Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Is This the Love We Created? (PART 22/S1 End)

Status
Please reply by conversation.
PART 20: There Must Be More to Life Than This

“Gue duluan ya.” Mario melambaikan tangan sambil membuang rokok dan pergi meninggalkanku sendirian di sudut tempat parkir gedung olahraga ini, lokasi konser tim K3 yang saat ini sudah sangat ramai dipenuhi wota-wota yang sedang mengantre.

Aku bersandar di pintu bagasi mobilku sambil merokok, menunggu antrean agak sedikit renggang agar aku tak ikut berdesak-desakan. Sebenarnya bisa saja aku melewati antrean karena Aya seperti biasa sudah mengabarkan staf-staf bahwa aku akan menonton tapi aku tak mau menunggu konser lama-lama di dalam hanya bengong tanpa bisa merokok.

30 menit lamanya aku memperhatikan pintu masuk yang berangsur-angsur sepi, batang demi batang kuhabiskan sebelum akhirnya kuputuskan untuk masuk.

Aku duduk di tribun, 3 row dari atas yang memang sudah dijatah oleh manajemen untuk member-member dan keluarga. Rasanya agak aneh duduk dikelilingi ibu-ibu dan bapak-bapak orang tua member dan anak-anak akademi di belakangku tapi tak apa, hitung-hitung berhemat harga tiket konser hahaha.

Selang beberapa saat lampu ruangan diredupkan dan konser pun dimulai. Ternyata tribun sisiku ini kebagian member-member dari tim biru yabg isinya para senior, alhasil Aya, Jinan, dan Eli jarang sekali bisa kutonton dari sini. Aku memilih untuk diam menikmati daripada ikut chant karena canggung juga kalau aku berteriak sendirian di tengah-tengah orang tua member begini. Lagu demi lagu berlalu, salah satu yang menarik perhatianku adalah kualitas suara dan sound system yang sebenarnya bagus tapi menjadi berantakan karena layout panggung dan penonton yang tidak biasa ini. Gini-gini aku juga mengerti masalah sound, bukan cuma asal perform.

“Dek, sendirian aja?” Pundakku ditepuk dari sebelah kanan oleh seorang bapak-bapak.

“Hah? Oh iya om, sendiri.” Jawabku dengan senyum memaksa.

“Fans ya? Oshinya siapa?”

“Eh… oshi… itu… Viny, om.”

“Viny? Viny yang mana?”

“Yang it-…”

Belum sempat aku menunjuk Viny, bapak-bapak ini sudah memotongku.

“Kenapa gak oshiin anak saya aja, dek?”

“Anak om siapa?” Tanyaku meladeni si bapak sambil tetap menonton konser yang masih berlanjut.

“Ah gak jadi deh. Nanti kamu naksir lagi. Hahaha.”

Kulirik bapak itu dengan terheran-heran, ia kini sudah diam menonton. Kuputuskan untuk tak menghiraukannya. Tiba-tiba pundakku disentuh, sontak aku menoleh ke belakang.

Silau. Sebuah layar hape disodorkan di depanku hingga hampir menyentuh kacamataku. Kusipitkan mata dan perlahan mulai membaca apa yang ada di layar itu.

‘disuru liat hape sm mira’

Tulisan tanpa tanda baca itu sengaja diketik di dalam aplikasi Notes hanya untuk kubaca. Hape itu ditarik menjauh oleh si pemilik yang ternyata adalah Vivi, ia sesaat melirikku dan kemudian melirik Mira di row paling atas yang sedang melihat ke arahku.

Posisi dudukku kubenarkan, dengan sangat berhati-hati kubuka hapeku agar tak terlalu silau dan mengganggu orang-orang di samping.

Mira
kak
kangen
Jerry
gak kok, kenapa?
Mira
ih aku gak nanya
aku ngasitau kalo aku kangen
Jerry
ooh, terus?
Mira
gamau ketemu gituuu??
Jerry
yaudah sini, di atas penuh kan
nih ada kosong sebelah gue
Mira
yakali kak
nanti deh, tunggu aja
kalo vivi nepuk lagi langsung cari aku d belakang y


Tak kubalas lagi pesan dari Mira. Aku kembali fokus menonton konser yang saat ini sudah sampai di pertengahan. Tim Kuning yang beranggotakan member-member baru Tim K3 dan dipimpin Viny kini sedang bernyanyi dan menari tanpa hentinya di medley lagu-lagu ini. Belum lama aku menonton tiba-tiba pundakku ditepuk lagi dari belakang, benar saja, Vivi hanya mengangkat bahunya ketika aku menoleh, mungkin ia bosan menjadi tukang surat di antara kami.

Rasa penasaran mengalahkan rasa malasku. Aku beranjak dari kursi dan dengan pelan-pelan berjalan ke arah tangga, di tiap langkah aku berusaha untuk tak menyenggol atau menghalangi pandangan orang-orang yang kulewati. Setelah menuruni tangga dan keluar kulihat Mira di pojokan, ia mengenakan masker untuk berjaga-jaga agar tidak ada yang mengenalinya. Hanya beberapa langkah yang kubutuhkan agar berada di samping Mira.

“Kakak pake mobil kan kesini?” Tanyanya tanpa menoleh padaku, matanya memindai sekeliling kami.

“Iya pake, yang itu.” Kutunjuk mobilku yang berada di satu sudut yang sekarang sudah sepi.

“Yaudah, duluan kak nanti aku susul.”

Kuturuti saja apa yang Mira katakan walaupun diriku masih kebingungan tentang apa yang sebenarnya ia rencanakan. Sambil kedua tangan di dalam kantong celana aku berjalan menuju mobilku. Kubuka kuncinya dan duduk di kursi pengemudi. Tempat Mira berdiri tadi tak terlihat dari sini, terhalang beberapa mobil di samping mobilku ini. Kuambil hape dari dalam kantong untuk bertanya padanya namun belum sempat aku menekan apa pun Mira sudah membuka pintu sebelahku dan duduk.

“Hai, kak.” Ia menoleh ke arahku sambil menggigit bibirnya, masker yang ia pakai tadi sudah hilang entah ke mana.

“Hai… kenapa lo sampe ngajakin kesini?” Tanyaku sambil mengernyitkan dahi, raut wajahku menumpahkan semua rasa bingung dan penasaranku sedari tadi.

“Kangen lah, kakak sebulan lebih ngilang, bales chat aku gak pernah.” Pundakku ditepuknya.

“Gue ngerjain skripsi, lagian ngapain juga bales chat lo?”

“Sombong banget sih.” Mira memajukan bibirnya, tangannya ia silangkan di dada.

“Gak sombong, gue lagi pengen fokus kelarin skripsi aja.” Jawabku datar, akhirnya aku benar-benar menoleh ke arahnya setelah sebelumnya hanya mencuri-curi lirikan mata. “Terus sekarang mau ngapain?”

“Yaaa… kangen-kangenan aja gitu.”

“Bentar, bentar. Gue mau tanya deh.” Kubetulkan posisi dudukku yang kini setengah menghadap ke arah Mira. “Lo bisa kangen gue kenapa, Mir?”

“Sejak hari itu sih, kak. Selain karena… ee… enaknya itu… aku juga ngerasa… disayangin banget waktu dipeluk kakak... kaya aku dibius sampe bisa ngelupain beban-beban hidup.” Ia kembali menggigit bibir bawahnya sambil melirikku malu-malu. “Main sama kakak, disayangin sama kakak. Bikin nagih tau.”

“Selain itu?”

“Kalo selain itu…” Mira terdiam dan berpikir.

“Gak ada?”

Pertanyaanku hanya dibalas beberapa kali kedipan mata Mira yang kebingungan harus menjawab apa.

“Emang kenapa sih, kak?” Tanya Mira balik.

“Gue penasaran aja… sebulan ini gue jadi mikir… huft…” Aku menghela napas. “Apa gue orangnya sedangkal itu sampe yang dikangenin cuma tubuh gue doang?”

“Dangkal? Maksudnya?”

“Ya dangkal aja… selama lo kenal gue, tiap kita ketemu pasti buat ngewe, kan?”

Ia mengangguk pelan, dari matanya ia tampak heran, atau mungkin takut? Dari dalam mobil yang gelap ini aku tak begitu melihat jelas.

“Lo gak tau hobi gue, sifat gue, makanan favorit gue, cerita hidup gue, perasaan gue ke lo… tapi tetep aja lo bisa kangen cuma gara-gara kita pernah saling muasin napsu.”

“Terus apa salahnya?” Gerak tubuhnya kaku dan tegang dihadapi situasi seperti ini. “Bukannya wota-wota itu juga sama aja? Cuma ngeliat body member buat mereka coli.”

“Lo nyamain diri lo sama wota?”

“Iya!” Nadanya meninggi, Mira membentakku. “Buat apa aku punya kepribadian baik kalo yang diliat di panggung cuma paha sama toket?! Yaudah aku ngikut aja mandang orang dari fisik, gampang, kan?”

Kini aku yang dibuatnya diam. Tak kusangka seorang idol bisa berpikiran seperti apa yang Mira sampaikan barusan. Alih-alih mencari solusi, ia justru menyerah dan memilih untuk mengikuti arus yang salah.

“Jadi…” Suara Mira berubah menjadi halus kembali. “Ijinin aku ngelepas kangen ya, kak.”

Mira meloncat dari kursi penumpang ke atas pangkuanku yang duduk di kursi pengemudi, pahanya mengapit kedua kakiku.

“Mmmhh… clp… clp… clp clp…” Mira dengan ganasnya menciumi wajah dan leherku.

“Malam tahun baru masih inget gak?” Bisiknya di telingaku. “Sekarang aku yang gak bisa lama-lama menghilang dari anak-anak, main cepet ya, kak.” Mira menggigit daun telingaku pelan, udara napasnya yang tepat mengenai telinga membuatku merinding.

‘Baiklah, Mira. Kalau memang seperti ini keadaannya tak ada yang bisa disalahkan, sekali pun keadaan. Untuk sementara waktu, aku akan mengikuti arus yang sama denganmu.’

Kumundurkan kursiku agar Mira bisa lebih bebas bergerak lalu kupegangi pinggangnya.

Mira mengangkat kaos yang dikenakannya, memperlihatkan payudara padatnya yang masih ditutupi bra berenda warna merah. Ia kemudian mulai membuka celanaku sambil menyuguhiku payudaranya untuk diisap.

“Clp… clp…” Kubantu Mira menurunkan celana dan celana dalamku hingga ke mata kaki sementara aku membenamkan wajahku di antara kedua payudaranya.

Penisku yang belum ereksi sepenuhnya kini sudah terbebas dari kekangan ketatnya celanaku. Mira menyingkap rok yang ia pakai dan melepas celana dalam yang kini dibiarkan menggantung di lutut kirinya. Vaginanya kini bergesekan dengan penisku yang dengan cepat menegang karena empuk payudara dan aroma tubuh Mira yang menggoda. Sungguh gadis ini tahu bagaimana membuatku tak bisa menahan birahi.

“Ngghh… masukin yahh… ssshh…”

Mira menggenggam penisku dan menuntunnya memasuki liang senggama Mira sambil ia menggerakkan pinggulnya turun.

“Ahh… ahhh…” Desah Mira di telingaku bersamaan dengan getar tubuhnya saat kepala penisku menyenggol klitorisnya.

Penisku yang tegang kini sudah berhadapan dengan vagina Mira yang dulu berhasil membuatku tumbang hanya dalam sekali main itu. Mira kembali menuntun penisku hingga kepalanya masuk, lalu dengan kedua tangan kuremas bokongnya yang montok dan kenyal dan kutarik ke bawah, membuat penisku masuk sepenuhnya ke dalam vagina Mira.

“AAAH! NGGGHH-… AAAAAH!” Teriak Mira. Tubuh Mira bergetar hebat, orgasme pertamanya malam ini terjadi hanya karena rangsangan barusan. Kepalaku kembali dipeluknya erat di antara kedua payudara yang tak kalah kenyal dengan bokongnya itu.

“Tunggu… hah… hah… aku ambil napas… hah… dulu…” Bisiknya di telingaku.

“Mmmhh? Bukannya lo yang bilang gak bisa lama-lama?”

“Iyaa… tap-… ahhh… ssshh…”

Goyangan pinggulku tiba-tiba disambut desahan manja Mira yang ikut menggerakkan pinggulnya seirama denganku.

“Ahhh… enakkk… kak Jer… ahhh…”

Mira mulai bergerak naik turun sendirinya dengan pelan sehingga setiap jengkal dinding vaginanya bisa kurasakan.

“Aahh ahhh ahhh… nggghh… ahh…”

“Oooohh… sssshhh… penuh banget…”

‘Plak plak plak plak’

Racauan dan desahan Mira tepat di telingaku meski sudah tak lagi berbisik, suaranya memenuhi interior mobil, diikuti suara tabrakan paha kami dan bokong Mira yang sesekali kutampar, genjotan Mira tak henti-hentinya memijiti penisku, entah sudah berapa menit berlalu.

“Hahh… kok jadi sangean gini sih, Mir?”

“Kakak tuh… ahhh… ngajarin yang enak… ahhh…”

“Ahhh… ahhh… ahhh ahh ahhh… kak Jer… ngghh ahhh…”

“Mir… ahhh… lo enak banget… gilaaa ahhh…”

Aku hampir mencapai batas, jepitan vagina Mira memang dari dulu sudah membuatku candu walaupun sudah kuperawani, ditambah empuk payudaranya yang masih terbungkus bra bergoyang naik turun di hadapanku dan mulus kulitnya yang tanpa cela membuatku tak bisa berlama-lama lagi seperti ini.

“Kaaak… aaahhh!”

Penisku masuk hingga dalam menyentuh mulut rahimnya saat Mira orgasme yang kedua kali. Cairan hangat menyembur membasahi penisku yang masih tertanam di vagina gadis ini.

“Ahhh ahhh… ahhhh… ahhhh… ngggghhh!”

Berkali-kali vagina Mira berkedut bersamaan dengan desahnya, menjepit dan mengisap penisku lebih kuat lagi.

“Mmmhh… clp… clp…”

Seakan tahu aku belum klimaks, Mira langsung menggoyangkan pinggulnya lagi walau orgasmenya belum sepenuhnya usai. Ia kemudian menyambar bibirku dan kami berciuman ganas, lidah kami saling melilit dengan berlepotan hingga pipiku dan pipi Mira sama-sama tertempel liur kami berdua yang sudah bercampur. Di tengah-tengah genjotannya yang kencang ini Mira berhenti, tangannya meraih ke sesuatu yang ada di kursi belakang. Ia lalu mengganti kaos yang dipakainya dan diganti dengan yang ia ambil barusan, kaos Valkyrie48 milik Jinan yang dititipkan di mobilku selesai dipakainya beberapa hari yang lalu. Mira kembali menggoyangkan pinggulnya dengan liar setelah selesai memakai kaos Jinan tadi.

“Woi… ngghh… gila lo baju orang itu… sssh…”

“Gapapa ih… hahh… ahhh… aku kan V48 juga… ahhh…”

Aroma tubuh Jinan yang sudah sangat sering kuhirup itu masih melekat di kaosnya dan menutupi wangi tubuh Mira yang sedari tadi kuendus-endus. Otakku dibuat bingung apalagi sekarang karena aku menutup mata. Goyangan Mira semakin kencang, membuat kami berdua sama-sama berada di ujung.

“Ngghh… yahhh… ssshh… kak Jer ahhhh!”

“Hahh… iya… Nan gue… ahh… udah… Nan! keluarin!”

CROT CROT CROT CROT CROT!

Mira ambruk ke arahku saat kuangkat pinggulnya, tubuhnya yang gemetaran karena orgasme yang ketiga kalinya itu menindihku sementara penisku menembakkan sperma kental di rok dan bokong mulusnya. Butuh beberapa detik bagiku untuk tersadar bahwa aku tadi meneriakkan nama Jinan.

“Hahh… hah… hah… hah…”

Kami berdua sama-sama bengong sambil berpelukan dan mencoba mengambil napas. Semenit berlalu sebelum akhirnya Mira menduduki penisku yang sudah melemas dan menciumku dengan liar.

“Mmhh… mmmhh… Mir.” Kulepas ciuman Mira, ia tampak bingung. “Yang romantis gini.”

Kutarik lehernya pelan-pelan hingga kami saling bertatapan dan bibir kami hampir menempel. Mira memejamkan mata namun kubiarkan kita tetap seperti ini, hembusan napasnya yang mulai normal kini sedikit terburu-buru kembali menanti sambutan bibirku. Kukecup pelan pipi lalu bibirnya kemudian kulumat dengan mesra, Mira membalas ciumanku walaupun memang masih kaku, pinggulnya tanpa sadar ikut bergerak menggesekkan bibir vaginanya dengan penisku.

“Clp… clp… mmhh…” Desahnya menikmati ciuman kami.

Beberapa menit berlalu, kami masih berciuman panas dan pelan hingga kini menggunakan lidah sebelum kuakhiri ciuman kami. Sambil tetap memeluk Mira kuambil sebuah kemasan tisu basah yang masih penuh dari dalam glovebox mobilku. Kuambil beberapa helai tisu basah dan mulai mengelap bokong dan roknya hingga bersih dari spermaku yang tercecer.

“Hihihihi…” Mira cekikikan sambil memperhatikanku, ia kemudian mengganti ke bajunya semula.

“Kenapa lo?”

“Hihi… sampe salah sebut gitu.”

“Lagian lo pake baju dia.”

“Jadi keluar banyak banget ya, kak… Apa jangan-jangan kakak sering fantasiin kak Jinan?”

“Ngaco lo, banyak gini gara-gara udah lama gak dikeluarin.”

“Hihihi iya-iya ih emosi mulu.” Mira beranjak dari pangkuanku dan duduk kembali di kursi sampingku. Celana dalam yang masih menggantung di lututnya itu kini ia pakai lagi, kaosnya pun dirapikannya.

“Kakak kok akhirnya mau, sih?”

“Mau apaan?”

“Ya itu… mau ngewe sama aku.”

“Gue lemah sama cara lo ngegoda gue yang dibisik-bisikin gitu, gak tau kenapa.”

“Apa yang lo bilang tadi ada benernya juga, Mir.” Jelasku sambil merapikan baju dan memakai celana. “Tapi gue percaya kalo ketertarikan itu gak harus dari fisik, meskipun hampir semua diawali dari ngeliat fisik, ya.”

Mira diam mencerna kata-kataku, aku mendekat hingga dahi dan hidung kami saling menyentuh.

“Gue mau lo pastiin lagi, lo bisa suka sama gue kenapa. Kalo udah dapet, gue jamin ngewe selanjutnya bakal lebih enak lagi.”

Mira tersenyum dan mengangguk. Kami saling mengobrol untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia meninggalkanku di mobil untuk masuk terlebih dahulu. Beberapa menit kemudian aku juga ikut masuk. Konser masih berlangsung, aku masuk tepat bersamaan dengan teriakan encore penonton. Sisa-sisa konser berlangsung dengan meriah karena lagu-lagu favoritku dibawakan di bagian akhir konser ini. Harus kuakui event ini sedikit banyak dipengaruhi konsep dan teknisnya oleh Viny, memang harus punya mata yang sedikit terlatih untuk bisa melihat hal-hal yang terdapat campur tangan Viny di dalamnya. Tak salah juga kalau konser ini dikaitkan erat dengan Viny sebagai salah satu pencapaian terbesarnya di sini, terlebih hanya beberapa hari sebelum show terakhirnya.

Acara besar hari ini berakhir dengan sukses. Para penonton sudah pulang sementara aku masih menunggu ketiga gadis yang setiap harinya kuantar-jemput ini sambil melamun, bisa-bisanya aku menyebut nama Jinan tadi saat bersama Mira. Lamunanku buyar ketika mereka datang menghampiri dan masuk mobil, tanpa berlama-lama lagi aku segera memacu mobilku pulang.

Selama perjalanan tak banyak yang kami bicarakan selain luapan bahagia gadis-gadis ini karena konser tunggal tadi mendapat respon yang sangat baik. Tak lama kami sampai, Aya dan Jinan turun terlebih dahulu untuk membuka gerbang sementara Eli masih di kursi depan.

“Tumben gak turun.” Sindirku pada Eli.

“Eh? Tadi gak dikasitau? Aku gak nginep, kak.”

“Terus ini gue nganter lo?”

Eli membalas dengan anggukan yang kujawab dengan menghela napas. Mobilku kembali melaju menuju kos-kosan Eli.

“Kak, kapan lagi? Aku kangen, udah jarang dibelai.” Eli mengelus-elus tangan kiriku yang sedang menggenggam tuas persneling.

“Gue gak mau.” Jawabku datar.

“Kakak gak inget aku bisa apa?”

“Lo mau ngancem gue lagi? Udah gak bisa, Li. Aya udah tau, gue juga udah putus kok.”

“Hah?! Tap… tapi… i-itu…” Eli terbata-bata berusaha mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memojokkanku, nyatanya kini dia yang terpojokkan.

“Udah ya gak usah ngancem-ngancem lagi.”

“Kalo aku bilang kakak sering perkosa aku, sering maksa-maksa aku, mau ngomong apa?”

“Dih, emang Aya bakal percaya?”

“Dikira aku gak punya bukti?” Eli mengeluarkan hapenya dan memutar sebuah video yang remang-remang namun nampak jelas sosokku dan Eli di atas tempat tidur dalam video itu. Setelah kuperhatikan, itu adalah kasur di kamarku.

Video itu berlanjut selama beberapa menit, kini Eli sedang menungging sambil kugenjot dengan kasar vaginanya. Suara desah kami samar-samar terdengar, hanya suara bicaraku yang terdengar jelas.

“Nakal ya kamu, ngentot kakak temen sendiri.”

“Kaaak… ahh tunggu duluuuhhh…”

Tak kutonton lagi video itu, aku kembali fokus ke jalanan kota. Memang dari apa yang terekam di video itu aku terlihat seperti sedang memperkosa Eli. Mana kusangka ia punya senjata lain untuk menyudutkanku lagi.

“Terus lo mau apa?” Tanyaku lemah.

“Aku tau aku gak bakal bisa dapetin kakak pake cara apa pun selain cara ini.”

Aku menghentikan mobilku tepat di depan gerbang kosnya.

“Oke, tapi gue minta lo di depan orang biasa aja, dan jangan maksa gue kalo gue lagi gak mau. Bisa?”

Eli mengangguk sambil menggigit bibirnya dan menatapku menggoda. Tuas persneling dikocoknya naik turun seperti penis.

“Gak sekarang, Li.” Kutekan tombol dan membuka kunci pintu mobil.

“Yaudah, tapi cium dulu.” Eli menarikku dan mengecup bibirku. Ia kemudian keluar dan melambaikan tangannya padaku seraya berjalan masuk ke dalam kos.

Perjalanan pulangku diisi dengan lamunan tentang apa saja yang terjadi hari ini dan betapa jauhnya aku telah melenceng dari tujuanku dan rencana yang dipikirkan oleh Jinan. Sial, Jinan lagi. Ada apa dengan gadis itu dan orgasmeku tadi yang terasa lebih memuaskan? Apa karena aku akhir-akhir ini lebih sering bertemu dia?

Tak lama aku sudah sampai lagi di rumah. Kubuka gerbang dan memasukkan mobilku seorang diri dan langsung masuk ke kamar setelah mengunci gerbang dan pintu depan.

Kuputuskan untuk mandi karena tubuhku sudah lengket-selengketnya karena berkeringat tadi. Kuambil handukku dan bergegas membuka pintu kamar mandi. Aku disambut oleh suara shower yang menyala, udara hangat dan penuh uap dari dalam kamar mandi, dan sosok gadis yang sedang basah kuyup berdiri di bawah shower itu sambil memegangi selangkangannya dengan mata terpejam.

“Ji… nan?”
 
wah, update..
gamau banget kayaknya jumlah part-nya disamain, wkwkwk
 
Thanx buat updatenya ya hu..... tetap semangat yaaaa
 
terima kasih updatenya hu.... Apakah akhirnya kak jinan di next chapter... Wkwkwk...
 
Terakhir diubah:
Jadi pengen bikin cerita juga nih :hammer:

ditunggu sama jinannya jer :beer:
 
Terakhir diubah:
Sesuai janji saya ditrit situ yg satunya ya hu hehe, detailnya bagus banget, jadi gampang bayangin adegan per adegannya, diksinya juga pas, enak dibaca, karakter setiap member disini kayaknya juga udah mendekati aslinya ya, jujur saya juga ga terlalu tau karakter member2 itu aslinya gimana wkwk
dah gitu aja lah, kalo cerita udah bagus gini mah susah mau komen kalo ga template ahaha

Alias ditunggu itu main sama mira nya yg lebih enak lagi ehehe
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd