Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 17
BERAI






Semua hal punya retak.
Begitulah caranya cahaya masuk.
- Leonard Cohen






Amar menaikkan rolling door bengkelnya. Meski matahari sudah tinggi, tapi ruangan di dalam bengkel justru terasa gelap. Ia melangkah ke samping pintu dan mencari-cari saklar lampu. Ketika akhirnya ia temukan, lampu redup pun menyala.

Motor-motor yang sudah ia benahi tidak lagi berada di dalam dan sudah dikembalikan ke pemiliknya. Sang pria gagah itu melemparkan kunci pintu ke meja kayunya. Ia melirik ke arah kalender, mengambil spidol snowgirl warna merah dan melingkari tanggal hari ini.

Dimulai dari hari ini, semuanya kan berbeda.

Bisiknya dalam hati.

Benak pria gagah berjuluk Panglima Singa Emas itu melayang ke pertarungan yang ia jalani dengan sang adik. Jurus-jurus yang diperagakan oleh Deka membuatnya berpikir keras. Dari mana sang adik bisa menguasai jurus yang menyeramkan itu? Untung saja Deka sepertinya masih sebagai pemula, sehingga kemampuannya masih belum seberapa. Dia tidak bisa membayangkan beberapa tahun lagi ketika Deka benar-benar sudah menguasai secara total jurus itu.

Ilmu kanuragan itu jelas tidak diajarkan oleh Pakdhe Wid. Amar tahu persis jurus yang diajarkan oleh Pakdhe mereka adalah jurus pertahanan Perisai Genta Emas dan jurus serangan Pukulan Penggetar Jantung. Keduanya juga ia kuasai meski ia memilih ilmu kanuragan Singa Emas sebagai jurus penyerang.

Tapi ilmu kanuragan yang dikuasai Deka tadi... dari mana ia mempelajarinya?

Dia sungguh penasaran.

Setahu Amar hanya ada beberapa orang saja yang menguasai jurus yang dipraktikkan Deka dan orang-orang itu adalah orang yang sebaiknya dijauhi karena mereka bukan orang baik-baik. Amar boleh saja bergaul dengan bajingan dan gentho, tapi dia tidak ingin Deka juga melakukan hal yang sama. Dia ingin hanya hal-hal yang terbaik untuk sang adik – supaya ia tidak berjalan di jalur yang sama dengannya.

Amar memegang ujung meja.

Dia tidak ingin Deka seperti dirinya, menjual kesetiaan pada kelompok yang mengancam. Pria gagah itu memejamkan mata. Dia menggemeretakkan gigi dengan kesal.

Dia terpaksa.

Terdengar siulan dari belakang punggungnya. “Luar biasa. Tidak kusangka ternyata kamu benar-benar melakukan apa yang kami minta.” Suara tawa membahana, seperti mentertawakan sekaligus menghina Amar Barok. “Seperti yang sudah kami perkirakan, kamu pasti akan bergabung dengan kami. Sebenarnya tidak perlu keributan seperti tempo hari untuk berdiri bersama kami, kan?”

Amar tidak perlu menengok ke belakang untuk tahu siapa yang datang.

“Aku melakukan apa yang harus aku lakukan – bukan karena apa yang kalian minta. Aku tidak akan pernah mau menyakiti adikku sendiri jadi tidak mungkin aku bertarung dengan seratus persen kekuatanku yang sesungguhnya.”

Orang di belakang Amar Barok terkekeh. Penampakannya yang tidak sedap dipandang mata makin tak karuan kala ia masuk ke bengkel Amar yang cahayanya redup. Di luar bengkel, seorang pria bertubuh besar berjaga-jaga dengan sigap.

“Jaga di depan, Brom.”

Sang raksasa mengangguk.

Jay melangkah dengan berani ke depan Amar, menarik kursi yang ada di belakang meja di samping Amar, dan duduk dengan santai sembari mengangkat kaki ke atas meja. “Bagaimana tadi? Seru?”

Amar mendengus. “Sudah aku bilang kan? Aku akan melakukan apa yang kalian minta. Aku gabung.”

“Hahahahaha. Bagus! Baguuuuus! Aku bilang juga apa...!? Lambat laun kamu pasti akan bergabung dengan kami. Itu hanya masalah waktu saja.” Jay tertawa, ia memainkan spidol merah yang tadi dipakai oleh Amar. “Pekerjaan pertama berakhir dengan memuaskan. Kerja bagus. Sebagai supervisor-mu, aku akan melaporkannya ke Bos Jenggo dengan nilai plus. Bwahahahahaha.”

Spidol merah itu melayang saat dilempar-lempar ke udara.

Spp.

Amar menangkap spidol merahnya dan meletakkannya di kotak kumpulan pena dengan gerakan ringan. “Aku sudah melakukan apa yang kalian inginkan... yaitu mengalah pada Aliansi. Jadi kalian juga harus memenuhi janji kalian. Laki-laki itu yang dipegang kata-katanya.”

Jay tersenyum kembali, ia membuka smartphone, mencari satu video, dan saat menemukannya ia memutarnya di sebuah player. Ia kemudian mendorong ponsel itu di atas meja, memberikannya pada sang pria gagah. Amar meraihnya dan mulai menyaksikan video yang diputar di player.

Nampak beberapa orang sedang duduk terikat di sebuah kursi, wajah mereka pucat pasi dan ketakutan. Seorang bapak-bapak tua, istrinya yang juga sudah sepuh, dan seorang anak kecil sekitar sembilan tahun yang sepertinya cucu mereka – ada kemiripan di wajah si bocah dengan kedua pasangan tua.

“Anj*ng.” Amar meletakkan cengkramannya di leher Jay. “Aku sudah melakukan apa yang kalian mau. Bebaskan mereka. Mereka bahkan tidak tahu apa-apa.”

“Pasti... pasti... tenang saja. Mereka hanya semalam menginap di tempat kami. Anggap saja menginap di AirBNB. Wahahaha.” Jay tertawa sengak dan mendorong tangan Amar dari lehernya. “Sejak kami tahu kedekatanmu dengan orang-orang yang juga berada di area ini, kami tidak bisa tidak menggunakan mereka sebagai alat untuk mendapatkanmu. Pemilik warung Rumah Makan Padang yang ada di ruko sebelah dan cucu mereka yang kebetulan datang langsung kami jemput kemarin. Kami tahu cucunya sering main ke sini untuk membenahi sepedanya. Hahaha... tenang saja, mereka tidak disakiti, tidak kekurangan makan dan minum. Kami hanya menakut-nakuti dengan menggertak mereka – sampai kami paham betul kamu akan bergabung dengan kami.”

“Aku ulangi lagi, Nyuk. Aku hanya akan bergabung jika kalian melepaskan mereka dan berjanji tidak akan melakukan hal seperti ini lagi. Bukan begini caranya membesarkan kelompok. Bajingan kalian.”

Sure... sure... Karena tugas pertama sudah sampeyan selesaikan dengan baik, maka kami akan melepaskan mereka saat ini juga. Kami juga selalu menepati janji, kok.” Jay melongok ke depan, mencari posisi di mana rekannya berada, dan menganggukkan kepala sembari mengangkat jempol.

Brom mengangguk, pria bertubuh besar itu lantas mengambil ponselnya sendiri dan menghubungi seseorang. “Nah, Brom sedang mengurus pembebasan mereka, jangan khawatir. Mereka akan sampai di RM Padang sebelah di bawah dua jam.”

“Awas saja kalau mereka sampai kenapa-kenapa.”

Jay tersenyum. Ia menarik ponsel dari tangan Amar, “Mereka tidak akan kenapa-kenapa. Kami dari RKZ punya pedoman: RKZ tidak pernah bohong.”

Amar mendengus.

“Tapi sejujurnya, ada video menarik lain yang harus kamu lihat.”

Jay kembali membuka aplikasi video dan mencari satu rekaman. Ketika dia menemukan video yang ia cari wajahnya berubah menjadi ceria. Pemuda itu kembali mendorong ponsel ke arah Amar Barok. “Aku yakin yang ini akan jadi favoritmu.”

Amar menatap video itu dan giginya bergemeretak dengan geram. Ki-nya langsung menyala. “Bajingan!! Apa yang kalian lakukan?”

Tapi Jay tidak beranjak, dia masih saja duduk dengan santai. “Tidak ada. Kami tidak melakukan apa-apa. Kami hanya mengamati dia dari kejauhan, merekam diam-diam saat dia menjadi kasir di warungnya. Karena dia berada di luar kota, kami tidak berani melakukan apa-apa. Kami juga paham kalau tempat itu wilayah yang tidak boleh kami sentuh.”

“Kalau kalian berani menyentuh bahkan sehelai rambutnya...”

“Dia gadis yang mandiri dan patuh sama orang tua ya... ndemenakke. Gadis yang menyenangkan. Dia juga sering kemana-mana sendiri. Ke pasar, ke mal, ke...”

Sekali lagi Amar maju untuk mencengkeram leher Jay. Dia mengangkat tubuh orang RKZ itu ke udara. “Aku ulangi lagi kalau yang tadi masih belum jelas kamu dengar. Kalau kalian berani menyentuh sehelai saja rambutnya maka aku tidak akan menjamin apa yang akan aku lakukan pada semua...”

Jay tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia menepuk lengan Amar yang kemudian meletakkannya kembali.

“Uhuk! Uhuk!! Duh... seseg. Kamu tidak perlu khawatir, kami hanya mengamati dia saja. Sebagai jaminan supaya kamu berbakti pada RKZ. Jika kamu ingin gadis ini aman tak tersentuh dan supaya kamu benar-benar bersedia bergabung dengan RKZ, maka kamu harus membuktikan sesuatu, memberikan jaminan pada kami... dengan melakukan perintah berikutnya.”

Amar menggeram. “Kalau aku bilang akan bergabung maka aku akan bergabung. Tidak perlu ancaman-ancaman busuk seperti ini. Kalian kemarin bilang aku harus mengalah pada Lima Jari, sudah aku lakukan tadi. Perlu bukti apalagi? Keputusanku mengalah sudah pasti mengacaukan posisiku di Dinasti Baru.”

Jay berdiri dan menepuk pundak Amar dengan santai.

“Betul sekali. Heroik banget sampeyan. Hehehe. Selanjutnya kita buktikan saja dengan karya nyata. Kami akan segera menghubungimu untuk memberikan tugas berikutnya. Spoiler alert, tugasnya ringan kok. Kami hanya ingin kamu masuk ke kelompok lain dan menjadi informan kami, itu saja. Jangan coba-coba berbuat curang, karena kami pasti akan tahu - kamu tidak akan menjadi satu-satunya informan kami di sana.”

Amar menatap Jay dengan sengit. Otak udang satu ini ngomongnya sembarang.

Jay dengan cuek melangkah keluar sembari bersiul.





.::..::..::..::.





Deka, Bian, dan Hageng sama-sama bertarung menghadapi keroyokan anggota PSG dengan tenaga yang tersisa dan tenaga mereka yang tersisa itu sebenarnya tidak banyak. Mereka bahkan tak lagi mampu mengeluarkan Ki dengan sempurna. Lelah sudah menghinggap, rasa capek mulai membayang, kekuatan badan sudah di ambang batas. Wajar saja karena dua di antara mereka turun di ajang Tarung Antar Wakil pagi tadi dan Bian baru saja mati-matian mempertahankan Kandang Walet dari RKZ. Sekarang mereka harus menghadapi gelombang serangan dari PSG yang seakan-akan tidak ada hentinya.

Hari yang sibuk.

Bian menuntaskan perlawanan dua orang anggota PSG dengan cepat. Keringatnya menetes membasahi dahi. Saat mengelap keringat dengan punggung tangan, seorang anggota PSG mencoba mengendap dan menyerang dari belakang.

Pukulan Palu Dewa Petir!

Jbooooooooookghh!!

Sang pembokong terlempar jauh saat wajahnya tersambar pukulan berselimut Ki dari seorang raksasa berambut kribo.

“Makasih, zheyeng,” ucap Bian sembari mengatur pernapasannya. Tubuhnya gemetar dan bergoyang tidak stabil pertanda ia tidak sedang baik-baik saja. Tenaganya terlampau terkuras habis.

“Fokuz, mblong. Zudah terlalu zering kamu kehilangan fokuz.” Hageng menepuk pundak sang sahabat. “Mazih kuat?”

“Masih.”

Hageng mengangguk dan melesat untuk menyerang dua orang yang maju menyerang dengan double clothesline, kedua tangannya merentang ke samping dengan kencang. Kedua orang lawannya yang sial itu tersodok di leher dan langsung terjungkal. Mereka tidak paham kenapa tiba-tiba saja ada tiang jemuran di depan mata.

Bian bersiap lagi dan memasang kuda-kuda, ia menyadari ada dua orang yang datang untuk menyerangnya. Hageng benar, dia harus fokus. Itu salah satu kelemahannya. Jika dalam kondisi kecapekan, dia sering mulai kurang kendali pada perhatiannya.

“Kelelahan. Lawan yang mudah.”

Eh!?

Siapa itu yang berbicara? Bian menatap ke depan dan melihat kedua calon lawannya sudah menghilang! Kemana mereka? Bukannya tadi berjalan ke sini?

Seketika itu ada bayangan menutup dirinya, seperti payung.

Bian terbelalak. Ia mendongak.

Dari atas, muncul seorang pemuda dengan rambut panjang tergerai yang mengenakan baju kedodoran, alhasil kemeja yang ia kenakan jadi mirip sayap seekor tupai terbang. Ketika turun, tangannya membentuk tekukan di siku dan pergelangan tangan, mirip seperti seekor burung yang siap untuk mematuk – sementara kakinya juga ditekuk dan siap untuk menjejak.

Bian geram, sial! Dia tidak siap! Dia mencoba berkelit, tapi tidak bisa. Dia tidak bisa bergerak!

Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!!

Patukan si tupai terbang mendarat dengan sempurna di wajah dan dada Bian, membuatnya terhempas ke bawah. Si tupai terbang menjejakkan kaki di tanah dan sekali lagi melompat, lalu melakukan pendaratan dengan menginjak dada Bian menggunakan kedua kakinya.

Hbkkkgh!

Bian melotot saat dadanya ibarat ditimpa satu set piano klasik. Orang ini... dia kurus tapi berat injakannya... Tubuh Bian makin amblas ke tanah. Pandangannya mulai gelap. Sialan. Masa begini saja? Tidak mungkin dia secepat ini lemas.

Bian mencoba melawan sekuat tenaga, dengan susah payah si Bandel mencoba menggerakkan badan.

Tapi... tidak, tidak bisa, ia sudah tidak bisa lagi bergerak.

“Kelelahan. Lawan yang mudah,” ucap si tupai terbang sekali lagi dengan pandangan dingin ke arah Bian.

Bian geram sekali – tapi tak berdaya.

Kaki si tupai terbang berputar dan ia melepaskan rentetan tendangan ke wajah si Bandel tanpa sekalipun ia bisa melawan.

Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!!

Berulang kali kaki itu menjejak. Rahang, bibir, hidung, pipi, dan dahi - semua kena. Bian hanya sanggup memejamkan mata dan menahan sakit. Kepalanya sudah terlampau pusing, dan kesadarannya perlahan terpupus. Kepalanya berulang kali dihentakkan ke tanah.

Masa iya dia bakal dihancurkan hanya dengan begitu saja?

Tangan Bian mencengkeram tanah, dengan kesungguhan hati dan tekad baja ia berteriak kencang untuk mengangkat diri sendiri dari atas tanah. “Heaaaaaaaaaa!!”

Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!!

Kembali rangkaian serangan silih berganti dari kaki si tupai terbang mendarat sempurna sebelum Bian sanggup berdiri. Si Bandel terhempas untuk kedua kalinya. Sial. Dia benar-benar sudah tak bisa lagi bergerak.

Jpppkkkkkkkghhhhhhhhhhh!!

Satu serangan pamungkas dilakukan si tupai terbang, sepakan kencang ke arah rahang. Habis sudah. Bian terguling ke samping beberapa kali saking kencangnya tendangan itu. Rahangnya serasa remuk redam. Pusingnya menyengat sampai kepala.

Tuntas.

Bian sudah dituntaskan.

Dia terkapar tanpa daya.

“Biaaaaaaaaaaan!!” Deka yang berada tak jauh dari Bian berteriak kencang. Saat itu dia sedang menghadapi tiga lawan sekaligus. Mengkhawatirkan Bian, Deka mempercepat pertarungannya sendiri.

Ketika satu lawan datang, Deka segera menepis pukulannya dan menghentakkan kepalan di dada sang lawan.

Tubuh lawan Deka itu roboh dan mengejang. Sodokan Penggetar Jantung si Gondes beraksi.

Lawan keduanya datang dari samping, tendangan menyambar pinggang Deka. Hukkkgh! Masuk, tapi tak seberapa terasa karena Perisai Genta Emas sudah diaktifkan. Deka mengait kaki sang penyerang dengan tangan kiri, menariknya, lalu menghentakkan tangan kanan kembali di dada sang lawan.

Nasib yang sama terjadi pada lawan Deka seperti kawan sebelumnya.

Seorang lawan lagi masuk dari belakang dan langsung mengaitkan lengan untuk mengait leher Deka, mencoba membuatnya mati dengan leher terkunci. Tapi Deka tentu tak semudah itu dikalahkan. Dia mengerucutkan tubuh ke depan, membanting sang lawan ke arah depan.

Bdkkkgh!

Begitu lawannya terhempas ke tanah, Deka menyalurkan Ki ke tangan kanan. Satu ledakan api biru mendarat di wajah sang lawan.

Jbkkkkkkkkkkkkghhh!

Tak ada perlawanan lagi, sang lawan sudah tuntas.

Deka buru-buru berlari menuju ke arah Bian yang terkapar.

Perisai Genta Emas level bawah. Masih bisa ditembus.”

Deka terhenti sebelum mencapai Bian. Siapa barusan yang bicara?

Seperti halnya serangan awal yang menyerang Bian, ada bayangan muncul dari atas Deka. Tapi kali ini patukan sang lawan tak dapat menembus pertahanan si Gondes. Perisai Genta Emas-nya bicara.

Si tupai terbang meloncat ke belakang tiga meter jaraknya.

Dua kawannya yang lain bergabung dengannya. Satu rambut mohawk, satu gundul, dan si tupai terbang tentu saja berambut panjang yang bahkan menutup sebagian wajahnya. Tiga orang berbahaya dengan ilmu kanuragan ajaib.

Ketiga orang ini...

Deka mendengus.

Gawat.

Kalau tidak salah dengar cerita Amar pada suatu ketika, mereka inilah ujung tombak PSG, para maskot utama – Tiga Gentho dari Bondomanan atau 3GB. Si gundul yang sedang mengunyah permen karet biasa disebut Yosan, entah siapa nama aslinya. Tubuhnya cukup kekar dan meski tak mengenakan baju, ia mengenakan rompi yang di tiap kantongnya selalu terdapat permen karet. Tato yin yang terdapat di lengan kiri dan tato logo Spider-Man ada di dadanya.

Pria yang tadi menyerangnya, si tupai terbang – adalah seorang pemuda kurus berambut panjang yang mengenakan kemeja serta celana kedodoran berwarna cream. Pemuda kurus ini memiliki tubuh agak bongkok. Itu sebabnya dia dijuluki Grago yang artinya anakan udang. Satu ciri khas lagi dari Grago adalah adanya luka jahit panjang di lehernya – luka itu membuatnya hanya bisa berbicara dengan bisikan pelan.

Yang terakhir tentu saja si rambut mohawk, seperti kedua kawannya yang lain, nama aslinya tidak diketahui tapi sering dipanggil dengan nama Udet yang artinya anakan belut. Dia mudah dikenali dengan rambut mohawk, serta anting di hidung dan ujung alis kanan. Kemampuan Udet tidak banyak diketahui publik, tapi dia selalu mudah lolos dari situasi bahaya apapun sehingga dijuluki Udet.

Sepengetahuan Deka, berbeda dengan Perisai QZK dan Anak Panah JXG yang sering tampil mandiri, 3GB dari PSG selalu tampil bertiga sebagai satu kesatuan. Tag-team.

Huff.

Deka melirik ke arah yang lain. Hageng posisinya agak jauh dan dia sedang direpotkan oleh serangan anggota PSG yang tanpa henti, Rao jangan ditanya lagi – dia jauh lebih repot. Jadi... mampukah Deka menghadapi 3GB seorang diri?

Bukan saatnya untuk bertanya-tanya. Hadapi saja, bisa atau tidak itu masalah belakangan.

Deka menyalakan Ki-nya.

Energinya sudah banyak terkuras habis terutama saat berhadapan dengan Amar Barok tadi, kini ia hanya bisa menggunakan sisanya – dan itu sangat terbatas. Tidak masalah, Perisai Genta Emas siap bekerja.

Udet mendekati Grago. “Bagaimana?”

Perisai Genta Emas. Baru level bawah,” bisik si tupai terbang yang memiliki tatapan dingin di balik tirai rambutnya.

“Tahu titik kematiannya?” Udet sepertinya tahu seorang pengguna PGE memiliki kelemahan yang disebut titik kematian. Mungkin ini bukan pertamakali ia berhadapan dengan seorang pengguna PGE. “Ketuk titik itu dan dia bakal jadi anak itik.”

Grago mengucap rapalan pelan, ia menggosok pelupuk matanya, dan menggeleng setelah beberapa saat mengamati. “Masih belum terlihat.”

“Kekekeke, sialan. Anak pinter dia. Disembunyiin di mana ya?” Udet mendengus. “Yosan! Kamu duluan!”

Yosan mengangguk sambil memecahkan balon permen karetnya. Dia mendekat ke arah Deka yang sudah memasang kuda-kuda. Sang pengunyah permen karet merentangkan tangan ke depan, lalu memutarnya dengan gerakan yang membentuk lingkaran yin dan yang.

Deka mengerutkan kening. Apa itu? Taichi? Apa yang dia lakukan?

Sbkkkkghhh!

Deka terbalalak. Tiba-tiba saja ada sodokan kencang yang menyerang bagian tengkuknya! Untung saja pertahanannya sudah aktif sehingga dia terlindungi. Meski hanya menyengat sesaat tapi cukup mengagetkan. Serangan itu membuat Deka menengok ke belakang.

Siapa yang menyerangnya barusan!?

Grago.

Tiba-tiba saja sudah ada di belakang Deka.

“Bukan di tengkuk,” bisik si tupai terbang.

Deka mengalirkan tenaga Ki ke tangan dan melepas backhand ke belakang. Dengan gerakan ini dia harus menyalurkan Ki yang tadinya digunakan untuk membentuk lapisan pelindung tak kasat mata dari Perisai Genta Emas ke pukulan. Resiko memiliki dua jurus pengguna Ki yang bertolak belakang harus membagi tenaganya.

Serangannya gagal.

“Kesalahan. Perisai jadi lepas,” bisik Grago.

Grago menghindar dengan mudah dari serangan Deka, dia berkelit secepat kilat, lalu menggunakan tangan kiri untuk mengunci lengan dan menepuk bagian ketiak Deka yang terbuka saat melakukan serangan backhand.

Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!!

Deka terbelalak dan meraung kesakitan. Bagai ada ledakan di dalam tubuhnya hanya karena tepukan barusan! Apa-apaan itu tadi!? Si Gondes melangkah mundur dengan teratur untuk menjaga jarak dengan Grago – dia menyadari Ki-nya sudah mulai habis. Bagian bawah lengannya nyeri bukan kepalang.

Tapi dia tak akan menyerah!

“Kelemahan terlihat. Perisai sudah terbuka.” desis Grago perlahan. “Bukan di ketiak,” bisik si tupai terbang.. Ucapannya hampir tak terdengar siapapun, Deka hanya bisa mendengarnya karena posisi mereka sangat dekat. Tangan pemuda berambut panjang di hadapan Deka menepuk wajah si Gondes beberapa kali. Sepertinya hanya tepukan ringan, namun Ki yang menyertainya... luar biasa.

Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!!

Kepala Deka terlontar ke kanan dan kiri dengan sentakan kencang. Dia bahkan tak bisa mengaktifkan Perisai Genta Emas meski sudah mencobanya, kenapa? Apakah dia sudah terlalu banyak mengambil daya Ki saat berhadapan dengan Amar Barok?

“Sepertinya kamu kurang memperhatikan lingkungan sekitar. Dalam pertarungan melawan banyak lawan seperti ini, pengamatan lingkungan sangat penting. Harus terus fokus tanpa henti, kecuali kalau kamu memang sudah sangat pasrah dan cari mati. Kekekeke.”

Deka terbelalak. Dia bahkan tidak menyadari keberadaan Udet yang tiba-tiba saja sudah berada di dekatnya. Begitu cepatnya! Udet menarik tangannya sendiri hingga ke pinggang, lalu menyodokkanya ke ulu hati Deka dengan satu sentakan kencang.

Si Gondes tidak dapat bergerak karena kagetnya. Ulu hatinya bagai ditusuk oleh tombak.

Boooom!

Deka terlempar ke belakang, meski tidak terjatuh. Langkah kakinya tak terkendali. Matanya mulai memandang gelap, rasa sakit dan sesak berkecamuk di dalam dadanya. Deka memejamkan mata, dia terantuk, terhempas, terguling, dan terbanting.

Deka ambruk tanpa daya.

Sudah selesai.

Sial.

Kenapa dia selemah ini?

Si Gondes ambruk tak jauh dari Bian.

Dua dari tiga. Semudah itu.

Satu-satunya harapan mereka kini adalah Hageng.

Udet berjalan santai menuju Grago yang sedang jongkok mengamati Hageng dengan langkah kaki ringan. Si rambut mohawk terkekeh, “Kekekeke. Kok mudah sekali ya menundukkan mereka? Kirain lebih susah. Kalau begini caranya, Aliansi bakal bisa kita tumpas dalam sehari – seperti Patnem. Kualitasnya cuma begini saja. Kekekeke...”

“Hhh.” Grago cuek. Wajahnya masih tersembunyi di balik rambut panjang di depan wajah.

“Hanya tinggal yang bertubuh besar itu yang berdiri. Bisa lihat juga kelemahannya?” tanya Udet pada sang teman.

Grago mengucap rapalan pelan, ia menggosok pelupuk matanya, dan mengangguk setelah beberapa saat mengamati. “Bisa.”

“Tahu kelemahannya apa?”

“Tahu.”

Udet terkekeh, “Beritahukan padaku. Aku yang akan menyelesaikannya.”

“Tulang rusuknya sedang terluka. Bagian kanan. Serang itu.”

“Kekekekkee, top markotop sambel pete wedang ronde! Yosaaaan!”

“Siaaaap!”

Pria yang dipanggil dengan sebutan Yosan pun merentangkan tangan ke depan dan membentangkan jari jemarinya begitu ia hampir mendekati Hageng. Entah apa yang tengah dilakukannya.

Udet melangkah pelan ke depan menuju si bongsor.

Hageng yang tahu hanya dia yang tersisa untuk menghadapi 3GB sama sekali tak beranjak dan tak bergerak. Sang T-Rex memasang kuda-kuda bak seorang petinju.

Betapa kagetnya Hageng ketika tiba-tiba saja sang lawan sudah melesat cepat hingga sampai di berada tepat di depannya.

Udet meringkuk ke bawah, sekali lagi jemarinya berputar seperti mengumpulkan sesuatu di udara. “Ayolah, kita sama-sama tahu kamu sudah habis. Biarkan aku menidurkanmu dan kamu tidak akan merasakan sakit sama sekali.”

Hageng mencoba mundur, tapi tak bisa. Rupanya ia sudah benar-benar terlampau lelah sampai-sampai tak dapat bergerak. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi kecuali... terus menyerang! Hageng menghunjamkan sikut tangannya ke bawah menuju pundak Udet dengan sekuat tenaga.

Udet tersenyum. Tepat sebelum sikut Hageng mencapai posisinya, sang pria aneh itu pun berbisik pelan, seperti mengucap rapalan. Ia melecutkan tangan yang tadi ia siapkan menuju rusuk Hageng yang kesakitan.

Boooom!

Tubuh Hageng terlontar ke belakang, terbang bagaikan kapas ditiup angin. Padahal hanya dengan satu serangan saja tapi sudah bisa melemparkan tubuh Hageng! Tubuh sang raksasa jatuh bergulingan di atas tanah lapangan. Sakit? Sudah pasti. Apalagi tulang rusuknya yang masih terasa tidak nyaman setelah dihajar om Kimpling di Tarung Antar Wakil tadi kini makin menjadi, bagai ada luka dalam karena tusukan tombak.

Hageng akhirnya berhenti setelah beberapa kali terguling-guling di tanah. Tenaganya habis, terutama sekali karena dia belum makan sejak pagi. Ah... seandainya saja ada kue cucur atau serabi kocor pasti beda ceritanya. Sang T-Rex kelelahan dengan tarikan napas yang berat.

Dia terkapar tanpa daya.

Habis.

Peluang terakhir menyelamatkan Rao sudah jatuh.

Rao sendiri entah sedang berada di mana dikeroyok oleh puluhan anggota PSG, Nuke berhasil dibawa pergi oleh orang-orang PSG untuk dibawa ke Joko Gunar, dan ketiga anggota Lima Jari yang sedianya mau menyelamatkan Rao, malah dihajar tanpa ampun oleh ketiga manusia maut 3GB.

Udet terus menerus tertawa, dia sendiri keheranan kenapa mudah sekali menaklukkan orang-orang ini. Dia mengira lawan-lawannya akan memberikan perlawanan yang berarti. Pimpinan 3GB itu melambaikan tangan dan pasukan PSG di belakangnya – sekitar sepuluh hingga lima belas orang, berlari menuju ketiga anggota Lima Jari. Siap mengeroyok sampai tuntas mereka yang sudah lemas.

Situasi sangat tidak mendukung ketiga sahabat.

Mereka terlalu kelelahan.

Deka, Hageng, dan Bian berkumpul sembari terkapar di lapangan. Mereka hanya bisa pasrah kalau benar akan dihabisi oleh PSG.

“Zeandainya ada zerabi...”

“Apa... yang... harus... kita lakukan sekarang? Huff... huff...” Deka terengah-engah, dia sudah tidak kuat lagi. Ki-nya sudah sangat terkuras, tenaganya sudah sangat terkuras, pikirannya sudah sangat terkuras. Biasanya dia bisa merencanakan sesuatu, tapi tidak kali ini. Kali ini dia sudah terlalu letih. Pertarungan kali ini membuka matanya. Masalah utama Deka, memang ada di stamina. “Jangankan menyelamatkan Rao, ini kita malah ditumpas. Mungkin...”

“Mungkin... mungkin harus kita tanyakan ke dia...” Bian juga ngos-ngosan. Dia tadinya mencoba berdiri untuk menyongsong pasukan PSG yang akan menyerang mereka, namun kembali jatuh terduduk. Meski begitu, Bian masih sempat menunjuk ke depan.

Saat itulah terdengar hembusan angin yang kencang.

Tidak disebabkan oleh angin yang natural, karena nampaknya seseorang tengah mengerahkan teknik ringan tubuh mengagumkan untuk mengamuk di tengah laga. Dia berhasil mengusir mundur pasukan PSG yang tadinya maju untuk menyerang ketiga sahabat. Sosok itu memiliki gerakan tubuh yang ringan dan tangkas, gerakannya mulus halus tanpa cela, meloncat seakan terbang di udara. Putaran kaki dan lengannya cepat menghentak, dihempaskan dengan kencang, dan menarik diri sebelum lawan sempat membalas.

Satu persatu lawan yang menyerang pun akhirnya diatasi.

Suara tubuh berjatuhan terdengar di tengah kabut debu yang berputar bak tornado mini. Tidak ada yang bisa melihat apa yang terjadi. Sampai akhirnya suara pertarungan usai dan rapi.

Angin berhembus dengan kencang membentangkan pandangan ketika debu-debu mulai menghilang. Kabut yang tadinya mengungkung lokasi di sekeliling ketiga sahabat kini tak lagi membatasi jarak pandang. Pemandangan yang mulai cerah membuat mereka dapat menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi.

Bian, Deka, dan Hageng terkejut ketika melihat anggota PSG yang tadinya akan menyerang mereka sebagian besar sudah ambruk tak berdaya. Ada yang pingsan ada yang merintih kepayahan tak mampu bangkit tanpa bantuan.

Satu-satunya yang masih berdiri di tengah-tengah para lawan adalah sosok seorang pemuda gagah.

Deka, Bian, dan Hageng saling berpandangan.

Pemuda itu... bukan Nanto kan?

Bukan.

Dia jelas bukan Nanto, pemuda yang mengenakan topi trucker hat dan mengecat rambutnya dengan warna coklat itu bernama Pasat.

Pasat Bayuputra.

Ini adalah kali pertama mereka berjumpa dengannya.

Pasat berpaling ke arah ketiga sahabat sambil tersenyum. “Aku tahu akan berjumpa dengan kalian di sini. Jangan khawatir, bantuan sudah datang.”

Hageng, Bian, dan Deka melihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa yang datang.

“Bantuan yang mana?” Deka bertanya.

“Ya aku ini bantuannya. Namaku Pasat. Salam kenal.”

Setelah mengucapkan perkenalan, Pasat melesat menuju ke arah gerombolan PSG yang kembali hendak menyerang ketiga sahabat.





.::..::..::..::.





“Kamu kaget ya ketemu aku?”

“Ya iyalah. Kaget banget. Aku masih tidak paham bagaimana aku bisa bertemu denganmu di tempat seperti ini.”

Nanto membalas senyuman seorang wanita jelita yang saat ini menatapnya dengan pandangan manja. Si cantik itu hanya mengenakan lingerie warna hitam yang menggoda. Rambut hitam panjang dibiarkan tergerai. Tidak biasanya Nanto menatap wajah cantik itu seperti ini karena biasanya ia mengenakan kerudung untuk melindungi kepalanya yang mungil.

Mereka berdua kini sedang berada di sebuah kamar yang serba putih – sangat indah dan nyaman. dia bahkan tidak menyangka ada ruangan seperti ini di gudang milik RKZ, ataukah mereka sudah berpindah lokasi?

Nanto lupa. Dia tidak ingat apa yang sebelumnya terjadi.

Semuanya serba aneh, kacau, tapi juga menyenangkan.

Karena kini dia sedang berdua dengan bu Asty yang tengah berbaring setengah telanjang di hadapannya di sebuah ranjang dengan seprei putih bersih.

Bu Asty!?

Iya. Bu Asty. Kaget kan?

Sosok guru BK yang tegas dan mengayomi lenyap digantikan oleh sosok perempuan yang menggoda, manja, dan membuat darahnya bergejolak. Si Bengal sama sekali tidak mengira dia akan berjumpa lagi dengan Asty dalam situasi yang seperti ini setelah resmi berpacaran dengan Kinan.

Tapi... masa sih menolak yang seperti ini? Malu-maluin persekutuan garangan.

“Rrrr.” Asty menggeram dan menjilat bibirnya dengan manja saat Nanto tersenyum dan melangkah mendekatinya, si jelita itu menyusurkan jemarinya di dada si Bengal yang bidang. Matanya tajam menatap ke atas, bertemu dengan pandangan mata Nanto. “Kamu terlihat lebih gagah sekarang. Kenapa bisa begitu? Kenapa sekarang aku tidak pernah dibagi badanmu yang tambah gagah begini? Sudah melupakan aku?”

“Kamu mau?”

“Banget.” Asty tersenyum menggoda, “kamu tidak tahu aku kangen berat?”

Nanto ikut tersenyum dan mendekatkan wajah ke pujaan hatinya, mereka saling menatap. Saling memanjakan diri dengan wajah idaman di depan mata. Asty memang perwujudan seorang venus di bumi.

“Aku tahu. Aku juga,” bisik Nanto.

Wajah mereka kian dekat, makin dekat, semakin dekat, semakin dekat, hingga akhirnya bertemu. Bibir mereka berpagutan. Saling melindas menunaikan rindu yang tanpa batas. Tangan si Bengal melingkar di pinggang sang ibu muda, memeluknya lebih erat. Mulut mereka merekah, tak perlu lama sebelum memadukan lidah. Tangan si Bengal juga nakal, naik ke atas, meraba, dan meremas. Dada sentosa Asty adalah impian setiap insani. Sang ibu muda melenguh nikmat, mereka terus berciuman, sampai akhirnya Nanto memainkan bibirnya turun ke bawah, ke leher mulus Asty. Wanita jelita itu menggelinjang, kegelian, ia mengangkat wajah Nanto, dan mencium bibirnya kembali.

Tanpa melepas katupan bibir di antara keduanya, baik Nanto maupun Asty sama-sama saling melucuti pakaian masing-masing. Nanto melepas lingerie indah yang pas banget memamerkan badan seksi sang ibu guru, sementara Asty melucuti semua yang dikenakan oleh si Bengal, hingga keduanya kini sama-sama telanjang.

“Wow.” Asty memainkan jemarinya di dada bidang si Bengal sembari tersenyum nakal usai melepaskan pagutan. “Lebih mantap dari yang terakhir kali aku lihat. Semakin kotak-kotak. Kok bisa sih...? Gemes.”

Nanto tak banyak mengeluarkan kata, dia juga tengah mengagumi keindahan tubuh sang ibu muda yang terlalu indah untuk seorang ibu anak satu – lebih seperti seorang perawan yang belum pernah dijamah. Wajah cantik, rambut panjang hitam, kulit putih mulus tanpa cela, lekukan badan menggelora, gumpalan dada penuh dan kencang, puting warna pink yang manis dan menggoda, serta lipatan indah di selangkangan yang bersih dan tanpa penghalang.

“Dicukur?” si Bengal memainkan jemarinya di bawah pusar sang bidadari jelita.

“He’em... khusus buat kamu. Kamu suka?”

Nanto mengangguk. Si Bengal menurunkan kepalanya, mendekati Asty, bibirnya sampai paling awal ke arah pentil susu kanan sang dewi. Benda mungil yang menonjol karena melejitnya napsu birahi Asty membuat Nanto mudah memainkan bibir, gigi, dan lidahnya.

Perlakuan Nanto membuat Asty menggelinjang, antara geli dan mau. Ia mendesah. Manja.

“Mmmhhh... aaahhh... kok nakal sih...?”

Tangan sang bidadari bermain di bagian belakang kepala si Bengal, mengacak-acak rambutnya, menjambaknya, menekannya. Ia ingin terus dinyamankan dan dinakali. Nanto turun ke bawah, makin turun, makin turun, makin ke bawah. Bibirnya bermain, lidahnya menelusur. Dari bulat bundar buah dada Asty, turun ke bawah, ke pusar, perut sekeliling, turun ke bawah lagi, ke bekas cukuran di bawah perut, ke bawah lagi...

Asty tahu apa yang diinginkan si Bengal. Ia membuka pahanya lebih lebar, direnggangkan sebisanya.

“Mmmhhh... aaahhh... nakal banget kamu... berani banget sama guru kamu sendiri...”

Lidah Nanto menjawab pertanyaan retoris Asty. Ia menelusuri tiap lekuk perut dan pinggang sang bidadari dengan lidahnya, ibarat mesin penggilas yang tak meninggalkan sisa. Semua dijelajah. Sampai tentu saja puncaknya pada bibir kewanitaan sang wanita jelita itu.

Sapuan lidah si Bengal di tonjolan kecil di atas bibir kewanitaan Asty menjadi pemula sekaligus pemantik. Ibu muda itu menggelinjang diberikan kenikmatan duniawi melebihi yang pernah ia bayangkan dan alami saat bersama dengan suaminya. Ini sebabnya dia akan selalu merindukan Nanto. Si Bengal memberikan suasana yang berbeda. Dia memberikan lebih.

Lebih lama, lebih panjang, dan lebih besar.

“Mmmhhh... aaahhh... lidah kamu... aaahhhh....”

Kelentit sang dewi yang mungil dan sensitif dipermainkan sedemikian rupa sehingga oleh Nanto sehingga Asty melenguh panjang dan penuh kenikmatan. Bibirnya menghisap, lidahnya menjilat, giginya menggigit lembut. Sensasinya? Sampai ujung kepala. Tangan si Bengal juga tak begitu saja diam, ia meremas-remas pantat bulat sang bidadari idamannya.

“Ahhhhhggkkk... aaaaaaakkkghhhhh!!”

Asty menggigit bibirnya sendiri, si Bengal sungguh tak mengampuninya. Dia hanya bisa memejamkan mata menikmati lidah, bibir, dan gigi Nanto bermain di setiap sudut liang kewanitaannya. Sebagai seorang wanita yang lebih dewasa, dia sebenarnya malu dapat ditaklukkan semudah itu oleh Nanto.

“Bagaimana rasanya?” bisik sang pemuda.

“Emmmhhh... kok nakal banget sihhh... enaaaak tau...”

Nanto tersenyum dan kembali mengangkat tubuhnya sendiri ke atas, kembali ke buah dada sentosa milik Asty. Ia melumat gumpalan kenyal nan sempurna itu. Sekali lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. Pentil susu sang ibu muda pun tak lupa digigit lembut. Sementara Asty makin nyaring desahannya.

Tangan Nanto menelusur ke bawah. Dari perut ke selangkangan. Jarinya bermain. Masuk ke dalam dan membuat kekacauan.

Asty menggelengkan kepala. Nanto tersenyum melihat perubahan wajah sang bidadari. Ia juga merasakan cairan cinta kian membanjir di dalam gua surgawinya. Jemari Asty tak ingin kalah, dia menggapai batang kejantanan si Bengal yang sudah menegak mengencang bagai batang kayu. Asty mengelusnya, membelainya, memainkannya dengan penuh rasa sayang.

“Aaaaahaaaaakgh!”

Asty mendesah kencang ketika jemari Nanto dikeluarkan dari liang cintanya, sudah disertai dengan cairan cinta yang membasahi.

Asty terengah-engah ketika Nanto melepaskan pelukannya. Keduanya saling berpandangan. Mereka sudah bukan lagi Asty dan Nanto. Mereka adalah sosok napsu birahi yang mewujud dalam tubuh dua makhluk berlainan jenis. Tak ada yang bisa menghalangi. Si Bengal mengangkat tubuh ibu gurunya, dan membawanya ke atas pembaringan.

Mata si Bengal tak lepas dari selangkangan Asty, sungguh menggairahkan dan nampak berbeda dari biasanya. Dia sudah tak sabar lagi. Begitu Asty terbaring, Nanto segera meposisikan batang kejantanannya tepat di depan bibir liang cinta sang dewi. Dia akan memasukkannya, tanpa ampun dan tanpa basa-basi. Ia memejamkan matanya dan bersiap.

Jangaaaaan, Mas! Jangaaaaaaaaaaan!! Aku tidak mauuuuuu!!

Hah!?

Nanto membuka matanya, tubuh Asty menggelinjang dan menanti. Sang bidadari itu mengangguk dan menjilat bibir. Menunggunya. Nanto tersenyum, lalu mulai melanjutkan niatnya yang sempat terhenti.

Satu. Dua. Tiga.

“Ahaaaaaaaaakghhh!” Asty melenguh kencang.

Si Bengal membentangkan kaki Asty lebar, membiarkan batang kejantanannya melesak masuk ke dalam, menikmati pijatan dinding vagina yang hari ini jauh lebih rapat dan kencang. Enak sekali. Benar-benar enak sekali. Gila. Nanto menarik mundur pinggulnya, lalu maju lagi untuk menyerang.

Aaaaaaaahkh.

Luar biasa. ini bukan kali pertama Nanto bermain cinta dengan Asty, tapi entah kenapa rasanya vagina ibu muda itu jauh lebih menjepit dan rapat, membuatnya merem melek. Luar biasa memang sang bidadari pujaannya. Selalu punya kejutan di setiap kesempatan mereka bercinta.

Tubuh Asty bergetar hebat saat penis si Bengal menghunjam ke dalam. Jari jemari Asty kencang mencengkeram pundak sang pemuda. Kadang terasa teramat kencang seperti hendak melukainya. Nanto maju mundur, setiap desakan membuat batang kejantanannya makin melesak. Laju, semakin laju, laju, dan laju. Sampai akhirnya seluruh batang masuk ke dalam.

“Aaaaaaaaahhh... aaaaaaaahhh!!” Asty berteriak menggila, kepalanya dilempar ke kanan dan kiri karena rasa sakitnya tak terperi.

Agak tumben, tidak biasanya begini. Tapi Nanto suka.

Ia maju sedikit, berhenti lama, lalu maju lagi. Ingin membuat liang surgawi Asty bagai cetakan yang hanya pas menerima kemaluannya seorang. “Enak banget sayang... aku selalu mengidam-idamkan melakukan ini dari SMA. Nikmatnya luar biasaaaa...”

“Eheeeeeekghhh... kuraaaang ajaaar... mana adaaa murid nidurin guru sendiri! Kamu emang kurang ajar sejak awaaaaal... aaaaaaaah! Aaaaaaaah!”

“Tapi kamu suka kan?”

“Bangeeeeeet... teruuuus... teruuuuus...”

Nanto tersenyum, seandainya saja bu Asty tahu kalau dulu bukan hanya dirinya saja yang mendambakannya. Orang-orang sering membincangkan bu Asty yang terlalu molek dan cantik untuk menjadi guru BK, termasuk di antaranya guru-guru muda lain yang menyayangkan kenapa guru sejelita Asty harus sudah menikah sehingga mereka tidak punya peluang.

Nanto beruntung kini batang kejantanannya bisa keluar masuk penuh aksi di vagina bu Asty.

Batang kejantanannya keluar masuk berulang-ulang di liang cinta sang ibu muda. Dia melakukannya dengan birahi yang makin lama makin meledak. Ibarat gunung yang bertahun-tahun tertidur dan akhirnya meletus. Kekuatannya makin lama makin membesar – membuat Asty tersengal-sengal. Gesekan demi gesekan yang menggerus dinding liang kewanitaannya menimbulkan rasa nikmat yang tak ada bandingannya. Asty tidak tahan untuk tidak menjerit, desakan kemaluan Nanto mengguncangnya – sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, berulang-ulang kali. Begitu kencangnya desakan Nanto sampai-sampai buah dada Asty bergoyang tanpa terkendali.

“Ahaaaaakkkghh! Terussss... teruuuuuss... enaaaaaakkghh!!”

Asty melenguh, mendesah, dan semakin tak mampu bertahan.

Nanto yang melihat Asty menggelinjang dengan buah dada sempurna yang bergoyang erotis keenakan juga semakin liar menanggapi, sembari terus memompa liang cinta sang bidadari, tangannya bergerak tanpa henti tanpa arah, meraih menjejak meremas dengan gemas, menjelajah ke seluruh tubuh mulus Asty dengan buas – tak ingin menyisakan sejengkal pun tanpa ia sentuh dan ia libas, tak ada yang bebas, tak ada yang lepas.

Asty merem melek keenakan, sodokan batang kejantanan Nanto yang jauh lebih memuaskan dari sang suami membuatnya makin terbang melayang ke sudut awan, sungguh nikmatnya tidak karuan.

Tapi tidak lama.

Tiba-tiba saja Nanto menarik diri dari Asty. Tentu saja itu membuat sang ibu muda kena tanggung.

“Loooooh kok udahan...? Kenapa?” tanya si jelita itu manja. “Lagi doooong. Mau lagi....”

“Dari belakang.”

Oh, Asty baru paham.

Dia membalik diri dan menunggingkan badan membelakangi si Bengal. Pantatnya naik ke atas dengan sensual. Dengan ini mereka bisa melakukan posisi bercinta yang biasa disebut doggy style. Penis si Bengal kembali menghunjam dalam-dalam sembari diiringi lenguhan kencang.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhkghh...”

Sekali lagi Nanto membuktikan diri sebagai pejantan yang paling pas buat Asty. Si jelita itu mendesah-desah saat digoyang maju mundur dengan sodokan yang semakin lama semakin kencang. Pantat bulat bundar Asty dipegang, diremas, ditarik, dimajukan, digerakkan, diperlakukan sekehendak hati oleh sang pemuda yang dulu pernah menjadi muridnya.

Keduanya dibanjiri keringat.

Sambil terus memompa badan di tubuh seksi Asty, Nanto memegang, meraba, dan meremas-remas buah dada sentosa yang menggumpal sempurna di dada sang bidadari. Asty memang luar biasa. Tubuhnya terlalu indah dan seksi untuk dibiarkan begitu saja, payudara ibu muda itu mengencang dan ujung putingnya kian mengeras karena Asty sudah teramat terangsang.

Payudara Asty menjadi perhatian si Bengal, ditambah posisi tubuh sang mantan guru BK yang menungging menjadikan buah dadanya yang menggelantung kencang teramat seksi. Ditarik dan diremas-remas buah dada Asty dengan sedikit kasar, membuat si jelita itu merintih sakit tapi nikmat. Ini keterlaluan. Nanto sungguh keterlaluan. Batang kejantanannya menyesaki liang senggamanya dengan cara yang tidak bisa ia bayangkan. Ibu muda itu menggila tak mampu menguasai diri, suaranya mendesah-desah. Ia sudah tak lagi peduli jika suaranya terlalu kencang hingga terdengar sampai di luar ruangan. Ia melenguh, berteriak, menjerit, melepaskan seluruh rasa yang menyesak dalam dada.

Lima belas menit, mereka bersetubuh dalam asmara birahi nan menggelora. Puncak sudah pasti terdaki, mungkin hanya tinggal setarikan napas. Asty ikut menggoyang pantatnya maju mundur untuk menyamakan irama dengan gerakan Nanto. Suara tepukan selangkangan di pantat Asty terdengar nyaring. Si cantik itu merem-melek. Ia makin laju menuju puncak.

“Terus... terus... lebih kencang lagi... lebih kencang lagi!”

Nanto mengikuti apa yang diinginkan oleh sang pujaan hati.

Kamu jahaaaaat! Kamu jahaaaaaaaaat!! Hentikaaaaaaaaan!!

Nanto tersenyum sembari terus mempercepat sodokan. Kenapa kalimat Asty menjadi kontradiktif begitu? Tadi bilangnya terus, sekarang suruh berhenti.

“Aaaahhhaaaaaaakgh!”

Asty melenguh kencang dan panjang. Cairan cintanya mengalir deras membasahi batang kejantanan si Bengal yang masih bergerak maju mundur keluar masuk di lubang kewanitaan sang ibu muda. Lenguhan Asty membuat Nanto kian bernafsu dan makin cepat menggerus bagian intim sang wanita jelita. Asty tak bisa menolak dan mencoba bertahan. Ia meremas seprei dan membenamkan kepalanya ke bawah.

Maju mundur. Maju mundur. Maju mundur. Maju mundur. Maju mundur.

Terus dan lagi. Terus dan lagi. Terus dan lagi. Terus dan lagi.

Tubuh si Bengal menegang, ia memejamkan mata, dan melenguh panjang. Hangat terasa. Cairan cinta tumpah ruah di dalam liang surgawi milik sang bidadari. Asty memejamkan mata saat merasakan ujung gundul si Bengal mengeluarkan semua isinya.

Nanto lantas menjatuhkan tubuhnya yang berkeringat deras di samping Asty. Ambruk dengan hati senang di samping wanita yang selalu membuatnya terkagum-kagum itu. Sang ibu muda juga terdiam dan menarik napas pelan dan teratur – mengatur diri sendiri agar bisa lebih nyaman berbaring di samping si Bengal.



Meski tak lama, percintaan mereka barusan cukup memuaskan dahaga.

Asty berbalik dan menatap Nanto dengan pandangan manjanya, “Terima kasih, sayang. Enak banget yang barusan. Aku kangen banget sama kamu.”

“Kamu cantik banget, sayang.”

Asty mengecup bibir Nanto lembut, tidak ingin lepas. “Boleh aku minta lagi nanti kalau kita berdua sudah selesai beristirahat?”

“Boleh dong.” Nanto mengecup bibir mungil Asty, “Kok pakai nanya?”

“Kan kamu sekarang sudah punya pacar.”

“Kamu kan juga sudah jadi pacarku sebelum dia. Memangnya kita pernah putus?”

“Ish, gimana sih. Ga jelas blas. Nyebahi.”

Asty merajuk dan mencubit perut kencang sang pria idaman. Ah seandainya saja dunia tahu betapa Nanto teramat mengasihi Asty, mungkin kenyataan tidak dengan kejam memisahkan mereka berdua dengan kenyataan yang menjurang.

Perempuan jelita itupun menggulingkan badan si Bengal ke samping dan membaringkan kepala di dada bidangnya, seakan tak ingin dia pergi dari sisinya. Nanto tersenyum sembari mencium wangi parfum sang bidadari yang sudah lama ia idamkan itu. Hmm... wangi yang berbeda dari sebelumnya.

Asty memejamkan mata dan tenggelam dalam lelap di dada sang idaman.

Nanto siap menyusulnya ke dunia mimpi.

Tapi... ia seperti mendengar bisik-bisik di balik dinding.

Nanto mendengar ada dua orang tengah berbicara di kejauhan. Sepertinya ada yang sedang ngobrol di sebalik dinding kamar yang ia gunakan bersama Asty ini. Siapa yang sedang berbicara itu? Ia mencoba menguatkan pendengarannya karena tak mampu membuka mata. Ia sangat mengantuk dan lelah sekali usai bermain cinta dengan Asty barusan. Kata-kata yang ia dengar juga tak sepenuhnya ia pahami dan secara lengkap ia tangkap. Hanya patahan-patahan saja.

“Berapa lama dia akan...?”

“Sudah lewat batas atas, sekitar lima belas menit lagi. Dia terlampau kuat. Ki-nya terlalu besar untuk bisa saya ken... Saya tak akan mampu melak... Karena itu pengaruhnya akan hilang setelah... setelah itu dia baru...”

“Baiklah. Ini sudah cukup. Toh sudah kejadian. Mereka sudah...”

“Sepertinya begitu. Setelah ini dia baru sad... dan keduanya akan ter...”

Setelah itu orang-orang yang terlibat percakapan itu berbicara lebih lama dan lebih panjang kali lebar, tapi Nanto sudah tak dapat lagi mendengarkan. Ia sudah sangat-sangat mengantuk dan teramat lelah. Si Bengal mengecup dahi sang ibu guru jelita yang terlelap di pelukannya.

Lalu Ia tenggelam dalam kegelapan yang dalam.

Ia tertidur.





BAGIAN 17 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 18
 
BAGIAN 18
BOBROK






Yang terpenting bukanlah apa yang terlihat.
Tapi apa yang kamu lihat.
- Henry David Thoreau






Pasat berdiri di antara tubuh-tubuh anggota PSG yang telah terkapar, pingsan dan tak berdaya. Tak disangka tak dinyana pemuda itu mampu menaklukkan tujuh orang anggota PSG hanya sendirian saja hanya dalam tempo singkat! Tujuh orang lagi mengatur jarak melihat teman-teman mereka dikaparkan dengan mudah.

Fakta itu tentu membuat ketiga sahabat tercengang. Dengan mata kepala sendiri mereka melihat kemampuan pemuda yang usianya rasa-rasanya ada di rentang yang sama dengan mereka – namun menguasai ilmu kanuragan yang cukup tinggi.

Selesai mengkandaskan lawan terakhirnya, Pasat menghampiri Deka, Bian, dan Hageng untuk membantu mereka duduk.

Deka membuka kata. “Nganu... kamu siapa ya?”

“Aku hanya seorang teman dari seberang. Aku tahu siapa kalian dan apa tujuan kalian di sini. Sekarang aku datang hanya untuk membantu sebisanya, jadi ijinkan aku menolong kalian.” Kata Pasat sambil tersenyum ramah.

“Terima kasih,” ucap Deka kembali. Siapa ya dia? Rambut coklat? Topi? Jangan-jangan...

“Terima kasih untuk apa?” tanya Pasat.

“Terima kasih karena kamu telah membantu kami menyelesaikan para cecunguk itu.”

“Ini cuma kelas cecunguk, tidak begitu susah dihadapi. Hanya mengeluarkan serangan berlapis Ki tingkat menengah dan kecepatan ekstra akan efektif menuntaskan mereka. Yang lebih sulit dan mahir masih ada di seberang sana dan sudah siap menyerang. Aku tahu kalian sedang dalam kondisi kepayahan, jadi sebaiknya beristirahat. Jangan khawatir – untuk sementara aku akan menghadapi dan menghalau 3GB sekuat tenaga, sementara kalian memulihkan kondisi, karena kita tidak akan bisa mengalahkan mereka kecuali bekerjasama. Mungkin kita juga harus menyelamatkan teman kalian yang di sana itu.”

Pasat menunjuk ke arah jauh, di sana Rao masih bertempur dengan semangat. Orang-orang yang tadi mengeroyoknya mulai ambruk satu demi satu dihajar oleh sang Hyena Gila. Dia berteriak-teriak kesetanan.

Pasat menggoyang tangan dan mengangkat jempolnya sembari tersenyum, “oke bersiaplah kalian. Aku hadapi 3GB dulu.”

“Hah? Kamu mau menghalau mereka sendirian? Kami bertiga saja sampai babak belur, kalau kamu hanya sendirian rasanya...” Deka tentu tidak ingin orang yang telah membantu mereka ini mengalami masalah karena lawan yang dihadapi tidak main-main. Di saat yang bersamaan dia juga tidak ingin terlihat tidak sopan dan berkesan meremehkan.

“Hmm... apakah kamu meragukanku?”

Si Gondes pun berdehem dan mencoba sekali lagi dengan penjelasan yang lebih bisa diterima, “Dengar, kami tidak tahu siapa kamu dan dari kelompok mana kamu berasal. Kami sangat berterima kasih karena kamu sudah membantu kami. Tapi menghadapi mereka sendirian sepertinya mission impossible. Aku tahu kemampuan olah kanuragan-mu pasti pilih tanding dan mampu berhadapan dengan mereka, tapi para punggawa utama PSG ini sangat kuat, aku tidak yakin kamu akan bisa menghadapi mereka sendirian. Mereka bukan kelas cecunguk. Biarlah kami bertiga yang menghadapi mereka dengan sisa kekuatan yang kami miliki.”

“Ya. Kami akan melawan zekuat yang kami biza.” Ujar Hageng mendukung apa yang diucapkan oleh Deka. Dia juga merasa Pasat tidak akan sanggup mengatasi para punggawa PSG. Tiga Gentho dari Bondomanan itu memang bajingan-bajingan tengik berkekuatan linuwih.

Pasat tersenyum, dia sudah menebak mereka tidak akan menyetujui usulnya. Tapi dia sudah siap dengan jawaban. “Sendirian? Siapa bilang aku sendirian? Hehehe. Sejak tadi pun aku tidak sendirian. Jangan khawatir, persiapkan saja diri kalian untuk menghadapi mereka.”

Deka, Bian, dan Hageng saling berpandangan. Apa maksudnya?

Mereka tidak sempat mengucapkan banyak kata karena tak lama kemudian para punggawa PSG yang menakutkan itu sudah hampir sampai ke posisi mereka. Setelah anak buah mereka gagal, kini mereka akan turun tangan lagi. Wajah garang mereka bisa menggambarkan rancangan apa yang akan terjadi beberapa saat ke depan. Ketiga sahabat akan mendapatkan pukulan paling berantakan sesegera mungkin dan ancaman itu sudah ada di depan mata.

Ketiga bangsat itu tidak hanya sekedar ingin menciderai dan mematahkan tulang-tulang mereka. Tidak, mereka tidak akan berhenti sampai Deka dan kawan-kawan benar-benar sudah kehilangan nyawa.

Mengetahui bahaya yang mengancam ketiga sahabat, Pasat segera melesat ke depan dengan ringan untuk menyongsong lawan. Gerakan kakinya yang cepat bak tak menyentuh tanah saat berlari. Dengan anggun ia melompat ke kanan dan kiri untuk menjejak tanah dan meningkatkan kecepatan lompatan agar sampai lebih cepat di posisi tiga gentho.

“Gawat.” Bian mendesis penuh amarah. Dia benar-benar tidak menduga keadaan akan menjadi seperti ini. Tiga gentho dari Bondomanan jelas tidak akan mengampuni mereka dengan mudah. Kematian sepertinya sudah terbayang. Apakah ini menjadi pertanda tuntasnya Lima Jari? Hari inikah kisah mereka akan usai? Bian memandang ke arah Deka dan Hageng. Kedua sahabatnya juga sedang menatap Bian sambil tersenyum.

Inilah kali pertama dalam hidup mereka ketiganya sangat terpojok dan tidak ada jalan keluar. Biasanya mereka berlima selalu ada di atas angin dalam kondisi apapun. Tapi mereka tidak lagi berlima. Kepalan mereka tidak lagi tergenggam utuh dengan sisa jari yang ada. Sepertinya memang inilah akhir mereka setelah sekian lama bersama-sama.

“Aku selalu senang bertarung di sisi kalian.” Ucap Deka. “Kalian benar-benar sahabat sejati. Tidak pernah ada penyesalan menjadi anggota Lima Jari.”

Mata Hageng berkaca-kaca dengan bapernya, ia merangkul Bian dan Deka berbarengan. “Tidak ada orang yang lebih tepat untuk berbagi kematian berzama zelain berzama kalian. Kita zudah zejauh ini menghadapi takdir. Aku zudah cukup puaz. Mari kita berzama-zama menemui Roy.”

Bajingak. Kalian ini... ngapain ngomong ngawur seperti itu?” Bian tertawa kaku sembari menghapus bayang air di pelupuk mata, kampret – kenapa dia jadi ikut-ikutan mbrambangi? Wasu og. Ada satu pemikiran yang sejak tadi ia bayangkan. “Sudahlah. Kalian tidak perlu khawatir. Nanto pasti akan membalaskan semuanya kalau kita benar-benar dituntaskan di sini.”

Hageng mengangguk.

Tak lama kemudian Deka juga mengangguk.

Kalau ada orang yang mereka percaya akan menghancurkan semua orang ini untuk membalaskan dendam akan kematian mereka – maka orang itu adalah si Bengal. Karenanya mereka hanya bisa membulatkan tekad dan melawan sampai titik darah penghabisan dengan sisa kekuatan yang mereka punya!

Entah apapun kisah yang tersimpan di ujung jalan.





.::..::..::..::.





Urip kuwi wang sinawang.”

Om BMW duduk di atas sebuah kursi kayu santai ala pantai yang berada di atas sebuah hotel yang ada di tengah kota. Hotel itu berada di barat jalan dan punya fasilitas rooftop yang tidak diketahui oleh banyak orang. Bahkan hanya ada beberapa orang saja yang tahu kalau tempat ini sering dipakai bersantai oleh om BMW secara khusus dan eksklusif.

Lurus dari hotel ini ke arah selatan akan menuju ke stasiun kereta dan jalan paling populer di kota. Lurus ke utara melewati sebuah tugu akan mencapai monumen tumpeng di arah jauh sebelah utara.

Pemandangan luas menghampar di depan ruang duduk yang berada di atas hotel berbintang ini, atap-atap rumah berjajar rapi tak rapi bagai balok-balok Lego kecoklatan yang disusun tak simetris. Ada yang berbatas sungai, ada yang berbatas jalanan berkelok-kelok mengular. Harmoni kota yang ngangeni. Dari posisi yang sama, gunung menjulang di utara juga terlihat lebih jumawa, mengundang decak kagum sekaligus membuat manusia seperti kita berasa kecil di hadapan alam.

Urip kuwi wang sinawang, apa yang terlihat bagus di kejauhan belum tentu bagus ketika didekati,” Om BMW mengulang apa yang baru saja ia ucapkan. “Itu sebabnya kita harus mengatur strategi supaya apa yang terlihat di depan – berbeda dengan apa yang ada di belakang. Kita harus mengatur taktik untuk terus selangkah berada di depan lawan menjelang perang yang hawanya sudah mulai berhembus di permukaan.”

Pria yang hanya mengenakan kimono tidur, celana pendek, dan sendal hotel itu tersenyum. Ia mengetukkan rokoknya di asbak, membuang abu yang sudah menggantikan batang terbakar.

Teriakan gadis-gadis cantik yang bermain air di kolam renang di sebelah tempat ia duduk terdengar riang gembira. Kadang air bercipratan hingga sampai di posisinya duduk.

“Itu sebabnya aku mengijinkan kamu benar-benar mengalah dari Deka di Tarung Antar Wakil dan mengikuti petunjuk RKZ yang memintamu mengalah. Dengan begitu mereka mengira bahwa kamu bersedia mengkhianati Dinasti Baru dan bergabung dengan mereka di bawah ancaman.” Om BMW terkekeh sembari geleng kepala, “Mereka bukan main liciknya dengan menebar teror dan masuk ke semua kelompok. Struktur kepemimpinannya tidak jelas dan didukung oleh sosok yang misterius – itu sebabnya kita harus cerdas menyikapi. Mereka tidak akan menduga kalau kita juga bisa melakukan hal yang sama. Yang mau nge-prank di-prank balik.”

“Tidak ada yang tahu saya datang kemari, kan? Kalau ada yang tahu ya bubar semua rencana kita,” Amar Barok menghembuskan asap rokok dari bibirnya yang sedikit terbuka. Pria gagah itu duduk bersandar di kursi santai di bawah payung yang ada di tepian kolam renang, tepat di sebelah om BMW. Ia mengkritik lokasi pilihan om BMW ini. “Kenapa di sini? Tempat ini terlampau terbuka. Bos Dinasti Baru seharusnya punya lokasi lain yang lebih aman. Njelehi sampeyan.”

“Hahaha, tenang. Tidak ada yang tahu. Bahkan bojo-ku sendiri tidak tahu aku sering nongkrong di sini. Rooftop ini tidak bisa diakses oleh orang sembarangan. Hanya aku dan orang-orang yang kusetujui yang berhak masuk. Yang tidak berhak akan diusir oleh para bouncer,” kata om BMW sembari menunjuk beberapa pria gagah berpakaian rapi di pintu masuk lift dan tangga.

“Lha cewek-cewek ini?”

“Mereka terapis eksklusif dari Panti Segar yang satu grup dengan hotel ini. Jangan khawatir, mereka bahkan tidak mengenal siapa aku, mereka mengira di sini hanya untuk berlibur dan melayani tamu dari luar kota. Selebihnya mereka dikarantina secara khusus dan tidak pernah diijinkan meninggalkan mess selama masih dalam masa kontrak. Mereka juga tidak bisa kemana-mana, satu-satunya hiburan cuma smartphone yang sudah disadap aplikasi-aplikasinya.”

“Kasihan juga hidup mereka.”

“Seks itu menjual tapi seks juga kejam. Kita bukan satu-satunya yang melakukan hal ini dan mereka sudah menentukan sendiri jalan hidup mereka. Banyak kesempatan dan pekerjaan lain, tapi ini yang mereka pilih atau dipilihkan untuk mereka.” Om BMW meletakkan rokoknya di asbak, lalu meneguk minuman mint bersoda berwarna campuran biru dan oranye. Entah apa namanya dan apa isinya, yang penting enak. “Kembali ke masalah RKZ. Apa yang sudah kamu ketahui tentang mereka?”

“Pimpinan tertinggi mereka masih belum mau memperlihatkan wajahnya, tapi ada kemungkinan dia orang yang kita duga. Dari info yang saya dapat, orang-orang RKZ menyebut orang ini dengan sebutan Ki Juru Martani. Melalui VC, hanya Bambang Jenggo yang wajahnya jelas terlihat. Setiap ada perintah, hanya kroco-kroconya yang menemui saya. Akan saya upayakan untuk terus mencari tahu siapa Ki Juru Martani sesungguhnya. Dia dalang dari kiprah RKZ yang makin lama makin meresahkan ini.”

“Apa langkahmu selanjutnya?”

“Bos RKZ sepertinya akan meminta saya bergabung ke Aliansi dan menjadi informan mereka. Jadi itu yang akan saya lakukan, sebagai kedok. Pada sidang kesetiaan Dinasti Baru saya sudah pasti akan ditendang dari jabatan secara tidak hormat, itu artinya saya harus segera memilih kubu dan Aliansi adalah pilihan paling logis.”

“Hehehe. Angel wes angel tenan... mubeng munyer ra karuan. Aku sampai pusing sendiri memikirkan nasibmu, cah. Statusmu sedang sangat membingungkan. Kamu masuk ke Aliansi sebagai telik sandi RKZ, padahal sesungguhnya kamu bergabung dengan RKZ juga sebagai telik sandi bagi Dinasti Baru.” Om BMW tertawa tersengal-sengal. “Membayangkannya saja sangat rumit, kamu itu double agent.”

“Sepertinya begitu. Kan bos juga yang menyuruh.” Amar mendengus. “Dasar merepotkan.”

Om Bmw kembali tertawa dan merogoh ke kantongnya, mengambil smartphone keluaran Korea Selatan dari dalam celananya. “Ini untuk urusan kita berdua, pergunakan dengan bijak – setiap bulan akan aku isi pulsanya. Gunakan sandi-sandi yang hanya kita berdua yang tahu setiap kali menggunakan aplikasi wikipedia – jangan WhatsApp. Di dalamnya hanya ada beberapa nomor, namaku di situ Park Sae Ro Yi.”

Bajilak. Park Sae Ro Yi?”

“Tidak usah protes lah. Nikmati saja.” Om BMW melempar ponselnya ke tangan Amar Barok. “Nomor PIN-nya tanggal lahir adikmu.”

Amar tersenyum.

Om BMW juga tersenyum.

“Aku tahu kamu sangat menyayangi dan melindungi dia, akan aku lakukan apa yang aku bisa untuk membantu Aliansi dan Lima Jari asal dengan alasan yang logis. Karena toh mereka sudah memenangkan Tarung Antar Wakil.” Om BMW tertawa terbahak-bahak.

“Dasar curang.”

“Waktu sudah semakin mendekati pernikahan anak Pak Zein. Pertemuan keempat pimpinan kelompok besar sudah semakin dekat. Akan kita lihat apa yang akan terjadi nanti. Aku hanya berharap RKZ tidak mengacau dan membuat pernikahan suci itu menjadi pernikahan merah. Ki Juru Martani pasti juga akan hadir siapapun dia.”

“JXG pasti akan memperketat pengamanan.”

“Sudah pasti.”

“Hanya empat pimpinan saja? RKZ dan Aliansi tidak diundang?”

“Sepertinya mereka masih belum dianggap sebagai kelompok yang setara dengan empat besar oleh Pak Zein. Tapi ya kita tunggu saja kejutan-kejutan selanjutnya. Masih akan ada banyak pergolakan yang sepertinya tidak akan kita duga-duga.”

Amar Barok kembali melirik ke kanan dan kiri. Dia merasa seperti diawasi. Sekali lagi sang Singa Emas itu mendengus, “Tempat ini terlalu terbuka, terlalu berbahaya. Tidak aman untuk peran saya ke depannya. Lebih baik mencari tempat lain.”

“Gampang, nanti aku cari tempat baru untuk lokasi kita ketemuan. Kalaupun di sini berbahaya, kita berdua pasti bisa mengatasinya, kan?” Om BMW tertawa. “Sudahlah, jangan khawatir berlebihan. Santuy saja. Orang-orang di hotel ini bisa dipercaya.”

Amar mengangguk meskipun dia masih belum bisa percaya penuh. Tapi ya sudahlah kalau si Bos sudah ngomong begitu. Mau bilang apalagi? Ia pun menarik napas panjang. “Bagaimana dengan sidang saya? Melihat perkembangan terbaru rasanya saya akan jadi public enemy number one di Dinasti Baru setelah mengalah di Tarung Antar Wakil.”

“Sidang akan diadakan segera, tapi waktunya belum ditentukan. Kalau bisa kamu jangan datang dulu di pertemuan Dinasti Baru yang manapun sampai aku bilang kamu boleh datang. Kita akan buat seolah-olah kamu memang ingin meninggalkan kita semua, itu akan jadi alibi yang sempurna. Nah, sidang itu akan jadi babak barumu, karena setelah itu kamu pasti akan jadi buruan utama semua anggota Dinasti Baru. Amar Barok akan dianggap sebagai pengkhianat. Hahahaha.”

“Luar biasa,” Amar menyeringai, “kesetiaan saya dijadikan mainan.”

Om BMW tertawa, “jangan bikin aku jadi kelihatan buruk begitulah. Ini kan strategi toh, Mar. Dengan begini kan kita jadi tahu siapa Ki Juru Martani, apa kelemahan mereka, dan bagaimana cara meruntuhkan RKZ. Ini taktik. Dengan begini kita juga tahu kenapa mereka ngebet banget masukin kamu ke dalam rank mereka. Serius aku penasaran sekali sama Bambang Jenggo dan komplotannya.”

Amar kembali mencibir dan mengangkat bahunya. “Asem. Dijadikan tumbal. Memang dasarnya merepotkan. Untungnya saya hormat banget sama Bos.”

Om BMW menanggapi dengan tawa cekakakan.

Tanpa diketahui oleh om BMW dan Amar Barok, seorang gadis yang sejak tadi ikut bersenang-senang dengan kawan-kawannya di kolam renang ternyata tidak melepas perhatiannya dari percakapan mereka berdua. Gadis itu seorang pembaca bibir yang handal, jadi meskipun dari jarak cukup jauh – Dia bisa memahami apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orang itu.

Dengan berpura-pura mengambil handuk untuk mengeringkan rambut, gadis itu melangkah ke kursi santai, duduk manis dan menyeruput minuman kelapa. Tangannya meraih ke dalam tas make-up yang terbuka dan menarik satu barang yang teramat kecil – ponsel mini. mereka yang tidak paham akan mengira barang itu adalah vape karena ukurannya teramat kecil.

Ketika tak ada seorang pun di sekelilingnya, gadis itu mengetikkan beberapa kalimat melalui SMS dengan kecepatan jari tanpa perlu melirik ke arah keypad.

Sang penyerang tengah sedang bertemu dengan si gelandang. Ada serangan balik ganda. Perhatikan peluit hitam yang dibawa. Itu diberikan oleh si gelandang, bukan dari wasit.”

Setelah pesan terkirim, sang gadis menghapus pesan dan memasukkan kembali ponsel mini itu ke dalam tas make up. Dia tersenyum sembari mencari-cari tempat sampah jika harus membuang ponsel kecil murah itu saat kondisi bahaya. Tidak jadi masalah, ponsel itu ponsel murah yang kapan saja bisa dibeli.

Kalau pesan ini sampai ke orang yang seharusnya, maka akan ada tanda bahwa pesan diterima.

Gadis itu melirik ke arah pintu keluar untuk beberapa saat kemudian – di dekat pintu keluar ada seorang bouncer atau penjaga hotel bertubuh tegap berdiri dengan santai untuk menjamin keamanan Om BMW dan yang lain dari orang-orang yang tidak dikehendaki. Pria itu tiba-tiba saja melirik ke arah pinggangnya, ia menarik ponselnya dari dalam saku, dan membaca sesuatu.

Tanpa tersenyum ia melirik ke arah sang gadis yang tengah duduk di kursi santai. Sang bouncer lantas melihat ke kanan dan kiri. Ketika semuanya aman, ia mengangguk pada sang gadis.

Gadis itu tersenyum.

“Hey, Gisel! Ngapain malah di situ, ayo ke sini – asyik nih.” Panggil teman-teman sang gadis yang tengah bermain di kolam renang bersama dengan salah satu selebritis lokal berusia lanjut, seorang aktor yang kini sudah jarang tampil di publik karena usia, seorang suami dan ayah yang jika di muka umum tampil setia, religius, dan bersahaja tapi di sini malah indehoi dengan para terapis.

“Oke-oke.” Sang gadis mengedipkan mata pada teman-temannya dan melangkah kembali ke kolam renang. Dengan satu lompatan indah, ia kembali menceburkan diri.

Mereka tertawa terbahak-bahak tak lama kemudian.

Semua sibuk, semua ramai.

Om BMW dan Amar Barok masih berbincang santai.

Tidak ada yang melihat kemana sang bouncer mendadak menghilang beberapa saat lamanya.





.::..::..::..::.





Pasat akhirnya sampai di depan 3GB atau Tiga Gentho dari Bondomanan – unit penggempur dari PSG yang dipersiapkan secara khusus oleh Joko Gunar dan kawan-kawan untuk menandingi Anak Panah JXG dan Perisai QZK. Terdiri dari tiga orang monster berilmu kanuragan tinggi dan memiliki watak sadis. Dibuktikan dari hasil pertikaian mereka dengan ketiga sahabat yang tak imbang.

Sang pemuda berambut coklat membalik topinya supaya moncong trucker-hat-nya menghadap ke belakang. Keputusannya untuk membantu Lima Jari murni lahir dari hati kecil yang tidak ingin melihat kelompok-kelompok besar seperti PSG ini berjaya – terlebih jika mereka memiliki unit penggempur seperti 3GB. Itu sebabnya dia bergabung dengan QZK agar dapat masuk ke salah satu kelompok geng terkemuka dan mempelajari cara kerja mereka.

Kini saatnya mengeluarkan kemampuannya.

Pasat berdiri dengan tenang, memejamkan mata, dan tenggelam ke dalam konsentrasi yang dalam. Tangannya disatukan, jemari saling berkait membentuk segitiga di depan dada. Mulutnya bergumam merapal ajian.

Langit terbelah awan menangis membasahi bumi. Guntur berderak marah mengisi relung hati. Putus asa tercurah dalam madah, malam sedih berkabut air mata darah.”

Jari-jemari yang tadinya membentuk segitiga berubah menjadi kepalan. Pasat membuka matanya sedikit – anehnya saat ini matanya berkaca-kaca, seperti sedang mengalami kesedihan yang dahsyat. Pemuda itu memang membiarkan rasa kesedihan dan kesendirian menaungi badan dan menguasai jiwa. Ya, ia dengan sengaja justru menimbulkan rasa sedih menggelora dalam jiwanya – karena jurus yang akan ia mainkan justru akan menghebat ketika ia merasakan kesedihan luar biasa. Inilah jurus andalan sang pemuda berambut coklat itu - Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah.

Saat air mata yang setitik menimpa kepalan tangan. Saat itu juga Ki milik Pasat menyala dahsyat. Ketika jarak antara ketiga gentho dan sang pemuda berambut coklat hanya tinggal beberapa meter saja,

Pasat tiba-tiba maju dua langkah, menjejak tanah, dan melompat tinggi ke udara dengan anggunnya. Sepertinya kecepatan gerak dan ketangkasan kaki menjadi andalan Pasat. Saat luruh ke tanah kembali dengan posisi yang mendekati ketiga gentho, gerakan patah-patah dan zigzag membuat Pasat mampu bergerak sangat cepat, tidak ada pengguna Ki rendah yang mampu melihatnya.

Ketiga gentho berhenti berjalan ketika Pasat menjelang.

Grago mengulurkan tangan untuk mencegah kedua kawannya maju, Udet dan Yosan pun berhenti. Mereka paham kenapa Grago menghentikan langkah ketiganya.

“Gerakan cepat. Arah lompatan terlihat.” Grago menunjuk ke depan sembari sesekali menunjuk kedua matanya sendiri.

Suara Grago yang serak berbisik terdengar tidak enak, apalagi ucapannya patah-patah. Ia memang tak akan pernah lagi bisa berbicara dengan nada suara yang jelas sejak lehernya terluka, luka jahitan melingkar di leher menjadi bukti apa yang pernah ia alami. Karena bisikan itu, Udet maupun Yosan harus benar-benar mendengarkan apa yang diucapkan oleh Grago.

Iso weruh, Dab? Bisa lihat itu jurus apa yang dia pakai?” tanya Udet.

Grago menggosok pelupuk matanya, lalu terpejam dan tenggelam ke dalam saluran Ki yang ia aktifkan, rambutnya yang panjang menutup wajah – membuat mata dan mulut terlihat gelap tak nampak di balik tirai alami. Ia menunduk, mendengarkan, memahami, dan mencoba mengikuti. Kepalanya bergerak zigzag seakan mengikut arah lompatan Pasat.

“Tahu.” bisik sang pria dengan luka di leher. “Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah.”

“Keren sekali namanya. Tahu kelemahannya?”

“Tahu.”

“Baguslah kalau kamu tahu. Kekekeke.” Udet ketawa. Dia merangkul Yosan. “Nyuk, kita tunggu saja si gembus itu di sini. Kita pastikan dia masuk area perangkapmu, kita hanya perlu memancingnya sedikit. Kekekek.”

Yosan mengangguk dan ikut tersenyum. Permen karetnya yang sudah mlembung gede pecah dan kembali dikunyah.

Swooosh.

Pasat sudah sampai di depan mereka, jaraknya sekitar tiga meter. Udet menarik napas panjang, bagus sekali. Ini yang dia incar sejak tadi. Udet pun menepuk pundak kedua sahabat karibnya. “Sekarang!”

Yosan menyentakkan kedua tangan ke depan, jemari direnggangkan. Mata dipejamkan, Ki menyala kencang. Grago melesat ke depan. Tubuhnya yang ringan bagaikan kain yang terbang ditiup angin. Apalagi dengan pakaian yang terlalu besar untuknya. Caranya melompat mirip seperti layangan lepas yang bebas tanpa arah.

Pasat melirik ke atas, Grago sudah pasti akan mencapainya kalau tidak dilawan. Ia menyimpan tangan kiri ke belakang pinggang dan siap meloncat dengan jemari tangan kanan membentuk pedang buatan. Inilah bait pertama jurus andalannya – Tapak Duka Nestapa.

Yak! Loncat!

Pasat tertegun.

Dia tidak meloncat.

Dia bahkan tidak bisa menguasai kakinya sendiri yang seperti terpaku ke tanah bagai pasak bumi. Apa yang terjadi!? Kenapa dia tidak bisa meloncat!??

Sang pemuda melirik ke arah kedua lawan lain.

Udet tidak melakukan apa-apa, dia hanya menyeringai.

Kalau begitu...

Si pemakan permen karet! Yosan yang sedang merentangkan tangan! Dia pasti sedang menyebarkan jejaring Ki untuk mengunci posisi kakinya! Jadi itu jurusnya!? Gawat!

“Kelemahan terlihat,” suara berbisik terdengar dari atas.

Pasat menyilangkan tangan di atas kepala dan menyalurkan Ki sebisa mungkin untuk memperkuat pertahanannya.

Pkgkh! Pkgkh! Pkgkh! Pkgkh! Pkgkh!

Tepukan beruntun yang menyengat lengan membuat Pasat mengernyit kesakitan. Pemuda itu terjerembab ke bawah. Kakinya lepas dari kuncian. Dia buru-buru hendak bangkit, tapi lagi-lagi dia tidak bisa bergerak. Tubuhnya bagai dipeluk oleh tanah.

Dengan geram Pasat melirik ke arah Yosan.

Jurus apa sebenarnya ini!? Kenapa rasanya ia seperti ditelan oleh tanah? Pasat terkesiap, jangan-jangan ini jurus yang menggunakan elemen sebagai dasar ilmu kanuragan? Seperti halnya ilmu kanuragan populer Inti Angin Sakti yang menggunakan angin sebagai media.

Siaaal!

“Kelemahan terlihat.”

Jboooogkkkkggghhhhhhh!

Sepakan kaki kencang melesat masuk ke wajah Pasat. Darah muncrat dari bibirnya yang pecah. Dia meronta namun tak bisa lepas dari kuncian Yosan. Gawat. Pasat sudah pernah mendengar kiprah 3GB yang sadis dan kejam – Udet yang paling kuat, Yosan yang harus diwaspadai, dan Grago yang beringas. Tapi ia tidak pernah memahami penjelasan mengenai kekuatan apa sebenarnya yang mereka miliki – sampai sekarang.

Saat dia berhadapan langsung dengan ketiganya.

“Kelemahan terlihat.”

Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh!

Tangan dan kaki Grago melesat tanpa terkendali, memukul setiap jengkal badan Pasat. Sang pemuda hanya sanggup berteriak kesakitan, wajahnya berulangkali disepak, kaki lengannya diinjak, dan perutnya disodok lutut.

Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh!

Pasat makin tak kuasa bertahan. Ini gila. Mereka terus menerus menghukumnya, dan ini baru dua orang saja. Siaaaaal!

Deka, Hageng, dan Bian tak kuasa melihat Pasat dihabisi oleh 3GB. Mereka bangkit dan bersiap maju dengan tenaga yang tersisa. Orang ini sudah menolong mereka tadi, demi apa mereka tidak membalas kebaikannya.

Grago mendengus kencang tanpa henti melukai Pasat. Tendangannya melaju tanpa henti seperti senapan mesin.

Udet tertawa. “Cuma segini saja kemampuannya ya?”

Tiba-tiba saja Grago berhenti.

Pasat terengah-engah, bagian tubuhnya memar dan biru, darah mengucur di sana sini. Tapi bukannya menyerah ia malah tertawa dan meledek Udet. “Tentu saja tidak cuma segini saja.”

Wajah Grago menatap kebingungan ke kiri dan kanan. Ia mendesis lirih, “Gerakan cepat.”

Udet mengerutkan kening. Kenapa si Grago?

Tiba-tiba saja Yosan terpental ke belakang, tapi ia tidak terjatuh, hanya kehilangan keseimbangan sesaat. Sang pemakan permen karet kebingungan, apa yang baru saja berlaku? Kenapa dia tiba-tiba tersentak mundur?

Udet mendengus. “Kenapa kamu?”

“Tidak tahu.” si pemakan permen karet menggeleng kepala. “Tiba-tiba saja terdesak mundur.”

Yosan terpental, kuncian terbongkar. Pasat melompat dan balik menyerang.

Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh!

Grago terdesak mundur oleh serangan satu tangan dari Pasat yang membabi-buta. Meski terdesak, dia sama sekali tidak terluka dan tidak ada satu pun pukulan dari si rambut coklat yang berhasil mendarat ke tubuhnya. Pria berambut panjang itu justru menyeringai mengerikan, terlebih dengan luka di leher yang menambah horor penampilannya. Dia adalah sang penguasa langit dari PSG, kemampuan ringan tubuhnya nomor wahid. Serangannya nampak tidak menyakitkan karena hanya berupa tepukan, tapi tepukan itu disertai dengan Ki yang teramat dahsyat.

Grago menjilat bibirnya dan kembali berbisik, “Sudah? Saat membalas.”

Cuh!

Yosan membuang permen karet yang ia kunyah, merogoh ke saku celana, mengambil satu lagi permen karet merk Big Bobal, membuka dan membuang sembarangan bungkusnya, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Tak lama kemudian dia sudah komat-kamit, mengunyah permen karet. Ia menangkup jari jemarinya sendiri, lalu menggemeretakkannya. Sembari tersenyum ke arah Pasat, dia memainkan jemari dengan membangun lingkaran yin dan yang tak kasat mata di udara.

“Jangan sombong, Grago. Aku juga mengincarnya. Entah apa yang dia lakukan barusan sampai bisa membuatku terpental. Awas saja kalau aku duluan yang lebih dulu mendapatkan bocah itu.” Yosan tersenyum sembari merentangkan tangan ke depan. “Akan kubuat dia terkubur hidup-hidup di tempat ini.”

Udet tertawa dan membiarkan kedua kawannya maju bersamaan sementara dia berdiri di belakang dengan santainya. Ia memasukkan kedua tangannya ke kantong celana dan bersiul. Ia bahkan mengedipkan mata ke Pasat.

“Kamu pikir hanya Yosan saja yang bisa melakukan keajaiban dengan mengunci posisi? Kamu tidak memperhitungkan aku ya? Kekkekeeke.” Udet menyeringai, “Nyawamu sudah tinggal hitungan detik, Nak. Ucapkan doamu.”

Pasat mendengus. Orang ini... apa yang ia maksud dengan keajaiban?

Apalagi yang bisa lakukan?

Huff.





.::..::..::..::.





“Warga di kawasan Ruko Asri Boborsari dikejutkan dengan suara ledakan yang berasal dari salah satu cafe di kawasan padat pengunjung. Warga yang panik tidak sempat berbuat banyak lantaran api dengan cepat menghanguskan bangunan serta melalap bangunan lain di sebelahnya. Terdapat satu korban jiwa pada kejadian ini yaitu L – seorang wanita pelayan cafe The Donut’s Pub yang masih berada di dalam bangunan saat kejadian berlangsung. Api yang cepat membesar karena angin kencang langsung melalap hampir tiga bangunan bersebelahan. Petugas pemadam kebakaran yang datang bahkan butuh waktu hingga satu jam untuk memadamkan api yang liar. Dugaan sementara, ledakan terjadi karena bocornya kompor gas di cafe The Donut’s...”

Reynaldi mencibir saat melihat berita itu di ponselnya melalui aplikasi Youtube. Ia menutupnya dan memasukkan kembali ponsel itu ke dalam kantong celana.

Berita yang tidak menarik.

Kenapa para guru di sini jadi heboh sampai-sampai di-share di grup guru? Berita tidak penting.

Menyusuri lorong sekolah SMA Cendikia Berbangsa, Reynaldi merengut sembari terus menerus memutar adegan di mal di dalam benaknya. Ia gondok sekali dengan kejadian tadi, marah, dan sebal sekali. Terlebih ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya dan itu amat mengganggunya.

Gadis tadi.

Gadis yang membantu Asty bangkit tadi.

Rey mencoba mengingat-ingat... sepertinya ia pernah melihatnya. Di mana ya? Tidak asing rasanya. Dia pernah melihat wajah itu sebelumnya, wajah gadis dengan kecantikan yang khas. Masa sih dia bisa melupakan wajah unik gadis itu? Atau mungkin mereka belum pernah bertemu sebelumnya dan dia hanya melihatnya di suatu ketika secara sekilas saja?

Ada kemungkinan begitu.

Dua gadis sialan tadi telah membuyarkan keinginannya untuk menyetubuhi Asty. Lagi-lagi bidadari jelitanya itu lolos dari genggaman.

Rey mendengus, tapi tidak untuk yang berikutnya. Asty harus menjadi miliknya. Suami bodoh si jelita itu sudah ada dalam genggamannya. Kini tinggal bagaimana ia memainkan semua kunci agar pintu-pintu yang menghalangi langkahnya bisa terbuka lebar, termasuk paha putih mulus Asty yang akan ia renggangkan selebar-lebarnya agar ia bisa menyetubuhinya dengan sekasar dan sesadis mungkin. Oh ya, dia tidak akan memperlakukan Asty dengan lembut.

Dia akan membuat Asty...

Reynaldi tertegun.

Dia baru saja melewati sebuah papan pengumuman kaca yang terpajang di dinding.

Pria itu melangkah mundur dengan mengecap lidah. Ia menghadap ke arah kanan ke papan pengumuman yang berisikan prestasi siswa sekolah CB dari tahun ke tahun. Ia mengamati sebuah foto yang ada di sana. Foto penerima beasiswa SMA CB beberapa tahun yang lalu.

Wajah seseorang di foto itu membuat sang durjana tersenyum lebar dan terkekeh puas. Kata-kata keterangan di bawah foto membuat Reynaldi bahagia.



“Penerima beasiswa, Tiara Maharani. Tahun ajaran sekian sekian.” Reynaldi menjilat bibirnya sembari menyeringai. Benar kan? Memang tidak salah. Dia pernah melihatnya. Dia bahkan selalu melihatnya. Rupanya dia sering melalui tempat ini dan melihat wajah cantik Ara yang khas itu dan menghapalnya di luar kepala. Tak disangka mereka akhirnya benar-benar bertemu di dunia nyata, dan wow... tubuh gadis itu sudah tumbuh dan berkembang menjadi lebih sempurna. Reynaldi mengangguk-angguk, memuji keberuntungannya sendiri. “Salam kenal, cantik.”

Pria bejat itu membalikkan badan dan berjalan terburu-buru menuju ruang Tata Usaha. Kemungkinan data-data Tiara Maharani ada di data alumni. Alamatnya, tanggal lahirnya, nomer ponselnya, kuliahnya setelah lulus, seharusnya semua terdata dengan baik.

Saatnya serangan baik dilakukan, saatnya kontolnya beraksi kembali. Dia akan menggunakan gadis itu sampai puas. Berkali-kali. Sampai dia hamil juga seperti dulu ia memperkosa Rania. Hahahaaha. Dia akan mencari sampai ketemu si gadis misterius bernama Tiara Maharani yang mengganjal pikirannya itu dengan dendam yang membara.

Salah sendiri. Siapa suruh dia melindungi Asty?

Saatnya counter-attack.

Rey mempercepat langkahnya.





.::..::..::..::.





Kekasihnya adalah Kinan.

Si Bengal mencoba mengingat-ingat dan mematrikan kalimat itu dalam benak dan kalbunya. Dia gadis yang ia cintai, yang ia harapkan menjadi pelabuhan terakhirnya. Bukan bu Asty, bukan Hanna, bukan Ara, bukan yang lain.

Kenapa Kinan?

Dia gadis yang berbeda, dia membuat si Bengal merasa menjadi seorang laki-laki sejati yang sanggup melindungi dan mengayomi, yang ingin memberikan segala yang ia miliki untuk membuat Kinan bahagia. Ketika gadis itu tersenyum, seluruh hidup dan jalan terang di masa depannya terasa cerah dan panjang. Bersama dengan Kinan, ia menjadi seorang pria yang lengkap.

Tapi... kontol kampret yang terlalu doyan tempik miliknya membuat banyak hal menjadi kacau balau. Kalau sudah memilih Kinan, kenapa tadi malah menyetubuhi bu Asty?

Mungkin karena...

Mungkin karena Bu Asty adalah impiannya. Sesuatu yang amat indah namun jauh dan tabu, sesuatu yang apik namun tak seharusnya ia miliki dan sentuh. Nanto berasa menjadi seorang laki-laki yang sempurna dalam yin maupun yang saat bersama Asty. Kecantikannya, keseksiannya, membuat Nanto tak mampu menguasai dirinya sendiri. Asty adalah sebuah impian yang ternyata bisa ia raih, satu bintang di langit yang dulu jauh namun kini bisa ia sentuh kapan saja di mana saja.

Bagaimana dengan suaminya? Bagaimana dengan anaknya?

Nah itu.

Bu Asty adalah pulau yang bisa ia singgahi namun harus selalu ia tinggalkan karena pulau itu bukanlah rumahnya. Pulau itu sudah ada pemiliknya, sudah ada yang lebih berhak darinya, dan Bu Asty juga harus mengasuh anaknya di pulau yang mungkin tak akan pernah bisa ia tinggali untuk selamanya. Nanto harus tetap pulang ke pulaunya sendiri. Itu sebabnya setiap kali bercinta dengan Asty, Nanto selalu berusaha melakukan yang terbaik – berusaha mengeluarkan seluruh daya upayanya untuk memuaskan Asty – demi memuaskan dirinya sendiri.

Lalu, bagaimana dengan Hanna?

Hanna yang jelita yang selalu membuatnya salah tingkah dan kaku saat berduaan saja? Hanna yang kadang membuat detak jantungnya berdesir lebih cepat? Hanna adalah kisah yang mungkin tak akan pernah terjadi. Ada sesuatu di antara dia dan Hanna, seperti juga yang Hanna pernah bilang bahwa perasaan itu nyata ada – tapi untuk saat ini tak mungkin dilanjutkan. Hanna sedang berusaha menghindari tunangannya yang ringan tangan dan mungkin trauma untuk menjalin hubungan asmara, sedangkan Nanto? Nanto sudah punya Kinan... dan juga Asty.

Hati si Bengal sudah terlalu penuh dan pengap untuk dua orang wanita cantik yang menyita perhatiannya. Mampukah ia membaginya untuk satu orang lagi dan mengacaukan semuanya? Ingat kisah sang Raja Midas, orang yang serakah justru akan kehilangan semuanya.

Itu yang ditakutkan oleh Nanto.

Dia ingin selalu dekat dengan Hanna, tapi juga harus menjaga jarak. Hubungan mereka untuk saat ini hanya cukup seperti ini saja. Seandainya tidak ada Kinan, mungkin Nanto akan memilih Hanna, tapi itu hanya seandainya. Cerita seandainya itu tidak bisa dijadikan pegangan. Hanya bisa dijadikan angan-angan yang membayang di ujung harapan. Tapi Nanto tahu dia peduli pada Hanna, selalu mengkhawatirkannya, dan ingin gadis itu mendapatkan yang terbaik. Untuk saat ini itulah yang bisa ia lakukan – sebagai seorang kakak yang melindungi adik yang amat ia sayangi.

Ya – untuk saat ini, itulah kisah yang bisa ia ceritakan tentang dia dan Hanna. Saat berdua saja dengan Hanna di desa, dia menikmati kebersamaan mereka. Berjalan santai di pinggir sungai, menyusuri tepian sembari mengikuti tingkah polah Sagu yang bahagia karena kawan karibnya pulang ke desa. Hanna-lah yang berhasil mengambil hati Sagu dan bermain bersamanya setiap hari.

Mengambil hati Sagu, mencuri hati Nanto.

Ah Hanna. Mungkin kisah Hanna hanya kisah seandainya saja.

Lalu... masih ada Ara. Siapa Ara bagi seorang Nanto?

Ara adalah kisah masa lalu yang tak akan pernah ia lupakan. Ara membuatnya menyadari apa arti cinta dan apa arti pengorbanan. Nanto memilih berpisah dengan Ara karena tak ingin membuat gadis itu menderita, ia berharap Ara akan mendapatkan yang terbaik – entah itu dengan Deka atau dengan yang lain lagi.

Ara mungkin adalah cinta pertamanya dan cinta pertama itu susah sekali dilupakan. Ara adalah ciuman pertamanya yang indah, percintaannya yang pertama, rasa bahagianya yang paling awal. Ara adalah sebuah kisah indah yang tak akan bisa ia ulang, dan kesalahan yang tak akan pernah bisa ia perbaiki. Nanto ingin selalu Ara mendapatkan yang terbaik, meski itu bukan dirinya, meski cerita mereka usai karena egonya.

Satu hal yang pasti. Demi Ara, Nanto akan melalui rintangan terberat apapun dalam hidupnya.

Tapi lebih dari semuanya itu, hanya satu hal yang harus ia ingat dan selalu ia camkan dalam hati. Kekasihnya adalah Kinan. Dia yang berhak atas hatinya dan berhak atas masa depannya.

Sekarang saatnya untuk...

Ugh.

Nanto mengejapkan mata, cahaya lampu menyakitinya. Pedih karena tepat berada di atasnya. Kepalanya juga sangat pusing, dengan berbagai dengung berbunyi di telinganya. Uff, pegal sekali terasa badannya. Punggung berasa sangat kaku, seakan tidak ia gerakkan selama satu dasarwarsa. Ia merenggangkan badan, merentangkan tangan, menegakkan tubuh, mencoba meluruskan diri.

Duduk di tepian pembaringan, si Bengal mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Uh, setelah bercinta habis-habisan dengan Asty tadi, rasa-rasanya badannya bagai remuk redam. Dari atas kepala sampai ujung kaki. Kenapa bisa begitu? Padahal biasanya justru membuatnya lega.

Brr...

Dingin terasa. Si Bengal yang tak mengenakan sehelai benang pun mulai mencari-cari celana untuk menutup kemaluannya yang sudah purna tugas.

Tangannya meraih-raih ke kanan dan kiri, tidak ada celana. Hanya seprei. Matanya mengejap sekali lagi, mencoba mengatasi cahaya yang terlalu terang di mata. Mana sih celananya?

Ketika mulai terbiasa dengan cahaya yang mengitari ruangan, si Bengal mulai benar-benar mencari celana dalam dan celana jeans-nya. Tapi mereka tidak ada di...

Tunggu dulu...

Ruangan apa ini?

Si Bengal menatap kebingungan ke kanan dan ke kiri. Dia tidak mengenali ruangan ini! Di mana dia berada? Ruangan itu terang benderang dengan nuansa putih. ada jendela tertutup dengan teralis di ujung atas. Sebuah meja berada di tengah ruangan dengan dua gelas, dua piring lengkap dengan sendok, seteko air minum, nasi, dan lauk pauk seadanya. Ada pula CCTV di berbagai sudut.

Ini bukan ruangan tempatnya bercinta dengan bu Asty tadi. Atau memang seperti ini sedari tadi?

Kok dia tidak menyadarinya ya?

Kenapa dia bisa berada di sini?

Apa yang terjadi?

“Ke... kenapa kamu tega sekali melakukan itu, Mas?”

Ada suara yang muncul tiba-tiba dan mengagetkan si Bengal. Dia mencoba mencarinya, di mana arah suara? Ini mirip suara yang muncul saat ia bercinta dengan Asty tadi! Suara siapa sebenarnya?

“Kenapa kamu tega melakukannya? Aku salah apa?”

Si Bengal tersentak.

Ia berdiri dan membalikkan badan. Tepat di pembaringan, ada seorang gadis telanjang yang sedang meringkuk kedinginan dan ketakutan. Ia menggunakan selimut tipis untuk melindungi bagian vital tubuh telanjangnya dari pandangan Nanto. Ada beberapa memar di badan dan tangannya. Air mata mengalir tanpa henti di wajahnya yang jelita namun kuyu. Bercak darah membasahi seprei yang tadi ditiduri si Bengal.

Nanto membelalakkan mata.

“Na... Nada!?”





.::..::..::..::.





Semua serangan Pasat mentah dan kini 3GB sudah siap memburunya. Eh, tidak tiga – dua saja. si Grago dan Yosan.

Sial. Ketiga orang itu jelas bukan orang biasa saja – mereka adalah maskot PSG, sudah pasti kemampuannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Kalau begini caranya Pasat justru harus minta bantuan yang lain.

Pasat berputar dan melompat sejauh ia bisa kembali ke sisi ketiga sahabat.

“Edan. Kalian benar. Mereka terlampau kuat untuk dihadapi sendiri.”

“Zudah dibilang kan.”

Pemuda itu terengah-engah. Ia baru saja berhadapan dengan 3GB - Tiga Gentho dari Bondomanan dan gagal mengatasi mereka seorang diri. Si rambut coklat menggelengkan kepala, “Ketiga orang itu benar-benar bangsat. Kemampuan mereka sebanding dengan Empat anak panah dari JXG dan empat perisai dari QZK, bahkan mungkin lebih. Darimana si bangsat Joko Gunar mendapatkan orang-orang seperti itu?”

Hageng, Deka, dan Bian maju mensejajari si rambut coklat. Mereka tidak mengenalnya, tapi rasa-rasanya orang ini bukan orang yang jahat. Siapa tahu dengan bekerjasama mereka dapat menundukkan 3GB.

Tapi... tidak enak rasanya melibatkan orang asing...

Deka tersenyum pada Pasat, “Jangan khawatir, biarkan kami yang menyelesaikan ini semua. Kami siap bertempur sampai tuntas. Lagipula sejak awal ini adalah masalah kami. Kami memang berurusan dengan orang-orang PSG sejak lama - jadi harus menyelesaikan masalah ini sendiri, terlebih kami juga tidak mengenalmu, kami akan merasa bersalah kalau kamu sampai terluka. Tidak apa-apa, bantuanmu sudah cukup, sebaiknya kamu mundur saja, ini bukan urusanmu. Terima kasih sudah membantu sampai sejauh ini dan memberikan kami sejenak waktu untuk beristirahat.”

“Betul. Pergilah. Kamu memang hebat, tapi ini bukan urusanmu, kami bahkan tidak mengenalmu. Lebih baik tidak mencari masalah dengan orang-orang PSG ini, mereka tidak akan pernah melepaskanmu kalau sampai tahu nama dan tempat tinggalmu. Mereka akan memburumu seumur hidup.” Sambung Bian.

Pasat tersenyum dan menggeleng, “Tidak. Sekarang ini juga jadi urusanku. Karena aku datang ke sini tidak sendirian. Aku hanyalah seorang pembuka jalan.”

Deka mengerutkan kening, “Apa maksudmu?”

“Kalian lihat serangan mendadak yang membuat si pemakan permen karet tadi mundur? Itu bukan aku. Cepat sekali ya, dia memang hebat.”

Ketiga sahabat saling berpandangan, mereka menatap kebingungan ke kanan dan kiri, mencoba melihat apakah ada orang lain yang menyertai Pasat. Tapi tidak ada siapapun yang ada di dekat mereka. Apa maksud si rambut coklat?

Pasat bersiul kencang.

Tak lama kemudian terdengar satu siulan balasan di belakang ketiga sahabat. Satu kelebat bayangan seorang pemuda terlihat meloncat ke atas pagar yang mengitari seluruh area stadion di lapangan Klabangan. Pagar beton itu cukup tinggi dan membutuhkan kemampuan ringan tubuh kelas prima untuk bisa naik ke atas sana dengan langkah kaki yang ringan. Cahaya keemasan bias pendar mentari yang mulai bersemu merah jambu di cakrawala langit sore membuat pemuda itu terlihat anggun dan gagah bermandikan sinaran surya.

Tak lama kemudian satu suara menyapa Bian, Hageng, dan Deka dari atas pagar. “Untung kalian mengirim kode bravo. Jadi aku datang ke sini secepat yang aku bisa.”

Deka menatap Hageng.

Hageng menatap Bian.

Bian menatap Deka.

Mulut ketiganya menganga. A-apakah itu... Nanto? Apakah dia sudah kembali dari tugas menolong temannya? Bukan. Sepertinya bukan. Suara itu bukan suara Nanto. Suara itu suara yang berbeda.

Jadi bukan, itu bukan Nanto.

Itu suara yang berbeda.

Itu suara yang sangat mereka kenal tapi bukan suara Nanto.

Bian menatap Deka dan Hageng bergantian. Senyum ketiganya merekah seketika bagai ada cahaya dari surgawi yang menyinari kabut kekalutan dalam batin. Mereka membalik badan, menatap ke atas, dan menjumpai seorang pemuda sedang berdiri di atas pagar yang tinggi dengan tangan diselipkan masuk ke saku celana. Rambutnya berkibar diterpa dersik angin.

Hanya ada satu orang yang mereka tahu bisa naik ke atas dengan mudah selain Nanto. Hanya dia yang memiliki kemampuan ringan tubuh luar biasa hebat di antara mereka berlima selain si Bengal.

Kalau soal lompatan tinggi dan kecepatan, dia tak akan kalah dengan siapapun.

Sang pengendara angin menatap satu persatu sahabatnya sembari tersenyum lebar, ia mengedipkan mata.

“Sudah berapa lama menunggu?”





BAGIAN 18 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 19




NB:
Berhubung update kali ini sudah cukup panjang dan kondisi kesehatan kembali turun,
maka TS memberanikan diri untuk mengutip ajian milik Eiichiro Oda-sensei.
Jalak will be on a break next week. Hehehe.
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd