Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2

Bimabet
update yg selalu penuh dengan rasa sedih kesel campur aduk semuanya entah gimana kedepannya dengan duo biji ini (gilang dan Joko) jalan terjal sepertinya masih akan dilalui oleh mereka berdua, pondok merah pasti kesel banget ini karena ga diajak sama gilang malah ditinggal dirumah hahahahhaha

entah apalagi yg akan terjadi berikutnya ini

Salut lah dengan segala imajinasi dari @Kisanak87 dalam membuat cerita ini
Nextnya ditunggu kisah "Bulan Purnama Darah"

Salute :beer:
 

BAGIAN 32
LEDAKAN EMOSI


“Aku sudah bersabar menghadapi kamu dari tadi Lang. Aku tidak menggunakan kekuatanku yang sesungguhnya untuk melawanmu, karena bagaimanapun juga kamu sudah berniat baik menyelamatkan putriku.” Ucap Pak Jarot yang perlahan mulai terlihat emosi.

Lalu tiba – tiba sebuah bayangan putih yang sangat besar dan menyeramkan, terlihat berdiri dibelakang Pak Jarot dan itu bayangan yang ada di pom bensin tadi. Bayangan itu pula yang sudah mengalahkan Kakek mata bening dan Simbah bermata hitam. Gila.

“Karena kebaikanmu itu, akhirnya aku memutuskan menggunakan kekuatanku sebagai manusia biasa. Aku tadi sudah berjanji didalam hatiku, kalau kamu bisa mengalahkanku, aku akan menerimanya.” Ucap Pak Jarot lagi dan perlahan tubuhnya bergetar, karena bayangan putih itu masuk kedalam tubuhnya.

“Tapi karena melihat kondisi putriku sekarat dan kamu tidak punya hati dengan mengijinkan aku mendampingi putriku, mau tidak mau aku akan membunuhmu saat ini juga. Aku tidak akan memaafkanmu, karena kamu berusaha mengalangi jalanku.” Ucap Pak Jarot dan perlahan kedua bola matanya memutih.

Tatapannya begitu mengerikan dan dia sekarang sedang dikusai mahluk ghaib bermata putih yang dimilikinya.

“Aku yang menyebabkan kematian Intan dan aku yang sudah membunuh Hendra Sanjaya. Apa kamu puas mendengar jawabanku.?” Ucap Pak Jarot dengan suara yang berat dan sangat menyeramkan.

“Ini yang aku tunggu darimu. Aku akan membunuhmu beserta mahluk ghaib yang kamu miliki itu.” Ucapku dan aku tidak takut sama sekali, melihat perubahan Pak Jarot.

“Angkuh sekali kau anak muda.” Terdengar suara Pak Danang dan perlahan dia bangun dari posisi tidur tengkurapnya. Wajahnya dipenuhi darah dan tatapan matanya juga memutih seperti Pak Jarot.

Pak Danang berjalan pelan kearah Pak Jarot dan mereka berdiri bersebelahan, tanpa saling menyerang.

“Ternyata sandiriwara kalian hebat juga ya.” Ucapku yang penasaran, karena mereka berdua tidak saling membenci seperti tadi.

“Kamu gak perlu tau itu. Yang perlu kamu tau, kamu akan mati sekarang juga.” Ucap Pak Jarot, sambil menekuk kaki kanannya yang patah kedepan.

KRETEK.

Bunyi lutut kanan Pak Jarot dan tulangnya yang patah kembali seperti semula, lalu dia mengangkat kaki kanannya itu lurus keatas.

KRETEK, KRETEK.

Pak Danang mematahkan kepalanya kearah kanan, lalu kearah kiri, setelah itu kembali menegakan kepalanya. Dia juga mengembalikan tulang lehernya yang patah.

Bajingan. Mengerikan sekali kekuatan mata putih ini. Selain bisa mengembalikan tulang – tulang yang patah, dia bisa membangkitkan tuannya yang sudah mati.

Jujur, sekarang ada sedikit perasaan takut didalam diriku menghadapi keadaan ini. Aku harus menghadapi dua manusia yang masing – masing telah dirasuki oleh mahluk yang menakutkan dan menyeramkan. Mereka berdua telah menjadi monster pembunuh dan kekuatan mereka pasti sangat luar biasa. Untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang biasa saja, aku sudah kewalahan. Apalagi dengan kekuatan yang seperti ini.? Djiancuukkk.

Untuk menguatkan diriku dan mengurangi rasa takutku, aku merentangkan kedua tanganku kearah bawah, lalu memutarkan kepalaku searah jarum jam.

KRETEK, KRETEK, KRETEK, KRETEK.

“Ahhhh.” Ucapku sambil menegakkan kepalaku dan menatap lurus kearah mereka berdua. Aku lalu bersiap untuk menyerang mereka berdua, yang terlihat makin mengerikan itu.

“MATI KAU, MATI.” Ucap Pak Jarot yang justru menyerangku duluan, sambil mengarahkan kepalan tangan kanannya kearah wajahku.

WUUTTT.

Aku menunduk menghindari pukulan itu, tapi.

BUHHGGG.

Pak Danang ikut menyerangku dari arah belakang Pak Jarot dan dia menendang wajahku dari arah bawah. Tendangan yang menggunakan pungggung kaki kanannya itu, masuk dengan telaknya dan membuat kepalaku langsung terdanga, dengan darah yang menyembur dari mulutku.

“HUEEGGGG.” Darah segar keluar begitu banyaknya dan Pak Jarot langsung menyambutnya dengan hantaman didadaku.

BUHHGGG.

“HUUPPPP.” Nafasku tertahan dan tubuhku melayang beberapa meter kebelakang, lalu punggungku terhempas kelantai dengan kerasnya..

BUUMMM.

WUTTT, WUUTT, WUUTT, WUUTT.

Pak Danang dan Pak Jarot berlari kearahku dengan sangat cepat, sampai bayangannya pun tidak terlihat.

Aku lalu duduk dan mereka seperti menunjukan kecepatan dalam melangkah, dengan gerakan yang zig – zag.

Lalu tiba – tiba.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

Entah pukulan atau tendangan yang diarahkan kewajah serta dadaku, tapi yang jelas serangan mereka itu membuat tubuhku termundur dengan posisi yang masih duduk ini.

SREETTTTT.

Bokongku terseret beberapa meter lagi dan terasa sangat panas, lalu terhenti karena punggungku menghantam dinding dibelakangku.

BUHHGGG.

“HUUPPP.” Aku merintih kesakitan, ketika punggungku menghantam dinding dengan kerasnya. Kedua mataku sampai terpejam beberapa saat, karena rasa sakit yang aku derita. Aku lalu membuka kembali kedua mataku, untuk bersiap menghadapi serangan mereka lagi.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

Aku kembali diserang, tapi sekali lagi aku tidak bisa melihat gerakan mereka berdua. Gerakan itu begitu cepat dan sangat kuat, sampai aku hanya bisa tersandar didinding, dengan darah yang terus keluar dari mulutku.

“Bongko.!!!” Terdengar suara Pak Jarot dan aku merasa sebuah injakan masuk kewajahku, sampai kepala belakangku terhantam dinding dibelakangku.

BUUHHGGG, JEDUUKKK.

Tubuhku yang sudah lemah ini, perlahan roboh kearah kanan. Tapi ketika kepalaku hampir menyentuh lantai, sebuah tendangan yang sangat kuat membuat kepala serta tubuhku melayang kearah kiri dan wajah samping kiriku menghantam lantai dengan keras.

BUUHHGGG, JEDUUKKK, BUUMMMM.

Djiancuukkk. Aku benar – benar dibuat hancur oleh kedua bajingan ini dan aku tidak bisa melawan sedikitpun. Kalau seperti ini terus, mungkin tinggal beberapa serangan lagi, aku akan langsung mati ditempat ini.

“Karena kamu sendiri yang mengundang kematianmu, kamu tidak akan mendapatkannya dengan mudah. Kamu akan mati dengan perlahan dan dengan kenikmatan yang tidak pernah kamu bayangkan seumur hidupmu.” Ucap Pak Jarot yang telah berdiri dihadapanku. Dari posisiku yang tertidur ini, aku hanya bisa melihat ujung sepatu Pak Jarot yang berada tepat didepan mataku.

Lalu dalam sekejap tubuhku diangkatnya tinggi, sampai kakiku tidak menyentuh lantai dan pinggangku sejajar dengan wajahnya. Kerah bajuku dicengkramnya dan ditekannya kedinding, sampai aku kesulitan bernafas.

Lalu tiba – tiba.

Pak Danang meloncat dari arah belakang dan kepalan tangan kanannya, langsung mengarah kepelipis kiriku dengan kuatnya.

BUHHGGGG.

Pak Jarot langsung melepaskan cengkramannya di kerahku dan tubuhku melayang kearah kanan, lalu terbanting dilantai dengan kerasnya.

JEDUUKKK, BUUMMM.

Aku terjatuh dengan posisi tertelungkup, dengan wajah samping yang terhimpit dilantai rumah ini. Wajahku tertoleh kearah kanan, sehingga darah yang keluar dari pelipis kiriku akibat hantaman Pak Danang tadi, mengalir dan menutupi pandanganku.

“Arrrrgghhhh.” Rintihku yang kesakitan dan aku mencoba membersihkan darah yang menutupi pandanganku, tapi kedua tanganku sangat sulit digerakkan.

Bajingaannn. Sakit dan perihnya serangan mereka ini, terasa sampai kedalam tulang - tulangku. Aku sampai tidak sanggup menggambarkan bagaimana rasanya sakit yang kuderita saat ini.

“Huuuuu, huuuuuu, huuuuu.” Nafasku memberat dan nyawaku seperti sudah sampai ditenggorokan. Nyawa ini seperti ingin cepat meninggalkan raga yang tidak berdaya dan tersiksa ini. Bajingann.

Belum juga rasa sakit ini hilang, kerah bagian belakangku ditarik sampai dadaku terangkat, tapi bagian selangkanganku masih berada dilantai. Tubuhku diseret dalam posisi seperti ini dan kepalaku hanya menunduk kearah lantai.

Dan setelah beberapa langkah diseret, tubuhku lalu dipaksa berdiri dan.

BUHHGGGG.

BUUUMMMM.

Kepala bagian sampingku ditendang sampai tubuhku terputar, lalu terbanting dilantai lagi.

Tubuhku tertekuk dilantai dan pandanganku sudah sangat gelap. Aku sudah tidak bisa menggerakan tubuhku lagi dan mungkin sebentar lagi, aku akan mati.

Bagaimana sudah kalau begini.? Apa aku akan tetap melawan kedua mahluk itu, tanpa bantuan siapapun.?

Aku sudah kalah, hancur lebur dan tidak punya harapan lagi, kalau aku menghadapinya seorang diri. Apa aku harus menerima bantuan Simbah mata hitam dan Kakek bermata bening.? Kalau seandainya aku menerima, apa Bapakku tidak akan bersedih.? Terus yang jadi pertanyaanku lagi, kalau seandainya aku menerima kekuatan itu, apa yang akan terjadi dengan diriku.? Kenapa Bapakku dan Mbahku tidak mau menerima kekuatan itu.? Apa kekuatan itu memiliki pantangan untuk keluargaku.? Atau ada janji dari para leluhurku, kalau keturunannya tidak boleh memakai kekuatan itu.?

Terus kalau aku tidak menerima kekuatan itu, bagaimana aku akan mengalahkan dua mahluk jahat itu.? Kalau aku kalah dan mati, apa Bapak dan Mbahku tidak bersedih dan menyesalinya.?

Arrghhh. aku bingung cuukkk.



“Le.” Ucap seseorang dan aku kenal suara itu. Itu ada suara Mbah laki - lakiku yang berasal dari Desa Sumber Banyu.

Aku lalu membuka mataku, tapi terasa sangat berat sekali, kalau tadi mata kananku yang terasa bengkak, sekarang kedua mataku yang bengkak dan sulit untuk aku buka.

Kelopak mata serta seluruh tubuhku, terasa kaku dan sakit semua.

Aku lalu membuka paksa kedua mataku, sampai terbuka setengah.

Dua sosok manusia berdiri tidak jauh dari aku, tapi wajahnya tidak begitu jelas, karena pandanganku berbayang.

Aku memejamkan kedua mataku lagi dengan kuat, setelah itu aku membukanya perlahan. Pandanganku sedikit demi sedikit mulai terlihat jelas, walau hanya terbuka setengah.

Dua sosok manusia yang wajahnya tadi berbayang, akhirnya terlihat jelas. Beliau adalah Mbah laki – lakiku dari Desa Sumber Banyu dan Mbah laki – lakiku dari Desa Jati Bening.

Aku yang terkejut dengan kehadiran Mbah – mbahku ini, langsung berusaha duduk dengan bersusah payah.

“E, e, e, ahhhhhh.” Akhirnya aku bisa duduk, walaupun tubuhku terasa sangat sakit sekali.

“Mbah.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Kamu masih bisa bangun dan dudukkan Le.?” Tanya Mbahku dari Desa Jati Bening.

“Seperti yang Mbah lihat saat ini.” Jawabku dengan sopannya dan aku menahan rasa sakit yang sangat luar biasa.

“Berati kamu masih ada harapan, untuk bisa mengalahkan mereka dengan kekuatanmu sendiri.” Ucap Mbahku yang berasal dari Desa Sumber Banyu.

“Harapan apa Mbah.? Saya sudah kalah dan saya sudah tidak memiliki kekuatan sedikitpun." Ucapku.

“Harapanmu ada dihembusan nafasmu dan kekuatanmu ada didetak jantungmu. Kamu tidak perlu bergantung kepada siapapun, karena garis jalan hidupmu hanya kamu sendiri yang menentukan.” Ucap Mbah dari Desa Jati Bening.

“Hiuufftt, huuuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Bukannya saya tidak mau bangkit atau tidak mau melawan dua mahluk itu Mbah. Tapi saya sadar diri dengan kekuatan saya saat ini.” Ucapku yang menjelaskan tentang kondisiku saat ini.

“Memangnya sejauh mana kamu sadar diri dengan kekuatanmu itu Le.? Sadar kalau kamu lemah.? Sadar kalau kamu payah.? Atau sadar kalau kamu itu mudah menyerah.?” Tanya Mbah dari Desa Sumber Banyu.

“Kamu terlalu dibodohi pikiranmu, sampai kamu tidak sadar kalau semua mahluk ciptaanNya itu pasti punya kelemahan. Semua mahluk ciptaanNya itu baik nyata ataupun tidak nyata, pasti punya kelemahan. Tinggal dari dirimu sendiri, punya tekad gak mengalahkan mereka.?” Ucap Mbah dari Desa Jati Bening.

“Tidak perlu meragukan tekad saya Mbah. Karena ini bukan hanya tentang tekad, tapi ini tentang kemampuan saya yang memang sudah berada pada titik terkuat saya saat ini Mbah. Kemampuan saya hanya sampai disini dan saya sudah tidak bisa melanjutkan lagi.” Ucapku.

“Kalau memang batas kemampuanmu hanya sampai disini, kenapa kamu selalu melibatkan diri pada masalah yang bukan masalahmu.?” Tanya Mbah dari Desa Sumber Banyu dan langsung membuatku terdiam.

“Kamu sudah memilih untuk melibatkan diri pada masalah orang lain, itu berarti kamu sudah paham resikonya. Kalau kamu sudah paham resikonya, berarti kamu sudah tau tentang kekuatan lawanmu. Kalau kamu sudah tau tentang kekuatan lawanmu, berarti kamu sudah bisa merasa mengalahkan musuhmu. Kalau kamu sudah merasa bisa mengalahkan musuhmu, berarti kamu sudah merasa mampu menyelesaikan masalah itu.” Ucap Mbah dari Desa Jati Bening.

“Kalau kamu sudah paham semua itu tapi sekarang menyerah, bersiaplah menikmati semua kekalahanmu tanpa perlu bantuan, apalagi sampai mengorbankan orang lain.” Ucap Mbah dari Desa Sumber banyu.

“Pahami dan camkan itu diotakmu.” Ucap Mbah dari Desa Jati Bening.

Kembali aku terdiam dan aku merenungi setiap perkataan kedua Mbahku ini. Kata – perkata yang membuatku sadar, bahwa semua yang aku pilih dan aku jalani pasti beresiko.

Ini bukan hanya tentang pertarungan yang sedang kujalani, tapi ini juga tentang kerasnya kehidupan yang pasti menghadang esok hari.

Aku tidak mungkin akan meraih semua impianku, kalau aku mudah mengeluh dan menyerah dengan keadaan. Aku harusnya cepat bangkit dan bukannya menikmati kekalahan. Hidup ini bukan hanya mengajarkan tentang kekalahan, tapi hidup juga mengajarkan tentang perjuangan untuk meraih kemenangan.

Tapi kalau sudah berjuang tetap saja menerima kekalahan bagaimana.? Arrghhh. Mumet cuukkk. Djiancuukk..

Hiuufftttt, huuuuu.

“Baiklah Mbah, baik. Saya akan bangkit dan melawan mereka dengan kekuatan saya sendiri, sampai tetes darah saya yang terakhir.” Ucapku dan beliau berdua hanya menatapku.

“Tapi satu pertanyaan saya. Kalau sampai saya kalah dan terjadi apa – apa dengan diri saya, apa Bapak dan Ibu tidak akan merasa bersedih.?” Tanyaku yang masih penasaran, karena beliau berdua ini melarangku menggunakan bantuan kekuatan dari dua penjaga desa kami.

“Tentu saja mereka akan bersedih.” Jawab Mbah dari Desa Jati Bening.

“Tapi kesedihan kedua orang tuamu akan lebih mendalam, ketika kamu menerima kekuatan dari penjaga Desa Jati Bening dan Desa Sumber Banyu. Bukan hanya kedua orang tuamu yang akan bersedih, tapi kami berdua dan leluhur – leluhur diatas kami tidak kalah bersedihnya.” Ucap Mbah dari Desa Sumber Banyu.

“Kami tidak bisa melarangmu untuk menerima kekuatan itu, karena semua tergantung dari hatimu yang terdalam. Kalau hatimu ikhlas menerimanya, kami tidak bisa berbuat apa – apa.” Ucap Mbah dari Desa Jati Bening dan langsung membuatku tertunduk.

Cuukkk. Ini sangat dilema sekali bagiku cuukkk. Aku harus bisa mengambil keputusan yang terbaik disaat ini. Aku tidak ingin mengecewakan semua orang yang sudah menggantungkan harapannya dipundakku, tapi aku juga tidak ingin membuat kesedihan untuk keluarga besarku.

Dan satu – satunya cara adalah aku harus bangkit dan berjuang dengan kekuatanku sendiri. Mampu atau tidak mampu, kuat atau tidak kuat, bisa atau tidak bisa, hanya itu saja caranya.

Aku lalu memejamkan kedua mataku lagi, untuk mengumpulkan sisa – sisa kekuatanku. Aku ingin setelah membuka kedua mataku nanti, aku memiliki kekuatan baru untuk melawan dua bajingan itu.

“Bagaimana.? Masih angkuh dengan kekerasan hatimu.?” Tiba – tiba terdengar suara Simbah bermata hitam.

Hiufftt, huuuu.

Kenapa mahluk ini datang lagi, disaat aku sudah memantapkan hatiku.? Apa dia sengaja melakukannya, untuk menggoyahkan hatiku ini dan aku menerima bantuannya.?

“Ahhhhh.” Aku membuka kedua mataku dan tubuhku tidak terasa sakit sama sekali. Wajahku terasa mulus dan tidak ada luka sedikitpun yang terasa menggores diwajahku ini.

Aku lalu duduk bersila, sambil menatap sekeliling untuk mencari keberadaan kedua Mbahku. Ternyata kedua Mbahku tidak ada lagi dan entah kemana beliau berdua pergi. Sekarang yang ada hanya dua mahluk penjaga Desa Sumber Banyu dan Desa Jati Bening. Aku lalu menatap kearah dua mahluk itu bergantian.

“Aku sudah bilang berkali – kali, kalau aku tidak membutuhkan bantuan kalian. Lagian kalau kalian mau masuk kedalam tubuhku, kalian bisa masuk tanpa perlu ijinku kan.? Jadi kenapa kalian terus merayu, kalau kalian bisa masuk dengan sendirinya.?” Tanyaku yang sudah jengkel dengan keadaan ini.

“Ini gak semudah yang kamu ucapkan anak muda. Tidak ada kekuatan dari alam lain yang bisa masuk kedalam tubuh seseorang dari Desa Sumber Banyu, terkecuali ada keikhlasan hati dari sang penerima. Entah itu keikhlasan hati karena tersakiti, karena teraniaya atau karena memang sudah waktunya.” Ucap Kakek bermata bening.

“Ya sudah, kalau begitu percuma saja kalian mendatangi aku. Buang – buang waktu.” Ucapku lalu aku berdiri.

“Aku tidak pernah merasa membuang waktuku anak muda. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Aku juga tidak akan memaksamu untuk menerima kami berdua. Aku hanya ingin kamu tau, bahwa kami berdua selalu ada disini. Kami menunggu waktu yang tepat untuk bergabung denganmu dan itu pasti diiringi dengan keihlasan hatimu.” Ucap Simbah bermata hitam dan dia tidak memaksaku seperti biasa.

“Sudahlah. Aku mau melanjutkan pertempuran ini.” Ucapku dan kedua mahluk itupun langsung menghilang dari pandanganku, tanpa bersuara atau mendebat ucapanku barusan.

Aku lalu menarik nafasku dalam – dalam, sambil kembali memejamkan kedua mataku lagi.



Buhhggg.

Aku merasa tubuhku dipaksa berdiri dan aku disandarkan pada sebuah tiang.

Aku lalu membuka kedua mataku dengan sekuat tenaga, tapi ternyata tidak bisa karena kelopak mataku membengkak dan sulit digerakan.

“Sudah gak bisa buka mata ya.?” Terdengar suara Pak Danang yang berbisik ditelinga kananku dan suaranya sangat menyeramkan sekali.

“Ini awal kehidupan bagimu. Setelah ini kamu akan terus berada didalam alam kegelepan dan kamu akan merasakan penyiksaan demi penyiksaan.” Bisik Pak Jarot ditelinga kiriku dan suaranya tidak kalah menyeramkan.

Aku mencoba menenangkan diriku dan mencoba tidak terpengaruh, dengan bisikan – bisikan mereka berdua. Aku paksa lagi membuka kedua kelopak mataku dan akhirnya bisa membuka sedikit.

Dan tiba – tiba.

BUGHHHHH.

Perutku dihantam dengan keras.

“ARRGGHHH.” Aku merintih kesakitan, sampai aku membungkukan tubuhku dan aku memegangi perutku.

Rambutku dijambak dan ditarik keatas, sampai tubuhku tegak. Lalu.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Wajahku dihantam bertubui – tubi, dengan rambut yang tetap dijambak.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Lalu giliran dada dan perutku yang dihantam.

“HUEEEEGGGG.” Darah menyembur dari mulutku, lalu baju bagian pundakku diremas. Dan.

WUUUTTTT.

Tubuhku dilempar, sampai melayang dan terhantam dinding dibagian lain rumah ini.

JEDUUKKK. BUUMMMM.

Tubuhku jatuh dilantai, dengan posisi tertelungkup dan akupun tidak bergerak lagi.

Bajingaann. Aku masih belum bisa melawan dua mahluk jahat itu. Jangankan melawan, membuka kedua mataku saja aku kesulitan. Jadi bagaimana aku mencari titik lemah kedua mahluk itu.? Djiancuukkk.

Penyiksaan yang aku derita ini, perlahan membuka pintu hatiku yang terdalam. Hati ini seperti ingin mendapatkan bantuan dari siapapun, tapi ada sesuatu yang terus memaksa pintu itu untuk menutup kembali. Sesuatu itu memaksaku agar aku cepat bangkit dan melawan kedua mahluk jahat itu, tanpa perlu bantuan siapapun.

“Kamu tidak akan bisa keluar dalam kegelapan itu, walaupun kamu sudah mati. Kamu akan terus terkurung didalamnya.” Ucap Pak Jarot dari kejauhan.

“HAHAHAHAHA.” Suara tawa Pak Danang, yang terdengar meremehkan dan menghinaku.

“Yang seharusnya berada dialam kegelapan itu, ya kalian berdua.” Ucap seseorang yang tidak jauh dari tempat aku tertelungkup ini. Suara itu sangat khas sekali dan aku sangat mengenal suara itu.

“Irawan Jati. Hadir juga kau disini.” Ucap Pak Jarot dan memang yang datang itu adalah Pakde Irawan.

Ha.? Pakde Irawan datang kepadaku lagi, disaat aku terdesak seperti ini.? Ada apa ini.? Dua kali sudah Pakde Irawan datang dan membantuku, disaat aku benar – benar membutuhkan pertolongan. Beliau selalu datang disaat yang tepat dan aku tidak pernah menyangka sebelumnya. Gila.

“Berarti malam ini, dua orang yang akan kita bantai ditempat ini.” Sahut Pak Danang.

“Sudah bisa sombong ya kalian.? Apa itu karena iblis bermata putih yang sudah merasuki jiwa kalian, jadi kalian mau menunjukan kehebatan kalian dihadapanku.?” Ucap Pakde Irawan yang terdengar santai, tapi sangat berwibawa sekali.

Aku yang terpejam ini, hanya bisa mendengarkan mereka berbicara, karena kedua mataku terpejam dan tidak bisa aku buka lagi.

Terdengar langkah seseorang mendekat kearahku, lalu beberapa saat kemudian, ada tangan yang membelai rambut belakangku. Elusan itu membuatku sedikit tenang dari ketakutan dan seperti memberikan aku semangat untuk segera bangkit.

“Kami tidak akan kalah lagi denganmu.” Terdengar suara yang menyeramkan, tapi itu bukan suara Pak Jarot ataupun Pak Danang.

Cuukkk. Apa ada mahluk lain lagi yang datang ketempat ini, selain Pakde Irawan yang baru datang.? Atau jangan – jangan itu suara mahluk yang dimiliki dua manusia keparat ini.? Bajingann.

“Kita pasti akan melanjutkan lagi pertarungan kita yang tertunda cukup lama. Tapi sabar dulu ya, aku urus pemuda ini sebentar.” Ucap Pakde Irawan dan aku merasa ada cairan yang membasahi kepalaku.

Cairan itu diusapkan dirambut bagian belakang kepalaku, lalu perlahan aku mendangakkan kepalaku yang tertelungkup ini. Kembali cairan itu disiramkan kebagian atas kepalaku, sampai membasahi seluruh wajahku.

“Arrgggghh.” Rintihku yang kesakitan, karena wajahku terasa sangat perih dan pedih, ketika cairan itu mengenai seluruh luka – luka yang masih basah ini.

Terdengar suara Pakde Irawan yang mengucapkan sesuatu, tapi pelan sekali. Lalu perlahan tangannya membasuh seluruh wajahku yang basah karena cairannya ini..

“Buka matamu perlahan.” Ucap Pakde Irawan kepadaku.

Aku buka kedua mataku perlahan, tapi tidak bisa sepenuhnya. Kelopak mataku akhirnya bisa terbuka, tapai hanya setengah saja. Dan anehnya, kelopak mataku tidak sesakit tadi. Cairan yang dibasuhkan kewajahku ini, rupanya ramuan obat yang sangat mujarab.

“Pakde.” Ucapku sambil melihat kearah Pakde Irawan. Pandanganku yang berbayang, perlahan mulai terlihat jelas.

“Kamu mau tetap tertelungkup seperti ini terus, atau segera bangkit dan melawan mereka lagi.?” Ucap Pakde Irawan.

“I, i, iya Pakde.” Ucapku dan aku berusaha duduk dengan bersusah payah, karena seluruh tubuhku sakit dan tulang – tulangku terasa remuk.

“Argghhhhhh.” Ucapku sambil duduk dan menyelonjorkan kedua kakiku kedepan.

“Minum ini.” Ucap Pakde Irawan, sambil menyodorkan sebotol ramuan, yang isinya sisa setengah.

Aku mengambil botol itu dengan tangan yang agak gemetar, karena tanganku kaku dan agak sulit digerakan. Setelah botol itu ditanganku, aku meminum ramuan yang terasa sangat pahit ini.

“Gluk, gluk, gluk, gluk, gluk.” Aku meminum ramuan itu sampai habis.

“Ahhhhh.” Ucapku sambil meletakkan botol yang isinya sudah kuhabiskan ini ke lantai.

Tubuhku perlahan mulai menghangat dan aku merasa sel – sel darahku mengalir dengan cepat. Tulang – tulangku yang terasa remuk, perlahan seperti diurut dan dipulihkan kekondisi semula.

Kretek, kretek, kretek, kretek.

Aku menggerakan kepalaku kekanan,kebelakang, kekiri, kedepan, lalu aku tegakkan lagi.

Uuhhh, gilaa. Tubuhku terasa seperti memiliki tenaga baru, walaupun sakitnya masih agak terasa.

“Sudah.? Bisa kita mulai pertarungan ini.?” Ucap Pak Jarot dan ternyata dia yang bersuara menyeramkan tadi.

“Bisa. Tapi sayangnya kamu bukan lawanku. Kamu akan melawan pemuda ini.” Ucap Pakde Irawan dan beliau langsung berdiri.

“Bajingan. Kamu takut melawan aku ya.? Kenapa harus anak muda yang tidak berdaya ini yang menjadi lawanku.?” Tanya Pak Jarot yang meremehkan aku dan perlahan akupun berdiri.

Tubuhku sedikit sakit dan agak kaku, tapi tidak separah tadi. Ramuan yang aku minum barusan, sangat – sangat luar biasa sekali bekerjanya.

“Sayang banget ya.? Padahal aku itu maunya melawan kamu. Tapi sudahlah, biar aku lawan Danang saja.” Ucap Pakde Irawan.

“Hahahaha, dengan senang hati aku akan membantaimu.” Ucap Pak Danang.

Pakde Irawan hanya tersenyum, lalu menoleh kearahku.

“Kamu sudah siap bertarung lagi.?” Tanya Pakde Irawan kepadaku.

“Siap Pakde.” Jawabku sambil melihat kearah Pakde Irawan, lalu melihat kearah Pak Jarot dan Pak Danang yang matanya masih memutih.

“Kalau begitu, kita bantai mereka.” Ucap Pakde Irawan.

“Apa Pakde tidak menggunakan mata merah.?” Tanyaku, karena biasanya kalau Pakde Irawan melawan mahluk seperti ini, beliau mengeluarkan mata merahnya.

“Aku menghargai kamu, seperti Bapakmu yang tidak pernah menggunakan bantuan mahluk apapun ketika bertarung.” Ucap Pakde Irawan yang membuatku terkejut.

Gila. Apa Bapakku dulu suka bertarung juga.? Bapakku itukan terkenal sabar sekali, ketika menghadapi suatu masalah. Sampai detik ini aku belum pernah mendengar sekalipun Bapakku berkelahi.

“Apa kita mampu menghadapi mereka berdua, tanpa bantuan siapapun Pakde.?” Tanyaku.

“Gak tau.” Jawab Pakde Irawan singkat, padat dan tentunya menggathelkan.

“Terlalu lama sekali kalian ini. Hu, hu, hu, hu.” Ucap Pak Danang dan nafasnya terdengar memberat.

“Aku itu cuma mau memberikan kalian kesempatan, untuk bernafas agak lama sedikit.” Jawab pakde Irawan dengan entengnya.

“BANGSATTT.!!!” Teriak Pak Jarot dan Pak Danang dengan kompaknya, lalu mereka berdua berlari kearah kami.

“Tetap gunakan kekuatanmu sendiri.” Ucap Pakde Irawan tanpa melihat kearahku, lalu beliau maju dan menyambut serangan Pak Danang.

Aku sempat terkejut mendengar ucapan Pakde Irawan ini, karena ucapannya sama seperti pesan Bapakku dan kedua Mbahku. Tapi karena Pak Jarot sudah berada didekatku, aku pun tidak memikirkan ucapan Pakde Irawan itu dan berkonsentrasi dengan lawanku ini.

WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT.

Pak Jarot mulai menyerangku dengan kecepatan dan kekuatan tangannya. Akupun mampu menghindari semua serangannya itu, karena tubuhku terasa ringan dan tatapan mataku bisa membaca serangannya.

WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT.

TAPP. TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP.

Aku meliuk – liukan tubuhku, sambil sesekali menangkis serangannya.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Sementara Pakde Irawan sudah baku hantam dengan Pak Danang. Mereka berdua saling jual beli pukulan dan masih dalam posisi yang seimbang.

WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT.

TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP.

Aku masih terus menghindar dan menangkis serangan Pak Jarot, sambil mencari celah untuk membalas serangannya. Dan ketika menduduk, aku melihat ada celah kosong didada Pak Jarot.

WUTT.

Setelah pukulannya melewati kepalaku yang menunduk, aku lalu menegakkan tubuhku sambil mengarahkan injakan telapak kakiku kedadanya.

BUGHHHHH.

Pak Jarot menahannya, lalu mendorong tubuhnya kedepan, sampai aku terlempar kebelakang.

Aku menahan tubuhku dengan menguatkan kedua kakiku, supaya aku tidak terjatuh karena dorongan dada Pak Jarot tadi. Aku lalu mengepalkan kedua tanganku didepan dadaku dan bersiap menyerang lagi.

Gila. Kuat juga pertahanan Pak Jarot ini. selain bisa menahan injakanku, dia bisa menyerang balik dengan kekuatan dan seranganku sendiri. Bajingann.

Pak Jarot lalu melompat dan mengarahkan kepalan tangannya kewajahku dan aku langsung menunduk. Tapi tiba – tiba dia memutar tangannya ke arah bawah dan mengantam wajahku yang menunduk ini.

BUGHHHHH.

Pukulannya masuk dan kepalaku langsung terdanga.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Tubuhku limbung kebelakang dan Pak Jarot langsung menyambut dengan serangan yang beruntun kearah wajahku ini.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Serangannya yang kuat dan cepat, membuat aku termundur dan tidak bisa menghindari pukulannya.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Tubuhku mulai melemah lagi dan ketika aku akan roboh, Pak Jarot membalikan tubuhnya dengan cepat, sambil melakukan gerakan tendangan balik. Dan.

BUGHHHHH, JEDUKKK, BUMMMMM.

Tendangan baliknya mengenai wajah sampingku dengan telaknya, sampai aku roboh dilantai rumah ini.

Lagi, lagi dan lagi, aku roboh dan terhempas kelantai.

Aku tertelungkup dan disekitar wajahku ini, terasa darahku menggenang sangat banyak sekali.

Djincuukkk. Aku roboh lagi cuukkk. Aku betul – betul tidak berdaya, padahal aku sudah meminum ramuan yang dibawa Pakde Irawan. Ramuan itu sepertinya hanya mengobati sedikit lukaku dan memberikan aku sedikit kekuatan. Tambahan kekuatan itu tidak berefek sedikitpun ketika aku menyerang Pak Jarot, karena buktinya justru dia yang menumbangkan aku untuk kesekian kalinya. Bajingann.

Kedua mataku tertutup lagi dan terlihat bayangan kedua mahluk penjaga Desa Sumber Banyu serta Desa Jati Bening, tersenyum kepadaku.



“Bagaimana.?” Tanya Simbah bermata hitam.

Akupun hanya terdiam mendengar pertanyaannya.

Dan beberapa saat kemudian, kembali pintu hatiku yang terdalam terbuka dan memaksaku untuk menerima bantuan mereka dengan lapang dada.

Baiklah. Aku tidak bisa lagi menolak bantuan ini dan aku harus menerimanya dengan keikhlasan hatiku. Hanya tinggal ini saja cara terakhirku untuk melawan Pak Jarot.

Hiuffttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam dan kedua mahluk penjaga Desa Jati Bening serta Desa Sumber Banyu, langsung tersenyum dengan bengisnya. Kedua mahluk itu bersiap untuk masuk kedalam tubuhku, dengan emosi yang mereka tahan.




“GILANGG.!!! CEPAT BANGKIT DAN LAWAN DIA DENGAN KEKUATANMU SENDIRI.” Tedengar teriakan Pakde Irawan yang mengejutkanku dan aku langsung membuka kedua mataku.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Pakde Irawan langsung dihajar oleh Pak Danang dengan brutalnya dan terlihat Pakde Irawan tidak siap menerima serangan itu. Mungkin beliau tadi melihatku tertelungkup dilantai, jadi tidak terlalu konsentrasi dengan pertempurannya.

Djiancuukkk. Pakde Irawan saja bisa bertahan dan tidak menggunakan kekuatan mata merahnya untuk melawan Pak Danang, masa aku harus menyerah dan menerima bantuan kekuatan itu. Bajingann.

Kedua tanganku terkepal dan langsung kuarahkan kelantai, untuk aku jadikan tumpuan berdiri. Aku berdiri perlahan dan Pak Jarot sudah siap untuk menyerangku lagi.

“Hahahaha.” Pak Jarot tertawa, lalu dia berlari dengan cepatnya kearahku, setelah itu dia meloncat dan mengarahkan lututnya kearah dadaku.

BUHGGGGG.

Dadaku terkena lututnya dan aku langsung termundur kebelakang.

“HUUPPPP.” Aku memegangi dadaku yang sakit, sambil melihat kearah Pak Jarot yang kembali meloncat kearahku.

WUUTTT.

Aku memiringkan wajahku untuk menghindari pukulannya, lalu aku mengangkat kepalan tangan kananku dan aku arahkan kebagian perutnya.

BUHGGGGG.

“Hupppp.” Pak Jarot menahan perutnya yang keras itu, lalu aku menyambutnya dengan hantaman kepalan tangan kiri, kebagian pelipis kanannya.

BUHGGGGG.

Wajahnya tertoleh sedikit kekanan, lalu menoleh kearahku lagi dan aku langsung menghantam bagian tengah kedua alis matanya dengan kepalan tangan kananku.

BUHGGGGG.

Kepalanya terdanga tapi tubuhnya tidak bergeser sedikitpun. Pak Jarot masih berdiri dengan tegak, lalu dia mengayunkan tinjuannya dari arah samping kiri pipiku, dengan kepalan tangan kanannya.

BUHGGGGG.

Kepalaku oleng kekanan dan pukulan bertubi – tubi Pak Jarot, kembali menghantam wajah, dada dan perutku.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Aku termundur dan mencoba memblok serangannya. Aku melindungi dadaku, dia menghantam wajahku. Aku melindungi wajahku, dia menghantam perutku dan begitu seterusnya.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

“Hoekkkk.” Kembali aku memuntahkan darah segar dan aku sudah tidak kuat berdiri lagi. Tubuhku sudah melemah, karena serangannya yang beruntun ini.

Dan ketika aku akan roboh kebelakang, Pak Jarot langsung menginjak dadaku dengan kuatnya.

BUGHHHHH.

Aku terlempar kebelakang, sampai melewati pintu depan dan aku roboh terlentang dihalaman rumah tua ini.

BUUMMMM.

Djiancuukkk. Aku hancur lagi dan aku belum bisa mengimbangi serangan dari Pak Jarot. Kalau seperti ini, bagaimana aku bisa mengalahkannya.? Baru sedikit saja aku mengimbanginya tadi, sekarang aku sudah terkapar lagi. Bajingann.

Dan tiba – tiba.

BUHHGGG. BUUMMM.

Pakde Irawan terlempar dari dalam rumah dan jatuh terlentang tidak jauh dari posisiku sekarang. Pelipisnya terlihat terluka dan mulutnya juga mengeluarkan darah.

Assuuu. Pakde Irawan tetap tidak menggunakan kekuatannya karena aku dan hasilnya beliau juga tumbang seperti aku.

Hiuufftt, huuuu.

Aku lalu melihat kearah langit dan terlihat bulan berwarna merah darah. Bulan yang tadi aku lihat seperti bulan purnama, sekarang terlihat seperti diselimuti dengan darah. Ukurannya pun, terlihat lebih besar dari pada seperti biasa.


Gerhana Bulan Merah

Gila. Apa malam ini gerhana bulan merah.? Waw. Ini fenomena yang langka dan sangat jarang sekali terjadi.

Karena aku terlalu takjub dengan pemandangan yang ada dilangit, akupun tidak terlalu focus dengan pertarunganku ini.

“Sekarang saatnya kematian kalian berdua.” Ucap Pak Jarot dan tubuhnya melayang menghalangi pandanganku ke arah bulan.

Mata Pak Jarot terlihat lebih menyeramkan dan wajahnya terlihat makin mengerikan. Pak Danang juga terlihat melayang disebelah Pak Jarot dan wajahnya juga tidak kalah menyeramkan.

Bajingann. Rupanya cahaya gerhana bulan merah ini, menambah kekuatan untuk mereka berdua. Terus bagaimana ini.? Pasti mereka tidak bisa dikalahkan dan itu berarti kami pasti akan mati.

“Tidak semudah itu.” Terdengar suara Pakde Irawan yang terlentang disebelahku, lalu beliau berdiri perlahan.

Kedua mata Pakde Irawan terlihat memerah seperti darah dan wajahnya tidak kalah menyeramkan, dari Pak Jarot dan Pak Danang.

Irawan Jati
Loh. ada apa ini.? Kenapa Pakde Irawan menggunakan Mata merahnya.? Padahal tadi beliau bilang tidak akan menggunakan kekuatan itu, tapi kenapa sekarang bisa berubah pikiran.? Terus kenapa tatapan Pakde Irawan lebih menyeramkan, dari pada ketika menyelamatkan aku digudang satu waktu itu.? Apa ini karena pengaruh sinar gerhana bulan merah juga.? Djiancuukkk.

Tiba – tiba ada hembusan angin yang datang kearahku dan langsung membuat seluruh tubuhku merinding. Aku merasakan getaran aura mistis yang sangat luar biasa, menyelimuti seluruh tubuhku.

Darahku bergejolak dan emosiku langsung terbakar. Aku merasakan amarah yang sangat luar biasa, bangkit dari dalam tubuhku. Ini adalah emosi yang sangat luar biasa yang pernah aku rasakan seumur hidupku. Satu yang paling berbeda dan terasa dari dalam hatiku. Ada sesuatu yang lahir dari sisi jiwaku dan itu membuat aku seperti memiliki kekuatan baru yang sangat besar sekali. Dia yang lahir dari sisi jiwaku itu, jiwa pembunuh yang keji.

BUUMMM.

Injakan kaki Pak Jarot mendarat diwajahku dan membuat pandanganku langsung gelap gulita.



“HAHAHAHA. SEKARANG WAKTUNYA, SEKARANG WAKTUNYA. HAHAHAHA.” Terdengar suara tawa dari Kakek mata bening.

“TERIMALAH DENGAN KEIKHLASAN HATIMU. HAHAHAHA.” Sahut Simbah bermata hitam.

“JANGAN NAK, JANGAAANN.” Teriak Bapakku.

“LE, SADAR LE, SADAARRR.” Teriak kedua Mbahku.

Akupun langsung membuka kedua mataku dan aku langsung berdiri.

Aku sekarang berada didepan rumah, tapi aku bersama Bapak dan kedua Mbahku yang berdiri dihadapanku, sementara Simbah mata hitam dan Sikakek mata bening melayang diudara.

Bapak dan kedua Mbahku terlihat sangat khawatir, sementara kedua mahluk yang melayang itu, terlihat menatapku dengan tatapan yang mengerikan diatas sana.

“HAHAHAHA.” Dua mahluk itu terus tertawa dengan suara yang membuat tubuh merinding, sementara keluargaku hanya menggelengkan kepala.

Tatapan kekhawatiran dari Bapak dan kedua Mbahku, perlahan menjadi tatapan kesedihan. Dan anehnya, aku hanya diam dengan emosi yang masih membakar tubuhku.

Lalu tiba – tiba.

BUHHGGG.

Simbah bermata hitam dan Kakek bermata bening, melayang kearahku dan menabrak tubuhku dengan kuatnya.

Tubuhku sampai termundur kebelakang dan darahku semakin terasa mendidih.

“GILAANGGG.” Teriak Bapak dan kedua Mbahku.

Aku lalu memejamkan kedua mataku, karena panasnya suhu didalam tubuhku.




“AARRGGGGHHHHHH.” Aku berteriak sambil membuka kedua mataku, untuk mengeluarkan hawa panas didalam tubuhku.

Tampak Pak Jarot berdiri tidak jauh dari posisiku yang juga berdiri. Sementara Pakde Irawan yang dikuasai mata merah, sudah menghajar Pak Danang yang bermata putih dengan ganasnya.

Aku yang dikuasai emosi yang menggila ini, menatap kearah Pak Jarot dengan tatapan yang sangat tajam sekali.

“Hehe. Akhirnya keluar juga mata hitam dan mata bening di kedua matamu.” Ucap Pak Jarot.

Gilang Adi Pratama

“Tidak usah banyak bicara kau. Sekarang saatnya kamu dan mata putih itu kembali keneraka.” Ucapku dengan suara yang berat dan parau.

“Kamu yang akan aku kirim keneraka, bersama dua mahluk pelindungmu itu.” Ucap Pak Jarot lalu dia melayang kearahku, sambil mengarahkan injakan kakinya ke wajahku.

WUUTTTT. BUUMMM.

Aku menghindar kesamping dan injakannya hanya mengenai angin. Dan ketika kakinya sudah mendarat ditanah, aku langsung mencengkram leher Pak Jarot yang berdiri didepan bagian samping kananku.

TAPPP.

Aku mencengkramnya dengan sangat kuat, lalu aku berlari kedepan, setelah itu aku membanting tubuh Pak Jarot ketanah dengan sekuat tenagaku.

“AARRGGGHHHH.” Teriakku, dan.

BUUMMM.

Tubuh Pak Jarot terbanting kebelakang, dengan kepala bagian belakang dan punggungnya yang lebih dulu menghantam tanah keras ini.

“Kubunuh kamu.” Ucapku dengan emosinya, sambil menunjuk kearah Pak Jarot yang terlentang.

Aku lalu mengangkat kaki kananku dan aku arahkan kewajah Pak Jarot.

BUUMMM.

Kepala Pak Jarot menghindar kesamping, setelah itu dia bangkit dengan cepat dan mengarahkan tinjuan kearah kepala sampingku.

WUUTTTT.

Aku menunduk, lalu mengarahkan tinjuan dari arah bawah ke dagunya.

WUUTTTT.

Pak Jarot memundurkan wajahnya, dan pukulanku hanya mengenai angin.

TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP.

Pak Jarot menyerangku dan aku menangkisnya dengan kedua lenganku.

TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP.

Aku terus menangkis serangannya, lalu setelah itu aku menginjak dada Pak Jarot.

BUHHGGGG.

Tendanganku mengenai dadanya, sampai dia termundur beberapa langkah kebelakang.

“BANGSATT. Rupanya kamu sudah bisa mengendalikan kekuatan yang ada didalam dirimu ya.?” Ucap Pak Jarot, sambil mengelus dadanya.

“Kenapa.? Kamu mulai takut sama aku.? Kamu takut aku bunuh.? Santai saja, gak perlu takut seperti itu. Aku akan membunuhmu dengan perlahan dan kamu pasti akan menikmatinya.” Ucapku dan emosi yang ada didalam diriku semakin menggila.

“Anak bau kencur seperti kamu mau menggertak aku.? Baru beberapa menit memiliki kekuatan itu saja, kamu sudah besar kepala. Kelihatannya mulutmu itu harus disumpal dengan injakan kakiku.” Ucap Pak Jarot dan tiba – tiba, sesosok mahluk raksasa berjubah putih, berdiri dibelakang Pak Jarot.

Mahluk itu tinggi besar, melebihi tinggi dari rumah tua ini. Wajah mahluk itu tidak terlihat, karena tertutup jumper dari jubah itu.

Bangsat. Mahluk apa lagi itu.? Pak Jarot yang masih dikuasai mahluk bermata putih saja, sangat kuat sekali. Apalagi ditambah mahluk yang berdiri dibelakangnya.

Dan tiba – tiba. Satu lagi mahluk raksasa yang berjubah putih, datang dan berdiri didekat Pak Danang yang telah terlentang ditanah, karena dia terbantai oleh Pakde Irawan.

Hiufftt, huuu.

Apa aku gentar melihat bala bantuan yang sudah ada didalam tubuh Pak Jarot, maupun yang berdiri dibelakangnya.? Enggak, enggak ada sedikitpun rasa gentar yang ada didalam tubuhku. Yang ada justru jiwa membunuhku semakin bergelora dan siap membantai siapapun yang ada dihadapanku.

“Kau datangkan seribu mahluk seperti itu sekarang juga, akan aku kirim mereka keneraka satu persatu.” Ucapku sambil menunjuk wajah Pak Jarot.

“BAJINGANN.!!!” Ucap Pak Jarot dengan emosinya, lalu mahluk raksasa yang ada dibelakangnya, masuk kedalam tubuhnya.

“ARRGGHHHH.” Teriak Pak Jarot lalu dengan cepat dia berlari kearahku, sambil mengarahkan kepalan tangannya kearah dadaku.

BUHHGGGG.

Dadaku dihantamnya dengan keras, sampai tubuhku termundur kebelakang, dengan posisi tubuhku yang berdiri dan telapak kaki yang terserat ditanah.

SRETTTTTT.

Bekas jejak kakiku yang terseret tercetak jelas ditanah, sampai mengeluarkan debu dan asap.

“Hehe. Hanya segitu saja kekuatan bala bantuanmu.?” Tanyaku sambil mengepalkan kedua tanganku didepan dadaku.

“Bukan hanya, tapi itu belum semua.” Ucap Pak Jarot, lalu dia meloncat dan mengarahkan tinjuannya kearah wajahku.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Aku lalu menangkis serangannya yang masuk kewajahku beberapa kali itu, dengan kedua lenganku.

TAPP.

Tangan kanannya terlentang kekanan.

TAPP.

Tangan kirinya juga terlentang kekiri, lalu aku arahkan keningku kearah dadanya yang tidak terlindung itu.

BUGHHHHH.

“Huuppp.” Tubuhnya termundur selangkah, lalu giliranku aku yang menyerang.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Kedua tanganku yang terasa sangat ringan ini, aku angkat dan aku hantamkan kewajah Pak Jarot dengan membabi buta.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Aku terus maju dan Pak Jarot termundur akibat seranganku ini.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Dan ketika dia sudah sangat terdesak, dia melayangkan kepalan tangannya kearah wajahku dan aku langsung menghindar kekiri.

WUTTT.

Pukulan tangan kanannya itu hanya mengenai angin dan tangan kanan itu sekarang berada tepat dihadapanku, dengan posisi lurus dan terkepal.

Aku tangkap pergelangan tangan kanannya itu dengan tangan kananku, lalu aku hantam bagian sikutnya dengan kepalan tangan kiriku kearah dalam.

BUUGGHH.

KRAKKKKK.

“ARRGGHHH.” Teriak Pak Jarot yang kesakitan, karena tangan kanannya aku patahkan.

Aku lalu melepaskan tangannya yang patah itu dan dia langsung memutarkan tubuhnya, sambil mengarahkan sikutnya kewajahku.

TAPP.

Aku menahan sikutnya dengan telapak tangan kiriku dan lengannya sedikit terangkat. Aku lalu mendorong sikutnya keatas lagi, lalu aku hantam lengan bawah dekat ketiaknya, dengan kepalan tanganku yang kuat.

BUGHHHHH.

KRAKKKKK.

Terdengar patahan dipersendian antara lengan dan bahunya, sehingga Pak Jarot langsung menjerit kesakitan.

“ARRGGHHHH.” Dia berteriak kesakitan dengan posisi memunggungi aku.

Aku injak punggungnya dengan kaki kananku dan Pak Jarot langsung terlempar kedepan, lalu jatuh tergulung – gulung ditanah.

BUHHGGG.

JEDUK, JEDUK, JEDUK, JEDUK, JEDUK.

BUUMMMM.

Pak Jarot koprol beberapa kali ditanah, lalu akhirnya terlentang dengan mata yang melotot.

Dengan emosi yang tidak bisa aku kendalikan ini, aku langsung berlari kearahnya yang terlentang, lalu aku meloncat dan mengarahkan injakan kakiku kebatang lehernya.

BUHHGGG.

KRAAKKKK.

“OORRGGHHH.” Lehernya patah, nafasnya tertahan, matanya melotot dan mulutnya menganga dengan darah segar yang perlahan mengalir ditepi bibirnya.

Aku lalu mengangkat kakiku dari batang lehernya, setelah itu aku injak wajahnya berkali – kali, sampai tubuhnya mengejang.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Wajahnya dipenuhi darah dan dia sudah tidak bergerak lagi.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Aku menghentikan seranganku dengan nafas yang memburu dan emosi yang masih ingin disalurkan.

Aku lalu membalikan tubuhku dan berjalan meninggalkan tubuh Pak Jarot, yang terlentang ditanah dan pasti sudah tidak bernyawa itu. Aku berjalan sambil melihat kearah pertaruangan antara Pakde Irawan dan Pak Danang. Terlihat Wajah Pak Danang sudah hancur lebur, tapi dia terus dihajar oleh Pakde Irawan yang menggila.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Emosi yang menguasai seluruh tubuhku ini pun, memerintahkan agar aku bergabung dengan pertarungan itu.

Sisi lain jiwaku yang sekarang sudah dihuni oleh mahluk pembunuh, ingin merasakan darah Pak Danang yang telah menyakiti hati Joko sahabatku.

“Peratarungan kita belum selesai.” Ucap Pak Jarot dibelakangku dan aku langsung membalikan tubuhku kearahnya.

Tampak Pak Jarot sudah berdiri dengan wajah yang dipenuhi darah, dengan tatapan emosi yang ingin menghabisi aku.

KRETEK, KRETEK, KRETEK, KRETEK.

Dia menggoyangkan lengan kanan, kedua bahunya, lalu lengan kirinya, dan diakhiri dengan memutar kepalanya kearah samping, belakang dan kedepan. Dia mengembalikan tulang – tulangnya yang patah dan dia juga telah mengembalikan nyawanya yang telah melayang.

Bangsatt. Hebat juga kekuatan mahluk bermata putih ini.

“Tamat riwayatmu.” Ucap Pak Jarot sambil menunjuk kearahku, lalu dia berlari dan meloncat, sehingga tubuhnya melayang diudara.

Kedua telapak kakinya langsung diarahkan kedadaku, dan.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Kedua kaki Pak Jarot menginjak dadaku bergantian, sampai aku termundur kebelakang.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Tubuhnya masih melayang diudara, dengan di iringi injakannya yang semakin kuat dan cepat.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

“HOEKKKKK.” Aku memuntahkan darah segar, lalu.

BUHHGGG, BUUMMM.

Serangannya diakhiri dengan injakan diwajahku dan membuat aku kembali roboh terlentang. Bajingannn.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku cepat dan memburu, tensi emosiku tidak turun sedikitpun dan emosi ini justru semakin menjadi. Djiancuukkk.

Pandanganku lurus keatas langit dan terlihat gerhana bulan merah yang begitu indah.

Perlahan cahaya bulan itu seperti memberikan aku kekuatan, lewat pancaran sinarnya dimataku.

Hiuffttt, huuuuu.

Aku menarik nafasku, sambil memejamkan kedua mataku, lalu aku duduk dan membuka kedua mataku lagi.

Pak Jarot bersiap menyerangku lagi dan dia juga seperti mendapatkan tenaga baru, seperti diriku.

Cuukkk. Bagaimana cara menghabisi manusia laknat ini ya.? Kalau aku patahkan tulang – tulangnya, pasti dia bisa memulihkannya lagi. Kalau aku membunuhnya, dia pasti bisa bangkit lagi. Jadi bagaimana caranya.? Percuma aku memiliki kekuatan yang sangat luar biasa dan aku bisa menumbangkanya, tapi dia bisa bangun lagi. Lama – kelamaan dia pasti bisa membunuhku juga. Bajingaann.

Dan tiba – tiba,

Jeduk, gluduk, gluduk, gluduk, gluduk, gluduk.

Sebuah kepala menggelundung dihadapanku dan berhenti tepat didepanku. Dikepala itu tampak besi yang menancap ditelinga kirinya, sampai menembus telinga kanannya. Ingat, hanya kepala tanpa ada leher dan bagian tubuh lainnya.

“DANAANGG.!!!” Teriak Pak Jarot dan itu memang kepala Pak Danang.

Aku lalu menolehkan kepalaku kearah kanan dan terlihat tubuh Pak Danang yang tanpa kepala, berlutut dihadapan mahluk mata merah, Pakde Irawan.

Tubuh tanpa kepala itu perlahan menjadi abu, lalu berhamburan tertiup angin. Aku lalu menoleh kearah kepala Pak Danang yang ada di depanku. Matanya melotot, mulutnya menganga dan perlahan kepala itu juga menjadi abu, lalu hilang tertiup angin. Dan dihadapanku saat ini, yang tertinggal hanya besi yang menancap ditelinganya tadi.

“BANGSAATTT. ARGGHHHH.” Teriak Pak Jarot dengan emosinya.

Cuukkk. Apa seperti ini cara membunuh mahluk mata putih ini.? Baiklah. Aku akan mengikuti cara Pakde Irawan dan aku akan membunuh Pak Jarot sekarang juga.

Aku lalu koprol kedepan untuk mengambil besi itu, lalu aku berdiri dan berlari kearah Pak Jarot.

Kuarahkan kepalan tangan kananku kearah wajahnya, dengan besi yang aku genggam ditelapak tangan kananku ini.

BUGHHHHH.

Kepalanya terdorong kebelakang, dengan tubuh sedikit condong kebelakang dan kedua kaki yang sedikit terbuka. Aku lalu mengarahkan ujung besi ini keatas, lalu aku tancapkan dibagian kemaluan Pak Jarot.

JRABBB.

“ARRGHHHH.” Teriak Pak Jarot kesakitan, lalu aku cabut besi itu dengan cepat.

Aku lalu menarik kerah bajunya menggunakan tangan kiriku, sampai kepalanya mendekat kearahku.

Aku balikkan ujung besi yang tajam itu kearah bawah, lalu aku tancapkan diubun – ubun kepala Pak Jarot dengan kuatnya.

JRABBB.

Ujung besi itu menancap diubun – ubun Pak Jarot, sampai menembus dagunya.

“ORRGHHHH.” Pak Jarot melotot dan kesakitan.

“ARGGHHHH.” Aku berteriak dengan kuatnya, sambil mencabut besi yang menancap dikepalanya.

Aku lalu mengarahkan ujung besi itu kearah telinga kirinya, sampai menembus telinga kanannya.

JRABBB.

“ORRGGHHH.” Rintih Pak Jarot, dengan darah yang keluar dari ubun – ubun, mata, telinga, lubang hidung, mulut dan dagunya.

Aku menikmati setiap detik penyiksaanku ini terhadap Pak Jarot dan itu seperti memberikan kepuasan batin didalam hatiku, yang diisi jiwa membunuhku ini.

“Tidak ada yang kekal didunia ini, termasuk kamu.” Ucapku sambil mendekatkan wajahku kewajahnya dan aku tatap bola matanya yang memutih bercampur darah itu.

Terlihat ketakutan yang teramat sangat dari dalam matanya, ketika tatapanku menjelajahi isi didalam mata putih itu. Dia seperti memohon kepadaku, untuk diberi kesempatan menghirup udara bebas lagi.

Aku yang dikuasai hawa pembunuh ini, tidak ada rasa iba atau kasihan sedikitpun kepada mahluk yang ada didapanku ini. Darahku justru semakin mendidih dan amarahku semakin menggelora.

“Saatnya ajal menjemputmu.” Ucapku dengan suara yang pelan, parau dan serak.

Aku lalu mundur beberapa langkah, setelah itu aku berlari kearahnya, lalu aku pegang kedua ujung besi yang keluar dari telinganya itu, lalu aku tekan kebawah dan aku buat tumpuan untuk salto kedepan dan melawati kepalanya. Pada saat tubuhku melayang diudara, aku menekan besi ini sampai Pak Jarot berulut.

TAPPP.

Kedua kakiku menapak tanah, dengan posisi tubuhku melengkung kebelakang dan kami saling memunggungi. Kedua tanganku berada di kedua ujung besi di belakang kepalaku ini, lalu dengan sekuat tenaga aku menegakkan tubuhku dan menarik keatas besi itu, sampai terdengar bunyi.

“ORGGHHHH.” Suara Pak Jarot yang melengking kesakitan dan.

KRAAKKK.

Kepalanya terlepas dari tubuhnya dan berada tepat diatas kepalaku. Aku memegang ujung besi itu tinggi – tinggi, sehingga darah yang keluar dari bagian bawah kepala Pak Jarot, membasahi kepalaku.

Aku bermandikan darah dan emosiku semakin menuncak. Aku belum puas setelah menghabisi Pak Jarot dan aku ingin bermandikan darah dari mahluk lain lagi.

“ARRGGGGHHHH.” Aku berteriak dengan kuatnya, sambil melempar kepala Pak Jarot jauh didepanku sana.

WUSSSS.

Kepala itu berubah menjadi abu dan darahnya yang membasahi kepalakupun, juga berubah menjadi abu. Butiran debu itupun perlahan hilang tertiup angin, tetapi emosiku masih tetap bertahan menguasai diriku.

“Aku ingin darah, aku ingin darah.” Gumamku dengan suhu tubuh yang semakin memanas.

“Tenangkan dirimu.” Ucap Pakde Irawan dari arah belakangku.

Aku lalu membalikan tubuhku dan menatap tajam kearah Pakde Irawan. Tatapan mata Pakde Irawan sudah kembali normal dan dia menatapku dengan sangat tenang sekali.

“Tidak ada yang bisa menenangkan diriku saat ini, termasuk dirimu.” Ucapku dan aku mengucapkannya dengan sangat kasar sekali, sambil menunjuk kearah wajahnya.

Cuukkk. Kenapa aku jadi kurang ajar seperti ini kepada malaikat yang membantuku.? Harusnya aku bersujud dan berterimakasih kepadanya, karena dia sudah banyak membantuku. Tapi kenapa justru aku menantangnya.? Apa ini karena dua makluk yang masih menguasai diriku.? Apa ini yang menjadi alasan Bapak dan kedua Mbahku, menolak kekuatan ini.? Apa aku akan menjadi pembunuh yang keji dan tidak memandang siapapun itu.? Terus sampai kapan aku begini.? Kenapa aku tidak bisa mengendalikan dua mahluk ini.? Kenapa.? Bajingaannn.

“Mungkin aku tidak bisa menenangkanmu, tapi aku bisa mengentikanmu.” Ucap Pakde Irawan dengan sangat santai sekali.

“Sombong sekali kau. Keluarkan mata merahmu dan aku akan membantaimu saat ini juga.” Ucapku yang semakin kurang ajar, sambil menurunkan jemariku yang menunjuk kearah wajahnya.

Aku lalu mengepalkan kedua tanganku dengan kuatnya dan bersiap menyerang dengan emosi yang terus berontak ini.

“Hehe.” Pakde Irawan hanya menggeleng pelan, lalu tersenyum dengan sinisnya.

“Bajingann. Kamu meremehkan aku ya.?” Ucapku lalu aku maju kearahnya, sambil mengarahkan kedua kepalan tanganku kearah wajahnya bergantian.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Aku menghajar wajah Pakde Irawan dengan seluruh kekuatanku dan dia hanya pasrah menerima pukulanku ini.

BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH, BUGHHHHH.

Aku terus memukul wajahnya dan aku mengakhiri seranganku ini, dengan menginjak dadanya menggunakan telapak kakiku.

BUGHHHHH.

BUUMMMM.

Pakde Irawan terlempar, dengan posisi terduduk dan terseret kebelakang.

Cuukkk. Kok bangsat sekali aku ya.? Kenapa aku bisa sekeji ini kepada Pakde Irawan.? Kenapa.? Aku harus menghentikan kegilaanku dan aku harus bisa menguasai kebrutalan kedua mahluk ini. Aku harus berusaha bagaimanapun caranya. Aku tidak boleh menjadi mesin pembunuh, apalagi kepada orang sebaik Pakde irawan.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku cepat dan memburu, karena pergolakan batin didalam diriku.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Aku terus menatap Pakde Irawan dan tatapanku masih saja terasa tajam.

Pakde Irawan menunduk dan tetesan darah mulai berjatuhan dari wajahnya.

Cuukkk. Jahat banget aku cuukkk. Bajingan.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku terus memburu dan aku ingin maju lagi untuk menyerangnya.

“LEMAH.” Ucapku yang meremehkan Pakde Irawan dan bukan kata – kata maaf yang seharusnya keluar. Bangsatt.

“Hehehe. Hanya segitu saja ya kemampuan mata hitam dan mata bening yang ada didalam dirimu.?” Ucap Pakde Irawan, lalu perlahan dia mengangkat wajahnya dan menatap kearahku.

Tatapannya sangat tajam, tapi bola matanya tidak berwarna merah. Wajahnya terlihat menakutkan, ditambah dengan darah yang menetes dari pelipis dan bibirnya.

“Kamu ingin mencoba kekuatanku yang sebenarnya.?” Tanyaku dan emosiku semakin terbakar.

“Mari kita sekelesaikan.” Ucap Pakde Irawan sambil berdiri perlahan dan warna matanya tetap seperti biasa.

“DJIANCUUKKK.” Makiku dan ketika aku akan maju menyerangnya.

Lima sosok mahluk yang luar biasa menyeramkan, muncul dibelakang Pakde Irawan. Lima mahluk itu hanya berdiri dan tidak masuk kedalam tubuh Pakde Irawan. Tatapan lima mahluk itu sangat luar biasa mengerikan dan membuat seluruh tubuhku merinding.

Kelima mahluk itu adalah mata merah, mata biru, mata hitam, mata hijau dan mata bening.

Iblis Mata Merah


Iblis Mata Biru


Iblis mata Hitam


Iblis Mata Hijau


Iblis Mata Bening

Akupun langsung terdiam dan aku tidak mampu menggerakkan tubuhku. Kedua mahluk yang ada didalam tubuhku pun seakan tidak berkutik, melihat kelima mahluk yang ada dibelakang Pakde Irawan.

“Cukup.” Ucap Pakde Irawan, lalu.

BUHHGGGG.

Wajahku dihantamnya dengan kuat dan tubuhku langsung terlempar kebelakang, lalu jatuh terlentang ditanah.

BUUMMMM.

Pandanganku lurus keatas langit, lalu berbayang dan gelap.

Bajingannn.

Dikegelapan pandangan mataku ini, aku merasa seperti berada didalam lubang tanah dan siap untuk dikubur.

Satu persatu wajah – wajah orang yang aku kenal dan aku sayangi muncul, lalu menatapku dengan deraian air matanya. Mulai dari Mbah laki – laki dan Mbah perempuanku dari Desa Jati Bening dan Desa Sumber Banyu, Bapakku, Ibukku, Kedua adikku Damar dan Lintang, Joko sahabatku, Intan kekasihku, Bu Nyoto, Gendhis, Kinanti, Ratna sahabatku, Sarah, Bi Ati, Bu Har, Pak Jaka, Mas Candra, Mas Jago, Cak Ndut, Cak To dan juga teman – teman dari pondok merah.

Mereka menangis sejadi – jadinya, lalu satu persatu menjatuhkan gumpalan tanah kearahku, sampai seluruh tubuhku terkubur didalam tanah ini.

Djiancuukk. Apa aku sudah mati.? Apa pukulan Pakde Irawan ini menyebabkan kematianku.? Apa sedahsyat itu kekuatan Pakde Irawan.? Atau aku mati karena aku telah menerima kekuatan dua mahluk dari Desa Jati Bening dan Desa Sumber Banyu.? Jadi usiaku hanya sampai disini saja dan aku tidak pernah mencapai impianku.? Bajingann.

Gila, ini gila banget. Gak mungkin aku bisa mati secepat ini dan pasti ini hanya mimpi burukku. Mimpi buruk yang mampu meredakan amarahku dan membuat tubuhku sekarang dikuasai ketakutan yang sangat luar biasa.

Bapak, Ibu, Mbah. Maafkanlah Gilang. Maafkanlah Gilang.

Aku lalu memejamkan kedua mataku dengan kuatnya, setelah itu aku membukanya sambil berteriak.

“ARRGGHHHHHH.” Teriakku sambil menegakkan tubuhku dan aku membuka kedua mataku.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku cepat dan memburu, tapi bukan karena emosi. Nafas cepat dan memburu ini karena aku sangat ketakutan sekali.

Aku duduk dengan pandangan yang lurus kedepan dan sekarang aku berada dihalaman rumah tua ini lagi.

“Jangan berteriak atau mau aku hajar lagi.?” Ucap seseorang yang duduk tidak jauh dari aku dan aku langsung melihat kearah orang itu.

“Pak, Pak, Pakde Irawan.” Ucapku terbata dan emosiku benar – benar telah hilang.

“Kenapa.? Kamu mau duel lagi sama aku.?” Tanya Pakde Irawan dan langsung membuatku semakin ketakutan.

“E, e, enggak Pakde. Mohon maaf kalau Gilang tadi sangat kurang ajar.” Ucapku dan aku mendekat kearah beliau, lalu mencoba meraih tangan kanannya.

“Gak usah minta maaf sama aku, kamu harusnya minta maaf kepada kedua orang tuamu.” Ucap Pakde Irawan yang menolak tangannya aku pegang.

“Pak, Pak, Pakde marah sama saya ya.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar dan ketakutan.

“Untuk apa aku marah sama kamu.? Gak ada gunanya.” Ucap Pakde Irawan.

“Pakde, saya mohon maaf Pakde. Mohon maaf sekali.” Ucapku memelas dan Pakde Irawan hanya melirikku.

“Hiuuffttt, huuuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, untuk menenangkan hatiku.

Kami berdua sama – sama diam dan Pakde Irawan mengambil rokoknya dikantong, setelah itu mengambilnya sebatang, lalu menyerahkan bungkusan rokok itu kepadaku.

Aku menerima bungkusan rokok itu dengan tangan yang agak bergetar, karena aku masih sangat ketakutan dan aku bersalah sekali kepada beliau.

Aku terus melihat kearah Pakde Irawan yang menyelipkan rokok disela – sela bibirnya, lalu mengambil korek zippo dari kantongnya.

Pakde Irawan menundukan kepalanya, lalu memiringkannya sedikit, setelah itu membakar rokoknya dengan tangan kanan dan telapak tangan kiri menumpu pada punggung tangan kanannya.

Cling. Bunyi korek zippo ketika dibuka penutupnya, lalu.

Cres. Korek mulai menyala dan membakar ujung batang rokok Pakde Irawan.

Cuukkk. Cara membakar rokoknya itu keren sekali cuukkk. Wajahnya sangat berkarismatik dan gayanya seperti mafia luar negeri yang membakar cerutu, tapi bedanya Pakde Irawan membakar rokok surya. Gaya mafia luar negeri, dengan rokok kearifan local. Bajingan.

Aahhh. Kenapa melihat Pakde Irawan membakar rokok seperti itu, membuat kecanggungan dan ketakutanku jadi berkurang ya.? Apa beliau tidak marah denganku.? Apa beliau memaklumi kekurang ajaranku, karena aku baru memiliki kekuatan dan tidak bisa mengendalikannya.?

Walaupun misalnya Pakde Irawan maklum dan memaafkan aku, aku tetap merasa sangat bersalah sekali. Bagiku kesalahanku tadi sudah sangat fatal, melebihi kurang ajar dan tidak pantas dimaafkan.

Aku terus menatap kearah Pakde Irawan, bukan karena kurang ajar. Aku menatapnya karena aku sangat takjub dengan sikap beliau dan ketenangannya dalam menyelesaikan masalah.

Karena aku terpukau menatapnya, aku tidak sadar kalau korek zippo Pakde Irawan yang menyala, sudah berada didekat ujung rokokku yang ada dibibirku.

Cahaya api dari korek itu langsung menyadarkan aku dan aku langsung melepaskan rokok ini dari bibirku.

“Jangan Pakde, jangan seperti ini. Aku sangat bersalah sekali kepada Pakde.” Ucapku lalu aku menunduk. Pakde Irawan tetap menyodorkan korek zippo itu dan aku langsung mengangkat wajahku.

Pakde Irawan terus menatapku, dengan korek yang masih menyala.

Dengan tangan yang bergetar, aku meletakan rokok ini dibibirku lagi, setelah itu memajukan wajahku, sampai korek itu membakar rokokku dan aku menghisapnya pelan.

Cling. Bunyi korek zippo ketika ditutup kembali, lalu Pakde Irawan mengantongi korek itu lagi.

“Huuuu” Aku membuang asap rokokku kesamping, sambil menyerahkan kembali bungkusan rokok milik Pakde Irawan.

“Terimakasih Pakde.” Ucapku dan Pakde Irawan hanya diam saja, sambil menerima dan mengantongi rokoknya.

Kami berdua berdiam diri lagi, sambil menikmati isapan rokok masing – masing.

“Kenapa Pakde.? Kenapa bisa begini.?” Tanyaku membuka obrolan dan aku mengucapkannya dengan sangat sopan sekali.

“Apanya yang kenapa.? Apa ini tentang dua mahluk yang tadi masuk kedalam tubuhmu.?” Tanya Pakde Irawan, lalu beliau menghisap rokoknya lagi.

“Iya Pakde. Kenapa mahluk itu bisa masuk kedalam tubuhku, padahal aku sudah mencoba menolaknya.” Ucapku, lalu aku menghisap rokokku juga.

“Karena keikhlasan hati dari sang penerima dan karena memang sudah waktunya.” Ucap Pakde Irawan dan jawabannya sama seperti Kakek bermata bening.

“Keikhlasan hati.? Saya sudah berusaha menolaknya Pakde, saya sudah berusaha menolaknya. Tapi kenapa akhirnya saya bisa ikhlas menerima.? Atau walaupun saya menolak, tapi karena ini sudah waktunya, jadi kekuatan itu bisa masuk dengan sendirinya.?” Tanyaku.

“Mungkin.” Jawab Pakde Irawan dan aku hanya bisa menghela nafasku, mendengar jawaban yang menggathelkan itu.

“Mungkin apa Pakde.?” Tanyaku dengan melasnya.

“Keikhlasan itu, lahir dari perasaan yang tersakiti dan teraniaya. Karena sudah tidak bisa berbuat apapun dan dia memasrahkan segalanya kepada Sang Pencipta, akhirnya hanya ikhlas saja yang menjadi jawabannya.” Jawab Pakde Irawan lalu menghisap rokokkya lagi.

“Dan gara – gara keihklasan itu, saya menjadi pembunuh yang sadis.” Ucapku dan Pakde Irawan hanya melirikku.

“Aku tidak mengiyakan perkataanmu barusan, karena aku tidak tau kamu itu ikhlas menerima ini semua atau karena ini memang sudah waktunya. Tapi yang jelas, ketika cahaya gerhana bulan merah mengenai seseorang yang memiliki kekuatan atau orang yang sudah waktunya menerima kekuatan, maka cahaya gerhana bulan itu bisa membangkitkannya.” Ucap Pakde irawan.

“Jadi karena cahaya bulan gerhana merah itu juga, akhirnya kekuatan yang ada didalam tubuh Pakde keluar.? Padahal Pakde tadi berjanji tidak akan menggunakan kekuatan itu.” Tanyaku.

“Kita ini manusia yang diberi kelebihan untuk memiliki kekuatan atau bakat memiliki kekuatan dari para leluhur, yang tidak mungkin sempurna seutuhnya. Walaupun kita sudah bisa menguasai kekuatan itu, tapi ketika fenomena alam memaksa kekuatan itu harus keluar, ya keluar. Tinggal dari diri kita saja, bisa atau tidak menahan kalau sampai kekuatan itu kebablasan. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, ya kekuatan itu pasti akan keluar dengan sendirinya. Itu bagi yang sudah bisa menguasai kekuatannya. Kalau yang belum bisa menguasai, itu malah lebih parah kondisinya.” Ucap Pakde Irawan.

“Terus sekarang saya harus bagaimana Pakde.?” Tanyaku lalu aku menghisap rokokku.

“Belajar kendalikan gejolak emosimu yang pasti akan meledak – ledak setelah ini. Jangan pernah mau dikusai kedua mahluk itu, atau kamu akan menjadi jahat.” Ucap Pakde Irawan, sambil meremas pundakku pelan.

“Terus kenapa Bapak dan Mbah saya, tidak mau menerima kekekuatan itu dan melarang saya, untuk tidak menerima kekuatan itu juga.? Dan apa ada dampaknya, ketika kekuatan ini sudah terlanjur masuk kedalam tubuh saya.?” Tanyaku.

“Pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh Bapakmu, karena dia yang berhak menjawabnya.” Ucap Pakde Irawan lalu beliau berdiri.

“Pakde mau kemana.?” Tanyaku yang masih belum puas dengan obrolan ini.

“Mau baliklah. Buat apa lama – lama disini.” Jawab Pakde Irawan singkat, lalu beliau membuang rokokknya.

“Ohh iya, tapi saya kedalam sebentar ya Pakde.” Ucapku dan aku langsung berdiri, sambil membuang rokokku.

Pakde Irawan tidak menjawab pertanyaanku dan aku langsung masuk kedalam ruang tengah rumah tua ini.

Jujur aku masih ada ganjalan sedikit didalam rumah tua ini. Dan ganjalanku itu adalah Kimba. Memang emosiku telah hilang dari pikiranku, tapi aku masih jengkel dengan kendaraan itu. Walaupun kendaran itu aku beli dari hasil keringatku sendiri, tapi aku membelinya dari Pak Jarot, orang yang telah menyebabkan kematian Intan.

Aku ingin menghilangkan kejengkelanku ini, dengan membakar kendaraan itu, supaya wajah Pak Jarot tidak terbayang lagi.

Aku lalu berjalan kearah kimba yang tergeletak diruang tengah. Lalu setelah aku berdiri didekat kimba, aku langsung jongkok sambil mengeluarkan korek yang ada dikantongku.

Cress, cress, cress.

Korekku telah menyala dan aku mendekatkan api korekku ini ke jok kendaraan itu.

“Baru aku bilang supaya kamu menahan gejolak emosimu, sekarang kamu mau bakar kendaraan itu.” Ucap Pakde Irawan yang berdiri didekat pintu.

“Saya tidak emosi Pakde. Saya cuman jengkel.” Ucapku dan aku mematikan korekku.

“Sama aja itu.” Ucap Pakde Irawan dan aku tidak menghiraukannya.

Aku menyalakan korek ini lagi sampai menyala.

Cress, cress, cress.

Korek ini menyala dan aku mendekatkan kearah jok kendaraan ini lagi.

“Kalau kimba kamu bakar, kita naik apa keluar hutan ini.?” Tanya Pakde Irawan.

“Emang Pakde kesini tadi naik apa.?” Tanyaku dan api korek ini aku padamkan lagi.

“Ditanya malah tanya balik.” Ucap Pakde Irawan.

“Sudahlah Pakde, lebih baik aku jalan kaki saja keluar hutan ini, daripada aku naik kendaraan ini dan terbayang wajah Pak Jarot.” Ucapku lalu aku menyalakan korekku lagi.

Cress, cress, cress.

Korekku menyala lagi, lalu aku dekatkan ke jok kendaraan ini lagi.

“Kalau kamu bakar kendaraan itu, berarti kamu tidak menghargai aku.” Ucap Pakde Irawan dan kembali aku mematikan korek ini lagi.

“Maksudnya Pakde apa ya.?” Tanyaku.

“Kimba itu kendaraan pertama kali yang aku miliki di Kota Pendidikan ini.” Ucap Pakde Irawan dan aku langsung terkejut dibuatnya.

“Bukannya ini milik Pak Jarot.?” Tanyaku.

“Bukan. Itu milikku dan setelah aku membeli mobil jeep cj7, kimba aku serahkan kepada Jarot sebagai kenang – kenangan.” Jawab Pakde Irawan.

“Loh, kok.?” Ucapku yang kebingungan.

“Jarot itu dulu adik tingkatku di kampus teknik kita. Dia anak baik dan dia berkuliah dengan biayanya sendiri, sama seperti kamu. Semangatnya sangat luar biasa dan aku kagum kepadanya.” Ucap Pakde Irawan dan aku hanya mendengarkannya saja.

“Terus bagaimana bisa Pak Jarot berubah menjadi jahat seperti ini Pakde.?” Tanyaku lagi.

“Karena pergaulan bebas dan dia merasa memiliki banyak uang, setelah bekerja dikantor konsultan milik Ayahnya Danang.” Jawab Pakde Irawan.

“Berarti Pak Danang yang merusak Pak Jarot.?” Tanyaku dan Pakde Irawan hanya menggelengkan kepala.

“Mereka berdua sama – sama anak yang baik waktu kuliah. Tapi setelah lulus dan mereka memiliki harta dan tahta, akhirnya mereka bermain wanita. Kesenangan duniawi membutakan mata mereka berdua, sampai rela melakukan apa saja, agar mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari sebuah proyek.” Jawab Pakde Irawan.

“Kalau tau seperti itu, kenapa Pakde tidak mencegahnya dari dulu.?” Tanyaku.

“Selama berkuliah, aku masih bisa menasehatinya. Tapi kalau sudah lulus, aku tidak punya hak lagi dan aku juga sudah meninggalkan kota ini.” Jawab Pakde Irawan.

“Tapi kantor Pak Danangkan dibawah naungan keluarga Jati, jadi kenapa Pakde bisa lepas tangan begitu.?” Tanyaku.

“Bukan lepas tangan. Urusan dengan keluarga Jati itu adalah murni bisnis antara Bapakku dan Bapaknya Danang. Kalau dikemudian hari anaknya menjalankan bisnis dengan cara yang tidak benar, itu akan menjadi urusan yang lain.” Ucap Pakde Irawan.

“Menjadi urusan yang lain.? Apa maksud Pakde itu, walaupun Pakde tidak punya hak lagi untuk menegur perbuatan Pak Danang dan Pak Jarot, tapi Pakde memantau pergerakan mereka.? Dan setelah mereka sudah melewati batas dan Pakde sudah mendapatkan semua bukti, baru Pakde turun tangan.? Begitu.?” Tanyaku dan Pakde Irawan hanya tersenyum saja.

“Oke. Saya sedikit paham kalau urusan kantor. Tapi kalau urusan bermain wanita bagaimana.? Bukannya mereka sudah bermain wanita semenjak kuliah ya.?” Tanyaku yang makin penasaran dengan kehidupan masa lalu Pak Jarot dan Pak Danang.

“Ada beberapa hal yang kita tidak bisa terlalu jauh, mencampuri urusan pribadi seseorang. Selama wanita yang didekatinya merasa nyaman dan tidak ada paksaan, untuk apa kita mencampurinya.? Mereka sudah bisa berpikir dan bisa bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya.” Ucap Pakde Irawan.

“Terus tindakan mereka itu kebablasan dan akhirnya jadi seperti ini.” Ucapku.

“Sebenarnya kalau mereka tidak melibatkan mata putih dalam kehidupan mereka, tidak mungkin kejadian saat ini terjadi.” Jawab Pakde Irawan.

“Berarti mata putih jahat dong.” Ucapku.

“Enggak juga. Semua itu tergantung siapa yang mengendalikannya. Kalau tuannya bisa mengendalikan, pasti jalannya akan menjadi baik. Tapi kalau mahluknya yang mengendalikan, keserakahan dan ketamakan pasti akan mengiringi disetiap langkahnya.” Ucap Pakde Irawan.

“Mata putih ini susah sekali dikendalikan. Dulu aku sempat berduel dengan mata putih, tapi pemiliknya bukan Jarot dan Danang. Dua pemilik sebelumnya juga jahat dan kejam. Aku sempat kewalahan menghadai mata putih waktu itu. Tapi akhirnya aku bisa mengalahkannya.” Ucap Pakde Irawan.

“Apa pemilik mata putih sebelumnya mempunyai hubungan darah dengan Pak Danang dan Pak Jarot.?” Tanyaku.

“Enggak, karena mata putih itu bisa didapatkan dengan cara melakukan sebuah ritual. Jarot dan Danangpun, sebenarnya tidak memiliki hubungan darah atau garis keturunan dengan pemilik mata putih sebelumnya. Tapi karena mereka sudah melakukan ritual dan membuat perjanjian dengan mahluk itu, akhirnya mereka bisa mendapatkan kekuatan mahluk mata putih.” Jawab Pakde Irawan.

“Bisa begitu ya.? Oh iya, tadi kan mereka berdua sempat bermusuhan dan akan berkelahi. Tapi kenapa mereka bisa bergabung lagi.?” Tanyaku.

“Mahluk mata putih itu kembar dan langka. Orang yang tidak bisa mengendalikannya, pasti emosinya akan dipermainkan. Mereka akan dibuat saling sikut dan saling jegal dalam segala hal, walaupun sebelumnya mereka itu sahabat karib. Mereka juga akan dibuat saling ketergantungan dan saling membutuhkan. Dan kalau kamu sudah menyakiti salah satu diantara mereka, mereka akan menyatu dan membantaimu dengan kompak.” Ucap Pakde Irawan dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

“Sudahlah, ayo kita pergi dari sini.” Ucap Pakde Irawan.

“Kita naik kimba.?” Tanyaku.

“Ya iyalah.” Jawab Pakde Irawan.

Akupun langsung mendirikan kimba dengan hati yang sangat lega. Rupanya kimba ini bukan milik Pak Jarot, tapi milik Pakde Irawan.

“Oh iya, untungnya kamu tadi mencegah Jarot mendampingi Denok. Kalau tidak, Denok akan dikembalikan perawannya, diselamatkan hidupnya, lalu akhirnya menjadi pengikut Jarot.” Ucap Pakde Irawan, ketika aku sudah mendirikan kimba.

“Saya tidak beruntung masalah itu, karena saya tidak bisa menyelamatkan Mba Denok.” Jawabku dan aku langsung merasa bersalah sekali.

“Kita ini hanya manusia biasa yang kebetulan mempunyai sedikit kelebihan. Segala sesuatu itu sudah digariskan dan ditakdirkan, jadi kita tidak akan bisa merubahnya. Sekuat apapun kita berusaha merubahnya, kalau Sang Pnecipta ingin terjadi, bagaimana.?” Ucap Pakde Irawan dan aku pun langsung terdiam.

“Lakukan apa yang bisa kamu lakukan, selebihnya serahkan kepada Sang Pencipta.” Ucap Pakde Irawan.

“Hiuufftt, huuuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu menyetandartkan kimba.

Kring, kring, kring, kring.

Terdengar bunyi telpon dikantong Pakde Irawan. Telpon yang katanya orang bernama HP dan itu barang langka, mahal dan pastinya istimewa.

Jarang sekali orang memiliki barang mewah itu, karena selain karena harga HP mahal, pulsanya juga tidak kalah mahal. Luar biasa banget Pakde Irawan ini.

Pakde Irawan mengeluarkan Hpnya yang berwarna biru dan ada antenanya itu, lalu mengangkatnya.

“Halo Dek Tito.” Ucap Pakde Irawan, menjawab panggilan telpon itu.

“……..”

“Hiuffffttt, huuu.” Pakde Irawan Hanya menarik nafasnya dalam – dalam lalu mengeluarkan perlahan, dengan mata yang berkaca – kaca. Pakde Irawan terlihat sangat sedih sekali, mendengar kabar yang entah apa itu.

“……..”

“Nggak Dek, kamu gak perlu minta maaf. Aku tau kamu sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi keadaan yang memaksa Sandi harus tetap diproses.” Ucap Pakde Irawan dengan suara yang bergetar.

“……..”

“Bukan kesalahanmu Dek, bukan. Putra kesayanganku itu memang mempunyai emosi yang tidak bisa dikendalikan, apalagi sudah menyangkut harga diri dan orang – orang terdekatnya yang disakiti.” Ucap Pakde Irawan.

“……..”

“Besok aja kita bahas masalah ini. Aku akan menemuimu dikantormu jam sepuluh pagi. Untuk sementara biarkan Sandi merenungi semua perbuatannya dan mau tidak mau, dia harus mempertanggung jawabkan akibat perbuatannya ini.” Ucap Pakde Irawan dengan sangat berat sekali.

“……..”

“Baiklah.” Ucap Pakde Irawab lalu dia menutup hpnya dan menyimpannya lagi.

Aku yang melihat kesedihan diwajah Pakde Irawan itu, hanya diam saja dan tidak berani mengajaknya berbicara.

“Aku ini bajingan Lang. Bajingan yang katanya orang raja tega.” Ucap Pakde Irawan mulai berbicara dan aku hanya mendengarkan saja.

“Banyak orang yang sudah aku bantai dan banyak preman yang sudah kuhabasi nyawanya.”

“Tidak ada satu orangpun yang bisa membuat nyaliku ciut sedikitpun selama ini.”

“Tapi ketika aku sudah berhadapan dengan Sandi Purnama Irawan anak laki – laki kesayanganku, aku seolah tidak mempunyai kekuatan sama sekali.”

“Jangankan memarahinya, melototpun aku tidak sanggup.”

“Rasa sayangku terlalu besar kepadanya, sampai ketika dia membantai orangpun, aku tidak bisa menegurnya.”

“Mungkin karena ketidak ketegasanku kepada putraku itu, akhirnya dia terlalu liar dikehidupannya. Bolos, mabuk, berkelahi sampai hari ini dia membantai salah satu preman terkuat di Pulau Seberang.”

“Sandi terlalu liar dan hanya Ibunya saja yang mampu menghentikannya, ketika emosinya sudah menggila.” Ucap Pakde Irawan dengan suara yang bergetar dan mata yang berkaca – kaca.

“Salah satu alasanku pindah ke Pulau Seberang itu, agar Sandi tidak terjerumus bisnis hitam keluargaku dan dia tidak menjadi preman dipulau ini. Tapi ternyata darah panasnya tidak bisa dikendalikan, walau dimanapun tempatnya.” Ucap Pakde Irawan lagi.

Cuukkk. Ternyata Sandi sifatnya kurang lebih aja dengan Satria anak dari Pak Tomo. Sama – sama liar dan suka berkelahi. Kedua orang tua mereka pun sama – sama sayang dan tidak bisa menghentikan kegilaan mereka berdua.

Pak Tomo dan Pakde Irawan ini sama – sama gila ketika membantai lawan, tapi terlalu lemah dengan anak mereka. Ada apa dengan mereka.? Apa kegilaan Sandi dan Satria itu cerminan masa muda mereka berdua, sampai mereka malu untuk menegur kegilaan dua anak muda itu.? Gila.

Sebenarnya aku tidak mengenal Sandi secara dekat, karena kami tidak pernah bertemu setelah dewasa. Aku pernah sekali bertemu dengannya, itupun ketika masih kecil. Aku yakin dia juga tidak mengenalku dan dia pasti lupa, pernah bertemu denganku.

“Kata orang itu aku tegas, tenang dan bisa menyelesaikan segala masalah yang aku hadapi. Tapi bagiku tidak. Aku manusia dan aku juga mempunyai kelemahan didalam diriku. Aku mungkin tidak sebaik Mas Darman dalam mendidik kamu dan adik – adikmu.” Ucap Pakde Irawan yang menyebut nama Bapakku.

“Enggak juga Pakde. Bapak dan Pakde itu sama dalam mendidik putra - putrinya. Sama – sama memberi kebebasan dalam menemukan jati diri.” Ucapku yang akhirnya bersuara.

“Saya tidak sebaik yang Pakde pikirkan dan justru mungkin Sandi yang lebih baik dari saya. Saya juga tukang minum dan suka berkelahi.”

“Saya hidup dijalanan Pakde. Cacian dan hinaan orang – orang itu, seperti kata – kata sayang dan bijak, yang selalu saya dengar setiap hari. Berbeda dengan Sandi yang tinggal dirumah dan selalu mendapatkan perhatian dari Pakde dan Bude.” Ucapku.

“Itulah yang membedakan dirimu dengan Sandi Lang.” Ucap Pakde Irawan dan beliau menghentikan ucapannya sejanak.

“Aku sekarang mulai berpikir. Setelah dia mempertanggung jawabkan perbuatannya di Pulau seberang, aku akan melepas Sandi untuk pergi Kota Pendidikan ini. Aku ingin dia belajar mandiri dan bisa belajar menghadapi kerasnya kehidupan dikota Pendidikan ini.” Ucap Pakde Irawan dengan pandangan yang menerawang.

“Aku yakin kerasnya kehidupan dikota ini, akan membentuk sikap Sandi menjadi lebih dewasa.” Ucap Pakde Irawan.

“Semoga Pakde. Semoga apa yang Pakde inginkan menjadi kenyataan dan Sandi menjadi pribadi yang sangat luar biasa, seperti Ayahnya.” Ucapku dan Pakde Irwan langsung melirikku.

“Sudahlah, ayo kita balik.” Ucap Pakde Irawan, sambil menepuk pundakku pelan.

“Iya Pakde.” Ucapku karena aku ingin segera mencari Joko dan menguatkannya dari segala kejadian yang dialaminya ini.

Aku lalu mendorong kimba keluar rumah ini dan ban bagian depannya agak terasa bergoyang, akibat aku tabrakkan dipintu tadi. Bukan hanya bannya yang agak goyang, tapi sebagian bodinya juga lecet akibat terserat tadi.

Djiancuukkk. Kalau aku tau kimba ini dulunya punya Pakde Irawan, aku tidak akan menabrakan didepan pintu. Bajingan.

Setelah sampai didepan rumah tua ini, aku lalu menyalakan mesin kimba.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek. Teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba bisa menyala dan aku langsung naik keatasnya, disusul Pakde Irawan yang duduk dibelakangku.

Kletek.

Aku memasukan mesin kimba dan ketika aku akan menjalankan kimba, terlihat beberapa mobil datang kearah rumah tua ini.

“Sudah, jalan aja.” Ucap Pakde Irawan, sambil menepuk pundakku.

Trenteng, teng, teng, teng, teng.

Aku mengikuti perintah Pakde Irawan dan menarik gas kimba pelan. Aku tidak berani menambah kecepatan kimba, karena ban depannya terasa semakin bergoyang ketika dinaiki.

Kami berdua melewati beberapa mobil ini dengan cueknya, dan mereka semua terlihat berhenti tidak jauh dari rumah tua ini.

“Ingat Lang, jangan pernah mengatakan kepada siapapun kalau aku datang kekota ini, termasuk kepada Joko.” Ucap Pakde Irawan dan aku hanya mengangguk saja.

Trenteng, teng, teng, teng, teng.

Kami menyusuri jalan yang gelap ini dan beberapa saat kemudian.

BOOMMM, BOOMMM, BOOMMM.

Terdengar ledakan dari arah rumah tua yang sudah agak jauh kami tinggalkan.



#Cuukkk. Kenapa rumah tua itu diledakkan.? Apa mereka yang meledakan rumah itu bagian dari keluarga besar Jati.? Gila. Sadis banget cara menghilangkan jejaknya. Ahhh, kenapa aku memikirkan masalah itu sih.? Harusnya aku memikirkan bagaimana nasib diriku yang sekarang terasa berbeda, setelah ledakan emosiku tadi.? Terus bagaimana dengan kehadiran dua mahluk yang ada didalam diriku saat ini.? Apa aku lepaskan saja, agar keluargaku tidak bersedih.? Tapi bagaimana caranya.? Djiancuukk.
 
Selamat sore Om dan Tante

Updete sore ya.
Selamat menikmati dan semoga tidak mengentangkan.

Setelah ini istirahat dulu, karena pikiran spaneng terus.
Semoga seminggu atau dua minggu ini bisa updete lagi.

Mohon saran dan masukannya.
Mohon maaf juga, kalau terdapat banyak salah ketik.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
 
Buka gembok matahari deh, gantian gitu lah
Tunggu ini tamat dulu, biar enak nyambungnya, terus biar enak fokusnya. Jadi kalau coli, gak nanggung.

ttd.
stepen yang perkasa.
 
:p:p:p:pAkhirnya ... Denok akan sahabatan dengan intan ...

Gilang dan Joko punya kekasih alam lain jadinya seimbang ...

Kalau mereka kencan barengan maka akan terlihat lucu ...
Teman teman mereka akan melihat nya jadi pasangan copel ....
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd