Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2

Muncul pertanyaan baru...
Apakah joko mendendam sama keluarga jati gara2 Gilang tidak memberi penjelasan...??
Apalagi tokoh Zaky dimunculkan di episode ini...
Apakah ada hubungan dengan joko kedepannya...??
Intan sudah pergi...
Akankah neng Gendhis kembali...??
:mantap: :mantap::mantap:
makasih updatenya mas @Kisanak87
selalu ditunggu kelanjutannya...
Salam Hormat Salam Persaudaraan...
SEMONGKO.......!!!!?
 


BAGIAN 33
LANJUT DAN NIKMATI


Hiuffttt, huuuu.

Aku dan Joko sekarang berada didepan gundukan tanah yang masih basah, tempat istirahat terakhir Mba Denok dikota sebelah. Di area ini tinggal kami berdua, karena keluarga besar Mba Denok dan para peziarah yang lain sudah pulang semua.

Suasana sedih dan pastinya dibanjiri oleh air mata, sangat terasa sekali ketika jenazah Mba Denok tadi dimakamkan. Kedua orang tua Mba Denok seperti tidak percaya, kalau putri tersayang mereka telah tiada dan pergi dengan cara yang mengenaskan. Keluarga besarnya pun sangat terpukul dan mereka tidak menyangka, kalau Mba Denok telah dinodai oleh bosnya sendiri, lalu akhirnya bunuh diri.

Berita tentang kematian Mba Denok dan penyebabnya, langsung menyebar dan menggemparkan Kota Pendidikan. Sedangkan kematian Pak Danang tidak kalah heboh. Dia dikabarkan membunuh Pak Jarot, karena memergokinya memperkosa Mba Denok. Lalu setelah membunuh Pak Jarot, Pak Danang bunuh diri dengan cara membakar rumah tua yang menjadi tempat kejadian perkara. Gila, bisa begitu ya.? Siapa kira – kira yang buat berita seperti itu.? Bajingann.

Dan semalam, setelah jenazah Mba Denok sempat di inapkan di rumah sakit, pagi tadi keluarga Mba Denok langsung membawanya kekota ini dan siang harinya Mba Denok langsung dimakamkan.

Setelah pemakaman selesai dan keluarga besarnya pulang kerumah, aku dan Joko tetap berada di pemakaman ini. Aku menemani Joko, yang sangat berat meninggalkan makam kekasih tercintanya itu.

Oh iya. Aku dan Joko belum pulang kekosan, mulai dari kemarin.

Dua hari ini adalah hari yang sangat berat dan melelahkan bagi kami berdua. Siang hari kemarin pulang ke desa untuk pemakaman kedua orang tua Joko, malam harinya balik ke Kota Pendidikan untuk pertarungan yang sangat luar biasa, tengah malam sampai pagi bergadang dirumah sakit, pagi harinya kekota ini, siang mengikuti proses pemakaman dan rencananya siang menjelang sore ini, kami akan balik ke Kota Pendidikan.

Tubuh kami bukan hanya lelah, tapi tubuh kami juga terasa remuk redam akibat pertempuran semalam. Belum lagi perasaan yang campur aduk bermain dipikiran, menambah kelelahan ini bukan hanya di fisik tapi juga dibatin.

Dan tentu saja yang paling merasakan semua ini adalah sahabatku Joko. Aku tidak mampu menceritakan bagaimana keadaan Joko, setelah mengalami hari terburuk di dalam kehidupannya ini. Kata – kata kesedihan yang paling menyakitkan pun, tidak akan bisa mewakili perasaannya saat ini.

Tidak ada air mata yang keluar dari mata Joko, ketika tubuh Mba Denok dimakamkan sampai setelah selesai dimakamkan. Tatapan matanya terlihat kosong dan bibirnya terlihat tersenyum. Tersenyum yang sungguh menyayat hati.

Hiuffttt, huuuu.

“Mbalek Yo.” (Balik yuk.) Ucap Joko yang mengejutkan aku dari lamunan dan dia perlahan mulai berdiri. Dia mengucapkan itu dengan pandangan lurus ke arah batu nisan dan dengan suara yang bergetar.

Aku langsung meremas pundak Joko pelan, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku ingin dia menikmati kesedihannya sampai puas, lalu meninggalkan kesedihannya ditempat ini.

Joko lalu melirikku ke arahku dan aku tersenyum dengan berat hati, sambil meremas pundaknya lagi.

“Hiuffttt, huuuu.” Joko menarik nafasnya dalam – dalam dan dadanya terlihat bergetar.

Dia seperti menguatkan hatinya dan menahan air matanya agar tidak tertumpah, setelah itu dia mulai melangkah meninggalkan makam kekasihnya itu, dengan kesedihan yang masih dipendamnya.

Aku merangkul pundaknya dan Joko langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku tau butiran air matanya sedikit menetes dan dia sengaja menutupi dari aku. Dia menutup wajahnya, sambil membersihkan air matanya itu.

Aku pura – pura tidak melihat dan pandanganku lurus kedepan, sambil tetap merangkulnya.

Kami menyusuri makam – makam yang berjejer rapi ini, menuju area parkir yang ada di luar sana.

Dan ketika kami sampai di area parkir, tampak sebuah mobil yang menunggu kami dan itu adalah mobil Mas Jago. Pak Jaka, Mas Candra dan juga Mas Jago, rupanya belum balik dan mereka menunggu kedatangan kami.

“Kalian beneran gak mau naik mobil kami.?” Tanya Mas Candra ketika kami berdua sudah berdiri tidak jauh dari mereka bertiga.

“Enggak Mas, kami naik kimba aja. Sekalian cari udara segar.” Jawabku sambil melepaskan rangkulanku dipundak Joko.

“Ikut bersama kami aja. Bannya kimba kelihatannya agak goyang itu. Kimba masukkan di bengkel kota ini, terus kalau sudah selesai biar dikirim ke Kota Pendidikan.” Ucap Mas Jago.

“Masih kuat kimba ini Mas.” Jawabku, lalu aku tersenyum dengan paksa.

“Kalau begitu, untuk mengurangi beban kimba, biar Joko aja yang ikut bersama kami. Nanti waktu jalan, kamu didepan dan kami mengikutinya dari belakang. Jadi kalau ada apa – apa dijalan, kimba langsung di masukkan ke bengkel terdekat.” Ucap Pak Jaka kepadaku dan dia mencoba merayu Joko, supaya mau naik ke mobil mereka.

Aku lalu melihat ke arah Joko yang hanya diam saja dari tadi. Joko langsung melihat ke arahku, sambil menggelengkan kepalanya.

“Terimakasih atas tawaran kalian. Tapi mohon maaf, kami naik kimba aja.” Jawabku.

Mereka bertiga langsung terdiam dan memandang kami dengan tatapan yang menyedihkan.

“Jangan seperti itulah menatap kami. Kami ini sudah biasa hidup dijalan dan kami sudah terbiasa menghadapi masalah kehidupan.” Ucapku dan mereka bertiga langsung menarik nafas dalam – dalam.

“Baiklah. Kami tunggu di Kota Pendidikan.” Ucap Mas Candra dengan berat hati, lalu masuk kedalam mobil. Mas Jago langsung mengarahkan jempol kanannya ke arahku, setelah itu masuk kedalam mobil juga.

“Hati – hati dijalan, gak usah terlalu laju bawa kimbanya.” Ucap Pak Jaka yang juga dengan sangat berat hati mengucapkannya.

“Iya Pak. Terimakasih sudah membantu kami.” Ucapku.

“Kami tidak melakukan apa – apa kok. Kami hanya melakukan apa yang harus dilakukan seorang saudara, ketika saudaranya sedang membutuhkannya.” Ucap Pak Jaka dan aku kembali tersenyum.

“Kami pamit.” Ucap Pak Jaka.

“Iya Pak. Hati – hati dijalan.” Ucapku dan Pak Jaka mengangguk, lalu masuk kedalam mobil.

Tidak lama kemudian, mobil mereka jalan dan meninggalkan kami berdua di area pemakaman ini.

Aku lalu melihat ke arah Joko dan dia juga melihat ke arahku, dengan tatapan mata yang sangat sayu sekali.

“Dadi piye iki.?” (Jadi bagaimana ini.?) Tanyaku sambil mengeluarkan bungkusan rokok dikantongku., lalu aku mengambil sebatang dan setelah itu menyerahkan bungkusan rokokku kepadanya.

“Emboh.” (Gak tau.) Jawab Joko sambil menerima bungkusan rokokku.

Aku lalu membakar rokokku, setelah itu aku mengarahkan korekku yang masih menyala, ke arah rokok yang ada dibibir Joko.

“Hiufftttt, huuuu.” Joko menghisap dalam – dalam rokoknya dan dia terlihat sangat menikmati isapan rokoknya ini. Lalu setelah dia mengeluarkan asap tebal dari mulutnya, Joko melihat ke arah Kimba dengan tatapan yang sangat benci sekali.

“Lapo gak diguak vespa bosok iki cok.?” (Kenapa gak dibuang vespa busuk ini cok.?) Tanya Joko, lalu.

Buhhggg.

Joko menginjak bagian samping kimba yang terparkir, dan aku langsung menahan setangnya agar kimba tidak roboh.

Aku tau apa yang ada dipikiran Joko. Dia pasti mengira kendaraan ini milik Pak Jarot dan dia terlihat marah karena itu.

“Lapo gak diguak.? Awak dewe tuku vespa iki cok, duduk dike’i.” (Kenapa gak dibuang.? Kita beli vespa ini cok, bukan dikasih.) Jawabku.

“Tuku ambe bajingann yo.” (Beli sama bajingann ya.?) Tanya Joko yang jengkel, lalu dia menghisap rokokknya.

“Vespa iki duduk otek’e Pak Jarot cok. Iki otek’e Pakde Irawan.” (Vespa ini bukan punya nya Pak Jarot cok. Ini Punya nya Pakde Irawan.) Ucapku dan Joko langsung melihat ke arahku, dengan tatapan yang sangat jengkel sekali.

“Podo ae.” (Sama aja.) Ucap Joko, lalu melihat ke arah yang lain.

“Maksudmu opo cok.?” (Maksudmu apa cok.?) Tanyaku.

“Koen iku pawak’an gak ngerti ta cok.? Kantore Pak Danang iku, melu gerombolane keluarga Jati.” (Kamu itu pura – pura gak ngerti kah cok.? Kantornya Pak Danang itu ikut gerombolannya keluarga Jati.) Ucap Joko yang perlahan mulai emosi.

Cuukkk. Kelihatannya Joko ini sudah salah sangka dengan keluarga Jati. Dia gak tau kalau Pakde Irawan sudah banyak membantu kami berdua. Mulai dari kejadian di gudang satu, sampai pertempuran semalam. Ingin rasanya aku menjelaskan semua tentang kehadiran Pakde Irawan di saat – saat tergenting itu, tapi aku sudah berjanji kepada Pakde Irawan tidak akan bercerita kepada siapapun tentang kehadirannya di Kota ini. Bajingaann.

“Jok. Aku paham awakmu jek kepikiran masalah Mba Denok. Tapi aku njaluk tolong, lek awakmu gak ngerti masalah keluarga Jati ambe kantor Pak Danang, gak usah ngomong masalah iku.” (Jok. Aku ngerti kamu masih kepikiran masalah Mba Denok. Tapi aku minta tolong, kalau kamu gak ngerti masalah keluarga Jati sama kantor Pak Danang, jangan berbicara masalah itu.) Ucapku dengan seriusnya.

“Ono seng salah ta, teko omonganku jek tas.?” (Ada yang salah kah, sama ucapanku barusan.?) Tanya Joko dan terlihat masih memendam dendam yang begitu mendalam, tapi entah untuk siapa.

“Aku mek ngilingno awakmu cok. Sak karebmu koen rungokno opo gak.” (Aku cuman mengingatkan kamu cok. Terserah kamu mendengarkan apa enggak.) Ucapku sambil menatap kedalam mata Joko yang sayu itu.

Joko pun langsung melihat ke arah yang lain dan tidak berani menatap kedua mataku lama – lama.

Akupun langsung membuang puntung rokokku, lalu aku menyalakan mesin kimba. Aku tidak ingin berdebat dengan Joko lagi, karena kami berdua sama – sama lelah. Dari pada perdebatan kami ini malah membuat masalah kepada kami berdua, lebih baik dihentikan dan besok lagi kami bahas masalah ini.

Jujur emosiku sudah mulai naik kekepala dan aku tidak ingin emosi ini terlampiaskan kepada Joko. Dengan orang yang lebih tua dan mempunyai hubungan keluarga seperti Pakde Irawan saja, aku berani melampiaskan emosiku, apalagi dengan Joko yang se umuranku.?

Bukannya aku tidak menghargai dan mengingat persahabatan kami yang sudah melewati banyak suka dan duka. Bukan seperti itu. Tapi justru aku takut ketika emosi ini keluar, aku tidak bisa mengendalikannya. Dan itu pasti akan merusak persahabatan yang kami bina selama ini. Bajingann.

Jujur, setelah semalam selesai pertempuran dirumah tua dan dua mahluk itu menyatu didalam tubuhku, hatiku ini bawaannya panas, mudah emosi dan mudah terbawa perasaan. Semoga saja ini gak terus – terusan dan aku bisa mendinginkan suasana hatiku ini.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek. Teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba mulai menyala dan aku langsung naik ke atas kimba, lalu menurunkan dari standart dua. Setelah itu aku tarik gas kimba pelan.

Treng, teng, teng, teng.

Aku sengaja diam saja diatas kimba ini dan menunggu reaksi dari Joko. Lalu tanpa aku suruh, Joko naik keatas kimba tanpa bersuara.

Hiufftttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Kletek, treng, teng, teng, teng.

Aku memasukan perseneling kimba, lalu menarik gas kimba pelan, meninggalkan area parkir pemakaman ini.

Kami berdua sama – sama diam dan menikmati lamunan masing – masing.

Lamunanku pun tertuju pada pertarungan semalam. Pertarungan yang paling berdarah dan yang paling mengerikan seumur hidupku. Pertarungan yang terjadi dan memang harus terjadi, karena semua mistery yang aku cari telah terpecahkan. Aku telah menemukan siapa pembunuh Intan dan aku juga telah menghabisinya.

Terus setelah ini, aku harus bagaimana.? Apa yang aku lakukan dengan kedua mahluk yang sudah menyatu dengan tubuhku ini.? Apa aku tetap mempertahankan dan belajar mengendalikan kedua mahluk ini, atau aku melepaskannya supaya hati ini gak mudah panas seperti ini.?

Arrgghhh, aku belum bisa memutuskannya sekarang cok.

Tapi ngomong – ngomong tentang Intan, dendamnya telah terbalaskan dengan kematian Pak Jarot dan mahluk mata putih yang telah aku habisi. Dan itu berarti, tuntas sudah janjiku kepada Intan.

Terus kalau sudah begitu, berarti Intan akan pergi dari alam yang bukan dunianya ini dong.?

Bangsaatt. Jangan, jangan sampai Intan pergi saat ini, atau akan menggila lagi. Bukannya aku tidak ingin melepaskannya, bukan seperti itu. Aku hanya ingin sebelum dia pergi, ada kata – kata perpisahan diantara kami berdua. Aku tidak ingin dia pergi selamanya, tanpa pamit kepadaku.

Aku ingin mengantar kepergian wanita yang sangat aku sayangi itu, setelah kami berdua berbicara dan aku memeluknya untuk yang terakhir kali. Aku ingin melepasnya dengan cintaku dan aku ingin melihat senyumnya yang terakhir.

Pikiranku kembali berkecamuk, mengingat tentang Intan. Aku langsung menarik gas kimba dengan agak cepat, tapi ban depannya terasa semakin bergoyang saja. Kembali aku memelankan kecepatan kimba, agar jalannya sedikit stabil. Semoga saja aku tidak telat dan aku masih bisa menemui Intan dikamarku.

Treng, teng, teng, teng.

Kimba terus berjalan dan kami hanya berhenti ketika mengisi bahan bakar. Aku dan Jokopun masih tetap saling diam, dengan lamunan masing – masing.

Pikiranku yang tidak menentu ini, membuat jantungku tiba – tiba berdetak dengan cepat. Lalu,

Huupppp.

Dadaku terasa sakit sekali dan hatiku terasa dicengkram dengan kuatnya. Rasa sakit inipun diikuti dengan detakan jantungku yang langsung melambat.

Cuukkk. Lagi – lagi sakit didadaku ini datang, disaat yang menggathelkan seperti ini. Ada apa lagi ini.? Kenapa harus seperti ini.? Kenapa sakit ini tidak mengenal waktu.? Bajingann.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku pendek, karena aku kesakitan ketika menarik nafasku.

Konsentrasiku pun terbelah, antara menyeimbangkan jalannya kimba dan menahan rasa sakit didada.

“Huupppp.” Dadaku semakin terasa sakit dan hatiku seperti disayat – sayat.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Aku terus mengeluarkan nafas pendekku, sambil menahan rasa sakit yang sangat luar biasa ini.

CIITTTT.

Akhirnya aku mengarahkan kimba ke pinggir jalanan dan aku langsung mengerem mendadak, karena jantungku terasa berhenti berdetak. Sakit dan sangat sakit sekali. Aku lalu menurunkan kedua kakiku ke tanah, untuk menyeimbangkan posisi kimba sambil mematikan mesinnya.

“Lapo cok.?” (Kenapa cok.?) Tanya Joko dan kedua kakinya juga turun ketanah.

“Huppppp.” Aku langsung memegang bagian dadaku yang sakitnya makin terasa membangsatkan dan aku tidak menjawab pertanyaan Joko.

Duugggg.

Aku membungkukan tubuhku, lalu menempelkan keningku di spidometer kimba dan kedua kakiku terasa sangat lemas sekali. Kalau Joko tidak menurunkan kedua kakinya, mungkin kimba ini akan roboh kejalan.

“Cok. Koen gak po – po ta cok.?” (Cok. Kamu gak apa kah cok.?) Tanya Joko dan dia langsung turun dari kimba dengan sangat berhati – hati, sambil menjaga keseimbangan kimba.

Aku tetap tidak menjawab pertanyaan Joko dan aku tetap menunduk menempelkan keningku di spidometer. Sakit yang teramat sangat ini pun, sampai membuat air mataku menetes dan rintihan kesakitan mulai terdengar dari mulutku.

“Uhhhhhhhhh.” Ucapku dengan deraian air mataku yang terus mengalir.

“Djiancok arek iki rek. Koen gak usah nggarai aku emosi cok.” (Djiancok anak ini. Kamu gak usah buat aku emosi cok.) Ucap Joko dan aku tetap tidak menjawabnya.

Bagaimana aku menjawab pertanyaan Joko, bernafas saja aku sulit apa lagi harus mengeluarkan kata – kata. Bajingann.

Joko sudah berdiri disampingku, dengan tangan kirinya memegang stang kimba dan tangan kanannya memegang jok yang aku duduki.

“Koen iku lapo seh cok.? Tangio cok, tangio.” (Kamu itu kenapa sih cok.? Bangunlah cok, bangun.) Ucap Joko yang panik dan emosi.

“Uh, uh, uh, uh.” Aku masih berusaha bernafas, tapi sangat sulit sekali.

“Cok. tangio cok. Gak krungu ta kupingmu iku.?” (Cok, bangunlah cok. gak dengarkah kupingmu itu.?) Tanya Joko dengan emosinya.

“Uh, uh, uh, uh.” Aku terus berusaha bernafas, sambil meremas dadaku dengan kuat.

“Bajingann. Uripku iki wes nelongso cok, wes nelongso. Gak usah koen tambai cok. DJIANCOK.!!!” (Bajingann. Hidupku ini sudah sengsara cok, sudah sengsara. Jangan kamu tambahin cok. DJIANCOK.!!!) Ucap Joko yang begitu emosi, dengan suara yang bergetar.

“Huupp, huu, huupp, huu.” Nafasku sedikit agak panjang dan rasa sakit juga sudah sedikit berkurang.

Aku lalu mengangkat keningku dari spidometer perlahan dan aku menegakkan dudukku. Aku lalu memejamkan kedua mataku, sambil terus meremas dadaku dengan kuatnya.

“Huuuppppp, huuuuuu.” Nafasku semakin panjang dan nyeripun semakin berkurang.

“Huuuppppp, huuuuuu.”

“Huuuppppp, huuuuuu.”

Aku melakukannya sebanyak tiga kali, sampai rasa sakit ini benar – benar menghilang.

Beberapa saat kemudian, dadaku terasa nyaman dan rasa sakitnya sudah hilang. Aku lalu membuka mataku dan melihat ke arah Joko. Tampak air matanya mengalir dan dia menatapku dengan sangat khawatirnya.

“Kamu itu kenapa sih cok, kenapa.?” Tanya Joko dan sekarang wajahnya terlihat sangat sedih sekali, dengan air matanya yang terus mengalir.

“Huuppppppp, huuuuuuu.” Nafasku sekarang benar – benar sangat enteng dan rasa sakit ini juga tidak terasa sama sekali.

“Gak apa – apa. Huuuuuu.” Jawabku, sambil mengeluarkan nafas panjang dan aku lepaskan remasan didadaku, lalu aku mengusap sisa air mataku yang membasahi pipiku.

“Kalau kamu gak jujur dan kalau ada apa – apa sama kamu, sama siapa aku didunia ini cok.” Ucap Joko yang memakai bahasa negeri ini dan itu berarti dia sangat serius sekali. Dia mengatakan itu sambil menggelengkan kepalanya pelan dan air mata yang tidak henti menetes.

“Aku gak apa – apa.” Ucapku lalu aku tersenyum dan Joko hanya menggelengkan kepala.

“Semongko.” Ucapku sambil mengepalkan tangan kananku ke arahnya.

“Cok. Gak taek – taek’an cok. Aku serius saiki.” (Cok. Gak taik – taik’an. Aku serius sekarang.) Ucap Joko yang tidak meninju kepalan tangan kananku ini.

“Lah koen kiro aku guyon ta.?” (Lah kamu kira aku bercanda kah.?) Tanyaku dan Joko langsung melepaskan kedua tangannya dari stang kimba dan jok yang aku duduki ini. Aku lalu menguatkan injakan kakiku dijalan dan Joko langsung membuang pandangannya, lalu berdiri menghadap ke arah samping.

“DJIANCUUKK.!!!” Teriak Joko dengan emosinya, lalu dia menghapus air matanya.

Aku lalu turun dari kimba dan memarkirkannya, setelah itu aku melihat ke arah Joko yang berdiri dengan posisi menyamping.

“Aku gak apa cok, aku gak apa – apa. Justru aku ada apa – apa, kalau kamu sampai terpuruk dalam kesedihan yang kamu alami ini.” Ucapku ambil menepuk pundak Joko pelan.

Joko menghadap ke arahku dan sahabatku itu langsung memelukku dengan eratnya. Aku menyambut pelukannya dan Joko langsung menangis sejadi – jadinya dipelukan kami ini.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Dia menangis dengan histerisnya dan aku mengelus punggungnya pelan.

Dia sepertinya menumpahkan kesedihan yang dipendamnya mulai dari kemarin, sampai dia histeris seperti ini.

“Sekarang aku nurut sama kamu cok, aku nurut. Tapi tolong jangan tinggalkan aku, karena aku gak punya siapa – siapa lagi didunia ini. Cuman kamu sahabat dan saudaraku cok. Hiks, hiks, hiks, hiks.” Ucap Joko dengan di iringi deraian air matanya.

“Ayo kita raih impian kita, karena aku ingin membuat kedua orang tuaku bangga dan aku ingin membahagiakan Denok di alam sana. Aku ingin mereka tersenyum, karena aku telah meraih impianku bersama kamu. Hiks, hiks, hiks, hiks.” Ucap Joko dan dia tidak berhenti menangis.

“Koen iku ngomong opo sih cok.? Aku loh jek nde kene. Aku jek tahes cok. Koen pengen aku mati ta.?” (Kamu itu ngomong apa sih cok.? Aku loh masih disini. Aku masih sehat cok. Kamu mau aku mati kah.?) Ucapku yang mencoba mencairkan suasana yang sedih ini.

Joko langsung melepaskan pelukannya, setelah itu.

PLAKKK.

Dia menampar pipi kiriku yang masih bengkak akibat pertempuran semalam, dengan sangat kuat sekali. Wajahku pun sampai tertoleh kekanan, karena kerasnya tamparannya ini. Perlahan aku angkat wajahku yang agak menunduk dan aku melihat ke arah wajah Joko, sambil mengelus bekas tamparannya.

Cok. kok aku gak marah ketika dia menamparku.? Padahal hatiku sekarang mudah panas dan bawaannya emosi saja.

“Jangan pernah bercanda tentang kematian, karena aku sudah merasakan sakitnya kehilangan orang – orang yang kusayang.” Ucap Joko sambil menunjuk wajahku, dan kami berdua saling bertatapan.

Tatapan matanya benar – benar terlihat sedih dan lebih menyedihkan dari pada saat di pemakaman tadi. Dia seperti merasa hanya aku saja yang dimilikinya didunia ini dan dia tidak ingin kehilangan aku. Dia juga terlihat marah, jengkel, dan sangat khawatir dengan kondisiku tadi.

“DJIANCUUKK.!!!” Maki Joko tepat dihadapanku dan aku terus mengelus pipi kiriku yang kesakitan ini.

“Loro cok.” (Sakit cok.) Ucapku pelan, karena tamparan Joko memang sakit dan perih terasa dikulit pipiku. Aku tidak marah dengannya, tapi aku sengaja mengatakan ini hanya untuk mencairkan suasana. Itu saja.

“Ooooo. Kirekk.” (Oooo. Anjingg.) Ucap Joko yang geregetan, lalu dia berjalan melewati aku.

“Koen iku lapo seh ndeng.?” (Kamu itu kenapa sih gila.? Ndeng = gendeng = gila.) Ucapku sambil membalikan tubuhku dan terlihat dia yang memunggungi aku, sedang menghapus air matanya.

Joko tidak menjawab pertanyaanku dan dia langsung menyalakan mesin kimba.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek. Teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba menyala dan Joko langsung naik keatas kimba.

“Koen gak opo – opo ta ndeng.?” (Kamu gak apa – apa kah gila.?) Tanyaku sambil mendekat ke arah Joko.

Aku menahannya agar aku saja yang membawa kimba, karena dia terlihat sangat sedih sekali. Kalau dalam kondisi seperti ini, biasanya di ngawur kalau bawa kendaraan.

“Aku gak penyakitan koyo awakmu.” (Aku gak penyakitan seperti kamu.) Ucap Joko tanpa melihat ke arahku.

“Matamu.” Ucapku lalu aku naik dibelakangnya.

Kletek. Trenteng, teng, teng, teng.

Joko memasukan perseneling kimba, lalu menarik gas kimba kencang dan goyangannya sangat terasa sekali.

“Alon – alon cok. Ban’e rusak iku.” (Pelan – pelan cok. Bannya rusak itu.) Ucapku.

“Vespa bosok.” (Vespa busuk.) Ucap Joko dan dia masih terlihat kesal. Entah kesal karena aku atau karena dia baru tau vespa ini milik Pakde Irawan.

“Cangkemmu iku seng bosok.” (Mulutmu itu yang busuk.) Ucapku.

“Matamu.” (Matamu.) Maki Joko

Trenteng, teng, teng, teng.

Joko mulai memelankan kecepatan Kimba, untuk mengurangi goyangan yang sangat terasa sekali ini.

Malam mulai menyapa dan perjalanan kamipun tidak terasa sudah sampai diperbatasan Kota Pendidikan. Goyangan ban depan kimba semakin terasa, padahal jalannya sudah dibuat lambat oleh Joko.

Dan ketika kami sampai didekat kampus negeri.

Brakkkk.

Joko menabrak sepeda motor yang sedang berhenti dan kimba langsung berbelok ke arah paret yang ada dipinggir jalan. Aku langsung loncat dan aku menahan jok yang duduki Joko, lalu menariknya agar tidak masuk kedalam parit.

“Jok, Jok, Jok.” Ucapku dengan paniknya dan aku berhasil menahan kimba.

Sepeda motor yang kami tabrak dan ditumpangi satu orang itupun, langsung oleng dan akan terjatuh. Satu orang temannya yang berdiri tidak jauh dari sepeda motor itu, langsung menahan sepeda motornya.

Joko menyeimbangkan kimba dan aku menariknya mundur kebelakang.

“JIANCOK.” Maki temannya itu, sambil menunjuk ke arah kami.

“Assuuu.” (Anjingg.) Makiku setelah menarik kimba, lalu aku membalikan tubuhku dan berjalan ke arah orang yang memaki kami.

“Matamu gak lihat kah.? Kenapa kamu nabrak temanku.?” Tanya Orang itu dan kembali dia menunjuk ke arahku.

“Bajingann.” Ucapku lalu.

BUHHGGG.

Aku langsung menghantam wajahnya, sampai dia terjatuh ke tanah.

“Lang, Lang.” Ucap Joko yang sudah turun dari kimba dan dia langsung menahan tubuhku dari arah belakangku.

“Temanmu berhenti dipinggir jalan cok.” Ucapku dengan emosinya, sambil menunjuk ke arah temannya yang sudah turun dari sepeda motornya dan dia langsung membantu berdiri orang yang aku pukul barusan.

“Bangsat. Kamu sudah nabrak, gak minta maaf lagi.” Ucap orang yang aku pukul dan dia sudah berdiri. Dia langsung maju ke arahku, tapi ditahan temannya yang ditabrak Joko.

“Galih, sudah lih. Disini dekat kampus teknik kita.” Ucap temannya sambil menahan orang itu yang ingin membalas pukulanku.

“Lepas ky, lepas. Biar kuinjak wajahnya orang ini. Bangsat.” Ucap orang yang dipanggil Galih itu.

“Kamu mau injak wajahku.? Sini kamu, sini. Kupatahkan lehermu.” Ucapku dan Joko terus merangkulku dari belakang.

“Lang, Lang. Sudah Lang.” Ucap Joko kepadaku.

“Bawa pergi temanmu, aku urus temanku.” Ucap Joko kepada orang yang sedang memeluk Galih.

“Ayolah Lih. Ayolah.” Ucap Orang itu menuruti perintah Joko.

“Kenapa kamu pengecut Zakky, kenapa.? Kita bantai aja..” Ucap Galih dan mulutnya langsung dibekap oleh temannya yang bernama Zakky.

“Banyak bicara kamu Lih.” Ucap Zakky dan langsung memeteng leher Galih, lalu mengajaknya berjalan ke arah sepeda motornya.

“Woi, bawa sini temanmu.” Ucapku dengan emosinya dan Joko langsung menarikku ke arah kimba.

“Koen iku lapo seh cok.? Ngono ae loh ngamuk. Seng salah mau iku aku cok.” (Kamu itu kenapa sih cok.? Begitu aja loh ngamuk. Yang salah tadi itu aku cok.) Ucap Joko yang mencoba menjelaskan awal perasalahannya, karena aku tidak melihat jelas kenapa Joko bisa menabrak orang itu.

“De’e seng leren nde pinggir djalan ndeng. Lapo awakmu seng salah.” (Dia yang berhenti dipinggir jalan gila. Kenapa kamu yang salah.?) Ucapku membela diri.

“Aku seng terlalu minggir mlakune cok.” (Aku yang terlalu minggir jalannya cok.) Ucap Joko dan kedua orang itupun, sudah pergi menggunakan sepeda motornya. Melihat kedua orang itu pergi, Joko langsung menyalakan mesin kimba.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek. Teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba menyala dan Joko langsung naik keatas kimba.

“Awakmu kok emosian ngono seh.?” (Kamu kok emosian begitu sih.?) Tanya Joko sambil melihat ke arahku dan langsung membuatku terdiam.

Cok. Iya ya, kok aku jadi cepat emosi seperti ini ya.? Biasanya Joko yang mudah emosi dan aku yang selalu menangkannya, tapi kenapa sekarang malah terbalik.? Apa karena aku terlalu capek, atau karena aku tidak bisa mengendalikan kedua mahluk yang ada didalam tubuhku ini.? Bajingaan.

“Ayo muleh. Ngantuk aku.” (Ayo pulang. Ngantuk aku.) Ucap Joko yang melihatku melamun dan berdiri didekatnya.

Aku pun langsung naik keatas kimba dan Joko langsung menarik gas kimba pelan.

Kletek. Trenteng, teng, teng, teng.

Kimba berjalan lambat dan kami sudah melewati perempatan jalan besar. Joko tidak membelokan kimba lewat depan kampus teknik kita, tapi mengambil jalan yang lurus.

Beberapa saat kemudian, kami berdua pun sampai didepan kosan yang terlihat gelap karena lampunya belum dinyalakan. Hanya lampu dikamarku saja yang terlihat menyala.

Baguslah kalau lampu kamarku menyala. Itu berarti ada Intan dikamar dan dia sedang menungguku didalam sana.

Aku turun dari kimba dan Joko memarkirkan kimba diteras. Aku lalu duduk lesehan didekat jendela, sambil mengeluarkan rokokku dari kantong belakang. Aku ambil rokokku sebatang lalu membakarnya.

“Hiufftt, huuuu.” Kepulan asap rokok keluar dari mulutku dan aku sangat menikmatinya.

“Aku masuk dulu.” Ucap Joko sambil membuka pintu kosan.

“Gak duduk dulu.?” Tanyaku.

“Enggak.” Jawab Joko singkat.

“Kamu mau ngapain.?” Tanyaku lagi.

“Tidur. Karena cuman dengan tidur, aku bisa menikmati keindahan dunia ini, walapun hanya lewat mimpi.” Jawab Joko dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam.

Joko lalu masuk kedalam kosan dan dia menyalakan lampu teras serta lampu tengah ruangan.

Aku matikan rokokku yang baru aku hisap satu kali ini. Sebenarnya aku tadi mau mengobrol dengan Joko, tapi karena dia langsung masuk kedalam, lebih baik aku masuk kekamar juga untuk mengobrol dengan Intan.

Akupun langsung berdiri dan berjalan ke arah kamarku. Dan ketika aku membuka pintu kamarku, tidak terlihat Intan didalam sana.

Cuukkk. Kemana Intan.? Apa dia sudah pergi tanpa berpamitan denganku.? Enggak, enggak mungkin seperti itu. dia gak mungkin pergi tanpa berbicara kepadaku. Aku lalu membalikan tubuhku dan mencari Intan di dua kamar yang ada diruang tengah ini. tapi Intan tetap tidak terlihat.

“Intan, tan.” Panggilku sambil mencarinya di ruang dapur, kamar mandi, ruang belakang dan bagian belakang rumah ini, tapi aku tidak menemukan keberandaan Intan.

Tiba – tiba dadaku berdetak dengan kencangnya dan kesedihan yang mendalam, langsung menghantam hatiku yang terdalam.

Cuukkkk. Beneran Intan telah pergi.? Bajingannn.

“Intan, Intan, INTANNN.” Ucapku dengan paniknya, lalu aku berteriak diruang tengah.

“Dia sudah sudah pergi.” Ucap Joko yang keluar dari kamarnya, lalu dia menghisap rokoknya.

“Cok.” Makiku dan aku langsung menundukan kepalaku.

Dadaku bergemuruh dengan hebatnya, tapi aku tidak sanggup meluapkan apa yang aku rasakan saat ini. Aku tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun, karena ini kenyataan terpahit yang pernah aku alami.

Aku tau perpisahan ini pasti akan tiba, ketika semuanya telah terbuka. Tapi aku tidak menyangka kalau kami berpisah tanpa ada kata – kata dan aku tidak pernah mengira kalau dia bisa pergi begitu saja.

Sakit, sakit banget rasanya. Sakit ini bahkan melebihi ketika Kinanti memutuskan aku atau bahkan ketika aku melihatnya lamaran.

Sakit ini terasa sangat dalam sekali dan sekali lagi, aku tidak sanggup untuk mengucapkannya.

Aku tidak membutuhkan kata terima kasih terucap dari bibirnya, karena aku melakukan semua ini demi cinta. Aku tidak membutuhkan kata maaf walau setulus apapun, karena aku sangat menyayanginya. Aku terima perpisahan ini, tapi bukan seperti ini caranya, bukan. Bajingann.

“Kamu tau kan kalau akhirnya kamu akan berpisah dengannya.? Kamu sadarkan kalau semuanya pasti akan berakhir.? Kamu mengertikan kalau semua ini pasti akan terjadi.?” Ucap Joko dan aku langsung mengangkat wajahku.

“Iya, aku tau itu. Tapi bukan seperti ini caranya.” Jawabku dengan suara yang bergetar.

“Terus maumu caranya seperti apa.?” Tanya Joko dengan tatapan tajam dan kata – katanya seperti menamparku dengan keras.

Dari perkataannya itu, dia seperti menyuruhku untuk melihat apa yang sudah di alaminya selama dua hari ini. Bajingan.

“Berkali – kali kamu menguatkan aku untuk bertahan dengan apa yang aku alami saat ini, padahal sebelumnya aku tidak pernah menyangka kalau hal yang membangsatkan ini bisa terjadi didalam hidupku.”

“Berkali – kali kamu tepuk pundakku, supaya aku melepaskan beban yang begitu berat didalam hatiku.”

“Berkali – kali kamu ucapkan kata ikhlaskan, ikhlaskan dan ikhlaskan. Ikhlas apa.? Ikhlas taek ta.? (Ikhlas taik kah.?)” Ucap Joko dengan emosinya dan aku hanya diam mendengar ucapannya.

“Aku gak bisa menasehati sebaik dirimu dan aku gak bisa mengucapkan kalimat selembut ucapanmu.”

“Aku itu bisanya hanya membalikkan semua yang kamu ucapkan dan kamu lakukan kepada diriku. Hanya itu yang bisa aku lakukan.”

“Kamu banyak bercerita sama aku. Mulai dari cerita tentang kampus, impian, harapan, kehidupan, ambisi, cinta, perjuangan hidup, setia kawan, persahabatan, keluarga, pengorbanan, air mata, kesedihan dan cerita – cerita lain yang menggathelkan.”

“Aku gak paham semua ceritamu itu dan cuman kamu aja yang mengerti.”

“Terus setelah kamu cerita tentang semua itu, sekarang kamu mau pura – pura gila.? DJIANCOK.” Ucap Joko dan diakhiri dengan sebuah makian yang sangat keras sekali.

“Awak dewe iku podo – podo ngenes uripe cok. Terus piye lek ngene iki.? Opo awak dewe ndelosor ae ta.? Ayo wes. Ayo. Ta tutno sak remuk – remuke awak dewe, sak ajur – ajure awak dewe, sak bongko – bongkone awak dewe. Ayo wes. (Kita itu sama – sama sengsara hidupnya cok. Terus bagaimana kalau begini ini.? Apa kita jatuh tengkurap aja kah.? Ayo sudah. Ayo. Ku ikutin se remuk – remuknya kita, se hancur – hancurnya kita, se mampus – mampusnya kita. Ayo sudah.)

“Gak telek – telek an, gak jancok – jancok an, gak semongko – semongkoan. Ayo wes, ayo. (Gak taik – taik an, gak jancok – jancokan, gak semongko – semongkoan. Ayo sudah, ayo.)” Ucap Joko yang terus meluapkan emosinya.

Cuukkk. Kata – kata Joko ini menyadarkan aku, tentang kelanjutan hidup kami. Hidup gak akan terhenti sampai disini saja, walau masalah terus menghantam. Hidup itu baru akan selesai, ketika Sang Pencipta sudah memanggil. Itupun hanya sementara, karena setelah itu kehidupan yang sebenarnya baru akan dimulai. Kehidupan di alam keabadian.

Seberat – beratnya permasalahan hidup, ketika Sang Pencipta masih memberikan kesempatan, jalani dan perbaiki. Entah itu nanti menemukan cinta lagi atau tidak, entah itu nanti impian diraih atau tidak. Entahlah. Tapi yang jelas Sang Pencipta telah berjanji, semua akan indah pada waktunya.

“Koen iku ngomong opo seh ndeng.? Aku gak mudeng.” (Kamu itu ngomong apasih gila.? Aku gak paham.) Ucapku sambil melangkah ke arah kamarku.

“Intine iku, koen nggatheli cok.” (Intinya itu, kamu menjengkelkan cok.) Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Lek aku gak nggatheli, aku duduk dulurmu ndeng.” (Kalau aku gak menjengkelkan, aku bukan saudaramu gila.) Ucapku sambil menghentikan langkahku dan melihat ke arahnya.

“Iyo, yo. Lek awakmu gak nggatheli, aku gak iso gendeng cok.” (Iya, ya. Kalau kamu gak menjengkelkan, aku gak bisa gila cok.) Ucap Joko lalu tersenyum, walaupun masih tergurat kesedihan dimatanya.

“Hehe.” Aku membalas senyumannya, lalu aku merentangkan kedua tanganku ke arahnya, untuk mengajaknya berpelukan.

“Emoh. Aku jek normal.” (Gak mau. Aku masih normal.) Ucap Joko sambil membalikan tubuhnya, lalu masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu kamarnya.

“Kirekk.” (Anjingg.) Makiku.

“Guk, guk, guk.” Sahut Joko.

“Hahahaha.” Aku menyambutnya dengan tawa dan Joko juga tertawa dari dalam kamarnya. Entah tertawa ini karena senang, marah, bahagia, jengkel, benci atau apapun itu, aku gak tau.





#Cuukkk. Bingung ya sama updetan kali ini.? Sama, aku juga bingung. Tapi sudahlah. lanjutkan saja kehidupanmu dan aku juga melanjutkan kehidupanku. Mau itu sedang tertawa atau sedang menangis, lanjut dan nikmati aja. Djiancok.!!!
Haru. . . Biru... Jalan masih panjang... Episode "Pertarungan" segera muncul...
 


BAGIAN 33
LANJUT DAN NIKMATI


Hiuffttt, huuuu.

Aku dan Joko sekarang berada didepan gundukan tanah yang masih basah, tempat istirahat terakhir Mba Denok dikota sebelah. Di area ini tinggal kami berdua, karena keluarga besar Mba Denok dan para peziarah yang lain sudah pulang semua.

Suasana sedih dan pastinya dibanjiri oleh air mata, sangat terasa sekali ketika jenazah Mba Denok tadi dimakamkan. Kedua orang tua Mba Denok seperti tidak percaya, kalau putri tersayang mereka telah tiada dan pergi dengan cara yang mengenaskan. Keluarga besarnya pun sangat terpukul dan mereka tidak menyangka, kalau Mba Denok telah dinodai oleh bosnya sendiri, lalu akhirnya bunuh diri.

Berita tentang kematian Mba Denok dan penyebabnya, langsung menyebar dan menggemparkan Kota Pendidikan. Sedangkan kematian Pak Danang tidak kalah heboh. Dia dikabarkan membunuh Pak Jarot, karena memergokinya memperkosa Mba Denok. Lalu setelah membunuh Pak Jarot, Pak Danang bunuh diri dengan cara membakar rumah tua yang menjadi tempat kejadian perkara. Gila, bisa begitu ya.? Siapa kira – kira yang buat berita seperti itu.? Bajingann.

Dan semalam, setelah jenazah Mba Denok sempat di inapkan di rumah sakit, pagi tadi keluarga Mba Denok langsung membawanya kekota ini dan siang harinya Mba Denok langsung dimakamkan.

Setelah pemakaman selesai dan keluarga besarnya pulang kerumah, aku dan Joko tetap berada di pemakaman ini. Aku menemani Joko, yang sangat berat meninggalkan makam kekasih tercintanya itu.

Oh iya. Aku dan Joko belum pulang kekosan, mulai dari kemarin.

Dua hari ini adalah hari yang sangat berat dan melelahkan bagi kami berdua. Siang hari kemarin pulang ke desa untuk pemakaman kedua orang tua Joko, malam harinya balik ke Kota Pendidikan untuk pertarungan yang sangat luar biasa, tengah malam sampai pagi bergadang dirumah sakit, pagi harinya kekota ini, siang mengikuti proses pemakaman dan rencananya siang menjelang sore ini, kami akan balik ke Kota Pendidikan.

Tubuh kami bukan hanya lelah, tapi tubuh kami juga terasa remuk redam akibat pertempuran semalam. Belum lagi perasaan yang campur aduk bermain dipikiran, menambah kelelahan ini bukan hanya di fisik tapi juga dibatin.

Dan tentu saja yang paling merasakan semua ini adalah sahabatku Joko. Aku tidak mampu menceritakan bagaimana keadaan Joko, setelah mengalami hari terburuk di dalam kehidupannya ini. Kata – kata kesedihan yang paling menyakitkan pun, tidak akan bisa mewakili perasaannya saat ini.

Tidak ada air mata yang keluar dari mata Joko, ketika tubuh Mba Denok dimakamkan sampai setelah selesai dimakamkan. Tatapan matanya terlihat kosong dan bibirnya terlihat tersenyum. Tersenyum yang sungguh menyayat hati.

Hiuffttt, huuuu.

“Mbalek Yo.” (Balik yuk.) Ucap Joko yang mengejutkan aku dari lamunan dan dia perlahan mulai berdiri. Dia mengucapkan itu dengan pandangan lurus ke arah batu nisan dan dengan suara yang bergetar.

Aku langsung meremas pundak Joko pelan, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku ingin dia menikmati kesedihannya sampai puas, lalu meninggalkan kesedihannya ditempat ini.

Joko lalu melirikku ke arahku dan aku tersenyum dengan berat hati, sambil meremas pundaknya lagi.

“Hiuffttt, huuuu.” Joko menarik nafasnya dalam – dalam dan dadanya terlihat bergetar.

Dia seperti menguatkan hatinya dan menahan air matanya agar tidak tertumpah, setelah itu dia mulai melangkah meninggalkan makam kekasihnya itu, dengan kesedihan yang masih dipendamnya.

Aku merangkul pundaknya dan Joko langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku tau butiran air matanya sedikit menetes dan dia sengaja menutupi dari aku. Dia menutup wajahnya, sambil membersihkan air matanya itu.

Aku pura – pura tidak melihat dan pandanganku lurus kedepan, sambil tetap merangkulnya.

Kami menyusuri makam – makam yang berjejer rapi ini, menuju area parkir yang ada di luar sana.

Dan ketika kami sampai di area parkir, tampak sebuah mobil yang menunggu kami dan itu adalah mobil Mas Jago. Pak Jaka, Mas Candra dan juga Mas Jago, rupanya belum balik dan mereka menunggu kedatangan kami.

“Kalian beneran gak mau naik mobil kami.?” Tanya Mas Candra ketika kami berdua sudah berdiri tidak jauh dari mereka bertiga.

“Enggak Mas, kami naik kimba aja. Sekalian cari udara segar.” Jawabku sambil melepaskan rangkulanku dipundak Joko.

“Ikut bersama kami aja. Bannya kimba kelihatannya agak goyang itu. Kimba masukkan di bengkel kota ini, terus kalau sudah selesai biar dikirim ke Kota Pendidikan.” Ucap Mas Jago.

“Masih kuat kimba ini Mas.” Jawabku, lalu aku tersenyum dengan paksa.

“Kalau begitu, untuk mengurangi beban kimba, biar Joko aja yang ikut bersama kami. Nanti waktu jalan, kamu didepan dan kami mengikutinya dari belakang. Jadi kalau ada apa – apa dijalan, kimba langsung di masukkan ke bengkel terdekat.” Ucap Pak Jaka kepadaku dan dia mencoba merayu Joko, supaya mau naik ke mobil mereka.

Aku lalu melihat ke arah Joko yang hanya diam saja dari tadi. Joko langsung melihat ke arahku, sambil menggelengkan kepalanya.

“Terimakasih atas tawaran kalian. Tapi mohon maaf, kami naik kimba aja.” Jawabku.

Mereka bertiga langsung terdiam dan memandang kami dengan tatapan yang menyedihkan.

“Jangan seperti itulah menatap kami. Kami ini sudah biasa hidup dijalan dan kami sudah terbiasa menghadapi masalah kehidupan.” Ucapku dan mereka bertiga langsung menarik nafas dalam – dalam.

“Baiklah. Kami tunggu di Kota Pendidikan.” Ucap Mas Candra dengan berat hati, lalu masuk kedalam mobil. Mas Jago langsung mengarahkan jempol kanannya ke arahku, setelah itu masuk kedalam mobil juga.

“Hati – hati dijalan, gak usah terlalu laju bawa kimbanya.” Ucap Pak Jaka yang juga dengan sangat berat hati mengucapkannya.

“Iya Pak. Terimakasih sudah membantu kami.” Ucapku.

“Kami tidak melakukan apa – apa kok. Kami hanya melakukan apa yang harus dilakukan seorang saudara, ketika saudaranya sedang membutuhkannya.” Ucap Pak Jaka dan aku kembali tersenyum.

“Kami pamit.” Ucap Pak Jaka.

“Iya Pak. Hati – hati dijalan.” Ucapku dan Pak Jaka mengangguk, lalu masuk kedalam mobil.

Tidak lama kemudian, mobil mereka jalan dan meninggalkan kami berdua di area pemakaman ini.

Aku lalu melihat ke arah Joko dan dia juga melihat ke arahku, dengan tatapan mata yang sangat sayu sekali.

“Dadi piye iki.?” (Jadi bagaimana ini.?) Tanyaku sambil mengeluarkan bungkusan rokok dikantongku., lalu aku mengambil sebatang dan setelah itu menyerahkan bungkusan rokokku kepadanya.

“Emboh.” (Gak tau.) Jawab Joko sambil menerima bungkusan rokokku.

Aku lalu membakar rokokku, setelah itu aku mengarahkan korekku yang masih menyala, ke arah rokok yang ada dibibir Joko.

“Hiufftttt, huuuu.” Joko menghisap dalam – dalam rokoknya dan dia terlihat sangat menikmati isapan rokoknya ini. Lalu setelah dia mengeluarkan asap tebal dari mulutnya, Joko melihat ke arah Kimba dengan tatapan yang sangat benci sekali.

“Lapo gak diguak vespa bosok iki cok.?” (Kenapa gak dibuang vespa busuk ini cok.?) Tanya Joko, lalu.

Buhhggg.

Joko menginjak bagian samping kimba yang terparkir, dan aku langsung menahan setangnya agar kimba tidak roboh.

Aku tau apa yang ada dipikiran Joko. Dia pasti mengira kendaraan ini milik Pak Jarot dan dia terlihat marah karena itu.

“Lapo gak diguak.? Awak dewe tuku vespa iki cok, duduk dike’i.” (Kenapa gak dibuang.? Kita beli vespa ini cok, bukan dikasih.) Jawabku.

“Tuku ambe bajingann yo.” (Beli sama bajingann ya.?) Tanya Joko yang jengkel, lalu dia menghisap rokokknya.

“Vespa iki duduk otek’e Pak Jarot cok. Iki otek’e Pakde Irawan.” (Vespa ini bukan punya nya Pak Jarot cok. Ini Punya nya Pakde Irawan.) Ucapku dan Joko langsung melihat ke arahku, dengan tatapan yang sangat jengkel sekali.

“Podo ae.” (Sama aja.) Ucap Joko, lalu melihat ke arah yang lain.

“Maksudmu opo cok.?” (Maksudmu apa cok.?) Tanyaku.

“Koen iku pawak’an gak ngerti ta cok.? Kantore Pak Danang iku, melu gerombolane keluarga Jati.” (Kamu itu pura – pura gak ngerti kah cok.? Kantornya Pak Danang itu ikut gerombolannya keluarga Jati.) Ucap Joko yang perlahan mulai emosi.

Cuukkk. Kelihatannya Joko ini sudah salah sangka dengan keluarga Jati. Dia gak tau kalau Pakde Irawan sudah banyak membantu kami berdua. Mulai dari kejadian di gudang satu, sampai pertempuran semalam. Ingin rasanya aku menjelaskan semua tentang kehadiran Pakde Irawan di saat – saat tergenting itu, tapi aku sudah berjanji kepada Pakde Irawan tidak akan bercerita kepada siapapun tentang kehadirannya di Kota ini. Bajingaann.

“Jok. Aku paham awakmu jek kepikiran masalah Mba Denok. Tapi aku njaluk tolong, lek awakmu gak ngerti masalah keluarga Jati ambe kantor Pak Danang, gak usah ngomong masalah iku.” (Jok. Aku ngerti kamu masih kepikiran masalah Mba Denok. Tapi aku minta tolong, kalau kamu gak ngerti masalah keluarga Jati sama kantor Pak Danang, jangan berbicara masalah itu.) Ucapku dengan seriusnya.

“Ono seng salah ta, teko omonganku jek tas.?” (Ada yang salah kah, sama ucapanku barusan.?) Tanya Joko dan terlihat masih memendam dendam yang begitu mendalam, tapi entah untuk siapa.

“Aku mek ngilingno awakmu cok. Sak karebmu koen rungokno opo gak.” (Aku cuman mengingatkan kamu cok. Terserah kamu mendengarkan apa enggak.) Ucapku sambil menatap kedalam mata Joko yang sayu itu.

Joko pun langsung melihat ke arah yang lain dan tidak berani menatap kedua mataku lama – lama.

Akupun langsung membuang puntung rokokku, lalu aku menyalakan mesin kimba. Aku tidak ingin berdebat dengan Joko lagi, karena kami berdua sama – sama lelah. Dari pada perdebatan kami ini malah membuat masalah kepada kami berdua, lebih baik dihentikan dan besok lagi kami bahas masalah ini.

Jujur emosiku sudah mulai naik kekepala dan aku tidak ingin emosi ini terlampiaskan kepada Joko. Dengan orang yang lebih tua dan mempunyai hubungan keluarga seperti Pakde Irawan saja, aku berani melampiaskan emosiku, apalagi dengan Joko yang se umuranku.?

Bukannya aku tidak menghargai dan mengingat persahabatan kami yang sudah melewati banyak suka dan duka. Bukan seperti itu. Tapi justru aku takut ketika emosi ini keluar, aku tidak bisa mengendalikannya. Dan itu pasti akan merusak persahabatan yang kami bina selama ini. Bajingann.

Jujur, setelah semalam selesai pertempuran dirumah tua dan dua mahluk itu menyatu didalam tubuhku, hatiku ini bawaannya panas, mudah emosi dan mudah terbawa perasaan. Semoga saja ini gak terus – terusan dan aku bisa mendinginkan suasana hatiku ini.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek. Teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba mulai menyala dan aku langsung naik ke atas kimba, lalu menurunkan dari standart dua. Setelah itu aku tarik gas kimba pelan.

Treng, teng, teng, teng.

Aku sengaja diam saja diatas kimba ini dan menunggu reaksi dari Joko. Lalu tanpa aku suruh, Joko naik keatas kimba tanpa bersuara.

Hiufftttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Kletek, treng, teng, teng, teng.

Aku memasukan perseneling kimba, lalu menarik gas kimba pelan, meninggalkan area parkir pemakaman ini.

Kami berdua sama – sama diam dan menikmati lamunan masing – masing.

Lamunanku pun tertuju pada pertarungan semalam. Pertarungan yang paling berdarah dan yang paling mengerikan seumur hidupku. Pertarungan yang terjadi dan memang harus terjadi, karena semua mistery yang aku cari telah terpecahkan. Aku telah menemukan siapa pembunuh Intan dan aku juga telah menghabisinya.

Terus setelah ini, aku harus bagaimana.? Apa yang aku lakukan dengan kedua mahluk yang sudah menyatu dengan tubuhku ini.? Apa aku tetap mempertahankan dan belajar mengendalikan kedua mahluk ini, atau aku melepaskannya supaya hati ini gak mudah panas seperti ini.?

Arrgghhh, aku belum bisa memutuskannya sekarang cok.

Tapi ngomong – ngomong tentang Intan, dendamnya telah terbalaskan dengan kematian Pak Jarot dan mahluk mata putih yang telah aku habisi. Dan itu berarti, tuntas sudah janjiku kepada Intan.

Terus kalau sudah begitu, berarti Intan akan pergi dari alam yang bukan dunianya ini dong.?

Bangsaatt. Jangan, jangan sampai Intan pergi saat ini, atau akan menggila lagi. Bukannya aku tidak ingin melepaskannya, bukan seperti itu. Aku hanya ingin sebelum dia pergi, ada kata – kata perpisahan diantara kami berdua. Aku tidak ingin dia pergi selamanya, tanpa pamit kepadaku.

Aku ingin mengantar kepergian wanita yang sangat aku sayangi itu, setelah kami berdua berbicara dan aku memeluknya untuk yang terakhir kali. Aku ingin melepasnya dengan cintaku dan aku ingin melihat senyumnya yang terakhir.

Pikiranku kembali berkecamuk, mengingat tentang Intan. Aku langsung menarik gas kimba dengan agak cepat, tapi ban depannya terasa semakin bergoyang saja. Kembali aku memelankan kecepatan kimba, agar jalannya sedikit stabil. Semoga saja aku tidak telat dan aku masih bisa menemui Intan dikamarku.

Treng, teng, teng, teng.

Kimba terus berjalan dan kami hanya berhenti ketika mengisi bahan bakar. Aku dan Jokopun masih tetap saling diam, dengan lamunan masing – masing.

Pikiranku yang tidak menentu ini, membuat jantungku tiba – tiba berdetak dengan cepat. Lalu,

Huupppp.

Dadaku terasa sakit sekali dan hatiku terasa dicengkram dengan kuatnya. Rasa sakit inipun diikuti dengan detakan jantungku yang langsung melambat.

Cuukkk. Lagi – lagi sakit didadaku ini datang, disaat yang menggathelkan seperti ini. Ada apa lagi ini.? Kenapa harus seperti ini.? Kenapa sakit ini tidak mengenal waktu.? Bajingann.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku pendek, karena aku kesakitan ketika menarik nafasku.

Konsentrasiku pun terbelah, antara menyeimbangkan jalannya kimba dan menahan rasa sakit didada.

“Huupppp.” Dadaku semakin terasa sakit dan hatiku seperti disayat – sayat.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Aku terus mengeluarkan nafas pendekku, sambil menahan rasa sakit yang sangat luar biasa ini.

CIITTTT.

Akhirnya aku mengarahkan kimba ke pinggir jalanan dan aku langsung mengerem mendadak, karena jantungku terasa berhenti berdetak. Sakit dan sangat sakit sekali. Aku lalu menurunkan kedua kakiku ke tanah, untuk menyeimbangkan posisi kimba sambil mematikan mesinnya.

“Lapo cok.?” (Kenapa cok.?) Tanya Joko dan kedua kakinya juga turun ketanah.

“Huppppp.” Aku langsung memegang bagian dadaku yang sakitnya makin terasa membangsatkan dan aku tidak menjawab pertanyaan Joko.

Duugggg.

Aku membungkukan tubuhku, lalu menempelkan keningku di spidometer kimba dan kedua kakiku terasa sangat lemas sekali. Kalau Joko tidak menurunkan kedua kakinya, mungkin kimba ini akan roboh kejalan.

“Cok. Koen gak po – po ta cok.?” (Cok. Kamu gak apa kah cok.?) Tanya Joko dan dia langsung turun dari kimba dengan sangat berhati – hati, sambil menjaga keseimbangan kimba.

Aku tetap tidak menjawab pertanyaan Joko dan aku tetap menunduk menempelkan keningku di spidometer. Sakit yang teramat sangat ini pun, sampai membuat air mataku menetes dan rintihan kesakitan mulai terdengar dari mulutku.

“Uhhhhhhhhh.” Ucapku dengan deraian air mataku yang terus mengalir.

“Djiancok arek iki rek. Koen gak usah nggarai aku emosi cok.” (Djiancok anak ini. Kamu gak usah buat aku emosi cok.) Ucap Joko dan aku tetap tidak menjawabnya.

Bagaimana aku menjawab pertanyaan Joko, bernafas saja aku sulit apa lagi harus mengeluarkan kata – kata. Bajingann.

Joko sudah berdiri disampingku, dengan tangan kirinya memegang stang kimba dan tangan kanannya memegang jok yang aku duduki.

“Koen iku lapo seh cok.? Tangio cok, tangio.” (Kamu itu kenapa sih cok.? Bangunlah cok, bangun.) Ucap Joko yang panik dan emosi.

“Uh, uh, uh, uh.” Aku masih berusaha bernafas, tapi sangat sulit sekali.

“Cok. tangio cok. Gak krungu ta kupingmu iku.?” (Cok, bangunlah cok. gak dengarkah kupingmu itu.?) Tanya Joko dengan emosinya.

“Uh, uh, uh, uh.” Aku terus berusaha bernafas, sambil meremas dadaku dengan kuat.

“Bajingann. Uripku iki wes nelongso cok, wes nelongso. Gak usah koen tambai cok. DJIANCOK.!!!” (Bajingann. Hidupku ini sudah sengsara cok, sudah sengsara. Jangan kamu tambahin cok. DJIANCOK.!!!) Ucap Joko yang begitu emosi, dengan suara yang bergetar.

“Huupp, huu, huupp, huu.” Nafasku sedikit agak panjang dan rasa sakit juga sudah sedikit berkurang.

Aku lalu mengangkat keningku dari spidometer perlahan dan aku menegakkan dudukku. Aku lalu memejamkan kedua mataku, sambil terus meremas dadaku dengan kuatnya.

“Huuuppppp, huuuuuu.” Nafasku semakin panjang dan nyeripun semakin berkurang.

“Huuuppppp, huuuuuu.”

“Huuuppppp, huuuuuu.”

Aku melakukannya sebanyak tiga kali, sampai rasa sakit ini benar – benar menghilang.

Beberapa saat kemudian, dadaku terasa nyaman dan rasa sakitnya sudah hilang. Aku lalu membuka mataku dan melihat ke arah Joko. Tampak air matanya mengalir dan dia menatapku dengan sangat khawatirnya.

“Kamu itu kenapa sih cok, kenapa.?” Tanya Joko dan sekarang wajahnya terlihat sangat sedih sekali, dengan air matanya yang terus mengalir.

“Huuppppppp, huuuuuuu.” Nafasku sekarang benar – benar sangat enteng dan rasa sakit ini juga tidak terasa sama sekali.

“Gak apa – apa. Huuuuuu.” Jawabku, sambil mengeluarkan nafas panjang dan aku lepaskan remasan didadaku, lalu aku mengusap sisa air mataku yang membasahi pipiku.

“Kalau kamu gak jujur dan kalau ada apa – apa sama kamu, sama siapa aku didunia ini cok.” Ucap Joko yang memakai bahasa negeri ini dan itu berarti dia sangat serius sekali. Dia mengatakan itu sambil menggelengkan kepalanya pelan dan air mata yang tidak henti menetes.

“Aku gak apa – apa.” Ucapku lalu aku tersenyum dan Joko hanya menggelengkan kepala.

“Semongko.” Ucapku sambil mengepalkan tangan kananku ke arahnya.

“Cok. Gak taek – taek’an cok. Aku serius saiki.” (Cok. Gak taik – taik’an. Aku serius sekarang.) Ucap Joko yang tidak meninju kepalan tangan kananku ini.

“Lah koen kiro aku guyon ta.?” (Lah kamu kira aku bercanda kah.?) Tanyaku dan Joko langsung melepaskan kedua tangannya dari stang kimba dan jok yang aku duduki ini. Aku lalu menguatkan injakan kakiku dijalan dan Joko langsung membuang pandangannya, lalu berdiri menghadap ke arah samping.

“DJIANCUUKK.!!!” Teriak Joko dengan emosinya, lalu dia menghapus air matanya.

Aku lalu turun dari kimba dan memarkirkannya, setelah itu aku melihat ke arah Joko yang berdiri dengan posisi menyamping.

“Aku gak apa cok, aku gak apa – apa. Justru aku ada apa – apa, kalau kamu sampai terpuruk dalam kesedihan yang kamu alami ini.” Ucapku ambil menepuk pundak Joko pelan.

Joko menghadap ke arahku dan sahabatku itu langsung memelukku dengan eratnya. Aku menyambut pelukannya dan Joko langsung menangis sejadi – jadinya dipelukan kami ini.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Dia menangis dengan histerisnya dan aku mengelus punggungnya pelan.

Dia sepertinya menumpahkan kesedihan yang dipendamnya mulai dari kemarin, sampai dia histeris seperti ini.

“Sekarang aku nurut sama kamu cok, aku nurut. Tapi tolong jangan tinggalkan aku, karena aku gak punya siapa – siapa lagi didunia ini. Cuman kamu sahabat dan saudaraku cok. Hiks, hiks, hiks, hiks.” Ucap Joko dengan di iringi deraian air matanya.

“Ayo kita raih impian kita, karena aku ingin membuat kedua orang tuaku bangga dan aku ingin membahagiakan Denok di alam sana. Aku ingin mereka tersenyum, karena aku telah meraih impianku bersama kamu. Hiks, hiks, hiks, hiks.” Ucap Joko dan dia tidak berhenti menangis.

“Koen iku ngomong opo sih cok.? Aku loh jek nde kene. Aku jek tahes cok. Koen pengen aku mati ta.?” (Kamu itu ngomong apa sih cok.? Aku loh masih disini. Aku masih sehat cok. Kamu mau aku mati kah.?) Ucapku yang mencoba mencairkan suasana yang sedih ini.

Joko langsung melepaskan pelukannya, setelah itu.

PLAKKK.

Dia menampar pipi kiriku yang masih bengkak akibat pertempuran semalam, dengan sangat kuat sekali. Wajahku pun sampai tertoleh kekanan, karena kerasnya tamparannya ini. Perlahan aku angkat wajahku yang agak menunduk dan aku melihat ke arah wajah Joko, sambil mengelus bekas tamparannya.

Cok. kok aku gak marah ketika dia menamparku.? Padahal hatiku sekarang mudah panas dan bawaannya emosi saja.

“Jangan pernah bercanda tentang kematian, karena aku sudah merasakan sakitnya kehilangan orang – orang yang kusayang.” Ucap Joko sambil menunjuk wajahku, dan kami berdua saling bertatapan.

Tatapan matanya benar – benar terlihat sedih dan lebih menyedihkan dari pada saat di pemakaman tadi. Dia seperti merasa hanya aku saja yang dimilikinya didunia ini dan dia tidak ingin kehilangan aku. Dia juga terlihat marah, jengkel, dan sangat khawatir dengan kondisiku tadi.

“DJIANCUUKK.!!!” Maki Joko tepat dihadapanku dan aku terus mengelus pipi kiriku yang kesakitan ini.

“Loro cok.” (Sakit cok.) Ucapku pelan, karena tamparan Joko memang sakit dan perih terasa dikulit pipiku. Aku tidak marah dengannya, tapi aku sengaja mengatakan ini hanya untuk mencairkan suasana. Itu saja.

“Ooooo. Kirekk.” (Oooo. Anjingg.) Ucap Joko yang geregetan, lalu dia berjalan melewati aku.

“Koen iku lapo seh ndeng.?” (Kamu itu kenapa sih gila.? Ndeng = gendeng = gila.) Ucapku sambil membalikan tubuhku dan terlihat dia yang memunggungi aku, sedang menghapus air matanya.

Joko tidak menjawab pertanyaanku dan dia langsung menyalakan mesin kimba.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek. Teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba menyala dan Joko langsung naik keatas kimba.

“Koen gak opo – opo ta ndeng.?” (Kamu gak apa – apa kah gila.?) Tanyaku sambil mendekat ke arah Joko.

Aku menahannya agar aku saja yang membawa kimba, karena dia terlihat sangat sedih sekali. Kalau dalam kondisi seperti ini, biasanya di ngawur kalau bawa kendaraan.

“Aku gak penyakitan koyo awakmu.” (Aku gak penyakitan seperti kamu.) Ucap Joko tanpa melihat ke arahku.

“Matamu.” Ucapku lalu aku naik dibelakangnya.

Kletek. Trenteng, teng, teng, teng.

Joko memasukan perseneling kimba, lalu menarik gas kimba kencang dan goyangannya sangat terasa sekali.

“Alon – alon cok. Ban’e rusak iku.” (Pelan – pelan cok. Bannya rusak itu.) Ucapku.

“Vespa bosok.” (Vespa busuk.) Ucap Joko dan dia masih terlihat kesal. Entah kesal karena aku atau karena dia baru tau vespa ini milik Pakde Irawan.

“Cangkemmu iku seng bosok.” (Mulutmu itu yang busuk.) Ucapku.

“Matamu.” (Matamu.) Maki Joko

Trenteng, teng, teng, teng.

Joko mulai memelankan kecepatan Kimba, untuk mengurangi goyangan yang sangat terasa sekali ini.

Malam mulai menyapa dan perjalanan kamipun tidak terasa sudah sampai diperbatasan Kota Pendidikan. Goyangan ban depan kimba semakin terasa, padahal jalannya sudah dibuat lambat oleh Joko.

Dan ketika kami sampai didekat kampus negeri.

Brakkkk.

Joko menabrak sepeda motor yang sedang berhenti dan kimba langsung berbelok ke arah paret yang ada dipinggir jalan. Aku langsung loncat dan aku menahan jok yang duduki Joko, lalu menariknya agar tidak masuk kedalam parit.

“Jok, Jok, Jok.” Ucapku dengan paniknya dan aku berhasil menahan kimba.

Sepeda motor yang kami tabrak dan ditumpangi satu orang itupun, langsung oleng dan akan terjatuh. Satu orang temannya yang berdiri tidak jauh dari sepeda motor itu, langsung menahan sepeda motornya.

Joko menyeimbangkan kimba dan aku menariknya mundur kebelakang.

“JIANCOK.” Maki temannya itu, sambil menunjuk ke arah kami.

“Assuuu.” (Anjingg.) Makiku setelah menarik kimba, lalu aku membalikan tubuhku dan berjalan ke arah orang yang memaki kami.

“Matamu gak lihat kah.? Kenapa kamu nabrak temanku.?” Tanya Orang itu dan kembali dia menunjuk ke arahku.

“Bajingann.” Ucapku lalu.

BUHHGGG.

Aku langsung menghantam wajahnya, sampai dia terjatuh ke tanah.

“Lang, Lang.” Ucap Joko yang sudah turun dari kimba dan dia langsung menahan tubuhku dari arah belakangku.

“Temanmu berhenti dipinggir jalan cok.” Ucapku dengan emosinya, sambil menunjuk ke arah temannya yang sudah turun dari sepeda motornya dan dia langsung membantu berdiri orang yang aku pukul barusan.

“Bangsat. Kamu sudah nabrak, gak minta maaf lagi.” Ucap orang yang aku pukul dan dia sudah berdiri. Dia langsung maju ke arahku, tapi ditahan temannya yang ditabrak Joko.

“Galih, sudah lih. Disini dekat kampus teknik kita.” Ucap temannya sambil menahan orang itu yang ingin membalas pukulanku.

“Lepas ky, lepas. Biar kuinjak wajahnya orang ini. Bangsat.” Ucap orang yang dipanggil Galih itu.

“Kamu mau injak wajahku.? Sini kamu, sini. Kupatahkan lehermu.” Ucapku dan Joko terus merangkulku dari belakang.

“Lang, Lang. Sudah Lang.” Ucap Joko kepadaku.

“Bawa pergi temanmu, aku urus temanku.” Ucap Joko kepada orang yang sedang memeluk Galih.

“Ayolah Lih. Ayolah.” Ucap Orang itu menuruti perintah Joko.

“Kenapa kamu pengecut Zakky, kenapa.? Kita bantai aja..” Ucap Galih dan mulutnya langsung dibekap oleh temannya yang bernama Zakky.

“Banyak bicara kamu Lih.” Ucap Zakky dan langsung memeteng leher Galih, lalu mengajaknya berjalan ke arah sepeda motornya.

“Woi, bawa sini temanmu.” Ucapku dengan emosinya dan Joko langsung menarikku ke arah kimba.

“Koen iku lapo seh cok.? Ngono ae loh ngamuk. Seng salah mau iku aku cok.” (Kamu itu kenapa sih cok.? Begitu aja loh ngamuk. Yang salah tadi itu aku cok.) Ucap Joko yang mencoba menjelaskan awal perasalahannya, karena aku tidak melihat jelas kenapa Joko bisa menabrak orang itu.

“De’e seng leren nde pinggir djalan ndeng. Lapo awakmu seng salah.” (Dia yang berhenti dipinggir jalan gila. Kenapa kamu yang salah.?) Ucapku membela diri.

“Aku seng terlalu minggir mlakune cok.” (Aku yang terlalu minggir jalannya cok.) Ucap Joko dan kedua orang itupun, sudah pergi menggunakan sepeda motornya. Melihat kedua orang itu pergi, Joko langsung menyalakan mesin kimba.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek. Teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba menyala dan Joko langsung naik keatas kimba.

“Awakmu kok emosian ngono seh.?” (Kamu kok emosian begitu sih.?) Tanya Joko sambil melihat ke arahku dan langsung membuatku terdiam.

Cok. Iya ya, kok aku jadi cepat emosi seperti ini ya.? Biasanya Joko yang mudah emosi dan aku yang selalu menangkannya, tapi kenapa sekarang malah terbalik.? Apa karena aku terlalu capek, atau karena aku tidak bisa mengendalikan kedua mahluk yang ada didalam tubuhku ini.? Bajingaan.

“Ayo muleh. Ngantuk aku.” (Ayo pulang. Ngantuk aku.) Ucap Joko yang melihatku melamun dan berdiri didekatnya.

Aku pun langsung naik keatas kimba dan Joko langsung menarik gas kimba pelan.

Kletek. Trenteng, teng, teng, teng.

Kimba berjalan lambat dan kami sudah melewati perempatan jalan besar. Joko tidak membelokan kimba lewat depan kampus teknik kita, tapi mengambil jalan yang lurus.

Beberapa saat kemudian, kami berdua pun sampai didepan kosan yang terlihat gelap karena lampunya belum dinyalakan. Hanya lampu dikamarku saja yang terlihat menyala.

Baguslah kalau lampu kamarku menyala. Itu berarti ada Intan dikamar dan dia sedang menungguku didalam sana.

Aku turun dari kimba dan Joko memarkirkan kimba diteras. Aku lalu duduk lesehan didekat jendela, sambil mengeluarkan rokokku dari kantong belakang. Aku ambil rokokku sebatang lalu membakarnya.

“Hiufftt, huuuu.” Kepulan asap rokok keluar dari mulutku dan aku sangat menikmatinya.

“Aku masuk dulu.” Ucap Joko sambil membuka pintu kosan.

“Gak duduk dulu.?” Tanyaku.

“Enggak.” Jawab Joko singkat.

“Kamu mau ngapain.?” Tanyaku lagi.

“Tidur. Karena cuman dengan tidur, aku bisa menikmati keindahan dunia ini, walapun hanya lewat mimpi.” Jawab Joko dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam.

Joko lalu masuk kedalam kosan dan dia menyalakan lampu teras serta lampu tengah ruangan.

Aku matikan rokokku yang baru aku hisap satu kali ini. Sebenarnya aku tadi mau mengobrol dengan Joko, tapi karena dia langsung masuk kedalam, lebih baik aku masuk kekamar juga untuk mengobrol dengan Intan.

Akupun langsung berdiri dan berjalan ke arah kamarku. Dan ketika aku membuka pintu kamarku, tidak terlihat Intan didalam sana.

Cuukkk. Kemana Intan.? Apa dia sudah pergi tanpa berpamitan denganku.? Enggak, enggak mungkin seperti itu. dia gak mungkin pergi tanpa berbicara kepadaku. Aku lalu membalikan tubuhku dan mencari Intan di dua kamar yang ada diruang tengah ini. tapi Intan tetap tidak terlihat.

“Intan, tan.” Panggilku sambil mencarinya di ruang dapur, kamar mandi, ruang belakang dan bagian belakang rumah ini, tapi aku tidak menemukan keberandaan Intan.

Tiba – tiba dadaku berdetak dengan kencangnya dan kesedihan yang mendalam, langsung menghantam hatiku yang terdalam.

Cuukkkk. Beneran Intan telah pergi.? Bajingannn.

“Intan, Intan, INTANNN.” Ucapku dengan paniknya, lalu aku berteriak diruang tengah.

“Dia sudah sudah pergi.” Ucap Joko yang keluar dari kamarnya, lalu dia menghisap rokoknya.

“Cok.” Makiku dan aku langsung menundukan kepalaku.

Dadaku bergemuruh dengan hebatnya, tapi aku tidak sanggup meluapkan apa yang aku rasakan saat ini. Aku tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun, karena ini kenyataan terpahit yang pernah aku alami.

Aku tau perpisahan ini pasti akan tiba, ketika semuanya telah terbuka. Tapi aku tidak menyangka kalau kami berpisah tanpa ada kata – kata dan aku tidak pernah mengira kalau dia bisa pergi begitu saja.

Sakit, sakit banget rasanya. Sakit ini bahkan melebihi ketika Kinanti memutuskan aku atau bahkan ketika aku melihatnya lamaran.

Sakit ini terasa sangat dalam sekali dan sekali lagi, aku tidak sanggup untuk mengucapkannya.

Aku tidak membutuhkan kata terima kasih terucap dari bibirnya, karena aku melakukan semua ini demi cinta. Aku tidak membutuhkan kata maaf walau setulus apapun, karena aku sangat menyayanginya. Aku terima perpisahan ini, tapi bukan seperti ini caranya, bukan. Bajingann.

“Kamu tau kan kalau akhirnya kamu akan berpisah dengannya.? Kamu sadarkan kalau semuanya pasti akan berakhir.? Kamu mengertikan kalau semua ini pasti akan terjadi.?” Ucap Joko dan aku langsung mengangkat wajahku.

“Iya, aku tau itu. Tapi bukan seperti ini caranya.” Jawabku dengan suara yang bergetar.

“Terus maumu caranya seperti apa.?” Tanya Joko dengan tatapan tajam dan kata – katanya seperti menamparku dengan keras.

Dari perkataannya itu, dia seperti menyuruhku untuk melihat apa yang sudah di alaminya selama dua hari ini. Bajingan.

“Berkali – kali kamu menguatkan aku untuk bertahan dengan apa yang aku alami saat ini, padahal sebelumnya aku tidak pernah menyangka kalau hal yang membangsatkan ini bisa terjadi didalam hidupku.”

“Berkali – kali kamu tepuk pundakku, supaya aku melepaskan beban yang begitu berat didalam hatiku.”

“Berkali – kali kamu ucapkan kata ikhlaskan, ikhlaskan dan ikhlaskan. Ikhlas apa.? Ikhlas taek ta.? (Ikhlas taik kah.?)” Ucap Joko dengan emosinya dan aku hanya diam mendengar ucapannya.

“Aku gak bisa menasehati sebaik dirimu dan aku gak bisa mengucapkan kalimat selembut ucapanmu.”

“Aku itu bisanya hanya membalikkan semua yang kamu ucapkan dan kamu lakukan kepada diriku. Hanya itu yang bisa aku lakukan.”

“Kamu banyak bercerita sama aku. Mulai dari cerita tentang kampus, impian, harapan, kehidupan, ambisi, cinta, perjuangan hidup, setia kawan, persahabatan, keluarga, pengorbanan, air mata, kesedihan dan cerita – cerita lain yang menggathelkan.”

“Aku gak paham semua ceritamu itu dan cuman kamu aja yang mengerti.”

“Terus setelah kamu cerita tentang semua itu, sekarang kamu mau pura – pura gila.? DJIANCOK.” Ucap Joko dan diakhiri dengan sebuah makian yang sangat keras sekali.

“Awak dewe iku podo – podo ngenes uripe cok. Terus piye lek ngene iki.? Opo awak dewe ndelosor ae ta.? Ayo wes. Ayo. Ta tutno sak remuk – remuke awak dewe, sak ajur – ajure awak dewe, sak bongko – bongkone awak dewe. Ayo wes. (Kita itu sama – sama sengsara hidupnya cok. Terus bagaimana kalau begini ini.? Apa kita jatuh tengkurap aja kah.? Ayo sudah. Ayo. Ku ikutin se remuk – remuknya kita, se hancur – hancurnya kita, se mampus – mampusnya kita. Ayo sudah.)

“Gak telek – telek an, gak jancok – jancok an, gak semongko – semongkoan. Ayo wes, ayo. (Gak taik – taik an, gak jancok – jancokan, gak semongko – semongkoan. Ayo sudah, ayo.)” Ucap Joko yang terus meluapkan emosinya.

Cuukkk. Kata – kata Joko ini menyadarkan aku, tentang kelanjutan hidup kami. Hidup gak akan terhenti sampai disini saja, walau masalah terus menghantam. Hidup itu baru akan selesai, ketika Sang Pencipta sudah memanggil. Itupun hanya sementara, karena setelah itu kehidupan yang sebenarnya baru akan dimulai. Kehidupan di alam keabadian.

Seberat – beratnya permasalahan hidup, ketika Sang Pencipta masih memberikan kesempatan, jalani dan perbaiki. Entah itu nanti menemukan cinta lagi atau tidak, entah itu nanti impian diraih atau tidak. Entahlah. Tapi yang jelas Sang Pencipta telah berjanji, semua akan indah pada waktunya.

“Koen iku ngomong opo seh ndeng.? Aku gak mudeng.” (Kamu itu ngomong apasih gila.? Aku gak paham.) Ucapku sambil melangkah ke arah kamarku.

“Intine iku, koen nggatheli cok.” (Intinya itu, kamu menjengkelkan cok.) Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Lek aku gak nggatheli, aku duduk dulurmu ndeng.” (Kalau aku gak menjengkelkan, aku bukan saudaramu gila.) Ucapku sambil menghentikan langkahku dan melihat ke arahnya.

“Iyo, yo. Lek awakmu gak nggatheli, aku gak iso gendeng cok.” (Iya, ya. Kalau kamu gak menjengkelkan, aku gak bisa gila cok.) Ucap Joko lalu tersenyum, walaupun masih tergurat kesedihan dimatanya.

“Hehe.” Aku membalas senyumannya, lalu aku merentangkan kedua tanganku ke arahnya, untuk mengajaknya berpelukan.

“Emoh. Aku jek normal.” (Gak mau. Aku masih normal.) Ucap Joko sambil membalikan tubuhnya, lalu masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu kamarnya.

“Kirekk.” (Anjingg.) Makiku.

“Guk, guk, guk.” Sahut Joko.

“Hahahaha.” Aku menyambutnya dengan tawa dan Joko juga tertawa dari dalam kamarnya. Entah tertawa ini karena senang, marah, bahagia, jengkel, benci atau apapun itu, aku gak tau.





#Cuukkk. Bingung ya sama updetan kali ini.? Sama, aku juga bingung. Tapi sudahlah. lanjutkan saja kehidupanmu dan aku juga melanjutkan kehidupanku. Mau itu sedang tertawa atau sedang menangis, lanjut dan nikmati aja. Djiancok.!!!
kon bingung sing update.. tpi aku nangisss bangsattt
 


BAGIAN 33
LANJUT DAN NIKMATI


Hiuffttt, huuuu.

Aku dan Joko sekarang berada didepan gundukan tanah yang masih basah, tempat istirahat terakhir Mba Denok dikota sebelah. Di area ini tinggal kami berdua, karena keluarga besar Mba Denok dan para peziarah yang lain sudah pulang semua.

Suasana sedih dan pastinya dibanjiri oleh air mata, sangat terasa sekali ketika jenazah Mba Denok tadi dimakamkan. Kedua orang tua Mba Denok seperti tidak percaya, kalau putri tersayang mereka telah tiada dan pergi dengan cara yang mengenaskan. Keluarga besarnya pun sangat terpukul dan mereka tidak menyangka, kalau Mba Denok telah dinodai oleh bosnya sendiri, lalu akhirnya bunuh diri.

Berita tentang kematian Mba Denok dan penyebabnya, langsung menyebar dan menggemparkan Kota Pendidikan. Sedangkan kematian Pak Danang tidak kalah heboh. Dia dikabarkan membunuh Pak Jarot, karena memergokinya memperkosa Mba Denok. Lalu setelah membunuh Pak Jarot, Pak Danang bunuh diri dengan cara membakar rumah tua yang menjadi tempat kejadian perkara. Gila, bisa begitu ya.? Siapa kira – kira yang buat berita seperti itu.? Bajingann.

Dan semalam, setelah jenazah Mba Denok sempat di inapkan di rumah sakit, pagi tadi keluarga Mba Denok langsung membawanya kekota ini dan siang harinya Mba Denok langsung dimakamkan.

Setelah pemakaman selesai dan keluarga besarnya pulang kerumah, aku dan Joko tetap berada di pemakaman ini. Aku menemani Joko, yang sangat berat meninggalkan makam kekasih tercintanya itu.

Oh iya. Aku dan Joko belum pulang kekosan, mulai dari kemarin.

Dua hari ini adalah hari yang sangat berat dan melelahkan bagi kami berdua. Siang hari kemarin pulang ke desa untuk pemakaman kedua orang tua Joko, malam harinya balik ke Kota Pendidikan untuk pertarungan yang sangat luar biasa, tengah malam sampai pagi bergadang dirumah sakit, pagi harinya kekota ini, siang mengikuti proses pemakaman dan rencananya siang menjelang sore ini, kami akan balik ke Kota Pendidikan.

Tubuh kami bukan hanya lelah, tapi tubuh kami juga terasa remuk redam akibat pertempuran semalam. Belum lagi perasaan yang campur aduk bermain dipikiran, menambah kelelahan ini bukan hanya di fisik tapi juga dibatin.

Dan tentu saja yang paling merasakan semua ini adalah sahabatku Joko. Aku tidak mampu menceritakan bagaimana keadaan Joko, setelah mengalami hari terburuk di dalam kehidupannya ini. Kata – kata kesedihan yang paling menyakitkan pun, tidak akan bisa mewakili perasaannya saat ini.

Tidak ada air mata yang keluar dari mata Joko, ketika tubuh Mba Denok dimakamkan sampai setelah selesai dimakamkan. Tatapan matanya terlihat kosong dan bibirnya terlihat tersenyum. Tersenyum yang sungguh menyayat hati.

Hiuffttt, huuuu.

“Mbalek Yo.” (Balik yuk.) Ucap Joko yang mengejutkan aku dari lamunan dan dia perlahan mulai berdiri. Dia mengucapkan itu dengan pandangan lurus ke arah batu nisan dan dengan suara yang bergetar.

Aku langsung meremas pundak Joko pelan, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku ingin dia menikmati kesedihannya sampai puas, lalu meninggalkan kesedihannya ditempat ini.

Joko lalu melirikku ke arahku dan aku tersenyum dengan berat hati, sambil meremas pundaknya lagi.

“Hiuffttt, huuuu.” Joko menarik nafasnya dalam – dalam dan dadanya terlihat bergetar.

Dia seperti menguatkan hatinya dan menahan air matanya agar tidak tertumpah, setelah itu dia mulai melangkah meninggalkan makam kekasihnya itu, dengan kesedihan yang masih dipendamnya.

Aku merangkul pundaknya dan Joko langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku tau butiran air matanya sedikit menetes dan dia sengaja menutupi dari aku. Dia menutup wajahnya, sambil membersihkan air matanya itu.

Aku pura – pura tidak melihat dan pandanganku lurus kedepan, sambil tetap merangkulnya.

Kami menyusuri makam – makam yang berjejer rapi ini, menuju area parkir yang ada di luar sana.

Dan ketika kami sampai di area parkir, tampak sebuah mobil yang menunggu kami dan itu adalah mobil Mas Jago. Pak Jaka, Mas Candra dan juga Mas Jago, rupanya belum balik dan mereka menunggu kedatangan kami.

“Kalian beneran gak mau naik mobil kami.?” Tanya Mas Candra ketika kami berdua sudah berdiri tidak jauh dari mereka bertiga.

“Enggak Mas, kami naik kimba aja. Sekalian cari udara segar.” Jawabku sambil melepaskan rangkulanku dipundak Joko.

“Ikut bersama kami aja. Bannya kimba kelihatannya agak goyang itu. Kimba masukkan di bengkel kota ini, terus kalau sudah selesai biar dikirim ke Kota Pendidikan.” Ucap Mas Jago.

“Masih kuat kimba ini Mas.” Jawabku, lalu aku tersenyum dengan paksa.

“Kalau begitu, untuk mengurangi beban kimba, biar Joko aja yang ikut bersama kami. Nanti waktu jalan, kamu didepan dan kami mengikutinya dari belakang. Jadi kalau ada apa – apa dijalan, kimba langsung di masukkan ke bengkel terdekat.” Ucap Pak Jaka kepadaku dan dia mencoba merayu Joko, supaya mau naik ke mobil mereka.

Aku lalu melihat ke arah Joko yang hanya diam saja dari tadi. Joko langsung melihat ke arahku, sambil menggelengkan kepalanya.

“Terimakasih atas tawaran kalian. Tapi mohon maaf, kami naik kimba aja.” Jawabku.

Mereka bertiga langsung terdiam dan memandang kami dengan tatapan yang menyedihkan.

“Jangan seperti itulah menatap kami. Kami ini sudah biasa hidup dijalan dan kami sudah terbiasa menghadapi masalah kehidupan.” Ucapku dan mereka bertiga langsung menarik nafas dalam – dalam.

“Baiklah. Kami tunggu di Kota Pendidikan.” Ucap Mas Candra dengan berat hati, lalu masuk kedalam mobil. Mas Jago langsung mengarahkan jempol kanannya ke arahku, setelah itu masuk kedalam mobil juga.

“Hati – hati dijalan, gak usah terlalu laju bawa kimbanya.” Ucap Pak Jaka yang juga dengan sangat berat hati mengucapkannya.

“Iya Pak. Terimakasih sudah membantu kami.” Ucapku.

“Kami tidak melakukan apa – apa kok. Kami hanya melakukan apa yang harus dilakukan seorang saudara, ketika saudaranya sedang membutuhkannya.” Ucap Pak Jaka dan aku kembali tersenyum.

“Kami pamit.” Ucap Pak Jaka.

“Iya Pak. Hati – hati dijalan.” Ucapku dan Pak Jaka mengangguk, lalu masuk kedalam mobil.

Tidak lama kemudian, mobil mereka jalan dan meninggalkan kami berdua di area pemakaman ini.

Aku lalu melihat ke arah Joko dan dia juga melihat ke arahku, dengan tatapan mata yang sangat sayu sekali.

“Dadi piye iki.?” (Jadi bagaimana ini.?) Tanyaku sambil mengeluarkan bungkusan rokok dikantongku., lalu aku mengambil sebatang dan setelah itu menyerahkan bungkusan rokokku kepadanya.

“Emboh.” (Gak tau.) Jawab Joko sambil menerima bungkusan rokokku.

Aku lalu membakar rokokku, setelah itu aku mengarahkan korekku yang masih menyala, ke arah rokok yang ada dibibir Joko.

“Hiufftttt, huuuu.” Joko menghisap dalam – dalam rokoknya dan dia terlihat sangat menikmati isapan rokoknya ini. Lalu setelah dia mengeluarkan asap tebal dari mulutnya, Joko melihat ke arah Kimba dengan tatapan yang sangat benci sekali.

“Lapo gak diguak vespa bosok iki cok.?” (Kenapa gak dibuang vespa busuk ini cok.?) Tanya Joko, lalu.

Buhhggg.

Joko menginjak bagian samping kimba yang terparkir, dan aku langsung menahan setangnya agar kimba tidak roboh.

Aku tau apa yang ada dipikiran Joko. Dia pasti mengira kendaraan ini milik Pak Jarot dan dia terlihat marah karena itu.

“Lapo gak diguak.? Awak dewe tuku vespa iki cok, duduk dike’i.” (Kenapa gak dibuang.? Kita beli vespa ini cok, bukan dikasih.) Jawabku.

“Tuku ambe bajingann yo.” (Beli sama bajingann ya.?) Tanya Joko yang jengkel, lalu dia menghisap rokokknya.

“Vespa iki duduk otek’e Pak Jarot cok. Iki otek’e Pakde Irawan.” (Vespa ini bukan punya nya Pak Jarot cok. Ini Punya nya Pakde Irawan.) Ucapku dan Joko langsung melihat ke arahku, dengan tatapan yang sangat jengkel sekali.

“Podo ae.” (Sama aja.) Ucap Joko, lalu melihat ke arah yang lain.

“Maksudmu opo cok.?” (Maksudmu apa cok.?) Tanyaku.

“Koen iku pawak’an gak ngerti ta cok.? Kantore Pak Danang iku, melu gerombolane keluarga Jati.” (Kamu itu pura – pura gak ngerti kah cok.? Kantornya Pak Danang itu ikut gerombolannya keluarga Jati.) Ucap Joko yang perlahan mulai emosi.

Cuukkk. Kelihatannya Joko ini sudah salah sangka dengan keluarga Jati. Dia gak tau kalau Pakde Irawan sudah banyak membantu kami berdua. Mulai dari kejadian di gudang satu, sampai pertempuran semalam. Ingin rasanya aku menjelaskan semua tentang kehadiran Pakde Irawan di saat – saat tergenting itu, tapi aku sudah berjanji kepada Pakde Irawan tidak akan bercerita kepada siapapun tentang kehadirannya di Kota ini. Bajingaann.

“Jok. Aku paham awakmu jek kepikiran masalah Mba Denok. Tapi aku njaluk tolong, lek awakmu gak ngerti masalah keluarga Jati ambe kantor Pak Danang, gak usah ngomong masalah iku.” (Jok. Aku ngerti kamu masih kepikiran masalah Mba Denok. Tapi aku minta tolong, kalau kamu gak ngerti masalah keluarga Jati sama kantor Pak Danang, jangan berbicara masalah itu.) Ucapku dengan seriusnya.

“Ono seng salah ta, teko omonganku jek tas.?” (Ada yang salah kah, sama ucapanku barusan.?) Tanya Joko dan terlihat masih memendam dendam yang begitu mendalam, tapi entah untuk siapa.

“Aku mek ngilingno awakmu cok. Sak karebmu koen rungokno opo gak.” (Aku cuman mengingatkan kamu cok. Terserah kamu mendengarkan apa enggak.) Ucapku sambil menatap kedalam mata Joko yang sayu itu.

Joko pun langsung melihat ke arah yang lain dan tidak berani menatap kedua mataku lama – lama.

Akupun langsung membuang puntung rokokku, lalu aku menyalakan mesin kimba. Aku tidak ingin berdebat dengan Joko lagi, karena kami berdua sama – sama lelah. Dari pada perdebatan kami ini malah membuat masalah kepada kami berdua, lebih baik dihentikan dan besok lagi kami bahas masalah ini.

Jujur emosiku sudah mulai naik kekepala dan aku tidak ingin emosi ini terlampiaskan kepada Joko. Dengan orang yang lebih tua dan mempunyai hubungan keluarga seperti Pakde Irawan saja, aku berani melampiaskan emosiku, apalagi dengan Joko yang se umuranku.?

Bukannya aku tidak menghargai dan mengingat persahabatan kami yang sudah melewati banyak suka dan duka. Bukan seperti itu. Tapi justru aku takut ketika emosi ini keluar, aku tidak bisa mengendalikannya. Dan itu pasti akan merusak persahabatan yang kami bina selama ini. Bajingann.

Jujur, setelah semalam selesai pertempuran dirumah tua dan dua mahluk itu menyatu didalam tubuhku, hatiku ini bawaannya panas, mudah emosi dan mudah terbawa perasaan. Semoga saja ini gak terus – terusan dan aku bisa mendinginkan suasana hatiku ini.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek. Teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba mulai menyala dan aku langsung naik ke atas kimba, lalu menurunkan dari standart dua. Setelah itu aku tarik gas kimba pelan.

Treng, teng, teng, teng.

Aku sengaja diam saja diatas kimba ini dan menunggu reaksi dari Joko. Lalu tanpa aku suruh, Joko naik keatas kimba tanpa bersuara.

Hiufftttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Kletek, treng, teng, teng, teng.

Aku memasukan perseneling kimba, lalu menarik gas kimba pelan, meninggalkan area parkir pemakaman ini.

Kami berdua sama – sama diam dan menikmati lamunan masing – masing.

Lamunanku pun tertuju pada pertarungan semalam. Pertarungan yang paling berdarah dan yang paling mengerikan seumur hidupku. Pertarungan yang terjadi dan memang harus terjadi, karena semua mistery yang aku cari telah terpecahkan. Aku telah menemukan siapa pembunuh Intan dan aku juga telah menghabisinya.

Terus setelah ini, aku harus bagaimana.? Apa yang aku lakukan dengan kedua mahluk yang sudah menyatu dengan tubuhku ini.? Apa aku tetap mempertahankan dan belajar mengendalikan kedua mahluk ini, atau aku melepaskannya supaya hati ini gak mudah panas seperti ini.?

Arrgghhh, aku belum bisa memutuskannya sekarang cok.

Tapi ngomong – ngomong tentang Intan, dendamnya telah terbalaskan dengan kematian Pak Jarot dan mahluk mata putih yang telah aku habisi. Dan itu berarti, tuntas sudah janjiku kepada Intan.

Terus kalau sudah begitu, berarti Intan akan pergi dari alam yang bukan dunianya ini dong.?

Bangsaatt. Jangan, jangan sampai Intan pergi saat ini, atau akan menggila lagi. Bukannya aku tidak ingin melepaskannya, bukan seperti itu. Aku hanya ingin sebelum dia pergi, ada kata – kata perpisahan diantara kami berdua. Aku tidak ingin dia pergi selamanya, tanpa pamit kepadaku.

Aku ingin mengantar kepergian wanita yang sangat aku sayangi itu, setelah kami berdua berbicara dan aku memeluknya untuk yang terakhir kali. Aku ingin melepasnya dengan cintaku dan aku ingin melihat senyumnya yang terakhir.

Pikiranku kembali berkecamuk, mengingat tentang Intan. Aku langsung menarik gas kimba dengan agak cepat, tapi ban depannya terasa semakin bergoyang saja. Kembali aku memelankan kecepatan kimba, agar jalannya sedikit stabil. Semoga saja aku tidak telat dan aku masih bisa menemui Intan dikamarku.

Treng, teng, teng, teng.

Kimba terus berjalan dan kami hanya berhenti ketika mengisi bahan bakar. Aku dan Jokopun masih tetap saling diam, dengan lamunan masing – masing.

Pikiranku yang tidak menentu ini, membuat jantungku tiba – tiba berdetak dengan cepat. Lalu,

Huupppp.

Dadaku terasa sakit sekali dan hatiku terasa dicengkram dengan kuatnya. Rasa sakit inipun diikuti dengan detakan jantungku yang langsung melambat.

Cuukkk. Lagi – lagi sakit didadaku ini datang, disaat yang menggathelkan seperti ini. Ada apa lagi ini.? Kenapa harus seperti ini.? Kenapa sakit ini tidak mengenal waktu.? Bajingann.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku pendek, karena aku kesakitan ketika menarik nafasku.

Konsentrasiku pun terbelah, antara menyeimbangkan jalannya kimba dan menahan rasa sakit didada.

“Huupppp.” Dadaku semakin terasa sakit dan hatiku seperti disayat – sayat.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Aku terus mengeluarkan nafas pendekku, sambil menahan rasa sakit yang sangat luar biasa ini.

CIITTTT.

Akhirnya aku mengarahkan kimba ke pinggir jalanan dan aku langsung mengerem mendadak, karena jantungku terasa berhenti berdetak. Sakit dan sangat sakit sekali. Aku lalu menurunkan kedua kakiku ke tanah, untuk menyeimbangkan posisi kimba sambil mematikan mesinnya.

“Lapo cok.?” (Kenapa cok.?) Tanya Joko dan kedua kakinya juga turun ketanah.

“Huppppp.” Aku langsung memegang bagian dadaku yang sakitnya makin terasa membangsatkan dan aku tidak menjawab pertanyaan Joko.

Duugggg.

Aku membungkukan tubuhku, lalu menempelkan keningku di spidometer kimba dan kedua kakiku terasa sangat lemas sekali. Kalau Joko tidak menurunkan kedua kakinya, mungkin kimba ini akan roboh kejalan.

“Cok. Koen gak po – po ta cok.?” (Cok. Kamu gak apa kah cok.?) Tanya Joko dan dia langsung turun dari kimba dengan sangat berhati – hati, sambil menjaga keseimbangan kimba.

Aku tetap tidak menjawab pertanyaan Joko dan aku tetap menunduk menempelkan keningku di spidometer. Sakit yang teramat sangat ini pun, sampai membuat air mataku menetes dan rintihan kesakitan mulai terdengar dari mulutku.

“Uhhhhhhhhh.” Ucapku dengan deraian air mataku yang terus mengalir.

“Djiancok arek iki rek. Koen gak usah nggarai aku emosi cok.” (Djiancok anak ini. Kamu gak usah buat aku emosi cok.) Ucap Joko dan aku tetap tidak menjawabnya.

Bagaimana aku menjawab pertanyaan Joko, bernafas saja aku sulit apa lagi harus mengeluarkan kata – kata. Bajingann.

Joko sudah berdiri disampingku, dengan tangan kirinya memegang stang kimba dan tangan kanannya memegang jok yang aku duduki.

“Koen iku lapo seh cok.? Tangio cok, tangio.” (Kamu itu kenapa sih cok.? Bangunlah cok, bangun.) Ucap Joko yang panik dan emosi.

“Uh, uh, uh, uh.” Aku masih berusaha bernafas, tapi sangat sulit sekali.

“Cok. tangio cok. Gak krungu ta kupingmu iku.?” (Cok, bangunlah cok. gak dengarkah kupingmu itu.?) Tanya Joko dengan emosinya.

“Uh, uh, uh, uh.” Aku terus berusaha bernafas, sambil meremas dadaku dengan kuat.

“Bajingann. Uripku iki wes nelongso cok, wes nelongso. Gak usah koen tambai cok. DJIANCOK.!!!” (Bajingann. Hidupku ini sudah sengsara cok, sudah sengsara. Jangan kamu tambahin cok. DJIANCOK.!!!) Ucap Joko yang begitu emosi, dengan suara yang bergetar.

“Huupp, huu, huupp, huu.” Nafasku sedikit agak panjang dan rasa sakit juga sudah sedikit berkurang.

Aku lalu mengangkat keningku dari spidometer perlahan dan aku menegakkan dudukku. Aku lalu memejamkan kedua mataku, sambil terus meremas dadaku dengan kuatnya.

“Huuuppppp, huuuuuu.” Nafasku semakin panjang dan nyeripun semakin berkurang.

“Huuuppppp, huuuuuu.”

“Huuuppppp, huuuuuu.”

Aku melakukannya sebanyak tiga kali, sampai rasa sakit ini benar – benar menghilang.

Beberapa saat kemudian, dadaku terasa nyaman dan rasa sakitnya sudah hilang. Aku lalu membuka mataku dan melihat ke arah Joko. Tampak air matanya mengalir dan dia menatapku dengan sangat khawatirnya.

“Kamu itu kenapa sih cok, kenapa.?” Tanya Joko dan sekarang wajahnya terlihat sangat sedih sekali, dengan air matanya yang terus mengalir.

“Huuppppppp, huuuuuuu.” Nafasku sekarang benar – benar sangat enteng dan rasa sakit ini juga tidak terasa sama sekali.

“Gak apa – apa. Huuuuuu.” Jawabku, sambil mengeluarkan nafas panjang dan aku lepaskan remasan didadaku, lalu aku mengusap sisa air mataku yang membasahi pipiku.

“Kalau kamu gak jujur dan kalau ada apa – apa sama kamu, sama siapa aku didunia ini cok.” Ucap Joko yang memakai bahasa negeri ini dan itu berarti dia sangat serius sekali. Dia mengatakan itu sambil menggelengkan kepalanya pelan dan air mata yang tidak henti menetes.

“Aku gak apa – apa.” Ucapku lalu aku tersenyum dan Joko hanya menggelengkan kepala.

“Semongko.” Ucapku sambil mengepalkan tangan kananku ke arahnya.

“Cok. Gak taek – taek’an cok. Aku serius saiki.” (Cok. Gak taik – taik’an. Aku serius sekarang.) Ucap Joko yang tidak meninju kepalan tangan kananku ini.

“Lah koen kiro aku guyon ta.?” (Lah kamu kira aku bercanda kah.?) Tanyaku dan Joko langsung melepaskan kedua tangannya dari stang kimba dan jok yang aku duduki ini. Aku lalu menguatkan injakan kakiku dijalan dan Joko langsung membuang pandangannya, lalu berdiri menghadap ke arah samping.

“DJIANCUUKK.!!!” Teriak Joko dengan emosinya, lalu dia menghapus air matanya.

Aku lalu turun dari kimba dan memarkirkannya, setelah itu aku melihat ke arah Joko yang berdiri dengan posisi menyamping.

“Aku gak apa cok, aku gak apa – apa. Justru aku ada apa – apa, kalau kamu sampai terpuruk dalam kesedihan yang kamu alami ini.” Ucapku ambil menepuk pundak Joko pelan.

Joko menghadap ke arahku dan sahabatku itu langsung memelukku dengan eratnya. Aku menyambut pelukannya dan Joko langsung menangis sejadi – jadinya dipelukan kami ini.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Dia menangis dengan histerisnya dan aku mengelus punggungnya pelan.

Dia sepertinya menumpahkan kesedihan yang dipendamnya mulai dari kemarin, sampai dia histeris seperti ini.

“Sekarang aku nurut sama kamu cok, aku nurut. Tapi tolong jangan tinggalkan aku, karena aku gak punya siapa – siapa lagi didunia ini. Cuman kamu sahabat dan saudaraku cok. Hiks, hiks, hiks, hiks.” Ucap Joko dengan di iringi deraian air matanya.

“Ayo kita raih impian kita, karena aku ingin membuat kedua orang tuaku bangga dan aku ingin membahagiakan Denok di alam sana. Aku ingin mereka tersenyum, karena aku telah meraih impianku bersama kamu. Hiks, hiks, hiks, hiks.” Ucap Joko dan dia tidak berhenti menangis.

“Koen iku ngomong opo sih cok.? Aku loh jek nde kene. Aku jek tahes cok. Koen pengen aku mati ta.?” (Kamu itu ngomong apa sih cok.? Aku loh masih disini. Aku masih sehat cok. Kamu mau aku mati kah.?) Ucapku yang mencoba mencairkan suasana yang sedih ini.

Joko langsung melepaskan pelukannya, setelah itu.

PLAKKK.

Dia menampar pipi kiriku yang masih bengkak akibat pertempuran semalam, dengan sangat kuat sekali. Wajahku pun sampai tertoleh kekanan, karena kerasnya tamparannya ini. Perlahan aku angkat wajahku yang agak menunduk dan aku melihat ke arah wajah Joko, sambil mengelus bekas tamparannya.

Cok. kok aku gak marah ketika dia menamparku.? Padahal hatiku sekarang mudah panas dan bawaannya emosi saja.

“Jangan pernah bercanda tentang kematian, karena aku sudah merasakan sakitnya kehilangan orang – orang yang kusayang.” Ucap Joko sambil menunjuk wajahku, dan kami berdua saling bertatapan.

Tatapan matanya benar – benar terlihat sedih dan lebih menyedihkan dari pada saat di pemakaman tadi. Dia seperti merasa hanya aku saja yang dimilikinya didunia ini dan dia tidak ingin kehilangan aku. Dia juga terlihat marah, jengkel, dan sangat khawatir dengan kondisiku tadi.

“DJIANCUUKK.!!!” Maki Joko tepat dihadapanku dan aku terus mengelus pipi kiriku yang kesakitan ini.

“Loro cok.” (Sakit cok.) Ucapku pelan, karena tamparan Joko memang sakit dan perih terasa dikulit pipiku. Aku tidak marah dengannya, tapi aku sengaja mengatakan ini hanya untuk mencairkan suasana. Itu saja.

“Ooooo. Kirekk.” (Oooo. Anjingg.) Ucap Joko yang geregetan, lalu dia berjalan melewati aku.

“Koen iku lapo seh ndeng.?” (Kamu itu kenapa sih gila.? Ndeng = gendeng = gila.) Ucapku sambil membalikan tubuhku dan terlihat dia yang memunggungi aku, sedang menghapus air matanya.

Joko tidak menjawab pertanyaanku dan dia langsung menyalakan mesin kimba.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek. Teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba menyala dan Joko langsung naik keatas kimba.

“Koen gak opo – opo ta ndeng.?” (Kamu gak apa – apa kah gila.?) Tanyaku sambil mendekat ke arah Joko.

Aku menahannya agar aku saja yang membawa kimba, karena dia terlihat sangat sedih sekali. Kalau dalam kondisi seperti ini, biasanya di ngawur kalau bawa kendaraan.

“Aku gak penyakitan koyo awakmu.” (Aku gak penyakitan seperti kamu.) Ucap Joko tanpa melihat ke arahku.

“Matamu.” Ucapku lalu aku naik dibelakangnya.

Kletek. Trenteng, teng, teng, teng.

Joko memasukan perseneling kimba, lalu menarik gas kimba kencang dan goyangannya sangat terasa sekali.

“Alon – alon cok. Ban’e rusak iku.” (Pelan – pelan cok. Bannya rusak itu.) Ucapku.

“Vespa bosok.” (Vespa busuk.) Ucap Joko dan dia masih terlihat kesal. Entah kesal karena aku atau karena dia baru tau vespa ini milik Pakde Irawan.

“Cangkemmu iku seng bosok.” (Mulutmu itu yang busuk.) Ucapku.

“Matamu.” (Matamu.) Maki Joko

Trenteng, teng, teng, teng.

Joko mulai memelankan kecepatan Kimba, untuk mengurangi goyangan yang sangat terasa sekali ini.

Malam mulai menyapa dan perjalanan kamipun tidak terasa sudah sampai diperbatasan Kota Pendidikan. Goyangan ban depan kimba semakin terasa, padahal jalannya sudah dibuat lambat oleh Joko.

Dan ketika kami sampai didekat kampus negeri.

Brakkkk.

Joko menabrak sepeda motor yang sedang berhenti dan kimba langsung berbelok ke arah paret yang ada dipinggir jalan. Aku langsung loncat dan aku menahan jok yang duduki Joko, lalu menariknya agar tidak masuk kedalam parit.

“Jok, Jok, Jok.” Ucapku dengan paniknya dan aku berhasil menahan kimba.

Sepeda motor yang kami tabrak dan ditumpangi satu orang itupun, langsung oleng dan akan terjatuh. Satu orang temannya yang berdiri tidak jauh dari sepeda motor itu, langsung menahan sepeda motornya.

Joko menyeimbangkan kimba dan aku menariknya mundur kebelakang.

“JIANCOK.” Maki temannya itu, sambil menunjuk ke arah kami.

“Assuuu.” (Anjingg.) Makiku setelah menarik kimba, lalu aku membalikan tubuhku dan berjalan ke arah orang yang memaki kami.

“Matamu gak lihat kah.? Kenapa kamu nabrak temanku.?” Tanya Orang itu dan kembali dia menunjuk ke arahku.

“Bajingann.” Ucapku lalu.

BUHHGGG.

Aku langsung menghantam wajahnya, sampai dia terjatuh ke tanah.

“Lang, Lang.” Ucap Joko yang sudah turun dari kimba dan dia langsung menahan tubuhku dari arah belakangku.

“Temanmu berhenti dipinggir jalan cok.” Ucapku dengan emosinya, sambil menunjuk ke arah temannya yang sudah turun dari sepeda motornya dan dia langsung membantu berdiri orang yang aku pukul barusan.

“Bangsat. Kamu sudah nabrak, gak minta maaf lagi.” Ucap orang yang aku pukul dan dia sudah berdiri. Dia langsung maju ke arahku, tapi ditahan temannya yang ditabrak Joko.

“Galih, sudah lih. Disini dekat kampus teknik kita.” Ucap temannya sambil menahan orang itu yang ingin membalas pukulanku.

“Lepas ky, lepas. Biar kuinjak wajahnya orang ini. Bangsat.” Ucap orang yang dipanggil Galih itu.

“Kamu mau injak wajahku.? Sini kamu, sini. Kupatahkan lehermu.” Ucapku dan Joko terus merangkulku dari belakang.

“Lang, Lang. Sudah Lang.” Ucap Joko kepadaku.

“Bawa pergi temanmu, aku urus temanku.” Ucap Joko kepada orang yang sedang memeluk Galih.

“Ayolah Lih. Ayolah.” Ucap Orang itu menuruti perintah Joko.

“Kenapa kamu pengecut Zakky, kenapa.? Kita bantai aja..” Ucap Galih dan mulutnya langsung dibekap oleh temannya yang bernama Zakky.

“Banyak bicara kamu Lih.” Ucap Zakky dan langsung memeteng leher Galih, lalu mengajaknya berjalan ke arah sepeda motornya.

“Woi, bawa sini temanmu.” Ucapku dengan emosinya dan Joko langsung menarikku ke arah kimba.

“Koen iku lapo seh cok.? Ngono ae loh ngamuk. Seng salah mau iku aku cok.” (Kamu itu kenapa sih cok.? Begitu aja loh ngamuk. Yang salah tadi itu aku cok.) Ucap Joko yang mencoba menjelaskan awal perasalahannya, karena aku tidak melihat jelas kenapa Joko bisa menabrak orang itu.

“De’e seng leren nde pinggir djalan ndeng. Lapo awakmu seng salah.” (Dia yang berhenti dipinggir jalan gila. Kenapa kamu yang salah.?) Ucapku membela diri.

“Aku seng terlalu minggir mlakune cok.” (Aku yang terlalu minggir jalannya cok.) Ucap Joko dan kedua orang itupun, sudah pergi menggunakan sepeda motornya. Melihat kedua orang itu pergi, Joko langsung menyalakan mesin kimba.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek. Teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba menyala dan Joko langsung naik keatas kimba.

“Awakmu kok emosian ngono seh.?” (Kamu kok emosian begitu sih.?) Tanya Joko sambil melihat ke arahku dan langsung membuatku terdiam.

Cok. Iya ya, kok aku jadi cepat emosi seperti ini ya.? Biasanya Joko yang mudah emosi dan aku yang selalu menangkannya, tapi kenapa sekarang malah terbalik.? Apa karena aku terlalu capek, atau karena aku tidak bisa mengendalikan kedua mahluk yang ada didalam tubuhku ini.? Bajingaan.

“Ayo muleh. Ngantuk aku.” (Ayo pulang. Ngantuk aku.) Ucap Joko yang melihatku melamun dan berdiri didekatnya.

Aku pun langsung naik keatas kimba dan Joko langsung menarik gas kimba pelan.

Kletek. Trenteng, teng, teng, teng.

Kimba berjalan lambat dan kami sudah melewati perempatan jalan besar. Joko tidak membelokan kimba lewat depan kampus teknik kita, tapi mengambil jalan yang lurus.

Beberapa saat kemudian, kami berdua pun sampai didepan kosan yang terlihat gelap karena lampunya belum dinyalakan. Hanya lampu dikamarku saja yang terlihat menyala.

Baguslah kalau lampu kamarku menyala. Itu berarti ada Intan dikamar dan dia sedang menungguku didalam sana.

Aku turun dari kimba dan Joko memarkirkan kimba diteras. Aku lalu duduk lesehan didekat jendela, sambil mengeluarkan rokokku dari kantong belakang. Aku ambil rokokku sebatang lalu membakarnya.

“Hiufftt, huuuu.” Kepulan asap rokok keluar dari mulutku dan aku sangat menikmatinya.

“Aku masuk dulu.” Ucap Joko sambil membuka pintu kosan.

“Gak duduk dulu.?” Tanyaku.

“Enggak.” Jawab Joko singkat.

“Kamu mau ngapain.?” Tanyaku lagi.

“Tidur. Karena cuman dengan tidur, aku bisa menikmati keindahan dunia ini, walapun hanya lewat mimpi.” Jawab Joko dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam.

Joko lalu masuk kedalam kosan dan dia menyalakan lampu teras serta lampu tengah ruangan.

Aku matikan rokokku yang baru aku hisap satu kali ini. Sebenarnya aku tadi mau mengobrol dengan Joko, tapi karena dia langsung masuk kedalam, lebih baik aku masuk kekamar juga untuk mengobrol dengan Intan.

Akupun langsung berdiri dan berjalan ke arah kamarku. Dan ketika aku membuka pintu kamarku, tidak terlihat Intan didalam sana.

Cuukkk. Kemana Intan.? Apa dia sudah pergi tanpa berpamitan denganku.? Enggak, enggak mungkin seperti itu. dia gak mungkin pergi tanpa berbicara kepadaku. Aku lalu membalikan tubuhku dan mencari Intan di dua kamar yang ada diruang tengah ini. tapi Intan tetap tidak terlihat.

“Intan, tan.” Panggilku sambil mencarinya di ruang dapur, kamar mandi, ruang belakang dan bagian belakang rumah ini, tapi aku tidak menemukan keberandaan Intan.

Tiba – tiba dadaku berdetak dengan kencangnya dan kesedihan yang mendalam, langsung menghantam hatiku yang terdalam.

Cuukkkk. Beneran Intan telah pergi.? Bajingannn.

“Intan, Intan, INTANNN.” Ucapku dengan paniknya, lalu aku berteriak diruang tengah.

“Dia sudah sudah pergi.” Ucap Joko yang keluar dari kamarnya, lalu dia menghisap rokoknya.

“Cok.” Makiku dan aku langsung menundukan kepalaku.

Dadaku bergemuruh dengan hebatnya, tapi aku tidak sanggup meluapkan apa yang aku rasakan saat ini. Aku tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun, karena ini kenyataan terpahit yang pernah aku alami.

Aku tau perpisahan ini pasti akan tiba, ketika semuanya telah terbuka. Tapi aku tidak menyangka kalau kami berpisah tanpa ada kata – kata dan aku tidak pernah mengira kalau dia bisa pergi begitu saja.

Sakit, sakit banget rasanya. Sakit ini bahkan melebihi ketika Kinanti memutuskan aku atau bahkan ketika aku melihatnya lamaran.

Sakit ini terasa sangat dalam sekali dan sekali lagi, aku tidak sanggup untuk mengucapkannya.

Aku tidak membutuhkan kata terima kasih terucap dari bibirnya, karena aku melakukan semua ini demi cinta. Aku tidak membutuhkan kata maaf walau setulus apapun, karena aku sangat menyayanginya. Aku terima perpisahan ini, tapi bukan seperti ini caranya, bukan. Bajingann.

“Kamu tau kan kalau akhirnya kamu akan berpisah dengannya.? Kamu sadarkan kalau semuanya pasti akan berakhir.? Kamu mengertikan kalau semua ini pasti akan terjadi.?” Ucap Joko dan aku langsung mengangkat wajahku.

“Iya, aku tau itu. Tapi bukan seperti ini caranya.” Jawabku dengan suara yang bergetar.

“Terus maumu caranya seperti apa.?” Tanya Joko dengan tatapan tajam dan kata – katanya seperti menamparku dengan keras.

Dari perkataannya itu, dia seperti menyuruhku untuk melihat apa yang sudah di alaminya selama dua hari ini. Bajingan.

“Berkali – kali kamu menguatkan aku untuk bertahan dengan apa yang aku alami saat ini, padahal sebelumnya aku tidak pernah menyangka kalau hal yang membangsatkan ini bisa terjadi didalam hidupku.”

“Berkali – kali kamu tepuk pundakku, supaya aku melepaskan beban yang begitu berat didalam hatiku.”

“Berkali – kali kamu ucapkan kata ikhlaskan, ikhlaskan dan ikhlaskan. Ikhlas apa.? Ikhlas taek ta.? (Ikhlas taik kah.?)” Ucap Joko dengan emosinya dan aku hanya diam mendengar ucapannya.

“Aku gak bisa menasehati sebaik dirimu dan aku gak bisa mengucapkan kalimat selembut ucapanmu.”

“Aku itu bisanya hanya membalikkan semua yang kamu ucapkan dan kamu lakukan kepada diriku. Hanya itu yang bisa aku lakukan.”

“Kamu banyak bercerita sama aku. Mulai dari cerita tentang kampus, impian, harapan, kehidupan, ambisi, cinta, perjuangan hidup, setia kawan, persahabatan, keluarga, pengorbanan, air mata, kesedihan dan cerita – cerita lain yang menggathelkan.”

“Aku gak paham semua ceritamu itu dan cuman kamu aja yang mengerti.”

“Terus setelah kamu cerita tentang semua itu, sekarang kamu mau pura – pura gila.? DJIANCOK.” Ucap Joko dan diakhiri dengan sebuah makian yang sangat keras sekali.

“Awak dewe iku podo – podo ngenes uripe cok. Terus piye lek ngene iki.? Opo awak dewe ndelosor ae ta.? Ayo wes. Ayo. Ta tutno sak remuk – remuke awak dewe, sak ajur – ajure awak dewe, sak bongko – bongkone awak dewe. Ayo wes. (Kita itu sama – sama sengsara hidupnya cok. Terus bagaimana kalau begini ini.? Apa kita jatuh tengkurap aja kah.? Ayo sudah. Ayo. Ku ikutin se remuk – remuknya kita, se hancur – hancurnya kita, se mampus – mampusnya kita. Ayo sudah.)

“Gak telek – telek an, gak jancok – jancok an, gak semongko – semongkoan. Ayo wes, ayo. (Gak taik – taik an, gak jancok – jancokan, gak semongko – semongkoan. Ayo sudah, ayo.)” Ucap Joko yang terus meluapkan emosinya.

Cuukkk. Kata – kata Joko ini menyadarkan aku, tentang kelanjutan hidup kami. Hidup gak akan terhenti sampai disini saja, walau masalah terus menghantam. Hidup itu baru akan selesai, ketika Sang Pencipta sudah memanggil. Itupun hanya sementara, karena setelah itu kehidupan yang sebenarnya baru akan dimulai. Kehidupan di alam keabadian.

Seberat – beratnya permasalahan hidup, ketika Sang Pencipta masih memberikan kesempatan, jalani dan perbaiki. Entah itu nanti menemukan cinta lagi atau tidak, entah itu nanti impian diraih atau tidak. Entahlah. Tapi yang jelas Sang Pencipta telah berjanji, semua akan indah pada waktunya.

“Koen iku ngomong opo seh ndeng.? Aku gak mudeng.” (Kamu itu ngomong apasih gila.? Aku gak paham.) Ucapku sambil melangkah ke arah kamarku.

“Intine iku, koen nggatheli cok.” (Intinya itu, kamu menjengkelkan cok.) Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Lek aku gak nggatheli, aku duduk dulurmu ndeng.” (Kalau aku gak menjengkelkan, aku bukan saudaramu gila.) Ucapku sambil menghentikan langkahku dan melihat ke arahnya.

“Iyo, yo. Lek awakmu gak nggatheli, aku gak iso gendeng cok.” (Iya, ya. Kalau kamu gak menjengkelkan, aku gak bisa gila cok.) Ucap Joko lalu tersenyum, walaupun masih tergurat kesedihan dimatanya.

“Hehe.” Aku membalas senyumannya, lalu aku merentangkan kedua tanganku ke arahnya, untuk mengajaknya berpelukan.

“Emoh. Aku jek normal.” (Gak mau. Aku masih normal.) Ucap Joko sambil membalikan tubuhnya, lalu masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu kamarnya.

“Kirekk.” (Anjingg.) Makiku.

“Guk, guk, guk.” Sahut Joko.

“Hahahaha.” Aku menyambutnya dengan tawa dan Joko juga tertawa dari dalam kamarnya. Entah tertawa ini karena senang, marah, bahagia, jengkel, benci atau apapun itu, aku gak tau.





#Cuukkk. Bingung ya sama updetan kali ini.? Sama, aku juga bingung. Tapi sudahlah. lanjutkan saja kehidupanmu dan aku juga melanjutkan kehidupanku. Mau itu sedang tertawa atau sedang menangis, lanjut dan nikmati aja. Djiancok.!!!
Asshhhyuuuu


Sebelum ini menguras darah
Sebelumnya lagi menguras isi manuk


Ashyeeemmm tenan suhu @Kisanak87 membuat alur ini



Bijhiiii 💦💦💦 lah pokoke
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd