Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
BAGIAN 12
TEMANI AKU






Burung kecil dalam sangkar,
kalau kamu tidak mau bernyanyi untukku.
Maka aku akan memaksamu bernyanyi.
- Toyotomi Hideyoshi




Nanto berdiri dengan tegap, tak ada lawan dan kawan yang berani mendekat – kecuali tentu saja Lima Jari yang sudah menunggu kedatangannya. Hageng, Bian, dan Deka buru-buru berlari menghampiri sang kawan karib. Wajah bahagia tergambar jelas di wajah mereka.

“Nyuuuuk! Dari mana aja kamu!?” Bian berlari menghampiri dan memukul pundak Nanto.

Pemuda bandel itu berkaca-kaca karena begitu banyak masalah yang rasa-rasanya baru akan terlepas kalau ia sudah bisa melihat dan berdiri tegap bersama si Bengal. Dia tahu Nanto bukanlah alien super bercawet merah yang bisa terbang dan menembakkan sinar dari kedua matanya, dia juga tahu Nanto bukanlah seorang mutan yang bisa mengeluarkan tiga pisau dari punggung tangan dan selalu bisa sembuh dari luka apapun dalam sekejap.

Tapi si Bengal adalah si Bengal. Dia memiliki aura yang berbeda yang membuat siapapun yang bersamanya tahu kalau mereka akan memenangkan sesuatu saat berdiri sejajar dengannya. Saat bersama Nanto, anak-anak Lima Jari tahu kalau semua seakan akan baik-baik saja. Keberadaannya semenentramkan itu.

“Roy... dia sudah... dia sudah...” terbata-bata Bian mencoba menjelaskan. Antara terengah, excited, tapi juga sedih harus mengungkapkan kenyataan yang terus menerus ia ingkari. Tapi dia harus segera mengutarakan kegundahannya. Saat ini juga. Tidak bisa lagi dipendam dan menunggu lama. Dia sudah tidak tahan lagi.

Nanto mengangguk paham, wajahnya juga menyiratkan kesedihan luar biasa, matanya berkaca-kaca. Tanpa babibu si Bengal langsung merangkul Bian erat dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memukul lengan saudara kembar Roy itu dengan perlahan. “Maaf aku lebih lama dari seharusnya, setelah membaca pesan di grup aku langsung secepat kilat pulang. Memang butuh waktu, tapi jangan khawatir, aku sudah di sini sekarang.”

“Aku tahu kamu pasti langsung baca pesan-pesan di grup WhatsApp kita.” Bian bergetar. “Roy... dia... kita tidak dapat menemukan dia, sudah seminggu ini kami mencarinya tanpa hasil. Aku tidak tahu harus mencari kemana lagi...”

“Kita pasti akan menemukannya. Pasti. Demi apapun aku akan menemukannya. Bahkan kalau perlu akan aku obrak-abrik seluruh kota ini untuk mencarinya.” Nanto merasa sangat bersalah karena dia baru bisa membuka smartphone-nya tepat seminggu setelah laku tapa brata selesai ia jalani. Demikian juga dengan smartphone Kinan dan Hanna yang sama-sama dimatikan karena takut akan ada gangguan.

Betapa kagetnya ia membaca pesan dari anak-anak Lima Jari mengenai kejadian yang menimpa Roy di WhatsApp dan langsung buru-buru pulang untuk menemui kawan-kawannya.

Hageng ikut merangkul si Bengal. “Akhirnya datang juga, dab. Kedatanganmu tepat waktu zekali. Tepat di zaat Alianzi dan Lima Jari butuh boz-nya. Itu orang-orang RKZ yang datang tanpa permizi memang minta digaplok. Mereka datang untuk memakza kita bergabung, kalau kita tidak mau bergabung, mereka mengancam akan ambil tindakan. Zeperti yang zudah mereka lakukan ke KZN.”

Deka bersidekap di depan Hageng, Bian, dan Nanto yang saling merangkul. Ada bayang bening di pelupuk matanya. Si Gondes geleng-geleng kepala sembari tersenyum bahagia. Keberadaan si Bengal memang semenentramkan itu. Hatinya yang berulang kali diuji dan pikirannya yang terselimuti kabut mendadak menjadi cerah. “Pulang dan langsung pamer. Bajingan memang. Mbois kowe, Su.”

“Karena wedhus-wedhus ini perlu dikasih pelajaran,” ucap Nanto sembari mendengus kesal. Ia menatap orang-orang RKZ yang masih berada di tempat itu dengan pandangan mata tajam yang seolah-olah sanggup membelah tubuh mereka itu hanya dengan sekali kedip.

Lepas dari rangkulan Bian dan Hageng, si Bengal melangkah ke depan menuju ke batas antara Aliansi dan RKZ. Dia membalikkan badan dan berbicara langsung pada seluruh anggota Aliansi yang ada di depannya – berbicara seolah-olah RKZ tak mendengar, padahal mereka ada di belakangnya persis.

“Tidak perlu ditegaskan karena kalian semua pasti sudah tahu. Aliansi tidak akan pernah bergabung dengan gerombolan bajingan seperti RKZ. Buat apa? Tidak ada gunanya. Mereka mau main kasar karena kita tolak? Biar saja. Biar saja mereka mencoba kalau mampu. Kita justru harus berusaha keras untuk membumihanguskan kelompok-kelompok tae kocheng seperti RKZ dan sebangsanya yang meresahkan,” ucap Nanto tegas – memastikan di mana posisi Aliansi berada.

Aliansi dan RKZ? Berseberangan.

Para anggota Aliansi yang ada saat itu bersorak-sorai. Rao dan Simon tersenyum lebar. Beni Gundul tertawa sembari geleng-geleng kepala dan menyelipkan tangannya ke dalam saku celana.

Hageng tertawa puas. Raksasa itu kemudian dengan jumawa berkacak pinggang sembari tersenyum lebar ke arah orang-orang RKZ. “Nah, kalian zudah dengar zendiri apa keputuzan pimpinan kami!” Matanya tajam menatap ke arah orang-orang RKZ yang belum meninggalkan markas Sonoz. “Kalian ini benar-benar nekat, berani-beraninya datang ke markaz Alianzi sambil petentengan! Zudah tidak diundang, ga bawa oleh-oleh bakpia pula! Apa ya minta dibelah bijinya?”

Si Bengal meninggalkan ketiga temannya dan melangkah menuju Galung, Gamal, dan Agun yang ia anggap merupakan perwakilan utama dari RKZ kali ini.

Ketiganya menatap Nanto dengan pandangan yang ngeri-ngeri sedap. Mereka pernah bertemu di depan bengkel Amar Barok dan menjadi saksi kemampuannya. Tapi apa yang mereka lihat hari ini sangat berbeda dengan apa yang mereka lihat saat pertama kali berjumpa dengannya. Mereka seperti berjumpa dengan orang lain, dengan sosok yang berbeda bumi langit.

“Kalian sudah lihat apa yang bisa aku lakukan. Kalian sudah tahu apa yang aku mampu. Jadi aku tunggu niat baik dari kalian untuk segera meninggalkan tempat ini tanpa pertumpahan darah. Mumpung kami masih mau bersikap baik. Ini bukan ancaman, hanya sekedar memberi saran berdasarkan pengalaman yang aku punya,” Nanto menatap satu persatu mata para cecunguk RKZ di depannya. “Pengalaman yang aku punya adalah menghajar begundal seperti kalian.”

Agun berdiri tegap, dia mendengus dan menyeringai. Dia berdehem dan mencoba tampil berani meski jantungnya berdegup kencang. “Kamu... kamu pikir kamu sudah punya kemampuan taraf dewa? Apa yang kamu lakukan sekarang akan berimbas pada keselamatan seluruh anggota Aliansi. Kalian bakal dimusnahkan oleh RKZ. Ini bukan ancaman, ini bukan janji, ini juga tidak berdasarkan pada pengalaman. Ini kenyataan yang akan segera terjadi.”

Dab.” Nanto mendekatkan wajah ke punggawa RKZ itu, lalu mengernyitkan dahi dan mundur dua langkah. Si Bengal geleng kepala. “Ngomongmu gede, uratmu kenceng, tapi jigong-mu ambune ra umum. Baunya gila. Nggaya yo nggaya tapi ojo lali sikatan to, Dab. Kapan-kapan jangan lupa sikat gigi.”

“Munyuk! Bajingaaaaaaa...” Agun ke-triggered. Dia melaju ke depan sembari melontarkan pukulan kencang. Tangannya melesat dengan cepat, sasarannya rahang si Bengal. Tapi alih-alih menghindar atau mengangkat tangan untuk menahan serangan, si Bengal justru membiarkan pukulan itu masuk secara telak!

Bdkkkgh!

Tidak ada perlawanan? Rugi sendiri!

Agun mundur beberapa langkah ke belakang, mengambil ancang-ancang, menggoyangkan badan, mengangkat kedua tangan di depan wajah, membentuk benteng pertahanan sekaligus siap menghentak lawan dengan badai pukulan. Tanpa menunggu lama, dia melepaskannya. Tidak satu, tidak dua, tidak tiga, tapi enam pukulan beruntun!

Bdkkkgh! Bdkkkgh! Bdkkkgh! Bdkkkgh! Bdkkkgh! Bdkkkgh!

Tangan kanan dan kiri Agun bergerak cepat, menghentak, mundur, bergoyang, lalu dilepaskan. Berulang dan bertubi. Secara alami, Agun memang punya latar belakang boxer. Dia tersenyum karena semua pukulannya masuk tanpa dapat ditahan atau dielakkan.

Padahal memang Nanto tidak berniat sedikitpun untuk menahan atau mengelak.

“Sudah?”

Agun tertegun. Matanya terbelalak saat menatap ke depan. Nanto berdiri terdiam tak kurang suatu apa, tergores pun tidak. Tidak mungkin!! Sama sekali tidak terluka!? Kok bisa!? Dia sudah menggunakan kekuatannya dengan begitu membabi-buta, masa sama sekali tak ada efeknya?

Pkgh!

Telapak tangan Nanto tiba-tiba saja sudah menempel di wajah Agun!

Susah payah pemuda RKZ itu mencoba meronta, tangan kanan dan kiri sekuat tenaga menggoyang lengan kanan Nanto yang tengah mencengkeramnya dengan sangat erat namun tanpa hasil. Justru si Bengal yang kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Agun. “Bagaimana? Bagaimana rasanya merasakan seluruh hidupmu serasa tersedot ke dalam rasa takut yang amat sangat? Apakah saat ini kamu membayangkan kematian? Berani melawan Aliansi lagi, dan itulah yang akan kalian hadapi. Tidak hanya sekali, tak cuma dua kali – tapi kami juga akan datang meneror kalian semua setiap hari, dalam sadar maupun mimpi.”

Melihat kondisi gawat, Galung dan Gamal buru-buru bangkit untuk membantu teman mereka. Tapi belum sampai selangkah mereka berjalan, si Bengal sudah mengangkat tangan kirinya yang bebas ke arah mereka. Tatapan matanya tajam dan dingin, ia memicingkan mata. Kedua orang anggota RKZ itu tidak mendengarnya mengucap lirih rapalan gerbang keenam.

Lir handaya paseban jati.

Booom!

Tubuh Galung dan Gamal terhenyak ke belakang karena sentakan Ki yang dilepaskan oleh si Bengal. Mereka terlempar bagai orang-orangan sawah tersembur badai, tercerabut dari tanah, dan terbang tanpa tahu arah.

Agun mencoba berteriak, tapi gagal. Cengkraman tangan si Bengal teramat kuat. Ini bukan cengkraman biasa, sepertinya ada Ki yang terlibat karena tenaga cengkramannya berlipat ganda. Si Bengal kembali mendekatkan wajahnya ke telinga Agun. “Pastikan menyampaikan pesan ini kepada Bos-mu, sampaikan dengan tepat tanpa dikurangi satu patah kata pun. Sampaikan... kalau kalian terus memaksa maka Aliansi akan melawan. Kalau perang yang kalian mau, maka perang yang akan kalian dapatkan.”

Usai mengucapkan kalimat tersebut, Nanto bergerak.

Si Bengal menarik kepala Agun ke arahnya sedikit, lalu sembari menjejakkan kaki dengan kencang, ia mendorong kepala Agun ke tanah dengan kecepatan tinggi. Tubuh sang anggota RKZ itu pun terjengkang ke belakang sementara cengkraman tangan si Bengal menyorongnya. Tubuh Agun terhentak sampai ke bawah, bagian belakang kepalanya terantuk tanah. Beruntung tanah itu cukup lembut karena hujan sehingga hentakannya tidak terlalu menyakitkan.

Brkgh!

Tetap saja keras. Hanya dengan sekali sentak, Agun pusing bukan main. Lama-lama ia hanya dapat melihat gelap. Kesadarannya menghilang.

Gamal dan Galung yang melihat kejadian itu menatap sengit ke arah si Bengal. Napas mereka tersengal-sengal, ini jelas bukan kali terakhir mereka akan bertemu! RKZ akan memberikan neraka ke Aliansi suatu saat nanti! Tunggu saja!

Buru-buru mereka menarik Agun yang pingsan dan meninggalkan lapangan Sonoz. Satu persatu anggota RKZ kabur mengikuti ketiga punggawa. Ada yang berlari, ada yang berjalan cepat, ada yang mengacungkan jari tengah sambil berjalan mundur. Semuanya pergi.

Pasukan Aliansi berteriak dan bersorak-sorai.

Don Bravo tersenyum melihat para anggota RKZ yang buru-buru kabur dengan penuh rasa kesal, penasaran, sekaligus takut. Mereka bingung harus berbuat apa saat melihat Nanto.

Sang pemakan bengkuang yang mengamati kejadian itu pun terkekeh, “Mereka pasti akan datang lagi. Dengan kekuatan yang lebih besar dan lebih mengerikan. Ini semua hanyalah lingkaran setan. Dendam berbalas dendam, yang kalah akan membalas yang kalah.”

Beni Gundul yang mendengar ucapan Don Bravo mengangguk setuju, ia menepuk pundak sang pemakan bengkuang. “Benar sekali dan itu sudah pasti. Itu artinya kita juga harus lebih siap, lebih kuat, dan lebih mengerikan dari sekarang. Mereka mengancam kita seakan-akan mereka adalah monster. Mereka tidak tahu kalau mereka juga sedang berhadapan dengan monster.”

Don Bravo terkekeh. “Monster apa yang kemana-mana bawa kunci Inggris?”

Beni Gundul tertawa.





.::..::..::..::.





Jurus yang pertama kali diperlihatkan dari ilmunya oleh Pasat pada sang Jagal adalah jurus pukulan beruntun yang dilakukan hanya dengan satu tangan - tangan kanan. Serangan itu cepat, buas, dan ganas. Melaju cepat tanpa jeda. Posisi tubuh menyamping, memudahkan untuk berkelit dan menghindar. Meski hanya dengan satu tangan, tidak berarti tangan kiri tetap diam. Selain untuk mengatur keseimbangan, juga disiapkan untuk serangan tak terduga atau penahan serangan.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Hunjaman ujung jari yang membentuk telapak kencang keras menerpa sisi lengan sang Jagal yang tak mengeluarkan balasan dan hanya bertahan. Tiap hentakan keras menghunjam bak sergapan baja pipih, padahal hanya sisi-sisi jari tangan, tapi sangat nyeri ketika tersambar. Entah apa yang sudah dilakukan oleh bocah ini untuk membuat tangannya hingga sampai bisa sekuat itu – Ki Kadar pasti tidak main-main saat melatih Pasat. Dia menyiapkannya untuk hal besar.

Napas Pasat diatur satu dua, dilepas dan ditarik panjang berulang dipadu dengan serangan cepat dan bertubi. Ki Kadar pernah bilang bahwa Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah awalnya adalah ilmu pedang di sebuah masa pada suatu ketika. Semakin kemari jurus ini diadopsi menjadi jurus tapak dan tendangan, karena penggunaan pedang semakin tidak praktis di masa modern. Oleh karenanya tangan dan kaki harus dilatih hingga bisa seefektif pedang.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

“Huff! Huff!” Pasat mulai kebingungan mencari celah di pertahanan Jagal yang prima. Perbedaan kemampuan mulai terlihat. Meski Pasat sudah melepas jurusnya dan sang Jagal hanya bertahan, tapi tidak nampak peluang dan kelemahan dari sang punggawa JXG. Rapat sekali pertahanannya! Kualitas dan kuantitas pengalaman bertarung bertahun-tahun memang beda.

Meski begitu, Jagal juga sadar kalau pertahanannya tidak akan bisa bertahan lama dengan serangan membabi-buta Pasat yang berbahaya. Dia harus merubah arus serangan karena pertahanan terbaik adalah dengan menyerang.

Sulaiman Seno mengucap satu rapalan perlahan. “Wujud hana tan kena kinira.”

Tak menyadari Seno sudah mulai mengatur strategi, Pasat masih terus menyerang dari segala arah dengan hanya satu tangan yang bergerak lincah.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Jari jemari Pasat kian memerah karena tangannya yang sudah keras ternyata dihadang juga oleh lengan yang tak kalah keras. Baja menempur baja. Tapi kenapa tiba-tiba saja lengan Jagal bisa keras? Pasat sama sekali tak menduganya, sedangkan Jagal bisa melihat wajah heran tercermin di raut muka sang pemuda.

Sulaiman Seno mendengus, “bukan kamu saja yang bisa membuat tangan mengeras seperti baja, bocah.”

Setelah berkata seperti itu, Jagal mengubah arah tangan yang tadinya bertahan dan membuka jemarinya, membentuk cengkraman. Ketika sekali lagi Pasat mencoba menyerang dengan tapaknya, lengan Jagal menghindar, berputar dan satu kecepatan tinggi tangan pria tangguh itu lantas mencengkeram lengan Pasat yang belum sempat mundur. Serangan balik super kilat.

“Aaahh!”

Begitu cengkramannya tak terbalas, Jagal memutar lengan kanan Pasat ke arah berlawanan, memuntir lengan sekaligus badan sang pemuda hingga terbanting ke samping! Pasat kehilangan keseimbangan. Dia terjatuh!

Bdddkkghhhh!

Tubuh Pasat roboh terlempar ke samping, ke arah sebuah makam berukuran pendek. Pundaknya memar menghantam pinggiran makam. Sang pemuda berambut coklat itu mengernyit mencoba menahan sakit, tapi tak boleh terlalu lama. Tangan Jagal masih mencengkeram erat lengan Pasat. Pemuda itu berusaha lepas dengan bergulir, tapi kaki sang Jagal bergerak lebih cepat, telapak kakinya melesat menghunjam bak torpedo.

Jboooookkghhh!

Wajah Pasat terpapar telapak kaki sang Jagal. Wajah ditendang, belakang kepala terantuk kencang terkena nisan. Pandangan sang pemuda berambut coklat langsung berkunang-kunang. Bak harimau menerkam kijang, Pasat lumpuh dalam satu terjangan. Jagal tak berhenti, ia semakin buas. Cengkraman tangan kiri memegang lengan, tangan kanan menerjang leher. Mencekik sang pemuda rambut coklat.

“Hkkkkkghhh!”

Pasat meronta tanpa hasil, dengan asa perlahan mulai menghilang lenyap ditelan kenyataan. Dia makin bingung bagaimana harus melawan. Inikah akhir jaman?

“Apakah kamu dari QZK? Apa yang kamu lakukan di sini? Apa hubunganmu dengan Ki Kadar?”

Pasat menggeram, suaranya tak bisa keluar meski ia sudah mencoba. Tangan kirinya sudah berusaha keras tapi tak mampu menggoyahkan cengkraman tangan sang Jagal. Cengkraman tangan baja itu tidak main-main! Dia bisa mati kalau terus menerus dicekik seperti ini!

Bangsaaaaaaat!

“Aku tahu ilmu kanuragan yang kamu gunakan tadi hanya pernah dipraktekkan oleh Ki Kadar di kota ini. Yang tadi kamu lepaskan adalah bait pertama dari Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah yaitu Tapak Duka Nestapa. Apa hubunganmu dengan Ki Kadar? Apakah kamu QZK? Kenapa kamu mengikutiku?”

Demi apa Pasat mau menjawabnya! Pasat hanya mendelik.

Kalaupun dia mau menjawab, cengkraman tangan sang Jagal membuatnya tak mampu berucap. Si bajingan satu ini memang semprul. Memaksanya bicara padahal sedang mencekik lehernya! Gimana bisa jawab coba?

Pasat tahu dia harus mengeksekusi gerakan dengan tangkas dan berpikir dengan lebih cepat. Apa yang pernah dipesan oleh Guru Rambut Perak-nya? Dalam sebuah pertarungan, rencanakan dua tiga langkah gerakan ke depan, pertimbangkan opsi dan implikasinya di angan. Seperti halnya motor, petarung harus selalu selangkah di depan - bahkan lebih.

Pandangan mata sang pemuda rambut coklat melirik ke arah kanan dan kiri, melihat dan mengamati posisi dan lokasi dalam sekelebatan mata saja, mencoba mencari peluang.

“Hkkgh!”

Pasat mencoba sekali lagi. Kali ini kakinya yang masih bebas mencoba bergerak. Mampukah ia menggunakannya untuk menendang selangkangan sang Jagal?

Jbkgh!

Ketika kaki kiri Pasat yang bebas mencoba naik, kaki Jagal juga bergerak untuk menahan dan mengunci gerakannya! Serangannya gagal dan malah berbalik kakinya yang terkunci! Wedhus! Sama sekali tidak ada celah kah? Cengkraman tangan Jagal makin kencang mencekik leher Pasat. Arus napasnya hampir terputus. Gawat, dia harus bertindak cepat kalau tidak mau mati konyol!

Fokus, fokus, fokus!

Apa yang disadari oleh Pasat kemudian? Ia menyadari kalau tangan kirinya masih bebas, sedangkan kedua tangan jagal tidak. Manfaatkan.

Jbooooogkkh!

Pasat menghajar perut sang Jagal yang tak terlindungi. Jagal mengernyit karena kaget juga nyeri, tapi cengkramannya tak lepas. Pasat senang karena setidaknya ada reaksi! Ulangi lagi! Ulangi terus sampe modaaaaaaaar!!

Jbooooogkkh! Jbooooogkkh! Jbooooogkkh! Jbooooogkkh! Jbooooogkkh!

Cengkraman tangan Jagal merenggang. Ia mundur karena sodokan bertubi di perut membuatnya kehilangan fokus untuk bertahan dari serangan sang pemuda berambut coklat.

Tangan kanan Pasat mencoba meronta untuk lepas.

Berhasil.

Kedua tangan Pasat segera bergerak sejajar di depan dada. Jemari dan telapak tangannya lurus dan tegak, bagai pedang. Pasat mulai menarik kedua tangannya ke bawah, lalu dilepaskan ke atas menghunjam dada dan tenggorokan sang Jagal dengan kuat dan berkecepatan tinggi.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Berulang, diulang, diulang, diulang, diulang, dan kembali diulang. Serangan tangan Pasat benar-benar menyesak dada dan leher sang Jagal, membuat pria itu tersedak dan melepaskan cengkramannya pada sang pemuda berambut coklat.

Pasat tahu dia tak akan memenangkan pertarungan ini. Sulaiman Seno lebih tangguh, lebih sigap, lebih tangkas, dan lebih taktis. Dia harus melakukan hal yang tak terbayangkan oleh sang Jagal untuk bisa lepas dari terkamannya. Pasat berguling ke samping dengan cepat, bergulir, mengangkat tubuh, dan langsung melompat dari satu makam ke makam lain memanfaatkan kelenturan tubuhnya dan juga memanfaatkan nisan yang besar dan kokoh sebagai pijakan dan tumpuan.

Seno memegang lehernya yang tercekat setelah disodok Pasat tadi. Ia mengumpat karena bisa saja dia tadi mati kalau posisi serangan si pemuda rambut coklat telak menghajar jakun. Untung saja hanya tipis mendesak karena dia sempat mundur. Wasu. Beginilah kalau tidak lengkap menguasai Kidung, dia tak bisa membuka gerbang pertama yang meningkatkan kewaspadaan. Bisa-bisanya dia didesak bocah bau kencur begini!

Jagal berteriak kencang untuk melonggarkan tenggorokan sekaligus meningkatkan Ki dan mengalirkannya ke seluruh tubuh. Sembari mendengus-dengus bak binatang buas, mata sang Jagal menelisik ke kanan dan ke kiri. Memindai wilayah makam untuk mencari posisi sang sasaran. Kemana bocah itu sekarang?

Tidak kemana-mana.

Setelah berhasil bergulir dan lolos dari cengkraman tangan baja Seno, Pasat melompat dari satu makam ke makam lain untuk mengembalikan napas sekaligus mengatur strategi. Dia tak pernah lupa satu pesan sang guru. Saat bertarung dan melepaskan tindakan, atur strategi untuk dua tiga gerakan ke depan, perhatikan juga opsi seandainya serangan itu gagal. Inilah hasilnya.

Meski sudah berusaha mengalirkan Ki, tapi Jagal tak bisa mengingkari kalau lehernya kesakitan. Bocah itu menguasai Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah – setahu Jagal ilmu kanuragan ini punya lima jurus utama yang disebut bait. Bait pertama sudah ia lepaskan tadi, jurus tangan pedang baja yang disebut Tapak Duka Nestapa.

Apa selanjutnya?

Secara tiba-tiba satu tendangan kencang merombak wajah sang perwira JXG. Sebuah tendangan setengah lingkaran yang diledakkan oleh Pasat sembari melompat dari atas kubah satu makam berukuran besar. Sembari memutar tubuh, tendangan itu semakin kencang dengan energi dari putaran yang dilakukan.

Jduaaaaaaaaaaagkh!!

Seno terlempar ke samping saat kepalanya terpapar tendangan. Posisi tubuhnya goyah dan tergeser, tapi ia masih tetap teguh berpijak. Saat kembali tegak, lagi-lagi ia tak dapat melihat Pasat. Sang Jagal mendengus, kecepatan bukan masalah. Ia hanya tinggal membuka gerbang...

Jduaaaaaaaaaaagkh!!

Sang Jagal terhenyak ke samping. Tendangan tepat di rahang, membuat tubuhnya melayang. Bukan rasa sakit yang membuat sang Jagal penasaran, tapi rasa malu bukan kepalang! Bagaimana mungkin si pemuda berambut coklat yang lemah itu bisa menendangnya dengan kekuatan seperti ini dua kali? Mempermalukan dirinya!

Merasa di atas awan, Pasat belum mau berhenti.

Ia menekuk kakinya ke belakang, memutar badan, dan melepaskan tendangan sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, bertubi bak gattling gun ke arah satu sasaran yang sama. Rahang, wajah, badan, dan lengan sang Jagal, menumbuk perwira JXG hingga jatuh ke satu makam dengan pinggiran semen.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Seno bahkan harus mengangkat tangan untuk menahan serangan yang tak bisa ia elakkan itu. Lagi-lagi ia mengutuk dirinya yang tak dapat sempurna menguasai Kidung Sandhyakala. Bukan rasa sakit, tapi rasa malu karena dirinya dijatuhkan oleh bocah yang masih hijau.

Sulaiman Seno mengerahkan kemampuannya. Sebelum ia benar-benar jatuh, telapak tangannya sudah menghantam makam. Digunakan sebagai tumpuan, ia memutar badan, melenturkan tangan, dan segera melepaskannya dengan sekuat tenaga.

Angkara gung ing angga anggung gumulung.

Bledaaaaaaaaaam!

Satu kubah makam terbongkar. Meski tidak hancur, tapi remuk di beberapa bagian. Jelas bukan itu yang diinginkan sang Jagal. Yang diinginkannya hanya Pasat. Paling tidak hantaman tadi mencegah ia jatuh secara memalukan. Sekarang kemana perginya bocah itu? Tiba-tiba saja menghilang tak terlihat?

Mau main-main? Boleeeeh! Sulaiman Seno berdiam diri dan memejamkan mata, bibirnya berbisik mengucap rapalan. Ia memusatkan perhatian dan tak berapa lama kemudian mendengus kesal. Ia kesal karena sejak tadi merasa dipermainkan oleh permainan bocah.

Ternyata hanya begini saja.

Dengan satu lompatan tinggi, Seno menerjang ke arah kubah satu makam besar yang menaungi dua makam dengan nisan berkepala dua malaikat. Sesampainya di sana, ia lalu melepaskan pukulan ke salah satu bagian dinding kubah yang lapang.

Bledaaaaaaaaaam!

Pukulannya tidak menghancurkan makam, tapi tenaganya menyalur ke belakang kubah.

“Haaaaaaaaaargh!” terdengar teriakan menyayat. Pasat yang awalnya menggunakan kubah demi untuk sembunyi dan meloncat, kini terhenyak ke belakang dengan rusuk terhampar Ki yang diledakkan oleh sang Jagal dari balik dindingnya.

Sialan! Tidak boleh semudah ini kalah!

Sempat terguling dan terjatuh, buru-buru Pasat bangkit dan melesat. Dia masih berusaha menggunakan strategi hit and run.

“Kemana lagi, bocah!?” Sang Jagal meloncat dan menendang.

Jboookkgh! Brrkgh!

Satu makam terkena tendangan, lapisan semennya ambyar. Pasat meloncat menjauh, mencoba menghindar dari serangan. Mati-matian ia melompat.

Jboookkgh! Brrkgh!

Satu makam lagi nisannya terlepas karena serangan Jagal. Pasat tak ingin melihat ke belakang. Jelas dia tidak mau bernasib seperti nisan itu! Ia pun melompat, melalui kubah, menyusuri lorong, dan menaiki pagar beton. Dari sudut ke sudut, loncat, lari, dan lalui semuanya.

Jboookkgh! Brrkgh! Jboookkgh! Brrkgh! Jboookkgh! Brrkgh!

Entah sudah berapa makam yang harus diperbaiki karena ulah Jagal yang melepaskan amukannya. Tapi dia masih belum berhasil menjangkau Pasat. Mereka berkejar-kejaran dengan kecepatan tinggi, melompat, menghindar, bertaut, bertengger, dan berputar.

Sampai akhirnya sang pemuda berambut coklat itu berdiri di tepian pagar terjauh. Tepat di bibir jurang di samping sungai kering berbatu.

Jagal mendengus, lalu mengangkat tangan dan merapal satu kalimat. Ia membuka gerbang keenam. “Lir handaya paseban jati.”

Jbooom!

Jarak mereka cukup jauh, tapi tenaga sang Jagal sedemikian besarnya. Sentakan Ki-nya membadai. Pasat tak bisa menghindar. Pemuda berambut coklat itu hanya bisa terbelalak saat tubuhnya terbang, ia berteriak kencang, tapi terlambat. Tubuhnya terlempar ke belakang, terjun bebas ke arah sungai kering dengan tebing terjal.

Pasat memejamkan mata.

Akankah ia mati saat ini juga?

Sang pemuda berambut coklat itu pun menghilang di batas tebing setelah terjatuh dari pagar ke arah sungai kering dengan batu-batu raksasa. Dari ketinggian ini, dia tak akan bisa selamat.

Jagal meloncat sekali lagi. Ia sampai di tepian ujung terluar makam dengan mudahnya. Pria itu melongok ke bawah, ia bersiap pada kemungkinan akan melihat tubuh Pasat yang sudah pecah kepalanya di atas bebatuan.

Seno mengernyit.

Dia tak melihat apa-apa, tak ada siapa-siapa di bawah sana. Bocah itu tak kelihatan. Kepalanya melongok ke kanan, melongok ke kiri. Tapi dia tidak menemukan apapun. Si bangsat itu bisa lolos dari jurang sedalam ini? Bagaimana bisa?

“Kampret.”

Bkgh!

Sulaiman Seno mendengus kesal dan menghantam tembok beton karena kesal. Ia tak dapat melihat tubuh sang bocah berambut coklat brengsek tadi di mana pun. Tidak mungkin ia bisa pergi dengan cepat dan selamat semudah itu kalau melihat posisi jatuhnya.

Jadi apa yang sebenarnya terjadi?

Ponsel Jagal berdering.

Tentu saja dia tidak mengangkatnya karena masih penasaran dengan arah kepergian Pasat, alih-alih mengangkat panggilan yang masuk, sang Jagal justru mengamati sungai di samping makam. Sang pemuda berambut coklat itu bisa merepotkannya kelak, jadi sebisa mungkin segala masalah dengannya dituntaskan segera, ia harus dibungkam. Tapi Pasat tak kelihatan di arah manapun, di sungai di bawah tidak mengalir banyak air, batu-batu menonjol besar terlihat bak monster yang siap menghajar kalau ada yang terjatuh ke sana.

Sepertinya tidak mungkin dia jatuh atau terjun ke bawah, tapi bagaimana caranya dia bisa selamat? Ajaib kalau memang bisa. Pasti sangat-sangat beruntung. Pasat menghilang bak ditelan bumi.

Jagal mendengus kesal karena masih penasaran. Ke mana perginya bocah itu? Bahkan Ki-nya pun tak bisa terbaca oleh sang Jagal.

Smartphone Jagal tak berhenti menyalak dan terus menerus bergetar, bagai bocah kecil yang merengek karena ingin diberi perhatian.

Jagal menarik napas panjang. Apa-apaan sih? Mengganggu saja.

Dengan kesal pria menyeramkan itu menilik ke layar dan melihat pesan singkat yang muncul di deret notifikasi. Hanya butuh beberapa detik sebelum matanya terbelalak menatap pesan yang muncul. Tanpa menunggu lama, sang Jagal langsung melesat pergi.

Ini bukan perkara main-main!

Non Nada diculik!





.::..::..::..::.





“Jadi bagaimana keputusannya? Kita tidak bisa berlama-lama, hari sudah menjelang malam.” tanya Simon. Sang pemuncak gunung menjulang melirik ke luar jendela dan melihat langit kian gelap. Sudah seharian mereka berada di markas Sonoz ini.

Nanto mengangkat wajahnya. ia menatap Beni Gundul, Rao dan Simon, lalu mengangguk – menandakan ia sudah menemukan suatu cara. “Kita tidak bisa menyelesaikan semua urusan secara bersamaan tanpa membagi tugas. Sepertinya rencana yang semula sudah sesuai dengan pengaturan yang kita butuhkan dengan sedikit perubahan.”

Satu persatu anggota Lima Jari yang tersisa duduk di meja bundar yang terdapat di ruangan pimpinan di markas Sonoz. Selain Lima Jari, di sisi mereka ada Simon, Rao, Don Bravo, dan Beni Gundul. Mereka semua duduk saling berdampingan seakan-akan membentuk sebuah kesatuan - para ksatria meja bundar, Knights of the Round Table.

Mereka semua memusatkan perhatian pada si Bengal.

“Tarung Antar Wakil akan dilangsungkan di akhir pekan. Itu artinya harus ada tiga wakil Lima Jari yang akan ikut. Kita masih belum pasti siapa yang akan diturunkan oleh Dinasti Baru, tapi kita bersiap saja. Hageng, Deka, dan aku yang akan turun menghadapi mereka. Bian, Beni Gundul, dan divisi Patnem khusus mencari informasi mengenai PSG dan Roy.” Nanto mulai membagi tugas. “Rao dan Simon tentu saja harus mengamankan basis masing-masing di DoP dan Sonoz dari serangan susulan yang mungkin akan dilakukan oleh RKZ. Kita tidak tahu kapan mereka akan menyerang.”

Rao dan Simon saling berpandangan dan mengangguk.

Fair sih. Aku juga sedikit khawatir dengan kiprah RKZ, mereka bisa datang kapan saja. Dengan Hageng ikut Tarung Antar Wakil, maka Sonoz butuh pimpinan di tempat.” Simon bersidekap, “Meski begitu kami dari Sonoz akan selalu siap jika Patnem yang bertugas mencari info membutuhkan bantuan pasukan.”

Rao menimpali, “DoP juga siap membantu. Tinggal kontak lewat WA, dan kami langsung berangkat. DoP juga akan menjadi tameng Lima Jari di Tarung Antar Wakil – kami akan hadir di sana nanti.”

“Kalau begitu formasinya sudah fix ya. Aku hanya perlu bergabung kembali ke DoP. Lumayanlah, aku bebas tugas dari Tarung Antar Wakil. Hehehe.” Don Bravo yang sedang berdiri memeluk bokken dan bersandar di dinding terkekeh ringan.

Nanto tersenyum dengan seringai aneh – sepertinya dia punya rencana, “Jangan senang dulu, ferguso. Pekerjaan kita banyak, jadi aku punya satu tugas khusus yang cocok untuk anggota yang punya kapabilitas bak ninja sepertimu, Don Bravo-san.”

“Oh?” sang pemakan bengkuang bangkit minatnya, senyumnya terkembang. Tugas apa yang akan diberikan oleh si Bengal padanya? Don Bravo terkekeh. “Sepertinya menarik. Aku siap mendengarkan. Bahkan kalau penjelasan tugasnya panjang lebar sampai malam tiba pun akan aku dengarkan. Hehehe.”

“Begini...”





.::..::..::..::.





Rao membuka pintu dengan perlahan, berharap Nuke sudah beristirahat di kamar saat ia pulang. Terlebih hari sudah menjelang malam. Sudah waktunya tidur. Rao berjingkat supaya tidak menimbulkan suara yang kencang.

Tapi saat sang Hyena Gila melangkah masuk ke ruang tengah, ia justru langsung bertemu dengan Nuke yang baru saja mandi. Kok bisa tahu dia baru saja mandi?

Karena rambutnya masih basah sehabis keramas dan Nuke hanya mengenakan handuk untuk melilit tubuh indahnya. Lagi-lagi hanya mengenakan handuk saja. Aduduh. Bagian atas bawah putih mulus, paha udah seperti ubin masjid. Kenapa seperti ini yang menyambutnya pulang? Rao menarik napas panjang.

Bahaya kalau seperti ini terus.

Tenangkan diri... tenangkan diri... atur napas, biarkan mengalir lepas. Jangan pusatkan pikiran pada body Nuke yang seksi. Jangan pusatkan pikiran pada gundakan empuk yang menjadi penyangga handuk yang tak rela ditutup dan terpaksa menggantung. Jangan pusatkan pikiran pada kaki jenjang dan paha Nuke yang seputih pualam itu. Jangan pusatkan pikiran pada kon...

“Eh, sudah pulang, Mas!?” Nuke kaget.

“...tol.” Rao terhenyak kaget karena Nuke kaget, dan lebih kaget lagi saat kata-kata aneh keluar dari mulutnya ketika dia sendiri kaget.

“Tol?”

“A-aku tadi makan sayur kol.”

“Ha? O-ok... sayur kol?”

“I-iya. Makan daging kambing dengan sayur kol. Sayuur kol sayuuur kol. Makan daging kambing dengan sayur kol.” Gebleg. Oalah juuum juuum. Ngemeng opo tah kowe ki? Rao berdehem untuk mengurangi rasa tidak nyamannya. Dia mengalihkan pandangan dan meletakkan jaket yang ia kenakan di gantungan belakang pintu, berusaha sekuat tenaga untuk tidak melirik sedikitpun ke arah Nuke yang seksinya bikin mimisan.

Tapi tubuh seseksi itu masa ya tidak dilirik to. Rugi banget.

“Dari mana saja, Mas?” tanya Nuke.

Rao mendengus, dia sedang berusaha keras untuk tidak melirik ke arah Nuke yang hanya mengenakan handuk. Tapi begitu Nuke bicara, kepalanya langsung menengok ke samping. “Dari mana aku pergi kan bukan urusanmu. Begini-begini aku ini orang yang lumayan penting. Kalau mau tidur dulu ya sana. Tidur saja dulu.”

Nuke mengangguk. Wajahnya menunjukkan raut muka kecewa dengan jawaban sang Hyena Gila yang terkesan dingin dan galak. Rao yang sempat curi-curi pandang melihat perubahan wajah sang gadis jelita. Kenapa kok dia kecewa? Apa ada yang salah?

Rao berdehem, “kenapa memangnya?”

“Ah ti-tidak apa-apa, kok. Aku tahu kamu cukup sibuk, Mas.”

Meski menanyakan perihal lain, tapi pandangan Rao mau tidak mau langsung fokus ke bagian atas tubuh Nuke yang tidak tertutup handuk. Pundak putih seperti tertuang susu milik Nuke membuat kepala Rao berkunang-kunang. Dia jadi teringat iklan minuman susu sapi cap beruang yang iklannya naga. Gawat ini gawat. Duh ampun. Ni anak kenapa juga mesti seksi banget sih?

Gleg.

Suara Rao meneguk ludah sendiri menjadi nyaring di suasana yang sepi. Keduanya saling bertatap mata. Barulah saat itu Nuke sadar kalau dia hanya mengenakan handuk.

“Ya ampuuuun! Ma-maaf, Mas.”

“Nga-nganu...” Rao menjadi merasa bersalah, “A-aku mau...”

“Astaga! Ma-maaf, Mas. Aku ganti baju dulu.” Wajah Nuke yang baru menyadari kalau sedari tadi dia hanya mengenakan handuk langsung memerah bak tomat yang diblender dengan cabe. Raine nganti abang koyo gendero londo. Buru-buru gadis itu berlari kecil untuk mengenakan pakaian.

Plak.

Rao menepuk dahinya dan geleng-geleng kepala. Dia gadis yang butuh bantuan untuk menata hidup kembali dan lepas dari segala masalah yang menimpa. Bukan untuk dijadikan obyek birahi. Oalah.

Saat melalui ruang tengah barulah Rao melihat sesuatu di atas meja kayu yang biasa digunakan untuk menaruh laptop. Di sana sudah ada nasi dan beberapa lauk seperti ayam goreng, sop, dan tempe garit. Ini... makan malam?

Gadis itu... apakah dia yang menyiapkan ini semua?

Ada dua piring yang kosong dan saling menumpuk, di atasnya ada dua sendok dan garpu.

Nuke pasti menunggunya pulang dan tidak makan sampai sekarang. Mungkin sudah sejak sore tadi.

Ya ampun.

Rao menghela napas panjang. Kadang-kadang pikiran busuk, jahat, dan egois membuat kabut yang menutup kejernihan hati. Setelah cuci tangan, Rao duduk di depan meja kecilnya – menunggu Nuke datang.

Tak berapa lama kemudian, gadis itu muncul. Ia mengenakan sweater lengan panjang milik Rao dan celana pendek mungil yang tetap tidak mampu menutup keseksian paha mulusnya. Tapi kali ini Rao tidak mempedulikan keseksian Nuke.

Si Hyena Gila tersenyum. “Kamu yang nyiapin?”

Nuke mengangguk, wajahnya memerah. “Mak-maksudku supaya Mas hemat juga, tidak selalu beli makanan di luar. Bahan-bahan ada di warung depan situ dan harganya lebih murah. Kompor, gas, semua juga lengkap, jadi...”

Rao berdiri, mendekati Nuke tanpa melepas tatapan matanya.

“E-eh... Mas?” wajah Nuke memerah.

Tangan Rao menggenggam tangan gadis itu, lalu menggandengnya untuk duduk bersama. Saling berhadapan di depan meja kecil.

“Temani aku makan ya.”

“Bukannya tadi katanya sudah makan sayur kol?”

“Aku sudah lapar lagi. Yuk makan. Boleh minta tolong ambilkan nasi secukupnya?”

“Si-siap.”

Wajah Nuke pun berubah menjadi cerah. Ia menjadi lebih bersemangat. Saat gadis itu menyiapkan nasi untuk sang Hyena Gila, Rao mengamati wajah cantiknya dan merasa ada ketenangan dalam batinnya. Ada rasa tentram yang berbeda dari biasanya. Gawat juuum gawaaaat. Terlalu mempesona memang si Nuke ini.

“Terima kasih,” ucap Rao perlahan.

Ucapan yang sangat lembut.

Nuke tidak menengok ke belakang dan melihat langsung ke wajah Rao. Gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk tanpa membalikkan badan. Ia tidak ingin Rao melihat wajahnya yang memerah parah.

“Sama-sama.”

Jawaban yang juga sangat lembut.

Keduanya melalui malam dengan makan bersama.





.::..::..::..::.





Malam telah tiba.

Kota mulai sepi, orang-orang sudah mengunci diri di petak rumah mereka, menyaksikan televisi, melanjutkan pekerjaan, bermain game, berendam di air hangat, bersenda gurau dengan keluarga. Begitu juga dengan si Bengal, dia akhirnya pulang juga ke kontrakannya setelah seharian mengerjakan banyak hal. Siang sampai sore di Sonoz, malam bekerja di kafe, dan sekarang akhirnya beristirahat.

Si Bengal memainkan kunci kontrakan di tangannya. Hari ini dia pulang agak larut setelah bekerja di kafe, ia masih sempat berlatih dengan anak-anak Lima Jari untuk mempertebal kemampuan mereka sekaligus mengatur apa yang akan dilakukan sepanjang hari esok saat berhadapan dengan Dinasti Baru di ajang Tarung Antar Wakil.

Sembari memutar otak dan strategi untuk esok hari, Nanto menaiki tangga di luar rumah untuk naik ke lantai dua yang langsung menuju teras depan kontrakannya.

Tak terlalu banyak lampu di halaman depan hingga ke rumah-rumah tetangga, sehingga jalan naik ke kontrakannya akan sangat gelap jika lampu tak dinyalakan. Bayangkan saja jika tiba-tiba ada sosok makhluk ga jelas yang nongol di atas sambil bilang...

“Halo.”

Nanto nyaris meloncat mundur karena kaget. Dia sama sekali tak menduga akan bertemu dengan seseorang di depan kontrakannya. Dia tidak bisa melihat apa-apa karena minim lampu, yang ada hanya penerangan seadanya yang menampilkan sesosok orang dalam wujud siluet.

Siluet itu mengejutkan si Bengal.

Terkejut, bukan takut.

Jelas Nanto terkejut lah. Siapa juga yang mau pulang larut malam dalam keadaan lelah, sewaktu pulang ke rumah bukannya bertemu dengan keluarga tercinta malah ketemu biang kerok model beginian. Pait pait pait. Eh, tapi ini penampakan atau manusia beneran sih?

“Hai.”

Manusia. Untunglah. Itu suara cewek.

Nanto menarik napas panjang. Woalah. Siapa itu? Si Bengal menatap kaget ketika akhirnya cahaya lampu yang minim menyinari wajah cantik di depannya. Mau tidak mau Nanto pun terkejut saat menyadari siapa yang sedang menunggunya hingga larut malam begini.

“Kamu!? Kok kamu ada di sini?” tanya Nanto.

“Kenapa? Tidak boleh?”

“Ya nggak gitu juga, tapi semalam ini? Kamu sendirian? Sudah lama?”

“Sudah lama. Aku sudah hampir tiga jam di sini. Ga tau harus kemana lagi. Cuma tempat ini yang bisa aku pikirkan.” Sosok itu mulai mengungkapkan keluhannya. “Aku tidak bisa tidur, tidak bisa rileks, tidak bisa berpikir logis, tidak bisa tenang dan tidak bisa menentramkan hati sendiri. Pikiranku kacau... terlebih setelah Roy menghilang. Pokoknya kamu yang harus bertanggung jawab.” ucap seseorang itu dengan nada bergetar sembari mencoba berdiri dari posisi jongkoknya. Ucapannya sebenarnya dimaksudkan untuk bercanda, tapi entah kenapa nadanya terdengar menjadi ungkapan dari hati yang terdalam.“Aku jadi seperti ini terutama setelah putus dari kamu.”

Ternyata sosok itu adalah Ara, mantan kekasih si Bengal.

Nanto mendengus dan tertawa kecil, berusaha menganggap gadis itu hanya bercanda. Toh mereka sudah jalan dengan orang lain sekarang. Nanto dengan Kinan, dan Ara dengan Deka.

“Ayolah, Ra.... itu kan masa lalu. Sudah lama sekali. Ngapain juga diingat-ingat lagi. Kita sudah berjalan di jalur rel masing-masing. Kalau kamu galau dan sedih – kamu seharusnya tidak datang ke sini, kamu seharusnya datang ke Deka. Kalian kan sudah tunangan, sudah semestinya bisa berbagi perasaan... ayolah..., jangan seperti ini. Kamu jauh lebih kuat dari ini, kan? Lagian ngapain juga kesini malam-malam? Serem aja cewek sendirian. Papa Mama kamu tahu?”

“Tahu. Tapi mereka tahunya aku menginap di rumah teman cewek.”

“Duh, mana bohong pula.”

“Demi siapa coba? Demi ketemu kamu.” Ara merengut dalam gelap. “Aku hanya butuh berada di dekatmu malam ini. Kita tidak perlu ngobrol, tidak perlu saling dekat, tidak perlu melakukan apa-apa. Aku hanya ingin berada di dekatmu semalam ini saja. Tidak kurang dan tidak lebih. Sudah itu saja. Apa ya tidak boleh?”

Nanto geleng-geleng kepala, dia membuka pintunya. Cuaca di luar sedang dingin-dinginnya dan Ara sepertinya sudah menunggunya selama berjam-jam. Tidak baik membiarkan gadis itu pulang malam-malam begini dengan kondisi yang seperti ini. Setidaknya dia bisa menawarkan kopi atau teh hangat – atau bahkan sekalian membiarkannya tinggal dan tidur di sini semalam.

“Ya sudah, kamu boleh tidur di sini malam ini. tapi hanya untuk malam ini saja, aku tidak mau ada kesalahpahaman sama orang tua kamu, atau sama si Deka. Kita tidur di kamar yang berbeda. Aku akan tidur di depan, kamu di tengah,” desah Nanto akhirnya mengalah, dia tidak tega meminta Ara pulang larut malam, dan ia sudah sangat lelah untuk mengantarkan gadis itu.

Ara mengangguk, ia berlari kecil menghampiri si Bengal dan tiba-tiba saja memeluknya!

“Eh!? Ra! Apa-apaan sih!?”

Nanto mencoba mendorong lembut agar Ara melepaskan pelukannya, tapi gadis itu masih tetap memeluknya dengan nekat. “Aku tidak tahu lagi harus kemana dan harus bagaimana. Semuanya sepertinya tidak berjalan dengan baik sesuai keinginanku. Deka dan aku... saat ini kami sedang tak sejalan, jadi kami memutuskan untuk break dulu. Menurutmu apakah itu keputusan yang benar?”

Nanto sekali lagi menggelengkan kepala mendengar kabar itu, dia mencoba lepas dari pelukan sang mantan. Kali ini berhasil, tangan Ara lepas dari badan si Bengal.

“Aku... jujur tidak tahu apa-apa tentang bagaimana membina hubungan yang baik. Kamu jadi saksinya kan. Jadi sepertinya aku bukan orang yang tepat untuk memberimu solusi. Tapi kalau boleh aku menyarankan sih, sebaiknya kamu perbaiki dulu apa-apa yang salah pada hubunganmu dan Deka. Kalian berdua orang baik dan sama-sama jadi temanku sejak lama. Kalian berhak bahagia. Perjuangkan hubungan kalian, masih banyak kesempatan.”

Ara terdiam seribu bahasa, ia menunduk, dan akhirnya berucap lirih. “Biarkan aku tidur di sini malam ini. Kamu sudah seminggu tidak ada kabar. Kinan juga tidak bisa dihubungi. Dasar kalian ini, apa tidak tahu kami-kami ini sedang sangat khawatir? Belum lagi masalah Roy.”

“Maafkan aku. Aku memang bersalah kalau soal itu. Tapi sungguh kami tak dapat menggunakan ponsel selama di sana. Aku juga melakukan tapa brata di gua. Jadi fokus kami memang...”

“Iya aku tahu. Tapi kamu pikir kalau tidak ada kabar begitu aku tidak khawatir? Tidak bertanya-tanya di mana kamu berada? Aku khawatir banget tahu. Apalagi setelah apa yang terjadi pada Roy. Aku takut kehilangan kamu lagi. Aku benar-benar takut kalau kamu...”

“Ara...”

Gadis itu terdiam, ia melelehkan segaris air mata dan mengangguk. Dia mengkhawatirkan orang yang salah, dengan cara yang salah, dan punya perasaan yang mungkin ditujukan untuk orang yang salah. Tapi cinta sebenarnya tak pernah salah.

Nanto tersenyum dan mengelus rambut sang mantan. “Masuklah. Di luar dingin. Mau kopi?”

Ara tersenyum dan mengangguk.

Keduanya masuk ke dalam.

Pintu pun ditutup.





.::..::..::..::.





Pertemuan dadakan kala malam telah mulai larut diadakan di dalam sebuah rumah makan jadul sederhana yang lokasinya ada di jalan utama kota. Disebut rumah makan tidak tepat karena hanya menyediakan lawuh sego kucing, disebut warung tidak tepat karena ruangnya cukup besar. Mungkin lebih tepat disebut tempat makan.

Tempat makan bergedung jadul itu tepat berada di seberang Pasargede, di depan sebuah bioskop tua yang telah lama gulung tikar. Keutuhan bangunan yang usianya puluhan tahun masih dipertahankan, antara demi estetika, tidak diperbolehkan memugar, ataupun memang tidak ada dana untuk memperbaiki. Bagi pengunjung, gedung tua yang digunakan sebagai tempat makan itu bagaikan sebuah perwujudan kenangan akan masa yang telah lampau.

Mungkin berpuluh tahun yang lalu, ada juga orang-orang yang makan di tempat yang sama, yang belum merasakan kebebasan berbicara, yang mungkin masih berbatas laku karena berada di bawah kendali kompeni atau nippon, atau lebih maju lagi hidup di saat manusia mulai menelusuri keajaiban kehidupan dengan ilmu sains, atau sekedar duduk-duduk sambil ngopi dan mengedipkan mata penuh goda pada gadis-gadis yang berbelanja di pasar.

Satu kursi disiapkan di pojok, sedikit jauh dari pengunjung lain. Piring-piring lelawuhan lengkap di atas meja. Berbagai macam gorengan, sate-satean, hingga ceker bacem disediakan. Murah harganya mewah rasanya. Sak lungguhan iso nganti wareg ra nganggo ngelu piro mbayare.

Dua orang duduk di sana, berbincang, menyeruput kopi, tertawa, bercanda, dan tidak ambil pusing mengenai apapun. Satu orang mengenakan pakaian sederhana – hanya mengenakan kaus warna putih dan celana pendek warna coklat muda dan sendal jepit, sementara yang satu lagi menyembunyikan wajahnya dalam kegelapan dan sesekali mengenakan masker saat tidak makan. Fitur unik yang ditampilkannya adalah ia mengenakan kacamata bulat dan menggunakan tongkat unik dari akar kayu selasih sebagai alat bantu jalan.

“Ingat. Jangan melakukan apa-apa pada gadis itu kecuali aku minta. Aku sudah punya rencana yang kususun di kepala. Jadi jangan pernah coba-coba mengacaukan semuanya hanya demi hasrat kontol bosok kalian,” kata sang pembawa tongkat dengan sopan, tenang, namun mengancam. Tongkatnya ia ayunkan pelan ke kaki Bambang Jenggo – sang pria berkaus, untuk sekedar menepuknya. “Aku tidak peduli kalau kalian mau nge-rudopekso gadis lain – tapi jangan gadis ini. Gadis ini istimewa.”

“Heheheh. Tentu saja kami paham, Bos. Dia bukan cewek sembarangan. Akan kami pastikan kami memberikan cewek ini pelayanan prima. Tempat penyekapannya spesial, semua ada, makanan tiga kali sehari. Anggota yang menjaga juga aku pastikan bukan yang suka perkosa cewek.” Bambang Jenggo tertawa dan memastikan keamanan tahanannya. “Tapi sebenarnya... kita juga tak akan menahannya terlalu lama, kan?”

“Tidak... tidak... kita hanya butuh sekitar seminggu dua minggu saja. Berbahaya kalau terlalu lama, bisa-bisa merubuhkan langit ke atas kepala kita. Kita hanya terpaksa menahan gadis itu lebih lama, kalau ada perhitungan kita yang meleset. Itu sebabnya kita harus menjalankan rencana sesuai kebutuhan dan sebisa mungkin menafikan Plan B dan Plan C.”

“Mantep. Semua sudah diatur sedemikian rupa. Sampeyan pancen ngeten. Anda memang begini.” Bambang Jenggo mengangkat dua jempol tangannya. “Hanya saja...”

“Hanya saja? Hanya saja opo?” si orang misterius melirik ke arah Jenggo dengan cibiran yang tak terlihat karena ia memakai masker, sekali dua kali dia mengetukkan tongkat ke tanah. “Apa? njaluk bayaran? Minta bayaran? Rupamu kuwi lho, Mbang. Wes konangan. Gak jauh-jauh dari duit.”

“Heheheheh. Tau aja, Bos – kami memang minta bayaran, tapi kami tidak mau duit. Pasukan RKZ pasti sedang sange setengah mati karena ada cewek cakep nganggur di rumah sekap tanpa bisa melampiaskan. Meski yang menjaga adalah orang-orang yang aman, tapi tetap saja yang lain butuh pelepasan – bisa berbahaya kalau terus menerus dikekang.”

“Maksudmu kamu butuh lonthe?”

“Ladalah, pancen njenengan paling paham. Hahaha. Ya bukan aku yang butuh, Bos. Pasukanku yang butuh. Kalau aku sih dikasih ya ga bakal nolak. Hahahah.”

“Woo... kopet. Hahahah.” Si pria bertongkat tertawa, “bawa pasukanmu ke Hotel Limun di Pasar Bunga. Masuk gang lewat warung Suparman, ketemu atau cari orang bernama Lek Tar, dan bilang aku yang mengutus kalian. Seminggu ke depan silakan pakai saja lonthe-lonthe yang ada di sana. Batas sehari sepuluh orang yang datang dan hanya boleh sekali jajan, tapi bebas mau pakai yang mana saja. free of charge. Gratis. Piye? Kurang apikan opo aku iki? Kurang baik bagaimana lagi?”

“Mantaaap. Lha kalo begini kan kita juga jadi semangat, Bos.”

Rupamuuuu, Mbaaaang... Mbaaaang...”

Bambang Jenggo tertawa terbahak-bahak. Tapi dia gembira karena usahanya mencari asupan enak-enak di-acc oleh laki-laki misterius itu.

“Tapi sebenarnya kenapa harus melakukan segala repot ini, Bos? Kenapa harus menculik cewek itu? Kenapa menggunakan jalan yang rumit untuk melakukan hal ini? Bukankah bisa dengan cara lain yang lebih mudah?” Bambang Jenggo menggoyangkan kakinya sembari mengikuti irama lagu campursari yang diputar oleh pengeras suara.

Sang pemegang tongkat tersenyum di balik maskernya. “Tidak ada hal yang benar-benar mudah dan tidak ada hal yang benar-benar susah. Aku hanya melakukan hal yang ingin aku lakukan untuk menjamin sebuah kepastian di masa yang akan datang. Kalau memang ingin berkuasa, bersiaplah sebagai penguasa – caranya adalah dengan meletakkan bidak catur di posisinya masing-masing secara tepat. Setelah semua diletakkan di posisi yang tepat, baru kita gerakkan serangan silih berganti. Kita tidak sedang mencoba-coba, kita sedang mengatur agar semua hal berlaku tepat seperti yang kita inginkan. Untuk itu butuh waktu.”

Yung, repot nemen sih, Bos, mengatur bidak-bidak catur segala macam. Bukankah bisa saja kita atur agar semuanya berjalan lebih cepat tanpa serumit ini? Kita bisa melakukan hal random saja dan mungkin efeknya akan sama.”

Jer basuki mawa beya, Mbang. Tidak ada hal yang gratis di dunia ini, semua ada harganya, semua ada biayanya. Terlebih lagi kamu tahu sendiri, posisi menentukan prestasi – RKZ saat ini bukanlah siapa-siapa dibandingkan empat besar, tapi dengan melakukan ini, kita akan memperoleh keuntungan dari kesulitan orang lain.”

Bambang Jenggo terkekeh, “menanam sana sini tapi pada akhirnya semua akan berbuah. Kira-kira begitu ya, Bos?”

“Kira-kira begitu.”

Bambang Jenggo menyeruput minumannya. “Aku itu hanya orang desa yang datang ke kota ini dari luar kota karena Bos memanggil dan mengumpulkan kita semua. Jadi aku ngikut saja lah apa maunya Bos, dijadikan pimpinan RKZ pun aku tidak masalah. Yang penting semua senang, semua menang.”

“Kemampuanmu yang njelehi itu tidak ada duanya, Mbang. Susah mencari orang dengan kemampuan sepertimu di jaman sekarang – yang bahkan bisa berdiri sama tegak dengan pimpinan Dinasti Baru, JXG, PSG, bahkan QZK sekalipun.”

“Bisa-bisanya. Itu namanya mbumbung dhuwur, pasti ujungnya cuma mau jatuhin.”

“Hahaha. Sudah malam, Mbang. Besok pagi aku punya banyak pekerjaan. Jadi aku harus pergi dulu.” Si pria bertongkat berdiri dari kursi kayu. Dia terkekeh, “dengan ini kita akan memastikan kehancuran semua kelompok yang sebelumnya bertahta di kota. Semua bakal out – dan RKZ bakal in.”

Bambang Jenggo tertawa kembali.





BAGIAN 12 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 13
 
BAGIAN 12
TEMANI AKU






Burung kecil dalam sangkar,
kalau kamu tidak mau bernyanyi untukku.
Maka aku akan memaksamu bernyanyi.
- Toyotomi Hideyoshi




Nanto berdiri dengan tegap, tak ada lawan dan kawan yang berani mendekat – kecuali tentu saja Lima Jari yang sudah menunggu kedatangannya. Hageng, Bian, dan Deka buru-buru berlari menghampiri sang kawan karib. Wajah bahagia tergambar jelas di wajah mereka.

“Nyuuuuk! Dari mana aja kamu!?” Bian berlari menghampiri dan memukul pundak Nanto.

Pemuda bandel itu berkaca-kaca karena begitu banyak masalah yang rasa-rasanya baru akan terlepas kalau ia sudah bisa melihat dan berdiri tegap bersama si Bengal. Dia tahu Nanto bukanlah alien super bercawet merah yang bisa terbang dan menembakkan sinar dari kedua matanya, dia juga tahu Nanto bukanlah seorang mutan yang bisa mengeluarkan tiga pisau dari punggung tangan dan selalu bisa sembuh dari luka apapun dalam sekejap.

Tapi si Bengal adalah si Bengal. Dia memiliki aura yang berbeda yang membuat siapapun yang bersamanya tahu kalau mereka akan memenangkan sesuatu saat berdiri sejajar dengannya. Saat bersama Nanto, anak-anak Lima Jari tahu kalau semua seakan akan baik-baik saja. Keberadaannya semenentramkan itu.

“Roy... dia sudah... dia sudah...” terbata-bata Bian mencoba menjelaskan. Antara terengah, excited, tapi juga sedih harus mengungkapkan kenyataan yang terus menerus ia ingkari. Tapi dia harus segera mengutarakan kegundahannya. Saat ini juga. Tidak bisa lagi dipendam dan menunggu lama. Dia sudah tidak tahan lagi.

Nanto mengangguk paham, wajahnya juga menyiratkan kesedihan luar biasa, matanya berkaca-kaca. Tanpa babibu si Bengal langsung merangkul Bian erat dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memukul lengan saudara kembar Roy itu dengan perlahan. “Maaf aku lebih lama dari seharusnya, setelah membaca pesan di grup aku langsung secepat kilat pulang. Memang butuh waktu, tapi jangan khawatir, aku sudah di sini sekarang.”

“Aku tahu kamu pasti langsung baca pesan-pesan di grup WhatsApp kita.” Bian bergetar. “Roy... dia... kita tidak dapat menemukan dia, sudah seminggu ini kami mencarinya tanpa hasil. Aku tidak tahu harus mencari kemana lagi...”

“Kita pasti akan menemukannya. Pasti. Demi apapun aku akan menemukannya. Bahkan kalau perlu akan aku obrak-abrik seluruh kota ini untuk mencarinya.” Nanto merasa sangat bersalah karena dia baru bisa membuka smartphone-nya tepat seminggu setelah laku tapa brata selesai ia jalani. Demikian juga dengan smartphone Kinan dan Hanna yang sama-sama dimatikan karena takut akan ada gangguan.

Betapa kagetnya ia membaca pesan dari anak-anak Lima Jari mengenai kejadian yang menimpa Roy di WhatsApp dan langsung buru-buru pulang untuk menemui kawan-kawannya.

Hageng ikut merangkul si Bengal. “Akhirnya datang juga, dab. Kedatanganmu tepat waktu zekali. Tepat di zaat Alianzi dan Lima Jari butuh boz-nya. Itu orang-orang RKZ yang datang tanpa permizi memang minta digaplok. Mereka datang untuk memakza kita bergabung, kalau kita tidak mau bergabung, mereka mengancam akan ambil tindakan. Zeperti yang zudah mereka lakukan ke KZN.”

Deka bersidekap di depan Hageng, Bian, dan Nanto yang saling merangkul. Ada bayang bening di pelupuk matanya. Si Gondes geleng-geleng kepala sembari tersenyum bahagia. Keberadaan si Bengal memang semenentramkan itu. Hatinya yang berulang kali diuji dan pikirannya yang terselimuti kabut mendadak menjadi cerah. “Pulang dan langsung pamer. Bajingan memang. Mbois kowe, Su.”

“Karena wedhus-wedhus ini perlu dikasih pelajaran,” ucap Nanto sembari mendengus kesal. Ia menatap orang-orang RKZ yang masih berada di tempat itu dengan pandangan mata tajam yang seolah-olah sanggup membelah tubuh mereka itu hanya dengan sekali kedip.

Lepas dari rangkulan Bian dan Hageng, si Bengal melangkah ke depan menuju ke batas antara Aliansi dan RKZ. Dia membalikkan badan dan berbicara langsung pada seluruh anggota Aliansi yang ada di depannya – berbicara seolah-olah RKZ tak mendengar, padahal mereka ada di belakangnya persis.

“Tidak perlu ditegaskan karena kalian semua pasti sudah tahu. Aliansi tidak akan pernah bergabung dengan gerombolan bajingan seperti RKZ. Buat apa? Tidak ada gunanya. Mereka mau main kasar karena kita tolak? Biar saja. Biar saja mereka mencoba kalau mampu. Kita justru harus berusaha keras untuk membumihanguskan kelompok-kelompok tae kocheng seperti RKZ dan sebangsanya yang meresahkan,” ucap Nanto tegas – memastikan di mana posisi Aliansi berada.

Aliansi dan RKZ? Berseberangan.

Para anggota Aliansi yang ada saat itu bersorak-sorai. Rao dan Simon tersenyum lebar. Beni Gundul tertawa sembari geleng-geleng kepala dan menyelipkan tangannya ke dalam saku celana.

Hageng tertawa puas. Raksasa itu kemudian dengan jumawa berkacak pinggang sembari tersenyum lebar ke arah orang-orang RKZ. “Nah, kalian zudah dengar zendiri apa keputuzan pimpinan kami!” Matanya tajam menatap ke arah orang-orang RKZ yang belum meninggalkan markas Sonoz. “Kalian ini benar-benar nekat, berani-beraninya datang ke markaz Alianzi sambil petentengan! Zudah tidak diundang, ga bawa oleh-oleh bakpia pula! Apa ya minta dibelah bijinya?”

Si Bengal meninggalkan ketiga temannya dan melangkah menuju Galung, Gamal, dan Agun yang ia anggap merupakan perwakilan utama dari RKZ kali ini.

Ketiganya menatap Nanto dengan pandangan yang ngeri-ngeri sedap. Mereka pernah bertemu di depan bengkel Amar Barok dan menjadi saksi kemampuannya. Tapi apa yang mereka lihat hari ini sangat berbeda dengan apa yang mereka lihat saat pertama kali berjumpa dengannya. Mereka seperti berjumpa dengan orang lain, dengan sosok yang berbeda bumi langit.

“Kalian sudah lihat apa yang bisa aku lakukan. Kalian sudah tahu apa yang aku mampu. Jadi aku tunggu niat baik dari kalian untuk segera meninggalkan tempat ini tanpa pertumpahan darah. Mumpung kami masih mau bersikap baik. Ini bukan ancaman, hanya sekedar memberi saran berdasarkan pengalaman yang aku punya,” Nanto menatap satu persatu mata para cecunguk RKZ di depannya. “Pengalaman yang aku punya adalah menghajar begundal seperti kalian.”

Agun berdiri tegap, dia mendengus dan menyeringai. Dia berdehem dan mencoba tampil berani meski jantungnya berdegup kencang. “Kamu... kamu pikir kamu sudah punya kemampuan taraf dewa? Apa yang kamu lakukan sekarang akan berimbas pada keselamatan seluruh anggota Aliansi. Kalian bakal dimusnahkan oleh RKZ. Ini bukan ancaman, ini bukan janji, ini juga tidak berdasarkan pada pengalaman. Ini kenyataan yang akan segera terjadi.”

Dab.” Nanto mendekatkan wajah ke punggawa RKZ itu, lalu mengernyitkan dahi dan mundur dua langkah. Si Bengal geleng kepala. “Ngomongmu gede, uratmu kenceng, tapi jigong-mu ambune ra umum. Baunya gila. Nggaya yo nggaya tapi ojo lali sikatan to, Dab. Kapan-kapan jangan lupa sikat gigi.”

“Munyuk! Bajingaaaaaaa...” Agun ke-triggered. Dia melaju ke depan sembari melontarkan pukulan kencang. Tangannya melesat dengan cepat, sasarannya rahang si Bengal. Tapi alih-alih menghindar atau mengangkat tangan untuk menahan serangan, si Bengal justru membiarkan pukulan itu masuk secara telak!

Bdkkkgh!

Tidak ada perlawanan? Rugi sendiri!

Agun mundur beberapa langkah ke belakang, mengambil ancang-ancang, menggoyangkan badan, mengangkat kedua tangan di depan wajah, membentuk benteng pertahanan sekaligus siap menghentak lawan dengan badai pukulan. Tanpa menunggu lama, dia melepaskannya. Tidak satu, tidak dua, tidak tiga, tapi enam pukulan beruntun!

Bdkkkgh! Bdkkkgh! Bdkkkgh! Bdkkkgh! Bdkkkgh! Bdkkkgh!

Tangan kanan dan kiri Agun bergerak cepat, menghentak, mundur, bergoyang, lalu dilepaskan. Berulang dan bertubi. Secara alami, Agun memang punya latar belakang boxer. Dia tersenyum karena semua pukulannya masuk tanpa dapat ditahan atau dielakkan.

Padahal memang Nanto tidak berniat sedikitpun untuk menahan atau mengelak.

“Sudah?”

Agun tertegun. Matanya terbelalak saat menatap ke depan. Nanto berdiri terdiam tak kurang suatu apa, tergores pun tidak. Tidak mungkin!! Sama sekali tidak terluka!? Kok bisa!? Dia sudah menggunakan kekuatannya dengan begitu membabi-buta, masa sama sekali tak ada efeknya?

Pkgh!

Telapak tangan Nanto tiba-tiba saja sudah menempel di wajah Agun!

Susah payah pemuda RKZ itu mencoba meronta, tangan kanan dan kiri sekuat tenaga menggoyang lengan kanan Nanto yang tengah mencengkeramnya dengan sangat erat namun tanpa hasil. Justru si Bengal yang kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Agun. “Bagaimana? Bagaimana rasanya merasakan seluruh hidupmu serasa tersedot ke dalam rasa takut yang amat sangat? Apakah saat ini kamu membayangkan kematian? Berani melawan Aliansi lagi, dan itulah yang akan kalian hadapi. Tidak hanya sekali, tak cuma dua kali – tapi kami juga akan datang meneror kalian semua setiap hari, dalam sadar maupun mimpi.”

Melihat kondisi gawat, Galung dan Gamal buru-buru bangkit untuk membantu teman mereka. Tapi belum sampai selangkah mereka berjalan, si Bengal sudah mengangkat tangan kirinya yang bebas ke arah mereka. Tatapan matanya tajam dan dingin, ia memicingkan mata. Kedua orang anggota RKZ itu tidak mendengarnya mengucap lirih rapalan gerbang keenam.

Lir handaya paseban jati.

Booom!

Tubuh Galung dan Gamal terhenyak ke belakang karena sentakan Ki yang dilepaskan oleh si Bengal. Mereka terlempar bagai orang-orangan sawah tersembur badai, tercerabut dari tanah, dan terbang tanpa tahu arah.

Agun mencoba berteriak, tapi gagal. Cengkraman tangan si Bengal teramat kuat. Ini bukan cengkraman biasa, sepertinya ada Ki yang terlibat karena tenaga cengkramannya berlipat ganda. Si Bengal kembali mendekatkan wajahnya ke telinga Agun. “Pastikan menyampaikan pesan ini kepada Bos-mu, sampaikan dengan tepat tanpa dikurangi satu patah kata pun. Sampaikan... kalau kalian terus memaksa maka Aliansi akan melawan. Kalau perang yang kalian mau, maka perang yang akan kalian dapatkan.”

Usai mengucapkan kalimat tersebut, Nanto bergerak.

Si Bengal menarik kepala Agun ke arahnya sedikit, lalu sembari menjejakkan kaki dengan kencang, ia mendorong kepala Agun ke tanah dengan kecepatan tinggi. Tubuh sang anggota RKZ itu pun terjengkang ke belakang sementara cengkraman tangan si Bengal menyorongnya. Tubuh Agun terhentak sampai ke bawah, bagian belakang kepalanya terantuk tanah. Beruntung tanah itu cukup lembut karena hujan sehingga hentakannya tidak terlalu menyakitkan.

Brkgh!

Tetap saja keras. Hanya dengan sekali sentak, Agun pusing bukan main. Lama-lama ia hanya dapat melihat gelap. Kesadarannya menghilang.

Gamal dan Galung yang melihat kejadian itu menatap sengit ke arah si Bengal. Napas mereka tersengal-sengal, ini jelas bukan kali terakhir mereka akan bertemu! RKZ akan memberikan neraka ke Aliansi suatu saat nanti! Tunggu saja!

Buru-buru mereka menarik Agun yang pingsan dan meninggalkan lapangan Sonoz. Satu persatu anggota RKZ kabur mengikuti ketiga punggawa. Ada yang berlari, ada yang berjalan cepat, ada yang mengacungkan jari tengah sambil berjalan mundur. Semuanya pergi.

Pasukan Aliansi berteriak dan bersorak-sorai.

Don Bravo tersenyum melihat para anggota RKZ yang buru-buru kabur dengan penuh rasa kesal, penasaran, sekaligus takut. Mereka bingung harus berbuat apa saat melihat Nanto.

Sang pemakan bengkuang yang mengamati kejadian itu pun terkekeh, “Mereka pasti akan datang lagi. Dengan kekuatan yang lebih besar dan lebih mengerikan. Ini semua hanyalah lingkaran setan. Dendam berbalas dendam, yang kalah akan membalas yang kalah.”

Beni Gundul yang mendengar ucapan Don Bravo mengangguk setuju, ia menepuk pundak sang pemakan bengkuang. “Benar sekali dan itu sudah pasti. Itu artinya kita juga harus lebih siap, lebih kuat, dan lebih mengerikan dari sekarang. Mereka mengancam kita seakan-akan mereka adalah monster. Mereka tidak tahu kalau mereka juga sedang berhadapan dengan monster.”

Don Bravo terkekeh. “Monster apa yang kemana-mana bawa kunci Inggris?”

Beni Gundul tertawa.





.::..::..::..::.





Jurus yang pertama kali diperlihatkan dari ilmunya oleh Pasat pada sang Jagal adalah jurus pukulan beruntun yang dilakukan hanya dengan satu tangan - tangan kanan. Serangan itu cepat, buas, dan ganas. Melaju cepat tanpa jeda. Posisi tubuh menyamping, memudahkan untuk berkelit dan menghindar. Meski hanya dengan satu tangan, tidak berarti tangan kiri tetap diam. Selain untuk mengatur keseimbangan, juga disiapkan untuk serangan tak terduga atau penahan serangan.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Hunjaman ujung jari yang membentuk telapak kencang keras menerpa sisi lengan sang Jagal yang tak mengeluarkan balasan dan hanya bertahan. Tiap hentakan keras menghunjam bak sergapan baja pipih, padahal hanya sisi-sisi jari tangan, tapi sangat nyeri ketika tersambar. Entah apa yang sudah dilakukan oleh bocah ini untuk membuat tangannya hingga sampai bisa sekuat itu – Ki Kadar pasti tidak main-main saat melatih Pasat. Dia menyiapkannya untuk hal besar.

Napas Pasat diatur satu dua, dilepas dan ditarik panjang berulang dipadu dengan serangan cepat dan bertubi. Ki Kadar pernah bilang bahwa Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah awalnya adalah ilmu pedang di sebuah masa pada suatu ketika. Semakin kemari jurus ini diadopsi menjadi jurus tapak dan tendangan, karena penggunaan pedang semakin tidak praktis di masa modern. Oleh karenanya tangan dan kaki harus dilatih hingga bisa seefektif pedang.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

“Huff! Huff!” Pasat mulai kebingungan mencari celah di pertahanan Jagal yang prima. Perbedaan kemampuan mulai terlihat. Meski Pasat sudah melepas jurusnya dan sang Jagal hanya bertahan, tapi tidak nampak peluang dan kelemahan dari sang punggawa JXG. Rapat sekali pertahanannya! Kualitas dan kuantitas pengalaman bertarung bertahun-tahun memang beda.

Meski begitu, Jagal juga sadar kalau pertahanannya tidak akan bisa bertahan lama dengan serangan membabi-buta Pasat yang berbahaya. Dia harus merubah arus serangan karena pertahanan terbaik adalah dengan menyerang.

Sulaiman Seno mengucap satu rapalan perlahan. “Wujud hana tan kena kinira.”

Tak menyadari Seno sudah mulai mengatur strategi, Pasat masih terus menyerang dari segala arah dengan hanya satu tangan yang bergerak lincah.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Jari jemari Pasat kian memerah karena tangannya yang sudah keras ternyata dihadang juga oleh lengan yang tak kalah keras. Baja menempur baja. Tapi kenapa tiba-tiba saja lengan Jagal bisa keras? Pasat sama sekali tak menduganya, sedangkan Jagal bisa melihat wajah heran tercermin di raut muka sang pemuda.

Sulaiman Seno mendengus, “bukan kamu saja yang bisa membuat tangan mengeras seperti baja, bocah.”

Setelah berkata seperti itu, Jagal mengubah arah tangan yang tadinya bertahan dan membuka jemarinya, membentuk cengkraman. Ketika sekali lagi Pasat mencoba menyerang dengan tapaknya, lengan Jagal menghindar, berputar dan satu kecepatan tinggi tangan pria tangguh itu lantas mencengkeram lengan Pasat yang belum sempat mundur. Serangan balik super kilat.

“Aaahh!”

Begitu cengkramannya tak terbalas, Jagal memutar lengan kanan Pasat ke arah berlawanan, memuntir lengan sekaligus badan sang pemuda hingga terbanting ke samping! Pasat kehilangan keseimbangan. Dia terjatuh!

Bdddkkghhhh!

Tubuh Pasat roboh terlempar ke samping, ke arah sebuah makam berukuran pendek. Pundaknya memar menghantam pinggiran makam. Sang pemuda berambut coklat itu mengernyit mencoba menahan sakit, tapi tak boleh terlalu lama. Tangan Jagal masih mencengkeram erat lengan Pasat. Pemuda itu berusaha lepas dengan bergulir, tapi kaki sang Jagal bergerak lebih cepat, telapak kakinya melesat menghunjam bak torpedo.

Jboooookkghhh!

Wajah Pasat terpapar telapak kaki sang Jagal. Wajah ditendang, belakang kepala terantuk kencang terkena nisan. Pandangan sang pemuda berambut coklat langsung berkunang-kunang. Bak harimau menerkam kijang, Pasat lumpuh dalam satu terjangan. Jagal tak berhenti, ia semakin buas. Cengkraman tangan kiri memegang lengan, tangan kanan menerjang leher. Mencekik sang pemuda rambut coklat.

“Hkkkkkghhh!”

Pasat meronta tanpa hasil, dengan asa perlahan mulai menghilang lenyap ditelan kenyataan. Dia makin bingung bagaimana harus melawan. Inikah akhir jaman?

“Apakah kamu dari QZK? Apa yang kamu lakukan di sini? Apa hubunganmu dengan Ki Kadar?”

Pasat menggeram, suaranya tak bisa keluar meski ia sudah mencoba. Tangan kirinya sudah berusaha keras tapi tak mampu menggoyahkan cengkraman tangan sang Jagal. Cengkraman tangan baja itu tidak main-main! Dia bisa mati kalau terus menerus dicekik seperti ini!

Bangsaaaaaaat!

“Aku tahu ilmu kanuragan yang kamu gunakan tadi hanya pernah dipraktekkan oleh Ki Kadar di kota ini. Yang tadi kamu lepaskan adalah bait pertama dari Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah yaitu Tapak Duka Nestapa. Apa hubunganmu dengan Ki Kadar? Apakah kamu QZK? Kenapa kamu mengikutiku?”

Demi apa Pasat mau menjawabnya! Pasat hanya mendelik.

Kalaupun dia mau menjawab, cengkraman tangan sang Jagal membuatnya tak mampu berucap. Si bajingan satu ini memang semprul. Memaksanya bicara padahal sedang mencekik lehernya! Gimana bisa jawab coba?

Pasat tahu dia harus mengeksekusi gerakan dengan tangkas dan berpikir dengan lebih cepat. Apa yang pernah dipesan oleh Guru Rambut Perak-nya? Dalam sebuah pertarungan, rencanakan dua tiga langkah gerakan ke depan, pertimbangkan opsi dan implikasinya di angan. Seperti halnya motor, petarung harus selalu selangkah di depan - bahkan lebih.

Pandangan mata sang pemuda rambut coklat melirik ke arah kanan dan kiri, melihat dan mengamati posisi dan lokasi dalam sekelebatan mata saja, mencoba mencari peluang.

“Hkkgh!”

Pasat mencoba sekali lagi. Kali ini kakinya yang masih bebas mencoba bergerak. Mampukah ia menggunakannya untuk menendang selangkangan sang Jagal?

Jbkgh!

Ketika kaki kiri Pasat yang bebas mencoba naik, kaki Jagal juga bergerak untuk menahan dan mengunci gerakannya! Serangannya gagal dan malah berbalik kakinya yang terkunci! Wedhus! Sama sekali tidak ada celah kah? Cengkraman tangan Jagal makin kencang mencekik leher Pasat. Arus napasnya hampir terputus. Gawat, dia harus bertindak cepat kalau tidak mau mati konyol!

Fokus, fokus, fokus!

Apa yang disadari oleh Pasat kemudian? Ia menyadari kalau tangan kirinya masih bebas, sedangkan kedua tangan jagal tidak. Manfaatkan.

Jbooooogkkh!

Pasat menghajar perut sang Jagal yang tak terlindungi. Jagal mengernyit karena kaget juga nyeri, tapi cengkramannya tak lepas. Pasat senang karena setidaknya ada reaksi! Ulangi lagi! Ulangi terus sampe modaaaaaaaar!!

Jbooooogkkh! Jbooooogkkh! Jbooooogkkh! Jbooooogkkh! Jbooooogkkh!

Cengkraman tangan Jagal merenggang. Ia mundur karena sodokan bertubi di perut membuatnya kehilangan fokus untuk bertahan dari serangan sang pemuda berambut coklat.

Tangan kanan Pasat mencoba meronta untuk lepas.

Berhasil.

Kedua tangan Pasat segera bergerak sejajar di depan dada. Jemari dan telapak tangannya lurus dan tegak, bagai pedang. Pasat mulai menarik kedua tangannya ke bawah, lalu dilepaskan ke atas menghunjam dada dan tenggorokan sang Jagal dengan kuat dan berkecepatan tinggi.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Berulang, diulang, diulang, diulang, diulang, dan kembali diulang. Serangan tangan Pasat benar-benar menyesak dada dan leher sang Jagal, membuat pria itu tersedak dan melepaskan cengkramannya pada sang pemuda berambut coklat.

Pasat tahu dia tak akan memenangkan pertarungan ini. Sulaiman Seno lebih tangguh, lebih sigap, lebih tangkas, dan lebih taktis. Dia harus melakukan hal yang tak terbayangkan oleh sang Jagal untuk bisa lepas dari terkamannya. Pasat berguling ke samping dengan cepat, bergulir, mengangkat tubuh, dan langsung melompat dari satu makam ke makam lain memanfaatkan kelenturan tubuhnya dan juga memanfaatkan nisan yang besar dan kokoh sebagai pijakan dan tumpuan.

Seno memegang lehernya yang tercekat setelah disodok Pasat tadi. Ia mengumpat karena bisa saja dia tadi mati kalau posisi serangan si pemuda rambut coklat telak menghajar jakun. Untung saja hanya tipis mendesak karena dia sempat mundur. Wasu. Beginilah kalau tidak lengkap menguasai Kidung, dia tak bisa membuka gerbang pertama yang meningkatkan kewaspadaan. Bisa-bisanya dia didesak bocah bau kencur begini!

Jagal berteriak kencang untuk melonggarkan tenggorokan sekaligus meningkatkan Ki dan mengalirkannya ke seluruh tubuh. Sembari mendengus-dengus bak binatang buas, mata sang Jagal menelisik ke kanan dan ke kiri. Memindai wilayah makam untuk mencari posisi sang sasaran. Kemana bocah itu sekarang?

Tidak kemana-mana.

Setelah berhasil bergulir dan lolos dari cengkraman tangan baja Seno, Pasat melompat dari satu makam ke makam lain untuk mengembalikan napas sekaligus mengatur strategi. Dia tak pernah lupa satu pesan sang guru. Saat bertarung dan melepaskan tindakan, atur strategi untuk dua tiga gerakan ke depan, perhatikan juga opsi seandainya serangan itu gagal. Inilah hasilnya.

Meski sudah berusaha mengalirkan Ki, tapi Jagal tak bisa mengingkari kalau lehernya kesakitan. Bocah itu menguasai Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah – setahu Jagal ilmu kanuragan ini punya lima jurus utama yang disebut bait. Bait pertama sudah ia lepaskan tadi, jurus tangan pedang baja yang disebut Tapak Duka Nestapa.

Apa selanjutnya?

Secara tiba-tiba satu tendangan kencang merombak wajah sang perwira JXG. Sebuah tendangan setengah lingkaran yang diledakkan oleh Pasat sembari melompat dari atas kubah satu makam berukuran besar. Sembari memutar tubuh, tendangan itu semakin kencang dengan energi dari putaran yang dilakukan.

Jduaaaaaaaaaaagkh!!

Seno terlempar ke samping saat kepalanya terpapar tendangan. Posisi tubuhnya goyah dan tergeser, tapi ia masih tetap teguh berpijak. Saat kembali tegak, lagi-lagi ia tak dapat melihat Pasat. Sang Jagal mendengus, kecepatan bukan masalah. Ia hanya tinggal membuka gerbang...

Jduaaaaaaaaaaagkh!!

Sang Jagal terhenyak ke samping. Tendangan tepat di rahang, membuat tubuhnya melayang. Bukan rasa sakit yang membuat sang Jagal penasaran, tapi rasa malu bukan kepalang! Bagaimana mungkin si pemuda berambut coklat yang lemah itu bisa menendangnya dengan kekuatan seperti ini dua kali? Mempermalukan dirinya!

Merasa di atas awan, Pasat belum mau berhenti.

Ia menekuk kakinya ke belakang, memutar badan, dan melepaskan tendangan sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, bertubi bak gattling gun ke arah satu sasaran yang sama. Rahang, wajah, badan, dan lengan sang Jagal, menumbuk perwira JXG hingga jatuh ke satu makam dengan pinggiran semen.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Seno bahkan harus mengangkat tangan untuk menahan serangan yang tak bisa ia elakkan itu. Lagi-lagi ia mengutuk dirinya yang tak dapat sempurna menguasai Kidung Sandhyakala. Bukan rasa sakit, tapi rasa malu karena dirinya dijatuhkan oleh bocah yang masih hijau.

Sulaiman Seno mengerahkan kemampuannya. Sebelum ia benar-benar jatuh, telapak tangannya sudah menghantam makam. Digunakan sebagai tumpuan, ia memutar badan, melenturkan tangan, dan segera melepaskannya dengan sekuat tenaga.

Angkara gung ing angga anggung gumulung.

Bledaaaaaaaaaam!

Satu kubah makam terbongkar. Meski tidak hancur, tapi remuk di beberapa bagian. Jelas bukan itu yang diinginkan sang Jagal. Yang diinginkannya hanya Pasat. Paling tidak hantaman tadi mencegah ia jatuh secara memalukan. Sekarang kemana perginya bocah itu? Tiba-tiba saja menghilang tak terlihat?

Mau main-main? Boleeeeh! Sulaiman Seno berdiam diri dan memejamkan mata, bibirnya berbisik mengucap rapalan. Ia memusatkan perhatian dan tak berapa lama kemudian mendengus kesal. Ia kesal karena sejak tadi merasa dipermainkan oleh permainan bocah.

Ternyata hanya begini saja.

Dengan satu lompatan tinggi, Seno menerjang ke arah kubah satu makam besar yang menaungi dua makam dengan nisan berkepala dua malaikat. Sesampainya di sana, ia lalu melepaskan pukulan ke salah satu bagian dinding kubah yang lapang.

Bledaaaaaaaaaam!

Pukulannya tidak menghancurkan makam, tapi tenaganya menyalur ke belakang kubah.

“Haaaaaaaaaargh!” terdengar teriakan menyayat. Pasat yang awalnya menggunakan kubah demi untuk sembunyi dan meloncat, kini terhenyak ke belakang dengan rusuk terhampar Ki yang diledakkan oleh sang Jagal dari balik dindingnya.

Sialan! Tidak boleh semudah ini kalah!

Sempat terguling dan terjatuh, buru-buru Pasat bangkit dan melesat. Dia masih berusaha menggunakan strategi hit and run.

“Kemana lagi, bocah!?” Sang Jagal meloncat dan menendang.

Jboookkgh! Brrkgh!

Satu makam terkena tendangan, lapisan semennya ambyar. Pasat meloncat menjauh, mencoba menghindar dari serangan. Mati-matian ia melompat.

Jboookkgh! Brrkgh!

Satu makam lagi nisannya terlepas karena serangan Jagal. Pasat tak ingin melihat ke belakang. Jelas dia tidak mau bernasib seperti nisan itu! Ia pun melompat, melalui kubah, menyusuri lorong, dan menaiki pagar beton. Dari sudut ke sudut, loncat, lari, dan lalui semuanya.

Jboookkgh! Brrkgh! Jboookkgh! Brrkgh! Jboookkgh! Brrkgh!

Entah sudah berapa makam yang harus diperbaiki karena ulah Jagal yang melepaskan amukannya. Tapi dia masih belum berhasil menjangkau Pasat. Mereka berkejar-kejaran dengan kecepatan tinggi, melompat, menghindar, bertaut, bertengger, dan berputar.

Sampai akhirnya sang pemuda berambut coklat itu berdiri di tepian pagar terjauh. Tepat di bibir jurang di samping sungai kering berbatu.

Jagal mendengus, lalu mengangkat tangan dan merapal satu kalimat. Ia membuka gerbang keenam. “Lir handaya paseban jati.”

Jbooom!

Jarak mereka cukup jauh, tapi tenaga sang Jagal sedemikian besarnya. Sentakan Ki-nya membadai. Pasat tak bisa menghindar. Pemuda berambut coklat itu hanya bisa terbelalak saat tubuhnya terbang, ia berteriak kencang, tapi terlambat. Tubuhnya terlempar ke belakang, terjun bebas ke arah sungai kering dengan tebing terjal.

Pasat memejamkan mata.

Akankah ia mati saat ini juga?

Sang pemuda berambut coklat itu pun menghilang di batas tebing setelah terjatuh dari pagar ke arah sungai kering dengan batu-batu raksasa. Dari ketinggian ini, dia tak akan bisa selamat.

Jagal meloncat sekali lagi. Ia sampai di tepian ujung terluar makam dengan mudahnya. Pria itu melongok ke bawah, ia bersiap pada kemungkinan akan melihat tubuh Pasat yang sudah pecah kepalanya di atas bebatuan.

Seno mengernyit.

Dia tak melihat apa-apa, tak ada siapa-siapa di bawah sana. Bocah itu tak kelihatan. Kepalanya melongok ke kanan, melongok ke kiri. Tapi dia tidak menemukan apapun. Si bangsat itu bisa lolos dari jurang sedalam ini? Bagaimana bisa?

“Kampret.”

Bkgh!

Sulaiman Seno mendengus kesal dan menghantam tembok beton karena kesal. Ia tak dapat melihat tubuh sang bocah berambut coklat brengsek tadi di mana pun. Tidak mungkin ia bisa pergi dengan cepat dan selamat semudah itu kalau melihat posisi jatuhnya.

Jadi apa yang sebenarnya terjadi?

Ponsel Jagal berdering.

Tentu saja dia tidak mengangkatnya karena masih penasaran dengan arah kepergian Pasat, alih-alih mengangkat panggilan yang masuk, sang Jagal justru mengamati sungai di samping makam. Sang pemuda berambut coklat itu bisa merepotkannya kelak, jadi sebisa mungkin segala masalah dengannya dituntaskan segera, ia harus dibungkam. Tapi Pasat tak kelihatan di arah manapun, di sungai di bawah tidak mengalir banyak air, batu-batu menonjol besar terlihat bak monster yang siap menghajar kalau ada yang terjatuh ke sana.

Sepertinya tidak mungkin dia jatuh atau terjun ke bawah, tapi bagaimana caranya dia bisa selamat? Ajaib kalau memang bisa. Pasti sangat-sangat beruntung. Pasat menghilang bak ditelan bumi.

Jagal mendengus kesal karena masih penasaran. Ke mana perginya bocah itu? Bahkan Ki-nya pun tak bisa terbaca oleh sang Jagal.

Smartphone Jagal tak berhenti menyalak dan terus menerus bergetar, bagai bocah kecil yang merengek karena ingin diberi perhatian.

Jagal menarik napas panjang. Apa-apaan sih? Mengganggu saja.

Dengan kesal pria menyeramkan itu menilik ke layar dan melihat pesan singkat yang muncul di deret notifikasi. Hanya butuh beberapa detik sebelum matanya terbelalak menatap pesan yang muncul. Tanpa menunggu lama, sang Jagal langsung melesat pergi.

Ini bukan perkara main-main!

Non Nada diculik!





.::..::..::..::.





“Jadi bagaimana keputusannya? Kita tidak bisa berlama-lama, hari sudah menjelang malam.” tanya Simon. Sang pemuncak gunung menjulang melirik ke luar jendela dan melihat langit kian gelap. Sudah seharian mereka berada di markas Sonoz ini.

Nanto mengangkat wajahnya. ia menatap Beni Gundul, Rao dan Simon, lalu mengangguk – menandakan ia sudah menemukan suatu cara. “Kita tidak bisa menyelesaikan semua urusan secara bersamaan tanpa membagi tugas. Sepertinya rencana yang semula sudah sesuai dengan pengaturan yang kita butuhkan dengan sedikit perubahan.”

Satu persatu anggota Lima Jari yang tersisa duduk di meja bundar yang terdapat di ruangan pimpinan di markas Sonoz. Selain Lima Jari, di sisi mereka ada Simon, Rao, Don Bravo, dan Beni Gundul. Mereka semua duduk saling berdampingan seakan-akan membentuk sebuah kesatuan - para ksatria meja bundar, Knights of the Round Table.

Mereka semua memusatkan perhatian pada si Bengal.

“Tarung Antar Wakil akan dilangsungkan di akhir pekan. Itu artinya harus ada tiga wakil Lima Jari yang akan ikut. Kita masih belum pasti siapa yang akan diturunkan oleh Dinasti Baru, tapi kita bersiap saja. Hageng, Deka, dan aku yang akan turun menghadapi mereka. Bian, Beni Gundul, dan divisi Patnem khusus mencari informasi mengenai PSG dan Roy.” Nanto mulai membagi tugas. “Rao dan Simon tentu saja harus mengamankan basis masing-masing di DoP dan Sonoz dari serangan susulan yang mungkin akan dilakukan oleh RKZ. Kita tidak tahu kapan mereka akan menyerang.”

Rao dan Simon saling berpandangan dan mengangguk.

Fair sih. Aku juga sedikit khawatir dengan kiprah RKZ, mereka bisa datang kapan saja. Dengan Hageng ikut Tarung Antar Wakil, maka Sonoz butuh pimpinan di tempat.” Simon bersidekap, “Meski begitu kami dari Sonoz akan selalu siap jika Patnem yang bertugas mencari info membutuhkan bantuan pasukan.”

Rao menimpali, “DoP juga siap membantu. Tinggal kontak lewat WA, dan kami langsung berangkat. DoP juga akan menjadi tameng Lima Jari di Tarung Antar Wakil – kami akan hadir di sana nanti.”

“Kalau begitu formasinya sudah fix ya. Aku hanya perlu bergabung kembali ke DoP. Lumayanlah, aku bebas tugas dari Tarung Antar Wakil. Hehehe.” Don Bravo yang sedang berdiri memeluk bokken dan bersandar di dinding terkekeh ringan.

Nanto tersenyum dengan seringai aneh – sepertinya dia punya rencana, “Jangan senang dulu, ferguso. Pekerjaan kita banyak, jadi aku punya satu tugas khusus yang cocok untuk anggota yang punya kapabilitas bak ninja sepertimu, Don Bravo-san.”

“Oh?” sang pemakan bengkuang bangkit minatnya, senyumnya terkembang. Tugas apa yang akan diberikan oleh si Bengal padanya? Don Bravo terkekeh. “Sepertinya menarik. Aku siap mendengarkan. Bahkan kalau penjelasan tugasnya panjang lebar sampai malam tiba pun akan aku dengarkan. Hehehe.”

“Begini...”





.::..::..::..::.





Rao membuka pintu dengan perlahan, berharap Nuke sudah beristirahat di kamar saat ia pulang. Terlebih hari sudah menjelang malam. Sudah waktunya tidur. Rao berjingkat supaya tidak menimbulkan suara yang kencang.

Tapi saat sang Hyena Gila melangkah masuk ke ruang tengah, ia justru langsung bertemu dengan Nuke yang baru saja mandi. Kok bisa tahu dia baru saja mandi?

Karena rambutnya masih basah sehabis keramas dan Nuke hanya mengenakan handuk untuk melilit tubuh indahnya. Lagi-lagi hanya mengenakan handuk saja. Aduduh. Bagian atas bawah putih mulus, paha udah seperti ubin masjid. Kenapa seperti ini yang menyambutnya pulang? Rao menarik napas panjang.

Bahaya kalau seperti ini terus.

Tenangkan diri... tenangkan diri... atur napas, biarkan mengalir lepas. Jangan pusatkan pikiran pada body Nuke yang seksi. Jangan pusatkan pikiran pada gundakan empuk yang menjadi penyangga handuk yang tak rela ditutup dan terpaksa menggantung. Jangan pusatkan pikiran pada kaki jenjang dan paha Nuke yang seputih pualam itu. Jangan pusatkan pikiran pada kon...

“Eh, sudah pulang, Mas!?” Nuke kaget.

“...tol.” Rao terhenyak kaget karena Nuke kaget, dan lebih kaget lagi saat kata-kata aneh keluar dari mulutnya ketika dia sendiri kaget.

“Tol?”

“A-aku tadi makan sayur kol.”

“Ha? O-ok... sayur kol?”

“I-iya. Makan daging kambing dengan sayur kol. Sayuur kol sayuuur kol. Makan daging kambing dengan sayur kol.” Gebleg. Oalah juuum juuum. Ngemeng opo tah kowe ki? Rao berdehem untuk mengurangi rasa tidak nyamannya. Dia mengalihkan pandangan dan meletakkan jaket yang ia kenakan di gantungan belakang pintu, berusaha sekuat tenaga untuk tidak melirik sedikitpun ke arah Nuke yang seksinya bikin mimisan.

Tapi tubuh seseksi itu masa ya tidak dilirik to. Rugi banget.

“Dari mana saja, Mas?” tanya Nuke.

Rao mendengus, dia sedang berusaha keras untuk tidak melirik ke arah Nuke yang hanya mengenakan handuk. Tapi begitu Nuke bicara, kepalanya langsung menengok ke samping. “Dari mana aku pergi kan bukan urusanmu. Begini-begini aku ini orang yang lumayan penting. Kalau mau tidur dulu ya sana. Tidur saja dulu.”

Nuke mengangguk. Wajahnya menunjukkan raut muka kecewa dengan jawaban sang Hyena Gila yang terkesan dingin dan galak. Rao yang sempat curi-curi pandang melihat perubahan wajah sang gadis jelita. Kenapa kok dia kecewa? Apa ada yang salah?

Rao berdehem, “kenapa memangnya?”

“Ah ti-tidak apa-apa, kok. Aku tahu kamu cukup sibuk, Mas.”

Meski menanyakan perihal lain, tapi pandangan Rao mau tidak mau langsung fokus ke bagian atas tubuh Nuke yang tidak tertutup handuk. Pundak putih seperti tertuang susu milik Nuke membuat kepala Rao berkunang-kunang. Dia jadi teringat iklan minuman susu sapi cap beruang yang iklannya naga. Gawat ini gawat. Duh ampun. Ni anak kenapa juga mesti seksi banget sih?

Gleg.

Suara Rao meneguk ludah sendiri menjadi nyaring di suasana yang sepi. Keduanya saling bertatap mata. Barulah saat itu Nuke sadar kalau dia hanya mengenakan handuk.

“Ya ampuuuun! Ma-maaf, Mas.”

“Nga-nganu...” Rao menjadi merasa bersalah, “A-aku mau...”

“Astaga! Ma-maaf, Mas. Aku ganti baju dulu.” Wajah Nuke yang baru menyadari kalau sedari tadi dia hanya mengenakan handuk langsung memerah bak tomat yang diblender dengan cabe. Raine nganti abang koyo gendero londo. Buru-buru gadis itu berlari kecil untuk mengenakan pakaian.

Plak.

Rao menepuk dahinya dan geleng-geleng kepala. Dia gadis yang butuh bantuan untuk menata hidup kembali dan lepas dari segala masalah yang menimpa. Bukan untuk dijadikan obyek birahi. Oalah.

Saat melalui ruang tengah barulah Rao melihat sesuatu di atas meja kayu yang biasa digunakan untuk menaruh laptop. Di sana sudah ada nasi dan beberapa lauk seperti ayam goreng, sop, dan tempe garit. Ini... makan malam?

Gadis itu... apakah dia yang menyiapkan ini semua?

Ada dua piring yang kosong dan saling menumpuk, di atasnya ada dua sendok dan garpu.

Nuke pasti menunggunya pulang dan tidak makan sampai sekarang. Mungkin sudah sejak sore tadi.

Ya ampun.

Rao menghela napas panjang. Kadang-kadang pikiran busuk, jahat, dan egois membuat kabut yang menutup kejernihan hati. Setelah cuci tangan, Rao duduk di depan meja kecilnya – menunggu Nuke datang.

Tak berapa lama kemudian, gadis itu muncul. Ia mengenakan sweater lengan panjang milik Rao dan celana pendek mungil yang tetap tidak mampu menutup keseksian paha mulusnya. Tapi kali ini Rao tidak mempedulikan keseksian Nuke.

Si Hyena Gila tersenyum. “Kamu yang nyiapin?”

Nuke mengangguk, wajahnya memerah. “Mak-maksudku supaya Mas hemat juga, tidak selalu beli makanan di luar. Bahan-bahan ada di warung depan situ dan harganya lebih murah. Kompor, gas, semua juga lengkap, jadi...”

Rao berdiri, mendekati Nuke tanpa melepas tatapan matanya.

“E-eh... Mas?” wajah Nuke memerah.

Tangan Rao menggenggam tangan gadis itu, lalu menggandengnya untuk duduk bersama. Saling berhadapan di depan meja kecil.

“Temani aku makan ya.”

“Bukannya tadi katanya sudah makan sayur kol?”

“Aku sudah lapar lagi. Yuk makan. Boleh minta tolong ambilkan nasi secukupnya?”

“Si-siap.”

Wajah Nuke pun berubah menjadi cerah. Ia menjadi lebih bersemangat. Saat gadis itu menyiapkan nasi untuk sang Hyena Gila, Rao mengamati wajah cantiknya dan merasa ada ketenangan dalam batinnya. Ada rasa tentram yang berbeda dari biasanya. Gawat juuum gawaaaat. Terlalu mempesona memang si Nuke ini.

“Terima kasih,” ucap Rao perlahan.

Ucapan yang sangat lembut.

Nuke tidak menengok ke belakang dan melihat langsung ke wajah Rao. Gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk tanpa membalikkan badan. Ia tidak ingin Rao melihat wajahnya yang memerah parah.

“Sama-sama.”

Jawaban yang juga sangat lembut.

Keduanya melalui malam dengan makan bersama.





.::..::..::..::.





Malam telah tiba.

Kota mulai sepi, orang-orang sudah mengunci diri di petak rumah mereka, menyaksikan televisi, melanjutkan pekerjaan, bermain game, berendam di air hangat, bersenda gurau dengan keluarga. Begitu juga dengan si Bengal, dia akhirnya pulang juga ke kontrakannya setelah seharian mengerjakan banyak hal. Siang sampai sore di Sonoz, malam bekerja di kafe, dan sekarang akhirnya beristirahat.

Si Bengal memainkan kunci kontrakan di tangannya. Hari ini dia pulang agak larut setelah bekerja di kafe, ia masih sempat berlatih dengan anak-anak Lima Jari untuk mempertebal kemampuan mereka sekaligus mengatur apa yang akan dilakukan sepanjang hari esok saat berhadapan dengan Dinasti Baru di ajang Tarung Antar Wakil.

Sembari memutar otak dan strategi untuk esok hari, Nanto menaiki tangga di luar rumah untuk naik ke lantai dua yang langsung menuju teras depan kontrakannya.

Tak terlalu banyak lampu di halaman depan hingga ke rumah-rumah tetangga, sehingga jalan naik ke kontrakannya akan sangat gelap jika lampu tak dinyalakan. Bayangkan saja jika tiba-tiba ada sosok makhluk ga jelas yang nongol di atas sambil bilang...

“Halo.”

Nanto nyaris meloncat mundur karena kaget. Dia sama sekali tak menduga akan bertemu dengan seseorang di depan kontrakannya. Dia tidak bisa melihat apa-apa karena minim lampu, yang ada hanya penerangan seadanya yang menampilkan sesosok orang dalam wujud siluet.

Siluet itu mengejutkan si Bengal.

Terkejut, bukan takut.

Jelas Nanto terkejut lah. Siapa juga yang mau pulang larut malam dalam keadaan lelah, sewaktu pulang ke rumah bukannya bertemu dengan keluarga tercinta malah ketemu biang kerok model beginian. Pait pait pait. Eh, tapi ini penampakan atau manusia beneran sih?

“Hai.”

Manusia. Untunglah. Itu suara cewek.

Nanto menarik napas panjang. Woalah. Siapa itu? Si Bengal menatap kaget ketika akhirnya cahaya lampu yang minim menyinari wajah cantik di depannya. Mau tidak mau Nanto pun terkejut saat menyadari siapa yang sedang menunggunya hingga larut malam begini.

“Kamu!? Kok kamu ada di sini?” tanya Nanto.

“Kenapa? Tidak boleh?”

“Ya nggak gitu juga, tapi semalam ini? Kamu sendirian? Sudah lama?”

“Sudah lama. Aku sudah hampir tiga jam di sini. Ga tau harus kemana lagi. Cuma tempat ini yang bisa aku pikirkan.” Sosok itu mulai mengungkapkan keluhannya. “Aku tidak bisa tidur, tidak bisa rileks, tidak bisa berpikir logis, tidak bisa tenang dan tidak bisa menentramkan hati sendiri. Pikiranku kacau... terlebih setelah Roy menghilang. Pokoknya kamu yang harus bertanggung jawab.” ucap seseorang itu dengan nada bergetar sembari mencoba berdiri dari posisi jongkoknya. Ucapannya sebenarnya dimaksudkan untuk bercanda, tapi entah kenapa nadanya terdengar menjadi ungkapan dari hati yang terdalam.“Aku jadi seperti ini terutama setelah putus dari kamu.”

Ternyata sosok itu adalah Ara, mantan kekasih si Bengal.

Nanto mendengus dan tertawa kecil, berusaha menganggap gadis itu hanya bercanda. Toh mereka sudah jalan dengan orang lain sekarang. Nanto dengan Kinan, dan Ara dengan Deka.

“Ayolah, Ra.... itu kan masa lalu. Sudah lama sekali. Ngapain juga diingat-ingat lagi. Kita sudah berjalan di jalur rel masing-masing. Kalau kamu galau dan sedih – kamu seharusnya tidak datang ke sini, kamu seharusnya datang ke Deka. Kalian kan sudah tunangan, sudah semestinya bisa berbagi perasaan... ayolah..., jangan seperti ini. Kamu jauh lebih kuat dari ini, kan? Lagian ngapain juga kesini malam-malam? Serem aja cewek sendirian. Papa Mama kamu tahu?”

“Tahu. Tapi mereka tahunya aku menginap di rumah teman cewek.”

“Duh, mana bohong pula.”

“Demi siapa coba? Demi ketemu kamu.” Ara merengut dalam gelap. “Aku hanya butuh berada di dekatmu malam ini. Kita tidak perlu ngobrol, tidak perlu saling dekat, tidak perlu melakukan apa-apa. Aku hanya ingin berada di dekatmu semalam ini saja. Tidak kurang dan tidak lebih. Sudah itu saja. Apa ya tidak boleh?”

Nanto geleng-geleng kepala, dia membuka pintunya. Cuaca di luar sedang dingin-dinginnya dan Ara sepertinya sudah menunggunya selama berjam-jam. Tidak baik membiarkan gadis itu pulang malam-malam begini dengan kondisi yang seperti ini. Setidaknya dia bisa menawarkan kopi atau teh hangat – atau bahkan sekalian membiarkannya tinggal dan tidur di sini semalam.

“Ya sudah, kamu boleh tidur di sini malam ini. tapi hanya untuk malam ini saja, aku tidak mau ada kesalahpahaman sama orang tua kamu, atau sama si Deka. Kita tidur di kamar yang berbeda. Aku akan tidur di depan, kamu di tengah,” desah Nanto akhirnya mengalah, dia tidak tega meminta Ara pulang larut malam, dan ia sudah sangat lelah untuk mengantarkan gadis itu.

Ara mengangguk, ia berlari kecil menghampiri si Bengal dan tiba-tiba saja memeluknya!

“Eh!? Ra! Apa-apaan sih!?”

Nanto mencoba mendorong lembut agar Ara melepaskan pelukannya, tapi gadis itu masih tetap memeluknya dengan nekat. “Aku tidak tahu lagi harus kemana dan harus bagaimana. Semuanya sepertinya tidak berjalan dengan baik sesuai keinginanku. Deka dan aku... saat ini kami sedang tak sejalan, jadi kami memutuskan untuk break dulu. Menurutmu apakah itu keputusan yang benar?”

Nanto sekali lagi menggelengkan kepala mendengar kabar itu, dia mencoba lepas dari pelukan sang mantan. Kali ini berhasil, tangan Ara lepas dari badan si Bengal.

“Aku... jujur tidak tahu apa-apa tentang bagaimana membina hubungan yang baik. Kamu jadi saksinya kan. Jadi sepertinya aku bukan orang yang tepat untuk memberimu solusi. Tapi kalau boleh aku menyarankan sih, sebaiknya kamu perbaiki dulu apa-apa yang salah pada hubunganmu dan Deka. Kalian berdua orang baik dan sama-sama jadi temanku sejak lama. Kalian berhak bahagia. Perjuangkan hubungan kalian, masih banyak kesempatan.”

Ara terdiam seribu bahasa, ia menunduk, dan akhirnya berucap lirih. “Biarkan aku tidur di sini malam ini. Kamu sudah seminggu tidak ada kabar. Kinan juga tidak bisa dihubungi. Dasar kalian ini, apa tidak tahu kami-kami ini sedang sangat khawatir? Belum lagi masalah Roy.”

“Maafkan aku. Aku memang bersalah kalau soal itu. Tapi sungguh kami tak dapat menggunakan ponsel selama di sana. Aku juga melakukan tapa brata di gua. Jadi fokus kami memang...”

“Iya aku tahu. Tapi kamu pikir kalau tidak ada kabar begitu aku tidak khawatir? Tidak bertanya-tanya di mana kamu berada? Aku khawatir banget tahu. Apalagi setelah apa yang terjadi pada Roy. Aku takut kehilangan kamu lagi. Aku benar-benar takut kalau kamu...”

“Ara...”

Gadis itu terdiam, ia melelehkan segaris air mata dan mengangguk. Dia mengkhawatirkan orang yang salah, dengan cara yang salah, dan punya perasaan yang mungkin ditujukan untuk orang yang salah. Tapi cinta sebenarnya tak pernah salah.

Nanto tersenyum dan mengelus rambut sang mantan. “Masuklah. Di luar dingin. Mau kopi?”

Ara tersenyum dan mengangguk.

Keduanya masuk ke dalam.

Pintu pun ditutup.





.::..::..::..::.





Pertemuan dadakan kala malam telah mulai larut diadakan di dalam sebuah rumah makan jadul sederhana yang lokasinya ada di jalan utama kota. Disebut rumah makan tidak tepat karena hanya menyediakan lawuh sego kucing, disebut warung tidak tepat karena ruangnya cukup besar. Mungkin lebih tepat disebut tempat makan.

Tempat makan bergedung jadul itu tepat berada di seberang Pasargede, di depan sebuah bioskop tua yang telah lama gulung tikar. Keutuhan bangunan yang usianya puluhan tahun masih dipertahankan, antara demi estetika, tidak diperbolehkan memugar, ataupun memang tidak ada dana untuk memperbaiki. Bagi pengunjung, gedung tua yang digunakan sebagai tempat makan itu bagaikan sebuah perwujudan kenangan akan masa yang telah lampau.

Mungkin berpuluh tahun yang lalu, ada juga orang-orang yang makan di tempat yang sama, yang belum merasakan kebebasan berbicara, yang mungkin masih berbatas laku karena berada di bawah kendali kompeni atau nippon, atau lebih maju lagi hidup di saat manusia mulai menelusuri keajaiban kehidupan dengan ilmu sains, atau sekedar duduk-duduk sambil ngopi dan mengedipkan mata penuh goda pada gadis-gadis yang berbelanja di pasar.

Satu kursi disiapkan di pojok, sedikit jauh dari pengunjung lain. Piring-piring lelawuhan lengkap di atas meja. Berbagai macam gorengan, sate-satean, hingga ceker bacem disediakan. Murah harganya mewah rasanya. Sak lungguhan iso nganti wareg ra nganggo ngelu piro mbayare.

Dua orang duduk di sana, berbincang, menyeruput kopi, tertawa, bercanda, dan tidak ambil pusing mengenai apapun. Satu orang mengenakan pakaian sederhana – hanya mengenakan kaus warna putih dan celana pendek warna coklat muda dan sendal jepit, sementara yang satu lagi menyembunyikan wajahnya dalam kegelapan dan sesekali mengenakan masker saat tidak makan. Fitur unik yang ditampilkannya adalah ia mengenakan kacamata bulat dan menggunakan tongkat unik dari akar kayu selasih sebagai alat bantu jalan.

“Ingat. Jangan melakukan apa-apa pada gadis itu kecuali aku minta. Aku sudah punya rencana yang kususun di kepala. Jadi jangan pernah coba-coba mengacaukan semuanya hanya demi hasrat kontol bosok kalian,” kata sang pembawa tongkat dengan sopan, tenang, namun mengancam. Tongkatnya ia ayunkan pelan ke kaki Bambang Jenggo – sang pria berkaus, untuk sekedar menepuknya. “Aku tidak peduli kalau kalian mau nge-rudopekso gadis lain – tapi jangan gadis ini. Gadis ini istimewa.”

“Heheheh. Tentu saja kami paham, Bos. Dia bukan cewek sembarangan. Akan kami pastikan kami memberikan cewek ini pelayanan prima. Tempat penyekapannya spesial, semua ada, makanan tiga kali sehari. Anggota yang menjaga juga aku pastikan bukan yang suka perkosa cewek.” Bambang Jenggo tertawa dan memastikan keamanan tahanannya. “Tapi sebenarnya... kita juga tak akan menahannya terlalu lama, kan?”

“Tidak... tidak... kita hanya butuh sekitar seminggu dua minggu saja. Berbahaya kalau terlalu lama, bisa-bisa merubuhkan langit ke atas kepala kita. Kita hanya terpaksa menahan gadis itu lebih lama, kalau ada perhitungan kita yang meleset. Itu sebabnya kita harus menjalankan rencana sesuai kebutuhan dan sebisa mungkin menafikan Plan B dan Plan C.”

“Mantep. Semua sudah diatur sedemikian rupa. Sampeyan pancen ngeten. Anda memang begini.” Bambang Jenggo mengangkat dua jempol tangannya. “Hanya saja...”

“Hanya saja? Hanya saja opo?” si orang misterius melirik ke arah Jenggo dengan cibiran yang tak terlihat karena ia memakai masker, sekali dua kali dia mengetukkan tongkat ke tanah. “Apa? njaluk bayaran? Minta bayaran? Rupamu kuwi lho, Mbang. Wes konangan. Gak jauh-jauh dari duit.”

“Heheheheh. Tau aja, Bos – kami memang minta bayaran, tapi kami tidak mau duit. Pasukan RKZ pasti sedang sange setengah mati karena ada cewek cakep nganggur di rumah sekap tanpa bisa melampiaskan. Meski yang menjaga adalah orang-orang yang aman, tapi tetap saja yang lain butuh pelepasan – bisa berbahaya kalau terus menerus dikekang.”

“Maksudmu kamu butuh lonthe?”

“Ladalah, pancen njenengan paling paham. Hahaha. Ya bukan aku yang butuh, Bos. Pasukanku yang butuh. Kalau aku sih dikasih ya ga bakal nolak. Hahahah.”

“Woo... kopet. Hahahah.” Si pria bertongkat tertawa, “bawa pasukanmu ke Hotel Limun di Pasar Bunga. Masuk gang lewat warung Suparman, ketemu atau cari orang bernama Lek Tar, dan bilang aku yang mengutus kalian. Seminggu ke depan silakan pakai saja lonthe-lonthe yang ada di sana. Batas sehari sepuluh orang yang datang dan hanya boleh sekali jajan, tapi bebas mau pakai yang mana saja. free of charge. Gratis. Piye? Kurang apikan opo aku iki? Kurang baik bagaimana lagi?”

“Mantaaap. Lha kalo begini kan kita juga jadi semangat, Bos.”

Rupamuuuu, Mbaaaang... Mbaaaang...”

Bambang Jenggo tertawa terbahak-bahak. Tapi dia gembira karena usahanya mencari asupan enak-enak di-acc oleh laki-laki misterius itu.

“Tapi sebenarnya kenapa harus melakukan segala repot ini, Bos? Kenapa harus menculik cewek itu? Kenapa menggunakan jalan yang rumit untuk melakukan hal ini? Bukankah bisa dengan cara lain yang lebih mudah?” Bambang Jenggo menggoyangkan kakinya sembari mengikuti irama lagu campursari yang diputar oleh pengeras suara.

Sang pemegang tongkat tersenyum di balik maskernya. “Tidak ada hal yang benar-benar mudah dan tidak ada hal yang benar-benar susah. Aku hanya melakukan hal yang ingin aku lakukan untuk menjamin sebuah kepastian di masa yang akan datang. Kalau memang ingin berkuasa, bersiaplah sebagai penguasa – caranya adalah dengan meletakkan bidak catur di posisinya masing-masing secara tepat. Setelah semua diletakkan di posisi yang tepat, baru kita gerakkan serangan silih berganti. Kita tidak sedang mencoba-coba, kita sedang mengatur agar semua hal berlaku tepat seperti yang kita inginkan. Untuk itu butuh waktu.”

Yung, repot nemen sih, Bos, mengatur bidak-bidak catur segala macam. Bukankah bisa saja kita atur agar semuanya berjalan lebih cepat tanpa serumit ini? Kita bisa melakukan hal random saja dan mungkin efeknya akan sama.”

Jer basuki mawa beya, Mbang. Tidak ada hal yang gratis di dunia ini, semua ada harganya, semua ada biayanya. Terlebih lagi kamu tahu sendiri, posisi menentukan prestasi – RKZ saat ini bukanlah siapa-siapa dibandingkan empat besar, tapi dengan melakukan ini, kita akan memperoleh keuntungan dari kesulitan orang lain.”

Bambang Jenggo terkekeh, “menanam sana sini tapi pada akhirnya semua akan berbuah. Kira-kira begitu ya, Bos?”

“Kira-kira begitu.”

Bambang Jenggo menyeruput minumannya. “Aku itu hanya orang desa yang datang ke kota ini dari luar kota karena Bos memanggil dan mengumpulkan kita semua. Jadi aku ngikut saja lah apa maunya Bos, dijadikan pimpinan RKZ pun aku tidak masalah. Yang penting semua senang, semua menang.”

“Kemampuanmu yang njelehi itu tidak ada duanya, Mbang. Susah mencari orang dengan kemampuan sepertimu di jaman sekarang – yang bahkan bisa berdiri sama tegak dengan pimpinan Dinasti Baru, JXG, PSG, bahkan QZK sekalipun.”

“Bisa-bisanya. Itu namanya mbumbung dhuwur, pasti ujungnya cuma mau jatuhin.”

“Hahaha. Sudah malam, Mbang. Besok pagi aku punya banyak pekerjaan. Jadi aku harus pergi dulu.” Si pria bertongkat berdiri dari kursi kayu. Dia terkekeh, “dengan ini kita akan memastikan kehancuran semua kelompok yang sebelumnya bertahta di kota. Semua bakal out – dan RKZ bakal in.”

Bambang Jenggo tertawa kembali.





BAGIAN 12 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 13

suwun updet bagian 12 suhu @killertomato
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd