Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Is This the Love We Created? (PART 22/S1 End)

Status
Please reply by conversation.
PART 15: Heartbreaker

“Denger dulu bisa gak?” Tanganku menggenggam erat pergelangan tangan Jinan yang kudorong ke dinding, lengannya terangkat ke atas. Jinan terdiam menatapku, napasnya berat, wajahnya menunjukkan rasa terkejut dan takut.

“Kak!” Jinan berusaha untuk berontak namun cengkeramanku di tangannya terlalu kuat, lalu kakinya ikut meronta-ronta berusaha melepaskan lengannya yang kutahan.

Kuhindari tiap tendangan kaki Jinan yang beberapa kali mengenai paha, betis, dan tulang keringku namun tak ada yang benar-benar membuatku kesakitan.

“Lepasin gak?!” Gerak tubuh Jinan semakin liar agar bisa lepas dariku, ia kini berteriak-teriak.

“Dengerin dulu Nan!” Kutarik ia dan kuhempaskan ke kasur dengan hati-hati supaya tidak melukainya. Tubuh Jinan jatuh ke kasur, bagian depan tubuhnya mendarat lebih dulu menghadap kasur, dengan cepat ia membalikkan badan tapi aku sudah ikut naik ke atas dan menduduki pahanya, tangannya kembali kupegangi erat-erat.

“Plis, tolong dengeri-…”

“Tolong!”

“Tolong!”

Kusambar mulutnya yang tengah berteriak dengan mulutku. Apakah aku sengaja? Ya, untuk membungkam Jinan, bukan untuk menciumnya. Ia berhenti, semua gerak tubuhnya, semua berontakannya yang kucoba tahan tadi berhenti, dari jarak sedekat ini kami saling menatap dengan bibir saling menempel. Matanya menandakan kaget, napasnya memburu berhembus di wajahku. Perlahan Jinan menutup matanya dan menarik napas panjang, mengisyaratkan aku untuk melakukan yang sama, dan kami mulai saling mengulum bibir. Cengkeraman tanganku kuregangkan, jari-jari Jinan kemudian masuk ke sela-sela jariku, kami saling berpegangan tangan.

Beberapa menit mulut kami saling berpagut mesra, bertukar liur, bermain lidah, semuanya terjadi dengan pelan, tak ada kesan terburu-buru, aku dan Jinan sama-sama menikmati tiap sentuhan masing-masing bibir kami. Wangi tubuhnya membuatku lupa segala batasan hubunganku dengannya, campuran aroma tubuh Jinan yang menggoda dan aroma parfumnya yang menusuk hidungku ini membuatku lengah.

“Mmmhh…” Jinan mendengus, setengah mendesah saat aku menyudahi ciuman kami, aku berguling ke samping Jinan dan tiduran di sebelahnya, memandangi sahabat adikku ini dengan penuh rasa penasaran. Kami saling menatap, bergantian menghela napas, diam tanpa sepatah kata yang keluar.

Kontak mata kami terhenti, Jinan sadar dan berdiri, tak seharusnya dia ada di sini, lebih-lebih melakukan hal ini denganku.

“Bodo, bodo, bodo…” Jinan berkali-kali menepuk jidatnya sendiri sambil merapikan atasan rajut dan hotpants jeans yang ia kenakan untuk acara hari ini lalu kemudian berjalan ke arah pintu kamar.

“Kenapa Nan?” Aku berdiri menyusulnya.

“Aku kesini nawarin diri buat bangunin kakak, bukan buat dimesumin.” Ia berbalik menghadapku tepat di depan pintu, tangannya menyilang di dadanya.

“Nawarin diri?”

“Iya, Aya nyuruh Eli bangunin kakak, tapi aku nawarin diri buat gantiin dia.”

“Buat apa?”

“Aku mau cegah kakak ketemu dia, cegah biar keadaannya gak sampe makin ancur lagi… taunya aku malah diapa-apain.” Mata Jinan menghindariku, mata yang semula menatapku tajam.

Aku hanya diam dan berpikir. Kata-kata Jinan bagai pukulan telak. Dia yang tak ada hubungan apa pun denganku, yang hanya sekedar adik tingkat dan sahabat adikku ini bisa sepeduli ini padaku, aku yang bahkan hanya menganggap remeh dan menghindar dari masalah yang menghantuiku selama ini.

“Ma-… maaf.” Aku tertunduk lemas, kalau bisa bercermin pasti wajahku saat ini merah padam menahan malu.

“Aku maafin kalo kakak berubah.”

“Gak tau Nan, gak ngerti, bingung, gimana coba…”

“Jadi jantan lah! Yang tegas! Berhenti mainin perasaan cewe!” Jinan membentakku setengah berteriak. Ia kemudian menghela napas panjang. “Aku bantu selesaiin ini semua, kalo kakak mau usahain juga.”

Kalau tadi aku terpukul, kata-katanya kali ini membuatku terjungkal jatuh ke dalam jurang.

“Oke. Aku kelarin semuanya.”

“Langkah pertama, jujur. Kedua, mau terima konsekuensi.”

Aku menarik napas dan hendak menjelaskan padanya, sudah kupasrahkan saja semua rahasiaku, tapi sebelum aku sempat berucap Jinan menahanku sambil melihat ke jam tangannya.

“Tapi gak sekarang. Aku udah ditunggu.” Dengan begitu ia berbalik, membuka pintu kamar dan berjalan keluar, meninggalkan aku yang masih bengong, terpaku sambil meresapi kata-kata Jinan. Semua berubah terlalu drastis, terlalu cepat.

.

.

.

Riuh ramai pengunjung festival handshake hari ini terdengar jauh lebih bising daripada biasanya. Hari sudah menjelang siang, aku berdiri di pojokan jauh dari kerumunan orang-orang, menunggu teman-temanku datang sembari mengecek hape, beberapa pesan terpampang di notifikasi.

Viny
hai, dimana?

Aya
kak jer udah sampe?

MINTA JAPRI KE JERRY!
Indra
jer udah disana? dikit lg nyampe nih
udah mulai blm?


Kuputuskan untuk membalas pesan dari Indra, mengabaikan Viny dan Aya.

MINTA JAPRI KE JERRY!
Jerry

gue udah nunggu drtd ajg udah kek org ilang
Indra
wkwk sabar ye ni pak sopir gabisa ngebut


Sopir yang dimaksud adalah Mario, dan memang ia tak pernah bisa ataupun mau untuk disuruh mengebut di jalan.

“Ck… huft…” Aku mengantongi hapeku. Kuputuskan untuk tidak menunggu teman-temanku dan mulai berjalan ke arah booth handshake karena sebentar lagi sesi 2 akan dimulai, dan aku sudah membeli tiket masing-masing untuk Aya dan Viny.

Aku sampai di depan jalur 3, tepat waktu. Belum ada siapapun yang mengantre dan sepertinya orang-orang dari sesi sebelumnya sudah habis. Langsung saja aku berjalan memasuki bilik, tiket yang kubeli langsung kugunakan semua.

“Hah… ngapain kesini?” Viny terkejut saat aku memasuki bilik handshakenya.

“Emang gak boleh?” Jawabku santai, atau lebih tepatnya mencoba untuk terlihat santai, tetap saja aku gugup meskipun sudah bertahun-tahun melakukan hal ini, ditambah lagi aku dan Viny sudah saling kenal.

“Yaa… boleh sih… gak nyangka aja.” Viny terdiam, seperti bingung membahas apa, tidak biasanya ia begini saat handshake. Mungkin ia memang tidak menyangka kalau aku akan kesini.

“Gak dipegang nih tangannya? Handshake apaan nih?” Aku menggoda Viny yang dibalas dengan cemberutnya.

“Iya-iya mana sini tangannya cepet.” Ia menarik kedua tanganku dan memeganginya. “Perlu ditemplate juga gak?”

“Coba-coba templatenya Ratu Vienny gimana sih?” Aku menahan tawaku, sudah sering aku mendapat perlakuan yang dimaksudnya dulu sebelum Viny mengenalku.

“Ah enggah ah, masa sama pacar pake template.”

“Oiya Vin, tentang itu…”

“Apaan?”

“Aku ngerasa… kita gak cocok.” Aku ragu-ragu, tapi kucoba untuk berani, aku tak bisa lagi terus membohongi hatiku.

“Maksudnya?” Senyum Viny hilang.

“It’s just… I don’t know what my feelings are for you.” Aku menguatkan diri untuk menatap mata Viny.

“Oke.” Viny melepas tanganku. “Apa yang terjadi sama I was born to love you?”

“Itu masalahnya Vin, I was born to love you, tapi… I don’t think we are born to be together.”

“Tapi, Jer…” Viny tak melanjutkan kata-katanya, ia mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

“Biarin aku mencintai kamu dari kejauhan, seperti dulu. I think it’s better for the both of us.” Tepat setelah aku selesai mengatakan itu, timekeeper menepuk punggungku tanda waktu handshakeku selesai. Aku melambaikan tanganku pada Viny. “Sampai berjumpa lagi, oshiku.”

Aku menghela napas, lega tapi tetap saja berat. Kumulai langkahku berjalan menuju jalur 10, beberapa orang sudah mengantre di depan bilik itu, bilik tempat handshake Aya. Setelah menunggu beberapa menit, aku sekarang sudah di urutan terdepan. Baru saja aku hendak menukarkan tiketku, lalu dari dalam bilik Aya berteriak. “Kak Jeeeer!”

Mampus! Ngapain teriak-teriak sih? Aku terkejut, tanpa menoleh kanan-kiri aku langsung meninggalkan Aya, takut aku dicurigai oleh orang-orang disitu. Di tengah-tengah kerumunan akhirnya aku bertemu dengan Indra dan Galang.

“Udah genitin siapa aja lu?” Tanya Galang padaku.

“Baru juga sama Viny… eh Mario mana?”

“Tuh.” Indra menunjuk pada Mario yang sedang mengantre untuk handshake dengan Beby.

“Lu napa dah Jer? Lemes gitu.” Galang menepuk-nepuk pundakku.

“Gapapa, kurang tidur kayanya.”

Mario berjalan dengan wajah senang menuju kami bertiga, selanjutnya aku hanya mengikuti teman-temanku, seru-seruan dengan mereka, merasakan kembali bagaimana ngidol sebagai fans biasa, dan memang sangat menyenangkan seperti ini. Orang-orang kemudian mulai berkumpul di depan panggung, pidato kelulusan Viny. Hatiku kembali sesak, dari sini pun bisa kurasakan betapa ia mencoba menahan rasa sedihnya, dan isi pidatonya pun seperti ditujukan padaku, bukan membenciku, lebih ke merasa bersalah pada dirinya sendiri. Aku semakin tak tega melihatnya dan memutuskan untuk menjauh. Sisa-sisa hari ini kuhabiskan dengan teman-temanku, bercanda bersama mereka, bahkan berkenalan dengan beberapa teman baru, aku benar-benar seperti kembali menjadi diriku dulu, hanya seorang fans yang mengagumi idola bersama teman-temannya.

.

.

.

22 Desember 2019, 06.36, sehari berlalu.

“Pagi.”

Aku perlahan membuka mataku, dibangunkan oleh pelukan wanita yang tersenyum di sampingku ini. Kulit kami saling bersentuhan karena semua pakaian kami sudah ditanggalkan, kami sama-sama telanjang bulat, hanya ditutupi selimut untuk saling menghangatkan di tengah dinginnya kamar ber-AC.

“Mmm… pagi Vin.” Aku balas memeluknya, tanganku meremas bokongnya.

Apa yang terjadi semalam? Dan mengapa Viny? Hanya kami berdua yang tau.
PART 16: The Loser In The End

Aya’s POV


Cahaya pagi mengintip dari balik tirai jendela kamar, menandakan aku harus segera bersiap-siap untuk kegiatan hari ke-2 di kota Surabaya. Aku yang tadinya berbaring kini duduk di tempat tidur, kulihat tempat tidur di sampingku, Christy masih tertidur pulas.

“Hoooaaamm…” Kuregangkan badanku sambil menguap sekencang-kencangnya.

“Mppfft… hahaha.” Christy tertawa dari balik selimut, membuatku terkejut.

“Heh kenapa?” Kutarik selimutnya, Christy masih tertawa, satu tangannya memegangi perut sementara satunya lagi memegangi mulutnya.

“Gak… gapapa… hahahah… nguapnya lucu kak…”

“Yeee receh… dasar anak kucil.” Kulempar selimut yang kutarik tadi ke arahnya.

Kubuka tirai jendela, masih tidak terlalu terang, tapi aku tak ingin telat dan membuat orang-orang menunggu. Kubawa handuk dan baju yang sudah kusiapkan semalam ke dalam kamar mandi. 20 menit berlalu, aku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut, pakaianku masih santai karena pagi ini hanya akan ada GR untuk konser nanti malam.

“Christy ayo bangun!” Kutepuk-tepuk pipi Christy yang sudah kembali tertidur.

“Mmmm… lima menit lagi deh ya kak.”

Kulihat jam tanganku yang masih tergeletak di atas meja, masih pagi dan tak perlu buru-buru sih, jadi ya sudah kubiarkan saja Christy tidur sementara aku merapikan baju-baju kotorku. Aku mengambil hape selesai mengatur baju-baju kembali ke dalam koper. Aneh, bertahun-tahun aku tetap tak terbiasa melihat ratusan bahkan ribuan notifikasi di layar hapeku ini. Tak kuhiraukan semua like, retweet, reply, DM, dan mention yang berhamburan memenuhi lockscreen, langsung saja aku menuju ruang chatku dengan kak Jerry. Dibalik teks obrolan kami terlihat wallpaper chat ini, foto kami berdua saat hari ulang tahunku yang ke-18, kak Jerry tersenyum lebar memegangi kepalaku sementara aku memasang wajah manyun melirik ke arahnya. Aku tak bisa menahan senyum tiap kali melihat wallpaper ini. Aku mengurungkan niatku untuk mengirim pesan pada kakak karena tak mungkin kak Jerry sudah bangun jam segini pikirku.

“Ketik dong kak masa diliatin aja.”

“Hah?”

Christy mengintip dari belakang entah sejak kapan, kini ia tertawa melihatku yang terkejut.

“Hahahaha… mau chat kak Jerry aja pake bengong.”

“Mandi cepet ih malah ganggu.” Kucubit pipi Christy.

“Eh… hiye-hiye kek…” Kata Christy sambil mencoba lepas dari cubitanku.

Christy berjalan masuk kamar mandi dengan membawa baju dan dengan handuk di pundaknya. Aku kembali menatap layar hapeku, aku dan kak Jerry jarang bertemu padahal ini kesempatanku menghabiskan waktu lebih banyak dengannya daripada di rumah. Apa kudatangi saja kamarnya ya? Kukantongi hapeku dan pergi keluar kamar meninggalkan Christy. Lorong lantai ini sudah mulai ramai oleh celotehan member-member yang saling berkunjung kamar, saling membangunkan, belum lagi yang bercanda sampai teriak-teriak. Aku hanya tersenyum dan balik menyapa saat mereka menyapaku, setidaknya di lantai kamar kak Jerry bisa sedikit lebih tenang. Aku menaiki lift untuk turun beberapa lantai ke bawah menuju kamar kakakku.

Jerry’s POV

“Aargghhh… nggh… ahhhh!” Viny mencapai orgasmenya, entah yang keberapa kali. Air bathtub mulai beriak dan bercipratan meluap keluar karena tubuh Viny yang bergetar menikmati orgasmenya.

“Ohhh Vin…” Kutanamkan penisku dalam-dalam hingga menyentuh mulut rahim Viny dan aku ejakulasi.

Crot crot crot crot!

“Ahh Vin… ahhhh!” Penisku berkedut, membuat orgasme Viny yang menungging di depanku semakin liar. Spermaku seakan disedot tak henti-hentinya memenuhi rahim Viny. Kucabut penisku dan ambruk menyandar di dalam bathtub. Viny berbalik badan dengan susah payah di tengah orgasmenya yang masih berlangsung kemudian menunggangiku.

“Hah… hah… lagi Vin?” Napasku tak beraturan, sejak tadi malam entah sudah berapa kali aku dan Viny saling memuaskan napsu di kasur, meja, bertumpu di dinding, doggy di depan cermin, dan yang terakhir saat ini, di dalam bathtub.

Plak!

“Duh…” Viny menamparku, tak terlalu keras tapi bekas tamparannya terasa menyengat di pipiku.

“Kalo aku hamil gimana Jer?!” Viny setengah berteriak, nada bicaranya bercampur antara takut dan marah.

Aku diam berpikir sambil memegangi pipi, hatiku sudah mantap untuk menyudahi hubungan cintaku bersama Viny, tapi apakah aku akan terjebak lagi kalau saja Viny benar hamil dan meminta tanggung jawabku?

Tunggu, kalau kemarin aku benar-benar sudah putus, lalu mengapa aku melakukan ini bersamanya sekarang? Singkat cerita aku dan Viny mengobrol lagi setelah festival selesai, dan kami sepakat untuk mengadakan semacam ‘farewell party’ dalam bentuk seks. Perasaanku memang tidak ada lagi untuknya, saat ini hanya napsu birahi yang bermain.

“Ee… Vin… gak… duh…” Aku benar-benar tak tau harus berkata apa, otakku baru saja selesai mengolah fakta bahwa aku sudah menyemburkan spermaku di dalam vaginanya.

“Jerry… pertanyaanku kurang jelas apa?” Viny menekan kedua pundakku dengan tangannya.

“Yaa liat nanti Vin, kalo telat nanti…”

“Aku gak nanya itu, aku nanya kalo hamil gimana?” Nada Viny semakin tegas bertanya padaku.

Aku menelan ludah. “Aku… bantu gugurin.”

“Kalo aku gak mau gugurin?” Aku tau arah pertanyaan Viny, jawaban apa pun selain kesediaanku memikul tanggung jawab akan salah di matanya. Berat rasanya untuk menolak, namun seberat apa pun itu, aku tetap tak siap untuk menjadi orang tua.

“Aku gak siap Vin, maaf.” Kata-kata mengalir keluar dari mulutku, aku merinding, tepatkah langkah yang kuambil ini?

“Jadi… udah… gini aja respon kamu? Gak mau tanggung jawab?” Viny melepas tangannya dari pundakku.

Aku membuang muka, bukannya tak berani menatap Viny, aku tak tega, kenapa mencoba jujur pada orang lain dan diriku sendiri bisa sesakit ini?

Plak! Plak! Plak!

Viny menamparku lagi, dan lagi, dan lagi. Aku tak menghindar, hanya diam. Sekilas aku melihat telapak tangannya tampak merah karena menamparku berulang kali. Viny beranjak keluar dari bathtub dan kamar mandi.

“Vin?” Aku menyusulnya terburu-buru. Viny sudah mengeringkan diri seadanya dengan handuk hotel, lalu cepat-cepat memakai baju.

“Vin, ngomong… aku harus apa?” Aku mengambil sehelai handuk baru dan mengeringkan diriku juga, lalu kupakai handuknya di pinggang untuk menutupi tubuh bawahku.

Viny diam, berpura-pura tak mendengarkanku. Matanya berkaca-kaca seraya mengancingkan baju tidur yang ia pakai semalam.

“Vin!”

Viny berjalan melewatiku menuju pintu keluar, ia membuka pintu dengan kasar, tapi Viny terkejut saat pintu terbuka. Aya. Adikku itu sudah ada di depan, tangannya mengepal dan terangkat seperti sedang ingin mengetuk pintu. Mereka berdua sama-sama terkejut, diam menatap satu sama lain. Pandangan Aya berpindah dari Viny ke diriku yang hanya terbalut handuk, mulutnya menganga melihatku.

Viny mendengus lalu sekejap menoleh padaku lalu kembali ke Aya. “Urus tuh kakak kamu.” Viny lalu berjalan meninggalkan kami berdua, setitik pun ia sudah tak peduli denganku.

“Ya…”

Aya berjalan masuk ke kamar lalu menutup pintu. Langkahnya ragu, tubuhnya gemetaran. “Aku ngerti sekarang kak.”

“Maksudnya gimana Ya?”

Aya mendekat, aku melangkah mundur perlahan hingga tersandung dan terduduk di kasur. Air mata Aya menetes satu per satu, bertambah deras semakin jarak antara aku dengannya berkurang.

“Aku… hiks… ngerti… kakak maunya… hiks… apa.”

“Maksudnya apa Ya?!” Tadi Viny dan sekarang Aya, bingung dalam otakku semakin menumpuk-numpuk.

Aya menarik handukku lepas, kaosnya diangkat hingga tampak payudaranya yang tertutup bra.

“Ini kan… hiks… yang… hiks… gak pernah aku kasih?” Aya melepas celana dan celana dalamnya. Aku belum sempat merespon dan ia sudah merangkak di atasku.

“Hah… Ya… ngapain?!”

“Aku cuma pengen… hiks… kakak cinta… hiks… kaya aku cinta ke kakak.” Aya menggenggam penisku, tangannya gemetar hebat, sentuhan tangan dan paha mulusnya itu reflek membuat penisku tegak kembali.

“Ya… mmhh… gak gini…” Tangan Aya menuntun penisku menuju vaginanya yang basah dan hangat sehingga membuatku terbujur kaku tak jadi memberontak. Aya menggerakkan pinggulnya turun, penisku masuk namun terhalang sesuatu, selaput dara milik Aya, adikku sungguh masih perawan.

“Aku sayang kakak.” Suaranya bergetar, tangannya bertumpu di dadaku, ia kembali mencoba, dan kali ini penisku berhasil merobek selaput daranya dan masuk. Gerak Aya terhenti, tubuhnya semakin gemetaran, air matanya menetes sangat deras di dadaku.

“Ngghh… Ya… kamu…” Napsuku perlahan mengambil alih, tanganku memegangi pinggang Aya, yang tadinya ingin kuangkat kini malah kutarik agar penisku masuk lebih dalam. “Ahh…”

“Ahhhh kak…”

Aku bangun dan kini duduk memangku Aya, kugoyangkan pinggulku perlahan, penisku maju mundur menggesek dinding vagina Aya.

“Aihhh…”

“Ahhh…”

“Hahh… ngggh…”

“Mmhh.. ahhh… kakak…”

Hanya suara desahan Aya yang mengisi ruangan ini sementara aku fokus merasakan nikmatnya liang senggama adikku sendiri. Kulepas bra yang menahan payudara Aya untuk bergoyang bebas di depan mataku, langsung kuterkam putingnya sesaat setelah bebas dari bra tadi. Payudara Aya sangat padat, besar namun tak terlalu besar, hanya sedikit lebih besar dari genggamanku.

“Ssshhh… kak…” Aya tak mampu berkata-kata, ia meracau tak jelas menikmati perlakuanku.

Kuhisap putingnya bergantian sambil meremas kedua payudaranya, gerakan pinggulku terhenti tapi malah Aya yang bergoyang dengan liar.

“Ahhh…

“Ahh…”

“Ngghh…”

Aya memeluk kepalaku erat, menariknya masuk mendekap di antara payudaranya yang empuk, lalu ia orgasme. “Mmmhh… aaaahhhh…”

Penisku lepas dari vaginanya yang sedang menumpahkan cairan orgasme, lalu Aya ambruk ke sampingku. Langsung kususul lagi, aku berganti ada di atasnya, kutancapkan lagi penisku ke dalam vaginanya. Hampir tanpa jeda adikku kugenjot lagi tanpa ampun. Seluruh darah yang mengalir dalam tubuhku penuh dengan napsu.

“Ehh…”

“Ahhh… kak…”

“Kak… mmmhh…”

“Kak… udahhhh… ahh”

Tak kuhiraukan Aya, vaginanya tak seperti yang pernah kurasakan dan mampu menghipnotis diriku yang sebenarnya mana tega memperlakukan adikku seperti ini.

Crot crot crot crot crot!

“Argghh… ahhh… Aya…” Kutarik penisku tepat waktu, spermaku langsung menyembur keluar dengan deras bahkan hingga mengenai payudara dan wajah Aya. Lubang kenikmatannya berhasil membuatku ejakulasi dengan sangat banyak, sperma yang kukira habis terkuras oleh Viny.

“Kakak sayang kamu.” Entah apa yang membuatku melontarkan kata-kata itu. Aku memang sedari dulu sudah menyayangi adikku sendiri, tapi tidak seperti ini. Tak ada rasa sayang di sini, aku tak menunjukkan cintaku padanya, ini semua hanya napsu.

.

.

.

Setelah kejadian tadi, aku menenangkan Aya dan kami berdua membersihkan diri, tentu saja tidak berbarengan. Aya kemudian pergi karena katanya sebentar lagi ada GR, lalu aku pun pergi menyusul teman-temanku yang sudah menungguku di sebuah rumah makan, kami akan menghabiskan hari ini bersama-sama.

Konser sudah hampir selesai. Teman-temanku sangat menikmati konser ini walaupun Mario nampak murung karena Beby mengumumkan kelulusan. Benar saja, pengumuman malam ini sesuai dengan apa yang Jinan dan Viny katakan padaku dulu, tim T dibubarkan, Viny kembali menjabat sebagai kapten.

Kuputuskan untuk pulang memakai mobil bersama ketiga temanku ini, tiket tak usah kurefund, tak apa lah pikirku, aku hanya tak bisa menahan malu di depan Viny, Jinan, dan Mira, apalagi Aya. Sepanjang hari aku mencoba melupakan kejadian tadi, kucoba untuk bersenang-senang dengan teman-temanku dan menikmati konser namun aku tetap kepikiran, kakak macam apa aku ini?
 
Enak banget jadi jerry , ngembat dua virgin sekaligus:((. wkwk, secara keseluruhan masih bagus kok hu. Cuma karena sedikit jadi agak nanggung (?).
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd