Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Apa....?
Bu guru...??
Apakah akan terjadi gesekan si bengal dan adik om janu?

Thanks updatnya suhu...
 
Hahaha, Asty kecewa sama Nanto. Lampias ke Reynaldi, lah ini masih sodaraan juga.... Keren Suhu untuk alur ceritanya, buat makin susah di tebak Hu... 😁
 
Terimakasih atas abdate nya yang super epik
Cerita ini menarik, penuh misteri, dan sangat mbulet, butuh pemahaman yang ekstra agak bisa memahami.

Mohon maaf atas kritik dari saya, knp saya bilang mbulet karena munculnya banyak aktor baru yang ternyata menghubungkan dngan aktor lama dengan berbagai kelompok.
Mungkin agak bisa lebih mudah di mengerti, kalau abdatenya agak di percepat. Agar dapat mengingat alur cerita kombinasi antara aktor lama dan banyaknya aktor baru

Terimakasih dan maaf ya
 
BAGIAN 3
SEBERAPA PANTAS




Lebih banyak kita diam, lebih banyak kita mendengar.
- Rumi






Pintu kamar dibuka.

Hanna yang sudah rapi dan mengenakan piyama setelah mandi menengok ke arah pintu. Siapa yang datang kali ini? Dokter? Suster? Tukang plester? Tukang jual es puter? Anggota Avenger? Ia buru-buru naik ke pembaringan dan menyelimuti badannya. Pakaian yang ia kenakan agak kurang pas, jadi dia menjaga diri supaya lebih sopan. Apalagi kalau yang masuk dokter.

“Hai.”

Ternyata Nanto yang datang. Si Bengal memasang senyum kaku saat masuk ke ruangan. Awkward moment. Ia membawa plastik Indom@ret yang sepertinya penuh dengan jajanan.

Wajah Hanna memerah ketika tahu siapa yang datang. Ia buru-buru membenahi posisi duduknya supaya lebih tegak, piyama yang ia kenakan sedikit ngepas – piyama ini aslinya punya Tante Susan. Karena baju Tante Susan ukurannya kecil, maka saat piyamanya dipakai Hanna, gadis itu jadi terlihat lumayan seksi. Bagian dada membusung dengan kancing yang meronta-ronta hendak lepas, tak mampu menahan balon besar merekah milik sang gadis jelita. Hanna mengelus halus lurus rambut panjangnya, dan merapikannya ke samping. Secepat mungkin ia melirik ke arah cermin.

Sudah rapi kan? Sudah pantas kan? Sudah cantik atau bel – ah lupakanlah. Yang penting sudah rapi. Mau cantik mau tidak apa ya dia peduli? Dia sudah punya Kinan.

Setelah semuanya dirasa pas, Hanna langsung menjawab, “Hai.”

Nanto tersenyum. Ia mengambil kotak susu coklat pisang dari dalam tas plastik Indom@ret. “Aku tidak tahu apakah kamu suka ini, tapi aku pernah mencobanya dan rasanya lumayan...”

“Waaaa! Suka banget. Terima kasih.” Hanna menerimanya dengan senang. Ia langsung membuka plastik sedotan, dan menusukkan sedotan itu ke dalam pelapis lubang minum. “Ah, enaaaaak. Kangen sama makanan dan minuman begini. Padahal baru opname dua hari saja, eh sehari setengah, tapi berasa sudah bertahun-tahun. Hihihi. Makasih banyak ya, Mas. Susu coklatnya bener-bener uenaaak.”

“Hehehe. Ayolah jangan lebay. Itu cuma susu kotak biasa.”

Hanna mencibir manja, “susu kotaknya memang biasa. Yang mengantarkannya yang spesial.”

Nanto mengelus kepala sendiri sambil mesam-mesem. “Pake telor?”

“Spesial. Sayang hatinya sudah jadi milik orang lain.”

“Hanna...”

“Hahahaha, aku tahu... aku tahu... becanda, Mas. Kinan mana?”

“Dia kuliah, nanti menyusul ke sini. Kita sudah janjian.”

“Oooh.” Batin Hanna kembali meradang.

Kita. Duh, kenapa hatinya jadi berdesir begini? Kalian sudah jadi kita ya sekarang? Kalian sudah... Ah, Hanna! Kenapa berpikiran seperti itu terus? Kinan sudah jadi sahabatmu sekarang. Tugasmu adalah mendukungnya dan mendoakan supaya mereka langgeng, bukan malah menginginkan pria yang sudah jadi pacar sahabatnya. Ayolah, kamu bukan pelakor. Kamu lebih baik daripada itu!

“Gimana hari ini? Sudah mendingan?”

Hanna mengangguk dengan imutnya.

Woah. Manis banget.

Wajah Nanto langsung memerah, ia mencoba mengalihkan pandangan ke bagian lain di kamar, ke pencetan lampu, ke sudut taplak, ke gelas kosong, ke gantungan kunci Minions yang salah cetak jadi bertuliskan Minoins. Alihkan kemana saja asal tidak memandang langsung ke wajah cantik Hanna. Damage-nya dahsyat. Gawat memang kalau berduaan saja dengan wanita seindah Hanna. Mau tidak mau seluruh atensi tersedot padanya. Apalagi piyama yang kekecilan itu bikin lekukannya makin powerful. Mau pakai Ki seberapa kuatpun dia tidak akan bisa menahannya. Uh, Kinan... ingat Kinan... ingat Kinan... kamu sayang Kinan, nyuk.

“Mas.”

“Hmm?”

“Boleh ga aku curhat?”

Nanto tersenyum, kenapa juga ia malah kikuk? Ia sudah jalan bareng Kinan, dan hubungannya dengan Hanna cukup baik, jadi hilangkan semua prasangka. Nanto pun duduk menggunakan kursi di samping Hanna, “Boleh lah.”

Hanna tertawa. “Gila juga ya, beberapa bulan yang lalu, pasti tidak akan kepikiran kita bisa berada di ruangan ini, berdua, saling bercanda.”

“Iya... rasanya waktu cepat sekali berlalu...”

“Iya... tiba-tiba saja sudah ada yang sudah jadian...”

“Hanna...”

“Hihihi, ga tahan godain, Mas.”

“Jadi apa yang ingin kamu ceritakan?”

“Mas...” Hanna seperti tercekat, sadar pada situasi serius yang ia hadapi. Hanna menunduk, “setelah aku keluar dari rumah sakit ini, aku tidak akan pernah lagi mengganggu Mas Nanto, Kinan, Tante, Om, dan yang lain-lain. Aku akan menikahi Glen secepatnya, Mas. Mungkin itu jalan yang paling wajar dan akan menyelesaikan semua permasalahan. Tidak perlu ada yang berkorban dan makan hati. Tidak perlu ada yang membenci Glen, dan Mas tidak perlu melindungi aku lagi. Mudah-mudahan semua baik-baik saja. Aku pasti bisa belajar bahagia bersama dia.”

Nanto tersentak sesaat. Si Bengal pun menggeleng, ia menarik tangan Hanna supaya mendekat. Wajahnya serius. Ia sungguh mengkhawatirkan gadis ini. “aku sudah pernah berjanji untuk menjagamu. Jadi itu yang akan aku lakukan. Jangan khawatir, kamu tidak perlu lagi kembali padanya. Kita bisa menjelaskan semua masalah ini pada kedua orangtuamu. Kalau memang Glen datang lagi biar aku yang menghadapinya. Hanna, kami semua peduli dan khawatir padamu, jangan singkirkan orang yang peduli padamu.”

“Aku tahu Mas kuat. Tapi...”

“Maka ijinkan aku membantumu, kamu tidak perlu memikul beban ini semua sendiri. Bagilah denganku. Ini bukan masalah kekuatan, ini masalah hati. Laki-laki mana yang sampai punya hati memukul wanita yang ia cintai? Tidak ada.”

“Tapi dia punya uang, punya backing, dan punya kemampuan untuk mengacaukan semuanya dengan mudah seandainya dia mau. Aku takut kalau sampai dia mengincar keluargaku dan... dan... kamu..., Mas.” Hanna menggeleng, “aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri sampai akhir hayat kalau kamu sampai kenapa-kenapa gara-gara aku, Mas.”

“Aku tidak takut.”

“Aku tahu kamu tidak takut, tapi aku tidak ingin menyeretmu ke dalam masalahku. Aku tidak ingin menjadi beban untukmu, aku tidak ingin membuat Kinan menangis. Aku tidak ingin kalian kerepotan gara-gara aku.” Suaranya bergetar, gadis itu mengucapkan kalimat yang diutarakan berselimutkan isak tangis yang ditahan. Pertanda kalau apa yang dia ucapkan benar-benar keluar dari hatinya yang terdalam, “Aku... aku sesungguhnya sudah tidak kuat lagi, Mas. Sungguh aku tidak kuat. Tapi lebih baik aku yang mengalah dan menurut. Mungkin memang sudah jalanku harus menjalani hidup bersamanya. Jadi aku harap, kalian jangan buat masalah ini menjadi lebih besar dari seharusnya...”

“Aku tidak peduli.”

“Apa maksudmu tidak peduli? Aku tidak bisa...”

“Aku tidak akan membiarkan bedebah itu menyakitimu lagi barang sehelai rambutpun. Kamu lebih penting dari hal apapun yang membuatnya sibuk. Kamu jauh lebih berharga dari harta manapun yang dia berikan ke keluargamu. Keluargamu juga bukan keluarga yang kekurangan, bukan? Ada atau tidak ada dia tidak akan menjadi masalah.”

“Mas, aku tidak bisa...”

“Aku tidak akan membiarkannya menyakitimu lagi. Titik.”

“Mas...”

“Karena kamu sangat berharga untukku.”

Hanna terbelalak. Wajahnya memerah, tapi beberapa saat kemudian, air matanya kembali meleleh. Kenapa? Kenapa ada orang yang menganggapnya sedemikian berharga, sementara tunangannya sendiri memukul dan menyakitinya seperti seonggok sampah? Kenapa juga lelucon dunia ini begitu kejamnya karena orang yang memberikan harapan itu sudah memiliki pasangan yang ia cinta?

Hanna terisak, airmata mengalir membasahi pipi mulusnya, rasa sakit yang ia rasakan di fisik mungkin tak seberapa, karena rasa sakit di badan hanya terasa sementara dan bisa disembuhkan. Tapi trauma dan rasa sakit dalam dada yang membuatnya merasa semuanya sia-sia susah disembuhkan. Perasaan kecewa karena semua yang ia jalani selama ini, sepanjang hidupnya, hanyalah kesia-siaan. Apakah ia tak akan pernah bisa bahagia dengan cara yang sederhana?

“Aku takut, Mas... dia pasti akan... pasti akan...” tangis Hanna deras, ia menenggelamkan diri dalam pelukan ke dirinya sendiri. Meringkuk di antara tekukan kaki dan lipatan tangan. Membuat kubah pelindung mungil yang sebisa mungkin membuat dirinya aman meski untuk sementara saja. “Aku takut banget, Mas.”

“Tenanglah. Aku di sini. Aku tidak akan kemana-mana. Sekali lagi nih ya, aku kan pernah berjanji akan melindungi kamu, jadi aku akan melakukan tugasku dengan baik.” Nanto mendekati Hanna. Ia duduk di samping sang dara, lalu mengelus rambut panjangnya yang indah supaya gadis itu merasa tenang. “Aku janji akan tetap ada untukmu.”

Hanna menghunjukkan jari kelingkingnya. “Janji?”

Nanto tersenyum, ia mengaitkan jari kelingkingnya ke jari Hanna. “Aku janji.”

“Janji kamu tidak akan pernah meninggalkanku?”

Nanto sedikit terkejut, tapi ia kemudian tersenyum. Kalimat itu bisa punya banyak arti kan? Tidak selalu berarti asmara. Ia mengangguk. “Janji.”

Kelingking mereka terkait.

Posisi duduk sangat dekat.

Wajah mereka sangat dekat.

Nanto mengejapkan mata. Hanna ternyata memang sungguh cantik bahkan ketika tanpa make-up seperti saat ini, terasa lebih natural. Tubuhnya juga luar biasa indah, apalagi jika mengenakan piyama kekecilan yang membuat dadanya menjadi lebih sentosa. Wanita ini teramat indah, jadi tidak heran jika sebenarnya banyak orang akan memperebutkan cintanya. Nanto benar-benar heran pada Glen. Kenapa yang seperti ini disia-siakan? Apa salah Hanna?

Untuk sesaat Nanto terpesona tanpa menyadari bahwa posisi mereka terlalu dekat. Dia lupa kalau dia hanya manusia biasa, laki-laki biasa, yang tak bisa mengatakan tidak di hadapan seorang wanita jelita. Bahwa mereka hanyalah anak manusia, yang lemah dan tak berdaya di bawah panah asmara dewa cinta.

Hanna mendekat dan melakukannya.

Bibir mereka bertemu.

Sengaja? Seharusnya tidak. Mereka terbawa suasana.

Tapi mereka berdua memejamkan mata.

Bibir bertemu bibir, saling mengelus, saling menuntut, mendamba, mengecup, dan mencinta. Bibir si bengal menangkup bibir sang wanita jelita yang seharusnya tidak ia cium. Kalau ini kesalahan, maka kesalahan ini berlangsung cukup lama.

Kinan.

Nanto terbelalak. Matanya tiba-tiba terbuka. Gerbang pertama!? Gerbang pertama mengingatkannya pada Kinan? Nanto mundur sedikit dan melepas ciuman dari Hanna. Entah bagaimana gerbang pertamanya tiba-tiba aktif. Apa yang terjadi?

Hanna juga langsung tersadar dari apa yang dilakukannya.

“As-astaga! Ma-maaf... aku...” Hanna terbata-bata dan mundur dengan kikuk.

Nanto juga salah tingkah, “aku yang seharusnya minta maaf.”

“A-aku tidak... maksudku... aku seharusnya sadar diri...” Hanna menepuk kepalanya sendiri dengan kencang sekali, lalu ketika ia hendak melakukannya lagi, tangan Nanto sudah melindungi kepala sang dara.

Si Bengal tersenyum, “kenapa merasa bersalah jika tak ada yang salah.”

“A-aku... aku lupa kalau sekarang kamu sudah bersama Kinan, Mas. Aku terbawa suasana, jadi aku minta maaf. Sungguh aku minta maaf. Aku terbawa suasana.” Hanna tahu dia menyukai Nanto, itu bukan rahasia lagi. Tapi tidak seperti tadi juga caranya. Duh, maaf, Kinan.

“Tidak apa-apa.” Nanto tersenyum, “aku juga melakukan kesalahan yang sama.”

Hanna mengangguk lemas. Seluruh jiwanya bagaikan lepas dari tubuhnya, semangatnya hilang, wajahnya kuyu, dan badannya ambruk ke pembaringan. Dia pasti sedang merasa bersalah. Nanto melihat perubahan di wajah sang bidadari jelita itu dan mendesah panjang, mungkin dia harus melakukan sesuatu yang sedikit ekstrim untuk membantu gadis itu kembali ceria. Mungkin untuk sekali ini saja.

Maaf Kinan.

“Hanna.”

“Hmm?” mata sedih Hanna menatap Nanto yang masih tersenyum. Wajah si Bengal sangat dekat dengannya.

“Eh? Mas...?”

Hmpphhh!

Kali ini giliran Nanto yang mencium Hanna.

Meski awalnya terbelalak, kini Hanna memejamkan mata, lalu mengalungkan lengannya pada si Bengal. Betapa sejak lama ia menginginkannya.

Mereka pun kembali saling adu bibir, meski sekarang berbeda – hanya seperti kecupan lembut yang mengelus perlahan dengan penuh rasa sayang. Bukan lumatan penuh nafsu seperti sebelumnya. Ciuman itu tidak berlangsung lama.

Nanto menarik bibirnya.

Hanna membuka mata dengan wajah merah padam. Dia sama sekali tidak menduga Nanto akan menciumnya. Tapi dia juga tidak keberatan sebenarnya. Keduanya berpandangan, lalu saling tersenyum. Nanto mengecup ujung dahi Hanna, membuat wajah gadis itu kembali memerah.

Si Bengal lantas berdiri dan meninggalkan kursi di samping pembaringan Hanna. Ia melangkah pergi, masih terdiam seribu bahasa.

Hanna berdehem, mencoba menetralkan suara. “Mau ke mana, Mas?”

“Aku keluar sebentar. Mau beli nasi goreng di depan. Jangan khawatir, aku pasti balik lagi ke sini. Kalau mau tidur, tidur aja dulu.”

Hanna mengangguk.

Nanto pun melangkah menuju pintu depan. ia belum lagi sampai di depan pintu ketika terdengar suara Hanna dari pembaringan.

“Mas...”

“Ya?”

Hening sejenak.

“Aku minta maaf buat yang tadi...”

“Kan aku sudah bilang kalau...”

“...tapi aku tidak menyesal.”

Si Bengal terkaget sesaat, tapi ia lantas menengok ke arah Hanna di pembaringan. Nanto hanya membalas dengan satu kalimat. “Aku tidak tahu harus ngomong apa.”

“Tidak perlu ngomong apa-apa. Aku tahu kok, saat ini kamu sudah punya kekasih dan tidak mungkin berpaling hati. Aku paham sekali situasinya. Aku juga paham kalau Kinan gadis yang sangat manis dan baik. Jaga dia selalu, Mas. Sayangi dan lindungi dia. Kamu sudah mendapatkan yang terbaik, kewajibanmu adalah untuk mempertahankannya.”

Nanto menatap Hanna dan tersenyum, “pasti.”

“Kinan sangat beruntung.” Hanna mengedipkan mata.

Nanto tertawa, “mudah-mudahan.”

“Ada satu lagi, Mas.”

“Apa itu?”

“Ehmm...”

Nanto menatap Hanna. Gadis itu balas menatap si Bengal.

“Rasaku padamu juga sebesar Kinan, meski mungkin tak berbalas. Tapi tidak mengapa. Aku ingin mempertahankannya selama yang aku bisa jika kamu mengijinkan.”

Nanto sekali lagi tertegun. Lagi-lagi lidahnya kelu, ia tak bisa berucap.

Si Bengal hanya diam tanpa bicara, ia tersenyum dan mengangguk. Si Bengal lantas benar-benar melangkah ke arah pintu, membukanya, lalu melangkah keluar, dan menutupnya dengan lembut. Perasaannya campur aduk.

Di dalam kamar, Hanna menenggelamkan kepalanya di atas bantal, menghalangi airmatanya tumpah kemana-mana. Ia memejamkan mata. Jemarinya memegang bibir dengan lembut.

Cukup rasanya.

Untuk saat ini sudah cukup.

Terima kasih.





.::..::..::..::.





Asty sempat merasa dunianya seakan runtuh.

Sejak mengalami kejadian tidak menyenangkan hampir diperkosa oleh Reynaldi, ia berturut-turut harus kehilangan pekerjaan, kehilangan pacar berondongnya si Nanto yang direbut oleh anak gadis orang, kehilangan pula rasa nyaman dan aman yang membuat dirinya insecure.

Tapi ya ambil positifnya saja, dia bisa beristirahat sejenak, tidak bekerja untuk sementara waktu, dan merawat anak semata wayangnya dengan lebih baik. Jika nanti memang harus, dia bisa saja mencari pekerjaan lain. Melamar menjadi guru di tempat lain. Memang harus mulai beradaptasi lagi, tapi setidaknya dia masih punya banyak opsi. Kalaupun hanya jadi ibu rumah tangga, suaminya sepertinya masih mampu.

Asty benar. Soal pekerjaan memang dia punya banyak opsi.

Tapi soal hati dia benar-benar sakit hati.

Nanto... kenapa dia tega sekali?

Kenapa dia menduakannya?

Kenapa dia...

Eh.

Bukankah dia sendiri yang sepanjang waktu selalu menduakan si Bengal? Bagaimana mungkin ia berharap lebih pada kekasihnya yang lebih muda dan sedang menjalani kehidupan barunya? Tentu saja Nanto akan bertemu dengan teman lain, dengan wanita lain, dengan ranjang yang lebih hangat, dan lebih harum.

Bagaimana mungkin ia tak pernah membayangkan perasaan Nanto yang setiap malam harus merasakan sakit ketika Asty tidur seranjang dengan suaminya? Bermain cinta dengan suaminya? Tentu saja si Bengal akan berpikir dua kali untuk terus menerus menjalani hidup berbagi hati seperti itu.

Argh.

Capek banget mikir gituan.

Hmm.

Kalau Nanto memang sedang berasyik masyuk dengan cewek lain, ya sudah biar saja. Kalaupun nanti dia bosan dengan ceweknya atau dia sange karena sudah lama tidak ketemu Asty, maka ibu muda itu akan mempertimbangkan apakah si Bengal layak atau tidak naik kembali ke atas ranjangnya. Asty terkikik geli. Duh, kayak anak muda saja, bingung masalah cinta. Padahal di rumah sudah menunggu suami dan anaknya.

Tapi...

Rasa-rasanya akan seru juga kalau tiba-tiba saja Asty datang tanpa kabar ke cafe tempat si Bengal bekerja. Apalagi kalau ada ceweknya, seperti apa salah tingkahnya tuh Nanto? Asty tertawa geli. Ya... ya... mungkin suatu saat nanti. Kalau sekarang-sekarang, biarlah dia menikmati bulan madu dengan cewek barunya. Kita lihat saja nanti apakah Nanto masih tergoda pada dirinya. Yang jelas, Asty selalu kangen setengah mati padanya.

Jadi bersiaplah, wahai kaleng sarden! Tidak ada yang bisa pergi dari Asty dengan mudah!

Asty kembali terkikik geli.

Ah, sudah, kembali ke pekerjaan.

Meski bekerja di rumah, bukan berarti Asty lantas diam dan tak produktif. Ibu muda itu meletakkan secangkir coklat hangat yang baru saja ia buat di atas meja dapur. Ia duduk di kursi dan membuka laptop yang sudah teronggok di sana sejak tadi. Asty membuka email untuk menemukan email baru dari butik batik dan pakaian jadi yang menanyakan harga paket endorse untuk instagram-nya. Asty pun tersenyum.

Tuh kan? Selalu ada jalan. Yang penting percaya dan berdoa.

Si cantik itu pun tersenyum sembari membalas satu persatu email.

Smartphone di samping laptop Asty bergetar, ada WhatsApp masuk. Tidak ada suara notifikasi karena Asty memang sengaja menonaktifkan mode suaranya. Ibu muda yang cantik itu pun melirik ke arah notifikasi di layar depan dengan alis mata hampir menyatu. Dari siapa nih? Nomernya tidak dikenal.

Tapi yang begini malah bikin penasaran, jangan-jangan dari klien endorse-nya? Asty pun membukanya. Ternyata hanya teks saja.

Seandainya ini kamu.

Hah? Apa maksudnya?

Tak lama kemudian muncul pesan baru.

Suatu saat nanti kamu yang akan berada dalam pelukanku. Kamu yang akan takluk dan menjadi milikku.

Orang gila! Asty mendengus kesal. Dia memang tidak tahu siapa pemilik nomer yang mengirimkan pesan gila ini, tapi dia punya bayangan siapa orangnya. Jangan-jangan si brengsek itu! Si brengsek yang telah membuatnya keluar setelah bertahun-tahun mengabdi sebagai guru BK SMA Cendikia Berbangsa!

Sekali lagi muncul pesan. Kali ini berupa foto.

“Gyaaaah!” kaget Asty saat membukanya.

Foto itu adalah foto seorang wanita berambut panjang sebahu yang sedang berada dalam pelukan seorang laki-laki. Wanita itu sedang merasakan hal yang luar biasa nikmat terlihat dari ekspresinya. Tidak heran karena selangkangannya sedang dikobel oleh jemari sang pria.

Asty terbelalak dengan foto mesum itu. Karena wanita yang ada dalam foto itu... wanita itu adalah Bu Nayla! Guru muda dari SMA CB!

Satu pesan lagi masuk.

Menurutmu bagaimana jika suami Nayla melihat foto ini ya? Atau orang tua murid yang anak-anaknya diajar oleh Nayla sebagai wali kelas? Pasti seru sekali kalau foto ini sampai viral di luar sana. Karir Nayla pasti hancur, keluarganya malu, kenalannya malu, orang tua yang diajar jijik padanya, sekolah pun menanggung malu.

Bangsat ini!! Apa sebenarnya yang dia inginkan!?

Satu pesan lagi masuk.

Kamulah penyebab kehancuran Nayla. Kalau saja kemarin memek kamu diserahkan ke aku, Nayla tidak akan menerima akibatnya. Aku melampiaskannya ke Nayla karena gagal ngewe sama kamu. Semua kekesalanku aku timpakan ke Bu Nayla, aku menyimpan banyak sekali foto telanjangnya yang tidak ia ketahui sama sekali.

Asty geram sekali, sudah pasti pengirim pesan ini adalah si Rey busuk itu! Tega-teganya dia menghancurkan karir dan rumahtangga Nayla! Asty sudah gatal sekali ingin membalas dengan mengata-ngatainya, tapi urung ia lakukan. Ia tidak ingin jatuh ke perangkap si Rey. Kalau dia membalas, berarti Rey yang menang. Diam, Asty hanya harus diam saja. Setelah ini, Asty harus ganti nomor ponsel. Harus!

Satu pesan lagi masuk.

Aku akan mengirim terus foto-foto seperti ini. Aku akan menghancurkan satu persatu hidup, keluarga, dan karir teman-temanmu di SMA CB. Aku akan menghancurkan satu persatu hidup, keluarga, dan karir orang-orang yang kamu sayangi, siapapun itu. Berkas-berkasmu masih ada di HRD, aku bisa dengan mudah melacak. Entah itu saudara kamu, teman kamu, ipar kamu. Aku tak peduli. Semua akan aku incar dan taklukkan, yang tidak bisa aku rayu akan aku perkosa sampai menurut. Cara menyelamatkan mereka hanya satu. Kamu datang padaku untuk minta dientotin.

Foto-foto Nayla yang tengah bersetubuh dengan seorang pria yang tak pernah memperlihatkan wajahnya muncul silih berganti di ponsel Asty. Dengan geram ibu muda yang cantik itu pun melakukan hal yang seharusnya ia lakukan sejak tadi. Memblokir nomor itu.

Usai memblokir nomor, Asty mematikan ponsel dan menjauhkannya dari laptop.

Ia menangkup wajah di telapak tangannya, batinnya melayang, perasaannya meradang. Ia ketakutan. Bahkan keluar dari sekolah pun tidak cukup aman? Masih juga Rey mengirimkan ancaman. Apa yang harus Asty lakukan? Hanya terbayang satu jawaban, hanya ada satu orang yang bisa menyelamatkan.

Hanya dia.

Sayang... aku butuh kamu.





.::..::..::..::.





“Terima kasih, Pak.”

“Sama-sama, cantik. Betah banget kalau jajan di sini kasirnya cakep banget.”

“Ah, Bapak bisa saja. Itu istri Bapak yang sedang nungguin di luar juga cantik banget.”

“Pastinya.” Melihat istrinya yang di luar sudah berkacak pinggang sambil melotot, sang Bapak buru-buru bergegas. “Makasih ya, Mbak.”

“Sama-sama, Pak.”

Dinda tersenyum manis pada salah seorang pelanggan yang mengajak sanak saudaranya makan di warung yang dikelola oleh Dinda dan keluarga. Baru juga mulai buka, tapi stock sudah mulai menipis. Senangnya kalau seperti ini terus, tidak perlu sampai tengah malam untuk berjualan dan menghabiskan barang dagangan karena semua sudah habis sejak sore. Hari ini sepertinya mereka akan tutup lebih cepat, prediksi sementara melihat kondisi warung yang ramai, di luar banyak ojek online mengantri pesanan, dan pengunjung juga terus berdatangan.

Bersyukur sekali Dinda.

Kondisi ramai seperti ini setidaknya bisa membuat dia melupakan semua rancangan pernikahan yang belum matang betul. Capek kalau mikirin rencana pernikahannya karena dia belum ketemu lagi dengan Mas Amar dan jujur agak segan kalau menghubunginya melalui telepon. Chat pun sangat jarang – meski akhir-akhir ini jauh lebih sering untuk belajar memberi perhatian pada sang calon suami. Agak awkward ngobrol dengan Mas Amar.

“Cieee... yang calon pengantin baru. Kerjanya giat banget kejar setoran.” Salah seorang teman kerja menggoda Dinda. “Buat bayar gedung manten ya?”

“Woy, kerja kerja, jangan godain. Itu meja empat minumannya masih belum, es jeruk sama es tape. Meja lima es teh empat. Hayooo hap hap. Kerja cepat, pulang cepat.”

“Siap, Mbake. Eh omong-omong, emang bener ya kata orang jaman dulu.”

“Apa tuh?”

“Kalo udah mau nikah itu, cewek jadi kelihatan makin cantik.”

“Es teh empat, es jeruk sama es tapeeeeee!!”

“Hahaha, siaap.”

Seorang pria masuk ke warung dan maju ke depan kasir. Dinda yang tenggelam dalam hitung-hitungan di nota segera menarik menu dari meja di samping, lalu melengkapinya dengan potlot sebelum akhirnya diserahkan pada sang tamu. “Silahkan ditulis mau pesan apa aja.”

“Aku mau kamu.”

Dinda tergelak, “Seriusan, Mas.”

“Aku serius. Aku mau kamu.”

Dinda terdiam. Suasana warung cukup ramai, jadi dia harus benar-benar fokus untuk mendengarkan suara orang yang sedang berada di depannya. Masalahnya adalah dia ternyata mengenal suara itu. Dinda mengalihkan perhatian dari catatan nota yang menumpuk, lalu memperhatikan ke depan.

Dinda tersentak sembari menutup mulut karena terkejut.

“M-MAS DEKA?”

Deka terengah-engah. Ia melepaskan helmnya dengan sangat terburu-buru, menunjukkan wajahnya yang basah berbasuh keringat. Entah sudah ngebut dengan kecepatan berapa kilometer per jam dia untuk sampai di tempat ini dengan cepat, lintas kota, lintas provinsi.

Suara kencang Dinda membuat beberapa orang karyawan dan pengunjung warung terdiam seperti seakan-akan waktu terhenti dan detak jam tak lagi berbunyi. Mereka menatap Deka, lalu menatap Dinda, lalu saling berpandangan dengan heran. Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa berada di sini malam-malam?

Deka melemparkan helmnya.

“Aku tidak bisa tidur, aku tidak bisa tenang, aku tidak bisa berpikir dengan jernih saat mengingatmu, saat membayangkan wajahmu, saat tahu kamu menerima lamaran Amar. Aku harus bagaimana, Din? Tolong jawab pertanyaanku, aku harus bagaimana?”

“Mas Deka. I-ini bukan waktu yang tepat, kita di warung dan pengunjungnya...”

“Aku tidak peduli. Aku tidak peduli lagi bahkan kalau untuk mengatakan ini aku harus mati. Aku bisa gila jika tidak bisa menemuimu sekarang dan mengatakan hal yang seharusnya sejak dulu aku katakan. Din, ada banyak hal yang harus aku sampaikan ke kamu, ada banyak hal yang harus aku jelaskan ke kamu, ada banyak cara, dan ada banyak kemungkinan... mungkin semua itu sebelumnya tersimpan di alam bawah sadarku, atau aku menahannya tanpa sadar dalam hati, tapi aku sudah menyerah, aku tak mau menyimpan apa-apa lagi. ini saatnya, sekarang waktunya. Aku tidak peduli lagi. Aku tidak bisa hidup sepert ini.”

“Mas...” karena khawatir akan menimbulkan keributan, Dinda segera melirik ke rekan-rekan kerjanya dan memberikan kode supaya mereka menggantikannya di kasir. Untunglah mereka paham dan segera pindah posisi.

Dinda menggandeng Deka keluar dari warung – ke sebuah tempat yang sepi dan tenang, di sudut halaman rumah Pakde Wid. Jauh dari hiruk pikuk warung supaya tidak menimbulkan adegan drama yang lebih gawat lagi dan mengundang perhatian yang tidak perlu.

“Mas Deka ngapain sih? Kenapa ke sini malam-malam? Keringatan seperti itu pula? Mas Deka ngebut? Ya ampun...” Dinda buru-buru mengambil tissue yang selalu ia bawa di kantong, mengambilnya beberapa lembar dan mulai mengelap keringat yang turun. “Besok pagi kan juga bisa, Mas. Tidak perlu ke sini sekarang. Kita bisa membicarakan ini lewat...”

“Din!”

Deka mencengkeram pergelangan tangan Dinda. Gadis itupun terkejut sembari menatap mata serius Deka. Kenapa Deka bisa seperti ini?

“I-iya Mas?”

“Batalkan rencana pernikahanmu dengan Amar.”

“Hah!? Ga bisa, Mas. Orangtuaku sudah...”

“Batalkan!”

“Mas... tidak bisa semudah itu, Mas Amar kan sudah berbicara langsung dengan...”

“BATALKAN!!”

“Ta-tapi Mas Amar...”

“Aku yang akan bilang ke Amar!!”

“Ta-tapi kenapa...?” gemetar Dinda mendengar suara Deka yang juga tak stabil. Wajah pria yang menjadi teman kecilnya itu tidak main-main. “Kenapa harus dibatalkan? Apa ada yang salah dengan pertunanganku dan Mas Amar?”

“Batalkan, Din.”

“Kamu datang kesini cuma mau bilang begitu saja? Jangan becanda, Mas!” Dinda menggelengkan kepala sembari mendengus kesal, ia mencoba melepas tangan Deka dari pergelangan tangannya, “Mas Deka kan sudah bertunangan juga. Jadi tahu kan bagaimana rasanya kalau tiba-tiba saja ada orang yang datang hanya untuk menyuruh membatalkan pernikahan tanpa alasan yang jelas?! Mas, kalau ini prank, becandanya tidak lucu!”

“Aku tidak becanda, Din.”

“Lalu apa ini? Kenapa Mas Deka ngotot...”

“Karena aku cinta sama kamu! Selama ini aku selalu cinta sama kamu!!”

“HAH!?”

Mulut Dinda terbuka lebar, matanya terbalalak, dan seluruh tubuhnya kaku bak sedang direndam dalam freezer raksasa. Dinda menggelengkan kepala, berat sekali rasanya tapi dia menggelengkan kepala. “Ini tidak mungkin... ini tidak mungkin...”

“Din... aku...”

“Jangan main-main, Mas!”

“Aku tidak main-main!”

“Kenapa Mas Deka tega sekali mengatakan itu saat aku mau menikah, Mas? Kenapa Mas?”

“Karena aku cinta sama kamu, Din. Sungguh. Bodohnya aku yang baru menyadari itu.”

“Mas Deka tahu berapa lama aku menunggu Mas mengatakannya?”

“Maaf... aku terlambat...”

“Mas Deka tahu betapa sakit rasanya aku harus memendam perasaan saat membayangkan Mas Deka berduaan dengan Mbak Ara jauh di sana sementara aku di sini merana sendiri?”

“Aku tahu sekarang...”

“Jadi Mas Deka tahu ini semua gila? Menjelang pernikahanku, Mas! Kenapa baru sekarang?”

“Din...”

“Tidak. Tidak. Tidak... ini konyol! Ini konyol, Mas! Kita tidak sedang main-main ini, Mas!”

“Aku tidak main-main, Din. Aku benar-benar cinta sama kamu.”

“Aku dan Mas Amar sudah... Mas Deka dan Mbak Ara juga sudah... aduh... gimana sih ini?”

“Din... ayo kita temui mereka dan bicarakan ini semua baik-baik. Paling tidak kita ceritakan apa adanya saja. Kalau kita sama-sama tidak bisa melanjutkan pertunangan dengan mereka berdua karena sesungguhnya kita saling mencintai. Bagaimana?”

“HAH!?” kembali Dinda melotot, “Mas Deka sehat? Ide gila dari mana lagi itu, Mas? Mas Deka sadar tidak sih ngomong apa barusan?”

“Sadar sepenuhnya.”

“Gimana bisa sadar sepenuhnya! Itu namanya cari mati, Mas!”

“Kalaupun harus mati, aku tidak mengingkari hati.”

“Kenapa Mas semudah itu berpaling dari Mbak Ara, Mas? Kenapa?”

Deka terdiam. “Mungkin... mungkin karena sejak dulu... Ara sebenarnya masih sayang sama sosok lain. Aku seharusnya tidak...”

“Jangan mencari cocoklogi, Mas. Kamu pernah mencintainya.”

“Din.”

“Hmm?”

“Ayo kita temui mereka.”

Dinda memejamkan mata, ia menghela napas panjang.





.::..::..::..::.





“Tenangkan pikiran, kendalikan perasaan, kosongkan diri, lancarkan arus hawa hangat yang terasa, istirahatkan hati, jaga kondisi, bangunkan energi negatif, tidurkan energi positif. Saat seseorang hendak bermeditasi, hendaknya mengosongkan pikiran dan tidak mengusung beban apapun, lepaskan semuanya. Masuk ke mode pasrah. Setelah siap barulah mulai teknik pernapasan, lakukan dengan tenang, tidak perlu grusa-grusu, tidak ada yang mengejar. Beri waktu pada tubuh untuk bereaksi secara natural.”

Suara itu bak pemandu yang menyampaikannya sangat dekat dengan hati.

Si Bengal mengikuti apa yang diperintahkan. Dia bagai dibawa ke sebuah dunia yang berbeda, gelap dan terang bersamaan, pahit dan manis saling bercampur, senang dan sedih berpadu-padan. Ia melihat wajah-wajah yang kenal dan tidak ia kenal, bergantian menyambut dan menatapnya aneh. Saling silang gambaran kehidupan.

Ada perasaan berbeda, ada hawa yang menyeruak naik, meski tidak sempurna. Ada yang dilancarkan, tapi ada juga yang masih tertahan.

“Tidak perlu dipaksakan, lakukan semuanya dengan natural.”

Kembali suara itu memberi kendali. Tarikan napas bak energi yang membuat roda mesin dalam tubuh bergerak sesuai keinginan. Ikuti alur dan sebarkan energi ke seluruh tubuh sebisanya seadanya, tidak dipaksa, tidak memaksa.

Nanto duduk bersila di atas lantai beralaskan koran. Matanya terpejam, tangan di atas lutut dengan telapak terbuka ke atas, ujung jempol bertemu ujung jari tengah sementara jari lain direnggangkan. Suasana tenang, jiwa nyaman. Si Bengal menyelami potensi dalam dirinya, menjelajah tenaga yang tersimpan dan menyalurkannya ke seluruh tubuh.

Tapi dia sedang tidak sendirian.

Di depan si Bengal Om Janu duduk santai di kursi. Di kanan Om Janu, ada Kinan yang duduk lesehan dan memperhatikan kekasihnya sedang berlatih. Lalu di atas pembaringan rumah sakit tentunya ada Hanna. Ya, saat ini mereka masih berada di rumah sakit di kamar Hanna.

Om Janu memberi masukan.

“Sejak awal selalu ingat untuk relax, tidak perlu konsentrasi yang berlebihan. Karena apa-apa yang berlebihan itu justru tidak baik. Konsentrasi pun sebaiknya dipusatkan pada perut. Oke? Kita lanjut, tanpa menahan napas, tarik udara melalui hidung. Pada saat menarik napas, perut akan bergerak, itu normal saja. Saat melepas udara, kembali lepaskan juga melalui hidung – ingat tanpa menahan napas ya – saat melepaskan udara, habiskan udara yang ada di perut, kempiskan, tekan. Lakukan dengan relax dan santai, tanpa ada tekanan. Lama kelamaan akan muncul hawa hangat pada dirimu, pelihara itu baik-baik. Salurkan ke sekujur badan sebisamu. Itu teknik pernapasan melalui perut.

“Ada teknik berikutnya yaitu menggunakan dada. Secara teknik hampir mirip, tapi kali ini setiap kamu selesai menarik napas, hembuskanlah pelan-pelan melalui mulut. Saat menarik napas dada akan terangkat. Tahan sebisanya tanpa paksaan, tidak perlu terlalu lama, lalu hembuskan melalui mulut dan lepaskan tekanan di dada setelahnya. Ingat untuk tidak menahan udara di ada, bukan di perut.

“Latihan pernapasan berikutnya adalah menggabungkan kedua teknik sebelumnya dengan fokus pada ulu hati. Pada teknik ini baik perut maupun dada akan sama-sama bergerak, sehingga dipusatkan konsentrasi ke arah tersebut. Sekali lagi ini semua dilakukan dengan santai dan nyaman. Tidak terburu-buru. Lakukan selama dua puluh hingga tiga puluh menit.”

Nanto membuka mata dan tersenyum, ia mengangguk.

“Siap, Om. Sebelumnya terima kasih banyak atas kedatangan om Janu kemari, sungguh saya bersyukur bertemu dan mendapatkan kawruh yang berharga. Banyak sekali masukan yang saya dapatkan dari Om. Apalagi sama sekali tidak menyangka sama sekali ternyata kita masih ada hubungan keluarga, Om,”

“Sama-sama. Justru karena kita masih ada hubungan keluarga, tentunya harus saling dukung. Aku melihat ada kendala di penyebaran Ki-mu. Harusnya katup energi itu tidak tertutup, yang keluar tidak sebanding dengan yang disimpan, padahal sudah dikeluarkan sekuat tenaga. Mudah-mudahan dengan cara-cara ini, kamu nantinya bisa sedikit banyak melepas energi yang tersimpan itu, meski untuk membuka keseluruhan agak susah jika memang ada menyegel. Luar biasa kemampuan orang yang mampu melakukan hal itu.” kata om Janu. “Kidung Sandhyakala sebenarnya tidak dipelajari secara khusus oleh trah Watulanang saja, tapi ada beberapa keluarga lain yang juga mempelajarinya. Namun berkat energi khusus dan tenaga murni yang dimiliki oleh Eyang Leluhur kita, maka secara turun temurun hanya trah Watulanang saja yang dapat menguasai sebagian besar dari ilmu ini secara utuh dan natural per ayatnya.”

“Benar sekali, Om. Saya pernah mendengar cerita itu dari Kakek. Beliau bilang hanya trah Watulanang saja yang bisa secara utuh mempelajari Kidung karena memang ada garis jodoh antara ilmu tersebut dan keluarga kita.”

Om Janu manggut-manggut. “Kakekmu itu luar biasa. Om pernah bertemu dengannya, memang kawruh dan kemampuannya di atas langit, beliau mampu melakukan hal-hal di luar nalar yang Om sendiri sampai saat ini tidak paham bagaimana caranya.

“Nah kembali lagi ke latihan, tentu saja melatih ilmu kanuragan dengan hanya ilmu pernapasan saja tidak akan berhasil, harus dilengkapi dengan olah fisik, dan kemampuan mengembangkan diri secara aktif kreatif.”

“Iya, Om.”

“Mulai sekarang, setiap kamu lari pagi – temui Om di tempat kita pertama kali dulu bertemu. Om akan mengajarkan cara berlatih fisik khusus untuk mengembangkan Kidung Sandhyakala-mu.” Ucap om Janu dengan senyum lebarnya. “Kita tembus semua gerbang dengan lebih baik.”

Nanto berseri-seri, wah ini nih yang dia tunggu. “Siap, Om.”

“Tambah sibuk aja, Mas.” Hanna mengedipkan mata, “sejak pulang kembali ke kota ini – Mas Nanto sepertinya tidak pernah berhenti mendapatkan pengalaman baru dan terus berlari. Selalu saja ada kesempatan yang datang untuk mengembangkan diri. Luar biasa, salut aku, Mas.”

Nanto tertawa, “aku hanya beruntung saja.”

Om Janu mengangguk, “seperti memang sudah digariskan, ya?”

“Betul, Om. Sebenarnya aku memang sangat sibuk, ada saja masalah dan urusan yang datang. Tapi prinsipnya satu. Hadapi satu-persatu masalah itu, jangan semua dipikirkan bersamaan. Yang ada hanya kacau di kepala.”

Om Janu melirik ke arah Kinan dan Hanna. “Kalau kalian?”

Hanna dan Kinan saling berpandangan.

“Err, kami kenapa, Om?” tanya Kinan bingung.

“Berminatkah kalian berlatih ilmu bela diri? Terutama kamu Hanna.” om Janu tersenyum, “Sebagai wanita yang rentan bahaya, kalian setidaknya dapat belajar ilmu dasarnya. Supaya kalian tahu caranya bagaimana menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan melatih teknik dasar mempertahankan diri, kalian akan paham kondisi dan bisa mencegah kejadian tersebut sebelum terjadi sekaligus membalikkan serangan pelakunya jika memungkinkan.”

Kinan dan Hanna saling berpandangan lagi, lalu memandang ke arah Om Janu dengan wajah gembira. Hampir serempak mereka mengiyakan, “Mau Om!”

Om Janu tertawa, ia mengedipkan mata pada si Bengal, “nah sepertinya tugasmu bertambah lagi. Kamu akan jadi asistenku mengajari mereka bela diri. Setiap pagi, ajak mereka lari pagi.”

Nanto tertawa, “wadidaw jiwa.”

“Tidak perlu belajar Ki atau teknik yang terlalu rumit, hanya teknik-teknik dasar bela diri, terutama untuk melindungi diri atau mempertahankan diri dari serangan lawan,” ujar Om Janu. “Semua anak-anak Om dan tentunya istri Om sudah belajar teknik bela diri sejak dini.”

“Waaah, mau, Om.” Hanna mengangguk.

Hanna mengedipkan mata pada Nanto.

Kinan melihatnya. Ia langsung protes sambil berdiri dan berkacak pinggang. “Hwaaaaaaa! Heh! Mbak Hannaaaaaa! Apa itu kedip-kedip genit sama Masku!! Pelanggaran!! Kartu merah!! No no no!

Mereka tertawa.

Sore menjelang, perlahan mengganti hari menjadi malam.





.::..::..::..::.





Suasana tawa tidak terjadi di sebuah kamar rawat inap yang berada di rumah sakit lain. Seperti seharusnya kamar sebuah rumah sakit, ada muram, ada sepi, dan ada wajah-wajah kuyu, lelah, dan nasib yang berada di ambang batas ketidaktahuan.

Darsono selalu tersenyum saat melihat kehadiran Lek Suman. Dia memang masih belum bisa banyak berbicara ataupun bergerak bebas, tapi dengan senyumannya yang khas itu bisa dipastikan kalau Darsono masih belum finish. Masih ada harapan baginya untuk bangkit dan dengan bangkitnya Darsono, maka bangkit pula KSN.

Bagi Lek Suman, semuanya adalah efek domino yang harus disegerakan. Dia tidak bisa membiarkan KSN layu sebelum berkembang.

Lek Suman menepuk pundak Darsono perlahan. “Wes ya, sudah sore ini, aku sudah seharian di sini. Aku pamit dulu, masih ada kerjaan. Dibikin tenang saja. Semua sudah ada jalannya. Joko Gunar sudah mengirim orang untuk sementara menjabat sebagai pimpinan, kamu tenang saja.”

Darsono bergumam tanda ia paham.

Lek Suman tersenyum dan berjalan tertatih dengan tongkatnya, meninggalkan Darsono yang sudah memejamkan mata. Setelah bangkit dari koma dan kondisinya mulai membaik, Darsono memang dipindahkan dari ruang ICU ke kamar VIP. Dengan begini mereka lebih mudah berinteraksi.

Saat pergi meninggalkan kamar, ia berpapasan dengan seorang perawat pria yang sibuk menulis catatan di kertas sembari membawa alat ukur tekanan darah. Perawat itu masih muda.

Melihat seorang muda bekerja, Ia jadi teringat pada Oppa – ketua sementara dari KSN yang masih berusia muda, bahkan masih berstatus mahasiswa. KSN telah menderita kekalahan telak dari Aliansi, sehingga posisi mereka sekarang hidup segan mati tak mau. Harus ada jalan untuk membangkitkan kembali KSN dan menguasai wilayah utara dengan menyingkirkan Aliansi. Harus ada cara. Cara itu tentu saja tidak akan didapatkan jika meletakkan seorang muda di pucuk piramid kepemimpinan. Dia harus segera menempatkan orang yang tepat di sana.

Beruntung Joko Gunar sudah memberikannya orang itu.

Laki-laki tua itu membuka ponsel, tangannya yang keriput kemudian mencari nama Oppa di daftar kontak dan memencet nomernya. Ia meletakkan ponsel itu di telinga, menunggu sejenak. Dua kali terdengar dering, baru akhirnya tersambung.

“Selamat siang, Lek. Ada yang bisa saya bantu?” sopan Oppa menyapa di ujung sana.

“PSG sudah memberikan persetujuannya untuk mengirim orang sebagai pimpinan baru KSN, namanya Arhan Gunadi, aku sudah sering bertemu dengannya, dia orang yang tepat – selama ini dia memimpin unit PSG di kawasan barat. Dia akan bertindak sebagai ketua sampai nanti Darsono sehat kembali. Tolong berikan sambutan saat dia datang ke Ndalem Banjarjunut nanti. Kumpulkan semua kapten.”

“Siap laksanakan, Lek.”

“Sama satu lagi. Ada satu hal lagi yang harus kau kerjakan, le.”

“Apa itu?”

“Aku ada perasaan tidak enak tentang keberadaan Darsono di sini, sepertinya akan ada yang berbuat aneh-aneh. Coba kamu kirimkan salah satu kapten untuk berjaga-jaga di rumah sakit seminggu ke depan, kirim dua tiga orang setiap hari menemaninya. Harus ada kapten yang berjaga, jangan hanya kamu kirim prajurit kelas teri. Kirim satu unit malam ini juga.”

“Siap laksanakan, Lek.”

“Oke begitu saja. Terima kasih.”

“Sama-sama, Lek.”

Bunyi telepon ditutup.

Lek Suman berjalan pelan menuju ke arah lift untuk turun ke lantai bawah. Entah kenapa jantungnya terasa berdetak sangat kencang, seperti ada perasaan tak nyaman. Ia menengok kembali ke kamar Darsono.

Kenapa ya?

Perasaan yang tidak nyaman membuat Lek Suman merasa perlu menengok Darsono sekali lagi. Tidak apa-apa, sekedar ingin melihat anak asuhannya itu.

Dengan langkah tertatih, ia kembali ke kamar Darsono. Perasaan anehnya benar-benar menghebat. Mungkin untuk sementara waktu ia bisa berjaga di sini sampai nanti ada orang yang dikirim oleh Oppa. Belum sampai ia ke arah yang dituju, pintu terbuka dan perawat yang tadi masuk ke kamar keluar.

Ia tersenyum pada Lek Suman dan melanjutkan jalannya.

“Berapa tensinya, Mas?” tanya Lek Suman.

Perawat itu menghentikan langkahnya, membalikkan badan dan melihat ke dalam kertas catatan. “Untuk tekanan darahnya normal, mungkin agak tinggi tapi masih dalam taraf kewajaran.”

“Syukurlah kalau begitu.”

“Mungkin sebaiknya Bapak cek kembali kondisi pasien,” perawat itu melirik ke arah Lek Suman, “Karena jujur saja, tidak akan ada yang selamat dari kemarahan pimpinan JXG. Gara-gara ulah kalian dari KSN, salah seorang keluarga dekat pimpinan JXG terbunuh, maka JXG tidak akan mengampuni orang-orang yang bertanggung jawab. Sang pembunuh dan Ketua KSN harus dihukum setimpal. Nyawa dibalas nyawa.”

Lek Suman tertegun dengan ucapan si perawat barusan!

Perawat itu tersenyum dengan mengerikan. Setelah benar-benar melihat jelas, barulah Lek Suman sadar kalau perawat itu memiliki bibir yang sangat lebar, bahkan lebih lebar dari seharusnya. Ada luka jahitan besar di kiri kanan bibir, seperti bekas luka robek yang memanjang.

Lek Suman mundur teratur dengan wajah ketakutan sampai tersandar ke tembok saat akhirnya melihat dengan jelas wajah perawat itu. Dia bukan perawat! Orang ini si Hantu! Hantu yang dikirim dari neraka jahanam! Kenapa dia ada di sini?

Orang yang menyamar jadi perawat itu pun melambaikan tangan dan melesat pergi dengan kecepatan tinggi. Hanya sekejap saja dan dia sudah tak ada lagi di hadapan Lek Suman. Dengan cepatnya dia berlari menuju ke pinggir balkon dan melompati pagar tinggi seperti seakan hanya berukuran pendek saja.

Lebih gila lagi, tempat ini kan ada di lantai yang kesekian!

Lek Suman tergagap.

Kemarin ada kabar kalau Jagal sudah beraksi, kini si Hantu Jahanam juga sudah hadir kembali. Seluruh bala kurawa JXG sepertinya benar-benar sudah siap turun gunung! Kota akan segera dibakar perseteruan antar dua kelompok besar!

Hal itu menyadarkan Lek Suman.

Jagal dan si Hantu sama-sama populer bukan karena mereka ramah dan bersahabat! Keduanya adalah monster yang sering diburu polisi karena berbagai kasus kekerasan bahkan pembunuhan yang sampai sekarang tidak bisa dibuktikan! Dua dari empat mata panah andalan JXG!

Buru-buru Lek Suman masuk ke kamar Darsono.

Apa yang ia saksikan kemudian adalah hal yang akan ia ingat sepanjang sisa hidupnya.

Darsono terkulai lemas dengan separuh badan sudah menyamping di sisi pembaringan. Kepalanya bergelantungan di bawah dengan mata terbelalak. Yang mengerikan adalah posisi kepala itu berbelok ke arah yang salah.

Darsono sudah tak lagi bernyawa sore itu.

Lek Suman jatuh terduduk.

Mimpi bernama KSN itu sudah runtuh bahkan sebelum mulai besar. Hanya satu yang bisa dilakukan sekarang, pria tua itu dengan lemas mengambil ponselnya.

Lek Suman kembali menelpon Oppa.

“Iya, Lek? Ada yang bisa saya bantu lagi?” Oppa segera mengangkatnya kali ini.

“Lupakan semua perintahku tadi, tidak perlu ada pasukan yang datang kesini. Cukup kamu dan tiga orang kapten datang ke rumah sakit secepatnya. Ada sesuatu yang harus kita urus diam-diam. Tapi pastikan pasukan yang tertinggal untuk memperkuat pertahanan Ndalem Banjarjunut.”

“Ada apa, Lek?” Oppa merasa ada yang tidak beres pada suara Lek Suman. “Apakah ada yang terjadi?”

“Ada.” Lek Suman menahan napasnya. Berat rasanya mengucapkan kalimat yang hendak ia ucapkan setelah ini, “mulai saat ini, KSN resmi dibubarkan.”

Tidak ada suara terdengar untuk beberapa saat lamanya, Oppa jelas sedang terkejut, “A-apa?”

“Kondisi kita sedang dalam bahaya besar dan tidak akan mungkin bisa bertahan dengan kekuatan yang sekarang kita miliki. Jadi tidak ada jalan lain. KSN harus kita bubarkan.” Suara Lek Suman terbata-bata. Ia berusaha berdiri menggunakan tongkatnya.

“La-lalu bagaimana dengan kita, Lek? Bagaimana dengan pasukan kita? Bagaimana dengan Ndalem Banjarjunut?

“Lawan yang kita hadapi sekarang sedang mengincar KSN. Mereka lawan yang sangat berbahaya, besar dan kuat. Kita tidak bisa gegabah dan ongkang-ongkang kaki. Kita masih akan menggunakan Ndalem Banjarjunut sebagai markas, tapi bukan sebagai KSN.”

Lek Suman menarik napas panjang.

“Secara resmi kita bergabung dengan PSG, dengan semua konsekuensi yang ada.”





.::..::..::..::.





Malam telah larut menjelang berganti hari, tenaga mulai surut saat bulan lelah bertahta menjelang pagi. Senyawa semangat yang kian tipis, disimpan untuk kembali bangkit selama napas belumlah habis. Orang-orang berjalan pulang, membawa gerobak warung tenda yang semalam belum laris. Meski lelah dirasa, tapi harapan selalu ada. Jika sukses itu tidak datang kali ini, barangkali cerita akan berbeda esok hari. Orang-orang berjalan pulang dari lokasi bekerja, menuntaskan hari dengan sisa gelak tawa. Orang-orang berjalan pulang dari lokasi bekerja, ingin segera bertemu dengan sanak saudara.

Sudah lewat tengah malam, menjelang dini hari, kota masih suram menyambut dingin udara pagi. Jalanan masih tanpa cahaya yang membuat semuanya kelam. Hanya lampu jalan yang membias redup, memberikan terang yang seadanya, demi mereka yang masih ingin menyapa rembulan dan juga bintang gemintang, sementara mentari mengintip malu-malu di balik bukit.

Seorang anak kecil duduk di atas gerobak kosong yang biasa mengangkut sampah, sementara ibunya menarik di depan dengan perlahan. Sedikit-sedikit melirik ke arah jalan, mengumpulkan plastik kemasan minuman jika ditemukan. Topi SD dipakai si bocah, sejak pagi tak dibukanya. Meski bercak sedikit mengotorinya, tapi besok pagi akan ia kenakan dengan bangga, apalagi ia akan datang ke sekolah membawa cerita. Cerita tentang kehidupan, dari sudut-sudut kota.

Sebuah motor melaju kencang, dipacu menembus dingin udara pagi. Berjalan kencang, mengejar hari.

Deka duduk di depan, mengendalikan motornya dengan tegas. Ia sudah meyakinkan diri dengan pasti akan apa yang ia lakukan hari ini. Tidak ada jalan mundur lagi, tidak ada kata tidak lagi. Ia sudah yakin dengan keputusan yang akan ia ambil.

Walau sakit akan ia sebarkan ke beberapa orang. Tapi setidaknya ia tidak mengingkari perasaannya.

Bahwa ia akan memilih Dinda, sebagai pelabuhan terakhirnya.

Gadis itu sendiri tengah memeluk Deka dengan erat, seakan tak ingin lepas. Tak ingin berpisah, tak ingin lagi terhempas. Ia bahagia, meski kalut. Ia senang, meski takut. Bahagia karena akhirnya Deka menunjukkan cintanya, kalut karena ia tak tahu harus menjawab apa. Ia senang karena Deka pada akhirnya membalas cintanya, takut karena mereka berdua harus berhadapan dengan Amar dan Ara. Begitu susahkan baginya untuk sekedar menikmati rasa bahagia, berdua dengan orang yang ia cinta? Tali-temali asmara yang merambat, mengikat, dan menjerat seakan selalu menempatkannya pada posisi yang tidak nyaman. Bisakah kali ini dia merasa aman?

Motor Deka melambat ketika memasuki sebuah area yang berada di samping bioskop Kingdom XXI. Ia melalui jalan ke kiri untuk mengikuti jalan menuju sebuah area yang lebih sempit. Dinda melirik ke bioskop yang sebenarnya sudah berdiri sejak lama – namun pada suatu malam terbakar hingga menimbulkan korban. Gedung bioskopnya sempat terbengkalai cukup lama sebelum kini aktif kembali. Meski dulu dua lantai, kini bioskop XXI terkenal itu hanya beroperasi dengan satu lantai. Ada hawa-hawa aneh yang mencekam jika melewatinya, meski sekarang sudah kembali beroperasi dan terang benderang.

Bengkel Amar terletak di kawasan Jalan Manggar, jalan satu arah yang ada di dekat XXI.

Motor Deka terhenti, di depan jajaran ruko yang usianya sudah cukup tua. Ruko paling kiri tempat RM Padang, ruko tengah tukang jahit,

Rolling door ruko masih terbuka, ada lampu teplok kecil yang masih menyala di dalam – itu tandanya Amar masih ada di tempat dan menghemat listrik. Dia memang biasa di sini sampai pagi, dan baru pulang setelah terang datang. Terdengar bunyi ketukan pelan di dalam ruko, Amar sepertinya sedang mengerjakan sesuatu hingga lembur.

Deka mengetukkan kunci motornya ke rolling door.

Amar tersadar ada orang datang.

“Kun.”

Si badan besar itu berdiri, sosoknya memenuhi ruangan. Lampu teplok kecil tidaklah cukup untuk menerangi ruangan yang makin menyempit. Sosok Amar yang tinggi besar dengan rambut panjang dan brewoknya yang jantan amat mengintimidasi. Ketika ia berjalan keluar, ia nampak bagai seekor naga yang menyeruak dari dalam gua. Tenang, kalem, tapi sangat berbahaya.

“Ada apa?” tanya Amar. Dia tidak pernah melihat adiknya itu datang ke bengkelnya pagi-pagi buta begini. Jangankan datang pagi-pagi, datang ke bengkel saja hampir tidak pernah. Jadi pasti ada sesuatu yang teramat penting yang mau dia bicarakan. Amar mengelap tangannya yang kotor dengan handuk kecil yang nangkring di pundaknya. Dia rupanya tengah sibuk membongkar pasang beberapa motor yang mungkin esok pagi akan diambil pemiliknya.

Ketika sampai di luar barulah Amar sadar kalau Dinda juga ada di sana.

“Kamu?”

“Ma... Mas Amar.” Dinda menunduk malu-malu dan bersembunyi di balik Deka.

Amar sempat tertegun melihat tingkah calon istrinya. Tapi saat melihat gerak-gerik dan juga wajah Deka yang teramat serius, Amar langsung tahu maksud dan tujuan Deka datang kemari. Dia hanya tersenyum, lalu duduk di sebuah kursi kayu reyot di samping meja yang terbuat dari ban bekas di depan ruko.

“Jadi...” Amar mengeluarkan bungkus rokok dari dalam kantong bajunya, ia mengambil sebatang, dan menyelipkannya di bibir. Korek dinyalakan, api membakar ujung. “...jadi kamu sudah mengambil keputusan, Kun?”

Deka mengangguk, “aku pilih dia, Mas.”

Amar mendengus dan tersenyum, “mudah sekali kamu berpaling. Mau kamu kemanakan tunanganmu yang sekarang?”

“Aku akan bicarakan ini pelan-pelan dengan dia.”

“Wanita itu untuk dihormati dan dipuja, bukan dijadikan perangkat yang bisa setiap saat dapat dibongkar pasang.”

“Aku yakin bisa menghormati dan memuja Dinda.”

“Yakin? Tch. Tadinya kamu juga menghormati dan memuja tunanganmu yang lama. Semudah itu kamu ganti perasaan? Aku tidak melihat ketulusan itu muncul dalam diri kamu, Kun.” Amar menghembuskan asap dari mulutnya, sejak awal hingga kini matanya tak pernah lepas dari Dinda. Gadis itu merasa tidak nyaman dan menghindari tatapan mata dengan Amar. “Kamu juga yakin sama dia?”

Untuk kali pertama, Dinda menatap Amar dengan pandangan mata tajam. Gadis itu mengangguk, “yakin.”

Amar tersenyum. “Kamu cantik kalau menatap tajam begitu.”

Wajah Dinda pun memerah, ia kembali salah tingkah.

“Mas.” Deka mengingatkan.

“Aku yang tidak yakin, Kun. Bagaimana aku bisa tahu kamu tidak akan menyia-nyiakan Dinda yang secantik ini hanya karena egomu? Sekarang saja kamu bisa dengan mudahnya pindah ke lain hati. Apa jaminannya kelak kamu tidak akan melakukan hal yang sama terhadap Dinda?” Amar menggeleng, “Tidak. Aku tidak bisa menerimanya, alasanmu tidak tepat. Aku tidak yakin sama kamu. Aku yang akan membahagiakan Dinda karena dia berhak mendapat yang terbaik dari orang yang memujanya, bukan yang memilih karena gejolak ego sesaat.”

“Mas!”

Deka dan Dinda sama-sama saling berpandangan setelah mengucapkan kata secara bersamaan.

“Ini bukan permintaan, Mas.” Deka ambil bicara, “kali ini kami datang untuk memberitahu Mas Amar kalau kami memutuskan untuk bersama. Aku juga akan memberitahu Ara. Memang menyakitkan, tapi harus dilakukan.”

Amar tersenyum.

Kembali asap rokoknya membumbung tinggi.

“Kamu lupa kalau status Dinda ini sudah bukan gadis yang bebas lagi. Dia tunanganku. Aku mengharapkan dia menjadi istriku dalam waktu dekat. Aku yang seharusnya membahagiakannya, bukan kamu.”

“Itu sebabnya kami buru-buru kemari karena kami tahu Mas Amar butuh mendengar langsung dari kami berdua.”

“Dengan kalian berdua datang kemari di pagi buta begini saja sudah menunjukkan ketidakmatangan pemikiran kalian.” Amar mendengus, “yang seperti ini bisa dibicarakan di saat tenang di siang hari, atau sore, atau saat kita semua nyaman dan punya pikiran yang jernih. Serangan fajar dengan efek mengejutkan begini apa untungnya? Kalian hanya kemakan nafsu yang membutakan saja. Aku kecewa, Kun.”

Amar berdiri, ia tersenyum pada Dinda, “tidak – aku tidak terima alasan kalian. Pernikahan kita masih akan berjalan seperti rencana semula. Kecuali ada pembuktiannya.”

Deka terkejut, “maksudnya bagaimana?”

Amar memunggungi Deka, “Maksudku aku tidak terima alasan apapun sebelum kamu mampu memberikan kepastian bahwa kamu tidak akan meninggalkan Dinda seperti kamu akan meninggalkan tunanganmu saat ini. Yang aku tahu - adik kandungku sendiri saat ini sedang membawa paksa calon istriku untuk memenuhi ego dan nafsunya.”

“Paks...!? Ayolah, Mas! Kamu tahu aku tidak akan melakukan hal semacam itu.”

“Aku tahu,” Amar membalikkan badan dan mendekat ke arah Deka, “jadi sebaiknya kamu pulangkan dia dengan baik-baik dan selamat sampai tujuan. Kita tidak perlu lanjutkan percakapan mengenai hal ini.”

Deka mendekat ke Amar, kakak beradik itu kini saling menatap dari jarak yang sangat dekat, “Mungkin mas Amar tidak mendengar kata-kataku yang tadi ya? Kami ke sini bukan hendak meminta apapun dari Mas Amar. Ini bukan minta restu atau minta ijin, ini pemberitahuan.”

Amar tersenyum sinis. Ia melirik ke arah Dinda yang sejak tadi terdiam menatap adu kata antara dua saudara.

Ia menghela napas panjang, “Ya sudah. Bagaimana kalau kita biarkan Dinda saja yang menentukannya secara langsung? Aku tidak ingin masalah ini berlarut-larut tapi aku hanya akan menghormati keputusan yang langsung diucapkan oleh Dinda. Jadi aku akan menanti dia bicara, dan kalaupun dia belum siap, maka aku akan menunggu kapanpun keputusan itu dia ucapkan. Kalau memang dia tidak ingin bersamaku dan memilihmu, aku sama sekali tidak ada masalah. itu artinya cintaku bertepuk sebelah tangan. Itu saja.”

Dinda panas dingin mendengarkan ucapan Amar, jadi dia yang harus memutuskan?

“Hanya satu syaratnya, kata-kata itu harus keluar dari mulutnya sendiri,” ulang Amar.

“Tapi Mas...” Dinda mencoba memberikan opininya, “aku tidak bisa... maksudku aku akan menurut siapapun yang akan...”

“Tidak, Din.” Deka menggeleng, ia menempatkan Dinda di depan dirinya dan Amar. “Mas Amar betul. Ini saatnya. Kamu yang akan menentukan jalur hidup kita bertiga. Kamu yang pegang peranan sekarang. Kami berdua sama-sama tahu dan menghormati keputusan yang akan kamu ambil, sama seperti tadi saat aku menyatakan perasaanku yang sebenarnya padamu. Mas Amar tunanganmu, dia berhak mendengar pilihanmu. Pilih sekarang. Aku atau Amar?”

Dinda menatap Deka dengan ngeri, lalu menatap Amar, kembali ke Deka, ke Amar lagi. Gadis itu menjadi sangat bingung ketika Deka dan Amar sama-sama menatap penuh arti ke arahnya. Dinda menatap keduanya tanpa berkedip. Bergantian. Deka dan Amar.

Bagaimana ini?

Dulu dia sering memendam perasaan sakit karena tidak dapat mengutarakan cintanya ke Deka yang ia pikir hanya bertepuk sebelah tangan, terlebih Deka juga sering memilih gadis lain sebagai pasangan. Dia sempat berpikir bahwa Deka akan hilang selama-lamanya dan tidak akan pernah kembali lagi padanya. Apalagi setelah Deka bertunangan, hancur sudah harapan Dinda. Itu sebabnya saat ada orang yang paling mendekati sosok Deka melamarnya, Dinda mengucapkan kata setuju.

Tapi sekarang?

Yang mana yang akan dia pilih?

Saat berangkat tadi dia sudah yakin betul.

Tapi ada ragu yang berbeda ketika dia akhirnya berhadapan dengan dua orang yang meminta jawaban darinya. Yang satu orang yang sudah ia sayangi sejak kecil tapi sudah bertunangan dengan orang lain. Akankah dia menjadi orang yang akan menghancurkan mimpi wanita lain? Tegakah dia?

Atau dia akan tetap bersama orang yang sudah ia terima lamarannya? Sosok misterius yang diam-diam mencintainya? Amar jelas lebih dewasa, lebih tenang, dan lebih tangguh dibandingkan Deka. Entah sudah sejak kapan Mas Amar menyukainya, ia tidak pernah tahu. Tapi bukankah itu hal yang mengusik rasa penasaran?

“Kami menunggu.” Amar tersenyum lembut. “Kami akan terima apapun keputusanmu.”

Dinda menggelengkan kepala, tidak. Tidak! Dia tidak bisa memutuskan secepat ini! Dia tidak ingin ada hati yang tersakiti. Dia harus meminta waktu supaya...

“Bisakah aku minta waktu lebih karena...”

“Sekarang.” giliran Deka yang tersenyum. “Kita sudah sepakat kan tadi? Putuskan sekarang.”

Gila! Mereka kejam sekali! Bagaimana mungkin dia dapat mengambil keputusan sepenting ini dalam hidupnya hanya dalam waktu singkat? Ya sih, saat Deka tadi menjemputnya, dia merasa bahagia sekali, seakan semua mimpinya terwujud. Dia benar-benar merasa seperti di atas langit. Tapi setelah bertemu langsung dengan Amar? Hatinya tergerus perasaan ragu. Apa yang disampaikan calon suaminya itu ada benarnya.

Jadi yang mana?

Dinda baru hendak membuka mulut ketika tiba-tiba saja dari arah pengkolan muncul serombongan motor yang meraung-raung dan menyalak ramai di pagi buta. Sepuluh motor berhenti di depan bengkel Amar, dua puluh orang turun dari motor.

Penampilan mereka seragam, sama-sama mengenakan ikat kepala berwarna putih dan jaket warna putih hijau. Hanya ada tulisan RKZ Rules The Universe! di bagian punggung jaket. Empat orang yang nampaknya merupakan orang-orang penting mendatangi Amar, Deka, dan Dinda.

Dinda beringsut sembunyi di balik Deka dan Amar.

“Cah-cah RKZ,” desis Amar geram. “Mau apa mereka pagi-pagi nggeruduk ke sini?”

“Siapa mereka?”

“Siap-siap, Kun. Orang-orang ini berbahaya. Mereka sadis dan tak kenal ampun. Sebagian besar datang dari luar kota, mereka kelompoknya kaum pendatang. Geng motor yang biasa begal di ringroad.” Amar mendesis lirih supaya orang-orang yang baru datang tak mendengar, “segera bawa Dinda pergi dari sini!”

“Sial. Geng baru lagi? Mau ada berapa geng di kota ini? Butek otakku!” Deka mengamati posisi. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri. “Aku pengen sekali membawa dia pergi tapi tidak bisa, Mas. Mereka menutup semua jalur.”

Amar geram.

“Pucuk dicinta ulam pun tiba, lama ingin jumpa akhirnya kesampaian juga! Amar Barok sang perkasa! Amar Barok, punggawa Dinasti Baru paling wahid di kelasnya.” Salah satu dari empat orang yang maju menemui Amar berbicara dengan suara lantang. “Perkenalkan kami warga baru di kota. RKZ – Randupanji Kombat Zombies, tapi lebih ngetop dipanggil Rekozo. Mau dipanggil apapun boleh.”

Tiga dari empat orang itu maju bersamaan, sementara orang keempat yang memiliki badan lebih besar dan kekar daripada Amar berhenti dan berdiri terdiam di belakang mereka sembari bersidekap. Senyumnya melebar, terlihat kekuningan, kontras dengan warna kulitnya yang gelap, sepertinya orang dari timur nusantara. Deka tidak menyukai senyumnya yang meremehkan.

“Mau apa kalian ke sini?” Amar menyilangkan tangan di depan dada. Ia menarik rokok dari bibir, dan menghembuskan asap ke udara, “pagi-pagi begini sudah bertamu. Matahari saja belum naik.”

“Hehehe. Kami juga tidak sengaja melewati daerah ini sebenarnya, tapi berhubung orang yang ingin kami temui ternyata berada di tempat, maka tidak ada salahnya bertamu, bukan? Apalagi nama Amar Barok jelas sudah kondang di kota ini. Hehehe.” Salah satu dari ketiga orang yang maju mulai membuka percakapan, salah satu ciri khasnya yang unik adalah matanya yang jereng. Satu ke kanan dan satu ke kiri. Tidak jelas mata sebelah mana yang benar-benar menatap ke depan. “Sebelumnya saya perkenalkan dulu supaya kita kenal baik. Panggil saja saya Jay, lalu yang ini Galung, dan yang di sebelah lagi Agun, terus yang gede seperti King Kong itu namanya Brom.”

Informasi yang tidak penting.

Amar mendekati Jay tanpa rasa takut sedikitpun, ia tersenyum sinis, dan menghembuskan asap rokoknya ke wajah sang pemuda RKZ, membuatnya terbatuk. “Sepertinya tidak dengar ya apa yang aku tanyakan tadi? Aku ulangi supaya kalian semua paham, ya? Aku tadi tanya kalian mau apa! Bukan apakah kalian mau makan karedok, ketoprak, atau gado-gado! Aku tidak peduli nama kalian siapa!”

Jay yang terbatuk malah tersenyum meski mendapatkan ucapan sengak dari Amar. Sepertinya dia memang sudah menduganya.

“Kami ada penawaran khusus untuk Amar yang perkasa.” Jay tersenyum, “kami ingin mengajak Amar untuk bergabung dengan kami. Dengan adanya Amar, maka kelompok kami tentunya akan lebih disegani. Ini karena kami beranggapan bahwa Amar adalah sosok yang dihormati di kota ini.”

Amar mengejapkan mata karena tak percaya dengan tawaran yang sangat konyol itu, “Kalian sudah gila ya? Jangan main-main!”

“Kami tidak main-main. Kami bahkan tidak peduli apakah kota ini sudah terlampau banyak dibagi kelompok-kelompok besar seperti QZK, JXG, Dinasti Baru, dan PSG. Yang kami lakukan hanya satu, tebang semuanya dan tanam yang baru.” Jay mendekat ke arah Amar tanpa rasa takut sedikitpun. Keduanya kini sangat-sangat dekat. Jay tersenyum. “Kami memang baru, tapi jangan pernah remehkan kekuatan kami. Jadi bergabunglah dengan kami, sebelum terlambat. Karena sebentar lagi – kami akan menghancurkan semuanya, termasuk Dinasti Baru.”

Amar membalas dengan senyuman. Asap rokok keluar dari bibirnya.

Huff.

“Memangnya bisa apa kalian?”

Jay tersenyum.

Dia mengangkat tangan kiri dan menggoyangkan satu jari ke arah sebelah kanan Amar.

Amar terbelalak. “Dekaaaa!!”

Swwwsshhhh! Swwwsshhhh!

Galung dan Agun bergerak bersamaan dengan sangat cepat, kaki mereka bagaikan lepas, setiap jejakan ke tanah menghempaskan tubuh mereka semakin mendekati Deka dan Dinda. Gerakan mengagumkan itu membuat jarak antara kedua anggota RKZ dan Deka jadi teramat dekat.

Deka tentu saja tidak tinggal diam, sembari melindungi Dinda, Deka mempersiapkan Perisai Genta Emas sesegera mungkin.

“Heeaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Galung dan Agun berhenti ketika jarak antara mereka dan Deka hanya tinggal dua meter. Deka yang sudah mempersiapkan teknik pertahanan kelas wahidnya tertegun, apa yang...

King Kong Punch!!

Deka terkesiap dan melihat ke atas, Brom sudah melompat tinggi dan mengayunkan kepalan tangan kanannya sekuat tenaga. Begitu tingginya lompatan pria berkulit gelap tersebut sehingga Deka membuka mulut saking tak percaya apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin orang ini bisa melompat dari posisi di dekat Amar sampai ke sini hanya dengan satu lompatan?

Bngkkkkhhhhhhhh!!!

Pukulan keras menghantam pertahanan Deka. Ia memang bisa bertahan, tapi ia bahkan sampai terduduk karena kencangnya pukulan tadi. Ini tidak main-main, pukulan itu sangat berbahaya! Beruntung dia dilindungi Perisai Genta Emas, apa jadinya kalau tidak?

Karena bertemu dengan pertahanan yang hebat, tubuh Brom berputar ke belakang untuk kembali ke posisi berdiri bersama dengan Galung dan Agun. Meski badannya besar, lompatannya sangat ringan bahkan anggun. Dia kembali berdiri dengan tenang sembari memamerkan seringai menyeramkan seperti yang ia tunjukkan sejak awal. Besar, seram, dan menyeringai. Dari mana orang ini datang? My Neighbour Totoro?

“Kghh!” Deka kesal, dia benar-benar harus segera meng-upgrade kemampuannya. Tidak bisa begini terus. Setelah masalah dengan Amar selesai, mungkin dia harus sering-sering mengunjungi Pakdhe Wid. Meningkatkan dan menambah kemampuan.

“Mas Deka! Mas tidak apa-apa?” Dinda dengan cemas mencoba menolong Deka berdiri. Gadis itu ketakutan sekali.

“Aku tidak apa-apa, tenang saja.” Deka memperhatikan ke arah perseteruan antara Amar dan Jay. Siapa orang-orang ini? Kenapa mereka punya kemampuan yang mumpuni? “Ini bahaya sekali, mereka bukan kelas ecek-ecek. Mereka bisa saja...”

Saat itulah ada bayangan yang sangat cepat menyambar. Bayangan yang luar biasa cepatnya itu ibarat angin yang berhembus kencang, datang tanpa kabar, pergi tanpa kesan. Tubuh Deka tiba-tiba saja terdorong ke depan. Karena dorongan itu lembut, Perisai Genta Emas tidak menganggapnya sebagai ancaman.

“Mas Dekaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”

“Dinda!?” Deka terbelalak saat melihat Galung memondong tubuh Dinda pergi. Galung yang berambut separuh panjang separuh skinhead tertawa terkekeh-kekeh karena ia berhasil mengambil gadis itu dari sisi Deka. Pria kurus itu tahu kalau cewek ini bisa dijadikan titik kelemahan Deka dan Amar.

“Dindaaaaaaaaa!!”

Amar terperangah melihat kecepatan kaki Galung yang dengan mudah membawa Dinda. Deka bodoh! Gampang sekali lengah! Dia geram tapi juga tak dapat dengan gegabah membantu Dinda dan Deka. Di depannya, sosok yang bernama Jay itu juga sangat berbahaya. Dia merasakan aura Ki yang lumayan besar pada diri Jay. Kemampuan apa yang dia miliki? Amar harus berhati-hati. Bukan karena dia takut, tapi karena dia tidak tahu apa yang dia hadapi.

Jay tertawa-tawa. “Nah, bagaimana? Apakah kamu sudah melihat kemampuan...”

“Kemampuan tae kocheng!!”

Amar membentak Jay yang langsung kaget dan terdiam. Ia mundur beberapa langkah dan bersiap.

“Kalau kalian tak segera melepaskan gadis itu saat ini juga, kalian akan merasakan amarahku.” Amar mendengus ke arah Jay, ia membuang puntung rokoknya. Tatapan mata Amar tajam menghunjam. “kalian tidak akan suka kalau aku marah.”

Jay terkekeh, “coba saja... kami justru ingin melihat sampai sejauh mana kemampuan seorang legenda dibandingkan kemampuan kami semua ini?”

Sudahlah, tidak perlu diajak bicara baik-baik lagi. Orang-orang ini memang ingin mengobarkan perang. Amar memejamkan mata, kaki kanannya beringsut ke kanan, tubuhnya turun sedikit meski punggungnya tetap tegak. Amar mengepalkan tangan ke samping pinggang, lalu menghunjukkan telapak tangan kanan ke depan. Ia menarik napas dalam-dalam, sangat dalam, teramat dalam, lebih dalam lagi, sangat-sangat dalam.

Deka tahu apa yang akan dilakukan Amar. Dia bersiap. Fokusnya pada Dinda yang kini disekap oleh Galung. Si kurus berambut panjang separuh itu mengunci tangan Dinda di belakang dengan satu tangan dan tangan lain menekan lehernya.

Dinda terus menatap ke arah Deka, ketakutan dan minta tolong dengan kedua pandangan matanya.

Deka khawatir dan gemas sekali. Bagaimana ia dapat menolong Dinda? Dia jelas tidak memiliki kecepatan yang sama dengan si Galung. Semakin dikejar, pasti semakin jauh.

“Amaaaarr!!” Deka berteriak.

Saat itulah Amar membuka mata. Ia melotot dan aura Ki-nya bagai meledak seketika. Mulutnya terbuka lebar dari dalam mulut Amar keluar suatu teriakan kencang yang disertai dengan energi Ki dahsyat! Suara raungan seekor singa mengaum dahsyat di pagi hari yang dingin.

Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaar.

Sboooooooommm!! Sboooooooommm!! Sboooooooommm!!

Ledakan-ledakan tenaga kecil terjadi saat jurus pertahanan dikerahkan untuk menahan raungan Amar –tak urung delapan belas orang terlempar ke belakang, motor-motor ambruk, dan pohon terhempas. Inilah dia kemampuan Amar selain Perisai Genta Emas, jurus ledakan Ki yang dilontarkan melalui jurus ofensif Raungan Singa Emas!

Delapan belas orang, termasuk Galung dan Agun terkapar kesakitan kini. Mereka tak mengira Amar memiliki kemampuan untuk melemparkan mereka dengan kekuatan raungan.

Saat tergeletak, barulah Galung sadar.

Pemuda RKZ itu terkesiap, mana cewek tadi?

Dia baru menyadari kalau gara-gara terlempar ke belakang, ia gagal menjaga Dinda! Gadis itu lolos! Galung mencoba berdiri, namun gagal. Suara raungan Amar tadi... suara raungan Amar tadi benar-benar menyeramkan! Gila! Hanya dengan satu kali sentakan tenaga, belasan orang terkapar dengan mudahnya. Level punggawa Dinasti Baru itu memang beda.

Dinda membuka mata dan dia sudah ada di pelukan Amar.

“Ma-Mas Amar...”

“Tenang saja, aku tak akan membiarkanmu kenapa-kenapa. Percayalah padaku.”

Wajah Dinda memerah, ia mengangguk.

Deka buru-buru menghampiri keduanya. “Din, kamu tidak apa-apa?”

“Ti-tidak apa-apa, Mas.”

Belum sempat ketiganya berbincang, tepuk tangan datang dari dua orang anggota RKZ yang masih berdiri, Jay dan Brom. Jay tertawa, “Hahaha. Luar biasa... luar biasa! kamu benar-benar orang yang tepat untuk menjadi anggota kami, Amar Barok!”

Kedua orang yang masih berdiri itu seakan-akan tidak peduli kalau teman-temannya dari RKZ tengah mengerang kesakitan. Mereka justru menyeringai seram sembari bersiap dengan kuda-kuda. Jay mempersiapkan kuda-kuda dengan merundukkan badan, merentangkan tubuh dengan posisi menyamping. Kaki kiri memanjang, kaki kanan ditekuk. Kedua tangan direntangkan dengan sedikit tekukan di siku.

“Bagaimana kalau kita taruhan? Kalau kalian bisa mengalahkan kami berempat – aku, Galung, Agun, dan Brom, maka kami akan pergi sekarang juga. Tapi kalau kami berhasil menundukkan kalian berdua,” Jay menunjuk Amar dan Deka, sambil terkekeh. “maka Amar harus bersedia ikut untuk menemui dan mempertimbangkan tawaran dari pimpinan kami. Bagaimana?”

Amar mendengus. “Kamu pikir bisa mengalahkan aku?”

Jay tersenyum sinis, ia mengayunkan jari tangannya, seakan-akan menantang Deka dan Amar untuk maju bersamaan. Pria bermata jereng itu terkekeh senang.

Gentlemen, start your engine.”







BAGIAN 3 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd