Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Is This the Love We Created? (PART 22/S1 End)

Status
Please reply by conversation.
PART 11: Under Pressure

Ruangan semi-outdoor yang dijadikan bar bertema rock ini hening selama beberapa detik, semua instrumen berhenti, menungguku masuk ke baris lirik selanjutnya.

“Turned away from it all like a blind man” ~

“Sat on a fence, but it don′t work” ~


Suara Galang menggantikan suaraku.

“Keep coming up with love but it′s so slashed and torn” ~

Aku menyambut nyanyian Galang.

“Why? Why? Why?” ~

Galang masuk kembali ke dalam lagu.

“Love love love love love love” ~

Suaraku perlahan menanjaki tangga not, berhenti di G5 dan bertahan disitu, saat Galang masuk aku naik lagi ke A5, bisa kudengar teriak sorakan penonton menyemangatiku, hanya sedetik aku bisa bertahan dan harus berhenti sebelum suaraku terpeleset. Drum yang terus memainkan fill-in di bagian ini membuat sebuah perasaan tak tentu arah dan berputar-putar mencari solusi bagaimana lagu ini bisa berlanjut.

“Insanity laughs under pressure we′re breaking” ~

Aku kembali menimpali Galang.

“Can′t we give ourselves one more chance?” ~
“Why can't we give love that one more chance?” ~


Tension yang tertumpuk tadi pecah dan lagu berlanjut dengan vokal Galang.

“′Cause love′s such an old-fashioned word” ~
“And love dares you to care for” ~
“The people on the edge of the night” ~
“And love dares you to change our way of” ~


Aku masuk, memberikan harmonisasi. Lagu ini memberikan tension kembali, kali ini dengan semua personil bermain.

“Caring about ourselves” ~
“This is our last dance” ~
“This is our last dance” ~
“This is ourselves” ~
“Under pressure” ~


Bagian vokal habis, lagu perlahan melambat menyisakan alunan bass yang sangat ikonik dari lagu ini. Aku berdiri dari kursi, mencabut mikrofon dari stand di belakang keyboard ini, dan berjalan ke tengah panggung.

“Sekian penampilan dari kami pada malam hari ini, terima kasih atas perhatiannya. See you next Monday night and keep rocking!” Kuucapkan salam perpisahan yang disambut sorakan dan tepuk tangan riuh penonton, aku membungkuk menerima apresiasi ini.

“WOOOOH KAK JERRY! KEREN!” Aku mendengar teriakan yang kontras dari meja di ujung belakang tempat ini dimana Aya, Eli, dan Jinan berdiri memberi tepuk tangan, meja mereka memang lebih jauh dari meja-meja lain. Ributnya tepuk tangan, suara instrumen yang belum sepenuhnya berhenti, diikuti noise dan feedback dari sound tidak menghentikan suara mereka agar terdengar olehku di ujung yang berbeda ini.

Indra, Mario, dan Galang menyusulku ke depan panggung. Galang merangkulku, satu tangannya masih menggenggam leher gitarnya. Kami berduet di lagu ini, tapi bukannya seperti duet biasa dimana masing-masing vokal saling berbalas bait lirik yang sama dan melakukan harmonisasi. Lagu ini memaksa aku dan Galang untuk saling berbalas bait lirik berbeda, dengan nada berbeda, dan makna yang berlawanan. Galang menawarkan untuk pasrah dan menerima keadaan dunia yang sedang ‘under pressure’, sementara aku menawarkan harapan dan mengajak memulai kembali.

Manggung kok ribet amat sih jelasinnya? Karena aku ingin mengajak orang-orang untuk mengapresiasikan lagu dan musik sebagai lebih dari sekedar rangkaian nada-nada yang menarik. Aku ingin memberitahukan apa yang membuat tiap nada menarik, apa yang membuat sebuah lagu bisa membawa suasana dan perasaan orang, entah bahagia, sedih, marah, semangat, atau tenang, tidak hanya dengan beat atau lirik, juga dengan membedah susunan nada, chord, ketukan, dan berbagai trik-trik pencipta lagu untuk menggiring mood. Ribet lagi ya? Ya maaf, aku memang se-passionate ini tentang musik.

Tubuhku basah kuyup oleh keringat saat aku menuruni panggung menuju backstage, 2 jam perform kami terbukti tidak sia-sia dari respon penonton tadi. Kulihat Indra menyusul di belakangku sementara Mario dan Galang masih sibuk membereskan pedal efek dan kabel di atas panggung, mereka kelelahan tapi jelas nampak teman-temanku tak bisa menghapus senyum lebar dari wajah mereka. Ini adalah salah satu gig terbesar kami dan walau semuanya tak berjalan sesuai rencana tapi performance tadi bisa dibilang bagus. Apa yang salah? Semua, mulai dari strap gitarku yang putus, sound monitor di depanku yang mati selama setengah durasi perform tadi membuatku tak bisa mendengar permainan teman-temanku dengan baik, kru yang seenaknya mengubah aturan EQ di amplifier Galang, dan terakhir konektor XLR keyboardku tidak dipasang ke amplifier sehingga Galang harus mengulur waktu dengan memainkan solo gitar sementara aku check sound di keyboard. Aku bermain 2 instrumen di gig ini, gitar dan keyboard, sebenarnya harusnya 3 bersama dengan harmonika yang sudah kusiapkan, tapi list lagu berubah di menit-menit terakhir dan terpaksa harmonika ini tetap tersimpan di dalam kantong.

“Gila audiencenya, gak nyangka gue.” Galang membuka pembicaraan, kami kini sudah duduk melingkar di backstage, di kursi lipat besi yang biasa kalian lihat dipakai di acara gulat yang namanya mirip dengan singkatan World Wide Fund for Nature.

“Namanya juga bar rock, pasti antusias lah.” Aku membalas, meminum air mineral gelasan sambil mengelap mukaku dengan handuk.

“Tapi gak pernah sampe segini Jer.” Indra berbicara, napasnya masih ngos-ngosan, dari kami semua dia yang paling bermandikan keringat.

“Itu lu doang yang freak gila, drum lagi break bukannya istirahat malah lari muter-muter.” Kami tertawa mengingat kelakuan Indra tadi yang entah karena terbawa suasana atau memang otaknya yang agak miring.

“Lu gak oleng Jer? Tadi banyak banget.” Yang dimaksud Mario adalah tadi selama perform aku terpaksa harus meminum bergelas-gelas bir untuk membasahi kerongkonganku yang kering karena bernyanyi. Kenapa tidak air? Karena aku lupa membawa air sendiri dan kru-kru sialan itu malah membawakanku bir ketika aku meminta minum. Cuma bir sih, tapi tetap saja aku minum sekitar satu setengah lusin gelas.

“Gak, paling abis ini pusing doang. Lu yang nyetir ya Yo.” Aku melepas kaos Pink Floyd The Dark Side of the Moon-ku yang basah dan menggantinya dengan sebuah kaos abu-abu polos yang kubawa di dalam tasku dan berjalan keluar menghampiri adikku dan teman-temannya itu.

Aya’s POV

Tepuk tanganku serasa tak bisa berhenti, sorakan dan teriakanku tak hentinya meneriakkan dukungan untuk kak Jerry di atas panggung. Suara kak Jerry merdu, halus, namun tetap sangat kuat dan bertenaga, memaksaku untuk terus memerhatikan dia dan berbagai tingkahnya di atas panggung, mulai dari jingkrak-jingkrak, berinteraksi dengan teman bandnya, sampai mengajak penonton untuk ikut bernyanyi dan menari. Kedua temanku ini juga sepertinya berpikiran sama denganku, perhatian mereka tertuju pada kak Jerry. Jika dipikir-pikir, mungkin ini yang dirasakan fans ketika menonton kami perform sebagai idol. Lagu terakhir yang kak Jerry bawakan adalah ‘Under Pressure’ dari Queen dan David Bowie, kak Jerry sering menceritakan tentang lagu ini, tentang Queen, tentang Freddie Mercury, dan banyak lagi. Begitulah kak Jerry yang kukenal, selalu ingin berbagi tentang musik dan hal-hal lain yang menarik baginya, tak jarang aku mendengarkan ocehan kak Jerry selama berjam-jam sambil memandanginya terpana. Aku berdiri dan kembali bertepuk tangan melihat kak Jerry mengucapkan salam penutup performnya, bahkan dari jauh pun aku bisa merasakan betapa bahagianya kak Jerry saat ini, senyumku tak bisa kuhapus melihat dia sesenang itu.

“Emang deh, kak Jer idaman banget!” Eli tiba-tiba berbicara di tengah-tengah bisingnya tepuk tangan ini.

“Iya ya, terus bisa beda gitu, kalo gak di panggung mah kalem-kalem gitu gak siih?” Jinan menambahkan.

Kami baru saja duduk ketika seorang pria berjalan menghampiri, dari langkahnya yang tergontai bisa terlihat pria ini sudah lumayan mabuk, ia kemudian duduk di kursi kosong di meja kami yang kusisakan untuk kak Jerry.

“Halo kalian! Duduk disini boleh kan?” Aku, Jinan, dan Eli saling melirik.

“Eee-… maaf… kursinya ada yang nempatin.” Aku menjawab, memberikan senyum canggung kepadanya.

“Tapi ini lagi kosong.” Pria itu meneguk bir dari botol yang dibawanya. “Kasian juga kalian gak ada yang jagain kan hahaha.” Tawanya keras, bau alkohol bercampur bau mulutnya sampai ke hidungku.

“Kita pindah aja deh Ya.” Jinan berdiri dari kursinya.

“Hey hey mau kemana?” Pria mabuk itu menarik tangan Jinan kuat-kuat, Jinan tersandung dan terjatuh ke pangkuan pria itu yang langsung disambutnya dengan memeluk Jinan dari belakang. Dari raut wajahnya Jinan sama sekali tak nyaman dan takut.

“Nah gini dong, nama kamu siapa?” Jinan tak menjawab, wajahnya kini dibelai-belai tangan pria itu, tubuhnya tegang dan kaku, Jinan berusaha untuk menghindar dan menghalangi tangan si pria mabuk.

“Eh kak Jinan! Woi!” Eli berusaha menarik tangan pria itu tapi kekuatannya tak seberapa.

“Ooh Jinan ya? Jinan cantik deh.” Jinan semakin risih, kini perutnya dielus-elus, pria itu berbicara langsung di samping telinga Jinan.

“Mas, tolong yang sopan ya!” Aku berdiri, namun ada dua tangan di pundakku yang memaksaku untuk duduk kembali, aku menoleh.

Jerry’s POV

“Ini siapa Ya?” Aku menahan adikku untuk berdiri, tatapan dinginku tidak berpaling dari seorang pria mabuk yang memangku Jinan.

“Kak-…” Semua orang di meja ini menoleh, termasuk si pria mabuk itu.

“Wah ini nih si abang rocker, keren banget lu bang!” Ia melepaskan Jinan lalu berdiri, tangannya mengangkat, sepertinya berusaha untuk menyalamiku.

“Lu mending pergi, gak usah gangguin mereka lagi.” Aku tak menyambut tangannya yang mengambang di depanku dan akhirnya ia menurunkannya setelah beberapa detik.

“Waduh maaf bang, gue gak tau kalo mereka groupie-groupie lu hahaha. Have fun sama mereka ya.” Pria itu berbalik dan berjalan menjauhi kami. Aku masih tak percaya, adikku dan teman-temannya tak saja dilecehkan tapi juga dihina oleh pria ini.

“Woi tunggu! Minta maaf gak?!” Aku menarik kerah baju si pemabuk dari belakang, ia tercekik.

Prang!

Botol bir yang dibawanya terlepas dan jatuh. Ia berbalik, wajahnya merah padam mabuk bercampur geram. Ia marah, entah karena kucekik atau birnya terjatuh. Aktivitas orang-orang di bar itu terhenti dan memandangku.

“Elah bang groupie doang lu masalahin, kek gak ada perek lain aja.” Ia kemudian meludahi lantai ke arah Aya, lalu memandangi adikku dan teman-temannya itu.

“Sini laki lawan laki, jangan beraninya sama perempuan lu!” Aku kembali menarik kerah bajunya, kini dari depan, kuangkat wajahnya mendekat ke wajahku.

“WOI JER KENAPA LU?!” Dari belakang si pria mabuk itu kulihat Indra, Mario, dan Galang berlari menghampiriku, baru saja aku hendak menoleh tiba-tiba pemabuk ini menerjangku, tangan kanannya terkepal mengarah ke wajahku.

Bugg!

Pukulannya mendarat telak di pipiku, kini tangan kirinya menyusul, aku menghindar dan menyandung kedua kakinya.

Brak! Prang!

Ia terjatuh tepat di atas meja tempat Aya, Jinan, dan Eli duduk, membuat gelas-gelas dan asbak di atasnya terjatuh dan pecah. Ketiga gadis itu untungnya tak terkena apapun dan langsung berdiri dan menghindar.

“Jer! Udah woi stop!” Teman-temanku segera menahanku, aku hanya menatap lawanku yang kini terbaring tak sadar di samping meja yang kini juga sudah terbalik.

“Kak! Udah kak udah huhuuu!” Aya memelukku sambil menangis. Aku memeluknya.

Akhirnya petugas keamanan bar datang dan Mario menjelaskan semuanya pada mereka. Aku diperingatkan untuk tidak membuat keributan lagi di bar ini, dan mereka membiarkanku pergi. Aku tak tau nasib si pemabuk itu, yang penting aku sudah puas bisa membalasnya walau dengan memar besar di pipi kiriku. Aya, Jinan, dan Eli sudah kutenangkan, walau tak seberapa aku senang bisa melindungi gadis-gadis ini. Mario, Indra, dan Galang tak jadi mengantarku, aku malah ikut Aya memesan taksi online. Eli dan Jinan memutuskan untuk menginap di rumahku karena malam sudah larut.

“Kak Jer pernah belajar karate ya?” Eli menoleh dari kursi depan mobil taksi online ini.

“Dia gak bisa ngomong Li, bengkaknya kegedean.” Jinan menertawakanku yang duduk di antara Aya dan dia.

“Udah dibelain masih dibecandain ya.” Aku menatap Jinan, tawanya langsung berhenti.

“Iya-iya. Makasih loh kak, makasih banget.” Kepala Jinan bersandar di pundak kananku sementara Aya sudah terlelap sedari tadi di pundak kiriku.

“Kok enak sih, tau gini aku yang duduk belakang.” Eli masih menoleh, bibirnya termanyun.

“Biar apa?” Aya memelukku, lenganku merangkulnya di pinggang.

“Biar aku nyender di kakak lah!” Eli berbalik dan kembali menatap jalan.

“Nanti ya pindah duduk deh.” Aku melirik Jinan, ternyata dari tadi ia diam memerhatikanku.

“Serius kak?” Eli kembali menoleh.

“Iya, pindah jadi kakak yang di depan.” Eli hanya menatapku jengkel sementara aku dan Jinan tertawa-tawa.

Kepalaku mulai terasa sakit karena alkohol dan nyeri dari pukulan. Mobil ini berhenti tepat di depan rumah, aku membayar dan langsung turun bersama ketiga ‘adik’ kesayanganku ini. Ayah ibu sudah tertidur sehingga aku harus membuka pintu rumah menggunakan kunci milikku sendiri, langkah kami lesu memasuki rumah, mereka ngantuk sedangkan aku sedikit mabuk dan lelah sehabis perform. Kuputuskan untuk mandi, badanku lengket dan bau karena berkeringat dua jam. Di tengah mandi kudengar ada yang mengetuk pintu, aku mengecilkan suara shower.

Tok tok!

“Tunggu bentar!” Aku melanjutkan mandi air hangatku, shower kukeraskan kembali, lalu kudengar pintu kembali diketuk.

Tok tok tok!

Kumatikan kucuran air shower dan membuka pintu sedikit, memastikan tubuh telanjangku tidak bisa terlihat dari luar. Eli berdiri tepat di depan pintu, tangannya kini mengepal di depan wajahku.

“E-eh hampir aja mukanya aku ketok kak Jer mah.” Eli cekikikan, ia terkejut aku membuka pintu.

“Kenapa Li?” Aku mengusap wajahku yang basah.

“Mau mandi kak.”

“Ya tunggu.” Aku hendak menutup pintu tapi Eli menahannya.

“Bareng gitu kak maksudnya.”

“Li…” Aku lelah dan tubuhku butuh istirahat, tapi membayangkan aku berbagi shower dengan Eli saja membuat penisku sedikit menegang.

“Pliiiis, masa tega sih aku udah mohon-mohon gini.”

“Lii…”

“Yaudah, tapi masa nolak sih kak?” Eli melepas tangannya dari pintu kemudian menarik kedua tali daster yang dikenakannya itu ke bawah hingga daster Eli terjatuh ke lantai, menyisakan celana dalam warna pink yang dipakainya. Eli tak mengenakan bra, payudara mungilnya yang menggemaskan itu terpampang jelas, puting coklatnya terlihat sudah keras, aku rasakan penisku semakin menegang. Eli tersenyum lebar dan langsung masuk ke dalam kamar mandi, aku pun tak menghalanginya lagi, pintu kamar mandi kututup dan kukunci kembali.

“Gak bawa dildo lagi?” Eli mengangguk, lengannya dilingkarkan di leherku, kakinya menjinjit.

“Sengaja, enakan sama kak Jer sayang.” Eli menerkam bibirku, kusambut dengan mengulum dan mengisap bibirnya yang seksi itu.

“Clp… clp… mmmhh…” Eli tak membuang waktu, kini lidahnya bermain mencari lidahku.

“Clp… mmmphh…”

“Ahhh kak…” Aku meninggalkan bibir Eli dan mulai menjilati lehernya, lalu turun ke payudaranya yang kupandangi dari tadi. Kuemut dan isap puting kiri Eli, lidahku menjilat ujung putingnya dari dalam mulut sementara tanganku memilin-milin puting kanannya.

“Nggh… Ohhh…” Eli memegangi kepalaku, kuisap kembali putingnya lalu kutarik pelan dengan mulutku, aku melanjutkan berjalan ke bawah, kuciumi perut Eli. Aku kini berlutut, celana dalam Eli kupeloroti dan kulempar ke wastafel. Di depan mataku terlihat jelas vagina Eli yang berkali-kali sudah menjepit penisku.

“Ahhh kak… enahhh…” Eli kembali memegangi kepalaku saat aku menjilati bibir vaginanya pelan, perlahan kutekan lidahku masuk menyelip, aku menjilat dari atas ke bawah.

“Mmmmhh… oooh…” Jilatanku semakin lebar, kusentuh-sentuh klitoris Eli di tiap akhir jilatanku. Lidahku kemudian fokus di klitorisnya, kujilat memutar memainkan klitoris Eli yang agak dalam bersembunyi di balik bibir vaginanya sementara tanganku memutar keran shower agar nyala kembali lalu memegangi pinggul Eli.

“Ooooh… kak… kaka-… mmmhh kak Jeeeer!” Eli mencengkeram kepalaku, tangan satunya memegangi tembok, Eli orgasme. Aku berdiri dan membiarkan Eli menikmati orgasme pertamanya itu, tubuhnya gemetar sambil memelukku di bawah guyuran air shower ini.

“Fuck… ngggh enak kak… ssshh… kasarin aku lagihhh!” Eli berbisik di telingaku, pelukannya belum lepas namun satu tangannya sudah mengocok penisku. Kuangkat tubuh Eli dan kududukkan di wastafel, pahanya kubuka lebar. Aku sudah tak bisa menunda, langsung saja penisku kumasukkan ke dalam vaginanya yang sudah becek itu.

“Ahhh… ahhh… ahhh…” Eli mendesah keras, suara air shower menyamarkan suara permainan kami. Kupegangi pinggul Eli selagi aku menggerakkan pinggul menghujam vagina Eli dengan penisku cepat-cepat.

Plok plok plok plok!

“Ahhh… nggh… ahhh… terusshh…”

Plok plok plok plok plok!

“Dikit lagihhh… mmmhh… ahhh… ahh… kak Jer…”

“Mmmhh… apa Li? Enak? Hah?”

“Iyaaaahhhh… kakak… ahhh…” Tangan Eli memegang pundakku, ia terus memandangku, wajahnya memerah, ekspresi sangenya ini membuatku semakin semangat. Kucabut penisku sesaat setelah aku merasakan jepitan dari vagina Eli, benar saja, Eli orgasme yang kedua kali.

“Ngggh… aaaaaahhhh!” Orgasmenya kali ini lebih hebat, aku kembali dipeluknya sementara tubuhnya menekuk merespon kenikmatan seksual ini.

Aku menggendong Eli ke dalam shower lagi, guyuran air shower membuatku kembali segar setelah tadi agak berkeringat. Kuberdirikan Eli dan kusuruh berputar memunggungiku, dia tau maksudku dan langsung menungging, tangannya bertumpu di tembok, Eli menoleh ke belakang melihatku yang sedang memposisikan diri, kuangkat pinggul Eli hingga ia berjinjit, lalu kutekuk lututku sedikit, penisku kumasukkan lagi, kini aku menghajar vagina Eli lebih dalam dan lebih cepat lagi. Pantat Eli dan pahaku mengeluarkan suara yang berirama mengikuti tempo permainanku. Aku pun tak tau apakah suara kami masih bisa ditutupi bunyi shower, aku tenggelam dalam kenikmatan vagina Eli yang sempit.

Plok plok plok plok plok plok plok!

“Ahh… ahh… ahh… ahh… ahhhh… ahhh…” Eli tetap menoleh ke arahku, tangan kirinya kini memainkan klitorisnya.

“Oooh… Li… mmmhh… enak banget Li ahhh…” Tangan kananku meraih payudara Eli, kuremas-remas payudaranya yang mungil itu, sesekali memainkan putingnya. “Ahhh… ini harusnya lebih gede lagi…”

“Kaaak… uhhh… aku gak tahan… mmmhh…”

“Yaudahhh… ssshh… bareng…”

“Iniii… kelua-… aaahhhh!” Aku melepas penisku dan genggaman tanganku dari pinggul Eli, kemudian ia terjatuh berlutut. Eli berputar berlutut menghadapku, wajahnya kini tepat di depan penisku. Matanya menatap mataku, mulutnya terbuka, lidah Eli menjulur keluar, ujung penisku sesekali dijilatnya selagi ia mengocok penisku.

“Nggghh Li… mmmhh… ahhhh!” Penisku menembakkan sperma kental ke wajah Eli, beberapa ia tujukan ke dalam mulut dan lidahnya. Eli tersenyum senang melihatku ejakulasi.

Crot crot crot crot crot!

“Banyak banget kak, belepotan gini muka aku… heh… heh…”

“Heh… heh… enak sih Li.” Eli tersenyum lebar, lalu menjilati penisku membersihkan sisa-sisa sperma.

Aku dan Eli kemudian membersihkan diri dan kali ini benar-benar hanya mandi, kami saling menyabuni. Kami kembali ke kamar masing-masing, di kamarku kutemukan Aya sudah tertidur di kasurku, aku putuskan untuk memakai baju sebelum membangunkannya.

“Ya?” Aku menepuk pundaknya pelan.

“Nggghh… kak?” Aya terbangun, ia menatapku, matanya baru terbuka sedikit.

“Ngapain tidur sini?”

“Aku pengen kaya dulu.”

“Malem ini aja ya.” Aya hanya mengangguk sambil tersenyum, aku naik ke kasurku dan berbaring di sebelah Aya. Aya berputar menghadapku, senyumnya tidak pergi sejak tadi. Aku membalas senyum Aya lalu mulai menepuk pinggangnya, ia perlahan menutup mata, dan sambil tersenyum mulai melayang ke alam mimpi sementara aku menyanyikan lagu tidur padanya. Ini kami lakukan setiap malam dahulu di waktu yang tak serumit saat ini, di waktu hanya ada kami berdua sebagai adik dan kakak yang saling menyayangi.

“Nighty night, my little angel” ~

“Nighty night, my little queen” ~

“The night is long and dark” ~

“But I’ll be here beside you” ~

“Until the dawn come with its warmth” ~
 
udah aku marahin kak jinan, nyesel katanya:jimat:

nyesel gak maksa jerry?

ini jerry ngajak kenalan doang loh masa gamau
Mungkin maksud suhu aalifchuu itu Jinan yang masih perawan setelah masuk cerita, karena semua cerita di mana ada Jinan pasti dia di ekse hehe

ini kayanya ya, apakah godaan jinan tidak bisa ditahan?
Kapan lanjut lagi nih hu.... Hehe....
Ijin up hu....
Jangan lupa di lanjut hu...
Jangan kebanyakan cast nanti pusing kyak SSJC 😅

enjoy the update, jangan lupa masukan dan kritik hehehe

SSJC mah yusange aja yang gampang tegang ngeliat member, jadinya cast banyak :pandaketawa:
 
Keliatan nya ini cerita bagus banget deh hu...
Sorry abis baca marathon dari part 1, semangat trus hu 😄
 
Keliatan nya ini cerita bagus banget deh hu...
Sorry abis baca marathon dari part 1, semangat trus hu 😄

siaaap, ramein trit ini terus hu
Nice update hu~

harus nice, kalo tidak nice berarti masih di tahap penulisan

ooh angel tipenya yang nolak-nolak tapi mau kan? bisa-bisa
Kapan nih sama jinan hehehe :o

sesuatu yang indah itu tidak bisa dipaksakan
Wah main pangku jinan aja tuh orang wah wah

mau mangku jinan juga?
Bjirr eli promising juga ya hohoho

promising? berjanji? pake kelingking? kaya lagu ae
Siapa yg tahan kak :(

ehem itu sama nadila bisa nahan kok, alesan aja emg yusange
Dasar payah, dasar lemah..

nah kan diceramahin
Menang banyak helisma hehe

kok helisma yang menang? :(
helisma sangean wq

masih muda, mekinya masih bergejolak
Akhirnya helisma mandi beneran
Taeeeee helisma mandi akhirnyaa

baru inget hahaha, gak mikirin ini selama nulis sumpah
 
siaaap, ramein trit ini terus hu


harus nice, kalo tidak nice berarti masih di tahap penulisan


ooh angel tipenya yang nolak-nolak tapi mau kan? bisa-bisa


sesuatu yang indah itu tidak bisa dipaksakan


mau mangku jinan juga?


promising? berjanji? pake kelingking? kaya lagu ae


ehem itu sama nadila bisa nahan kok, alesan aja emg yusange


nah kan diceramahin


kok helisma yang menang? :(


masih muda, mekinya masih bergejolak



baru inget hahaha, gak mikirin ini selama nulis sumpah
Wah dengan senang hati kalo mangku jinan mah
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd