Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 1
DAN




Terbawa lagi langkahku ke sana. Mantra apa entah yang istimewa.
- Adhitia Sofyan






.: PADA SUATU KETIKA :.



“Tahukah kamu?

“Ada sebuah garis imajiner yang menjadi warisan budaya yang cukup unik di kota - atau lebih tepatnya provinsi yang berlokasi di selatan pulau ini. Garis imajiner itu merupakan hasil tata kota yang dirancang sejak awal pembangunannya dulu oleh para raja kita. Garis ini sebagian diwujudkan dengan bentangan jalan dari selatan lurus ke utara, sebagian lagi dengan bangunan-bangunan historis yang tidak hanya sekedar menjadi pemanis tapi juga memiliki arti dan makna filosofis.

“Jalur imajiner ini sesungguhnya adalah perlambang sangkan paraning dumadi, jejak kehidupan manusia dari lahir, proses menuju dewasa, kedewasaan, hingga pada akhirnya mencapai tahap akhir untuk melangkah ke kehidupan berikutnya.

“Titiknya dimulai dari kawasan pantai di selatan, menjulur jauh ke utara, ke Kandang Pelanduk – satu tempat unik yang dulu digunakan sebagai pos berburu rusa oleh para raja. Berikutnya jika kita tarik garis ke utara lagi, maka kita akan sampai di tempat selanjutnya; yaitu berturut-turut lapangan selatan, keraton, dan akhirnya lapangan utara, satu kesatuan kawasan komplek wilayah istana raja.

“Tidak berhenti di situ tentu, garis itu lanjut lagi ke utara – ke sebuah tugu, perlambang manunggaling golong lan gilig. Tugu ini menjadi prasasti wujud kebersamaan kawulaning Gusti yang hidup di bawah satu langit, perlambang persatuan antara kaum ningrat atau golong dan kawulo cilik atau gilig.

“Dari tugu ini, garis imajiner membujur terus ke utara hingga mencapai titik terjauhnya; Gunung Menjulang yang perkasa. Tiap-tiap titik yang terhubung pada garis imajiner ini memiliki arti dan makna filosofisnya masing-masing, meski secara utuh garis tersebut menunjukkan hubungan antara manusia dengan Gusti, seperti apapun perjalanan hidup kita, pada akhirnya akan menghadap kembali kepada-Nya.

“Kini, di jaman modern saat manusia mulai tak lagi dapat diatur dengan petunjuk sekecap seucap, tatanan lama mulai tak lagi dihormati, dilupakan, bahkan ditinggalkan. Budaya dan tata krama luntur ditelan modernisasi. Garis imajiner ini pun tak lagi dimengerti fungsi dan maknanya yang dalam. Sungguh amat disayangkan.”

Jalak Harnanto manggut-manggut saat sang Kakek menjelaskan. Sagu menyalak dan berlarian kesana kemari di tengah hutan, mengejar burung, mengejar tupai, mengejar apa saja yang bergerak. Nanto memejamkan mata, merasakan angin sejuk yang meniup dan melambaikan rambut dan pakaian yang ia kenakan, membuat hari ini jadi terasa tenang – semua kawruh yang disampaikan oleh sang kakek diserap dan dimengerti.

Sang Kakek melanjutkan, “kita sebagai manusia juga memiliki garis imajiner dari tubuh bagian bawah ke atas. Garis yang menunjukkan tujuh bagian penting yang masing-masing diperlukan dalam pemeliharaan dan peningkatan Ki. Mari kita telaah posisi masing-masing; titik yang pertama dan yang paling bawah berada di dasarmu. Titik berikutnya ada di selangkangan – pada kemaluan. Titik selanjutnya adalah perut, lalu titik ulu hati dan jantung yang merupakan pusat energi, titik tenggorokan, titik kening, dan akhirnya titik mahkota atau bagian atas kepala. Masing-masing memiliki kegunaan yang berbeda-beda tapi saling mendukung.”

Nanto kembali manggut-manggut.

Saat itu hari masih pagi – mungkin baru sekitar jam tujuh hingga delapan pagi. Matahari belum lagi gagah perkasa bertengger di lapang luas angkasa menebarkan sinar yang membakar, tapi baru melaju perlahan untuk memposisikan diri di singgasana.

Sang Kakek duduk di atas batu landai, ia juga memejamkan mata seperti halnya Nanto, merasakan lembutnya elusan angin hutan, mendengarkan dendang nyanyian burung dan serangga yang gembira, gemerisik daun yang menyapa, dan aliran air sungai yang memberikan rasa tenang di dada. Sang Kakek menyalurkan energi Ki ke seluruh tubuh, mencoba mengatasi kelelahan dengan bentangan dan penyaluran energi ke sekujur badan.

“Kek.”

“Ya, Le?

“Sebenarnya bagaimana cara yang tepat untuk kita membangkitkan, melatih, menjaga, dan mengatur penyaluran energi Ki dalam diri kita? Setahuku kita semua sebagai manusia sebenarnya memilikinya – bahkan sejak kita masih bayi, namun karena ketidaktahuan, maka tidak dilatih,” tanya Nanto masih dengan mata terpejam dan posisi duduk bersila tak jauh dari sang Kakek.

Suasana tenang, hanya terdengar salak Sagu yang masih belum berhenti bermain-main diiringi nyanyian burung yang bercanda di atas dahan.

Kakek Nanto tersenyum. “Seneng denger kamu penasaran soal Ki, Le. Kok tumben waras.”

Asem.”

“Ki sejatinya adalah kekuatan vital yang berasal dari alam yang bekerja untuk memberdayakan tubuh kita, Ki bisa berarti aliran energi tak berbatas yang tersimpan dalam diri tiap manusia, bisa juga memiliki arti sebagai napas kehidupan. Berdasarkan kedua pengertian itu kita bisa menyadari adanya hubungan antara aliran energi dan pernapasan.”

“Jadi itu artinya Ki...” Nanto kembali manggut-manggut.

“Baru tau kan? Padahal sudah berkali-kali dijelasin, emang dasarnya kamu aja yang males dengerin. Dasar. Kuping po remukan peyek.”

Asem.”

“Ki dalam tubuh kita memiliki banyak kegunaan, utamanya yaitu bisa untuk mengatasi permasalahan kesehatan dan yang kedua bisa untuk mempertahankan diri. Nah, sesuai dengan artinya sebagai napas kehidupan, Ki bisa kita latih dengan menggunakan metode pernapasan yang tepat. Dibandingkan dengan cara lain yang sebenarnya dapat digunakan, metode pernapasan menjadi cara yang paling cepat untuk meningkatkan dan melatih Ki jika dibarengi juga dengan olah tubuh yang mumpuni.”

“Berlatih pernapasan?”

“Iyo. Pernapasan. Mau dengar caranya?”

“Bayar ga?”

Oalah cah stress.”

Nanto terkekeh.

“Sekarang perhatikan! Ikuti apa yang aku peragakan ini! Cara yang paling sederhana untuk melatih pernapasan adalah dengan duduk bersila, mata terpejam, kedua tangan diletakkan di atas lutut dengan tangan renggang dan lemas. Tegakkan punggung dan kepala supaya wajah menghadap ke depan. Tarik udara melalui hidung sembari kedua tangan melingkar ke samping.

“Gerakkan tangan ke atas melewati depan kepala, lalu turunkan sampai keduanya bertemu di depan dada. Tangan kanan mengepal, tangan kiri terbuka urus menopang kepalan tangan kanan. Jika ini sudah dilakukan, tahan napas untuk beberapa saat lamanya.

“Jika sudah, buang napas melalui mulut, julurkan tangan ke depan dan ke samping untuk kembali pada posisi tangan di atas lutut seperti semua. Lakukan dengan penuh keyakinan dan niat untuk membangkitkan tenaga.”

Nanto mengikuti langkah demi langkah yang dilakukan oleh Sang Kakek. Setiap gerakan dinilai, setiap gerakan dibenahi, jika ada salah harus diulangi. Tidak ada hubungan antara kakek dan cucu di sini, yang ada adalah guru dan murid.

“Kamu lihat liang besar di pinggir batu-batu di depan sana?” ucap sang Kakek tiba-tiba.

“Batu-batu besar? Batunya sih lihat, Kek.”

“Nah yang hitam itu adalah salah satu lubang angin dari gua yang berjodoh dengan kita. Gua yang menghindarkan Trah Watulanang dari kepunahan. Di tempat itulah dulu nenek moyang kita menemukan Serat Kidung Sandhyakala, ilmu kanuragan yang sekarang kita pelajari bersama secara turun menurun.”

“Lubang yang mana sih, Kek? Ga kelihatan lubangnya.” Nanto melongok dan mencari, tapi tak kunjung menemukan tempat yang dimaksud.

“Dasar bocah, itu lho yang hitam-hitam di sana.”

Nanto memicingkan mata. “Mana sih? Kakek ngasal dah, orang ga ada item-itemnya kok.”

Kakek Nanto menunjuk ke satu arah. “Woladalah, bocah. Itu lho yang hitam-hitam di sana, itu kan lubang gua. Kecil karena memang fungsinya hanya untuk saluran udara dan jalan masuknya cahaya.”

“Lah, yang di atas batu-batu itu? Bukannya itu jemuran pakaian dalemnya Mbak Tinah ya? Janda sebelah rumah? Dia kan biasa mandi dan mencuci baju di kali di dekat batu-batu itu.”

“Heh!?” Sang Kakek berdiri, memicingkan mata, mengucek matanya, dan sekali lagi mengamati. “Woooo! Bukan! Kok bisa-bisanya pakaian dalem Mbak Tinah! Itu lubang gua! Kalau pakaian dalemnya Mbak Tinah itu yang ada di dahan pohon yang di sana itu. Aku hapal betul lah pakaian dalemnya kayak apa!”

“Hah!? Kakek apal pakaian dalamnya Mbak TInah?”

“Eh lah. Kampret.” Sang Kakek jadi sadar apa yang baru diucapkannya. “Wes kamu ga usah cari masalah, sekarang latih pernapasan! Belajar meningkatkan Ki!”

“Hihihi. Iya deh, Kek.”

“Cah edan.”

“Mbak Tinah emang manis kok, Kek. Tapi ya umurnya jauh lah. Dia kan baru tiga puluhan, sementara Kakek sudah...”

Cah edaaaan! Wes rasah diteruskeee! Latihan! Malah ngelantur! Kakek hapal karena Mbak Tinah sering jemur pakaian juga di depan rumah.”

“Iya... iya... Kakek yang salah aku yang dimarahin.”

Wes ben. Biar tahu tata krama! Cah ra umum mbelise! Diandani ngeyel wae! Dasar bandel! Bengal!”

Nanto geli. Ia kembali memejamkan mata, bersila dan melatih apa yang diajarkan Sang Kakek dengan sungguh-sungguh. Ada rasa hangat dalam badannya yang mulai bisa dijinakkan dengan konsentrasi dan latih diri.

Ada hangat dalam diri.

Inilah Ki.

Semilir angin dan suara air yang mengalir kembali menjadi soundtrack of the day, membantu menenangkan diri, menenangkan pikiran, menempatkan tubuh dan perasaan pada satu fokus dan satu tujuan. Tenang, damai, dan menyenangkan.

“Le...”

“Iya, Kek?”

“Aku ada satu pesan yang harus kamu simpan baik-baik dalam ingatanmu.”

“Apa itu, kek?”

“Seorang petarung kehidupan yang sejati tidak bisa dilahirkan dan tidak bisa dibuat. Seorang petarung kehidupan sejati menciptakan diri mereka sendiri setelah melalui berbagai macam kesalahan dan cobaan, melalui rasa sakit dan penderitaan, melalui kemampuan mereka menaklukkan rasa bersalah mereka sendiri.”

Nanto menundukkan kepala.

“Iya, Kek.”





.::..::..::..::..::.





.: KEMBALI KE MASA KINI :.



Angin menderu kencang, efek dari gumpalan awan berarak yang tidak jadi menurunkan hujan. Atau mungkin hujan sudah dilepaskan tapi tidak di tempat ini, meski sempat rintik menyapa, meski sempat dingin terasa.

Dua pemuda duduk santai di lantai teratas sebuah gedung terbengkalai.

“Aku tidak pernah menduga kalau pada suatu hari aku akan duduk di sini menikmati pemandangan jalur ring road utara sambil minum Pasir Ijo kalengan bersamamu, berdua saja. Kalau sama cewek sih romantis, kalau sama kamu jelas menjijikkan,” ucap Simon sambil tersenyum. Rambutnya berkibar tertiup angin. “Beginilah kalau jadi jomblo. Berduaannya sama cowok. Menyedihkan. Pathetic.”

Di sebelahnya, Rao terkekeh sembari memainkan harmonika. Sang hyena gila memainkan melodi yang mengharubiru, nada-nada rindu mengiring siang yang sejuk dengan awan tebal berarak menjauh. Meninggalkan peramal hujan dengan janji yang tak ditepati, meninggalkan kota yang seakan hendak diberikan hadiah pembasuh hari, tapi justru mendapatkan hawa panas tak terperi.

Sang pemuncak gunung menjulang menjadi tamu di markas DoP hari ini, berdua dengan sang hyena, mereka berdua duduk di balkon tingkat tertinggi Kandang Walet menyaksikan hilir mudik mobil dan motor yang berlalu kencang di ring road utara. Kalau di atas sini panasnya dapat dikalahkan oleh semilir angin yang kencang berhembus. Apa yang panas menjadi sejuk.

“Seru juga nongkrong di sini.” Simon mengamati ruas jalan dengan senang, melihat lalu lalang traffic yang semakin macet dan menjalar sampai jauh. “Kota ini semakin ramai saja. Banyak pendatang yang masuk, sedikit pendatang yang pulang. Begitu terus setiap habis lebaran atau awal tahun ajaran.”

Rao terkekeh. “Resiko jadi kota yang berhati nyaman. Oh iya, mulai sekarang silahkan mampir di Kandang Walet tanpa perlu khawatir lagi. Kita gencatan senjata, karena Aliansi harga mati.”

Simon mengangguk sambil mencibir tanda becanda. “Aliansi harga mati. Bagus jadi jargon.”

Rao meletakkan harmonikanya “Aku sih tidak percaya kalau orang seperti kamu jomblo, sumpah ga percaya. Paling-paling kalau malam kamu ngider ke Jalan Kapuk cari cewek jadi-jadian yang mau ihik-ihik di balik semak.”

“Enak aja. Hahaha. Cari ceweknya sih tidak sulit, hanya saja aku sedang mencari yang tepat, Masbro. Bukan yang bisa dibawa ke hotel setiap dua jam sekali. Perlakukan cewek itu dengan hormat, dengan ketulusan. Kalau sudah tulus apa pun juga dikasih. Cowok melihat cewek dari penampilan, cewek melihat cowok dari ketulusan.”

“Wew. Orang seperti aku ga pernah kepikiran dapet cewek. Boro-boro nyari cewek, mending nyari tuak.”

“Makanya muka udah kek lapenz. Pacarku yang terakhir pacar ke-125. Lumayan dapet segelnya habis Tarung Para Wakil kita kemarin.”

Wasuuuuuu. Telo! Satus selawe. 125!? Terus? Lha mana sekarang temon-mu, Dab? Kok ga pernah keliatan? Malah ngaku-ngaku jomblo pula.”

“Ya udah bubar. Kami tidak cocok.”

Munyuk. 125? Dasar pleboe cap plencing kangkung.”

“Masih sedikit itu kalau dibanding playboy beneran. Aku kan pacarin ceweknya sambil tulus, Bro.”

“Ya... ya... ra maido, emang kualitasnya beda. Sampeyan dasare wes bagus, ganteng, gagah, gede, dhuwur. Gantengnya paten, gagahnya ga ada obat. Harus diakui kalau itu. Soal-soal yang begituan aku mengaku kalah, Dab.”

“Agak-agak cringe kalau sampeyan yang memuji, Masbro.”

Wassuuuuuu. Lha ya jelas. Hahaha.”

Keduanya tertawa. Siapa yang sangka kalau kedua musuh bebuyutan yang datang dari dua kubu yang sudah bertahun-tahun berseberangan, hari ini dapat duduk berdua, bercanda, dan ngobrol soal hal-hal sederhana? Siapa yang akan menyangka? Hanya dalam jentikan jemari, mereka yang pernah bertarung di arena, kini ngobrolin masalah cewek berdua.

Kita tidak pernah tahu apa yang ada dalam suratan takdir.

Simon mendengus.

“Ngobrol yang lebih serius, ada kabar yang beredar kalau di wilayah selatan JXG sudah mulai bergerak lagi, lebih cepat dari perkiraan kita dulu.” ujar Simon. Ia menyeruput sekali lagi Pasir Ijo kalengannya. Kok rasanya sekarang beda ya? Entah kenapa rasa segernya agak kurang, beda sama yang dulu.

“JXG? Yakin?”

“Banget. Kabar beredar pula, kemunculan JXG ditandai dengan baliknya si Jagal.”

“Jagal?”

“Salah satu eksekutor JXG, dia tidak muncul saat perang besar terakhir antara JXG dan QZK berlangsung. Kabarnya saat itu dia sedang mendekam di penjara, entah untuk masalah apa.”

Rao manggut-manggut, dia sudah pernah dengar kabar burung tentang reputasi si Jagal, tapi sebenarnya tidak ada yang tahu kejelasan legendanya, karena berita itu sudah ada sebelum ia masuk DoP. Jadi Rao juga tidak tahu seperti apa orangnya dan seperti apa kemampuannya. Dari kabar kabur sih cukup pilih tanding – ditakuti bahkan oleh penggede-penggede PSG, Dinasti Baru, dan QZK. Jagal mungkin jadi salah satu sosok paling mengerikan di JXG selain sang pimpinan.

“Mudah-mudahan mereka tidak cross country ke utara.” Rao mendengus.

“Ga mungkin sih. Aku yakin mereka sudah cukup repot di selatan, hanya tinggal tunggu waktu saja untuk baku hantam dengan PSG yang sekarang jadi yang terbesar di sana. Ga mungkin ga terjadi. Apalagi wilayah-wilayah JXG yang lama sekarang jadi wilayahnya PSG. Pasti akan seru melihat perkembangan kedua kelompok itu kalau benar JXG kembali turun ke arena.” Simon lalu menggoyang kaleng minumannya, “masalahnya adalah – kalau JXG benar-benar turun lebih cepat dari perkiraan, maka QZK pasti juga akan menyusul. Selatan ramai, utara ikutan kisruh. Kita yang bakal kelabakan.”

“Nah itu.”

“Seru kan?”

“Belum lagi kita punya masalah yang tidak kalah repotnya,” ucap Rao. “apa yang akan kita lakukan dengan KSN? Mereka masih ada lho.”

“Akankah kita melakukan serangan balasan?”

“Dengan squad yang sekarang? Kita butuh waktu. Pengkhianat di tubuh DoP dan Sonoz akhirnya sudah habis – atau setidaknya sepengetahuanku. Kini saatnya kita membangun Aliansi yang benar-benar bersih dari infiltrasi pihak manapun, menunjuk wajah-wajah fresh sebagai jendral, kapten, dan juga korlap,” ucap Rao, “tapi itu tidak berarti masalah selesai. KSN punya squad muda yang potensial dan juga dapat dukungan dari PSG.”

“Aliansi jelas sudah jadi musuh bebuyutan KSN di utara.”

“Betul. Asyiknya adalah, kalau JXG perang dengan PSG, maka KSN akan melangkah hanya dengan satu kaki karena kelompok pelindungnya sedang perang territory – itulah saat yang tepat bagi kita untuk menghabisi Ndalem Banjarjunut.”

Simon mengernyit. “Nanto sepertinya bukan tipe orang yang akan melakukan serangan ke pihak lain. Apalagi dengan kekuatan mahasiswa-mahasiswa biasa.”

“Dia masih muda, masih harus banyak belajar. Kita tidak mungkin diam saja menunggu diserang, kita sudah tahu apa yang terjadi pada Patnem saat membiarkan PSG dan KSN berkeliaran bebas tanpa melawan. DI dalam dunia geng tidak ada sahabat karib dan tetangga akrab. Yang ada hukum rimba, kamu lengah? Kawasanmu kusikat.”

“Tapi aku tidak yakin kita siap menyerang siapapun dengan pasukan anak kuliahan. Tetap harus ada afiliasi lain.”

“Jadi?”

“Jadi kita harus merekrut lebih banyak lagi geng kampus dan menjadikan Aliansi benar-benar aliansi – semakin besar semakin bagus. Setelah itu baru kita coba melihat pasukan kita lebih cocok berafiliasi dengan kelompok yang mana.”

Rao mengangguk sambil memegang dagunya, “leh uga.”

“Sebenarnya masih ada satu hal lagi yang aku khawatirkan, Masbro.”

“Apa itu?”

“Sudahkah pernah mendengar kiprah RKZ?”

“RKZ?”

Simon mengangguk, “RKZ. Mereka ancaman baru di kota kita.”

“Walah. Soyo ruwet, soyo akeh kelompoke, soyo mumet ndase. Semakin ruwet, semakin banyak masalah, dan semakin pusing kepala kita. Awas aja kalau mereka sampai bikin polah.”

“Mereka sudah bikin polah, lambat laun aku yakin Aliansi akan berjumpa dengan RKZ.” ucap Simon sambil tersenyum. Dia berdiri, melempar kaleng yang sudah kosong ke dalam tong sampah, dan berjalan ke arah tangga.

“Mau kemana, dab?” tanya Rao.

“Mau jajan dulu.”

“Jajan di Pasar Bunga?” Rao menyebutkan satu kawasan yang cukup populer sebagai kawasan khusus dewasa.

Asem. Bukan. Ke bawah situ aja.”

“Nitip gorengan.”

Simon tertawa.





.::..::..::..::..::.





Huff, panasnya siang ini.

Memang seperti ini ya kalau hujan batal turun padahal mendung sudah menggantung begitu lama di cakrawala. Hujan ibarat sekedar isyarat yang tak kunjung tiba karena mendung sudah terangkat. Hujan yang sedianya dinanti dan dihindari, kemudian tak kunjung terjadi. Atau mungkin sebenarnya hujan sudah turun di lain lokasi dan memilih menghindari tempat ini, untuk sekedar memberikan spoiler tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Deka melangkah gontai di koridor kampus yang lengang yang dekat dengan bagian akademik. Dia berada di tempat itu setelah mengurus kartu mahasiswanya yang hilang. Sial memang, dia tidak tahu kartu itu hilang di mana, padahal harus dibawa saat nanti ujian tiba. Pemuda yang biasanya tenang itu hari ini teramat gusar, sikapnya jadi out of character. Semua karena otaknya ibarat mau meledak.

Entahlah.

Semua hal sepertinya bikin dia sewot.

Apalagi tadi petugas bagian akademik menatapnya dengan pandangan yang tidak menyenangkan karena mereka lagi-lagi direpotkan oleh ulah mahasiswa yang teledor. Ah, sial. Mudah-mudahan Ara tidak bete di kantin sendirian nungguin dia agak lama ngurus di bagian akademik. Ingin rasanya mengajak Ara berduaan saja ke tempat-tempat sepi kalau lagi gak mood begini, ndusel-nduselin badan ke tunangannya bisa membuat pikiran yang keruh menjadi cerah.

Pikiran keruh yang isinya cuma membayangkan Dinda.

Kampret.

Kok Dinda lagi?

Dinda yang dulu hanya ia pandang sebelah mata, kini tidak ada sehari pun tanpa ia memikirkannya. Wedul gembes. Kenapa sih Dinda menerima lamaran Amar? Kenapa dia mau? Apa yang gadis itu pikirkan? Deka sama sekali tidak bisa membayangkan sahabat sejak kecilnya besok akan menjadi kakak iparnya. Apa-apaan!

Apakah...

Apakah situasinya akan berbeda seandainya dia yang maju untuk melamarnya?

Apakah bisa?

Lalu Ara mau dikemanain, Ndes?

Butek jan butek
pikiranmu. Sudah tunangan dengan mantannya sahabat sendiri, sekarang bukannya fokus ke pasangan, malah ke calon kakak ipar. Wuedyan, Ndes. Pantas saja kemarin saat berhadapan dengan Roni ia kewalahan. Pikirannya terbang kemana-mana, tidak fokus. Otak yang biasanya dipakai buat mikir malah ditaruh di dengkul. Wedus.

Deka tak berhenti-hentinya mengumpat karena semua masalah yang ia hadapi.

Wajib dibikin adem kepala dulu ini kepala.

Si gondes melangkah ke arah mesin minuman kaleng yang ada di sudut koridor kampus. Ia mengeluarkan ponselnya, memilih salah satu minuman kaleng dingin yang ia inginkan di layar mesin, memilih pembayaran cashless, dan melakukan scan barcode. Terdengar bunyi mesin bekerja, bergerak, dan dua kaleng minuman dingin pun terlontar ke bawah.

Deka jongkok ke bawah untuk mengambilnya. Lumayan buat mendinginkan kepala. Satu lagi mau ia bawakan untuk sang kekasih yang sedang menunggu di kantin.

Huff, mudah-mudahan...

“Yahalooooo! Dekaaaa!”

Deka terkejut! Ia melompat saking kagetnya sembari memasang kuda-kuda silat ala si Jampang. Siapa yang memanggilnya? Suara siapa barusan?

Betapa kagetnya dia ketika sosok yang muncul dari sudut gelap adalah sosok yang tak disangka-sangka. Dia adalah Kapten KSN yang baru dan mantan jendral DoP, Kori si pembenci debu.

Laki-laki yang punya mysophobia itu berjalan dengan senyum merekah dan langkah ringan bak terbang ke arah Deka. Pantas saja dia tidak bisa mendeteksi gerakannya, seram sekali kemampuannya meringankan badan.

“Apa kabar?”

“Kenapa kamu ada di sini!?” Deka mendengus, “mau dikeroyok beramai-ramai sama Aliansi?”

“Hahaha. Aku kan kuliah di sini. Punya hak berada di sini. Kenapa pula harus takut dengan Aliansi?”

Deka mengernyitkan dahi. “Apa maumu?”

“Sekedar mengucapkan salam. Aku tidak mengira akan bertemu kamu hari ini di kampus, kejutan yang menyenangkan karena aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan ke kamu.”

Badjingan. Mau apa kamu? Orang seperti kamu pasti punya niat busuk.”

“Ayolah, tidak semua dari kami punya maksud untuk mencelakai orang lain. Kalau kamu masih tidak percaya bisa aku pastikan kalau aku di sini bertindak sebagai pribadi, dan bukan sebagai anggota KSN. Seharusnya bisa dibedakan apa maksudku itu.”

“Aku tidak paham. Pokoknya kamu termasuk yang paling berbahaya.”

Kori tertawa. “Begitu ya. Sanjungan darimu aku terima.”

“Apa maumu? Kalau tidak mau pergi, aku akan membuatmu menyingkir dari tempat ini dengan paksa.” Deka mempersiapkan Perisai Genta Emas-nya. Ki-nya menyala.

Kori hanya tersenyum sinis.

Deka yang memang baru pusing tidak mau main-main lagi. Ia maju menyerang.

Swwsh. Swwsh. Swwsh.

Tiga pukulan diseberangkan. Tapi Kori dengan mudahnya mengelak, ia menggerakkan kaki dan tubuh bak dauh kering dihembus angin, terbang dengan anggun dan ringan. Semua pukulan setengah hati dari Deka hanya menemui ruang kosong. Tapi tidak semudah itu, ferguso! Deka kembali memainkan kaki, memutar diri, menarik tangan ke belakang sedikit lalu melontarkannya kencang bertubi. Kali ini tidak mungkin lolos!

Swwsh. Swwsh. Swwsh.

Tpp! Tpp! Tpp!


Semua pukulan Deka memang mengarah ke sasaran, Kori bahkan tak sekalipun mengelak. Tapi semua pukulan itu berhasil dimentahkan dengan mudah menggunakan satu tangan saja. Ditepis ke kanan dua kali, ditepis ke kiri sekali.

Deka terperangah. Kenapa begitu mudah pukulannya dihadang?

“Kalau memang tidak berniat memukul, sebaiknya jangan membuang tenaga. Aku tahu pikiranmu sedang tidak di sini, jadi tenagamu tidak akan lepas dengan sempurna. Kamu lihat kan, aku tidak membalasmu sekalipun. Padahal aku bisa.” Kori bergerak lincah, lalu melenturkan kaki, dan melakukan suatu gerakan yang sungguh tak terbayangkan oleh akal sehat.

Jbkkgh!

Dari posisi berdiri tegak, kakinya tiba-tiba saja naik hingga ke sebelah kepala Deka, begitu cepat begitu kencang. Deka menggeser badan dan mengelak, tapi Kori sendiri sejak awal memang tidak ingin mengincar Deka. Sang pembenci debu menyarangkan kakinya ke tembok di samping si gondes dengan kencangnya.

Tertinggal tapak sepatu di tembok.

“Wah, aku bakal kena semprot sama cleaning service kampus. Hehehe.”

Deka mendengus kesal. Ia sadar ada perbedaan level di antara mereka, tapi demi apa dia akan menyerah kalah begitu saja! Dia kembali bersiap! Tangannya dikepalkan, oke coba sekarang dia lebih fokus. Coba lebih fokus!

Kori tersenyum sambil menarik kakinya saat melihat Deka sudah masuk ke mode serius. Sang pembenci debu melanjutkan, “Ini di kampus, di siang bolong, dan ada banyak orang yang mungkin masuk ke koridor ini. Aku tidak ingin memulai keributan kalau jadi kamu.”

“Kamu yang mulai!”

Tenangno pikirmu. Aku sungguh-sungguh tidak ada maksud dan tujuan apa-apa, kan kita memang bertemu secara tidak sengaja hari ini. Tapi aku gembira bertemu denganmu karena dengan perkembangan baru-baru ini aku menganggap kalau kamu memang orang yang paling tepat untuk dijadikan member terbaru kami. Kakakmu ada di Dinasti Baru, kamu sendiri masuk sebagai anggota Lima Jari sekaligus Aliansi. Jos tenan. Kamu layak banget sebagai kandidat. Potensial.”

Deka masih tidak paham. “Kandidat apa? Jangan main-main kamu! Aku tidak akan pernah mau bergabung dengan KSN! Bangsaaaat! Aku tidak akan pernah mengkhianati Nant...”

“Tut... tut... belum dijelasin sudah emosi,” Kori masih menyunggingkan senyum, “bukan KSN, hahaha, bukan KSN. Aku tidak datang ke sini untuk menawarkanmu menjadi anggota KSN. Aku menawarkanmu kesempatan untuk melakukan hal lain yang lebih berarti ketimbang masuk geng yang sedang mati suri. Kamu hanya tinggal bilang ya atau tidak untuk bergabung denganku. Kalau ya, maka aku akan segera memberikanmu tugas-tugas khusus, kalaupun tidak, aku yakin kamu bisa menjaga rahasiaku. Jangan khawatir, aku tidak akan memintamu meninggalkan kawan-kawanmu. Justru sebaliknya – aku ingin kamu tetap bertahan.”

Deka makin tak paham.

Kori melangkah perlahan ke tepian jendela besar untuk menyaksikan pemandangan taman menghijau di luar gedung. “Kota ini kota yang indah ya, meski terbelah menjadi utara dan selatan, tapi tetap saja ngangeni. Ada yang bilang kota ini terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Sepertinya memang begitu.” Kori tersenyum pada Deka, “Kamu pasti sudah hapal betul, di utara ada Dinasti Baru, KSN, dan sekarang Aliansi. Belum lagi jika nanti QZK kembali hadir secara resmi, perebutan wilayah pasti akan sangat mengerikan. Di selatan ada geng legendaris JXQ, PSG, dan yang baru masuk dari arah timur ada RKZ – geng motor yang suka klitih di jam malam.”

RKZ? Deka baru mendengarnya sekarang.

Kori seperti membaca apa yang dipikirkan Deka. “RKZ itu geng motor baru tapi mulai besar akhir-akhir ini, sering merekrut ABG di wilayah perbatasan. Geng paling sadis karena sering melukai, membacok, bahkan pernah ada yang membunuh korban klitih-nya. RKZ itu singkatan dari Rekozo atau kadang disebut juga Randupanji Kombat Zombies. Sebagian anggotanya sebenarnya pendatang baru dari kota lain. Agak merepotkan untuk dipetakan karena mereka tidak berbatas wilayah, tapi lebih sering mengacau di ring road selatan. Mungkin suatu saat nanti mereka juga akan klitih di utara, terutama lewat jalur candi di timur. Pasti asyik nantinya kalau mereka bentrok dengan NWO.”

“Terus? Apa hubungannya Rodopokil Kopet Jombi itu denganku?”

“Sabar-sabar... ini aku jelaskan dulu. Semua kelompok geng dari selatan ke utara dan timur ke barat ini ibarat bom waktu. Mereka berlagak layaknya penguasa, merasa jadi raja di wilayah yang sesungguhnya sudah punya aturan dan tata tertib yang sah. Yang lebih menyebalkan, kelompok geng ini hancur satu tumbuh seribu. Begitu QZK redup muncul Patnem dan Dinasti Baru, JXG redup muncul PSG dan RKZ, silih berganti tanpa akhir. Begitu bom waktu ini meledak, maka tidak bisa dibayangkan akibatnya pada masyarakat, pada mereka yang tak bersalah. Mengerikan. Yang seperti itu tentu saja tidak bisa dibiarkan, harus diatur, harus dikontrol, dan harus diawasi.”

Deka meneguk ludah, jangan-jangan...

“Untuk melakukan pengawasan harus ditempatkan orang-orang yang tepat, tanpa batasan usia, agar bisa masuk ke kelompok-kelompok yang ingin diawasi. Bisa tua, bisa muda, bisa sudah bekerja, bisa pengangguran, dan tentunya bisa mahasiswa. Saat ini aku tergabung dengan unit yunior – tapi bisa saja suatu saat nanti naik jabatan. Heheh.”

“Apa sih maksudmu sebenarnya? Kamu tambah bikin aku bingung!”

“Masa masih belum bisa menebak?”

Deka menggelengkan kepala.

Kori tersenyum.

Dia mendatangi Deka, membisikkan beberapa kalimat di telinga si Gondes yang membuat pemuda itu mengerutkan kening dan menggemeretakkan gigi dengan geram. Kori mundur lagi setelah sempat menyelipkan kartu nama ke kantong baju Deka.

Ia tersenyum, membalikkan badan, dan melangkah pergi. Kori melambaikan tangan tanpa menengok ke belakang. “Itu penawarannya ya. Tidak perlu dijawab sekarang, bisa ya bisa tidak. Terserah kamu. Awas kalau rahasia ini terbongkar. Tahu sendiri resikonya. Hahaha. Cheerio.”

Deka masih terpekur dalam diam.

Tubuhnya lemas.

Badjingan.

Pilihan apa yang dia punya sekarang?

Wedus. Tambah ruwet saja pikirannya. Ingin rasanya dia bertemu Dinda dan berbagi keluh kesah dengannya supaya... eh sebentar... lho kok Dinda? Maksudnya Ara.

Ara.

Ya... Ara.

Deka menggelengkan kepala. Semprul. Banyak masalah belum ketemu solusi. Kenapa saat satu masalh belum selesai, masalah lain menghampir.

Gosong nih otaknya.





.::..::..::..::..::.





Nanto sampai di lokasi tempat Kelompok Sahabat Sejati Selamanya atau K3S biasa mengajar anak-anak jalanan, di taman samping Pasar Gede, berbatasan dengan bangunan bersejarah yang seperti benteng berbalut museum. Suasana hiruk pikuk, beberapa penjaja pasar keluar dari tempat mereka berjualan dan berkumpul di beberapa titik untuk ngrasani kejadian yang baru saja berlangsung. Beberapa pohon berbunga indah berukuran pendek yang biasa menghias taman di pembatas jalan tumbang seperti dilindas motor. Jejak-jejak ban menggilas tanah masih terhampar di aspal jalan dan concrete block.

Si bengal buru-buru memarkir motor Hond@ Be@t-nya dengan asal dan berlari menuju ke kerumunan terdekat, tidak ada apa-apa di sana. Lalu ke kerumunan yang satu lagi, tidak ada juga. Lalu ke yang satu lagi, lalu yang satu lagi. Tapi dia tak menemukan apa-apa dan tak berjumpa dengan siapa-siapa. Si Bengal mulai khawatir.

Di mana kekasihnya? Di mana Kinan!?

Nanto makin membabibuta menyeruak di antara kerumunan yang bergerombol, mencari sosok sang kekasih yang ia rindukan.

Sampai akhirnya ia bertemu dengan dua orang gadis yang sedang merawat beberapa anak jalanan yang sepertinya kena tendang – kok tahu? Karena ada jejak kaki di pakaian yang dikenakan bocah-bocah itu. Nanto menghampiri kedua gadis dengan tergopoh-gopoh. Seragam yang mereka kenakan ada tulisan K3S, mereka sepertinya sukarelawan di sini seperti halnya Kinan.

“Ma-maaf.” Nanto mencoba menyela kedua orang gadis. “Maaf mengganggu waktu kalian sebentar. Saya tahu kondisinya sedang tidak memungkinkan tapi...”

“Kami sedang repot banget, Mas. Mau nanya apa?” jawab salah satu gadis. Katanya repot tapi dia sedang merawat seorang anak sambil makan galundeng. Galundeng Mang Eloh, rasanya odading banget.

“Anu, maaf sebelumnya merepotkan... apakah mungkin saya bisa tanya di mana saya bisa menemui Kinan?”

Dua gadis yang bernama Dewi dan Via saling berpandangan, lalu melirik ke arah Nanto, lalu saling berpandangan lagi, lalu akhirnya menatap Nanto sembari menahan senyum. Saat mereka berdua kembali menatap si Bengal, keduanya sudah tampil dengan senyum yang berbeda.

“Oh jadi ini toh.” Bisik Via sembari mengedipkan mata pada Dewi. “Ehem-ehemnya Kinan.”

“Iya ya... Mas Tarno ya?” Dewi mencoba menahan senyum.

“Nanto, Mbak. Saya Nanto. Bukan tukang sulap.”

“Eh iya, kok bisa Tarno yak?” Dewi menutup mulutnya seakan-akan kaget.

Wagu banget kagetnya, Via yang melihat akting busuk Dewi pun tertawa geli. Untung saja kedua gadis itu tidak terlalu lama ngebanyol – udah situasinya gawat begini masih bisa cekikikan aja kedua cewek ga jelas ini. Tapi situasinya sendiri nampaknya sudah terkendali, anak-anak jalanan sudah berlarian, bermain, dan menyiapkan dagangan atau alat musik mereka. Tertawa dan bercanda, tidak peduli dengan peristiwa kekerasan yang sepertinya sudah akrab dengan mereka.

Dewi menunjuk ke sebuah arah, dekat dengan bagian pemisah antara dua gedung pasar. “Kalau si Kinan kayaknya tadi ada di sebelah sana, Mas. Deket yang jualan sate kere.”

Nanto melihat ke arah yang ditunjuk Dewi, lalu mengangguk sambil tersenyum ramah, “makasih, Mbak.”

Dewi dan Via berucap hampir bersaman, “sama-sama, Mas.”

Nanto setengah berlari menuju ke lokasi yang ditunjuk oleh Dewi tadi, untunglah suasana sudah aman sekarang, sudah tidak ada lagi orang-orang brengsek yang mengacau di tempat ini, tapi tetap saja si Bengal khawatir dengan kekasihnya.

Ia khawatir kalau pacarnya sampai kenapa-kenapa.

Ia khawatir kalau pacarnya...

Sesampainya di sana tempat yang ditunjuk Dewi dan Via, Nanto terhenti.

Ia tertegun dan berhenti berlari. Dari kejauhan ia melihat Kinan sedang memasang band-aid di tangan seorang cowok yang terluka bagian bahunya. Keduanya tertawa dan saling bercanda dengan akrab. Senyum Kinan manis sekali, pantas saja kalau cowok itu kemudian terus menerus memandang ke arah sang bidadari tanpa berkedip, mungkin terpesona. Siapa yang tidak akan terpesona sama dia? Tapi kedekatan mereka memang terlihat berbeda dari yang lain, akrabnya beda. Sang cowok bahkan dengan berani membenahi posisi kerudung Kinan yang agak sedikit tertekuk di atas dahi.

Panas lah Nanto.

Panas hati, panas pikiran, panas atas bawah depan belakang. Panas juga kena sengatan mentari yang tak ramah siang ini. Kemana perginya mendung yang tadi? Apa di sini tidak hujan? Panas sumlenget makin bikin emosi.

Tangan Nanto terkepal.

Si bengal menghela napas panjang melihat sang kekasih duduk berdua dengan cowok di sebelahnya.

Itu yang kemaren nembak si Kinan?

Ganteng sih. Kalau bersanding sama Kinan gitu kayaknya klop. Cocok. Ganteng ketemu cantik. Cowok baik-baik ketemu cewek baik-baik. Apalah dia yang hanya jadi sisa saus yang susah dimuncratkan dari botol, digoyang susah, ditepuk susah. Ya nasib, ya nasib. Nasib jadi sisa saus.

Ia berbalik dan melangkah pergi dengan gontai. Sepertinya Kinan baik-baik saja, sehat tak kurang sesuatu apa, dan dia sepertinya sudah tidak membutuhkannya. Kinan sehat dan bahagia, itu saja sudah cukup buat Nanto. Melihat gadis yang ia kasihi baik-baik saja adalah kabar terbaik yang ia dapatkan hari ini, meski ia tak berani mendekat untuk mengucapkan salam karena takut akan melakukan kesalahan.

Nanto melihat sekeliling. Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini? Beberapa aksesoris taman dan pembatas jalan porak poranda. Kenapa ada orang-orang yang dengan tega menyerang lokasi yang dijadikan tempat belajar anak-anak jalanan? Apa yang mereka inginkan? Apa yang mereka cari?

Ini kan wilayah PSG, jangan-jangan mereka lagi yang bikin ulah dan...

“Kenapa kamu pergi?”

Satu tangan lembut memegang erat lengan si bengal, mencegahnya melangkah lebih jauh. Nanto terhenyak. Suara lembut itu... suara yang ia rindukan itu...

Nanto membalikkan badan dan melihat wajah sang kekasih yang berdiri di belakangnya. Berdiri dengan tubuh gemetar, menahan rasa takut, menahan rasa marah, menahan rasa kesal, tapi juga rindu bukan main. Matanya berkaca-kaca di balik kacamata yang dikenakan. Cewek manis yang pakai kacamata memang kadang nambah gemesnya. Tumben Kinan pakai kacamata.

Nanto tersenyum, “Aku datang karena pesanmu tadi. Tapi setelah datang ternyata semua sudah selesai, aku juga lihat kamu baik-baik saja dan sedang berduaan dengan orang itu. Sepertinya kamu tidak membutuhkanku, jadi aku...”

“Aku sedang berkeliling memasang band-aid ke anak-anak yang terluka gara-gara serangan preman tadi. Tidak sengaja aku lihat Kak Angga juga terluka. Dasar Kak Angga dia cuek dengan lukanya sendiri, padahal lumayan besar lukanya. Jadi aku inisiatif mengobatinya dengan obat merah.”

“Mesra sekali kalian, aku jadi...”

“Jangan konyol.”

“Pandangannya sama kamu berbeda. Dia yang nembak kamu, kan?”

“Dia sudah aku anggap kakak sendiri.”

“Aku lihat tadi dia membenahi kerudungmu, terus aku...”

“Yang begitu tidak boleh? Kamu sayang-sayangan sama cewek lain, boleh?”

Ini lagi kan. “Sayang... aku kan sudah jelasin ke kamu, itu semua tidak ada artinya. Aku jelas-jelas jadiannya sama kamu, menghabiskan malam sama kamu. Ga pernah sekalipun kepikiran buat nyakitin kamu. Saat ini, kamu jadi orang yang paling penting buat aku. Buktinya begitu kamu kirim WhatsApp, aku langsung lari ke sini. Masih pakai seragam cafe begini. Aku bener-bener khawatir sama kekasihku, tau nggak sih?”

“Seharusnya aku tidak kirim pesan itu. Aku panik tadi. Preman-preman entah darimana mengacau dan mengancam kami. Tapi mereka pergi secepat mereka datang, mungkin karena ini siang bolong dan banyak polisi berkeliaran.”

“Iya, kamu sudah aman kan? Apalagi sudah ada Kak Angga yang ganteng itu di sisi kamu.”

“Apaan sih!”

“Aku telpon ga diangkat, aku WhatsApp ga dibales. Di sini malah sama cowok lain deket-deketan.”

“Bodo. Aku masih sebel sama Mas.”

“Ya sudah kalo gitu, aku balik dulu ke cafe. Aku masih harus kerja. Aku ga mau ganggu kamu dan Kak...” Nanto membalikkan badan dan bersiap melangkah pergi.

Tapi tangan Kinan tak melepas lengan si Bengal.

Nanto melirik ke arah Kinan.

“Bisa ga sih, kita ga saling menyakiti?” lirih suara Kinan. “Kita baru aja jadian, bukan seperti ini jadian yang aku inginkan.”

“Bukan yang aku inginkan juga.” Nanto kembali berbalik. Ia mengangkat dagu sang kekasih dengan siku telunjuknya. “Aku ingin kita baik-baik saja. Aku ingin kamu percaya sama aku. Aku ga akan pernah nyakitin kamu. Tolonglah beri aku kepercayaan itu. Kalau sekarang masih belum bisa seratus persen, kita coba perlahan-lahan.”

“Tapi... si Asty itu... bikin aku...”

“Sayang...”

“Coba bayangin kalau jadi aku, Mas. Bayangin, ya. Malamnya aku nyerahin ke Mas satu-satunya barangku yang paling berharga. Yang paling berharga, Mas! Yang seharusnya aku serahin ke suamiku kelak! Eh... paginya aku disuguhin bacaan mesra dari cewek yang tidak aku kenal ke cowokku. Bisa bayangin ga, Mas? Bisa bayangin gimana sakitnya itu?”

Ada baris air menuruni pipi mulus Kinan. Hanya satu yang mengalir, tapi itu sudah cukup membuat si Bengal sedih. Nanto paham, Ia pun mengangguk, mencoba mengelap air mata yang turun itu dengan siku telunjuknya, tapi Kinan menolak.

“Kinan. Sayang...”

“Kalau kita mau lanjut, Mas harus janji jauhin Asty. Siapapun itu, apapun hubungan kalian saat ini. Kalau Mas ga mau, kita lebih baik...”

“Dia kan...”

“Sebelum telpon ditutup, dia sempat bilang kalau dia juga pacar kamu. Gimana aku nggak shock, Mas. Apalagi dari suaranya dia juga kaget dan marah. Serius Mas, aku dibentak sama dia. Padahal justru aku yang seharusnya marah.” Kinan kembang kempis menceritakan kejadian yang tidak menyenangkan itu. “Aku lebih jengkel lagi sama kamu. Aku ga nyangka kamu ternyata seperti ini sama cewek, Mas.”

“Kinan... aku...”

“Aku kangen banget sama kamu, Mas. Aku bahagia banget kemarin. Bisa ga sih kamu ga nyakitin aku di hari pertama kita jadian?”

Kinan menangis, kali ini deras. Wajahnya tenggelam dalam tangkupan tangan. Ia memang tidak tersedu-sedu, tapi dari gerakan tubuh sang bidadari, Nanto tahu kalau kekasihnya itu benar-benar sedang menahan kekesalan yang amat sangat.

Waduh-waduh... di tempat umum, dilihatin orang, menangis begini...

Apa yang harus dilakukan si bengal?

Ya dia melakukan apa yang harus dia lakukan sejak awal. Dia seharusnya melakukan ini sebelum Kinan pergi dari kontrakannya dengan terburu-buru tadi pagi tanpa mengucap sepatah kata pun.

Nanto memeluk Kinan, membiarkan kepala gadis itu tenggelam di dadanya. Dia akan melindunginya dari siapapun, bahkan dari dirinya sendiri yang terkadang mengesalkan. Si Bengal tahu dia hanya butuh mengucapkan satu kata dengan setulus hati.

“Maaf.”

Kinan masih sesunggukan.

“Kamu janji, Mas?”

“Iya.”

“Janji kamu ga bakal berhubungan lagi dengan Asty?”

Nanto memejamkan mata, bisa tidak ya? Kinan mungkin tidak tahu betapa berartinya Bu Asty di saat dia benar-benar membutuhkan seseorang dulu. Di saat dia terpuruk dan hancur lebur kehilangan semuanya, kehilangan kehidupan normalnya, kehilangan ibunya. Saat itu hanyalah Bu Asty yang hadir dan memberinya semangat.

Tapi Nanto tahu, Asty sudah berkeluarga, tidak ada kesempatan baginya untuk meraih cinta sang guru. Meski dia sangat menyayangi wanita berparas menawan itu.

“Aku janji.”

Nanto menghela napas. Saat ini Kinan lebih penting. Huff... gimana neranginnya ke Bu Asty ya? Satu-satu dulu. Satu-satu dulu.

“Beneran janji?”

“Iya, sayang.”

“Boong.”

“Lah, terus gimana? Butuh apa lagi buat jaminan? Kan udah janji?”

“Hukumannya hari ini aku mau ikut kamu seharian. Kemanapun kamu pergi, aku harus ikut.”

“Walah. Aku kan mau kerja, sore nanti kuliah.”

“Pokoknya ikut.”

“Beneran aku kerja, sayang.”

“Sebodo.”

“Yakin? Ikut kerja sama kuliah?”

Kinan mengangguk manja. Manis banget cuy! Gawat kalau sudah begini, runtuh sudah tembok kengeyelan si bengal. Nanto tersenyum sambil mengelus-elus kepala kekasihnya. “Iya deh. Habis ini kita ke cafe ya.”

“Kinan? Kamu tidak apa-apa?”

Kinan mendorong diri lepas dari Nanto, si bengal juga kaget dengan orang yang baru datang. Asem, siapa nih bikin kaget aja? Terwelu dari padang es mana lagi yang berani mengganggu? Cowok yang tadi berduaan dengan Kinan datang mendekat, sepertinya khawatir karena melihat Kinan menangis. Sang bidadari menghapus airmatanya.

“Ga... ga apa-apa kok, Kak.”

“Serius? Apa tadi kamu juga luka? Atau... atau ada orang yang barusan nyakitin kamu?” Angga menatap mata Kinan dengan serius, dia sama sekali acuh dengan Nanto.

Kak Angga khawatir amat sih sama jodoh orang? Batin si Bengal sedikit keki. Sial nih terwelu, jelas-jelas ada cowoknya di sebelah, eh main akrab aja. Emang Nanto dianggap apa? Sendok bebek nasi kardus?

“Ehm... kenalin ini, Kak.” Kinan yang menyadari ada perubahan di wajah Nanto segera bertindak. Dia pun memperkenalkan si bengal pada sang senpai.

Angga dengan senyum yang dibuat-buat menatap Nanto tidak rela. Keduanya bersalaman sambil adu jaim dan sok keren. Kencang dan erat jabat tangannya. Terlihat seperti saling menghormati padahal aslinya pengen saling gelitik pakai sapu lidi. Yang satu jengkel karena merasa memiliki, yang satu lagi merasa dia lebih berhak untuk menjadi yang disayangi.

“Angga.”

“Nanto.”

“Naruto?”

Kampret. “Nanto.”

“Oh Nanto.”

“Kak Angga, jadi Mas Nanto ini...” wajah Kinan memerah. “...err... kami...”

“Saya cowoknya, Mas.” Nanto tersenyum lebar. Mampus lu, stik pe-es. Langsung skak mat.

“Oh gitu.”

Ada raut kecewa di wajah Angga. Dia melirik ke arah Nanto, memperhatikannya dari bawah sampai ke atas. Apa sih istimewanya si sendal bodol ini? Kenapa Kinan lebih memilih dia daripada Angga yang jelas-jelas mahasiswa berprestasi, disukai dosen, kaprodi, hingga rektor. Masa depan cerah, bahkan beberapa perusahaan besar sudah menawarinya pekerjaan. Apanya yang kurang? Apanya yang bisa diharapkan dari si sendal bodol? Mending sama Angga yang bisa ningkatin follower Instagram sampe jutaan dan juga jualan krim pemutih yang sudah jelas khasiat dan direkomendasikan oleh penyanyi dangdut.

“Ya sudah, Kak. Saya pamit dulu ya. Saya mau pulang dulu,” ujar Kinan kemudian sambil menggandeng si Bengal dan meninggalkan Angga yang menatap pilu sembari membayangkan lagu-lagu sendu. Di saat-saat seperti inilah lagu-lagu dari the Godfather of Broken Heart bertahta di sanubari seorang anak manusia. Modyar we lah, ambyar we lah. Oalah jum... jum...



Nanto dan Kinan berjalan melewati Devi dan Via.

“Wi, Via, aku duluan ya.” Kinan mengambil tas yang dititipkan di dekat kedua karibnya.

“Wi... Dewi... ada anak yang bar setu minggu, bar nangis ngguyu.”

“Hihihi... anaknya sekarang malu-malu tapi nggandeng melulu, Vi. Uwu banget.”

Wajah Kinan memerah, “Ih, apaan sih kalian.”

“Siapa nih, Noy? Kenalin dong sama gandengannya.” Dewi tersenyum lebar.

Ihir, icikiwir.

“Ih kalian!” Kinan makin malu.

Nanto tertawa melihat dua cewek yang ceria itu, padahal mereka mungkin baru saja melalui peristiwa yang tidak menyenangkan hari ini, tapi mereka masih saja tetap bahagia dan tidak patah semangat. Mungkin ini bukan yang pertama kalinya bagi mereka berhadapan dengan peristiwa serupa. Mungkin mereka masih ingin menunjukkan asa bagi anak-anak jalanan, bahwa serangan preman tidak perlu menyurutkan semangat mereka untuk belajar. Kakak-kakak pengajar tidak takut, jadi mereka juga tidak boleh takut. Belajar dan belajar dan belajar terus. Halangan pasti ada, yang tidak suka pasti banyak, tapi masa depan lebih penting untuk meningkatkan kemampuan mereka.

SI Bengal salut pada K3S dan anak-anak jalanan itu. “Saya Nanto, Mbak.”

“Saya Dewi.”

“Saya Via.” Via mencolek Kinan, “Mas Nanto apanya Kinan sih? Kok mesra banget kayaknya? Digandeng mulu kayak sapu ama pengki.”

“Saya cuma sopir ojek onlinenya, Mbak. Datang ke sini sesuai aplikasi.”

“Ish.” Kinan mencubit perut si Bengal.

“Awowowowogghh!! Aduh aduh! I-iya... apaan sih, sayang.”

“Cieeeeeeeeeeee!!” Dewi dan Via tertawa bersama.

“Sayang katanya, Wi.” Goda Via.

“Sayang katanya, Vi.” Tambah Dewi.

“Mesra, Wi.”

“Banget, Vi.”

“Bikin mak nyes, Wi.”

“Uwu banget, Vi.”

“Kita gimana, Wi?”

“Lha enaknya gimana, Vi?”

“Kok kita jomblo ya, Wi?” Via tersadar.

“Lho, lha iya ya? Kok jadi sedih, Vi.” Dewi juga.

Kinan tertawa. “Apaan sih kalian! Dasar!”

“Hihihi, jadi siapa Mas Nanto ini, Noy?

“Co-cowokku.”

Giliran Nanto yang wajahnya memerah. Uhuy, dikenalin resmi, cuy. Dibilang cowoknya, cuy. Ihir, cuy. Berasa diterbangkan ke langit, bertemu pesawat terbang, nangkring di sayap, terbang ke Jepang, balik lagi bawa nampan isi gedang. Lho kok gedang? Yo wes ben lah. Orang lagi kasmaran itu bebas.

“Nah gitu dong. Dikenalin ke kami-kami.” Via tersenyum sambil mendekat ke si Bengal, “Tahu ga Mas? Ada yang seharian tadi mukanya kusut, seharian cemberut, ditawarin makan ga mau, ditawarin minum ga mau, ditawarin cendol ga mau, ditawarin dawet ga mau, ditawarin duren ga ada, ya karena durennya emang belum musim sih.”

“Viaaaaa!!” Kinan memukul-mukul manja sang temen.

“Iya lho, Mas. Ada yang seharian ngedumel, Mas. Katanya sebel deh sebel ih sebel dong gitu. Eh, meski sebel dikit-dikit lihat foto Mas di hape. Sebel apa demen sih yak?”

“Dewwwiiii!!!”

Nanto tersenyum lebar, duh kenapa jadi tambah sayang yak sama Kinan?

“Ya sudah, kami duluan, yaaa.” Kinan melambaikan tangan dan buru-buru mendorong si Bengal meninggalkan duo anggur dan racun yang makin tidak jelas sebelum mukanya gosong karena terus-menerus memerah.

“Ati-ati, Noy. Pegangan yang kenceng.”

“Bawa Kinan ati-ati ya, Maaaass! Pokoknya Kinan padamu! Ahahaaaay.”

Kinan meninggalkan kedua temannya dengan wajah merah padam karena malu, ia masih tetap menggandeng si bengal tak terlepas. Berdua berjalan di trotoar menuju motor Nanto.

“Jadi tadi buru-buru kesini ya?” ujar Kinan mencoba memupus rasa awkward. “Ngebut?”

“Banget. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa.”

“Ga boleh ngebut ya lain kali. Pengennya kamu aman-aman aja di jalan.” Kinan menunduk malu.

“Iya, sayang. Kan ngebutnya juga demi kamu.”

Kinan mengangguk. “Mas...”

“Hmm?”

“Makasih sudah kesini.”

“Kamu kan pacarku.”

Tambah memerah. “Makasih sudah khawatir.”

“Iya... pasti.”

Sampai di lokasi parkir, Nanto segera menaiki motornya, mengenakan helm, dan setelah Kinan membonceng di belakang, keduanya pun melaju melalui ruas-ruas jalan sambil mengambil jalur jalan tikus. Menghindari jalan besar agar tidak ketemu polisi karena Kinan tidak mengenakan helm.

“Sebenarnya apa yang terjadi sih? Ada kejadian apa tadi?” tanya si Bengal.

“Kami diserang, Mas. Sama preman-preman dari PSG. Kalau ga salah tadi ada Bang Kojek, Sarno, Jardu, Eben, sama om... om siapa ya yang kumisnya kek Chaplin.”

“Mereka ngapain?”

“Ga ngapa-ngapain sih, cuma nakut-nakutin aja. Bubarin anak-anak. Eh, tapi ada juga yang ditendang bocah-bocah itu.”

“Bukannya mereka ngijinin kalian ngajar anak-anak di situ ya?”

“Benernya iya. Makanya heran juga kenapa tadi mereka tiba-tiba menyerang begitu. Tapi tadi sih awalnya mereka nyari...”

“Nyari siapa?”

“Nyari Nuke ga ketemu terus ngamuk.”

“Nuke? Kenapa lagi dia? Ada urusan apa Nuke dengan PSG?”

“Ga tau juga sih, Mas.”

“Sekarang di mana Nuke? Kok ga ngajar?”

“Sudah sejak Mas Ridwan kecelakaan Nuke jarang datang untuk ngajar, Mas. Dia sepertinya menghindari bertemu orang-orang PSG itu. Dicari di mana-mana juga ga ketemu. Terakhir ketemu ya pas di rumah Mas itu, pas kita makan bareng.”

“Hmm...”

Nanto manggut-manggut. Iya, dia bertemu Nuke saat itu. Gadis itu sempat mengajaknya melakukan sesuatu, tapi Nanto tidak mengikuti ajakannya. Apa yah yang terjadi padanya? Nanto jadi penasaran.

“Mikir apa, Mas?”

“Ha? Oh, nggak kok.”

“Mikirin Asty ya?”

Motor Nanto meliuk.

“Yaela. Kinan... masa itu lagi itu lagi.”

“Habisnya kesel, Mas. Belum ilang sebelnya.”

Kinan memeluk erat Nanto, meletakkan kepala bersandar di punggungnya. “Mas buat aku aja ya, jangan buat yang lain.”

Nanto tersenyum sambil menepuk lengan sang dara. “Iya, sayang.”

Ah mesranya yang tengah dimabuk cinta. Dunia serasa milik berdua, yang lain numpang aja.

Motor meliuk melalui jalur jalan dari ujung sini sampai ke sana. Cuaca yang cerah ibarat sebagai penanda, hati yang kalut kini sudah terbuka. Memang harus dibicarakan jika ada masalah diantara mereka berdua, kalau sudah dibicarakan, akan terlihat hasilnya. Bahwa tak semua masalah bisa diselesaikan dengan kata amarah dan hati berongga, bisa saja selesai asal meletakkan ego dan membiarkan emosi mereda.

Setelah sekitar dua puluh menit, motor yang dikendarai si Bengal akhirnya sampai juga di tujuan, ia memarkirnya di tempat biasa dan siap-siap untuk kembali bekerja. Kinan memperbaiki baju kusut Nanto dari belakang.

“Yang rapi dong, Mas. Kan mau kerja. Masa kusut sih.”

“Iya ya? Kusut ya?”

“Ketauan kalau ga sempet disetrika.”

“Hehehe.”

“Dasar. Di-laundry aja sih. Biar sekalian disetrikain juga.”

“Rencananya memang mau...”

Hape Nanto berbunyi, si Bengal mengintip nama yang tertera di layar ponsel.

Eh!?

Bb? Bu Asty!?

Wadidaw.

Telpon menyalak-nyalak minta diangkat. Kinan yang kebetulan mengintip dari balik punggung si bengal terbelalak saat melihat nama yang tertera di ponsel. Emosinya langsung memuncak.

“Siapa sih yang... tuh kaaaaaaaaaan!!! Sebel banget ih!!”

Nanto tersenyum kecut, “Aku bisa jelaskan.”

Gadis itu pun berlalu dengan raut muka masam sambil berjalan terburu-buru ke arah cafe. Wajahnya terlihat sangat kesal.

Woalah biyung.

Ponsel si bengal masih menyalak-nyalak.





.::..::..::..::..::.





Ara berulang kali melirik ke pergelangan tangannya, ke jam tangan yang ia kenakan. Kadang ia juga melirik ke penampang smartphone untuk memastikan kalau waktunya sudah benar. Kemana aja sih Mas Deka? Lama banget ngurus kartu mahasiswa aja. Es buah yang ia makan sudah habis sejak setengah jam yang lalu, ia sudah tambah dengan minum air mineral yang juga sudah habis.

Ara geleng-geleng kepala dan mendesah kesal.

Agak sebal kalau harus menunggu terlalu lama.

Seorang pria bertubuh tinggi meletakkan gelas berisi es kopi susu dan mengambil tempat di meja kosong di samping Ara. Pria ini wangi banget, pakaiannya juga dimasukkan ke celana dengan rapi. Bukan orang biasa kayaknya, necis banget.

Sang pria menyeruput es kopi susu-nya.

Ara melirik ke wajahnya, ganteng.

Ia memandang ke arah Ara.

Ara terkejut karena ketahuan memperhatikan, gadis itu pun salah tingkah dan pura-pura membuka ponsel. Yang kepencet kalkulator, duh kok kalkulator? Ya udah pura-pura hitung anggaran bulanan yang harus disimpan untuk beli makanan kucing bulan depan. Hihihi.

“Oh, hai!” Pemuda wangi itu berdiri dan berjalan ke arah Ara. Ia datang dengan senyum lebar, ramah dan sopan. “Kayaknya kita pernah ketemu ya? Wajah kamu tidak asing.”

Ara mengernyitkan dahi karena terkejut. Ia memicingkan mata, mencoba mengenali sosok pria tampan di hadapannya. Masa sih dia lupa sama specimen cowok yang keren begini? Tapi kok bener ya? Kayak pernah lihat. “Eh iya ya? Aku lupa-lupa ingat, tapi kayaknya emang pernah ketemu... di mana ya...”

“Sewaktu jogging pagi di taman?”

“Aaaaah iyaaaa!” Ara sumringah, dia mengulurkan tangan. Keduanya berjabatan. “Hai, gimana kabar. Kok ada di sini?”

“Hahaha, iya, kabar baik. Aku datang ke sini mau ketemuan aja sama temen.” Simon tersenyum, si ganteng bertubuh gagah dan tinggi yang cakepnya ga dibagi-bagi ini punya dekik di pipi yang bikin cewek langsung orgasme sekali lirik. Untungnya Ara sudah biasa ketemu cowok yang lumayan cakep seperti anak-anak Lima Jari. Jadi dia bisa menahan diri saat bertemu Simon. Tapi siapa sih yang ga seneng ketemu sama cowok yang nilainya sepuluh begini.

“Eh siapa nama kamu? Maaf aku bener-bener ga inget.”

“Aku Ara.”

“Ah iya, Aku Simon.”

“Siwon?” Ara menyebutkan nama anggota boyband Korea yang juga gemar makan Mie Pedaaas.

“Hahaha, bukan, Simon.”

“Kuliah kamu bukan di sini, kan?”

“Bukan bukan... aku anak Unzakha.”

“Ih! Unzakha? Kita musuh bebuyutan dong!”

“Hahaha, kenapa begitu?” Simon mengambil es kopi susu-nya dan meletakkannya di meja Ara, dengan sopan ia bertanya, “eh boleh kan? Takutnya kamu...”

“Silahkan silahkan... ga apa-apa kok. Aku di sini cuma nunggu orang aja.”

“Terima kasih.” Simon tersenyum. “Terus bagaimana ceritanya tadi? Kok kamu anggap kami musuh bebuyutan?”

“Nah iya, aku kan ikut klub basket di sini, kalau udah tanding sama Unzakha, wah udah. Penontonnya ganas-ganas semua. Ga di sini ga di sana. Setiap pertandingan selalu saja ada yang cidera. Pokoknya barbar dan panas pasti game-nya, badan lecet semua.”

“Hahaha, mudah-mudahan ke depan nanti kita bisa lebih bersahabat ya.”

“Mudah-mudahan lah.”

“Aku kenal sih satu anak basket putri Unzakha.”

“Siapa?”

Simon menyeruput es-nya lagi, ia mencoba mengingat-ingat nama. Wajah sih ga bakal lupa, tapi nama... duh siapa ya. “Kalau ga salah... I-Imelda?”

“Zelda?”

“Iya. Zelda ya? Cantik, tinggi, hidungnya mancung, agak-agak keturunan indo gitu. Kami pernah akrab dulu. Tapi udah lama banget, awal-awal masuk kampus.”

“Iyaaaaa! Wah iyaaa! Dia andalan basket Unzakha tuh! Three-point-nya ngeri banget! Shoot dari mana aja masuk! Jago rebound juga tuh, padahal di Unzakha ada yang lebih tinggi.”

“Hahaha, iya Zelda yang itu. Kenal?”

“Musuh bebuyutan! Ahahaha!” Ara menepuk meja, sebenarnya tidak kencang, tapi karena mejanya kurang stabil, es kopi susu Simon goyang dan akhirnya tumpah. Airnya kena ke baju sang pemuda tampan.

“Ya ampuuuun!! Sorry, sorry!” Ara menjerit panik.

Simon buru-buru menegakkan es kopi susunya, “eh santai aja, tidak apa-apa. Kan tidak sengaja. Anggap saja ini balasan buat Zelda, hahahaa.”

“Hahaha, duh, maaf banget.” Ara mengeluarkan tissue dan mengelap air es dari baju Simon.

Simon menggeleng kepala, “eh sudah... ga papa, kok. Sungguh, biar aku saja.”

Tissue di tangan Ara diambil dengan lembut oleh Simon, tangan mereka sempat bersinggungan, keduanya bertatapan dan tersenyum. Simon pun buru-buru membersihkan bajunya dengan tissue dari Ara.

Ara menggunakan tissue lain untuk membersihkan meja.

Awalnya Simon tertawa kecil, lalu Ara ikut cekikikan, lama-lama keduanya tertawa bersama.

“Apaan sih!” Ara tertawa sembari menatap Simon.

Simon kembali menggelengkan kepala, “tidak apa-apa... hanya saja...”

“Apa yang sedang kalian lakukan?”

Simon dan Ara menengok ke arah yang sama. Deka berdiri di sana dengan membawa dua minuman kaleng. Ara menatap wajah Deka yang mengeras, lalu ke arah Simon yang tersenyum sambil menatap sang kekasih, lalu ke wajah Deka lagi.

“I-ini...”

“Simon Sebastian, dari Unzakha, ya aku kenal,” ucap Deka.

“Kamu salah satu dari Lima Jari ya.” Simon berdiri untuk menyambut Deka, ia mengulurkan tangan tapi si gondes tidak menyambutnya. Ia duduk di kursi di samping Ara sambil meletakkan minuman kaleng dengan kencang dan mendengus kesal.

Simon tersenyum, tahulah dia kalau ada yang cembokur.

“Sepertinya aku mengganggu kalian, kalau begitu sudah dulu ya, Ara. Senang bertemu kamu kembali. Senang bertemu dengan kamu juga. Kita mungkin akan lebih sering ketemu nantinya, Bro. Aliansi harga mati.”

Deka tetap tidak tersenyum.

Simon berlalu dengan santai.

Ara yang kebingungan dengan sikap Deka segera menghardiknya. “Apa-apaan sih kamu!? Orang ngomong baik-baik balesnya gitu amat!”

“Kan aku tadi nanya kamu ga jawab! Gimana ga sewot!”

“Ya kami kan ga ngapa-ngapain, cuma duduk aja ngobrol berdua. Dulu kami pernah bertemu sewaktu aku lari pagi.”

“Sudah itu aja?”

“Ya sudah cuma itu aja! Emang apalagi sih maksud kamu? Cuma itu aja.” Ara ke-triggered. Ia memasuk-masukkan ponsel di meja ke dalam tas. “Ga suka aku kamu kayak gini! Terserahlah kamu mau ngapain! Aku pulang aja!”

Ara berdiri dengan kesal.

Deka memegang pergelangan tangannya.

“Apalagi!? Lepasin!”

“Mau kemana?”

“Terserah aku! Kamu ngeselin banget tau ga sih? Orang ga ngapa-ngapain juga dibikin masalah. Dia itu temen, kenal juga barusan. Emang kita mau ngapain? Pikiranmu kemana sih? Kemarin kita udah berantem hebat gara-gara kamu deket sama cewek lain di luar kota dan aku bersedia mengalah karena aku mencoba percaya sama kamu. Sekarang aku baru kenal sama cowok, baru kenal nih - ga kayak kamu yang udah akrab-akraban lama – kamu sewotnya setengah mati! Brengsek ah! Jadi aku harus percaya sama kamu sementara kamu sedikitpun ga percaya sama aku?”

“Din... maksudku... Ara...”

Ara melotot.

Tanpa banyak bicara, Ara menyentakkan tangan dan melenggang pergi dengan penuh emosi. Tangannya menarik ponsel dari dalam tas dan segera memesan ojek online untuk pulang ke rumah. Sebel banget sama Deka! Ga percaya amat sih! Mana salah sebut nama pula!

Aaaah! Sebel sumpah!

Jadi males mau ngapa-ngapain!

Pengen pulang!

Atau...

Atau... sebaiknya dia tidak pulang ke rumah dulu? Pengen refreshing. Kemana enaknya? Makan siang aja? Sama siapa? Bian? A-atau... Nanto?

Ara berjalan ke arah depan kampus, dengan tujuan pergi yang masih belum jelas.

Dari kejauhan, Deka hanya memandangi kepergian sang tunangan dengan wajah kecut. Gila, kenapa sih dengan dia hari ini? Kenapa pikirannya kemana-mana? Mungkin hanya ada satu hal yang bisa menyembuhkan kekalutan pikirannya, Deka menangkupkan telapak tangan ke wajahnya.

Gila.

Dia lama-lama bisa gila karena memikirkan Dinda.

Maaf, Ara.





.::..::..::..::.





“Januari Arifin Tjokrokusumo!”

Om Darno langsung menyunggingkan senyum lebar saat membuka pintu dan menjumpai sosok yang sudah lama sekali tak datang ke rumah. Benar-benar sudah sangat lama, hampir dua dasawarsa.

“Darno Ismoyo... eh, salah ya? Mbuhlah sopo jeneng lengkapmu! Aku wes lali! Hahaha, lupa beneran hahahaha!”

Om Darno berjabat tangan erat dengan Om Janu yang tiba-tiba saja datang ke rumah. Kedua orang yang ternyata saling mengenal itu tertawa bersama, dan berpeluk akrab. Di siang bolong di saat mentari terik bersinar di atas langit, di saat hujan sudah tak lagi turun, dan di saat yang sama sekali tak diduga – tiba-tiba Om Janu yang sudah dikenal lama datang kembali. Kejutan sekali!

Om Janu hadir di depan pintu rumah Om Darno dan Tante Susan dengan sumringah dan tanpa diduga-duga. Terlebih karena keduanya sedang beberes rumah setelah kemarin Nanto pindahan ke kontrakannya yang baru. Baru hari ini mereka bisa pulang sebentar ke rumah sebelum besok lusa berangkat kembali untuk menghadiri sebuah seminar di luar kota. Jadi kedatangannya benar-benar pas waktunya.

“Masuk-masuk, Mas. Weeeeh, jan kejutan tenan ikih. Kok yo tidak ngabar-ngabarin kalau mau datang. Sudah lama banget lho kita ga ketemu. Aku pikir sampeyan wes lupa jalan ke rumah ini. Hahaha.”

“Hahaha, yo nggaklah. Tadinya aku mau datang lebih cepat tapi ragu-ragu. Wedi ojo-ojo omahmu wes pindah. Takut kalau kalian sudah pindah rumah. Edyan, wes berapa lama kita ga ketemu yo, No?”

“Wah, ada kalau 15 tahun lebih kayaknya, Mas Janu.” Om Darno tertawa. “Waktu itu kayaknya Indonesia masih dijajah sama Swedia, terus meninggalkan Candi IKEA. Sampai sekarang candi itu masih ada.”

Om Janu tergelak, “Hahahaha, recehmu juga masih ae, No.”

“Lho lho lho, ada tamu agung kok ga kabar-kabar mau datang. Sori banget, Mas. Lagi berantakan. Hahaha.” Tante Susan ikut menyambut kedatangan sang tamu. Setelah cipika cipiki, keduanya berpelukan akrab. “Dalam rangka apa ini? Mbok ya sering-sering mampir. Sendirian aja nih? Gimana kabarnya Bude Sri?”

“Ibu meski sudah sepuh, tapi tenaga masih ampuh. Hahaha.” Om Janu duduk di kursi tamu, Om Darno menemani, begitu juga Tante Susan.

Om Janu bertanya kembali, “gimana kabarnya Dek Susan?”

Sae, Mas. Baik. Tumben banget datang ke sini! Surprise banget lho ini, Mas. Jenenge sedulur meskipun mindhoan kok yo arang-arang ketemu. Saudara meskipun jauh seharusnya tetep akrab biar makin solid persaudaraannya,” ucap Tante Susan dengan ceria seperti biasa. Dia dan Om Janu memang saudara jauh – tunggal buyut.

“Iya hahaha, justru itu maksud kedatanganku kemari, Dek Susan. Ini lho...” Om Janu mengeluarkan surat undangan dari dalam tas jinjing yang ia bawa. “Mau mengantar surat undangan trah. Nglumpukke balung pisah, mengumpulkan saudara-saudara dari mana saja dari Trah Watulanang. Rencananya dua bulan lagi kita adakan acaranya.”

“Ya ampun, kalau mau mengantarkan gini kan bisa lewat WhatsApp aja to, Mas,” ucap Om Darno.

“Ya ga seru to kalau ga langsung ketemu sama saudara-saudara lama, No. Hahaha.” Om Janu tertawa. “Nah, ini juga termasuk undangan untuk Mas Wira. Minta tolong dikabarkan ke Mas Wira, yo Dek Susan. Di mana sekarang kakangmu itu?”

“Mas Wira masih di Kalimantan, Mas Janu.”

“Oh ya ya... wah wes koyo ngopo rupane saiki kae Mas Wira, sudah kayak apa sekarang dia.”

Tante Susan berdiri, “Mas Wira tambah lemu saiki, Mas. Tambah gemuk. Hahaha.”

“Ide yang bagus mengadakan trah keluarga Watulanang lagi, Mas Janu. Sudah hampir dua puluh tidak pernah diadakan.” Giliran Om Darno yang mengajak Om Janu berbincang, sementara Tante Susan menyiapkan makanan kecil dan teh hangat.

“Lha iya, No. Aku juga baru kepikiran beberapa hari ini. Kayaknya kok seru kalau kita mengadakan pertemuan keluarga lagi. Daripada kelamaan dieksekusi, yo wes aku ambil saja inisiatif untuk menentukan tanggal dan mempersiapkan katering. Kalau masalah tempat bisa pakai rumahku di Kalipenyu, malah jembar tur adem. Luas dan sejuk hawa di sana, kamar juga banyak kalau ada yang mau menginap.”

“Hahaha cocok, Mas.”

Tante Susan menghidangkan roti kaleng dan teh hangat.

“Walaaah, repot-repot, Dek Susan.”

“Kayak apa aja to, Mas. Seadanya iki.”

“Memangnya ide dari mana kok tiba-tiba kepikiran mau mengadakan kumpulan trah, Mas? Bagus sih idenya, kalau bisa pertahun atau beberapa tahun sekali diadakan. Kadang kita lupa siapa saja saudara kita, jumlah anggota keluarga trah Watulanang kan tidak banyak. Yang garis keturunan langsung kayak Mas Janu sama Susan ini paling-paling hanya belasan orang, tapi kalau bisa bertemu, wah yo nyenengke tenan.” kata Om Darno. “Papasan di jalan bisa saja ga tau dan ga kenal, eh jebul sedulur.

“Nah betul, memang dari situ ideku mengadakan trah ini, supaya kenal dan akrab. Siapa tahu bisa jadi kegiatan rutin,” jawab Om Darno, “Idenya sendiri... jadi agak unik ini. Kita harus ngomongin berkah khusus trah Watulanang ini. Jadi kapan hari itu aku bertemu dengan seorang bocah yang Ki-nya cukup besar tapi katup energinya seperti tertahan dan ga bisa lancar. Salurannya kayak masih tersegel. Bocahnya sendiri menarik karena aura-nya menandakan dia berasal dari keturunan langsung trah Watulanang. Pasti seru kalau aku bertemu lagi dengan si bocah itu jika memang dia bisa hadir di pertemuan trah kita. Potensinya besar banget, dari semua anggota trah Watulanang yang pernah aku temui, aura-nya paling unik dan Ki-nya paling besar jika diasah benar-benar. Aku perkirakan dialah orang yang paling tepat untuk membuka selubung Kidung, selama ini kan belum ada yang berhasil dari Trah Watulanang untuk melakukannya. Mungkin dialah yang akan menjadi pewaris sejati dari Nawalapatra 18 Serat Naga.”

Tante Susan saling berpandangan dengan Om Darno, jangan-jangan bocah yang dimaksud itu...

Om Darno mengangguk.

Tante Susan berdehem, “Mas Janu masih ingat Mbak Sari kan?”

“Masih... masih... sedih banget aku waktu tahu dia meninggal. Aku tidak bisa datang waktu itu karena sedang berada di luar negeri. Kasihan banget, apalagi suaminya juga sudah terlebih dahulu meninggal kan ya?”

“Iya Mas, nah Mbak Sari itu punya seorang...”

Tok. Tok. Tok.

Pintu rumah diketuk.

Om Darno dan Tante Susan saling berpandangan, kayaknya mereka tidak janjian dengan siapapun. Siapa lagi tamu hari ini?

Tante Susan berjalan ke dekat jendela dan melongok ke depan.

“Ada tamu lain ya?” tanya Om Janu, ia meminum teh yang dihidangkan oleh Tante Susan.

Tante Susan mengintip melalui jendela samping ruang tamu, siluet seorang wanita nampak berdiri di depan pintu rumah. “Sepertinya begitu. Aku bukain dulu, ya Mas Janu... silahkan dilanjut dulu ngobrolnya sama Mas Darno.”

“Siap, monggo.” Om Janu mengangguk dengan senyum lebar.

Om Darno dan Om Janu pun kembali terlibat dalam pembahasan seru, tapi kali ini soal koleksi hobi mereka masing-masing. Om Janu termasuk yang getol mengkoleksi hewan-hewan peliharaan.

Tante Susan melangkah ringan menuju ke pintu dan membukanya. Ia terkejut saat menatap wajah cantik yang berdiri di depan pintu rumahnya. Bukan terkejut karena kecantikannya, bukan terkejut karena tidak mengenalinya, tapi terkejut dengan keadaannya.

“Ka-kamu kan...!”

“Tan-tante...” Hanna berdiri sempoyongan di depan pintu rumah Om Darno dan Tante Susan. Wajahnya pucat pasi dengan bekas membiru di dekat mata, pakaiannya seadanya, tubuhnya basah kuyup oleh keringat, Ia memegang dompet dengan tangan bergetar. Gadis itu mengerang berulang sembari memegang perutnya yang terasa sakit. “Bo-bolehkah saya menginap di sini semalam saja? Saya tidak tahu harus kemana lagi saya pergi. Sa-saya tidak mungkin pulang ke rumah... sa-saya... Mas Nanto... to-tolong...”

Belum sempat Tante Susan menjawab.

Hanna ambruk dan pingsan.





BAGIAN 1 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2
 
Suwun updatenya mastah..
Rame ini.. itu om darno tante susan apa ga bisa ngerasain kayak yang om janu ya? Atau memang mereka membiarkan nanto tumbuh sendiri? Ckckck.. opo TS e sing jahat ga mau nyuruh om dan tantenya ngelatih? Hekekek


Hei maztah... Zelamat ya udah jadi juara!!
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd