Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Absen siang.

Mohon mangap sebelumnya, sepertinya minggu malam tidak bisa update.
Mangap karena tidak menepati janji.

Tapi menurut Om Yor Soryu si pengamat tilimitiki dan juga ahli gorden, hari ini cuaca cerah.
Cocok untuk update.

Bikiiin deg degaaan ae Suhu satu ini. Sudah siap lesu melihat kata tidak ada update di Minggu malam.

Ternyata bakal ada update hari ini.
Rasanya seperti ingin menjadi Odading Mang Oleh!!

Mantap banget!
 
BAGIAN 5-A
LIHAT DENGAR RASAKAN




Lebih baik ditakuti daripada dicintai, seandainya tidak dapat menjadi keduanya.
- Niccolo Machiavelli






Rao bersiap, matanya siaga. Tangannya direntangkan – di satu sisi untuk memastikan lawan berada dalam jangkauan serang, di sisi lain untuk melindungi Nuke di yang sembunyi di belakang. Rao tidak kenal dan tidak peduli apa masalah ketiga orang ini dengan sang gadis, tapi rasanya tidak elok pagi-pagi begini tiga orang preman mengejar-ngejar seorang gadis. Apalagi mereka membuat makan paginya berceceran di jalan, jadi dia harus minta ganti rugi.

Gadis itu meringkuk di balik sebuah gerobak kosong di samping gedung. Ia menyaksikan dari jauh pertarungan antara Rao dengan Sarno, Jardu, dan Eben. Satu lawan tiga. Sekilas tidak seimbang, tapi dari penampilannya Rao sepertinya punya kemampuan lebih. Bisakah orang asing ini menghadapi mereka sendirian? Jika kondisi memungkinkan dan saat mereka lengah, Nuke akan melarikan diri.

Tiga orang maju bersamaan.

Rao punya cukup kecepatan untuk menghadapi mereka. Satu-satu atau semuanya? Siapa yang akan dihadapi terlebih dahulu? Tangan sang hyena gila direntangkan ke depan dengan telapak tangan terbuka keluar. Posisi badan agak sedikit merunduk, mata dipejamkan sesaat, dan mulutnya bergumam.

“Hfah.”

Bledaaaaaam! Bledaaaaaaam! Bledaaaaaam!!

Jardu dan Eben terjengkang ke belakang, mereka terlempar tanpa bisa bertahan, seakan-akan badan mereka hanya terbuat dari kertas koran yang mudah dihempas angin. Keduanya terguling di aspal jalan, tak dapat menguasai tubuh sendiri yang tersentak, terbanting, dan terhempas berulang ke belakang.

Dari ketiganya hanya seorang saja yang bisa bertahan yaitu Sarno. Badan dan kakinya yang besar seakan terpaku di aspal, meski sempat terseret cukup jauh dari posisi semula, tapi dia masih tetap dapat berdiri. Terengah-engah Sarno mengatur napas sembari menatap Rao dengan sengit. Siapa orang ini? Kenapa bisa menggunakan Jurus Lontaran Ki dengan semudah dan sekuat ini?

“Kami tidak tahu siapa kamu, kami tidak ada urusan denganmu! Yang kami inginkan hanya cewek itu! Jadi lebih baik jangan ikut campur! Serahkan dia sebelum kami berlaku kasar!” ancam Sarno, “Asal tahu saja, kami dari PSG! Kalau sampai macam-macam dengan kami, maka seluruh anggota PSG di kota ini akan memburumu!”

Telinga Rao seakan memerah mendengar ancaman dari sang pria bertubuh kekar yang menatapnya tajam. Rao tersenyum sinis. Banyak bacot banget sih orang ini? Kalau dari PSG terus kenapa? Harus bilang wow gitu? Di utara sini PSG tidak ada apa-apanya! Cuma tae kocheng kering yang tidak ditutup pasir! Baunya kemana-mana!

“PSG itu opo sih? Pesing? Memang kalian baunya pesing, kecium sampe perempatan Ewengan.” Rao terkekeh, “aku tidak peduli kalian siapa, dari mana, sama siapa, semalam berbuat apa. Urusanku sama kalian cuma satu. Minta ganti rugi gudeg! Udah itu aja! Kalian pikir enak jam segini berantem dengan perut kosong? Mikir!”

“Setaaaaaaaaaaaan!” Sarno sudah tidak sabar lagi, orang ini kebanyakan bacot!

Sang preman merangsek ke depan, tangannya dibariskan sejajar di depan dada, difungsikan untuk melindungi badan juga wajah. Matanya tajam menatap ke depan, mencari celah pada gerakan sang hyena.

Eh?

Sarno terbelalak karena Rao benar-benar tidak memasang pertahanan, bahkan tidak melakukan kuda-kuda apapun! Bajingan satu ini antara sangat bodoh atau terlalu percaya diri! Dia menyepelekan mereka! Pertahanannya sangat terbuka! Okelah kalau begitu. Biar jadi pelajaran berharga bagi orang sok satu ini! Dia akan membuatnya jera!

Sarno maju. Dia menyerang Rao dengan serangan satu dua, mencoba membiasakan diri dengan kecepatan lawan sekaligus arena yang terekspos pandangan khalayak umum, sekilas lihat ada beberapa orang yang mengambil gambar pertarungan ini dengan ponsel. Orang-orang mulai bergerombol untuk melihat pertarungan mereka. Tidak berusaha menghentikan karena tidak mau ikut campur. Tapi mereka pasti lapor ke polisi. Pos pihak yang berwajib hanya ada di selatan situ, tidak butuh waktu lama sebelum mereka datang, jadi Sarno dan kawan-kawan harus menyelesaikan urusan ini secepat mungkin.

Misinya simpel. Kalahkan si mulut besar, ambil Nuke, kabur dari tempat ini.

“Kebanyakan ngelamun...,” Rao terbang hingga tepat di depan Sarno. “...akan mengantarmu ke kuburan.”

Kecepatannya gila! Sarno melepaskan dua pukulan ke wajah Rao sembari mundur dua langkah ke belakang karena Rao terlampau dekat dengannya, namun dengan mudahnya sang pimpinan DoP itu mengelak. Sarno memang tidak tahu dengan siapa dia berhadapan, siapa yang akan mengira bahwa seorang pemuda yang baru saja membeli sarapan gudeg itu adalah pimpinan salah satu kelompok kampus paling populer di wilayah utara?

Kegagalan pukulan Sarno tidak membuatnya jera. Pukulan ketiga dan keempat dilepaskan, berharap kali ini akan mengenai sang hyena gila, tapi lagi-lagi dengan mudahnya Rao menggoyang badan ke kiri dan kanan untuk menghindar dari kepalan Sarno. Boxer-type dengan telegraphic movement seperti Sarno mudah dibaca. Tenaganya memang besar, tapi tekniknya kurang, mengandalkan tenaga mentah, dan berharap mendapatkan hasil maksimal pada setiap lontaran pukulan bertenaga.

Rao melirik ke belakang sang preman PSG, Eben dan Jardu sudah kembali bangkit. Hal terakhir yang dia inginkan adalah berhadapan dengan mereka semua secara bersamaan, dia jelas tidak ingin dikeroyok. Pimpinan DoP itu terkekeh, sepertinya ini adalah saat yang tepat untuk mempraktekkan apa yang akhir-akhir ini ia pelajari.

Pertarungan terakhir dengan KSN menyadarkannya, kalau Jurus Lontaran Ki tidak bisa dijadikan satu-satunya andalan dalam bertarung. Setidaknya dia harus menemukan teknik baru untuk bisa bersaing dengan rival utamanya – Simon dari Sonoz. Yang lebih penting lagi, dia harus memiliki pukulan atau tendangan yang mampu menandingi Pukulan Geledek yang bagaikan palu dewa petir itu. Mari coba dulu salah satu dari beberapa jurus yang sudah ia siapkan.

Jadi... datanglah satu persatu, wahai jemboot wedhus!

Sarno yang berada di posisi terdepan menjadi bahan uji coba yang pertama. Rao menarik kaki kanannya ke belakang, diputar setengah lingkaran menyeret tanah. Ia mengalirkan Ki-nya ke seluruh bagian tubuh, berpusat di bagian tengah. Tangan merentang lebar, badan sedikit merunduk dengan lutut kanan ditekuk hingga separuh dan kaki kiri lurus. Posisi badan kini menyamping dengan kaki kiri berada di depan dan kepala menengok ke arah yang sama.

Sarno merengut, apa-apaan ini? Halah! Kuda-kuda ala Jet Li? Bajingak! Munyuk! Ga bakal ngefek! Sarno melaju menyerang, lalu melompat sebelum mencapai Rao. Ia melompat tinggi, berteriak kencang dan kakinya disorongkan ke depan membentuk satu tendangan kaki kiri yang menghunjam langsung ke arah Rao.

Sang hyena gila sudah siap dengan tendangan semacam itu, ia tertawa dengan mengerikan. Tidak mengira sama sekali bahwa lawan justru akan mengirimkan serangan yang sangat mudah ditebak seperti ini.

“Modyaaaaaaaaaar!”

Rao memutar badannya melawan arah jarum jam, sebelum lawan sampai ke posisinya, ia justru lebih cepat bergerak dan datang menghampiri Sarno, mengejutkan sang preman PSG. Seolah mampu melambatkan waktu, Rao masuk ke area pertahanan Sarno. Ia mengelak ke kanan, ke sisi belakang kaki sang preman PSG, tangan kiri menangkap pergelangan kaki Sarno, menariknya ke depan, menyentak Sarno yang makin kehilangan keseimbangan, dan tiba-tiba saja melepaskan tendangan teramat kencang ke kening sang preman PSG!

Sblkgh! Jblkgh! Jblkgh!

Dengan putaran satu lingkaran penuh di udara, Rao melepas kuncian pada pergelangan kaki Sarno dan melancarkan serangan tiga tendangan beruntun ke kening Sarno yang langsung terjerembab ke samping tanpa sempat membalas. Tendangan yang impossible dilakukan! Bagaimana tadi posisi tubuhnya?

Bruukgh!

Tubuh besar Sarno terhentak ke tanah dan matanya berubah menjadi putih seketika. Ia langsung pingsan dengan sekali serang! Badannya yang bongsor sempat mengejang beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar terdiam. Tendangan ke arah kening yang dilakukan Rao sangat efektif.

Rao mendarat ringan di tanah dengan puas. Tendangan Cantona-nya berhasil.

Tapi dia tak bisa beristirahat terlalu lama.

Eben dan Jardu yang menyerang bersamaan memisah posisi serang, satu dari kanan dan satu dari kiri. Rao kembali terkekeh dan justru berlari ke depan menyambut serangan kedua cecunguk. Dari sisi manapun juga keduanya bukanlah lawan seimbang bagi sang hyena gila. Rao melompat teramat tinggi ke kanan, memutar badan searah jarum jam untuk menyerang Jardu dengan tendangannya.

Jardu otomatis mengangkat lengan kanan untuk melindungi area kepala.

Jblkgh!

Rao mendorong lengan Jardu dengan kakinya, membuat kroco PSG itu tersodok ke belakang beberapa langkah. Dengan menggunakan lengan Jardu sebagai pijakan, ia memutar badan ke kiri untuk menyerang Eben yang terkejut!

Sejak tadi Rao memang mengincar Jardu hanya sebagai pijakan saja, bukan untuk menyerangnya langsung! Sasaran awalnya adalah Eben yang ada di kirinya. Eben tidak keburu mengangkat lengan karena mengira Rao tengah mengincar Jardu.

Sblkgh! Jblkgh! Jblkgh!

Kembali tiga tendangan beruntun dihasilkan oleh Rao yang memutar badan satu lingkaran penuh berulang berlawanan arah jarum jam. Ketiga-tiganya masuk ke kepala Eben, ke pipi, ke dahi, dan ke belakang telinga. Sama seperti Sarno, Eben jatuh berdebam dengan wajah lebam, terhantam ke aspal. Preman PSG itu pun pingsan seketika tak jauh dari posisi Sarno berada.

Rao kembali mendarat dengan ringan. Ia menatap ke arah Jardu yang menatapnya ketakutan. “Gemeteran, dab? Mungkin kurang darah. Minum sangubiyon.”

Jardu mulai pasang wajah khawatir, mau bertarung seperti apapun dia tidak akan dapat menang melawan orang ini! Kekuatannya luar biasa, bagaimana mungkin dia bisa berputar berulang di udara dan melepaskan tiga tendangan? Tendangan beruntunnya juga cepat sekali! Harus orang yang sangat ringan, sangat atletis, dan sangat menguasai kemampuan diri sendiri. Kaki Jardu maju setapak, mundur dua langkah. Bingung.

Rao kembali terkekeh. “Mau maju mundur cantik?”

Jardu merengut, “Ja-jangan main-main! Kamu tidak akan pernah menang melawan PSG!”

“Lha ini buktinya aku menang.”

“Kami akan memburumu sampai...”

“Sampai tuek? Sudahlah, kalian yang terlalu berani mengacau di utara. Ini bukan wilayah kalian. Bawa pergi kedua temanmu dan aku tidak akan mengejar. Jangan pernah lagi mengacau di utara. Kalau PSG masih sok besar, silahkan ajukan keberatan ke Aliansi.”

“A-aliansi?”

Rao terkekeh, “Ya. Kami dari Aliansi, yang sudah menghancurkan KSN – cabang ala-ala PSG di utara. Jadi ancamanmu itu cuma jadi kipas tanpa sate, bisa bikin asap ga ada dagingnya. Kalau memang berani ya sudah datang saja ke utara, kami akan sambut dengan meriah.”

Jardu menggemeretakkan gigi. Keringatnya mengalir deras. Dia tidak akan bisa menghadapi orang ini sendirian. Alih-alih menyerang, Jardu buru-buru menghampiri Eben dan Sarno. Preman PSG itu menatap Rao, “ka-kami akan pergi. Tapi jangan salahkan kami kalau suatu saat nanti PSG akan menyerbu Aliansi.”

“Tidak masalah.”

Jardu menunduk dan mengamankan posisi Eben dan Sarno di samping trotoar.

Rao mendengus dan tersenyum sinis, ia meninggalkan ketiga anggota PSG yang sudah tak berdaya itu begitu saja di tepian jalan. Sang hyena gila berjalan ke sisi jalan, dan menatap ke arah gudegnya yang berserakan dengan hati yang pedih, pilu seperti perpisahan Romeo dan Juliet. Padahal dia sudah membayangkan makan suwir ayam dan telur yang huenak. Sekarang? Sekarang dia hanya bisa sarapan dengan segelas air putih dan kerupuk sebagai topping.

Apes.

Rao menghela napas panjang. Ia melirik lagi ke arah Jardu yang tak berani menatap ke arahnya. Orang-orang PSG mengira mereka adalah penguasa kota hanya karena mereka berkuasa di wilayah selatan yang merupakan wilayah utama kota. Tapi sesungguhnya area kekuasaan PSG jauh lebih kecil dibandingkan kelompok-kelompok yang bercokol di wilayah utara. Itu sebabnya sekali waktu orang-orang dari PSG perlu diingatkan bahwa mereka tidak diperlukan di utara dan tak akan dapat bersaing di utara.

Bicara PSG mengingatkannya pada KSN. Bubarnya KSN membuat anggota-anggotanya berserakan, sebagian setuju bergabung ke PSG, sebagian lagi menghilang begitu saja entah kemana. Sudah cukup lama Rao tidak mendengar kabar dari Don Bravo sehingga dia tidak tahu apa yang terjadi. Apa yang terjadi pada Don Bravo?

Mungkin Rao harus menariknya kembali ke Kandang...

Satu tangan mungil menggoyang lengan jaket Rao. Sang hyena melirik ke belakang.

“Tolong bawa aku pergi,” wajah cantik Nuke membuat pimpinan DoP itu meneguk ludah, “kemana saja kamu mau, tolong bawa aku pergi dari sini.”

Rao menggeleng dan menolak, “Woy woy woy! Aku bahkan tidak mengenal...”

“Aku percaya kamu orang baik dan aku sedang dalam bahaya besar. Nanti akan aku ceritakan garis besarnya, tapi tolong bawa aku pergi dari sini sekarang juga. Aku mohon. Mereka tidak akan pernah berhenti memburuku.”

“Aku kan sudah bilang, aku tidak kenal kamu. Aku juga tidak ingin ikut campur apapun urusanmu dengan PSG atau kelompok lain. Jadi lebih baik...”

“Nanti aku belikan gudeg.”

Rao menggaruk-garuk kepalanya.

Nah, kalo begini beda urusan.





.::..::..::..::.





Asty menjerit manja saat suaminya memeluk dari belakang. Ia benar-benar kaget karena sang suami memeluk saat ia sedang sibuk menyiapkan sarapan. Roti bakar dengan sosis dan telur mata sapi, salad buah, dan segelas susu. Tangan Adrian memeluk Asty dengan erat, seakan tidak ingin sang istri yang bertubuh indah itu lepas darinya sedetik pun.

Asty punya pinggang ramping dan badan proporsional yang menjadi idaman semua pria yang pernah berjumpa dengannya. Tidak gemuk, tidak kurus, pas badannya, pas susunya. Adrian mencium leher jenjang sang istri yang putih mulus. Hmm, bahkan leher indah ini pun sangat harum. Membuat yang menciumnya berasa seperti menjadi Eyron Man si tukang odading, rasanya kuda lumping banget.

“Mas ih. Geli tau.” Asty protes.

“Sengaja biar kamu geli. Kalo geli kan ketawa. Ketawa lepas kamu ngangenin banget.” Canda Adrian, “Hmm, harumnya pagi ini. Jadi pengen. Sudah berapa lama kita tidak enak-enak, sayang? Apakah ada waktu pagi ini untuk sekedar quickie? Salah satu upaya untuk menyenangkan fansmu ini?”

Asty menghela napas panjang, “Jangan becanda ah, Mas. Ga bakal selesai ini nyiapin sarapan kamu. Katanya mau berangkat lebih pagi?”

“Hahaha, kan cuma roti bakar sama salad, sayang. Cepet lah itu.” Adrian meletakkan dagunya di bahu Asty, menikmati bau harum sang istri dan menyesali sibuknya ia pagi ini. Padahal kalau saja ia bisa bertahan di rumah, siapa tahu diijinkan melesakkan batang. Lumayan kan, bos? Adrian tersenyum kecut. “Iya hari ini aku mau berangkat pagi, aku ada janji dengan orang yang katanya mau membeli saham perusahaan. Kalau memang benar ini deal, finansial kita bakal aman setahun ke depan karena mereka dipastikan mau menanamkan modal lebih. Modal yang bisa digunakan buat menyewa server baru, beli peralatan baru, software baru, programmer baru, dan macam-macam lagi. Kita juga bakal aman dari bos finansial lama yang sudah bikin keadaan kacau balau karena masalah pribadi.”

“He’em.” Asty mengangguk. Ia memalingkan kepala ke samping, bibirnya disambut oleh bibir Adrian. Keduanya berciuman, pagutan Adrian seperti kencang, terburu, tapi juga penuh harapan. Mudah-mudahan sore nanti masih disisain bibir molek ini. Menyadari ini kesempatan bagus, tangan Adrian menyusur pinggang ramping Asty yang hari itu mengenakan daster tipis. Tangan nakal itu semakin naik, dan naik, dan naik... hingga akhirnya menangkup gumpalan kencang di dada sang istri.

“Hmm... enak diremas.”

“Mas... jangan nakal ah, awas lho kalau ada yang lewat. Mmhhh...”

“Hmm... habis kamu juga nakal, pakai daster tipis begini sama sekali ga pakai BH.” Adrian menciumi leher Asty sementara tangannya bergerilya di dada sang istri. ”Kalau sampai nanti kamu keluar beli sayur di Mang Dedi, yang ada si tukang sayur itu bakal ngiler lihat kamu, sayang. Dada kamu kenapa semontok ini sih? Benar-benar bikin nafsu parah. Mana bisa aku berangkat kerja kalau kamu seseksi ini?”

“Maaas... udah ah. Lihat udah jam berapa.”

Adrian menghela napas saat ia kemudian menengok ke arah jam dinding. “Padahal kepengen banget.”

“Nanti malam kan bisa. Pokoknya pagi ini Mas tetap semangat ya, semoga semua berjalan sesuai rencana.” Ucap Asty sembari mencoba mendorong Adrian.

“Amin. Semoga ya, sayang.”

Adrian akhirnya melepaskan pelukannya dari Asty, mengambil tumbler dari lemari dan mengisinya dengan teh manis yang sudah disiapkan di teko. Sebenarnya ia sedang mencemaskan istrinya yang sudah resign dari pekerjaan di sekolah. Bukan karena alasan finansial, tapi lebih takut Asty tidak akan ada kegiatan apapun yang akan ia lakukan di hari-hari ke depan. Jika seseorang keluar dari pekerjaan lama setelah bertahun-tahun mengabdi, biasanya akan ada masalah pribadi jika tidak siap mental karena secara tiba-tiba menganggur. Batin yang terguncang karena post-power syndrome.

“Kamu bagaimana? Mau melamar pekerjaan atau mau jalan-jalan saja ke mall?” Adrian mengecup dahi sang istri, “kalaupun tidak ngapa-ngapain hari ini, bisa dimanfaatkan buat santai saja di rumah. Setelah beberapa tahun terakhir bekerja keras jadi guru BK, kamu pasti butuh istirahat juga kan? Tidak perlu mengerjakan apa-apa. Bikin santai saja dulu semuanya. Tidak perlu terburu-buru juga mencari pekerjaan. Mumpung aku masih sanggup mengatasi semuanya sendirian untuk saat-saat ini, apalagi jika pertemuan hari ini deal.”

“Hmm... jadi berhubung aku sekarang menganggur dan kamu jadi sumber pendapatan tunggal.” Asty membuka telapak tangan sambil mengedip nakal, “boleh minta uang jajan buat ke mall dong, sayang.”

Adrian tertawa. “Nanti aku transfer.”

“Becanda kok sayang, uangku masih lebih dari cukup, aku juga ga mau kemana-mana. Di rumah saja sama Adek.” Asty cekikikan sembari menyodorkan piring ke Adrian. “Mudah-mudahan sebelum sibuk mencari uang, masih sempat sarapan.”

“Masih dong.” Adrian kembali tertawa dengan renyah, ia duduk di depan bagian island dapur tempat Asty mempersiapkan roti bakarnya.

Si cantik itupun mencubit manja perut sang suami.

Setelah makan sarapan yang disediakan sang istri, Adrian mengucapkan salam dan melangkah pergi.

Sebenarnya ada satu hal yang masih mengganjal bagi sang mamah muda jelita. Hingga saat ini Asty sama sekali tidak menceritakan ancaman dari si maniak Rey pada sang suami. Hanya ada satu orang yang akan dia ceritakan dan minta tolong. Tapi dia harus mengatur hatinya dulu. Dia tidak siap berhadapan dengannya yang sudah punya kekasih baru.

Tapi sumpah.

Dia rindu berat.





.::..::..::..::.





Suasana pagi mendadak menjadi panas.

Deka memainkan double-stick dengan buas. Kalau ini Aliansi atau Lima Jari, Deka mungkin lebih memilih mencari kesempatan dalam kesempitan dalam mengamati situasi dan mencari jalan terbaik untuk mendapatkan solusi. Tapi kali ini dia bertarung untuk melindungi Dinda, jadi dia melakukannya dengan serius dan menumpahkan seratus sepuluh persen tenaga dan pikiran. Keselamatan gadis itu prioritas utama.

Galung mendekat dengan tiga orang RKZ di belakangnya. Saat ia mengayunkan tangan, ketiga orang preman RKZ menyerang Deka bersamaan. Si Gondes mengaktifkan Perisai Genta Emas sekaligus memainkan nunchaku-nya dengan tangkas. Dia tidak ingin main-main sekarang dengan pertahanan berlapis untuk mengenyahkan lawan dari bengkel. Ketiga orang yang menyerang Deka sama sekali tidak dapat maju dan merangsek ke dalam area pertahanannya. Lapisan pertahanannya meski tidak setebal Amar tapi cukup efektif menahan serangan.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Double-stick
Deka menari dengan brutal, tangan dan lengan ketiga lawan yang menyerangnya tersambar berbarengan! Mereka mengaduh dan mundur teratur. Mau balas menyerang pun tidak ada kesempatan. Begitu mereka masing-masing mundur selangkah, Deka tahu kesempatan datang. Ia memutar nunchaku-nya dengan lingkar jangkau lebih lebar. Kembali mereka bertiga terkena badai tongkat ganda Deka. Ketiganya tersambar dan roboh ke belakang dengan bersamaan, tergeletak tak berdaya sembari memegangi wajah yang kesakitan. Satu tersambar di dahi, satu di pipi, satu lagi terkena hidung yang sudah bocor darah sekarang.

Srzzt! Srzzt! Srzzt!

Tiga serangan datang tiba-tiba, menyambar kaki, lengan dan punggung Deka. Padahal badai nunchaku masih terus dimainkan dan Perisai Genta Emas aktif menyala. Bagaimana mungkin Deka bisa terkena serangan? Hssst! Darah keluar dari luka di kaki, lengan, dan punggung yang baru saja terkena sambaran. Perih terasa. Apa yang baru saja mengenainya?

Deka mengangkat double-stick-nya di depan badan untuk perlindungan tambahan. Mana mungkin ada lawan yang bisa membuatnya terluka! Apakah dia bisa menembus Perisai Genta Emas? Bagaimana mungkin? Apa rahasianya? Deka tidak pernah mendengar ada jurus yang mampu menembus Perisai Genta Emas sebelumnya.

Adalah Galung yang menggunakan kedua tangannya yang baru saja menyerang Deka. Dia hanya menggunakan tangan kosong.

Orang yang tadi. Si cakwe dengan jurus tangan pedang.

Galung berdiri di sisi kiri Deka sambil tersenyum lebar, hampir selebar jembatan fly-over. Pria bertubuh kurus itu sama seperti anggota RKZ lain, mengenakan ikat kepala putih dan mengenakan baju putih. Rambutnya yang panjang dan belah tengah dibiarkan tergerai sampai ke pundak. Dengan tongkrongannya yang jamet, Galung makin membuat Deka geleng kepala, sumpah norak banget.

“Kampret. Aku pikir siapa ternyata Alam Mbah Dukun. Kamu lagi kamu lagi. Mau digetok lagi kepalanya?” Deka menggenggam erat nunchaku-nya, “sukanya main colak-colek saja kayak banci. Ayo maju dan serang aku lagi dari depan kalau berani. Kita adu langsung kemampuan kita. Tidak perlu sembunyi-sembunyi, tidak perlu malu-malu kalau aslinya mau.”

Galung tertawa, “ayo saja. Kenapa kamu pikir aku tidak berani? Pakai double-stick pun tidak masalah. Aku layani.”

“Yang seperti tadi tidak akan terjadi lagi. Sudah cukup tangan pedangmu beraksi.”

“Kali ini kamu salah, dab. Yang seperti tadi sudah pasti akan terjadi lagi, berulang-ulang bahkan makin lama makin parah.” Galung menyeringai. “aku kasih bocoran. Aku tidak hanya punya Jurus Tangan Pedang, aku juga punya Ki yang bisa membuka banyak rahasia. Aku tahu kalau kamu punya ajian Perisai Genta Emas seperti halnya Amar Barok.”

“Hehehe, memang benar. Kenapa? Takut?”

“Wahahahahah. Cocote. Ini bukan kali pertama aku berhadapan dengan pengguna Perisai Genta Emas! Bahahaaha.” Galung mengedipkan mata, “aku punya Ki Laduni, selain dapat mengetahui cara menembus jurus pertahananmu dan melihat kelemahanmu, aku juga bakal tahu lokasi tempatmu menyembunyikan titik kematian. Menarik kan? Kamu tidak akan pernah menang melawanku.”

Deka meneguk ludah. Si bangsat ini! Ki macam apa itu? Omongannya beneran atau cuma gertakan? Kalau beneran kok diumbar-umbar. Setan alas! Benar atau tidak, dia tetap harus bersiap.

Galung memejamkan mata, rambutnya yang panjang menutup bagian depan mukanya. Ia menyibakkan rambut dan mengejapkan mata. Deka sedikit terkejut saat sepasang mata orang RKZ itu bagai mengeluarkan cahaya kilat sesaat, seperti blitz pada kamera.

Deka terkesiap. Apa lagi itu? Jurus apa sebenarnya yang dia kuasai? Jurus kamera bumerang?

Satu-satunya titik kelemahan seorang pengguna Perisai Genta Emas ada pada titik kematiannya. Itu sebabnya sang pengguna biasanya menyembunyikan titik berbahaya di bagian yang paling tidak diduga-duga oleh lawan. Amar dan Deka yang sama-sama menggunakan Perisai Genta Emas juga menyembunyikan titik kematian mereka di bagian tubuh yang tidak ada seorang pun yang tahu kecuali mereka sendiri.

Tapi orang ini...

Katanya dia bisa membuka rahasia itu. Ancamannya terasa seperti beneran dan wajahnya penuh percaya diri. Beneran atau gertakan ya?

Entah kenapa Deka jadi merasa aneh, ragu-ragu, dan tidak nyaman dengannya. Pertama tentu karena jurusnya yang aneh, kedua karena kemampuannya yang misterius, ketiga karena pikirannya tidak fokus – dia selalu terpancing untuk memikirkan keselamatan Dinda. Tentu saja terlalu banyak berpikir tidak akan mengantarkannya meraih kemenangan. Deka harus lebih kreatif dan punya cara extra crispy, juicy, and delicious untuk menjatuhkan lawannya kali ini.

Galung merunduk dengan posisi seperti hendak berlari.

Dash!

Pria kurus itu tidak menunggu waktu lama, dengan sekali lompat dia sudah mendekat ke depan Deka. Tangannya bergerak cepat untuk menyerang, serangannya random, ia menumbuk Deka dengan membabi-buta, membuat si Gondes mundur langkah demi langkah. Nunchaku digunakan untuk menahan serangan si tangan pedang.

Tngk! Tngk! Tngk! Tngk! Tngk! Tngk! Tngk! Tngk! Tngk! Tngk!

Kanan. Kiri. Tengah. Kanan. Kiri. Tengah. Kanan. Kiri. Kanan. Tengah.

Kemanapun Galung menyerang, Deka menahan. Dia memang tidak serta merta bisa menyerang balik atau menggunakan double-stick-nya untuk memperluas area pertahanan karena serangan Galung yang silih berganti teramat cepat. Kecepatannya bisa dibilang sebelas dua belas dengan Roy. Deka jelas geram, dia tidak akan bisa memenangkan pertarungan jika kondisi seperti ini. Harus segera diambil alih! Kalau dia terus menerus didikte oleh Galung, hanya tinggal tunggu waktu saja sebelum Deka masuk ke dalam serapan lingkaran hitamnya, dan itu jelas bahaya.

Tngk! Tngk! Tngk!

Tengah. Kanan. Kiri.

Benar kan? Kalau hanya menunggu kesempatan, kondisinya juga akan sama saja. Deka akan terjun ke dalam pusaran badai si tangan pedang. Satu-satunya cara untuk menghindari hal itu adalah dengan menciptakan badainya sendiri, dan itu harus dimulai secepatnya tanpa menunggu lebih lama lagi!

Tngk! Tngk!

Bawah. Atas.

Dua kali menahan serangan Galung, Deka mundur dua langkah ke belakang. Dia jadi teringat apa yang sudah pernah diajarkan oleh Nanto pada anggota Lima Jari.

Cara untuk mengatasi lawan yang sudah merasa menguasai jalannya pertarungan adalah menghancurkan ritmenya. Dua langkah ke belakang, satu langkah lagi dilakukan. Lalu maju selangkah, mundur dua langkah, mundur lagi, maju lagi. Lakukan gerakan acak, kacaukan irama gerakan lawan. Bahkan jika lawan punya gerakan serangan yang random, dia pasti punya ritme. Hancurkan itu.

Benar saja, meski tetap menyerang tapi gerakan Galung makin kikuk karena jarak antara dirinya dengan Deka menjadi tidak menentu. Sesuai dengan perkiraaan si Gondes, inilah kesempatannya. Deka memainkan nunchaku-nya dengan sekuat tenaga. Melebarkan area pertahanan sekaligus mengambil alih arus pertarungan. Tidak lagi Deka yang harus menunggu serangan dari Galung, kini Galung-lah yang kebingungan bagaimana caranya dapat mendaratkan tangan pedangnya ke Deka.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Empat serangan dilontarkan. Dua ditahan lengan, satu ditahan kaki, tapi yang satu lagi sukses! Masuk! Tubuh Galung sempoyongan saat bahunya terpapar double-stick Deka. Kelihatannya memang tidak seimbang karena satu menggunakan senjata, sementara satu lagi tangan kosong. Tapi Galung punya tangan yang tidak bisa diremehkan, entah bagaimana caranya sampai dia bisa melatih sisi tangannya hingga setajam itu.

Melihat Galung sudah tak lagi tegak berdiri dan kehilangan momentum, Deka menerjang maju ke depan dengan semangat membara. Dia tidak peduli, apapun taruhannya, dia harus melindungi Dinda.

Jbkgh! Jbkgh!

Dua lagi masuk! Kena kepala!

Galung mundur dengan sempoyongan, kepalanya nggliyer. Deka makin buas. Dia menerjang lagi, nunchaku dihentakkan ke belakang, disiapkan untuk satu serangan kencang ke depan, lalu ia menggoyang tangan untuk melecutkan nunchaku bagaikan cambuk.

Bledaaaaam!

Satu pukulan kencang menyeruak dari arah kanan mengagetkan si Gondes. Deka tersambar dan tergeser ke kiri. Untung Perisai Genta Emas melindungi, kalau tidak dia pasti sudah terjengkang! Siapa yang datang untuk membantu Galung?

Rupa-rupanya pria sengak yang bernama Gamal datang untuk membantu kawannya. Sosok Gamal ini punya badan yang kekar meski tidak tinggi, dengan bahu lebar dan lengan teramat besar sementara kaki dan badannya berukuran normal.

“Tadi Alam Mbah Dukun, sekarang Popeye si penjual ayam goreng! Lengkap banget pasukan kocak RKZ. Maju kalian berdua!” Deka meningkatkan Ki untuk kembali menebalkan Perisai Genta Emas. “Mau satu, mau dua, mau tiga, aku tidak peduli! Menyerang kami berarti mati!”

Gamal tersenyum, dia membantu Galung berdiri.

“Bagaimana, Lung? Kamu sudah tahu titik lemahnya?”

“Beres.” Galung menyibakkan rambutnya dan sekali lagi matanya berkilat sesaat. Senyum lebar menghias wajah tirusnya. Pria kurus itu lantas berbisik ke telinga Gamal. Usai mendapatkan informasi dari Galung, Gamal tertawa. Keduanya kemudian tersenyum penuh arti ke arah Deka. Gamal menepuk kepalan tangan kanan dengan tangkupan tangan kirinya.

Yoooosh. Yang begini ini yang menyenangkan. Menjatuhkan orang yang sok kuat dan mengira dirinya sendiri tak terkalahkan.” Gamal meringis, “ini serangan pertama.”

Dash!” Galung melejit ke depan. Gamal mengikuti di belakang, keduanya berada di satu jalur.

Deka bersiap. Badai pertahanan ganda diterapkan, satu dengan ilmunya, satu lagi dengan nunchaku. Galung sampai lebih dulu, keduanya beradu serangan.

Tngk! Tngk! Tngk! Tngk! Tngk! Tngk! Tngk! Tngk! Tngk! Tngk!

Kiri. Tengah. Kanan. Kiri. Kanan. Tengah. Kanan. Kiri. Tengah. Kanan.

Sama-sama kuat, tidak ada celah, tidak ada kesempatan untuk merombak pertahanan lawan. Keduanya mundur kembali. Deka ternyata cukup alot juga, bukan kaleng-kaleng. Tanpa nunchaku-pun dia sudah ada Perisai Genta Emas, apalagi kini ada senjata. Susah menembus pertahanannya.

“Bagaimana cara membongkarnya?” tanya Gamal dengan sebal pada Galung. Dia paling benci pertahanan berlapis seperti ini. Untuk merombaknya membutuhkan taktik yang tidak biasa.

Galung tersenyum, “menurutmu kenapa dia terus menerus berdiri di posisi yang sama dan tidak mengejar lawan? Kenapa dia tidak bergerak dan bertahan saja di sana?”

Gamal mendengus, “Jampoot. Jangan bilang kalau dia sedang menahan kita supaya tidak masuk ke dalam bengkel?”

Galung mengangguk, “cewek yang tadi bersama mereka pasti ada di dalam bengkel. Dapatkan cewek itu dan kita akan mendapatkan si bocah dan Amar Barok dengan sekali tepuk. Cewek itu kunci kemenangan kita.”

Gamal terkekeh, “brilyan.”

Keduanya berlari ke depan dan menyebar. Sekali lagi Galung menyerang Deka dengan badai serangan tangan pedang sementara Gamal mencoba membuka pintu rolling door bengkel saat rekannya memalingkan perhatian Deka.

Deka yang menyadari apa yang terjadi terbelalak.

Bangsat.

Apa yang ia takutkan terjadi.

Dinda dalam bahaya.





.::..::..::..::.





Reynaldi meletakkan barbel yang baru saja ia pakai olah fisik ke lantai gym. Suara berdebam pelan bergaung di ruangan yang kosong. Pria tampan itu mengenakan celana pendek khaki dengan tanktop dan kacamata hitam. Hotel tempatnya menginap sementara sebenarnya tidak teramat mewah, mungkin bintang tiga atau empat. Tapi cukup lumayan untuk ditinggali sementara waktu. Untung saja dia bisa menyewa kamar di sini cukup lama berkat uang sang kakak, Om Janu.

Rey bukanlah orang yang suka berpolitik atau berbisnis seperti kakaknya. Dia lebih suka pekerjaan dengan pendekatan langsung, kalau memang ada duit dia kerjakan, kalau tidak ada males beud. Satu-satunya yang ia sukai dan menjadi obsesinya adalah cewek. Dia sangat suka wanita cantik, dan begitu sudah menetapkan target maka dia harus mendapatkan cewek itu – dia tidak peduli apakah itu istri orang, pacar orang, anak orang, siapapun pokoknya dia harus dapat, entah itu karena paksaan atau dengan pasrah jatuh di pelukan.

Untuk memenuhi obsesinya, Rey memutuskan menjalani pekerjaan sehari-hari sebagai guru, walaupun itu hanya kedok untuk mencari mangsa-mangsa baru. Jika sudah bosan atau menemukan korban yang potensial, Rey terkadang juga menyerahkan cewek-cewek itu ke ring prostitusi kota.

Sekarang?

Sekarang Rey sedang tergila-gila dengan Asty.

Sayang sekali dia sudah mengundurkan diri dari SMA CB, andai saja dia tetap bertahan, maka saat ini Asty sudah berada di kamar hotelnya tanpa mengenakan sehelai benang pun. Membayangkannya saja sudah membuat Rey kegirangan.

Asty memang sudah resign, tapi dia tidak akan menyerah begitu saja. Selalu ada jalan. Justru yang susah-susah begini yang membuatnya tertantang.

Tapi ada hal yang mengganjal dan membuatnya bertanya-tanya.

Pertanyaannya sendiri hanya satu, siapa yang tempo hari datang ke sekolah dan menyelamatkan Asty? Bagaimana mungkin dia bisa datang di saat yang tepat? Dari percakapan dan sikap antara sang penyelamat dan Asty sepertinya orang itu datang karena permintaan orang lain. Jadi dia datang secara khusus atas permintaan orang lain untuk menyelamatkan Asty. Bukan dimintai tolong langsung oleh si guru jelita.

Kenapa orang lain itu begitu peduli pada Asty?

Suaminya? sepertinya bukan. Saudaranya? Bukan juga. Mereka tak akan mengirim orang yang kemudian tak berbicara akrab dengan Asty setelah peristiwa kemarin, sang penyelamat sepertinya justru asyik ngobrol dengan Pak Uya. Kalau yang mengirim suami atau saudaranya, mereka akan mengirim orang yang dikenal baik oleh Asty.

Jadi orang lain itu sudah jelas bukan suaminya.

Itu artinya... mungkin Rey punya pesaing untuk mendapatkan Asty.

Rey berdiri di samping sebuah boxing sand sack sambil memejamkan mata. Ia menundukkan kepala dan mengepalkan tangan. Tangan itu diangkat sejajar dada. Rey menatap kepalannya dan mendengus keras. Ia menggumamkan satu kalimat.

Begitu terucap, tangannya bagaikan sangat enteng sekaligus amat bertenaga pada saat bersamaan. Setelah mendengus keras, Rey menghantam sand sack dengan kepalan tangan kanannya.

Boom! Sand sack itu bergoyang kencang.

Siapapun orang yang menjadi pesaingnya, Rey akan memastikan orang itu menderita karena telah menggagalkan upayanya mendapatkan Asty. Dia tidak boleh mati sebelum ia menyiksanya hidup-hidup!

Ia memukul sekali lagi, menumpahkan kekesalan. Boom!

Sekali lagi. Boom!

Lalu lagi. Boom!

Lagi, lagi, dan lagi. Boom! Boom! Boom!

Pukulan Rey semakin lama semakin kencang, ia tidak berhenti dan terus menumpahkan kekesalannya. Makin lama makin kuat dan semakin kuat. Sand sack makin kencang bergoyang. Kaitnya pada langit-langit gym berderak nyaring. Suaranya tidak nyaman didengar, tapi Rey semakin menggila. Suara derak itu ibarat seorang gadis yang menjerit-jerit di bawah pelukan kencangnya saat ia perkosa, merdu sekali.

“Heaaaaa! Heaaaaaaaaa! Heaaaaaaaaaarrrrghhhhh!”

Boooooooom! Boooooooom! Boooooooom!

Kraaaakghhh! Praaaaaaang!


Pukulan terakhir Rey menggambarkan amarahnya yang meluap, setelah dia memukul sand sack, ia mengubah posisi kaki, melompat tinggi, dan memukul sebuah lemari hias yang jaraknya agak jauh dari posisinya semula. Lemari hias berukuran sedang itu sebenarnya hanya memuat akrilik, piala, action figure, dan gelas-gelas hiasan. Semua hancur berantakan karena hentakan Rey.

Entah apa maksud dan tujuannya.

Mungkin dia hanya ingin menghancurkan sesuatu saja pagi ini.

Sekali lagi, demi menumpahkan kekesalan.

Pria tampan itu terengah-engah.

Ia mengangkat kepalan tangannya ke depan wajah.

Dia tersenyum puas, Kidung Sandhyakala memang luar biasa. Dia memang hanya menguasai beberapa gerbang secara acak, dia bahkan tidak menguasai gerbang pertama secara sempurna. Tapi satu dua gerbang yang lain sudah cukup untuknya, karena dia juga punya library jurus lain yang handal. Selama ini dia tidak pernah menunjukkan kemampuannya pada siapapun.

Rey memang harus bersiap jika suatu saat nanti terjadi perang antara QZK dan JXG atau kelompok lain, posisinya sebagai adik Om Janu membuat keselamatannya selalu terancam, itu sebabnya dia harus selalu bersiap dengan bekal ilmu kanuragan.

The world is a place for a dog eat dog situation. Kalau tidak menelan, kamu akan ditelan. Pilih sendiri mau jadi yang mana.

Kepalan tangan Rey berubah menjadi cengkraman, ia mengerahkan Ki, dan sekilas lihat cengkraman tangan Rey lambat laun menjadi hitam. Sudah dikuasai tapi belum pernah dicoba. Jurus tangan kosong hebat yang sudah ia pelajari secara diam-diam ini sebenarnya membutuhkan korban untuk percobaan. Ya, dia harus mencari korban untuk mempraktekkan cakarnya.

Kapan dan bagaimana adalah pertanyaan yang suatu saat harus ia jawab.

Rey jadi teringat.

Ia mengambil ponsel dari kantong, membuka layar, mengetuk icon kontak dan mulai mencari satu nama. Setelah menemukannya ia menekan tombol hijau untuk melakukan panggilan telepon. Rey menunggu cukup lama, telpon itu tidak segera diangkat. Kebiasaan memang, orang ini jarang mau mengangkat telponnya.

Setelah panggilan kedua, barulah telpon diangkat. Ada suara berat membuka salam, tanpa melihat orangnya langsung pun, Rey merasakan aura gelap menaungi sosok yang sedang ia telpon.

“Selamat pagi, Guru. Mohon maaf pagi-pagi begini menghubungi. Ingin menanyakan apakah malam nanti saya bisa datang untuk berlatih lanjutan ilmu cakar yang guru ajarkan? Saya bisa sempatkan datang ke pantai selatan malam nanti. Saya kebetulan cuti mengajar beberapa hari ini.”

Terdengar jawaban.

“Baik guru, terima kasih. Nanti malam saya akan datang jam sepuluh. Apakah kira-kira kita sudah bisa mendapatkan target untuk percobaan jurus ini?”

Terdengar jawaban kembali.

"Baik, guru. Baik. Terima kasih.”

Klik.

Saat Rey menutup telpon, terdengar suara seseorang tersentak kaget. Rey tersenyum dan mendekati orang yang baru saja masuk ke gym.

Seorang karyawan hotel masuk dengan kaget dan kebingungan. Matanya terbelalak melihat lemari hias di dekat pintu masuk gym hancur berantakan, di sisi jauh ia melihat boxing sand sack masih bergoyang dan ada satu dinding retak. “Waduh! Kok... kok bisa berantakan seperti ini...? Waduh.. waduh... bagaimana ini?”

Rey tersenyum, ia menepuk pundak sang karyawan, “jangan khawatir. Masukkan biaya perbaikannya ke tagihan kamar saya. Saya yang salah. Berikan saja kalkulasi biaya perbaikannya.”

“Ba-baik, Pak.”

“Lain kali jangan meletakkan barang pecah belah di gym. Gym harusnya dibanyakin peralatan olahraga, bukan pamer piala atau hiasan.”

“Ba-baik, Pak.”

Keringat karyawan hotel itu tetap deras menurun.

Biaya memang bakal dibebankan pada orang ini dan itu sedikit membuatnya tenang. Tapi pertanyaannya. Bagaimana pria tampan bertubuh tegap ini bisa melakukannya? Latihan olah fisik macam apa yang ia jalankan?

Panggilan telpon di smartphone Rey mengalihkan perhatiannya. Ketika Rey melirik nama yang tertera di layar ia mau tak mau harus mengangkatnya. “Iya, Mas? Iya. Pagi ini kan? Iya, pasti aku bantu. Aku tunggu saja di sini. Iya. Oh iya, Mas. Nanti aku mau kirim tagihan tambahan ya, aku baru saja kena kecelakaan kecil di gym hotel. Iya, Mas. Iya. Nanti tolong ditransfer. Iya. Siap.”

Klik.

Rey tersenyum.

Beres.





.::..::..::..::.





Bian dan Roy datang bersamaan ke dekat bengkel Amar Barok, tapi mereka tidak bisa masuk ke arena karena ditutup oleh anggota RKZ yang memblokir dan mengalihkan jalan. Dari sisi mereka memarkirkan motor, pertarungan Amar dan Deka melawan RKZ tak terlihat.

“Deka ada di sana?” bisik Roy sambil menganggukkan kepala ke arah posisi belokan jalan. Di sana seharusnya bengkel Amar berada.

“Seharusnya. Orang-orang ini sepertinya dari kelompok baru, bukan QZK, PSG, apalagi JXG. Mungkin mereka yang disebut-sebut Beni Gundul sebagai Rekozo atau RKZ.” Bian mendengus, dia tidak melihat jalan lain untuk masuk kecuali benar-benar membongkar blokir jalan ke arah bengkel. “Jalan menuju bengkel ada dua, sisi kanan lewat jalur belakang XXI dan kiri lewat jalan Manggar. Aku tidak mau memutar jalan dan masuk dari sisi kiri, takut semuanya akan terlambat, lagipula kejauhan muternya.”

“Aku juga males.”

“Jadi bagaimana? Kita dobrak saja blokir jalannya yang sini? Banyak putih-putih.”

“Kenapa? Takut? Anggap saja tebaran kroto.”

Wasu. Mana ada aku takut. Bertaruh banyak-banyakan kroco yang sudah klipuk pun jadi.”

“Boleh.”

“Ha?”

“Boleh. Ayo kita adu jumlah kroco.”

“Heheheh. Dasar tae kocheng oren. Taruhan apa sekarang?”

“Kalau aku menang, kamu yang jadi wali menemani aku menghadap ibu-nya Rania. Bantuin ngelamar. Gampang kan?”

“Kampret. Asem. Kalau aku yang menang?”

“Mana ada cerita kamu yang menang.”

“Jinguk. Kalau aku yang menang, nyuk?”

“Kalau kamu yang menang, aku bakal bantuin kamu nembak siapapun cewek yang kamu taksir. Paling-paling mbak-mbak kasir Indom@ret atau tukang jual gorengan deket kontrakan.”

Bian mendengus, “hilih. Kalau cuma nembak cewek ga perlu kamu ajarin juga bisa. Aku lebih banyak pengalaman. Kalau aku yang menang, bantuin aku cari modal usaha. Gimana?”

“Kok urik? Modal usaha buat apalagi? Tapi ya sudah. Ga ada cerita kamu yang menang ini.”

Bian tertawa.

Tanpa gentar si kembar Roy dan Bian segera maju ke arah pasukan RKZ yang sudah sedang berjaga-jaga. Mereka menatap si kembar dengan curiga.

Wajah-wajah garang berbaju putih ibarat pasukan yang mengidolakan Rinso cair dengan membabi-buta. Meski garang dan preman, setidaknya mereka rajin laundry, karena kalau pakaian putih mereka kotor, tentunya butuh dicuci secepatnya. Lagian kenapa juga preman pakai baju putih sih? Ide koplak siapa itu?

“Aku tinggal dulu.” Roy melesat bagai terbang. Lagi-lagi mendahului Bian. “Titip cucian di belakang.”

Wasu.” Bian mendengus.

Bagai seekor burung yang mengepakkan sayap, dengan mudah Roy melejit ke depan hingga mencapai jarak cukup jauh hanya dengan sekali lompat. Roy mendarat tepat di belakang garis blokir dan di depan seorang anggota RKZ yang terkejut karena Roy tiba-tiba saja sudah menembus blokade.

Roy memegang rambut belakang kepala sang anggota RKZ, lalu mendorongnya ke bawah bahkan tanpa ancang-ancang! Karena terkejut, anggota RKZ itu tidak sempat melawan. Ia mengira wajahnya akan menghunjam aspal, tangannya disorong ke depan untuk menahan tubuhnya dari jatuh. Tapi belum sampai ia benar-benar jatuh, kaki Roy naik – lututnya sudah terlebih dahulu berkenalan dengan wajah sang anggota RKZ.

Jboookghh!

Hidungnya langsung moncrot darah karena sodokan Roy teramat kencang. Dia terlontar ke belakang. Begitu kencangnya ia terlontar, bagian belakang kepalanya terantuk tembok. Mukanya terbongkar, bagian belakang terhampar.

Ia pingsan seketika. Satu sudah terbilang.

Roy meninggalkan korban pertamanya ke samping dan mencari korban lain. Dia melirik ke arah Bian dan mengangkat jari telunjuknya. Roy berbisik dari jarak jauh. “Wes siji. Kowe piro? Aku sudah satu. Kamu berapa?”

Biangane. Munyuk.” Bian mengumpat sambil tersenyum, dia tidak mengambil jalur yang sama dengan Roy. Si bandel memilih berlari ke kiri untuk menembus sisi kiri blokir RKZ. Ada beberapa orang kroco di sana.

Salah satunya kaget karena tiba-tiba saja Bian datang untuk menyergap. Dia sudah jelas belum siap menerima serangan. Kepalan Bian melesat dan melesak masuk ke wajahnya.

Detroit Smaaaash!

Bletaaakkkghh! Kraaaakghh!

Sang anggota RKZ yang tak siap menerima serangan roboh ke belakang, hidungnya terbongkar dan darah mengucur. Dia mencoba berdiri, tapi kaki Bian lebih cepat.

Jboookkgh!

Belum sempat dia berdiri, kepalanya dihentakkan ke belakang mengenai aspal dengan satu injakan kencang. Lawan pertama Bian pingsan seketika. Bian puas dan membalikkan badan untuk memamerkan keberhasilannya pada Roy. Dia mengangkat satu tangan.

“Awaaaaas!”

Jboookkgh!

Wajah Bian terhampar pukulan dari lawan sebelah kiri. Dia terlontar dan hampir terjatuh meski masih bisa berdiri tegak. Bian mendesis sebal. Bangsat! Celeng! Biawak! Kadal! Babi hutan! Baru mau pamer malah kena serang! Siapa lawan yang...

Bletaaakkkghh! Bledaaaam!

Lompatan cepat Roy mendahului Bian, lawan yang ada di dekatnya langsung terkena sambaran tendangan tepat di muka. Badannya terlempar ke belakang dan jatuh terguling.

“Pastikan di sekitarmu tak ada lawan yang sigap kalau mau pamer! Kena kan jadinya!” ucap Roy pada Bian. Mereka langsung merundukkan badan dengan tangan di depan muka, melihat posisi dan strategi lawan. Beberapa orang berlari ke arah Roy dan Bian.

Bian mendengus, “Bajingak! Mana aku tadi tahu kalau ada musuh di sebelah!”

“Makanya yang awas. Bersiap lagi! Mereka banyak!”

Yoooossha ikuzoooo!” Bian bersiap hendak lari ketika tiba-tiba Roy menepuk pundaknya.

“Omong-omong...”

“Ha?”

“Aku sudah dua, kamu baru satu.”

“Bajingaaaaaaak!”

Tiga orang menyerang mereka berdua bersamaan. Bian sudah gemas dari tadi, dia menunduk dan melontarkan kepalan ke rusuk lawan sekuat tenaga. “Oraaaaaaaaaaaaaaaa!”

Buoooooookghhh!

“Haaaaaaaarrrghh!” lawan berteriak kesakitan.

Tidak cukup hanya satu pukulan, begitu kesempatan datang, Bian langsung melesakkan rentetan pukulan berulang dengan tangan kanan dan kiri untuk meremukkan seluruh tulang rusuk sang lawan yang menjadi korban. “Ora ora ora ora ora ora oraaaaaaaa!!”

Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh!

Kepalan terakhir dilepaskan ke atas, menghajar rahang sang lawan yang langsung terjungkal ke belakang tanpa bisa melawan. Meski sudah jatuh tapi lawan Bian tetap menggeliat hendak berdiri. Hmm, alot ya?

“Oraaaaaaa!!”

Bmmmm!

Kepalan bajanya sekali lagi dilepaskan! Kali ini ke arah bawah, menghentak membongkar wajah sang lawan yang sudah terkapar sampai akhirnya berhenti bergerak sama sekali setelah menggelepar dan mengejang sesaat. Sukses!

Tak ada istirahat untuk Bian, lawan ketiga sudah di depan mata. Alih-alih menunggu lawan, Bian meloncat ke depan dan mengagetkan lawannya, serangan kepalan baja tak bisa dihadang sang keroco RKZ, hamparan pukulan tangan kanan Bian melesak masuk ke rahang kanannya. Melontarkan badan sang lawan ke samping kiri hingga jatuh berdebam dan terguling.

Lawan di sebelah kanan Bian merangsek dengan jotosan tangan kanan, si bandel Bian menggoyang badan ke kiri untuk menghindar, ketika lawan gagal menemui sasaran, Bian dapat mangsa empuk karena pertahanan sang lawan terbuka lebar. Ibarat perawan yang mengangkang, siapa yang sungkan?

“Oraaaaa!!”

Bledaaaaaam!

Rahang lawan tersambar. Ia mundur ke belakang beberapa langkah – tapi tidak jatuh. Belum jatuh tepatnya. Bian mengejarnya. Tangan kanan dan kiri bergerak bak senapan mesin untuk memastikan wajah lawan dirombak bak adonan donat. “Ora ora ora ora ora ora oraaaaaaaa!!”

Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh!

Lawan Bian segera terkapar tak berdaya. Ketika ia sempat bergerak sesaat, Bian segera meloncat dan menginjak wajahnya dengan double foot stomp – injakan kaki ganda. “Oraaaaaaaaaaa!”

Buoookghhhkkk!

Lawan keempat tuntas dengan sukses.

Lawan ketiga Bian malah bangun padahal tadi sudah terkena sambar di rahang kanan, Bian segera beraksi dengan tendangan ke arah rahang kiri. “Drive Shooot!

Buoookghhhkkk!

Wajah lawan terhampar tendangan Bian dan tersentak ke kiri terpapar aspal. Saat itu juga wajahnya terbongkar, darah mengucur deras. Lawan ketiga sudah tak berdaya kini.

Satu, dua, tiga, empat. Empat lawan sudah dihabisinya. Ia menengok ke arah Roy sambil mengangkat empat jari, Roy mencibir dan mengangkat lima jarinya sambil duduk di atas lawan yang sudah tengkurap tanpa gerak. Biangane. Bangsat satu itu ternyata baru saja menjatuhkan lawannya yang kelima. Bian terkekeh. Siaaaap! Kejar terus puncak klasemen!

Dua anggota RKZ mendekati Roy dari belakang, keduanya datang dengan membawa kayu. Sang pengendara angin yang akhirnya tersadar ada lawan datang membawa senjata tidak sempat bergerak menghindar karena jarak antara dirinya dan lawan sudah terlanjur dekat. Ia hanya bisa melindungi diri dengan menyilangkan tangan untuk melindungi kepala.

Jbkgh! Jbkgh!

Wadoooh!
Lumayan juga sengatan tulang saat kayu menyasar ke arah lengan. Jinguuuuuk! Wasuuu! Jingaaaak!! Loro e, dab! Roy mundur sambil memijat lengannya yang pedih. Bangsat, harus dibalas nih munyuk-munyuk ra sopan ini.

Jbkgh!

Kembali Roy tersambar, kali ini di bagian bahunya. Tapi itu memang disengaja. Begitu lawan menarik kayu yang ia gunakan untuk menyerang, saat itulah Roy masuk untuk menyergap. Ia memutar badan dan bak lecutan cambuk, kaki Roy menyambar kepala lawan, kena di dahinya! Orang itu roboh sambil berteriak kesakitan. Tidak berhenti sampai di situ saja, Roy melompat tinggi dan menukik turun dengan kecepatan tinggi, lututnya menumbuk kepala lawan dengan kerasnya, menjejak wajah dan menghantamkan bagian belakang kepala ke aspal.

Jbkkkgghh!

“Habis kamu!” Maki Roy dengan puas.

Kawan sang anggota RKZ berteriak marah saat melihat Roy mempecundangi temannya. Beberapa di antara mereka maju menyerang Roy. Tentu Roy tidak lantas kabur, dia memang sudah siap menghadapi lebih dari satu anggota RKZ beruntun.

Usai menjejak wajah lawan yang terkapar, Roy menggunakannya sebagai landasan untuk berpijak dan melompat kembali. Ia berputar di udara dengan anggun dan mengirimkan tendangan ke lawan yang datang dari samping dengan sebuah tendangan kencang!

Sang lawan yang baru datang tentunya tidak menyangka Roy akan secepat itu mengirimkan tendangan ke arahnya. Ia mengira dia sudah bertindak dengan cepat, tapi ternyata Roy jauh lebih cepat darinya. Roy memang memanfaatkan kelemahan lawan yang gagal paham, ia menjejak berulang wajah sang lawan dengan tendangan bak mengayuh sepeda.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Empat tendangan beruntun masuk ke wajah sang lawan, korban ketujuh Roy roboh ke belakang.

Roy turun dengan anggun di aspal, berharap dapat menarik napas barang beberapa menit. Namun ternyata serangan masih datang, lawan kedelapan menyeruak dari samping kiri. Kaki Roy ditekuk separuh, lalu dilontarkan kencang ke bagian kanan kepalanya. Sang lawan mencoba mengangkat lengan untuk menahan serangan, tapi Roy lebih cepat darinya.

Bkkkgghh!

Masuk!

Sang lawan masih bergoyang. Pusing tapi tidak roboh.

Jbkgghhh!

Tendangan berputar Roy menuntaskan segalanya. Sang lawan yang tadinya cuma nggliyeng, akhirnya terjerembab ke belakang dengan kesadaran pudar. Ia pingsan.

Salah satu lawan Roy yang sebelumnya sudah jatuh mencoba berdiri, ia sempoyongan. Wajahnya kuyu dan lemas, dia mencoba menggapai-gapai apapun untuk bisa berdiri dengan sempurna. Roy mendengus dan mendekatinya.

“Kenapa kamu berdiri? Lebih baik tiduran saja di bawah, jauh lebih aman.” Roy menggelengkan kepala, “apa yang mau kamu buktikan? Dari sisi manapun kamu tidak akan dapat menandingi kami.”

“Be-bedebah! Bajingaaaan!” lawan Roy mengumpat. Rahangnya mengeras, mata terbelalak lebar, dan seluruh tubuhnya mengeras.

Jboooogkh!

Roy menyarangkan tapak sepatunya di wajah sang lawan, membongkar hidungnya yang sudah bocor. Muka terpapar kaki, ubun-ubun kena hajar tembok. Depan kena belakang kena.

“Haaaaaaaaaaaaaaaarrrghhh!”

Roy menggila, injakan kakinya menggelora. Tidak hanya satu kali, tapi disusul yang kedua kali, tiga, empat, lima!

Bkkghhk! Bkkghhk! Bkkghhk! Bkkghhk! Bkkghhk!

Sang lawan ambruk dengan badan bersandar ke tembok, wajahnya runyam dihajar depan belakang. Dia pingsan.

Roy berdiri dengan senyum lebar, delapan orang ia tumbangkan. Tidak buruk klasemen sementara hari ini. Mana Bian?

Kenapa dia menghilang sewaktu Roy mau pamer?





BAGIAN 5-A SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 5-B
 
BAGIAN 5-B
LIHAT DENGAR RASAKAN






Jay menggelengkan kepala.

Ampuh. Sampeyan pancen ampuh,” pria antik itu mengacungkan jempolnya sambil telentang di atas aspal, wajahnya biru lebam di sana sini, tapi dia tetap ceria luar biasa. “Sungguh pantas jadi panglima kelompok sebesar Dinasti Baru.”

Sebelumnya Jay lagi-lagi terjerembab ke aspal jalan setelah mencoba menyerang Amar Barok yang tetap tak bergeming. Walaupun dikeroyok oleh belasan orang sekaligus, Amar tetap berdiri tanpa luka, tanpa gores, tanpa peluh. Hanya sekali meraung, mereka tengkurap dan telentang di jalan seperti ikan dijereng di tepi pantai.

“Berhubung sampeyan ampuh, aku tidak akan menyerah menjadikan sampeyan panglima RKZ. Kekekeke.” Jay berdiri kembali. Setiap kali jatuh, dia selalu kembali berdiri. Bagian itu cukup mengagumkan darinya. “Aku tak akan berhenti sampai misiku berhasil.”

“Tidak.” Amar Barok mendengus.

“Brom.” Panggil Jay.

“Jay.”

Brom yang sempat terjatuh agak jauh dari Jay segera berlari kencang. Persahabatan kedua sosok ini cukup unik karena mereka bagaikan bisa membaca pikiran masing-masing. Tidak perlu banyak percakapan keduanya langsung bisa menterjemahkan apa maksud sahabatnya. Brom melompat tinggi saat sudah mencapai jarak dua meter dari Amar, dia lalu mengumpulkan tenaga besar dalam dua kepalan yang saling menangkup. Lompatannya tinggi, serangannya bertenaga.

King Kong Punch!

Amar menggeleng kepala. Lagi-lagi jurus ini, sampai kapan sih mau dicoba? Apa ya tidak kapok-kapok?

Bmmm!

Lagi-lagi gagal. Brom terlontar ke belakang karena pertahanan super dari sang singa dari Dinasti Baru. Brom terguling dan terlempar jauh, tapi kali ini sempat dihentikan oleh Jay yang berada tak jauh darinya. Keduanya segera bangkit dan dukungan belasan anggota RKZ ikut membantu mereka. Bukannya geram karena gagal, baik Jay maupun Brom malah tertawa bersama.

Amar tertegun.

Bukan karena serangan yang datang silih berganti, tapi karena pukulan terakhir Brom terasa mengguncang tubuhnya. Gila. Apakah mungkin pertahanannya menurun atau memang Brom semakin lama bisa meningkatkan kekuatan pukulannya? Memang tidak baik bertahan terus menerus seperti ini.

Amar melirik ke ujung jalan, posisinya sudah jauh dari bengkel. Dengan sengaja ia memancing Jay, Brom, dan belasan anggota RKZ jauh dari tempat Dinda sembunyi. Mudah-mudahan Deka bisa menangani sisanya. Sejak tadi sudah bertahan dan mengalah, saatnya menyerang.

Amar yang sejak awal duduk santai segera berdiri, Ki-nya menyala.

Jay memukul pundak Brom saat melihat Amar yang berdiri, “bruh – lihat itu. Dia mulai berdiri.”

Brom nyengir lebar, “apa ini artinya dia mulai serius?”

“Pasti.”

“Hohoho! Mantap!” Brom mengangkat telapak tangannya yang segera di-tos oleh Jay.

Keduanya bersiap-siap untuk menghadapi Amar Barok. Belasan pasukan di belakang mereka juga bersiap. Tapi belum lagi mereka bergerak, terdengar teriakan-teriakan dari bagian belakang. Blokade RKZ ke jalur Jalan Manggar dibuka dengan paksa. Mereka berdua pun menjadi terpecah konsentrasinya.

“Hahahahaha! Pintu theater dua telah dibukaaaa! Yang zudah memiliki tiket tanda mazuk, harap zegera memazuki ruangan theater dua. Hahahaha.” seorang pria bertubuh raksasa dan berambut keriting ala flower datang dengan membanting satu persatu tubuh penjaga blokade jalan. “Ayo maju zemuaaaa! Zini zatu-zatu!”

Pria yang baru datang itu tentunya adalah Hageng - sang T-Rex dari Lima Jari, Aliansi, dan Sonoz. Pemuja puisi, makanan enak, dan gulat WWE.

Dua penjaga blokade roboh oleh Hageng.

Yang ketiga datang berlari untuk menyerang sang raksasa, begitu orang itu sampai di dekat Hageng, sang T-Rex malah berkelit ke samping kanan, memutar badan sehingga keduanya sama-sama menghadap ke arah yang sama, lalu merunduk, dan melingkarkan tangannya ke samping untuk mengunci pinggang belakang sang lawan.

Preman RKZ itu tentu terkejut dengan gerakan cepat Hageng dan berteriak-teriak, tapi terlambat. Sang T-Rex sudah berdiri sempurna dan kokoh, tangan kanannya mengunci pinggang, tangan kiri menggamit paha kiri sang lawan untuk mengangkatnya. Dengan cekatan Hageng melompat sembari mengangkat lawan tepat di tempat ia berdiri, dan menjatuhkan lawan ke aspal sekuat tenaga.

Sidewalk Slam!

Bruuuuukghhh!


Remuk punggung sang anggota RKZ! Dia mengaduh sembari berguling-guling memegang punggung.

Lawan berikutnya datang menyerang Hageng dengan berlari kencang. Dia mengudara dan bersiap untuk menghajar Hageng dari atas. Sang T-Rex tertawa-tawa saja, dia menyorongkan lengan tangan kanannya yang besar ke depan, hinggap tepat di bagian dada paling atas lawan – perbatasan antara dada dan leher.

“Hkghh!”

Sang lawan kaget dengan sergapan Hageng, ia terhenyak, napasnya tersedak. Belum lagi ia mengubah gerak, tubuhnya terangkat dan kakinya tak lagi bisa menapak. Hageng mengubah posisi lengan lawan ke atas pundak, mengangkat punggung sampai ke atas sebelum akhirnya membanting tubuh lawan dengan sekali sentak! Punggungnya terhampar aspal, terasa berderak, mengkhawatirkan karena terdengar bunyi krak.

Chokeslam!

Bruuuugkkkhhh!!


Empat lawan sudah ia selesaikan! Mana lagi!?

Sebenarnya Hageng tidak perlu meminta karena tak lama kemudian kroco-kroco RKZ segera menganggapnya ancaman dan mengerubutinya. Bagaimana sang T-Rex menghadapi banyak lawan sekaligus?

Tidak perlu sepertinya.

Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaar!

Bledaaaaaam! Bledaaaaaaaaaaaam!


Raungan Singa Emas yang dilepaskan Amar Barok menghempaskan lawan-lawan Hageng sekaligus kroco-kroco di hadapannya hanya dengan sekali tarikan. Para anggota RKZ bergelimpangan di aspal, ambruk tanpa daya. Hageng tertawa senang sembari mendekati Amar yang berdiri tegap.

“Wahahahahahah! Zukzez bezar! Memang mantep jurus zampeyan, Bang Amar! Keren abiz! Apakah tadi malam makan pete? Karena zecara ampuh biza menghazilkan damage yang luar biaza begini? Apakah efek yang zama juga biza dilakukan zetelah makan jengkol?”

“Hehe. Wedhus! Gimana kabare, Geng? Lama ga ketemu.”

Amar dan Hageng saling bersalaman. Semua anggota Lima Jari sering bermain ke rumah Deka, jadi otomatis mereka semua kenal dengan Amar Barok meski tidak terlampau akrab. Satu-satunya anggota Lima Jari yang sering membuat Amar Barok nyengir dan bisa santai hanyalah Hageng. Salah satu alasannya adalah karena Hageng punya gaya bicara khas dengan huruf Z yang selalu membuat Amar terkekeh.

“Ziapa mereka ini, Bang?”

“RKZ. Rekozo, rombongan begal yang katanya dibentuk sama orang-orang pendatang. Mereka tidak punya markas dan lebih sering beroperasi di ringroad selatan. Sangat meresahkan masyarakat karena aksi penjambretan dan kekerasan yang dilakukan tanpa mengenal dan memilih-milih korban.”

“Ringroad zelatan?”

“Betul, makanya aku heran kenapa mereka hari ini nongol di kawasan tengah. Entah ada agenda apa mereka ini. Bilang ke Nanto kalau dia harus berhati-hati saat berhadapan dengan RKZ, karena aku curiga dengan motif mereka. Benar-benar kelompok yang tidak jelas dan berbahaya, entah bagaimana caranya mereka bisa mengumpulkan anggota sebanyak ini dalam waktu singkat dan langsung punya punggawa-punggawa yang lumayan mumpuni.”

“Begitu ya.” Hageng manggut-manggut.

“Paham kan apa yang baru saja aku ceritakan?”

“Tidak zih.”

Wedhus.

“Wekekekekek.”

Percakapan keduanya terputus ketika serangan kembali datang. Kali ini dua punggawa RKZ yang secara langsung menyerang. Adalah Jay dan Brom yang mendekat kembali ke Amar Barok, masing-masing menyerang dari dua arah yang berbeda. Kanan dan kiri.

“Aku yang kiri!” Hageng melesat, ia mengincar Brom yang berbadan besar – cocok dijadikan sparring partner. Sang T-Rex berlari dan meloncat ke jalur Brom, dia tidak berlari begitu saja, Hageng berlari sembari sedikit menunduk, ia mengincar bagian tengah badan Brom. Brom yang tidak memperkirakan serangan Hageng tersentak oleh serangan sang T-Rex. Rusuknya bagai remuk total saat pundak Hageng datang seperti hendak mematahkannya hingga berkeping-keping. Rasanya bagai ditabrak truk.

Goldberg’s Spear!

Brom terhentak ke belakang, terdorong oleh kekuatan besar Hageng. Tentu dia tidak akan menyerah begitu saja! Saat terdorong ke belakang oleh kekuatan spear sang T-Rex, Brom melepaskan satu serangan andalan. “King Kong Punch!

Dua kepalan tangan disatukan, diangkat ke atas kepala, lalu dihantamkan ke bawah sekuat tenaga.

Blaaaaam!

Punggung Hageng tersambar serangan Brom dengan kencangnya. Sang T-Rex jatuh berdebam dan terguling bersamaan dengan punggung Brom terhampar aspal di belakang. Keduanya sama-sama terbanting ke bawah dengan keras.

Brom mengerang kesakitan sembari mengernyit dan memejamkan mata. Untuk pertama kalinya hari ini, dia tidak menebarkan senyuman. Dia berguling-guling sembari memegang punggung dengan lenguhan dan erangan menahan nyeri. Tapi serangan sekali saja tidak akan membuatnya terkapar tak berdaya. RKZ tidak akan jatuh dengan mudah. Jatuh sekali, bangkit dua kali.

Tangan kiri Brom menapak aspal jalan. Lalu tangan kanan. Lalu mengangkat badan sekuat tenaga. Dengan usaha keras dia mencoba bangkit.

Ada bayangan di depannya.

“Tetaplah di bawah, zobat.” Hageng menyeringai. Dia sudah berdiri gagah di depan Brom. Hageng mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi di samping dada, lalu memutar-mutarnya dengan jemari mengepal. Ia mempraktekkan penyaluran Ki seperti yang sempat diajarkan oleh Simon – memang tidak mudah dan tidak cepat dikuasai, dia juga tidak yakin serangannya akan bisa menghasilkan apa yang dia inginkan, tapi tidak ada salahnya mencoba. Ini dia serangan jurus barunya yang diberi nama super keren! Pukulan Palu Dewa Petir! Wuhu! Keren sekali namanya!!

“Heaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Hageng melepaskan kepalannya ke dada Brom.

Bk.

Ha?

Tangan Hageng menumbuk dada Brom dengan pelan.

Brom dan Hageng saling berpandangan. Rasa-rasanya ada yang aneh.

Krik. Krik. Krik.

“Kok tidak keluar ya?” Hageng bingung.

“Keluar apanya?” Brom juga bingung.

“Petir-petir gitu.”

“Memang bisa?”

“Zeharuznya zih biza kalau zezuai panduan. Pukulan ini pengembangan dari Pukulan Geledek yang zangat terkenal itu.”

“Ada yang salah mungkin caranya? Tapi masa iya keluar petir? Mengada-ada ah. Masa kayak komik? Harus menggabungkan Ki dan tenaga mentah dulu mungkin?”

“Iya ya? Kalau Ki zaja dengan pukulan pelan tidak biza?”

“Ya tidak bisa lah. Sepertinya harus pakai tenaga. Ki-nya disalurkan bersamaan dengan pukulan yang kencang. Kalau pelan begini kayak cuma nyolek aja kan? Ki juga harus disalurkan, seperti remote, baru bisa dipakai kalau menggunakan baterai. Jadi intinya, pukulannya harus kencang dan dibarengi aliran Ki besar pula.” Brom menjelaskan.

“Begitu ya?” Hageng manggut-manggut, “Ya... ya... zepertinya begitu baru benar.”

“Nah iya.”

“Brooooooooooooooom!!” Jay berteriak.

“Hageeeeeeeeeeeeeeng!!” Amar juga.

Brom dan Hageng menengok bersamaan ke arah Jay dan Amar sambil tersenyum, tapi ketika yang ditengok menatap mereka dengan pandangan marah, mereka sama-sama saling bertatapan kembali. Baik Brom maupun Hageng akhirnya tersadar kalau mereka sebenarnya berada di dua kubu yang berbeda dan melompat mundur berbarengan.

Koplak.

Brom yang pertama kali bergerak, ia segera berlari ke depan dan meloncat dengan satu tendangan terprojeksi ke arah wajah Hageng. Sang T-Rex tentu saja mengelak ke samping, menyiapkan kepalan tangan, dan memutar lengannya dengan kencang.

Hageng menumbuk punggung Brom sekuat tenaga.

Bkgh!

Brom terjorok ke depan. Kakinya menjejak dengan kencang, dan ia bisa berbalik cepat. Kepalannya dilontarkan berlawanan dengan jarum jam seiring putaran pinggangnya ke belakang, menghajar wajah Hageng! Pukulan cepat mengagetkannya. Sang T-Rex tergeser ke kanan.

Bkgh!

Hageng memutar kembali tangan kanannya, lalu melecutkannya ke wajah Brom yang belum sempurna berputar. “Ini juruz barukuuuuuuu!!!”

Beeeeekgh!

Brom terdorong lagi, tapi kakinya lagi-lagi teguh menapak. Tidak akan dia terjatuh oleh pukulan setengah matang seperti itu! Brom menatap Hageng dengan sengit, ia mengumpulkan tenaga besar di kepalan tangannya, lalu menghantam kencang dagu Hageng dengan satu pukulan sekuat mungkin!

“Jurus baru apaan! Yang tadi cuma pukulan biasa! Ini baru jurus mumpuni! King Kong Smash!

Buuuaaaakghhh!

Hageng terlontar ke belakang, ia jatuh berguling, dan berdebam. Sekujur badan nyeri bukan kepalang, rahang bagai hendak lepas, punggung terasa panas, tapi demi apa dia akan menyerah? Sang raksasa segera melompat untuk bangkit. Baru saja berdiri, dia sudah merasakan angin dari atas. Brom rupanya menggunakan kesempatan untuk melompat. Dua kepalan ditangkup, tangannya berada di atas, siap dihempaskan.

King Kong Punch!

Hageng tidak bergerak, bukan karena kagum atau terpaku – tapi karena ingin menerimanya secara langsung. Ia memutar-mutar tangan, menyiapkannya untuk satu ledakan. Jika Brom sepertinya sudah bisa mengalirkan Ki ke pukulannya – Hageng kebalikannya. Ada perbedaaan kemampuan diantara mereka. Yang Hageng miliki saat ini adalah semangat pantang menyerah.

Sang T-Rex melontarkan pukulan dengan kekuatan penuh!

“Heaaaaaaaaaaarrrrghhhh!”

Buuuaaaakghhh!

Pukulan Hageng telak mengenai wajah Brom, sesaat lebih cepat dibandingkan pukulan andalan Brom. Sang raksasa RKZ tumbang ke belakang setelah kepalan Hageng masuk ke pipi kirinya dengan telak. Pukulan Hageng jelas belum memiliki Ki, tapi yang namanya pukulan tetap saja sakit.

Brom tumbang. Ia mengernyit kesakitan dan berusaha keras berdiri.

Hageng berlari mendekat ke arah Brom yang tentu sudah bangkit kembali. Brom melayangkan pukulan tapi dengan mudah dihindari oleh sang T-Rex. Dia menunduk, mengelak, dan lepas dari sergapan sehingga kini berada tepat di belakang Brom. Begitu sampai di belakang Brom, Hageng melompat dan mengunci leher dan kepala sang lawan dengan menggunakan sepasang lengan berukuran ekstra miliknya.

Sleeper Choke Hold!

“Haaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkgh!”

Tangan besar Hageng tidak main-main, ia menekan dan menguci leher Brom dengan sangat ketat. Suara sang King Kong yang tercekik tidak nyaman didengarkan. Hageng sebenarnya segan karena dia menganggap Brom tidak seburuk yang terlihat saat ini. Dia pasti punya cerita dan latar belakang yang menarik. Dengan sengaja, meski tetap menahan kepala lawan dengan kucian yang kuat – Hageng sedikit melonggarkan kunciannya pada leher agar Brom bisa berbicara dengan bebas.

“Ayolah. Aku tidak mau melakukan ini, kita bisa zaja zuatu zaat nanti bertemu di jalan dan minum wedang zecang atau minum zuzu kacang, atau leyeh-leyeh zambil makan zop ayam. Bagaimana kalau kita hentikan zaja zekarang zemuanya?” ucap Hageng yang berusaha keras menahan lengannya tetap berada di leher Brom. “Kamu zangat kuat, aku kagum. Di kezempatan lain, kita biza menjadi kawan.”

“Hehehehe, tidak ada sejarahnya RKZ menyerah. Kalau kami punya tujuan, maka kami akan memastikan tujuan itu tercapai – jika tidak tercapai, maka lebih baik kami mati mencoba mencapainya, daripada hidup tanpa mendapatkan hasil yang diinginkan.” Brom mencoba meronta dan menarik lengan Hageng yang membuat napasnya amat sesak. Apa yang diucapkan raksasa yang gemar senyum itu memang benar, itulah motto RKZ – lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercemin bangkai. “Kami punya kekuatan besar yang selama ini tersembunyi di bawah tanah, jauh dari hiruk pikuk semesta yang kalian kenal. Inilah saatnya kami tampil ke permukaan untuk membumihanguskan semua yang merasa hebat dan besar.”

“Lalu apa? Zemua itu fana dan tidak ada akhirnya. Yang bezar mengalahkan yang kecil, yang kuat mengalahkan yang lemah. Begitu teruz zampai zang zurya tak lagi berzinar. Itu zemua percuma. Di ataz langit pazti mazih ada langit.”

“Benar, tapi kamilah langit yang ada di atas kalian. Kalau kamu mengira ini kekuatan sesungguhnya dari RKZ, maka bersiaplah untuk terkejut. Karena kami akan mengagetkanmu dengan rencana besar kami di kemudian hari. Hehehe.” Tawa Brom tidak berlangsung lama, dia mulai sesak napas, gencetan lengan di lehernya yang tak kunjung lepas membuat pria yang terus saja tersenyum itu mulai memerah dan tenaganya mulai habis. Sepuluh detik masa kritis Brom dimulai dari sekarang!

“Waktunya bicara sudah habiz,” ujar Hageng, “zekarang waktunya tid...”

Heads up!

Hageng mendongak dan di depannya, sepasang tapak sepatu melaju kencang menuju ke wajahnya.

Buoooooogkkkkh!

Tendangan kaki ganda yang muncul tiba-tiba membuat Hageng terlempar ke belakang dan terguling. Kencangnya tendangan bahkan berhasil memecah bibir dan membuat hidungnya terbongkar meneteskan darah.

Terguling di aspal bukan hal yang menyenangkan. Hageng menggunakan kekuatan kakinya untuk kembali berdiri dan melompat ke depan. Sang T-Rex berdiri dengan dua kaki menapak kuat di atas aspal jalan. Dia tersenyum ke depan dan mendapati Jay tengah membantu Brom berdiri. Brom memegang lehernya yang kesakitan, ia memandang Hageng dengan pandangan sengit – tapi kemudian berubah ramah dan tersenyum lebar.

Huff. Ini bakal jadi pertarungan yang seimbang dan melelahkan. Para petarung dari kedua sisi sama sekali tidak tahu caranya mengalah dan menyerah.

Meski Jay dan Brom sama-sama tahu mereka tengah terjebak di antara Hageng dan Amar Barok dan bagaimana keduanya bukan lawan yang bisa dianggap remeh, sikap mereka berbanding terbalik dengan situasi yang tengah dihadapi. Jay tertawa-tawa, bahkan melakukan tos dengan Brom.

“Ini sangat seru!” ujar sahabat Brom itu.

Hageng mengerutkan kening.

Apa-apaan mereka ini?





.::..::..::..::.





Bian yang sedang dicari-cari oleh Roy ternyata sudah berada di sisi lain arena, ia tengah berhadapan dengan lawannya yang kesekian yang ternyata cukup alot. Keduanya sama-sama bertarung dengan tipe boxer, keduanya sama-sama mampu mengatasi gerakan andalan orang yang mereka hadapi. Meski kroco, tapi lawan Bian kali ini cukup membuatnya kerepotan. Gerakan lawan cukup tangkas dan susah ditebak – tapi susah bukan berarti tidak mungkin, masih ada kesempatan untuk menjatuhkannya.

Pukulan Bian kembali terelakkan ketika lawan menggoyang badan ke kanan kiri seperti petinju profesional.

Sang anggota RKZ mencoba merangsek maju usai Bian kehilangan momentum, tapi si bandel tetap di atas angin setelah dia berhasil mengubah langkahnya menjadi ganjil dan memutus ritme lawan. Tekniknya itu ternyata berhasil, langkah kaki lawan menjadi kagok.

Bian yang tahu lawan mulai kebingungan segera memanfaatkan situasi. Badannya terputar sedikit, ia memusatkan badai serangannya pada kaki yang kokoh dan putaran pinggang kencang. Satu back hook melesat dan menghajar pipi kanan sang anggota RKZ.

“Aku ingin begini!”

Jblagkkhh!

Lawan terdorong ke kiri, sempoyongan, oleng, tak lagi balance. Kesempatan buat Bian untuk menyusul serangan itu dengan jab ke wajah lawan. “Aku ingin begitu!!”

Jblagkkhh!

Serangan susulan itu membuat lawan yang ulet roboh ke belakang. Bian tak ingin lawan segera bangkit. Ia menyepak kepala sang anggota RKZ dengan kencang! Lalu lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. “Ingin ini ingin itu banyak sekali!!”

Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh!

Lawan Bian benar-benar sudah tak lagi berdaya. Wajahnya terbongkar dengan darah muncrat kemana-mana. Ia sudah finish dengan napas tersengal dan tubuh lemas.

Tapi satu terbilang, yang berikutnya datang, bagai kocheng oren sekampung yang datang untuk jatah ikan asin. Sang lawan yang baru datang langsung melompat untuk menyergap Bian. Si bandel tak siap menerima serangan yang tiba-tiba.

Buooogkh!

Bian terpapar, kepalan lawan masuk ke wajah, ia roboh, dan bibirnya pecah. Bajingaaaak. Si bandel sengaja membiarkan diri terjengkang dan tidak segera bangkit untuk memancing lawan datang. Benar saja, anggota RKZ benar-benar datang untuk menuntaskan pekerjaan. Tapi sang pekerjaan itu justru memanfaatkan kakinya untuk menyodok lutut sang lawan yang baru datang!

Keseimbangan lawan Bian hilang dan jatuh ke samping. Bian berguling dan menggeser badan untuk mendekati lawan. Ia menjambak rambut lawannya yang panjang dan melepaskan pukulan beruntun ke wajah tanpa sempat ditahan dengan lengan atau kaki. Tumbukan bertubi diledakkan.

Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh!

Begitu kencangnya pukulan Bian sampai-sampai tercerabut rambut sang lawan yang ia jambak. Lawan Bian pingsan dengan wajah penuh darah. Kepalan si bandel bercak merah tak karuan, dia mengelap tangannya ke baju putih lawan. Huff. Napas Bian mulai tersengal, sesak di dada sedikit terasa. Sompret, ia tak sempat lagi menghitung ini lawan yang ke berapa. Ia pun segera berdiri untuk mencari Roy.

Buooogkh!

Satu serangan kencang di wajah Bian menambah muncratnya darah di wajah si Bandel, hidungnya terpapar. Ia terlontar ke belakang dan jatuh terguling. Sungguh sangat telak serangan terakhir di wajah Bian. Yang baru datang untuk menyerang Bian bukan lagi kroco-kroco seperti sebelumnya. Dia adalah Agun – salah satu Capo RKZ yang punya peran seperti seorang kapten.

Bian yang terengah-engah kembali bangkit dengan mata nyalang. Si bandel gundul itu menghapus darah dengan punggung tangan, dan tersenyum sinis. “Datang tak diundang, pulang tak diantar. Orang seperti kamu lebih cocok ditanam di kuburan.”

“Bangsaaat! Masih saja bacot! Woryaaaaaaaaaaaaaa!!” Agun mendesak Bian.

Secara bentuk badan dan proporsi tubuh, Agun dan Bian bisa dibilang setara, dari tinggi, kegempalan, dan bentuk kepala yang sama-sama gundul. Bedanya, Agun mengenakan ikat kepala warna putih, dan tato di tubuh Bian lebih banyak. Secara kemampuan keduanya juga memiliki style bertarung yang hampir mirip – tipe boxer sama-sama menggunakan kepalan sebagai senjata.

Bian sedikit meremehkan kemampuan gerak Agun yang memiliki kesan lambat, padahal sesungguhnya cukup taktis. Dia tidak akan bergerak tanpa perhitungan, dan itu sangat efektif. Desir angin dan hembusan udara dingin pagi yang muncul bagai menghadapkan dua koboi di tengah jalan kota. Si kunyuk Agun punya pukulan yang kencang, keras, dan tajam.

Keduanya maju untuk beradu.

Lagi-lagi Agun lebih cepat, pukulannya telak mengenai hidung Bian yang sudah merah darah karena terbongkar. Si bandel mundul beberapa langkah, tapi segera menggoyang kepala dan maju untuk melepas jab kencang ke wajah Agun.

Jblagkkhh!

Begitu cepatnya tukar pukulan berlangsung sehingga keduanya tak sempat berimprovisasi atau menahan serangan lawan, Bian bahkan tak sempat mengeluarkan kalimat-kalimat khas-nya. Setiap pukulan Bian dibalas Agun, dan setiap sergapan Agun langsung dibalik oleh Bian. Seimbang adalah kata paling tepat menggambarkan kedua petarung. Hantam sekali balas sekali, begitu dijual langsung dibeli.

Napas Bian kembang kempis, untung Agun juga sama saja kondisinya. Keduanya sama-sama mundur beberapa langkah karena kelelahan.

Bian kembali menghapus darah yang makin deras menghias wajahnya. Hal yang sama juga terjadi pada Agun, dia melontarkan ludah bercampur darah. Bian mengangguk dan bersiap kembali dengan pose tinju, sebagaimana Agun melakukan hal yang sama. Keduanya saling pandang, saling lirik dan saling senyum sinis. Mengakui keunggulan dan kemampuan masing-masing.

Keduanya maju bersamaan, Agun menyerang terlebih dahulu. Pukulan beruntun bak senapan mesin. Setiap sergapan punya kekuatan besar dan sengatannya membuat beberapa kali Bian mundur karena perih. Sekali dua kali memang serangan Agun tak terhindarkan, namun di luar itu Bian berhasil menangkisnya.

Bian merubah strategi, dia tidak lagi bertukar pukulan, kali ini dia membiarkan Agun merasa di atas angin dengan sementara tidak membalas, dia ingin membiasakan diri dengan arus dan cara main sang lawan. Bangsat satu ini menyerbu bak seekor banteng menyerang matador, buas sekali. Tapi ada kalanya dia mengambil jeda untuk merubah posisi kaki dan jalur kepalan. Kenapa? Apa karena Kelelahan? Jeda itu bisa dimanfaatkan! Bian mulai membaca cara Agun bertarung dan menyusun rencana.

Dugaan Bian benar, tak lama setelah menyerang, Agun merubah posisi kaki, memberi jeda beberapa detik untuk Bian bersiap.

Beberapa saat kemudian si bandel menjalankan aksinya.

Usai jeda yang ia ambil, dua pukulan beruntun dilesakkan oleh Agun ke badan Bian, satu lagi ditepis dengan tangan, tapi yang satu lagi dihindarkan ke kiri. Tubuh sang punggawa RKZ itu lantas terjorok ke depan karena kekuatan pukulannya sendiri yang gagal menemui sasaran. Lutut Bian beraksi, merangsek masuk ke perut Agun.

“Hkghhhh!” Agun mundur beberapa langkah ke belakang dengan perut bak menelan granat tangan. Rupa-rupanya lutut Bian masuk dengan telak.

Bian tersenyum. Huff. Bagus, serangannya kena sasaran. Tinggal tindak lanjut! Bian maju menyerbu, kepalan tangannya kembali beraksi.

Jblagkh! Jblagkh!

Dua pukulan Bian kembali menyengat, Agun mulai goyah. Tubuhnya sempoyongan. Kalau ada kesempatan terbaik untuk Bian maka inilah saatnya! Bian mendekati Agun dan memberondongnya dengan pukulan bertubi ke arah wajah! “Boku woooo! Tsureteee! Susumeeeee!!!

Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh!

Wajah. Wajah. Wajah. Wajah. Wajah. Wajah. Wajah. Wajah.

Semua serangan Bian masuk, Agun benar-benar sudah kepayahan sehingga untuk mengangkat tangan demi melindungi diri pun tak dapat ia lakukan.

Agun akhirnya roboh di depan Bian yang tersengal-sengal.

Bian mendengus. “Player one wins.”





.::..::..::..::.





Deka menatap ngeri saat Gamal bersiap membuka pintu bengkel Amar.

Dia tidak bisa segera bertindak karena gelombang serangan Galung membuatnya makin jauh dari posisi semula. Bangsaaaaaat! Jangan sampai mereka dapat menemukan Dinda! Deka yang kehilangan fokus membuat serangannya mengendur.

Sbkgh! Sbkgh! Sbkgh!

Tiga sodokan tangan Galung membuat Deka terdesak ke tembok yang jauh dari bengkel. Meski perih tapi serangan itu tidak membuat Deka terluka berkat jurus pelindungnya yang nomor satu.

“Bukaaa bengkelnyaaaaaaaaa!!” teriak Galung sambil tertawa-tawa.

“Bangsaaaaaaaat!”

Deka mulai putus asa. Apalagi dia juga tak berhasil menemukan Amar dimana-mana. Kemana kakaknya itu? Sepertinya Amar sengaja menjauh dari bengkel agar dia dan Dinda dapat selamat. Tapi karena jumlah lawan terlalu banyak dan mereka menyebar, Deka tetap saja gagal melindungi Dinda.

“Bajingaaaaaaaaaan!!” Deka kebingungan.

Kalau saja kemampuan serangnya sepadan dengan kemampuan pertahanannya, maka dia tidak akan terdesak seperti ini. Beginilah kalau lalai berlatih. Dia harus benar-benar mempertimbangkan belajar dengan Pakdhe Wid setelah semua masalah ini selesai.

Pandangan mata Deka tak pernah lepas dari Gamal yang mulai berhasil membuka pintu bengkel. Dia makin khawatir saat Gamal masuk ke bengkel dan terdengar teriakan Dinda dari dalam. Deka mengamuk, tarian nunchaku-nya bak kesetanan. Tapi dia tetap tidak bisa melewati Galung yang ternyata cukup mumpuni, pantas saja dia didapuk menjadi seorang Capo.

“Hraaaaaaaaaaaaaghhhh!” Deka menyodok ke depan.

Sbkgh! Sbkgh! Sbkgh!

Galung kembali mendorongnya ke belakang.

Apa yang harus dilakukannya? Apa yang harus dilakukannya? Apa yang harus dilakukannya?

“Fokusmu seharusnya di sini. Bukan di sana.” Tukas Galung mengingatkan. “Mulai sekarang, biar kami yang mengurus lontemu.”

Deka tersedak saat kaki Galung menghunjam perutnya. Beruntunglah dia karena sekali lagi Perisai Genta Emas menyelamatkannya dari luka berat. Tapi Deka semakin terdesak dan sudah pasti tidak akan dapat menyelamatkan Dinda. Dia benar-benar putus asa.

Dia hanya bisa pasrah saat melihat tangan Dinda ditarik kasar oleh Gamal.

Seluruh nyawa Deka bagai lolos dari tubuhnya. Dia tidak akan pernah siapapun menyakiti orang yang dia sayangi, Dia tidak akan membiarkan Dinda disakiti Gamal seperti itu, tapi apapun yang ia lakukan rasanya percuma. Dia tidak bisa lepas dari Galung. Saat dia sudah sangat lemas, Perisai Genta Emas-nya mulai luntur.

Deka berteriak kesal.

Saat itulah dia dikejutkan oleh satu suara lagi.

“Jangan khawatir. Serahkan padaku.”

Galung dan Deka sama-sama tertegun. Suara siapa barusan?

Kawulo namun saderma, mobah-mosik kersaing Hyang Sukmo.” Suara lirih itu tak terdengar siapapun. Sang bayangan melesat bak terbang meninggalkan Deka dan Galung.

Boom.

Mereka sama-sama menatap ke arah bengkel, seperti ada kelebat bayangan gelap yang bergerak teramat cepat menuju ke sana. Begitu cepatnya sehingga mereka sama sekali tidak dapat melihat sosok siapa itu.

Gamal yang sudah membuka rolling door bengkel mencoba menarik Dinda yang berjuang mati-matian dengan berpegang ke kaki meja bengkel. Untung saja meja itu cukup teguh membuat Dinda dapat bertahan sedikit lebih lama.

“Lepaskaaaan! Lepaasss!!” Dinda meronta, kakinya dijejak-jejakkan ke Gamal yang makin kesal.

“Dasar lonteeeeeeee!! Ayo keluaaaaaaar!!” Gamal memaki, pria berangasan itu mengangkat lengan dan siap memukul Dinda untuk menariknya keluar.

Tapi belum sempat ia melakukannya, sesosok bayangan bertopi muncul di hadapan Gamal. Preman itu terkesiap. Siapa orang ini...?

Angkara gung ing angga anggung gumulung.”

Bledaaaaaaam!

Gamal terlontar keluar dari bengkel hanya dengan satu pukulan ke dada. Ia terlempar sangat jauh, terguling, terlontar, dan terbanting berulang. Gamal terengah-engah saat menyadari dirinya sudah terkapar di aspal, ia mencoba bangkit tapi dadanya terasa amat sakit. Bibirnya juga pecah terantuk aspal berulang. Bajingaaaaan! Siapa orang itu!?

Begitu berdiri, ia menyaksikan pintu bengkel sudah ditutup kembali.

Ada satu sosok berdiri di sana.

Nanto.

Si Bengal membalik topi yang ia kenakan sehingga moncongnya berada di belakang, ia menekuk kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu menggemeretakkan jari-jemarinya dengan gerakan saling tangkup. Wajah tampannya yang bengal tersenyum bengis, membuat lawan kian jijik melihatnya.

Gamal mengelap darah yang mengucur dari bibirnya yang pecah dengan punggung tangan. Matanya nyalang ke sosok yang baru datang. Sok jagoan banget nih orang! Emang bisa apa dia? Yang barusan pasti cuma kebetulan! Tak akan ada dua kali!

Gamal terkekeh menganggap remeh, ia tersenyum sinis. “Kampret! Yang tadi tidak akan terulang lagi! Aku tidak akan lengah lagi! Cah ngendi kowe, nyuuuuuk!? Sopo jenengmu!? Siapa namamu!?”

“Namaku?” Nanto tersenyum, “Namaku Uvuvuvwevwevwe Onyetevwevwe Ugwemuhwem Osas.”

Gamal naik pitam, “Matamuuuu suuuuuuuu!!”

Sang preman RKZ bergerak maju, langkah kakinya zigzag. Ke kanan dan kiri, seperti kelinci berlari kegirangan di ladang wortel. Lompatannya tidak penuh, seakan hanya separuh saja ia menggunakan tenaga. Si Bengal geli melihatnya, mau nyerang aja kok repot amat. Nanto mempersiapkan diri, ia menggoyang kepalan. Untuk berhadapan dengan bedebah yang seperti ini dia tidak perlu membuka gerbang apapun. Gamal menyerang dengan gerakan yang terlalu terbuka, kemanapun ia menyerang, tubuhnya selalu memancarkan arah serangan. Telegraphic movement yang sangat terlihat.

Lihat saja sekarang, begitu sampai satu meter di depan Nanto, ia tiba-tiba menghentikan gerakan, tangan kanannya ditarik mundur, setengah badan atas berputar ke belakang, pinggang tetap pada posisinya – ini jelas menunjukkan arah serangan yaitu dari kiri...

Gampang sekali dibaca! Amatiran!

Awas kanan.

A-apa!? Gerbang pertama!? Nanto tertegun, secara reflek tangan kanannya terangkat untuk melindungi diri.

Benar saja. Meskipun gerakan tubuh dan posisi sang lawan seakan-akan menunjukkan bahwa dia akan menyerang bagian kanannya, tapi secara tiba-tiba kaki kiri Gamal naik ke atas tanpa kuda-kuda yang umum dan menghentak bagian kanan Nanto yang untungnya sudah mengangkat lengan sebagai perlindungan.

Bdkkkgh!

Lengan si bengal terhentak kuat, ia mundur setapak karena serangan tadi cukup tiba-tiba, tapi berkat mengangkat lengannya dia bisa bertahan. Gamal tentu saja terkejut bukan kepalang karena serangan mendadaknya gagal menemui sasaran. Bagaimana mungkin orang ini bisa menebak arah tendangannya? Hil yang mustahal! Tae gajah Bangkok! Gamal tidak terima! Ia meluncurkan serangan berikutnya dengan secepat mungkin sebelum orang ini sanggup menerka kembali!

Jika sebelumnya tendangan kaki kirinya gagal menemui sasaran, maka kali ini Gamal meluncurkan pukulan kanannya untuk menyerang. Tentu saja lagi-lagi pukulan itu hanya untuk mengelabui si Bengal, karena berikutnya kaki kiri Gamal kembali melaju kencang! Dia hendak menghancurkan selangkangan Nanto!

Tch. Stupid.”

Ha?

Gamal terbelalak saat menyadari kepalan tangan kanan si Bengal deras melaju ke arah wajahnya jauh lebih cepat dari serangannya yang manapun.

Bledaaaaaakghhh!

Gamal terlontar ke belakang dan terguling berulang.

“Kamu pikir serangan receh begitu bakal bisa digunakan berulang? Seamatir apa memangnya kamu ini?” Nanto menunduk seperti hendak berlari, lalu dalam sekejap mata sudah berada di sebelah Gamal. “Mereka yang beraninya mengeroyok biasanya cuma punya besar di bacot saja. Kucing kecil yang sok-sokan jadi macan.”

Gamal yang masih terbaring di aspal mencoba buru-buru bangkit dengan kesalnya. Niatnya tidak kesampaian. Tapak sepatu yang dikenakan si bengal langsung masuk ke wajahnya.

Jbkkkgghhh!

Gamal tersentak ke belakang, bagian belakang kepalanya terpapar aspal. Dia mencoba bergulir ke samping.

Sblkkghhhhkkk!

Sepakan kaki Nanto mampir ke wajah Gamal, menghajar kepalanya sekali lagi. Kepalanya terhempas aspal sangat kencang, membuat kepala teramat pening. Nanto mengejarnya tanpa ampun, si bengal melompat tinggi – begitu tinggi sehingga membuat Gamal terkejut. Dua kaki Nanto menyeruak masuk ke perut Gamal tanpa ampun. Punggawa RKZ itu terhenyak karena tulang rusuknya serasa remuk dihentak kekuatan besar dari atas.

“Haugkkkkkkhhhhh!”

Mulut Gamal mengeluarkan darah.

Nanto tidak berhenti.

Kakinya menginjak kepala Gamal sekali, dua kali, tiga, empat, lima, enam, tujuh kali!

Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh!

Sang punggawa RKZ itu habis.

“Hrr...” Gamal sudah tak mampu berucap, wajahnya terbongkar. Ia bahkan sudah tak lagi sadar ia di mana. Ia terkapar tak berdaya.

Sepertinya keduanya bukan lawan yang seimbang, Nanto dengan mudah dapat mengalahkan Gamal bahkan tanpa harus mengeluarkan Ki. Si bengal pun melangkah pergi meninggalkan Gamal yang sudah tak lagi dapat melawan dan terkulai lemas di atas aspal, hanya terdengar rintihan-rintihan pelan dari bibir.

Baru beberapa langkah Nanto berjalan untuk mendatangi rombongan RKZ yang bergerombol, tiba-tiba saja anggota-anggota RKZ itu membubarkan diri mereka. ada yang kabur menggunakan motor, ada yang langsung lari begitu saja. Nanto mengerutkan dahi. Apa gerangan yang terjadi? Mau kabur kemana orang-orang ini?

Sebagian yang terkapar segera dibantu untuk melarikan diri.

Ha?

Apakah sudah begini saja pertarungannya?

Kan dia baru datang?

“I-ini belum berakhir!” Gamal memaki sambil berjalan tertatih di kejauhan, ia bahkan harus dipandu oleh salah satu orang teman RKZ karena tak dapat melangkah dengan baik. Pria itu menatap Nanto dengan pandangan sengit. “Suatu saat nanti, akan aku buat kamu menyesal, bangsat! Ingat janjiku ini! Kita akan bertemu lagi dan di saat itu, akan kubuat kamu menyesal!!”

Mengagumkan bagaimana ia masih dapat berbicara dengan jelas padahal wajahnya banjir darah.

Gamal diboncengkan oleh rekannya dan mereka segera pergi dari tempat itu. Satu-persatu motor dan anggota RKZ pergi, entah apa yang terjadi karena mereka semua kabur dengan terburu-buru. Apa ada aparat datang?

Nanto menggaruk-garuk kepala. Kampret. Dia baru datang kok semua sudah pada kabur? Badalah. Masa cuma begini aja? Rugi bandar. Di tempat yang sama, sedikit jauh dari bengkel, Amar Barok dan Hageng juga ditinggalkan oleh Jay, Brom, dan kawanannya yang sejak tadi mengeroyok Amar tanpa hasil.

“Amar Barok. Kamu sangat menarik. Dikeroyok berapa orang pun tak tergoyahkan. Mantap jiwa sungguh.” Jay dan Brom berdiri di depan Amar dengan senyum aneh mereka. “Kami masih belum menyerah, suatu saat nanti kami harap kamu berdiri di sisi kami dan bukan melawan kami. Entah apakah itu artinya kami harus memaksa kamu atau kamu sendiri yang bersedia menyeberang ke RKZ. Hehehe. Sampai jumpa lagi, Amar.”

Amar mendengus. “Menyeberang ke RKZ? Jangan mimpi.”

“Ketua kami akan menemuimu, Amar. Bersiaplah. Ahhahahaha.” Jay tertawa-tawa sambil menaiki motornya bersama Brom. Mereka ikut dengan yang lain, pergi dari tempat itu secepat mereka datang. Suara tawa Jay masih terdengar bahkan ketika rombongan mereka lenyap di tikungan.

Amar menggelengkan kepala, dasar psikopat. Tidak ada gunanya memikirkan orang seperti dia, lebih baik merasa lega karena akhirnya gelombang serangan RKZ rampung juga. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba kabur. Dia sudah berusaha sebaik mungkin menjadikan dirinya target serangan yang tidak melawan demi menyelamatkan Deka dan Dinda.

Serangan dari RKZ pagi ini membuatnya berpikir. Mereka benar-benar kelompok yang misterius. Menyerang dengan model gerilya, bergerombol, main keroyok, datang dan pergi seenak wudel sendiri. Siapa mereka sebenarnya?

“Ma-Mas Amar tidak apa-apa?”

Suara seorang wanita mengagetkan Amar. Ketika dia berbalik, Dinda sudah berdiri di depannya. Amar lega melihat Dinda selamat. Tujuannya memilih lokasi yang makin jauh dari bengkel adalah untuk menjamin keselamatannya.

“Aku tidak apa-apa.” jawab Amar.

Dinda mendekat dan mengelap keringat dan luka Amar dengan tissue yang ia bawa. Amar tertegun sejenak, tapi kemudian terdiam. Ia menatap Dinda tanpa berkedip, dilihat dari jarak sedekat ini, gadis ini semakin bersinar kecantikannya, bahkan jika kondisinya kotor karena bersembunyi di bengkel yang punya banyak lelehan oli di sana sini.

Setelah beberapa saat, Amar memegang pergelangan tangan Dinda. Wajah gadis itu memerah, untuk pertama kalinya sejak sekian lama, jarak mereka berdua sangat dekat.

“Sudah, cukup, aku tidak apa-apa.” kata Amar. “Pastikan Deka juga baik-baik saja.”

“I-iya, Mas.” Dinda mengangguk dan segera berbalik untuk menemui Deka.



Amar segera mengalihkan pandangan ke arah Deka dan kawan-kawannya. Lumayan juga mereka, sangat cepat bisa berkumpul di sini. Harus diapresiasi. Sang singa Dinasti Baru mendengus dengan senyum kecut dan berjalan menuju Nanto yang tengah beristirahat di tepian trotoar. Amar mengulurkan tangan, “terima kasih. Kalian lumayan juga.”

Nanto berdiri dan membalas salam dari Amar. “Sama-sama, Mas. Maaf aku agak telat, tapi yang lain sudah terlebih dahulu datang.”

Belum sempat berbicara banyak, tiba-tiba saja hadir motor-motor baru di tempat itu. Kedatangan mereka hanya terpaut beberapa saat dari kepergian RKZ, bisa jadi gara-gara mengetahui akan datangnya rombongan motor ini sehingga RKZ memutuskan untuk kabur. Dasar gerombolan banci pengecut!

Rombongan yang baru saja datang membawa pasukan untuk memenuhi jalanan, wajah mereka kesal dan ganas, seolah-olah tidak terima ada kelompok lain mengincar anggota utama kelompok mereka. Orang-orang ini tentunya adalah kawanan unit bermotor Dinasti Baru.

“Kalian terlambat,” Amar tersenyum. “Mereka sudah pergi dari sini.”

“Sengaja, Bang.” Sapa salah seorang anggota sambil memberikan salam pada Amar. Ia mengangkat botol minuman keras yang masih dibawa-bawanya. “Lotse lebih enak daripada perang. Kami juga tahu kamu tidak akan membutuhkan bantuan kalau hanya berhadapan dengan anakan kecoak.”

“Wasu.” Amar memukul ringan temannya itu.

Satu persatu anggota Dinasti Baru turun dari motor.

Lima Jari hanya menyaksikan kedatangan mereka dengan hati dan perasaan yang gamang.





.::..::..::..::.





Lobi hotel di Jalan Kalipenyu KM bawah nampak lengang, mungkin tingkat hunian hotel sedang rendah, jadi terasa sepi sekali. Tangga melingkar dari lobi menuju ke atas menjadi satu-satunya pemandangan menarik karena berada tepat di antara kursi tamu dan pintu masuk. Musik gamelan mengalun pelan membuat hati yang gersang bagai disiram air yang sejuk.

Seorang pria turun dari tangga yang melingkar dan berjalan pelan menuju kursi tamu, Adrian masih berkutat dengan laptopnya saat pria itu berdiri di hadapannya.

Adrian sontak terkejut. Siapa orang ini?

“Selamat pagi Pak Adrian.”

“Selamat pagi. Maaf, Bapak ini...?” Adrian tidak menduga akan menjumpai orang ini, dia berharap akan bertemu orang lain.

“Saya hanya perwakilan dari perusahaan kakak saya. Mohon maaf sebelumnya karena beliau tidak dapat hadir sehingga mewakilkan urusan ini ke saya. Beliau sedang pergi keluar kota untuk menghadiri acara keluarga, tapi seperti yang sudah disampaikan melalui meeting tempo hari, kami berjanji akan mengusahakan dana untuk membeli saham kepemilikan start-up yang keuangannya dikelola oleh Pak Adrian. Dengan investasi kami, kami berharap semua halangan dan kesulitan keuangan start-up Bapak dapat teratasi dan kita semua bisa melangkah menuju masa depan yang cerah dan menguntungkan.” Orang itu tersenyum sembari menyerahkan sebuah map. “Ini penawaran dan rencana kami, jika disetujui maka kami akan membeli sebagian besar saham perusahaan Bapak. Untuk pengaturan masalah finansial akan dibicarakan lebih lanjut lagi dengan dewan pimpinan kami nantinya.”

“Te-terima kasih banyak. Saya juga harus menyampaikan ini ke pimpinan.” Adrian benar-benar tak percaya dia akan bertemu dengan penyelamat yang tiba-tiba saja hadir seperti ini. Ini mukjizat! Perusahaannya masih bisa selamat setelah semua pemerasan yang dilakukan oleh Eva! Dia memasukkan proposal dari sang penyelamat ke dalam tas. “Semoga semua ini berjalan dengan baik. Terima kasih banyak, Pak...”

“Reynaldi. Panggil saja saya Rey.”

“Terima kasih Pak Rey.”

“Sama-sama.”

Rey tersenyum penuh arti saat melihat Adrian berkemas-kemas.

Jadi ini suamimu, Asty? Kota ini bukan kota yang teramat besar rupanya, karena kemanapun kita melangkah, kita akan bertemu dengan siapanya siapa. Tapi sungguh jodoh bukan kalau ternyata aku bertemu dengan suamimu? Bagaimana kalau kita jadikan permainan ini lebih menarik?

“Pak Adrian.”

“Ya, Pak Rey?”

“Pak Adrian sudah sarapan? Mari kita sarapan bareng. Ada beberapa hal yang sepertinya asyik kita bicarakan pagi ini. Saya lumayan tertarik bicara mengenai IT dan teknik kerja di perusahaan Bapak, mungkin bisa jadi pengetahuan dan masukan baru buat saya. Kita bisa sarapan di belakang, Pak. Restoran hotel ada di sana.”

“Ha? Oh... hmm... tapi tadi saya sudah sarapan dan...”

“Dimasakkan oleh Bu Asty ya? Hahaha.”

“Ha? I-iya...” Adrian mengerutkan kening, “Kok Bapak tahu nama istri saya?”

“Mungkin Bapak lupa kita pernah ketemu sekilas sewaktu Bapak menjemput Bu Asty di SMA CB. Saya kebetulan juga mengajar di SMA CB, Pak. Tapi kadang secara khusus seperti hari ini saya membantu usaha kakak saya.”

“Oooooh ya ya... mengajar di SMA CB? Wah kebetulan banget. Dunia ini ternyata tidak seluas yang kita perkirakan ya. Muter ke situ-situ juga orangnya.” Adrian berdiri setelah semuanya rapi dan dikemas.

Rey tertawa dan berjalan ke samping suami Asty itu. Dia mempersilakan Adrian untuk menuju ke restoran yang terletak di bagian belakang hotel.

“Sepertinya ini akan menjadi awal dari persahabatan yang luar biasa, Pak Adrian.”

“Mudah-mudahan Pak Rey.”

Rey menyeringai.





.::..::..::..::.





Pintu depan Ndalem Banjarjunut porak poranda. Pasukan penjaga gerbang terkapar tak berdaya. Sepagi ini pasukan KSN yang sudah resmi bubar dikagetkan serangan mendadak oleh orang yang tak dikenal. Siapa pula yang menyerang mereka?

Oppa, Roni, Amon, Kang Daan, Albino, dan Tedi Ganesha berjajar di depan rumah utama. Mereka sejak beberapa hari masih berada dalam kondisi kebingungan karena KSN dibubarkan dan secara tidak langsung harus bergabung di bawah PSG yang tentu saja menimbulkan gelombang pro dan kontra. Opsi pertama adalah bergabung dengan PSG, sedangkan opsi kedua adalah mendirikan kelompok baru yang jelas menentang Lek Suman dan PSG, opsi ketiga adalah bergabung dengan kelompok lain untuk menentang dominasi Aliansi di wilayah utara.

Lalu pagi ini, tiba-tiba saja, gerbang depan Ndalem Banjarjunut didobrak oleh seseorang tak dikenal.

Seseorang.

Apakah dia sendirian saja?

Pria itu berdiri tegak sambil menepuk tangannya yang berdebu dan tertawa keras-keras. Barisan penjaga gerbang dan pasukan KSN yang tak kurang dari sembilan orang terkapar di sekelilingnya, kalau tidak pingsan mereka hanya sanggup mengerang kesakitan tanpa sanggup berdiri.

“Hahahahaaha! Mana ketua kalian!? Aku mau bicara! Hahahahah.” Suara kencang menggetarkan seluruh kawasan. “Aku mau bicara! Hahahaha.”

Sosok pria yang baru datang punya rambut gondrong ndeso yang arah nyisirnya ga karuan, keriting tapi dipaksa gondrong sampai sebahu, entah keputusan apa yang membuatnya memiliki penampilan seperti itu, padahal sudah jelas tidak akan menambah ganteng wajahnya. Perawakan badannya juga tidak nyaman dipandang. Gempal, gemuk, bundar, dan pliket – kayak bakso urat. Sekilas lihat bisa dikira Ron Jeremy si legenda film porno, sekilas lihat lagi bisa dikira kepalanya ketempelan pohon cingcau rambat.

“Siapa lagi makhluk jadi-jadian ini?” desis Tedi Ganesha emosi. Dia memang beberapa hari ini ngamuk melulu, apalagi jika dipaksa masuk PSG yang jelas dia sendiri tidak ingin melakukannya. PSG jauh di selatan dan merupakan preman-preman yang beroperasi di pasar, bukan seperti mereka yang punya gaya intelek.

Oppa dan Amon yang tangannya masih dibalut perban maju bersamaan ke depan, si ganteng berkacamata menyambut kedatangan pria tersebut sementara para anggota KSN mengerubuti dan melingkari posisi sang pria nekat.

“Aku yang bertanggung jawab di sini, siapa kamu, dan apa maumu?” tanya Oppa dengan ketus. Dia sedang tidak ingin main-main. Urusan PSG sudah membuatnya pusing, dia juga termasuk salah satu orang yang menentang keputusan KSN bergabung ke PSG. Sekarang bukannya bertambah tenang, malah ada masalah baru dengan datangnya si bakso urat ini.

“Hahahahhhaahaha. Wah, kamu pimpinan KSN? Masih muda dan ganteng. Hahahaa.” Pria gempal itu menarik sebungkus permen karet Big Bolob dari kantong bajunya, membuang bungkusnya sembarangan, menelan permen dan berjalan ke depan Oppa tanpa rasa takut sedikitpun, mulutnya berkomat-kamit mengunyah permen karet. “Aku datang dengan maksud baik. Tapi teman-teman kalian di depan tadi malah menyerang, jadi aku sekedar mempertahankan diri saja. Maaf kalau membuat mereka terkapar, nanti biaya perawatan aku yang bayar. Hahahahaha. Namaku Bambang tapi teman-teman dari Wetan memberiku julukan Jenggo. Jadi panggil saja aku Bambang Jenggo... dan ini...”

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja di belakang Bambang Jenggo muncul dua orang lagi pria berbadan besar dan perkasa, di sebelah kanan dan kiri. Mereka seperti kembar, susah dibedakan jeleknya. Mana yang lebih buluk dari yang lain. Keduanya mirip seperti penjahat di film India, kulit gelap, berkumis tebal, badan gempal, senyum lebar gigi kuning, suka geleng-geleng kepala, dan mengenakan beanie hat atau kupluk dengan warna gelap.

“Ini adalah dua jenderalku, Alang Kumitir dan Tunggul Seto. Keduanya susah dibedakan ya? Mereka kembar identik. Identik sama gentong. Hahahahah.” Kembali Jenggo melucu tapi tidak ada seorang pun dari KSN yang tertawa, sebaliknya kedua gentong tertawa mengikuti sang pimpinan. “Ya... ya... mereka berdua Jenderal kepercayaanku. Mirip seperti posisimu sekarang, cah bagus.” Jenggo menunjuk ke arah Oppa sambil menyeringai. “Aku tahu kamu hanya pimpinan sementara saja setelah pimpinan kalian kaput. Kondisi kalian juga kalang kabut karena di utara Aliansi merajalela dan kalian akan segera ditelan jika tidak segera bergabung dengan PSG. Nah, aku datang untuk memberikan opsi berikutnya buat kalian. Kalian punya potensi yang besar.”

Oppa saling pandang dengan Roni dan Amon. Apa lagi maksud si bakso urat ini?

“Kalian tidak bisa terus menerus berlindung di bawah kelek Lek Suman. Ketiaknya bau amis, mending bergabung denganku dan menjadi kekuatan baru di kota. Kita tidak perlu markas, tidak perlu kandang. Kita bisa berpindah-pindah tempat sesuai kemana hati menginginkan.” Cerocos Jenggo tanpa henti. Ia mengunyah permen karetnya tanpa henti sambil menyebarkan seringai yang mengerikan. Wajahnya sebelas dua belas dengan Darsono, mengerikan dan menjijikkan, tapi memiliki nuansa kepemimpinan yang tidak bisa dipungkiri.

Oppa bimbang, siapa orang ini? Tiba-tiba saja menawarkan mereka opsi untuk bergabung? “Jangan bikin kami tertawa. PSG adalah kelompok besar di kota, kami jelas akan memiliki jejaring yang besar jika bergabung dengan PSG. Sedangkan kalian? Kami sama sekali tak mengenal kalian!”

Jenggo tertawa, “sebentar lagi kalian akan tahu betapa mengerikannya kekuatan kami. Ahahahahah. Kalian mau membuktikan? Boleh saja, silahkan berhadapan dengan dua jenderalku ini.”

“Dari tadi jenderal-jenderal melulu! Kamu itu siapa dari kelompok mana, bangsa...” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Tedi Ganesha tersentak dan terbang ke belakang. Dadanya disodok dengan kekuatan dahsyat yang tidak main-main. Ia terbanting dan terguling beberapa kali di tanah. Tedi mengejang sesaat sebelum mulutnya tersedak mengeluarkan darah.

Di posisi tempat Tedi Ganesha sebelumnya berdiri, kini hadir sosok Alang Kumitir. Posisinya setengah merunduk dengan lutut ditekuk, wajah serius, siku tangan menyorong ke depan. Siku tangan inilah yang tadi menghempaskan Tedi ke belakang.

“Ada lagi yang mau mencoba? Hahahahahah.” Jenggo tertawa, “Kum! Mundur! Kita negosiasi dulu!”

Hanya dengan sekejap mata, Alang Kumitir kembali berdiri di sisi Jenggo.

Jenggo berdehem. “Mungkin salahku tidak mengenalkan diri terlebih dahulu. Coba aku ulangi ya, supaya kalian lebih paham berhadapan dengan siapa. Aku Bambang Jenggo, di kiri ini Alang Kumitir, dan di kanan Tunggul Seto. Kami bertiga menawarkan kalian dari KSN untuk bergabung dengan Randupanji Kombat Zombies. Kami berjanji akan menyalakan obor yang diperlukan untuk membakar kota dan menghabisi semua kelompok, entah itu PSG, QZK, JXG, atau Aliansi sekalipun – kalau kalian hanya ingin berkuasa di utara, kenapa tidak sekalian saja menguasai seluruh kota? Hahahaha. Kamu – cah bagus, akan menjadi Jenderal ketigaku dan akan memimpin unit pasukan mudamu jika bersedia bergabung denganku. Yang tidak bersedia, boleh gabung ke PSG. Bagaimana? Hahahaha.”

“Randupanji Kombat Zombies? RKZ?” Oppa meneguk ludah.

“Seratus.” Jenggo tersenyum licik. “Minat?”

“Patut dipertimbangkan.” Kang Daan mengangguk setuju.

“Tidak mau! Jangan sampai mau, Oppa!” Tedi Ganesha yang tadi dipermalukan berdiri dengan sengit, “PSG saja aku tidak mau apalagi kelompok sirkus semacam RKZ! Aku lebih memilih membentuk kelompok sendiri atau hancur sekalian daripada bergabung dengan mereka! Kelompok ga jelas!”

“Tidak jelas? Hahahahaha.” Jenggo tertawa, “bagaimana kalau kami buktikan saja? Akhir-akhir ini JXG bergerak dengan gerilya, hanya mengeluarkan punggawa-punggawa mereka dan bertindak hati-hati. Tapi dalam waktu dekat – RKZ yang kamu bilang tidak jelas ini akan bisa memancing JXG turun gunung lebih cepat dan memporakporandakan PSG sampai tuntas. Untuk hal semacam itu tidak butuh waktu lama bagi kami, apalagi hanya menepuk lalat seperti Aliansi. Bagaimana? Hahahahaha.”

RKZ akan memancing JXG menghancurkan PSG? Apa maksudnya? Oppa berpikir keras, apa yang harus dilakukannya? Bergabung dengan RKZ berarti mengkhianati Lek Suman, tapi pimpinan RKZ ini bilang dia bisa mengadu domba PSG dan JXG untuk melakukan perang besar. Kalau bergabung dengan PSG, bukannya jadi aman, malah bisa-bisa dikorbankan saat perang melawan JXG.

Tedi yang sudah bisa kembali berdiri mendekati Oppa, demikian juga Kang Daan.

“Tidak ada salahnya mempertimbangkan penawarannya, Bos. Kita tidak perlu hijrah ke selatan hanya untuk jadi sapi perah yang terus menerus dipekerjakan oleh PSG,” ujar Tedi Ganesha, “apalagi kalau sampai PSG perang dengan JXG. Selatan akan membara. Tidak ada untungnya buat kita.”

Kang Daan menggeleng, “peperangan PSG dan JXG sudah tinggal tunggu waktu saja dengan muncul atau tidaknya RKZ. Mereka hanya memanfaatkan peluang di air keruh. Kita harus mengikuti apa kata Lek Suman, pengalamannya sudah pasti lebih banyak daripada kunyuk dengan rambut cingcau rambat ini. Jangan gegabah mengambil keputusan untuk kita semua.”

“Hahahahahahah. Silahkan ambil keputusan,” Jenggo menarik kartu dari kantung bajunya dan melemparkannya sembari mengedipkan mata ke Oppa.

Sbpb!

Lemparan kartu itu teramat kencang – begitu kencangnya sehingga kartu nama Jenggo bisa menancap di sebuah pohon. Ki yang ia miliki jelas bukan Ki main-main. Oppa menggelengkan kepala, dia tidak mengira level lawan-lawan yang dihadapi makin besar dan makin kuat. Salah pilih pohon tempat berlindung dan mereka akan tercerabut sampai ke akar-akarnya. PSG atau RKZ?

“Itu kartu namaku, ada nomer telepon yang bisa dihubungi di situ. Silahkan ambil keputusan secepatnya. Jika tidak menghubungi kami dalam seminggu ini – kita akan bertemu lagi di kesempatan lain sebagai lawan. Hahahahaha.” Jenggo menyeringai sambil menjilat bibirnya sendiri, “kalau ada sumur di ladang boleh kita menumpang mandi. Kalau ada cah bagus mandi, boleh kita ikut nyabuni. Hahahahahah.”

Oppa bergidik ngeri sekaligus jijik. Bangsat! Anjim! Jijay! Wedhus!

Ketiga orang aneh itu melangkah pergi dari Ndalem Banjarjunut. Sayup-sayup terdengar Jenggo mendendangkan lagu It’s Raining Men.

Pimpinan RKZ begini amat yak?

Oppa harus segera mengambil keputusan. Ia memandang satu persatu kawan-kawannya yang hadir pagi itu. “Bagaimana menurut kalian?”

Kang Daan dan Tedi Ganesha berhadapan. Keduanya saling mendekat dan saling pandang, masing-masing tahu kalau saling berbeda pendapat. Apalagi keputusan penting ini akan menempatkan mereka pada kelompok yang berbeda dan akan berseteru suatu saat nanti. Dua kubu sudah tercipta, KSN hanya tinggal ambil suara.

Oppa tahu jika dia tidak segera mengambil keputusan, ataupun jika dia salah mengambil keputusan, pasti KSN yang sudah tercerai berai ini akan terbagi-bagi. Dukungan dari Lek Suman dan PSG jadi harga yang harus ditebus.

Mana pilihan yang terbaik?

Don Bravo yang mengamati dari kejauhan hanya bersidekap sembari sesekali mengunyah bengkuang. Ia bersandar ke pagar dan duduk di lincak dengan santai. Kori duduk di sebelahnya.

“Bagaimana menurutmu, dab?” tanya Kori sembari tersenyum lebar.

Don Bravo terkekeh, “Apapun keputusan Oppa, KSN sudah pasti akan terbelah. Sebagian akan ke PSG, sebagian mungkin berminat ikut RKZ, sebagian lagi bisa jadi akan mencoba membuat kelompok sempalan-sempalan baru tapi pasti hanya akan habis tergerus masa. Aku malah penasaran kira-kira panjenengan akan melabuh kemana, dab. Terlalu misterius tidak akan baik untuk kesehatan, lambat laun siapa panjenengan akan terbongkar juga. Kekekeke. Ini bukan ancaman, ini kenyataan.”

Kori tertawa, ia menepuk pundak Don Bravo.

“Aku hanyalah Scooby-Doo yang diutus oleh monster untuk bersembunyi di belakang monster lain, mas dab. Kekekeke.” Kori mengangkat bahu, “aku sih masa bodoh. Semakin besar monster tempatku bersembunyi – justru semakin bagus. Mudah-mudahan Oppa bisa memutuskan dengan benar karena aku sudah tidak sabar melihat kelompok-kelompok besar ini saling bunuh. Kota bisa aman tanpa ada yang harus turun tangan.”

Don Bravo tersenyum sinis, “dasar oportunis. Kesempatan dalam kesempitan. Memanfaaatkan geliat dalam sempak kekecilan.”

Kori tertawa lagi.





.::..::..::..::.





Rupanya kedatangan rombongan motor NWO-lah yang akhirnya berhasil mengusir semua anggota RKZ yang lantas pontang panting melarikan diri ke segala arah. Situasi jelas sangat menguntungkan bagi Lima Jari dan Amar Barok. Entah bagaimana caranya, para petinggi RKZ sudah tahu lebih dulu mengenai kedatangan pasukan NWO, sehingga mereka dapat kabur lebih cepat dan meninggalkan kroco-kroco di belakang tunggang langgang masuk ke kampung-kampung.

Yang penting pertarungan hari ini sudah usai.

Motor-motor NWO diparkir di sepanjang jalan dengan sebagian besar anggotanya turun untuk berjaga dan membantu membersihkan area.

Lima Jari beristirahat di tepian trotoar sambil menarik napas lega. Akhirnya pertarungan yang menghancurkan semangat pagi itu usai juga.

Sebenarnya sudah bukan rahasia - tentu saja Amar Barok akan dibantu oleh Dinasti Baru! Itu sudah jelas, hanya tinggal tunggu waktu sebelum mereka datang – apalagi lokasi bengkel Amar ada di kawasan tengah yang tidak jauh dari basis operasi Dinasti Baru. Kedatangan mereka yang terlambat dapat juga dijadikan penunjuk kalau Amar Barok sangat dipercaya untuk bisa mengatasi orang-orang RKZ tanpa perlu bantuan pasukannya sendiri.

Amar Barok menepuk pundak Deka, “kalian tidak apa-apa?”

Deka membalas dengan tersenyum sinis dan memukul dada sang kakak. “Bangsat, jangan pernah sok jago di depanku lagi.”

Amar mengangguk, ia menarik bungkus rokoknya dan menarik sebatang. Korek api dinyalakan dan batang rokok itu segera menyala. Asap membumbung ke udara. “Tidak akan lagi. Sudah cukup pertarungan hari ini. Kami yang akan membersihkan jalan, kalian balik ke utara saja.”

Nanto dan kawan-kawan dari lima jari setuju.

Dinda duduk di dalam bengkel yang kini sudah dibuka kembali. Kedua kakak beradik itupun menatap sang gadis idaman dengan pandangan yang sama-sama lega, setelah semua yang terjadi tadi, yang paling penting adalah Dinda selamat.

“Kamu tidak apa-apa?” Deka mendekat ke arah Dinda dengan senyum lebar. Ia memegang tangan gadis itu erat. Dinda tersenyum dan mengangguk. Gadis itu berdiri dan menggandeng Deka ke arah Amar yang duduk di tepian trotoar sambil melihat rombongan NWO merapikan jalan di depan bengkelnya. Meski preman, mereka tetap punya aturan.

“Mas Amar, Mas Deka...” Dinda mendatangi pria gagah itu bersama Deka. Ia mengangkat tangan Amar dan menggenggamnya erat, Dinda kini menggandeng tangan kedua kakak beradik itu bersamaan. “...aku memutuskan untuk tetap...”

Belum sempat Dinda berucap, kalimatnya terpotong.

“Woy woy woy!” Bian menghampiri Deka, ia mendorong pundak sang sahabat. “Apa-apaan ini!? Siapa cewek ini? Mau kamu kemanakan Ara? He? Jangan macem-macem, Ndes! Ora well babar blas! Ara itu sudah kayak satu bagian dari kita! dia jari keenam, Ndes!”

“Bi, ini bukan saat yang tepat.”

“Saat yang tepat gimana?”

“Kamu memotong di saat yang salah, sumpah. Pasti nanti aku jelasin ke kalian semua. Biar Dinda bicara dulu, nanti aku akan...” Deka berusaha menenangkan Bian yang wajahnya berubah serius, dia melirik ke Dinda yang kembali khawatir melihat adu mulut Bian dan Deka.

“Mas... aku tidak mau kalian...”

“Tenang, Din. Aku yang akan menyelesaikan ini.” Deka berbalik untuk menatap teman-teman lima jarinya yang bertanya-tanya. “Kalian tenang, aku bisa menjelaskan semuanya. Tapi aku mohon beri aku waktu...”

“Kalau kami sih tidak butuh penjelasan.” Terdengar seseorang memotong kalimat Deka.

Jboooookghhhh!

Pukulan kencang mengarah ke wajah Roy. Dia terhempas ke belakang karena tidak mengira akan ada orang yang menyerang secara tiba-tiba. Semua anggota Lima Jari terkesiap karena terkejut. Bahkan Amar Barok pun terbelalak.

Tapi Roy sudah jatuh dan Lima Jari langsung bersiaga.

Edi Jerangkong berdiri di hadapan pasukan NWO yang berwajah buas. Mereka siap mendukung orang yang baru saja merobohkan Roy. “Kalian pikir pertarungan hari ini sudah selesai? Pertarungan hari ini justru baru dimulai, bangsaaaaaat!”

Roy dan Bian menggemeretakkan gigi hampir bersamaan, ini orang yang kemarin mereka habisi di warung lele. Tak disangka akan secepat ini berjodoh kembali dengan mereka.

Sepertinya pagi ini urusan masih panjang.

Edi berteriak kencang. “Heaaaaaaaaaa...”

Boom!

Edi Jerangkong terlempar ke belakang empat meter jauhnya dan terguling-guling. Wajahnya terantuk aspal berulang kali. A-apa yang barusan membuatnya terlempar? Edi Jerangkong berusaha bangkit untuk mengamati satu persatu anggota Lima Jari.

Roy? Bukan, dia baru mulai berdiri setelah tadi ia pukul.

Bian? Bukan, dia masih berdiri di dekat Deka dan Amar dan memasang kuda-kuda.

Deka? Bukan juga, dia baru saja melepaskan gandengannya dari cewek yang keluar dari bengkel dan sekarang memainkan double-stick-nya dengan wajah buas.

Hageng sang T-Rex? Raksasa itu berdiri dengan menggemeretakkan jari-jemarinya sambil mendengus kesal. Dia baru saja membantu Roy berdiri, jadi bukan dia.

Satu-satunya orang yang bisa melemparkannya adalah...

Nanto melangkah pelan dan berdiri di depan semua anggota Lima Jari. Wajahnya bengis mengerikan, matanya menatap tajam, tangannya terkepal. Dengan kemampuannya saat ini, Edi Jerangkong jelas tidak bisa merasakan aura Ki yang menyala hebat dari si Bengal.

Amar Barok menatap Nanto dengan wajah terkejut. Kemampuan bocah ini...

“Tidak ada.” bisik Nanto sambil menunjuk ke arah Edi Jerangkong, “Tidak ada orang yang dapat pergi dari tempat ini hidup-hidup setelah memukul temanku. Paham?”

Edi Jerangkong menggemeretakkan gigi dengan geram, mana bisa dia diam saja diancam seperti itu! Memangnya siapa mereka? Bocah kemarin sore sudah kurang ajar! Teriakan-teriakan anggota NWO yang tidak terima dengan perlakuan Lima Jari pada Edi Jerangkong membuat NWO langsung meradang.

Edi tersenyum sinis pada Nanto, ia mengayunkan tangan. “seraaaaaaaaaaaang!!”

Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrr!!

Bledaaaaam! Bleddaaaaaaam! Bleddaaaaaaam!


Sentakan tenaga besar Raungan Singa Emas membentuk angin kencang yang membelah dan memisahkan pertarungan antara Lima Jari dan NWO, bebatuan terlempar kencang menimbulkan suara keras memekakkan. Nanto dan Edi sama-sama dipaksa mundur teratur.

“Apa-apan kalian ini!?” Amar Barok dengan kesal berdiri di tengah antara NWO dan Lima Jari. “Kita baru saja selesai melakukan pertarungan dengan RKZ! Bukannya memutuskan apa yang harus kita lakukan dengan bajingan-bajingan itu, sekarang malah bikin urusan tambah runyam dengan mereka yang sudah membantu kita! Kenapa NWO harus cari masalah dengan Aliansi?”

“Hah!? Aliansi? Kami tidak ada urusan dengan Aliansi! Persetan dengan mereka! Mereka ini kemarin menyerangku dan dua teman lain! Masa tidak dibalas?” Edi membalas dengan kesal sambil menunjuk ke arah Roy dan Bian.

“Pasti ada alasannya. Mereka tidak akan menyerangmu tanpa alasan!” Amar membela dan berdiri di depan Lima Jari, dia sempat melirik ke arah Roy dan Bian yang tak gentar ditantang oleh Edi Jerangkong. Amar kembali membalikkan badan dan menatap mata Edi dengan tajam, “aku kenal mereka sejak lama, jadi kalau ada apa-apa...”

“Bang Amar! Bocah itu juga yang kemarin hari bikin masalah dengan Om Kimpling dan unit Slayer Biru malam-malam!” anggota Slayer Biru yang pagi ini hadir mengingat Nanto yang pernah berurusan dengan NWO kala itu.

“Itu salah paham saja.” Amar mencoba memberikan alasan. “Aku juga hadir di sana, kan?”

“Amar.” terdengar sebuah suara yang berat dan tenang, suara yang membuat Amar Barok tertegun. “hanya karena mereka adikmu dan teman-temannya, bukan berarti kita akan selalu mengampuni mereka. Sudah dua kali kita dipecundangi tanpa bisa membalas, masa begitu terus? Kita juga punya harga diri yang harus ditegakkan, mau diletakkan di mana muka kita kalau harus terus menerus mengalah pada sekumpulan bocah seperti mereka? Kamu sebagai panglima Dinasti Baru seharusnya paham hal itu.”

Suara itu berasal dari sosok seorang pria yang baru hadir di arena. Kedatangannya disambut dengan diamnya seluruh anggota Dinasti Baru, mereka menyibakkan barisan untuk memberikan jalan bagi sang pria yang sangat dihormati itu. Ia berjalan dengan tenang setelah datang hanya dengan mengendarai sebuah vespa tua biru yang warnanya lapuk. Tidak ada seorang pun anggota Dinasti Baru yang berani menatap wajahnya, kecuali Amar dan Edi yang sama-sama terkejut melihat kehadirannya.

Amar segera menundukkan kepala, memberi hormat. “Salam, Ketua.”

Edi juga melakukan hal yang sama, dia sama sekali tidak menyangka pagi ini dia akan melihat sosok yang sangat diagung-agungkan oleh Dinasti Baru. Pria kurus berjuluk Jerangkong itu terbata-bata, “Se-selamat pagi, Ketua.”

Deka menghela napas panjang.

Gawat. Urusannya bakal tambah panjang dan gawat kalau ketua Dinasti Baru juga turun tangan. Mungkin ada baiknya kalau mereka minta maaf dan tidak menambah daftar panjang kesalahpahaman di antara NWO dan Aliansi. Ya, mungkin itu yang harus...

HAH!?

Deka terbelalak.

Semua orang terkejut ketika tiba-tiba saja Nanto berjalan santai dengan tangan diselipkan masuk ke saku celana menuju ke orang nomor satu Dinasti Baru. Si bengal menghentikan langkah sang ketua sebelum ia mencapai posisi Edi dan Amar, ia berdiri di tengah-tengah mereka.

Si bengal dan ketua Dinasti Baru beradu pandang, sikap mereka tenang, tapi sudah siap untuk sama-sama menantang.

Si Bengal menatap orang yang baru hadir tanpa rasa takut sedikitpun.

“Bo-bocah itu!” Amar mendesis ngeri.

“Nanto!” Deka dan kawan-kawan lima jari saling berpandangan.

Nanto tak tergoyahkan oleh apapun.

“Semua masalah berawal dariku, jadi aku yang akan bertanggung jawab, bukan Bang Amar, bukan teman-temanku.” Nanto berdiri tegap di depan sang ketua Dinasti Baru yang wajahnya masih ditutup slayer dan helm. “Aku yang mengawali, aku yang akan menyelesaikan.”

“Hahahaha, sudah siap mati sepertinya.” Sang ketua tertawa memperhatikan Nanto sembari melepas helm dan kain slayer-nya dengan tangan kanan. Matanya tajam menatap si bengal, sementara tangan kirinya terkepal. Ki-nya menyala. “Baiklah. Mari kita selesaikan.”

Nanto mengangguk.





BAGIAN 5-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 6



BONUS KONTEN

 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd