Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Is This the Love We Created? (PART 22/S1 End)

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Banyak yang menarik ternyata di cerita ini ada aya jinan mira :D
 
PART 17: Who Wants to Live Forever

How do you like it here?

“It’s… warm, it’s so… comfortable.”

Yessss… comfortable… nurturing… like a mother’s embrace.

Tubuhku merengkuk diam, melayang di kegelapan tak terbatas.

“Where is… what is this place?”

Thisss iss where it endsss for you… for me.

“Who are you?”

I am what you make me… I am you.

Aku semakin larut, rasa ini, sensasi kehangatan dan kenyamanan ini seakan tak ingin kulepas.

Do you like it here?

“Yes! Give me more!”

There you have it. Feel it?

“Yes, but how did I got here?”

Doesss it matter now?

“What do you mean?”

Nothing matterss anymore… you wouldn’t have to worry about anything or do anything ever anymore.

“Never ever?”

Never ever ever ever.

“Forever and ever?”

Forever and ever and ever in itsss eternity.

“I think I like it here.”

Yesss… we like it here.

Semakin aku menginginkan rasa itu, semakin aku diselimutinya. Tempat apa pun ini aku tak ingin meninggalkannya. Namun kemudian rasa hangat itu hilang tergantikan rasa dingin menjalar membuatku merinding, kilauan cahaya datang dan pergi menembus mataku.

Sssorry… it sseemsss we’re not going to ssstay here, yet…

“What do you mean?”

No time to explain, the cruel world awaitsss…

Kepalaku tiba-tiba berat dan pusing, perutku memanas, sekujur tubuhku nyeri seakan membengkak.

.

.

.

Hey hey pilih yang mana…

COKOLAAA!


Galang dan Indra saling bersahut-sahutan menyanyikan lagu Sweet & Bitter sejak saat kami melewati Salatiga beberapa jam yang lalu. Aku terbangun lagi mendengar suara mereka.

“Gila Desy cantik banget jadi center.” Galang sempat berkomentar di tengah-tengah nyanyian mereka.

“Sumpah dah lu harusnya merhatiin Anin Lang.” Indra menjawab, menoleh ke Galang lalu balik lagi memerhatikan jalan dan menyetir.

“Ehem…” Aku berdehem, kerongkonganku kering.

“Eh pangeran udah bangun.” Galang menoleh ke kursi belakang tempat aku dan Mario duduk. Kami sama-sama tidur, aku menyandar ke jendela kanan sementara Mario ke jendela kiri.

“Berisik lu.” Jawabku tak menoleh, mataku hanya melihat keluar mobil.

“Dah temen lu lagi sedih Lang, oshinya pada grad hahaha.”

Kalau kupikir lagi betul juga, Mario sedang sedih karena Beby mengumumkan kelulusannya semalam, tapi alasanku murung bukan itu. Kalian sendiri tau apa yang kualami beberapa hari terakhir ini, haruskah kuanggap diriku beruntung atau sial?

Mobil ini melaju di jalan tol, sebentar lagi melewati Cirebon, Indra dan Galang sudah saling bergantian menyetir dan sekarang giliranku. Kami berhenti di rest area, meregangkan badan beberapa kali, membeli cemilan dan minum lalu melanjutkan perjalanan. Kali ini Mario duduk di sampingku masih setengah sadar, Galang dan Indra sudah tertidur di belakang.

“Ngapain sedih banget sih lu?”

“Kaya lu gak nangis aja pas Viny ngumumin Jer.” Mario mengangkat kakinya naik ke atas kursi.

“Yaaa… yaudah sih buktinya gua aman-aman aja gini.”

“Bangke, lu mah enak malah jadian.”

“Hahahaha.” Aku tertawa, berusaha menyembunyikan apa yang terjadi.

“Eh lu tau gak Jer?”

“Apaan?”

“Gue dikasih japrian ini ama Beby.”

“Serius?”

“Iya, gimana nih?”

“Ya lu kontak lah.”

“Gue takut Jer.”

“Yeee… udah dikasih takut, gak dikasih malah ngarep.”

“Gue bilangnya apaan?”

“Biasa aja Yo, kek lu chat ama cewe gimana dah.”

“Ntar aja kali ya.”

“Iya, jam segini lu mau ngingetin sahur?”

Mario tak menjawabku, ia sibuk memainkan hapenya.

Perjalanan berlanjut, aku dan Mario tidak banyak berbincang, mungkin karena kami memang sedang sama-sama punya banyak pikiran di kepala. Entah kapan aku bisa terlepas dari semua masalah yang menghantuiku. Mobil ini melesat menyusuri jalan tol yang masih sepi dini hari ini sambil aku mengingat-ingat mimpiku tadi. Apa benar itu mimpi? Semua itu terasa sangat nyata, suara seseorang atau sesuatu yang kudengar itu juga seakan-akan berbicara di dalam otakku. Kebiasaan burukku yaitu melamun sambil menyetir pun kembali, untung saja tak banyak mobil lain di jalan tol ini.

.

.

.

Mobil yang saat ini sudah dikendarai oleh Galang berbelok menuju jalan yang sudah sangat kuketahui, jalan komplek perumahan yang bisa dibilang cukup mewah, perumahan tempat aku tumbuh bersama dengan Aya.

“Salamin ama adek lu ya Jer.” Galang menepuk pundakku dari belakang.

“Tumben amat lu.” Aku menengok ke arah Galang.

“Kali aja adek lu ngewarisin rumah kan, biar gue deketin dari sekarang.”

“Enak aja!” Aku reflek menendang glovebox mobil.

Glovebox itu terbuka menunjukkan isinya, beberapa keping CD dengan label polos, rekaman studio kami dulu yang entah apa alasannya di-burn ke dalam format yang sudah jadul itu oleh Mario.

“Lu kalo emosi gak usah sampe ngerusakin barang temen napa!” Mario mendorong pundakku sambil masih menyetir.

“Iya iya maap Yo.” Aku memperbaiki posisi dudukku, sekalian menutup kembali glovebox dan bersiap-siap untuk keluar karena rumahku sudah terlihat.

Mario menepi di depan rumahku, dari teras kulihat Aya sudah menengok keluar sambil berjinjit. Aku keluar mobil dan langsung berjalan menuju bagasi ditemani oleh Mario untuk mengambil koperku.

“Enak banget pagi-pagi udah ditungguin.”

“Paling minta dianter.”

“Adek lu sayang itu tandanya, maunya dianter ama lu bukan ama cowo-cowo ganjen.”

“Lu cowo ganjennya kan?”

“Mana ada, yang nitip salam kan si Galang.” Mario masuk kembali ke mobil, mereka menurunkan kaca mobil untuk berpamitan padaku sebelum berbalik arah dan pergi.

Kuangkat koperku dengan satu tangan dan membuka gerbang dengan tangan satunya. Kuletakkan koperku di teras setelah menutup kembali pintu gerbang, teras di mana Aya menungguku sambil tersenyam-senyum sendiri.

“Ee… kenapa Ya?”

“Kangen…” Aya berlari ke arahku, memelukku dengan erat.

“Kan baru tadi malem ketemu.”

“Iya tapi udah kangen.” Aya menyandarkan kepalanya di bahuku.

“Udah ah Ya, kakak mau bersih-bersih dulu terus tidur.” Aku mendorong tubuh Aya menjauh dan berjalan masuk rumah sambil membawa koper. Aku yakin sikap Aya akan berubah setelah kejadian kemarin, tapi tak kusangka akan secepat ini. Aku berusaha untuk tetap biasa saja padanya seperti sikapku yang sudah-sudah dulu.

“Aku juga ikut tidur ya kak.” Aya mengekor di belakangku, mengikutiku masuk kamar.

“Ya… yaudah, tapi rapiin baju kakak yang di koper.” Aku langsung melepas kaosku dan melemparnya ke keranjang baju kotor sebelum mengambil handuk dan masuk kamar mandi.

Shower air hangat pagi ini membuatku sangat rileks setelah semalaman terjebak duduk di dalam kaleng sempit berjalan yang Mario sebut mobil itu. Rasa kantuk langsung mengikuti setelah aku mengeringkan diri dengan handuk, aku keluar kamar mandi dan Aya sudah berbaring di atas tempat tidurku sambil bermain hape. Di meja sudah ada pakaianku, kaos, celana, celana dalam, lengkap.

“Ya, keluar dulu.” Kataku yang masih hanya berbalut handuk.

“Hah? Aduh!” Aya terkejut, hapenya terlepas dari tangan dan jatuh menimpa wajahnya.

“Gimana sih hahahaha.”

“Kakak bilang dong kalo udah kelar mandi.”

“Jelas-jelas pintu kamar mandi dibuka masa gak denger. Udah cepet sana keluar dulu.”

“Ngapain keluar kak?”

“Ini mau pake baju dulu, kaya gak ngerti aja.”

“Pake aja kali kak, kan kemarin aku udah liat.” Aya tersenyum menyindir lalu kembali menatap layar hapenya.

“Aya…” Aku memanggil namanya dengan nada malas yang sudah sering kupakai padanya, tanda aku sedang tak ingin diganggu atau diajak main-main.

“Ih kakak! Iya gak usah ngambek gitu!” Aya beranjak dari tempat tidurku seperti setengah meloncat dan langsung berlari keluar.

“Pintunya ditutup!” Aku berteriak sebelum Aya benar-benar hilang dari jangkauan telingaku.

“Wleee!” Aya menjulurkan lidahnya sebelum menutup pintu.

BRAK!

“Ibuuuu! Kak Jerry banting pintu lagi!” Teriak Aya setelah membanting pintu, suaranya terdengar perlahan menjauh, aku hanya bisa menggelengkan kepalaku dan tersenyum, adikku masih sama usil dan cerianya walaupun kini jadi lebih berani padaku setelah kejadian kemarin.

Kukunci pintu kamarku setelah memakai baju dan langsung menjatuhkan diri di tempat tidur. Tak butuh waktu lama bagiku untuk terlelap. Tidurku ini harus nyenyak, aku tak ingin diganggu siapapun.

Welcome back.

Suara itu kembali terdengar, aku terlelap tak lama setelah mengganti baju dan berbaring di kasur, tapi saat ini aku tak tahu apakah ini mimpi atau bukan.

What isss bothering you?

“Everything.”

Yesss, everything that walksss, fliesss, crawlsss, ssswimsss. Everything, absssolutely everything.

“What is this place again?”

End of the road, I told you ssso already.

“Yes, but I am sleeping, right?”

Are you?

“I’m asking you.”

Can’t you tell?

“I am not sure about everything.”

You are. You are the breathing, walking, thinking machine. Thinking about problemsss, not about itsss sssolution. An indecisssive machine, a defect, a misssaligned cog in the fabric of reality.

“What is that suppose to mean?”

It’sss nothing, really.

“You’re not making any sense.”

Yesss, we are the sssame, then.

“I don’t make sense?”

I am what you make me to be.

“Please just answer my questions.”

I am ssstill anssswering, am I not?

“What am I doing here?”

Can’t you remember?

“Remember what?”

You are alwaysss here, lingering. I am alwaysss here too, mossst of the time.

“What are you?”

You’re not asss fun anymore.

“Answer me.”

Are you ready for the anssswer?

“I am.”

No, you’re not ready.

“What makes you think so?”

I can sssenssse it.

“How?”

Receptorsss.

“Are you somehow connected to my body?”

No.

“No?”

Yes.

“Which is it then?”

What’s with all the questions?

“I am confused.”

There we go.

“What?”

You are confusssed.

“So?”

Wow, look at the time. You have to leave in about three, two, one.

“Wait, you haven’t explained a single thing.”

Zero!

Mataku terbuka pelan-pelan, aku terbangun karena ketukan pintu kamar, gelapnya kamarku saat ini pertanda tak ada cahaya matahari lagi yang menembus jendela dan hari sudah berganti malam, aku tidur seharian penuh.

“Kak?!” Suara ibu samar-samar terdengar dari balik pintu.

Kudorong diriku bangun dari kasur dan membuka pintu.

“Lampunya dinyalain dulu.” Ibu tampak jengkel, mungkin karena ia sudah mengetuk dari tadi dan aku tak kunjung bangun. Dengan lemas aku menjangkau saklar lampu dan menghidupkan lampu kamar.

“Nah, cuci muka abis itu makan, ibu tidur duluan.”

“Ibu gak makan bu?” Jawabku sambil menyipitkan mata, antara setengah sadar dan silau oleh terangnya lampu.

“Udah Jerry, ini udah jam berapaaa…” Ibu melirik jam di kamar sebelum meninggalkanku. Aku ikut menoleh ke arah jam, benar saja, sudah hampir jam sebelas malam.

Aku berjalan turun dari lantai dua dan langsung ke meja makan.

“Nah bangun juga akhirnya.” Aya dengan cepat menelan nasi goreng yang dimakannya sesaat setelah melihatku menghampiri meja makan, di sebelahnya ada Jinan.

“Kok ada Jinan?” Aku menoleh ke arah Jinan, kemudian ke Aya, baru kemudian ke arah bungkus nasi goreng di meja.

“Aku emang sering nginep kan.” Jinan menjawabku sambil tetap asik memainkan hapenya.

“Iya kakak gimana sih?” Aya menambahkan.

“Nanya doang emang gak boleh?” Aku duduk, sekalian menarik bungkus nasi goreng dan membukanya kemudian mengambil sendok dan mulai bersantap ria, perutku sudah terlalu kosong.

“Eh ada kakak cakep.” Langkah kaki dan suara dari belakangku ini sudah bisa dipastikan milik Eli, ia duduk di sampingku, kami saling berhadapan dengan Aya dan Jinan.

“Lu berdua mending ngontrak di sini dah, lumayan nambah-nambah.” Kataku sambil menyuap diriku dengan sesendok penuh nasi goreng.

“Ih mau, tapi ngontrak kamar kakak aja boleh gak?” Eli memegangi lenganku. Jinan melepas hapenya, ia melirik ke arahku, seakan memperingatiku. Aku membalas pandangan matanya sambil tetap menyuap nasi goreng ke dalam mulutku. Dengan pelan aku menarik lenganku lepas.

Untuk sesaat hanya ada suara serokan sendok menyentuh kertas bungkusan nasi goreng dan suara makanku bersama Aya, tak ada yang menjawab pertanyaan Eli.

“Kalian gak ikut makan?” Aku memecah kesunyian.

“Udah kak.” Jinan menjawab, matanya kini sudah terpaku kembali menatap hapenya.

“Udah kak, tapi kalo disuapin aku makan lagi deh.” Entah Eli sedang kerasukan apa malam ini. Bukan hanya gombalannya yang membuatku heran, tangannya kini mulai meraba-raba pahaku, aksinya ini terhalang oleh taplak meja sehingga Aya dan Jinan yang tepat di depan kami tak menyadari apa pun.

Eli menarik pahaku agar sedikit terbuka, tangannya kini meraba-raba penisku yang sudah setengah terbangun, aku berusaha menahan wajahku agar sebiasa mungkin meskipun susah karena Eli memandangiku dengan senyum nakalnya, sementara Jinan dan Aya kebingungan melihat kami berdua.

Kulahap butir-butir terakhir nasi goreng ini, bungkusnya kulipat, Eli masih asik bermain dengan penisku. Celana pendekku sudah terasa sesak, sekilas aku melirik ke bawah, penisku sudah tercetak jelas. Bodohnya tanpa berpikir panjang aku berdiri untuk membuang bungkus nasi goreng, tangan Eli dengan sigap melepas genggamannya, tapi Aya dan Jinan tak luput memandangi penisku yang tegak berdiri di balik celana.

Jinan berpura-pura sibuk dengan hapenya, Eli diam mematung, dan Aya menghentikan kunyahannya. Aku sempat terkejut, namun kemudian melanjutkan langkahku ke keranjang sampah, membuang bungkus nasi goreng, dan berjalan ke ruang duduk. Tak kuhiraukan lagi mereka, bodo amat lah. Kunyalakan TV dan duduk di sofa. Kucek hapeku, tak ada pesan penting kecuali notifikasi deadline tugas dan reminder dari Mario bahwa kami akan latihan besok. Setelah kulihat-lihat lagi, ada satu nomor yang mengirimku pesan, nomor yang sebelumnya tak ada di kontakku.

Sebuah botol air minum tiba-tiba disodorkan ke mukaku. “Nih kak, belum minum kan tadi.” Aku menoleh, Jinan menghampiriku membawa sebotol air yang disodorkannya itu di satu tangan dan hapenya di tangan yang lain. Aku memang belum minum karena kejadian tadi, tapi kenapa Jinan bisa sampai sejeli ini memperhatikanku?

“Tumben baik.” Kuambil botol air dari tangan Jinan dan langsung meminum isinya.

“Kalo kakak mati kesedak kasian Aya.” Jawabnya seraya duduk di sebelahku. Aku diam saja melirik ke arahnya sambil mendongak meneguk air banyak-banyak.

“Kalian tadi latihan?” Kutaruh botol air di meja.

“Ngga kok, jalan-jalan aja.” Jinan bersandar di sofa, ia kini sudah bermain hape lagi, jari-jarinya lincah menekan layar hape.

“Aya sama Eli mana?”

“Mereka langsung ke kamar.” Jinan tak menoleh padaku, matanya masih terpaku pada layar hape, tapi kemudian ketikannya berhenti, hapenya ia taruh di pangkuannya. “Kak Viny sama kakak gimana ceritanya tuh?”

“Maksudnya?” Aku langsung berpaling dari layar TV dan menatap Jinan.

“Kata Aya kemarin marahan, bener?”

“I-iya udah putus sih sebenernya.”

“Oh ya? Kapan?”

“Kemarin gue putusin waktu HS.”

Jinan diam, sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Aku menghela napas panjang.

“Oke, satu masalah selesai, tinggal adek ganjen lu aja tuh kak.”

“Jangan dikatain juga kali.”

“Tadi perhatiin deh kak, kalo gak ganjen terus itu apa namanya?” Jinan menepuk pundakku.

“Tau kok tau, jangan kenceng-kenceng Nan ah.”

“Oiya, aku udah ada rencana nih.”

“Rencana apaan?”

“Rencana buat bantu kakak lah.” Mulut Jinan mendekat ke telingaku, kedua tangannya menutupi.

“Mana coba denger.” Aku reflek mendekat ke arah Jinan, membuat lenganku terhimpit di antara payudaranya. Aku terkejut, bisa kurasakan tubuh Jinan ikut merinding tapi ia tak berpindah tempat dan malah melanjutkan bisikannya.

“Oh… terus?”

“Iya…”

“Oke, bisa.”

Jinan akhirnya menjauh setelah selesai membisikkan rencananya di telingaku. Kami sama-sama tersenyum dan memberikan jempol, aku dan Jinan bersikap biasa saja meskipun penisku tegang lagi karena jepitan payudara Jinan di lenganku tadi. Sisa malam ini dan hari-hari berikutnya pun berlangsung aman, tak ada apa-apa yang bisa kuceritakan. Semua kujalani biasa saja, seperti hari-hariku pada umumnya, sampai di tanggal 31, malam tahun baru…
 
Makasih buat updatenya ya hu...... tetap semangat lho yaaa
 
Kentang Goreng Kentang Goreng Kentang Goreng
 
akhirnya apdettt thanks suhu , sampe lupa ceritanya wkwk baca dari awal lagi deh
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd