Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 20
BAPAK BAPAK






Perang adalah bisnis orang-orang barbar.
- Napoleon Bonaparte






Pak Zein meminum teh pocinya.

Dia duduk sendirian di sebuah kedai kopi yang ada di dekat tepian Kali Tjedo. Kedai kopi ini sudah ada sejak bertahun-tahun lamanya, di sebuah ruko sederhana yang menjorok di tepian tebing. Suasana kedai tua itu damai dan tenang, ada di sudut yang tak nampak dari jalan utama. Kedai kopi legendaris yang hanya menyediakan jajanan sederhana - seperti keripik dalam plastik, gorengan dadakan berjumlah terbatas, serta tentunya wedang kopi ala kadarnya.

Seorang bapak-bapak tua menuang air panas ke dalam poci berwarna hijau putih blirik. Bapak-bapak tua itu sering dipanggil dengan nama Pakdhe Londo, karena rambutnya yang berwarna kemerahan – bukan karena dia beneran orang bule atau wong londo. Rambut kemerahan yang khas itu sebenarnya ada sejarahnya - Pakdhe Londo adalah keturunan masyarakat suatu desa di luar pulau yang dulu konon pernah dikuasai oleh Portugis. Secara turun temurun, masyarakatnya selain memiliki rambut merah, ada juga yang dilahirkan dengan bola mata coklat dan biru, mirip seperti bule. Jan koyo wong londo.

Pakdhe Londo sudah sangat sepuh, berjalan pun sudah tertatih – tapi soal bikin kopi dan gorengan, dia jagonya. Saat ini dia sering dibantu oleh cucunya karena sudah tidak kuat lagi seharian penuh di kedai kopi.

Tapi meskipun ini kedai kopi, Pak Zein tetap lebih memilih teh poci.

“Seperti biasa, njenengan doyan sekali minum teh, Mas Bro. Maniak teh.” Seorang pria masuk ke dalam kedai, menarik kursi di depan Pak Zein dan duduk dengan santai sembari menatap pemandangan Kali Tjedo. Ia mengayunkan tangan pada Pakdhe Londo, “aku wedang uwuh siji karo balok-e sepuluh ewu, Pakdhe. Koyo biasane wae.”

Nggih, Den.” Pakdhe Londo menganggukkan kepalanya saat orang itu memesan minuman wedang uwuh dan singkong goreng.

Tidak ada yang tahu sudah berapa sepuh usianya, dia sendiri sudah tidak ingat kapan sebenarnya tanggal lahirnya – seperti kebanyakan orang sepuh lain yang sudah lupa kapan ia dilahirkan. Yang jelas Pakdhe Londo pernah merasakan bagaimana rasanya hidup di bawah pemerintahan semua presiden, menjalani usia balita kala agresi miiter Belanda kedua, dan dilahirkan di era penjajahan Jepang.

“Aku sudah mengerahkan pasukanku untuk mencari di wilayah utara. Tenangkan saja dulu perasaan njenengan, kita pasti akan menemukan Nada. Tidak akan ada yang berani membawa putri njenengan keluar dari kota ini.” ujar pria di depan Pak Zein. Pria itu membuka kaleng berisi emping, lalu membuka daun pembungkus tape ketan. Ia menggunakan emping itu untuk menyendok tape dan memakannya dengan lahap.

Pak Zein mendengus. Ia meletakkan poci tehnya. “Mudah-mudahan saja membantunya tidak cuma di bibir ya. Mas Janu tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan buah hati dengan cara seperti ini. Anak njenengan masih duduk santai di rumah – mungkin Tara sekarang sedang main piano dengan gembira. Njenengan tidak merasakan kalut dan khawatir seperti yang saya rasakan saat ini. Saya mohon njenengan tidak tiba-tiba baik dan perhatian. Kalau njenengan bersikap aneh, saya jadi curiga.”

“Maksud njenengan gimana to, Mas Bro? Apa njenengan menuduhku setengah hati membantu? Atau apakah maksud njenengan aku yang menculik Nada?” Om Janu tersenyum, “gek yo nggo ngopo? Buat apa aku menculik Nada yang justru telah berani mengambil keputusan kuliah di kawasan utara dengan meminta ijin langsung padaku? Aku sendiri yang memberikan janji padanya untuk selalu melindunginya. Aku tahu rasanya bagaimana kehilangan! Aku lebih tahu dari njenengan soal kehilangan – aku pernah mengalaminya! Saat ini kami juga kecolongan, Mas Bro. Nada itu sudah seperti anak sendiri bagiku. Dia bahkan sering datang ke rumah dan ngobrol akrab dengan anakku!”

Hrmph.” Pak Zein menggerutu, tapi apa yang disampaikan Om Janu memang benar.

“Kejadian ini berlangsung di utara dan akan diselesaikan di utara. Kami benar-benar kecolongan.”

Pak Zein kembali mendengus. “Kecolongan apanya. Kalian punya pasukan terbesar di kawasan utara, tapi membiarkan saja kelompok-kelompok lain baku hantam di kaki Gunung Menjulang, rebutan wilayah dengan konyol. Sampai kapan kalian akan membiarkan bocil tengil dari kampus mengatur wilayah paling hijau di kota? Apa kalian mau begitu terus?”

Sang pimpinan JXG menatap mata Om Janu dengan berani, “Aku tidak main-main, Mas Janu. Kalau sampai besok Nada tidak kembali dengan selamat... aku akan mengerahkan pasukan terbesar yang aku miliki untuk masuk ke utara dan kami akan mencari sendiri tanpa peduli apapun. Di setiap desa, di setiap gang, di setiap rumah, di setiap kamar. Kalau sampai ada yang menghalangi, bersiap saja untuk mati.”

Om Janu menyeringai, wajahnya tak menampakkan rasa takut sedikitpun dengan ancaman itu. Tapi dia tetap menjawab dengan sopan. “Kenapa hanya di utara? Kenapa tidak mencari di selatan dengan cara yang sama?”

“Kawasan selatan akan disisir mulai hari ini.”

“Kawasan tengah?”

“Akan dilakukan sesegera mungkin.”

“Woy!” terdengar teriakan, “Hohohoho... tunggu dulu... tunggu dulu... kalau sudah menyerempet urusan ke wilayah tengah, maka sebaiknya aku juga ikut gabung dalam pembicaraan ini, bukan?”

Om Janu dan Pak Zein tak perlu melirik ke samping untuk tahu siapa yang datang.

Satu sosok lagi masuk ke dalam kedai. Dia mengenakan jaket jeans khas pemotor jalanan dan celana jeans yang bolong-bolong. Sosok yang baru datang itu langsung berujar lantang, “Pakdhe Londo, aku kopine siji yo. Karo gedang gorenge limo. Yang kemripik yo, Pakdhe, ben krispi koyo pred cikin kae lho.”

Nggih, Den.” Pakdhe Londo sumringah karena tamunya banyak.

Om BMW mengambil kursi, dibaliknya posisi kursi itu, dan duduk dengan sandaran berada di depan. Tangan kirinya menepuk pundak Pak Zein, tangan kanannya menepuk pundak Om Janu. Dia tertawa. “Hahahaha. Gimana kabar kalian? Mukanya serius banget woy. Sepertinya seru ini pembicaraannya.”

Pak Zein geleng-geleng kepala. “Seru apanya.”

“Ayolah, Z. Aku kan cuma mencoba berbasa-basi – entah sudah berapa tahun yang lalu sejak terakhir kita semua berkumpul di sini dan bisa ketemu bersama-sama sambil ngeteh atau ngopi bareng tanpa tendensi apapun. Kamu sejak kapan sekaku ini sama kita? Apa salahnya sih sedikit bercanda?”

“Pft. Aku sedang tidak ingin bercanda. Sampeyan tentu sudah mendengar kabar tentang anakku. Bagaimana mungkin aku bercanda dalam situasi seperti ini?” Pak Zein mengumpat. “Sembarangan saja.”

“Jangan digodain dulu, Om BMW. Mas Zein ini kan sedang berduka karena anaknya belum diketemukan. Mungkin kita bisa menawarkan diri untuk membantu dengan mencari di wilayah masing-masing.” Om Janu mencoba memberikan solusi yang meredakan ketegangan.

Om BMW mengangguk setuju. “Ha beres to, Z. Aku juga tidak mau ada bajingan tengik sok iyes mengacau di kota dengan menculik anak Raja Selatan. Kok berani-beraninya membuat kekacauan keseimbangan? Akan aku bantu cari dan ubek-ubek di tengah, kalau memang dia ada tengah pasti akan kutemukan.”

Om Janu kembali bertatapan dengan Pak Zein. “Mas Bro, kami berdua sudah berjanji akan mencari Nada di wilayah kami. Kami akan kerahkan pasukan besar-besaran juga. Jadi tidak perlu JXG melakukan lintas wilayah untuk mencari gadis itu. Takutnya malah ada kejadian yang tidak-tidak nantinya.” Om Janu mencoba memberikan alasan dan menenangkan Pak Zein, “kita tahu sendiri sentimen utara selatan di kota masih panas. Apalagi kalau JXG benar-benar turun gunung dan menyeberang ke utara pasti akan menimbulkan percikan baru. Kalau sampai kejadian segawat ini bocor keluar sana dan banyak yang tahu... situasi bisa tak terkendali.”

“Makanya kendalikan.” Pak Zein benar-benar sedang tidak mood untuk berbincang. Dia hanya ingin anaknya kembali. “Katanya ketua kelompok besar? Tugas kita adalah mengendalikan massa, bukan sebaliknya. Kalau kita gagal melakukannya, maka sudah sepantasnya kita diganti oleh yang lain yang lebih mampu.”

“Saya juga pasti akan membantu.” Satu sosok lagi datang ke kedai dan langsung nimbrung.

Pria bertubuh gemuk dengan perut buncit mengambil kursi satu lagi dan duduk di samping Pak Zein dan Om Janu. Menjadikan pertemuan itu tatap muka empat arah. Orang yang terakhir datang tak lain dan tak bukan adalah pimpinan tertinggi preman Pasargede yang merajalela di kawasan Selatan – sang pemuncak PSG, sang kodok besar yang brutal - Joko Gunar.

“Nah ini datang nih munyuk-e. Saya paling curiga sama dia nih, Z. Dia kan agendanya banyak sama sampeyan. Karena sama-sama punya urgensi di wilayah selatan.” Om BMW nyengir-nyengir memancing ke arah Joko Gunar.

Joko Gunar tertawa ringan, “Kekekekek. Belum-belum kok sudah main tuduh saja, Om BMW? Ayolah, Bapak-bapak sekalian. Saya datang ke sini karena tahu saya mungkin bisa membantu, begini-begini saya juga punya anak buah meski jumlahnya tidak terlalu banyak. Sopo ngerti iso ngrewangi.”

Om Janu tersenyum, “merendah untuk meninggi, ya? Kita semua tahu beberapa saat yang lalu PSG menyerbu ke utara untuk meluluhlantakkan Patnem demi membangun KSN dengan mengerahkan pasukan yang besar. Hari ini kalian mengirim sejumlah pasukan ke Lapangan Klabangan entah urusan apa. Untung saja bocil-bocil kampus di utara jauh lebih tangguh yang kalian duga dan dapat memberikan perlawanan yang berarti.”

Pakdhe Londo menghidangkan minuman dan makanan yang dipesan om Janu dan om BMW.

“Saya kopi saja, Pakdhe.” Joko Gunar ikut memesan.

“Yang datang belakangan yang bayar yo ini.” kelakar Om BMW.

Om Janu dan Joko Gunar tertawa.

Pak Zein tidak, ia berdehem dengan kencang – menghentikan semua perbincangan tak jelas antara ketiga pimpinan di depannya. Dia sama sekali tidak nyaman bercanda sementara di luar sana putrinya tercinta entah sedang menghadapi kesulitan apa.

“Mungkin kalian tidak paham kenapa kalian aku undang datang kemari? Ini bukan ajang bertanya kabar dan basa-basi. Itu bisa kita lakukan lain kali. Ini ada masalah lain yang lebih urgent.” Pak Zein menatap satu persatu orang di hadapannya. “Aku akan mengatakan ini sekali saja, hanya sekali saja. Bagi siapapun dari kalian yang telah menculik Nada, aku harap segera kembalikan putriku dengan baik tanpa kurang suatu apa pun, paling lambat besok pagi – tidak ada tambahan waktu. Kalau tidak segera dikembalikan, maka pasukan JXG akan segera diaktifkan kembali untuk bergerak ke seluruh kota. Aku tidak peduli apakah itu utara, tengah, atau selatan. Kami akan mengobrak-abrik semua tempat untuk menemukan Nada dan siapapun yang menghalangi akan kami bunuh di tempat.”

“Mas Bro...” Om Janu mencoba menyampaikan pendapat.

Tapi Pak Zein mengangkat tangan dan mencegah Om Janu berbicara, “sabar sebentar – ini waktu saya untuk berbicara, Mas Janu. Saya belum selesai.”

“Baiklah.”

“Tidak peduli apakah itu utara, tengah, atau selatan. Pasukan JXG akan membabat siapapun dan apapun yang menghalangi kami. Kalau kalian tahu bagaimana sakitnya hati ini jika membayangkan nasib Nada, maka kalian pasti akan mengizinkan kami mencarinya. Marilah bekerja sama dan semua akan baik-baik saja. Kalau kalian merasa terganggu dan hendak menghalangi laju pasukanku, maka aku tidak peduli jika perang tercipta. Kami akan hancurkan semua penghalang tak peduli dari kelompok manapun.”

“Elok tenan, Z. Apakah sampeyan tidak memandang kami? Apakah sampeyan pikir kami tidak mampu mencari Nada? Kami dianggap apa? Satpam komplek?” Om BMW mengangkat pundaknya. Dia geleng kepala sambil melahap pisang goreng. “Begini-begini aku masih punya nurani. Aku tidak peduli apa yang terjadi, aku tidak peduli pertikaian antar kelompok yang sedang berlangsung, aku tidak peduli apapun. Yang aku pedulikan adalah nasib seorang gadis yang tengah berada dalam bahaya. Itu sebabnya aku menjamin kepastian bahwa Dinasti Baru akan membantu JXG mencari Nada di wilayah tengah – asal tidak satupun orang JXG menginjakkan kaki di wilayah kami hanya untuk berbuat semena-mena.”

Pak Zein menggebrak meja. “Apa maksudmu tidak boleh menginjakkan kaki!? Kamu pikir ini masalah sepele saja? Anakku diculik dan tidak tahu sedang diapakan di luar sana! Kamu tidak akan sanggup menahan gelombang ...”

“Tenang... tenanglah dulu.” Om Janu mencoba meredakan Pak Zein yang tentunya memang sedang gusar, “Apa yang disampaikan Om BMW ini benar, Mas Bro. Hanya mungkin karena njenengan sedang emosi, maka semua pandangan orang lain menjadi salah. Percayalah pada kami, kami juga tak ingin Nada kenapa-kenapa. Kami pasti akan membantu kalian mencarinya, itu janji kami, itu janji QZK – aku yakin Dinasti Baru dan PSG juga bersedia melakukannya. Yang jadi masalah adalah, QZK tidak bisa membiarkan JXG masuk dan mengobrak-abrik wilayah kami tanpa pengawasan, dan itu tidak dimungkinkan – karena pasti akan muncul masalah baru. Seperti halnya kelompok yang lain, QZK juga tidak ingin disepelekan. Kami punya otoritas di utara.”

Om BMW menyilangkan tangan di depan dada, bersidekap dan meringis pada Pak Zein. “Apa sampeyan menganggap remeh kemampuan kami? Apa sampeyan rela menghancurkan kota dengan perang yang bisa-bsa dimulai oleh kesalahpahaman ini? Ini bukan seperti Pak Zein yang aku kenal. Apa sampeyan tidak mendengar apa yang kami sampaikan sedari tadi? Oke, diulangi pelan-pelan supaya paham. Kami... juga... pasti... akan... membantu.”

“Aku... tidak... peduli.” Pak Zein menggemeretakkan gigi dan menatap tajam Om BMW yang juga menatap dengan berani. Keduanya saling berpandangan, tangan sudah mengepal, tinju siap diterbangkan. “Aku tidak peduli apapun, aku tidak peduli jika perang terjadi, aku tidak peduli jika ada cecunguk yang mati, aku tidak peduli jika kota hancur. Aku hanya ingin Nada kembali.”

Om Janu mendesah. “Begini saja... kami sebenarnya memahami perasaan njenengan, Mas Bro. Tidak mudah membayangkan anak-anak kita di tangan orang yang tak dikenal. Jadi kita ambil jalan tengah saja. Beri kami waktu 3 x 24 jam. Kami akan mencari Nada sampai ketemu. Jika tidak ketemu, maka JXG boleh masuk ke wilayah utara – juga untuk 3 x 24 jam. Lebih dari itu, kami akan mengusir JXG dengan cara apapun – kalau kalian tetap tidak mau pergi setelah 3 x 24 jam, maka aku juga tidak akan peduli jika ada yang mati, jika perang terjadi, atau jika kota hancur. Kita semua punya otoritas di wilayah masing-masing yang harus ditegakkan. Ini bukan ancaman, ini tawaran.”

Pak Zein menggoyangkan hidung, “Kalian punya 1 x 24 jam. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Nada. Aku khawatir semuanya akan terlambat kalau...”

Om Janu menggeleng, “3 x 24 jam. Itu sudah yang paling baik dan jadi tawaran terakhir dari QZK. Butuh waktu untuk mobilisasi. Kawasan utara cukup luas.”

Pak Zein mengangguk, “Baiklah.”

Om BMW mengetukkan sebungkus Marlboro di atas meja. “Kawasan tengah juga menawarkan 3 x 24 jam untuk JXG setelah kami menyisir sendiri terlebih dahulu selama 3 x 24 jam.”

Pak Zein mengangguk.

Joko Gunar tersenyum, “aku tidak bisa menjanjikan apapun – kami sudah berada di wilayah selatan yang sama dengan JXG. Tentu saja di kawasan selatan Pak Zein boleh mencari putrinya di manapun Pak Zein mau. Tapi kalau membutuhkan bantuan, PSG juga akan membantu mencari Nada. Kita hidup sebagai tetangga, Pak Zein. Tetangga harus tolong menolong.”

Pak Zein mendengus. “Kamu cukup jaga tingkah polah pasukanmu dan tidak cari masalah. Aku tidak peduli ada percikan seandainya pasukan kami nanti bertemu PSG. Jika kalian menghalangi atau memang justru kalianlah yang bertanggungjawab akan semuanya ini, maka kami akan membabat habis semuanya. Dari level cecunguk kelas teri sampai puncak kodok sekalipun.”

Joko Gunar mengangguk dan menjulurkan lidah. “Ancaman JXG sebenarnya adalah ancaman usang. Sejauh ini kalian hanya tinggal nama saja yang besar dan sudah lama tidak turun gunung. Selama JXG absen PSG sudah bekerja keras mengamankan wilayah selatan sekuat tenaga tanpa sedikitpun campur tangan JXG. Tapi ya sudahlah, karena kami memahami posisi dan perasaan Pak Zein yang tengah berduka – maka kami akan setuju dengan semua syarat kalian kali ini dengan tidak mengumbar kegiatan apapun selama 3 x 24 jam. Tapi awas... menyenggol sedikit saja anak-anak PSG, maka...”

“Babi! Kamu mengancamku?” Pak Zein menggoyang hidung, membenahi kacamata, dan menatap lekat-lekat wajah Joko Gunar. “JXG sudah diam saja selama ini karena kami menghormati perjanjian dengan QZK di depan pihak yang berwajib untuk alasan keamanan kota. Tiba-tiba saja kalian muncul entah dari mana! PSG memanfaatkan situasi vakum dan menggunakan secara sepihak apa-apa saja yang telah kami bangun selama bertahun-tahun. Jangan salah! JXG pasti akan turun gunung dan akan mengambil kembali hak kami yang kalian rebut!”

“Jangan salah paham, Pak Zein. Maksudku begini...”

“Awas ya. Hati-hati kalau bicara! Sekali lagi mengancamku, akan aku penggal kepalamu, bangsat!”

Joko Gunar tersenyum. “Bagaimana kalau dicoba saja? Kemarin sudah ada empat orang dari JXG yang mencoba, tapi sepertinya mereka kabur sebelum waktunya memanen meskipun sudah menuai. Njenengan sudah mendengar kabar itu tentunya. Ngisin-ngisini to? Memalukan empat punggawa teratas JXG gagal menjalankan tugas sepele. Bagaimana kalau pentolannya saja yang mencoba langsung? Aku di sini, siap, dan tidak akan kemana-mana. Silahkan saja kalau mau dicoba seekor kodok besar bisa apa sebenarnya.”

Pak Zein mendengus, wajahnya memerah karena marah. Dia maju mendekat ke Joko Gunar.

“Woi, sudah-sudah. Kasihan Pakdhe Londo itu lho. Dia bingung kalau ada yang ramai-ramai di sini.” Om BMW berdiri dan mengayunkan tangan di antara Pak Zein dan Joko Gunar. “Kita sudah sepakat kalau kedai ini menjadi tempat yang netral, tidak boleh ada yang tawur di sini dengan alasan apapun. Kalau ada yang melanggar kesepakatan, maka dia akan dijadikan musuh bersama. Kalau hal sesimpel itu saja tidak kalian pahami – nurani macam apa yang diajarkan ibu kalian?”

Pak Zein berdiri dengan kesal. Ia kembali menatap Om BMW, lalu Om Janu, dan akhirnya Joko Gunar yang masih duduk di bangku masing-masing. “3 x 24 jam. Tidak kurang tidak lebih.”

Pria berkacamata dan memakai baju turtleneck warna hitam itu melangkah ke arah Pakdhe Londo, ia mengeluarkan dompet, dan mengambil lima lembar uang berwarna merah. “Ini untuk makan dan minum hari ini, Pakdhe. Aku bayarin mereka semua. Sisanya buat Pakdhe.”

“Weeee... moso segini? Ini kelebihan banyak, Den. Jangan ah saya tidak...”

Pak Zein tersenyum kecil. Ayah Nada itu lantas menangkupkan tangannya dengan hangat di jemari keriput Pakdhe Londo yang bergetar karena berterima kasih, lalu pergi begitu saja tanpa sekalipun melirik ke arah ketiga pimpinan yang lain.

Beberapa saat setelah Pak Zein pergi, Om Janu juga berdiri – bersamaan dengan Om BMW.

Om Janu menatap ponselnya dan membaca pesan singkat di WhatsApp. “Sudah saatnya pergi. Sepertinya ada kisruh di utara, harus diawasi sebelum merembet kemana-mana.”

Om BMW mengangguk. “Aku juga harus segera mobilisasi pasukan untuk mencari Nada.”

Keduanya tersenyum dan melangkah bersama meninggalkan Joko Gunar sendirian. Mereka berdua bahkan tidak melirik sedikitpun saat pergi, lebih sibuk bercakap-cakap sendiri.

Joko Gunar hanya duduk terdiam sembari menatap kedua orang itu pergi.

Dia merasa seperti orang bodoh.





.::..::..::..::.





“Roy!” teriak Deka.

“Roy!” panggil Hageng.

Bajingaaaaaaaaaan!! Kowe isih urip to, suuuuu!? Pikirku kowe wes endgame!” perasaan bungah Bian meledak. Bahagia dan terharu jadi satu, kemesraan ini janganlah cepat berlalu, sungguh terlaluuu.

Meski wajah dan tampang Bian seperti orang yang sedang mengamuk tapi sesungguhnya dia sedang terharu dan bersyukur saat melihat saudara kembarnya ternyata masih hidup dan sehat tanpa kurang suatu apa. Dia mengumpat karena tadinya ia pikir Roy sudah mati, berasa terkena prank. Tak terasa ada tetes air mata menggenang di pelupuk matanya. Entah kenapa dia selalu berharap dan merasa Roy masih hidup, meski semua bukti mengarah ke kematian sang kembaran – ternyata dia benar, Roy benar-benar masih hidup.

“Ya ya ya. Untungnya aku masih hidup.” Roy tersenyum senang.

“Kok bisa?” Bian masih tak percaya. “Kok bisa kamu selamat?”

“Ceritanya agak panjang, nanti saja aku ceritakan. Sekarang saatnya kita menghadapi ketiga ancaman di depan itu.” Roy menunjuk ke arah 3GB. “Pasaaat! Ayo kita mulai!”

Si rambut coklat mengangguk. Ia kembali membuka kuda-kuda dan mulai merapal ajiannya. Demikian juga Roy, dia melakukan hal yang sama. Keduanya bergerak seiring bak sedang melakukan senam. Sudah jelas kalau keduanya menggunakan ilmu kanuragan yang sama. Entah sejak kapan Roy menguasai ilmu kanuragan yang sama dengan Pasat si rambut coklat.

Keduanya tenggelam ke dalam konsentrasi yang utuh, mata dipejamkan. Tangan disorongkan ke depan, jemari membentuk segitiga di depan dada. Bersamaan, mereka merapal jurus dalam bisikan kata yang tak terucap.

“Mereka menggunakan jurus yang sama,” ujar Yosan di sisi lain pertarungan. Bersamanya, Udet dan Grago berdiri sejajar. “Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah.”

Udet mengangguk dan tertawa, “Kekeke. Bagus sekali... bagus sekali. Jurus itu kalau tidak salah juga dikuasai oleh seorang anggota QZK. Apakah mereka berafiliasi? Apakah keduanya anggota QZK? Ini bisa jadi seru sekali kalau berpanjang-panjang urusannya.”

“Ada masalah. Yang di atas tembok. Gerakan amat cepat.” Dengus Grago. “Tidak bisa ditebak.”

“Sial. Belum-belum kita sudah berhadapan dengan lawan yang kuat.” Yosan menekan hidung dan membuang ingus, “yang tiga terkapar itu, mereka sebenarnya cukup kuat. Aku bisa merasakan Ki yang terbenam meski masih mentah. Hari ini sepertinya mereka sudah melalui pertarungan yang berat – jadi ledakan Ki tidak terjadi saat melawan kita. Kita menang mudah karena mereka kelelahan.”

Udet menyunggingkan senyum. “Lupakan tiga yang sudah terkapar. Fokus ke yang dua yang sudah siap menyerang. Apakah mereka berdua bisa ditanggulangi? Toh mereka hanya anak-anak kuliahan - bocil semua. Daripada kuliah lebih baik mereka diumpankan ke lele. Aku yang akan mulai serangan. Saatnya kita melakukan Thriple Threat Attack untuk menyelesaikan ini sekali dan selamanya.”

“Tentu saja. Bisa dihadapi,” ujar Grago. “Siap.”

“Bagus. Yosan?”

“Selalu siap.”

Go.”

Ketiga anggota 3GB melesat ke depan. Pasat di bawah siap menyambut, sementara Roy juga sudah tahu apa yang harus dilakukan dari atas, dia sudah beberapa kali berlatih dengan Pasat. Meski kedua pemuda itu sama sekali awam dengan kemampuan 3GB, tapi tadi keduanya sempat mencicipi.

Sekarang sepertinya mereka akan menyerang secara bersamaan.

“Rooooooy!” Pasat berteriak, meminta Roy untuk segera beraksi.

“Aku tahuuuuuuuuu!”

Roy berlari kencang ke depan dan hanya dalam sekejap mata – sosoknya menghilang bak bayangan. Dia lenyap layaknya goyangan blur di depan mata.

Bian mengejapkan mata berulang, bahkan dia tak mampu melihat ke mana perginya sang saudara kembar. Cepat sekali! Ada rasa senang dalam hati karena kini Roy memiliki kemampuan yang luar biasa, ada rasa khawatir karena Roy akan berhadapan dengan tiga lawan berbahaya. “Dia cepat sekali. Dulu dia sudah cepat, tapi sekarang sepertinya semakin menggila. Bajilak.”

Hageng mengangguk setelah beberapa kali terbatuk, “aku juga tak biza melihatnya. Entah karena Ki-ku rendah ataukah karena aku kurang azupan zerabi. Zenang melihat Roy ternyata mazih hidup. Lebih zenang lagi kalau zaja ada zebungkuz nazi padang.”

Kepala Deka bergerak kesana kemari, dari mereka bertiga mungkin hanya si Gondes yang bisa melihat gerakan Roy. Ini bukti tingkatan Ki mereka bertiga memang berbeda.

“Biza melihatnya?”

“Tidak.” Deka tersenyum – dia juga ikut merasa senang karena kini Roy tidak saja sudah kembali, tapi juga punya ilmu kanuragan yang linuwih, kemampuannya meningkat cukup pesat. “aku sama sekali tidak bisa melihat gerakannya. Aku hanya mendengar suara tapak kakinya saat menapak atau menyentuh tembok. Dia bergerak zigzag dan acak. Cepat! Cepat sekali!”

Sama halnya seperti Deka, Grago yang tadinya berlari ke depan juga tiba-tiba berhenti. Dia mendengus, mengucapkan beberapa ajian, memejamkan mata, mengoles jari ke pelupuk mata, dan mulai mendengarkan arah suara. Sesaat kemudian dia membuka mata dan seperti halnya Deka, kepalanya bergerak dengan lincah.

“Terlihat. Tapi terlalu cepat.” Grago mengayunkan tangan pada kedua rekannya. Jarinya menunjuk ke arah Pasat. “Yang itu dulu saja.”

Baik Udet maupun Yosan segera mengikuti arahannya dan mulai mengepung Pasat dari dua arah. Begitu jarak keduanya dan si rambut coklat kian dekat, Yosan menghentikan langkah dan mulai melakukan apa yang biasa dia lakukan. Pria itu mengangkat kedua tangannya ke depan, menatap lurus ke arah Pasat, merapal sesuatu dalam bisiknya sembari menggambar lingkaran yin dan yang di udara. Yosan mulai menebarkan Ki-nya ke depan.

“Jejaring Ki,” bisik Deka dengan geram sembari mengamati taktik 3GB. “Jadi itu rupanya yang membuat kita tidak bisa bergerak. Dia mengunci kita dalam jejaring Ki yang menggunakan media tanah. Entah jurus apa itu, aku masih belum paham.”

“A-Apa?” Bian melotot kaget.

Deka melanjutkan, “Mereka bertiga masing-masing punya tugas dalam serangan. Si pengunyah permen karet itu mengunci posisi lawan, si tupai terbang menyerang lawan dengan gerakan cepat, dan si rambut mohawk itu... meski dia yang paling belakangan menyerang, tapi aku punya perasaan aneh kalau sebenarnya justru dia yang paling berbahaya. Pertama, dia bisa menyerang tanpa terdeteksi... dia juga punya sesuatu yang aneh... sesuatu yang masih belum aku pahami...”

Bajilak! Wasuuuu! Jadi sejak tadi tubuh kita dikunci? Jadi kita tadi tidak bisa bergerak bukan karena kelelahan atau kehabisan Ki?” tanya Bian dengan gemas. “Biangane! Jaraaaaan! Bangsat! Mereka licik juga!”

“Licik tapi juga powerful. Aku masih belum paham jurus apa yang mereka gunakan, tapi si pengunyah permen karet itu jurusnya tidak main-main. Kenapa aku bilang begitu? Yaitu karena dia mampu menembakkan Ki dari jarak jauh dan menahan lawan dengan sangat kuat. Dia pasti punya tenaga Ki yang cukup besar. Si pengunyah permen karet itu ibarat baterai hidup,” kata Deka sambil memperhatikan Yosan. “Kalau berhadapan dengan dia, kita harus cepat. Apalagi kedua temannya yang lain juga sudah pasti akan bergerak bersamaan dengan cekatan. Ketiganya pasti sudah sangat sering menyerang bersama dengan gerakan yang tersinkronisasi. Si pengunyah mengunci, si tupai terbang menyerang – lalu entah bagaimana, si mohawk bisa menyerang secara tiba-tiba untuk membuat lawan lemas.”

“Kalau soal gerakan tersinkronisasi, kita juga sudah sering melakukannya. Bukan mereka saja yang bisa.” Bian tersenyum sembari mencoba berdiri, dia tidak ingin hanya diam saja sementara Roy dan si Rambut Coklat sedang melawan 3GB. “Ayo kita bantu Roy dan teman barunya itu, Ndes.”

“Memangnya kamu kuat berdiri?” Hageng tertawa melihat Bian doyong ke kanan dan ke kiri saat mencoba berdiri, “Bahahahhaahah. Tuh kan. Berdiri aja zempoyongan. Dazar iwak koyor.”

“T-Rex! Ayo berdiri! Percuma julukanmu T-Rex kalau tidak bisa berdiri! Ganti saja julukanmu jadi iwak pesut!” ledek Bian dan mengulurkan tangannya untuk membantu Hageng berdiri.

Hageng tertawa. Sembari menyambar uluran tangan Bian, Hageng pun turut berdiri.

Deka juga sudah berdiri. Dia tersenyum melihat Bian dan Hageng sudah kembali tegak. “Sepertinya aku punya rencana.”

Tak jauh darip posisi Deka dan kawan-kawan, Roy dan Pasat memulai serangan mereka.

Roy dan Pasat bekerja sama dengan cekatan, keduanya membentuk gelombang serangan yang silih berganti untuk menekan posisi Grago. Ketika sang tupai terbang mengudara, Roy akan menyerangnya sehingga Grago harus turun dan menapak tanah. Tapi saat sudah mendarat, giliran Pasat yang menyerbunya.

Tangan Grago bergerak cepat menahan gempuran Tapak Duka Nestapa dari Pasat. Keduanya beradu kecepatan.

Kanan dibalas kiri, kiri dibalas kanan. Serangan dari atas ditahan lengan menyilang, serangan dari bawah disentakkan. Berulang dan bergantian. Kanan atas, kiri bawah, kiri lagi, tengah, kanan, kiri. Semua serangan Grago juga berhasil dimentahkan oleh Pasat.

Seimbang? Sepertinya tidak mungkin.

Grago seharusnya bisa menekan Pasat – tapi kenapa jadi sulit sekarang? Apakah karena Pasat bisa membaca arah serangan ataukah karena memang Pasat punya kemampuan yang lebih hebat dari yang terlihat? Kenapa Yosan tidak bisa mengantisipasi...

Oh.

Grago mendengus saat melihat ke arah sang pengunyah permen karet.

Yosan tengah disibukkan oleh serangan membabi-buta dari Roy. Tendangan sang pengendara angin ibarat kibasan pedang yang tanpa jeda. Menyerang dari kanan dan kiri, dari atas dan bawah. Merepotkan Yosan, bahkan ketika serangan Roy masih belum memiliki bumbu Ki.

Deka melirik ke samping Pasat dan melihat kedatangan Udet. Gila ini orang satu benar-benar tidak bisa terdeteksi Ki-nya. Dia bisa menafikan pembacaan tenaga Ki dan melesat ke arah lawan dengan gerakan tanpa suara.

Buktinya sekarang tiba-tiba saja sudah ada di samping si Rambut Coklat.

Tangan si Mohawk bergerak.

Itu tandanya!

“Hageng! Sekarang!!” teriak Deka sekuat tenaga.

Arena pertarungan terkesiap dengan teriakan Deka yang tiba-tiba. Semua pihak yang tadinya fokus dengan urusan masing-masing menjadi menyadari lingkungan yang lebih luas. Pandangan mereka menyebar. Pasat memutar tubuh dan mendapati Udet sudah berada di belakangnya. Ia mencoba melontarkan tendangan untuk mengusir sang pimpinan 3GB.

Udet sontak mundur ke belakang sambil cengengesan. “Wahahahaha. Sial. Kenapa si tae kocheng itu harus teriak-teriak sih? Kan posisiku jadi ketahu...”

“Heaaaaaaaaaaaaaaarrrghhhh!!”

Ada bayangan menutup langit di atas Udet. Seorang laki-laki bertubuh besar melontarkan pukulan kencang dari atas. Kedua tangan dikatupkan, diangkat ke atas, dan dihantamkan ke bawah bak palu raksasa. Orang itu jelas adalah sang T-Rex kribo, Hageng.

“...an.” Udet meneguk ludah.

Bledaaaaaaam!

Udet menggunakan kedua lengannya untuk menutup jalur serangan Hageng agar tidak langsung mengenai wajahnya. Tubuhnya terjerembab ke bawah karena desakan pukulan dari Hageng yang cukup kuat. Jari jemari Udet menahan lengan raksasa sang T-Rex. Bukannya panik karena terdesak, Udet justru tersenyum.

Deka melihat bagaimana Hageng kemudian makin melemah dan melemah. Dia mengernyitkan kening, sampai kemudian ia benar-benar paham. Sentuhan tangan Udet itu...

Astaga naga rupa rupa warnanya! Merah kuning kelabu! Merah muda dan ungu!

Hageng sedang disedot tenaganya! Bajingan itu menyedot tenaga Hageng! Jadi itu jurusnya!? Jurus dengan kemampuan vampir pemangsa!? Jurus apa itu? Jurus mengerikan Hikmat Penyesap Sukma? Atau jurus lain lagi yang mirip?

Bedebah. Tidak bisa didiamkan.

Deka menyalurkan tenaga hangat ke tangan kanan dan tenaga dingin ke tangan kiri. Dia sekarang sudah tahu rahasia serangan dari 3GB. Satu menahan, satu menyerang, satu lagi menghisap. Rantai serangan itu harus dipatahkan. Di saat Udet terus menyedot tenaga dari Hageng, Deka langsung melesat ke belakang sang lawan untuk menghantam punggung Udet secara berulang dengan pukulan terbarunya.

Jbooookgh! Jbooookgh! Jbooookgh!

Tiga hantaman kencang masuk untuk membuat tulang punggung Udet nyeri bukan kepalang. Dia segera melepas kuncian tangannya pada Hageng dan mencoba menghindar dari Deka. Tapi Deka sudah memperkirakan jalur jalan yang akan dilalui oleh Udet. Pukulan panas dan dingin bergantian melesak ke punggung sang lawan.

Jbooookgh! Jbooookgh! Jbooookgh!

Desakan tenaga Ki dari si Gondes yang terbenam ke punggung membuat Udet terdorong beberapa langkah ke depan. Udet masih tetap cengengesan. Ia menggunakan ringan tubuhnya untuk semakin menjauh dari Deka. Sayangnya Udet tidak mengira akan ada serangan dari samping.

Hageng memang sudah tersedot Ki-nya, tapi bukan berarti dia sudah benar-benar habis. Hageng berlari sekencang mungkin sembari menunduk, dan melepaskan sentakan ke bagian rusuk Udet dengan mengencangkan pundaknya.

Hageng melakukan Spear!

Udet tersentak ke belakang! Dia terhentak tapi masih sanggup melawan, ia melontarkan siku tangannya ke punggung Hageng!

Bdoooooooooooogkh!

Hageng terjerembab ke bawah dengan wajah terhampar tanah. Melihat rekannya rubuh, Deka meloncat ke depan untuk menyusul, dan segera melontarkan pukulan ganda ke punggung Udet yang membelakanginya!

Udet tidak khawatir, ia justru tertawa. Udet kemudian memutar badan dan melecutkan pukulan penahan!

Dua hantaman bertemu.

Jboooooom!

Pukulan yang satu meng-cancel pukulan yang lain. Baik Deka maupun Udet terlontar ke belakang. Dua-duanya tersengat Ki yang cukup kencang. Jari jemari terasa linu, tulang pun langsung kaku-kaku.

Udet ditahan oleh Yosan supaya tidak terlontar ke belakang.

Deka ditahan oleh Hageng dan Bian.

Angin berhembus, tenang terasa. Sepi tanpa suara dari kedua kubu. Hanya teriakan di kejauhan saja yang terdengar. Teriakan itu bukan dari kedua kelompok berdiri berseberangan saat ini. Bukan dari Lima Jari dan bukan dari 3GB.

Seimbang.

Mereka sekarang seimbang.

Ya tidak benar-benar seimbang sih, Lima Jari menang jumlah.

Deka, Hageng, dan Bian terengah-engah. Mereka bertiga tersenyum. Kuylah! Mau berapa kalipun bertarung pasti dilayani! Ga peduli bengap lebam yang mengikat, ga peduli tegang kencang di belikat, kalau sudah punya niat tidak boleh sambat. Sekarang atau nanti, tetap harus disikat!

Deka, Hageng, dan Bian berdiri sekuat mungkin. Bian masih belum mampu bergerak dengan lincah karena luka dan nyeri yang ia alami.

Ketiganya memang sudah kepayahan, tapi demi apapun mereka tidak akan berhenti. Ketiganya kembali melakukan ancang-ancang. Pasat dan Roy yang tadinya merongrong Yosan akhirnya bergabung dengan Deka dan kawan-kawan. Pasat membantu di sisi kanan mereka, sementara Roy berada di atas tembok di sebelah kiri mereka.

Lima lawan tiga.

Lima jari sudah siap – meski posisi Nanto untuk sementara digantikan oleh Pasat.

Lima lawan tiga. Meski kekuatan mereka di atas Lima Jari, tapi Ini sama sekali bukan situasi dan kondisi yang menyenangkan. Bukan karena 3GB ingin menyerah, tapi karena mereka tidak ingin menghabiskan tenaga untuk hal yang sia-sia belaka. Bertarung hari ini? Tidak untung, banyak rugi.

“Percuma.” bisik Grago perlahan. “Bosan.”

“Setuju. Aku juga mulai bosan. Tujuan utama sudah tercapai, urusan sudah beres, mau ngapain lagi? Tidak ada gunanya bertarung di sini. Berantem sama mereka berlima juga tidak ada net benefit-nya. Sudah habisin tenaga eh ga ada profit. Buat apa? Bagaimana kalau kita pergi saja? Gimana? Kalian setuju? Kekeke...” usul Udet yang langsung dibalas anggukan kepala Grago dan Yosan.

Sebagaimana Udet, Yosan pun juga sama, dia tak ingin berlama-lama di tempat ini. Tujuan utama sudah tercapai, tidak perlu lagi memperpanjang urusan yang tidak penting dan menghabiskan tenaga. Dia meledakkan balon permen karetnya. “Setuju. Ayo kita pergi saja.”

Udet tertawa. Dia langsung melesat pergi. “Go!

Satu perintah dari Udet dan 3GB sudah melesat pergi bersamanya.

Deka, Hageng, dan Bian jatuh terduduk. Tenaga mereka sudah benar-benar habis. Akhirnya mereka menyadari mereka sudah sampai di puncaknya. Roy dan Pasat buru-buru menghampiri ketiga sahabat dan mendudukkan mereka dengan nyaman.

Roy menepuk pundak Bian, sang saudara kembarnya. Dia tersenyum, “Maaf baru bisa datang. Aku harus menyembuhkan diri dan mempelajari banyak hal dulu baru bisa kembali.”

“Sebenarnya kamu kan belum terlalu lama pergi, tapi sudah menguasai jurus baru. Luar biasa, Nyuk. Mau begini saja harus pura-pura mati sih?” Bian berusaha kerasa untuk menahan suaranya agar tidak pecah – pecah menahan haru karena dapat melihat lagi Roy yang sehat tak kurang suatu apa.

“Aku mengisi hari dengan belajar dan belajar sembari menyembuhkan diri dari luka. Aku juga belum kasih kabar ke restoran, mungkin sudah dipecat karena tidak pernah masuk kerja. Hehehe.” Roy tersenyum lebar. “Ya sudahlah, nanti cari kerja di tempat lain saja.”

“Aku juga tidak percaya kamu bisa mati semudah itu, Nyuk. Terlalu gampang buat cecunguk bangsat sepertimu.” Bian berkaca-kaca menahan tangisnya. Dia tidak ingin terlihat cengeng di depan sang saudara kembar. Tapi dia sungguh-sungguh gembira.

Deka merangkul Roy dengan wajah bahagia, “Senang melihat kamu kembali. Benar-benar senang.”

“Sama-sama, Ndes.”

“Err... gaez. Zebaiknya kita jangan happy happy dulu. Ada pertarungan yang belum zelezai di zana.” Hageng yang tadinya hendak berjalan menuju ke arah Roy tiba-tiba saja mengalihkan pandangannya ke sisi lain lapangan yang masih terdengar teriakan-teriakan gahar. Ia menunjuk ke arah jauh. “Zi Rao mazih belum zelezai.”

Benar apa yang dikatakan Hageng, di saat 3GB sudah meninggalkan arena, sang Hyena Gila ternyata masih belum selesai berhadapan dengan keroyokan anggota PSG yang mati-matian mencoba menahannya dan menundukkannya. Meski berulangkali gagal, tapi para cecunguk PSG tak berhenti berusaha. Tiap kali Rao membuat mereka terkapar, tak lama kemudian mereka bangkit dengan susah payah untuk mengganggu sang pimpinan DoP kembali. Sementara Rao sendiri sebenarnya tidak menggunakan tenaga Ki-nya sekalipun dan memilih bertarung dengan kepalan. Mentah lawan mentah.

Rao yang kepayahan memang sama sekali tidak membutuhkan Ki untuk melawan para cecunguk yang terus menerus mengerumuninya. Tinjunya bergerak dengan membabi-buta, ibarat kembang api raksasa mengangkasa yang terus memercikkan nyala api ke segala arah. Satu demi satu lawan ia jatuhkan. Jumlah mereka belasan tapi semuanya roboh. Rao bergerak dengan brutal. Ia tak mengijinkan satu pun lawan berdiri – siapapun yang menghalanginya, akan terkapar menelan bogem mentah.

Sudah jatuh pun, kepalannya tak berhenti menghajar.

Satu persatu ditundukkan.

Dbkkghhhh!

Rao menjejak dada satu lawan yang masih berdiri. Otomatis kroco PSG itu terhenyak ke belakang. Ia terjerembab dengan dada nyeri. Tapi Rao tak berhenti. Ia melompat dan menerkam sang kroco yang langsung berteriak ngeri.

Jbloooogkkkh! Jbloooogkkkh! Jbloooogkkkh! Jbloooogkkkh! Jbloooogkkkh!

Kepalan Rao beraksi, orang yang sudah terkapar itu dipastikan tak akan bisa bangkit kembali.

Satu orang lain yang baru saja terkapar mencoba berdiri dengan kaki bergetar – dialah orang terakhir yang harus dihadapii Rao hari ini. Pandangannya sudah berkunang-kunang tapi ia memaksakan diri untuk menahan laju sang Hyena Gila demi selesainya misi PSG. Pemuda PSG itu maju dengan tertatih, ia bahkan sudah tak dapat lagi melihat dengan jelas – terlebih dengan pelipis yang bocor. Keras kepala juga orang-orang PSG ini.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!” Rao melesatkan kepalan ke wajah sang kroco.

Jbloooogkkkh!

Orang yang baru saja berdiri terlempar ke belakang beberapa tapak, hidungnya bengkok dan darah mengucur deras. Tubuhnya goyang sesaat, bola matanya berputar hingga ke putih. Akhirnya ia doyong ke belakang. Sang lawan terakhir roboh di depan sang Hyena Gila, tidak ada lagi yang mampu melawan.

Rao meraung.

Dia berhasil.

Tubuhnya sudah tak karuan rasanya, wajahnya lebam di beberapa sisi. Darah mengucur dari sana sini. Tapi dia tak akan berhenti. Demi menyelamatkan sang gadis yang telah mencuri hati.

Setelah lawan terakhirnya jatuh, Rao berlari ke arah motor. Dia harus mengejar Nuke! Dia harus menyelamatkan Nuke! Rao melompat ke atas roda dua yang tadi ia gunakan dan langsung membuka kunci. Lima Jari dan Pasat buru-buru menghampiri sang Hyena Gila, tapi motornya sudah meraung-raung dengan dahsyat. Siap meluncur ke jalan raya.

Deka buru-buru membentangkan tangan untuk menutup jalur kepergian Rao.

“Rao...! Rao...! Dengarkan dulu!” Si Gondes mencoba mencegah sang pimpinan DoP mengejar Nuke ke PSG.

Deka tahu Rao sedang geram dan gemas, tapi ini bukan saat yang tepat mengejar Nuke karena ada opsi lain yang harus dipilih, dan itu adalah pilihan yang berat untuk Rao. Dia harus memutuskan mana yang lebih penting.

“Rao! Ingatlah skala prioritas! Tolong pertimbangkan skala prioritas! Aku tahu kamu sedang kesal dan sangat ingin melabrak markas PSG sekarang juga, aku tahu! Aku paham sekali! Tapi... tapi dengarkan... saat ini markas DoP sedang rusuh karena diserang RKZ. Kita harus segera kembali ke sana. Banyak anggota DoP yang terluka dan mereka pasti sangat membutuhkanmu. Mereka membutuhkan pimpinan mereka.”

Rao menatap Deka dengan geram dan mendengus kesal. Dia marah, dia geram, dia emosi, tapi dia tahu apa yang diucapkan Deka itu ada benarnya.

“Aaaaaaaaaaaaarrrghhh!” Rao berteriak kencang. Ia meraung kesal. Tangannya dihantamkan ke udara, melepas semua sesak di dada. Bagaimana mungkin ia bisa disudutkan pada kondisi seperti ini? Haruskah dia memilih? Bisa-bisa dia benar-benar akan gagal melindungi Nuke!

Kalau dia sampai gagal melindungi Nuke, perebut hatinya itu pasti akan dimangsa oleh Joko Gunar – si Kodok Besar yang super sange kalau sama Nuke. Kalau itu terjadi, Rao tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Tapi kalau dia sampai gagal melindungi DoP - maka dia bukanlah pimpinan yang baik, dan dia akan lebih menyesal lagi.

Rao tentu saja sudah tahu persis mana yang akan dia pilih.

Sial. Sial. Sial. Sial. Siaaaaaaal!

Tunggulah Nuke, tunggulah sebentar lagi.

Setelah masalah DoP selesai, Rao pasti akan datang. Secepat yang ia bisa.

Bertahanlah.





.::..::..::..::.





Sambil bersungut-sungut, Joko Gunar menyusuri tepian jalan setapak di atas tebing kali Tjedo. Dia paling benci diremehkan dan ketiga pimpinan kelompok besar lain sepertinya teramat meremehkan keberadaannya. Mereka tidak menganggapnya sama sekali.

Dia bersumpah akan ada suatu saat nanti – ketiga pimpinan itu akan berlutut di hadapan Joko Gunar dan memohon ampun padanya. Semua akan terbalaskan saat ia bisa menguasai semua wilayah di kota dalam genggamannya, dan saat itu pasti akan tiba suatu saat nanti. Dia tentu saja tidak akan pernah puas dengan hanya berkuasa di wilayah Pasargede dan sekitarnya saja.

Dia akan menguasai semuanya.

Dia pasti bisa membuktikannya.

Sebuah mobil dengan jendela serba gelap yang berjalan pelan berhenti tak jauh dari posisi Joko berjalan, sang pria berbadan gemuk itu pun lantas mendekat dan pintu mobil dibuka. Seorang pemuda keluar dan mempersilahkan Joko untuk masuk ke dalam sebelum ia pindah ke kursi depan di samping sang sopir.

Joko Gunar masuk ke dalam mobil yang menjemputnya. Di dalam mobil sudah ada tiga orang yang duduk di posisi masing-masing. Dua di depan, satu di tengah.

Kepala preman PSG itu sedang resah dan gelisah. Dia paling benci disudutkan oleh ketiga kelompok lain, walaupun memang benar PSG adalah kelompok yang termuda dibandingkan tiga besar tapi tidak begini caranya.

Dia seperti tidak dianggap dan itu sangat dia benci.

Setelah masuk ke dalam mobil, sang pimpinan PSG menatap satu persatu orang yang berada di dalam mobil dan mengerutkan kening.

“Beng. Siapa sopirnya ini? Cah anyar tah?” tanya Joko pada orang yang baru saja berpindah posisi. “Mana Pak Timo?”

“Bener banget, Bang. Ini orang baru. Dia dulu dari KSN. Kami jadikan sopir karena cukup handal di jalan, sudah kami tes kemampuannya. Apalagi Pak Timo - sopir Bang Gunar yang biasanya - sedang ikut mengamankan lokasi lapangan Klabangan, dia baru jalan menjemput Sarno, Bang.” jawab sang pria di samping sopir yang menengok saat disebut dengan panggilan Beng. Beng menepuk pundak sang sopir. “Meskipun baru dia sudah teruji kok. Sudah melalui banyak tes seperti tadi saya bilang.”

Ya wes. Arahkan pandangan kalian ke depan, tidak boleh menengok ke belakang tanpa seijinku. Jangan memanfaatkan spion tengah dengan tujuan yang tidak kusetujui.”

“Siap, Bang,” jawab Beng.

“Siap, Bos,” jawab sang sopir baru.

Joko Gunar mendengus dan tidak berkomentar banyak, untung bagi si sopir baru karena pimpinan PSG itu hatinya berubah jadi senang sehingga tidak memperpanjang pertanyaan kepadanya.

Kenapa tiba-tiba saja ia senang?

Terutama sekali karena di sampingnya kini Nuke sudah hadir dengan tangan kiri terborgol ke hand grip handle di atas jendela. Dia tidak bisa kemana-kemana, terjebak berdua dengan Joko Gunar – orang yang paling ia takuti.

Joko Gunar menjilat bibir seakan-akan sedang melihat satu santapan yang teramat lezat di depan matanya. Molek sekali memang si Nuke ini, sudah sejak lama dia mendambanya. Bahkan ketika status Nuke masih sebagai putri dari orang yang amat ia hormati dulu, Joko Gunar sudah mengincar sang jelita. Seringkali tiap malam ia coli di kamar mandi berteman sabun hanya membayangkan body dan wajah Nuke yang kala itu masih bersekolah.

Siapa menyangka kalau sekarang dia bisa bersanding dengannya.

Nuke meringkuk ketakutan saat Joko Gunar mendekatinya. Preman berperut lebih itu memang lama kelamaan semakin mendekat dan semakin mendekat ke sang gadis idaman. “Apa kabar kamu, sayang? Aku sudah merindukanmu. Kenapa susah sekali kita ketemu? Apa tidak kangen sama aku?”

Jemari Joko Gunar bergerak maju.

“Jangan sentuh!!” Nuke menyentak galak.

Joko Gunar tertawa. “Tidak boleh menyentuh? Tidak boleh menyentuh? Hahahahaha! Sudah bisa melucu rupanya!! Apa kamu tidak bisa membayangkan apa-apa saja yang akan aku lakukan padamu? Yang akan aku lakukan padamu itu lebih dari sekedar menyentuh! Bayangkan saja! Aku akan menidurimu, menyetubuhimu, memperkosamu.”

Nuke bergetar ketakutan.

“Heheheh. Kita akan segera menikah seperti janjimu dulu padaku. Janji yang sampai sekarang kamu tidak kamu tepati. Pucuk dicinta ulam tiba, kalau sudah jodoh mau hendak kemana? Akhirnya kan kita bertemu juga. Kenapa kamu harus takut dengan sentuhanku? Setiap hari aku justru akan menyentuhmu. Setiap hari. Setiap jengkal tubuh indahmu.”



Joko Gunar makin mendekat, Nuke makin ketakutan dan panik.

“Ja-jangan...”

Joko memainkan jarinya di paha Nuke yang masih tertutup celana jeans. Nuke segera menepis tangan sang preman. Tapi sang preman justru bergerak semakin maju, tangannya mencengkeram susu kanan sang dara, meremasnya dengan buas.

“Hkkkghhh!!” Nuke memejamkan mata dan mencakar lengan Joko Gunar. “Sakit tahu!”

Joko Gunar tertawa terbahak-bahak sementara Nuke terus menerus mengerucutkan tubuh dan meronta, berusaha melepaskan cengkraman sang durjana dari dadanya. Namun apalah artinya kekuatan seorang gadis mungil dibandingkan preman seperti Joko Gunar.

“Lepaaaaas! Lepaskaaaan!”

“Baiklah... baiklah... aku lepaskan.” Joko Gunar mengangguk-angguk, tapi sesaat kemudian dia mencekik leher Nuke dengan paksa dan mengecup pipi sang dara. “Aku tidak akan memperkosamu sekarang, asal kamu buka celana jeans dan celana dalammu saat ini juga. Mood-ku sedang naik turun. Kalau kamu meronta dan melawan, itu membuat hari ini akan berakhir kurang menyenangkan untuk kita berdua.”

Nuke menggeleng kepala dengan kencang. “Tidak! Tidak mau! Aku tidak mau!! Lebih baik aku mati daripada...”

“Jadi kamu melawan ya? Kamu lebih memilih aku perkosa sekarang ya? Baiklah. Kalau kamu memilih diperkosa daripada menyerahkan diri kepadaku, maka aku akan mencari keluargamu, mantan pacarmu, dan menyiksa mereka satu persatu sampai kamu bersedia menikah denganku tanpa paksaan.”

“Be-bedebah! Ka-kamu benar-benar...”

Joko Gunar menepuk ke pundak sang sopir baru, “Jalan... bawa kita ke hotel terdekat. Aku mau memperkosa cewek ini.”

“Tidak! Tidak mau! Tidak! A-aku buka... aku buka saja...” sembari beruraian air mata Nuke mulai melucuti celananya sendiri, dia tidak ingin Joko Gunar menyakiti orang lain – terlebih orang-orang terdekatnya. Dengan berat hati ia juga menurunkan celana dalamnya hingga ke pergelangan kaki. Susah melakukannya dengan satu tangan, Nuke harus berusaha keras terlebih dahulu.

Setelah selesai melucuti celana sendiri, sang bidadari jelita segera mengatupkan kedua kakinya dengan rapat. Duduknya juga makin ke samping, berlindung di balik kursi supaya para pria di depan tidak dapat melihat dirinya yang sekarang sudah telanjang dari bagian pinggang ke bawah.

Napas Joko Gunar makin berat melihat seksinya paha Nuke yang tergambar jelas di depan matanya.

“Buka.”

Nuke menggigit bibirnya sembari melirik ke arah jalan besar. Dia mencoba menahan tangisnya, dia tidak ingin membuat sang Kodok Besar ini kesenengan, tapi apa yang bisa dilakukannya?

“AKU BILANG BUKA!!”

Gadis itu memejamkan mata, lalu melebarkan kakinya. Dia sudah tidak mengenakan celana dalam lagi sehingga sang preman punya akses bebas menuju bagian paling rahasia dari tubuhnya. Tangan Joko Gunar menyelinap masuk ke selangkangan Nuke. Langsung ke tujuan tanpa babibu, memainkan bibir kewanitaan sang dara tanpa perlu permisi lagi.

Nuke memejamkan mata.

Menahan.

Tubuhnya bergetar ketakutan.

Joko terkekeh. “Sedapnya.”

Jari jemari Joko Gunar bukanlah jari-jari yang sopan. Masuk tanpa permisi, merusak tanpa ijin. Jari gemuk Joko Gunar masuk ke dalam dan mengobrak-abrik liang cinta sang perempuan jelita itu. Dia sudah tak lagi peduli dengan Pak Zein dan ancaman-ancaman busuknya tadi, sudah bisa dilupakan. Yang penting sekarang dia bisa menikmati wanita idamannya tanpa halangan apapun.

Benar-benar inilah yang namanya pucuk dicinta ulam pun tiba. Mau begini saja kok repot betul. Butuh waktu sangat sangat sangat lama sekali. Tapi akhirnya kesampaian juga.

“Hngggkh!”

Nuke memejamkan mata. Bagaimana? Bagaimana caranya supaya dia dapat bertahan? Akankah dia selamat? Ataukah semuanya berakhir dan ini titik balik kehidupan barunya? Sebagai gundik Joko Gunar?

Joko Gunar menarik tangannya dari liang cinta Nuke. Ia mengangkat tangannya yang basah oleh cairan cinta dan menjilatnya. Si gadis jelita meringkuk dengan jijik.

“Hmm... begini ini yang lezat. Bikin awet muda.” Joko terkekeh. “Bersiaplah, sebentar lagi kita akan menikmati malam-malam panjang berdua, sayangku. Honeymoon yang tertunda akan kita ciptakan tanpa pernah berakhir. Hanya kamu dan aku saja, berdua selamanya. Bulan madu-nya dulu, nikah resminya belakangan. Hahahahaa.”

Nuke ingin muntah rasanya. Ia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia tidak ingin memandang wajah buruk rupa Joko Gunar dan memberikannya kenikmatan dengan menunjukkan ketakutan, walau memang sesungguhnya ia sedang sangat panik. Gadis itu terus menerus melihat keluar kaca jendela mobil, memandang ke arah jalanan, dan berharap ia dapat melihat Rao dan meminta tolong kepadanya.

Seandainya ada di sini, Rao pasti akan menolongnya.

Dia pasti akan menyelamatkannya.

Pasti.

Pasti dia akan...

“Hkgghh!” Gadis itu terhenyak.

Tangan Joko Gunar lagi-lagi menyelinap ke selangkangan Nuke.

“Jalan,” ucap Joko santai pada sang sopir.

Dengan duduk berdampingan bersama gadis yang ia idam-idamkan sembari dengan bebas bisa mengobel selangkangannya, sang Kodok Besar Joko Gunar tersenyum teramat lebar - selebar jembatan Suramadu kalau sedang ada pelebaran jalan. Dia sudah mulai melupakan masalahnya dengan para pimpinan tiga besar.

“Siap.” Sang sopir mengangguk sembari tersenyum. Dia berusaha tidak melihat ke arah spion tengah.

Setelah menjawab perintah Joko Gunar, mobil yang dikendarai oleh anak buahnya itu pun segera melaju menyusuri jalanan kota, menit demi menit berlalu dengan jemari Joko Gunar tetap bermain di selangkangan sang jelita.

Nuke sebenarnya tidak tahu mereka akan kemana, dia mencoba membaca arah. Jalur yang mereka lalui sepertinya mengarah ke selatan, pojok benteng ke selatan, lurus terus melewati kampus seni rupa.

Ke arah pantai selatan.

Napas gadis itu menjadi sesak, semakin jauh dari kota, semakin jauh dari kawasan utara, semakin jauh dari Mas Rao. Apakah ini artinya kehidupannya sudah benar-benar akan berubah mulai sekarang? Apakah dia benar-benar akan dijadikan istri sang pimpinan preman berbau busuk ini? Seperti inikah takdirnya?

Tiba-tiba terdengar dering ponsel berbunyi. Beng - orang yang duduk di samping sang sopir mengambil ponselnya dan menekan tanda terima saat melihat siapa yang menelponnya.

“Ya... ya ada apa, Di? Lagi neng ndalan. Sedang jalan sama Bos.” Sang anak buah mengerutkan kening, “iya ini ada Bang Gunar. Kenapa emang?”

Joko Gunar memainkan jarinya bak sedang memainkan senar gitar. Nuke terhenyak dengan tubuh bergetar. Tangannya berpegangan erat ke hand grip. Ia memejamkan mata dan terus menerus menyebut lirih nama Rao dalam bisikan.

Tiba-tiba saja Beng setengah terpekik saat mendengar laporan di ponselnya. “Jangan main-main! Ora reko-reko kowe, su! Itu bukan berita yang...” Beng meneguk ludah, “A-apa...!? Bagaimana dia bisa... terus? Hah!? Yang di dalam itu? Yang di dalam justru... ”

Laporan itu cukup panjang dan lama. Sepertinya hal serius. Beng keringatan.

Beng lantas terdiam saat telpon hendak ditutup. Dia mengiyakan dengan lirih dan lemas saat memasukkan ponsel kembali ke saku.

Sembari takut-takut, Beng menengok ke belakang. Ke arah Joko Gunar yang menatapnya tajam. Mereka yang duduk di depan sudah diwanti-wanti untuk tidak melirik ke belakang apapun alasannya. Lalu kenapa sekarang dia berani-beraninya...

“Ba-Bang Gunar... ada berita Bang. Berita buruk.”

Joko Gunar menatapnya tajam tanpa mengucapkan satu patah katapun. Galak. Kejam. Tanpa ampun. Berani-beraninya mengganggu keasyikannya ngobel memek si Nuke! Sudah bosan hidup!?

“Gu-gudang utama barang dagangan Bang Gunar dibakar orang. Sebagian stok miras ludes. Entah bagaimana dengan barang-barang lab....”

Joko Gunar terbelalak, mulutnya terbuka lebar. Bajingan! Bajingan mana yang... bajingan mana yang berani...!! Bajingan mana yang berani membakar gudang penyimpanannya!? Sialaaaan! Cari mati! Kerugiannya pasti tak terkira! Siapa yang sudah tahu tempatnya menyimpan barang-barang jualan?

Joko Gunar melepas tangannya dari selangkangan Nuke, “KOK BISA!? SIAPA YANG BAKAR!?”

Si jelita pun buru-buru menutup kakinya dengan celana jeans, karena Beng menatap ke arah belakang.

“Penjaga bilang ada beberapa orang tamu tadi yang masuk pakai mobil pick up. Di bak belakang mobil mereka bawa-bawa jerigen. Tadinya mengira itu oplosan. Tidak ada yang mengira itu akan digunakan untuk membakar...” sang anak buah menelan ludah, dia tidak berani menatap wajah Joko Gunar yang memerah karena marah dan emosi. “para penjaga mengijinkan mobil itu masuk karena ada orang yang mereka kenal di dalam mobil. Karena alasan itu pula mereka melepaskan pengawasan. Mereka mengira itu hanya kunjungan biasa saja.”

“Kampreeeet! Seenak wudel saja mereka membiarkan orang asing masuk rumahku! Siapa orang itu? Bangsat! Malam ini juga dia harus mati! Berani-beraninya... SIAPA DIA?”

“O-orang itu Le-Lek Suman..., Bang.”

“APAAAA!?”

Joko Gunar terduduk lemas. Si tua bangka sialan itu! Si tua bangka sialan itu sudah mengkhianatinya! Kenapa? Setelah apa yang selama ini dia lakukan untuk Lek Suman. Kenapa dia melakukannya? Atas perintah siapa? Dengan siapa dia sekarang berafiliasi? Kenapa sekarang?

Oooh... apakah karena tepat di saat para pimpinan melakukan rapat bersama, pasukan terbagi, dan 3GB sedang bertugas? Jadi dia beraksi di saat mereka semua lengah? Si tua bangka bangsat itu otaknya penuh dengan siasat licik!

Huaaaajingan. Lek Suman harus di...

Joko Gunar menggemeretakkan gigi, kalimat berikutnya terdengar menyeramkan. Ia mengucapkannya dengan pelan namun tegas. “Cari Lek Suman sampai dapat. Malam ini juga serahkan kepalanya padaku. Aku tidak peduli siapa yang akan mengeksekusinya. Di mana, pakai alat apa, atau bagaimana caranya aku tidak peduli. Siapapun yang bisa menyerahkan kepala Lek Suman padaku malam ini, akan aku belikan rumah baru di cluster elit! Malam ini juga! Kepala si kaket peot itu harus ada di bawah kakiku! Wasuuuu!

Pria bertubuh besar itu menarik tubuh Nuke yang ketakutan dan memeluknya. Nuke mencoba meronta tapi tak kuasa. Joko Gunar tambah beringas pada sang bidadari setelah mendengar kabar buruk itu.

“Ta... tapi...” kembali sang anak buah meneguk ludah karena tidak mudah menyampaikan hal yang hendak ia sampaikan, Beng akhirnya memberanikan diri. “Se-sebenarnya...”

“Tapi apa? Ada apalagi sih?”

“Ta-tapi mayat Lek Suman ditemukan hangus terbakar di bagian tengah gudang yang terbakar, Bang. Hampir-hampir tidak bisa dikenali wajahnya. Dia hanya bisa dikenali dari pakaian yang dikenakan dan kulit yang keriput. Dua orang misterius yang lain tak berhasil ditemukan. Sepertinya mereka berhasil kabur. Masih diselidiki siapa sebenarnya mereka.”

Joko Gunar terbelalak kembali.

Pelukannya terlepas dan Nuke akhirnya bisa terbebas.

“Apa maksudmu? Jadi dia tidak berkhianat padaku!? Ini bukan ulah Lek Suman?” Joko Gunar memerah karena marah, “Jadi mana yang benar!? Apa yang sebenarnya telah terjadi!? Jangan membingungkanku! Cari informasi yang valid! Kerjaanku sudah banyak sekarang ditambah urusan seperti ini!”

Beng makin berkeringat. Bagaimana dia harus menjawab kalau dia sendiri juga bingung dengan informasi yang masuk ke otaknya bak air bah.

Joko Gunar makin geram.

Jadi Lek Suman tidak berkhianat? Dia dibawa oleh dua orang misterius dengan mobil pick-up untuk masuk dan membakar gudang utama milik PSG. Lak yo bajingan wuasu. Mungkin dia dipaksa untuk menunjukkan gudangnya di bawah ancaman kedua orang rempeyek teri itu. Kenapa justru si tua bangka itu juga jadi korban dan tewas terbakar? Apakah benar tubuh hangus itu tubuh Lek Suman? Siapakah kedua sosok misterius itu?

Kenapa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban?

Telek lencung kepidak jaran! Sumpah mati dia jadi penasaran!

“Balik.”

“Apakah kita akan putar balik ke gudang, Bos?” tanya sang sopir.

Joko Gunar menggerutu dan mengumpat. “Tentu saja! Kita balik! Kita harus pastikan mayat terbakar itu benar-benar Lek Suman! Kita harus memeriksa semua bukti yang ada! Kenapa sampai dia bisa berada di sana, siapa dua orang itu, dan apa yang sebenarnya terjadi. Semua pertanyaan tanpa jawaban di otakku ini harus segera terjawab!”

“Siap, Bos.”

Sang sopir tersenyum kecil tanpa sepengetahuan siapapun, entah kenapa dia menikmati semua keributan ini. Sang sopir menarik satu makanan berwarna putih dari kantong plastik di dalam saku bajunya, dan mulai makan dengan lahap sembari membalikkan mobil ke arah markas PSG kembali.

Makanan itu adalah bengkuang.





BAGIAN 20 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 21




NB: Coming Soon in Two Weeks.
KISAH SISIPAN 2 – BILA KAU TAK DI SAMPINGKU
 
Terakhir diubah:
BAGIAN 20
BAPAK BAPAK






Perang adalah bisnis orang-orang barbar.
- Napoleon Bonaparte






Pak Zein meminum teh pocinya.

Dia duduk sendirian di sebuah kedai kopi yang ada di dekat tepian Kali Tjedo. Kedai kopi ini sudah ada sejak bertahun-tahun lamanya, di sebuah ruko sederhana yang menjorok di tepian tebing. Suasana kedai tua itu damai dan tenang, ada di sudut yang tak nampak dari jalan utama. Kedai kopi legendaris yang hanya menyediakan jajanan sederhana - seperti keripik dalam plastik, gorengan dadakan berjumlah terbatas, serta tentunya wedang kopi ala kadarnya.

Seorang bapak-bapak tua menuang air panas ke dalam poci berwarna hijau putih blirik. Bapak-bapak tua itu sering dipanggil dengan nama Pakdhe Londo, karena rambutnya yang berwarna kemerahan – bukan karena dia beneran orang bule atau wong londo. Rambut kemerahan yang khas itu sebenarnya ada sejarahnya - Pakdhe Londo adalah keturunan masyarakat suatu desa di luar pulau yang dulu konon pernah dikuasai oleh Portugis. Secara turun temurun, masyarakatnya selain memiliki rambut merah, ada juga yang dilahirkan dengan bola mata coklat dan biru, mirip seperti bule. Jan koyo wong londo.

Pakdhe Londo sudah sangat sepuh, berjalan pun sudah tertatih – tapi soal bikin kopi dan gorengan, dia jagonya. Saat ini dia sering dibantu oleh cucunya karena sudah tidak kuat lagi seharian penuh di kedai kopi.

Tapi meskipun ini kedai kopi, Pak Zein tetap lebih memilih teh poci.

“Seperti biasa, njenengan doyan sekali minum teh, Mas Bro. Maniak teh.” Seorang pria masuk ke dalam kedai, menarik kursi di depan Pak Zein dan duduk dengan santai sembari menatap pemandangan Kali Tjedo. Ia mengayunkan tangan pada Pakdhe Londo, “aku wedang uwuh siji karo balok-e sepuluh ewu, Pakdhe. Koyo biasane wae.”

Nggih, Den.” Pakdhe Londo menganggukkan kepalanya saat orang itu memesan minuman wedang uwuh dan singkong goreng.

Tidak ada yang tahu sudah berapa sepuh usianya, dia sendiri sudah tidak ingat kapan sebenarnya tanggal lahirnya – seperti kebanyakan orang sepuh lain yang sudah lupa kapan ia dilahirkan. Yang jelas Pakdhe Londo pernah merasakan bagaimana rasanya hidup di bawah pemerintahan semua presiden, menjalani usia balita kala agresi miiter Belanda kedua, dan dilahirkan di era penjajahan Jepang.

“Aku sudah mengerahkan pasukanku untuk mencari di wilayah utara. Tenangkan saja dulu perasaan njenengan, kita pasti akan menemukan Nada. Tidak akan ada yang berani membawa putri njenengan keluar dari kota ini.” ujar pria di depan Pak Zein. Pria itu membuka kaleng berisi emping, lalu membuka daun pembungkus tape ketan. Ia menggunakan emping itu untuk menyendok tape dan memakannya dengan lahap.

Pak Zein mendengus. Ia meletakkan poci tehnya. “Mudah-mudahan saja membantunya tidak cuma di bibir ya. Mas Janu tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan buah hati dengan cara seperti ini. Anak njenengan masih duduk santai di rumah – mungkin Tara sekarang sedang main piano dengan gembira. Njenengan tidak merasakan kalut dan khawatir seperti yang saya rasakan saat ini. Saya mohon njenengan tidak tiba-tiba baik dan perhatian. Kalau njenengan bersikap aneh, saya jadi curiga.”

“Maksud njenengan gimana to, Mas Bro? Apa njenengan menuduhku setengah hati membantu? Atau apakah maksud njenengan aku yang menculik Nada?” Om Janu tersenyum, “gek yo nggo ngopo? Buat apa aku menculik Nada yang justru telah berani mengambil keputusan kuliah di kawasan utara dengan meminta ijin langsung padaku? Aku sendiri yang memberikan janji padanya untuk selalu melindunginya. Aku tahu rasanya bagaimana kehilangan! Aku lebih tahu dari njenengan soal kehilangan – aku pernah mengalaminya! Saat ini kami juga kecolongan, Mas Bro. Nada itu sudah seperti anak sendiri bagiku. Dia bahkan sering datang ke rumah dan ngobrol akrab dengan anakku!”

Hrmph.” Pak Zein menggerutu, tapi apa yang disampaikan Om Janu memang benar.

“Kejadian ini berlangsung di utara dan akan diselesaikan di utara. Kami benar-benar kecolongan.”

Pak Zein kembali mendengus. “Kecolongan apanya. Kalian punya pasukan terbesar di kawasan utara, tapi membiarkan saja kelompok-kelompok lain baku hantam di kaki Gunung Menjulang, rebutan wilayah dengan konyol. Sampai kapan kalian akan membiarkan bocil tengil dari kampus mengatur wilayah paling hijau di kota? Apa kalian mau begitu terus?”

Sang pimpinan JXG menatap mata Om Janu dengan berani, “Aku tidak main-main, Mas Janu. Kalau sampai besok Nada tidak kembali dengan selamat... aku akan mengerahkan pasukan terbesar yang aku miliki untuk masuk ke utara dan kami akan mencari sendiri tanpa peduli apapun. Di setiap desa, di setiap gang, di setiap rumah, di setiap kamar. Kalau sampai ada yang menghalangi, bersiap saja untuk mati.”

Om Janu menyeringai, wajahnya tak menampakkan rasa takut sedikitpun dengan ancaman itu. Tapi dia tetap menjawab dengan sopan. “Kenapa hanya di utara? Kenapa tidak mencari di selatan dengan cara yang sama?”

“Kawasan selatan akan disisir mulai hari ini.”

“Kawasan tengah?”

“Akan dilakukan sesegera mungkin.”

“Woy!” terdengar teriakan, “Hohohoho... tunggu dulu... tunggu dulu... kalau sudah menyerempet urusan ke wilayah tengah, maka sebaiknya aku juga ikut gabung dalam pembicaraan ini, bukan?”

Om Janu dan Pak Zein tak perlu melirik ke samping untuk tahu siapa yang datang.

Satu sosok lagi masuk ke dalam kedai. Dia mengenakan jaket jeans khas pemotor jalanan dan celana jeans yang bolong-bolong. Sosok yang baru datang itu langsung berujar lantang, “Pakdhe Londo, aku kopine siji yo. Karo gedang gorenge limo. Yang kemripik yo, Pakdhe, ben krispi koyo pred cikin kae lho.”

Nggih, Den.” Pakdhe Londo sumringah karena tamunya banyak.

Om BMW mengambil kursi, dibaliknya posisi kursi itu, dan duduk dengan sandaran berada di depan. Tangan kirinya menepuk pundak Pak Zein, tangan kanannya menepuk pundak Om Janu. Dia tertawa. “Hahahaha. Gimana kabar kalian? Mukanya serius banget woy. Sepertinya seru ini pembicaraannya.”

Pak Zein geleng-geleng kepala. “Seru apanya.”

“Ayolah, Z. Aku kan cuma mencoba berbasa-basi – entah sudah berapa tahun yang lalu sejak terakhir kita semua berkumpul di sini dan bisa ketemu bersama-sama sambil ngeteh atau ngopi bareng tanpa tendensi apapun. Kamu sejak kapan sekaku ini sama kita? Apa salahnya sih sedikit bercanda?”

“Pft. Aku sedang tidak ingin bercanda. Sampeyan tentu sudah mendengar kabar tentang anakku. Bagaimana mungkin aku bercanda dalam situasi seperti ini?” Pak Zein mengumpat. “Sembarangan saja.”

“Jangan digodain dulu, Om BMW. Mas Zein ini kan sedang berduka karena anaknya belum diketemukan. Mungkin kita bisa menawarkan diri untuk membantu dengan mencari di wilayah masing-masing.” Om Janu mencoba memberikan solusi yang meredakan ketegangan.

Om BMW mengangguk setuju. “Ha beres to, Z. Aku juga tidak mau ada bajingan tengik sok iyes mengacau di kota dengan menculik anak Raja Selatan. Kok berani-beraninya membuat kekacauan keseimbangan? Akan aku bantu cari dan ubek-ubek di tengah, kalau memang dia ada tengah pasti akan kutemukan.”

Om Janu kembali bertatapan dengan Pak Zein. “Mas Bro, kami berdua sudah berjanji akan mencari Nada di wilayah kami. Kami akan kerahkan pasukan besar-besaran juga. Jadi tidak perlu JXG melakukan lintas wilayah untuk mencari gadis itu. Takutnya malah ada kejadian yang tidak-tidak nantinya.” Om Janu mencoba memberikan alasan dan menenangkan Pak Zein, “kita tahu sendiri sentimen utara selatan di kota masih panas. Apalagi kalau JXG benar-benar turun gunung dan menyeberang ke utara pasti akan menimbulkan percikan baru. Kalau sampai kejadian segawat ini bocor keluar sana dan banyak yang tahu... situasi bisa tak terkendali.”

“Makanya kendalikan.” Pak Zein benar-benar sedang tidak mood untuk berbincang. Dia hanya ingin anaknya kembali. “Katanya ketua kelompok besar? Tugas kita adalah mengendalikan massa, bukan sebaliknya. Kalau kita gagal melakukannya, maka sudah sepantasnya kita diganti oleh yang lain yang lebih mampu.”

“Saya juga pasti akan membantu.” Satu sosok lagi datang ke kedai dan langsung nimbrung.

Pria bertubuh gemuk dengan perut buncit mengambil kursi satu lagi dan duduk di samping Pak Zein dan Om Janu. Menjadikan pertemuan itu tatap muka empat arah. Orang yang terakhir datang tak lain dan tak bukan adalah pimpinan tertinggi preman Pasargede yang merajalela di kawasan Selatan – sang pemuncak PSG, sang kodok besar yang brutal - Joko Gunar.

“Nah ini datang nih munyuk-e. Saya paling curiga sama dia nih, Z. Dia kan agendanya banyak sama sampeyan. Karena sama-sama punya urgensi di wilayah selatan.” Om BMW nyengir-nyengir memancing ke arah Joko Gunar.

Joko Gunar tertawa ringan, “Kekekekek. Belum-belum kok sudah main tuduh saja, Om BMW? Ayolah, Bapak-bapak sekalian. Saya datang ke sini karena tahu saya mungkin bisa membantu, begini-begini saya juga punya anak buah meski jumlahnya tidak terlalu banyak. Sopo ngerti iso ngrewangi.”

Om Janu tersenyum, “merendah untuk meninggi, ya? Kita semua tahu beberapa saat yang lalu PSG menyerbu ke utara untuk meluluhlantakkan Patnem demi membangun KSN dengan mengerahkan pasukan yang besar. Hari ini kalian mengirim sejumlah pasukan ke Lapangan Klabangan entah urusan apa. Untung saja bocil-bocil kampus di utara jauh lebih tangguh yang kalian duga dan dapat memberikan perlawanan yang berarti.”

Pakdhe Londo menghidangkan minuman dan makanan yang dipesan om Janu dan om BMW.

“Saya kopi saja, Pakdhe.” Joko Gunar ikut memesan.

“Yang datang belakangan yang bayar yo ini.” kelakar Om BMW.

Om Janu dan Joko Gunar tertawa.

Pak Zein tidak, ia berdehem dengan kencang – menghentikan semua perbincangan tak jelas antara ketiga pimpinan di depannya. Dia sama sekali tidak nyaman bercanda sementara di luar sana putrinya tercinta entah sedang menghadapi kesulitan apa.

“Mungkin kalian tidak paham kenapa kalian aku undang datang kemari? Ini bukan ajang bertanya kabar dan basa-basi. Itu bisa kita lakukan lain kali. Ini ada masalah lain yang lebih urgent.” Pak Zein menatap satu persatu orang di hadapannya. “Aku akan mengatakan ini sekali saja, hanya sekali saja. Bagi siapapun dari kalian yang telah menculik Nada, aku harap segera kembalikan putriku dengan baik tanpa kurang suatu apa pun, paling lambat besok pagi – tidak ada tambahan waktu. Kalau tidak segera dikembalikan, maka pasukan JXG akan segera diaktifkan kembali untuk bergerak ke seluruh kota. Aku tidak peduli apakah itu utara, tengah, atau selatan. Kami akan mengobrak-abrik semua tempat untuk menemukan Nada dan siapapun yang menghalangi akan kami bunuh di tempat.”

“Mas Bro...” Om Janu mencoba menyampaikan pendapat.

Tapi Pak Zein mengangkat tangan dan mencegah Om Janu berbicara, “sabar sebentar – ini waktu saya untuk berbicara, Mas Janu. Saya belum selesai.”

“Baiklah.”

“Tidak peduli apakah itu utara, tengah, atau selatan. Pasukan JXG akan membabat siapapun dan apapun yang menghalangi kami. Kalau kalian tahu bagaimana sakitnya hati ini jika membayangkan nasib Nada, maka kalian pasti akan mengizinkan kami mencarinya. Marilah bekerja sama dan semua akan baik-baik saja. Kalau kalian merasa terganggu dan hendak menghalangi laju pasukanku, maka aku tidak peduli jika perang tercipta. Kami akan hancurkan semua penghalang tak peduli dari kelompok manapun.”

“Elok tenan, Z. Apakah sampeyan tidak memandang kami? Apakah sampeyan pikir kami tidak mampu mencari Nada? Kami dianggap apa? Satpam komplek?” Om BMW mengangkat pundaknya. Dia geleng kepala sambil melahap pisang goreng. “Begini-begini aku masih punya nurani. Aku tidak peduli apa yang terjadi, aku tidak peduli pertikaian antar kelompok yang sedang berlangsung, aku tidak peduli apapun. Yang aku pedulikan adalah nasib seorang gadis yang tengah berada dalam bahaya. Itu sebabnya aku menjamin kepastian bahwa Dinasti Baru akan membantu JXG mencari Nada di wilayah tengah – asal tidak satupun orang JXG menginjakkan kaki di wilayah kami hanya untuk berbuat semena-mena.”

Pak Zein menggebrak meja. “Apa maksudmu tidak boleh menginjakkan kaki!? Kamu pikir ini masalah sepele saja? Anakku diculik dan tidak tahu sedang diapakan di luar sana! Kamu tidak akan sanggup menahan gelombang ...”

“Tenang... tenanglah dulu.” Om Janu mencoba meredakan Pak Zein yang tentunya memang sedang gusar, “Apa yang disampaikan Om BMW ini benar, Mas Bro. Hanya mungkin karena njenengan sedang emosi, maka semua pandangan orang lain menjadi salah. Percayalah pada kami, kami juga tak ingin Nada kenapa-kenapa. Kami pasti akan membantu kalian mencarinya, itu janji kami, itu janji QZK – aku yakin Dinasti Baru dan PSG juga bersedia melakukannya. Yang jadi masalah adalah, QZK tidak bisa membiarkan JXG masuk dan mengobrak-abrik wilayah kami tanpa pengawasan, dan itu tidak dimungkinkan – karena pasti akan muncul masalah baru. Seperti halnya kelompok yang lain, QZK juga tidak ingin disepelekan. Kami punya otoritas di utara.”

Om BMW menyilangkan tangan di depan dada, bersidekap dan meringis pada Pak Zein. “Apa sampeyan menganggap remeh kemampuan kami? Apa sampeyan rela menghancurkan kota dengan perang yang bisa-bsa dimulai oleh kesalahpahaman ini? Ini bukan seperti Pak Zein yang aku kenal. Apa sampeyan tidak mendengar apa yang kami sampaikan sedari tadi? Oke, diulangi pelan-pelan supaya paham. Kami... juga... pasti... akan... membantu.”

“Aku... tidak... peduli.” Pak Zein menggemeretakkan gigi dan menatap tajam Om BMW yang juga menatap dengan berani. Keduanya saling berpandangan, tangan sudah mengepal, tinju siap diterbangkan. “Aku tidak peduli apapun, aku tidak peduli jika perang terjadi, aku tidak peduli jika ada cecunguk yang mati, aku tidak peduli jika kota hancur. Aku hanya ingin Nada kembali.”

Om Janu mendesah. “Begini saja... kami sebenarnya memahami perasaan njenengan, Mas Bro. Tidak mudah membayangkan anak-anak kita di tangan orang yang tak dikenal. Jadi kita ambil jalan tengah saja. Beri kami waktu 3 x 24 jam. Kami akan mencari Nada sampai ketemu. Jika tidak ketemu, maka JXG boleh masuk ke wilayah utara – juga untuk 3 x 24 jam. Lebih dari itu, kami akan mengusir JXG dengan cara apapun – kalau kalian tetap tidak mau pergi setelah 3 x 24 jam, maka aku juga tidak akan peduli jika ada yang mati, jika perang terjadi, atau jika kota hancur. Kita semua punya otoritas di wilayah masing-masing yang harus ditegakkan. Ini bukan ancaman, ini tawaran.”

Pak Zein menggoyangkan hidung, “Kalian punya 1 x 24 jam. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Nada. Aku khawatir semuanya akan terlambat kalau...”

Om Janu menggeleng, “3 x 24 jam. Itu sudah yang paling baik dan jadi tawaran terakhir dari QZK. Butuh waktu untuk mobilisasi. Kawasan utara cukup luas.”

Pak Zein mengangguk, “Baiklah.”

Om BMW mengetukkan sebungkus Marlboro di atas meja. “Kawasan tengah juga menawarkan 3 x 24 jam untuk JXG setelah kami menyisir sendiri terlebih dahulu selama 3 x 24 jam.”

Pak Zein mengangguk.

Joko Gunar tersenyum, “aku tidak bisa menjanjikan apapun – kami sudah berada di wilayah selatan yang sama dengan JXG. Tentu saja di kawasan selatan Pak Zein boleh mencari putrinya di manapun Pak Zein mau. Tapi kalau membutuhkan bantuan, PSG juga akan membantu mencari Nada. Kita hidup sebagai tetangga, Pak Zein. Tetangga harus tolong menolong.”

Pak Zein mendengus. “Kamu cukup jaga tingkah polah pasukanmu dan tidak cari masalah. Aku tidak peduli ada percikan seandainya pasukan kami nanti bertemu PSG. Jika kalian menghalangi atau memang justru kalianlah yang bertanggungjawab akan semuanya ini, maka kami akan membabat habis semuanya. Dari level cecunguk kelas teri sampai puncak kodok sekalipun.”

Joko Gunar mengangguk dan menjulurkan lidah. “Ancaman JXG sebenarnya adalah ancaman usang. Sejauh ini kalian hanya tinggal nama saja yang besar dan sudah lama tidak turun gunung. Selama JXG absen PSG sudah bekerja keras mengamankan wilayah selatan sekuat tenaga tanpa sedikitpun campur tangan JXG. Tapi ya sudahlah, karena kami memahami posisi dan perasaan Pak Zein yang tengah berduka – maka kami akan setuju dengan semua syarat kalian kali ini dengan tidak mengumbar kegiatan apapun selama 3 x 24 jam. Tapi awas... menyenggol sedikit saja anak-anak PSG, maka...”

“Babi! Kamu mengancamku?” Pak Zein menggoyang hidung, membenahi kacamata, dan menatap lekat-lekat wajah Joko Gunar. “JXG sudah diam saja selama ini karena kami menghormati perjanjian dengan QZK di depan pihak yang berwajib untuk alasan keamanan kota. Tiba-tiba saja kalian muncul entah dari mana! PSG memanfaatkan situasi vakum dan menggunakan secara sepihak apa-apa saja yang telah kami bangun selama bertahun-tahun. Jangan salah! JXG pasti akan turun gunung dan akan mengambil kembali hak kami yang kalian rebut!”

“Jangan salah paham, Pak Zein. Maksudku begini...”

“Awas ya. Hati-hati kalau bicara! Sekali lagi mengancamku, akan aku penggal kepalamu, bangsat!”

Joko Gunar tersenyum. “Bagaimana kalau dicoba saja? Kemarin sudah ada empat orang dari JXG yang mencoba, tapi sepertinya mereka kabur sebelum waktunya memanen meskipun sudah menuai. Njenengan sudah mendengar kabar itu tentunya. Ngisin-ngisini to? Memalukan empat punggawa teratas JXG gagal menjalankan tugas sepele. Bagaimana kalau pentolannya saja yang mencoba langsung? Aku di sini, siap, dan tidak akan kemana-mana. Silahkan saja kalau mau dicoba seekor kodok besar bisa apa sebenarnya.”

Pak Zein mendengus, wajahnya memerah karena marah. Dia maju mendekat ke Joko Gunar.

“Woi, sudah-sudah. Kasihan Pakdhe Londo itu lho. Dia bingung kalau ada yang ramai-ramai di sini.” Om BMW berdiri dan mengayunkan tangan di antara Pak Zein dan Joko Gunar. “Kita sudah sepakat kalau kedai ini menjadi tempat yang netral, tidak boleh ada yang tawur di sini dengan alasan apapun. Kalau ada yang melanggar kesepakatan, maka dia akan dijadikan musuh bersama. Kalau hal sesimpel itu saja tidak kalian pahami – nurani macam apa yang diajarkan ibu kalian?”

Pak Zein berdiri dengan kesal. Ia kembali menatap Om BMW, lalu Om Janu, dan akhirnya Joko Gunar yang masih duduk di bangku masing-masing. “3 x 24 jam. Tidak kurang tidak lebih.”

Pria berkacamata dan memakai baju turtleneck warna hitam itu melangkah ke arah Pakdhe Londo, ia mengeluarkan dompet, dan mengambil lima lembar uang berwarna merah. “Ini untuk makan dan minum hari ini, Pakdhe. Aku bayarin mereka semua. Sisanya buat Pakdhe.”

“Weeee... moso segini? Ini kelebihan banyak, Den. Jangan ah saya tidak...”

Pak Zein tersenyum kecil. Ayah Nada itu lantas menangkupkan tangannya dengan hangat di jemari keriput Pakdhe Londo yang bergetar karena berterima kasih, lalu pergi begitu saja tanpa sekalipun melirik ke arah ketiga pimpinan yang lain.

Beberapa saat setelah Pak Zein pergi, Om Janu juga berdiri – bersamaan dengan Om BMW.

Om Janu menatap ponselnya dan membaca pesan singkat di WhatsApp. “Sudah saatnya pergi. Sepertinya ada kisruh di utara, harus diawasi sebelum merembet kemana-mana.”

Om BMW mengangguk. “Aku juga harus segera mobilisasi pasukan untuk mencari Nada.”

Keduanya tersenyum dan melangkah bersama meninggalkan Joko Gunar sendirian. Mereka berdua bahkan tidak melirik sedikitpun saat pergi, lebih sibuk bercakap-cakap sendiri.

Joko Gunar hanya duduk terdiam sembari menatap kedua orang itu pergi.

Dia merasa seperti orang bodoh.





.::..::..::..::.





“Roy!” teriak Deka.

“Roy!” panggil Hageng.

Bajingaaaaaaaaaan!! Kowe isih urip to, suuuuu!? Pikirku kowe wes endgame!” perasaan bungah Bian meledak. Bahagia dan terharu jadi satu, kemesraan ini janganlah cepat berlalu, sungguh terlaluuu.

Meski wajah dan tampang Bian seperti orang yang sedang mengamuk tapi sesungguhnya dia sedang terharu dan bersyukur saat melihat saudara kembarnya ternyata masih hidup dan sehat tanpa kurang suatu apa. Dia mengumpat karena tadinya ia pikir Roy sudah mati, berasa terkena prank. Tak terasa ada tetes air mata menggenang di pelupuk matanya. Entah kenapa dia selalu berharap dan merasa Roy masih hidup, meski semua bukti mengarah ke kematian sang kembaran – ternyata dia benar, Roy benar-benar masih hidup.

“Ya ya ya. Untungnya aku masih hidup.” Roy tersenyum senang.

“Kok bisa?” Bian masih tak percaya. “Kok bisa kamu selamat?”

“Ceritanya agak panjang, nanti saja aku ceritakan. Sekarang saatnya kita menghadapi ketiga ancaman di depan itu.” Roy menunjuk ke arah 3GB. “Pasaaat! Ayo kita mulai!”

Si rambut coklat mengangguk. Ia kembali membuka kuda-kuda dan mulai merapal ajiannya. Demikian juga Roy, dia melakukan hal yang sama. Keduanya bergerak seiring bak sedang melakukan senam. Sudah jelas kalau keduanya menggunakan ilmu kanuragan yang sama. Entah sejak kapan Roy menguasai ilmu kanuragan yang sama dengan Pasat si rambut coklat.

Keduanya tenggelam ke dalam konsentrasi yang utuh, mata dipejamkan. Tangan disorongkan ke depan, jemari membentuk segitiga di depan dada. Bersamaan, mereka merapal jurus dalam bisikan kata yang tak terucap.

“Mereka menggunakan jurus yang sama,” ujar Yosan di sisi lain pertarungan. Bersamanya, Udet dan Grago berdiri sejajar. “Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah.”

Udet mengangguk dan tertawa, “Kekeke. Bagus sekali... bagus sekali. Jurus itu kalau tidak salah juga dikuasai oleh seorang anggota QZK. Apakah mereka berafiliasi? Apakah keduanya anggota QZK? Ini bisa jadi seru sekali kalau berpanjang-panjang urusannya.”

“Ada masalah. Yang di atas tembok. Gerakan amat cepat.” Dengus Grago. “Tidak bisa ditebak.”

“Sial. Belum-belum kita sudah berhadapan dengan lawan yang kuat.” Yosan menekan hidung dan membuang ingus, “yang tiga terkapar itu, mereka sebenarnya cukup kuat. Aku bisa merasakan Ki yang terbenam meski masih mentah. Hari ini sepertinya mereka sudah melalui pertarungan yang berat – jadi ledakan Ki tidak terjadi saat melawan kita. Kita menang mudah karena mereka kelelahan.”

Udet menyunggingkan senyum. “Lupakan tiga yang sudah terkapar. Fokus ke yang dua yang sudah siap menyerang. Apakah mereka berdua bisa ditanggulangi? Toh mereka hanya anak-anak kuliahan - bocil semua. Daripada kuliah lebih baik mereka diumpankan ke lele. Aku yang akan mulai serangan. Saatnya kita melakukan Thriple Threat Attack untuk menyelesaikan ini sekali dan selamanya.”

“Tentu saja. Bisa dihadapi,” ujar Grago. “Siap.”

“Bagus. Yosan?”

“Selalu siap.”

Go.”

Ketiga anggota 3GB melesat ke depan. Pasat di bawah siap menyambut, sementara Roy juga sudah tahu apa yang harus dilakukan dari atas, dia sudah beberapa kali berlatih dengan Pasat. Meski kedua pemuda itu sama sekali awam dengan kemampuan 3GB, tapi tadi keduanya sempat mencicipi.

Sekarang sepertinya mereka akan menyerang secara bersamaan.

“Rooooooy!” Pasat berteriak, meminta Roy untuk segera beraksi.

“Aku tahuuuuuuuuu!”

Roy berlari kencang ke depan dan hanya dalam sekejap mata – sosoknya menghilang bak bayangan. Dia lenyap layaknya goyangan blur di depan mata.

Bian mengejapkan mata berulang, bahkan dia tak mampu melihat ke mana perginya sang saudara kembar. Cepat sekali! Ada rasa senang dalam hati karena kini Roy memiliki kemampuan yang luar biasa, ada rasa khawatir karena Roy akan berhadapan dengan tiga lawan berbahaya. “Dia cepat sekali. Dulu dia sudah cepat, tapi sekarang sepertinya semakin menggila. Bajilak.”

Hageng mengangguk setelah beberapa kali terbatuk, “aku juga tak biza melihatnya. Entah karena Ki-ku rendah ataukah karena aku kurang azupan zerabi. Zenang melihat Roy ternyata mazih hidup. Lebih zenang lagi kalau zaja ada sebungkus nasi padang.”

Kepala Deka bergerak kesana kemari, dari mereka bertiga mungkin hanya si Gondes yang bisa melihat gerakan Roy. Ini bukti tingkatan Ki mereka bertiga memang berbeda.

“Biza melihatnya?”

“Tidak.” Deka tersenyum – dia juga ikut merasa senang karena kini Roy tidak saja sudah kembali, tapi juga punya ilmu kanuragan yang linuwih, kemampuannya meningkat cukup pesat. “aku sama sekali tidak bisa melihat gerakannya. Aku hanya mendengar suara tapak kakinya saat menapak atau menyentuh tembok. Dia bergerak zigzag dan acak. Cepat! Cepat sekali!”

Sama halnya seperti Deka, Grago yang tadinya berlari ke depan juga tiba-tiba berhenti. Dia mendengus, mengucapkan beberapa ajian, memejamkan mata, mengoles jari ke pelupuk mata, dan mulai mendengarkan arah suara. Sesaat kemudian dia membuka mata dan seperti halnya Deka, kepalanya bergerak dengan lincah.

“Terlihat. Tapi terlalu cepat.” Grago mengayunkan tangan pada kedua rekannya. Jarinya menunjuk ke arah Pasat. “Yang itu dulu saja.”

Baik Udet maupun Yosan segera mengikuti arahannya dan mulai mengepung Pasat dari dua arah. Begitu jarak keduanya dan si rambut coklat kian dekat, Yosan menghentikan langkah dan mulai melakukan apa yang biasa dia lakukan. Pria itu mengangkat kedua tangannya ke depan, menatap lurus ke arah Pasat, merapal sesuatu dalam bisiknya sembari menggambar lingkaran yin dan yang di udara. Yosan mulai menebarkan Ki-nya ke depan.

“Jejaring Ki,” bisik Deka dengan geram sembari mengamati taktik 3GB. “Jadi itu rupanya yang membuat kita tidak bisa bergerak. Dia mengunci kita dalam jejaring Ki yang menggunakan media tanah. Entah jurus apa itu, aku masih belum paham.”

“A-Apa?” Bian melotot kaget.

Deka melanjutkan, “Mereka bertiga masing-masing punya tugas dalam serangan. Si pengunyah permen karet itu mengunci posisi lawan, si tupai terbang menyerang lawan dengan gerakan cepat, dan si rambut mohawk itu... meski dia yang paling belakangan menyerang, tapi aku punya perasaan aneh kalau sebenarnya justru dia yang paling berbahaya. Pertama, dia bisa menyerang tanpa terdeteksi... dia juga punya sesuatu yang aneh... sesuatu yang masih belum aku pahami...”

Bajilak! Wasuuuu! Jadi sejak tadi tubuh kita dikunci? Jadi kita tadi tidak bisa bergerak bukan karena kelelahan atau kehabisan Ki?” tanya Bian dengan gemas. “Biangane! Jaraaaaan! Bangsat! Mereka licik juga!”

“Licik tapi juga powerful. Aku masih belum paham jurus apa yang mereka gunakan, tapi si pengunyah permen karet itu jurusnya tidak main-main. Kenapa aku bilang begitu? Yaitu karena dia mampu menembakkan Ki dari jarak jauh dan menahan lawan dengan sangat kuat. Dia pasti punya tenaga Ki yang cukup besar. Si pengunyah permen karet itu ibarat baterai hidup,” kata Deka sambil memperhatikan Yosan. “Kalau berhadapan dengan dia, kita harus cepat. Apalagi kedua temannya yang lain juga sudah pasti akan bergerak bersamaan dengan cekatan. Ketiganya pasti sudah sangat sering menyerang bersama dengan gerakan yang tersinkronisasi. Si pengunyah mengunci, si tupai terbang menyerang – lalu entah bagaimana, si mohawk bisa menyerang secara tiba-tiba untuk membuat lawan lemas.”

“Kalau soal gerakan tersinkronisasi, kita juga sudah sering melakukannya. Bukan mereka saja yang bisa.” Bian tersenyum sembari mencoba berdiri, dia tidak ingin hanya diam saja sementara Roy dan si Rambut Coklat sedang melawan 3GB. “Ayo kita bantu Roy dan teman barunya itu, Ndes.”

“Memangnya kamu kuat berdiri?” Hageng tertawa melihat Bian doyong ke kanan dan ke kiri saat mencoba berdiri, “Bahahahhaahah. Tuh kan. Berdiri aja zempoyongan. Dazar iwak koyor.”

“T-Rex! Ayo berdiri! Percuma julukanmu T-Rex kalau tidak bisa berdiri! Ganti saja julukanmu jadi iwak pesut!” ledek Bian dan mengulurkan tangannya untuk membantu Hageng berdiri.

Hageng tertawa. Sembari menyambar uluran tangan Bian, Hageng pun turut berdiri.

Deka juga sudah berdiri. Dia tersenyum melihat Bian dan Hageng sudah kembali tegak. “Sepertinya aku punya rencana.”

Tak jauh darip posisi Deka dan kawan-kawan, Roy dan Pasat memulai serangan mereka.

Roy dan Pasat bekerja sama dengan cekatan, keduanya membentuk gelombang serangan yang silih berganti untuk menekan posisi Grago. Ketika sang tupai terbang mengudara, Roy akan menyerangnya sehingga Grago harus turun dan menapak tanah. Tapi saat sudah mendarat, giliran Pasat yang menyerbunya.

Tangan Grago bergerak cepat menahan gempuran Tapak Duka Nestapa dari Pasat. Keduanya beradu kecepatan.

Kanan dibalas kiri, kiri dibalas kanan. Serangan dari atas ditahan lengan menyilang, serangan dari bawah disentakkan. Berulang dan bergantian. Kanan atas, kiri bawah, kiri lagi, tengah, kanan, kiri. Semua serangan Grago juga berhasil dimentahkan oleh Pasat.

Seimbang? Sepertinya tidak mungkin.

Grago seharusnya bisa menekan Pasat – tapi kenapa jadi sulit sekarang? Apakah karena Pasat bisa membaca arah serangan ataukah karena memang Pasat punya kemampuan yang lebih hebat dari yang terlihat? Kenapa Yosan tidak bisa mengantisipasi...

Oh.

Grago mendengus saat melihat ke arah sang pengunyah permen karet.

Yosan tengah disibukkan oleh serangan membabi-buta dari Roy. Tendangan sang pengendara angin ibarat kibasan pedang yang tanpa jeda. Menyerang dari kanan dan kiri, dari atas dan bawah. Merepotkan Yosan, bahkan ketika serangan Roy masih belum memiliki bumbu Ki.

Deka melirik ke samping Pasat dan melihat kedatangan Udet. Gila ini orang satu benar-benar tidak bisa terdeteksi Ki-nya. Dia bisa menafikan pembacaan tenaga Ki dan melesat ke arah lawan dengan gerakan tanpa suara.

Buktinya sekarang tiba-tiba saja sudah ada di samping si Rambut Coklat.

Tangan si Mohawk bergerak.

Itu tandanya!

“Hageng! Sekarang!!” teriak Deka sekuat tenaga.

Arena pertarungan terkesiap dengan teriakan Deka yang tiba-tiba. Semua pihak yang tadinya fokus dengan urusan masing-masing menjadi menyadari lingkungan yang lebih luas. Pandangan mereka menyebar. Pasat memutar tubuh dan mendapati Udet sudah berada di belakangnya. Ia mencoba melontarkan tendangan untuk mengusir sang pimpinan 3GB.

Udet sontak mundur ke belakang sambil cengengesan. “Wahahahaha. Sial. Kenapa si tae kocheng itu harus teriak-teriak sih? Kan posisiku jadi ketahu...”

“Heaaaaaaaaaaaaaaarrrghhhh!!”

Ada bayangan menutup langit di atas Udet. Seorang laki-laki bertubuh besar melontarkan pukulan kencang dari atas. Kedua tangan dikatupkan, diangkat ke atas, dan dihantamkan ke bawah bak palu raksasa. Orang itu jelas adalah sang T-Rex kribo, Hageng.

“...an.” Udet meneguk ludah.

Bledaaaaaaam!

Udet menggunakan kedua lengannya untuk menutup jalur serangan Hageng agar tidak langsung mengenai wajahnya. Tubuhnya terjerembab ke bawah karena desakan pukulan dari Hageng yang cukup kuat. Jari jemari Udet menahan lengan raksasa sang T-Rex. Bukannya panik karena terdesak, Udet justru tersenyum.

Deka melihat bagaimana Hageng kemudian makin melemah dan melemah. Dia mengernyitkan kening, sampai kemudian ia benar-benar paham. Sentuhan tangan Udet itu...

Astaga naga rupa rupa warnanya! Merah kuning kelabu! Merah muda dan ungu!

Hageng sedang disedot tenaganya! Bajingan itu menyedot tenaga Hageng! Jadi itu jurusnya!? Jurus dengan kemampuan vampir pemangsa!? Jurus apa itu? Jurus mengerikan Hikmat Penyesap Sukma? Atau jurus lain lagi yang mirip?

Bedebah. Tidak bisa didiamkan.

Deka menyalurkan tenaga hangat ke tangan kanan dan tenaga dingin ke tangan kiri. Dia sekarang sudah tahu rahasia serangan dari 3GB. Satu menahan, satu menyerang, satu lagi menghisap. Rantai serangan itu harus dipatahkan. Di saat Udet terus menyedot tenaga dari Hageng, Deka langsung melesat ke belakang sang lawan untuk menghantam punggung Udet secara berulang dengan pukulan terbarunya.

Jbooookgh! Jbooookgh! Jbooookgh!

Tiga hantaman kencang masuk untuk membuat tulang punggung Udet nyeri bukan kepalang. Dia segera melepas kuncian tangannya pada Hageng dan mencoba menghindar dari Deka. Tapi Deka sudah memperkirakan jalur jalan yang akan dilalui oleh Udet. Pukulan panas dan dingin bergantian melesak ke punggung sang lawan.

Jbooookgh! Jbooookgh! Jbooookgh!

Desakan tenaga Ki dari si Gondes yang terbenam ke punggung membuat Udet terdorong beberapa langkah ke depan. Udet masih tetap cengengesan. Ia menggunakan ringan tubuhnya untuk semakin menjauh dari Deka. Sayangnya Udet tidak mengira akan ada serangan dari samping.

Hageng memang sudah tersedot Ki-nya, tapi bukan berarti dia sudah benar-benar habis. Hageng berlari sekencang mungkin sembari menunduk, dan melepaskan sentakan ke bagian rusuk Udet dengan mengencangkan pundaknya.

Hageng melakukan Spear!

Udet tersentak ke belakang! Dia terhentak tapi masih sanggup melawan, ia melontarkan siku tangannya ke punggung Hageng!

Bdoooooooooooogkh!

Hageng terjerembab ke bawah dengan wajah terhampar tanah. Melihat rekannya rubuh, Deka meloncat ke depan untuk menyusul, dan segera melontarkan pukulan ganda ke punggung Udet yang membelakanginya!

Udet tidak khawatir, ia justru tertawa. Udet kemudian memutar badan dan melecutkan pukulan penahan!

Dua hantaman bertemu.

Jboooooom!

Pukulan yang satu meng-cancel pukulan yang lain. Baik Deka maupun Udet terlontar ke belakang. Dua-duanya tersengat Ki yang cukup kencang. Jari jemari terasa linu, tulang pun langsung kaku-kaku.

Udet ditahan oleh Yosan supaya tidak terlontar ke belakang.

Deka ditahan oleh Hageng dan Bian.

Angin berhembus, tenang terasa. Sepi tanpa suara dari kedua kubu. Hanya teriakan di kejauhan saja yang terdengar. Teriakan itu bukan dari kedua kelompok berdiri berseberangan saat ini. Bukan dari Lima Jari dan bukan dari 3GB.

Seimbang.

Mereka sekarang seimbang.

Ya tidak benar-benar seimbang sih, Lima Jari menang jumlah.

Deka, Hageng, dan Bian terengah-engah. Mereka bertiga tersenyum. Kuylah! Mau berapa kalipun bertarung pasti dilayani! Ga peduli bengap lebam yang mengikat, ga peduli tegang kencang di belikat, kalau sudah punya niat tidak boleh sambat. Sekarang atau nanti, tetap harus disikat!

Deka, Hageng, dan Bian berdiri sekuat mungkin. Bian masih belum mampu bergerak dengan lincah karena luka dan nyeri yang ia alami.

Ketiganya memang sudah kepayahan, tapi demi apapun mereka tidak akan berhenti. Ketiganya kembali melakukan ancang-ancang. Pasat dan Roy yang tadinya merongrong Yosan akhirnya bergabung dengan Deka dan kawan-kawan. Pasat membantu di sisi kanan mereka, sementara Roy berada di atas tembok di sebelah kiri mereka.

Lima lawan tiga.

Lima jari sudah siap – meski posisi Nanto untuk sementara digantikan oleh Pasat.

Lima lawan tiga. Meski kekuatan mereka di atas Lima Jari, tapi Ini sama sekali bukan situasi dan kondisi yang menyenangkan. Bukan karena 3GB ingin menyerah, tapi karena mereka tidak ingin menghabiskan tenaga untuk hal yang sia-sia belaka. Bertarung hari ini? Tidak untung, banyak rugi.

“Percuma.” bisik Grago perlahan. “Bosan.”

“Setuju. Aku juga mulai bosan. Tujuan utama sudah tercapai, urusan sudah beres, mau ngapain lagi? Tidak ada gunanya bertarung di sini. Berantem sama mereka berlima juga tidak ada net benefit-nya. Sudah habisin tenaga eh ga ada profit. Buat apa? Bagaimana kalau kita pergi saja? Gimana? Kalian setuju? Kekeke...” usul Udet yang langsung dibalas anggukan kepala Grago dan Yosan.

Sebagaimana Udet, Yosan pun juga sama, dia tak ingin berlama-lama di tempat ini. Tujuan utama sudah tercapai, tidak perlu lagi memperpanjang urusan yang tidak penting dan menghabiskan tenaga. Dia meledakkan balon permen karetnya. “Setuju. Ayo kita pergi saja.”

Udet tertawa. Dia langsung melesat pergi. “Go!

Satu perintah dari Udet dan 3GB sudah melesat pergi bersamanya.

Deka, Hageng, dan Bian jatuh terduduk. Tenaga mereka sudah benar-benar habis. Akhirnya mereka menyadari mereka sudah sampai di puncaknya. Roy dan Pasat buru-buru menghampiri ketiga sahabat dan mendudukkan mereka dengan nyaman.

Roy menepuk pundak Bian, sang saudara kembarnya. Dia tersenyum, “Maaf baru bisa datang. Aku harus menyembuhkan diri dan mempelajari banyak hal dulu baru bisa kembali.”

“Sebenarnya kamu kan belum terlalu lama pergi, tapi sudah menguasai jurus baru. Luar biasa, Nyuk. Mau begini saja harus pura-pura mati sih?” Bian berusaha kerasa untuk menahan suaranya agar tidak pecah – pecah menahan haru karena dapat melihat lagi Roy yang sehat tak kurang suatu apa.

“Aku mengisi hari dengan belajar dan belajar sembari menyembuhkan diri dari luka. Aku juga belum kasih kabar ke restoran, mungkin sudah dipecat karena tidak pernah masuk kerja. Hehehe.” Roy tersenyum lebar. “Ya sudahlah, nanti cari kerja di tempat lain saja.”

“Aku juga tidak percaya kamu bisa mati semudah itu, Nyuk. Terlalu gampang buat cecunguk bangsat sepertimu.” Bian berkaca-kaca menahan tangisnya. Dia tidak ingin terlihat cengeng di depan sang saudara kembar. Tapi dia sungguh-sungguh gembira.

Deka merangkul Roy dengan wajah bahagia, “Senang melihat kamu kembali. Benar-benar senang.”

“Sama-sama, Ndes.”

“Err... gaez. Zebaiknya kita jangan happy happy dulu. Ada pertarungan yang belum zelezai di zana.” Hageng yang tadinya hendak berjalan menuju ke arah Roy tiba-tiba saja mengalihkan pandangannya ke sisi lain lapangan yang masih terdengar teriakan-teriakan gahar. Ia menunjuk ke arah jauh. “Zi Rao mazih belum zelezai.”

Benar apa yang dikatakan Hageng, di saat 3GB sudah meninggalkan arena, sang Hyena Gila ternyata masih belum selesai berhadapan dengan keroyokan anggota PSG yang mati-matian mencoba menahannya dan menundukkannya. Meski berulangkali gagal, tapi para cecunguk PSG tak berhenti berusaha. Tiap kali Rao membuat mereka terkapar, tak lama kemudian mereka bangkit dengan susah payah untuk mengganggu sang pimpinan DoP kembali. Sementara Rao sendiri sebenarnya tidak menggunakan tenaga Ki-nya sekalipun dan memilih bertarung dengan kepalan. Mentah lawan mentah.

Rao yang kepayahan memang sama sekali tidak membutuhkan Ki untuk melawan para cecunguk yang terus menerus mengerumuninya. Tinjunya bergerak dengan membabi-buta, ibarat kembang api raksasa mengangkasa yang terus memercikkan nyala api ke segala arah. Satu demi satu lawan ia jatuhkan. Jumlah mereka belasan tapi semuanya roboh. Rao bergerak dengan brutal. Ia tak mengijinkan satu pun lawan berdiri – siapapun yang menghalanginya, akan terkapar menelan bogem mentah.

Sudah jatuh pun, kepalannya tak berhenti menghajar.

Satu persatu ditundukkan.

Dbkkghhhh!

Rao menjejak dada satu lawan yang masih berdiri. Otomatis kroco PSG itu terhenyak ke belakang. Ia terjerembab dengan dada nyeri. Tapi Rao tak berhenti. Ia melompat dan menerkam sang kroco yang langsung berteriak ngeri.

Jbloooogkkkh! Jbloooogkkkh! Jbloooogkkkh! Jbloooogkkkh! Jbloooogkkkh!

Kepalan Rao beraksi, orang yang sudah terkapar itu dipastikan tak akan bisa bangkit kembali.

Satu orang lain yang baru saja terkapar mencoba berdiri dengan kaki bergetar – dialah orang terakhir yang harus dihadapii Rao hari ini. Pandangannya sudah berkunang-kunang tapi ia memaksakan diri untuk menahan laju sang Hyena Gila demi selesainya misi PSG. Pemuda PSG itu maju dengan tertatih, ia bahkan sudah tak dapat lagi melihat dengan jelas – terlebih dengan pelipis yang bocor. Keras kepala juga orang-orang PSG ini.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!” Rao melesatkan kepalan ke wajah sang kroco.

Jbloooogkkkh!

Orang yang baru saja berdiri terlempar ke belakang beberapa tapak, hidungnya bengkok dan darah mengucur deras. Tubuhnya goyang sesaat, bola matanya berputar hingga ke putih. Akhirnya ia doyong ke belakang. Sang lawan terakhir roboh di depan sang Hyena Gila, tidak ada lagi yang mampu melawan.

Rao meraung.

Dia berhasil.

Tubuhnya sudah tak karuan rasanya, wajahnya lebam di beberapa sisi. Darah mengucur dari sana sini. Tapi dia tak akan berhenti. Demi menyelamatkan sang gadis yang telah mencuri hati.

Setelah lawan terakhirnya jatuh, Rao berlari ke arah motor. Dia harus mengejar Nuke! Dia harus menyelamatkan Nuke! Rao melompat ke atas roda dua yang tadi ia gunakan dan langsung membuka kunci. Lima Jari dan Pasat buru-buru menghampiri sang Hyena Gila, tapi motornya sudah meraung-raung dengan dahsyat. Siap meluncur ke jalan raya.

Deka buru-buru membentangkan tangan untuk menutup jalur kepergian Rao.

“Rao...! Rao...! Dengarkan dulu!” Si Gondes mencoba mencegah sang pimpinan DoP mengejar Nuke ke PSG.

Deka tahu Rao sedang geram dan gemas, tapi ini bukan saat yang tepat mengejar Nuke karena ada opsi lain yang harus dipilih, dan itu adalah pilihan yang berat untuk Rao. Dia harus memutuskan mana yang lebih penting.

“Rao! Ingatlah skala prioritas! Tolong pertimbangkan skala prioritas! Aku tahu kamu sedang kesal dan sangat ingin melabrak markas PSG sekarang juga, aku tahu! Aku paham sekali! Tapi... tapi dengarkan... saat ini markas DoP sedang rusuh karena diserang RKZ. Kita harus segera kembali ke sana. Banyak anggota DoP yang terluka dan mereka pasti sangat membutuhkanmu. Mereka membutuhkan pimpinan mereka.”

Rao menatap Deka dengan geram dan mendengus kesal. Dia marah, dia geram, dia emosi, tapi dia tahu apa yang diucapkan Deka itu ada benarnya.

“Aaaaaaaaaaaaarrrghhh!” Rao berteriak kencang. Ia meraung kesal. Tangannya dihantamkan ke udara, melepas semua sesak di dada. Bagaimana mungkin ia bisa disudutkan pada kondisi seperti ini? Haruskah dia memilih? Bisa-bisa dia benar-benar akan gagal melindungi Nuke!

Kalau dia sampai gagal melindungi Nuke, perebut hatinya itu pasti akan dimangsa oleh Joko Gunar – si Kodok Besar yang super sange kalau sama Nuke. Kalau itu terjadi, Rao tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Tapi kalau dia sampai gagal melindungi DoP - maka dia bukanlah pimpinan yang baik, dan dia akan lebih menyesal lagi.

Rao tentu saja sudah tahu persis mana yang akan dia pilih.

Sial. Sial. Sial. Sial. Siaaaaaaal!

Tunggulah Nuke, tunggulah sebentar lagi.

Setelah masalah DoP selesai, Rao pasti akan datang. Secepat yang ia bisa.

Bertahanlah.





.::..::..::..::.





Sambil bersungut-sungut, Joko Gunar menyusuri tepian jalan setapak di atas tebing kali Tjedo. Dia paling benci diremehkan dan ketiga pimpinan kelompok besar lain sepertinya teramat meremehkan keberadaannya. Mereka tidak menganggapnya sama sekali.

Dia bersumpah akan ada suatu saat nanti – ketiga pimpinan itu akan berlutut di hadapan Joko Gunar dan memohon ampun padanya. Semua akan terbalaskan saat ia bisa menguasai semua wilayah di kota dalam genggamannya, dan saat itu pasti akan tiba suatu saat nanti. Dia tentu saja tidak akan pernah puas dengan hanya berkuasa di wilayah Pasargede dan sekitarnya saja.

Dia akan menguasai semuanya.

Dia pasti bisa membuktikannya.

Sebuah mobil dengan jendela serba gelap yang berjalan pelan berhenti tak jauh dari posisi Joko berjalan, sang pria berbadan gemuk itu pun lantas mendekat dan pintu mobil dibuka. Seorang pemuda keluar dan mempersilahkan Joko untuk masuk ke dalam sebelum ia pindah ke kursi depan di samping sang sopir.

Joko Gunar masuk ke dalam mobil yang menjemputnya. Di dalam mobil sudah ada tiga orang yang duduk di posisi masing-masing. Dua di depan, satu di tengah.

Kepala preman PSG itu sedang resah dan gelisah. Dia paling benci disudutkan oleh ketiga kelompok lain, walaupun memang benar PSG adalah kelompok yang termuda dibandingkan tiga besar tapi tidak begini caranya.

Dia seperti tidak dianggap dan itu sangat dia benci.

Setelah masuk ke dalam mobil, sang pimpinan PSG menatap satu persatu orang yang berada di dalam mobil dan mengerutkan kening.

“Beng. Siapa sopirnya ini? Cah anyar tah?” tanya Joko pada orang yang baru saja berpindah posisi. “Mana Pak Timo?”

“Bener banget, Bang. Ini orang baru. Dia dulu dari KSN. Kami jadikan sopir karena cukup handal di jalan, sudah kami tes kemampuannya. Apalagi Pak Timo - sopir Bang Gunar yang biasanya - sedang ikut mengamankan lokasi lapangan Klabangan, dia baru jalan menjemput Sarno, Bang.” jawab sang pria di samping sopir yang menengok saat disebut dengan panggilan Beng. Beng menepuk pundak sang sopir. “Meskipun baru dia sudah teruji kok. Sudah melalui banyak tes seperti tadi saya bilang.”

Ya wes. Arahkan pandangan kalian ke depan, tidak boleh menengok ke belakang tanpa seijinku. Jangan memanfaatkan spion tengah dengan tujuan yang tidak kusetujui.”

“Siap, Bang,” jawab Beng.

“Siap, Bos,” jawab sang sopir baru.

Joko Gunar mendengus dan tidak berkomentar banyak, untung bagi si sopir baru karena pimpinan PSG itu hatinya berubah jadi senang sehingga tidak memperpanjang pertanyaan kepadanya.

Kenapa tiba-tiba saja ia senang?

Terutama sekali karena di sampingnya kini Nuke sudah hadir dengan tangan kiri terborgol ke hand grip handle di atas jendela. Dia tidak bisa kemana-kemana, terjebak berdua dengan Joko Gunar – orang yang paling ia takuti.

Joko Gunar menjilat bibir seakan-akan sedang melihat satu santapan yang teramat lezat di depan matanya. Molek sekali memang si Nuke ini, sudah sejak lama dia mendambanya. Bahkan ketika status Nuke masih sebagai putri dari orang yang amat ia hormati dulu, Joko Gunar sudah mengincar sang jelita. Seringkali tiap malam ia coli di kamar mandi berteman sabun hanya membayangkan body dan wajah Nuke yang kala itu masih bersekolah.

Siapa menyangka kalau sekarang dia bisa bersanding dengannya.

Nuke meringkuk ketakutan saat Joko Gunar mendekatinya. Preman berperut lebih itu memang lama kelamaan semakin mendekat dan semakin mendekat ke sang gadis idaman. “Apa kabar kamu, sayang? Aku sudah merindukanmu. Kenapa susah sekali kita ketemu? Apa tidak kangen sama aku?”

Jemari Joko Gunar bergerak maju.

“Jangan sentuh!!” Nuke menyentak galak.

Joko Gunar tertawa. “Tidak boleh menyentuh? Tidak boleh menyentuh? Hahahahaha! Sudah bisa melucu rupanya!! Apa kamu tidak bisa membayangkan apa-apa saja yang akan aku lakukan padamu? Yang akan aku lakukan padamu itu lebih dari sekedar menyentuh! Bayangkan saja! Aku akan menidurimu, menyetubuhimu, memperkosamu.”

Nuke bergetar ketakutan.

“Heheheh. Kita akan segera menikah seperti janjimu dulu padaku. Janji yang sampai sekarang kamu tidak kamu tepati. Pucuk dicinta ulam tiba, kalau sudah jodoh mau hendak kemana? Akhirnya kan kita bertemu juga. Kenapa kamu harus takut dengan sentuhanku? Setiap hari aku justru akan menyentuhmu. Setiap hari. Setiap jengkal tubuh indahmu.”



Joko Gunar makin mendekat, Nuke makin ketakutan dan panik.

“Ja-jangan...”

Joko memainkan jarinya di paha Nuke yang masih tertutup celana jeans. Nuke segera menepis tangan sang preman. Tapi sang preman justru bergerak semakin maju, tangannya mencengkeram susu kanan sang dara, meremasnya dengan buas.

“Hkkkghhh!!” Nuke memejamkan mata dan mencakar lengan Joko Gunar. “Sakit tahu!”

Joko Gunar tertawa terbahak-bahak sementara Nuke terus menerus mengerucutkan tubuh dan meronta, berusaha melepaskan cengkraman sang durjana dari dadanya. Namun apalah artinya kekuatan seorang gadis mungil dibandingkan preman seperti Joko Gunar.

“Lepaaaaas! Lepaskaaaan!”

“Baiklah... baiklah... aku lepaskan.” Joko Gunar mengangguk-angguk, tapi sesaat kemudian dia mencekik leher Nuke dengan paksa dan mengecup pipi sang dara. “Aku tidak akan memperkosamu sekarang, asal kamu buka celana jeans dan celana dalammu saat ini juga. Mood-ku sedang naik turun. Kalau kamu meronta dan melawan, itu membuat hari ini akan berakhir kurang menyenangkan untuk kita berdua.”

Nuke menggeleng kepala dengan kencang. “Tidak! Tidak mau! Aku tidak mau!! Lebih baik aku mati daripada...”

“Jadi kamu melawan ya? Kamu lebih memilih aku perkosa sekarang ya? Baiklah. Kalau kamu memilih diperkosa daripada menyerahkan diri kepadaku, maka aku akan mencari keluargamu, mantan pacarmu, dan menyiksa mereka satu persatu sampai kamu bersedia menikah denganku tanpa paksaan.”

“Be-bedebah! Ka-kamu benar-benar...”

Joko Gunar menepuk ke pundak sang sopir baru, “Jalan... bawa kita ke hotel terdekat. Aku mau memperkosa cewek ini.”

“Tidak! Tidak mau! Tidak! A-aku buka... aku buka saja...” sembari beruraian air mata Nuke mulai melucuti celananya sendiri, dia tidak ingin Joko Gunar menyakiti orang lain – terlebih orang-orang terdekatnya. Dengan berat hati ia juga menurunkan celana dalamnya hingga ke pergelangan kaki. Susah melakukannya dengan satu tangan, Nuke harus berusaha keras terlebih dahulu.

Setelah selesai melucuti celana sendiri, sang bidadari jelita segera mengatupkan kedua kakinya dengan rapat. Duduknya juga makin ke samping, berlindung di balik kursi supaya para pria di depan tidak dapat melihat dirinya yang sekarang sudah telanjang dari bagian pinggang ke bawah.

Napas Joko Gunar makin berat melihat seksinya paha Nuke yang tergambar jelas di depan matanya.

“Buka.”

Nuke menggigit bibirnya sembari melirik ke arah jalan besar. Dia mencoba menahan tangisnya, dia tidak ingin membuat sang Kodok Besar ini kesenengan, tapi apa yang bisa dilakukannya?

“AKU BILANG BUKA!!”

Gadis itu memejamkan mata, lalu melebarkan kakinya. Dia sudah tidak mengenakan celana dalam lagi sehingga sang preman punya akses bebas menuju bagian paling rahasia dari tubuhnya. Tangan Joko Gunar menyelinap masuk ke selangkangan Nuke. Langsung ke tujuan tanpa babibu, memainkan bibir kewanitaan sang dara tanpa perlu permisi lagi.

Nuke memejamkan mata.

Menahan.

Tubuhnya bergetar ketakutan.

Joko terkekeh. “Sedapnya.”

Jari jemari Joko Gunar bukanlah jari-jari yang sopan. Masuk tanpa permisi, merusak tanpa ijin. Jari gemuk Joko Gunar masuk ke dalam dan mengobrak-abrik liang cinta sang perempuan jelita itu. Dia sudah tak lagi peduli dengan Pak Zein dan ancaman-ancaman busuknya tadi, sudah bisa dilupakan. Yang penting sekarang dia bisa menikmati wanita idamannya tanpa halangan apapun.

Benar-benar inilah yang namanya pucuk dicinta ulam pun tiba. Mau begini saja kok repot betul. Butuh waktu sangat sangat sangat lama sekali. Tapi akhirnya kesampaian juga.

“Hngggkh!”

Nuke memejamkan mata. Bagaimana? Bagaimana caranya supaya dia dapat bertahan? Akankah dia selamat? Ataukah semuanya berakhir dan ini titik balik kehidupan barunya? Sebagai gundik Joko Gunar?

Joko Gunar menarik tangannya dari liang cinta Nuke. Ia mengangkat tangannya yang basah oleh cairan cinta dan menjilatnya. Si gadis jelita meringkuk dengan jijik.

“Hmm... begini ini yang lezat. Bikin awet muda.” Joko terkekeh. “Bersiaplah, sebentar lagi kita akan menikmati malam-malam panjang berdua, sayangku. Honeymoon yang tertunda akan kita ciptakan tanpa pernah berakhir. Hanya kamu dan aku saja, berdua selamanya. Bulan madu-nya dulu, nikah resminya belakangan. Hahahahaa.”

Nuke ingin muntah rasanya. Ia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia tidak ingin memandang wajah buruk rupa Joko Gunar dan memberikannya kenikmatan dengan menunjukkan ketakutan, walau memang sesungguhnya ia sedang sangat panik. Gadis itu terus menerus melihat keluar kaca jendela mobil, memandang ke arah jalanan, dan berharap ia dapat melihat Rao dan meminta tolong kepadanya.

Seandainya ada di sini, Rao pasti akan menolongnya.

Dia pasti akan menyelamatkannya.

Pasti.

Pasti dia akan...

“Hkgghh!” Gadis itu terhenyak.

Tangan Joko Gunar lagi-lagi menyelinap ke selangkangan Nuke.

“Jalan,” ucap Joko santai pada sang sopir.

Dengan duduk berdampingan bersama gadis yang ia idam-idamkan sembari dengan bebas bisa mengobel selangkangannya, sang Kodok Besar Joko Gunar tersenyum teramat lebar - selebar jembatan Suramadu kalau sedang ada pelebaran jalan. Dia sudah mulai melupakan masalahnya dengan para pimpinan tiga besar.

“Siap.” Sang sopir mengangguk sembari tersenyum. Dia berusaha tidak melihat ke arah spion tengah.

Setelah menjawab perintah Joko Gunar, mobil yang dikendarai oleh anak buahnya itu pun segera melaju menyusuri jalanan kota, menit demi menit berlalu dengan jemari Joko Gunar tetap bermain di selangkangan sang jelita.

Nuke sebenarnya tidak tahu mereka akan kemana, dia mencoba membaca arah. Jalur yang mereka lalui sepertinya mengarah ke selatan, pojok benteng ke selatan, lurus terus melewati kampus seni rupa.

Ke arah pantai selatan.

Napas gadis itu menjadi sesak, semakin jauh dari kota, semakin jauh dari kawasan utara, semakin jauh dari Mas Rao. Apakah ini artinya kehidupannya sudah benar-benar akan berubah mulai sekarang? Apakah dia benar-benar akan dijadikan istri sang pimpinan preman berbau busuk ini? Seperti inikah takdirnya?

Tiba-tiba terdengar dering ponsel berbunyi. Beng - orang yang duduk di samping sang sopir mengambil ponselnya dan menekan tanda terima saat melihat siapa yang menelponnya.

“Ya... ya ada apa, Di? Lagi neng ndalan. Sedang jalan sama Bos.” Sang anak buah mengerutkan kening, “iya ini ada Bang Gunar. Kenapa emang?”

Joko Gunar memainkan jarinya bak sedang memainkan senar gitar. Nuke terhenyak dengan tubuh bergetar. Tangannya berpegangan erat ke hand grip. Ia memejamkan mata dan terus menerus menyebut lirih nama Rao dalam bisikan.

Tiba-tiba saja Beng setengah terpekik saat mendengar laporan di ponselnya. “Jangan main-main! Ora reko-reko kowe, su! Itu bukan berita yang...” Beng meneguk ludah, “A-apa...!? Bagaimana dia bisa... terus? Hah!? Yang di dalam itu? Yang di dalam justru... ”

Laporan itu cukup panjang dan lama. Sepertinya hal serius. Beng keringatan.

Beng lantas terdiam saat telpon hendak ditutup. Dia mengiyakan dengan lirih dan lemas saat memasukkan ponsel kembali ke saku.

Sembari takut-takut, Beng menengok ke belakang. Ke arah Joko Gunar yang menatapnya tajam. Mereka yang duduk di depan sudah diwanti-wanti untuk tidak melirik ke belakang apapun alasannya. Lalu kenapa sekarang dia berani-beraninya...

“Ba-Bang Gunar... ada berita Bang. Berita buruk.”

Joko Gunar menatapnya tajam tanpa mengucapkan satu patah katapun. Galak. Kejam. Tanpa ampun. Berani-beraninya mengganggu keasyikannya ngobel memek si Nuke! Sudah bosan hidup!?

“Gu-gudang utama barang dagangan Bang Gunar dibakar orang. Sebagian stok miras ludes. Entah bagaimana dengan barang-barang lab....”

Joko Gunar terbelalak, mulutnya terbuka lebar. Bajingan! Bajingan mana yang... bajingan mana yang berani...!! Bajingan mana yang berani membakar gudang penyimpanannya!? Sialaaaan! Cari mati! Kerugiannya pasti tak terkira! Siapa yang sudah tahu tempatnya menyimpan barang-barang jualan?

Joko Gunar melepas tangannya dari selangkangan Nuke, “KOK BISA!? SIAPA YANG BAKAR!?”

Si jelita pun buru-buru menutup kakinya dengan celana jeans, karena Beng menatap ke arah belakang.

“Penjaga bilang ada beberapa orang tamu tadi yang masuk pakai mobil pick up. Di bak belakang mobil mereka bawa-bawa jerigen. Tadinya mengira itu oplosan. Tidak ada yang mengira itu akan digunakan untuk membakar...” sang anak buah menelan ludah, dia tidak berani menatap wajah Joko Gunar yang memerah karena marah dan emosi. “para penjaga mengijinkan mobil itu masuk karena ada orang yang mereka kenal di dalam mobil. Karena alasan itu pula mereka melepaskan pengawasan. Mereka mengira itu hanya kunjungan biasa saja.”

“Kampreeeet! Seenak wudel saja mereka membiarkan orang asing masuk rumahku! Siapa orang itu? Bangsat! Malam ini juga dia harus mati! Berani-beraninya... SIAPA DIA?”

“O-orang itu Le-Lek Suman..., Bang.”

“APAAAA!?”

Joko Gunar terduduk lemas. Si tua bangka sialan itu! Si tua bangka sialan itu sudah mengkhianatinya! Kenapa? Setelah apa yang selama ini dia lakukan untuk Lek Suman. Kenapa dia melakukannya? Atas perintah siapa? Dengan siapa dia sekarang berafiliasi? Kenapa sekarang?

Oooh... apakah karena tepat di saat para pimpinan melakukan rapat bersama, pasukan terbagi, dan 3GB sedang bertugas? Jadi dia beraksi di saat mereka semua lengah? Si tua bangka bangsat itu otaknya penuh dengan siasat licik!

Huaaaajingan. Lek Suman harus di...

Joko Gunar menggemeretakkan gigi, kalimat berikutnya terdengar menyeramkan. Ia mengucapkannya dengan pelan namun tegas. “Cari Lek Suman sampai dapat. Malam ini juga serahkan kepalanya padaku. Aku tidak peduli siapa yang akan mengeksekusinya. Di mana, pakai alat apa, atau bagaimana caranya aku tidak peduli. Siapapun yang bisa menyerahkan kepala Lek Suman padaku malam ini, akan aku belikan rumah baru di cluster elit! Malam ini juga! Kepala si kaket peot itu harus ada di bawah kakiku! Wasuuuu!

Pria bertubuh besar itu menarik tubuh Nuke yang ketakutan dan memeluknya. Nuke mencoba meronta tapi tak kuasa. Joko Gunar tambah beringas pada sang bidadari setelah mendengar kabar buruk itu.

“Ta... tapi...” kembali sang anak buah meneguk ludah karena tidak mudah menyampaikan hal yang hendak ia sampaikan, Beng akhirnya memberanikan diri. “Se-sebenarnya...”

“Tapi apa? Ada apalagi sih?”

“Ta-tapi mayat Lek Suman ditemukan hangus terbakar di bagian tengah gudang yang terbakar, Bang. Hampir-hampir tidak bisa dikenali wajahnya. Dia hanya bisa dikenali dari pakaian yang dikenakan dan kulit yang keriput. Dua orang misterius yang lain tak berhasil ditemukan. Sepertinya mereka berhasil kabur. Masih diselidiki siapa sebenarnya mereka.”

Joko Gunar terbelalak kembali.

Pelukannya terlepas dan Nuke akhirnya bisa terbebas.

“Apa maksudmu? Jadi dia tidak berkhianat padaku!? Ini bukan ulah Lek Suman?” Joko Gunar memerah karena marah, “Jadi mana yang benar!? Apa yang sebenarnya telah terjadi!? Jangan membingungkanku! Cari informasi yang valid! Kerjaanku sudah banyak sekarang ditambah urusan seperti ini!”

Beng makin berkeringat. Bagaimana dia harus menjawab kalau dia sendiri juga bingung dengan informasi yang masuk ke otaknya bak air bah.

Joko Gunar makin geram.

Jadi Lek Suman tidak berkhianat? Dia dibawa oleh dua orang misterius dengan mobil pick-up untuk masuk dan membakar gudang utama milik PSG. Lak yo bajingan wuasu. Mungkin dia dipaksa untuk menunjukkan gudangnya di bawah ancaman kedua orang rempeyek teri itu. Kenapa justru si tua bangka itu juga jadi korban dan tewas terbakar? Apakah benar tubuh hangus itu tubuh Lek Suman? Siapakah kedua sosok misterius itu?

Kenapa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban?

Telek lencung kepidak jaran! Sumpah mati dia jadi penasaran!

“Balik.”

“Apakah kita akan putar balik ke gudang, Bos?” tanya sang sopir.

Joko Gunar menggerutu dan mengumpat. “Tentu saja! Kita balik! Kita harus pastikan mayat terbakar itu benar-benar Lek Suman! Kita harus memeriksa semua bukti yang ada! Kenapa sampai dia bisa berada di sana, siapa dua orang itu, dan apa yang sebenarnya terjadi. Semua pertanyaan tanpa jawaban di otakku ini harus segera terjawab!”

“Siap, Bos.”

Sang sopir tersenyum kecil tanpa sepengetahuan siapapun, entah kenapa dia menikmati semua keributan ini. Sang sopir menarik satu makanan berwarna putih dari kantong plastik di dalam saku bajunya, dan mulai makan dengan lahap sembari membalikkan mobil ke arah markas PSG kembali.

Makanan itu adalah bengkuang.





BAGIAN 20 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 21




NB: Coming Soon in Two Weeks.
KISAH SISIPAN 2 – BILA KAU TAK DI SAMPINGKU
Tandai dulu... Makasih dobel updatenya om killer..
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd