tetap berada didalam kamar kosanku ini.

Buhhgg.

Gilang langsung menabrak tubuhku dan memelukku dengan sangat serat.

“Hiks,hiks, hiks, hiks.” Terdengar suara tangis dari Gilang yang tertahan.

“Aku tidak akan bisa menghentikan kesedihanmu dan aku juga tidak mungkin menyuruhmu bersabar, dengan apa yang kamu hadapi saat ini. Tapi yang jelas, kamu gak sendirian Jok. Kamu gak sendirian menghadapi semua ini.” Ucap Gilang berbisik ditelingaku, disela tangisnya yang tertahan itu. Gilang melepaskan pelukannya dan menatap wajahku, dengan kedua tangannya yang memegang pundakku.

“Cok. Jadi semua ini nyata dan bukan mimpi.? Ini beneran.? Ini benaran cok.? INI BENARAN COK.? INI BENERAN.? JIANCOKKK.” Ucapku dengan emosi yang menggila dan aku seakan tidak percaya dengan kebenaran berita bangsat ini.

Gilang tidak menyahut ucapanku dan dia kembali memelukku dengan eratnya.

Tiba – tiba aku merasa langit ini runtuh dan menghantam kepalaku. Dunia ini terasa bergetar dan isinya bergejolak, seperti yang aku rasakan didalam tubuhku. Lantai yang aku pijak ini seperti digoyang gempa yang maha dasyat dan aku tetap berdiri dengan tegak, karena aku tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhku yang kaku ini.

Tubuhku terasa menggigil, tapi aku tidak sanggup untuk mengangkat kedua tanganku dan menghangatkan diriku sendiri. Pandanganku berbayang, karena air mata sudah memenuhi kelopak mataku dan siap membanjiri tanah ini.

Tes, tes, tes, tes, tes.

Butiran air mata mulai jatuh dengan bangsatnya, tanpa seijinku dan membasahi kedua pipiku. Air mata ini terus mengalir dengan derasnya dan aku tidak sanggup membendungnya lagi. Bajingaann.

Pikiranku berkecamuk dan aku tidak tau harus berbuat apa saat ini. Aku belum bisa berbicara dan aku belum bisa berpikir. Untuk sekedar bertanya penyebab meninggalnya pun, aku tidak sanggup menggerakan bibirku yang kaku ini.

Diam, diam dan hanya diam. Hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini.

“Ayo muleh, awakmu wes di enteni.” (Ayo pulang, kamu sudah ditunggu.) Ucap Cak Ndut dan aku hanya meliriknya sejenak.

Tappp.

Kosong dan aku sudah tidak sadar dengan apa yang terjadi dengan diriku.

Tapi yang jelas, saat ini kepalaku tertunduk dan keningku tersandar dipunggung Gilang, yang sedang mengendarai kimba dengan kecepatan tinggi. Kedua tanganku melingkar diperut Gilang dan sekali lagi aku tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhku.

Treng, teng, teng, teng, teng, teng.

Suara mesin kimba dan deru angin selama perjalanan, tidak aku hiraukan. Keningku terus menempel dipunggung Gilang dan air mataku terus menetes selama perjalanan ini.

Bayangan senyum Bapak dan senyum Ibu. Bayangan ketika aku masih bayi dan ditimang Ibu, bayangan ketika aku baru belajar berjalan dan dituntun Bapak, bayangan ketika aku disuapi Ibu. Bayangan ketika aku dipeluk, digendong dan dimanja, silih berganti hadir dihadapanku. Ingin sekali aku menarik tangan dan memeluk tubuh beliau berdua, tapi tidak bisa.

Huft, huft, huft, huuuu.

Aku menarik nafasku, dengan sisa – sisa isakan tangisku. Air mataku sudah tidak turun lagi dan aku langsung memejamkan kedua mataku sesaat.

“Jok.” Ucap Gilang memanggilku dan aku langsung membuka kedua mataku.

Aku memundurkan tubuhku dengan tetap menundukan kepalaku. Aku lalu turun dari Kimba dan menunggu Gilang untuk mengisi bahan bakar kimba. Ini ketiga kalinya kami berhenti dan mengisi bahan bakar.

“Le.” Panggil seseorang yang aku kenal suaranya.

“Mbah.” Ucapku sambil mengangkat wajahku dan ternyata kami bukan berhenti untuk mengisi bahan bakar. Aku dan Gilang ternyata sudah sampai didepan rumahku.

Begitu banyak orang yang telah berkumpul didepan rumahku dan mereka semua menatap kehadiranku, dengan pandangan yang sangat menyedihkan.

Buhggg.

Mbahku langsung memelukku dengan erat, setelah itu mengelus punggungku.

“Sabar ya Le, sabar.” Ucap Mbahku dengan suara yang bergetar dan pandanganku langsung tertuju pada pintu rumahku yang terbuka.

Aku tidak menjawab ucapan Mbahku ataupun membalas pelukan beliau. Pandanganku tertuju pada dua pasang kaki yang tertutup kain putih didalam rumahku. Hanya dua pasang kaki yang terlihat dan itu sudah membuat dadaku kembali bergetar.

Mbah yang melihat reaksiku diam saja, langsung melepaskan pelukannya dan merangkul pundakku. Mbah menuntuku berjalan kearah pintu rumahku.

Tes, tes, tes, tes, tes.

Butiran air mata mulai jatuh lagi dari kelopak mataku, setiap aku melangkahkan kakiku yang bergetar ini.

Tes, tes, tes, tes, tes.

Butiran air mata ini semakin deras, ketika aku sudah sampai didepan pintu rumahku dan melihat dua jasad yang terbujur kaku diruang tamu.

“Ba, Ba, Bapak. I, I, Ibu.” Ucapku terbata, sambil melihat kearah jasad Bapak dan Ibuku yang seperti tertidur dengan nyenyak, serta senyum yang mengambang di kedua bibir beliau.

“HIKS, HIKS, HIKS, HIKS.”

Tangisan yang meledak – ledak, langsung terdengar dari dalam rumahku. Seluruh keluargaku menangis histeris melihat kedatanganku ini.

Aku melangkah masuk kedalam rumah dan aku langsung bersimpuh dikedua kaki orang tuaku ini.

Tiba – tiba jantungku terasa berhenti berdetak, nadiku terasa berhenti berdenyut dan nafasku terasa sangat berat sekali.

“Pak, Bu. Kenapa ninggalin Joko sendiri.? Kenapa.? Siapa yang akan menemani Joko dirumah ini.? Siapa.? Hiks, hiks, hiks.” Ucapku dengan deraian air mataku.

“IBUUUU.” Teriakku lalu aku bersujud dan mencium kaki Ibuku.

“Hiks, hiks, hiks. Maafkan Joko Bu, Maafkan Joko.” Ucapku sambil mencium kaki Ibuku.

“Bapak, Bapak. Maafkan Joko Pak, maafkan Joko. Hiks, hiks, hiks,” Ucapku dan sekarang aku mencium kaki Bapakku.

Aku menangis, menjerit dan merengek, seperti seorang anak kecil. Aku mencium kedua kaki orang tuaku ini bergantian dan beberapa orang langsung mencoba menenangkan aku, tapi aku meronta sejadi – jadinya.

“Tenang Le, tenang.” Ucap beberapa orang sambil memegangi tubuhku.

“Lepas, lepaskan aku.” Ucapku sambil menepis tangan – tangan itu, sampai mereka terpental kebelakang.

“Jok, Jok, Joko.” Ucap Gilang dan dia langsung memelukku dari belakang.

“Bapak Ibuku Lang. Bapak Ibuku. Hiks, hiks, hiks.” Aku menangis sambil mencoba meronta, tapi didekap dengan kuat oleh Gilang.

“Aku ngerti cok, aku ngerti. Lek awakmu ngene, gak sano ambe Bapak Ibumu ta.?” (Aku ngerti cok, aku ngerti. Kalau kamu seperti ini, gak kasihan sama Bapak Ibumu kah.?) Ucap Gilang dengan suara yang bergetar dan tangis yang tertahan.

“Aku ditinggal dewe Lang, aku ditinggal dewe. Gawe opo aku urip lek aku dewean cok.? Gawe opo.? Hiks, hiks, hiks.” (Aku ditinggal sendirian Lang, aku ditinggal sendirian. Untuk apa aku hidup kalau sendirian cok. Untuk apa.?) Ucapku.

“Sabar cok, sabar. Lihat wajah Bapak dan Ibu yang tersenyum itu loh, lihat. Ucapanmu itu bisa buat beliau gak tenang ditidur panjangnya. Kamu mau buat beliau berdua bersedih dialam sana kah.?” Ucap Gilang yang terus menenangkan aku.

“HIKS, HIKS, HIKS, HIKS.” Aku menangis menjerit dan Gilang langsung merangkul leherku.

“Sabar cok, sabar. Bapak dan Ibu belum dimandikan. Semua keluargamu menunggumu dan sebelum malam, Bapak dan Ibu harus dikuburkan. Sekarang tenangkan dulu pikiranmu.” Ucap Joko sambil mengelus dadaku.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Aku menangis dan menyandarkan punggungku, didada Gilang yang ada dibelakangku.

“Kamu boleh sedih cok, boleh. Tapi sekarang kita harus segera menguburkan Bapak dan Ibu. Kasihan kalau beliau tidak segera dikuburkan.” Ucap Gilang sambil terus mengelus dadaku.

Akupun langsung menundukan kepalaku dan menangis sesenggukan. Aku tau ini berat dan ini sangat menyedihkan sekali bagiku. Tapi benar apa yang dikatakan Gilang. Kalau Bapak dan Ibu tidak segera dikuburkan, Beliau akan tersiksa dan aku akan menjadi anak yang paling durhaka sekali.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, setelah itu aku mengeluarkan nafasku perlahan. Aku mencoba menenangkan diriku sejenak dan Gilang terus mengelus dadaku.

“Kita mandikan sekarang.” Ucap Mbahku yang duduk bersimpuh, didekat jasad Bapakku.

Aku menganggukan kepalaku sambil terus menangis.

“Jok. Tolong tahan air matamu, tolong ditahan. Aku tau ini sangat sakit, tapi jangan ada air mata dulu sampai selesai penguburan nanti.” Ucap Gilang dan kembali aku menarik nafasku dalam – dalam.

Hiuuttff, huuuu.

Dan setelah aku agak tenang, ritual sebelum penguburan pun mulai dilakukan. Mulai dari memandikan, memakaikan kain kafan, sampai melakukan ibadah.

Semua dilakukan dengan cepat, karena sebentar lagi matahari akan segera tenggelam.

Dan bertepatan dengan matahari yang sedikit lagi tenggelam, kami semua telah sampai dipemakaman. Dengan air mata yang tertahan, aku mulai mengumandangkan ayat – ayat suci didua lubang kubur bergantian. Papan – papan kayu mulai diturunkan ketika aku selesai mengumandangkan ayat – ayat suci. Butiran tanah pun, menyusul diturunkan.

Bajingaann. Hari ini hatiku telah patah dan benar - benar patah. Seorang wanita yang membawa cinta kepadaku, telah pergi meninggalkan aku. Seorang Laki – laki yang mengajarkan cinta, juga telah pergi selamanya.

Air mataku sudah berhenti mengalir dan bersamaan dengan patok yang dipasang digundukan tanah liat ini.

Pada saat matahari benar – benar tenggelam dan hari mulai gelap, satu persatu orang meninggalkan area pemakaman ini. Akupun masih bersimpuh diantara makam Bapak dan Ibu yang berdampingan ini, dengan ditemani Gilang sahabatku.

Gilang merangkul pundakku dan meremasnya pelan.

“Ibu adalah segalanya bagiku. Aku tidak mengejar surga yang berada ditelapak kakinya. Yang aku kejar hanya senyum yang keluar dari bibirnya, dan itu senyum kebanggaannya buat aku. Itu saja.” Ucapku menirukan ucapan Gilang dihari itu.

“Dan kalau benar – benar ada sesuatu yang terjadi dengan Ibuku, untuk apa aku meraih impianku.? Percuma saja.” Ucapku.

“Itu kata – katamu dan sekarang telah terjadi kepada diriku. Bedanya ini bukan sesuatu yang akan terjadi, tapi memang sudah terjadi.” Ucapku lagi.

“Kamu boleh bersedih Jok, boleh. Tapi jangan sampai kamu menguburkan impianmu ditempat ini. Kamu gak ingin jalan panjang keabadian kedua orang tuamu, tersandung karena kesedihanmu kan.?” Ucap Gilang.

“Senyum Ibu dan Bapakmu akan tetap ada, ketika impianmu itu tercapai. Senyum itu akan terus ada dan mengiringi selama perjalanan keabadian beliau berdua.” Ucap Gilang.

Akupun langsung tersadar karena obrolan tentang impian ini dan aku langsung berdiri. Aku merogoh kantong depanku dan meraih isi kotak kecil didalamnya.

Denok, aku janji mau menjemputnya dan akan menyematkan cincin ini dijari manisnya. Apa dia tau kalau kedua orang tuaku sudah tidak ada ya.?

“Apa itu.?” Tanya Gilang.

“Cincin yang akan aku berikan kepada Denok. Harusnya sore ini, tapi ternyata.” Ucapku terpotong dan aku tidak sanggup melanjutkan ucapanku lagi.

“Kita balik sekarang.” Ucap Gilang sambil merangkulku dan terlihat dia sedang menyembunyikan sesuatu.

“Sudah malam, sebentar lagi juga dirumahmu mau didakan doa – doa.” Ucap Gilang lagi sambil memaksaku untuk berjalan meninggalkan area pemakaman ini.

“Lang.” Ucapku yang mencoba membaca raut wajah Gilang, tapi tidak bisa. Aku sudah terlalu lelah dan aku tidak konsen dengan pikiranku lagi.

“Ayolah.” Ucap Gilang sambil terus merangkulku dan kami berdua berjalan meninggalkan area pemakaman, dengan dituntun cahaya bulan purnama.

Dan didepan area pemakaman, tampak Pak Jarot, Pak Jaka, Mas Candra, Mas Jago dan Cak Ndut, menunggu kedatanganku.

Sejak kapan mereka datang.? Baru saja atau sudah dari tadi.? Kok aku baru melihatnya ya.?

“Pak Jarot.?” Ucapku dan Gilang langsung melepaskan rangkulannya dipundakku.

“Sabar ya Mas, sabar.” Ucap Pak Jarot, lalu beliau memelukku.

“Terimakasih Pak, terimakasih.” Ucapku sambil membalas pelukannya.

Kami berpelukan beberapa saat, lalu saling melepaskan.

Pak Jaka, Mas Candra, Mas Jago dan Cak Ndut, bergantian memelukku dan mengucapkan bela sungkawa.

“Kami langsung balik ya.” Ucap Pak Jarot kepadaku.

“Kok buru – buru Pak.? Gak kerumah dulu.?” Tanyaku.

“Ada pekerjaan yang harus kami selesaikan Mas.” Jawab Pak Jarot.

“Oh iya Pak. Terimakasih sekali lagi dan mohon maaf.” Ucapku yang tidak bisa mencegah kepulangan mereka.

Mereka bersalaman kepadaku bergantian, lalu pergi menggunakan mobil yang terparkir dipinggir jalan sana.

Dan sekarang tinggal aku, Gilang dan Cak Ndut yang sedang berjalan kearah rumahku.

Pak Jarot bisa datang kemari.? Sedikit terkejut sih aku. Beliau pasti tau dari Pak jaka dan Mas Candra. Tapi yang jadi pikiranku tentu saja Denok. Kira – kira Denok tau apa tidak ya.? Kalau tau, kenapa dia tidak datang kemari dan menghiburku.?

Arrgghh. Pasti dia tidak tau. Bisa saja Pak Jaka dan Mas Candra bertemu Pak Jarot diluar kantor, jadi Denok tidak tau kabar duka ini.

Hiuufttt, huuuuu.

Sekarang kami bertiga telah sampai didepan rumahku. Tampak seluruh keluargaku sedang menyiapkan ruang tengah dan halaman rumahku, untuk acara doa malam ini yang akan dihadiri penduduk Desa Sumber Banyu.

“Aku pulang dulu ya.” Ucap Gilang kepadaku.

“Kamu gak ikut doa dulu.?” Tanyaku dan Gilang hanya menepuk pundakku, lalu berjalan kearah kimba.

“Lang.” Panggilku ketika Gilang mulai mengengkol kimba.

Kretek, kretek, tek, tek. Teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba mulai menyala dan Gilang langsung naik keatas kimba.

“Jangan terlalu larut dengan kesedihanmu. Masih ada aku, saudaramu.” Ucap Gilang, lalu dia tersenyum dengan lirihnya.

“Ganti bajumu, kutunggu kamu disini malam ini.” Ucapku dan Gilang hanya tersenyum, lalu menarik gas kimba pelan.

Aku hanya menatap kepergian sahabatku ini. Dan betapa terkejutnya aku, ketika dipersimpangan jalan Gilang tidak berbelok kearah jalan rumahnya, melainkan kearah luar desa.

Cok, mau kemana dia.? Kenapa dia meninggalkan aku disaat seperti ini.? Aku butuh dia untuk menemani aku bergadang malam ini.

Didesaku ini kalau ada yang meninggal, rumahnya pasti akan terbuka selama tujuh hari tujuh malam dan tuan rumah harus ada yang bergadang. Itulah kenapa aku butuh Gilang untuk menemani aku. Hanya dia yang bisa mengerti dan menenangkan aku saat ini.

Hiuufttt, huuuuu.

“Le, ganti bajumu. Sebentar lagi orang – orang yang mau berdoa datang.” Ucap Mbahku.

“Iya Mbah.” Jawabku.

“Jok, aku ganti baju dulu ya.” Ucap Cak Ndut yang ternyata masih dibelakangku.

“Oh iya Cak.” Jawabku sambil menoleh kearahnya.

“Terimakasih tadi sudah mengabari aku dikosan.” Ucapku dan Cak Ndut hanya mengangguk, lalu dia membalikkan tubuhnya dan pulang kerumahnya.

Akupun berjalan masuk kedalam rumah, lalu menuju kamarku.

Cok. Rumahku ini ramai dengan keluargaku yang datang, tapi aku merasa sangat kesepian cok. Aku seperti tidak punya siapa – siapa dan aku hanya sebatang kara didunia ini. Bajingaan.

Aku lalu duduk dipinggir ranjangku, sambil mengeluarkan kotak cincin yang ada dikantongku. Aku memutar – mutarkan kotak ini dijemariku, lalu meletakan diatas meja didekat ranjangku.

“Waktu Bapak dan Ibumu disawah tadi, tiba – tiba ada petir yang menyambar. Tidak tepat mengenai Bapak Ibumu, tapi lumayan dekat. Mungkin mereka terkejut dan langsung meninggal saat itu juga.” Ucap Mbahku yang berdiri didepan pintu kamarku.

“Padahal tidak ada mendung.” Ucap Mbahku dan aku langsung menundukan kepalaku.

Dan tiba - tiba.

DUARRRR.

Bunyi petir yang sangat keras terdengar dan langsung membuatku terkejut.

Bughh. Klinting, ting, ting, ting.

Kotak cincin yang ada dimeja jatuh kelantai dengan posisi terbuka, lalu cincinnya menggelendung dan berhenti tepat dikakiku. Aku lalu mengambil cincin didekat kakiku ini dengan tangan yang bergetar.





#Cuukkk. Ada apa lagi ini.? Kok perasaanku jadi gak enak seperti ini ya.? Apa perasaan ini karena aku baru saja kehilangan dua orang yang kusayang.? Tapi kenapa ada petir, padahal tidak ada mendung sama sekali.? Denok.? Djiancok..
Djiaaaannnncoookkk


Ceritanya maknyus tenan


Sampe man tau tiap hari.. Apakah ada update an


Muantaaabbsss suhu @Kisanak87
 
Update yang benar benar tidak disangka... Dikirain Cak ndul membawa kabar tentang keluarga Gilang, nggak taunya kemalangan Joko... benar benar tambah men jancok Kan Suhu @Kisanak87, apalagi dengan jatuhnya cincin yang dibeli Joko dibarengi dengan suara petir... Tambah pingin diupdate lagi Suhu.. Semoga nggak lama
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd