Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Is This the Love We Created? (PART 22/S1 End)

Status
Please reply by conversation.
PART 22: I Can't Live with You

To love at all is to be vulnerable. Love anything and your heart will be wrung and possibly broken.

If you want to make sure of keeping it intact you must give it to no one, not even an animal.

Wrap it carefully round with hobbies and little luxuries; avoid all entanglements. Lock it up safely in the casket or coffin of your selfishness.

But in that casket, safe, dark, motionless, airless, it will change. It will not be broken; it will become unbreakable, impenetrable, irredeemable.

.

.

.

But,

.

.

.

To love at all is to be vulnerable.


"How vulnerable should I have to be... just to feel loved?" Gumamku dalam hati sambil menghapus air mata yang mengalir di pipiku.

Kembali kutatap pantulan diriku di cermin ruang ganti. Aku tampak sangat cantik dengan gaun kuning indah ini. Mataku yang sembab dan wajahku yang kusam tampak kontras dengan anggunnya tubuhku, namun tak apa, dengan sedikit makeup bisa kututupi semua ini. Semoga untuk yang terakhir kali.

"Kamu bisa, Vin." Kataku pada diriku sendiri sebelum akhirnya aku menghembuskan napas panjang.

"At least, I can conclude this one."

.

.

.

Jerry's POV

Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;

I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.


"Jer..."

"Jer!"

Panggilan dari Mario menyadarkanku dari lamunan. Dirinya, Galang, dan Indra sudah berdiri.

"Iye... napa?" Tanyaku sambil mencoba menyembunyikan kebingunganku.

"Kita duluan ye, jangan ngelamun mulu lo." Kata Mario lagi sebelum mereka bertiga meninggalkanku di salah satu meja kafe fX Sudirman.

Minggu, 23 Februari 2020.

Tak terasa hari yang dulu kutakutkan itu adalah hari ini. Sekarang pun masih sama, ketakutanku saja yang berubah. Yang awalnya aku takut kehilangan, sekarang aku malah takut untuk menghadapi oshiku sendiri. Perasaan tak enak dan bersalah meliputiku seharian ini walaupun aku tak ikut menghadiri last show Viny, bahkan alasan satu-satunya aku ada di sini adalah untuk menemani teman-temanku yang menonton.

Aku beranjak pergi dan berjalan-jalan tak tahu arah di dalam mall yang sudah sangat familiar ini. Tanpa sadar aku sudah bersandar di railing F5, memandangi riuh ramai orang-orang di depan theater.

Sebelum aku berlarut-larut kembali dalam lamunan, sebuah tepukan di punggung menyadarkanku dan membuatku menoleh ke belakang.

"Kak Jer!" Senyuman langsung tergurat di wajah gadis yang menepuk bahuku tadi. Dia nampak senang bisa melihatku.

 Dia nampak senang bisa melihatku


"Eh, Mir..." jawabku datar. Gadis yang menepuk bahuku ternyata Mira.

"Gitu amat jawabnya, sih?" Gerutu Mira yang entah kenapa malah menjadi kesal.

"Kakak gak mau ketemu sama aku?"

"Maaf, Mir. Gue lagi mikirin sesuatu." Jawabku dengan sedikit tersenyum. Raut wajah Mira pun kembali berubah. Sekarang dia nampak kasihan melihatku. Mungkin dari gerak-gerikku sendiri sudah membocorkan apa yang ada di hati dan pikiranku sekarang.

"Kakak kenapa?" Tanya Mira lagi. Reflek aku menoleh sedikit ke arah kerumunan di depan theater JKT48. Mira pun ikut menoleh.

"Ah..." Seakan mengerti, Mira kembali menatap ke arahku.

"Yang sabar ya, kak..." Ucapnya sambil tersenyum.

Aku yang benar-benar lemas hanya mengangguk. Mira nampak berpikir sejenak, raut wajahnya kembali berubah.

"Mending ikut aku aja, kak." Ujar Mira yang tiba-tiba menarik tanganku. Tubuhku yang tak siap dapat dengan mudah dituntunnya hingga kami melangkah masuk ke dalam lift.

"Temenin aku, ya." Pintu lift menutup setelah Mira menekan beberapa tombol yang entah membawa kami ke lantai berapa.

"Huft..." Aku menghela napas.

"Gue lagi gak mood ngapa-ngapain, Mir."

"Aku cuma pengen ngehibur kak Jerry." Balas Mira.

"Aku sadar kok, kehadiran aku lebih sering ngeganggu... tapi kali ini aku beneran mau ngehibur." Ungkapnya.

"Kakak kayak gini nih bener-bener bukan kakak banget." Lanjut Mira.

"Jadi..." Mira menggenggam tanganku dan tersenyum ke arahku. Wajahnya amat manis dihiasi matanya yang terlihat bersinar dan nampak sangat indah. Dapat kurasakan ketulusan kata-kata yang ia ucapkan.

"Mmmhh... ccupphhh..."

Aku terbelalak saat Mira memanjat dan mencumbu bibirku. Ya, tak salah, Di dalam kotak yang sedang turun entah ke lantai berapa ini, Mira dengan paksa menciumku. Aku terdorong ke dinding lift karena keseimbanganku terganggu Mira yang tiba-tiba menggantungkan dirinya di tubuhku."Mmhhh! Mir-... mmpph!" Wajar saja kalau aku mencoba melepaskan bibirku dari pagutannya. Tanganku meremas pahanya yang sudah melingkar di pinggangku dengan kuat, mencoba mendorong agar tubuhnya menjauh.

"Hhmm... haampphh..." Aku yang semula memberontak akhirnya menikmati manis bibir Mira. Tanganku pun sekarang malah menggendong dan meremas bokongnya.

TING

Dentang keras penanda lift tersebut telah tiba di lantai tujuan menyudahi ciuman kami. Sambil mengatur napasku yang habis akibat percumbuan tadi, aku menatap ke arah pintu yang terbuka. Begitu pun dengan Mira yang ikut menatap kearah pintu itu. Tidak ada seorang terlihat dari balik pintu lift.

Kami pun kembali berpandangan. Mira sendiri menatapku dengan sorot mata yang sendu, napasnya pun terdengar sangat tersengal. Kutarik tubuhnya hingga kini berbalik Mira lah yang bersandar di dinding lift. Bahunya terlihat naik turun seirama dengan tarikan napasnya yang berat.

Pintu lift kembali tertutup. Lift pun hanya diam karena tidak ada yang menekan tombol dari kedua sisi, menyisakan kami yang masih diam saling memandang.

"Kak..." Ucap Mira memecah keheningan di antara kami.

"Hmmhh... mmmpphh... clp..."

Sebelum ia sempat berkata apa-apa lagi, berbalik aku yang menyambar bibirnya lebih dulu. Ciuman kami yang kedua terasa lebih intens. Mira benar-benar berhasil membangkitkan birahiku.

Mira menarik bibirnya dan memelukku.

"Aku ngehibur kakak gak cuma pake ciuman..." Bisiknya sambil sesekali menjilati telingaku.

"Tapi gak di sini, kak." Bisiknya lagi.

.

.

.

Aku membuka pintu toilet yang nampak kosong. Belum sempat tubuhku sepenuhnya masuk ke dalam toilet, sebuah tangan mungil yang halus menarik tubuhku sebelum menutup pintu toilet.

"Lama amat sih, kak?! Aku takut ada yang masuk sebelum kakak, tau!" Keluh Mira yang memandang sinis ke arahku. Setelah tadi berciuman di dalam lift, Mira mengajakku untuk meneruskan di toilet pria F7. Dia mengatakan bahwa toilet ini hampir selalu sepi dan aman untuk kami menuntaskan seluruh nafsu yang tertunda.

"Lo yakin mau nerusin di sini?" Tanyaku cemas. Meski nampak sepi, tapi aku masih khawatir jika tiba-tiba saja ada seseorang masuk dan memergoki kami sedang melakukan hal tak senonoh di tempat ini.

"Bukannya tadi kakak yang mulai?" Ucap Mira sambil menyeringai. Dia pun langsung mendorong tubuhku masuk ke dalam bilik toilet paling ujung dan langsung mengunci pintunya.

"Kalo ketahua-mmphh..." Belum selesai aku berbicara, Mira langsung melumat bibirku. Mira terus-menerus berusaha mencumbu bibirku, sampai akhirnya aku menyerah dan mulai membalas ciumannya. Kurengkuh tubuh Mira saat dia mengalungkan tangannya di leherku. Tubuh kami benar-benar dekat, sehingga membuatku dapat dengan jelas merasakan detak jantung Mira yang berdebar semakin kencang.

"Udah, kak... rileks aja." ujar Mira sembari menuntunku untuk duduk di toilet. Dia pun langsung duduk di atas pangkuanku setelah menyingkapkan rok yang ia pakai. Mira menatapku dengan tatapan yang benar-benar seksi sehingga birahiku semakin lama semakin membuncah.

"Yang ini mah jujur, kak." ujar Mira sembari menggerakan pinggul. Dia mencoba menggesekkan kemaluannya ke atas penisku yang masih terbungkus celana. Mira sepertinya merasakan kenikmatan yang lebih karena tonjolan celanaku langsung mengenai celana dalamnya.

Semakin lama, Mira semakin menikmati gesekan tersebut hingga dia menggigit bibir bawahnya. Dia pun kembali mengalungkan tangannya ke leherku dan mulai kembali mendekatkan wajahnya. Aku yang sudah kepalang nafsu akhirnya mulai mengikuti permainan panas Mira. Kukaitkan kedua tanganku ke belakang pinggul Mira dan mendekatkan jarak di antara kami. Langsung kulumat bibir Mira yang terasa tebal dan nikmat itu.

"Cuupphh... mmhhh... ssluurrpp... ccuuphh..."

Puas mengeksploitasi bibir Mira, kualihkan cumbuanku turun menuju dagu dan lehernya. Kukecup dan kuhisap leher jenjangnya yang terlihat amat mulus. Mira yang nampak keenakan hanya mendongak dan memberiku akses agar semakin bebas menjelajahi seluruh area lehernya itu.

"Sshhh... waktu kita nggak banyak, kak... Ntar Vivi nyariin aku kalo kelamaan ilaahh-... ngghh..."

Mira pun turun dari pangkuanku lalu berlutut di antara kedua pahaku yang terbuka lebar. Dengan tergesa-gesa ia membuka ritsleting celanaku dan menarik turun celana dalam hingga membuat penisku yang sudah tegang mencuat keluar. Entah kenapa Mira malah memekik kaget dan sedikit mundur saat penisku muncul dari balik celana itu.

"Hihihi... kaget."

Mira pun meludahi tangannya yang kemudian ia gunakan sebagai pelumas saat mulai mengocok penisku. Tak lama setelahnya Mira langsung memasukkan penisku ke dalam mulutnya.

"Aahh! Uuhhh... mmhhh..."

Rasanya sungguh menakjubkan. Terakhir kali aku merasakan hangatnya mulut Mira adalah ketika aku klimaks dan ejakulasi di dalamnya, namun permainan Mira saat foreplay seperti ini membuatku ketagihan.

"Ahhh... perasaan... lo gak pernah gue ajarin gini."

"Salah sendiri... aku diajarin jadi sangean gini..." Mira menjawab sambil tetap mengocok batang penisku. Aku hanya bisa mengangguk paham, lagi-lagi Mira membuatku tak bisa berkata-kata.

"Cuph... mmpphhh..." Mira mengecup kepala penisku sebelum melahapnya lagi.

Servis oral Mira memang tak sempurna tapi tetap saja nikmat luar biasa. Batang penisku hanya muat setengah di dalam mulutnya. Gerakan kepalanya naik turun stabil, menjilat dan menyedot kepala penisku di tiap tarikan kepalanya. Sisa batang penisku yang tak muat dikocoknya dengan kedua tangan. Air liurnya yang meluber keluar dari dalam mulutnya melumasi seluruh sela penisku dengan sempurna, membuat kocokannya semakin enak. Entah berapa lama Mira tak bosan-bosannya menjejali mulutnya dengan penisku, dan selama itu pula Mira tetap melirik ke atas, menjaga kontak mata denganku.

"Mir... ssshhh... udahhh... plis..."

"Mpphh... ahhh! Slrrpp... kenapa, kak?" Tanya Mira yang masih saja mengocok penisku yang becek dengan ludahnya, seakan tak ingin batang itu melemas hanya sedikit saja.

"Gapapa, Mir... Langsung aja, ya."

Mira pun mengangguk, ia lantas menurunkan celana dalam yang digunakannya hingga terlepas.

Sambil memegangi ujung roknya, Mira mengangkang di atasku. Ia pun langsung mencoba memasukkan penisku kedalam vaginanya. Baru saja kepala penisku membelah bibir vagina Mira, pinggulnya berkedut dan kembali terangkat.

"Uuuhh... sakiiit..."

Sama seperti yang kurasakan, vagina Mira sendiri belum terlalu basah hingga terasa agak perih saat dia mencoba memasukkan penisku kedalam liangnya itu.

"Bentar..."

Aku lantas mengambil alih. Kugesekkan penisku ke bibir vagina Mira, mencoba membuatnya lebih terangsang agar bisa mengeluarkan cairan pelumas alami. Mira nampak merem melek menerima seluruh rangsangan tersebut hingga entah sadar atau tidak, ia mengangkat kaos dan menyingkap bra yang dikenakannya.

Melihat pemandangan payudara kencang Mira dengan puting coklat mudanya yang sudah mengeras di hadapanku membuatku refleks mengisapnya.

"Aaangghh..." Mira menjambakku pelan saat isapanku semakin kuat, ditambah ujung putingnya kujilat di dalam mulutku. Tak lama, penisku akhirnya mulai basah oleh lendir vaginanya yang merembes.

"Gue masukin ya, Mir." Mira hanya mengangguk. Kugenggam pinggulnya sambil mengarahkan penisku masuk ke dalam vaginanya yang sudah terasa licin. Setelah kepala penisku masuk, langsung saja kutarik pinggulnya turun.

"Uuuhhh... kaakk! Pelaann..." Mira sedikit terkejut saat batang penisku berhasil masuk setengahnya.

"Oooh... Mir!" Vaginanya masih terasa sangat sempit, masih seperti pertama aku mengambil perawannya. Sensasi jepitan vagina Mira sungguh membuatku melupakan kesedihanku tadi. Vagina Mira benar-benar mengalahkan gadis-gadis lain yang pernah kujamah.

"Lo aja yang gerak, Mir..."

Mira mengangguk. Setelah menarik napas, dia pun mulai menaik turunkan tubuhnya perlahan-lahan. Sedikit demi sedikit goyangannya membuat penisku terbenam semakin dalam masuk ke liang vaginanya yang masih terasa sangat sempit.

Semakin lama, ayunan pinggulnya terasa semakin cepat. Kutahan bobot tubuh Mira dengan kedua tanganku di sela-sela ketiaknya, membantu gerakan naik-turun tubuh Mira agar tetap konstan. Tangan Mira sendiri menopang ke bahuku, membuat jarak di antara tubuh kami agar dia bisa leluasa menggenjot penisku.

"Aahhh... aahh... kaakkhh..." Desahan Mira terus terdengar cukup keras menggema mengisi keheningan di toilet.

"Mmmhh... clp..." Langsung kulumat bibirnya agar ia tak mendesah lebih kencang lagi. Mira yang sudah terangsang langsung membalas ciumanku.

"Ahhh... Mir... Ssshh..." Kusudahi ciuman kami dan kini ikut menggerakan pinggulku. Semakin lama, gerakan kami pun semakin cepat. Quickie di tempat umum seperti ini sedikit menambah gairahku.

"Kaaak... terusshh... jangan berentiihh..." Racau Mira yang kini menengadah. Matanya terus terpejam, kepalanya menggeleng seakan tak berdaya menghadapi rangsangan penisku yang menggesek dinding vaginanya. Mira nampak meresapi seluruh kenikmatan senggama ini.

"Kaakk ... nnggg-... MMHHH!"

Lama menggenjot tiba-tiba kaki Mira menegang, tubuhnya mengejang diatas pangkuanku. Mira orgasme, ia mengulum bibir untuk menahan desah. Dinding vaginanya terasa mengisap-isap penisku. Kudekap tubuh Mira dan langsung kuhentakkan pinggulku kencang hingga membuat Mira kembali melenguh nikmat.

"Hhh... hhh..."

Mira yang kelelahan akibat orgasmenya kini menopang dagunya di bahuku. Deru napasnya yang berat terasa panas menerpa tengkukku saat Mira mencoba kembali mengatur napasnya. Punggung bajunya pun terasa basah oleh keringat saat kuelus.

Setelah orgasmenya mereda, Mira mengangkat tubuhnya lalu menatap mataku. Ia tersenyum, senyuman yang seolah memberikan ucapan terima kasih atas seluruh kenikmatan persetubuhan kami.

"Kakak belum keluar, ya?" tanya Mira lirih. Nampak raut wajahnya menyiratkan kelelahan.

"Belum, Mir. Lo capek?"

"Iya, Kak." Mira nampak menghela napas sebelum kembali berbicara.

"Huft! Ya udah lagi yuk, kak. Tapi gantian." Mira bangkit dari atas pangkuanku. Nampak cairan bening mengalir turun saat penisku lepas dari liang vagina Mira.

"Semangat banget lo."

"Kan aku udah bilang mau ngehibur. Ya udah bangun, kak!" Alih-alih duduk di atas toilet, Mira malah merangkak dengan menopangkan kedua lututnya diatas dudukan toilet sehingga menungging membelakangiku yang sudah berdiri. Ia pun menopang tubuh dengan menahan kedua tangannya di dinding.

"Yuk, kak." Ucapnya saat menoleh ke belakang. Bokongnya yang tak begitu besar namun terlihat sekal dan montok benar-benar menantangku untuk kembali menggenjotnya.

"Gak capek?" tanyaku sambil mengelus dan sesekali meremas pantatnya. Pertanyaan yang sebenarnya tak kupedulikan jawabannya karena langsung saja kuarahkan penisku kembali masuk ke dalam liang senggamanya.

"Bawel, ih. Udah cepet!"

"Aaa-... nggghh..." Mira langsung mendesah saat penisku kembali menjejali vaginanya. Aku kembali menggenjotnya yang berlutut di atas toilet duduk dengan tempo sedang. Vaginanya semakin terasa menjepit karena kedua kakinya tertutup rapat. Suara decitan lutut Mira yang menggesek tutup toilet samar terdengar di antara suara tepukan selangkanganku yang menghajar pantatnya dan suara desah kami berdua.

Tangan kananku mulai merengkuh payudara Mira yang sudah tersingkap tadi sambil memainkan putingnya sedangkan tanganku yang satunya masih memegangi pinggul Mira agar tetap stabil dalam menggenjot. Mulut Mira membuka saat tubuhnya terus berguncang seirama dengan tusukan penisku sementara matanya sesekali terpejam. Mira benar-benar terlihat amat seksi dan menggairahkan.

"AAHHH!!"

Tiba-tiba saja Mira mendesah cukup kencang. Tanganku yang meremas payudaranya beralih menutup mulutnya.

"Mmmhh... ngghh... mmpppphhh..." Permainan kami terasa semakin penuh nafsu karena Mira terus mendesah walau ditutupi tanganku. Mira benar-benar tak peduli dengan posisi kami yang berada di dalam toilet umum.

"Jangan berisik, Mir!" Ucapku setengah berbisik sambil kembali meremas payudaranya.

"Aahh ... iyahhh... kak... mhhh..." Mira mengulum bibirnya saat kupercepat genjotanku. Hentakan penisku pada vagina Mira sangat liar hingga peluh mulai menetes membasahi keningku. Ruangan toilet yang sempit ini pun terasa semakin pengap dan panas.

"Aahh... aahhh... uuhhh... mmphh..." Desahan Mira semakin menjadi-jadi seakan sudah tak peduli lagi dengan posisi kami yang sedang berada di dalam toilet umum.

"Ngghh..." Tak sadar aku pun melenguh merasakan kenikmatan dari pijatan vagina Mira. Kutarik satu tangannya yang menumpu dinding hingga kini seluruh lengan kanannya menghadapku seperti tali kekang. Hentakan penisku semakin kencang dan dalam setelah genggamanku pada lengannya, membuat tubuh Mira berguncang tak karuan. Sedotan dinding vagina Mira pun terasa semakin kuat.

"Aahhh! Ngghh-... Hahhh!" Mira melenguh kencang. Ia kembali orgasme. Seluruh tubuhnya gemetar hebat hingga tangan kirinya tak cukup kuat lagi untuk menumpu dinding. Mira ambruk dan membenturkan pundak kanannya pada sandaran toilet.

DUG

Dari bunyinya pun terasa menyakitkan, tapi Mira tetap terfokus pada kenikmatan yang ia rasakan sekarang, dan aku masih terfokus menikmati liang vaginanya yang semakin menyedot penisku karena orgasmenya.

"Hhh... hhh..." Sambil tetap berusaha mengatur napas, aku menghujamkan penisku tak henti-hentinya.

"Iyahh... aku pengen kakak puas... sshh terusshh..."

"Hahh... lo pengen... apa, Mir?"

"Peng-... ahhh! Pengen puasin kakak... hahh... nggh..."

Kuremas payudaranya kencang-kencang dan kutarik tubuhnya. Punggungnya kini menempel dengan dadaku. Mira merespon dengan langsung menciumi bibirku ganas.

"Mmmhh... clp... clp... ahhh... kak... terusshh..."

"Mir... ahhhh... dikit lagi..."

"Iyahhh... crot ajahh... aku lagi aman..." Pinta Mira yang menoleh ke belakang, ia menatapku dengan mata sendu dan lidah yang sedikit terjulur dari mulutnya yang menganga.

"Ngghh! Hahhh!" Erang Mira bersamaan dengan orgasme ketiganya. Isapan vagina Mira semakin kuat hingga membuatku tak bisa lagi menahan ejakulasiku.

"Ahhh... Miraaahh!" Kuhentakkan penisku dalam-dalam untuk yang terakhir kali sambil meremas kedua payudara Mira kuat-kuat.

Crot crot crot crot crot.

Kedutan penisku saat ejakulasi membuat isapan vagina Mira benar-benar semakin terasa. Spermaku benar-benar dikurasnya habis.

"Mhh... clpp... nggh..." Kucium Mira dengan perlahan karena kutahu napas kami masih sama-sama tak beraturan.

Setelah berciuman beberapa saat, kulepas ciuman bersamaan dengan penis lemasku yang lepas sendirinya dari liang vagina Mira. Spermaku mengalir keluar ke paha Mira, sebagian langsung menetes ke tutupan toilet tempat Mira berlutut.

"Makasih udah mau kuhibur, kak..." Mira tersenyum sambil menggigit bibir dan memandangku penuh nafsu. Kaosnya basah kuyup, begitu pula kaosku karena keringat kami berdua.

Aku menatapnya bengong. Otakku seakan dibuat tak bekerja karena nikmat yang Mira berikan. Sepertinya Mira berhasil membuatku melupakan hal-hal yang membebani pikiranku. Kalau ini yang dimaksud dengan 'menghibur', Mira benar-benar sukses.

"Oh iya." Mira memecah keheningan.

"Aku sebenernya nyamperin kakak tadi mau ngomongin sesuatu." Katanya sambil tersenyum.

Tanpa memberi kesempatan bagiku untuk memikirkan kata-katanya ataupun menjawab, Mira sudah berbicara lagi.

"Tentang yang kakak bilang waktu itu dalem mobil. Aku udah mikirin, dan emang bener yang kakak bilang, sih. Aku ngerasa sejak aku jadi member, aku berubah jadi orang yang dangkal banget, dan lama-lama aku juga jijik sama diri sendiri."

"Mir..." Aku masih mencerna tiap kata yang diucapkan Mira.

"Tapi bukan salah kakak, kok. Bukan salah fans aku dan jeketi juga. Cuma aku yang bisa bertanggung jawab sama diriku sendiri. Kalo aku berubah jadi lebih buruk dari aku yang sebelumnya, ya cuma aku sendiri yang harus disalahin dan aku sendiri yang harus mengubah diri." Jelas Mira yang kemudian tersenyum padaku.

"Makasih udah nyadarin aku dan makasih udah mau jadi temen aku, yaaa walau kita temenannya kebanyakan gituan sih, hehehe." Lanjut Mira.

"Kenapa ngasitau ini sekarang, Mir?" Tanyaku penasaran.

"Aku udah bikin keputusan buat ke depannya dan yang jelas gak mungkin bakal ketemu kakak lagi. Jadiii... tadi mau nyamperin kakak itu mau ngucapin selamat tinggal, hehe. Taunya kakak lagi sedih terusss... akunya juga sange pas ketemu."

"Tapi tenang aja, kak. Aku bener-bener gak nyesel kok selama kenal sama kakak. Gak usah ngerasa bersalah. Kita abis ini berpisah tapi kakak tetep bakal jadi temen aku."

"Selain emang buat ngehibur, anggep aja yang barusan itu kado perpisahan." Mira tersenyum lagi dan akhirnya mengakhiri apa yang ingin disampaikannya.

Setelah membersihkan bilik toilet dan merapikan diri serta pakaian kami, Mira meninggalkanku dan keluar lebih dulu. Tak lama kemudian aku pun kembali berjalan sendiri di dalam mall. Aku kembali melihat ke arah theater dan kerumunan yang ada di depannya. Samar-samar terlihat Viny dengan dress kelulusan kuningnya itu di balik badan-badan yang menghalangi. Ini pasti momen pelepasan kabesha Viny, pikirku.

Kutinggalkan daerah sekitar theater karena tak ingin terlalu larut dalam kesedihanku


Kutinggalkan daerah sekitar theater karena tak ingin terlalu larut dalam kesedihanku. Aku akhirnya pulang dengan teman-temanku setelah semua rangkaian acara last show Viny selesai. Sepanjang perjalanan aku kembali memikirkan tentang Viny, dan kemudian ditambah tentang apa yang dikatakan Mira tadi. Mira membuatku malu. Ia berani mengaku ada yang salah pada dirinya, berani mengemban tanggung jawab kesalahan itu sendiri, dan berani mengambil langkah untuk memperbaiki diri.

.

.

.

"Aku mandi dulu bentar ya, kak." Kata Aya yang meninggalkanku sendiri di ruang tengah apartemen Jinan saat ia masuk ke kamar sahabatnya itu.

"Jangan lama-lama, Ya."

Kuputuskan untuk keluar dan menunggu di mobil, mungkin sambil merokok sebatang dua batang sembari menunggu urusan mereka berdua selesai sehingga aku dan Aya bisa segera pulang. Belum sempat aku melangkah masuk lift, sesuatu membuatku menoleh ke arah pintu tangga darurat. Tak tahu apa itu namun perhatianku sepenuhnya teralihkan. Aku sendiri pun tak mengerti mengapa aku begitu tertarik pada tangga darurat hingga alih-alih menaiki lift, aku malah membuka pintu tangga darurat dan mulai melangkah naik.

Kubuka pintu rooftop dan melangkah keluar. Tubuhku disambut angin malam dingin yang menerpa. Setelah menengok ke kanan kiri, aku tersadar bahwa aku tak sendiri di sana. Viny. Orang yang terakhir kali kutemui di sini, dan kali ini ia juga yang hadir. Acara kelulusannya sudah berjam-jam yang lalu namun Viny masih mengenakan dress kuningnya itu sambil berdiri di ujung, menatap langit. Dari hanya wajah sampingnya yang terlihat, nampak Viny memendam sesuatu, sesuatu yang sangat menyakitkan hatinya.

"Vin?" Sapaku sambil melangkah lebih dekat ke arahnya.

Viny menoleh, matanya berbinar penuh air mata, pipinya pun basah dipenuhi tetes air mata yang mengalir. Matanya mengarah padaku, namun dapat kurasakan ia tak benar-benar memandangiku. Viny kembali menatap langit.

"Jer..."

Viny tak berkata apa-apa lagi sebelum menutup matanya. Kedua tangannya ia satukan di dada, dan satu kakinya melangkah ke depan. Viny berusaha terjun dari gedung ini.

"VIN!" Menyadari apa yang terjadi, aku berlari di sisa jarakku dengannya. Aku berhasil menggenggam dan menarik pundaknya, tapi entah apa yang terjadi. Mungkin aku tersandung, atau mungkin posisi tubuhku saat menarik Viny yang canggung.

Dunia di sekitarku serasa terhenti dan sesaat kemudian dimulai lagi dalam gerak lambat.

Aku melihat Viny yang semakin lama semakin jauh meneriaki diriku tapi tak ada yang bisa kudengar. Teriakan Viny, suara angin, bahkan detak jantungku sendiri. Semuanya sunyi dalam dunia slow-motion ini. Di saat ini aku kebingungan, sesaat kemudian aku tersadar apa yang terjadi. Aku sedang terjun bebas dari atap gedung apartemen, dan tak ada lagi yang bisa kulakukan. Tak ada yang bisa menyelamatkanku.

...

Apakah ini akhir dari hidupku?

...

Tak ada pencapaian, tak ada yang bisa dibanggakan diriku sendiri maupun keluarga.

...

Sia-sia. Kata itu yang terngiang-ngiang dan terulang-ulang dalam otakku saat akhirnya aku menutup mata, menunggu apa yang akan terjadi. Hidupku sia-sia. Tak berdampak dan tak berarti. Payah. Menyedihkan. Mengecewakan.

.

.

.

BRAK! TIN TIN TIN TIN TIN!

BRAK! TIN TIN TIN TIN TIN!


.

.

.

That certainly was a pickle, wasn't it?


"Am I... dead now?"

Dead? Good lord, no. If you are, I would not be the one talking to you right now.

"Then?"

You almost exchanged your life for another.

"Almost?"

Almost. You're not dead, and she is safe.

"What is this place, then?"

Didn't I explain that to you already?

"You never explained anything to me."

I suppose you are due one, after everything that happened and whatnot. I am your conscience and this is where you go every time your consciousness fades. Well, not every time, but lately you've been pretty good at striking conversations with me.

"So, I am unconscious now?"

Err... if you interpret severe head trauma and multiple physical injury as unconscious then... yes!

"Why don't I feel any pain?"

You want to feel pain? Oh trust me, you don't. Be thankful that you passed out before you felt all those cracking bones, severed tendons, and everything in between.

"What's next, then?"

We'll play the waiting game, I guess. From what I could gather, you've been shoved in an ambulance heading straight to the ER.

.

.

.

Author's POV

Jerry berhasil ditangani oleh tenaga medis yang bertugas dan setelah ditempatkan di dalam ruangan ICU selama beberapa minggu, Jerry dipindahkan ke kamar rawat inap dalam keadaan koma. Selama waktu itu Aya terus mendampingi Jerry, menangisi kakaknya yang terbaring tak berdaya dikelilingi alat bantu hidup.

Pekan berganti bulan, bulan berganti tahun. Jerry tak kunjung sadar. Dunia di sekelilingnya tetap berputar, tetap berlanjut, dan semakin berubah hari demi hari.

Aya tetap setia di sebelah Jerry, begitu pula kedua orang tuanya. Kewajiban Aya menjaga Jerry memakan waktu, mental, dan fisiknya hingga akhirnya ia menyatakan lulus dari JKT48, sebuah harga yang tak ada apa-apanya dibandingkan kehilangan kakak yang ia cintai.

Viny merasa bersalah. Pikiran pendeknya sudah mencelakakan Jerry. Berbagai cara sudah dilakukan Viny untuk membalas budi pada Jerry, namun selalu ada Aya yang menghalangi. Aya menyalahkan Viny atas apa yang terjadi, dan memang tidak salah. Segala upaya Viny untuk memperbaiki hubungan dengan Aya dan Jerry ditolak mentah-mentah, bahkan untuk bertemu pun tak diizinkan Aya. Viny akhirnya pulih dari depresinya, lama-lama ia disibukkan kegiatan barunya dan tak lama kemudian ia juga bertunangan. Jerry berhasil terpendam dalam tumpukan memori-memori di hati Viny, semua berkat Aya yang terus menghalanginya.

Mira menepati kata-kata terakhirnya pada Jerry. Walaupun tahu apa yang terjadi, Mira tetap teguh dan tak ikut ketika member-member lain beramai-ramai datang menjenguk Jerry. Ia juga mengumumkan kelulusan dari JKT48 tak lama setelah Aya dengan dalih cedera di pundak kanannya, cedera yang nyatanya bukan dari latihan maupun perform. Hanya Mira dan Jerry yang tahu kebenaran itu. Mira sekarang hampir tak pernah diliput media, ia bahkan baru-baru ini pindah ke luar kota untuk menemukan dirinya yang baru.

Eli tetap berteman dekat dengan Aya, namun kelulusan Aya membuat mereka jadi lebih jarang bertemu. Karena keadaan Jerry yang memang tak bisa diajak 'main', ketertarikan Eli pada Jerry sedikit demi sedikit terkikis hingga kini Eli lebih memilih pria lain untuk dijadikan living sex toy-nya.

Jinan masih menjadi member JKT48 dan menjadi yang paling sering menemani Aya untuk mengurus Jerry. Sahabatnya itu benar-benar berterima kasih akan kehadiran Jinan yang selalu ada sebagai dukungan moral. Satu yang masih dipendamnya selama ini. Jinan masih mencintai Jerry.

-END OF SEASON 1-

***

Author's Notes

Akhirnya 1st Season ITILWC bisa diselesaikan. Terima kasih untuk semua yang sudah membaca, like, dan komen selama ini. Semoga S2 bisa dikerjakan secepatnya ya hehehe.

Review, kritik, saran, dan masukan sangat diterima sekali. Silahkan komen tentang series ini keseluruhan, part ini, maupun part lain. Luapkan saja semuanya.

P.S. Part ini dipersembahkan kepada Amirah Fatin yang sudah mengumumkan kelulusannya. Happy graduation!
 
Terakhir diubah:
Jerry yang menjadi pusat penokohan season 1 hampir berakhir hidupnya.,
so, siapa yg bakal mengambil peran selanjutnya.....🤔🤔🤔
 
Akhirnya muncul juga, kemana aja hu? Sekalinya update langsung tamat, mana sedih lagi, duh

Well, sad ending ya, double lagi, gradnya viny sama mira, kalo viny mungkin emang sesuai plot, kalo mira kebetulan aja pas atau emang sengaja dibuat sesuai di rl, tapi malah pas banget sih buat jadi ending ceritanya, makin mirip di rl makin dapet sih emang feelnya, mana nyambung ke bahu juga lagi wkwkw

Jadi penasaran sama season 2 nya, soalnya jujur aja saya bingung pemeran utama ceweknya siapa disini wkwk, tapi kayaknya jerry bakal memulai hidup baru, hmm... tapi entah lah, terlalu banyak pilihan plotnya.
Dah lah, gitu aja, ditunggu season 2 nya, sama cerita satunya juga ditunggu haha
 
aku nangis:')
karena viny
karena jerry
exchange another life
viny tunangan
aya setia jagain jerry
:''''
 
I see Robert Frost I comment

Liat tulisan bagus gini jadi pengen apdet dah, apaka waktunya saya membuka gembok cerita saya:ngacir::ngacir:
Btw, congrats for finishing the first season!
 
Jerry yang menjadi pusat penokohan season 1 hampir berakhir hidupnya.,
so, siapa yg bakal mengambil peran selanjutnya.....🤔🤔🤔
bakal tetep jerry kok hu, tenang aja hehe
Makasih udah namatin cerita ini hu 🙏
makasih sudah setia menunggu hu
Akhirnya muncul juga, kemana aja hu? Sekalinya update langsung tamat, mana sedih lagi, duh

Well, sad ending ya, double lagi, gradnya viny sama mira, kalo viny mungkin emang sesuai plot, kalo mira kebetulan aja pas atau emang sengaja dibuat sesuai di rl, tapi malah pas banget sih buat jadi ending ceritanya, makin mirip di rl makin dapet sih emang feelnya, mana nyambung ke bahu juga lagi wkwkw

Jadi penasaran sama season 2 nya, soalnya jujur aja saya bingung pemeran utama ceweknya siapa disini wkwk, tapi kayaknya jerry bakal memulai hidup baru, hmm... tapi entah lah, terlalu banyak pilihan plotnya.
Dah lah, gitu aja, ditunggu season 2 nya, sama cerita satunya juga ditunggu haha
halo, kemarin ngambil jeda cukup lama karena satu dan lain hal hehehe sama emang udah lebih aktif di platform sebelah sih, ada cerita baru yg gak ada di sini
aku nangis:')
karena viny
karena jerry
exchange another life
viny tunangan
aya setia jagain jerry
:''''
waduh cerita saya bikin nangis...
Nice one suhu.. ga sabar kelanjutan season 2 nya..
ditunggu ya suhu
I see Robert Frost I comment

Liat tulisan bagus gini jadi pengen apdet dah, apaka waktunya saya membuka gembok cerita saya:ngacir::ngacir:
Btw, congrats for finishing the first season!
makasih, ditunggu endingnya persona, udah ngespoil tapi gak dilanjut!

any thoughts buat ending season 1 ini?
 
oke ending yg membagongkan... luar biasa huu, ditunggu season berikutnya
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd