Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Is This the Love We Created? (PART 22/S1 End)

Status
Please reply by conversation.
PART 10: Good Old-Fashioned Lover Boy

“Kak, tunggu dulu!” Jinan menarik tanganku, aku tak jadi melangkah ke depan. Sontak aku menoleh ke arah Jinan.

“Kenapa?”

“Itu di parkiran masih ada kakak tingkat aku.” Aku menoleh ke arah parkiran mobil, benar saja ada beberapa pria yang sedang duduk-duduk dan berbincang-bincang.

“Ya terus?”

“Mereka wota.” Jinan memandangi pria-pria itu, raut wajahnya kesal.

“Dih benci amat sama wota.”

“Ih bukan gitu kak, mereka tuh sering tubirin aku, sering foto aku diem-diem gitu.”

“Waduh susah juga ya kalo kita jalan bareng gini.”

“Makanya, tungguin mereka pergi dulu aja kali ya kak.”

“Ya-yaudah deh… tapi ini tangannya dilepas dulu sih Nan.” Jinan menyadari bahwa tangan kami masih berpegangan, ia menatap tangannya, lalu wajahku, lalu tangannya lagi, dan setelah beberapa detik berlalu barulah Jinan melepas genggaman tangannya.

“Ma-maaf kak.” Jinan membuang muka, dari nada bicaranya saja ia terdengar malu dan canggung.

“Gak, gak usah minta maaf. Gak salah kok.” Aku mengambil bungkus rokok dan korek dari saku celanaku.

“Jangan ngerokok sih, gak baik.” Aku melirik Jinan yang kukira tadi sudah tidak lagi memandangiku.

“Ada aku maksudnya, nanti jadi perokok pasif terus sakit, kakak mau tanggung jawab? Lagian area kampus disini juga gak boleh buat ngerokok kali kak.” Jinan benar. Kami masih berada di pekarangan gedung fakultas tempat aku dan Jinan baru saja keluar tadi.

“Yaudah kantin yuk.” Aku langsung berjalan menuju kantin, tak jauh, dan arahnya juga berlawanan dari arah wota-wota tadi jadi menurutku aman-aman saja.

“Kak! Tungguin.” Jinan berlari-lari kecil berusaha mengejarku.

Kami tiba di kantin fakultas, tak sebesar kantin utama di kampus ini, makanannya pun tak lengkap dan tak seenak kantin utama tempat biasa aku singgah menunggu pergantian kelas tapi tak apalah, niatku juga hanya ingin merokok. Aku langsung saja menggenggam sebatang rokok dari bungkusnya langsung dengan bibirku dan dengan beberapa gerakan tangan saja rokokku sudah tersulut. Bungkus rokok dan korek kuletakkan di atas meja, aku duduk di bangku tepat di depan meja itu.

“Pfuuh… pesen aja Nan sambil nunggu.” Aku meniup asap rokokku menjauh dari arah Jinan.

“Udah, batagor sama es teh doang sih hehe.” Jinan duduk di hadapanku, tote bag warna creamnya itu ditaruhnya di atas meja.

“Hah? Kapan?”

“Barusan, kakak sih asik banget nyalain rokok.”

“Namanya juga lagi pengen.” Aku mengisap kembali rokokku, satu tarikan panjang.

“Pfuuuh… oiya mau ke rumah ngapain? Bukannya ada show SnM hari ini?”

“Kepo deeeeh. Urusan cewe kak.” Jinan mengambil hape dari dalam tote bagnya.

“Terus gak latihan?”

“Aku udah ijin telat kok.” Aku tak merespon jawaban Jinan.

“Gimana di tim T?”

“Ya gak gimana-gimana.” Aya melirikku sejenak, lalu kemudian sibuk mengetik sesuatu di hapenya.

“Lagian kita juga bakal dibubarin kok.”

“Uhuk… ehem… serius?!” Aku tersedak asap rokokku sendiri.

“Iya dinonaktifkan sementara gitu, tapi member tim T sekarang bakal dipecah gitu deh ke J atau K3.”

“Terus? Lu bakal kemana?”

“Kalo yang itu aku gak tau, masih di manajemen.” Pesanan Jinan tiba, setelah berterima kasih kepada ibu-ibu yang membawakan makanannya, Jinan langsung melahap batagor pesanannya itu.

“Seenak itu Nan?” Aku memerhatikan Jinan yang sedang makan, suapannya cepat tapi tak pernah belepotan di sekitar mulutnya.

“Iya enak banget, ketahuan kakak gak pernah ke kantin sini kan.”

“Biasanya di kantin gede sih, milih minum lebih lengkap.”

“Mending disini aja kak, batagor enak es teh juga enak.” Aku tersenyum melihat Jinan makan dengan lahapnya. Terlepas dari persona yang ingin ditampilkan Jinan di JKT48, sebenarnya dia tidak terlalu berbeda dengan gadis-gadis seusianya, manja dan ingin disayangi.

Aku membuang puntung rokokku lalu fokus ke hapeku sendiri.

Viny
pagi jer, semangat kuliahnya
aku jg mau kelas nih
see u when i see u


Aku senyum-senyum sendiri membaca chat dari Viny. Kuputuskan untuk tak membalasnya dan beralih ke chat-chat di bawahnya.

Aya
kaaaak
lg kelas ya?
ayah ibu baru sampe nih, kalo pulangnya cpt bawain makan
kalo lama kabarin
janlup jumatan


Jerry
iya ini udah kelar kelasnya tp lg nungguin jinan makan
katanya mau kesana


Aku menoleh ke Jinan dan menaruh hapeku, kulihat ia sekarang mengunyah makanannya pelan, batagor di piring pun hanya dimain-mainkannya dengan sendok.

“Kenapa Nan? Kenyang?”

“Eh? Ngga.” Jinan masih tetap tidak bersemangat, seakan memikirkan sesuatu.

“Terus?”

“Aku keinget kak.”

“Nan…”

“I-iya… maaf-maaf.”

Yang dimaksud Jinan adalah malam itu, malam aku mengantarnya pulang.

*

Saturday, September 7th 2019
23:02


Aku mengecek hapeku sejenak sebelum menyalakan mobil dan keluar dari area parkir ini, Jinan sudah menungguku di depan gerbang kampus sambil membawa beberapa kotak hadiah. Mobilku kuhentikan di sampingnya, Jinan masuk, kotak-kotak tadi ditaruhnya di belakang.

“Itu apaan? Ada yang ngasih hadiah?” Aku menoleh ke belakang, memperhatikan kotak-kotak itu.

“Ya kali kak, itu aku mau ngasih surprise ke pacar aku, anter ke kosnya ya.” Jinan memasang sabuk pengaman, tali sabuk menekan dadanya, memisahkan payudara kanan dan kirinya yang kini tercetak jelas dibalik kaos panitia event kampus yang dikenakannya itu.

“Waah member main-main nih, tubirin ah.” Aku meraih hapeku.

“Kok jahat sih!” Jinan memukul-mukul pundakku.

“Tau gini gak minta dianter kakak.”

“Becanda Nan becanda, serah aja sih mau pacaran apa gak, asal gak ceroboh aja.”

“Dianter kemana nih?”

“Ini kak, tau gak?”

“Yaudah sebutin aja arahnya.” Aku menginjak pedal gas dan mengemudikan mobilku mengikuti arahan Jinan.

“Lu ngapain ikut kepanitiaan sih? Malah jadi panitia gak jalan, ijin bohong lagi sama ketuanya.”

“Sengaja kak, ortu aku kan ngasi ijin aku pulang malem kalo jeketian doang, makanya ikut panitia biar diijinin pulang malem, pas juga kan malem ultah cowo aku.”

“Pinter banget bohong ya.”

“Ini namanya usaha kak buat orang yang disayang.”

“Ortu gak disayang ya? Malah dibohongin.”

“Ih kakak masa gak pernah sih? Eh di depan belok kanan kak.”

“Gue sih gak pernah. Kalo gak dibolehin ortu yaudah gak boleh.”

“Bohong ah.”

“Bener kok, emang jarang dilarang-larang aja, udah gede harusnya udah tau bener salah katanya.”

Aku menyetir sekitar setengah jam lebih sebelum kami tiba di sebuah gedung kos-kosan yang tidak terlalu tinggi, mungkin sekitar 3 atau 4 lantai. Jinan mengambil kotak-kotak tadi dari kursi belakang dan membuka salah satunya, sebuah cake berbentuk hati dengan icing warna cokelat dan putih disertai tulisan ‘Happy Birthday My Love’. Jinan mengambil 3 buah lilin ulang tahun dari dalam tasnya dan dengan hati-hati menaruhnya di atas cake.

“Aku turun ya kak, kakak balik aja gapapa kok.”

“Yakin aman Nan?”

“Iya yakin, nanti aku telpon deh kalo ada apa-apa.”

“Yaudah, yang dicariin nanti gue loh. Stay safe Nan.”

Aku pergi meninggalkan Jinan, terlihat dari spionku dia sedang menyalakan lilin lalu kemudian berjalan masuk. Aku mengemudikan mobilku kembali ke kampus, acara masih berjalan tanpa aku. Di tengah jalan aku mampir sebentar ke minimarket 24 jam, membeli sebungkus rokok dan air mineral.

Baru saja aku masuk lagi ke dalam mobil tiba-tiba hapeku berbunyi, langsung saja aku membuka hapeku sebelum mulai menyetir.

Jinan
kak jemput
p
p
p


Ini anak baru juga ditinggal bentar udah nyuruh jemput, tau gini aku tunggu disana aja tadi. Mobilku berjalan kembali ke tempat aku meninggalkan Jinan tadi. Dari jauh lampu mobilku sudah menyinari Jinan yang berdiri tertunduk menatap hape di tangannya. Jinan menyadari mobilku yang menghampirinya dan langsung masuk, pintu mobilku ditutup keras. Jinan terdiam, ia menangis sesenggukan, air matanya terjatuh mengenai layar hape yang sekarang dipangku di pahanya, tubuhnya gemetaran.

“Kenapa Nan? Gagal?” Aku memegang pundak Jinan, tangisnya makin tak bisa dibendung, make up yang dikenakannya perlahan luntur terkena air matanya yang mengalir makin deras.

“Jalan aja… cepet jalan kak!” Aku menginjak pedal gas dan buru-buru menjauhi gedung kos itu. Air mineral yang tadi kubeli kuberikan pada Jinan, ia meminumnya sambil masih sesenggukan.

“Kenapa? Ini lu kenapa?”

“Aku gak mau pulang malem ini, jangan anter aku pulang.” Jinan mengambil beberapa helai tisu dari tempatnya di atas dasbor mobil dan mengusap wajahnya.

“Terus kemana? Kampus?”

“Gak!”

“Mau ke rumah Aya?”

“Gak mau juga… Pokoknya aku gak mau!”

“Terus kemana Nan?”

“Aku gak peduli, jangan bawa aku pulang.” Aku tak menjawab Jinan. Kuputuskan untuk tidak bertanya juga sampai dia sudah agak tenang nanti.

Aku mengemudikan mobilku tak tentu arah mengikuti jalan. Waktu berlalu dan sekarang sudah memasuki tanggal 8 dini hari, tangis Jinan masih tak juga berhenti. Aku memutuskan untuk pergi ke satu tempat yang tak seorangpun bisa mencariku atau Jinan di jam-jam seperti ini, studio rekaman musik pribadi milik Galang yang ia titipkan kuncinya padaku. Kami tiba, dari luar terlihat ini hanya seperti rumah komplek biasa dengan halaman yang sedikit lebih luas yang biasa kami gunakan sebagai tempat parkir, teras depan rumahpun dipenuhi kursi dan sofa-sofa yang melingkari sebuah meja kayu, di atas meja masih tersisa beberapa gelas bekas kopi dan asbak yang belum dikosongkan isinya. Aku menghentikan mobilku tepat di depan teras, kulihat Jinan menoleh-noleh mengamati rumah ini.

“Ini rumah siapa?”

“Udah ikut aja.”

Aku turun dari mobil dan berjalan masuk, tak lupa untuk menghidupkan setiap lampu di rumah ini. Aku sampai di depan sebuah pintu yang dilapisi potongan karpet coklat yang warnanya sudah mulai pudar, kutarik pintu tebal ini agak keras dan masuk ke studio. AC dan lampunya kunyalakan, kini nampak sebuah set drum yang sudah lumayan usang di pojokan ruangan tepat di bawah AC, ada juga beberapa gitar listrik milik Galang lengkap dengan amplifier masing-masing gitar dan bass, dan pedal efek buatannya sendiri. Dinding ruangan ini dipenuhi potongan karpet seperti pintu yang dibaliknya terpasang busa-busa tebal sementara lantainya terbuat dari kayu yang sudah dipernis. Terakhir di dekat pintu terdapat sebuah sofa dan meja plastik tempat aku dan teman-temanku biasa ngadem kalau di luar terlalu panas. Jinan berjalan masuk perlahan sambil menengok sekitarnya, tangisnya sudah reda tapi Jinan masih terisak, suaranya pun masih sesenggukan.

“I-ini punya kakak?”

“Temen gue, lu istirahat aja disini malem ini kalo gak mau pulang.” Aku menunjuk sofa lalu kemudian duduk di lantai kayu studio.

Jinan duduk di sofa, kakinya dipeluknya sendiri. Jinan masih terdiam, tatapannya kosong seperti melamunkan sesuatu yang aku sendiri tidak diceritakannya. Suhu ruangan mulai terasa dingin, bahkan aku yang memakai hoodie tebal ini bisa merasakannya. Aku berdiri dan memakaikan Jinan selimut yang sedari tadi terletak di sebelahnya, lalu aku ikut duduk bersamanya di sofa. Air mineral yang tadi kuberikan diletakkan di meja, isinya berkurang hanya sedikit saja.

“Lu kenapa Nan? Gue mau bantu tapi lu harus cerita dulu.” Aku membuka botol air mineral itu dan menyuguhkannya. Jinan minum dan meletakkan botolnya ke meja lagi sementara aku mengelus-elus punggung Jinan. Jinan bersandar di dadaku, tanganku yang tadi mengelus punggungnya kini merangkulnya.

“Pacar aku… main sama cewe lain kak.”

“Main? Ngewe?”

“Bahasanya gak usah jorok juga sih!” Perutku dicubit pelan.

“Iya-iya main, kapan?”

“Tadi… aku mergokin dia.” Jinan menangis kembali saat menjawab pertanyaanku.

“Tadi ini? Tadi banget?” Jinan hanya mengangguk pelan.

“Padahal aku pengen kasih surprise, pengen bahagiain dia.”

“Terus? Lu gampar gak?”

“Gak, aku langsung lari keluar.”

“Disusul?”

“Gak. Lanjut main kali.”

“Putusin aja udah.”

“Iya lah, gila aja aku masih pertahanin.”

“Terus ngapain nangis?’

“Aku sedih lah kak, gak nyangka aja. Aku kira dia bisa jadi penyemangat aku, taunya…” Jinan tak melanjutkan kata-katanya, lengannya kini sudah terlingkarkan di perutku.

“Yaudah, lu udah tau kan sekarang kalo lu mestinya gak sayang sama dia.”

“Iya sih, tapi tetep aja sakit dikhianatin gini.”

“Terus kuenya? Kok gak dibawa pulang?”

“Jatuh lah kak, namanya kaget.”

“Dih sinetron banget.” Aku tertawa.

“Bodo ah, lagi sedih juga.”

“Padahal laper. Mubazir tuh kuenya.”

“Bodo, biar dia yang bersihin kue jatuh nanti.”

Aku tertawa, Jinan mengikuti, lalu ia memelukku makin erat, dekapanku pun juga.

“Makasih ya kak. Maaf aku ngerepotin banget malem ini.”

“Yang penting lu gak sedih lagi, bahaya juga kalo ditinggalin sendiri kondisi lu kaya gini.” Aku mengusap-usap pundaknya, kepala Jinan seakan makin nyaman bersandar di dadaku.

“Tau gak kak?”

“Apaan?”

“Sebenernya malem ini tuh aku mau ngasih keperawanan aku ke dia.”

“Heh! Gila aja!”

“Iya gila kan… bisa-bisanya sebodoh itu.”

“Kok kepikiran sih Nan? Amit-amit woi.”

“Gak tau kak. Terlalu cinta kayanya.”

“Gak baik kaya gitu, tau batas lah, belum ada ikatan apa-apa juga. Untung gak jadi kan.”

“Iya-iya, tapi akunya juga yang penasaran sih, abisnya temen-temen aku pada ngomongin gituan.”

“Temen? Temen siapa?”

“Anak-anak di tim T kak, gak tau tuh udah berapa minggu ini kalo lagi ngumpul-ngumpul bahasnya itu mulu.”

“Semuanya?”

“Ya ngga semua sih yang ngomong, kaya aku paling cuma dengerin doang, kadang jijik, kadang lucu gitu.” Jinan melepaskan pelukannya, kini ia berbaring di sofa menggunakan pahaku sebagai bantal.

“Yang paling sering tuh kak Ayana, kak Sonia, Vanka, terus Pucchi, Aby, sama Fia, yang lain dengerin doang sih kak.”

“Terus penasaran gara-gara dengerin mereka?”

“Iya, abisnya katanya enak gitu.”

“Ya emang enak sih…” Aku meracau, pikiranku terbagi antara percakapanku dengan Jinan dan membayangkan teman-teman Jinan itu sedang melakukan hubungan seksual.

“Hah? Kakak pernah?”

“Eh-…”

“Hayooo aku lapor Aya.” Jinan menunjuk-nunjuk mengancamku.

“Kalo udah kenapa? Kalo belum kenapa?”

“Kalo belum ya gapapa, kalo udah ajarin.”

“Sembarangan! Gak!”

“Berarti udah kan hahahaha!” Jinan tertawa, aku tersenyum walau dipermalukan, yang penting sekarang dia bisa melupakan kesedihan tadi.

“Halah kalo diajarin juga paling nolak.” Aku menggodanya.

“Ih ngga kak, serius mau ngajarin?” Jinan bangun dan kini duduk berlutut di atas sofa melihatku, tatapannya penuh harapan.

“Gak! Yang kaya gitu lu simpen buat orang yang spesial, atau nanti aja kalo udah nikah.”

“Tapi-…”

“Gak ada tapi-tapian.” Aku menatapnya tajam, memastikan kata-kataku ini serius.

Jinan terdiam menunduk sambil cemberut.

“Kalo jadi first kiss aku mau gak?”

“Lu serius belum pernah ciuman?”

Jinan hanya mengangguk. Aku memajukan tubuhku mendekat pada Jinan yang sudah memejamkan matanya, lalu aku mengecup kening dan pipinya.

“Itu namanya cium kening sama cium pipi. Udah kan?” Jinan membuka matanya, masih bingung akan apa yang sudah terjadi.

“Ih kaka-…”

“Ssst… tidur. Lu besok banyak kegiatan kan, tidur sekarang.”

Aku berdiri meninggalkan Jinan di dalam studio, ia hanya bisa mematung melihatku pergi.

“Itu selimutnya pake, nanti kedinginan, kalo butuh apa-apa pencet tombol merah di ujung situ biar gue denger.”



Jinan kembali hanya mengangguk saat aku menutup pintu studio dan berjalan ke teras. Kunyalakan sebatang rokok dan duduk di sofa teras. Kusempatkan mengecek hapeku, ada beberapa chat dari Aya yang masuk.

Aya
kak pulang jamber? titip nasgor ya hhehehe
kak?
hmm laper nich
yauda aku masak mie aja deh, nasgornya gausa
kak nasgornya jadi deh, aku takut masak mie sendiri
kak???
kak jeeeeeeeeeeeeer???!?!?!?


Aku tertawa sendiri membaca chat dari Aya.

Jerry
maap baru ngabarin, kakak ga pulang nih
kalo laper jgn ditahan, makan gih


Tak ada balasan, kucek jam di hape, sudah pukul 2 lebih 32 menit, Aya pasti sudah tidur. Aku memasukkan hapeku ke dalam kantong dan berbaring di sofa itu, memang tak nyaman tapi aku juga tak bisa pulang. Aku merokok sambil berbaring, asbak di atas meja kugenggam di tanganku yang satunya dan kutumpu di atas perutku, ini salah satu hal random yang aku pelajari dari teman-teman bandku yang freak itu, lebih spesifiknya ini keahlian Mario. Tak berapa banyak isapan dan rokokku sudah habis, asbak kutaruh kembali di atas meja. Aku tertidur di sofa hingga adzan shubuh membangunkanku. Tidurku hanya sebentar, tapi kurasa cukup untuk membuatku tidak mengantuk selama menyetir. Aku terbangun bersamaan dengan Jinan yang keluar dari dalam rumah.

“Ayo kak anter pulang aja, udah gapapa kok.” Aku mendudukkan diriku dan meregangkan badan.

“Hooaaaayok.” Jawabku yang langsung berdiri agar tak dikuasai kantuk lagi.

Aku mengemudikan mobilku mengikuti arahan Jinan lagi untuk sampai ke rumahnya yang berada di sebuah perumahan besar, aku pun tak yakin bisa keluar dari sini pada saat jalan pulang nanti. Mobilku berhenti di depan rumah Jinan tapi ia tak turun.

“K-kak… eee… makasih ya.”

“Nganterin doang kok, gak masalah.”

“Bukan. Makasih udah nyadarin aku. Makasih udah ngasitau aku supaya gak bodoh lagi.” Jinan tak melihatku dari tadi, sepertinya ia malu. Aku tak tau harus menjawab apa.

“I-iya Nan. Lu harus bisa jaga diri, harus bisa bedain mana yang baik dan nggak buat lu sendiri. Kan udah ada liriknya, kenapa tidak hargai dirimu sendiri sedikit lagi.” Aku berusaha melucu, tapi mungkin Jinan pun menganggap itu serius.

“Iya makasih lagi ya kak.”

Cahaya pertama pagi itu merambat memasuki mobil dari kaca depan menerangi wajah Jinan yang kini tersenyum padaku. Kepalaku ditariknya dan kami bercumbu di mobil, aku terkejut, tapi bisa kurasakan Jinan gemetaran, napasnya memburu, dari ciumannya yang kaku pun aku bisa tau kalau dia gugup, tak lama ia melepas ciuman kami.

“Gak usah marah, emang aku maunya sama kakak.”

Jinan keluar dari mobil. Aku melihatnya membuka gerbang rumah dan sebelum masuk ia melambaikan tangannya padaku. Untuk beberapa saat aku masih terdiam dan berusaha mencerna apa yang terjadi.

*

Aku sudah sampai di rumahku, Jinan sudah masuk meninggalkanku yang menutup gerbang. Aku masuk ke dalam, kusalami ayah dan ibuku yang baru saja pulang dari Palembang selama beberapa minggu ini. Aku menaiki tangga dan berjalan menuju kamarku di ujung lorong lantai 2 melewati kamar Aya. Aku memasuki kamar dan langsung rebahan di kasur, tak lama kemudian aku tertidur.

Aku terbangun oleh suara pintu kamarku, mataku mengintip, Aya sedang mengendap-endap masuk ke dalam kamarku bersama Jinan, langkah mereka berjinjit, tak tau bahwa aku sudah bangun. Aya mencoba mengejutkanku, tapi aku tak merespon. Jinan mencoba juga, tapi aku tetap tak bergerak.

“Biasanya sekali doang bangun loh Nan.”

“Mati kali.” Jinan menggoyang-goyangkan kakiku sementara Aya mendekatkan telunjuknya ke hidungku.

“Ih masa sakit lagi sih.” Aya kini menekan tangannya di dahiku.

“Hayo mau ngapain?!”

“EH ****** AYAM AYAM ******!” Aya terkejut kemudian terlatah-latah, Jinan hanya bisa tertawa melihat temannya itu.

“KAKAK IH!” Aya mencubit kedua pipiku kencang-kencang.

“Aduh iya maap Ya maap-maap.”

“ANTERIN AKU SAMA JINAN! MOLOR MULU!” Aya melepas pipiku yang sekarang sudah berwarna kemerahan. Aku hanya bisa mengelus-elus pipi saat mereka meninggalkanku sendiri di kamar.

Aku mencuci mukaku, kemudian merapikan rambut dan langsung pergi keluar. Aya dan Jinan sudah menunggu di teras.

“Kemana sih?”

“Aku ke teater, Aya ke rumah latihan kak.” Jinan menjawabku, Aya masih sibuk dengan hapenya.

“Oiya ada teater ya.”

“Yee padahal tadi kakak yang ngingetin aku.”

Aku dan Jinan masuk ke dalam mobil sementara Aya membuka gerbang, aku memundurkan mobilku dan membiarkan Aya masuk.

“Kak teateran dong! Nonton aku.”

“Dia susah Nan, gue aja baru ditonton kemarin-kemarin.” Aya menoleh ke belakang menjawab Jinan.

“Gak ada oshi. Ngapain?”

“Tuh kan Nan, ngeselin.”

“Lah kan lu setim sama kak Viny, kok baru-baru doang ditonton?”

“Tau tuh galauin kak Viny mau grad.”

“Heh apaan sih! Gak galau ya.”

Aku sampai di FX dan menurunkan Jinan di drop-off depan dan langsung menuju rumah latihan. Siang ini tak terlalu ramai dan aku bisa sampai cukup cepat.

“Kakak tungguin ya, masuk aja.”

“Eh serius? Emang boleh?”

“Boleh lah kak.”

Aya menarik tanganku masuk ke rumah itu. Di dalam terdapat beberapa staff yang sedang disibukkan kerjaan mereka masing-masing, sementara di ruang tengah yang luas ada member-member yang sedang bersiap untuk latihan. Aku dan Aya dipandangi saat kami memasuki ruang latihan, beberapa langsung menyambut dan menyapa Aya, sementara yang lain masih memandangiku. Aku putuskan untuk duduk di ujung ruangan ini, jauh dari gadis-gadis itu agar aku tak mengganggu. Satu hal yang aneh, aku tak melihat Viny. Kukeluarkan hapeku dan mengecek chat dari Viny, tak ada yang baru.

Jerry
vin dimana?


Aku menatap layar hapeku mengharapkan ada balasan.

Viny
udah sampe? toilet cowo, sekarang


Aku bingung, lalu melihat ke sekelilingku, para member hanya berduduk-duduk santai memainkan hape atau memakan cemilan. Aku memanggil Aya yang kini berada di ujung ruangan, namun mereka semua menoleh.

“Eee-… toilet dimana ya?”

Mereka serentak menunjuk sebuah lorong di ujung berlawanan dari tempatku duduk. Aku berdiri melewati mereka menuju lorong itu.

“Mau dianter gak kak?” Eli menghampiriku.

“Awas kak! Eli lagi modus!” Aku menoleh, Chika, Christy, dan Gita kompak meneriaki Eli.

“Li, tolong jangan bikin malu depan temen-temen lu.”

“Ih kok bikin malu kan aku mencoba membuat kakak nyaman.” Eli berjalan mundur di depanku, mengikutiku ke lorong.

“Apasih Li? Udah latian-latian aja.”

Aku berjalan memasuki lorong itu, dan benar saja di ujungnya terdapat sebuah pintu dengan simbol laki-laki berwarna biru. Rasa penasaranku belum terjawab dari tadi. Aku masuk. Viny sudah menungguku di dalam. Tanpa bertukar kata kami langsung bercumbu, Viny mengisap dan melumat bibirku, kami saling bertukar liur.

“Mmmh… clpp…”

“Jer, kangen.” Viny melingkarkan tangannya di leherku, ciuman kami semakin memanas, lidah Viny kini ikut bermain, begitu pula lidahku. Kugendong Viny sambil berputar hingga aku duduk di atas toilet, ciuman kami tak terpisah. Kini Viny duduk di pangkuanku, kakinya terbuka mengangkang mengapit kedua kakiku di antaranya.

“Vin, kamu latihan loh.” Kataku di sela-sela ciuman kami, lalu Viny turun menciumi leherku, tak peduli dengan kata-kataku barusan.

“Vin… plis.” Aku mengangkat tubuh Viny dan berdiri.

“Heh… heh… sorry Jer, aku kangen sih.” Viny mengecupku lalu lari keluar dari toilet. Penisku masih tegang setelah bercumbu dan menciumi aroma tubuh Viny yang sangat merangsang. Aku kembali ke ruang latihan dan duduk di pojokan terdekat. Melihat mereka berlatih serasa berbeda, aku lebih bisa mencerna apa yang ada di pikiran mereka di lagu-lagu tertentu atau melakukan gerakan tertentu. Aya seperti biasa sangat bersemangat, gerakannya lincah membuat lekuk tubuhnya yang tidak terlalu kelihatan jadi lebih seksi dari aslinya. Eli juga mulai bisa menyusul kakak-kakaknya yang enerjik. Viny, gerakannya memang tak selincah adik-adiknya, tapi tiap gerakan Viny mengutarakan sesuatu yang bermakna, tidak hanya asal menggerakkan anggota tubuh, ditambah ekspresinya yang menjiwai tiap kata di sebuah lagu. Latihan terasa cepat saat aku menikmati mereka seperti ini, tak terasa juga tiap kali aku memerhatikan mereka, mereka akan memerhatikanku kembali, seakan eyelock tak henti-hentinya kalau ini di theater.

Anak-anak ini break sore. Aku keluar. Tak kusangka Eli sudah berada di luar, tangannya menyilang di dadanya, membuat payudaranya yang kecil tampak sedikit lebih berisi.

“Kakak ya genit ngeliatin aku.”

“Lah geer amat.” Kataku sambil menyalakan rokok.

“Gak usah bohong deh kak, aku tau kakak napsu kan.”

“Gak usah sok tau deh Li.”

Eli mendekat ke arahku.

“Emang tau kok, tadi kentang kan sama kak Viny? Aku nguping… eh-… hehehe.”

“Li?”

“Aya gak tau ya kak?”

“Lu ngancem gue?”

“Yah aku kan nanya doang, tapi kalo kakak nganggepnya gitu ya mau gimana lagi.”

Aku menahan amarahku, tanganku sudah mengepal, mataku tajam menatap Eli.

“Yaudah, mau lu apa? Duit?”

“Gak, gak usah berat-berat deh kak.”

“Apa?”

“Jadi sex slave aku aja.”

“Terus ngapain itu?”

“Ya kalo aku mau ngewe kakak harus mau juga.”

“Li, gue bukannya nolak, tapi lu kalo ngajak momennya gak pernah pas.”

“Sebenernya kakak mau?”

“Siapa sih yang gak mau, lu goyangnya enak banget gitu.”

Beberapa teman tim Eli membuka pintu depan dan berjalan keluar melewati kami.

“Yaudah kak, aku tunggu ya, aman kok.” Eli mengedipkan mata kanannya padaku dan berjalan mengikuti Gita dan Muthe yang baru saja keluar.

Aku menatap Eli berjalan menjauh sambil menimbang-nimbang keputusanku. Apa yang terjadi padaku? Oshi dan adik sendiri kujadikan pacarku, sementara teman adikku dan teman oshiku ketagihan untuk melakukan hubungan seksual denganku. Entah seberapa jauh aku bisa bertahan dengan status quo ini, entah kapan aku akhirnya harus memilih.
 
awal² mah masih dingin.,
makin lama mulai panas dong.,

jerry: thor dia ngomong apaan sih?
author: mana saya tau saya kan ikan
Yah kirain Jinan

Btw,tumben ada Jinan versi perawan :v

keputusannya kenapa ya bikin jinan perawan disini? (lah emang di real life gak perawan?)
saya punya character arc sendiri untuk jinan, mungkin gak sedalem jerry atau viny atau aya tapi jinan bakal kebagian
Setau ane di forum ini baru 4 cerita yg ada jinannya, dan yg ga perawan cuma di cerita aurora nya suhu bluetitan

Tumben apanya :hammer:

saya malah cuma tau aurora yang ada jinannya
mantaps.. jejak deh tggu update suhu

ramein hu sambil nunggu update hehehhe
Sayang banget gue sama aya.

jerry: maksud lu apa hah?!
HE..EEHHH?! NGGAAA NGGA :kacau: :mati:

bilangin tuh temen kamu jangan ngajak orang sana sini seenak jidat
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd