Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Is This the Love We Created? (PART 22/S1 End)

Status
Please reply by conversation.
yok up lagi deh biar semangat TS nya hehehe besok udah teater lagi nih
 
PART 19: Under A Glass Moon

To be ignorant of what occurred before you were born is to remain always a child. For what is the worth of human life, unless it is woven into the life of our ancestors by the records of history?

“Did you just quote Cicero?”

Marvelous, isn’t it? Anyway, here we are again.

“Yes, but this is just a dream.”

You sound very convinced.

“Because this is a dream.”

How can you be so sure?

“What do you mean?”

What if this is not a dream?

“What would happen then?”

Exactly my point.

“I don’t like you.”

You don’t have to, you’re still stuck with me anyway.

“Why are you bothering me?”

Am I bothering you now?

“Can you please shut up?”

As a matter of fact, I can’t. Luckily you’re waking up just about… umm… not quite now… oh wait… now!

Mataku perlahan terbuka memandangi langit-langit kamar ini, mimpi itu muncul lagi setelah sebulan lebih aku tak bermimpi yang aneh-aneh. Kucoba memejamkan mata dan tidur kembali, tubuhku masih lelah dan mengantuk tapi entah mengapa aku tak bisa terlelap. Kucoba mengganti posisi tidurku berulang-ulang kali namun sama saja, aku tetap terjaga. Jam dinding yang temaram disinari cahaya bulan setengah dari luar jendela kamar dini hari ini menunjukkan pukul 3 pagi.

“Hah?!” Aku terkejut dan langsung duduk di tempat tidur, selimutku tersingkap. Aku menoleh ke kanan-kiri, ini bukan kamarku!

Kubuka pintu dan keluar dari kamar menuju sebuah ruang tengah, sebuah pintu juga berada di depanku, tertutup. Lampu ruang tengah masih menyala sehingga aku bisa melihat dengan baik sisa-sisa bungkus makanan di atas meja. Seketika ingatanku kembali.

“Huft…” Aku menghela napas panjang sambil mengelus-elus dadaku, misteri kamar tadi sudah terpecahkan, namun rasa kantukku menjadi hilang karena aku dengan bodohnya lupa kalau aku dan Aya sedang menginap di apartemen Jinan malam ini seusai aku menjemput mereka berdua dari latihan. Tentu saja mereka tidur berdua dan aku sendiri di kamar satu lagi yang biasanya tak terpakai.

Kubuka pintu kamar di depanku, cahaya dari ruang tengah perlahan merangkak masuk ke dalam kamar yang gelap itu semakin lebar aku membuka pintu hingga aku bisa melihat Aya dan Jinan tertidur lelap di atas kasur. Aya tersenyum sambil memeluk guling, memunggungi Jinan yang tengkurap bahkan sedikit menungging. Kedua gadis ini pasti sangat lelah karena latihan mereka pun semakin intens. Besok, tidak, hari ini konser mereka akan diadakan. Kututup kembali pintu itu pelan-pelan dan duduk di sofa ruang tengah, tak tahu harus berbuat apa.

Bermain hape menjadi satu-satunya hal yang bisa kulakukan saat ini. Sebuah chat menarik jariku untuk membukanya, bukan, chat ini bukan dari member grup idola ibukota kok. Chat ini dari dosen pembimbingku, timestampnya menunjukkan pesan ini terkirim beberapa menit sebelum jam 10 tadi malam, dan isinya menyuruhku untuk lanjut dan mulai mengerjakan bab 3. Sebuah senyum lebar terbentuk di wajahku, jari-jariku langsung mulai mengetik balasan yang akhirnya kuhapus, tak sopan jam segini mengirim pesan, pikirku. Selama sebulan kemarin aku benar-benar fokus untuk mengerjakan skripsi dan mengorbankan kegiatan band dengan teman-temanku.

Aku mulai bermain game, namun tak lama kemudian aku pun bosan tapi kantukku tetap tak kunjung kembali. Kutaruh hapeku di meja dan berdiri, tak berpikir ke mana langkah kaki akan membawaku. Aku mulai berjalan keluar dari unit apartemen milik Jinan memasuki lorong lantai 9 gedung ini. Kakiku tetap berjalan menyusuri lorong dan sampai ke ujung, tepat di depan pintu tangga darurat. Aku memandangi pintu itu dan teringat tentang Yupi yang secara tak langsung membawaku pada semua masalah ini. Lagi, tanpa sadar aku membuka pintu itu. Tak ada siapa pun di dalam, tak seperti terakhir kali aku masuk ke sebuah tangga darurat. Aku menoleh ke atas, hanya beberapa lantai lagi sebelum tangga ini habis. Enak juga ngerokok di atap, pikirku. Kakiku kembali bergerak menaiki anak tangga satu per satu hingga aku sampai di atas. Kubuka pintu atap dan berjalan keluar, hembusan angin malam yang dingin sehabis hujan menyapaku sembari aku menutup pintu.

Klik klik klik.

Suara korek yang sedang dinyalakan datang dari ujung atap ini, sontak aku menoleh. Viny sedang menyalakan rokok di antara kedua bibirnya sambil melihatku tak peduli, ia duduk di samping tumpukan abu, puntung rokok, dan setengah lusin bungkus rokok kosong. Tubuhku seketika merinding, tak kusangka Viny akan berada di sini. Kucoba berjalan mendekatinya walau napasku mulai berat, aku kemudian duduk di sebelahnya, tumpukan sampah rokok itu memisahkan kami. Kucoba untuk tetap tenang dan ikut menyalakan sebatang rokok, Viny tidak menoleh, ia sibuk mengisap rokoknya sendiri sambil tetap menatap ke depan, dari sini aku bisa melihat bekas-bekas air mata yang sudah mengering di pipinya.

“Pfuuuh… gak bisa tidur?” Viny meniup asap rokok tebal di depan wajahnya.

“He’eh…” Aku menengok lagi ke arah Viny. “Kamu apa kabar?”

“Gak baik.” Jawabnya datar. “Kalo kamu?”

“Gak baik kenapa?” Aku tak menjawab pertanyaan Viny.

“Selain ditinggal pas lagi sayang-sayangnya? Skripsi aku mogok, internship aku dinilai jelek sama bos, jadi kapten tim dan harus nyiapin konser tunggal lagi, ortu aku berantem, adek aku temen-temennya gak jelas… oiya, bentar lagi aku telat dua bulan.”

“HAH?!” Aku reflek berteriak, mataku melotot memandangi Viny yang akhirnya menoleh kepadaku.

“Kenapa? Bukannya kamu gak peduli lagi?” Ekspresi wajah Viny seakan ingin menangis tapi tak bisa, air matanya sudah habis terkuras entah sejak kapan.

“Gak gitu Vin… tetep aja ini salahku.” Aku tak tahu harus berkata atau berbuat apa, kepalaku tertunduk.

“Gak kok, aku yang salah… ngarep terlalu banyak sama orang, tenggelam terlalu dalam sama kamu.” Tak ada kesan sarkastik dalam nada bicara Viny, ia kembali menatap depan sambil merokok, sesekali batuk.

“Vin… aku bisa bantu gak?” Aku merasa bersalah telah menambah beban Viny demi keegoisan diriku sendiri.

“Gak, udah cukup aku bergantung sama orang lain Jer.” Suara Viny gemetaran namun tegas, bukan keputus-asaan, ini lebih seperti seseorang yang memaksa dirinya sendiri untuk menelan rasa pahit, perih, dan sakit.

“Mau gimana pun… kalo kamu ha-… hamil… itu anak aku.” Membayangkan menjadi orang tua saja membuat tanganku bergetar, sebegitu belum siapnya diriku untuk mengemban peran ini. “Udah tes?”

“Belum…” Viny menggelengkan kepalanya. “Kalo aku hamil kenapa? Berubah pikiran? Atau tetep mau gugurin?”

Aku tak bisa menjawab Viny, di satu sisi aku tak siap dengan tanggung jawab sebesar itu, di sisi lain aku tak tega melihatnya menderita seperti ini walau berapa kali pun aku berkata tak punya perasaan lagi pada dirinya. Aku merenung sampai tak terasa rokok di antara jari-jari tanganku sudah habis, baranya kini membakar filter, mengeluarkan asap hitam dan bau tak sedap yang cepat-cepat kumatikan. Dengan tangan yang masih gemetaran aku mengambil sebatang rokok dan menyalakannya lagi.

“Diem kan… udah kuduga.” Viny semakin memainkan perasaanku.

“Aku… aku mau nafkahin kamu sama anak kita nanti.”

“Huft…” Viny menghela napas, ia kemudian langsung mengisap rokoknya kembali. “Pfuuh… kalo nafkahin juga aku sendiri bisa Jer, tapi coba bayangin deh mantan idol belum lama grad tiba-tiba punya anak, gak jelas anak siapa, dan jadi single parent. Malu Jer, malu… belum lagi gimana respon ortu aku, keluarga aku, temen-temen aku…”

“Vin, udah… Vin…” Aku meringis membayangkan apa yang Viny katakan.

Viny diam, membiarkanku kembali memikirkan kata-katanya itu. Aku tahu ia tersiksa, memandangnya pun saat ini ikut membuat batinku teriris. Haruskah aku mengesampingkan egoku demi orang lain lagi? Tapi sampai kapan?

“Aku gak bisa maksa kamu buat cinta lagi sama aku… aku cuma minta tanggung jawab Jer, tapi itu pun kayanya kamu gak mau.”

“Gak tau Vin… aku bingung sama semuanya, bingung sama tujuan hidupku sendiri…” Aku teringat mimpi dan suara aneh di dalam mimpiku itu. Kalau dipikir-pikir, semua yang suara itu katakan tentangku mulai masuk akal sekarang. Rokok di tanganku sudah terbakar habis lagi tanpa sempat kuisap. “Kita bisa mulai dari awal Vin, get to know each other all over again. Get to know how to love you not just as an idol.”

“Kalo ternyata kamu tetep gak bisa cinta sama aku, mau ninggalin aku buat yang kedua kalinya? Udah lah Jer, intinya gak usah maksain aja, aku juga udah gak mau maksain diri sama perasaan aku, capek…”

Nothing good happens after 2 AM. Kalimat itu terngiang-ngiang kembali di dalam otakku. Terserah mau dianggap lucu atau mengenaskan, tapi di sinilah kami berdua hanya bisa mengisap asap rokok, dua orang yang patah semangat, patah harapan, dan sama-sama berjuang terlalu keras terlalu cepat, tersandung batu berkali-kali hingga baru sadar kalau kami sudah di dasar jurang dosa, tak tahu arah jalan keluar.

















Jinan’s POV

“Ssshh… ahhh… ahh… ahhh…”

“Aaaahhh… ahh… ahhh ahh ahhh…”

“Kaaak… aaahh…” Aku menungging di atas kasur, mendesah tak terkontrol, tubuhku sudah telanjang bulat. Kak Jerry menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan sangat lembut dan perlahan, penisnya menusuk sampai mentok di dalam vaginaku.

“Mmmh… Nan…”

“Iyaahh… kaaaak…”

Kedua tangan kak Jerry menggenggam erat pinggangku yang ditariknya bersamaan dengan tiap kali sodokan penisnya.

“Nggh ahh ahh ahhh ahhh ahh…” Tiba-tiba kak Jerry mempercepat gerakannya.

Plak!

Sebuah tamparan backhand mendarat di pipiku dan pahaku ditendang sehingga aku jatuh tengkurap, membuatku terbangun dari tidur dan mimpi indahku. Sepertinya aku terlalu bersemangat hingga tubuhku ikut menungging saat bermimpi tadi.

“Hah?!” Aku terkejut dan langsung menoleh ke arah serangan itu. Di sebelahku hanya ada Aya yang masih tertidur.

‘Bangke, tau aja lagi enak-enak mimpiin kakaknya.’ Batinku.

Aku beranjak dari kasur dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh mukaku dengan guyuran air yang segar karena mimpi tadi sukses membuat tubuhku kepanasan dan berkeringat.

Awalnya memang aku heran dengan apa yang terjadi tapi makin lama aku makin menyukai ini. Sudah ketiga kalinya aku memimpikan kak Jerry hanya di minggu ini saja, tak bisa kusangkal aku semakin menyukainya. Yang masih tak bisa kupercaya adalah mengapa rasa sukaku bisa tersalurkan menjadi mimpi basah, padahal selama ini pun aku tak pernah merasa bergairah di dekatnya, kecuali pagi hari di hotel itu saat kami berciuman.

Pintu kamar mandi kututup, langkahku untuk kembali ke kamar terhenti melihat hape kak Jerry di atas meja ruang tengah. Aku menoleh ke segala arah, keluar ke balkon lalu kembali lagi ke ruang tengah, tak ada tanda-tanda keberadaan kak Jerry. Kuputuskan untuk mengecek kamar tamu tempat kak Jerry tidur. Dengan sangat hati-hati kubuka pintu kamar itu.

“Kak?” Aku mengintip ke dalam kamar, pelan-pelan kubuka pintu lebih lebar.

Dari sini pun terlihat kalau tak ada siapa-siapa di balik selimut kasur itu. Aneh, ke mana perginya kak Jerry di jam-jam segini?

Aku duduk di pinggir kasur, masih berpikir keras kemungkinan-kemungkinan ke mana hilangnya kak Jerry dari apartemenku. Sedari tadi juga aku menahan birahiku yang belum terpuaskan karena terbangun, rasa gatal di vaginaku semakin mengganggu. Jadi begini ya rasanya kalo cowo dikentangin? Pikiranku semakin kemana-mana hingga akhirnya aku teringat saat tim T waktu itu sedang kumpul-kumpul, Fia dan Pucchi bercerita bagaimana mereka memuaskan diri sendiri kalau sedang bernapsu sampai sedetil-detilnya.

Selimut di kasur ini kutarik menutupi tubuhku seraya aku berbaring di kasur. Pelan-pelan kuarahkan tanganku menyelip ke dalam celana.

“Ahhh…”

Aku seketika mendesah, sekujur tubuhku merinding saat jariku menyentuh klitorisku yang sudah becek.

“Uhh kak Jerry…”

Pelan-pelan kugerakkan jari tengah untuk mengelus klitorisku, jari manis dan telunjuk kupakai untuk meregangkan bibir vaginaku.

“Mmmhh…”

“Iyahh… ahhhh…”

“Terus kak… ahh…”

Mataku terpejam membayangkan segala macam hal cabul yang bisa kami lakukan. Saat ini kak Jerry sedang membenamkan wajahnya di selangkanganku, jari dan lidahnya dengan lincah bermain di bawah sana.

“Oooh… aaahh…”

Tegangnya putingku bisa kurasakan tercetak jelas di bajuku. Kuremas kedua payudaraku bergantian sebelum akhirnya membuka kancing baju tidurku dan meremasnya langsung. Klitoris dan putingku sama-sama kupilin memutar.

“Aaahh ahh ah ah ahh…”

Mulutku menganga, lidahku menjulur keluar. Di dalam khayalanku kami sedang saling melilit lidah sambil kak Jerry memompa penisnya ke dalam vaginaku dengan kasar.

“Nggh kak… aaahh…”

“Hahhh ahhh ahhh nggghh…”

Imajinasiku semakin liar, kocokan jari di bibir vaginaku semakin cepat. Kuendus selimut yang sudah ditempeli aroma tubuh kak Jerry ini, membuat dirinya dalam pikiranku semakin nyata.

“Angghhh… kak Jerome… Edra… nggghh… ooohhh… Hamizan… ahhhh!”

Kuluruskan kedua kakiku seraya tubuhku menegang, tanganku yang terselip masuk celana berkali-kali disiram cairan dari vaginaku. Payudaraku kuremas erat-erat ketika kurasakan rasa kejut yang menjalar ke seisi tubuhku.

“Hah… hah… hah… hah…”

Tubuhku melemas dan napasku terengap-engap, aku bengong menikmati orgasme. Mataku kembali terpejam, aku tertidur merasakan enaknya masturbasi untuk pertama kali, benar-benar rasa yang berbeda dari hanya bermimpi basah. Tak kusangka kak Jerry bisa membuatku seperti ini.

‘Berapa lama lagi aku harus nungguin kamu kak?’







Jerry’s POV

Cahaya pertama di fajar hari ini mulai terlihat, sebungkus rokokku habis, begitu pula milik Viny. Tumpukan abu rokok di antara kami semakin tinggi, namun selama itu pula tak ada solusi apa pun yang bisa terpikirkan. Yang pasti hanya Viny tak lagi marah padaku dan kami sama-sama pasrah dengan keadaan masing-masing. Kami turun dari atap dan berpisah di dalam tangga darurat dengan saling bertukar kata perpisahan dan berharap agar pertemuan kami berikutnya bisa dalam keadaan yang lebih baik.

Aku kembali ke kamarku yang gelap di dalam apartemen Jinan dengan kesal, niatku untuk mencoba kembali mengantuk gagal total karena pertemuanku dengan Viny. Kubaringkan tubuhku di kasur dan masuk ke dalam selimut, belum sempat kepalaku bersandar di bantal, aku dikagetkan oleh Jinan yang tertidur di sebelahku.

“ANJING!”

Dug!

Tubuhku reflek melompat dari kasur, aku pun terjatuh ke lantai menimpa tanganku sendiri.

“HAH?! APA?!” Jinan malah terbangun karena teriakan dan suara jatuhku yang keras.

“Aduh… duh…” Kuposisikan diriku yang jatuh tengkurap untuk duduk berselonjor di lantai sambil memegangi pergelangan tanganku.

“KAKAK KENAPA?!” Jinan beranjak dari kasur dan menyalakan lampu sebelum akhirnya menghampiriku.

“Ini… kayanya keseleo Nan.” Tanganku tergeletak di atas paha, menggerakkannya sedikit saja terasa sangat sakit.

“Mana? Mana?” Jinan meraba-raba tanganku sambil membungkuk, ia terlihat panik dan khawatir.

“Duh kak kok bisa sih?” Jinan mulai memijiti tangan kananku.

“Lo ngapain tidur di sini?”

“Tadi Aya nendang aku tau kak sampe jatoh, aku keluar terus ngintip di sini gaada orang, yaudah.”

“Ngapain ngintip-ngintip?”

“Eee… itu… siapa tau kakak berantakin kan. Kakak juga tiba-tiba ilang, darimana?” Wajah Jinan memerah saat kutanyai, ia langsung mencoba mengganti topik.

“Abis ngerokok. Btw yang keseleo tangan kiri gue Nan.”

“Hah?! Ih bilang kek daritadi!” Jinan menghempaskan tanganku yang dipijitinya tadi.

“Ahahaha!” Tawaku tak bisa kutahan lagi melihat Jinan yang makin salah tingkah dan wajahnya yang makin memerah. Di balik tawa aku berpikir, sejak kapan Jinan seperhatian ini padaku?

“Huft… ih!” Jinan menghela napas lalu duduk di atas kedua kakiku, kecewa karena usahanya sia-sia. Ia kemudian mencondongkan tubuhnya ke arahku dan menarik tangan kiriku, membuat kerah baju tidurnya turun dan memperlihatkan payudaranya yang tak terbungkus bra. “Yaudah sini, ini yang sakit kan?”

“Eh… iya… bener.” Kubiarkan tanganku yang mulai bengkak untuk dipijit, entah ada gunanya atau tidak. Rasa sakit dan perhatianku teralihkan oleh payudara Jinan yang terpampang jelas di depan mata, belum lagi bokong montok dan selangkangannya menindih kakiku.

‘Tunggu, itu putingnya kok keras?’

‘Kancing bajunya kebuka?’

‘Ini celana Jinan lembab? Bukan, bukan lembab lagi, ini basah.’


Batinku penuh oleh semua pertanyaan itu. Pemandangan yang tak sengaja diberikan oleh Jinan padaku secara cuma-cuma ini membuat pikiranku kosong dan berkhayal yang tidak-tidak. Aku semakin penasaran, kancingnya yang terbuka, putingnya yang mengacung keras, dan celananya yang basah, apakah Jinan sedang terangsang? Terangsang oleh apa?

“Kak? Kak?!” Jinan melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.

“Eh… iya-iya, apa?”

“Ih malah ngelamun, ini masih sakit gak?” Jinan menoleh ke atas sambil tetap membungkuk.

“Udah… udah enak… eh… udah… ee… baikan… iya udah baikan kok.” Aku tak bisa menjaga kontak mata dengan Jinan dan kembali menatap payudaranya.

“Hah?” Jinan menyadari arah pandangan mataku dan ia mundur, tubuhnya tegak kembali dan ia menengok ke bawah, ke arah dua kancing baju tidurnya yang terbuka.

“KAKAK LIATIN APA HAH?!” Jinan menutup mataku dengan satu tangan dan memukul-mukul dadaku dengan tangan satunya.

“Iya aduh maaf-maaf!” Tanganku bergerak menyapu berusaha menghalau tangan Jinan yang tak henti-hentinya menyerang dadaku. Alih-alih mengenai tangannya, tanganku malah tersangkut di baju tidur Jinan, secara bersamaan menarik Jinan jatuh ke arahku dan menyingkap bajunya.

“AAKH!” Teriak Jinan saat tubuhnya jatuh menabrakku. Mataku terbebas dari tangannya yang sekarang keduanya berada di bahuku.

Untuk sesaat kami sama-sama diam dan terkejut. Wajahku dan wajah Jinan hampir tak berjarak dan kami saling bertatapan, wajahnya kini sudah merah padam, antara malu atau marah padaku, atau keduanya. Parahnya, tanganku yang tadi tersangkut kini terselip masuk baju Jinan dan berakhir memegangi payudaranya, puting Jinan yang mengacung dan tegang itu ada di antara jari-jariku.

“Maaf kak.”

“Maaf Nan.”

Kami berbicara bersamaan. Dengan cepat Jinan berdiri, tanganku kutarik dari bajunya yang langsung ia kancingi. Suasana berubah menjadi sangat canggung, kami saling menghindari tatapan mata masing-masing. Nyeri di tanganku kembali terasa, aku ikut berdiri.

“Nan, gue bener-bener minta maaf.”

Jinan berjalan mondar-mandir di dekat jendela kamar memegangi kepalanya, mirip seperti seusai kami berciuman di kamar hotel waktu itu.

“Iya… udah kak anggep aja gak pernah terjadi. Huft…” Jinan menghela napas diikuti oleh senyumnya, senyum manis yang dapat dengan jelas kulihat bahwa itu terpaksa.

“Gue gak sengaja Nan, serius.”

“Iya-iya ih gapapa.” Jinan berjalan keluar. “Aku balik ke kamar aja deh ya.”

Aku mengangguk, Jinan lalu menutup pintu dan meninggalkanku sendiri. Di sisa pagi buta yang penuh peristiwa ini aku akhirnya memutuskan untuk tidur, siapa sangka sepagi ini tenaga dan pikiranku bisa terkuras begitu banyak.
 
udah pusing gadapet solusi, kentang lagi sama jinan jerr jerr ahahahah
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd