Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 4
PAGI YANG MENAKJUBKAN




Kalau kemarin kamu jatuh, hari ini kamu bangkit.
- H.G. Wells






Pagi sudah datang, matahari sudah menjelang, langit mulai terang. Tapi pertempuran masih belum kelar, bahkan arena baru tergelar. Tersengal napas di dada, deras keringat mendera, berkobar semangat tak reda, kata menyerah tak muncul di kamus kata. Dua melawan dua puluh terbilang, pada kondisi normal seperti apapun, bukanlah pertarungan yang seimbang.

Amar Barok dari Dinasti Baru dan adiknya Deka dari Aliansi melawan Jay, Brom, Galung, dan Agun dari RKZ. Lama melawan baru, lawas melawan anyar. Waktu akan segera membuktikan, siapa yang lebih unggul.

Namun mereka bertarung bukan untuk dominasi kawasan tengah, melainkan untuk transfer keanggotaan. Sebuah taruhan dilontarkan, jika Amar gagal menundukkan Jay dan Brom, maka Amar harus bersedia diajak untuk bertemu dengan pimpinan RKZ. Bengkel di sudut di Jalan Manggar menjadi saksi, saat aspal jalan akan segera menjadi tempat badan-badan terkulai tanpa daya.

Jay dan Brom bersiap memulai duel dengan Amar Barok. Di sisi lain Galung dan Agun mulai bangkit untuk mengkondisikan Deka. Si Gondes sendiri masih harus melindungi Dinda, itu sebabnya setelah Agun dan Galung terkapar berkat jurus raungan Amar, Deka menarik tangan Dinda dan membawanya masuk untuk bersembunyi di dalam bengkel, sementara Amar menghadapi pasukan RKZ.

“Bagaimana taruhannya?” Jay terkekeh sambil memasang kuda-kuda, “setuju?”

Amar mendengus, “untuk berhadapan dengan kalian berempat, tidak perlu turun dua orang. Aku sendiri juga mampu.”

“Mantaaaaap! Jadi setuju nih ya. Kalau kamu jatuh...” Jay membentangkan tangannya dengan rasa senang, “...maka Amar Barok akan ikut dengan kami. Heheheh.”

Brom tertawa, meski tidak ada yang lucu. Raksasa itu sungguh mengerikan; kulit gelap kecoklatan, besar, kekar, dengan wajah yang selalu tersenyum lebar. Dia jelas punya kemampuan yang lumayan dan bukan hanya sekedar kaleng sarden ukuran jumbo yang dicelup dalam saos tomat.

“Sudah cukup basa basinya.” Amar menggertak dan langsung bertindak, dengan satu lompatan ia sudah berada di depan Jay. Tangannya dilontarkan secara reverse, seperti sedang mengayunkan raket dengan teknik backhand. Gerakan Amar yang cepat, tangkas, dan mengagetkan itu tentu tak dapat diantisipasi dengan baik oleh Jay. Serangan sang singa yang tiba-tiba saja berada di depannya coba ditahan oleh Jay sekuat tenaga dengan menyilangkan tangan.

Bddmmmmm!

Percuma.

Jay terlontar hingga empat meter, sebelum akhirnya jatuh berdebam dengan terguling-guling di atas aspal. Seluruh badannya terasa remuk, ia mengerang berulang, meregang, dan mengejang. Sakit di sekujur badan. Gila, bahkan menahan serangan itupun dia tak sanggup.

Yang masih sanggup ia ia lakukan saat ini, adalah berusaha keras untuk kembali berdiri, meskipun harus sempoyongan sekalipun. Setelah berdiri, Jay justru tertawa terbahak-bahak. “Reputasinya tidak bohong. Ada nama ada kualitas, semakin ingin kami menjadikanmu panglima RKZ!” Laki-laki yang tawanya membuat Amar tidak nyaman itu mengayunkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke depan secara bersamaan. “Brom! Maju!”

Brom berlari kencang mendengar aba-aba dari Jay, si gempal pun meloncat tinggi sembari melontarkan jurus andalannya untuk mengkandaskan Amar. Kedua tangan ditarik ke belakang kepala, saling menggenggam. Lalu dengan sangat cepat dan kencang, keduanya dihantamkan ke bawah penuh tenaga.

King Kong Punch!

Bledaaaaaaaaam!

Brom terlontar ke belakang, bahkan lebih jauh jaraknya dari Jay berada, padahal dia yang menyerang dan belum satu meter ia mencapai posisi Amar. Brom juga menerima nasib yang sama Jay. Terbanting, terguling, terkapar, terlempar, dan terhentak berulang di aspal. Semua gara-gara pertahanan super wahid dari Amar, Perisai Genta Emas. Amar bagai terlindungi invisible armor dan tak tersentuh.

Jay menatap ke arah Brom dan tertawa. Dia sudah memperkirakannya. Mereka berdua tidak akan sanggup menundukkan sang singa dari Dinasti Baru, dia jelas terlampau kuat. Jay tersenyum pada Amar dan bertepuktangan.

“Luaaaaar biasaaaaaaa!” wajah Jay yang menunjukkan kegembiraan jelas terasa aneh bagi Amar. Kenapa orang ini justru sepertinya girang sekali? Kalah tapi girang. Wes edan opo piye? Jangan-jangan sudah gila? Amar tidak ambil pusing. Dengan satu lompatan ringan, Amar melaju ke depan, sampai di depan Jay sekali lagi, persis seperti tadi. Loncatan besar yang dilakukan tanpa harus mengeluarkan banyak aksi ataupun tenaga. Tanpa aba-aba dan tanpa pasang kuda-kuda, tangan Amar melaju teramat kencang.

Bledaaaaaaaaam!

Brgkkhh! Brgkkhh! Brgkkhh! Brgkkhh!


Sekali lagi Jay menyilangkan tangan di depan wajah untuk menerapkan pertahanan, sekali lagi ia terlempar jauh, dan sekali lagi dia terbanting-banting di aspal. Mereka jelas bukan lawan seimbang. Jay tak akan sanggup menghadapi Amar.

Melihat lawannya yang hanya omong besar, Amar berhenti. Dia tidak lagi mengejar Jay ataupun Brom. Dia berhenti dan berbalik ke arah bengkelnya kembali. “Kita bisa berhenti sekarang, atau kalian akan tambah lebih babak belur. Pilihan kalian.” Amar duduk di tepian trotoar jalan tepat di depan ruko bengkelnya. Ia menarik bungkus rokok dari kantong, mengeluarkan sebatang, menarik korek, dan menyalakan rokok itu. “Aku sudah menang taruhan, jadi harap segera pergi dari sini sebelum rokokku ini habis. Aku tidak akan meminta dua kali.”

Jay dan Brom saling bantu untuk dapat berdiri. Sekali lagi, Jay nyengir dan tertawa, dia benar-benar lawan yang unik. Meski sudah jelas-jelas kalah, namun tetap saja dia tertawa. Ada sesuatu yang aneh dari Jay, seakan-akan dia tahu sesuatu yang Amar tidak tahu – dan itu membuat sang singa Dinasti Baru penasaran setengah mati.

Siapa sebenarnya RKZ dan orang-orang ini? Mereka orang-orang baru tapi ada perasaan aneh yang mengatakan kalau mereka sebenarnya sudah ada sejak lama. Amar berniat mencari tahu sampai tuntas. Ada yang aneh tentang mereka.

“Ya... ya... kami menyerah kalah.” Jay mengangkat tangan sambil mengangguk-angguk. “Tapi yang mengatur perjanjian kan kita ya, bukan mereka. Jadi mereka bebas berbuat apapun yang mereka inginkan.”

Amar tertegun. Mereka? Apa maksudnya?

Terdengar suara raungan lima motor masuk ke arena, RKZ mendapatkan tambahan pasukan lagi. Mereka kini sudah bertigapuluh. Bangsat, Amar jelas tidak akan mampu menghadapi mereka semua. Jadi dia harus mencari cara supaya bisa melawan tanpa memakan korban.

“Salam aspal gronjal.” Kata seorang pria yang turun dari motor terdepan – lagi-lagi seorang pria dengan ikat kepala putih, dia tidak terlampau tinggi, badannya pendek tapi bahunya sangat lebar, lengannya besar, dan kekar. Dia menghampiri Jay dan Brom. Kedua orang itu pun menyambutnya dengan fist bump.

“Gamal! Keterlambatanmu jadi penyelamat kami!” kata Jay yang dengan bahagia menyambut pria yang baru saja hadir di arena. Ia dan Brom menepuk-nepuk pundak orang kelima di jajaran penting RKZ. Orang yang dipanggil dengan nama Gamal itu pun manggut-manggut. Jay tersenyum menatap Amar. “Sekarang, yang harus kita lakukan hanya membagi tugas. Galung dan Agun membawa delapan orang untuk menyerang orang yang masuk ke bengkel! Sisanya, fokus untuk menundukkan Amar Barok sebisa mungkin!”

Asap mengepul dari bibir Amar. Tch. Mau dicoba berapa kalipun percuma. Mau sampai kapan mereka mencoba?

Teriakan semangat membahana terdengar dari kubu RKZ.

Tentu saja teriakan dan deru motor mereka memancing kedatangan penduduk sekitar yang penasaran, karena jalan itu sangat sering dilalui ketika pagi tiba. Teriakan-teriakan dari RKZ begitu kencangnya sampai-sampai ketika ada orang yang hendak melewati jalan itu terpaksa mundur teratur, dan berputar untuk memilih jalur lain. Situasinya memang gawat bagi mobil dan motor yang hendakk lewat dengan banyak preman berkumpul di tengah jalan, lebih baik menghindar kalau mau aman. Gila saja, mana yang berwajib kalau dibutuhkan? Malah tidak nampak dimanapun.

“Sekarang!” komando Jay.

Tujuhbelas orang bergerak bersamaan dengan cepat, mereka sepertinya sudah sangat hapal dengan teknik dan kemampuan masing-masing, pasti pelatihan yang mereka lakukan tidak hanya sekali dua kali. Mereka sudah sangat sering melakukan serangan bersama seperti ini. Efektif, cepat, dan strategic. Tujuhbelas orang bergerak dengan irama yang sama dengan satu target, Amar Barok.

Amar segera lenyap ditelan gelombang tsunami hebat yang mengincar dirinya dari segala penjuru. Sekuat-kuatnya Perisai Genta Emas, tapi kalau menghadapi sebegini banyak lawan dalam waktu bersamaan, sepertinya akan repot dan kewalahan juga. Bahkan pria sekelas Amar pun harus meringkuk dan berusaha membentuk pertahanan kuat, semantara lawan datang silih berganti dan menghujaninya dengan pukulan tanpa lelah. Bagai gula yang dikerubungi semut, menutup celah bagi Amar untuk dapat bergerak. Tapi alih-alih terpojok, mereka sama sekali tidak dapat menyentuhnya.

Sang singa hanya terdiam, terus menghisap rokok, dan menebarkan asapnya. “Jangan buang tenaga kalian. Kecuali ada keajaiban, kalian tidak akan pernah bisa membongkar pertahananku.”

Serangan kian gencar.

Dalam kondisi badai pertempuran kian tak terkendali, Deka memperhatikan dengan seksama dari dalam bengkel. Kalau dia maju ke sana, dia tidak akan dapat melindungi Dinda. Amar sendiri nampaknya sengaja duduk di depan karena ingin mengalihkan perhatian pasukan lawan dari bengkel, sang kakak tengah melindungi dirinya dan Dinda.

Deka menggenggam kepalannya dengan erat.

Sosok Amar lenyap ditelan tumpukan manusia yang menghujaninya dengan pukulan.

Geram dia melihat kakaknya dijadikan bulan-bulanan oleh gerombolan pengecut yang tidak berani bertarung satu lawan satu, mereka mengeroyoknya secara pengecut. Untungnya Amar menguasai Perisai Genta Emas, sehingga lawan tidak ada yang berhasil menembus pertahanannya.

Tapi bisa berapa lama bertahan satu lawan dua puluh?

Amar mendengus kesal. Dia jengkel setengah mati dengan orang-orang RKZ yang sepertinya masih belum paham situasi yang mereka hadapi. Pria itu pun meletakan puntung rokoknya di pinggir trotoar, sementara di sekelilingnya, pasukan lawan memukul-mukul dinding yang tak tertembus. Sekali lagi Amar berkonsentrasi, ia memejamkan mata, dan membuka mulutnya.

Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrr!

Bledaaaaaaam! Bledaaaaaaam! Bledaaaaaaam!


Teriakan Amar membuat kubah penyerang yang menaunginya terlempar semua. Kekuatan dahsyat itu juga menjatuhkan teman-teman Gamal dan Brom yang tidak siap. Lagi-lagi Raungan Singa Emas berhasil menemukan korban.

Jay sebagai yang masih berdiri tegak berlari kencang dan sudah berada di samping Amar, ia memang cukup cepat, itu harus diakui. Sekuat tenaga Jay melompat ke depan, menjejak tanah lalu berlalu ke samping, lincah melompat. Ia mengambil sesuatu dari dalam kantong sakunya, lalu menyebarkannya ke wajah Amar. Entah serbuk apakah itu.

Amar terkejut dan berdiri, matanya terkena serpihan serbuk, seberapa bagian juga terhirup, ia terbatuk, rasanya sesak. Amar lalu ambruk ke depan sampai bertongkat lutut.

“Amaaaaaarr!” Deka yang melihat kejadian curang itu jelas tak terima. Dia mencoba menolong dengan beranjak ke depan, tapi tangan Dinda yang erat memegang lengannya membuat Deka ragu. Sial, dia harus fokus.

“Jangan mendekat, Kun!” Amar menggeleng kepala sambil memejamkan mata yang pedih, melarang sang adik mendekat. Dia ternyata mendengar suara Deka. “Aku tidak apa-apa. Tenang saja di situ! Lindungi dia!”

Deka mendengus kesal karena tak sanggup berbuat apa-apa, dia melihat kini sang kakak terpaksa mengaktifkan kembali Perisai Genta Emas-nya karena pasukan lawan kembali mengeroyoknya dari segala arah. Entah apa serbuk yang ditebarkan oleh Jay tadi, yang jelas itu membuat Amar sempoyongan dan mulai tak bisa fokus. Bukan karena ia tak mampu melawan, tapi karena pedih di mata dan sesak napas membuatnya terganggu.

“Bangsat! Curang kalian!” Teriak Deka yang emosi, ia menggeram kesal pada anggota RKZ yang berada tak jauh dari bengkel. “Kalian tidak menaati syarat kalian sendiri!”

“Kuuuuuun!! Jagain dia! Jangan terpancing!”

Galung dan Agun memimpin delapan orang menyeruak ke pintu bengkel yang lebar, membuat Deka dan Dinda kembali masuk ke dalam. Agun tertawa, “ini jalanan. Bukan arena tinju. Tidak ada wasit, tidak ada aturan. Kita yang buat syarat, kita juga yang bisa membatalkannya. Nah, baru saja aturannya kami batalkan, tidakkah dengar? Waahahahaha.”

Dua orang hendak masuk ke dalam bengkel, mendekat ke arah Deka dan Dinda. Gawat.

Deka melaju ke depan, ia memang tidak cepat dan tidak punya banyak jurus yang bervariasi, tapi kalau hanya berhadapan dengan cecunguk bangsat semacam ini sudah sering ia alami, sudah sering lakukan. Sial, Deka menyesal, seharusnya dia lebih sering berlatih daripada bingung masalah cewek, Pakdhe Wid sudah memperingatkannya jauh-jauh hari.

Dua orang yang hendak masuk ke dalam bengkel tanpa ekspektasi, mereka tidak akan sadar apa yang menyerang mereka. Tiba-tiba saja Deka berada di depan kedua cecunguk lancang, dan sebelum keduanya sadar, si Gondes sudah mengirim dua hantaman ke dada kanan keduanya dengan tangan kanan dan kiri bersamaan.

Jbkkkghhh! Jbkkghhh!

Sodokannya hanya sekali masing-masing orang.

Tapi rasa hentakan di jantung bagaikan berulang, berkali-kali menyentak keduanya. Inilah Sodokan Penggetar Jantung, jurus ofensif yang dikuasai oleh Deka. Kedua lawan terpukul mundur dan jatuh terlontar ke belakang menjauhi bengkel. Bagus, untuk sementara gawang aman. Deka mendengus, dia hendak mempertaruhkan keselamatan Dinda tapi di saat yang sama dia juga harus mencari cara untuk menyelamatkan Amar dari serbuan bertubi.

“Pikirkan dulu dirimu sendiri.”

Kalimat itu menyentak kesadaran Deka yang masih berdiri di depan bengkel, kelebat bayangan berlalu di depannya. Galung memiliki badan yang kurus dan bisa bergerak teramat lincah. Dia berawal di kanan dan berhenti di kiri Deka. Apa yang baru saja dilakukannya?

Saat itulah Deka merasakan sengatan di lengan kirinya.

Deka tersentak.

Lengannya sudah robek! Berdarah! Bagaimana mungkin? Galung tidak membawa pisau atau senjata apapun. bagaimana bisa dia merobeknya?

Galung maju menyerang kembali. Kali ini Deka bersiap, Perisai Genta Emas yang sebelumnya tidak aktif sudah bertugas kembali. Deka mulai mengamati. Telapak tangan Galung lurus tak menekuk, jari-jemarinya lurus tak bengkok. Ia menggoyang tangannya di depan wajah. Ah, Deka tahu jurus ini – pantas saja bisa membuatnya luka! Jurus Tangan Pedang. Galung pasti telah melatih tangannya itu dengan sangat keras selama bertahun-tahun – mungkin bahkan sejak ia masih kecil, sehingga jika terkena sentuhannya saja sudah bagaikan terelus mata pisau.

Bangsat, ada juga yang seperti ini.

Sbbbhk!

Serangan Galung tentu saja tak dapat menembus pertahanan Perisai Gentai Emas milik Deka. Begitu terhentak mundur ke belakang, Deka langsung maju ke depan. Tangannya menarik pergelangan tangan Galung yang awalnya hit and run supaya mendekat.

“Mau kemana kamu, bajingaaaaan?” Deka mengunci tangan lawan, lalu tangan kanannya dilontarkan deras ke kening kanan Galung.

Jblaaaaaaakggghhh!

Galung terlontar ke kiri dan terguling beberapa kali, kepalanya langsung pening.

“Kuuuuuun! Masuk ke dalaaaam! Tutup pintu! Ambil di bawah meja kaca!” teriak Amar di sela-sela ia menangkis serangan lawan.

Deka mengangguk, ia segera buru-buru mencoba menutup pintu rolling door untuk melindungi Dinda yang berada di dalam. Tapi karena sudah sangat tua, rolling door bengkel Amar susah sekali ditutup. Ia berusaha keras menariknya ke bawah, sementara kakinya menyepak siapapun yang mendekat. Bangsatnya, rolling door itu terhenti ketika sampai di bawah lutut. Deka turun, berguling dan masuk ke dalam.

Dia cepat-cepat mencari apa yang disimpan Amar di bawah meja kaca. Tangan Deka merogoh ke bawah meja dan tersenyum saat menemukan sepasang double stick.

Dinda mematikan lampu. Minim cahaya, ia dan Deka saling berpandangan. Mereka terengah-engah. Tidak perlu mengucapkan banyak kata, karena masing-masing tahu apa yang tengah terjadi. Dinda melihat luka di lengan Deka. Gadis itu pun merobek lengan bajunya, dan mencoba mengikat kainnya ke luka Deka.

Raungan motor terdengar. Deka turun ke bawah dan mengintip melalui sela rolling door yang terbuka. Datang lagi pasukan RKZ tambahan, lima motor masuk ke arena. Entah sudah berapa jumlah mereka sekarang, terus saja bertambah.

Deka mendengus kesal. Pagi-pagi sudah cari masalah saja semua bangsat ini! Situasi gawat dan ia tidak akan bisa menyelesaikan semuanya dengan kondisi badan yang tidak mendukung, dia kelelahan usai mengendarai motor lintas kota lintas provinsi dalam sehari. Kini tiba-tiba saja harus mengatasi geng bangsat tak tahu malu.

Dari posisi ini dia tidak tahu bagaimana keadaan Amar sekarang, tapi mereka berdua jelas tidak dapat bergerak sendiri begini, dia dan Amar tidak akan sanggup menyelesaikan masalah hanya berdua. Deka menarik ponselnya, lalu menekan tombol di keyboard dengan sangat cepat. Ia mengirim pesan ke grup WhatsApp Lima Jari.

Kode Bravo. Bengkel Amar. Deka.

Usai mengirimkan pesan, Deka mendorong Dinda masuk ke bawah meja kerja Amar dan menempatkan diri gadis itu di kolong yang aman.

“Din, kalau nanti terjadi apa-apa, berjanjilah untuk lari dari sini. Jangan pedulikan aku atau Amar. Paham? Aku akan mencari jalan bagimu untuk pergi.”

“A-apa?” Dinda menggeleng, “tidak mau. Aku tidak mau kalian...”

“Din, jawab saja. Paham atau tidak?”

“Pa-paham. Tapi...”

“Tidak ada tapi, kami akan melalui ini dengan cara kami berdua, jangan khawatir, kami sudah terbiasa. Tapi aku tidak yakin kekuatan kami akan cukup untuk melindungimu karena kami harus berhadapan dengan pasukan yang cukup banyak. Secara logika, jumlah mereka jauh lebih masif, apalagi mereka jelas bukan pasukan yang main-main. Berjanjilah padaku untuk lari sekuat tenagamu. ”

“Janji.” Dinda mengangguk, dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana, bingung dan takut menyatu menjadi satu. Dia sudah sering menyaksikan carut marut dunia hitam karena Pakdhe Wid juga menyelami dunia yang sama, tapi dia tidak pernah berhadapan dengan serangan pasukan geng secara frontal seperti ini. Dia jelas mengkhawatirkan keselamatan Deka dan Amar.

“Bagus.” Deka tersenyum, ia berdiri sambil meremas jemari lentik Dinda. “aku tidak tahu apakah aku dapat selamat dari pertarungan kali ini. Yang jelas... aku sayang kamu, Din. Siapapun yang akan kamu pilih, aku tetap sayang sama kamu.”

“Mas...” Dinda hanya dapat berucap lirih. Mereka bertatapan dalam degup dada yang berdetak kencang.

Dinda memejamkan mata ketika Deka mendekatkan kepala dan mengecup bibirnya. Keduanya berciuman. Hanya untuk sesaat, pengobat rindu pemberi semangat. Elusan ringan penanda rasa sayang, rasa yang tersimpan bertahun-tahun lamanya. Ini yang dinantikan oleh Dinda sejak entah kapan, tapi kenapa situasinya seperti ini? Kenapa juga sosok Amar yang gagah justru membuatnya bimbang? Yang mana yang dia inginkan?

Dinda terdiam dan menunduk saat Deka melepas kecupannya. Deka mendorong gadis itu untuk bersembunyi. “Tunggu kami, lihat situasi, jika aman, segeralah lari. Aku akan mencoba membuka jalan untukmu. Paham?”

Dinda mengangguk.



Deka pun keluar dari sela rolling door, ia mempersiapkan sepasang nunchaku-nya dan berjalan ke depan, menantang pasukan RKZ di bawah komando Agun. Dia memainkan sepasang double stick-nya dengan buas, “Aku dengar kalian adalah pendatang baru di kota ini. Berani-beraninya sekarang kalian menantang aku dan kakakku di kota kami sendiri. Ganda nyawa kalian?”

Soal memainkan double-stick, mungkin di arena itu tidak ada yang bisa menyamai kepiawaian Deka. Badai pertahanan yang mampu dijadikan serangan ofensif membuatnya menjadi sosok yang sama sekali berbeda dari sebelumnya.

Agun mendengus, ia mengayunkan kedua tangannya, memerintah pasukannya segera menyerang. Peduli setan dengan double-stick tae kocheng! Bisa apa dia melawan sepuluh orang sekaligus?

Deka tersenyum, meremehkan ya?

Bagus.

Ia sudah siap.

Deka berteriak kencang menyambut datangnya pasukan lawan.





.::..::..::..::.





Matahari sudah duduk di singgasana, Om Janu sudah menyelesaikan olahraga paginya menyusuri jalanan pedesaan untuk menjaga stamina. Seperti biasa, mobil QZK akan menjemput dan membawanya pulang ke rumah. Rasa penasaran membuat Om Darno terus memikirkan si Bengal, ternyata memang benar, energinya luar biasa. Bahkan saat tersegel pun, masih ada kekuatan besar yang bisa diandalkan. Bocah yang luar biasa.

Sepanjang pagi tadi ia habiskan untuk berlatih fisik untuk membuka gerbang-gerbang yang sebelumnya tidak terbuka dari si Bengal. Mungkin bocah itu yang nantinya akan bisa mencapai apa yang ditunggu-tunggu oleh trah Watulanang selama bertahun-tahun lamanya, menuntaskan warisan Kidung Sandhyakala – tapi masih butuh waktu, masih harus bersabar.

Om Janu duduk di kursi santai di halaman samping rumah yang luas. Dari sana ia bisa melihat pemandangan ke arah Gunung Menjulang. Gunung perkasa yang tampil indah itu juga menjadi sosok yang mengerikan jika saatnya tiba. Manusia juga bisa meniru laku gunung, pada suatu saat menjadi orang yang ngrejekeni dan memberikan manfaat, namun di saat yang lain hadir sebagai orang yang tak kenal kompromi demi mendapatkan hasil akhir yang diinginkan.

Laki-laki tua berambut putih yang masih gagah itu tersenyum penuh arti. Dia telah menemukan kunci yang penting seandainya terjadi perang besar suatu saat nanti.

Nanto yang akan menjadi kunci.

Dengannya pula, ia akan menggapai dunia.

Om Janu tersenyum.

Ia menyeruput minuman wedang uwuh-nya dengan segar. Aahhh. Huenak tenan.

Nuwun sewu.”

Salah seorang abdi datang sembari menghidangkan apem, kue lumpur, dan carabikang yang tadi dibeli oleh istri sang majikan di pasar. “Apakah Ndoro sedang berkenan?”

“Hmm?”

“Ada tamu, Ndoro.

Sopo?

Den Seno.”

Oh?

Kejutan sepertinya tak henti-henti menemuinya. Ada urusan apa lagi sekarang sampai-sampai si Jagal yang legendaris datang menemuinya? Di pagi hari seperti ini pula. Dia manggut-manggut. Sudah lama sekali dia tidak berjumpa dengan Si Jagal.

“Aku ke ruang tamu, makanannya di sini saja. Ditutup biar tidak ditemploki laler. Nanti aku makan.”

Nggih, Ndoro.”

Om Janu membawa wedang uwuh-nya ke ruang tamu, dan duduk di kursi tunggal utama. Tak berapa lama kemudian, sosok berpakaian serba hitam datang untuk menemui sang pimpinan QZK dengan langkah yang tenang dan santai. Sulaiman Seno berhenti di pintu, tidak langsung masuk ke dalam ruang tamu.

Om Janu dan Seno saling pandang, keduanya bertatapan sejenak. Sama-sama menilai kekuatan masing-masing. Om Janu lah yang lantas tersenyum, dia mempersilahkan sang tamu duduk.

Ngopo ngadeg wae nang kono? Kenapa berdiri saja di situ? Masuk sini, seperti siapa saja.”

Tanpa banyak kata dan tanpa banyak senyum, Seno melangkah dengan berani menuju ke ruang tamu dan duduk di depan Om Janu. Pria itu mengeluarkan sepucuk surat berwarna apik yang dibungkus plastik dari dalam saku bajunya.

“Undangan Pernikahan, putra kedua Pak Zain.”

“Hmm, jadi begitu. Ngunduh mantu ya? Anak kedua beliau? Yang namanya... siapa itu yo, si Ahmad?” om Janu melirik ke dua nama yang tertera di undangan, Ahmad dan Meisya. Nah benar namanya. Kalau tidak salah si Ahmad ini sudah beberapa tahun terakhir tinggal di London. Cerdas, tampan, dan langganan beasiswa. Anak yang berbakat dan membanggakan orang tua.

Kaki Om Janu disilangkan dengan santai. Ia memandang tajam ke arah kacamata hitam yang dikenakan Seno. “Masih saja suka pakai kacamata, Sen.”

Seno terdiam.

“Kamu lebih kurusan sekarang.” lanjut Om Janu.

Seno masih diam.

“Kamu yang mengantar undangan-undangan ini ke orang-orang tertentu?

Seno mengangguk.

“Kepada siapa saja kamu mengantarkan surat undangannya? Semua pimpinan? Termasuk cah-cah PSG dan Dinasti Baru?”

Seno kembali mengangguk tanpa ekspresi.

Om Janu tersenyum, “Tidak perlu kaku begitu lah, kita pernah punya hubungan sebagai guru dan murid. Paling tidak kamu bisa menganggap bahwa kita pernah punya hubungan yang istimewa, apalagi aku yang mengajarkan apa yang kamu kuasai. Mungkin kalau dimulai dari situ kita bisa mencairkan suasana. Dulu kamu tidak sekaku ini.”

Seno terdiam.

“Apakah ada yang ingin kamu sampaikan selain mengantarkan undangan?”

“Hanya satu.” akhirnya Seno membuka mulut. “Pada duel terakhir JXG dan QZK saya tidak ikut.”

Om Janu mengangkat bahu, “ya, terus? Aku juga tidak ikut. Pak Zain juga tidak ikut. Ada masalah dengan itu? Banyak di antara kita yang tidak ikut. Ada untungnya kita tidak ikut, kalau ikut – mungkin sekarang kita sudah mendekam di penjara, menghitung hari tanpa tujuan pasti. Harusnya kamu berterima kasih padaku, bukan malah menggerutu.”

“Jika ada duel berikutnya. Maka guru sebaiknya ikut.”

“Walah, berharap kok malah perang. Seharusnya berharap damai.” Om Janu tersenyum, “Lagipula kenapa aku harus ikut?”

Seno menggemeretakkan gigi, tangannya terkepal. Urat-uratnya bertonjolan. Ia menurunkan kacamata hitamnya supaya dapat menatap Om Janu secara langsung. Matanya tajam menghunjam menatap ke depan. Jawabannya juga sudah pasti.

“Supaya saya dapat membalas dendam.”

Kemarahan hebat tergambar pada diri sang punggawa JXG. Aura Ki-nya menghempas ruangan bagai angin kencang. Beberapa kertas terbang dan pena jatuh. Kertas undangan yang diletakkan di meja bahkan terbang hingga jauh – tapi belum sampai jatuh ke tanah, satu tangan menangkapnya dengan santai dan meletakkan undangan itu kembali di meja dengan sopan.

Orang yang menangkap surat itu bertubuh besar, tegap, dan gagah. Rambutnya ikal dan diikat semaunya, ia hanya mengenakan baju batik yang terlalu besar untuk dikenakan, serta celana jeans bolong-bolong berwarna pudar. Jenggot dan kumisnya yang panjang juga tidak dicukur rapi dan dibiarkan seadanya. Perawakan dan penampilannya seperti anggota geng motor yang biasa tampil gahar, tapi mengenakan batik dengan rapi. Sungguh dandanan yang aneh.

Seno berdiri tegap di hadapan pria itu – Syamsul Bahar, senopati unit tempur QZK yang berjuluk Sang Panglima dari Kedung Layang. Entah sejak kapan dia datang, kehadirannya bahkan tidak bisa dideteksi begitu saja melalui aura.

“Sudah lama sekali tidak ketemu dengan njenengan, Mas Seno,” sapa Syam dengan suaranya yang berat dan mengintimidasi. “Tambah medeni. Semakin seram saja.”

Seno hanya mendengus.

Keduanya melangkah pelan, semakin dekat satu sama lain, saling menegapkan badan, saling tantang, saling hadap, saling menggenggam kepalan dan bersiap. Aura Ki yang bertolak-belakang muncul dari keduanya. Hembusan aura kencang kembali terasa. Om Janu hanya terdiam sambil menyentuh surat undangan dengan lembut supaya tidak terbang kembali.

Syam melanjutkan lagi dengan senyum sinis tersungging di wajah, “Jangan berpikir kalau hanya Mas Seno saja yang punya dendam ke QZK. Saya juga punya masalah yang harus diselesaikan dengan JXG dan itu melibatkan Mas Seno. Mudah-mudahan masih ingat urusan kecil kita ya, Mas. Saya tidak akan pernah lupa apa yang Mas Seno perbuat. Nyawa bayar nyawa.”

Seno bersiap. Syam bersiap.

Hawa di ruangan berubah menjadi tidak nyaman.

Blamm!

Om Janu menepuk tangan dan aura Ki hebat dari Syam dan Seno yang sejak tadi memenuhi ruangan langsung hilang dalam sekejap. Tensi dan energi keduanya langsung turun seketika bahkan lenyap, meski mata masih saling menatap, tapi kali ini keduanya mencoba lebih sopan dan tanggap.

“Sudah... sudah... pagi-pagi begini lebih baik kita sarapan saja supaya bisa menghadapi hari dengan lebih ceria. Betul bukan? Kenapa harus memasang wajah keras seperti itu? Kita sedang melakukan gencatan senjata, tidak boleh ada ancam mengancam, tidak boleh ada serang menyerang. Perjanjian harus dihormati.” Om Janu menepuk lengan Syam, “tolong sampaikan ke Bude Di. Minta tolong disiapkan roti bakar, selai nanas, kopi dan teh. Kita harus sambut kedatangan kawan lama.”

“Tidak perlu. Saya pamit. Permisi.” Seno menolak dan berjalan menuju pintu keluar tanpa menunggu tawaran lain.

Syam menatap sang bos. “Boleh saya memberikan ucapan selamat jalan?”

Om Janu melirik Syam, terkekeh sejenak, dan mengangguk. “Pastikan kembang di taman tidak ada yang terpotong. Bisa-bisa Ibu mengamuk.”

Syam tersenyum.

Hanya dalam sekedipan mata, sang Panglima sudah tak lagi berada di posisi semula. Untuk sosok sebongsor dia, kecepatannya menakjubkan.

Om Janu hanya geleng-geleng kepala sembari mengaduk wedang uwuh. Ia kembali berjalan dan duduk ke kursi di dekat taman. Makan apem sembari minum hangat memang anugerah pagi yang luar biasa, harus dinikmati selagi bisa. Saat duduk kembali di kursi dekat taman, om Janu memejamkan mata, merasakan aura Ki yang bertebaran di seluruh penjuru rumahnya. Ia bisa membaca di mana Syam dan Seno berada.

Om Janu tersenyum dan menyeruput minumannya dengan tenang.

Ia memperhatikan dalam diam.

Mencoba merasakan.

Bisa apa Seno sekarang?

Di luar, Seno berjalan pelan menuju motornya. Tapi belum lagi beberapa tapak ia melangkah keluar dari pintu, satu angin kencang membuat dirinya berhenti. Pria berpakaian serba hitam itu mendengus dan menengok ke samping.

Syamsul Bahar sudah ada di samping Sulaiman Seno.

“Hanya sekedar mengingatkan kalau kita ada perjanjian untuk bertemu dengan malaikat maut. Masalahnya hanya siapa yang akan terlebih dahulu datang menghampirinya. Kamu atau aku.” Bisik Syam dengan tenang. “Sekali lagi ini bukan ancaman, ini perjanjian.”

Seno tidak menjawab, dia hanya menatap Syam dengan dingin di balik kacamatanya, akhirnya Seno mendengus. Dia bergumam kecil dan sentakan energi besar keluar dari dalam tubuhnya, mendorong Syam mundur bagai daun kering dihempas angin. Inilah ledakan dahsyat kekuatan gerbang keenam Kidung Sandhyakala.

Syam terhempas mundur dua langkah, lalu memutar badan, menyergap energi yang datang dari serangan Seno, memutarnya dengan kedua tangan ibarat sedang memilin bola gulali. Lalu dengan segenap tenaga, energi yang dikumpulkan Syam dihempaskan ke samping.

Brgkkh!

Satu pohon berukuran sedang tercerabut dari akarnya.

Syam maju ke depan, melemparkan pukulan beruntun dengan anggun. Seno mengelak, sengaja tidak menghadang. Semua pukulan itu menemui ruang kosong tanpa sekalipun berhasil kena sasaran. Seno melepaskan satu pukulan kencang dari bawah. Siku ditekuk setengah, badan membungkuk, kepalan dari perut disorongkan ke depan – juga menuju ke arah perut.

Seharusnya masuk.

Seharusnya.

Tepat di saat terakhir, Syam mengelak cepat. Ia beringsut ke samping dengan gerakan tubuh ringan. Meski sempat menghindar, hentakan pukulan Seno menyerempet pinggangnya, hangat terasa. Syam meraih pergelangan tangan Seno, lalu memutarnya. Jika saja Syam sedang berhadapan dengan orang bertubuh kerempeng atau tidak punya ilmu kanuragan – maka orang itu pasti terbanting dengan mudah.

Tapi Seno teguh berdiri tanpa terpengaruh, tergeser pun tidak. Tangannya dikencangkan, bibirnya bergumam, energi dilepaskan sekali lagi. Kali ini Syam tidak siap.

Bnghhh!

Syam mundur tiga langkah ke belakang terkena sentakan tenaga itu, tapi alih-alih terdesak, dia justru mundur mengarungi sentakan tenaga dari Seno. Ibarat berselancar dengan menggunakan arus lontaran. Ia mendarat ringan seperti seakan tak kurang suatu apa.

Syam menghentakkan kaki ke tanah dan sebuah tenaga besar mengalir dari dalam tanah menuju ke sang Jagal. Giliran Seno yang mundur terkena dorongan energi yang sulit dihindarkan, ia juga mundur tiga langkah ke belakang.

Sampai sejauh ini imbang.

Baik Syam dan Seno melangkah ringan untuk maju. Dua sosok pria dari dua kubu yang berseteru kembali bertemu, kali ini keduanya kembali mendekat satu sama lain. Seno masih tidak banyak cakap, sementara Syam tersenyum sinis. Kedua orang ini jelas masih belum menggunakan seratus persen tenaga mereka.

Syam menepuk dada Seno.

Seno menepisnya.

“Mulai sekarang perhatikan langkah kakimu. Sering-sering menengok ke belakang dan perhatikan kiri atau kanan. Karena siapa tahu, tiba-tiba saja aku datang untuk mencabut nyawamu. Gerbang pertama Kidung Sandhyakala tidak akan sanggup mendeteksi kedatanganku,” ucap Syam dengan penuh keyakinan. “Kita akan bertemu kembali, ini bukan yang terakhir kali.”

Seno mendengus dan untuk pertama kalinya ia membuka mulut, “coba saja.”

Syam menganggukkan kepala, lalu berjalan kembali untuk masuk ke rumah.

Seno masih berdiri terdiam menatap rumah yang dulu pernah menjadi tempatnya singgah selama beberapa tahun. Cerita lama bak memory yang hinggap indah dalam ingatan tapi rasa sakit dalam hati seperti terbayang membuatnya menjadi noda tak termaafkan. Ia menghela napas panjang, lalu menaiki motornya, mengenakan helm, membuka kunci, dan mulai menjalankan motor untuk segera pergi dari rumah Om Janu.

Akan ada waktunya nanti kala mereka semua akan berjumpa, untuk menuntaskan semua masalah, dan menyelesaikan semua dendam dalam dada.

Akan ada saatnya.





.::..::..::..::.





Nanto mengelap peluhnya yang turun sebesar biji jagung. Sudah sejak pagi dia berolahraga, sejak matahari belum lagi bangkit dan purnama masih bertahta di langit, saat cakrawala belum lagi biru dan langit hanya diselimuti gelap dari ujung ke ujung. Dia selalu suka lari pagi sembari melihat mentari terbit di ufuk, seakan pagi hadir secara khusus untuk menyapanya, seakan harapan baru lahir dan sudah saatnya memenuhi paru-parunya dengan udara. Apalagi pagi ini dia berlatih ilmu kanuragan yang menjadi warisan, bersama Om Janu membuka ilmu leluhur, membuka diri menerima masukan.

Entah sudah berapa jam ia berlari, dari mulai gelap pagi hingga terbit mentari, dari mulai sepi hingga ramai orang mengisi hari, yang pasti sejak hadirnya pagi, dan matahari mulai tinggi, Nanto tahu sudah saatnya ia kembali.

Mungkin dia hanya tidur selama beberapa jam hari ini, setelah tadi malam berjaga di rumah sakit, pulang sebentar, dan ketika pagi menjelang ia pun langsung berolahraga. Tidak apa-apa hanya sebentar saja, yang penting tidurnya berkualitas.

Saat si Bengal pulang, ia melihat Om Darno dan Tante Susan sudah menunggu di depan pintu kontrakannya dengan senyum lebar. Wah surprise banget! Ini kali pertama mereka berkunjung sejak ia pindahan. “Weh! Om! Tante! Kok tidak bilang-bilang mau datang! Hahaha! Bukannya kalian seharusnya berangkat ke luar kota nih?”

“Ini cuma sekedar mampir saja, kok. Pas lewat sini, sekalian bawain kamu bubur ayam sama pengen lihat kontrakan barumu. Mumpung kita ga jadi berangkat ke luar kota karena jadwalnya diundur.” tanya om Darno sambil ikut-ikutan merenggangkan badan, seakan-akan ingin ikut berolahraga. “Mantap tenan, olahraga terus, le? Kayaknya enak di badan, sudah lama sekali tidak olahraga. Sekarang-sekarang ini badan terasa berat. Lain kali aku juga ikut ah.”

“Hahaha, ikutlah, Om. Atau nanti saya aja yang ke sana. Kita jalan pagi bareng.”

“Cucok lah.”

“Gayanya si Om, boro-boro olahraga. Bangun pagi aja susah.” Tante Susan mencibir sambil mencubit perut suaminya yang mulai menggendats. “Tuh, Mas. Biar si Nanto setiap weekend datang ajakin kamu lari pagi.”

“Iya, le. Ke rumah aja kalau weekend, aku ikut lah lari pagi.”

Nanto tertawa dan mengangguk. “Siap, Om.”

“Enak di sini, le. Adem, sejuk, damai. Ada pemandangan ke gunung, halaman luas, suasana masih asri khas pedesaan padahal dekat sama kota,” kata Tante Susan yang asyik menikmati pemandangan dari teras lantai dua kontrakan Nanto. “cocoklah buat kamu.”

“Iya Tante, lumayan.” Nanto membuka pintu kontrakannya. “Silakan... silakan... maaf seadanya, belum sempat beres-beresin.”

Tante Susan dan Om Darno duduk di ruang depan, sementara Nanto menyiapkan teh celup. Ketiganya pun langsung menikmati pagi dengan lahap makan bubur ayam dan minum teh hangat.

“Bagaimana kabar si Hanna, le?”

“Baik Tante, sudah mendingan. Seharusnya hari ini pulang sih. Tapi rasa-rasanya dia masih belum mau pulang ke rumah, masih trauma dan takut. Kakaknya semalam sempat datang – dan akhirnya Hanna mau menemui Kak RIzka, tapi dia masih belum bersedia pulang, apalagi kalau ujung-ujungnya ketemu Glen. Orang tua Hanna kan masih Glen-minded banget katanya.” Nanto menjelaskan. “Semalam sih dia bilang masih ingin tinggal sementara di rumah Tante, bagaimana?”

“Kasihan anak itu, Tante sih tidak masalah. Sementara dia bisa tinggal di bekas kamarmu kalau mau. Tapi harus dengan persetujuan keluarga atau wali-nya. Dengan syarat Glen tidak boleh tahu dan tidak boleh datang. Paling tidak sampai suasana tenang dan semua masalah jernih.”

“Betul Tante. Kak Rizka sih masih bisa dipercaya. Dia yang sayang banget sama Hanna. Katanya dia yang akan menjelaskan semua ke orangtua Hanna dan akan menjelaskan pelan-pelan kenapa Hanna tidak pulang. Masalahnya kan orangtua Hanna hutang budi banget sama Glen dan keluarganya, walaupun sebenarnya mereka berkecukupan.”

Tante Susan geleng-geleng kepala. “Berat kalau sudah masalah hutang budi dan mengorbankan kebahagiaan. Ya sudah, antarkan aja dia nanti ke rumah, pagi ini Tante siapkan kamarnya. Siapa yang jaga pagi di rumah sakit hari ini?”

“Kinan, Tante.”

“Oke. Tanyakan juga ke Kinan no rekeningnya. Sementara biar Tante dan Om yang urus biaya rumah sakit dan lain-lain. Supaya Hanna bisa tenang dan pulang tanpa banyak pikiran. Itu dulu yang penting, masalah dia nanti mau ganti biayanya atau tidak, urusan keri. Kalau nanti kamu tidak bisa, biar Kinan yang antar Hanna ke rumah.”

“Siap Tante.”

Tante Susan tersenyum, “Anaknya manis banget si Kinan. Pinter banget kamu nyari pacar, le.”

“Hehehe. Makasih Tante.”

Om Darno manggut-manggut seperti boneka Mampang, “Anaknya baik dan manis. Cocok juga ngobrol sama Tante-mu. Wes lah, kami setuju-setuju saja. Semoga langgeng kalian.”

“Siap Om, amin.”

“Oh iya. Ada yang mau Tante tanyain, le. Berkaitan dengan Om Janu. Kalau tidak salah kemarin kan dia datang ke rumah sakit, ya? Apa kalian ketemu? Dia penasaran banget sama kamu.” tanya Tante Susan. “Apa saja yang diajarkan sama om Janu?”

“Ketemu kok Tante, beliau mengajari cara untuk mempermudah membuka gerbang lima, enam, dan tujuh melalui meditasi. Senang rasanya ada panduan. Pagi ini kami juga melatih fisik supaya lebih siap. Semacam pemanasan.”

“Pagi ini? Hmm... jadi bagaimana? Sudah bisa dikuasai?”

Nanto menghela napas. “Sebenarnya sudah, sejak sama Kakek pun sudah dilatih... tapi... seperti ada yang menekan tenaga saya, Tante. Seperti ada yang tidak lepas, tertahan. Om Janu bilang, ada katup yang masih tertutup. Antara memang belum sempurna terbuka, atau ada yang sengaja menyegel. Sumpah saya bingung, kalau memang tertutup bagaimana membukanya? Bagaimana melatihnya? Apa yang harus saya lakukan agar semua bekerja dengan lancar?”

Tante Susan tersenyum, “mau dibuka?”

Nanto tertegun. “Pasti. Memang Tante bisa membukanya?”

Tante Susan menggeleng.

Nanto mendesah kecewa. Kirain bisa.

Om Darno dan Tante Susan sama-sama tertawa. Sang Tante mendekat dan mengelus rambut ponakannya, “kalau memang saluran tenagamu disegel, maka yang bisa membuka hanyalah yang pernah menutup atau dibuka sendiri tapi melalui sebuah ritual yang tidak mudah. Tidak sembarang orang bisa membuka segel itu. Kamu sama sekali tidak ingat ya bagaimana peristiwanya?”

Nanto menggeleng. “Memang siapa yang menutup? Perasaan tidak pernah ada yang...”

“Mungkin sudah saatnya dia tahu.” kata Tante Susan sambil menatap suaminya.

Om Darno mengangguk dan tersenyum.

“Tahu apa, Tante?” Nanto kebingungan.

Tante Susan menarik napas panjang, siap menceritakan sebuah sejarah. Awal mula ketika. Ini akan menjadi percakapan yang panjang, tapi sudah saatnya diceritakan.

“Jadi... kita mulai dari awal sekali. Kamu... kamu lahir sebagai anomali, le.”

“Ha?”

“Anomali. Pengecualian. Katup energimu sudah mengalir hebat bahkan sejak kamu baru lahir. Kami sekeluarga takjub karena apa yang kamu miliki berbeda dari kami sesama Trah Watulanang. Kami harus mempelajari ilmu turun temurun baru memperoleh kemampuan yang setara denganmu, terlebih Om Darno yang bukan keturunan langsung dari Trah Watulanang, beliau harus mati-matian belajar bertahun-tahun sebagai murid Kakek. Tapi kamu... kamu memiliki energi yang luar biasa bahkan tanpa berlatih apa-apa sebelumnya – bagaimana mungkin juga kamu berlatih, kamu kan baru lahir.” Tante Susan duduk di sebelah Nanto dan mulai menjelaskan.

“Sejak lahir?”

“Bener, le.” giliran om Darno yang menjelaskan, “bak mukjizat, pernikahan ayah dan ibu kamu menghasilkan anomali seperti kamu. Anomali dengan energi yang luar biasa bahkan sejak lahir, entah karena apa. Baru kamu satu-satunya keturunan trah Watulanang yang lahir dengan anugerah seperti itu. Kakek bilang kita harus merahasiakan keberadaanmu karena nantinya banyak yang akan memburumu demi alasan pribadi mereka, jadi kami semua sepakat untuk merahasiakan keberadaanmu dari trah Watulanang lain. Masalah berikutnya timbul karena tubuhmu yang mungil jelas tidak akan kuat menahan besaran energi yang langsung berkembang pesat.”

Nanto mengangguk mulai memahami, tidak heran Ibu dulu bilang sewaktu kecil dia sering sakit-sakitan.

“Kami semua tahu seiring dewasamu, jika tidak terkontrol dan tidak dilatih, energimu hanya akan menjadi tenaga yang sia-sia tersimpan dalam tubuhmu, bahkan akan berbalik membuatmu lemah. Namun jika dilatih sejak awal, maka kamu seharusnya menguasai tenaga yang teramat luar biasa. Bahkan mungkin kamu-lah yang bisa membuka rahasia leluhur kita.”

“Rahasia leluhur?”

“Rahasia leluhur yang tujuh menuju delapan belas,” ujar Om Darno. “Bukan rahasia leluhur cara bikin kue wajik.”

“Ah. Warisan leluhur kita yang itu.” Nanto ngekek dan mengangguk. “Jika sudah menguasai tujuh gerbang maka akan dimudahkan untuk membuka kawruh memahami ilmu kanuragan 18 Serat Naga.”

“Betul, le. Sayang memang hingga kini belum ada yang pernah bisa menguasai Nawalapatra 18 Serat Naga dengan sempurna selain leluhur kita, walaupun ilmu-nya sudah diajarkan dan dibaca turun temurun dari generasi ke generasi.”

“Kenapa ya bisa begitu? Kenapa tidak bisa sempurna? Bukankah ada rumus tujuh menuju delapan belas? Masih kurang apalagi?”

“Tujuh menuju delapan belas itu kalau lancar,” sambung Tante Susan. “Memangnya kamu sudah bisa semua? Tante jujur tidak menguasai semuanya secara sempurna, apalagi yang delapan belas – meski secara teori memahami keduanya, tapi rasanya tidak diperlukan mempelajarinya terlalu jauh. Hidup Tante sudah terlalu repot untuk mendalami hal-hal begitu.”

“Katakanlah aku sudah lancar menguasai ketujuh gerbang. Semuanya bisa dibuka dengan lancar.” Nanto penasaran. “lalu apa yang terjadi? Apa yang harus aku lakukan?”

“Tujuh gerbang harus dikuasai terlebih dahulu untuk bisa mempelajari 18 Naga. Mempelajari ya, bukan menguasai. Karena sebenarnya syarat tujuh gerbang itupun tidak mutlak seratus persen akan berhasil, pasti akan selalu ada yang kurang.”

“Ha? Kenapa tidak bisa dikuasai kalau bisa dipelajari?”

“Karena sebenarnya ada rahasia pada Kidung Sandhyakala, trah Watulanang biasa menyebutnya Rahasia Kidung atau Selubung Kidung. Jadi sebenarnya masih ada tiga lapis gerbang yang sampai sekarang tidak diketahui rimbanya, hilang ditelan masa. Entah kenapa gerbang ke-delapan hingga ke-sepuluh tidak lagi bisa diketemukan, jadi tidak hanya tujuh, le... ada sepuluh.” ucap Om Darno menjelaskan. “Ketiga gerbang itu adalah syarat untuk menyempurnakan 18 Serat Naga. Tanpa ketiga gerbang tambahan, kita hanya akan menguasai enam puluh hingga tujuh puluh persen saja dari 18 Serat Naga.”

Nanto menggaruk kepala dengan bingung. “Jadi ada sepuluh... tapi yang tiga lagi masih belum ada yang menemukan?”

“Betul, tidak ada yang tahu juga bagaimana mencarinya dan harus bagaimana untuk mendapatkannya, itu sebabnya kita semua menyebutnya selubung kidung.” giliran Tante Susan yang menjelaskan, “Tapi itu kita tadi ngalor-ngidul mengenai ilmu turun temurun, sekarang akan coba kami jelaskan mengenai katup energi yang tertutup. Tadi kami sudah jelaskan kalau sejak lahir kamu punya energi teramat besar sebagai anomali, tapi sekarang tertutup dan tak bisa dikeluarkan.”

“Iya Tante...”

“Kamu mau tahu syarat membukanya?”

“Mau dong.”

“Agak berat.”

“Tidak masalah.”

“Agak susah.”

“Nanti saya pakai kalkulator.”

Tante tertawa, “cah edan.”

“Jadi bagaimana caranya, Tante?”

“Ada beberapa cara. Cara pertamanya sederhana; pergilah ke makam Ibu kamu, lalu minta maaf. Ajak Kinan ikut serta, karena beliau pasti ingin melihat kekasih yang kau pilih.” Tante tersenyum, “lalu berdoa kepada Sang Penguasa Jagad, supaya ibu kamu dibukakan hatinya untuk membuka segelmu.”

“HAH!?” Nanto melongo, mulutnya terbuka lebar.

Pose Nanto yang kaget dengan mulut menganga bak gua Aladdin dibuka Jaffar membuat Om Darno dan Tante Susan bukannya prihatin, tapi malah tertawa bersama.

“Jadi yang menutup katup energi kamu adalah Mbak Sari – Ibu kamu,” Tante Susan menjelaskan. “Beliau yang dengan susah payah dalam kondisi sakit menutup kemampuanmu dari masa ke masa. Karena tidak ingin tubuhmu hancur sebelum waktunya. Mulai dari kecil saat tubuh ringkihmu belum kuat menahan kekuatan, sampai kemudian sempat dibuka sedikit ketika kamu beranjak dewasa, sebelum akhirnya ditutup kembali.”

“Tapi kenapa...?”

“Tentu saja ada alasannya.”

“Kenapa?

“Ingatkah apa yang kamu lakukan semasa SMP? Semasa SMA? Ingatkah kamu pada kejadian-kejadian yang berlangsung di masa itu? Mungkin tidak. Semua itu terjadi bahkan setelah segel ditutup, kamu tumbuh menjadi bocah yang mbeling dan membuat Ibu-mu pusing,” kata Tante Susan. “Baru setelah kamu kehilangan kehidupanmu di kota dan tinggal bersama Kakek, kamu menemukan kedamaianmu. Benar kan?”

Nanto mengangguk.

“Ibu jelas tidak ingin jahat sama kamu, le. Beliau selalu menginginkan yang terbaik untuk putra semata wayangnya. Beliau mengajarkan ilmu di luar Kidung Sandhayakala untukmu, mengajarkanmu Wing Chun, mengajarkanmu ilmu pernapasan, mengajar ilmu peniru, mengajarkanmu cara menghadapi lawan dengan cerdik. Beliau mengajarkan semua itu sebagai bekal supaya kamu dapat menjaga diri dan bukan untuk menyerang orang lain, bahkan tanpa Ki berlebih.”

Nanto menunduk, ia menyadari apa yang ia lakukan di masa lalu memang membuat ibu-nya sangat kecewa. Ia sadar betul sedihnya sang Ibu di masa-masa masa itu.

“Bayangkan betapa kecewanya beliau ketika kamu malah menggunakan kemampuan itu untuk tawuran setiap minggu, berantem siang malam tanpa kenal hari, sampai pada puncaknya... ketika ada temanmu yang kemudian...”

“...meninggal, ya aku tahu Tante. Kejadian itu sangat memukul Ibu sampai beliau jatuh sakit dan akhirnya meninggal juga karena kecewa, terlebih setelah bertemu dengan orang tua korban. Sampai hari ini saya masih merasa bersalah kalau ingat itu, walaupun Tante, Om, dan Kakek sekalipun selalu memberi semangat.”

“Jadi ingat ya kata Tante, coba kau ziarah ke makam Ibu-mu. Ucapkan penyesalanmu dari hati yang terdalam, doakan semoga beliau mendapatkan jalan terang yang mudah untuk duduk di sisi Sang Panguasa Jagad. Mudah-mudahan segelmu bisa dibukakan entah kapan. Kecuali... kecuali kamu tiba-tiba saja punya kemampuan untuk membukanya sendiri.”

“Baik Tante.”

“Cara yang kedua itu... nah ini yang sampai sekarang masih misterius yang Tante sendiri tidak paham mekanismenya, jadi tidak bisa Tante ceritakan bagaimana-nya. Ada beberapa orang yang sanggup membuka sendiri segel energi yang menutup energi Ki murni mereka, tapi entah bagaimana caranya. Sepertinya harus ada trigger atau pemicunya.”

“Pemicu...”

“Oh iya, Tante jadi ingat. Gerbang Pertama-mu itu...”

“Iya, kenapa... Tante?”

“Apakah pernah aktif tanpa kau buka sebelumnya?”

“Pernah Tante! Saya juga heran kenapa bisa begitu. Kenapa ya kira-kira? Kadang kaget sendiri kalau muncul tiba-tiba. Padahal sama sekali saya tidak mengucapkan rapalan apa-apa. Sebenarnya bagaimana hal itu, Tante?”

“Tidak apa-apa, itu malah bagus supaya ada yang selalu mengingatkan kita. Betul tidak? Supaya kita selalu eling dan waspada.”

“Ya... bener sih. Tapi...”

“Suara dalam hatimu itu... apakah suara perempuan atau laki-laki?”

“HAH!?”

Nanto menggaruk kepala. Pertanyaan macam apa pula itu?

“Mana saya tahu, Tante. Suara dalam batin saya... ya seharunya tidak ber-gender. Kalaupun punya gender, seharusnya cowok kan ya? Kan suara batin saya sendiri. Kenapa memangnya?”

“Tidak apa-apa. hanya tanya saja.” Tante Susan tertawa sembari mengedipkan mata pada Om Darno yang juga menahan tawa. Entah hal apa lagi yang belum mereka ceritakan pada si Bengal. “Tante yakin Ibu-mu bangga melihatmu, le. Mbak Sari pasti selalu melihat kiprahmu, mengawasimu, dan senang kamu bisa memperbaiki diri. Dia akan selalu dekat denganmu.”

“Mudah-mudahan begitu, Tante. Jalan saya masih jauh untuk membuat beliau bangga.”

“Pasti bisa, pasti akan ada saatnya nanti, le. Beliau dekat denganmu kok dan selalu mengawasi,” ujar Tante Susan geli.

Nanto mengangguk meski ia masih tidak tahu apa yang sebenarnya lucu, “jadi segel ini juga bisa dibuka sendiri tapi caranya masih belum paham ya, Tante?”

“Betul, Om dan Tante sama-sama tidak akan bisa menjawab kalau soal itu, karena selama ini belum pernah ada yang bisa melakukannya. Kakek yang pernah bilang kalau caranya berat. Bahkan Kakek pun tak bisa membuka segelmu.”

Nanto mengangguk, ia mendesah panjang.

“Ada lagi, le?” tanya om Darno.

“Ada. Tanya lagi deh, Om dan Tante.” Nanto masih penasaran. “Kalau tentang gerbang... apakah ada caranya mencari tiga gerbang yang tersisa? Rasa-rasanya risih jika masih ada yang kurang saat kita mempelajari sesuatu. Jadi ingin menuntaskan kesepuluh gerbang, sekaligus menyempurnakan 18 Serat Naga jika memang masih belum lengkap.”

Om Darno dan Tante Susan sekali lagi saling berpandangan, menatap si Bengal, dan menjawab hampir bersamaan. “ADA!”

Nanto agak sedikit kaget, tapi kemudian terkekeh, “Wih elok, bisa barengan.”

Om Darno dan Tante Susan tertawa. Mereka juga kaget sendiri bisa mengucapkan kata itu secara bersamaan, mungkin memang jodoh.

Om Darno yang menjelaskan kali ini, “Karena memang beneran ada caranya. Pernah ada yang mencoba dan katanya bisa, hanya saja karena dia bukan orang yang tepat, maka ada penolakan kehadiran, sehingga ia gagal. Konon hanya orang yang tepat yang diijinkan untuk menguasai ketiga gerbang terakhir – dan dengan energi anomali yang kamu miliki, kemungkinan kamu bisa membuka Selubung Kidung.”

“Bagaimana caranya?”

“Apakah Kakek pernah menunjukkan lokasi gua ditemukannya Kidung Sandhyakala?” tanya Om Darno.

Nanto mencoba mengingat-ingat, “sepertinya pernah. Di hutan. Tapi aku lupa posisi pas-nya.”

“Hehehe, tahukah kamu kenapa Kakek selalu mengajakmu ke hutan? Atau kenapa Kakek tinggal di tempat itu dan enggan pergi?”

“Kenapa memang?”

“Karena Kakek adalah juru kunci gua leluhur.”

“HAH!?”

“Hahaha, masalah itu bisa kita bahas lain kali. Sekarang kita jawab saja pertanyaanmu tadi. Apakah ada caranya? Jawabannya ada, tapi kami berdua tidak yakin kamu akan kuat mencobanya atau mampu menjadi yang terpilih untuk membuka Selubung Kidung.” Om Darno menatap lekat-lekat sang ponakan. Wajahnya serius, Nanto jadi takut sendiri. “Syaratnya adalah... kamu harus bersemedi di sana, di dalam gua leluhur.”

“HAH!?” Nanto melongo lagi. “Serius?”

Om Darno dan Tante Susan tertawa, sumpah kagetnya si Nanto ini epik.

“Iya, ini serius.” Om Darno melanjutkan lagi. “kamu harus bermeditasi di sana, meminta restu pada Eyang Leluhur untuk datang dan memberi kawruh. Ini kedengarannya hal yang mustahil memang, sulit dicerna akal sehat. Tapi dengan seizin Sang Penguasa Jagad, tidak ada yang tidak mungkin dan Eyang Leluhur bisa diijinkan datang untuk membantumu. Tapi ya itu tadi, kamu harus bersemedi dan menjalani ritual puasa. Sudah banyak yang mencoba, tapi selalu gagal bukan karena ritualnya, tapi karena mereka bukan orang yang tepat.”

“I-ini beneran nih? Yang beginian? Hajigur. Padahal ini sudah jaman pesen indomie di warung depan saja bisa pake internet.”

Om Darno dan Tante Susan tertawa, “Kami tidak akan memaksamu jika kamu tidak sanggup. Karena hanya dengan berbekal 7 gerbang dan 18 Serat Naga yang tidak sempurna saja, Om Janu bisa meraih apa yang dia miliki sekarang. Meski kami sangat tidak menganjurkan kamu untuk mengikuti jejaknya. Biar bagaimanapun, kami ingin kamu berjalan di jalur yang lurus, le.”

Nanto mengangguk. Satu pemikiran terbentuk di benaknya. Menarik sebenarnya, tapi apakah dia ada waktu untuk melakukan ritual seperti itu? Hmm... 18 Serat Naga.

“Siap Tante.”

Om Darno dan Tante Susan saling berpandangan, Tante berdehem dan berbicara dengan nada selembut yang ia bisa, “Kami tahu akhir-akhir ini kamu dekat dengan Om Janu, dan beliau memang baik. Tapi ada hal-hal tertentu yang harus kamu ketahui tentang Om Janu, le...”

Smartphone Nanto berbunyi, ia melirik notifikasi.

“Sebentar Tante, ada yang...”

Kode Bravo.





.::..::..::..::.





Hageng menarik napas, menarik kaki kanan ke belakang.

Dengan posenya sekarang, otomatis tangan kanan juga ditarik ke posisi belakang. Matanya fokus ke satu titik di depan. Bahunya bergerak memutar separuh, meski kepala tetap mengarah ke depan sempurna dan tegak.

“Sekarang!”

Hageng menuruti perintah, ia memutar badan dengan kecepatan tinggi ke depan dan melontarkan tangan kanannya sekuat tenaga ke arah sasaran - sebuah boxing sandbag yang ukurannya teramat besar. Pukulan itu masuk dengan sangat kencang.

Bmmm!!

Hantaman Hageng membuat sandbag raksasa itu bergoyang. Hageng mendengus dan tersenyum, oke lah sepertinya. Memang belum sempurna, toh dia juga baru mulai belajar hari ini, setidaknya dia sudah dapat mengeluarkan tenaga mentahnya. Dia sendiri sudah lupa sudah berapa kali menghantam sandbag itu hari ini.

Tepuk tangan kencang di belakang Hageng membuatnya tersenyum.

“Bagus. Lumayanlah sudah bisa menggoyang sandbag-nya. Sekarang masalahnya adalah cara membangkitkan dan meningkatkan Ki yang kamu miliki, tentu itu bukan perkara mudah, tapi kalau aku bisa, kenapa kamu tidak. Terlebih lagi, semua manusia sebenarnya memiliki Ki mereka masing-masing,” kata Simon. “Seorang calon pimpinan Sonoz harus menguasai Pukulan Geledek – dulu aku juga belajar dari Ketua Sonoz sebelumku. Kini aku mewariskannya padamu, sampai nanti perlu diwariskan kembali ke calon penggantimu kelak.”

Hageng dan Simon tengah berada di ruang khusus gym di rumah Simon yang bak istana. Dasar orang kaya, meski tidak banyak mengumbar kekayaan, Simon ternyata adalah anak dari orang tua yang cukup disegani di dunia property. Meski hidup berkecukupan, tak sekalipun Simon pernah memamerkan atau menggunakannya untuk kepentingan pribadi.

“Luar biaza zekali, Boz. Tapi raza-razanya ku tidak akan zanggup menguazainya dalam waktu zingkat.”

“Tidak ada yang instan di dunia ilmu kanuragan yang sebenar-benarnya. Butuh waktu, butuh komitmen, butuh pengorbanan, dan butuh keseriusan. Tapi tidak ada yang mustahil.” tanya Simon. “Apakah kamu bersedia?”

“Tidak ada jalan lain lagi, aku haruz meningkatkan kemampuan zupaya tidak tertinggal dari yang lain.” Hageng mengangkat bahu, “zelama ini cuma biza gulat bebaz. Kalau biza menguasai juruz dengan peningkatan Ki, mungkin biza lebih lumayan membantu.”

“Bagus. Untuk awal, kita harus berlatih ilmu pernapasan untuk membangkitkan Ki, setelah itu meningkatkannya, dan terakhir belajar mengatur energi yang dikeluarkan dan disimpan secara efektif. Pukulan Geledek membutuhkan muntahan energi Ki yang sangat kuat, kalau tidak siap, kamu pasti bakal ambruk kelelahan.”

Simon menarik napas, sembari menetapkan posisi sandbag supaya benar-benar tetap di tengah dan tidak goyang.

“Pukulan Geledek intinya adalah pemusatan dan pelepasan energi dalam jumlah yang tepat dengan tingkat akurasi yang pas. Kalau kamu melepas energi dan ternyata gagal menemui sasaran, maka akan butuh waktu untuk mengembalikan Ki yang terlepas. Sasaranmu harus dikunci pada posisi yang tetap, itupun bisa dilakukan dengan melepas energi Ki untuk menggenggam kaki dari jarak jauh – semacam menciptakan medan magnet di bawah kaki mereka. Tentu saja ini tidak bisa berlangsung lama, hanya beberapa detik. Detik-detik itulah yang paling krusial,” ujar Simon. “lalu setelahnya, ledakkan pukulanmu. Seperti ini.”

Simon mengayunkan tangannya, genggamannya kencang, pukulannya penuh tenaga.

Baaaaaaaaammmmm!

Sandbag
itu bergerak teramat kencang, bahkan kait di atas seakan-akan hendak terlepas. Hageng menganga terheran-heran. Luar biasa memang kalau sudah mengetahui caranya. Jurus ini sangat mengerikan. Kalau saja ia dapat menguasainya dengan cepat.

Simon menarik napas, lalu melepaskannya dengan teratur. Sandbag masih bergoyang sangat kencang.

“Bagaimana?” tanya Simon.

“Luar biaza, Boz.” Hageng mengangguk memberikan apresiasi. “Aku jadi terinzpirazi untuk membuat beberapa bait puizi.”

“Waduh.”

Smartphone Hageng berbunyi, ia melirik notifikasi.

Pikirannya melayang ke ujung awan. “Zepertinya puizinya haruz menunggu kali lain, Boz.”

“Syukurlah. Tidak ada puisi pun kayaknya jauh lebih baik.”

“Bolehkah aku menanyakan zezuatu?”

“Apa itu?”

“Bolehkah aku meminjam motor yang paling cepat di zini?”

Hageng tahu dia harus ngebut, karena dia baru saja menerima sebuah kode penting.

Kode Bravo.





.::..::..::..::.





Roy masih belum bisa tidur, matanya mata panda. Hitam melingkar.

Akhir-akhir ini dia memang susah sekali tidur.

Pikirannya hanya tertuju ke Rania yang masih juga belum memberikan jawaban pada lamarannya. Apakah sesusah itu ya? Apakah dia memang tidak sepantas itu? Mungkin memang dia terlalu terburu-buru. Seharusnya dia memantaskan diri dulu sebelum berani melamar Rania, siapa sih dia yang pekerjaannya hanya di rumah makan?

Mungkin dia harus belajar memasak, supaya lebih punya banyak kesempatan untuk menjadi seorang chef. Atau mungkin dia harus mencari cara lain untuk mendapatkan penghasilan, supaya bisa menghidupi Rania dan anaknya.

Ponsel Roy berbunyi.

Sudah berbunyi saja sih alarmnya?

Roy melirik ke arah jam dinding. Hmm, bukan waktunya alarm berbunyi. Dengan malas dia bergulir, membalikkan badan ke arah ponselnya yang ada di samping pembaringan. Roy melirik ke nama yang muncul di layar.

RANIA!?

Sontak Roy terbangun, mengucek mata, dan memastikannya sekali lagi.

Beneran Rania! Video Call!

Buru-buru Roy memperhatikan wajahnya di cermin, wes lumayan kan? Wes lah. Arep piye meneh, nek elek yo raiso makjegagig terus dadi bagus. Kalau emang dari sononya tidak ganteng ya seterusnya tidak akan ganteng kecuali ketemu Ibu Peri. Untunglah Roy meski tidak teramat ganteng, tapi setidaknya cukup lumayan.

Roy menggeser tombol hijau untuk menerima.

“Hai.”



Wajah cantik Rania muncul di layar. Ia tengah tidur-tiduran di ranjang, sembari menemani anaknya yang tengah terlelap. Sudah lama sekali Roy tidak melihatnya sejak mereka tidur bersama dan Roy melamarnya. Cantiknya senyum si gingsul. Gingsul yang bikin kangen tak karuan di dada.

“Hai.” Roy tersenyum, tidak tahukah Rania betapa rindunya Roy?

“Bagaimana kabar kamu?”

“Baik. Kamu?”

“Baik juga...”

Keduanya terdiam sesaat, hanya saling menatap mata masing-masing.

“A-ada apa pagi-pagi begini?” Roy meneguk ludah, dia menatap tak berkedip bidadarinya.

Rania tersenyum, “ga boleh?”

“Boleh. Boleh sekali malah. Mau pagi, siang, sore, malam, tengah hari, kapanpun boleh. Kecuali... kecuali waktu BAB.”

Rania tertawa, “makasih. Tadinya aku menunggu sampai benar-benar tenang untuk menanyakan sesuatu, tapi aku sudah tidak sabar lagi. Aku sudah tak sabar ingin ketemu kamu. Maaf bangunin pagi-pagi.”

“He’em, tidak apa-apa.”

“Aku hanya mau menanyakan satu hal.”

“Apa itu?”

“Ehm,” wajah Rania berubah menjadi serius, “bisakah kita ketemu hari ini?”

“Tentu. Kenapa? Kamu mau dijemput sore nanti?” deg-degan jantung Roy. Aduh, kenapa mau ketemu? Jangan-jangan mau menolaknya? Di-reject, di-reject, di-reject aja. Duh, Roy benar-benar takut.

“Iya, jemput aku sore nanti, ya.” Rania tersenyum. “Karena kalau kita mau membicarakan tanggal lamaran maka kita harus ketemu kan? Ibuku sudah menemukan tanggal yang tepat. Kamu bisa membawa keluarga untuk datang. Sekalian kita menentukan tanggal baik untuk acara pernikahannya. Kita harus rencanakan semuanya dengan matang.”

Roy memejamkan mata karena takut, ia menggigil. “Aku tahu! Aku tahu kalau aku tidak siap untuk jadi seorang suami secara finansial, tapi setidaknya aku ingin berusaha! Aku yakin aku dapat membahagiakan kamu, aku...” sejenak kemudian Roy tersadar dan terbelalak. “A-apa... yang... HAAAH!!??”

Rania tertawa, “nanti sore jemput aku ya. Aku sudah mengambil keputusan. Bersiap-siaplah seumur hidup aku recokin.”

Roy menatap Rania tak percaya. Gila! Ini gila! Dia diterima!? Rania bersedia? Rania mau!? DIA DITERIMA!

Roy berteriak kegirangan.

Rania tertawa.

Saat itulah smartphone Roy berbunyi, notifikasi muncul di atas wajah Rania.

Kode Bravo.





.::..::..::..::.





“Ini apa?”

Bian menatap dan membolak-balik halaman sebuah buku tulis yang diberikan oleh Beni Gundul. Mereka tengah duduk di sebuah gym yang dikelola oleh mantan anggota Patnem. Karena masih pagi, gym itu sepi dan dapat digunakan oleh Bian dan Beni Gundul dengan bebas dan gratis.

“Coba baca saja,” ujar Beni sambil terus menarik dan menghembuskan napas sembari memainkan pack deck machine. “Sengaja ditulis di buku tulis supaya tidak banyak yang mencari dan setelah kamu hapal, buku itu bisa dibakar.”

Bian mengangguk. Ia membolak-balik halaman, banyak sekali tulisan di dalamnya. Sepertinya tulisan tangan Beni sendiri. “Ini sepertinya semacam petunjuk untuk berlatih ilmu kanuragan dengan menggunakan basis tangan dan pukulan.”

“Cocok buat kamu kan, dab? Kamu selalu mengandalkan pukulan.”

“Dari siapa ini?”

“Orang yang saat ini tidak ingin disebutkan namanya, tapi dia ingin sekali kamu mempelajarinya. Suatu saat nanti dia minta bertemu, hanya jika kamu sudah menguasai ilmu ini.”

“Serius?”

“Serius dong.”

“Ayolah jangan bercanda. Mana mungkin ada orang yang tiba-tiba saja mendapat kado kitab ilmu silat begini? Ini bukan film kungfu. Jangan-jangan yang ngasih itu semacam guru yang penampilannya ala-ala pengemis pemabuk dengan rambut model ijuk.”

Beni tertawa, “Bukan lah. Sebenarnya ada sesuatu yang harus aku korbankan untuk mendapatkan buku itu. Jadi tolong pelajari dengan serius, kamu sepertinya membutuhkan.”

Dagelan. Apa-apaan sih ini? Kenapa tidak sampeyan sendiri yang mempelajarinya, dab?”

“Ayolah, kamu pikir seperti apa kekuatan yang akan kita dapatkan kalau aku yang mempelajarinya? Bandingkan dengan potensi kekuatan yang kamu miliki. Beda jauh, Masdab! Aku tidak berbakat, tidak punya Ki, tidak berminat mempelajari, dan sepertinya sudah sangat lelah dengan semua urusan ilmu kanuragan.” Beni Gundul mendengus, “aku hanya menggunakan teknik mentah saja sudah cukup. Memang aku lebih suka begitu. Tapi kalian dari Lima Jari butuh yang lebih baik, kalian adalah tulang punggung Aliansi. Lawan yang kalian hadapi akan semakin kuat, semakin menyeramkan, kalian butuh berkembang. Aku tahu Nanto itu monster yang luar biasa potensinya, dan kalian berempat di belakangnya juga harus jadi luar biasa. Itu sebabnya aku jungkir balik nyariin kamu ilmu kanuragan ini, karena aku tidak ingin kamu tertinggal dari yang lain.”

Bian mendengus. Ia membaca lagi kalimat-kalimat yang tertera dalam buku. “Ini... legit?

“Iya. Sang guru yang menjelaskan, aku yang menulis.”

“Siapa dia?”

“Itu yang tidak bisa aku ceritakan sekarang, biarlah menjadi rahasia karena memang itu yang dia inginkan. Seperti aku bilang, dia hanya ingin ketemu kalau kamu sudah menguasai ilmunya. Itu adalah salah satu syarat yang dia ajukan, termasuk di antara pengorbanan yang harus aku lakukan.” kata Beni, “yang penting kamu percaya padaku dan mempelajari ini sekuat tenagamu. Aku yang akan menjadi penghubungmu ke orang itu jika kamu kesulitan mempelajarinya.”

Bian manggut-manggut, ia penasaran sekali. Tapi penjelasan di buku tulis ini memang sangat mudah dan jelas, jadi berlatih sendiri pun rasanya masih sanggup. Ia pasti bisa mempelajarinya. Bian menepuk pundak Beni Gundul. “Terima kasih, dab. Ini berarti sekali. Aku memang ingin mengembangkan diri, tidak ingin ketinggalan dari yang lain.”

“Sama-sama.” Beni Gundul mengelap keringat, lalu keluar dari mesin pack deck. Ia berdiri di depan Bian dan ganti menepuk pundak pemuda itu. “Pada dirimulah kebangkitan kita dititipkan. Biar saja Patnem sudah hangus, tapi kini Aliansi harga mati.”

“Ngeri omongan sampeyan. Wakakka.”

Beni tersenyum.

Suara ringtone.

Smartphone Beni Gundul berbunyi. Ada pesan WhatsApp masuk. Dari Wati, kekasihnya. Beni Gundul melihatnya dengan sembunyi-sembunyi supaya tidak ketahuan Bian. Ia membaca pesan dari sang kekasih. Beni meneguk ludah, sepertinya ada masalah.

“Sampai kapan aku harus melayaninya, Mas? Aku tidak kuat lagi. Orang ini badannya besar banget, aku benar-benar kelelahan melayani.”

Beni mendesah panjang, inilah yang harus ia korbankan demi mendapatkan ilmu kanuragan yang diserahkan pada Bian, sang kekasih yang harus membayarnya. Beni Gundul mengetik balasannya dengan terburu-buru.

“Bertahanlah sebentar lagi. Tolonglah.”

Mas, ini sudah lebih dari dua jam. Kalau begini terus aku takut aku akan...”

“Bukunya sudah aku serahkan ke Bian, tapi kita sudah berjanji kamu akan melayani orang-orang yang dia pilih selama tiga jam perminggu sampai sebulan ke depan, kita tidak bisa mengingkari perjanjian kita begitu saja.”

Mas... dia sudah membuat aku... ini aku kirimin voice recording deh.

Beni memencet rekaman suara yang dikirim. Terdengar suara mengerang keenakan, lalu mengucapkan kata yang terdengar seperti terus... terus... enak banget...

Mantan pimpinan Patnem itu pun makin kebingungan. Pilih pacarnya yang sudah kelelahan atau mematuhi perjanjian dengan si pemberi ilmu kanuragan? Apa yang harus dilakukan Beni?

Mas... gimana ini...?

“To-tolong tahan sebentar, aku tahu kamu pasti bisa, pasti kuat.” Beni meneguk ludah, “Siapa orang yang dia pilih hari ini untuk kamu layani? Apa pekerjaannya?”

Yang kali ini tukang sayur keliling, Mas.

“Tu-tukang sayur?” Beni meneguk ludah. Jadi orang itu meminta kekasihnya melayani seorang tukang sayur keliling? Bisa-bisanya! Orang itu memang unik, eksentrik, dan sering bikin panik.“Ada siapa saja di situ sekarang?”

Kalau sekarang sepi, tapi tadi ada istrinya. Sepertinya sebentar lagi masuk ke sini lagi.

“Istrinya ada di situ?”

Iya, tadi di depanku. Aku ngetik pakai satu tangan begini dia liatin aku terus. Mungkin dianggap tidak lumrah, sedang melayani tapi malah main hape. Tapi aku kan bingung karena...

Ada kiriman voice recording lagi. Beni memencetnya, lagi-lagi terdengar desahan keenakan dari si tukang sayur. Beni makin keringetan.

Bagaimana ini, Mas?

“A-anaknya? Bagaimana anaknya?”

Anaknya keluar masuk terus mas. Tadi di luar, lalu masuk ke dalam, lalu ke luar lagi. Berulang-ulang begitu terus, jadi agak risih.”

“Gede anaknya?”

Gede, Mas. Padahal sempit banget ruangnya.”

“Waduh.”

“Di dalam atau di luar?”

Di luar.

“Yah, untungnya di luar. kalau di dalam pasti bakal ruwet urusannya banget.”

Pasti. Bakal panas banget ntar... Aduh, mana barusan tumpah pula di perut.

“Di-di perut?”

Iya, ditumpahin di perut.”

“Apanya yang tumpah?”

Minyak urutnya. Apa lagi? ini aku sedang urut syaraf-syarafnya yang kaku semua. Padahal cuma diurut bagian kaki, punggung, sama lengan tapi capeknya ga kira-kira. Tukang sayurnya badannya gede.”

“Sabar ya, sebentar lagi selesai.”

Iya Mas. Ya udah, aku balik ngurut lagi – itu istrinya sudah balik, takutnya dia curiga aku maen hape melulu. Setelah suaminya, istrinya juga minta jatah pijat. Beginilah resiko jadi tukang pijat.”

“Oke deh, kerja bagus, bertahan ya.”

Aku coba, mereka badannya gede-gede. Mudah-mudahan istrinya tidak minta dipijat tiga jam, gempor ini tangan. Hahaha. Ya udah. Dah.”

“Dah.”

Bian yang sejak tadi melakukan olahraga dengan berbagai alat, akhirnya beristirahat. Ia merasa aneh dengan Beni Gundul yang cengar-cengir sembari membaca WhatsApp di ponselnya.

Ora ngguya ngguyu wae, dab. Mengko kesamber.” Bian terkekeh, “katanya mau sehat? Mau olahraga. Mana...? Keringat setetes pun ga keliatan.”

“Ini pseudo keringet namanya.”

“Heleh.”

Ding.

Beni Gundul melirik ponselnya. Tidak ada notifikasi.

Rupanya giliran Smartphone Bian berbunyi, si bandel pun melirik notifikasi.

Kode Bravo.





.::..::..::..::.





Ringroad utara, utara perempatan, pohon beringin masih ke utara – sedikit ke barat, di sebuah terminal kecil yang kini difungsikan untuk shuttle bis transKota. Saat pagi menjelang, ada seorang penjual gudeg yang menjajakan makanan di tengah los terminal.

Seorang gadis muda sedang menunggu sang ibu penjual gudeg mengambilkan sarapannya. Gadis itu berpakaian agak aneh, jaket dengan capuchon atau kerudung yang menutup sebagian kepalanya, topi trucker warna biru, dan kacamata hitam. Sungguh dandanan yang aneh dan tertutup hanya untuk membeli gudeg saja.

Meski bagian atasnya amat tertutup, tidak demikian bagian bawahnya. Gadis itu mengenakan hot pants yang memperlihatkan paha putih mulusnya hingga agak tinggi, tidak heran jika cowok-cowok berdecak kagum saat ia melalui mereka. Gadis itu juga mengenakan sneaker putih yang punya merk tiga garis.

Iki yo, Nduk.” Sang ibu menyerahkan plastik berisi pesanan nasi gudeg.

Pinten, Bu? berapa?” tanya gadis itu sopan. Ia mengeluarkan dompet kecil.

Sang ibu menyebutkan nominal, gadis itu pun membayar.

Kundure... kembaliannya jadi...” sang Ibu mencoba menghitung di awang-awang, memainkan angka dalam hati, sementara pembeli yang lain mulai antri.

Sampun, Bu. Tidak usah.” Gadis itu tersenyum saat sang Ibu mengucapkan terima kasih, lalu buru-buru meninggalkan tempat itu.

Ia melirik ke kanan dan ke kiri seakan takut menjumpai seseorang, lalu berjalan cepat untuk meninggalkan terminal, menuju ke utara, belok kanan melalui sebuah gang. Sebenarnya jalur menuju tempat tinggal sementaranya bukan melalui tempat ini, tapi dia ingin aman saja. Jika melalui jalur biasa, maka dia akan lebih terekspos karena melalui jalan utama.

Dengan cara ini, dia merasa aman.

Nuke menarik napas panjang, untuk sementara waktu dia harus menghindar dari jalan utama karena sedang diburu oleh orang yang sangat ia hindari, Joko Gunar. Kalau saja Gunar bukan siapa-siapa maka dia tidak akan seribet ini. Harus sembunyi, pindah-pindah tempat, cari lokasi yang tidak akan diperkirakan oleh siapa saja. Dia bahkan harus selalu berganti nomer jika ingin menghubungi saudara atau kenalannya.



Sampai kapan harus seperti ini?

Nuke berbelok sekali lagi, dan masuk ke sebuah jalur untuk masuk ke komplek kost-kost-annya. Saat sudah hampir mencapai kamar itulah sebuah suara mengagetkannya.

“Beginilah kalau sudah jodoh. Mau pergi kemanapun pasti ketemu.”

Nuke terkesiap. Di depannya, Eben dan Jardu dari PSG sudah berada di depan pintu kamar. Wajah cantiknya yang tadinya sedikit ceria karena sudah hampir sampai kamar seketika kemudian berubah menjadi paras yang menatap ngeri. Orang-orang PSG! Mereka sudah tahu tempat ini! Siapa yang memberitahukan mereka di mana posisi Nuke berada!? Tidak ada yang tahu tempat ini selain sahabat SMP-nya!

“Sudah lama sekali tidak ketemu, Mbak Nuke.” Eben tersenyum genit sambil mengedipkan mata. “Susah sekali dicari-cari. Akhirnya ketemu juga. Suka banget lihat pahanya. Putih mulus.”

“Kemana saja kamu?” satu sosok lagi muncul dari arah yang berbeda. Berperawakan besar dengan baju kutung warna putih, di lengan kanan tergambar tato burung rajawali besar. “Dicari kemana-mana tidak ketemu.”

“Ba-Bang Sarno!”

“Ayo ikut kami! Bang Gunar sudah mencari-carimu sampai...”

Bgggkkkhh!

“Wadooooooooooooohhh!!”

Nuke menendang selangkangan Sarno sekuat tenaga, dan saat pria berambut gondrong itu terjatuh sambil kesakitan, Nuke segera melarikan diri secepat kilat. Ia meletakkan gudegnya sembarangan, karena hanya akan menjadi beban. Nuke melalui jalan yang tadi ia lewati, menyeberang jalan, melewati penjual gudeg, ke selatan, lalu ke kanan, mencoba mencari jalan kecil lain.

Di belakang, Eben dan Jardu mengejarnya sementara Sarno tertatih-tatih berlari dengan selangkangan masih nyeri.

Siapa? Siapa yang dapat menolongnya? Ia tidak tahu kepada siapa lagi ia mesti meminta tolong. Kemana lagi dia harus sembunyi? Nuke berlari dan terus berlari, tapi orang-orang itu lebih kuat dan lebih cepat. Kemana dia akan lari?

Nuke tidak memperhatikan jalan di depan, dia hanya berbelok saja.

Bkghh!

Nuke terjatuh, terjerembab. Dagunya terantuk tepian trotoar.

Darah pun terkucur dari luka yang sobek.

Gara-gara dikejar-kejar, Ia tidak melihat ada orang di kelokan jalan, karena saat berlari ia selalu menengok ke belakang. Orang yang ia tabrak pun terjerembab, gudeg endog plus suwir iwak pitik yang barusan dibeli berserakan di jalan. Orang itu ternyata baru saja membeli gudeg di tempat yang sama dengan Nuke.

“Wadoh! Yaaaaaassshhhh!! Apa-apaan ini!? Gudeg-ku!! Ayo ganti rug-...”

“Hyaaaaaaaaaaa!!”

Kalimat orang yang ditabrak Nuke terhenti mendadak karena gadis itu kemudian ditangkap oleh tiga orang preman. Sarno menjambak rambut Nuke sehingga gadis itu menjerit kesakitan. Meski sudah berteriak-teriak, tapi tak ada orang yang menolongnya tentu. Orang-orang yang melihat takut pada sosok ketiga orang preman itu.

“Toloooooong!! Toloooooong!!”

Sarno menarik Nuke dengan menjambak rambutnya. Gadis itu menangis dan menjerit, ia ditarik ke arah Eben dan Jardu.

“Ikat dia! Sumpal mulutnya! Langsung kita bawa ke Bang Gunar!” perintah Sarno. Dia gembira sekali akhirnya bisa membawa sang gadis impian pada pimpinannya. Ia membayangkan bonus yang akan diberikan berkat kerja kerasnya, susah sekali mencari gadis sialan ini ke seluruh penjuru kota, entah sudah berapa orang yang ia kerahkan untuk mencari – dan sungguh beruntung ia mendapatkan informasi secara tidak sengaja dari salah seorang penghuni kost yang masih teman orang PSG.

Si seksi Nuke meronta-ronta karena rambutnya terus ditarik oleh Sarno.

Hembusan angin menerpa wajah sang preman. Hmm. Segarnya pagi ini, sudah pasti bonus menunggu.

Satu tapak sepatu boots menghantam sisi kanan wajah Sarno.

Bledaaaaaammm!

Sarno jatuh berguling berdebam. Jambakannya pada rambut Nuke terlepas, gadis itu sadar dan buru-buru mencari tempat berlindung. Reflek Nuke yang sangat cepat menyelamatkannya dari sergapan Eben dan Jardu.

Siapa yang sudah...

“Kalian sudah membuat gudeg-ku tumpah berantakan, padahal belinya pakai ngutang. Aku paling tidak suka kalau sarapanku diganggu. Jadi siapa yang ingin wajahnya aku rombak pagi ini? Hekekekek...” suara tawa itu khas dan aneh. Tak disangka orang yang tadi ditabrak Nuke membuat Sarno jatuh terguling dengan mudahnya, dia bukanlah orang biasa. “Ganti rugi gudeg-ku dan akan kubiarkan masalah ini selesai.”

“O-orang ini...” Eben menatap laki-laki yang baru saja menyepak kepala Sarno sekaligus menyelamatkan Nuke.

“Siapa? Kamu kenal?” tanya Jardu.

“Di-dia...”

Sarno bangkit sembari memegang wajahnya yang terasa panas disengat kaki pemuda misterius. “Tidak peduli kenal atau tidak! Hajar dia!”

Tch? Hajar? Kalian belum kenal sama aku kok main hajar saja,” ujar sang pria penyerang Sarno dengan wajah meremehkan, senyuman sinis seulas tergambar di wajahnya. Ia berulangkali tertawa sambil memasang kuda-kuda.

Gadis itu menatap tak berkedip pada sang laki-laki yang mengenakan jaket kulit dan kacamata hitam, siapa orang ini? Dia juga tidak mengenakan pakaian yang sesuai dengan kondisi pagi yang cerah begini.

Eben dan Jardu maju bersamaan, mencoba menyergap ke depan.

Orang itu pun tersenyum.

Hfah.”

Bledaaaaam!

Bruaaaaaakkghhhh!


Baik Eben ataupun Jardu terlontar dan terjengkang beberapa jauhnya ke belakang. Sarno terkejut setengah mati. Ju-jurus Lontaran Ki? Siapa yang mereka hadapi kali ini? Dia memperhatikan baik-baik si pelontar, Siapa dia?

Orang itu adalah salah satu punggawa dari Aliansi dan pimpinan tertinggi kelompok geng kampus terbesar di wilayah utara.

Rao, sang hyena gila.

“PSG ya? Ada urusan apa PSG ke utara? Sedikit kebablasan bukan? Di selatan kalian boleh berjaya, tapi di utara kalian cuma tamu yang kepagian. Matahari belum tinggi kalian sudah berulah, berani-beraninya.” Rao mendengus, ia menundukkan wajah sedikit, wajahnya berubah menjadi sangat menakutkan, tangannya terkepal kencang. “yang tidak meninggalkan tempat ini dalam lima hitungan, akan kupastikan tanggal hari ini tercetak di nisannya.”

Eben dan Jardu saling bertatapan. Apa yang akan mereka lakukan? Gadis itu jelas-jelas sedang diinginkan oleh Joko Gunar, tapi kini dia dilindungi oleh seseorang dengan lagak yang sepertinya bukan kaleng-kaleng.

Sarno mendengus, tidak ada yang boleh menghalanginya mendapatkan Nuke hari ini. Tidak ada! Bahkan jika orang itu kaleng kongwan seperti orang di depannya ini!

“Kamu berani benar menantang PSG, ganda nyalimu?” Sarno tersenyum sinis. Dia tidak akan takut dengan siapapun, dia lebih takut amarah Joko Gunar. “Aku tidak peduli kamu siapa, dari kelompok mana, yang jelas hari ini...”

Hfah.

Bledaaaaam!

Bruaaaaaakkghhhh!


Sarno terjengkang dan jatuh terguling-guling ke belakang karena lontaran Ki dari Rao yang mendadak. Ia benar-benar tidak menyangka sang hyena akan menyerang secepat itu, bangsaaaat! Sarno melirik ke arah Eben dan Jardu yang juga terjengkang kembali.

Bajingaaaaaan! Tidak ada yang boleh menghalangi mereka membawa gadis itu ke Joko Gunar!

Rao tersenyum, “aku ulangi ya. Lima hitungan, siapapun yang tidak menyingkir, nasibnya akan sama seperti gudegku yang bertebaran di tanah. Satu...!”

Eben dan Jardu saling bertatapan, bagaimana ini? Apakah mereka akan tetap menyerang orang ini? Dia bukan orang yang...

“Tunggu apalagi kalian! Seraaaang! Dia cuma sendirian, kita bertiga! Apa yang kalian takutkan!? Seraaaang!” perintah Sarno.

“...dua!”

Eben dan Jardu mendesah panjang, Sarno ada benarnya! Satu lawan tiga. Kenapa harus takut!? Seraaaaang!

“...tiga!”

Eben dan Jardu menyerang ke depan. Sarno bangkit dan mulai ikut berlari.

“...empat!”

Ketiga orang itu hanya tinggal satu meter jaraknya dari Rao.

“...lima.”







BAGIAN 4 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 5
 
BAGIAN 4
PAGI YANG MENAKJUBKAN




Kalau kemarin kamu jatuh, hari ini kamu bangkit.
- H.G. Wells






Pagi sudah datang, matahari sudah menjelang, langit mulai terang. Tapi pertempuran masih belum kelar, bahkan arena baru tergelar. Tersengal napas di dada, deras keringat mendera, berkobar semangat tak reda, kata menyerah tak muncul di kamus kata. Dua melawan dua puluh terbilang, pada kondisi normal seperti apapun, bukanlah pertarungan yang seimbang.

Amar Barok dari Dinasti Baru dan adiknya Deka dari Aliansi melawan Jay, Brom, Galung, dan Agun dari RKZ. Lama melawan baru, lawas melawan anyar. Waktu akan segera membuktikan, siapa yang lebih unggul.

Namun mereka bertarung bukan untuk dominasi kawasan tengah, melainkan untuk transfer keanggotaan. Sebuah taruhan dilontarkan, jika Amar gagal menundukkan Jay dan Brom, maka Amar harus bersedia diajak untuk bertemu dengan pimpinan RKZ. Bengkel di sudut di Jalan Manggar menjadi saksi, saat aspal jalan akan segera menjadi tempat badan-badan terkulai tanpa daya.

Jay dan Brom bersiap memulai duel dengan Amar Barok. Di sisi lain Galung dan Agun mulai bangkit untuk mengkondisikan Deka. Si Gondes sendiri masih harus melindungi Dinda, itu sebabnya setelah Agun dan Galung terkapar berkat jurus raungan Amar, Deka menarik tangan Dinda dan membawanya masuk untuk bersembunyi di dalam bengkel, sementara Amar menghadapi pasukan RKZ.

“Bagaimana taruhannya?” Jay terkekeh sambil memasang kuda-kuda, “setuju?”

Amar mendengus, “untuk berhadapan dengan kalian berempat, tidak perlu turun dua orang. Aku sendiri juga mampu.”

“Mantaaaaap! Jadi setuju nih ya. Kalau kamu jatuh...” Jay membentangkan tangannya dengan rasa senang, “...maka Amar Barok akan ikut dengan kami. Heheheh.”

Brom tertawa, meski tidak ada yang lucu. Raksasa itu sungguh mengerikan; kulit gelap kecoklatan, besar, kekar, dengan wajah yang selalu tersenyum lebar. Dia jelas punya kemampuan yang lumayan dan bukan hanya sekedar kaleng sarden ukuran jumbo yang dicelup dalam saos tomat.

“Sudah cukup basa basinya.” Amar menggertak dan langsung bertindak, dengan satu lompatan ia sudah berada di depan Jay. Tangannya dilontarkan secara reverse, seperti sedang mengayunkan raket dengan teknik backhand. Gerakan Amar yang cepat, tangkas, dan mengagetkan itu tentu tak dapat diantisipasi dengan baik oleh Jay. Serangan sang singa yang tiba-tiba saja berada di depannya coba ditahan oleh Jay sekuat tenaga dengan menyilangkan tangan.

Bddmmmmm!

Percuma.

Jay terlontar hingga empat meter, sebelum akhirnya jatuh berdebam dengan terguling-guling di atas aspal. Seluruh badannya terasa remuk, ia mengerang berulang, meregang, dan mengejang. Sakit di sekujur badan. Gila, bahkan menahan serangan itupun dia tak sanggup.

Yang masih sanggup ia ia lakukan saat ini, adalah berusaha keras untuk kembali berdiri, meskipun harus sempoyongan sekalipun. Setelah berdiri, Jay justru tertawa terbahak-bahak. “Reputasinya tidak bohong. Ada nama ada kualitas, semakin ingin kami menjadikanmu panglima RKZ!” Laki-laki yang tawanya membuat Amar tidak nyaman itu mengayunkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke depan secara bersamaan. “Brom! Maju!”

Brom berlari kencang mendengar aba-aba dari Jay, si gempal pun meloncat tinggi sembari melontarkan jurus andalannya untuk mengkandaskan Amar. Kedua tangan ditarik ke belakang kepala, saling menggenggam. Lalu dengan sangat cepat dan kencang, keduanya dihantamkan ke bawah penuh tenaga.

King Kong Punch!

Bledaaaaaaaaam!

Brom terlontar ke belakang, bahkan lebih jauh jaraknya dari Jay berada, padahal dia yang menyerang dan belum satu meter ia mencapai posisi Amar. Brom juga menerima nasib yang sama Jay. Terbanting, terguling, terkapar, terlempar, dan terhentak berulang di aspal. Semua gara-gara pertahanan super wahid dari Amar, Perisai Genta Emas. Amar bagai terlindungi invisible armor dan tak tersentuh.

Jay menatap ke arah Brom dan tertawa. Dia sudah memperkirakannya. Mereka berdua tidak akan sanggup menundukkan sang singa dari Dinasti Baru, dia jelas terlampau kuat. Jay tersenyum pada Amar dan bertepuktangan.

“Luaaaaar biasaaaaaaa!” wajah Jay yang menunjukkan kegembiraan jelas terasa aneh bagi Amar. Kenapa orang ini justru sepertinya girang sekali? Kalah tapi girang. Wes edan opo piye? Jangan-jangan sudah gila? Amar tidak ambil pusing. Dengan satu lompatan ringan, Amar melaju ke depan, sampai di depan Jay sekali lagi, persis seperti tadi. Loncatan besar yang dilakukan tanpa harus mengeluarkan banyak aksi ataupun tenaga. Tanpa aba-aba dan tanpa pasang kuda-kuda, tangan Amar melaju teramat kencang.

Bledaaaaaaaaam!

Brgkkhh! Brgkkhh! Brgkkhh! Brgkkhh!


Sekali lagi Jay menyilangkan tangan di depan wajah untuk menerapkan pertahanan, sekali lagi ia terlempar jauh, dan sekali lagi dia terbanting-banting di aspal. Mereka jelas bukan lawan seimbang. Jay tak akan sanggup menghadapi Amar.

Melihat lawannya yang hanya omong besar, Amar berhenti. Dia tidak lagi mengejar Jay ataupun Brom. Dia berhenti dan berbalik ke arah bengkelnya kembali. “Kita bisa berhenti sekarang, atau kalian akan tambah lebih babak belur. Pilihan kalian.” Amar duduk di tepian trotoar jalan tepat di depan ruko bengkelnya. Ia menarik bungkus rokok dari kantong, mengeluarkan sebatang, menarik korek, dan menyalakan rokok itu. “Aku sudah menang taruhan, jadi harap segera pergi dari sini sebelum rokokku ini habis. Aku tidak akan meminta dua kali.”

Jay dan Brom saling bantu untuk dapat berdiri. Sekali lagi, Jay nyengir dan tertawa, dia benar-benar lawan yang unik. Meski sudah jelas-jelas kalah, namun tetap saja dia tertawa. Ada sesuatu yang aneh dari Jay, seakan-akan dia tahu sesuatu yang Amar tidak tahu – dan itu membuat sang singa Dinasti Baru penasaran setengah mati.

Siapa sebenarnya RKZ dan orang-orang ini? Mereka orang-orang baru tapi ada perasaan aneh yang mengatakan kalau mereka sebenarnya sudah ada sejak lama. Amar berniat mencari tahu sampai tuntas. Ada yang aneh tentang mereka.

“Ya... ya... kami menyerah kalah.” Jay mengangkat tangan sambil mengangguk-angguk. “Tapi yang mengatur perjanjian kan kita ya, bukan mereka. Jadi mereka bebas berbuat apapun yang mereka inginkan.”

Amar tertegun. Mereka? Apa maksudnya?

Terdengar suara raungan lima motor masuk ke arena, RKZ mendapatkan tambahan pasukan lagi. Mereka kini sudah bertigapuluh. Bangsat, Amar jelas tidak akan mampu menghadapi mereka semua. Jadi dia harus mencari cara supaya bisa melawan tanpa memakan korban.

“Salam aspal gronjal.” Kata seorang pria yang turun dari motor terdepan – lagi-lagi seorang pria dengan ikat kepala putih, dia tidak terlampau tinggi, badannya pendek tapi bahunya sangat lebar, lengannya besar, dan kekar. Dia menghampiri Jay dan Brom. Kedua orang itu pun menyambutnya dengan fist bump.

“Gamal! Keterlambatanmu jadi penyelamat kami!” kata Jay yang dengan bahagia menyambut pria yang baru saja hadir di arena. Ia dan Brom menepuk-nepuk pundak orang kelima di jajaran penting RKZ. Orang yang dipanggil dengan nama Gamal itu pun manggut-manggut. Jay tersenyum menatap Amar. “Sekarang, yang harus kita lakukan hanya membagi tugas. Galung dan Agun membawa delapan orang untuk menyerang orang yang masuk ke bengkel! Sisanya, fokus untuk menundukkan Amar Barok sebisa mungkin!”

Asap mengepul dari bibir Amar. Tch. Mau dicoba berapa kalipun percuma. Mau sampai kapan mereka mencoba?

Teriakan semangat membahana terdengar dari kubu RKZ.

Tentu saja teriakan dan deru motor mereka memancing kedatangan penduduk sekitar yang penasaran, karena jalan itu sangat sering dilalui ketika pagi tiba. Teriakan-teriakan dari RKZ begitu kencangnya sampai-sampai ketika ada orang yang hendak melewati jalan itu terpaksa mundur teratur, dan berputar untuk memilih jalur lain. Situasinya memang gawat bagi mobil dan motor yang hendakk lewat dengan banyak preman berkumpul di tengah jalan, lebih baik menghindar kalau mau aman. Gila saja, mana yang berwajib kalau dibutuhkan? Malah tidak nampak dimanapun.

“Sekarang!” komando Jay.

Tujuhbelas orang bergerak bersamaan dengan cepat, mereka sepertinya sudah sangat hapal dengan teknik dan kemampuan masing-masing, pasti pelatihan yang mereka lakukan tidak hanya sekali dua kali. Mereka sudah sangat sering melakukan serangan bersama seperti ini. Efektif, cepat, dan strategic. Tujuhbelas orang bergerak dengan irama yang sama dengan satu target, Amar Barok.

Amar segera lenyap ditelan gelombang tsunami hebat yang mengincar dirinya dari segala penjuru. Sekuat-kuatnya Perisai Genta Emas, tapi kalau menghadapi sebegini banyak lawan dalam waktu bersamaan, sepertinya akan repot dan kewalahan juga. Bahkan pria sekelas Amar pun harus meringkuk dan berusaha membentuk pertahanan kuat, semantara lawan datang silih berganti dan menghujaninya dengan pukulan tanpa lelah. Bagai gula yang dikerubungi semut, menutup celah bagi Amar untuk dapat bergerak. Tapi alih-alih terpojok, mereka sama sekali tidak dapat menyentuhnya.

Sang singa hanya terdiam, terus menghisap rokok, dan menebarkan asapnya. “Jangan buang tenaga kalian. Kecuali ada keajaiban, kalian tidak akan pernah bisa membongkar pertahananku.”

Serangan kian gencar.

Dalam kondisi badai pertempuran kian tak terkendali, Deka memperhatikan dengan seksama dari dalam bengkel. Kalau dia maju ke sana, dia tidak akan dapat melindungi Dinda. Amar sendiri nampaknya sengaja duduk di depan karena ingin mengalihkan perhatian pasukan lawan dari bengkel, sang kakak tengah melindungi dirinya dan Dinda.

Deka menggenggam kepalannya dengan erat.

Sosok Amar lenyap ditelan tumpukan manusia yang menghujaninya dengan pukulan.

Geram dia melihat kakaknya dijadikan bulan-bulanan oleh gerombolan pengecut yang tidak berani bertarung satu lawan satu, mereka mengeroyoknya secara pengecut. Untungnya Amar menguasai Perisai Genta Emas, sehingga lawan tidak ada yang berhasil menembus pertahanannya.

Tapi bisa berapa lama bertahan satu lawan dua puluh?

Amar mendengus kesal. Dia jengkel setengah mati dengan orang-orang RKZ yang sepertinya masih belum paham situasi yang mereka hadapi. Pria itu pun meletakan puntung rokoknya di pinggir trotoar, sementara di sekelilingnya, pasukan lawan memukul-mukul dinding yang tak tertembus. Sekali lagi Amar berkonsentrasi, ia memejamkan mata, dan membuka mulutnya.

Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrr!

Bledaaaaaaam! Bledaaaaaaam! Bledaaaaaaam!


Teriakan Amar membuat kubah penyerang yang menaunginya terlempar semua. Kekuatan dahsyat itu juga menjatuhkan teman-teman Gamal dan Brom yang tidak siap. Lagi-lagi Raungan Singa Emas berhasil menemukan korban.

Jay sebagai yang masih berdiri tegak berlari kencang dan sudah berada di samping Amar, ia memang cukup cepat, itu harus diakui. Sekuat tenaga Jay melompat ke depan, menjejak tanah lalu berlalu ke samping, lincah melompat. Ia mengambil sesuatu dari dalam kantong sakunya, lalu menyebarkannya ke wajah Amar. Entah serbuk apakah itu.

Amar terkejut dan berdiri, matanya terkena serpihan serbuk, seberapa bagian juga terhirup, ia terbatuk, rasanya sesak. Amar lalu ambruk ke depan sampai bertongkat lutut.

“Amaaaaaarr!” Deka yang melihat kejadian curang itu jelas tak terima. Dia mencoba menolong dengan beranjak ke depan, tapi tangan Dinda yang erat memegang lengannya membuat Deka ragu. Sial, dia harus fokus.

“Jangan mendekat, Kun!” Amar menggeleng kepala sambil memejamkan mata yang pedih, melarang sang adik mendekat. Dia ternyata mendengar suara Deka. “Aku tidak apa-apa. Tenang saja di situ! Lindungi dia!”

Deka mendengus kesal karena tak sanggup berbuat apa-apa, dia melihat kini sang kakak terpaksa mengaktifkan kembali Perisai Genta Emas-nya karena pasukan lawan kembali mengeroyoknya dari segala arah. Entah apa serbuk yang ditebarkan oleh Jay tadi, yang jelas itu membuat Amar sempoyongan dan mulai tak bisa fokus. Bukan karena ia tak mampu melawan, tapi karena pedih di mata dan sesak napas membuatnya terganggu.

“Bangsat! Curang kalian!” Teriak Deka yang emosi, ia menggeram kesal pada anggota RKZ yang berada tak jauh dari bengkel. “Kalian tidak menaati syarat kalian sendiri!”

“Kuuuuuun!! Jagain dia! Jangan terpancing!”

Galung dan Agun memimpin delapan orang menyeruak ke pintu bengkel yang lebar, membuat Deka dan Dinda kembali masuk ke dalam. Agun tertawa, “ini jalanan. Bukan arena tinju. Tidak ada wasit, tidak ada aturan. Kita yang buat syarat, kita juga yang bisa membatalkannya. Nah, baru saja aturannya kami batalkan, tidakkah dengar? Waahahahaha.”

Dua orang hendak masuk ke dalam bengkel, mendekat ke arah Deka dan Dinda. Gawat.

Deka melaju ke depan, ia memang tidak cepat dan tidak punya banyak jurus yang bervariasi, tapi kalau hanya berhadapan dengan cecunguk bangsat semacam ini sudah sering ia alami, sudah sering lakukan. Sial, Deka menyesal, seharusnya dia lebih sering berlatih daripada bingung masalah cewek, Pakdhe Wid sudah memperingatkannya jauh-jauh hari.

Dua orang yang hendak masuk ke dalam bengkel tanpa ekspektasi, mereka tidak akan sadar apa yang menyerang mereka. Tiba-tiba saja Deka berada di depan kedua cecunguk lancang, dan sebelum keduanya sadar, si Gondes sudah mengirim dua hantaman ke dada kanan keduanya dengan tangan kanan dan kiri bersamaan.

Jbkkkghhh! Jbkkghhh!

Sodokannya hanya sekali masing-masing orang.

Tapi rasa hentakan di jantung bagaikan berulang, berkali-kali menyentak keduanya. Inilah Sodokan Penggetar Jantung, jurus ofensif yang dikuasai oleh Deka. Kedua lawan terpukul mundur dan jatuh terlontar ke belakang menjauhi bengkel. Bagus, untuk sementara gawang aman. Deka mendengus, dia hendak mempertaruhkan keselamatan Dinda tapi di saat yang sama dia juga harus mencari cara untuk menyelamatkan Amar dari serbuan bertubi.

“Pikirkan dulu dirimu sendiri.”

Kalimat itu menyentak kesadaran Deka yang masih berdiri di depan bengkel, kelebat bayangan berlalu di depannya. Galung memiliki badan yang kurus dan bisa bergerak teramat lincah. Dia berawal di kanan dan berhenti di kiri Deka. Apa yang baru saja dilakukannya?

Saat itulah Deka merasakan sengatan di lengan kirinya.

Deka tersentak.

Lengannya sudah robek! Berdarah! Bagaimana mungkin? Galung tidak membawa pisau atau senjata apapun. bagaimana bisa dia merobeknya?

Galung maju menyerang kembali. Kali ini Deka bersiap, Perisai Genta Emas yang sebelumnya tidak aktif sudah bertugas kembali. Deka mulai mengamati. Telapak tangan Galung lurus tak menekuk, jari-jemarinya lurus tak bengkok. Ia menggoyang tangannya di depan wajah. Ah, Deka tahu jurus ini – pantas saja bisa membuatnya luka! Jurus Tangan Pedang. Galung pasti telah melatih tangannya itu dengan sangat keras selama bertahun-tahun – mungkin bahkan sejak ia masih kecil, sehingga jika terkena sentuhannya saja sudah bagaikan terelus mata pisau.

Bangsat, ada juga yang seperti ini.

Sbbbhk!

Serangan Galung tentu saja tak dapat menembus pertahanan Perisai Gentai Emas milik Deka. Begitu terhentak mundur ke belakang, Deka langsung maju ke depan. Tangannya menarik pergelangan tangan Galung yang awalnya hit and run supaya mendekat.

“Mau kemana kamu, bajingaaaaan?” Deka mengunci tangan lawan, lalu tangan kanannya dilontarkan deras ke kening kanan Galung.

Jblaaaaaaakggghhh!

Galung terlontar ke kiri dan terguling beberapa kali, kepalanya langsung pening.

“Kuuuuuun! Masuk ke dalaaaam! Tutup pintu! Ambil di bawah meja kaca!” teriak Amar di sela-sela ia menangkis serangan lawan.

Deka mengangguk, ia segera buru-buru mencoba menutup pintu rolling door untuk melindungi Dinda yang berada di dalam. Tapi karena sudah sangat tua, rolling door bengkel Amar susah sekali ditutup. Ia berusaha keras menariknya ke bawah, sementara kakinya menyepak siapapun yang mendekat. Bangsatnya, rolling door itu terhenti ketika sampai di bawah lutut. Deka turun, berguling dan masuk ke dalam.

Dia cepat-cepat mencari apa yang disimpan Amar di bawah meja kaca. Tangan Deka merogoh ke bawah meja dan tersenyum saat menemukan sepasang double stick.

Dinda mematikan lampu. Minim cahaya, ia dan Deka saling berpandangan. Mereka terengah-engah. Tidak perlu mengucapkan banyak kata, karena masing-masing tahu apa yang tengah terjadi. Dinda melihat luka di lengan Deka. Gadis itu pun merobek lengan bajunya, dan mencoba mengikat kainnya ke luka Deka.

Raungan motor terdengar. Deka turun ke bawah dan mengintip melalui sela rolling door yang terbuka. Datang lagi pasukan RKZ tambahan, lima motor masuk ke arena. Entah sudah berapa jumlah mereka sekarang, terus saja bertambah.

Deka mendengus kesal. Pagi-pagi sudah cari masalah saja semua bangsat ini! Situasi gawat dan ia tidak akan bisa menyelesaikan semuanya dengan kondisi badan yang tidak mendukung, dia kelelahan usai mengendarai motor lintas kota lintas provinsi dalam sehari. Kini tiba-tiba saja harus mengatasi geng bangsat tak tahu malu.

Dari posisi ini dia tidak tahu bagaimana keadaan Amar sekarang, tapi mereka berdua jelas tidak dapat bergerak sendiri begini, dia dan Amar tidak akan sanggup menyelesaikan masalah hanya berdua. Deka menarik ponselnya, lalu menekan tombol di keyboard dengan sangat cepat. Ia mengirim pesan ke grup WhatsApp Lima Jari.

Kode Bravo. Bengkel Amar. Deka.

Usai mengirimkan pesan, Deka mendorong Dinda masuk ke bawah meja kerja Amar dan menempatkan diri gadis itu di kolong yang aman.

“Din, kalau nanti terjadi apa-apa, berjanjilah untuk lari dari sini. Jangan pedulikan aku atau Amar. Paham? Aku akan mencari jalan bagimu untuk pergi.”

“A-apa?” Dinda menggeleng, “tidak mau. Aku tidak mau kalian...”

“Din, jawab saja. Paham atau tidak?”

“Pa-paham. Tapi...”

“Tidak ada tapi, kami akan melalui ini dengan cara kami berdua, jangan khawatir, kami sudah terbiasa. Tapi aku tidak yakin kekuatan kami akan cukup untuk melindungimu karena kami harus berhadapan dengan pasukan yang cukup banyak. Secara logika, jumlah mereka jauh lebih masif, apalagi mereka jelas bukan pasukan yang main-main. Berjanjilah padaku untuk lari sekuat tenagamu. ”

“Janji.” Dinda mengangguk, dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana, bingung dan takut menyatu menjadi satu. Dia sudah sering menyaksikan carut marut dunia hitam karena Pakdhe Wid juga menyelami dunia yang sama, tapi dia tidak pernah berhadapan dengan serangan pasukan geng secara frontal seperti ini. Dia jelas mengkhawatirkan keselamatan Deka dan Amar.

“Bagus.” Deka tersenyum, ia berdiri sambil meremas jemari lentik Dinda. “aku tidak tahu apakah aku dapat selamat dari pertarungan kali ini. Yang jelas... aku sayang kamu, Din. Siapapun yang akan kamu pilih, aku tetap sayang sama kamu.”

“Mas...” Dinda hanya dapat berucap lirih. Mereka bertatapan dalam degup dada yang berdetak kencang.

Dinda memejamkan mata ketika Deka mendekatkan kepala dan mengecup bibirnya. Keduanya berciuman. Hanya untuk sesaat, pengobat rindu pemberi semangat. Elusan ringan penanda rasa sayang, rasa yang tersimpan bertahun-tahun lamanya. Ini yang dinantikan oleh Dinda sejak entah kapan, tapi kenapa situasinya seperti ini? Kenapa juga sosok Amar yang gagah justru membuatnya bimbang? Yang mana yang dia inginkan?

Dinda terdiam dan menunduk saat Deka melepas kecupannya. Deka mendorong gadis itu untuk bersembunyi. “Tunggu kami, lihat situasi, jika aman, segeralah lari. Aku akan mencoba membuka jalan untukmu. Paham?”

Dinda mengangguk.



Deka pun keluar dari sela rolling door, ia mempersiapkan sepasang nunchaku-nya dan berjalan ke depan, menantang pasukan RKZ di bawah komando Agun. Dia memainkan sepasang double stick-nya dengan buas, “Aku dengar kalian adalah pendatang baru di kota ini. Berani-beraninya sekarang kalian menantang aku dan kakakku di kota kami sendiri. Ganda nyawa kalian?”

Soal memainkan double-stick, mungkin di arena itu tidak ada yang bisa menyamai kepiawaian Deka. Badai pertahanan yang mampu dijadikan serangan ofensif membuatnya menjadi sosok yang sama sekali berbeda dari sebelumnya.

Agun mendengus, ia mengayunkan kedua tangannya, memerintah pasukannya segera menyerang. Peduli setan dengan double-stick tae kocheng! Bisa apa dia melawan sepuluh orang sekaligus?

Deka tersenyum, meremehkan ya?

Bagus.

Ia sudah siap.

Deka berteriak kencang menyambut datangnya pasukan lawan.





.::..::..::..::.





Matahari sudah duduk di singgasana, Om Janu sudah menyelesaikan olahraga paginya menyusuri jalanan pedesaan untuk menjaga stamina. Seperti biasa, mobil QZK akan menjemput dan membawanya pulang ke rumah. Rasa penasaran membuat Om Darno terus memikirkan si Bengal, ternyata memang benar, energinya luar biasa. Bahkan saat tersegel pun, masih ada kekuatan besar yang bisa diandalkan. Bocah yang luar biasa.

Sepanjang pagi tadi ia habiskan untuk berlatih fisik untuk membuka gerbang-gerbang yang sebelumnya tidak terbuka dari si Bengal. Mungkin bocah itu yang nantinya akan bisa mencapai apa yang ditunggu-tunggu oleh trah Watulanang selama bertahun-tahun lamanya, menuntaskan warisan Kidung Sandhyakala – tapi masih butuh waktu, masih harus bersabar.

Om Janu duduk di kursi santai di halaman samping rumah yang luas. Dari sana ia bisa melihat pemandangan ke arah Gunung Menjulang. Gunung perkasa yang tampil indah itu juga menjadi sosok yang mengerikan jika saatnya tiba. Manusia juga bisa meniru laku gunung, pada suatu saat menjadi orang yang ngrejekeni dan memberikan manfaat, namun di saat yang lain hadir sebagai orang yang tak kenal kompromi demi mendapatkan hasil akhir yang diinginkan.

Laki-laki tua berambut putih yang masih gagah itu tersenyum penuh arti. Dia telah menemukan kunci yang penting seandainya terjadi perang besar suatu saat nanti.

Nanto yang akan menjadi kunci.

Dengannya pula, ia akan menggapai dunia.

Om Janu tersenyum.

Ia menyeruput minuman wedang uwuh-nya dengan segar. Aahhh. Huenak tenan.

Nuwun sewu.”

Salah seorang abdi datang sembari menghidangkan apem, kue lumpur, dan carabikang yang tadi dibeli oleh istri sang majikan di pasar. “Apakah Ndoro sedang berkenan?”

“Hmm?”

“Ada tamu, Ndoro.

Sopo?

Den Seno.”

Oh?

Kejutan sepertinya tak henti-henti menemuinya. Ada urusan apa lagi sekarang sampai-sampai si Jagal yang legendaris datang menemuinya? Di pagi hari seperti ini pula. Dia manggut-manggut. Sudah lama sekali dia tidak berjumpa dengan Si Jagal.

“Aku ke ruang tamu, makanannya di sini saja. Ditutup biar tidak ditemploki laler. Nanti aku makan.”

Nggih, Ndoro.”

Om Janu membawa wedang uwuh-nya ke ruang tamu, dan duduk di kursi tunggal utama. Tak berapa lama kemudian, sosok berpakaian serba hitam datang untuk menemui sang pimpinan QZK dengan langkah yang tenang dan santai. Sulaiman Seno berhenti di pintu, tidak langsung masuk ke dalam ruang tamu.

Om Janu dan Seno saling pandang, keduanya bertatapan sejenak. Sama-sama menilai kekuatan masing-masing. Om Janu lah yang lantas tersenyum, dia mempersilahkan sang tamu duduk.

Ngopo ngadeg wae nang kono? Kenapa berdiri saja di situ? Masuk sini, seperti siapa saja.”

Tanpa banyak kata dan tanpa banyak senyum, Seno melangkah dengan berani menuju ke ruang tamu dan duduk di depan Om Janu. Pria itu mengeluarkan sepucuk surat berwarna apik yang dibungkus plastik dari dalam saku bajunya.

“Undangan Pernikahan, putra kedua Pak Zain.”

“Hmm, jadi begitu. Ngunduh mantu ya? Anak kedua beliau? Yang namanya... siapa itu yo, si Ahmad?” om Janu melirik ke dua nama yang tertera di undangan, Ahmad dan Meisya. Nah benar namanya. Kalau tidak salah si Ahmad ini sudah beberapa tahun terakhir tinggal di London. Cerdas, tampan, dan langganan beasiswa. Anak yang berbakat dan membanggakan orang tua.

Kaki Om Janu disilangkan dengan santai. Ia memandang tajam ke arah kacamata hitam yang dikenakan Seno. “Masih saja suka pakai kacamata, Sen.”

Seno terdiam.

“Kamu lebih kurusan sekarang.” lanjut Om Janu.

Seno masih diam.

“Kamu yang mengantar undangan-undangan ini ke orang-orang tertentu?

Seno mengangguk.

“Kepada siapa saja kamu mengantarkan surat undangannya? Semua pimpinan? Termasuk cah-cah PSG dan Dinasti Baru?”

Seno kembali mengangguk tanpa ekspresi.

Om Janu tersenyum, “Tidak perlu kaku begitu lah, kita pernah punya hubungan sebagai guru dan murid. Paling tidak kamu bisa menganggap bahwa kita pernah punya hubungan yang istimewa, apalagi aku yang mengajarkan apa yang kamu kuasai. Mungkin kalau dimulai dari situ kita bisa mencairkan suasana. Dulu kamu tidak sekaku ini.”

Seno terdiam.

“Apakah ada yang ingin kamu sampaikan selain mengantarkan undangan?”

“Hanya satu.” akhirnya Seno membuka mulut. “Pada duel terakhir JXG dan QZK saya tidak ikut.”

Om Janu mengangkat bahu, “ya, terus? Aku juga tidak ikut. Pak Zain juga tidak ikut. Ada masalah dengan itu? Banyak di antara kita yang tidak ikut. Ada untungnya kita tidak ikut, kalau ikut – mungkin sekarang kita sudah mendekam di penjara, menghitung hari tanpa tujuan pasti. Harusnya kamu berterima kasih padaku, bukan malah menggerutu.”

“Jika ada duel berikutnya. Maka guru sebaiknya ikut.”

“Walah, berharap kok malah perang. Seharusnya berharap damai.” Om Janu tersenyum, “Lagipula kenapa aku harus ikut?”

Seno menggemeretakkan gigi, tangannya terkepal. Urat-uratnya bertonjolan. Ia menurunkan kacamata hitamnya supaya dapat menatap Om Janu secara langsung. Matanya tajam menghunjam menatap ke depan. Jawabannya juga sudah pasti.

“Supaya saya dapat membalas dendam.”

Kemarahan hebat tergambar pada diri sang punggawa JXG. Aura Ki-nya menghempas ruangan bagai angin kencang. Beberapa kertas terbang dan pena jatuh. Kertas undangan yang diletakkan di meja bahkan terbang hingga jauh – tapi belum sampai jatuh ke tanah, satu tangan menangkapnya dengan santai dan meletakkan undangan itu kembali di meja dengan sopan.

Orang yang menangkap surat itu bertubuh besar, tegap, dan gagah. Rambutnya ikal dan diikat semaunya, ia hanya mengenakan baju batik yang terlalu besar untuk dikenakan, serta celana jeans bolong-bolong berwarna pudar. Jenggot dan kumisnya yang panjang juga tidak dicukur rapi dan dibiarkan seadanya. Perawakan dan penampilannya seperti anggota geng motor yang biasa tampil gahar, tapi mengenakan batik dengan rapi. Sungguh dandanan yang aneh.

Seno berdiri tegap di hadapan pria itu – Syamsul Bahar, senopati unit tempur QZK yang berjuluk Sang Panglima dari Kedung Layang. Entah sejak kapan dia datang, kehadirannya bahkan tidak bisa dideteksi begitu saja melalui aura.

“Sudah lama sekali tidak ketemu dengan njenengan, Mas Seno,” sapa Syam dengan suaranya yang berat dan mengintimidasi. “Tambah medeni. Semakin seram saja.”

Seno hanya mendengus.

Keduanya melangkah pelan, semakin dekat satu sama lain, saling menegapkan badan, saling tantang, saling hadap, saling menggenggam kepalan dan bersiap. Aura Ki yang bertolak-belakang muncul dari keduanya. Hembusan aura kencang kembali terasa. Om Janu hanya terdiam sambil menyentuh surat undangan dengan lembut supaya tidak terbang kembali.

Syam melanjutkan lagi dengan senyum sinis tersungging di wajah, “Jangan berpikir kalau hanya Mas Seno saja yang punya dendam ke QZK. Saya juga punya masalah yang harus diselesaikan dengan JXG dan itu melibatkan Mas Seno. Mudah-mudahan masih ingat urusan kecil kita ya, Mas. Saya tidak akan pernah lupa apa yang Mas Seno perbuat. Nyawa bayar nyawa.”

Seno bersiap. Syam bersiap.

Hawa di ruangan berubah menjadi tidak nyaman.

Blamm!

Om Janu menepuk tangan dan aura Ki hebat dari Syam dan Seno yang sejak tadi memenuhi ruangan langsung hilang dalam sekejap. Tensi dan energi keduanya langsung turun seketika bahkan lenyap, meski mata masih saling menatap, tapi kali ini keduanya mencoba lebih sopan dan tanggap.

“Sudah... sudah... pagi-pagi begini lebih baik kita sarapan saja supaya bisa menghadapi hari dengan lebih ceria. Betul bukan? Kenapa harus memasang wajah keras seperti itu? Kita sedang melakukan gencatan senjata, tidak boleh ada ancam mengancam, tidak boleh ada serang menyerang. Perjanjian harus dihormati.” Om Janu menepuk lengan Syam, “tolong sampaikan ke Bude Di. Minta tolong disiapkan roti bakar, selai nanas, kopi dan teh. Kita harus sambut kedatangan kawan lama.”

“Tidak perlu. Saya pamit. Permisi.” Seno menolak dan berjalan menuju pintu keluar tanpa menunggu tawaran lain.

Syam menatap sang bos. “Boleh saya memberikan ucapan selamat jalan?”

Om Janu melirik Syam, terkekeh sejenak, dan mengangguk. “Pastikan kembang di taman tidak ada yang terpotong. Bisa-bisa Ibu mengamuk.”

Syam tersenyum.

Hanya dalam sekedipan mata, sang Panglima sudah tak lagi berada di posisi semula. Untuk sosok sebongsor dia, kecepatannya menakjubkan.

Om Janu hanya geleng-geleng kepala sembari mengaduk wedang uwuh. Ia kembali berjalan dan duduk ke kursi di dekat taman. Makan apem sembari minum hangat memang anugerah pagi yang luar biasa, harus dinikmati selagi bisa. Saat duduk kembali di kursi dekat taman, om Janu memejamkan mata, merasakan aura Ki yang bertebaran di seluruh penjuru rumahnya. Ia bisa membaca di mana Syam dan Seno berada.

Om Janu tersenyum dan menyeruput minumannya dengan tenang.

Ia memperhatikan dalam diam.

Mencoba merasakan.

Bisa apa Seno sekarang?

Di luar, Seno berjalan pelan menuju motornya. Tapi belum lagi beberapa tapak ia melangkah keluar dari pintu, satu angin kencang membuat dirinya berhenti. Pria berpakaian serba hitam itu mendengus dan menengok ke samping.

Syamsul Bahar sudah ada di samping Sulaiman Seno.

“Hanya sekedar mengingatkan kalau kita ada perjanjian untuk bertemu dengan malaikat maut. Masalahnya hanya siapa yang akan terlebih dahulu datang menghampirinya. Kamu atau aku.” Bisik Syam dengan tenang. “Sekali lagi ini bukan ancaman, ini perjanjian.”

Seno tidak menjawab, dia hanya menatap Syam dengan dingin di balik kacamatanya, akhirnya Seno mendengus. Dia bergumam kecil dan sentakan energi besar keluar dari dalam tubuhnya, mendorong Syam mundur bagai daun kering dihempas angin. Inilah ledakan dahsyat kekuatan gerbang keenam Kidung Sandhyakala.

Syam terhempas mundur dua langkah, lalu memutar badan, menyergap energi yang datang dari serangan Seno, memutarnya dengan kedua tangan ibarat sedang memilin bola gulali. Lalu dengan segenap tenaga, energi yang dikumpulkan Syam dihempaskan ke samping.

Brgkkh!

Satu pohon berukuran sedang tercerabut dari akarnya.

Syam maju ke depan, melemparkan pukulan beruntun dengan anggun. Seno mengelak, sengaja tidak menghadang. Semua pukulan itu menemui ruang kosong tanpa sekalipun berhasil kena sasaran. Seno melepaskan satu pukulan kencang dari bawah. Siku ditekuk setengah, badan membungkuk, kepalan dari perut disorongkan ke depan – juga menuju ke arah perut.

Seharusnya masuk.

Seharusnya.

Tepat di saat terakhir, Syam mengelak cepat. Ia beringsut ke samping dengan gerakan tubuh ringan. Meski sempat menghindar, hentakan pukulan Seno menyerempet pinggangnya, hangat terasa. Syam meraih pergelangan tangan Seno, lalu memutarnya. Jika saja Syam sedang berhadapan dengan orang bertubuh kerempeng atau tidak punya ilmu kanuragan – maka orang itu pasti terbanting dengan mudah.

Tapi Seno teguh berdiri tanpa terpengaruh, tergeser pun tidak. Tangannya dikencangkan, bibirnya bergumam, energi dilepaskan sekali lagi. Kali ini Syam tidak siap.

Bnghhh!

Syam mundur tiga langkah ke belakang terkena sentakan tenaga itu, tapi alih-alih terdesak, dia justru mundur mengarungi sentakan tenaga dari Seno. Ibarat berselancar dengan menggunakan arus lontaran. Ia mendarat ringan seperti seakan tak kurang suatu apa.

Syam menghentakkan kaki ke tanah dan sebuah tenaga besar mengalir dari dalam tanah menuju ke sang Jagal. Giliran Seno yang mundur terkena dorongan energi yang sulit dihindarkan, ia juga mundur tiga langkah ke belakang.

Sampai sejauh ini imbang.

Baik Syam dan Seno melangkah ringan untuk maju. Dua sosok pria dari dua kubu yang berseteru kembali bertemu, kali ini keduanya kembali mendekat satu sama lain. Seno masih tidak banyak cakap, sementara Syam tersenyum sinis. Kedua orang ini jelas masih belum menggunakan seratus persen tenaga mereka.

Syam menepuk dada Seno.

Seno menepisnya.

“Mulai sekarang perhatikan langkah kakimu. Sering-sering menengok ke belakang dan perhatikan kiri atau kanan. Karena siapa tahu, tiba-tiba saja aku datang untuk mencabut nyawamu. Gerbang pertama Kidung Sandhyakala tidak akan sanggup mendeteksi kedatanganku,” ucap Syam dengan penuh keyakinan. “Kita akan bertemu kembali, ini bukan yang terakhir kali.”

Seno mendengus dan untuk pertama kalinya ia membuka mulut, “coba saja.”

Syam menganggukkan kepala, lalu berjalan kembali untuk masuk ke rumah.

Seno masih berdiri terdiam menatap rumah yang dulu pernah menjadi tempatnya singgah selama beberapa tahun. Cerita lama bak memory yang hinggap indah dalam ingatan tapi rasa sakit dalam hati seperti terbayang membuatnya menjadi noda tak termaafkan. Ia menghela napas panjang, lalu menaiki motornya, mengenakan helm, membuka kunci, dan mulai menjalankan motor untuk segera pergi dari rumah Om Janu.

Akan ada waktunya nanti kala mereka semua akan berjumpa, untuk menuntaskan semua masalah, dan menyelesaikan semua dendam dalam dada.

Akan ada saatnya.





.::..::..::..::.





Nanto mengelap peluhnya yang turun sebesar biji jagung. Sudah sejak pagi dia berolahraga, sejak matahari belum lagi bangkit dan purnama masih bertahta di langit, saat cakrawala belum lagi biru dan langit hanya diselimuti gelap dari ujung ke ujung. Dia selalu suka lari pagi sembari melihat mentari terbit di ufuk, seakan pagi hadir secara khusus untuk menyapanya, seakan harapan baru lahir dan sudah saatnya memenuhi paru-parunya dengan udara. Apalagi pagi ini dia berlatih ilmu kanuragan yang menjadi warisan, bersama Om Janu membuka ilmu leluhur, membuka diri menerima masukan.

Entah sudah berapa jam ia berlari, dari mulai gelap pagi hingga terbit mentari, dari mulai sepi hingga ramai orang mengisi hari, yang pasti sejak hadirnya pagi, dan matahari mulai tinggi, Nanto tahu sudah saatnya ia kembali.

Mungkin dia hanya tidur selama beberapa jam hari ini, setelah tadi malam berjaga di rumah sakit, pulang sebentar, dan ketika pagi menjelang ia pun langsung berolahraga. Tidak apa-apa hanya sebentar saja, yang penting tidurnya berkualitas.

Saat si Bengal pulang, ia melihat Om Darno dan Tante Susan sudah menunggu di depan pintu kontrakannya dengan senyum lebar. Wah surprise banget! Ini kali pertama mereka berkunjung sejak ia pindahan. “Weh! Om! Tante! Kok tidak bilang-bilang mau datang! Hahaha! Bukannya kalian seharusnya berangkat ke luar kota nih?”

“Ini cuma sekedar mampir saja, kok. Pas lewat sini, sekalian bawain kamu bubur ayam sama pengen lihat kontrakan barumu. Mumpung kita ga jadi berangkat ke luar kota karena jadwalnya diundur.” tanya om Darno sambil ikut-ikutan merenggangkan badan, seakan-akan ingin ikut berolahraga. “Mantap tenan, olahraga terus, le? Kayaknya enak di badan, sudah lama sekali tidak olahraga. Sekarang-sekarang ini badan terasa berat. Lain kali aku juga ikut ah.”

“Hahaha, ikutlah, Om. Atau nanti saya aja yang ke sana. Kita jalan pagi bareng.”

“Cucok lah.”

“Gayanya si Om, boro-boro olahraga. Bangun pagi aja susah.” Tante Susan mencibir sambil mencubit perut suaminya yang mulai menggendats. “Tuh, Mas. Biar si Nanto setiap weekend datang ajakin kamu lari pagi.”

“Iya, le. Ke rumah aja kalau weekend, aku ikut lah lari pagi.”

Nanto tertawa dan mengangguk. “Siap, Om.”

“Enak di sini, le. Adem, sejuk, damai. Ada pemandangan ke gunung, halaman luas, suasana masih asri khas pedesaan padahal dekat sama kota,” kata Tante Susan yang asyik menikmati pemandangan dari teras lantai dua kontrakan Nanto. “cocoklah buat kamu.”

“Iya Tante, lumayan.” Nanto membuka pintu kontrakannya. “Silakan... silakan... maaf seadanya, belum sempat beres-beresin.”

Tante Susan dan Om Darno duduk di ruang depan, sementara Nanto menyiapkan teh celup. Ketiganya pun langsung menikmati pagi dengan lahap makan bubur ayam dan minum teh hangat.

“Bagaimana kabar si Hanna, le?”

“Baik Tante, sudah mendingan. Seharusnya hari ini pulang sih. Tapi rasa-rasanya dia masih belum mau pulang ke rumah, masih trauma dan takut. Kakaknya semalam sempat datang – dan akhirnya Hanna mau menemui Kak RIzka, tapi dia masih belum bersedia pulang, apalagi kalau ujung-ujungnya ketemu Glen. Orang tua Hanna kan masih Glen-minded banget katanya.” Nanto menjelaskan. “Semalam sih dia bilang masih ingin tinggal sementara di rumah Tante, bagaimana?”

“Kasihan anak itu, Tante sih tidak masalah. Sementara dia bisa tinggal di bekas kamarmu kalau mau. Tapi harus dengan persetujuan keluarga atau wali-nya. Dengan syarat Glen tidak boleh tahu dan tidak boleh datang. Paling tidak sampai suasana tenang dan semua masalah jernih.”

“Betul Tante. Kak Rizka sih masih bisa dipercaya. Dia yang sayang banget sama Hanna. Katanya dia yang akan menjelaskan semua ke orangtua Hanna dan akan menjelaskan pelan-pelan kenapa Hanna tidak pulang. Masalahnya kan orangtua Hanna hutang budi banget sama Glen dan keluarganya, walaupun sebenarnya mereka berkecukupan.”

Tante Susan geleng-geleng kepala. “Berat kalau sudah masalah hutang budi dan mengorbankan kebahagiaan. Ya sudah, antarkan aja dia nanti ke rumah, pagi ini Tante siapkan kamarnya. Siapa yang jaga pagi di rumah sakit hari ini?”

“Kinan, Tante.”

“Oke. Tanyakan juga ke Kinan no rekeningnya. Sementara biar Tante dan Om yang urus biaya rumah sakit dan lain-lain. Supaya Hanna bisa tenang dan pulang tanpa banyak pikiran. Itu dulu yang penting, masalah dia nanti mau ganti biayanya atau tidak, urusan keri. Kalau nanti kamu tidak bisa, biar Kinan yang antar Hanna ke rumah.”

“Siap Tante.”

Tante Susan tersenyum, “Anaknya manis banget si Kinan. Pinter banget kamu nyari pacar, le.”

“Hehehe. Makasih Tante.”

Om Darno manggut-manggut seperti boneka Mampang, “Anaknya baik dan manis. Cocok juga ngobrol sama Tante-mu. Wes lah, kami setuju-setuju saja. Semoga langgeng kalian.”

“Siap Om, amin.”

“Oh iya. Ada yang mau Tante tanyain, le. Berkaitan dengan Om Janu. Kalau tidak salah kemarin kan dia datang ke rumah sakit, ya? Apa kalian ketemu? Dia penasaran banget sama kamu.” tanya Tante Susan. “Apa saja yang diajarkan sama om Janu?”

“Ketemu kok Tante, beliau mengajari cara untuk mempermudah membuka gerbang lima, enam, dan tujuh melalui meditasi. Senang rasanya ada panduan. Pagi ini kami juga melatih fisik supaya lebih siap. Semacam pemanasan.”

“Pagi ini? Hmm... jadi bagaimana? Sudah bisa dikuasai?”

Nanto menghela napas. “Sebenarnya sudah, sejak sama Kakek pun sudah dilatih... tapi... seperti ada yang menekan tenaga saya, Tante. Seperti ada yang tidak lepas, tertahan. Om Janu bilang, ada katup yang masih tertutup. Antara memang belum sempurna terbuka, atau ada yang sengaja menyegel. Sumpah saya bingung, kalau memang tertutup bagaimana membukanya? Bagaimana melatihnya? Apa yang harus saya lakukan agar semua bekerja dengan lancar?”

Tante Susan tersenyum, “mau dibuka?”

Nanto tertegun. “Pasti. Memang Tante bisa membukanya?”

Tante Susan menggeleng.

Nanto mendesah kecewa. Kirain bisa.

Om Darno dan Tante Susan sama-sama tertawa. Sang Tante mendekat dan mengelus rambut ponakannya, “kalau memang saluran tenagamu disegel, maka yang bisa membuka hanyalah yang pernah menutup atau dibuka sendiri tapi melalui sebuah ritual yang tidak mudah. Tidak sembarang orang bisa membuka segel itu. Kamu sama sekali tidak ingat ya bagaimana peristiwanya?”

Nanto menggeleng. “Memang siapa yang menutup? Perasaan tidak pernah ada yang...”

“Mungkin sudah saatnya dia tahu.” kata Tante Susan sambil menatap suaminya.

Om Darno mengangguk dan tersenyum.

“Tahu apa, Tante?” Nanto kebingungan.

Tante Susan menarik napas panjang, siap menceritakan sebuah sejarah. Awal mula ketika. Ini akan menjadi percakapan yang panjang, tapi sudah saatnya diceritakan.

“Jadi... kita mulai dari awal sekali. Kamu... kamu lahir sebagai anomali, le.”

“Ha?”

“Anomali. Pengecualian. Katup energimu sudah mengalir hebat bahkan sejak kamu baru lahir. Kami sekeluarga takjub karena apa yang kamu miliki berbeda dari kami sesama Trah Watulanang. Kami harus mempelajari ilmu turun temurun baru memperoleh kemampuan yang setara denganmu, terlebih Om Darno yang bukan keturunan langsung dari Trah Watulanang, beliau harus mati-matian belajar bertahun-tahun sebagai murid Kakek. Tapi kamu... kamu memiliki energi yang luar biasa bahkan tanpa berlatih apa-apa sebelumnya – bagaimana mungkin juga kamu berlatih, kamu kan baru lahir.” Tante Susan duduk di sebelah Nanto dan mulai menjelaskan.

“Sejak lahir?”

“Bener, le.” giliran om Darno yang menjelaskan, “bak mukjizat, pernikahan ayah dan ibu kamu menghasilkan anomali seperti kamu. Anomali dengan energi yang luar biasa bahkan sejak lahir, entah karena apa. Baru kamu satu-satunya keturunan trah Watulanang yang lahir dengan anugerah seperti itu. Kakek bilang kita harus merahasiakan keberadaanmu karena nantinya banyak yang akan memburumu demi alasan pribadi mereka, jadi kami semua sepakat untuk merahasiakan keberadaanmu dari trah Watulanang lain. Masalah berikutnya timbul karena tubuhmu yang mungil jelas tidak akan kuat menahan besaran energi yang langsung berkembang pesat.”

Nanto mengangguk mulai memahami, tidak heran Ibu dulu bilang sewaktu kecil dia sering sakit-sakitan.

“Kami semua tahu seiring dewasamu, jika tidak terkontrol dan tidak dilatih, energimu hanya akan menjadi tenaga yang sia-sia tersimpan dalam tubuhmu, bahkan akan berbalik membuatmu lemah. Namun jika dilatih sejak awal, maka kamu seharusnya menguasai tenaga yang teramat luar biasa. Bahkan mungkin kamu-lah yang bisa membuka rahasia leluhur kita.”

“Rahasia leluhur?”

“Rahasia leluhur yang tujuh menuju delapan belas,” ujar Om Darno. “Bukan rahasia leluhur cara bikin kue wajik.”

“Ah. Warisan leluhur kita yang itu.” Nanto ngekek dan mengangguk. “Jika sudah menguasai tujuh gerbang maka akan dimudahkan untuk membuka kawruh memahami ilmu kanuragan 18 Serat Naga.”

“Betul, le. Sayang memang hingga kini belum ada yang pernah bisa menguasai Nawalapatra 18 Serat Naga dengan sempurna selain leluhur kita, walaupun ilmu-nya sudah diajarkan dan dibaca turun temurun dari generasi ke generasi.”

“Kenapa ya bisa begitu? Kenapa tidak bisa sempurna? Bukankah ada rumus tujuh menuju delapan belas? Masih kurang apalagi?”

“Tujuh menuju delapan belas itu kalau lancar,” sambung Tante Susan. “Memangnya kamu sudah bisa semua? Tante jujur tidak menguasai semuanya secara sempurna, apalagi yang delapan belas – meski secara teori memahami keduanya, tapi rasanya tidak diperlukan mempelajarinya terlalu jauh. Hidup Tante sudah terlalu repot untuk mendalami hal-hal begitu.”

“Katakanlah aku sudah lancar menguasai ketujuh gerbang. Semuanya bisa dibuka dengan lancar.” Nanto penasaran. “lalu apa yang terjadi? Apa yang harus aku lakukan?”

“Tujuh gerbang harus dikuasai terlebih dahulu untuk bisa mempelajari 18 Naga. Mempelajari ya, bukan menguasai. Karena sebenarnya syarat tujuh gerbang itupun tidak mutlak seratus persen akan berhasil, pasti akan selalu ada yang kurang.”

“Ha? Kenapa tidak bisa dikuasai kalau bisa dipelajari?”

“Karena sebenarnya ada rahasia pada Kidung Sandhyakala, trah Watulanang biasa menyebutnya Rahasia Kidung atau Selubung Kidung. Jadi sebenarnya masih ada tiga lapis gerbang yang sampai sekarang tidak diketahui rimbanya, hilang ditelan masa. Entah kenapa gerbang ke-delapan hingga ke-sepuluh tidak lagi bisa diketemukan, jadi tidak hanya tujuh, le... ada sepuluh.” ucap Om Darno menjelaskan. “Ketiga gerbang itu adalah syarat untuk menyempurnakan 18 Serat Naga. Tanpa ketiga gerbang tambahan, kita hanya akan menguasai enam puluh hingga tujuh puluh persen saja dari 18 Serat Naga.”

Nanto menggaruk kepala dengan bingung. “Jadi ada sepuluh... tapi yang tiga lagi masih belum ada yang menemukan?”

“Betul, tidak ada yang tahu juga bagaimana mencarinya dan harus bagaimana untuk mendapatkannya, itu sebabnya kita semua menyebutnya selubung kidung.” giliran Tante Susan yang menjelaskan, “Tapi itu kita tadi ngalor-ngidul mengenai ilmu turun temurun, sekarang akan coba kami jelaskan mengenai katup energi yang tertutup. Tadi kami sudah jelaskan kalau sejak lahir kamu punya energi teramat besar sebagai anomali, tapi sekarang tertutup dan tak bisa dikeluarkan.”

“Iya Tante...”

“Kamu mau tahu syarat membukanya?”

“Mau dong.”

“Agak berat.”

“Tidak masalah.”

“Agak susah.”

“Nanti saya pakai kalkulator.”

Tante tertawa, “cah edan.”

“Jadi bagaimana caranya, Tante?”

“Ada beberapa cara. Cara pertamanya sederhana; pergilah ke makam Ibu kamu, lalu minta maaf. Ajak Kinan ikut serta, karena beliau pasti ingin melihat kekasih yang kau pilih.” Tante tersenyum, “lalu berdoa kepada Sang Penguasa Jagad, supaya ibu kamu dibukakan hatinya untuk membuka segelmu.”

“HAH!?” Nanto melongo, mulutnya terbuka lebar.

Pose Nanto yang kaget dengan mulut menganga bak gua Aladdin dibuka Jaffar membuat Om Darno dan Tante Susan bukannya prihatin, tapi malah tertawa bersama.

“Jadi yang menutup katup energi kamu adalah Mbak Sari – Ibu kamu,” Tante Susan menjelaskan. “Beliau yang dengan susah payah dalam kondisi sakit menutup kemampuanmu dari masa ke masa. Karena tidak ingin tubuhmu hancur sebelum waktunya. Mulai dari kecil saat tubuh ringkihmu belum kuat menahan kekuatan, sampai kemudian sempat dibuka sedikit ketika kamu beranjak dewasa, sebelum akhirnya ditutup kembali.”

“Tapi kenapa...?”

“Tentu saja ada alasannya.”

“Kenapa?

“Ingatkah apa yang kamu lakukan semasa SMP? Semasa SMA? Ingatkah kamu pada kejadian-kejadian yang berlangsung di masa itu? Mungkin tidak. Semua itu terjadi bahkan setelah segel ditutup, kamu tumbuh menjadi bocah yang mbeling dan membuat Ibu-mu pusing,” kata Tante Susan. “Baru setelah kamu kehilangan kehidupanmu di kota dan tinggal bersama Kakek, kamu menemukan kedamaianmu. Benar kan?”

Nanto mengangguk.

“Ibu jelas tidak ingin jahat sama kamu, le. Beliau selalu menginginkan yang terbaik untuk putra semata wayangnya. Beliau mengajarkan ilmu di luar Kidung Sandhayakala untukmu, mengajarkanmu Wing Chun, mengajarkanmu ilmu pernapasan, mengajar ilmu peniru, mengajarkanmu cara menghadapi lawan dengan cerdik. Beliau mengajarkan semua itu sebagai bekal supaya kamu dapat menjaga diri dan bukan untuk menyerang orang lain, bahkan tanpa Ki berlebih.”

Nanto menunduk, ia menyadari apa yang ia lakukan di masa lalu memang membuat ibu-nya sangat kecewa. Ia sadar betul sedihnya sang Ibu di masa-masa masa itu.

“Bayangkan betapa kecewanya beliau ketika kamu malah menggunakan kemampuan itu untuk tawuran setiap minggu, berantem siang malam tanpa kenal hari, sampai pada puncaknya... ketika ada temanmu yang kemudian...”

“...meninggal, ya aku tahu Tante. Kejadian itu sangat memukul Ibu sampai beliau jatuh sakit dan akhirnya meninggal juga karena kecewa, terlebih setelah bertemu dengan orang tua korban. Sampai hari ini saya masih merasa bersalah kalau ingat itu, walaupun Tante, Om, dan Kakek sekalipun selalu memberi semangat.”

“Jadi ingat ya kata Tante, coba kau ziarah ke makam Ibu-mu. Ucapkan penyesalanmu dari hati yang terdalam, doakan semoga beliau mendapatkan jalan terang yang mudah untuk duduk di sisi Sang Panguasa Jagad. Mudah-mudahan segelmu bisa dibukakan entah kapan. Kecuali... kecuali kamu tiba-tiba saja punya kemampuan untuk membukanya sendiri.”

“Baik Tante.”

“Cara yang kedua itu... nah ini yang sampai sekarang masih misterius yang Tante sendiri tidak paham mekanismenya, jadi tidak bisa Tante ceritakan bagaimana-nya. Ada beberapa orang yang sanggup membuka sendiri segel energi yang menutup energi Ki murni mereka, tapi entah bagaimana caranya. Sepertinya harus ada trigger atau pemicunya.”

“Pemicu...”

“Oh iya, Tante jadi ingat. Gerbang Pertama-mu itu...”

“Iya, kenapa... Tante?”

“Apakah pernah aktif tanpa kau buka sebelumnya?”

“Pernah Tante! Saya juga heran kenapa bisa begitu. Kenapa ya kira-kira? Kadang kaget sendiri kalau muncul tiba-tiba. Padahal sama sekali saya tidak mengucapkan rapalan apa-apa. Sebenarnya bagaimana hal itu, Tante?”

“Tidak apa-apa, itu malah bagus supaya ada yang selalu mengingatkan kita. Betul tidak? Supaya kita selalu eling dan waspada.”

“Ya... bener sih. Tapi...”

“Suara dalam hatimu itu... apakah suara perempuan atau laki-laki?”

“HAH!?”

Nanto menggaruk kepala. Pertanyaan macam apa pula itu?

“Mana saya tahu, Tante. Suara dalam batin saya... ya seharunya tidak ber-gender. Kalaupun punya gender, seharusnya cowok kan ya? Kan suara batin saya sendiri. Kenapa memangnya?”

“Tidak apa-apa. hanya tanya saja.” Tante Susan tertawa sembari mengedipkan mata pada Om Darno yang juga menahan tawa. Entah hal apa lagi yang belum mereka ceritakan pada si Bengal. “Tante yakin Ibu-mu bangga melihatmu, le. Mbak Sari pasti selalu melihat kiprahmu, mengawasimu, dan senang kamu bisa memperbaiki diri. Dia akan selalu dekat denganmu.”

“Mudah-mudahan begitu, Tante. Jalan saya masih jauh untuk membuat beliau bangga.”

“Pasti bisa, pasti akan ada saatnya nanti, le. Beliau dekat denganmu kok dan selalu mengawasi,” ujar Tante Susan geli.

Nanto mengangguk meski ia masih tidak tahu apa yang sebenarnya lucu, “jadi segel ini juga bisa dibuka sendiri tapi caranya masih belum paham ya, Tante?”

“Betul, Om dan Tante sama-sama tidak akan bisa menjawab kalau soal itu, karena selama ini belum pernah ada yang bisa melakukannya. Kakek yang pernah bilang kalau caranya berat. Bahkan Kakek pun tak bisa membuka segelmu.”

Nanto mengangguk, ia mendesah panjang.

“Ada lagi, le?” tanya om Darno.

“Ada. Tanya lagi deh, Om dan Tante.” Nanto masih penasaran. “Kalau tentang gerbang... apakah ada caranya mencari tiga gerbang yang tersisa? Rasa-rasanya risih jika masih ada yang kurang saat kita mempelajari sesuatu. Jadi ingin menuntaskan kesepuluh gerbang, sekaligus menyempurnakan 18 Serat Naga jika memang masih belum lengkap.”

Om Darno dan Tante Susan sekali lagi saling berpandangan, menatap si Bengal, dan menjawab hampir bersamaan. “ADA!”

Nanto agak sedikit kaget, tapi kemudian terkekeh, “Wih elok, bisa barengan.”

Om Darno dan Tante Susan tertawa. Mereka juga kaget sendiri bisa mengucapkan kata itu secara bersamaan, mungkin memang jodoh.

Om Darno yang menjelaskan kali ini, “Karena memang beneran ada caranya. Pernah ada yang mencoba dan katanya bisa, hanya saja karena dia bukan orang yang tepat, maka ada penolakan kehadiran, sehingga ia gagal. Konon hanya orang yang tepat yang diijinkan untuk menguasai ketiga gerbang terakhir – dan dengan energi anomali yang kamu miliki, kemungkinan kamu bisa membuka Selubung Kidung.”

“Bagaimana caranya?”

“Apakah Kakek pernah menunjukkan lokasi gua ditemukannya Kidung Sandhyakala?” tanya Om Darno.

Nanto mencoba mengingat-ingat, “sepertinya pernah. Di hutan. Tapi aku lupa posisi pas-nya.”

“Hehehe, tahukah kamu kenapa Kakek selalu mengajakmu ke hutan? Atau kenapa Kakek tinggal di tempat itu dan enggan pergi?”

“Kenapa memang?”

“Karena Kakek adalah juru kunci gua leluhur.”

“HAH!?”

“Hahaha, masalah itu bisa kita bahas lain kali. Sekarang kita jawab saja pertanyaanmu tadi. Apakah ada caranya? Jawabannya ada, tapi kami berdua tidak yakin kamu akan kuat mencobanya atau mampu menjadi yang terpilih untuk membuka Selubung Kidung.” Om Darno menatap lekat-lekat sang ponakan. Wajahnya serius, Nanto jadi takut sendiri. “Syaratnya adalah... kamu harus bersemedi di sana, di dalam gua leluhur.”

“HAH!?” Nanto melongo lagi. “Serius?”

Om Darno dan Tante Susan tertawa, sumpah kagetnya si Nanto ini epik.

“Iya, ini serius.” Om Darno melanjutkan lagi. “kamu harus bermeditasi di sana, meminta restu pada Eyang Leluhur untuk datang dan memberi kawruh. Ini kedengarannya hal yang mustahil memang, sulit dicerna akal sehat. Tapi dengan seizin Sang Penguasa Jagad, tidak ada yang tidak mungkin dan Eyang Leluhur bisa diijinkan datang untuk membantumu. Tapi ya itu tadi, kamu harus bersemedi dan menjalani ritual puasa. Sudah banyak yang mencoba, tapi selalu gagal bukan karena ritualnya, tapi karena mereka bukan orang yang tepat.”

“I-ini beneran nih? Yang beginian? Hajigur. Padahal ini sudah jaman pesen indomie di warung depan saja bisa pake internet.”

Om Darno dan Tante Susan tertawa, “Kami tidak akan memaksamu jika kamu tidak sanggup. Karena hanya dengan berbekal 7 gerbang dan 18 Serat Naga yang tidak sempurna saja, Om Janu bisa meraih apa yang dia miliki sekarang. Meski kami sangat tidak menganjurkan kamu untuk mengikuti jejaknya. Biar bagaimanapun, kami ingin kamu berjalan di jalur yang lurus, le.”

Nanto mengangguk. Satu pemikiran terbentuk di benaknya. Menarik sebenarnya, tapi apakah dia ada waktu untuk melakukan ritual seperti itu? Hmm... 18 Serat Naga.

“Siap Tante.”

Om Darno dan Tante Susan saling berpandangan, Tante berdehem dan berbicara dengan nada selembut yang ia bisa, “Kami tahu akhir-akhir ini kamu dekat dengan Om Janu, dan beliau memang baik. Tapi ada hal-hal tertentu yang harus kamu ketahui tentang Om Janu, le...”

Smartphone Nanto berbunyi, ia melirik notifikasi.

“Sebentar Tante, ada yang...”

Kode Bravo.





.::..::..::..::.





Hageng menarik napas, menarik kaki kanan ke belakang.

Dengan posenya sekarang, otomatis tangan kanan juga ditarik ke posisi belakang. Matanya fokus ke satu titik di depan. Bahunya bergerak memutar separuh, meski kepala tetap mengarah ke depan sempurna dan tegak.

“Sekarang!”

Hageng menuruti perintah, ia memutar badan dengan kecepatan tinggi ke depan dan melontarkan tangan kanannya sekuat tenaga ke arah sasaran - sebuah boxing sandbag yang ukurannya teramat besar. Pukulan itu masuk dengan sangat kencang.

Bmmm!!

Hantaman Hageng membuat sandbag raksasa itu bergoyang. Hageng mendengus dan tersenyum, oke lah sepertinya. Memang belum sempurna, toh dia juga baru mulai belajar hari ini, setidaknya dia sudah dapat mengeluarkan tenaga mentahnya. Dia sendiri sudah lupa sudah berapa kali menghantam sandbag itu hari ini.

Tepuk tangan kencang di belakang Hageng membuatnya tersenyum.

“Bagus. Lumayanlah sudah bisa menggoyang sandbag-nya. Sekarang masalahnya adalah cara membangkitkan dan meningkatkan Ki yang kamu miliki, tentu itu bukan perkara mudah, tapi kalau aku bisa, kenapa kamu tidak. Terlebih lagi, semua manusia sebenarnya memiliki Ki mereka masing-masing,” kata Simon. “Seorang calon pimpinan Sonoz harus menguasai Pukulan Geledek – dulu aku juga belajar dari Ketua Sonoz sebelumku. Kini aku mewariskannya padamu, sampai nanti perlu diwariskan kembali ke calon penggantimu kelak.”

Hageng dan Simon tengah berada di ruang khusus gym di rumah Simon yang bak istana. Dasar orang kaya, meski tidak banyak mengumbar kekayaan, Simon ternyata adalah anak dari orang tua yang cukup disegani di dunia property. Meski hidup berkecukupan, tak sekalipun Simon pernah memamerkan atau menggunakannya untuk kepentingan pribadi.

“Luar biaza zekali, Boz. Tapi raza-razanya ku tidak akan zanggup menguazainya dalam waktu zingkat.”

“Tidak ada yang instan di dunia ilmu kanuragan yang sebenar-benarnya. Butuh waktu, butuh komitmen, butuh pengorbanan, dan butuh keseriusan. Tapi tidak ada yang mustahil.” tanya Simon. “Apakah kamu bersedia?”

“Tidak ada jalan lain lagi, aku haruz meningkatkan kemampuan zupaya tidak tertinggal dari yang lain.” Hageng mengangkat bahu, “zelama ini cuma biza gulat bebaz. Kalau biza menguasai juruz dengan peningkatan Ki, mungkin biza lebih lumayan membantu.”

“Bagus. Untuk awal, kita harus berlatih ilmu pernapasan untuk membangkitkan Ki, setelah itu meningkatkannya, dan terakhir belajar mengatur energi yang dikeluarkan dan disimpan secara efektif. Pukulan Geledek membutuhkan muntahan energi Ki yang sangat kuat, kalau tidak siap, kamu pasti bakal ambruk kelelahan.”

Simon menarik napas, sembari menetapkan posisi sandbag supaya benar-benar tetap di tengah dan tidak goyang.

“Pukulan Geledek intinya adalah pemusatan dan pelepasan energi dalam jumlah yang tepat dengan tingkat akurasi yang pas. Kalau kamu melepas energi dan ternyata gagal menemui sasaran, maka akan butuh waktu untuk mengembalikan Ki yang terlepas. Sasaranmu harus dikunci pada posisi yang tetap, itupun bisa dilakukan dengan melepas energi Ki untuk menggenggam kaki dari jarak jauh – semacam menciptakan medan magnet di bawah kaki mereka. Tentu saja ini tidak bisa berlangsung lama, hanya beberapa detik. Detik-detik itulah yang paling krusial,” ujar Simon. “lalu setelahnya, ledakkan pukulanmu. Seperti ini.”

Simon mengayunkan tangannya, genggamannya kencang, pukulannya penuh tenaga.

Baaaaaaaaammmmm!

Sandbag
itu bergerak teramat kencang, bahkan kait di atas seakan-akan hendak terlepas. Hageng menganga terheran-heran. Luar biasa memang kalau sudah mengetahui caranya. Jurus ini sangat mengerikan. Kalau saja ia dapat menguasainya dengan cepat.

Simon menarik napas, lalu melepaskannya dengan teratur. Sandbag masih bergoyang sangat kencang.

“Bagaimana?” tanya Simon.

“Luar biaza, Boz.” Hageng mengangguk memberikan apresiasi. “Aku jadi terinzpirazi untuk membuat beberapa bait puizi.”

“Waduh.”

Smartphone Hageng berbunyi, ia melirik notifikasi.

Pikirannya melayang ke ujung awan. “Zepertinya puizinya haruz menunggu kali lain, Boz.”

“Syukurlah. Tidak ada puisi pun kayaknya jauh lebih baik.”

“Bolehkah aku menanyakan zezuatu?”

“Apa itu?”

“Bolehkah aku meminjam motor yang paling cepat di zini?”

Hageng tahu dia harus ngebut, karena dia baru saja menerima sebuah kode penting.

Kode Bravo.





.::..::..::..::.





Roy masih belum bisa tidur, matanya mata panda. Hitam melingkar.

Akhir-akhir ini dia memang susah sekali tidur.

Pikirannya hanya tertuju ke Rania yang masih juga belum memberikan jawaban pada lamarannya. Apakah sesusah itu ya? Apakah dia memang tidak sepantas itu? Mungkin memang dia terlalu terburu-buru. Seharusnya dia memantaskan diri dulu sebelum berani melamar Rania, siapa sih dia yang pekerjaannya hanya di rumah makan?

Mungkin dia harus belajar memasak, supaya lebih punya banyak kesempatan untuk menjadi seorang chef. Atau mungkin dia harus mencari cara lain untuk mendapatkan penghasilan, supaya bisa menghidupi Rania dan anaknya.

Ponsel Roy berbunyi.

Sudah berbunyi saja sih alarmnya?

Roy melirik ke arah jam dinding. Hmm, bukan waktunya alarm berbunyi. Dengan malas dia bergulir, membalikkan badan ke arah ponselnya yang ada di samping pembaringan. Roy melirik ke nama yang muncul di layar.

RANIA!?

Sontak Roy terbangun, mengucek mata, dan memastikannya sekali lagi.

Beneran Rania! Video Call!

Buru-buru Roy memperhatikan wajahnya di cermin, wes lumayan kan? Wes lah. Arep piye meneh, nek elek yo raiso makjegagig terus dadi bagus. Kalau emang dari sononya tidak ganteng ya seterusnya tidak akan ganteng kecuali ketemu Ibu Peri. Untunglah Roy meski tidak teramat ganteng, tapi setidaknya cukup lumayan.

Roy menggeser tombol hijau untuk menerima.

“Hai.”



Wajah cantik Rania muncul di layar. Ia tengah tidur-tiduran di ranjang, sembari menemani anaknya yang tengah terlelap. Sudah lama sekali Roy tidak melihatnya sejak mereka tidur bersama dan Roy melamarnya. Cantiknya senyum si gingsul. Gingsul yang bikin kangen tak karuan di dada.

“Hai.” Roy tersenyum, tidak tahukah Rania betapa rindunya Roy?

“Bagaimana kabar kamu?”

“Baik. Kamu?”

“Baik juga...”

Keduanya terdiam sesaat, hanya saling menatap mata masing-masing.

“A-ada apa pagi-pagi begini?” Roy meneguk ludah, dia menatap tak berkedip bidadarinya.

Rania tersenyum, “ga boleh?”

“Boleh. Boleh sekali malah. Mau pagi, siang, sore, malam, tengah hari, kapanpun boleh. Kecuali... kecuali waktu BAB.”

Rania tertawa, “makasih. Tadinya aku menunggu sampai benar-benar tenang untuk menanyakan sesuatu, tapi aku sudah tidak sabar lagi. Aku sudah tak sabar ingin ketemu kamu. Maaf bangunin pagi-pagi.”

“He’em, tidak apa-apa.”

“Aku hanya mau menanyakan satu hal.”

“Apa itu?”

“Ehm,” wajah Rania berubah menjadi serius, “bisakah kita ketemu hari ini?”

“Tentu. Kenapa? Kamu mau dijemput sore nanti?” deg-degan jantung Roy. Aduh, kenapa mau ketemu? Jangan-jangan mau menolaknya? Di-reject, di-reject, di-reject aja. Duh, Roy benar-benar takut.

“Iya, jemput aku sore nanti, ya.” Rania tersenyum. “Karena kalau kita mau membicarakan tanggal lamaran maka kita harus ketemu kan? Ibuku sudah menemukan tanggal yang tepat. Kamu bisa membawa keluarga untuk datang. Sekalian kita menentukan tanggal baik untuk acara pernikahannya. Kita harus rencanakan semuanya dengan matang.”

Roy memejamkan mata karena takut, ia menggigil. “Aku tahu! Aku tahu kalau aku tidak siap untuk jadi seorang suami secara finansial, tapi setidaknya aku ingin berusaha! Aku yakin aku dapat membahagiakan kamu, aku...” sejenak kemudian Roy tersadar dan terbelalak. “A-apa... yang... HAAAH!!??”

Rania tertawa, “nanti sore jemput aku ya. Aku sudah mengambil keputusan. Bersiap-siaplah seumur hidup aku recokin.”

Roy menatap Rania tak percaya. Gila! Ini gila! Dia diterima!? Rania bersedia? Rania mau!? DIA DITERIMA!

Roy berteriak kegirangan.

Rania tertawa.

Saat itulah smartphone Roy berbunyi, notifikasi muncul di atas wajah Rania.

Kode Bravo.





.::..::..::..::.





“Ini apa?”

Bian menatap dan membolak-balik halaman sebuah buku tulis yang diberikan oleh Beni Gundul. Mereka tengah duduk di sebuah gym yang dikelola oleh mantan anggota Patnem. Karena masih pagi, gym itu sepi dan dapat digunakan oleh Bian dan Beni Gundul dengan bebas dan gratis.

“Coba baca saja,” ujar Beni sambil terus menarik dan menghembuskan napas sembari memainkan pack deck machine. “Sengaja ditulis di buku tulis supaya tidak banyak yang mencari dan setelah kamu hapal, buku itu bisa dibakar.”

Bian mengangguk. Ia membolak-balik halaman, banyak sekali tulisan di dalamnya. Sepertinya tulisan tangan Beni sendiri. “Ini sepertinya semacam petunjuk untuk berlatih ilmu kanuragan dengan menggunakan basis tangan dan pukulan.”

“Cocok buat kamu kan, dab? Kamu selalu mengandalkan pukulan.”

“Dari siapa ini?”

“Orang yang saat ini tidak ingin disebutkan namanya, tapi dia ingin sekali kamu mempelajarinya. Suatu saat nanti dia minta bertemu, hanya jika kamu sudah menguasai ilmu ini.”

“Serius?”

“Serius dong.”

“Ayolah jangan bercanda. Mana mungkin ada orang yang tiba-tiba saja mendapat kado kitab ilmu silat begini? Ini bukan film kungfu. Jangan-jangan yang ngasih itu semacam guru yang penampilannya ala-ala pengemis pemabuk dengan rambut model ijuk.”

Beni tertawa, “Bukan lah. Sebenarnya ada sesuatu yang harus aku korbankan untuk mendapatkan buku itu. Jadi tolong pelajari dengan serius, kamu sepertinya membutuhkan.”

Dagelan. Apa-apaan sih ini? Kenapa tidak sampeyan sendiri yang mempelajarinya, dab?”

“Ayolah, kamu pikir seperti apa kekuatan yang akan kita dapatkan kalau aku yang mempelajarinya? Bandingkan dengan potensi kekuatan yang kamu miliki. Beda jauh, Masdab! Aku tidak berbakat, tidak punya Ki, tidak berminat mempelajari, dan sepertinya sudah sangat lelah dengan semua urusan ilmu kanuragan.” Beni Gundul mendengus, “aku hanya menggunakan teknik mentah saja sudah cukup. Memang aku lebih suka begitu. Tapi kalian dari Lima Jari butuh yang lebih baik, kalian adalah tulang punggung Aliansi. Lawan yang kalian hadapi akan semakin kuat, semakin menyeramkan, kalian butuh berkembang. Aku tahu Nanto itu monster yang luar biasa potensinya, dan kalian berempat di belakangnya juga harus jadi luar biasa. Itu sebabnya aku jungkir balik nyariin kamu ilmu kanuragan ini, karena aku tidak ingin kamu tertinggal dari yang lain.”

Bian mendengus. Ia membaca lagi kalimat-kalimat yang tertera dalam buku. “Ini... legit?

“Iya. Sang guru yang menjelaskan, aku yang menulis.”

“Siapa dia?”

“Itu yang tidak bisa aku ceritakan sekarang, biarlah menjadi rahasia karena memang itu yang dia inginkan. Seperti aku bilang, dia hanya ingin ketemu kalau kamu sudah menguasai ilmunya. Itu adalah salah satu syarat yang dia ajukan, termasuk di antara pengorbanan yang harus aku lakukan.” kata Beni, “yang penting kamu percaya padaku dan mempelajari ini sekuat tenagamu. Aku yang akan menjadi penghubungmu ke orang itu jika kamu kesulitan mempelajarinya.”

Bian manggut-manggut, ia penasaran sekali. Tapi penjelasan di buku tulis ini memang sangat mudah dan jelas, jadi berlatih sendiri pun rasanya masih sanggup. Ia pasti bisa mempelajarinya. Bian menepuk pundak Beni Gundul. “Terima kasih, dab. Ini berarti sekali. Aku memang ingin mengembangkan diri, tidak ingin ketinggalan dari yang lain.”

“Sama-sama.” Beni Gundul mengelap keringat, lalu keluar dari mesin pack deck. Ia berdiri di depan Bian dan ganti menepuk pundak pemuda itu. “Pada dirimulah kebangkitan kita dititipkan. Biar saja Patnem sudah hangus, tapi kini Aliansi harga mati.”

“Ngeri omongan sampeyan. Wakakka.”

Beni tersenyum.

Suara ringtone.

Smartphone Beni Gundul berbunyi. Ada pesan WhatsApp masuk. Dari Wati, kekasihnya. Beni Gundul melihatnya dengan sembunyi-sembunyi supaya tidak ketahuan Bian. Ia membaca pesan dari sang kekasih. Beni meneguk ludah, sepertinya ada masalah.

“Sampai kapan aku harus melayaninya, Mas? Aku tidak kuat lagi. Orang ini badannya besar banget, aku benar-benar kelelahan melayani.”

Beni mendesah panjang, inilah yang harus ia korbankan demi mendapatkan ilmu kanuragan yang diserahkan pada Bian, sang kekasih yang harus membayarnya. Beni Gundul mengetik balasannya dengan terburu-buru.

“Bertahanlah sebentar lagi. Tolonglah.”

Mas, ini sudah lebih dari dua jam. Kalau begini terus aku takut aku akan...”

“Bukunya sudah aku serahkan ke Bian, tapi kita sudah berjanji kamu akan melayani orang-orang yang dia pilih selama tiga jam perminggu sampai sebulan ke depan, kita tidak bisa mengingkari perjanjian kita begitu saja.”

Mas... dia sudah membuat aku... ini aku kirimin voice recording deh.

Beni memencet rekaman suara yang dikirim. Terdengar suara mengerang keenakan, lalu mengucapkan kata yang terdengar seperti terus... terus... enak banget...

Mantan pimpinan Patnem itu pun makin kebingungan. Pilih pacarnya yang sudah kelelahan atau mematuhi perjanjian dengan si pemberi ilmu kanuragan? Apa yang harus dilakukan Beni?

Mas... gimana ini...?

“To-tolong tahan sebentar, aku tahu kamu pasti bisa, pasti kuat.” Beni meneguk ludah, “Siapa orang yang dia pilih hari ini untuk kamu layani? Apa pekerjaannya?”

Yang kali ini tukang sayur keliling, Mas.

“Tu-tukang sayur?” Beni meneguk ludah. Jadi orang itu meminta kekasihnya melayani seorang tukang sayur keliling? Bisa-bisanya! Orang itu memang unik, eksentrik, dan sering bikin panik.“Ada siapa saja di situ sekarang?”

Kalau sekarang sepi, tapi tadi ada istrinya. Sepertinya sebentar lagi masuk ke sini lagi.

“Istrinya ada di situ?”

Iya, tadi di depanku. Aku ngetik pakai satu tangan begini dia liatin aku terus. Mungkin dianggap tidak lumrah, sedang melayani tapi malah main hape. Tapi aku kan bingung karena...

Ada kiriman voice recording lagi. Beni memencetnya, lagi-lagi terdengar desahan keenakan dari si tukang sayur. Beni makin keringetan.

Bagaimana ini, Mas?

“A-anaknya? Bagaimana anaknya?”

Anaknya keluar masuk terus mas. Tadi di luar, lalu masuk ke dalam, lalu ke luar lagi. Berulang-ulang begitu terus, jadi agak risih.”

“Gede anaknya?”

Gede, Mas. Padahal sempit banget ruangnya.”

“Waduh.”

“Di dalam atau di luar?”

Di luar.

“Yah, untungnya di luar. kalau di dalam pasti bakal ruwet urusannya banget.”

Pasti. Bakal panas banget ntar... Aduh, mana barusan tumpah pula di perut.

“Di-di perut?”

Iya, ditumpahin di perut.”

“Apanya yang tumpah?”

Minyak urutnya. Apa lagi? ini aku sedang urut syaraf-syarafnya yang kaku semua. Padahal cuma diurut bagian kaki, punggung, sama lengan tapi capeknya ga kira-kira. Tukang sayurnya badannya gede.”

“Sabar ya, sebentar lagi selesai.”

Iya Mas. Ya udah, aku balik ngurut lagi – itu istrinya sudah balik, takutnya dia curiga aku maen hape melulu. Setelah suaminya, istrinya juga minta jatah pijat. Beginilah resiko jadi tukang pijat.”

“Oke deh, kerja bagus, bertahan ya.”

Aku coba, mereka badannya gede-gede. Mudah-mudahan istrinya tidak minta dipijat tiga jam, gempor ini tangan. Hahaha. Ya udah. Dah.”

“Dah.”

Bian yang sejak tadi melakukan olahraga dengan berbagai alat, akhirnya beristirahat. Ia merasa aneh dengan Beni Gundul yang cengar-cengir sembari membaca WhatsApp di ponselnya.

Ora ngguya ngguyu wae, dab. Mengko kesamber.” Bian terkekeh, “katanya mau sehat? Mau olahraga. Mana...? Keringat setetes pun ga keliatan.”

“Ini pseudo keringet namanya.”

“Heleh.”

Ding.

Beni Gundul melirik ponselnya. Tidak ada notifikasi.

Rupanya giliran Smartphone Bian berbunyi, si bandel pun melirik notifikasi.

Kode Bravo.





.::..::..::..::.





Ringroad utara, utara perempatan, pohon beringin masih ke utara – sedikit ke barat, di sebuah terminal kecil yang kini difungsikan untuk shuttle bis transKota. Saat pagi menjelang, ada seorang penjual gudeg yang menjajakan makanan di tengah los terminal.

Seorang gadis muda sedang menunggu sang ibu penjual gudeg mengambilkan sarapannya. Gadis itu berpakaian agak aneh, jaket dengan capuchon atau kerudung yang menutup sebagian kepalanya, topi trucker warna biru, dan kacamata hitam. Sungguh dandanan yang aneh dan tertutup hanya untuk membeli gudeg saja.

Meski bagian atasnya amat tertutup, tidak demikian bagian bawahnya. Gadis itu mengenakan hot pants yang memperlihatkan paha putih mulusnya hingga agak tinggi, tidak heran jika cowok-cowok berdecak kagum saat ia melalui mereka. Gadis itu juga mengenakan sneaker putih yang punya merk tiga garis.

Iki yo, Nduk.” Sang ibu menyerahkan plastik berisi pesanan nasi gudeg.

Pinten, Bu? berapa?” tanya gadis itu sopan. Ia mengeluarkan dompet kecil.

Sang ibu menyebutkan nominal, gadis itu pun membayar.

Kundure... kembaliannya jadi...” sang Ibu mencoba menghitung di awang-awang, memainkan angka dalam hati, sementara pembeli yang lain mulai antri.

Sampun, Bu. Tidak usah.” Gadis itu tersenyum saat sang Ibu mengucapkan terima kasih, lalu buru-buru meninggalkan tempat itu.

Ia melirik ke kanan dan ke kiri seakan takut menjumpai seseorang, lalu berjalan cepat untuk meninggalkan terminal, menuju ke utara, belok kanan melalui sebuah gang. Sebenarnya jalur menuju tempat tinggal sementaranya bukan melalui tempat ini, tapi dia ingin aman saja. Jika melalui jalur biasa, maka dia akan lebih terekspos karena melalui jalan utama.

Dengan cara ini, dia merasa aman.

Nuke menarik napas panjang, untuk sementara waktu dia harus menghindar dari jalan utama karena sedang diburu oleh orang yang sangat ia hindari, Joko Gunar. Kalau saja Gunar bukan siapa-siapa maka dia tidak akan seribet ini. Harus sembunyi, pindah-pindah tempat, cari lokasi yang tidak akan diperkirakan oleh siapa saja. Dia bahkan harus selalu berganti nomer jika ingin menghubungi saudara atau kenalannya.



Sampai kapan harus seperti ini?

Nuke berbelok sekali lagi, dan masuk ke sebuah jalur untuk masuk ke komplek kost-kost-annya. Saat sudah hampir mencapai kamar itulah sebuah suara mengagetkannya.

“Beginilah kalau sudah jodoh. Mau pergi kemanapun pasti ketemu.”

Nuke terkesiap. Di depannya, Eben dan Jardu dari PSG sudah berada di depan pintu kamar. Wajah cantiknya yang tadinya sedikit ceria karena sudah hampir sampai kamar seketika kemudian berubah menjadi paras yang menatap ngeri. Orang-orang PSG! Mereka sudah tahu tempat ini! Siapa yang memberitahukan mereka di mana posisi Nuke berada!? Tidak ada yang tahu tempat ini selain sahabat SMP-nya!

“Sudah lama sekali tidak ketemu, Mbak Nuke.” Eben tersenyum genit sambil mengedipkan mata. “Susah sekali dicari-cari. Akhirnya ketemu juga. Suka banget lihat pahanya. Putih mulus.”

“Kemana saja kamu?” satu sosok lagi muncul dari arah yang berbeda. Berperawakan besar dengan baju kutung warna putih, di lengan kanan tergambar tato burung rajawali besar. “Dicari kemana-mana tidak ketemu.”

“Ba-Bang Sarno!”

“Ayo ikut kami! Bang Gunar sudah mencari-carimu sampai...”

Bgggkkkhh!

“Wadooooooooooooohhh!!”

Nuke menendang selangkangan Sarno sekuat tenaga, dan saat pria berambut gondrong itu terjatuh sambil kesakitan, Nuke segera melarikan diri secepat kilat. Ia meletakkan gudegnya sembarangan, karena hanya akan menjadi beban. Nuke melalui jalan yang tadi ia lewati, menyeberang jalan, melewati penjual gudeg, ke selatan, lalu ke kanan, mencoba mencari jalan kecil lain.

Di belakang, Eben dan Jardu mengejarnya sementara Sarno tertatih-tatih berlari dengan selangkangan masih nyeri.

Siapa? Siapa yang dapat menolongnya? Ia tidak tahu kepada siapa lagi ia mesti meminta tolong. Kemana lagi dia harus sembunyi? Nuke berlari dan terus berlari, tapi orang-orang itu lebih kuat dan lebih cepat. Kemana dia akan lari?

Nuke tidak memperhatikan jalan di depan, dia hanya berbelok saja.

Bkghh!

Nuke terjatuh, terjerembab. Dagunya terantuk tepian trotoar.

Darah pun terkucur dari luka yang sobek.

Gara-gara dikejar-kejar, Ia tidak melihat ada orang di kelokan jalan, karena saat berlari ia selalu menengok ke belakang. Orang yang ia tabrak pun terjerembab, gudeg endog plus suwir iwak pitik yang barusan dibeli berserakan di jalan. Orang itu ternyata baru saja membeli gudeg di tempat yang sama dengan Nuke.

“Wadoh! Yaaaaaassshhhh!! Apa-apaan ini!? Gudeg-ku!! Ayo ganti rug-...”

“Hyaaaaaaaaaaa!!”

Kalimat orang yang ditabrak Nuke terhenti mendadak karena gadis itu kemudian ditangkap oleh tiga orang preman. Sarno menjambak rambut Nuke sehingga gadis itu menjerit kesakitan. Meski sudah berteriak-teriak, tapi tak ada orang yang menolongnya tentu. Orang-orang yang melihat takut pada sosok ketiga orang preman itu.

“Toloooooong!! Toloooooong!!”

Sarno menarik Nuke dengan menjambak rambutnya. Gadis itu menangis dan menjerit, ia ditarik ke arah Eben dan Jardu.

“Ikat dia! Sumpal mulutnya! Langsung kita bawa ke Bang Gunar!” perintah Sarno. Dia gembira sekali akhirnya bisa membawa sang gadis impian pada pimpinannya. Ia membayangkan bonus yang akan diberikan berkat kerja kerasnya, susah sekali mencari gadis sialan ini ke seluruh penjuru kota, entah sudah berapa orang yang ia kerahkan untuk mencari – dan sungguh beruntung ia mendapatkan informasi secara tidak sengaja dari salah seorang penghuni kost yang masih teman orang PSG.

Si seksi Nuke meronta-ronta karena rambutnya terus ditarik oleh Sarno.

Hembusan angin menerpa wajah sang preman. Hmm. Segarnya pagi ini, sudah pasti bonus menunggu.

Satu tapak sepatu boots menghantam sisi kanan wajah Sarno.

Bledaaaaaammm!

Sarno jatuh berguling berdebam. Jambakannya pada rambut Nuke terlepas, gadis itu sadar dan buru-buru mencari tempat berlindung. Reflek Nuke yang sangat cepat menyelamatkannya dari sergapan Eben dan Jardu.

Siapa yang sudah...

“Kalian sudah membuat gudeg-ku tumpah berantakan, padahal belinya pakai ngutang. Aku paling tidak suka kalau sarapanku diganggu. Jadi siapa yang ingin wajahnya aku rombak pagi ini? Hekekekek...” suara tawa itu khas dan aneh. Tak disangka orang yang tadi ditabrak Nuke membuat Sarno jatuh terguling dengan mudahnya, dia bukanlah orang biasa. “Ganti rugi gudeg-ku dan akan kubiarkan masalah ini selesai.”

“O-orang ini...” Eben menatap laki-laki yang baru saja menyepak kepala Sarno sekaligus menyelamatkan Nuke.

“Siapa? Kamu kenal?” tanya Jardu.

“Di-dia...”

Sarno bangkit sembari memegang wajahnya yang terasa panas disengat kaki pemuda misterius. “Tidak peduli kenal atau tidak! Hajar dia!”

Tch? Hajar? Kalian belum kenal sama aku kok main hajar saja,” ujar sang pria penyerang Sarno dengan wajah meremehkan, senyuman sinis seulas tergambar di wajahnya. Ia berulangkali tertawa sambil memasang kuda-kuda.

Gadis itu menatap tak berkedip pada sang laki-laki yang mengenakan jaket kulit dan kacamata hitam, siapa orang ini? Dia juga tidak mengenakan pakaian yang sesuai dengan kondisi pagi yang cerah begini.

Eben dan Jardu maju bersamaan, mencoba menyergap ke depan.

Orang itu pun tersenyum.

Hfah.”

Bledaaaaam!

Bruaaaaaakkghhhh!


Baik Eben ataupun Jardu terlontar dan terjengkang beberapa jauhnya ke belakang. Sarno terkejut setengah mati. Ju-jurus Lontaran Ki? Siapa yang mereka hadapi kali ini? Dia memperhatikan baik-baik si pelontar, Siapa dia?

Orang itu adalah salah satu punggawa dari Aliansi dan pimpinan tertinggi kelompok geng kampus terbesar di wilayah utara.

Rao, sang hyena gila.

“PSG ya? Ada urusan apa PSG ke utara? Sedikit kebablasan bukan? Di selatan kalian boleh berjaya, tapi di utara kalian cuma tamu yang kepagian. Matahari belum tinggi kalian sudah berulah, berani-beraninya.” Rao mendengus, ia menundukkan wajah sedikit, wajahnya berubah menjadi sangat menakutkan, tangannya terkepal kencang. “yang tidak meninggalkan tempat ini dalam lima hitungan, akan kupastikan tanggal hari ini tercetak di nisannya.”

Eben dan Jardu saling bertatapan. Apa yang akan mereka lakukan? Gadis itu jelas-jelas sedang diinginkan oleh Joko Gunar, tapi kini dia dilindungi oleh seseorang dengan lagak yang sepertinya bukan kaleng-kaleng.

Sarno mendengus, tidak ada yang boleh menghalanginya mendapatkan Nuke hari ini. Tidak ada! Bahkan jika orang itu kaleng kongwan seperti orang di depannya ini!

“Kamu berani benar menantang PSG, ganda nyalimu?” Sarno tersenyum sinis. Dia tidak akan takut dengan siapapun, dia lebih takut amarah Joko Gunar. “Aku tidak peduli kamu siapa, dari kelompok mana, yang jelas hari ini...”

Hfah.

Bledaaaaam!

Bruaaaaaakkghhhh!


Sarno terjengkang dan jatuh terguling-guling ke belakang karena lontaran Ki dari Rao yang mendadak. Ia benar-benar tidak menyangka sang hyena akan menyerang secepat itu, bangsaaaat! Sarno melirik ke arah Eben dan Jardu yang juga terjengkang kembali.

Bajingaaaaaan! Tidak ada yang boleh menghalangi mereka membawa gadis itu ke Joko Gunar!

Rao tersenyum, “aku ulangi ya. Lima hitungan, siapapun yang tidak menyingkir, nasibnya akan sama seperti gudegku yang bertebaran di tanah. Satu...!”

Eben dan Jardu saling bertatapan, bagaimana ini? Apakah mereka akan tetap menyerang orang ini? Dia bukan orang yang...

“Tunggu apalagi kalian! Seraaaang! Dia cuma sendirian, kita bertiga! Apa yang kalian takutkan!? Seraaaang!” perintah Sarno.

“...dua!”

Eben dan Jardu mendesah panjang, Sarno ada benarnya! Satu lawan tiga. Kenapa harus takut!? Seraaaaang!

“...tiga!”

Eben dan Jardu menyerang ke depan. Sarno bangkit dan mulai ikut berlari.

“...empat!”

Ketiga orang itu hanya tinggal satu meter jaraknya dari Rao.

“...lima.”







BAGIAN 4 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 5
Mantab ne 11K bener² minggu yg maLam.. .
:Peace:
Suwun update.na
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd