Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG I N S Y A F

bidjimu

Adik Semprot
Daftar
21 Feb 2013
Post
123
Like diterima
248
Bimabet
Selamat malam suhu-suhu dan Senior senior di forum ini, izinkan menulis cerita, meski mungkin tidak sebagus tulisan tulisan yg sudah ada di forum ini. Setelah lama menjadi SR, saya coba untuk berkontribusi di forum ini.
Cerita ini beralur lambat, saya mencoba mengeja kata per kata. Mohon maaf jika ada kemiripan gaya menulis atau kalimat yang agak serupa dengan senior-senior disini, mungkin dikarenakan sedikit banyaknya saya dipengaruhi oleh cara menulis suhu suhu dimari.
Mohon maaf jika banyak kekurangan. Ditunggu juga kritik dan saran.




Disclaimer: Cerita ini fiktiv belaka, tidak bermaksud menyinggung SARA, maaf kalau ada kesamaan tempat atau nama tokoh, semua tidak ada unsur kesengajaan.








I N S Y A F


I. Langkah Awal

Bukit Tinggi 1993


Hembusan angin yang dibawa dari Terusan Kamang berhembus pelan, dinginnya meninggalkan bekas embun di tembok Masjid. Suara serangga bersahutan seperti melantunkan dzikir puja puji kepada pemilik semesta. Di dalam sebuah Masjid di sudut area pesantren terlihat beberapa orang duduk melingkar, sepertinya ada sebuah pengajian atau diskusi, kebiasaaan yang dilakukan para santri ketika Sholat Isya telah selesai.


"Apa kau sudah memikirkan baik buruk langkah yang akan kau lanjutkan Hamid?"

Orang Tua bersorban itu bicara, suaranya tidak terlalu keras namun tidak juga pelan, tapi setiap lantunan huruf yang keluar dari mulutnya terdengan sangat berwibawa.

Pria yang ditanyakan perlahan mengangkat kepalanya matanya berkaca menatap dalam ke mata orang tua yang memakai sorban tersebut.

"Benar Buya, semuanya sudah saya pikirkan sejak dua tahun terakhir, 8 Tahun di Pesantren ini adalah waktu waktu yang sangat mahal untuk saya, semua kebaikan Buya Buya disini, Ustad Ustad disini dan dengan semua ilmu yang diajarkan kepada saya, sungguh dengan apa pun tidak saya menggantinya"

Pemuda bernama Hamid kembali menunduk, orang tua yg di panggil Buya tersebut menggangguk dan menatap seorang berkopiah hitam yg duduk di sebelah Hamid.

"Kalau kau bosan dengan suasana di pesantren ini, kau bisa melanjutkan ke sekolah tinggi Agama, lalu kembali kesini mengajar para santri seperti Ustad Suhaimi"
Pria berkopiah hitam yang bernama Suhaimi tersebut menggangguk.

"Nanti pesantren akan membantu biaya perkuliahan kau Hamid"
Ustad Suhaimi menimpali perkataan Buya Abdullah

Hamid mendengar Buyanya bicara seperti itu mulai bingung, Hamid yang sudah 8 tahun belajar di pesantren ini, menganggap Buya Abdullah dan Ustad lain, adalah pengganti sosok ayahnya lebih dari keluarganya. Di sisi lainnya Hamid juga tidak bisa melawan gejolak mudanya, hasrat orang muda untuk melihat dunia lebih luas dan tidak hanya terkurung di Pesantren yang sesekali keluar cuma ke Pasar Aur Kuning atau ke Pasar Bawah, itupun untuk membeli barang barang keperluan pesantren. Hamid merasa 6 tahun sudah cukup baginya, sudah kuat rasanya fondasi agama yang dia bangun, sudah tebal pula rasanya iman di dada Hamid. Hamid muda lengkap dengan kesombongan masa muda, Hamid lupa bahwa setan dan iblis sangat gigih menggoda manusia.

Kalau saja dahulu nabi Adam tidak tergoda oleh bujuk rayu iblis, tentu saja Hamid dan juga manusia yang ada di bumi saat ini tengah bersantai di Sorga, minum susu sambil berbincang dengan bidadari, dan manusia tidak akan dipusingkan dengan hal hal keduniawian, seperti sakit nya kepala Hamid karena hendak meluluskan niatnya untuk keluar dari pesantren.

"Apapun pilihan mu, melangkahlah, nak. Dan jangan sungkan, jika kau ingin lagi kesini, karena pesantren ini adalah rumahmu, pintunya selalu terbuka untukmu"

Buya menatap dalam ke muka Hamid, pemuda itu hanya menekurkan kepalanya menatap sajadah.

"Buya, sekali lagi maaf. Sungguh selama saya disini, tiada kurang satu apapun. Saya ingin mencoba pula pertaruhan nasib saya di luar pesantren ini. Do'akanlah saya buya, do'akan langkah anak mu ini lancar dan selalu baik"

"Kalau sudah lengkap rasanya bekal yang hendak kau bawa berjalan, melangkahlah, nak. Ingat selalu sang pencipta di tiap jejak langkahmu"

Orang tua yang dipanggil Buya tersebut, menepuk nepuk pundak Hamid. Anak kecil yang 8 tahun lalu dibawanya ke Pesantren ini telah tumbuh dewasa. Badannya tegap, bahunya kuat, pertanda kerasnya hidup bolak balik menempanya.

Pagi itu setelah Sholat Subuh, Hamid mengemasi barang barangnya, tidak banyak memang, cuma beberapa helai baju dan kain sarung, keinginan Hamid sudah bulat, maka dengan sesegera mungkin ditunaikan.

Dilingkupi suasana haru, pagi itu Buya Abdullah, Buya Rahim, Ustad Suhaimi dan Ustad-Ustad yang lain melepas Hamid. Petuah petuah kehidupan pun ditujukan kepada Hamid, air mata Hamid pun jatuh, betapa 8 tahun ini sangat berarti baginya.

Hamid terlahir yatim piatu, diasuh kakek dan neneknya di kaki gunung Marapi sana, ketika Hamid berusia 10 tahun kakeknya meninggal, lalu ketika hendak ujian kelulusan SD nenek Hamid pun berpulang. Hamid kecil kala itu sangat sedih, sungguh dalam lukanya, lahir Yatim Piatu, kemudian kakek nenek yg mengasuhnya pun berpulang. Hilang sudah tempat Hamid berpijak. Meski ada saudara dari ibunya alias mamak, cuma di jaman itu mamak tidak lagi membimbing kemenakan nya lagi, sibuk pula dengan kehidupan keluarganya.

Hamid kemudian lari dari kampungnya menuju Bukittinggi, Hamid bekerja apa saja yang ia bisa di Pasar, disaat itulah Hamid bertemu Buya Abdullah, Hamid membantu Buya Abdullah mengangkat barang belanjaan kebutuhan Pesantren, lalu Hamid di ajak Buya Abdullah tinggal di Pesantren, sekaligus melanjutkan pendidikan Hamid.

Dan pagi ini, Hamid akan meninggalkan Pesantren tempat ia tumbuh tersebut. Dua tahun terakhir Hamid sebenernya sudah jadi tenaga pengajar di pesantren, tenaga pengajar ekstrakurikuler silat tepatnya. Meski sebenernya Hamid cuma membantu guru Silat nya Sutan Sati, tapi setidaknya ada sumbangsih Hamid di pesantren tersebut.

Hamid menatap lekat lekat gerbang pesantren yang entah kapan lagi disinggahinya, mata Hamid masih digenangi air, Hamid menarik nafasnya dalam dalam, menetralisir emosinya, lalu melangkah menuju jalan besar.

Setelah menaiki angkot, Hamid tiba di terminal Aur Kuning, tampak ramai terminal pagi itu, dari pedagang pakaian hingga pedagang makanan, puncak Marapi tampak dengan jelas, angkuh berdiri dipayungi langit biru, seolah mengamini Hamid untuk terus melangkah.

Hamid menaiki bus NPM tujuan ke Padang, memang tujuan Hamid saat ini menuju ibu kota propinsi untuk mencari pekerjaan. Belum terpikirkan oleh Hamid, sesampai di Padang akan bekerja apa, tapi tekad Hamid sudah bulat untuk menuju kesana.

Hamid duduk di sisi dalam arah jendela bus sambil menyandarkan kepalanya ke kaca, pikiran Hamid menerawang.

"Disini masih kosong, Da?
Hamid tersentak dari lamunannya, tampak seorang anak laki laki, kira kira berumur 18th membawa tas ransel besar, hendak duduk di kursi sebelah Hamid.
"iya, masih kosong, duduk saja" Hamid tersenyum mempersilahkan anak tersebut duduk. Lalu Hamid diam kembali, sampai seruan pedagang asongan yang menjajakan buku mengejutkan Hamid kembali, pedagang asongan tersebut menaruh buku di sela Hamid dan anak tersebut duduk, Buku itu diambil si anak, lalu dibolak balik tiap halaman, entah apa yang dibaca si anak, Hamid tidak terlalu memikirkan.

Kemudian pedagang asongan tadi balik lagi ke kursi Hamid.

"Kalau tidak kau beli, kenapa kau membacanya? Karena kau udah membaca, kau harus membeli buku ini!!"
Si pedagang berteriak, lagi lagi Hamid terkejut, Hamid menggeser duduknya, supaya bisa melihat si Pedagang tersebut
Nampak pedagang itu sangat emosi, sedang si anak di sebelah Hamid memasang wajah ketakutan. Perlahan Hamid menyela, "jangan dipaksa kalau orang ngga mau beli, Da. Dagang kok maksa?"
"pantek! Kau jangan ikut campur ya, anak ini sudah membaca buku ini, dia harus membelinya, begitu aturannya!! "

Mendengar kata kasar pedagang tersebut, menumpang melirik ke arah kursi Hamid, mereka was was, karena sebenarnya pedagang itu adalah preman yang menyaru sebagai pedagang untuk kedok saja.
Hamid berdiri, menatap tajam ke arah pedagang tersebut, lalu mengulurkan tangannya untuk menarik lengan si pedagang tersebut, Hamid menatap tajam sambil mencengkram kuat lengan preman itu.

Sang preman mengaduh, "aduuuhhh... Ampun Da... Ampun... Maaf Da... Maaf.."
Hamid lalu melepaskan cengkramanya, lalu duduk kembali, sementara si preman terus buru buru turun dari bus.

"Terimakasih, Da" ucap si anak tersebut kepada Hamid, Hamid menganggukkan kepala sambil tersenyum.

Bus mulai berjalan perlahan keluar dari terminal Aur Kuning, kondektur pun mulai menagih ongkos dari penumpang ke penumpang, sampai di bangku Hamid, ketika Hamid merogoh kantong celananya, ternyata ongkosnya sudah dibayari si anak tersebut.
"tidak apa-apa Da, ganti ucapan terima kasih saya" ucap anak itu sambil tersenyum.

"Manusia sudah seharusnya begitu, tolong menolong, bahu membahu, apalagi untuk hal yang baik"

"Rizal" si anak mengulurkan tangan, dibalas Hamid pula dengan uluran tangan, "Hamid"

"Da Hamid kuliah di Padang?"
Rizal bertanya kepada Hamid

"Tidak, saya tidak kuliah" Hamid menjawab setengah berbisik

"Kerja ya? "
Rizal bertanya lagi, tampaknya Rizal penasaran dengan Hamid yang sekilas nampak menyeramkan dengan lengannya yang besar itu.

" Saya mau cari kerja ke Padang, belum tau kerja apa."
Hamid menjawab pertanyaan Rizal sambil tesenyum.

"Trus uda tinggal dimana?" lagi lagi penasaran Rizal belum terjawab.

Hamid diam menyandarkan kepala nya ke kaca jendela, melihat Gunung Singgalang dan peladangan yang melilit di pinggangnya.
Terbesit di pikiran Hamid untuk tinggal di Mesjid, tapi cepat dihapusnya kembali, alasan Hamid meninggalkan pesantren yaitu salah satunya bosan dengan rutinitas mengurus Mesjid, malah setelah keluar pesantren masuk Mesjid lagi, ya mending di pesantren aja kalau gitu.

Hamid tersenyum lalu menjawab pertanyaan Rizal,
"Saya sebenarnya belum tau tinggal dimana dan mau mengerjakan apa, mungkin setelah sampai di Padang, saya akan mencari tempat tinggal dulu"

"Tinggal sama saya aja Da, kebetulan saya tinggal di sebuah mess kantor partai politik, disana masih ada kamar kosong, dan untuk makanan sudah disediakan juga. Kalau Uda mau, nanti bisa bilang ke Pak Herman, untuk memberi Uda pekerjaan"

Kelak Hamid tau, Pak Herman yang dimaksud Rizal adalah politikus Partai kuning yang berkuasa di jaman orde baru

"Baiklah, saya ikut kau saja Zal. Terimakasih banyak, atas bantuan mu. Doakan agar aku bisa membalasnya, " balas Hamid menepuk bahu Rizal.

Bus pun melewati air tejun Lembah Anai, tampak gagah, bus berjalan pelan, selain jalanan sempit, juga pas berada di tikungan.
Hamid mulai mereka-reka, bagaimana hidupnya ke depannya, jadi apa dirinya di masa yang akan datang, entah lah, roda nasib Hamid baru di mulai saat roda bus ini berputar.
 
Terakhir diubah:
Pertamax hu...

Ijin masang radar dimari....
Keep update hu sampe tittle tamat
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd