Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Is This the Love We Created? (PART 22/S1 End)

Status
Please reply by conversation.
“Eee… lagi sakit? Banyak pikiran? Diem mulu.”

“Iya banyak pikiran.” Jawabnya datar, nadanya sedikit ragu. “Mikirin kakak sih.”

“Lah ngapain?” Aku tertawa kecil.

“Aku tau kakak pernah main ‘gitu’ kan.” Kedua tangannya terangkat dan jarinya menirukan tanda kutip.

Aku diam dan meliriknya.

“Aku gak nyangka aja ternyata kalo sama Eli.”
 
“Eee… lagi sakit? Banyak pikiran? Diem mulu.”

“Iya banyak pikiran.” Jawabnya datar, nadanya sedikit ragu. “Mikirin kakak sih.”

“Lah ngapain?” Aku tertawa kecil.

“Aku tau kakak pernah main ‘gitu’ kan.” Kedua tangannya terangkat dan jarinya menirukan tanda kutip.

Aku diam dan meliriknya.

“Aku gak nyangka aja ternyata kalo sama Eli.”
ini dia yang ditunggu2, ayo diupdate huu😁😁😁
 
“Eee… lagi sakit? Banyak pikiran? Diem mulu.”

“Iya banyak pikiran.” Jawabnya datar, nadanya sedikit ragu. “Mikirin kakak sih.”

“Lah ngapain?” Aku tertawa kecil.

“Aku tau kakak pernah main ‘gitu’ kan.” Kedua tangannya terangkat dan jarinya menirukan tanda kutip.

Aku diam dan meliriknya.

“Aku gak nyangka aja ternyata kalo sama Eli.”
Lah ketauan nich?
 
“Eee… lagi sakit? Banyak pikiran? Diem mulu.”

“Iya banyak pikiran.” Jawabnya datar, nadanya sedikit ragu. “Mikirin kakak sih.”

“Lah ngapain?” Aku tertawa kecil.

“Aku tau kakak pernah main ‘gitu’ kan.” Kedua tangannya terangkat dan jarinya menirukan tanda kutip.

Aku diam dan meliriknya.

“Aku gak nyangka aja ternyata kalo sama Eli.”

ketahuan aya ya?
 
PART 12: Too Much Love Will Kill You

“Too much love will kill you” ~

“If you can′t make up your mind” ~

“Torn between the lovers and the love you leave behind” ~

“You headed for disaster ′cause you never read the signs” ~

“Too much love will kill you, everytime” ~

1c1cce1335686098.jpg

“23 Februari.”

“Hah?!”

“Iya. 23 Februari.”

“Bareng sama ulang tahunmu? Tinggal dua bulan ya.”

“Dua bulan lagi untuk menutup tujuh tahun yang panjang ini.” Viny berjalan menghampiriku yang duduk di sofa ruangan apartemennya. “Besok last show Yona, terus kapten bakal balik ke aku, diumumin pas anniv JKT nanti.”

“Buatku terasa cepat.”

“Kenapa?”

Aku tak menjawab Viny.

“Jer.” Viny memanggilku dan menggenggam tanganku, tapi aku tetap memandangi langit mendung kota Jakarta siang ini dari balik jendela apartemen Viny, pikiranku melayang jauh.

“Kalaupun aku udah gak di grup itu lagi, aku masih milik kamu.” Suara Viny lembut mencoba meyakinkanku.

“Lucu ya.” Aku mendengus menahan tawaku. “One day we are strangers, dipertemukan secara tak langsung oleh sebuah idol group, the next day we are lovers.” Aku kembali melamun, mengingat-ingat kejadian aku bisa mengenal Viny seperti ini.

Apakah aku memang cinta padanya?
Benar-benar cinta?
Tidak hanya sebagai seorang idol saja?
Apakah memang benar pandangan pertama itu awal semua ini?
Apakah ini hanya keinginan sesaatku saja sebagai seorang fans?
Apakah ‘I Was Born to Love You’ itu hanya sebuah omong kosong?
Apakah dia memang benar-benar cinta padaku?
Apakah dia mempertanyakan hal ini juga?
Is this the love we created?
Hell, is this even love at all?

Aku tak punya jawaban dari semua pertanyaan ini, yang kutau di dalam diriku ada suatu hal yang terpendam, yang tidak setuju dengan keadaanku yang sekarang.

“Maksudnya?”

Aku menoleh menatap Viny yang duduk di depanku, wajah cantiknya itu tetap menarik mataku memandanginya seakan tak pernah bosan. Aku tersenyum kecil.

“Gak, lupakan. You look really beautiful today.”

“Iya kah?” Viny merapikan rambut sambil tersenyum.

“Iya, I mean it.” Senyumku canggung dan kaku, mungkin bisa dibilang senyum palsu karena kuputuskan untuk tak mengutarakan perasaanku saat ini.

“Thanks Jer.” Viny menyeruput teh tawar hangat dari cangkir di tangannya. “Gimana adek kamu?”

“Kabarnya? Bukannya kamu juga sering ketemu?”

“Aku kan latihan udah jarang, teater juga cuma weekend.”

“Terus gimana apanya?”

“Yaaa… masih clingy gitu gak?” Pandangan mata Viny tertuju pada teh yang sekarang diaduk-aduknya itu, tak lagi memandangku.

“Kamu cemburu? Sama Aya?” Aku menahan tawaku.

“Bukannya cemburu, tapi…”

“Tapi?”

“Aku gak tau, aneh aja Jer.”

“Anehnya dimana? Salah ya aku sayang sama dia?”

“Sayang kalian tuh beda. At least yang aku liat, sayangnya Aya ke kamu beda.”

“Maksudnya?”

“Well, bukannya Aya yang ngaku-ngaku pacar kamu tanpa sepengetahuan kamu?”

Aku terdiam sejenak, berpikir.

“Oke Vin, anggap aku percaya, intinya apa?” Tubuhku condong ke depan, tatapanku tajam menatap Viny.

“Ummm… eee… Jer…” Viny terbata-bata, wajahnya perlahan memerah, matanya enggan membalas tatapanku.

“Aku masih nunggu jawaban.” Jawabku datar.

Viny menarik napas panjang dan menghembuskannya, wajahnya kini serius, tajamnya tatapan mata Viny mengalahkan tatapanku, aku sedikit mundur.

“Aku gak suka. Saudara ya saudara aja, gak usah mesra-mesraan, masa adek sampe naksir kakaknya sendiri, jijik, freak tau gak, bisa-bisa incest kalian berdua…”

“Vin!” Aku menaikkan suaraku, telunjukku terangkat mengarah ke Viny, ia terkejut dan berhenti berbicara. “Tolong… ini gak semestinya dipermasalahin tapi kamu seenteng itu ngehina aku sama Aya.”

“Gak usah ngebantah Jer. Aku belajar banyak di JKT, tapi satu yang bener-bener aku ngerti setelah sekian lama… ngebaca orang, sifatnya, apa yang disembunyiin, bohong atau jujur.”

Tak kusangka Viny masih berani melawanku, giliranku untuk terdiam dan berusaha memproses apa yang dimaksud Viny, entah ia serius atau hanya gertak sambal belaka.

“Kalo kamu bener-bener kenal aku… udah banyak yang diambil dari hidup aku, dan aku gak akan biarin siapapun ngambil walau cuma setitik lagi, termasuk Aya ngambil kamu.” Tangan Viny menghentak-hentakkan meja di depannya, air mata Viny mulai mengalir.

“Vin…” Aku berdiri dan pindah duduk di sebelah Viny yang langsung memelukku, tangisnya pecah.

“Ma-maaf… hiks… maafin aku Jer…”

“Cukup Vin, udah…” Aku mengelus-elus punggung Viny, air matanya membasahi pundakku.

Viny tak henti-hentinya menangis, air matanya semakin deras mengalir. Kugendong Viny menuju kamar dan membaringkannya, pelukan Viny tak lepas dariku. Tak lama Viny tertidur sambil sesekali masih sesenggukan, sepertinya kelelahan menangis sementara aku terbaring diam di sebelahnya kebingungan memandangi wanita yang kuidolakan sekian lama ini, 10 menit aku melamun memikirkan apa yang baru saja terjadi sebelum akhirnya kantuk melanda diriku dan aku tertidur juga.

Tik…

Tok…

Tik…

Tok…

Tik…

Tok…


Kesadaranku perlahan kembali, sunyi, hanya terdengar suara detak jam dinding di seisi ruangan ini. Kubuka mataku dan disitulah Viny, memandangiku sama seperti saat pertama kali aku terbangun dari kasur ini, senyumnya perlahan merekah melihatku membuka mata.

“Jer…”

“Vin…”

Viny mengecup bibirku pelan.

“Sorry… aku gak seharusnya ngomong kaya tadi, aku gak bisa ngendaliin emosi.” Air mata Viny kembali menetes.

“Udah gapapa Vin…” Aku menyeka air mata dari pipinya dengan jariku.

“Aku gak tau kenapa aku bisa gini, aku kaya kehilangan jati diri Jer.”

“Viny kan kuat, ambisius, idealis, ujian terberat kamu udah lewat.” Viny sedikit tersenyum mendengarku.

“Everyone has their own insecurities, termasuk aku.”

“Ada masalah apa? Jangan dipendem Vin.”

“Aku kira dengan ngumumin grad bakal ngurangin beban aku.”

“Emang ngga?”

“Aku ngerasa makin banyak beban Jer, sedih, hilang arah, gak tau mau ngapain, pikiranku kosong.” Viny mulai menangis lagi, bicaranya mulai sedikit tak jelas.

Aku memeluk Viny, tubuhnya yang tegang perlahan melemas tenang menerima pelukanku, sesenggukannya berhenti.

“Apa sih yang beda dari kamu?” Viny bertanya dalam pelukku.

“Hah? Apanya?”

“Iya, secepat ini hanya dengan meluk kamu udah bisa bikin aku tenang.”

Pikiranku semakin kacau, semakin buram, aku semakin tak tau apa yang harus aku percaya. Nyamannya pelukan dan kehadiran Viny membuatku melupakan hampanya hatiku saat ini, ketidakyakinan yang sedari tadi kupertanyakan perlahan hilang. Alih-alih merasa lega, nyaman ini membuatku sesak, ada satu bagian di dalam hatiku yang masih saja tidak setuju.

Dari pelukan itu Viny mulai mengecupi leherku, sesekali menjilatnya lalu naik dan mencium bibirku.

“Mmph… clp… Vin…”

“Hmm?”

“Aku harus pulang.” Aku melepas ciuman dan pelukan Viny yang kini cemberut memandangiku.

“Udah gak cocok ngambekan gitu Vin, ketuaan hahaha…” Aku tertawa, ekspresi Viny berubah menjadi senyum, pipinya menggembung berusaha menahan tawa.

“Yaudah aku balik dulu ya, love you.” Aku mengecup bibir Viny sekali lagi lalu berdiri dan berjalan keluar apartemen ini meninggalkannya.

“Love you too Jer.” Viny memandangiku pergi sambil terduduk di kasur.

Pintu kamar apartemen Viny kututup, tapi jalanku masih panjang menyusuri lorong lantai ini ke elevator lalu turun ke lantai dasar dan keluar ke parkiran. Langit sudah gelap, saat aku mengecek jam tanganku pun ternyata sudah sekitar pukul 10 malam, lama juga aku tertidur pikirku. Segera saja aku berjalan menuju mobil dan masuk kemudian mengemudikannya ke rumahku. Aku terkena lampu merah di salah satu persimpangan ibukota yang menurutku durasi lampu merahnya sungguh sangat tak manusiawi bahkan saat jam-jam yang sudah lumayan malam seperti ini pun, mengetahui bahwa aku akan berdiam untuk beberapa menit di sini kusempatkan untuk mengecek hapeku, ada sebuah pesan dari Viny yang langsung kubuka.

Viny
* Viny sent a photo.
buat nemenin km malem ini xoxo


Penisku seketika berdiri tegak, Viny mengirimkan mirror selfie dirinya yang hanya mengenakan celana dalam merah muda, sebagian besar wajahnya tertutupi hape tapi dapat kulihat Viny menggigit bibir, lain cerita dengan dadanya yang terlihat jelas dengan puting mengacung keras seakan mengundangku untuk menjilatnya. Tatapanku terpaku pada layar hape, sesaknya celanaku tak tertahankan lagi. Aku kembali melihat ke depan, timer lampu lalu lintas sebentar lagi berakhir tanda lampu hijau sebentar lagi akan menyala. Kulempar hapeku ke kursi di sampingku dan bersiap untuk kembali menyetir walau agak tak nyaman karena penis tegangku mengganggu. Sepanjang perjalanan aku kembali memikirkan apa yang seharusnya kulakukan pada perasaanku yang tidak menentu kepada Viny ini.

“Lah panjang umur nih.” Suara Aya langsung terdengar jelas sesaat setelah aku membuka pintu depan, seisi rumah kini menoleh padaku.

“Ada apaan?” Aku berjalan menghampiri ayah dan ibu yang duduk di sofa dan menyalami mereka, Aya sedang tengkurap di depan TV sambil mengerjakan tugas, biasanya jam segini ia sudah berganti ke baju tidur, bahkan mungkin juga sudah tertidur.

“Kakak! Kebiasaan masuk rumah gak salam dulu, coba contoh adek tuh.” Larut malam seperti ini ibu masih sempat mengomeliku, memang salah sih.

“Iya-iya bu maaf, tumben belum pada istirahat.” Aku duduk di bawah di samping Aya.

“Tadi habis nonton adek di TV, terus yaudah nunggu adek pulang sekalian.” Kata ibu menjelaskan dengan semangat.

“Emang masuk TV Ya? Hebat banget.” Aku menyenggol bahu Aya, nadaku menyindir.

“Iya lah hebat aku nyanyi joget-joget masuk TV, gak kaya kakak wleee.” Aya membalas sindiranku, membuatku diam.

“Bener tuh adek aja bisa, padahal sama-sama nyanyi ya kan dek ya.” Ibu kini bergabung mengejekku, Aya mengangguk menyetujui.

“Yeee tau gini gak pulang.” Aku berdiri seraya melepas jaketku dan menggantungnya di sandaran kursi meja makan.

“Ayah sih percaya sama kakak, rocker tuh emang underground tapi sekalinya pecah pasti langsung naik.” Ayah kini ikut menimpali pembicaraan membelaku, tak heran, pengaruh musikku sedikit banyak kudapatkan darinya mulai dari Bon Jovi, Guns n′ Roses, AC/DC, hingga Pink Floyd.

“Ayah ngedukung dia ngeband mulu, kuliahnya gak kelar-kelar itu.” Ibu kembali menambahkan.

“Tuh kan ibu kok malah nyenggol kuliah sih sekarang?” Aku kembali duduk di sebelah Aya.

“Cepet kelarin Jer, gak capek apa ngampus terus?” Ayah kini memihak ibu.

“Capek sih, tapi mau gimana Yah, emang ada yang belum kelar gitu lah.”

Ayahku beranjak dari sofa dan mengambil air minum sementara ibu sedang asik mengganti-ganti saluran di TV. Aku memutuskan untuk membantu menyarankan diksi untuk tugas laporan Aya. Ayah kembali duduk di sofa membawa segelas air putih yang langsung ditaruhnnya di meja.

“Oiya Jer, minggu depan kan adek ke Surabaya tuh, kamu ikut ya, itung-itung jagain Aya juga.” Kata-kata Ayah membuat aku dan Aya menoleh bersamaan ke arahnya.

“Emang rencananya mau pergi sih sama temen-temen.” Aku menjawab.

“Gak usah, nanti Ayah sama Ibu mintain manajemen deh biar berangkat sama hotelnya bareng sama adek.”

“YEEEAAAAY!” Aya berteriak kegirangan berlari memeluk ayah dan ibu.

“Emang bisa Yah?” Tanyaku di sela-sela teriakan Aya yang memekikkan telinga.

“Bisaa tenang aja…” Ayah mengibaskan tangannya ke depan seperti menandakan padaku untuk tak usah memikirkan itu, aku diam mengangguk.

“Eh adek cepetan itu tugasnya dikerjain terus langsung tidur.” Ibu berusaha melepaskan diri dari pelukan Aya.

Setelah beberapa hari kontak dengan manajemen akhirnya aku diperbolehkan ikut bersama mereka ke Surabaya di flight dan hotel yang sama, aku tetap harus membayar tiket dan hotel sendiri dan tidak ada akses ke backstage atau gratis nonton konser atau ikut dengan transportasi mereka selama di sana. Tak apa lah, setidaknya aku bisa menghindari terjebak di dalam gerbong kereta selama setengah hari dan kaki pegal-pegal duduk di seat ekonomi, untung saja tiket kereta belum kupesan duluan.

Hari jumat tiba dan seperti biasa aku tetap menghadiri kelas pagi di kampus, kali ini berangkat bersama Jinan karena malamnya ia menginap di rumah. Kelas selesai dan Jinan memintaku mengantarnya pulang. Anehnya beberapa hari ini Jinan canggung padaku dan lebih banyak diam.

“Nan?” Aku mencoba memecah kesunyian di dalam mobil ini.

“Eh… iya kenapa kak?” Jinan menoleh.

“Eee… lagi sakit? Banyak pikiran? Diem mulu.”

“Iya banyak pikiran.” Jawabnya datar, nadanya sedikit ragu. “Mikirin kakak sih.”

“Lah ngapain?” Aku tertawa kecil.

“Aku tau kakak pernah main ‘gitu’ kan.” Kedua tangannya terangkat dan jarinya menirukan tanda kutip.

Aku diam dan meliriknya.

“Aku gak nyangka aja kalo ternyata sama Eli.”

“Nan?”

“Aku gapapa sih kak, cuma bener-bener gak nyangka aja.”

“Kok… b-bisa tau?” Aku menahan ekspresi terkejutku, namun tak dapat dibantah detak jantungku meningkat, tubuhku mulai gemetaran mengetahui rahasiaku bersama Eli perlahan terbongkar.

“Ada yang ninggalin daster depan pintu kamar mandi hehehe… terus aku nguping deh.” Jinan tampak lebih ceria daripada awal percakapan ini bermula.

“K-kamu… ee… gak ngasitau siapa-siapa kan?”

“Aku gak cepu kok kak, tapi hati-hati aja, mau kakak atau Eli gak bakal bisa nutupin ini selamanya, apalagi ke Aya.”

Aku sedikit lega dan menghela napas, tapi aku ragu apakah aku bisa percaya pada Jinan.

“Aya?”

“Aya tuh care banget sama Eli, sayang banget, kalo ke kakak sih… mmm… aku cuma bisa ngasitau… jangan kasih alasan buat Aya ngebenci kakak, karena aku saksinya di dunia ini gak ada yang lebih sayang sama kakak dibanding Aya… bayangin aja perasaan Aya kalo adik kesayangan dan kakak kesayangannya ternyata…” Jinan tak melanjutkan.

Aku menghentikan mobilku di depan rumah Jinan tepat saat ia selesai berbicara, aku menoleh ke arahnya.

“Siapa yang ngajarin kamu jadi bijak gini?” Aku masih memproses kata-kata Jinan di dalam otakku.

“Siapa lagi…” Jinan tersenyum menunjukku. “Aku percaya kak Jerry itu orangnya baik, cuma mungkin lagi tersesat aja sekarang. See you nanti malem ya kak.” Jinan keluar dari mobil meninggalkanu yang masih terdiam. Jinan benar-benar sudah berubah sejak pertama kali aku berkenalan dengannya beberapa tahun yang lalu.

Perjalanan pulang penuh dengan pikiran di otakku, tentang aku dan Viny yang sama-sama kebingungan tentang hubungan kami; tentang Eli, ancamannya, dan apa yang sebenarnya ingin diperoleh Eli dariku; dan tentang Aya, seperti apa perasaannya padaku yang sebenarnya serta bagaimana harusnya aku menyikapi adikku ini. Kata-kata Jinan terngiang di kepalaku, memang harus ada yang kukorbankan, tapi tak bisa kutentukan siapa.

Mario, Galang, dan Indra mengantarku ke bandara malam ini, aku sudah menjelaskan alasanku tak jadi ikut bersama mereka yang memutuskan untuk membawa mobil saja.

“Jadi temen gini amat lu Jer.” Kata Mario tiba-tiba saat menghentikan mobilnya tepat di bagian drop-off keberangkatan.

“Lah apaan?”

“Kalo bakal ketemu member tolong banget nih kita jangan dikasitau atau dilibatin kaya gini.” Wajah Mario kesal.

“Iya juga ya, jadi iri dengki gini gue.” Indra menambahkan.

“Yee terus gue minta tolong siapa lagi.” Aku keluar dari mobil dan menutup pintu lalu berpamitan pada mereka.

“Dah ya, jangan pada kangen lu semua.”

“Bodo Jer bodo.” Balas Indra dari balik jendela mobil yang sudah setengah tertutup. “Oiya salam sama Anin!”

Mobil mereka melaju meninggalkanku sendiri, aku agak sedikit telat dan langsung masuk, mengurus check in dan cepat-cepat mencari gerbang keberangkatan. Benar saja, penerbanganku sudah boarding dan antreanku paling akhir. Kucek lagi boarding passku yang baru saja diperiksa, nomor kursiku agak belakang. Aku berjalan di dalam pesawat melewati beberapa staff manajemen dan member yang sudah mengenalku dan ada yang tidak juga, mereka tidak terlalu menghiraukanku. Viny duduk di kursi jendela sebaris dengan beberapa teman segenerasinya, mata kami bertemu dan ia tersenyum padaku.

“Kak Jer!” Eli setengah berteriak melihatku berjalan melewati nomor kursinya, aku hanya melambaikan tanganku canggung menahan malu.

“Eh ini kakak cakepnya kak Aya.” Entah Chika sengaja melontarkan kalimat itu atau otaknya yang lemot yang melakukannya. Aya dan beberapa orang lainnya menoleh padaku mendengar kata-kata Chika, Aya melambaikan tangannya sambil tersenyum, aku membalas lambaian tangan Aya.

Aku kembali berjalan melewati beberapa baris kursi sebelum menemukan nomor kursiku. Aku melihat sudah ada dua orang wanita di kursi lorong dan kursi jendela, menyisakan kursi tengah untukku, sekilas aku tak mengenali wajah mereka yang tertutupi masker.

“Kakak di sini?” Tanya si gadis yang duduk di kursi lorong.

“Iya nih, permisi ya.” Aku meletakkan ranselku di kompartemen bagasi di atas lalu masuk duduk di kursi tengah, mereka berdua menurunkan masker, wajah mereka kini nampak semua dan aku langsung teringat akan Indra dan Galang.

“Siapa namanya kak?”

“Sok kenal banget lu.” Kata si gadis yang duduk di kursi jendela, aku baru saja teringat akan nama mereka. “Kakak ini pacarnya kak Aya kan kak?” Dia sepertinya salah satu korban kebohongan Aya.

“Eee… bukan-bukan.”

“Tuhkan si kakaknya malu gara-gara lu.”

“Bacot ah orang pengen kenalan doang.”

“Eh jangan berantem dong, gue Jerry.” Aku cekikikan mendengar mereka.

Aku membuka hapeku setelah memakai sabuk pengaman untuk membalas chat-chat sebelum pesawat ini takeoff. Aku membuka grup teman-teman bandku yang namanya diubah karena mereka menyadari aku yang makin dikenal banyak member sejak Aya sendiri juga menjadi seorang member JKT48. Aku tertawa-tawa sendiri karena aku tau aku akan membuat teman-temanku semakin iri padaku karena Indra dan Galang saat ini sedang gencar-gencarnya menonton Pajama Drive anak akademi, alasan mereka adalah kedua gadis di sampingku ini.

MINTA JAPRI KE JERRY!
Indra

atiati jer, inget titipan gw ya hehehe
Galang
sigblk sempet bgt lu nitap nitip
Jerry
lah lu jg gblk semobil masi balesan chat
Indra
gmn jer? udah blm?
Jerry
belom gw ga ketemu
tapi coba tebak gw diapit siapa
Indra
aya? siapadah


Aku membuka kamera dan dengan sigap mengambil foto kedua gadis ini diam-diam.

Jerry
* Jerry sent a photo.
* Jerry sent a photo.
Indra
AJG WOI!1!!!
Galang
bgsd lah jer
kalah sm yg gapernah pajamaan bgsd


Kubiarkan mereka ribut di grup dan kuhidupkan mode pesawat hapeku.

“Eh kak, tanya boleh gak?”

“Boleh, tanya apa?”

“Kakak pacaran sama member gitu emang boleh ya?”

“Lah, yang member siapa? Harusnya lu yang lebih tau lah.”

“Ih kan kakak juga pacar member.”

“Sekali lagi gue bilang gue bukan pacar siapa-siapa.”

“Iiih parah kak Aya gak diakuin.”

“Aya buka-…” Kata-kataku terpotong oleh mbak-mbak pramugari yang menegur dan menyuruh kami memerhatikan peragaan prosedur keselematan.

Pesawat pun takeoff, lampu kabin dimatikan dan tak butuh waktu lama bagiku untuk tidur, selain karena memang sudah lelah, tidur adalah salah satu cara bagiku untuk menghindari mual dan muntah. Aku terbangun di tengah-tengah penerbangan, terasa beban di bahu kananku dan benar saja, si gadis kursi jendela tidur sambil bersandar padaku, aku melirik ke sebelah kiri, si gadis satunya tertidur dengan mulut terbuka, ia nyenyak menggunakan penutup mata dan bantal sandaran di lehernya.

Aku mencoba namun tak bisa kembali tidur, jadinya aku hanya duduk terjaga di dalam kabin pesawat yang gelap ini dengan muka ngantukku. Pikiranku kembali menyelam dalam memikirkan wanita-wanita di hidupku yang belakangan ini membuatku pusing. Aku bahkan tak bisa menjamin pada diriku sendiri bahwa hubungan-hubunganku ini bisa tetap baik-baik saja. Pasti ada yang dikorbankan, itu yang terus terulang-ulang di kepalaku.

Siapa yang harus kukorbankan?

Viny? Meskipun aku bingung terhadap perasaanku pada Viny, tetap saja aku tak bisa melihat dia bersedih kalau kutinggal pergi, apalagi dalam kondisinya yang rapuh seperti sekarang.

Aya? Gak mungkin. Adik sendiri, gak mungkin, gak, gak. G A K. Aku sangat sayang padanya, tak perlu ditanya lagi.

Eli? Ancamannya saja sudah membuatku merinding untuk tidak macam-macam.

Aku harus melakukan sesuatu secepatnya, sebelum semua ini menjadi tidak bisa dikendalikan lagi. Tak ada yang bisa kuputuskan sekarang. Aku tak tau apa yang akan terjadi nantinya, hari esok pun terlihat sangat buram sekarang.
 
maen ngender nyender aje ye pada
kalo Aya ngeliat kan bisa report
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd