Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 2
YANG TERLEWATKAN




Tujuan hidup kita adalah untuk berbahagia.
- Dalai Lama






Glen dan Eva masuk ke kamar hotel.

Seorang roomboy ikut masuk sembari meletakkan tas di dalam lemari yang ada di samping minibar. Setelah berbasa-basi, Eva memberikan tips pada roomboy yang wajahnya lantas berubah sumringah saat menerima lembaran warna merah. Siapa yang tidak akan senang?

Glen membuka air putih kemasan, meminumnya sedikit, dan meletakkannya di meja di samping pembaringan. Pria berparas tampan dengan kumis dan jenggot tipis itu pun rebah dengan nyaman sambil tersenyum puas. Hotel keren, makanan enak, dan gandengan seksi. Semuanya tersedia, semuanya ada di sini. Dunia seakan dalam genggamannya. Nikmat manalagi yang hendak ia ingkari? Tidak ada. Semua memuaskan, semua menyenangkan.

Inilah yang namanya hidup.

“Hotel yang bagus, aku sudah beberapa kali ke sini.” ucap Eva yang melangkah ke samping jendela, menarik tirai, dan duduk di kursi untuk memandang ke luar. “Sering?”

“Jarang. Biasanya cuma semalam dua malam kalau memang ingin bebas dari banyak urusan.”

“Jadi ini tempat pelarianmu?”

Tch. Ya bolehlah disebut pelarian. Tempatku mencari ketenangan jiwa dan raga.” Glen terkekeh.

Pria itu menarik sepucuk plastik obat dari dalam kantong bajunya. Ada empat pil berwarna putih di sana. Ia membuka dan meletakkan dua isinya ke meja. Ia menenggak keduanya bersamaan, setelahnya Glen meminum air putih kemasan.

Eva yang melihat apa yang dilakukan Glen, lalu mendesah panjang dan menggelengkan kepala.

“Jadi...”

“Jadi apa?” Eva bersikap acuh, dia hanya memandang ke luar jendela, menatap indahnya tatanan kota dari atas hotel yang berada di dekat jembatan layang dan tak jauh dari sebuah mal populer di wilayah timur kota. Ada beberapa hotel di lokasi ini, tapi mungkin yang mereka tempati sekarang yang paling lumayan – Hotel Taman Timur.

“Jadi kenapa akhir-akhir ini sepertinya kamu menghindari aku? Marah-marah ga jelas, tidak ingin bertemu, tidak ingin ditelpon. Cuek banget sih, Beb? Padahal tidak berapa lama yang lalu, justru kamu yang mengejar-ngejar aku. Bikin aku jadi penasaran banget.” Glen yang tengah berbaring menggulingkan badan ke arah Eva, “Tahukah kamu kalau aku rindu setengah mati? Aku tidak bisa...”

“Aku mau mandi dulu.” Eva berdiri dan melangkah pergi.

Glen mendengus dan tersenyum.

Sial. Lagi-lagi dihindari.

Tapi sebentar lagi mereka pasti akan bergulingan dan dia akan melesakkan penisnya dalam-dalam di memek legit si Eva. Jadi terserah saja si cantik yang jutek itu mau marah atau mau apa, yang penting sebentar lagi ia akan menidurinya.

Tubuh indahmu masih jadi milikku, sayang – meski entah kenapa hatimu menjadi keras seperti batu. Aku tidak peduli apa yang membuat hatimu berubah, asal tubuhmu masih tetap bisa kupakai kapanpun aku mau.

Batin Glen sembari tersenyum.

Pria itu menunggu selama setengah jam sampai akhirnya Eva keluar dari kamar mandi. Harum wangi semerbak tercium dari tubuh sang wanita jelita. Membuat Glen makin bergairah tentunya.

Glen berjingkat hendak memeluknya.

Tapi Eva mencibir dan menggeleng kepala, tangannya mendorong Glen menjauh. “tidak mau. Bau. Mandi dulu sana.”

Glen mengernyitkan dahi. Asli. Perubahan watak bidadari ini sungguh 180 derajat. Dulu dia yang menghambanya, menyuruhnya segera mengakhiri hubungan dengan Hanna, memintanya untuk segera meminangnya. Sekarang, kenapa begini saja rewel?

Glen mendengus, ia mencibir sambil mengangguk-anggukkan kepala. Oke... okee. Turuti saja apa maunya perempuan bawel ini.

Akhirnya dia mengalah dan mandi.

Glen masuk ke shower dengan segudang pikiran mewujud dalam benaknya. Bagaimana caranya mendapatkan perhatian Eva kembali? Dulu dia yang mengemis-ngemis padanya, kenapa sekarang jadi berbalik justru dia yang tergila-gila pada cewek berbahaya satu ini? Glen jelas tidak terima kalau dicuekin Eva. Dia harus selalu bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Dia harus bisa mendapatkan Eva dan Hanna sekaligus, keduanya harus menjadi miliknya, untuk ia nikmati sebagai property.

Glen buru-buru menyelesaikan mandinya untuk menemui Eva di tempat tidur. ia bahagia karena saat ia keluar dari kamar mandi, ia bisa melihat Eva tengah berbaring di atas ranjang tanpa busana sembari menatapnya dengan pandangan yang menggoda. Sungguh sebuah panorama indah yang luar biasa merangsang dan membuatnya bergairah.

Glen membuang handuk yang ia kenakan dan berbaring di sebelah Eva, tentu ia juga tanpa busana. Ia mengelus-elus dengan bebasnya tubuh sang bidadari. Susunya yang kenyal, pantatnya yang menggemaskan, kulitnya yang halus mulus tanpa bercak. Perawatannya pasti mahal.

“Indah sekali tubuhmu. Aku selalu mengagumimu.” Gombalan receh.

“Hmm.”

“Yuk dimulai saja.”

Eva mengangguk.

Eva pun segera berada di atas Glen, mengecup setiap jengkal dada pemuda itu dan mencium putingnya, Glen tersenyum merasakan setiap elusan bibir di dada dan tubuhnya. Glen menarik wajah indah Eva mendekat ke atas, lalu mengecup bibirnya. Kecupan itu tidak hanya sejenak, disertai pula oleh rabaan tangan di sekujur badan. Apa yang tadinya kecupan lama-kelamaan berubah menjadi ciuman yang penuh nafsu, tubuh saling peluk, dada saling himpit, bibir tak terlepas, kaki saling membelit, paha bergesek dengan selangkangan, terpaparlah kelentit, tersentak badan terpacu gairah terbakar birahi menggoda angan.

Cukup lama keduanya saling sentuh dan saling rangsang, saling menikmati apa yang dihidangkan. Tubuh Eva ibarat taman bermain yang tak akan puas jika dimainkan hanya sekali saja. Glen selalu haus untuk menikmatinya lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. Eva sendiri sepertinya mulai terangsang hebat kala kelentitnya menjadi sasaran. Toh dia masih wanita biasa yang bisa tergoda.

“Mmmhhh.” Desah ringan Eva bagai musik indah bagi telinga Glen.

Glen suka jika Eva mendesah seperti itu, ia melakukannya lagi.

Lagi-lagi Eva mendesah, Glen tersenyum.

Kena sekarang.

Keduanya saling menyerang dan tidak ada yang bertahan, sudah mulai masuk ke area pasrah terpasrahkan. Kaki yang membelit kian menjepit, batang kejantanan yang tadinya tidak benar-benar perkasa, kini tegak menegak berkehendak.

Eva di atas, Glen di bawah.

Mau posisi begini? Glen tidak ada masalah.

Eva menggerakkan pinggangnya ke atas dan mencoba mencari batang kemaluan sang pasangan. Saat ia menemukannya, Eva menempatkannya pada posisi yang pas di bawah bibir liang cintanya. Glen tersenyum. Nah, ini baru Eva! Glen memejamkan mata dan menikmati saat ujung gundul kemaluannya perlahan-lahan mulai menyeruak masuk ke dalam liang cinta sang bidadari. Eva memutar pinggul agar batang kejantanan Glen bisa lebih dalam lagi masuknya.

Slppphh. Sllppph. Slppph.

“Aaahhh.”

Masuk.

Eva memutar badan, naik turun, maju mundur, depan belakang. Wajahnya berubah, matanya dipejamkan. Suka tidak suka, mau tidak mau, harus diakui kalau ini enak sekali. Glen yang melihat bongkah buah dada sang dewi tak menggiurkan akhirnya beraksi. ia duduk, meremas dengan gemas, menggigit dan menjilat puting susu yang mengeras.

“Enghhh... mmhhh... hngkkkhhh!” Eva mendesah tertahan.

Glen kian berambisi.

Glen menggeser posisi duduknya sampai di tepian pembaringan. Ia duduk sambil menahan tubuh Eva tetap dalam pangkuan, dan penisnya pun masih berada dalam liang cinta sang wanita jelita. Keduanya berpelukan dan berciuman dengan penuh nafsu. Eva menggoyang pinggulnya dengan erotis, membuat Glen melenguh nikmat karena kemaluannya serasa dipijat dalam liang cinta hangat sang bidadari bertubuh indah.

“Ooowwwhhh... yessssss!

Glen sudah tak sabar, napasnya terhempas berulang dalam dada, jantungnya tak lagi memiliki irama yang tertata. Glen membalik posisi mereka dan menidurkan Eva di pembaringan. Glen menarik bantal dan meletakkannya di bawah sang bidadari. Posisi selangkangan si jelita itu kini menonjol ke atas. Glen segera beraksi, menggenjot tubuh indah itu dengan kecepatan tinggi yang tak kurang-kurang hentakannya. Kadang cepat, kadang lebih cepat, hampir pasti tak pernah melambat, kecuali dia benar-benar lelah dan penat. Tapi kalau melihat keindahan tubuh Eva yang body goals ini, bagaimana mungkin bisa capek? Yang ada nafsunya semakin berlipat ganda.

Setiap gerakan kencang yang dilakukan Glen membuat tubuh Eva bergejolak, terlebih saat penis milik sang pemuda terlepas lalu sesegera mungkin disentakkan ke dalam kembali. Berulang kali Eva menjerit kecil karena merasakan nikmatnya.

Kaki Eva bergerak-gerak liar, dengan lincah Glen menjepitnya supaya tak lagi berulah. Meski pada posisinya sekarang dia jadi sedikit kesusahan melesakkan kemaluannya. Asyiknya, jepitan memek Eva menjadi makin kencang rasanya. Sodokan berulang Glen membuat keduanya sama-sama merem melek menggapai nikmat. Kaki keduanya saling melilit, gerakan menjadi lebih hemat, tapi rangsangan makin menghebat. Sedikit gerakan saja sudah membuat keduanya tenggelam dalam banjir tsunami nafsu membara. Menggila denyut batang kejantanan Glen dihimpit oleh denyut liang cinta sang bidadari.

Perlahan-lahan mendaki kenikmatan menuju puncak, Glen memejamkan mata, mengeraskan tubuh, menggeram, dan mendorong kemaluannya dalam-dalam di vagina Eva. Ingin terus dipijat, diperas, dan diremas oleh nikmat tak terperi yang diberikan oleh sang dewi.

“Evaaa... ohhh nikmat banget, saaaayaaaaaaang. Aku sukaaaaaa...”

Entah sudah berapa lama mereka bergumul dan bercinta, tapi rasanya kali ini ada tambahan kekuatan yang merasuk dan makin meningkat pada diri Glen yang membuatnya tak ingin buru-buru menggapai puncak. Ia makin mempercepat gerakannya dengan liar.

“Naik.”Desah Eva pelan.

Glen tersenyum, dia meningkatkan serangannya tapi juga menggeser posisi tubuhnya agar bisa naik sedikit, dengan begini, batang kejantanannya akan menggerus bagian atas vagina sang dewi. Klitoris Eva pun bagai digesek-gesek oleh nafsu birahi yang jalang. Wanita jelita itu merinding dan gemetar, pinggulnya terus bergoyang, kadang kanan kiri, kadang naik turun, selipan kemaluan di lipatan selangkangan Eva bagai dihisap ke dalam dan makin dalam.

Hempasan di kasur, erangan manja, tepukan antar paha, decitan pembaringan, semua berbunyi bak musik pengiring di kamar yang dingin tapi bersuasana panas.

“Hnnngkkkkkkkhhh!”

Glen sudah hampir mencapai puncaknya. Ia bergerak teramat cepat bagaikan terbang. Pikirannya yang sudah melesat pergi meninggalkan tubuhnya yang tak lebih cepat.

“Haaakk... hakkk... haaaakkk.... haaaaaakgh!!”

Glen memacu diri, tak peduli lagi halangan fisik yang kelelahan, yang penting nafsu birahi terpuaskan. Eva juga sama saja. Satu tangan berpegangan pundak Glen, satu lagi meremas seprei pembaringan. Kaki Glen membelit kaki sang dewi yang terhentak-hentak berulang, membuat tubuh gadis itu bagaikan busur yang melengkung dengan erangan yang menghebat.

Pllkggh! Pllkggh! Pllkggh! Pllkggh!

“Huaaaaaaaaahhhhh...” buru-buru Glen menarik kemaluannya.

Srrt! Srrtt!! Srrrtttt!!

Beberapa kali cairan kental berwarna putih telur melesat terpancar dari ujung gundul batang kejantanan Glen. Ia memeluk tubuh Eva dengan erat sampai akhirnya tuntas semua cairan cintanya terlepas dari sarangnya.

Napas tersengal, tubuh gemetar, jantung berdetak kencang. Akhirnya keluar juga.

Eva mendorong tubuh Glen ke samping, keduanya berbaring dengan terengah dan tersengal. Napas satu dua menjadi pertanda bahwa mereka baru saja menguras tenaga hingga titik tertinggi yang mereka punya.

Glen mencoba menggenggam jari jemari Eva.

Tapi gadis itu menepisnya.

“Bagaimana?” dengan suara yang masih ngap, Glen bertanya.

“Bagaimana apanya?”

“Permainan barusan?” Glen terkekeh, “lumayan kan? Kamu puas kan?”

Eva memandang ke arah Glen seakan tak percaya, males banget jawab pertanyaan semacam itu dari dia. Sang dewi pun hanya menghela napas panjang, dan membalikkan badan untuk memunggungi Glen. Tidak sekalipun ia menjawab pertanyaan dari orang yang baru saja menyetubuhinya itu.

Glen tertegun karena tidak mengira gadis itu malah memunggunginya. Mereka baru saja bercinta! Apa-apaan ini!?

Kenapa sih dia berubah?

Glen menatap punggung putih bersih tanpa cela yang sedikit berkeringat di depannya. Begini saja sudah sangat erotis.

Ah, mungkin dia hanya ingin dipeluk?

Glen memeluk tubuh Eva dari belakang. Dua tubuh telanjang saling berpadu. Begitu erat pelukan Glen, sehingga Eva bisa merasakan belalai sang pemuda menempel lemas dan terkulai di bokongnya. Andai saja Eva tidak terlalu lelah, dia akan mendorong Glen menjauh karena merasa panas.

Tapi dia sudah lelah.

Hhh. Ya sudahlah, dia hanya ingin tidur saja.

Smartphone Glen menyalak kencang.

Kedua orang itu pun sama-sama menggerutu.

Sial. Rupanya tadi Glen lupa memindah setting ponsel ke versi mute. Berisik banget jadinya! Pemuda itu mulai emosi. Diam! Cepetlah! Diam! Tapi ponsel itu tak kunjung senyap. Emosi Glen tak terkendali.

Monkey D. Alas!

“Telponmu itu lho.” Eva mengingatkan.

Glen tidak melepaskan pelukannya pada Eva. Hmm, lebih enak memeluk sang bidadarinya ini daripada mengangkat telepon yang tidak jelas.

Nada panggil berhenti sejenak, tapi kemudian terdengar lagi.

Ada orang yang benar-benar sedang berusaha menelpon Glen.

Glen menghela napas panjang. Ada apa lagi sih ini? Ga tau apa kalo dia lagi sange berat? Sekali ngentot jelas masih belum cukup buat Glen. Dia butuh lebih lagi pasokan memek Eva yang ngangenin. Tubuh seindah milik Eva jelas kurang kalau hanya dinikmati sekali saja sehari.

Glen tidak beranjak.

“Diangkat kenapa sih?” kembali Eva mengingatkan, ia menggoyang badan dengan kencang, berusaha melepas pelukan.

Sambil mendesah kesal, tak urung Glen mengangkat juga ponselnya dan menerima panggilan yang masuk. Ia bahkan malas memeriksa dari siapa telepon itu.

“Halo?”

“Glen?”

“Hmm.”

“Ini mamanya Hanna.”

“Iya, Ma.” Glen mendesah kesal, ngrepotin aja nih orang tua. Ribet banget pake acara telepon segala. Kenapa sekarang? Duit yang dia kasih apa masih kurang? Tuman! Glen mengubah nada suaranya menjadi lebih sopan. “Ada apa ya, Ma?”

“Hanna kok tidak ada di rumah sakit ya? Kata suster dia sudah keluar. Apa kamu yang jemput? Tadi Kak Rizka yang ngecek ke sana. Katanya sudah tidak ada di tempat si Hanna-nya. Mama kok jadi khawatir.”

“Hah?! Hanna keluar? Saya malah belum tau, Ma.”

Badjingan.

Cewek satu itu memang...! Kampreeeet!!! Dasar sundal! Susah bener diatur sih?!! Maunya apa coba? Kabur dari rumah sakit? Mau pulang kemana? Ponsel sudah dia sita. Sudah dibilangin berkali-kali supaya nurut masih aja bikin masalah. Bikin repot aja kerjaannya!

Glen mencoba mengatur napas dan emosinya yang meradang.

“Iya, Ma. Coba nanti Glen cari ke sana.” Kata Glen dengan nada yang tertata.

“Makasih banyak ya, Glen. Mama percaya sama kamu. Tolong jagain Hanna baik-baik, ya.”

“Iya Ma. Pasti.”

Klek.

Telpon ditutup.

“Kampreeeeeeeeeeeeeet!!!”

Glen membanting ponselnya ke kasur.

Eva sempat bangkit gara-gara kaget melihat Glen yang emosi, tapi ia hanya mendengus dan kembali ke posisinya semula, meringkuk di tempat tidur sembari mengencangkan dekapan selimut. “Apa-apaan sih ribut banget? Bisa tenang sedikit ga?” Ketus Eva mengomentari. “Berisik!”

“Ma-maaf, sayang.” Glen jadi merasa bersalah mengganggu tidur Eva. “Ini gara-gara cewekku...”

“Ga usah dijelasin! Emang siapa yang nanya?”

“I-iya, sayang.” Glen gelisah, “masalahnya cewekku ini kabur dan...”

Eva menunjuk ke arah tembok.

“A-apa yang kamu...”

“Ceritanya sama tembok aja. Aku mau tidur. Kalau masih juga ribut, mending aku pergi.”

“Eh! Jangan pergi! Jangan pergi dong! Aku selesaikan masalah ini sebentar ya, sayang. Sebentar aja. Aku mesti ke rumah sakit buat memastikan cewekku baik-baik saja. Tolong jangan kemana-mana. Tetap di sini ya, aku pasti kembali. Pasti.”

“Terserah.”

Glen buru-buru mengenakan kembali baju dan celananya, “Ta-tapi kamu tidak akan pergi kan? Kalau aku kembali ke sini kamu masih ada kan?”

“Aku tidak tahu, terserah aku dong mau apa. Kok kamu jadi ngatur-ngatur banget?”

“Eva sayaaaang... tetaplah di sini, aku pasti akan...” Glen buru-buru menarik dompetnya dari saku celana dan mengambil sepucuk kartu ATM di antara banyak. Ia meletakkannya di mini bar. “Ini aku tinggal di sini, nomer PIN seperti biasa. Nanti kalau-kalau kamu mau jajan atau mau pesen makanan pakai aja. Ambil berapapun terserah, mau beli apapun terserah. Kalau perlu ambil aja semua isi ATM ini buat kamu asal...”

“Kalau mau pergi ya pergi aja! Berisik banget sih! Aku mau tidur! Rese!”

“I-iya, iya. Aku pergi... aku pergi...”

Glen tergopoh-gopoh keluar.

Terdengar bunyi pintu ditutup.

Eva mendesah panjang.

Ia membenamkan kepala dalam bantal.

Sampai kapan dia akan hidup seperti ini? Dari satu pria ke pria lain hanya dalam hitungan hari bahkan jam? Apakah ada cara untuk kembali ke jalan yang benar? Menjadi orang yang tidak terbebani dengan kehidupan yang kotor? Seperti yang disampaikan oleh seseorang berambut kribo yang hingga sekarang membuatnya selalu gelisah.

Eva membuka selimut.

Ia masih telanjang bulat.

Turun dari ranjang, si cantik itu melangkah menuju minibar. Menuang air putih kemasan ke dalam teko listrik untuk membuat air hangat. Eva ingin menyiapkan teh hangat untuk dirinya sendiri. Ia melirik ke arah ATM yang ditinggalkan Glen. Cewek itu mendengus, hanya gara-gara yang seperti ini, Eva selalu menghalalkan segala cara. Bahkan pernah suatu ketika dia bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan Glen bagi dirinya sendiri.

Luar biasa pengaruh uang.

Stupid.

Hmm.

Tumben dia mikirnya bener.

Eva geli sendiri.

Sembari menunggu air matang, Eva duduk di kursi kerja yang ada di dekat jendela sembari menatap pemandangan kota. Ada pensil dan beberapa carik notes kosong di sana. Eva terdiam sejenak, memandang keluar, berangan, lalu tersenyum dan mulai corat-coret.

Hai, dinosaurus kribo, dimanapun kau berada.
Pernahkah kau bayangkan ada seseorang yang mendamba?
Mungkin dia bukan gadis yang suci, alim, dan sederhana.
Mungkin dia sudah kotor, menjijikkan, dan pernah dijamah siapa saja.
Mungkin dia pernah melakukan hal terendah demi harta.
Tapi bolehkah dia sekedar berharap, bahwa pada suatu ketika.
Ada seseorang yang bisa membawanya kembali menuai asa?
Ada seseorang yang menariknya dari gelap selubung dosa?
Andai saja.

- Dari Eva.
Yang sedang padamu.


Eva membaca puisi dadakannya dan tersenyum. Ia menarik notes itu dari tempatnya, lalu melipatnya. Gadis yang masih telanjang itu menyelipkan puisi yang baru saja ia buat ke dalam dompetnya. Mungkin suatu saat ia akan menyerahkannya secara langsung pada sang pemuda yang hingga kini selalu hinggap di benaknya.

Mungkin suatu saat nanti.





.::..::..::..::.





“Orang-orang itu selalu saja ngomongin masalah utara dan selatan, masalah antara Qhaoz-Kings dan Joxo Gendeng, QZK dan JXG. Ya iya, mereka memang kelompok legenda - berawal dari geng preman yang tumbuh jadi sekelas mafia. Tapi kan dua-duanya sekarang tidak ada! Sekarang justru kita yang sedang bertahta! Kita seharusnya ditakuti dan jadi legenda! Tapi jarang sekali kita diperhatikan, jarang kita dibicarakan, selalu dianggap sebelah mata – padahal justru kita yang berkuasa di perbatasan utara dan selatan, kita yang selama ini mengambil kekuasaan dari QZK dan JXG! Membentang dari jalan menuju bandara sampai ke barat Universitas Negeri, lintas kawasan kedua kelompok! Kurang besar apalagi sih kita ini? Lokasi parkir semua kita yang kawal, pemasukan dari jaga kawasan kita yang kumpulkan, karaoke dan lonte, peredaran obat dan miras, semua kita yang atur. Kurang apa lagi? Kurang apa lagi, he!?”

Seorang laki-laki mengeluh kepada teman-temannya di sudut sebuah warung tenda dengan menu pecel lele yang buka di samping gedung pertemuan milik Universitas Negeri. Saking berapi-apinya, lele bakar yang ia makan terasa seperti lele bakar. Lele bakar yang seharusnya pedes jadi tidak terasa pedes, karena memang belum dicocol ke sambal.

Sang pemilik warung pecel lele mendesah berulang, malam ini warungnya pasti bakal sepi. Ketika rombongan preman seperti mereka makan bersama, maka pengunjung normal pasti akan menyingkir. Kampret emang, sudah seharusnya preman-preman seperti ini diamankan aparat supaya tidak merajalela, kalaupun makan sebaiknya santun dan tidak berangasan. Oalah jum... jum...

Untung saja masih ada dua meja yang tidak terpengaruh dengan kehadiran para kunyuk itu. Meja yang pertama ada sepasang suami istri muda dan anak mereka yang masih kecil. Sepertinya mereka makan dengan sangat tidak nyaman karena para kunyuk itu sering curi-curi pandang dan cengengesan ke arah si ibu muda yang kok ndilalahnya juga manis. Jadi tidak nyaman kan makan di sini?

Satu meja lagi diisi oleh dua orang pemuda yang sedang asyik makan tanpa peduli. Syukurlah masih ada mereka yang menghalangi rombongan kunyuk ke meja keluarga muda. Tapi kalau melihat meja-meja lesehan yang lain masih kosong, hati sang penjual pecel lele bak gelas-gelas kaca. Kalau mereka masih lama nongkrongnya dan tidak segera pergi, yang ada malam ini sang pemilik warung tidak akan balik modal. Woalah piye yo iki, jum... jum...

Belum lagi kalau rombongan preman seperti mereka tiba-tiba keluar isengnya. Satu persatu warung tenda yang ada di sepanjang jalan dikompas, dipalak, diminta uang keamanan. Lha keamanan dari siapa kalau premannya sendiri yang minta? Pait.

Meja yang terdekat dengan lima orang preman yang sedang lesehan memang digunakan oleh dua orang pemuda yang nampak tidak peduli. Dua orang itu sebenarnya kalau dilihat secara seksama dan dalam waktu yang tidak sesingkat-singkatnya, maka bisa dilihat kemiripan diantara keduanya. Yang satu berkepala gundul, yang satu lagi memiliki potongan rambut rapi ala Korea dan mengenakan kacamata. Yang satu kelihatan alim, yang satu lagi nampak bandel setengah mati.

Kita mengenal keduanya sebagai Roy dan Bian, anggota kembar dari Lima Jari.

Mereka asyik makan pecel lele sambil ngobrol sendiri.

“Jadi... kamu akhirnya sudah nembak?” tanya Bian.

Roy terdiam.

Wajah sedih Roy beberapa hari ini membuatnya risih. Punya pekerjaan tetap, punya penghasilan lumayan, hidup nyaman meski seadanya, tapi kok ya tetap tidak bersemangat itu gimana to?

Lagi-lagi masalah wanita. Hancurnya pria memang kebanyakan karena dijatuhkan oleh wanita. Bukan oleh kekerasan, tapi oleh kelembutan. Seperti batu yang lama-lama hancur oleh tetesan air yang terus menerus menggerus. Bahkan menurut legenda sang Samson yang perkasa pun takluk di tangan Delilah yang sintal dan menggoda. Padahal di dunia ini wanita tidak hanya ada satu saja, bertaburan banyaknya. Jadi kenapa juga harus memikirkan wanita? Kalau sudah tidak bisa dilanjutkan, kenapa harus dipikirkan? Lebih baik cari yang lain yang lebih pantas dibayangkan.

Tapi Bian mungkin tidak mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Roy. Dia mungkin belum pernah merasakan apa yang dirasakan oleh Roy pada Rania, atau setidaknya dia tidak ingin cepat-cepat melalui apa yang saat ini dilalui oleh Roy, menjadi budak yang dibutakan oleh cinta, bucin.

“Sudah... sudah nembak.” lirih Roy menjawab, dia tidak melirik sedikit pun ke arah Bian. Antara malu, mungkin juga jengah. Dia barangkali risih jika dibilang lemah, karena jika Bian ngeledek, Roy cuma bisa pasrah.

“Terus? Gimana? Kabar baik atau kabar buruk?”

Lele bakar ditambah kecap adalah kenikmatan yang biasa di luar. Emejing jiwa. Ada sebuah pepatah mengatakan, kalau anda belum merasakannya, pasti anda belum mencicipinya. Bian kembali makan dengan lahap. Mengambil sejumput daging lele yang gurih, mencocol ke sambal, campur ke nasi, masuk ke mulut, lalu menelannya sambil merem melek. Ah, nikmatnya hidup dalam sepiring pecel lele. Endol surendol tak kendol-kendol ngeunah.

“Entahlah.” Roy menjawab pertanyaan Bian.

“Lah. Piye sih? Jawabanmu ambigu, dab. Kalo ya ya, kalo tidak tidak. Kan gitu harusnya?”

Lha pancene embuh, jawabannya masih belum tahu.”

Kok iso? Kenapa bisa begitu? Dia minta waktu?”

Roy mengangguk sambil menenggak es jeruk. “Sudah beberapa hari ini dia juga tidak mau aku jemput. Entah kenapa sejak saat itu dia seperti menghindar. Dia hanya bilang kalau masih belum bisa memberi keputusan dan minta waktu. Tapi minta waktunya sambil tak saling ketemu.”

Parah hati Roy merindu.

Bian memperhatikan wajah sang saudara yang makin mirip ikan badut, si bandel pun tersenyum.

“Dia hanya butuh waktu untuk berpikir jernih, dab. Pahami saja keadaannya. Kan kamu sendiri yang bilang kalau Rania itu sudah dipaksa oleh kenyataan untuk menjadi seorang ibu di usia belasan – harus bekerja menopang keluarga sejak muda, harus mengatasi trauma yang mengerikan secepat mungkin, sekuat yang ia bisa, dan Itu bukan perkara mudah. Kalau dia berpikir lama, itu artinya dia benar-benar memikirkan dengan sungguh-sungguh. Jadi kalau menurutku sih mungkin karena alasan itu, dia tidak ingin bertemu denganmu akhir-akhir ini - karena dia harus berpikir serius tanpa distorsi, untuk mempertimbangkan semuanya dengan matang. Bagus kan?” panjang lebar Bian memberi alasan untuk menenangkan. “Kamu juga seharusnya bersikap tenang, justru karena dia berpikir seperti itu maka kamu seharusnya senang, karena dia bukan cewek yang gegabah. Ini menyangkut masa depan lho, harus dipikir matang-matang. Kalau memang hasilnya tidak sesuai yang kamu harapkan, ya berarti memang bukan jalannya. Dia melihat kamu belum siap dengan tanggung jawab besar yang saat ini dia panggul. Kalau memang cinta ya tunjukkan, kalau tidak siap ya tinggalkan.”

Roy sempat terdiam beberapa saat lamanya ketika Bian memberikan masukan. Pemuda itu manggut-manggut. Tumben ada benernya juga si kepala plontos satu ini. Ga sia-sia dia dari hari ke hari cuma nonton video idol ABG dengan lagu yang judulnya rotasi yang berat itu.

“Sejak digebuk berkali-kali di perang KSN kemarin, kayaknya otakmu jadi encer, Bro.” Ledek Roy sambil tersenyum.

Bian mencibir. “Asyuuu. Meski tampang preman, tapi hatiku nyaman, dab! Wkakaka.”

“Apalagi Patnem!”

Suara dari meja di belakang mereka membuat Bian dan Roy sama-sama terdiam. Kenapa mereka membicarakan Patnem juga? Sejak tadi mereka membicarakan QZK dan JXG seolah-olah keduanya tidak ada apa-apanya. Dari kelompok mana sih mereka?

Bian dan Roy saling lirik dan mencoba mendengarkan percakapan selanjutnya.

“Patnem itu sudah kaput, mati, nonsense. Jadi kalaupun mereka gabung ke Aliansi, ga ada gaungnya. Aliansi itu cuma geng anak-anak kampus yang sok keren, jadi mereka ga ada apa-apanya, tae kocheng yang sok jadi tae jaran. Jangankan QZK atau JXG, dibanding kita aja mereka masih kelas piyik.” Sang provokator membuat teman-temannya tertawa. “Bisa apa sih mereka, si mahasiswa-mahasiswa sendal bodol ini? KSN kemarin saja yang bodoh! Mereka lengah dan gagal memanfaatkan kekuatan, padahal yang dihadapi cuma Sonoz sama DoP saja ditambah remukan peyek Patnem! Bayangkan! Cuma berhadapan dengan geng kampus aja ga bisa! Dasar otak udang si Darsono! Pantas saja kalau dia dulu minggat dari kita. Sukurin!”

Wajah Bian mulai memerah karena panas hati, okelah mereka meremehkan Patnem, tapi Aliansi? Berani-beraninya mereka meremehkan Aliansi! Aliansi harga mati!

Roy mendengus, memberi tanda pada Bian.

Bian melirik ke arahnya. Roy menggelengkan kepala. Penanda supaya sang saudara kembar menahan emosi, menahan diri, dan menahan hati. Bian mengangguk. Dia tidak ingin membuat masalah di tempat ini, tangannya terkepal kencang.

“Tidak perlu dilayani.” Bisik Roy.

“Aku tidak melayani, aku hanya ga sabar mau kasih pelajaran ke cecunguk-cecunguk bangsat yang meremehkan Aliansi.” Lirih balasan Bian. “Yang begini ini yang harus diberi peringatan. Saat ini Aliansi sedang cari nama, cari anggota baru untuk memperkuat barisan terutama menghadapi serangan susulan dari KSN yang didukung PSG. Kalau cecunguk seperti mereka ini tidak diberi pelajaran, mau ditaruh mana muka kita?”

“Ingat, kita bukan Patnem. Ini bukan masalah geng-gengan dan rebutan kekuasaan. Nanto masuk ke Aliansi karena dia mau mengubah paradigma tentang geng yang berkonotasi negatif. Dia mencoba memutihkan DoP dan Sonoz, bahkan menyatukan mereka.” Roy masih berbisik. “Nanto kan sudah bilang dia menerima jabatan sebagai ketua Aliansi bukan untuk membuat kita menjadi sama seperti QZK atau malah KSN, tapi menjadi entitas pembawa damai di utara. Besar bukan karena kasar, dicintai karena memahami, bukan lawan tapi kawan.”

“Aku tahu, dab. Tapi kita kan...”

Salah satu dari preman itu tiba-tiba saja berdiri, lalu melangkah ke depan, ke arah sang penjual pecel lele.

“Maaaas!”

“I-iya, gimana?” tergopoh-gopoh sang penjual menghampiri sang preman yang ternyata membawa satu piring kosong.

Preman itu meletakkan piringnya di depan sang penjual. “Aku minta lele-nya satu lagi. Digoreng aja.”

“Oh iya, tunggu sebentar ya, Mas.”

“Kenapa harus nunggu?”

“Maksudnya, Mas?”

“Itu kalian kan barusan goreng satu. Itu saja buat aku.”

“I-ini milik Bapak dan Ibu yang di depan situ.”

Si preman menilik ke arah pasangan muda dan anak mereka yang duduk di dekatnya. Ia tersenyum pada sang istri yang manis dan berkerudung. Sang preman dengan nekat duduk di sebelahnya. Kedua pasangan itu pura-pura tidak melihat dan berusaha menyuap nasi ke sang anak yang kebingungan dengan tingkah orang asing.

“Mbak. Saya ambil lele-nya dulu boleh?”

Sang istri cuek.

“Mbak.”

Sekali lagi. Masih pura-pura cuek.

“Mbaaaaak!” sang preman mulai tak sabar. Ia menggebrak meja.

Bgkh!

Meja itu bergetar kencang bagai terjadi gempa bumi, piring tergeser, makanan berhamburan, gelas terguling. Sang istri segera bergeser untuk melindungi sang anak.

“Kenapa ya, Mas? Kenapa mengganggu kami?” sang suami berdiri karena kesal. Ia tidak ingin ambil pusing tadinya karena memperhatikan anak istrinya, tentunya keselamatan mereka jauh lebih penting. Tapi saat ini mereka terancam.

“Kamu duduk aja.” si preman dengan mata mengantuk mulai mengancam. “Yang aku tanya itu istrimu, bukan kamu. Tadinya aku hanya mau minta lele gorengnya, tapi setelah dilihat-lihat istrimu manis juga, bagaimana kalau dia buat aku saja malam ini? Nanti aku bayar. Kalau sudah puas aku cicipin tubuhnya aku kembalikan.”

“Badji... jangan kurang ajar ya, Mas!” sang suami maju hendak melindungi istrinya. Dia masih berusaha menahan emosi karena istrinya dilecehkan secara verbal. Genggaman tangannya masih ditahan oleh sang istri. Kalau tidak sejak tadi sudah terlepas untuk menghajar si preman kampret. “Tolong jaga sopan-santunnya! Kalau tidak saya akan segera laporkan ke...”

Sang anak mulai menangis mendengar dan melihat ayahnya bertikai dengan orang asing.

“Kita pergi saja...” sang istri mulai menggandeng suami dan anaknya untuk pergi. Mereka buru-buru kabur melewati si preman yang terus memandang ke mata sang suami dengan nyalang. Wajahnya keras mengancam.

Pasangan muda itu selamat, meski mereka jadi harus membayar lele goreng yang kini dimakan oleh sang preman. Setelah meninggalkan uang berlebih di meja sang penjual, pasangan dengan seorang anak itu pun meninggalkan warung tanpa menghabiskan makanan.

Roy dan Bian menatap kejadian itu dengan geram.

Setengah jam kemudian, kelima orang preman yang duduk kelamaan itu akhirnya menyelesaikan makan dan senda gurau mereka. Bangsatnya, meski makannya banyak, mereka bahkan tidak membayar dengan uang yang cukup.

“I-ini kurang, Mas.” Sang penjual pecel lele mencoba memprotes. Tapi wajah-wajah sengak para preman membungkamnya.

“Lele-nya ga enak.” ucap salah satu dari mereka.

“Nasinya kebanyakan air.” sambung salah satu. “Jemek. Njijiki. Ora kolu. Ga ketelen.”

“Ikannya amis.” Sambung yang lain. Padahal kalau ikan sudah sewajarnya amis, kalau wangi namanya tissue basah.

“Dibayar segitu seharusnya sudah terima kasih, masih mending dibayar daripada tidak sama sekali.” Sambung yang berikutnya.

“Sudah! Tinggal aja! Keamanan dijaga, makanan ga enak dibayar, kok masih aja protes! Tuman!” orang yang terakhir menimpali. Orang yang terakhir itu tetap tinggal sambil menatap sadis ke arah si tukang lele sementara kawan-kawannya meninggalkan warung tenda. “Kalau sampai kamu protes lagi, besok kami bubarin warungmu ini dan tidak akan pernah kami izinkan untuk berjualan di sini. Ngerti kamu?”

“Nge-ngerti, Mas.”

Ora sah kemaki kowe. Ga usah sok jagoan. Paham!?”

“Pa-paham.”

Dieling-eling jenengku! Ingat baik-baik namaku! Edi Jerangkong!”

“I-iya, kong...”

“HEH!? APA!?”

“Eh! Eh... iya, Mas. Mas Edi. Iya...”

Edi Jerangkong melotot marah, ia meludah tepat di depan tukang lele dan berjalan keluar warung dengan senyum mekar. Dasar pengecut semua, dibentak sedikit sudah gemeteran. Payah. Edi berjalan dengan jumawa, meski badannya kerempeng, ia berasa bak Thanos. Siapa berani melawan, ia tempeleng sampe merongos.

Di luar, keempat kawan Edi berdiri sejajar di pinggir trotoar, di depan motor mereka masing-masing.

“Hei, kenapa kalian malah diam aja di situ? Ayo gek gelis mulih! Lotse kita, dab! Bebas milih minuman apa aja asal kuat bayar, hahaha!”

Edi mendekati keempat kawannya yang terdiam sambil menatap motor-motor mereka yang diparkir tak jauh dari warung pecel lele. “Woy! Wasyu! Ditakoni kok meneng ae, Nyuk!

Salah seorang dari mereka menunjuk ke motor. “Nga-nganu, Mas...”

Ban motor mereka sudah kempes, disobek entah dengan apa. Depan belakang, luar dalam. Lima motor amblas.

Edi melotot! Siapa berani-beraninya!!

Sopo iki!? Gaweane sopo iki!? Siapa yang berani? Bangsat!! Siapa berani!? SIAPAAAA!!??”

Edi mengamuk. Wajahnya merah padam, matanya nanar, tangannya tergenggam. Siapa yang berani-beraninya menantang mereka di tempat ini? Cari mati! Edi mendengus, dia menatap ke arah warung pecel lele yang penjualnya keluar karena mendengar ribut-ribut.

“Bongkar warungnya! Bakar semua! Bakaaaar!!”

“Eh jangan Mas! Jangan! Jangan! Kami tidak tahu apa-apa, Mas! Jangaaaan!” si penjual pecel lele mencoba menghalangi Edi dan kawan-kawan yang sudah kalap.

“Haish! Ra peduli! Pokoke bakaaaaar!!” teriak Edi mengompori.

Tkk.

Ranting patah dilemparkan dan mengenai kepala Edi.

Edi meraung kencang. Bajingaaaaaaan...!!!

Sopo sek wani-wanine? Siapa yang berani-beraninya!? Ngoncali duit tak tampani! Ngoncali sampah tak pateni!

Si Jerangkong langsung melemparkan pandangan ke arah pagar, di atas pagar sduduk seorang pemuda berkacamata yang ongkang-ongkang kaki dengan santai sambil membawa sebuah paku panjang yang entah dia dapat dari mana. Tak jauh darinya, berdiri di atas pagar beton, ada seorang pemuda lain yang memainkan tusuk gigi di mulut. Tangan si tusuk gigi memegang ranting pohon yang cukup panjang. Ini pasti yang tadi mematahkan ranting dan melempar ke arah Edi!

“Siapa mereka?” Edi melotot penuh amarah. Meminta kepastian sasaran.

“Mereka yang makan dekat kita tadi!” jawab salah satu rekannya. “Mereka yang ngempesin motor kita!”

Wassuuuuuuuu!! Pateni wae suuuuuuuuuu!!” Edi mengomando keempat teman yang lain untuk mengejar Bian dan Roy yang masuk ke halaman gedung pertemuan Universitas Negeri yang cukup luas. Ada lampu-lampu bulat berwarna redup yang menghias di jalan setapaknya, tapi baik Bian maupun Roy memilih lari ke tengah lapangan yang gelap dan berhenti di sana menunggu lawan.

Keempat preman yang sudah tak sabar itu pun mengejar si kembar.

Dua memburu Bian, dua lagi mengejar Roy, sementara Edi Jerangkong memperhatikan dengan santai dari jarak jauh sembari bersidekap. Cukuplah empat lawan dua, bisa apa sih dua badjingan sok iyes yang berani-beraninya melawan mereka ini? Setelah ini keduanya akan dikebiri, dikuliti, dan dipotong-potong buat dijadiin kerajinan tas kulit!

Bian berteriak kencang. “Maju semuaaaaaa! Ayo serang kami!! Semangaaaaat!!”

Edi Jerangkong mendengus kesal. Bangsaaaat! Berani-beraninya sok jago! Siapa yang nyerang siapa kok malah kasih semangat! Buduk!

Bian menekuk-nekuk jemarinya, ia langsung bersiap saat melihat empat sosok preman maju menghampiri mereka dengan melompat pagar. “Yakin kamu sudah kuat melakukan ini, dab? Jangan memaksakan diri kalau masih belum sehat betul. Aku bisa sih mengatasi mereka.”

Roy meringis sinis sambil memainkan kakinya dan melenturkannya untuk pemanasan. “Tch. Asem, jangan meremehkan. Buat ngelawan cecunguk kelas teri macam mereka tidak perlu keluar banyak tenaga. Apalagi suasana hatiku sedang buruk. Hari yang baik buat bunuh orang.”

Bian meringis.

Keempat preman itu bahkan tidak banyak berbincang dan langsung menyerang. Buat apa banyak kata kalau akhirnya meradang juga? Lebih baik mulai segera untuk berakhir secepatnya.

Keempatnya berlari mendekat.

Roy dan Bian saling bertatapan, tersenyum, dan berlari menyambut. Roy seperti biasa sudah lepas landas terlebih dahulu menyerang lawan. Gerakan ringan tubuhnya yang cukup mumpuni memungkinkannya bergerak bak terbang padahal hanya melompat dengan sangat anggun.

Tak jauh darinya, Bian berteriak kencang, “Rodeo Driveeeeeeee!

Si bandel berkepala gundul berlari sekuat tenaga sembari menyimpan kekuatan dalam genggaman kedua kepalan tangan.

Tapi aksi pertama dimulai di sebelah kirinya.

Bledagkkhhh!

Satu tendangan kencang meledak dari kaki sang pengendara angin yang mood-nya sedang buruk. Anggota preman Edi Jerangkong itu pun terguling ke samping dengan mudahnya setelah tersambar tendangan berputar. Roy menjejak tanah dengan ringan bak kapas, lalu memasang kuda-kuda. Orang yang satu lagi kebingungan melihat Roy ternyata bukan sekedar omong kosong.

Ia bengong. Ia lengah.

Saat lengah itulah, tapak kaki Roy menjejak wajahnya.

Booom!

Sang lawan terlempar mundur ke belakang dan terguling berkali-kali. Sentakan di wajahnya benar-benar masuk tanpa diduga.

Bian juga menghadapi dua lawan seperti halnya Roy. Hanya saja karena dia mengandalkan kepalan dengan jarak jangkauan hanya sepanjang lengan, maka dia harus membiarkan kedua lawannya masuk ke area pertahanannya. Satu di kanan, satu di kiri. Oke, tidak bisa melawan keduanya sekaligus. Cari satu yang bisa disingkirkan terlebih dahulu. Amati lawan. Yang satu lebih gempal dari yang lain, gerakannya lamban terhalang perut buncit. Bian memilih yang kelihatan lebih ringkih tapi lebih kuat dan cepat, ia bergeser ke kanan.

Bian mendekat ke lawan di kanan, sang lawan melontarkan dua pukulan kencang. Sesuai dugaan, dia memang cepat, tapi kecepatannya masih belum di level yang sama dengan Roy. Bukan sesuatu yang epik. Bisa dielakkan dengan mudah. Gerakan kaki Bian lincah menggerakkan badan menghindari arah pukulan lawan. Kiri, kanan. Pukulan dari arah kiri dielakkan, dari arah kanan lolos. Beres. Dua pukulan dihindarkan dengan gerakan kaki, badan, pundak, dan kepala yang tersinkronisasi dengan padu. Saat lawan lengah, kepalan Bian beraksi. Seperti biasa, dengan ngawurnya ia mengutip kalimat dari komik, manga, atau anime.

Gomu-gomu nooo Jet Gatling!!

Bgkkhh! Bgkkhh! Bgkkhh! Bgkkhh! Bgkkhh! Bgkkhh! Bgkkhh! Bgkkhh!

Delapan pukulan dari tangan kanan dan kiri melesak masuk ke wajah sang lawan dengan kecepatan tinggi. Kepalanya terhentak-hentak ke belakang tanpa ampun dan tanpa jeda. Bian tak begitu saja berhenti, dia mengejar arah mundur sang lawan dan terus melesakkan pukulan.

Bgkkhh! Bgkkhh! Bgkkhh!

“Adoh! Adoh!! Adooooh!! Adooohh!! Hkkkghhh!!”

Sang lawan terjerembab ke belakang.

Lawan yang satu sudah roboh, saatnya beralih ke yang satu lagi. Bian tak mau berlama-lama, dari posisinya berada, dia meloncat bak pegas ke belakang, ke arah sang lawan yang bengong. Ia menarik tangan kanannya ke belakang, menyalurkan kekuatan penuh pada kepalan, dan melontarkannya dengan power penuh.

Gomu-gomu noooo Shotguuuuun!

Buoooogkkkhhh!

Masuk. Lawan tak punya kesempatan untuk bertahan.

Bukan pukulan yang indah, tapi jelas efektif.

Si perut buncit melayang ke belakang tanpa tahu truk macam apa yang baru saja menghantam wajahnya. Ia terbanting dan terguling berulang.

Empat lawan, semua roboh.

Masa segampang dan secepat ini? Mau bagaimana, lagi. Mereka memang bukan lawan sepadan. Memang ada perbedaan pada level kemampuan mereka. Preman-preman itu mung menang wani, kalah neng aksi. Wani nggetak kalah tumindak. Hanya bentakannya doang yang keras, tapi dari segala segi kalah kelas.

Edi Jerangkong melotot ketika dua temannya ditumbangkan dengan mudah oleh si kacamata dan dua yang lain oleh si gundul. Apa-apaan ini? Siapa dua orang yang kemaki ini? Siapa dua orang yang berani-beraninya melawan mereka!? Siapa dua orang yang... ugh... dua ya... jadi sekarang satu lawan dua ya? Ugh... Mana ya jalan keluar dari tempat ini? Dia harus kabur! Bangsat!

Bian dan Roy mendekat ke arah Edi dengan seringai di wajah mereka.

Bangsaaaaat! Edi melihat dengan panik ke semua arah, mencari jalan keluar.

Kepanikan hanya berbuah kebingungan. Kebingungan jelas tak akan menemukan jalan. Tapi seandainya dia berpikir dengan tenang pun, saat ini tak mudah mengelak dari dua orang pemuda yang menyeramkan di hadapannya.

Edi menggeram sengit.

Lawan yang tadi terguling saat menghadapi Roy mencoba berdiri, ia melihat rekannya terpepet. Berdirilah dia dan mencoba tegar untuk menyelamatkan Edi. Wajahnya marah luar biasa, siap menaklukkan sang pengendara angin yang dianggapnya telah menodai reputasi. Tangannya terkepal, wajahnya mengeras, dan teriakannya membahana. Ia maju lagi, secepat mungkin berlari.

Ah, salah langkah bukan?

Seharusnya dia tidak berteriak, karena Roy jelas jadi tahu arah serangannya.

Tapi mungkin memang itu tujuannya. Supaya Roy dan Bian terpecah konsentrasinya. Karena teriakannya memang membuat kedua pemuda itu menengok. Saat itulah si Jerangkong punya kesempatan. Edi menggunakan satu-satunya peluang yang mungkin ia dapatkan malam ini.

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Empat pukulan melesak masuk ke wajah Bian, melontarkannya ke belakang. Secara teknik Bian dan Roy memang unggul jauh, tapi pukulan tetaplah pukulan. Untungnya Bian masih bisa bertahan, tidak terjatuh. Si kepala gundul masih lebih kokoh dibandingkan sang lawan.

Geram Bian memandang ke arah si Jerangkong!

“Sudah selesai? Cukup segitu saja memukuliku?” Bian melangkah dengan perlahan. Ia menggulung lengan bajunya. Wajah Edi ketakutan setengah mati karena dia tahu apa yang segera datang bukanlah hal yang menyenangkan. “Lain kali jika makan di pinggir jalan, hormati penjualnya, hormati pembeli lainnya, makan dengan santun, dan jangan banyak tingkah. Kamu bukan penguasa, kamu hanya sekedar orang sok yang lupa kalau di atas langit masih ada langit.”

Edi gemeteran.“Ma-maaf.”

“Telat. United States of Smaaaaassshh!!

Jblaaaammmmm!

Tidak ada kata-kata yang dapat menghalangi serangan hebat yang dilakukan Bian. Terjangan pukulan frontal membuat Edi kontal. Tubuh kurus si Jerangkong terbang ke belakang, berguling, terjatuh, berdebam, lalu terbalik, tersentak, dan terhentak.

Di lain sisi, Roy juga sudah kembali mengatasi lawannya. Lima preman sok iyes terkapar tak berdaya.

Bian terkekeh dan merangkul sang saudara kembar. Mereka melangkah meninggalkan para preman itu dengan santai. “Bagaimana? Apa rasanya sudah mendingan setelah melampiaskan kemarahan?”

“Lumayan.” Roy tersenyum. “Paling tidak hatiku sudah agak lega. Mungkin aku tidak perlu berharap banyak. Seandainya Ran...”

“Ka-kalian tidak tahu...”

Roy dan Bian menengok ke arah Edi yang terkapar dan mukanya sudah tidak karuan.

“Ka-kalian tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan... kghhhkk!! Kalian sudah berurusan dengan NWO. Siapkan nisan kalian karena kami dari Dinasti Baru pasti akan memburu kalian.... kghhh!” Edi memotret Bian dan Roy dengan ponselnya dan mengirimnya secepat mungkin. Dalam kesakitannya, si Jerangkong memaksa tertawa.

Roy dan Bian saling berpandangan. Keringat mereka menetes tanpa sadar. Bukan karena mereka kelelahan, tapi lebih karena mereka mereka menyadari apa yang baru saja mereka lakukan.

“Dinasti Baru? NWO?” Bian meringis wagu. Ada getar di nada suaranya.

“Iya. Dia barusan bilang begitu.”

“Dinasti Baru-nya Mas Amar?”

“Yang mana lagi? Cuma ada satu itu.”

“Mas Amar kakak si Deka, kan?”

“Iya. Dia.”

“Gawat.”

Suara tawa Edi Jerangkong di kejauhan membuat Bian dan Roy merasa tidak nyaman.

Masalah apalagi yang akan mereka hadapi kelak?





.::..::..::..::.





Suasana rumah sakit hening ketika malam tiba. Apalagi waktu sudah lewat dari saat-saat kunjung diizinkan. Untung saja lokasi yang dituju adalah kamar VIP, sehingga jam berapapun pasien akan dibezuk – pasti satpam memperbolehkan masuk.

Nanto menggandeng Kinan dengan buru-buru.

Si Bengal baru mendapatkan kabar saat sedang kuliah tadi, kabar bahwa Hanna datang ke rumah Tante Susan dan ambruk di depan pintu. Kondisinya yang mengkhawatirkan membuat Hanna harus dibawa ke rumah sakit. Tante Susan tahu si Bengal sedang bekerja dan kuliah sehingga baru memberikan kabar agak malam, supaya dia bisa datang setelah jam kuliahnya usai – sementara Hanna sudah masuk dan dirawat.

Nanto sampai di kamar yang dituju.

“Medea II No. 15, ini kamarnya Mas.” Terengah-engah Kinan mengejar napas.

Nanto mengangguk dan mengetuk pintu.

Saat dibuka, wajah Tante Susan yang ramah menyambut keduanya.

“Tante.”

“Halo, le. Hai Kinan.”

“Malam Tante.”

Kinan mengangguk dan tersenyum sopan. Perasaan gadis itu bagai rollercoaster, dagdigdugder ewer-ewer, kocar-kacir ihir icikiwir. Berasa ketemu camer, padahal Tante Susan kan tante Nanto tapi bertemu dengannya bener-bener seperti bertemu calon ibu mertua. Kinan jadi sedikit salting.

“Ayo masuk. Hanna sudah baikan kok. Butuh banyak istirahat memang, jadi harus bedrest dulu sehari dua hari di sini.”

Nanto dan Kinan masuk, di dalam Hanna duduk melamun dan terkejut sesaat ketika keduanya datang. Hanna menatap si Bengal dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan. Ada genangan air di ujung mata, siap untuk turun kapan saja. Hanna sudah bersiap untuk turun dari ranjang, berlari ke arah si Bengal dan memeluknya. Kakinya sudah siap turun ke lantai.

Tapi sesaat kemudian, ia menyadari kalau sejak masuk ke kamar, Nanto sudah menggandeng tangan Kinan dengan erat.

Hanna menarik napas panjang, memejamkan mata, menghapus air mata yang ditahan, dan memasang senyumnya sekuat tenaga.

“Hai.”

“Hai. Kamu tidak apa-apa?” Nanto menatap gadis itu dengan khawatir. Ada lebam di wajah yang tidak bisa disembunyikan oleh senyum yang ia pasang. Itu jelas bukan tidak apa-apa. Lebam itu sudah pasti kena gampar. “Kenapa? Apa yang terjadi?”

“Biasa. Aku sudah sering begini.”

“Sudah sering begini? Apa-apaan! Ayolah, Ini tidak biasa. Ceritakan padaku. Aku kan pernah berjanji tidak akan membiarkanmu...” Nanto melirik ke arah Kinan yang tiba-tiba saja melepas gandengan tangannya dari si Bengal. Gadis itu melangkah selangkah demi selangkah ke arah Hanna.

Tante Susan menepuk pundak Nanto, memberi kode supaya si bengal mundur. Nanto menurut.

“Tante, aku...”

Lirih Tante Susan berbisik. “Tante ingin kamu jaga dia di sini sampai nanti dia sembuh, paling-paling hanya sehari dua hari lagi. Biar Tante yang pamit ke cafe dan kampus kalau perlu surat izin. Tante tidak ingin gadis ini kenapa-kenapa, kasihan dia. Paham kamu?”

Nanto ingin menjawab, tapi dia bingung. Menjaga Hanna seharian sampai dia sembuh? Kalau dulu mungkin tidak apa-apa, tapi kalau sekarang? Si Bengal melirik ke arah Kinan. Tapi Kinan diam saja, gadis itu malah saling bertatapan dengan Hanna. Kinan melangkah ke depan dan duduk di kursi kosong di samping pembaringan Hanna.

Tangan Kinan meraih tangan Hanna. Erat menggenggam. Lembut tatapan kekasih Nanto itu pada gadis yang tengah duduk di pembaringan.

Hanna masih tetap tersenyum, sembari menahan airmatanya leleh. “Aku minta maaf sudah merepotkan kalian semua, sebenarnya aku tidak ingin seperti ini. Tapi...”

“Sssh...”

Kinan memotong ucapan gadis yang pernah saling sindir dengannya itu. Dulu mereka pernah saling ledek, saling jengkel, tapi saat itu pula terjalin hubungan yang unik di antara keduanya. Hubungan erat yang tak begitu saja sirna karena lama tak jumpa. Mata Kinan berkaca-kaca melihat kondisi Hanna. Ia mengelus rambut Hanna, lalu menyentuh wajah cantiknya yang lebam. Sudah pasti itu pukulan seseorang, yang masuk dengan telak ke gadis yang tak berdaya. Kinan menggelengkan kepala sembari menahan air matanya tumpah. Ia maju ke depan, dan memeluk Hanna.

Hanna terkejut melihat tindakan Kinan. Tapi ia pun lantas membalas pelukan Kinan, dan mereka berdua saling dekap dalam tangis bersama. Air mata yang tertahan, akhirnya dibiarkan tumpah deras tanpa peduli.

Si Bengal tidak tahu harus bagaimana.

Ia menatap Tante-nya dengan bingung, tapi sang Tante hanya tersenyum dan menepuk punggung Nanto. Tante Susan berbisik, “beri mereka waktu. Kita tunggu di luar, yuk.”

Nanto mengangguk.

Tante Susan dan Nanto melangkah ke luar kamar, berdiri dan berbincang santai di lorong rumah sakit.

“Jadi dari informasi yang Tante dapat dari Hanna, dia punya maag yang akut, dan sempat masuk rumah sakit. Tapi pacarnya si Pulpen...”

“Glen.”

“Oiya, Glen. Nah, si Glen ini rupanya ringan tangan, hanya gara-gara Hanna mengeluh sedikit, dia tidak tahan mendengarnya, terus jadilah seperti itu. Disambar dan kena mata, untung hanya biru saja. Padahal saat itu mereka sedang di rumah sakit – di ruang UGD pula. Gendeng bocah lanange. Sewaktu akhirnya Glen pergi, Hanna memilih keluar dari rumah sakit karena toh posisinya masih menunggu kamar, dia bayar biaya perawatan dan cepat-cepat kabur, sayangnya dia tidak membawa ponsel yang disita Glen, jadi dia kabur ke rumah Tante dengan membawa seadanya. Untung masih bawa dompet.”

“Kenapa tidak pulang ke rumah sendiri?”

“Karena Glen akan dapat dengan mudah menemukannya di sana. Hanna sedang tidak ingin menemuinya, wajar lah. Dia bilang juga orangtuanya sangat Glen-sentris, apa-apa Glen, apa-apa Glen. Satu-satunya orang rumah yang masih bisa netral adalah kakaknya.”

“Kenapa tidak ke tempat temannya? Atau saudaranya? Bukannya lebam itu bisa jadi bukti ke orangtuanya?”

“Karena dia merasa aman sama kamu, le.” Tante tersenyum, “karena bersama kamulah dia merasa tenang. Orangtuanya tidak memberi rasa aman yang sama.”

“Duh... gimana ya, Tante.”

“Jalani saja, le.”

“Kinan nanti...”

“Kinan pasti baik-baik saja. Kamu lihat sendiri tadi, Kinan jauh lebih kuat dari yang kamu kira. Asalkan kamu tulus menyayangi dia dan ikhlas membantu Hanna. Semuanya akan berjalan dengan baik-baik saja. Tapi ingat urutannya, jangan kebalik. Hehehe.”

Lhadalah. Tante malah ngledek.”

Tante Susan tertawa, “Oalah, le... dasar cah bagus. Mbak Sari pasti ngekek lihat anaknya jadi rebutan cewek-cewek begini. Bangga sekaligus mumet, hahahaha.”

“Hadeh.”

“Tapi kalau sudah menentukan pilihan ya sudah. Jangan beralih dulu, kecuali kalau memang kamu mau beristri dua.”

“Tante nambah-nambah masalah aja kayaknya nih. Kita jadian juga baru berapa hari, Tante. Udah ngomongin yang begituan aja. Wadidaw.

“Hahahaha, habisnya gatel komen gitu kalau lihat cewek-cewekmu, le. Kalau sampai Om-mu yang nekat mau nambah, sudah Tante mutilasi kecil-kecil jadi bahan abon dia. Tapi kalau kamu? Kamu kan masih belum tahu seperti apa masa depanmu. Siapa tahu kan, le? Siapa tahu kamu bisa mengikuti jalan eyang leluhur dengan dayang-dayangnya. Hahaha.”

Wadidaw! Satu aja masih penjajagan. Mana kepikir buat ngrenteng. Yang ada saya ditusuk pake ruji sepeda dijadiin sate klathak.”

“Hahahaha, sekedar opsi saja.” Tante Susan tiba-tiba teringat sesuatu, sesuatu yang jauh lebih serius. “Oh iya... kamu pernah kenal sama Om Janu? Dia salah satu keluarga dari trah Watulanang yang tinggal di kota ini. Wajar kalau kamu lupa karena terakhir kali kalian ketemu itu kayaknya sewaktu kamu masih bayi...”

“Om Janu?”

Benak Nanto terbayang pada sebuah masa, di pinggir sawah, pada suatu pagi, pada sosok berambut putih yang memberikannya petuah untuk menjalani hidup yang lurus. Wajahnya sumringah saat mengingat sosok laki-laki yang membuatnya bertanya-tanya tempo hari. Bukannya dia ya yang namanya Om Janu?

“Sepertinya kenal, Tante. Pernah sekali ketemu pas aku lari pagi.”

“Oh ya?” Tante Susan mengangguk berulang, “Om Janu-lah yang tadi mengantar Hanna kemari. Sebenarnya beliau datang untuk mengantarkan surat undangan trah Watulanang, dua bulan lagi acaranya, kamu juga mesti ikut. Nah, sewaktu melihat kondisi Hanna, beliau langsung gage-gage menyiapkan kendaraan dan membawa Hanna ke mobil, rumah sakit ini beliau yang pilih. Beliau juga yang membayar biaya perawatan awal. Tante sama Om ngikut aja dari belakang.”

“Hah? Padahal baru pertama kali ketemu Hanna.”

“Dia orangnya memang begitu.”

“Wah... ya... ya... baik ya Tante?”

“Baik... tapi...” Tante Susan lantas tersenyum, “tidak baik membicarakan keburukan seseorang, bukan? Setiap hal ada dua sisi koin, le. Setiap orang punya dua wajah, ada yang baik dan ada yang buruk. Hitam tak selalu hitam seperti halnya putih tak selalu putih.”

“Hmm.”

“Besok dia akan kesini lagi. Kamu temui dia ya, le. Pasti akan diajari banyak hal sama om Janu. Dia juga sangat penasaran sama kamu.”

“Wih, mantap jiwa. Siap, Tante.”

Nanto merenggangkan tangannya dengan girang, kalau ada kesempatan untuk meningkatkan kemampuan, pasti selalu diterimanya dengan senang. Hanya satu yang sebenarnya membuat si bengal tegang. Apa yang sedang terjadi di dalam kamar? Apa yang sedang diperbincangkan kedua gadis yang ada di dalam?

Sejauh ini sih tidak ada suara piring pecah, gelas terbang, kaca remuk, meja terbalik, meteor jatuh, dan benua terbelah. Jadi semua sepertinya aman-aman saja. Ancaman Perang Dunia ke-3 sepertinya hanya rumor belaka.

Di dalam kamar, percakapan dua gadis terjadi.

Percakapan sederhana yang jauh dari bayangan ketakutan si Bengal.

“Ehm... ada yang lagi seneng kayaknya...” lirih suara Hanna berucap, ia tersenyum manis pada Kinan yang malu-malu. Posisi mereka duduk sangat dekat. “Selamat ya. Kamu pemenangnya.”

“Ih, apaan sih Mbak Hanna. Ga ada menang-menangan, ini bukan lomba.”

“Ini persaingan dan kamu yang menang, sayang.” Hanna mengelus punggung tangan Kinan. “Jagain dia baik-baik.”

Kinan malu-malu, wajahnya memerah, jawabannya juga pelan. “Pasti, Mbak.”

“Kalau tidak dijagain baik-baik, aku siap menikung di pengkolan.”

“Mbak Hannaaaaaa!”

“Hahaha, becanda.”

Kinan pura-pura cemberut, tapi lantas tertawa kecil. Hanna juga. Tangan keduanya masih saling tergenggam erat. Entah kenapa dua wanita yang dulunya pesaing ini sekarang menjadi sangat akrab satu sama lain ibarat teman karib, padahal kenal juga barusan. Mungkin rasa iba membuat batu karang di antara keduanya mencair, mungkin juga rasa senasib sepenanggungan, atau mungkin keduanya sadar bahwa mereka memiliki perasaan yang sama untuk seseorang.

“Kalau boleh jujur...” Hanna tersenyum. “Aku... menyukai dia.”

Kinan mengangguk, “aku tahu.”

“Mungkin sekarang pun masih.”

“Aku tahu, Mbak. Tidak apa-apa.”

“Kamu tidak marah?”

“Entah kenapa, tidak. Ga tau kenapa bisa merasa seperti itu. Rasanya aneh, seperti ada selimut hangat yang membuat aku jadi tenang dan tidak merasa terancam kalau Mbak Hanna yang begitu. Tapi kalau cewek lain, huh! Awas aja kalo berani! Hahaha.”

Hanna tertawa, “berarti aku masih boleh menyukainya?”

“Asal aku masih tetap nomor satu di hatinya.” Kinan menjulurkan lidahnya dengan sebal – tentunya masih bercanda.

“Cieee. Cemburu.”

“Hihihi. Habisnya.” Kinan menunduk, “Aku tidak bisa menghalangi siapapun untuk menyukai dia. Yang bisa aku lakukan hanyalah sekuat tenaga berusaha membuat dia tetap menyukai dan menyayangi aku. Jika memang berjodoh, pasti semua dilancarkan.”

“Amin. Kinan memang baik.” Hanna mengangguk, ia mengelus Kinan lagi. “Mudah-mudahan jodohnya itu aku.”

“Mbak Hannaaaaaaaa!!!”

“Hahahah, godain kamu gampang banget.”

“Hu’uh! Sebel dong.”

“Hahahah, kamu imut banget sih, pantesan aja dia sampai terkintil-kintil sama kamu. Cintanya sekonyong-konyong koder ya?”

“Apaan coba, hahaha.”

“Salahku sendiri sih, aku seharusnya tidak boleh mengharapkan dia. Aku kan sudah punya tunangan, walaupun tunanganku sering berbuat kasar, tapi seharusnya aku lebih sabar, karena aku tahu dia masih perhatian sama aku. Mungkin tidak sepantasnya aku kabur seperti ini. Mungkin dia sedang mencariku, sedang khawatir sama aku. Mungkin setelah keluar dari sini, aku akan segera kembali padanya.”

“Hah? Nggak ah! Ga setuju!” Kinan menggeleng, “Ga mau! No way! Kenapa ga cari yang lain saja? Pasti ada yang lebih baik. Jangan kembali lagi ke orang toxic begitu, please, jangan. Pasti ada kok yang lebih baik dari dia di luar sana buat Mbak Hanna. Apalagi Mbak Hanna itu cantik, baik, dan pintar. Sosok perempuan sempurna. Please jangan kembali ke orang yang seperti itu.”

“Ada sih yang lebih baik, tapi kalau nanti aku jadian sama dia, kamu gimana dong?”

“Mbak Hannaaaaaaaaa!!”

“Hahaha.”





.::..::..::..::.





Om Janu masuk ke rumah dengan lelah, sudah beberapa hari ini dia menyebarkan surat undangan trah ke saudara-saudara yang ia kenal. Sisa trah Watulanang memang tidak banyak, hanya segelintir saja. Paling hanya belasan, tapi untuk menghubungi dan meminta mereka hadir dalam sebuah pertemuan trah jelas tidak mudah dengan semua kesibukan dan keperluan masing-masing.

Sebenarnya ada alasan lain kenapa om Janu mendatangi satu persatu anggota trah Watulanang. Ia ingin menemukan darah murni Watulanang yang dapat membuka selubung Kidung. Tapi semua saudara yang ia temui bukan kandidat yang tepat. Om Janu sudah menelaah aura Ki yang mereka miliki dan hasilnya ternyata zonk, hampir semua tidak mendalami ilmu kanuragan yang diajarkan turun menurun.

Untunglah di hari terakhir ia menjumpai titik terang saat bertemu dengan Om Darno dan Tante Susan. Keduanya memberikan informasi mengenai adanya seorang lagi anggota trah Watulanang yang potensial – Jalak Harnanto, putra Sari.

Dia akan menemuinya besok.

Om Janu membenamkan kepalanya di bantal sebuah sofa panjang. Matanya terpejam, dingin terasa dari air conditioner yang terpasang hingga minus enam belas.

Musik klasik instrumental dari Erik Satie mengalun di sebuah piano yang dimainkan tak jauh darinya. Om Janu tersenyum mendengarkannya. Alunan musik bernuansa ambient ini berjudul Gymnopédie No.1, satu dari tiga seri musik klasik yang tak umum diciptakan pada masanya – sekitar tahun 1888. Kenapa tak umum? Karena sangat sederhana, ringkas, tanpa aturan, dan tanpa cerita. Sangat ajaib di masa itu sebuah musik klasik papan atas yang tidak perlu dimainkan secara orkestra. Gymnopédie No.1 mungkin hanya membutuhkan satu piano saja.

Erik Satie memang orang yang eksentrik, bahkan pengambilan judul karyanya pun tidak jelas dari mana asalnya. Karyanya yang satu ini serba misterius, terasa menghantui, dan membuat kita terbawa ke dalam alam bawah sadar yang syahdu, tapi indah. Membawa kita ke suasana yang berbeda, yang merindukan sebuah tempat yang jauh di masa lampau.

Om Janu bertepuk tangan ketika permainan musik di piano usai.

“Kamu tambah pinter main piano, Kak.”

“Kan yang ngajarin Papah.”

Tara - anak tertua om Janu yang masih SMA berjalan dengan santai sembari duduk di samping sang ayahanda. Dia kemudian tidur di pangkuan ayahnya. Tubuhnya sudah dewasa sekarang, tinggi dan semampai. Kadang om Janu jadi rindu untuk menggendongnya seperti saat dia masih berusia bulanan dulu, masih lucu dan imut, masih hanya bisa ngoek-ngoek untuk minta minum, minta makan, atau hanya sekedar risih karena pampers-nya penuh.

LIhat betapa dia sudah dewasa kini, sudah membuat om Janu bangga dengan prestasi-prestasinya di sekolah.

“Adek mana?”

“Pergi sama Mamah.”

“Kok belum pulang malam begini.”

“Paling ke kota sebelah, belanja kain batik.”

Om Janu manggut-manggut. Istrinya memang berbisnis batik, dan ternyata tidak dinyana-nyana cukup sukses. Hal itu membuat sang istri sering berpergian ke luar kota untuk memburu kain, bahan, penjahit, bahkan desainer.

“Kakak sudah belajar?”

“Besok kan libur, Pah. Tanggal merah.”

“Oh iya... Papah sampai lupa.”

Om Janu mengelus rambut anaknya yang sebahu. Ia geleng-geleng kepala melihat betapa cepat bayi mungilnya tumbuh menjadi seorang gadis jelita yang tahun depan sudah masuk kuliah. Betapa ia sudah mengorbankan banyak hal sejak muda demi gadisnya ini. Semua keringat, darah, dan tenaga ia curahkan demi membuat keluarganya bahagia. Hanya demi mereka.

Beruntung berkat usaha secara legal – dan juga ilegal, Om Janu memperoleh pendapatan yang tidak sedikit. Tabungannya menebal, pundi-pundi uangnya bertambah, dan koneksi bertebaran begitu banyak. Semua jadi aset berharga yang kini bisa ia petik hasilnya. Sekali lagi, ini semua demi keluarganya. Hanya demi mereka.

Atau setidaknya itu anggapan om Janu.

“Kakak kenapa main musik tadi?”

“Karena Papah suka.”

Om Janu tersenyum dan mengangguk, “dengerin Kakak main, Papah selalu adem hatinya. Ingin rasanya tidur sejenak dan beristirahat. Tidak lagi memikirkan semua urusan pekerjaan dan sampingan Papah yang begitu banyak.”

“Kenapa tidak pensiun saja?”

“Belum saatnya, masih banyak yang Papah harus kerjakan.”

“Katanya capek.”

“Memang, tapi tidak lantas membuat Papah bisa dengan tenang meninggalkan semua pekerjaan begitu saja. Lebih-lebih sampingan Papah yang sebentar lagi akan relaunching, butuh pengawasan ekstra.”

“Oh gitu." Tara manggut-manggut. "Eh iya, Pah.”

“Hmm?”

“Kakak mau tanya deh.”

“Apa itu?”

“Memang si Om tinggal di sini lagi yah?”

“Si Om?”

“Iya, dia sudah beberapa hari ini tidur di kamar tidur tamu. Memangnya Om tidak bilang Papah?”

“Tidak. Baru denger hari ini dari Kakak.” Om Janu menghela napas. “Ya sudah, tidak apa-apa. Dia kan masih saudara juga, adik kandung Papah. Jadi tidak ada salahnya tinggal di sini sementara kalau dia mau. Siapa tahu dia sudah izin sama Mamah.”

“Iya juga sih. Dulu Om juga pernah tinggal di sini, kan.”

“Nah, makanya. Apa kamu terganggu dengan kehadiran Om?”

“Sedikit...”

“Sedikit? Kenapa kok sedikit terganggu?”

“Hmm... hehehe. Banyak sih Pah benernya.”

“Banyak? Kenapa memang? Apa yang bikin kamu terganggu?”

“Nanti Papah marah kalau Kakak cerita.”

“Kenapa harus marah?”

“Ya kan dia adiknya Papah.”

“Ya kalau dia membuat Kakak atau Adik, atau Mamah terganggu – ya Papah harus cari penjelasannya kan? Kenapa kalian terganggu, apakah memang pantas kalian terganggu, dan apakah memang yang dilakukannya benar-benar mengganggu. Setelah semuanya jelas, barulah Papah bisa mengambil keputusan.”

“Hmmm...”

“Apa yang dilakukan si Om yang membuat Kakak terganggu?”

“Si Om kadang bawa cewek ke rumah, Pah. Nginep gitu di sini. Ceweknya ganti-ganti pula.”

Itu yang paling ditakutkan Om Janu, dia geleng-geleng kepala dan menghela napas panjang. Adiknya itu memang susah sekali berubah, padahal sudah diwanti-wanti sejak jaman sepur lempung. Sudah diperingatkan kalau perangai dan sikapnya itu bakal membawa masalah. Berani-beraninya sekarang dia pulang membawa cewek ke rumahnya.

“Si Om ada di kamar tamu atau sedang pergi keluar?”

“Kayaknya sih di kamar.”

“Ya sudah, coba Papah ngobrol sebentar sama si Om. Kakak di sini saja ya.”

“Jangan bilang-bilang kalau Tara yang ngaduin lho. Ntar Tara yang kena lagi.”

“Iyaaa. Beres.” Om Janu berdiri dan berjalan menuju ke kamar, “Kakak sudah makan? Ada makanan ga? Papah laper ini.”

“Ada sih Pah, tapi cuma ayam geprek gitu. Papah mau?”

Om Janu mencibir. “Pesan ojek online. Papah mau sate kambing, beli di Samimrene. Beli 100 tusuk. Nanti biar Mbok Di yang bagiin ke satpam depan sama rewang-rewang di belakang.”

“Siaaaaaaaaap! Asyik, sate kambing...”

Om Janu tertawa. Sate kambing memang paling disukai keluarganya, terutama Tara.

Dia melangkah menuju kamar tamu. Di rumah ini ada beberapa kamar tamu, tapi satu yang dekat dengan pintu depan dan punya akses langsung keluar adalah yang ada di sisi kiri rumah, tepat di atas garasi mobil.

Om Janu sampai di pintu kamar tamu itu.

Jelas tertutup.

Terdengar suara tawa dari dalam. Suara tawa seorang wanita. Om Janu menggelengkan kepala. Tara memang tidak pernah bohong. Adiknya ini benar-benar keterlaluan berani-beraninya ngajakin cewek ke rumahnya – bahkan tanpa minta ijin terlebih dahulu! Sesayang-sayangnya dia pada sang adik, Om Janu masih harus melindungi keluarganya.

Om Janu mengetuk pintu.

Suara tawa dari dalam masih terdengar.

Om Janu kembali mengetuk, kali ini lebih keras.

Suara tawa terhenti.

Om Janu mengetuk lagi.

“Iyaaaa.”

Terdengar suara dari dalam. Suara sang adik.

Kowe neng kene to? Sejak kapan kamu di sini? Kok tidak bilang-bilang ke aku?” tanya Om Janu dari luar. Ia agak mengencangkan suara supaya terdengar dari dalam.

“Lho, Mas? Sudah pulang to? Aku pikir keluar kota.”

Terdengar kunci diputar. Tak lama kemudian pintu pun terbuka lebar.

“Mas. Hehehe.” Senyum di wajah sang adik membuat Om Janu geleng-geleng kepala.

“Kok ya tidak bilang ke aku kamu menginap di sini?”

“Beberapa hari aja, Mas. Besok aku balik ke rumah.”

“Kenapa rumahmu?”

“Ya tidak kenapa-kenapa, sedang renovasi saja.”

“Renovasi?”

“Ada perbaikan, aku masang ring basket dan bikin desain setengah lapangan di taman belakang.”

“Kan cuma di taman? Ga perlu ninggalin rumah kan?”

“Sekalian bongkar dapur, Mas. Mau pakai kompor yang model meja gitu.”

Entah itu alasan yang dibuat-buat ataukah memang beneran. Tapi Om Janu memang sangat menyayangi sang adik, jadi dia tidak masalah seandainya memang adiknya itu harus tinggal sementara di rumah ini.

Ya wes. Tidak apa-apa tinggal di sini sementara.”

“Iya, Mas. Makasih, Mas.”

“Hanya saja...” om Janu sudah bersiap melangkah pergi. “Kalau bisa jangan ajak cewek ke rumah. Ga enak lah dilihat mbakyu-mu atau ponakan-ponakanmu yang masih kecil. Kalau memang harus, kamu kan bisa ajak dia ke hotel. Jangan seenak wudelmu dewe. Jaga sikap di rumah ini. Kelakuanmu itu lho, dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Paham?”

“Hehehe, Paham. Maunya sih begitu, Mas. Tapi berhubung sedang renovasi rumah jadi dana juga terbatas. Ga kuat saya kalau harus nyewa kamar. Hehehe.”

“Woalah, kondisimu lagi mepet? Kok ya tidak bilang-bilang? Kan tinggal bilang sama aku, pasti semua beres. Kamu butuh berapa, he? WhatsApp aja butuhnya berapa, nanti aku transfer.”

“Mantap, Mas. Makasih banget.”

Om Janu mengangguk dan tersenyum, ia meninggalkan sang adik. Sempat terlihat di sudut mata, seorang wanita tanpa busana hanya melindungi diri berbalut selimut di atas ranjang. Geleng-geleng kepala om Janu kalau sudah melihat tingkah sang adik. Namanya juga orang ganteng – mudah banget nenteng cewek. Gemblung memang adiknya yang satu ini.

Om Janu terhenti sejenak karena ingat sesuatu.

“Oh ya, Rey. Itu tadi aku pesen sate kambing, ngumpul di meja makan aja nanti kalau sudah datang satenya. Kita makan bareng-bareng.”

“Siap, Mas.” Reynaldi tersenyum.

Pria berwajah tampan itu melirik ke dalam kamar dan mengedipkan mata, “Bu Guru cantik. Bu Guru suka sate tidak? Heheh.”

Di dalam kamar, seorang wanita yang tidak berbusana menunduk malu, wajahnya memerah.





BAGIAN 2 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 3
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd