PART 6: Innuendo
“Kak?”
“Iya, k-kenapa?” Aku pura-pura tidak tau apa yang terjadi.
“Itu kak Viny itu kan? Kak Viny oshi kakak kan?”
“Iya kali eh-… hehe.” Jawabanku tak membantu membuat situasi ini tidak menjadi lebih canggung lagi.
“Kakak tukeran nomer hape? Kapan? Kok aku gak tau?”
“Emang kamu perlu tau?”
“Ya perlu lah! Kakak deket sama temen-temen aku ya aku harus tau!”
Aku menatapnya heran. “Kok gitu?”
Aya berpaling dari tatapanku, ia seperti mencari-cari alasan. “Eee… itu… kali aja kakak macem-macemin mereka gitu kan.”
“Emang kakak penjahat?”
“Iya, kakak sering jahatin aku.”
“Tapi kamu sayang kan.” Aku menggenggam tangannya menggoda.
“Apaan sih!” Aya mencubit telapak tanganku. “Berarti kakak tadi ketemu ya? Sampe tukeran nomer gitu kok bisa sih kak? Kakak lagi deket?” Aku dihujani pertanyaan oleh Aya yang sepertinya sangat penasaran tentang aku dan Viny.
“Iya tadi ketemu, terus ngobrol gitu kalo oshi kakak dia. Mungkin dia lagi nyari fans yang bisa ditanya-tanyain atau disuruh-suruh.”
“Tapi kan dia tau kalo kakak tuh kakaknya aku.” Aya cemberut. Entah kesal padaku atau Viny.
“Kakak atau pacar?”
“E-… eh?!” Aya terkejut. Sepertinya ini adalah suatu hal yang memang ia jaga kerahasiaannya dariku.
“Viny juga cerita itu tadi. Ngapain kamu ngaku-ngaku pacaran sama kakak?” Aku berhasil menggiring arah pembicaraan, setidaknya untuk saat ini aku aman.
“Eh itu… ngg… becanda doang kak.” Aku melirik Aya. Ia tampak tak nyaman kutanyai seperti ini.
“Gak baik bohong sama temen kamu.”
Aya terdiam. Kepalanya menunduk. Kulihat air mata mengalir di pipinya.
“Aku tuh… sayang… sama kakak.”
“Iya, kakak juga kok. Ngapain nangis?”
“Bukan itu, sayang aku lebih…”
“Lebih apa? Jangan setengah-setengah dong.”
Tangisan Aya semakin menjadi-jadi.
“Kakak bakal jadian sama kak Viny kan?”
Aku semakin tak mengerti arah pembicaraan Aya.
“Kak Viny tuh gak pernah sembarangan ngasih nomernya ke orang kalo gak deket banget.”
Aku tak tega melihat adikku menangis seperti ini setelah sebelumnya ia sangat bahagia. Aku mengusap air mata dari pipinya. Memang beresiko melakukan ini sambil mengemudi, tapi jalan malam itu sudah cukup sepi. “Maksud kamu apa sih? Kan cuma tukeran nomer doang.”
“Kakak pasti bakal jadian sama kak Viny. Terus aku gak diperhatiin lagi, gak dianter jemput lagi.”
“Tetep lah, kan Aya tetep jadi adiknya kak Jerry. Lagian mana mungkin bisa jadian sama oshi sendiri, yang kaya gitu adanya di fanfic doang.” Aku sedikit tertawa.
“Iya. Cuma adik.” Aya kembali menundukkan mukanya, sepertinya tidak peduli pada candaanku barusan.
“Kamu serius nganggep kakak pacar?”
Aya tak menjawabku. Tak terasa kami sudah sampai di depan rumah. Mobilku berhenti. Biasanya Aya yang membukakan gerbang untuk mobilku masuk, tapi kali ini ia terdiam.
“K-kalo iya… gimana?” Aya bertanya balik padaku. Aku memandangnya heran, masih tak mengerti apa yang ada di otak adikku ini.
“Yaudah kita pacaran.”
Aya yang tadinya menunduk kini mendongak memandangku, tatapannya tak percaya, terkejut, dan lega secara bersamaan. Ia lalu menerjang memeluk dan kini juga mencium bibirku. Aku terkejut. Aku membalas ciumannya setelah beberapa detik berlalu. Aya semakin ganas menciumku, tapi bisa dirasakan ia tak terlalu paham bagaimana caranya berciuman. Aya melepaskanku setelah kami berciuman beberapa menit.
“Mmh… hehe.” Aya tersenyum lebar.
“Ngapain sih?”
“Kan pacaran, boleh dong cium-cium. Wlee!”
Aya seketika langsung merasuki peran barunya sebagai pacarku ini.
“OH IYA! ELI! KAK PUTER BALIK!” Aya mengambil hape dari dalam tasnya. Terlihat beberapa puluh pesan dan panggilan tak terjawab.
“Ngapain sih teriak-teriak?!”
“ELI KELUPAAN! JEMPUT KAK!”
Aku pun mengemudikan mobilku kembali. Sepanjang jalan Aya semakin melupakan bahwa kami adalah kakak dan adik, rasanya sekarang seperti benar-benar dia adalah pacarku.
Kami sampai, Eli terlihat terduduk lemas sambil cemberut memandang mobilku yang mendekat ke arahnya. Ia kemudian masuk dan terdiam, tubuhnya lemah tersandar.
“Eli, lu nginep?”
“Anter pulang aja kak.” Aya yang menjawab pertanyaanku.
“ENAK AJA! TADI KAK AYA UDAH JANJI MAU NGINEPIN AKU!” Eli teriak sekencang-kencangnya di dalam mobil. Kekesalannya sepertinya sudah tak bisa ditahan lagi.
“Astaga, yaudah iya ini balik ke rumah Aya.” Aku menginjak gas dan mengemudikan mobilku kembali ke rumah.
Tak banyak yang dibicarakan selama jalan pulang selain Aya yang membujuk Eli untuk tidak ngambek lagi, dan setelahnya Aya menjelaskan bahwa hanya beberapa teman setimnya yang benar-benar tau bahwa aku sebenarnya kakaknya Aya. Sesampainya di rumah, seperti biasa aku memastikan semuanya terkunci sebelum masuk. Ayah ibu? Lagi di Palembang, ada acara keluarga yang lumayan lama prosesnya.
Aku mandi malam ini, sudah larut malam tapi tak apa lah, tubuhku lengket-lengket setelah permainanku bersama Viny sebelumnya. Aku mengeringkan diri, memakai baju, dan langsung merebahkan diri di kasurku. Aku mengecek hape, tak banyak notifikasi, dan semuanya pun tak butuh perhatianku saat ini juga. Aku langsung mengecek call logs, nomor Viny yang tadi menghubungiku kusimpan. Setelah beberapa menit melihat-lihat feed instagramku, aku tertidur.
Entah baru berapa menit aku terlelap, aku merasakan ada beban yang menekan perut dan pahaku, sontak aku terbangun, mataku masih melihat samar-samar. “Ya? Udah sih, kakak mau tidur.”
Aku yang masih setengah sadar kini mulai merasakan ada yang aneh, aku tak memakai celana! Kini aku dapat dengan jelas merasakan gesekan vagina basah di penisku yang sudah menegang entah sejak kapan.
Slebb. Penisku dipaksanya masuk.
“Nggh… Ahhh!”
Suara ini bukan suara Aya. Lagipula mana mungkin Aya mau nekad seperti ini. Kulihat Eli sedang telanjang bulat menunggangiku sambil menutup mulutnya. “Heh! Ngapain lu?” Aku terduduk yang malah membuat penisku masuk semakin dalam. Eli masih menahan mulut dengan tangannya, matanya nanar menatapku, napasnya kencang. Kami saling memandang dalam diam.
Tanpa ada aba-aba Eli mulai menggoyangkan pinggulnya naik turun, tangannya perlahan turun meremas payudaranya yang mungil dan memilin putingnya. “Mmh… mmhh…” Eli tak mau membuka mulutnya, desahannya tertahan namun seirama dengan goyangannya pada penisku.
Aku yang sudah sangat ngantuk dan lelah setelah sebelumnya juga melakukan seks ini pun tak berdaya. Aku hanya bisa melihat Eli memuaskan dirinya sendiri menggunakan penisku. Ia kini berbaring di atasku, gerakannya masih berlanjut.
“Ahh… puasin akuhh… malem ini aja ya kak… ahh… mmhhh… dildoku… ketinggalan di kos.” Bisiknya. Desahan Eli di telingaku membuatku bergairah. Dengan sisa tenaga yang kupunya aku mendorongnya terbaring di kasur, lalu kubalik badannya menungging. Penisku kutusukkan masuk kembali ke dalam vagina Eli yang masih bersih tanpa bulu itu.
“Kak… uhh… ahhh…” Aku menggoyangkan penisku cepat dan dalam, menabrak-nabrak mulut rahim Eli.
“Ngghh… ahhh mentokhhh… teruussshh…” Eli menegakkan badannya, kepalanya menoleh mencariku, lidahnya yang terjulur langsung kuterkam dengan lidahku, permainan lidah kami tak kalah ganas dengan penisku yang keluar masuk vaginanya yang sempit.
“Nakal ya kamu, ngentot kakak temen sendiri.” Tangan kananku memegang erat pinggangnya sementara tangan kiriku meremas payudaranya kasar.
“Iyahhh… emang aku nakaaal… hukum akuhhh… mmmhhhhh!” Tubuh Eli bergetar, kepalaku ditariknya, ia menciumku sambil menikmati orgasme pertamanya. Aku tak peduli, pinggulku tetap bergoyang.
“Kaaak… ahh tunggu duluuuhhh…” Eli jatuh tengkurap di kasur. Kedua tangannya meremas ujung-ujung kasurku.
“Lu nganggep gue dildo kan tadi? Well, gue bukan dildo yang berhenti kalo lu keluar!” Aku semakin mempercepat gerakanku. Eli hanya bisa menengok dan menatapku pasrah.
“Akuhh keluar lagiii… hahhh… mmphh!” Aku menutup mulut Eli yang meracau semakin keras. Aku menarik penisku keluar. Tubuh Eli kembali bergetar lalu melemas. Eli terdiam, hanya bernapas berat, dan memutar badannya agar terlentang. Mulutnya menganga, lidahnya sedikit menjulur keluar. Kudekatkan penisku ke mulutnya dan mulai mengocok kontolku yang masih tegang maksimal.
Crot crot crot.
Aku mengeluarkan sisa-sisa spermaku yang tidak ikut terkuras saat bermain dengan Viny tadi ke lidah dan ke dalam mulut Eli, beberapa meleset mengenai hidung dan pipinya.
Eli masih lemas tak berdaya. Mulutnya beberapa kali mengecap merasakan spermaku, lalu kemudian ia terdiam lagi. Aku duduk bersandar di ujung kasur memandangi Eli. Napasku kini juga tak beraturan. Lalu aku tersadar.
Njir! Kalo dia pingsan sampe pagi nanti gimana?!