Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Is This the Love We Created? (PART 22/S1 End)

Status
Please reply by conversation.
btw update senin ya guys

nih dikit
“Masalah yang sekarang belum cukup ya? Mau nambah lagi?” Jinan menyamai langkahku, ia menengok ke arahku dan melirik ke dua gadis di depan kami itu. “Aku duduknya di belakang kakak loh, denger semua tadi.”

“Ngobrol doang Nan, gak ada pikiran macem-macem.”

“Semoga aja bener ya.”

“Ya bener lah.”

“Kakak yang peka dikit dong, tau kek kalo cewe ngode-ngode naksir tuh kaya gimana.”

“Emang siapa yang naksir?”

“Tuh kan, cakep-cakep gak peka.” Jinan menepuk-nepuk jidatnya.
 
PART 13: Pain Is So Close to Pleasure

5 menit…

10 menit…

15 menit…

fc0c391336454579.jpg


Pesawat ini masih belum juga keluar dari landasan pacu setelah 15 menit mendarat, entah ada masalah apa di luar sana sehingga kami harus menunggu selama ini, orang-orang pun semakin tak sabar, aku bisa merasakan suasana di dalam kabin terisi dengan kebosanan, terlihat dari tingkah orang-orang yang sudah bermain hape sejak tadi dan bolak-balik menengok keluar jendela, kedua teman dudukku ini pun tak beda, mereka sepertinya melampiaskan kebosanan mereka padaku dan kami mengobrol cukup panjang. Oh ya, kedua gadis ini adalah Viona Fadrin dan Amirah Fatin, member akademi kelas A JKT48 yang sedang gencar-gencarnya dilirik oleh Galang dan Indra setiap mereka menonton Pajama Drive. Aku sebelumnya tak pernah melihat mereka secara langsung, ternyata memang Vivi dan Mira terlihat jauh lebih cantik dilihat secara nyata dan sedekat ini.

EO71-Xnt-UYAAv-Fm-T.jpg


ELFqcol-U0-AEI5ff.jpg


“Oooh… kakak fans nih berarti?” Mira mengangguk setelah aku memberikan penjelasan singkat mengapa aku agak mengerti tentang JKT48 setelah mendengarkan perbincangan mereka berdua.

“Eee… iya.”

“Oshinya siapa kak? Jangan-jangan kak Aya ya?”

“Bukan, oshi gue bukan dia haha.” Aku tertawa.

“Ih parah pacar sendiri gak dioshiin.”

“Udah gue bilang-…” Aku mendengus tak melanjutkan kata-kataku, sepertinya akan lebih mudah dan tidak merepotkan untuk tidak meluruskan rumor yang sudah terlanjur menyebar ini.

“Apa kak?”

“Gak, gapapa… ya terserah gue kan mau ngedukung siapa.”

“Bener juga, jadi oshinya siapa?”

“Nanya mulu, tuh liatin pipi lu masih merah.” Vivi ikut masuk ke dalam percakapan.

“Eh iya, kok bisa sih?” Mira membuka kamera selfie hapenya dan memperhatikan pipi kirinya yang agak kemerahan karena tersandar di bahuku cukup lama.

“Yeee… kasitau tuh kak kalo nyender jangan sembarangan.”

“Ahaha… yaudah sih gapapa.” Aku membuka hapeku dan mengecek jam sementara Mira dan Vivi masih saling bertengkar.

“Eh maap banget kak, aku kalo tidur biasa gitu nyari tempat nyender hehehe…”

“Bilang aja modus lu ya, mentang-mentang si kakak cakep, eh-…” Vivi menutup mulutnya dengan tangan.

“Astagaaa bener-bener lu Drun, dilabrak kak Aya mampus kita.”

“Yang nyender-nyender kan lu, hayooo.”

“Sstt diem-diem aja, berisik.”

“Ea ea panik hahaha…”

“Udah gapapa kok, gak sengaja juga kan.” Aku melerai kedua bocah ini yang sepertinya akan segera saling menjambak jika aku tak menghentikannya, mereka berdua terdiam.

“Ohh iya kakak belum jawab tuh yang Mira tanya.”

“Lah lu juga kepo ternyata haha…” Mira tertawa kecil.

“Oshi gue Viny, tuh udah kan.”

“Waduh pacarnya kak Aya oshinya kak Viny, susah Mir susah.” Vivi menggeleng-gelengkan kepalanya pada Mira.

“Susah apanya?” Aku bingung menengok Vivi dan Mira bergantian, mereka saling bertukar lirikan mata menyampaikan pesan tersembunyi yang sepertinya tidak boleh aku ketahui.

“Ehehe lupain kak, becanda doang kok.” Vivi tersenyum lebar memperlihatkan gigi gingsulnya.

Setelah setengah jam menunggu tanpa tau apa yang terjadi, pesawat ini mulai bergerak dan ‘parkir’. Aku berdiri dan mengambil ranselku lalu tas-tas Mira dan Vivi yang masih duduk. Para penumpang berjalan keluar dari pesawat ini secara perlahan menuju jet bridge, aku berjalan di belakang Vivi dan Mira yang bergandengan.

“Kak.” Jinan berjalan menyusulku dari belakang.

“Eh Nan, kenapa?”

“Masalah yang sekarang belum cukup ya? Mau nambah lagi?” Jinan menyamai langkahku, ia menengok ke arahku dan melirik ke dua gadis di depan kami itu. “Aku duduknya di belakang kakak loh, denger semua tadi.”

“Ngobrol doang Nan, gak ada pikiran macem-macem.”

“Semoga aja bener ya.”

“Ya bener lah.”

“Kakak yang peka dikit dong, tau kek kalo cewe ngode-ngode naksir tuh kaya gimana.”

“Emang siapa yang naksir?”

“Tuh kan, cakep-cakep gak peka.” Jinan menepuk-nepuk jidatnya.

Baggage claim airport ini sudah penuh oleh wanita-wanita cantik member JKT48 yang saat ini sudah letih sambil memasang muka capek mereka. Beberapa sedang mengantre toilet, sementara ada yang duduk bengong dengan tatapan kosong saat aku lewat.

“Kak Jer duluan?” Aya menghampiriku.

“Iya, gak bisa ikut bus kalian juga kan.”

“Iya sih, tapi pake apa ke hotel?”

“Paling taksi online atau taksi airport, gampang lah Ya.”

“Nanti aku jemput di kamar kakak ya, kita makan.”

“Iya liat nanti deh.”

“Oke kak, hati-hati ya.” Aya melambaikan tangannya sambil tersenyum kepadaku, aku membalas lambaiannya dan berjalan keluar.

Aku keluar terlebih dahulu daripada mereka, di area tunggu kedatangan terlihat sekumpulan pemuda yang sedang menunggu, ada beberapa yang membawa kamera dan sedang mengambil foto-foto, sementara yang lain sedang menyiapkan sesuatu yang nampaknya adalah sekumpulan banner-banner berbagai fanbase member, memang wota Jawa Timur itu militannya terasa walaupun jauh dari idola mereka. Aku disambut supir taksi airport yang sudah kupesan sebelumnya, seorang bapak-bapak paruh baya dengan perut ‘mancung’, ramah, dan murah senyum, kami berbincang sepanjang perjalanan ke hotel tentang Surabaya, urusanku di sini, bagaimana kedaan Jakarta sekarang, dan banyak lagi. Si bapak menurunkanku di bagian drop-off hotel setelah aku memberinya tip dan aku masuk ke kamarku setelah urusan administrasi selesai. Setelah menyempatkan untuk mandi membersihkan diri lalu bersantai di kamar sambil bermain hape.

MINTA JAPRI KE JERRY!
Galang

jer udh nyampe belom?
si indra titip salam buat mira
Jerry
orgnya udah ilang
Galang
hah ilang gmn?
jgn ngadi ngadi lu
Jerry
gw udah di hotel, mereka belom
lagian blm tentu ketemu lagi
Galang
bangke kirain apaan
btw kita tidur hotel lu yaa
hotelnya dmn?
Jerry
ikut bayar sini
Galang
yaelah sm temen juga
Jerry
enak aja lu


Aku keluar dari ruang chat grup teman-temanku itu dan mengecek chat dari Viny.

Viny
hey, udah sampai hotel?


Aku mengambil foto selfie di kamar lalu mengirimnya ke Viny.

Jerry
* Jerry sent a photo.
cozy gak?
Viny
bgt, badanku pegel pgn rebahan
Jerry
ada yg kurang sih
Viny
apa? complain aja mumpung blm terlalu malem
Jerry
kurang km
Viny
🙃
Jerry
hehehe ini dmn?
Viny
di jalan, gatau daerah mana
* Viny sent a photo.


Viny mengirimkan foto selfie dirinya bersandar di jendela bus menengok ke luar. Wajah capeknya dengan pencahayaan yang seadanya itu pun masih terlihat cantik, aku tersenyum sendiri memandangi foto Viny.

Tok tok tok!

Aku terbangun mendengar bunyi ketukan pintu kamar, tadi memang aku tertidur setelah berbaring cukup lama dan berbalas pesan dengan Viny. Sambil menguap aku berdiri dan berjalan pelan untuk membuka pintu.

“Gak bisa dihubungin, tidur ya?” Tanpa meminta izinku Aya langsung masuk ke kamar dan naik ke kasur, aku mengikutinya masuk setelah menutup pintu.

“Hai-… kok… kok tau kamar kakak?” Aku duduk di samping kasur terheran-heran.

“Tau lah, nanya kamar atas nama Jerome Edra Hamizan ke resepsionis, pinter dikit dong kak.” Kalau dilihat lagi, ini pertama kalinya nama lengkapku disebutkan di cerita ini ya? Ya itu memang nama lengkapku, kenapa sejauh ini baru disebutkan? Karena sebelumnya tak ada alasan bagiku untuk memberitahu ke kalian hahaha, ya sudahlah mungkin dengan ini kalian bisa lebih mengenal aku, tak apa. Asal usul namaku yang kutau itu adalah cerita dari ayah bahwa itu pesan terakhir ibu kandungku sebelum beliau meninggal dunia, ayah dan ibu menghormati beliau dan tak mengganti namaku, juga mungkin sebagai satu-satunya peninggalan dan kenangan yang bisa kubawa sampai saat ini tentang ibuku. Begitulah, nama lengkapku Jerome Edra Hamizan atau yang biasa kalian kenal sebagai Jerry.

“Gak istirahat Ya?”

“Nanti aja kak, anak-anak masih pada main juga kok, ada yang pergi-pergi malah.”

“Ooh yaud-… oiya jadi makan?” Aku bangun dan meraih sebuah kantung plastik di bawah TV.

“Jadiii… tapi makan apa?”

“Duduk di bawah, sini.” Aku menaruh kantung plastik ini sembari duduk di lantai berkarpet kamar ini. Plastik dan kertas bungkusan kubuka menunjukkan nasi dan ayam goreng lalapan pinggir jalan yang aku hampiri tadi saat dalam perjalanan ke hotel.

“AAAA KAKAK PEKA BANGET ASTAGAA!!” Aya berguling-guling kegirangan sambil berteriak lalu meloncat ke depanku lalu duduk, ia menarik salah satu kertas bungkusan yang kubuka tadi mendekatinya.

“Sssst… udah malem Ya.” Aku mulai menyuapi diriku dengan nasi dan potongan ayam sementara Aya masih saja memandangi makanannya terkagum dan tersenyum-senyum.

“Waaah enak ya kak.”

“Udah cepetan makan, malah diliatin doang.”

“Tungguuu… aku tuh masih terpesona, tumben banget kakak sayangku peka gini uuuuuu…” Aya mencubit-cubit pipiku.

“Kan kakak ikut kesini biar ada yang perhatiin kamu.”

“Kan… kan… aku udah kebal sama gombalan kakak.”

Kami makan dengan tenang, sesekali Aya menyuapiku dan sebaliknya. Tak jarang kami saling berbagi cerita dan tertawa bersama-sama, Aya terlihat begitu bahagia dengan sederhananya makanan dan perbincangan ini, aku tak bisa untuk tidak tersenyum melihat adikku sebahagia ini. Kesunyian di sela-sela percakapan kami membuatku berpikir apakah selama ini yang dikatakan orang-orang memang benar? Adikku punya perasaan lebih padaku, otakku tak bisa memproses ini semua, kenapa bisa? Apakah ada yang salah padaku? Apakah ada yang salah pada diri Aya? Bukankah Aya sudah mengaku? Tapi kukira itu hanya ungkapan sayang yang dilebih-lebihkannya padaku. Aku melanjutkan makan dengan pikiran ini masih berputar-putar di kepalaku, aku memandangi Aya yang tersenyum, hatiku menjadi sejuk dan perasaan lega seakan mengguyurku entah darimana. Di tengah kebingungan ini aku teringat Viny lengkap dengan semua kerumitan perasaanku padanya, memusingkan memang, tapi mau tak mau ini lah kenyataan yang harus kuhadapi, cepat atau lambat.

“Oh iya, barang kakak kan masih ada yang di tas aku ya?”

“Iya, gak kamu bawain?”

“Lupa kak, tadi kan rencananya mau pergi cari makan, malah udah dibeliin duluan.”

“Abis ini kakak ikut ke kamar kamu deh ngambil.”

Aku dan Aya menghabiskan porsi makanan kami bersamaan. Setelah beres-beres dan mencuci tangan aku langsung mengikuti Aya menuju kamarnya, dua lantai di bawah lantai kamarku. Aya masuk ke dalam kamarnya, terdengar kamar Aya ramai dengan suara-suara wanita, dari luar sini aku tak dapat mengenali suara-suara itu satu per satu. Aya keluar membawakan sebuah tas plastik hitam, di dalamnya ada peralatan mandi dan jam tangan yang aku minta Aya bawakan. Aku berjalan ke lift dan menekan tombol naik, pintu lift terbuka menunjukkan Vivi yang sedang membopong Mira, aku masuk ke dalam lift itu, tombol lantai kamarku sudah menyala tanda kedua orang ini selantai denganku. Vivi tampak ketakutan sementara Mira sudah kesusahan menjaga kesadarannya, entah ia menyadari ada aku di sini atau tidak. Aku memperhatikan mereka, Vivi membuang muka tak berani menatapku.

“Itu si Mira kenapa?” Tanyaku penasaran.

“Eee-… gapapa kok kak.” Vivi menjawab, tak menoleh padaku sama sekali.

“Sakit? Pusing ya? Vertigo?” Vivi menoleh ke arahku.

“Kak, tolong ya jangan kasitau siapa-siapa, jangan bocorin ke orang-orang.”

“Emang kenapa?”

Pintu lift terbuka di lantai 8, lantai kamarku. Aku membantu membopong Mira kembali ke kamarnya yang ternyata berseberangan dengan kamarku. Vivi melepaskan Mira untuk membuka kunci kamar sementara aku tetap membopongnya. Mira tiba-tiba memelukku, tak tau sadar atau tidak. Lengannya terkalungkan lemah di leherku, kepalanya bersandar di bahuku, bau alkohol pekat mulai bisa kucium, aku pun mengerti.

“Kalian abis kemana?”

“Eh-… itu…” Vivi yang sedari tadi mencari kunci kamarnya tiba-tiba terdiam, seperti tersadar akan sesuatu.

“Kak, numpang kamar kakak boleh gak?”

“Lah kok numpang?” Aku semakin kesulitan menjaga tubuh Mira agar tidak jatuh.

“Heh? Drun kok lu…” Mira menepuk-nepuk pipiku. “Kok lu berubah… jadi kakak cakep yang tadi?” Aku dan Vivi tak menghiraukan Mira.

“Gini… sebenernya gue sama Mira gak sekamar kak terus kamar kita sama-sama lagi rame sama anak-anak, gue takut kalo yang lain tau nanti dilaporin.”

“Makanya pikir panjang kalo ngelakuin apa-apa. Yaudah tunggu.” Aku berbalik badan dan membuka pintu kamar sambil tetap berusaha menjaga Mira tidak oleng dan jatuh. Daun pintu kubuka lebar-lebar dan kugendong Mira masuk agar tak terlalu susah. Mira kujatuhkan ke kasur setelah aku melepaskan pelukannya, kaos yang dikenakan Mira sudah terangkat karena pergulatanku dengan tubuhnya yang tak mau kompromi sampai memperlihatkan payudaranya yang tertutup bra juga perutnya yang mulus dan putih, cepat-cepat aku menutupi tubuhnya dengan selimut sebelum Vivi mengikutiku masuk ke kamar lalu menutup pintu.

“Maaf ya kak ngerepotin, janji ya gak nyebarin ini.” Langkah Vivi berhenti di dekat kasur.

“Ini anak orang minum berapa banyak sampe bisa kaya gini?” Aku duduk di kursi dekat jendela.

“Sedikit kok kak, paling dua kali neguk.” Vivi merogoh ke dalam tote bag yang dibawanya sambil berjalan mendekat ke arahku lalu mengeluarkan sebuah botol yang isinya sudah agak lumayan berkurang.

“Dua teguk darimana? Ini udah lumayan banyak.” Aku mengambil botol itu dari tangan Vivi, Maker’s Mark, merk whiskey bourbon yang tidak begitu umum ditemukan di Indonesia. Tetap saja kandungan alkohol whiskey manapun bisa membuat mabuk orang yang tidak biasa dengan minuman keras.

“Ya dia dua teguk segitu kak.” Vivi masih panik.

“Ngapain sih pake acara minum-minum?” Aku meletakkan botol itu di meja samping kursi.

“Si Mira katanya penasaran, terus nitip sama temennya yang di Surabaya, gue tadi nemenin Mira ngambil terus dia langsung nyoba, pas jalan pulang Mira udah mulai teler gitu.”

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku yang mulai pusing, malam ini ternyata belum selesai juga.

“Yaudah, terus ini gimana? Mira tidur kamar gue?”

“Yaaa-… mau gimana lagi kak, temen kamarnya Mira si Ume udah gue kasitau, anak-anak yang lain yang gue gak percaya.”

“Lu tidur sini juga?”

“Gue tidur kamar sendiri biar orang gak pada makin curiga. Sekali lagi maaf ya kak.”

“Oke kali ini gue bantu. Tapi inget ya, gue gak mungkin selalu ada kalo kalian ada masalah, kalo ada pun belum tentu juga gue bantu, jadi inget baik-baik kalo mau ngelakuin hal bodoh itu dipikir dulu!” Suaraku sedikit naik, membuat Vivi semakin murung tak berani menatapku.

“I-iya… maaf kak.”

“Untung pas lift kebuka ketemunya gue."

Vivi diam, dari sini pun bisa terlihat tangannya gemetaran. Aku menghampirinya dan mengelus kedua pundaknya.

“Udah tenang aja, sama gue aman semuanya.” Pundak Vivi yang terasa tegang mengendur lemas, ia kemudian menghela napas panjang.

“Makasih ya. kak-… Jerry kan?”

“I-iya…”

Aku mengantar Vivi keluar kamar, meninggalkan aku, Mira yang sudah setengah telanjang, dan sebotol bourbon hangat ini di kamar hotel yang dingin.
 
Neguknya pake gelas 350ml kali yak, bukan sloky

Cewek tipsy dan bourbon, naik naik ke puncak gunung
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd