Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 346 45,5%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 537 70,7%

  • Total voters
    760

BAGIAN 7
JALAN MENUJU IMPIAN



Sudah Lima hari aku dan Joko berada di Kota Pendidikan, dan tiga hari kami isi dengan mengamen menggunakan biola dan gitar. Penghasilan kami pun lumayan banyak, daripada sebelum - sebelumnya. Entah kenapa seperti itu, apa mungkin disini seleranya mendengarkan music – music yang menggunakan gitar dan biola.? atau memang disini tingkat kesejahteraannya berbeda, jadi yang kami dapatkan lumayan banyak, daripada ketika kami mengamen dipasar atau terminal.? Entahlah.

Dan sore menjelang malam ini, aku lagi santai sejenak dikamarku. Seharian tadi kami mengamen dan sebentar lagi kami melanjutkannya. Aku duduk dilantai dan bersandar didinding, sambil menikmati rokokku dan secangkir kopi dihadapanku.

Aku ingin menikmati suasana dikosan ini sejenak, yang semakin hari aku merasa nyaman dan betah tinggal disini. Jokopun juga sudah mulai terbiasa tinggal disini. Tidak ada gangguan – gangguan lagi, seperti waktu kami datang pertama kali waktu itu.

“apa gak lebih baik kamu menggunakan uang Joko dulu untuk mendaftar kuliah.?” Tanya Intan yang duduk disebelahku dan aku langsung meliriknya, sambil menghisap rokokku.



Intan

“bayarnya kan nanti bisa nyicil.” Ucap Intan lagi dengan suara yang sangat lembut sekali dan aku tetap diam, tidak menjawab ucapan Intan barusan.

“maaf, bukannya aku mau melemahkan semangatmu untuk mencari duit kekurangan masuk kuliah. Tapi ini urgent banget loh Lang. Besok kamu akan mengikuti ujian masuk kampus teknik kita, setelah itu dua hari kemudian pengumuman. Kalau kamu diterima, kamu diberi waktu seminggu untuk daftar ulang. Gak sampai sepuluh hari loh, kamu harus mengumpulkan duit sebanyak itu.” ucap Intan dan aku tetap asyik dengan rokokku.

Terlihat dari ujung ekor mataku, Intan menatapku sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“heemm.” Terdengar suara Intan yang seperti sangat pasrah, karena tidak mampu merayuku.

Kami berdua sama – sama diam dan tidak bersuara sejenak.

“asalmu dari mana Tan.?” Tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan Intan barusan.

“kenapa kamu tanya itu.?” tanya Intan balik.

“itu lebih penting, daripada harus membahas masalahku.” Jawabku dan kami berdua mengobrol tanpa saling memandang.

Kami berdua bersandar didinding, dengan menatap kearah lemari yang ada dihadapanku. Lemari yang ada kacanya dihadapanku ini, hanya memperlihatkan bayanganku seorang diri. Sedangkan Intan yang ada disebelahku ini, tidak tampak terlihat dikaca.

“untuk saat ini, bagiku masalahmu yang lebih penting untuk diselesaikan terlebih dahulu.” Ucap Intan dan dia langsung menyandarkan kepalanya dipundakku.

“kalau kamu mau menerima bantuanku, sekarang juga masalahmu akan terselesaikan. Tapi kelihatannya itu gak mungkin, karena kamu pasti menolaknya. Joko yang lebih memungkinkan untuk membantumu saja, kamu tolak. Apalagi aku.” Ucap Intan sambil menggerakkan kepalanya disandaranku, untuk mencari posisi yang enak.

Hiufftt, huuu. Aku menarik nafasku dalam – dalam lalu mengeluarkannya perlahan.

“aku harap, ini terakhir kalinya kamu membahas permasalahanku tan.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“aku salah ya.?” tanya Intan dengan nada yang sangat sedih, dengan diiringi telapak tangan kanannya memegang punggung tangan kiriku.

Telapak tangan Intan yang berada dipunggung tanganku ini, terasa dingin tapi mengalirkan kehangatan cinta. Genggaman yang perlahan menjadi remasan yang begitu lembut, membuat hatiku sangat damai sekali. aku seperti berada dipuncak gunung yang sangat teduh, hening dan tenang sekali.

“enggak, enggak gak ada yang salah. Aku gak suka menyalahkan siapapun dan aku gak suka mencari kesalahan siapa aja.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku lagi.

Huuu.

Kenapa perlakuan Intan makin hari makin seperti ini ya.? apa dia melakukan semua ini agar aku mau membantunya.? Gak perlu seperti ini juga kali, aku pasti membantunya kok.

Bayangkan saja, setiap hari ketika aku ada dirumah ini, dia selalu mengikuti aku kemanapun aku pergi, kecuali kekamar mandi loh ya. Dan setiap aku datang dari luar rumah, Intan pasti selalu menunggu didepan rumah. Dia selalu menyambutku dengan senyuman hangatnya. Belum lagi ketika aku keluar rumah, dia pasti menyangui aku dengan sebuah kecupan dipipi kananku. gila gak.? Bisa luluh juga hati abang kalau begini terus de.

Hiufftt. Huuu.

“aku berasal dari kota sebelah Lang.” ucap Intan yang mulai bercerita tentang dirinya.

“aku kekota pendidikan ini enam tahun yang lalu.” Ucap Intan lalu berhenti sesaat dan Intan seperti sangat berat sekali untuk melanjutkan ceritanya.

“kuliah dimana.?” Tanyaku dan sengaja aku tidak menyinggung permasalahannya, tentang dia yang hamil lalu nekat mengakhiri hidupnya.

“aku kuliah dikampus teknik kita, jurusan teknik sipil. Aku satu angkatan dengan Pandu.” Jawab Intan yang langsung membuatku terkejut.

“Mas Pandu.? Mas Pandu dari Desa Jati Bening.?” Tanyaku.

“iya.” jawab Intan singkat.

“kenapa kamu menyebut nama Mas Pandu.? Apa Mas pandu yang menyebabkan.?” Ucapku terpotong.

“enggak, bukan dia. Pandu orang yang baik dan aku sempat bersahabat dengannya.” Ucap Intan.

“terus.?” Tanyaku.

“aku menyebutnya, karena yang kamu kenal kan cuman dia dikampus teknik kita.” Ucap Intan.

“oh.” Ucapku dan tiba – tiba aku teringat dengan Gendhis, seorang wanita yang sangat mirip dengan Intan dan dia wanita yang aku temui pada saat pendaftaran waktu itu.

“apa kamu punya saudara kembar dikampus teknik kita.?” Tanyaku.

“Lang, jam piro awak dewe ngamen.?” (Lang, jam berapa kita ngamen.?) Tiba – tiba Joko membuka pintu kamarku lalu masuk dengan cueknya.

Joko hanya mengenakan sempaknya yang berwarna kecoklatan, sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk yang ada dikepalanya.

“AAAAA.” Teriak Intan sambil menegakkan kepalanya dari bahuku, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“jiancok, nggilani koen cok. ga isin ta.?” (jiancok, menjijikan kamu cok. ga malu kah.?) ucapku sambil melotot kearah Joko.

“assuu, nggilani piye.? Terus aku kudu isin ambe sopo cok.? ambe awakmu ta.? Matamu iku. Koen wes tau ndelok aku udo cok, dadi gak usah kemlinti omonganmu. gak eleng ta awakmu lek ados nde kali, senenganmu nyekeli manukku seng gedi iki.? Bajingan.” (anjing, menjijikan bagaimana.? Terus aku harus malu sama siapa cok.? sama kamu kah.? Matamu itu. kamu sudah pernah melihat aku telanjang cok, jadi gak usah sombong bicaramu. Gak ingat kah kalau kamu mandi dikali, kamu senang pegang burungku yang besar ini.? bajingan.) Omel joko kepadaku.

“iiiiiiii.” Ucap Intan disebelahku dengan gemasnya. Dan kali ini dia memajamkan kedua matanya, sambil menutup kedua telinganya.

“congormu lek ngomong Jok. Pengen tak slentik endokmu seng koyok croto iku ta.?” (mulutmu kalau ngomong Jok. Pengen kusentil bijimu yang seperti makanan burung itu kah.?) Ucapku lalu aku membuang wajahku kearah lain, karena aku tidak mau melihat sempak buluknya Joko yang menggatelkan itu.

“matamu iku koyo croto, assuu.” (matamu itu koyo makanan burung, anjing.) Omel Joko lalu jongkok dihadapanku dan dengan cueknya, dia mengambil bungkusan rokokku. Joko mengambil sebatang rokokku lalu membakarnya.

Biji Joko yang tercetak dan menggantung disempak coklatnya itu pun, makin terlihat jelas dihadapanku.

“oo, bedes iki. Malah nyangkruk nde ngarepku. Bajingan.” (oo, monyet ini. malah nongkrong didepanku. Bajingan.) Omelku dan Intan sudah tidak ada disebelahku. Entah kemana dia, apa dia bernafsu melihat sempak Joko itu atau dia malah trauma setelah ini.

“koen iku lapo seh muring – muring.? Tak sepak congormu koen engkok.” (kamu itu ngapain sih marah – marah.? Ku tendang mulutmu nanti.) Ucap Joko dengan cueknya, lalu dia menghisap rokoknya.

“Cok.” makiku pelan lalu aku menghisp rokokku sambil melihat kearah yang lain.

“jam piro ngamenne.?” (jam berpa ngamennya.?) Tanya Joko.

“sek talah mbut, nyantai disek. Aku iki durong ados.” (Sebentar dulu mbut, nyantai dulu. Aku ini belum mandi.) Jawabku.

“oo, pantes ae mambu batang.” (oo, pantas aja bau bangkai.) Ucap Joko lalu berdiri dan berjalan kearah pintu kamarku, sambil menggaruk bokongnya yang berwarna agak kehitaman itu.

“assuu,” makiku dan Joko terus berjalan keluar kamar lalu menutup pintu kamarku.

“uweeee.” Suara Intan terdengar disebelahku lagi.

“kenapa.? Kamu nafsu lihat sempaknya Joko.?” Tanyaku lalu aku mematikan rokokku.

Plak.

“jahat.” Ucap Intan sambil menepuk pundakku pelan.

“eleh, nafsu aja malu – malu.” Ucapku lalu aku berdiri dan berjalan kedekat lemariku, aku lalu melepas kaosku dan celana panjangku, dan menyisakan celana pendekku yang menempel ditubuhku.

“oo, kamu mulai main – main sama aku ya.” ucap Intan dibelakangku.

“siapa yang main – main.?” Tanyaku sambil melihat kearahnya yang terlihat cemberut, lalu aku berjalan kearah pintu kamarku dan membukanya.

“koen ados ta cok.?” (kamu mau mandi kah cok.?) tanya Joko yang lagi memakai celana levisnya yang sobek dilutut.

“lapo.? Kate ngedusi ta.?” (kenapa.? Mau mandiin kah.?) Tanyaku sambil melangkah kearah kamar mandi.

“lapo aku ngedusi awakmu.? mending aku ngedusi sapine mbahku. Iso tak dol lek gede.” (ngapain aku mandiin kamu.? Mending aku mandiin sapinya mbahku, bisa kujual kalau besar.) Jawab Joko.

“iyo cok, bonuse ngeremet susu sapi.” (iya cok, bonusnya meremas susu sapi.) Ucapku lalu aku masuk kekamar mandi dan menutupnya.

“matamu.” Samar – samar terdengar suara Joko dari kamarnya.

Aku lalu membuka celanaku, setelah itu aku membalikan tubuhku untuk menggantungkan celanaku digantungan belakang pintu kamar mandi.

“COK.!” teriakku yang terkejut, ketika aku membalikkan tubuhku lagi. Aku berteriak sambil menutup kemaluanku dengan kedua tanganku.

Dan didepanku sekarang, Intan berdiri sambil tersenyum dan kedua tangannya terlipat didada. Intan memakai pakaiannya seperti biasa, baju terusan atau dress yang longgar berwarna putih dan panjangnya sampai ke lutut.

Gila, kenapa wanita satu ini sekarang berani mengikuti aku, masuk kedalam kamar mandi juga.?

“ono opo cok.?” (ada apa cok.?) tanya Joko yang terdengar didepan pintu kamar mandi.

“ono cecek nde cebok cok.” (ada cicak digayung cok.) ucapku berbohong dan Intan langsung melotot.

“assuu, tak kiro manukmu ilang. Bajingan koen iku.” (anjing, kukira burungmu hilang. Bajingan kamu itu.) Ucap Joko lalu terdengar dia melangkah pergi.

“kenapa kamu disini.?” Tanyaku sambil menutupi kemaluanku dengan tangan kiri, lalu tangan kananku meraba celanaku yang tergantung dipintu kamar mandi dibelakangku.

“aku sangat bergairah sekali Lang. Aku sangat bergairah banget, setelah melihat sempaknya Joko.” Ucap Intan dengan manjanya, lalu dia menatapku sambil menggigit bibir bawahnya dengan mata yang setengah terpejam.

“kamu jangan main – main ya tan.” Ucapku dan sekarang aku menutup kemaluanku, menggunakan celanaku yang aku gumpal.

“siapa yang main – main.?” Ucap Intan lalu tangan kirinya kebelakang tubuhnya dan dia seperti sedang membuka sesuatu.

Sreett, sreett, sreett,

Gila, dia buka resleting baju belakangnya.? Wah gak bener ini, gak bener.

“tan, Intan, jangan main – main ya.” ucapku sambil menatapnya dengan tajam.

“aku gak main – main Lang, aku sangat bergairah sekali saat ini. uhhh.” ucap Intan diakhiri dengan desahan yang langsung membuat tubuhku merinding.

Uuhhh, erotis sekali pemandangan dihadapanku ini. bisa bangun barang pusakaku kalau begini caranya.

Intan lalu menarik pakaiannya dibagian bahu sebelah kiri, dengan tangan kanannya. lalu dilanjutkan dibagian kanannya kearah bawah, sampai pakaiannya terturun diatas branya.

Uhhh. Putih, mulus dan bersih sekali pundak Intan. Gila.

“Intan, Intan,” ucapku dengan suara yang bergetar dan terus terang nafsuku sudah mulai bangun dari tidur panjangnya. Apalagi ditambah dengan caranya Intan membuka pakaiannya itu, terus diiringi dengan mimic wajahnya yang begitu menggoda.

“Lang, bantu aku ya. hemmm.” Ucap Intan lalu mendesah. Dan,

Pakaian terusannya itu terlepas lalu terjatuh kelantai. dan sekarang yang melekat ditubuhnya hanya tinggal bra serta cdnya saja.

Waw. Gila. Mempesona banget Intan ini. wajahnya cantik, buah dadanya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, perutnya rata dan tidak menampakkan kalau dia sedang hamil, kedua kakinya jenjang, indah nan seksi. Sempurna, sempurna sekali wanita yang ada dihadapanku ini.

“Lang, tolong ya. hem.” Ucap Intan sambil mengelus lehernya yang putih itu perlahan, dengan mata yang terpejam.

Kemaluanku langsung tegak berdiri dan nafasku memburu. Aku sekarang benar – benar dikuasai nafsuku dan aku tidak bisa berpikir, bahwa mahluk yang ada dihadapanku ini berbeda alam denganku. Aku nafsu banget cok.

“Tan, cukup Tan. Cukup, huuu,” Ucapku sambil mengeluarkan nafas panjangku, karena aku mencoba menguasai nafsuku.

“kamu gak ingin menjamahku.?” Ucapnya dengan tatapan sayu, lalu perlahan dia mendekati aku sambil meliuk – liukkan tubuh seksinya.

“ka, ka, kamu mau apa tan.?” Tanyaku ketika Intan sudah berdiri dihadapanku.

“aku mau kamu, hemm.” ucapnya terpotong dengan telapak tangannya menyentuh dadaku, lalu membelainya dengan lembut.

Telapak tangannya yang dingin itu, bukannya membuat tubuhku kedinginan, tapi justru membakar nafsuku yang menguasai kepalaku ini. hawa dingin sore menjelang malam inipun, tidak terasa sama sekali. gila.

“cukup, Tan, cukup.” Ucapku dan kemaluanku semakin tegak berdiri dibalik perlindungan celanaku ini.

Akupun tetap menahan nafsuku ini sekuat tenagaku, sampai keringat sebesar biji jagung mulai keluar dari keningku.

“tapi aku mau dipuaskan Lang. ahhh.” ucap Intan dengan desahannya yang membuatku makin mabuk kepayang. Apalagi desahannya disertai dengan rabaan didadaku, leher, pipi, lalu turun kedadaku lagi.

“ahhh,” akhirnya desahanku keluar juga. Aku menimati setiap rabaan dari tangan mulus Intan ini.

“ayolah Lang.” ucap Intan sambil mendekatkan wajahnya kearah wajahku dan kedua tangannya berada dipipiku.

Bibirnya yang tipis itu mendekat kearah bibirku dan terbuka sedikit. Aku yang mencoba menguasai nafsuku ini, akhirnya memejamkan kedua mataku dan aku langsung memajukan wajahku dan membuka bibirku juga.

Uuhh, apakah bibir Intan ini terasa lembut, selembut sentuhannya.? ahh, semoga saja.

“hihihi.” Ucap Intan tertawa sambil melepaskan pegangannya diwajahku.

Akupun langsung membuka kedua mataku dan tidak ada Intan lagi dihadapnku saat ini.

Bajingaan. Dia sengaja memancing nafsuku sampai keubun – ubun, lalu dia pergi begitu saja, kurang ajar.

“COK.” makiku.

“koen ket mau cak cok ae cok, bajingan iki.” (kamu dari tadi cak cok aja cok, bajingan ini.) Terdengar suara Joko mengomel dari arah kamarnya.

Akupun tidak menghiraukannya. aku menggantung celanaku lagi dengan jengkelnya, lalu.

BYUR, BYUR, BYUR.

Aku mandi dengan rasa jengkel dan nafsu yang tergantung dikepala. Kurang ajar, belum pernah nafsuku dipermainkan seperti ini oleh mantan – mantanku dulu. Dan bodohnya aku, aku malah terjatuh pada mahluk yang berbeda alam itu, gila.

BYUR, BYUR, BYUR.

Aku terus mengguyur kepalaku, agar air yang sangat dingin ini dapat meredakan pikiran panas yang ada dikepalaku ini. Tapi percuma, aku masih saja dikuasai oleh kejengkelan yang berbalut nafsu ini. bajingan.

BYUR, BYUR, BYUR.

Dan setelah aku melumuri seluruh tubuhku dengan sabun dan aku membilasnya, aku mengeringkan tubuhku dengan handuk, lalu aku keluar kamar mandi dengan melilitkan handuk dipinggangku.

“mesah mesoh ae kerjaane. Jiancok.” (maki maki aja kerjaannya. Jiancok.) ucap Joko dari arah kamarnya, ketika aku melewati kamarnya.

“menengo cok.” (diam aja cok.) ucapku sambil berlalu dan aku masuk kedalam kamarku serta menutupnya.

“hihihi.” Tawa Intan menyambutku dan dia duduk dikasurku.

Kurang ajar mahluk satu ini. Tega – teganya dia membangkitkan gairahku, terus ditinggal dengan tanpa merasa bersalah, dan dia sekarang malah tertawa lagi.

Aku dengan cueknya melepas handukku dihadapannya, lalu berjalan kearah lemariku dan mengambil pakaian gantiku.

“iiihh, telanjang lagi. Gak tau malu.” Ucap Intan dan dia langsung menutup wajahnya.

Aku cuek saja sambil memakai cdku. Aku lalu memakai celana panjangku yang sobek dilutut, sama seperti punya Joko. Setelah itu aku memakai kaos hitam bergambar seseorang yang menggelembungkan permen karet dimulutnya.

“Gilang,” panggil Intan yang sudah bediri dibelakangku dan aku tidak menghiraukannya.

“iihh, kamu ngambek ya.?” tanya Intan dan aku tidak menjawabnya.

Aku lalu berjalan kearah meja untuk mengambil biolaku. Dan ketika aku akan melangkah kearah pintu kamarku, Intan langsung berdiri dihadapanku. Aku menggeser tubuhku kearah kanan, dia menghalangi. Aku menggeser kearah kiri, dia terus menghalangi sambil melipatkan kedua tangannya didada.

“kenapa.? Mau telanjang lagi.?” Tanyaku.

“hep.” Intan langsung menutup mulutnya dan menahan tawanya dengan tangan kirinya.

“sudahlah, minggir. Aku mau cari uang.” Ucapku dengan nada yang agak kesal.

“gak baik keluar rumah dengan keadaan memendam kejengkelan.” Ucap Intan dan nadanya sekarang sedikit serius.

“siapa juga yang jengkel.?” Tanyaku sambil menatap kearah matanya.

“gak jengkel, tapi dongkol.” Ucap Intan lalu dia berlutut dihadapanku dan memegang kancing celanaku.

“mau apa.?” Tanyaku yang terkejut sambil memundurkan tubuhku.

“menyelesaikan yang tertunda, supaya pikiranmu lega.” Ucap Intan yang masih jongkok dihadapanku. Dia mengucapkan itu sambil mengangkat wajahnya dan menatapku.

“bukan itu yang buat aku jengkel, tapi kamu yang berani masuk kedalam kamar mandi yang membuatku jengkel.” Ucapku.

“habisnya kamu bercandanya kelewatan.” Ucap Intan sambil menunduk.

Hiufftt. Huu. Aku menarik nafasku dalam – dalam lalu mengeluarkannya.

Cok, emang aku juga yang salah. Harusnya aku gak bercanda seperti ke Intan. Gak semua orang itu bisa menerima gaya candaanku seperti kepada Joko.

“iya sudah maaf, sekarang kamu berdiri.” Ucapku dengan nada yang pelan.

“kamu gak marahkah.?” Tanyanya sambil mengangkat wajahnya lagi.

“tergantung.” Jawabku singkat.

“tergantung apa.?” Tanyanya.

“kalau kamu telanjang seperti tadi, terus gak dituntaskan, aku pasti marah.” Ucapku sambil melihat kearah yang lain.

Duh, kok aku bercanda seperti ini lagi sih.? gak sopan banget nih mulut.

“ihh, jahat, jahat, mesum.” Ucapnya sambil berdiri lalu memukul dadaku pelan, dengan menggunakan punggung tangannya.

Huuu. Untung dia gak marah.

“kamu yang masuk kedalam kamar mandi datangin aku, kok aku yang dibilang mesum sih.?” tanyaku.

“emang kamu kira aku sengaja melakukan itu.? kamu juga sih yang mancing.” Jawabnya yang membuatku langsung terpancing lagi.

“terus kamu masuk ke dalam kamar mandi itu gak sengaja.? Buka baju itu juga ga sengaja.? Terus kamu meraba – raba tubuhmu dihadapanku itu, juga gak sengaja.?” Tanyaku.

“kok kamu ngomong gitu sih Lang.? kesannya aku ini cewe yang gak baik aja.” Ucap Intan dan wajahnya berubah menjadi sangat sedih sekali.

“aku itu belum pernah melihat cowo telanjang dan aku juga belum pernah membuka bajuku dihadapan laki – laki Lang.” ucap Intan pelan sambil menunduk dan aku langsung mengerutkan kedua alisku.

“bagaimana mungkin kamu bisa hamil, tapi tidak pernah membuka bajumu dihadapan laki – laki lain.?” Tanyaku dengan sangat berhati – hati.

“emang aku pernah bilang kalau aku ini pernah berhubungan badan terus aku hamil.?” Ucap Intan sambil menatapku dengan kedua mata yang berkaca – kaca.

DUAARRR.

Kata – kata Intan itu disertai petir yang menggelegar dan sangat mengejutkanku.

“jadi kabar selama ini yang beredar tentang kamu itu,” ucapku terpotong karena Intan menggelengkan kepalanya pelan.

Bajingan, ada apa ini.? kok jadi seperti ini.? berarti Intan mengakhiri hidupnya masih dalam keadaan suci gitu.? terus apa yang membuat Intan sampai mengakhiri hidupnya dengan cara tragis seperti itu.? gila.

“Lang, cepet cok, kesuwen iki. Kate udan iki. Gak sido ta.?” (Lang, cepet cok, kelamaan ini. mau hujan ini. gak jadikah.?) Ucap Joko dari depan kamarku.

“delok’en nde ngarep disek cok, kate udan opo ora.?” (lihat dulu kedepan cok, mau hujan apa enggak.) jawabku kepada Joko, sambil menatap mata Intan yang mulai meneteskan air matanya.

“siap bos.” Jawab Joko dengan suara yang melambai.

“kamu harus cerita sama aku setelah ini Tan. Kamu harus cerita.” Ucapku dan Intan langsung memelukku dengan sangat erat.

“hiks, hiks, hiks, hiks,” Intan langsung bersandar didadaku dan menangis sesenggukan.

Dengan biola ditangan kiri dan bow atau alat geseknya ditangan kanan, aku langsung membalas pelukan Intan yang erat ini. Tubuhnya yang dingin itu memelukku dan dadanya terasa bergetar, karena tangisnya ini.

Gila, wanita ini telah mengalami hari – hari yang sangat berat ketika akhir hidupnya. Pelukannya yang erat dan tangisnya yang sangat menyedihkan ini, sudah menjelaskan kepadaku. Dia pasti menderita dan dia menanggungnya seorang diri, tanpa ada orang yang mau berbagi dengannya.

“ga kate udan bos, ayo budal.” (ga jadi hujan bos, ayo berangkat.) ucap Joko dengan suaranya yang masih melambai.

Aku tidak menjawabnya dan aku tetap memeluk Intan.

“oo, jiancok. Cepet cok, koen ngeloco ta.? Nggateli arek iki.” (oo, jiancok. Cepat cok, kamu coli kah..? jengkelin anak ini.) Omel Joko dari luar kamarku.

Intan langsung mengangkat wajahnya dari dadaku dan menatapku, tanpa melepas pelukannya.

“jangan marah dan jangan pernah pergi, karena aku tidak punya siapa – siapa lagi untuk berbagi.” Ucap Intan dengan linangan air matanya.

Aku lalu memindahkan Bow ketangan kiri dan menggengamnya bersama biola. lalu tangan kananku yang bergetar ini, menyentuh wajah Intan untuk pertama kali. Dingin dan dingin sekali, itu yang aku rasakan ketika aku menyentuh kulit wajah mulus Intan. Lalu dengan Ibu jariku, aku membersihkan air mata yang masih menetes dipipi Intan.

“asalkan kamu gak sedih dan menangis lagi, aku pasti akan tetap ada disini dan aku pasti membantumu.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

Intan mengangguk pelan lalu,

CUUPPP,

Bibir tipisnya yang sangat dingin itu mengecup bibirku, dan langsung membuatku terdiam. Kecupannya yang lembut itu, sampai terasa kedalam hatiku yang terdalam. Gila.

“itu kecupanku pertama kali yang pernah aku berikan kepada seorang laki – laki.” Ucap Intan sambil melepaskan pelukannya dan tangisnya sudah terhenti.

“kenapa kamu harus memberikannya kepadaku, kalau kamu belum pernah melakukannya kepada siapapun.?” Tanyaku.

“biar kamu ingat, kalau ada aku yang menunggumu disini..” Jawab Intan lalu perlahan senyumnya mulai mengambang dibibir tipisnya itu.

“untuk apa.? Katanya kamu gak mau mengikat aku.?” tanyaku.

“aku memang gak pernah mengikatmu Lang. kamu laki – laki bebas. Bebas menentukan kemana arah cintamu akan berlabuh dan kemana hatimu akan bersanding.” Jawab Intan.

“ada tapinya kan.?” Tanyaku dan senyum Intan semakin mengembang dibibirnya itu.

“LANG, MBATANG TA KOEN COK.?” (lang, tidurkah kamu cok.?) Teriak Joko.

“sabar tell.” Jawabku.

“ya udah, aku pamit.” Ucapku sambil melihat kearah Intan.

“ingat ya, kalau diluar kamu bebas. Tapi kalau didalam rumah ini,” ucap Intan terpotong karena aku menggelengkan kepalaku sambil menunduk.

CUUPPP.

Intan langsung mengecup pipiku pelan.

“ada aku yang menunggumu.” Ucap Intan lagi, lalu kembali dia tersenyum.

“asuu, asuu,” makiku pelan sambil terus menggelengkan kepalaku, lalu aku melangkah kearah pintu kamarku dan membukanya.

“semangat ya.” ucap Intan dibelakangku.

Aku langsung keluar kamar dan menutup pintu kamarku, tanpa melihat kearah Intan lagi.

“gathel, klambenan elek ngene ae suwi cok. koyok perawan ae koen iku.” (kurang ajar, pakai baju jelek begini aja lama cok. kaya perawan aja kamu itu.) Omel Joko sambil menenteng gitarku.

“ancene perawan cok, kate dites ta.?” (memang masih perawan cok, mau diteskah.?) Ucapku dan sengaja aku mengajak Joko bercanda, sambil berjalan kearah pintu kosan dan aku menepuk bokongku.

Joko lalu mengunci pintu kosan dan aku melangkah kearah pagar kosan.

“assuu, njaluk dientup gawe gendang paralonku ta.?” (anjing, minta dimasukin sama gendang paralonku kah.?) Sahut Joko yang berdiri dibelakangku.

“gak usah cok, gawe bokongmu ae iku.” (gak usah cok, buat bokongmu aja itu.) jawabku sambil melirik kearah pintu kosan. Dan disana Intan berdiri sambil melambaikan tangannya kearahku, dengan diiringi senyum manisnya.

“bajingan.” Maki Joko dan aku hanya tersenyum saja.

“ngamen nangdi iki.?” (ngamen kemana ini.?) Tanya Joko sambil berjalan disebelahku.

“ngetutno sikel iki ae.” (ngikutin kaki ini aja.) Jawabku.

“lek aku penak ngetutno manukku ae cok.” (kalau aku enak ngikutin burungku aja) sahut Joko.

“dimana dia menujuk, disitu banyak endok (telur) yang siap dierami.” Ucap Joko lagi. Joko.

“endoke sopo cok.? aku yo nduwe endok iki.?” (telurnya siapa cok.? aku ya punya telur juga ini.) tanyaku sambil meraih rokokku dikantong, lalu aku mengambilnya sebatang dan membakarnya.

“ga ngerti peribahasa koen cok. duduk endoke maksudku cok, tapi seng ngerami endoke iku loh maksudku tel.” (gak mengerti peribahasa kamu cok. bukan telornya maksudku, tapi yang mengerami telurnya itu loh maksudku.) gerutu Joko.

“hahaha, sakareb manukmu wes.” (hahaha, terserah burungmu aja sudah.) Ucapku.

“assu.” Maki Joko dan sekarang kami sudah berjalan sampai didepan kampus teknik kita.

Hari yang mulai gelap ini, membuat suasana kota ini semakin dingin aja.

“SEMONGKO.” Teriak seseorang dari arah sebuah emperan toko yang kosong, disebelah gang, didepan kampus teknik kita.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (semangat sampai bongko) Sambut yang lain dan kami berdua langsung melihat kearah suara tersebut.

Mas Pandu, Mas Wagiyo, Bang Ance, Mas Arief, Bang Ramos, Bang Ucok, Kang Ujang, Mas Adam, Daeng Betta, dan Bli Oka, tampak terlihat dan sedang memutar suatu ditengahnya.

“cok, ngombe maneh wong – wong iku.” (cok, minum lagi orang – orang itu.) Bisik Joko kepadaku.

“halo om – om.” Ucapku sambil melangkah kearah mereka dan Joko berjalan disebelahku.

“matamu om – om,” maki Mas Adam kepadaku, dengan gaya yang bercanda.

“hahahaha,” dan disambut tawa oleh yang lain.

“ngamenmu nggawe biola saiki lang.?” (ngamenmu pakai biola sekarang lang.?) tanya Mas Pandu.

“aksesoris ae iki mas, maine yo panggah tak genjreng.” (aksesoris aja ini mas, mainnya ya tetap kugenjreng.) Ucapku lalu aku duduk dan memangku biolaku, lalu aku memetiknya seperti gitar.

Tring, bunyi biolaku.

“sombong kali kau anak muda.” Ucap Bang Ucok.

“gayana jii.” Sahut Daeng Betta lalu tersenyum kearahku.

“hehe,” dan aku juga tersenyum kepada mereka berdua, karena aku tidak tau harus menjawab apa.

“ko minum dulu,” ucap Bang Ramos sambil menyerahkan segelas minuman kepadaku.

“siap Bang,” ucapku sambil menerima gelas itu lalu aku mengangkatnya.

“werr.” Ucapku.

“werr, werr, werr,” sahut semua yang ada disitu dan aku langsung meminumnya sampai habis, lalu menyerahkan kembali gelasnya ke Bang Ramos.

Lalu setelah itu Joko meminum jatah selanjutnya dan dilanjutkan ke yang lain.

“mau ngamen dimana Lang.?” tanya Mas arief.

“belum tau mas, dimana ya yang rame.?” Tanyaku.

“didaerah candi – candian aja. Disana dekat kampus yang banyak wanitanya. Jam segini pasti banyak yang ngapel atau makan dicafe – café didekat kosan mereka.” Jawab Bli Oka.

“iyo ndes, rono waelah.” (iya bro, kesana ajalah.) Sahut Mas Wagiyo.

“suip iku.” Jawab Joko.

“ayolah, kebengen engko.” (ayolah, kemalaman nanti.) Ucapku.

“iyo, ndang budalo. Ga usah terlalu bengi, mene awakmu ujian to.?” (iya, cepat berangkat. Jangan terlalu malam, besok kamu ujian kan.?) jawab Mas Pandu dan kami berdua langsung berdiri.

“siap, pamit ya Bang, Mas, Bli, Kang.” Ucapku.

“ya, hati – hati.” Sahut mereka dan aku langsung melihat kearah Mas Adam.

“Mas Adam, ada salam dari Intan.” Ucapku dan justru Mas Pandu yang langsung melihat kearahku.

“assuu, gak usah macem – macem koen Lang.” (anjing, gak usah macam – macam kamu Lang.) ucap Mas Adam yang terkejut.

“hehehe, pamit ya.” Ucapku lalu aku tersenyum.

“bajingan,” maki Mas Adam.

“hehehe,” aku dan Joko hanya tertawa lalu kami berdua berjalan kearah perempatan.

Dan setelah bertanya kepada orang – orang sekitar perempatan jalan, kami pun langsung naik angkot untuk menuju ke tempat itu.

Dan benar saja, ketika kami sampai ditempat yang ditunjukan Bli Oka, pemandangan disini sungguh – sungguh menyejukan hati. Banyak wanita – wanita cantik yang berseliweran untuk mencari makan malam.

“cok, ayu – ayu cok.” (cok, cantik – cantik cok.) ucap Joko.

“iyo cok,” jawabku.

“mulai yo.” Ucap Joko dan kami melangkah kearah pujasera yang sangat ramai sekali.

“aku tak nguyuh disek yo.” (aku mau kencing dulu.) Ucapku sambil menyerahkan biolaku kepada Joko.

“cok, cek sempete koen nguyoh cok.” (cok, sempat – sempatnya kamu kencing cok.) jawab Joko.

“timbangane lambemu seng tak uyui.” (daripada mulutmu yang aku kencingi.) Ucapku sambil melangkah kedalam pujasera.

“matamu iku.” Maki Joko dan aku tidak menghiraukannya, karena aku sudah kebelet.

Akupun masuk kedalam kamar mandi dengan terburu – buru. Setelah selesai dan aku keluar dari kamar mandi, aku dikejutkan dengan seorang wanita yang berdiri dihadapanku dan dia hendak masuk kedalam kamar mandi.

Gila, ngapain sih wanita ini kemari.? Gak cukupkah dia mengikuti aku dikosan sampai kamar mandi.? Kenapa juga harus mengikuti aku sampai kemari.? Arrgghh.

Wanita itupun langsung terkejut dan melotot kearahku.

“ngapain kamu disini.?” Tanyaku kepada Intan yang berdiri dihadapanku ini.

“kamu itu siapa sih.? emang kita kenal.? dua kali loh kamu tanya seperti itu sama aku.? bikin bête aja.” Ucapnya yang terlihat marah sekali kepadaku.



Gendhis

Cok, ternyata dia Gendhis cok. salah lagi aku, bajingan.

“ma, ma, maaf mba.” Ucapku terbata.

“maaf, maaf,” ucapnya mengomel.

“kenap Ndhis.?” Tiba – tiba seorang laki – laki datang dan melihat kearahku dengan sangat jengkel.

“cowo iniloh, sok kenal banget sama aku.” ucap Gendhis kepada laki – laki itu.

“he, kamu jangan macam – macam sama pacarku ya.” ucap laki – laki itu sambil menunjuk kearah wajahku.

Ha.? Pacar Gendhis.? Beneran laki – laki ini pacar Gendhis.? Kok tiba – tiba hatiku nelangsa mendengarnya ya.? ada apa ini.? aku bukan siapa – siapa Gendhis dan aku juga baru bertemu dua kali dengannya, itupun suasananya gak mendukung sama sekali. tapi kenapa dengan dua kali pertemuan singkat kami ini, membuat hatiku terasa perih ketika mendengar dia sudah memiliki pacar.? Wah gak bener ini.

“pacar.? Kamu itu ngomong apa sih Dan.? Dengar ya Dani, aku mau kamu ajak keluar itu, bukan karena aku suka kamu sebagai pacar, bukan. Aku menghargai kamu sebagai temanku, yang selalu maksa aku keluar.” Ucap Gendhis kepada laki – laki bernama Dani ini, dengan kata – kata yang sangat pedas terdengar.

Hiuftt, huuu. Bukan pacarnya toh. Hehehe.

“bu, bukan gitu Bdhis. maksudku itu, biar kamu gak diganggu sama laki – laki ini.” Ucap Dani yang ketakutan.

“ah, jadi tambah bête aku.” ucap Gendhis lalu pergi meninggalkan kami berdua.

“Ndhis, Gendhis, tunggu aku. awas kamu ya.” ucap laki – laki itu mengejar Gendhis, tapi dia sempat membalikkan tubuhnya kearahku dan mengancamku.

Aku hanya tersenyum kecut sambil berjalan kearah Joko yang menungguku diluar pujasera.

Astaga, ada apa dengan pikiranku ini sih.? kenapa aku tidak bisa membedakan antara Intan dan Gendhis.? Bodoh banget sih aku.? dua kali loh, dua kali. Kenapa aku harus bermasalah dengan Gendhis.? Arrgghh.

“suwine koen tell gatell. Uyuhmu sak piro seh.? Koen nguyoh nangdi.? Nang prapatan Iraq ta.?” (lamanya kamu sat, bangsat. Kencingmu seberapa sih.? kamu kencing dimana.? Diperempatan Iraq kah.?) Omel Joko ketika aku sampai dihadapannya.

“cerewet, ayo ndang ngamen.” (cerewet, ayo cepat ngamen.) Ucapku sambil mengambil biolaku ditangan Joko.

“halo Lang, Jok.” Tegur seseorang dari arah belakangku, ketika aku akan berbalik.

Cok, suara ini kok gak asing banget ditelingaku ya.?

Aku lalu membalikkan tubuhku dan yang menegurku tadi itu adalah Trisno, anak Pak Tejo. Trisno tidak sendirian, dia bersama Guntur dan Kinanti mantan kekasihku.



Kinanti Nur Annisa
Juuh, apalagi ini.? kenapa aku harus bertemu dengan mereka sih.? terus ngapain Guntur dan Kinanti dikota ini.? apa mereka berdua mau kuliah dikota ini juga.? Aku sih sebenarnya gak perduli mereka mau kuliah dimana, tapi kenapa kami harus bertemu disuasana seperti ini.? kepalaku ini lagi cenut – cenut karena Intan dan Gendhis barusan, dan sekarang harus dipaksa melihat mereka berdua yang bergandengan tangan dihadapanku.

“halo weh, ketemu maneh.” (Halo weh, ketemu lagi.) Ucap Joko kepada Trisno.

(Weh = ndoweh, panggilan Trisno waktu sekolah dulu. Ndoweh = orang tidak bisa menutup bibirnya. jadi kalau diam, dia selalu membuka mulutnya.)

“assuu,” gerutu Trisno.

“koen adoh – adoh rene ngamen Lang.?” (kamu jauh – jauh kesini ngamen Lang.?) tanya Guntur kepadaku, sambil mengeratkan pegangannya ditangan Kinanti dan Kinanti langsung melihat kearah yang lain.

“kirek.” (anjing) gumam Joko pelan dan aku langsung meliriknya. Joko pun langsung terdiam, karena lirikanku ini sangat tajam kearahnya.

“iyo, nggembel maneh.” (iya, nggembel lagi) Ucap Trisno sambil melihat kearah pakaian yang kami kenakan. (nggembel = keluyuran tanpa modal)

Akupun hanya tersenyum sambil melihat kearah Joko dan Trisno. Mereka berdua memakai kaos yang dimasukan kedalam celana levisnya. Celana levis yang lebar dipaha dan menyempit dikaki. Sedangkan Kirani, dia memakai celana kodok yang menutupi kaos putih yang dikenakannya.

“Peace Love and Gaul,” ucap Guntur dengan tangan kanannya mengacungkan dua jari.

“asuu,” (anjing) gerutu Joko dan kali ini aku membiarkannya.

Aku sebenarnya juga mau memaki, tapi aku tidak mau merendahkan orang lain. Bagiku, ketika mereka asyik dengan apa yang mereka kenakan atau mereka lakukan, silahkan saja. aku gak akan perduli kok. tapi kalau kelewatan, perih juga mata ini dan bibir ini pengen mengeluarkan kata – kata yang indah aja rasanya. Hehehe.

“eh, awakmu kok gak keto mau nde kampus negeri.? Gak melu ujian masuk ta.? Opo awakmu rene iki tenanan kate ngamen ae.?” (eh, kamu kok gak kelihatan tadi dikampus negeri.? Kamu gak ikut ujian masuk.? Apa kamu kesini ini beneran mau ngamen aja.?) Tanya Trisno kepadaku.

Aku pun tetap diam dan aku tetap tersenyum kepadanya.

TIT, TIT, TIT,

Terdengar bunyi sesuatu dari kantong Trisno dan dia langsung mengambilnya. Sebuah alat yang setauku bernama pager, yang berbentuk persegi panjang dan berukuran kecil.

“iki jenenge pejer. Ibuku lek takon kabarku, tekan alat iki ae iso. Engko aku langsung telpon omahku.” (ini namanya pager. Ibuku kalau tanya kabarku, dari alat ini aja bisa. Nanti aku langsung telpon rumahku.) Ucap Trisno dengan sombongnya.

“yo gak ngerti arek loro iki No.” (ya gak ngerti anak dua ini No.) ucap Guntur ke Trisno sambil mengeluarkan pagernya juga.

“iyo, yo. Eh, lek awakmu kate nggolekki aku, telpon operator ae. engko disampekno nang aku, iki loh nomer operatore.” (iya, ya. eh, kalau kamu mau cari aku, telpon aja operator. Nanti disampaikan sama aku, ini loh nomor operatornya.) Ucap Trisno ke Guntur lalu melihat kearahku, sambil menunjukan bagian belakang pagernya.

“ini nomer pejerku. 8111XXX” ucap Trisno lalu memasukkan Pagernya lagi didalam kantongnya.

“ayo wes mangan, luweh aku No.” (ayo sudah makan, lapar aku No) ucap Guntur ke Trisno tanpa pamit kepadaku, lalu masuk kedalam pujasera sambil menarik tangan Kinanti yang dari tadi diam saja.

“iyo, aku yo luweh.” (iya, aku juga lapar.) Sahut Trisno lalu mengikuti mereka berdua dan tidak pamit juga kepadaku.

“bajingan arek iku. Duwek teko Bapakke ae sombonge ora umum.” (bajingan anak itu. duit dari Bapaknya aja sombongnya ga ketulungan.) Gerutu Joko dan aku langsung berjalan meninggalkannya.

“nangdi Lang.?” (kemana Lang.?) tanya Joko sambil mengikuti aku dibelakangku.

“nggolek nggon liyo, males aku nde kene.” (cari tempat lain, malas aku disini.) Ucapku sambil terus melangkah.

“iyo cok, aku yo males. Sombonge iku loh, pengen tak pancal lambene seng ndowe iku.” (iya cok, aku juga malas. Sombongnya itu loh, mau kuinjak aja mulutnya yang gak bisa mengkem itu.) Omel Joko.

“wes talah cok, ga usah dibahas,” (sudahlah cok, gak usah dibahas.) ucapku.

“tapi sombonge iku seng nggarai mangkel cok.” (tapi sombongnya itu yang bikin jengkel cok.) sahut Joko yang masih terdengar jengkel.

“gak usah cari kejelekan orang lain, karena kejelekan kita sendiri juga ada dan belum ditemukan orang lain. Jadi biarkan dia menikmati apa yang dia punya, selagi punya. Paham gak cok.?” ucapku sambil menghentikan langkahku dan menatap kearah Joko.

“gak ngono Lang, awak dewe iki urip ndek lemah seng podo karo dhe’e, dadi dhe’e gak usah sombong ngono.” (gak gitu Lang, kita ini hidup ditanah yang sama seperti mereka, jadi mereka gak usah sombong seperti itu.) Ucap Joko dan nadanya mulai merendah.

“jangan samakan hidup kita dengan orang lain. Kita memang hidup ditanah yang sama seperti mereka, tapi ditakdir yang berbeda. Jadi stop bahas masalah yang gak penting.” Ucapku lalu aku berjalan lagi.

“cok, omonganmu kok gateli saiki cok.?” (cok, bicaramu kok jengkelin sekarang cok.?) ucap Joko.

“aku’og.” (aku kok) Ucapku sambil menepuk pundak kiriku,

“elek, kemenyek koen cok.” (jelek, belagu kamu cok.) gerutu Joko.

“ga usah kakean cangkem. Bengi iki awak dewe durung ono pemasukan blas loh.” (gak usah banyak omong. Malam ini kita belum ada pemasukan sama sekali loh.) ucapku.

“iyo.” Jawab Joko singkat.

“sek Lang.” (sebentar Lang.) ucap Joko ketika kami melewati sebuah wartel.

“kate nelpon mbahmu ta.?” (mau telpon Mbahmu kah.?) tanyaku ketika Joko masuk kedalam salah satu bilik wartel.

“menengo cok.” (diam aja cok.) ucap Joko sambil menekan tombol nomor telpon, sementara aku berdiri sambil memegang pintu bilik wartel yang terbuka.

“selamat malam Mba.” Ucap Joko dengan sangat lembutnya.

“…..”

“saya mau kirim pesan untuk no ID8111XXX.” Ucap Joko dan aku langsung mengerutkan kedua alisku.

Cok, Joko telpon operator pager dan mengirimkan pesan untuk Trisno.? Bajingan. Ngapain sih pakai kirim – kirim pesan segala.? Tapi harus kuakui, daya ingat Joko ini sangat baik. Buktinya dia ingat nomor telpon operator pager dan dia ingat juga no IDnya Trisno. Bajingan.

“...”

“pesannya, TEJO NDOWE.” Ucap Joko dengan entengnya dan aku langsung menahan tawaku.

Kurang ajar Joko ini. Tejo itukan nama Bapaknya Trisno dan Ndowe itukan julukannya Trisno. Kenapa harus digabung.? Kok dia njacuk’i banget sih kirim pesannya.

“...”

“TEJO NDOWE.” Jawab Joko.

“...”

“T E J O N D O W E.” Jawab Joko sambil menyebut satu persatu abjad dengan sangat jelasnya.

“...”

“hiufftt, huuu.” Joko menarik nafasnya dalam – dalam.

“...”

“T E te, J O jo. Tejo,” Joko mengeja kata yang diucapkannya.

“N, N, N, D O do,” ucap Joko agak kebingungan.

“eNDO.” Terdengar Joko semakin bingung dengan ucapannya, lalu menoleh kearahku.

“Ndowe iku piye ejaanne cok.?” (Ndowe itu gimana ejaannya cok.?) Tanya Joko kepadaku.

“J A ja, N, C O co, K. Jancok.” Jawabku dengan cueknya.

“M A ma, T A ta, M U mu. Matamu.” Ucap Joko dengan wajah yang sangat jengkel, lalu menolehkan wajahnya kearah depan bilik lagi.

“...”

“kok angele to mbak, mbak.” (kok susah sekali sih mbak, mbak) gerutu Joko.

“Tango, Echo, Julliet, Oscar, TEJO. November, Delta, Oscar, Whiskey, Echo, NDOWE. TEJO NDOWE.” Ucap Joko dengan jengkelnya.

“…”

“Sudah mba.? Paham.? Kalau gak paham dimana alamatmu, biar aku yang tulis sendiri.” Ucap Joko dan lagi – lagi, dengan sisa – sisa kejengkelannya.

“…”

“sudah punya pasangan gak Mba.?” Tanya Joko sambil menolehkan wajahnya kearahku lagi.

“…”

“jangan marah, saya kan cuma tanya.” Ucap Joko sambil memainkan kedua alis matanya kearahku.

“…”

“ooo, lek ndekene, tak sun lambemu mba.” (oo, kalau disini, sudah kucium bibirmu mba.) Ucap Joko lalu menutup telpon dengan santainya.

“kok nggateli ngono koen jok.?” (Kok jengkelin gitu kamu Jok.?) tanyaku ketika Joko keluar dari bilik wartel.

“gak usah cari kejelekan orang lain, karena kejelekan kita sendiri juga ada dan belum ditemukan orang lain. Jadi biarkan aku menikmati apa yang aku sukai, selagi aku bisa. Paham gak cok.?” ucap Joko membalikkan kata – kataku tadi, lalu dia pergi membayar telpon yang baru digunakannya tadi.

“kirek.” (anjing.) makiku sambil menggelengkan kepalaku.

Dan setelah kejadian yang menjacukkan barusan, kami berdua melanjutkan perjalanan kami untuk mengamen.

Kami pun berhenti di sebuah rumah makan, lalu kami mulai mengamen. Rumah makan satu kerumah makan yang lain kami masuki. Kos satu dan kosan yang lainpun, juga kami datangi.

Kami bernyanyi dengan keihklasan hati kami, dan kami juga berharap keikhlasan orang dalam memberikan sesuatu kepada kami.

Setelah sampai jam sepuluh malam kami mengamen, kami berdua melewati sebuah café yang cukup ramai. Kami tidak mungkin mengamen dicafe itu, karena didalam sana ada live musicnya. Dan pandanganku tertuju pada sebuah meja, karena disana duduk seorang wanita dengan wajah yang sangat jutek sekali. dia duduk seorang diri tanpa ada yang menemani.

Aku menghentikan langkahku dan terus memandang kearahnya. Aku merasa bersalah sekali dengan wanita itu. mungkin dia seperti itu malam ini, karena tadi habis bertemu denganku. Wanita itu adalah Gendhis dan tidak mungkin lagi aku salah melihatnya.

“ndelok sopo cok.?” (lihat siapa cok.?) tanya Joko yang juga berhenti disebelahku.

Aku hanya mengkode dengan anggukan kepalaku kearah Gendhis.

“loh, ikukan mba seng nde bagian pendaftaran kampus teknik kita.” (loh, itukan mba yang dibagian pendaftaran kampus teknik kita.) Ucap Joko sambil melihat kearah Gendhis dan aku hanya mengangguk pelan.

“ngerti ae koen lek ono wedok ayu. Bajingan.” (ngerti aja kamu kalau ada cewek cantik. Bajingan.) Ucap Joko lalu melangkahkan kakinya lagi.

Aku tidak menghiraukannya dan aku tetap berdiri disini.

“ayo cok,” ucap Joko sambil menolehkan wajahnya kearahku.

“aku kate nang jero dilut.” (aku mau kedalam sebentar.) Ucapku.

“matamu, nde njero ono live musikke cok. ga iso awak dewe ngamen nde kono.” (matamu, didalam ada live musiknya cok. gak bisa kita ngamen didalam sana.) Omel Joko dan kembali aku tidak menghiraukannya. Aku masuk kedalam Café dengan cueknya.

“assu arek iki.” (anjing anak ini.) Ucap Joko sambil mengikuti aku dari belakang.

Gendhis yang melihat aku masuk kedalam café ini, terlihat marah dan dia langsung berdiri. Tapi aku tidak melangkah kearahnya, aku melangkah kearah panggung kecil yang ada dibagian depan ruang café ini. Dan pada saat aku sampai dipanggung kecil itu, band pengisi musiknya sedang beristirahat sebentar.

“mas, saya boleh bawain satu lagu.?” Tanyaku pada salah seorang diantara mereka.

Mereka lalu melihatku dari ujung kaki sampai ke ujung rambutku.

“kami iringi.?” Tanyanya.

“ngga usah, saya sendiri aja.” Jawabku.

“ambe aku cok.” (sama aku cok.) jawab Joko dibelakangku.

“oh iya, sama teman saya.” Ucapku lalu tersenyum kepada mereka.

“satu lagu aja.?” Tanyanya.

“iya mas,” jawabku.

“silahkan.” Ucap orang itu.

Aku dan Joko langsung naik kepanggung.

“iki kate lapo seh.?” (ini mau apasih.?) Tanya Joko.

“wes talah, maen ae.” (sudahlah, main aja.) ucapku sambil meletakkan biolaku dipundak kiriku.

“lagu opo cok.?” (lagu apa cok.?) tanya Joko dan semua pengunjung café langsung melihat kearah kami.

“Wonderful Tonight (Eric Clapton)” jawabku.

“ngomong ket maeng cok.” (ngomong dari tadi cok.) ucap Joko dan aku langsung melihat kearah Gendhis yang melangkah kearah meja kasir. Dia terlihat risih dengan kedatanganku dan dia ingin pergi dari café ini.

“dua kali ucapanku yang salah terhadapmu, mungkin sudah membuat hatimu tak nyaman. Maafkan aku, maafkan.” Ucapku membuka omongan diatas panggung.

Gendhis langsung menghentikan langkahnya. Dia lalu menolehkan wajahnya kearahku, ketika Joko memulai petikan gitarnya dan aku memulai gesekan biolaku.



Gesekan biolaku dan petikan gitar Joko, membuat semua pengunjung yang tadinya ramai, terdiam. Mereka semua memperhatikan kearah panggung dan sebagian besar pengunjung menyalakan korek mereka masing - masing, lalu mengangkatnya dan menggoyangkan kekanan dan kekiri.

Gendhis yang tadinya menoleh, sekarang membalikan tubuhnya dan menatapku sambil memiringkan kepalanya sedikit. Aku terus menggesekan biola ini sambil menatap kearah matanya, yang lama – lama terlihat sayu. Bola mata yang indah dan sangat sedap dipandang mata.

“I feel wonderful because I see, The love light in your eyes. you were wonderful tonight.” Ucapku ketika gesekan terakhirku telah selesai.

Aku lalu menurunkan biolaku dari pundakku, dan berjalan turun panggung diikuti Joko dibelakangku.

“suwon mas.” (terimakasih mas.) ucapku kepada orang yang mengijinkan aku bermain tadi, ketika aku sudah dibawah panggung.

“i, i, iyo mas.” ucapnya terbengong dan terbata.

PROK, PROK, PROK,

Semua pengunjung café lalu berdiri sambil bertepuk tangan kepada kami berdua.

“santai, santai, santai,” ucap Joko sambil melambaikan tangannya kearah para pengunjung, lalu tersenyum dengan guatelnya.

Akupun melangkah kearah luar café, tanpa melihat kearah Gendhis yang masih menatapku.

“enteni aku tell.” (tungguin aku tell) Panggil Joko dibelakangku dan aku tetap melangkah.

“mas.” panggil seseorang didekat pintu café.

“ya.” jawabku sambil berhenti didekatnya.

“Jeki, saya pemilik café ini.” ucapnya sambil menjulurkan tangan kanannya kearahku.

“oh iya mas, saya Gilang.” Ucapku sambil menjabat tangannya.

“saya Joko mas,” ucap Joko ketika aku melepaskan jabatan tangan ini, dan mereka berdua langsung saling berjabat tangan.

“besok main – main kesini ya.” ucap Mas Jeki.

“iya mas, saya pamit dulu ya.” jawabku lalu aku pergi meninggalkan café ini.

“koen mau ngomong opo cok.?” (kamu tadi ngomong apa cok.?) tanya Joko ketika kami sudah diluar café.

“seng endi.?” (yang mana.?) tanyaku sambil mengeluarkan rokokku lalu membakarnya.

“wonderpul, wonderpul maeng iku loh.?” (wonderful, wonderful tadi itu loh.?) tanyanya lalu membakar rokoknya juga.

“aku yo gak ngerti cok. hahahaha.” (Aku juga ga ngerti cok. hahaha.) Ucapku lalu tertawa.

“assuu, kemlinti koen cok.” (anjing, terlalu bergaya kamu cok.) Maki Joko.

“gak usah cari kejelekan orang lain, karena kejelekan kita sendiri juga ada dan belum ditemukan orang lain. Jadi biarkan aku menikmati apa yang aku sukai, selagi aku bisa. Paham gak cok.?” ucapku sambil memainkan kedua alisku kearah Joko.

“telek.” (taik.) ucap Joko.

“hahaha.” Kami berdua tertawa sambil terus melangkah.

“tapi ngomong – ngomong, awak dewe maeng keren cok. hahaha.” (tapi ngomong – ngomong, kita tadi keren cok. hahaha.) Ucap Joko sambil mengepalkan tangannya kearahku.

“semongko,” ucapku sambil meninju kepalan tangan Joko pelan.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (semangat sampai bongko) teriak kami berdua.

“HAHAHA..” kami tertawa dengan kerasnya, lalu kami melangkah bersama sambil berangkulan.





#cuukkk. Karena jalan menuju impian itu, adalah rahasia dari Sang Pencipta. Kita tidak bisa menerka kemana arah jalan itu. dan yang bisa kita lakukan hanya berjalan dengan penuh keyakinan. (iki menurutku loh yo, emboh lek menurutmu. = ini menurutku loh ya, gak tau kalau menurutmu.)
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd