Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
semoga selalu sehat suhu, agar tetap bisa menghibur para pembaca dg cerita keren yg menakjubkan.

terimakasih untuk ceritanya
 
BAGIAN 22
CAHAYA TERANG






Jika kamu mau melihat matahari terbit,
kamu harus menghadapi badai.
- Frank Lane






Nanto duduk dengan lelah. Sepanjang hari ia sudah melatih Agun untuk bisa menguasai Kidung Sandhyakala sekaligus Selubung Kidung – tentu saja dengan versi yang sudah ia ubah. Ia tidak yakin apakah versi yang ia ajarkan itu sama dengan versi rekaman yang ia berikan pada Ki Juru Martani, ia hanya berharap ia tidak lupa satu langkahpun karena hal itu dapat membahayakan Nada.

Ia sendiri tidak peduli apa yang terjadi pada Agun yang nantinya akan salah menerapkan langkah-langkah mempelajari ilmu kanuragan yang telah dibolak-balik. Tentu saja hal itu sebenarnya berbahaya, tapi si Bengal tidak peduli. Ia juga tahu kemampuan Agun tidak akan kemana-mana tanpa bimbingan Eyang Bara.

Nanto hanya berharap Ki Juru Martani yang piawai tidak dapat membaca secara utuh gerakan per gerakan dan filosofi di balik gerakan. Untungnya sejauh ini sih aman, tidak ada protes dan tidak ada tambahan apapun dari sang penasehat RKZ – setidaknya tidak ada protesnya itu terlihat dari monitor yang tidak menyala sedari tadi.

Monitor Ki Juru Martani sudah tak lagi menyala, Agun sudah keluar dari ruangan, dan TKO Johnson sekali lagi gagal mendapatkan Nada.

Si legam itu keluar ruangan dengan bersungut-sungut dan jengkel luar biasa. Ia tadi keluar dari kamar dengan dendam yang membara, menatap Nanto seakan keduanya ditakdirkan untuk bertemu dalam satu laga pamungkas suatu saat kelak.

Si Bengal hanya duduk dalam diam dan menatapnya balik. Kapanpun, di manapun. Ia tak akan gentar. TKO Johnson menyunggingkan senyum saat menutup pintu. Mereka berdua pasti akan berhadapan lagi. Pasti.

Nanto geram dengan si legam yang berulang kali mengancam Nada, tapi si Bengal punya masalah yang lebih serius.

Bagaimana caranya dia bisa lepas dari tempat terkutuk ini? Kini dia dirantai di sebuah ruangan antah berantah. Keberadaannya tidak saja membahayakan Nada, tapi juga Selubung Kidung yang seharusnya tidak diberikan ke sembarang orang. Eyang Bara memang mengeluarkan dua standar yang kontradiktif. Boleh dibagikan dan tidak boleh dibagikan, itu berlaku untuk Kidung Sandhyakala dan Selubung Kidung.

Kidung Sandhyakala boleh dibagikan dan dipelajari oleh siapa saja, itu sudah jelas merupakan wejangan dari Eyang Bara – beliau bahkan mengijinkan Selubung Kidung juga dilepas seandainya itu untuk kebaikan bersama. Meskipun demikian Nanto tidak ingin berlaku gegabah. Dia adalah pewaris terakhir dari Selubung Kidung dengan arahan langsung dari Eyang Bara. itu artinya jika ia gagal melindungi ilmu kanuragan yang hanya diwariskan kepadanya ini, maka dia sungguh tak berbakti – bahkan om Janu, om Darno, dan Tante Susan sekalipun tidak mengetahui langkah-langkah penguasaan Selubung Kidung dan si Bengal pun merasa tidak berhak membagikan kepada mereka meskipun dekat dengan Nanto karena tahu keistimewaan jurus yang sampai mati disimpan oleh Eyang Bara itu.

“Apa yang kamu pikirkan, Mas?”

Nanto mendongak ke arah Nada yang duduk di pembaringan. Pakaian gadis itu acak-acakan, wajah dan matanya sembab karena menangis. Entah sudah berapa kali ia mendapat ancaman perkosaan dari TKO. Untunglah sejauh ini Nanto masih bisa menyelamatkannya – dan ia berjanji untuk selalu menjaganya demi membayar kesalahan yang ia lakukan pada Nada.

“Tidak ada. Aku hanya sedang mencari cara bagaimana kita bisa menyelamatkan diri dari tempat ini.” Nanto dengan kesal memandang tembok yang mengungkung mereka berdua. “Menurutmu apa yang bisa kita lakukan?”

“Sejauh ini tidak ada. Penjagaan mereka sangat ketat, untuk mengantar makanan saja mereka melakukan pengamanan berlapis-lapis.”

Nanto manggut-manggut, dia benci situasi di mana dia tidak bisa memegang kendali. Ki Juru Martani jelas adalah seorang strategist yang mahir. Dia sudah merencanakan semuanya ini secara matang dan terinci. Nanto sudah pasti bukan apa-apanya dibandingkan dengan sang arsitek.

Si Bengal melirik ke arah Nada yang sangat kuyu. Wajah dan tubuhnya lesu. Semangatnya sedang dilanda sendu. Ayolah, Nanto – kamulah yang lelaki di sini, kamulah yang harus tahu bagaimana caranya menggiring opini kala seorang gadis merasa kalut dalam diri.

Si Bengal berdehem, membuat Nada berpaling padanya.

“Aku tahu situasinya memang sedang sulit, tapi percayalah, aku tidak membiarkan satu orang pun di tempat ini menyakitimu. Dengan cara apapun aku pasti akan melindungimu semampuku. Aku juga tidak akan membiarkan orang lain menyakitimu seandainya kita berdua sudah berada di luar sana,” ucap Nanto.

Wajah Nada memerah, dia tersenyum. Di luar sana. Apakah ucapan itu kelak akan memburu si Bengal seperti seekor burung elang yang memburu seekor tikus? Apakah Nanto tetap akan melindungi Nada di saat dia sedang bersama Kinan - kekasihnya yang sejati? “Aku senang kamu seperti itu, Mas. Menunjukkan sikapmu sebagai seorang laki-laki yang tidak lari dari tanggung jawab. Tapi sebaiknya jangan ucapkan janji yang kamu sendiri tidak yakin. Sekali lagi aku ingatkan kalau aku ini tidak butuh bantuan apapun. Apa yang terjadi pada kita sebelum ini sebaiknya dilupakan – hanyalah sebuah insiden yang hanya akan kita ingat sebagai sebuah kenangan buruk.”

Nanto menunduk. Bukan karena kecewa, tapi karena jujur ia memang merasa sangat bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi pada Nada setelah ini. Nada melihat wajah kecewa si Bengal, gadis itu pun mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Pacarmu cantik ya, Mas. Aku pernah ketemu sewaktu di cafe.”

Nanto tersenyum.

Ah ya, Kinan.

Berada di dalam ruang tertutup ini bersama Nada di bawah gempuran serangan psikologis dari Ki Juru Martani membuat Nanto melupakan sosok kekasihnya, Kinan. Dia juga pasti sangat khawatir karena tidak bisa menghubungi Nanto selama beberapa hari ini.

“Iya. Dia cantik.” Nanto tersenyum.

“Jadi minder kalau ketemu sama dia, wajahnya cerah banget, aura yang keluar bikin adem. Aku tahu pasti kenapa kamu memilih dia sebagai kekasihmu, Mas. Jaga dia baik-baik dan jangan sampai dilepaskan. Wanita seperti Kinan tidak ada duanya.” Nada ikut tersenyum, dia mengingat saat-saat yang menyenangkan di cafe The Donut’s Pub bersama Nanto, Kinan, dan juga mendiang Lady. Agak sesak rasanya dada Nada kalau ingat apa yang telah terjadi pada sahabatnya itu.



“Kenapa harus minder? Kalian berdua cantik dengan keindahan masing-masing. Kecantikan yang berbeda yang tidak bisa disejajarkan.”

Wajah Nada memerah saat Nanto menyebutnya cantik. Entah kenapa saat Nanto mengucapkan itu, ia menjadi sedikit salah tingkah – meski Nada sekali lagi langsung mengalihkan pembicaraan. “Hahaha... pret ah, bisa aja. Aku kan tidak cantik. Wajahku aneh, nyampur-nyampur kayak kombinasi es teler sama es putu mayang. Hihihi. Tapi begini-begini sebenarnya ada darah jepang sedikit lho, Mas.”

“Oh ya? Jepang ya? Pantesan cantik banget.” Nanto jadi teringat sesuatu yang sering ia dengar saat mereka berdua dan Lady ngobrol. Ia mencoba mengingat-ingat, “kalau tidak salah dulu almarhum Lady sering memanggilmu dengan sebutan hime, ya? Bener kan? Hime kalau tidak salah asalnya dari bahasa Jepang yang artinya putri.”

He’em.”

“Kalau begitu mulai sekarang, aku juga akan memanggilmu dengan sebutan hime.” Nanto nyengir nakal, “boleh?”

Nada tertawa, wajahnya semakin memerah seperti kue ku isi kelapa. “Boleh.”

Si Bengal tersenyum sembari menengadah menatap langit-langit ruang tempat mereka disekap.

Sedikit longgar kini perasaannya, tidak lagi tegang seperti tadi. Nanto amat sadar bahwa dia punya tugas untuk mengeluarkan sang putri jelita yang ada di hadapannya untuk keluar dari tempat yang mengerikan ini.

Setelah sukses memulangkan Nada pada orangtua dan kekasihnya, barulah Nanto akan merasa tenang. Barulah si Bengal punya muka untuk pulang dan bertemu dengan Kinan – meski tentu saja dia berniat untuk tutup mulut mengenai kejadian yang berlangsung di tempat ini.

Mana mungkin dia terus terang pada sang kekasih bahwa ia sudah meniduri wanita lain? Meski itu tanpa sadar dan di bawah gendam sekalipun, dia tetap merasa bersalah. Nada sudah berjanji untuk menutup mulut, maka demikian juga si Bengal.

Demi kebaikan bersama dan demi menjaga perasaan Kinan sang kekasih.

Sedang apa ya Kinan sekarang?

Si Bengal tiba-tiba rindu.

“Mas...”

Nada tiba-tiba memanggil Nanto, wajahnya takut. Si Bengal tahu apa yang menyebabkan Nada tiba-tiba saja merasa ketakutan. Pintu ruangan dibuka perlahan, sesosok pria masuk ke dalam.

Nada buru-buru pergi menemui si Bengal dan berlindung di sebalik badannya. Tapi saat sosok pria itu masuk ke dalam, Nanto justru terbelalak.

Orang itu meletakkan satu jarinya melintang di depan bibir – menandakan kalau Nanto dan Nada sebaiknya diam dan tenang.

“Jangan bersuara,” bisiknya, “Sekarang saatnya kalian keluar dari sini.”





.::..::..::..::.





Kandang walet sudah kembali kondusif.

Suasana sudah kembali aman.

Markas DoP kemarin diserang oleh pasukan RKZ di bawah pimpinan Roni, Albino, dan Tedi Ganesha. Namun alih-alih tunduk, kandang walet justru berhasil bertahan dan mengusir lawan-lawannya. Serangan lawan dimentahkan oleh anak-anak DoP dengan bantuan kelompok Aliansi baik itu dari kaki cabang Sonoz, Patnem Baru, ataupun Lima Jari yang membawa serta Rao yang langsung mengamuk. Seberapapun RKZ berusaha, mereka masih belum berhasil menembus pertahanan berlapis yang dikomando oleh Remon dan Simon Sebastian dari Sonoz, apalagi ketika Rao kemudian datang dan memporak-porandakan seluruh pasukan RKZ sehingga Tedi Ganesha meminta pasukan RKZ untuk mundur.

RKZ pun gagal dan kandang walet masih kokoh di bawah DoP.

Tapi di balik keberhasilan mereka, Aliansi justru tidak merasa puas. Serangan RKZ seperti serangan yang tidak serius karena tidak ada pentolan-pentolan RKZ yang turun tangan langsung. Tedi Ganesha, Roni, dan Albino? Kenapa mereka? Kenapa menyuruh tiga pemuda kelas teri untuk memimpin pasukan RKZ menyerang Kandang walet? Are we a joke to you?

“Jangan-jangan itu memang rencana mereka untuk mengalihkan perhatian kita?” ungkap Remon sembari ongkang-ongkang kaki di atas sebuah lemari tinggi, ia mencoba memberikan alasan kenapa serangan RKZ kemarin terkesan aneh. “Kemungkinan ada strategi lain yang sedang mereka susun sehingga meskipun seakan-akan mereka menyerang kita tapi sesungguhnya serangan mereka tidak serius. Jadi seolah-olah keberadaan mereka di sini seperti hendak merebut Kandang Walet – padahal ada maksud lain di balik serangan itu.”

Hageng mengangguk setuju. “Jangan-jangan ada bakwan di balik tempe mendoan. Mencurigakan. Zetuju dengan Bang Remon, zeperti ada yang mengganjal. Zeperti makan bakpia tapi yang dikukuz. Razanya berbeda. Itu zih bukan bakpia. Itu bolu kukuz.”

“Kalaupun ada alasan di balik serangan kemarin, aku tidak paham strategi apa yang sedang disusun, apa alasannya, dan kenapa dilakukan tiba-tiba.” Simon mengelus-elus dagunya, tanda ia sedang berpikir keras. “Tapi memang kesannya tidak serius. Berbeda dengan saat RKZ menyerang Sonoz tempo hari, kekuatan mereka lebih besar daripada kemarin dan jauh lebih massive. Serangan mendadak yang mirip tapi dengan kekuatan yang berbeda. Memang mencurigakan sih ya.”

Pertemuan antar pentolan Aliansi dilakukan di lantai teratas Kandang Walet hari itu – untuk membahas apa yang sebaiknya mereka lakukan selanjutnya setelah adanya serangan dari RKZ. Mereka yang hadir cukup bervariasi: dari DoP – hadir Rao dan Remon; dari Sonoz - ada Simon; dari Lima Jari – ada Deka, Hageng, dan Bian; serta terakhir dari Patnem Baru – hadir Beni Gundul.

“Ketua kita sudah cukup lama menghilang – dia tidak akan dapat dihubungi untuk sementara waktu. Jadi kepemimpinan sementara akan jatuh ke kedua wakilnya, Rao dan Simon,” ucap Remon. “Kalian berdua yang akan menentukan apa yang sebaiknya kita lakukan selanjutnya. Apakah kita akan membalas serangan ke RKZ? Kalau iya, bagaimana caranya? Kita tidak tahu secara pasti di mana lokasi markas mereka berada.”

Bian yang sejak tadi terdiam di belakang Deka dan Hageng terus menerus ngemil kacang cap dua marmut. Matanya berulang kali melirik ke arah Rao. Sejak kemarin mereka jemput dari lapangan Klabangan dan mengamuk untuk menghabisi anggota RKZ di Kandang Walet, Rao terus saja terdiam. Dia bahkan tidak terlihat berminat melakukan percakapan penting ini karena pikirannya melanglang buana.

Bian tersenyum, bahkan seekor hyena yang gila pun bisa jatuh cinta.

Bian mengangkat bungkus kacangnya dan berjalan perlahan menuju Rao sementara Deka, Simon, Remon, dan Beni Gundul membahas langkah-langkah terbaik yang harus mereka tempuh. Si Bandel itu lantas meletakkan kacang di samping Rao.

“Nyemil-nyemil dulu, Bos-e.”

Rao hanya tersenyum kecut, ia menggeleng. Pandangannya tetap mengarah ke jalan raya ringroad utara di bawah sana. Memandang lalu lalang mobil dan motor dengan pandangan kosong.

“Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu.” Bian membuka kulit dua kacang dan melesakkan isinya ke dalam mulut. Dia tidak ingin berbasa-basi dan langsung ke topik utama yang ingin dia incar dari sang hyena gila. “Kamu sedang mengkhawatirkan gadis itu, kan?”

Hrmph.” Rao mendengus, ia mencibir. “...sepertinya itu bukan urusanmu.”

“Memang. Tapi aku paling benci kalau ada jagoan yang meratapi nasib gara-gara cewek. Kalau ada orang yang kelamaan jomblo dan meratapi nasib karena kesepian, seharusnya itu aku. Tapi aku malah bahagia-bahagia saja seperti ini.” Bian tertawa, “setahuku Rao yang perkasa tidak pernah mempedulikan wanita manapun. Kalau sang hyena gila sampai fallen in love, itu tandanya gadis itu memang benar-benar istimewa sekali.”

Rao melirik ke arah Bian, “seperti yang aku bilang, itu bukan urusanmu.”

“Pasti. Paham kok, tapi aku juga pernah mengalami yang hampir mirip denganmu. Aku pernah menyukai seseorang – bahkan mungkin sangat menyukai sampai-sampai dia aku anggap sosok wanita yang paling sempurna. Tapi sayangnya gadis itu justru berpacaran dengan sahabatku, maka aku tidak memaksakan diri dan memilih mundur. Aku lebih mengutamakan persahabatan daripada cinta.” Bian melesakkan beberapa biji kacang ke dalam mulutnya. “Ketika gadis itu dan sahabatku putus, aku juga tidak buru-buru mendekatinya, aku lebih ingin dia meredakan hatinya dulu. Karena aku tahu pasti bagaimana rasanya sakit hati itu. Aku berusaha menjauh sampai merasa dia tenang. Kamu tahu apa yang kemudian terjadi?”

“Aku tidak peduli.”

“Betul sekali. Dia ternyata tidak peduli sama aku. Dia ternyata sudah pacaran lagi dengan cowok lain – yang mana juga sahabatku yang lain lagi.” Bian geleng-geleng. “Sepertinya kami memang tidak berjodoh. Aku juga yang bodoh, tidak kunjung menyatakan perasaanku padanya.”

“Sepertinya kasus kita berbeda. Aku juga sudah bilang sejak tadi, aku tidak peduli dengan urusanmu.”

“Apakah kamu sudah pernah menyatakan perasaan kepadanya secara langsung?”

“Belum.”

“Berarti kasus kita sama. Ini jadi pelajaran buat kita berdua. Lain kali kalau kita menyukai seseorang, jangan tunggu waktu terlalu lama untuk menyatakan perasaan padanya. Jawabannya kan hanya ada dua; diterima atau ditolak. Kita harus tegar menghadapi semua resiko jawaban yang diberikan, kalau diterima kita bersyukur, kalau ditolak kita tidak membuang waktu untuk menyakiti hati sendiri lebih lama. Kalau tidak menyatakan, apa jaminannya hati kita tidak akan sakit? Sama-sama sakitnya kan? Jadi lebih baik sakit tapi menyatakan daripada sakit dengan perasaan yang dipendam, dan hanya diam. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana perasaannya pada kita.”

“Sekali lagi... kasus kita sepertinya beda.”

“Anggap saja aku yang curhat.” Bian tertawa, Ia mengambil dua gelas kosong, dan membuka kaleng berisi bir. SI Bandel menuang bir ke dua gelas itu dengan isi yang setara. Ia memberikan satu gelas pada Rao. “Mari angkat gelasmu, kawan.”

Rao tertawa dan geleng kepala melihat ulah Bian. Ia mengangkat gelas birnya, terdengar bunyi dentingan, dan kedua pemuda itu menenggak bir mereka sampai ludes.

Sang hyena gila berucap lirih, “aku harap dia baik-baik saja.”

“Pasti. Karena setelah melalui ini semua, kami akan membantumu melacak dan mencari gadis itu. Kami pasti akan menemukannya. Jangan khawatir. Kalau sampai dia naksir seorang hyena sepertimu, dia pasti gadis yang kuat.”

“Kalau sampai kenapa-kenapa, aku akan membunuh Joko Gunar.” Tangan Rao tergenggam dan mengepal. “Aku tidak peduli kalau aku mati di tangan anggota PSG – yang penting aku bisa memenggal kepala si kodok besar.”

Bian mengangguk. “Aku juga punya dendam sama PSG. Mereka sudah membumihanguskan Patnem. Akan ada saatnya mereka semua mendapatkan ganjarannya.”

Terdengar satu sentakan terkejut dari sebuah ujung. Itu suara Deka. Si gondes itu sedang mengerutkan kening ketika para sahabatnya bertanya-tanya kenapa dia tiba-tiba berteriak, Deka meneguk ludah. “ada pesan WhatsApp.”

“Dari ziapa?” Hageng yang sedang mengikat betisnya dengan perban mengernyit kesakitan sesaat. “Zi Bengal? Apakah dia zudah berhazil menyelamatkan gadiz yang diduga diculik itu?”

Deka menggeleng. “Bukan. Sepertinya ada yang aneh.”

“Aneh bagaimana?”

“Ini dari Amar. Dia punya berita penting untuk Aliansi.”

Deka menatap Bian, Rao, Hageng, Remon, Beni Gundul, dan Simon.

Mereka tentu saja tahu siapa itu Amar Barok.

Berita penting apa?





.::..::..::..::.





Di kesunyian malam ini.
Ku datang menghampiri,
Dirimu yang pernah berjanji.
Sehidup dan semati.

Kuingin bersama.
Berbaring di dadamu.
Lupakan khianat yang lalu
.”



“Serius lah, Jay.” Brom tertawa. “Ya kali dari semua lagu yang bisa kamu nyanyikan malam ini, kamu memilih menyanyikan lagu itu. Mana ini pohon-pohon kamboja baunya bikin zombie pengen party.”

Jay terkekeh, “suasana dan dinginnya cocok, Brom. Ambience-nya dapet.”

Kedua orang itu menunggu sebentar sebelum pintu dibukakan. Ada satu orang lagi di belakang mereka yang juga menunggu pintu depan gudang RKZ dibuka.

TKO Johnson dan kawan-kawan penjaga mempersilahkan Jay dan Brom masuk, demikian juga orang di belakang mereka. Jay dan Brom melangkahkan kaki ke gudang barang-barang bekas yang mirip hangar itu.

Gudang barang distribusi milik RKZ yang berada di kawasan utara kota berdiri megah dan angker di sebalik malam yang gelap menyapa. Suasana luar yang senyap berbeda dengan kondisi di dalam yang teramat sibuk meski cukup rapat penjagaan. Mulai dari penjaga di dekat pintu depan, hingga para pekerja yang tengah mengemas barang.

Jay dan Brom berjalan dengan yakin menuju ruang perkantoran yang berada di belakang gudang. Keduanya bercakap-cakap mengenai keadaan terbaru di RKZ. Beberapa kali mereka berdua melewati orang-orang yang tengah memasukkan bubuk putih ke dalam plastik-plastik kecil. Sementara di sisi lain, beberapa orang pekerja melepaskan label pada botol-botol miras impor dan menggantikannya dengan tempelan brand cuka, sebelum memasukkannya ke dalam kardus.

“Kemana Bos Jenggo?” Brom bertanya pada Jay yang berjalan di sampingnya sembari memperhatikan kegiatan orang-orang itu.

“Pergi. Ga tau kemana dia, mungkin ada keperluan.”

Brom manggut-manggut.

“Tapi seperti yang tadi sore dia bilang – dia mengizinkan orang di belakang kita ini untuk ikut menunggunya di sini, katanya mau ada perintah yang mau disampaikan.” Jay memainkan permen lolipop di mulutnya. “Jan-jane yo wagu. Sudah disuruh datang, eh pas beneran dia datang malah ditinggal sama Bos Jenggo. Jadinya kita yang harus jadi babysitter. Asem. Nanti kamu ajak saja dia keliling dan melihat-lihat tempat ini.”

“Apa tidak berbahaya membiarkan orang seperti dia masuk ke sini?”

“Itu urusan Bos Jenggo. Dia yang memberikan ijin. Kita hanya mengikuti saja perintahnya. Lagipula tempat ini kan sementara saja.”

“Aku takutnya keputusan Bos Jenggo jadi blunder. Kekekeke... sama seperti waktu kita hendak menjemput Lek Suman - entah kenapa kedatangan kita bisa bersamaan dengan datangnya Kori dan Rikson. Saat kita laporkan situasinya ke si Bos, bukannya disuruh melawan mereka, eh kitanya yang justru diminta mundur. Aneh sekali. Bukankah kita membutuhkan cagak bebandan dari si orang tua busuk yang bau tanah itu? Kenapa harus mundur hanya karena kedatangan dua cecunguk kelas teri? Aneh sekali.”

“Memang aneh, tapi kalau menurut perkiraanku, sepertinya ada rahasia yang tidak disampaikan ke kita. Mungkin kedatangan kedua orang itu di luar perkiraan dan bisa mengacaukan rencana para petinggi. Itu sebabnya sewaktu aku menyampaikan ke Bos Jenggo kalau ada tiga kelompok yang memperebutkan Lek Suman secara bersamaan, tak lama kemudian Bos Jenggo justru meminta kita mundur. Kenapa bisa begitu, ya mana aku tahu.”

“Padahal dengan tambahan cagak bebandan di arsenal kita jelas akan menambah kekuatan menjelang perang besar. Sayang sekali.”

Jay mengangkat bahunya, “bisa saja karena ada alasan lain sehingga kita tidak membutuhkan keris-keris bertuah itu lagi.”

“Dari yang aku tahu, justru Kori dan Rikson yang akhirnya berhasil membawa Lek Suman. Kenapa Arhan Gunadi mengalah ya?”

Kuwi yo aneh jan-jane. Itu juga aneh. Dari segi kemampuan, Arhan Gunadi seharusnya berada di atas kedua orang pemuda itu, jadi aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja dia merelakan Lek Suman mereka bawa... atau mungkin karena dia ingin Oppa, Amon, dan Lek Suman yang secara kemampuan sedang tidak mampu bertarung bisa selamat dari Kori dan Rikson?” Jay tersenyum, “memang banyak yang aneh. Tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah Lek Suman si sukun goreng. Ini saat untuk memperkenalkan kawan kita yang baru ke gudang distribusi kita ini, sebagai pengenal untuk bisa mengenal RKZ lebih dalam.”

Jay terkekeh saat melirik ke belakang, disambung oleh tawa membahana Brom.

Semenjak Jay dan Brom berjalan bersebelahan masuk ke dalam gudang yang menjadi tempat distribusi barang haram milik RKZ. Tak jauh di belakang mereka, sesosok pria bertubuh tegap selalu mengikuti. Pria bertubuh tegap itu hanya mengenakan kaus kutung putih yang sudah tidak lagi putih karena bercak oli dan celana jeans yang robek-robek. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai dibiarkan tertiup angin malam sementara rokoknya terus mengebul, dan sepatu boot yang ia kenakan meninggalkan jejak-jejak bekas tanah yang becek di depan gudang.

“Hehehehe... Bos Jenggo pasti akan senang sekali menyambut kedatangan tamu agung seperti sampeyan,” ujar Jay yang tanpa malu-malu meledek orang yang berada di belakangnya. “Selamat datang di gudang kami, Amar Barok.”

Sang panglima singa emas hanya mendengus. Dia mengamati gudang megah yang disewa oleh RKZ itu dengan seksama – tempat ini cukup kokoh dan memiliki pertahanan berlapis. Tidak ada jalan masuk kecuali dari depan dan tidak ada lubang di manapun untuk lari. Mereka sudah memastikan tidak ada yang bisa keluar kalau sudah masuk.

Hmm.

Amar Barok menggerakkan kedua tangannya – melenturkan dan mempersiapkan. Ia mengencangkan handwrap tinju warna abu-abu yang ia kenakan. Tempat ini adalah lokasi yang penuh tipu daya, jadi ia harus bersiap dengan segala kemungkinan – kedatangannya kemari bagaikan membawa ikan masuk ke kandang buaya.

Brom yang memperhatikan Amar pun tersenyum. “Kita kesini bukan untuk bertarung, Mas Amar. Tidak perlu terlalu bersiap-siap seperti itu.” ucap Brom. Dia menatap mata sang panglima singa emas dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskan. “Yang perlu dipersiapkan hanyalah mental menghadapi Bos Jenggo yang pasti punya perintah khusus untukmu. Hehehee...”

Jay tiba-tiba saja berhenti saat mereka bertiga sampai di sebuah pertigaan lorong selasar. Dia membalikkan badan ke belakang dan tersenyum pada sang panglima singa emas. “Aku harus mengerjakan sesuatu yang penting, jadi silakan lanjutkan perjalanan bersama Brom. Dia akan membawamu ke belakang menemui Galung, Agun, Gamal, dan teman-teman lain.”

Amar hanya mendengus.

Jay tertawa melihat wajah Amar yang masam, ia kemudian mendendangkan sebuah lagu super jadul, sembari melenggang masuk ke lorong di samping dan melemparkan tangan bagaikan memberi hormat ke udara pada Amar.

Lima sembilan tujuh tiga angka untuk kamu,
ber-QSO lalu cherio.
Cup ah cup ah cup ah.
Hahahaha
.”

Sama halnya seperti Brom yang ragu-ragu, sebenarnya Jay sangat tidak setuju membawa Amar ke gudang distribusi RKZ. Ini seperti membawa seekor singa ke kandang menjangan. Entah apa yang dipikirkan oleh Bos Jenggo meminta Jay dan Brom membawa Amar ke tempat ini. Yang jelas dia sangat tidak setuju dengan keputusan itu.

Jay pun berjalan menyusuri lorong sendirian, meninggalkan Amar dan Brom. Mereka berdua menyaksikan Jay berjalan agak jauh sebelum kembali melanjutkan langkah.

Tapi tiba-tiba saja Brom memalangkan tangannya di depan Amar Barok.

Sang panglima singa emas menatap pria berjuluk gorila besar itu dengan seribu tanda tanya. Apa lagi maksudnya ini? Kenapa dia menahannya?

“Tetap berjalan ke depan, bersikaplah seolah-olah kita hanya berbicara hal-hal yang formal dan basa-basi. Di sini banyak CCTV.” Brom berkata dengan wajah tak menunjukkan perubahan.

Yo.” Singkat Amar menjawab. Dia masih belum tahu apa maksud dan kemauan Brom.

“Ada yang harus kita bicarakan,” bisik Brom sembari mendengus kecil, dia melirik ke samping dan ke depan untuk memastikan Jay serta yang lain sudah jauh dari posisi keduanya. “Kita harus bicara tentang seseorang yang kita kenal yang ditahan di tempat ini.”

Amar mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?”

“Ssst. Kecilkan suara sampeyan. Selain CCTV, lorong-lorong ini punya banyak telinga. Informasi yang hendak aku aku sampaikan hanya sampeyan saja yang boleh tahu. Termasuk ada baiknya kalau teman saya yang meninggalkan kita barusan tidak tahu kalau sampeyan juga tahu.”

Amar mengangguk. Apa lagi ini? Brom menyimpan rahasia dari Jay? Kenapa? Bukannya mereka berdua adalah partner yang kemana-mana selalu bersama? Amar Barok harus berhati-hati dan tidak gegabah menyikapi. Banyak sekali lika-liku di RKZ.

Brom mendekat ke sang panglima singa emas, “Aku punya satu informasi rahasia. Informasi yang sebenarnya tidak boleh bocor ke siapapun.”

Amar mendengus mendengarkan bisikan dari Brom. Kalau memang rahasia, lalu kenapa dia membicarakannya informasi ini dengan dirinya? Kenapa Brom mempercayai Amar Barok?

“Ada sebuah ruangan di tempat ini yang dikunci dengan empat keris cagak bebandan di setiap ujungnya, membentuk lingkaran penahan Ki yang maha ampuh yang membuat siapapun yang terjebak di ruangan itu tak bisa menggunakan Ki,” sang gorila besar mulai membisikkan kata demi kata yang berbahaya jika sampai diketahui orang lain. “Ada dua orang di sana. Pemuda berbakat yang memimpin kelompok anak muda di utara dan pemudi cantik putri seorang pimpinan dari selatan. Dua orang yang menunggu diselamatkan.”

Amar tidak perlu berpikir keras untuk langsung mengetahui siapa yang dimaksud oleh Brom. “Mereka sedang dicari kesana-kemari oleh empat kelompok besar, bahkan ada pergerakan dari JXG yang menyebar ke seluruh penjuru kota. Berarti benar ya selama ini mereka berdua ada di sini? RKZ yang menculik? Menarik. Sangat menarik... kalian benar-benar berani.”

“Semua itu karena perintah dari pimpinan, kami yang di bawah hanya mengikuti perintah saja.”

“Yang juga menarik dan mengherankan – darimana kalian bisa mendapatkan cagak bebandan - benda bertuah yang bisa mengubah jalannya perang? Bukankah benda-benda itu sulit sekali dicari lokasi keberadaannya?”

Brom mengangguk. “Keempatnya berasal dari pojok beteng, dibawa oleh penasehat RKZ yang berjuluk Ki Juru Martani. Entah bagaimana ia berhasil mengambilnya dari keempat wilayah itu.”

“Ki Juru Martani?” Amar mengerutkan kening, “siapa dia?”

“Orang yang lebih baik tidak kita kenal dan tidak pernah kita jumpai, dia sangat berbahaya.” bisik Brom yang sepertinya enggan menyebutkan nama di balik julukan Ki Juru Martani. “Yang lebih penting sampeyan ketahui... malam ini penjagaan akan sedikit berkurang karena para pimpinan tidak berada di lokasi ini. Ini kesempatan sampeyan untuk menyelamatkan mereka berdua.”

Amar sedikit terkejut, tapi lalu mengangguk.

Brom melirik ke kanan dan kiri saat mereka berdua sampai di suatu sudut yang tak terjangkau CCTV, setelah merasa semua aman, ia merogoh ke dalam kantongnya dan mengambil beberapa kunci yang terkait dalam satu lingkaran besi. Ia memberikannya ke Amar Barok.

“Aku tidak pernah memberikan kunci apapun pada sampeyan. Apalagi kunci menuju ruangan di bagian paling ujung kanan lorong ini dan kunci borgol sang pemuda di dalam ruangan. Aku tidak pernah memberikan kunci apapun. Aku hanya menunjuk ke arah toilet yang ada di sana.”

“Kamu tidak pernah memberikan kunci apapun. Kamu hanya menunjukkan arah ke toilet.”

Brom mengangguk – ia senang karena Amar akhirnya paham.

Tapi sang panglima singa emas masih penasaran. Apakah informasi ini valid? Dia tidak mau main-main dengan urusan yang serius seperti ini. Banyak sekali pihak yang akan terlibat jika informasi yang diberikan oleh Brom benar ataupun jika informasi itu salah – karena akan membahayakan posisi Amar di RKZ Apakah dia benar-benar yakin kalau ada ruangan di tempat ini yang menjadi lokasi penyekapan ketua Aliansi dan putri dari pimpinan JXG?

“Kenapa aku harus mempercayaimu? Apakah ini jebakan?”

Brom tersenyum dan terkekeh dengan senyuman misterius.

Dia meninggalkan Amar Barok sembari menggoyangkan kepala ke arah sebuah ruangan yang terkunci rapat di ujung paling kanan dari lorong tempat mereka berada.

“Jadi bagaimana? Ruangan tempat para anggota RKZ berkumpul ada di belakang sana, tapi kalau sebelumnya sampeyan tiba-tiba mau mampir ke ‘kamar kecil’ maka kami akan menunggumu di sana.” Brom tersenyum, “bagaimana – apakah sampeyan mau ke ‘kamar kecil’ dulu?”

Amar melirik kunci yang ia pegang, lalu ke arah ruangan di sebelah kanan. Jadi itu... tempat Nanto dan Nada disekap?

Baiklah.

Sang pemuda berbadan tegap itu pun mendengus dan tersenyum, tanpa gentar ia berjalan menuju ke arah ruangan di sebelah kanan sembari meninggalkan Brom.

RKZ beberapa kali melakukan blackmail pada Amar dan memintanya melakukan beberapa hal yang tidak ia inginkan sembari mengancam untuk menyakiti orang-orang yang dekat dengannya – termasuk orang-orang dari rumah makan padang tetangga ruko bengkelnya. Keterlaluan sekali mereka menculik dan mengancam orang-orang yang tak mengerti apa-apa itu. Mereka ini bajingan-bajingan yang menempuh segala macam cara.

Kini saatnya untuk membalas.

Brom bergegas meninggalkan Amar Barok.

Pria berbadan tegap itu berjalan dengan waspada untuk mencari celah posisi area yang mungkin tidak terdeteksi CCTV. Amar tidak ingin cari masalah terlalu awal, dia tentu tidak takut bertarung dengan siapapun – dia hanya tidak ingin terjadi pertarungan yang terlalu dini sehingga nasib Nanto dan Nada menjadi tidak menentu dan posisinya sebagai telik sandi Dinasti Baru menjadi kacau.

Jadi dia tidak ingin gegabah dan melakukan konfrontasi langsung – dia harus mencari cara yang paling taktis sekaligus memungkinkan.

Saatnya membebaskan mereka. Amar bergegas ke ruangan paling pojok. Ia melihat kunci yang diberikan Brom. Bangsat! Kenapa banyak sekali kuncinya? Satu persatu kunci dicoba oleh Amar, hingga satu kemudian berhasil membuka pintu yang teramat berat.

Ia pun masuk ke dalam satu ruangan pengap.

Amar menjumpai dua orang yang meringkuk di pojok ruangan, ia segera menyilangkan jari telunjuknya di depan bibir. “Jangan bersuara. Sekarang saatnya kalian keluar dari sini.”

Ia melemparkan serangkaian kunci yang tadinya ia bawa ke arah Nanto dan Nada yang terbelalak kaget dan meninggalkan mereka secepat mungkin.

Nanto mengejapkan mata. Itu tadi kan...?

“Ma... Mas Amar?”





.::..::..::..::.





Mang Kardi membawa gerobak nasi gorengnya melewati Jalan Raksa di kala malam – semangatnya tebal, nyalinya mekar. Ia maju tak gentar meski suasana jalan sangat gelap dan menyeramkan. Jalan Raksa memiliki reputasinya karena jalan yang menjadi penghubung dua jalan utama area perumahan besar di utara mal Hartawan itu merupakan jalan yang gelap dan sepi. Kalau bisa tidak dilewati, kenapa maksain? Itu pedoman para pengguna jalan tentang Jalan Raksa.

Jalan Raksa adalah jalan yang minim penerangan, lampu hanya ada di ujung jalan, tiga rumah raksasa yang ada di Jalan Raksa selalu gelap dan tidak pernah dihuni, apalagi di ujung sini dan ujung sana sama-sama digunakan sebagai lokasi pemakaman, belum lagi bentangan sawah dan ladang yang kalau malam terlalu tenang dan sepi. Dengan jarak antara jalan masuk dan keluar yang berujung di perumahan cukup memakan waktu yang lumayan kalau berjalan kaki, Jalan Raksa sangat tidak dianjurkan dilewati malam-malam sembari jogging – cari masalah banget kalau nekat.

Mang Kardi mungkin salah satu yang nekat.

Banyak anggota grup SATUBANG atau Serikat Asongan, Tukang Bakso, dan Nasi Goreng yang bercerita kalau malam-malam lewat sini, besok paginya hanya akan tertinggal gerobaknya saja. Abang-abang penjualnya sudah akan lenyap dengan meninggalkan sendal jepit merk Selow dan semangkok bakso atau sepiring nasi goreng yang baru dimakan tiga sendok saja.

Tempat ini memang konon katanya angker. Konon sih katanya begitu – tetapi Mang Kardi yang sudah berjualan nasgor keliling hampir tujuh tahun tidak takut dan tidak percaya konon. Kenapa? Karena Jalan Raksa adalah jalan tercepat untuk menuju ke perumahan terdekat yang jaraknya menjadi sangat jauh kalau harus memutar menggunakan jalan utama yang lebih terang dan ramai. Jalan Raksa menjadi jalan tikus andalan kalau dia mau sampai lebih dahulu dibandingkan tukang nasgor pesaing. Ini adalah tindakan yang efektif dan efisien demi mencapai break event point dalam penjualan atau kalau syukur-syukur bisa – justru memuncakkan grafik yang beberapa hari belakangan ini terus saja melandai.

Tapi Mang Kardi tetaplah manusia biasa. Dia bukanlah Mang Eloh yang seperti iron man.

Dia tetap bisa takut juga.

Terlebih lagi malam ini entah kenapa suasana jauh lebih mencekam dari biasanya. Dia yang konon tidak pernah takut menjadi sedikit merinding. Napasnya juga jadi lebih berat, mana gerobaknya entah kenapa jadi semakin berat didorong. Lengkap sudah penderitaan.

Jangan-jangan karena roda gerobaknya ditahan oleh tangan-tangan para memedi yang...

Hiiiiy.

Mang Kardi menggelengkan kepala. Hus ah! Malah berpikiran yang tidak-tidak.

Tapi beneran malam ini dinginnya beda. Kayak ada kulkas segede-gede gaban dibuka semua.

Tubuh pria setengah baya itu menggigil. Untuk menutupi ketakutannya, Mang Kardi berbicara pada gerobaknya – dia sering melakukan ini kalau kesepian, apalagi kalau baterai alat pemutar mp3 dan radionya belum di-charge. “Bak, wahai gerobak. Kenapa malam ini rasanya lebih dingin dari biasanya ya, Bak? Kamu jangan rewel ya, kalau kita bisa sampai di sana lebih cepat, siapa tahu dagangan kita laris. Kita bisa beli pemutar musik yang lebih bagus lagi. Jadi kalau lewat sini kita bisa nyanyi-nyanyi. Aku tahu kamu suka lagunya Twice secara aku juga nge-fans sama Tzuyu.”

Tentu saja tidak ada yang menjawab kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Mang Kardi. Kalau ada yang menjawab, dia malah bakal lari tunggang langgang!

Tapi serius lho. Malam itu terasa seperti malam yang berbeda. Seperti malam yang tidak akan pernah dilupakan oleh Mang Kardi.

Malam yang terlalu dingin dan senyap, hembusan napas sang penjual nasi goreng itu sampai terlihat bak uap meski dalam gelap. Serius nih. Malam ini sepertinya bukan malam yang bertaburan kabar baik. Asem, kok dadi wedi yo? Bayangan pepohonan menjadi sesuatu yang mistis dan menyeramkan, sawah yang lengang justru menjadi ladang menakutkan seandainya tiba-tiba saja ada yang muncul dari balik padi yang ditanam.

Mang Kardi menengok ke belakang. Dia mulai ragu-ragu untuk melanjutkan menyusuri jalan ini karena perasaannya tidak enak. Apakah sebaiknya putar balik saja ya? Tapi jaraknya sudah terlalu jauh – dia sudah setengah jalan.

Duh gimana nih? Mana kebelet kencing pula.

Apa sebaiknya kencing di dekat pepohonan yang rimbun? Siapa juga yang bakal tahu ye kan? Eh, tapi jangan deng. Takutnya nanti kalau kencing sembarangan, si tongki bisa bengkak alias gendelen. Mending nanti saja di WC umum di pombensin. Dia juga takut kalau sembarangan kencing – jangan-jangan dia mengganggu pohon keramat atau malah lebih parah lagi tidak sengaja menginjak nisan yang tak terlihat. Aduh aduh aduh, amit-amit lah.

Mang Kardi mengencangkan ikat pinggang dan menarik celananya.

Ditahan sebentar lah kencingnya. Maju yok. Bisa yok bisa.

Dia melirik ke arah pepohonan rindang. Tuh kan, pohonnya juga rindang, lebat, dan lembap. TKP-nya aja seserem itu, masa iya mau dijadiin lokasi buang air kecil? Cari masalah saja. Jangan-jangan malah jadi lokasi kerajaan jin pohon-pohon yang bentuknya begituan. Hhiiiiy, nggak ah.

Apalagi kalau bayangan yang ada di bawah pohon itu sampai bergerak, hiiiy. Serem banget. Mang Kardi mempercepat laju gerobaknya. Bayangan di bawah pohon itu kok sepertinya aneh ya? Bagian atas seperti berputar mengikuti arah gerobak Mang Kardi?

Haduh tulung tuluuuuung lah malam ini jangan dikasih lihat yang tidak-tidak. Jangan dikasih yang serem-serem... Mang Kardi belum pernah ketemu Isyana... huhuhu...

Daripada takut mending main tebakan aja, yuk. Ayo Mang, main tebakan dalam hati. Mang Kardi mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan berbicara dalam batin.

“Hantu-hantu apa yang disukai sama cewek-cewek?” Mang Kardi meneguk ludahnya sendiri sembari mempercepat langkah. “Pocongan harga.”

Srrkh.

Huwaaa? Suara apaan itu?

Eh, bener lho! Bayangan di bawah pohon itu bergerak! Pait! Pait! Pait!

“Huwaaaaaaaaaaaa...!” Mang Kardi tambah merinding dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak melihat ke arah bayangan yang menurut pandangan matanya bergerak-gerak dengan menyeramkan. Ayo tebak-tebakan lagi saja yuk. “Setan-setan apa yang hobinya ngibul? Sundel boong!”

Huwaaaa kenapa tebak-tebakannya soal ginian sih? Mang Kardi baru sadar.

Bayangan itu bergerak dengan sangat cepat, sehingga sekarang berada di depan gerobak Mang Kardi. Tepat berada di tengah jalan, menghalangi laju gerobak Mang Kardi untuk menuju komplek perumahan seberang. Duh aduh mampusmu kapan Mang?

Bayangan itu mendekat. Sosoknya seperti seorang wanita berambut panjang yang wajah dan pakaiannya tidak karuan. Wajahnya juga sangat seram karena tertutup rambut yang acak-acakan!

Panik ga? Panik ga? Ya panik lah, masa ga panik.

“Woy-lah! To-tolong...” Mang Kardi berteriak-teriak ketakutan. “Jangaaaaan mendekat! Jangaaaaan mendekaaaaat! Saya cuma jualan nasi goreng! Saya tidak pernah kencing sembarangan, saya tidak pernah menginjak nisan! Saya setia sama anak istri! Saya tidak pernah kirim wasap ke Marni janda kampung sebelah! Saya tidak pernah... eh... pernah deng kirim wasap ke Marni tapi cuman sekali aja... dua kali... eh tiga kali... huwaaaa...” Mang Kardi mencoba menutup matanya dengan menggunakan telapak tangan sembari menyisakan beberapa jemari terbuka sehingga dia bisa mengintip.

Tapi si setan itu tidak mengejar. Dia berjalan dengan tertatih-tatih. Tangannya menyorong ke depan. Mang Kardi melirik ke bawah. Sebentar-sebentar... setan tapi kok menapak tanah ya?

“To... tolong saya... Pak...”

Sosok wanita itu akhirnya ambruk di depan gerobak Mang Kardi.

Mang Kardi tersengal-sengal. Hidungnya mengeluarkan ingus saking takutnya. Keringatnya mengalir deras. Kenapa juga tadi lewat Jalan Raksa? Orang-orang pan sudah pada ngingetin jangan lewat sini, orang-orang suka pada ilang. Kenapa juga dia ngeyel? Beginilah kalau tamak pengen lebih cepet daripada saingan, boro-boro dapet duit dari goreng nasi, ini yang ada malah setan nutup jalan dia ga bisa kemana-mana. Maju kena mundur jauh. Mampus lah ini.

“To...” setan itu menggelengkan kepala, lalu menangis.

Weladalah kok nangis? Dadi tambah medeni. Huwaaaaa.

Tapi... ada sesuatu dari si setan yang membuat Mang Kardi penasaran.

Mencoba memberanikan diri dengan mengucap segala macam doa di setiap langkahnya, Mang Kardi mendekati sosok wanita yang tadi membuat jantungnya hampir copot. Kalau ini setan – seharusnya tidak bisa menapak tanah, kan? Masa iya juga ada setan pingsan di tengah jalan? Eh, tapi jangan-jangan mau menculiknya? Jangan-jangan rumor tukang nasgor yang diculik setan dan meninggalkan sendal selow itu beneran?

“Hiiiiy...” Mang Kardi menggeleng kepala, dia menarik gerobaknya untuk mundur. Demi apa dia mendekat ke arah wanita itu. Tidak. Tidak mau. Tidak.

Dia boleh miskin tapi tidak bodoh.

Mana ada hantu kok malah dideketin? Bodoh itu. Adegan bodoh yang hanya ada di film horor. Horor apa itu yang Malam Jumat Kliwon. Hiiiy. Horornya si Mbak Sunana yang makan sate nembus ke punggung. Hiiiy. Untung dia jualnya nasgor, bukan sate.

Jadi dia tidak mau mendekat. Tidak mau lah.

Mang Kardi memilih mundur.

“Tolong...” sosok wanita itu menarik sesuatu dari saku celananya, celana yang sudah tidak pada tempatnya karena menggantung turun di antara paha. Ia mengambil sesuatu dan melemparkannya ke Mang Kardi dengan menggunakan tenaga terakhirnya.

“Hiiiiiiiiyaaaat......!” Mang Kardi meloncat ketakutan ke belakang. Apaan yang baru aja dilempar?

Jangan-jangan bayi jin? Hiiiiy!!

Mang Kardi yang aslinya bernyali kini justru semakin jiper. Dia sudah bersiap untuk meninggalkan gerobaknya demi melarikan diri, tapi sesaat kemudian dia melirik ke arah barang yang dilempar oleh si setan. Cahaya lampu teplok dari gerobaknya memberikan penerangan seadanya yang malam itu berfungsi dengan baik.

Barang itu bentuknya kotak kecil.

Itu kan... dompet?

Mang Kardi mengerutkan kening dan mencoba memicingkan mata – mencoba memperhatikan lebih baik lagi di malam yang gelap dan menyesatkan pandangan. Ngapain setan nglemparin dompet? Jangan-jangan setannya mati penasaran karena belum bayar utang? Setan kredit?

Dia buru-buru bangkit dan menghampiri benda yang dilempar oleh si setan. Eh tapi beneran dompet dong. Mang Kardi membukanya. Ada beberapa lembar uang dengan bercak darah, jumlahnya tidak seberapa. Tapi ada satu barang yang sepertinya menarik perhatian pria tua itu.

Ia melirik ke arah si setan yang masih tergeletak tak jauh dari gerobaknya.

Lalu mendekatkan dompet itu ke arah lampu.

KTP.

Ini KTP asli kan?

Mang Kardi menengok kembali ke arah sosok setan yang sejak tadi ia hindari. Sembari berjingkat dan memberanikan diri, Mang Kardi mencoba mendekat selangkah, lalu selangkah, lalu selangkah hingga akhirnya dia benar-benar dekat.

“Tolooong...”

“Hyaaaa!” Mang Kardi menjerit kaget.

Si setan itu tiba-tiba saja berdiri dan bernapas dengan berat saat Mang Kardi mendekat.

Dia bukan setan.

Ini perempuan biasa yang sedang terluka!!

Sembari mengucap doa, Mang Kardi buru-buru menghampiri sosok setan yang sesungguhnya seorang gadis yang sedang terluka parah dengan darah di mana-mana. Tubuhnya kotor tidak karuan, entah cairan apa saja yang membungkus tubuhnya sekarang selain darah, bisa jadi air sawah atau comberan. Pelupuk matanya sembap, pandangannya kosong, tangan yang kiri sepertinya patah, dan bajunya... bajunya sudah morat-marit berantakan. Celananya melorot sampai ke paha, menampakkan celana dalam yang dikenakan seadanya. Bajunya kotor dan terbuka, bra yang dikenakan sudah lepas dan hanya bisa menutup satu buah dada.

A-apa yang telah terjadi?

“Mb-Mbak?” Mang Kardi buru-buru menghampiri gadis malang itu. Dia baru menyadari bahwa gadis ini ternyata sedari tadi sudah berusaha keras untuk meminta tolong tapi dasar dianya yang bego malah mengira gadis itu setan.

Mang Kardi harus segera menolongnya! Harus! Mang Kardi mulai panik saat melihat kondisi parah sang gadis. “Mbaaaak!? Waduh keno opo iki, Mbaaak? Kenapa bisa seperti ini?”

“Tolong saya, Pak... to...”

Gadis itu terkulai lemas. Ia kembali jatuh dengan lunglai, beruntung kali ini Mang Kardi bisa menangkap tubuh sang gadis sebelum benar-benar terjerembab jatuh. Gadis itu pingsan, matanya terpejam dan napasnya tak lagi berat – bahkan nyaris tidak ada.

Mang Kardi yang kini berubah menjadi khawatir terhadap sosok yang ia kira setan, sekarang berusaha membangunkannya. Gadis yang malang, kondisinya sangat mengenaskan. Dia teringat anaknya semata wayang yang sekarang berada di rumah. Usia gadis ini sepertinya sepantaran dengan putri tercintanya, membuatnya tidak tega. Aduh kasihan sekali.

Jemari keriput Mang Kardi dirintangkan di depan hidung sang gadis. Tidak ada udara berlalu. Ia mencoba merasakan detak nadi di pergelangan. Tidak ada, tidak ada detak terasa.

Hanya ada luka unik seperti tusukan lima jari di dada kiri sang dara. Luka yang mulai menghitam. Mang Kardi harus segera menyelamatkannya dan membawanya ke klinik dengan bermodal tanda pengenal sang dara! Mana tadi KTP-nya?

Siapa tadi namanya ya?

Ah ya.

Siapapun gadis bernama Tiara Maharani ini.

Gadis itu sekarat.

Mang Kardi harus bergegas.





.::..::..::..::.





Nanto dan Nada berlari menyusuri lorong demi lorong sembari bergandengan tangan. Sebisa mungkin si Bengal melindungi Nada dan membawanya keluar dari tempat ini dengan selamat. Mereka sudah tidak peduli lagi apa rintangannya, mereka harus selamat. Sayangnya tak mungkin bagi mereka berdua untuk meninggalkan lokasi tanpa terlihat oleh CCTV dan kamera pengawas.

Sirene berbunyi nyaring di seluruh penjuru gudang.

“Gawat. Sialan. Bajingan.” Nanto mengumpat, “Hime – jangan pernah melepaskan tanganku. Sampai kapanpun jangan kamu lepaskan.”

Wajah Nada memerah karena merasa begitu diperhatikan oleh si Bengal, tapi ia sadar ini bukan saatnya untuk malu-malu. Keadaan sedang sangat genting. Ia pun mengangguk dan berucap lirih. “Aku tidak akan melepas tanganmu. Sampai kapanpun.”

Erat keduanya bergenggaman.

Nanto dan Nada sampai di halaman antara gedung di bagian belakang gudang dan pintu depan, halaman yang penuh tumpukan barang bekas berukuran tinggi. Tempat ruang luas yang menjadi kuburan besi dan perangkat lain yang tak lagi berfungsi.

Terdengar derap langkah kaki yang menghentak-hentak tanah.

Nanto menggeleng kepala. Cepat sekali! Bangsat-bangsat penjaga gudang itu rupanya sudah mulai sadar kalau mereka berdua kabur. Orang-orang yang tadinya mengemasi barang dagangan seperti bubuk putih dan botol miras juga mulai menyadari kehadiran Nanto dan Nada. Mereka menatap si Bengal dengan pandangan membunuh. Orang-orang itu mulai meninggalkan pekerjaan mereka untuk mengejar si Bengal dan Nada.

Nanto mendesah panjang. Gawat kalau begini. Musuh terlalu banyak, tenaganya belum pulih seutuhnya, dan dia punya kewajiban melindungi Nada. Harus bisa bagaimanapun caranya! Bahkan kalau sampai berkorban diri! Ayo cari solusinya. Si Bengal melihat ke kanan dan kiri. Ia melihat tumpukan-tumpukan besi yang ditata di pinggir kanan dan kiri halaman. Mulai dari gedung belakang hingga pintu depan, penuh dengan barang bekas. Ibarat kuburan besi raksasa.

Hmm... mungkin itulah satu-satunya kesempatan mereka! Mereka berdua bisa memanfaatkan lingkungan yang unik ini. Harus dicoba kalau tidak mau mati konyol dikeroyok preman.

Untunglah ia mulai bisa merasakan aliran Ki-nya lancar mengalir ke seluruh tubuh, meski belum sempurna betul. Baiklah, mari kita coba. Ia melirik ke arah Nada, “Melompatlah ke punggungku. Aku gendong.”

“Hah? Tapi kan...”

“Kita tidak punya banyak waktu. Cepatlah.”

Melihat banyaknya orang yang hendak menyerang mereka, tanpa babibu pun Nada segera naik ke punggung si Bengal.

Nanto membungkuk sedikit, membiarkan aliran tenaga Ki mengalir lebih lancar dan ditahan sampai di posisi tangan dan kaki. Ketika orang-orang mulai datang dan menyerbu, aliran tenaga Ki yang ia tahan pun diledakkan!

Boom!

Si Bengal dan Nada langsung melesat tinggi bak roket ke arah tumpukan ban dan besi bekas. Pemuda itu pun segera berlari dan meloncat ke sana kemari sembari membawa tubuh Nada seakan-akan teramat ringan.

Kanan kiri, tumpukan kulkas tua, tumpukan besi bekas pagar, tumpukan besi bekas tiang. Kiri kanan. Tumpukan ban bekas, tumpukan motor tua. Kanan kiri. Kiri kanan.

Si Bengal berusaha keras untuk tidak mendengarkan teriakan-teriakan dan makian dari para prajurit RKZ yang sejak tadi mengejar-ngejarnya ke kanan dan kiri. Tugasnya hanya satu. Dia harus segera membawa Nada pergi dari tempat terkutuk ini, dia harus meyakinkan kalau Nada akan selamat!

Pintu ada di depan sana!

Nanto melesat ke depan.

Terdengar bunyi berdesing di telinga.

Mundur selangkah.

Gerbang kewaspadaan! Sudah aktif kembali! Nanto pun mengikuti apa yang diperintahkan gerbang pertamanya. Dia memundurkan kepala dan...

Swwwoooooossshhhh!

Brrrrkghhhh!


Tiba-tiba saja ada velg roda sedan melayang di depan kepalanya! Nyaris sekali! Sangat-sangat dekat! Seandainya saja tadi dia tidak mundur, ia dan Nada pasti akan terkena sambarannya!

Velg itu menghantam besi rangka langit-langit gudang dan langsung menimbulkan bunyi nyaring yang memekakkan telinga.

Gawat.

Nanto melirik ke bawah dan melihat ada seseorang berkulit legam yang rupa-rupanya sedang berlatih lempar cakram dengan menggunakan velg mobil dan dirinya sebagai sasaran. Ia tidak boleh berhenti! Nanto memanfaatkan kemampuan dan kecepatannya.

Satu demi satu velg dilempar ke atas.

Siaaaaal!

Maju. Kanan. Maju lagi. Turun.

Bagus. Terima kasih gerbang pertama. Nanto tidak membuang-buang kesempatan. Ia segera membawa Nada ke depan, lalu ke kanan, lalu maju, sebelum akhirnya si Bengal yang terengah-engah membawa Nada turun ke bawah. keduanya berada di antara dua kelompok penjaga gudang yang mulai menyergap dari sisi kanan dan kiri.

The eagle has landed.” Seorang pria bertubuh legam dan tegap melemparkan velg ke samping. Dia membuka bajunya sehingga menampakkan tubuhnya yang berkilat oleh keringat. Badan six-pack bak roti sobek dipamerkan dengan otot-otot yang besar dan rajin angkat berat. “Going somewhere sucka? Lewat dulu aku. Bertemu lagi untuk terakhir kali.”

Nanto mendengus, ia mencoba melindungi Nada sebisanya dari sosok TKO Johnson yang tinggi, besar, dan menyeramkan. Kulitnya yang legam dan berkeringat memantulkan cahaya keemasan dari sinar lampu.

Nanto mundur, ia menggenggam erat tangan Nada yang kini turun dari gendongannya. “Aku tak akan pernah meninggalkanmu. Aku janji. Tetaplah di belakang.”

“Iya.” Nada mengangguk, wajahnya khawatir melihat pasukan RKZ mulai menggerombol – apalagi datangnya si kulit legam.

TKO Johnson tersenyum, meski kesal melihat Nanto berada di luar ruang penyekapan, tapi dalam hati ia cukup senang melihat si Bengal lepas dari borgolnya. Karena sekarang ia bisa melakukan apa yang tidak bisa ia lakukan sebelumnya. Menghajar pemuda sialan ini sampai menjadi krappy patty!

Sang pria legam memukulkan tinju ke dalam kepalan tangannya sendiri. “First we fight.”

Nanto membuang ludahnya.

Si Bengal menatap tajam mata TKO Johnson, lalu menekuk kepalanya ke kanan dan kiri. Sembari tetap melindungi Nada di belakangnya, ia lantas menggemeretakkan jari jemari tangan kanan dengan tangkupan tangan kiri. Satu lawan berapa nih? Tidak saja ia harus mengkhawatirkan TKO, tapi juga kawan-kawannya yang lain.

“Maju kamu, roti sobek gosong. Kita buktikan saja semuanya sekarang.” maki Nanto penuh dendam.

Tapi sial buat si Bengal...

Belum lagi pertarungannya dengan TKO Johnson berlangsung, para kapten RKZ sudah datang – Jay, Brom, Gamal, Galung, dan Agun. Kelimanya hadir untuk menyaksikan pertarungan antara TKO dan si Bengal. Tak jauh di belakang mereka, Amar Barok juga hadir dan ia langsung menatap Nanto dengan pandangan khawatir. Sial. Mereka tidak berhasil lari terlalu jauh.

“Bagaimana dia bisa lepas?” tanya Agun terheran-heran.

Jay tersenyum, “tidak masalah bagaimana dia bisa lepas. Yang jelas Bos Jenggo sudah bilang – kalau sampai dia dan ceweknya lepas, hidup mati mereka sudah ada di tangan kita. Jadi itu artinya kini mereka jadi hak milik kita. Kemarin dulu kita pernah dipecundangi di bengkelnya Amar dan markas Sonoz. Tidak akan pernah lagi ada cerita yang sama. Tidak sekarang dan tidak nanti. Penggal kepala si bedebah itu – dan tiduri ceweknya sampai mampus!!”

Para anggota RKZ yang jumlahnya sekitar 20-an orang berteriak-teriak kesetanan.

Malam ini mereka pesta!

Amar Barok menatap mata si Bengal yang nyalang membara. Keduanya saling bertatapan saat menyadari kehadiran masing-masing. Apakah yang harus dilakukan oleh Amar Barok? Membongkar penyamarannya yang baru seumur jagung dan membantu si Bengal – atau sebaliknya? Menyelamatkan sahabat sang adik dan memupuskan harapan Om BMW untuk mengorek keterangan mengenai RKZ.

Yang mana yang harus dipilih?

TKO Johnson berteriak kencang, dia bersiap lari ke depan dengan satu tangan terkepal.

Tiba-tiba saja...

Terdengar suara deru beberapa motor meraung-raung di luar gudang. Bukan hanya satu motor saja, tapi ada beberapa sekaligus. Seorang pemuda RKZ yang tadinya berjaga-jaga di luar berlari masuk ke dalam dengan wajah panik. Keringatnya menetes deras, matanya tak henti-hentinya berkejap. Ia buru-buru berlari ke arah Jay dan Brom.

“Mereka dataaaaaang!”

Jay tersenyum sembari menggaruk-garuk leher, “Tenangkan dirimu dulu. Siapa yang datang? Daripada panik, lebih baik kamu tutup pintunya terlebih dahulu.”

Menyadari kesalahannya, pemuda yang baru masuk pun segera berlari untuk menutup pintu dengan terburu-buru. Karena pintu itu cukup berat, maka beberapa orang temannya sesama penjaga pintu gudang RKZ pun turut membantunya untuk mendorong.

“Siapa yang datang?” Jay mengulang pertanyaannya.

Pemuda itu meneguk ludah, “mereka...”

Satu kepalan tangan tiba-tiba saja menyeruak masuk ke dalam dan menghantam wajah pemuda yang baru saja masuk dan hendak menutup pintu.

Bledaaaaaaaaaaaammm!

Bak dihajar palu raksasa, pemuda itu terlempar ke belakang tiga meter jaraknya. Demikian juga dengan kawan-kawannya yang lain. Mereka terlempar dari pintu depan karena pukulan beruntun yang dilontarkan dari sela-sela pintu yang masih terbuka.

“Itu... pukulan geledek?” Nanto seperti mengenali pukulan yang baru saja terlontar.

Bledaaam! Bledaaam! Bledaaam! Bledaaam!

Empat orang menyusul terlontar disambar oleh pukulan yang membahana.

“Pintunya. Jaga pintunyaaaaaaaaaaaaaa!!” Jay berteriak kencang melihat orang-orang yang tadi berniat menutup pintu kini mulai kewalahan dan terkapar, para kapten RKZ pun buru-buru ikut maju ke depan untuk mencoba menutup pintu bersama dengan para prajuritnya.

Tapi mereka terlambat.

Beberapa orang penyusup sudah masuk ke dalam. Pintu terbuka lebar. Siapa yang masuk? Mereka adalah Simon, Deka, Hageng, Bian, dan Beni Gundul – para anggota Aliansi.

“Heheheh. Apa kabar para sampah?” Bian tertawa-tawa saat melihat para penjaga terkapar dihajar pukulan geledek. Dia melambaikan tangan pada para kapten RKZ. Eh ketemu lagi ya ternyata. “Kalian lagi-kalian lagi. Muka udah kek pengki bau tae. Kapan sih kapoknya ga bikin masalah?”

Simon tersenyum sembari memainkan kepalan tangannya. Ia melirik ke samping dan mendapati Nanto dan Nada yang lega melihat wajahnya. “Halo! Kalian berdua baik-baik saja kan?”

Nanto tersenyum lebar. “Untunglah kalian semua datang!”

“Simon!” Nada menempel pada si Bengal. Ia pun bertanya, “Aku kenal dengan Simon, tapi tidak yang lain. Siapa mereka?”

“Jangan khawatir. Mereka teman-temanku. Kita selamat.”

“Hahaha... apa kabarmu, Boz?! Kami kangen dan rindu zekali...” Hageng melambaikan tangan pada si Bengal. “Zekian lama tak berjumpa, hati razanya gelizah ingin membuat pantun dan puizi. Baiklah. Untuk merayakan pertemuan ini, maka aku akan.... hahaha... aku akan menyumbangkan zebuah pantun berjudul tempoyak...”

Belum selesai Hageng berbicara, tiba-tiba saja terdengar bunyi berderak hebat. Dua tumpukan besi bekas berukuran tinggi sekitar empat sampai lima meter yang berada di halaman dalam gudang ibarat terkena gempa bumi lokal. Keduanya bergetar hebat hingga menimbulkan bunyi teramat kencang.

Nanto buru-buru menarik Nada ke tempat yang lebih aman.

BRrrrrrrgkkkkkkkkhhhhhhhhh!!!

BRrrrrrrgkkkkkkkkhhhhhhhhh!!!


Dua tumpukan yang tinggi bagaikan tower itu pun ambruk ke bawah, beberapa anggota RKZ berlarian mencoba menyelamatkan diri sementara beberapa anggota Aliansi juga mencari tempat yang lebih aman. Suasana menjadi kacau dengan sangat tiba-tiba.

Belum sampai efek kejutan dari runtuhnya tumpukan besi bekas mereda, dua tumpukan berikutnya menyusul rubuh.

BRrrrrrrgkkkkkkkkhhhhhhhhh!!!

BRrrrrrrgkkkkkkkkhhhhhhhhh!!!


Amar mundur ke belakang, dia bertatap-tatapan dengan Deka dari kejauhan. Sama-sama berharap untuk keselamatan masing-masing.

BRrrrrrrgkkkkkkkkhhhhhhhhh!!!

BRrrrrrrgkkkkkkkkhhhhhhhhh!!!


Tumpukan kelima dan keenam runtuh. Suasana menjadi semakin kacau, bunyinya nyaring tak karuan. Tumpukan debu bercampur dengan tanah. Di mana kawan, di mana lawan? Sudah tak lagi terlihat dengan jelas.

Aliansi yang mengira kedatangan mereka mengagetkan, justru dikejutkan dengan rentetan runtuhnya tumpukan besi yang mengancam keselamatan semua orang. Siapa yang tiba-tiba saja datang dan memporak-porandakan tempat ini?

Debu-debu tinggi mulai turun.

Nanto memicingkan mata. Ia melihat empat bayangan berkelebat. Tenaga Ki yang terpancar ini... hebat sekali! Siapa yang telah datang?

Tiga bayangan berdiri di atas tumpukan besi yang baru saja rubuh. Tiga bayangan menyeramkan. Bambang Jenggo, Alang Kumitir, dan Tunggul Seto.

Sang pemimpin lapangan RKZ itu tersenyum lebar sembari menunjuk satu persatu anggota Aliansi yang baru saja masuk ke dalam gudang. “Mau bikin pantun? Aku kasih satu pantun. Pohon delima pohon jati.... Malam ini... akan ada yang mati.”

Hageng meneguk ludah.





BAGIAN 22 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 23


NB : Selamat lebaran bagi yang merayakan. Mohon maaf lahir batin, dab!
 
Terakhir diubah:
BAGIAN 22
CAHAYA TERANG






Jika kamu mau melihat matahari terbit,
kamu harus menghadapi badai.
- Frank Lane






Nanto duduk dengan lelah. Sepanjang hari ia sudah melatih Agun untuk bisa menguasai Kidung Sandhyakala sekaligus Selubung Kidung – tentu saja dengan versi yang sudah ia ubah. Ia tidak yakin apakah versi yang ia ajarkan itu sama dengan versi rekaman yang ia berikan pada Ki Juru Martani, ia hanya berharap ia tidak lupa satu langkahpun karena hal itu dapat membahayakan Nada.

Ia sendiri tidak peduli apa yang terjadi pada Agun yang nantinya akan salah menerapkan langkah-langkah mempelajari ilmu kanuragan yang telah dibolak-balik. Tentu saja hal itu sebenarnya berbahaya, tapi si Bengal tidak peduli. Ia juga tahu kemampuan Agun tidak akan kemana-mana tanpa bimbingan Eyang Bara.

Nanto hanya berharap Ki Juru Martani yang piawai tidak dapat membaca secara utuh gerakan per gerakan dan filosofi di balik gerakan. Untungnya sejauh ini sih aman, tidak ada protes dan tidak ada tambahan apapun dari sang penasehat RKZ – setidaknya tidak ada protesnya itu terlihat dari monitor yang tidak menyala sedari tadi.

Monitor Ki Juru Martani sudah tak lagi menyala, Agun sudah keluar dari ruangan, dan TKO Johnson sekali lagi gagal mendapatkan Nada.

Si legam itu keluar ruangan dengan bersungut-sungut dan jengkel luar biasa. Ia tadi keluar dari kamar dengan dendam yang membara, menatap Nanto seakan keduanya ditakdirkan untuk bertemu dalam satu laga pamungkas suatu saat kelak.

Si Bengal hanya duduk dalam diam dan menatapnya balik. Kapanpun, di manapun. Ia tak akan gentar. TKO Johnson menyunggingkan senyum saat menutup pintu. Mereka berdua pasti akan berhadapan lagi. Pasti.

Nanto geram dengan si legam yang berulang kali mengancam Nada, tapi si Bengal punya masalah yang lebih serius.

Bagaimana caranya dia bisa lepas dari tempat terkutuk ini? Kini dia dirantai di sebuah ruangan antah berantah. Keberadaannya tidak saja membahayakan Nada, tapi juga Selubung Kidung yang seharusnya tidak diberikan ke sembarang orang. Eyang Bara memang mengeluarkan dua standar yang kontradiktif. Boleh dibagikan dan tidak boleh dibagikan, itu berlaku untuk Kidung Sandhyakala dan Selubung Kidung.

Kidung Sandhyakala boleh dibagikan dan dipelajari oleh siapa saja, itu sudah jelas merupakan wejangan dari Eyang Bara – beliau bahkan mengijinkan Selubung Kidung juga dilepas seandainya itu untuk kebaikan bersama. Meskipun demikian Nanto tidak ingin berlaku gegabah. Dia adalah pewaris terakhir dari Selubung Kidung dengan arahan langsung dari Eyang Bara. itu artinya jika ia gagal melindungi ilmu kanuragan yang hanya diwariskan kepadanya ini, maka dia sungguh tak berbakti – bahkan om Janu, om Darno, dan Tante Susan sekalipun tidak mengetahui langkah-langkah penguasaan Selubung Kidung dan si Bengal pun merasa tidak berhak membagikan kepada mereka meskipun dekat dengan Nanto karena tahu keistimewaan jurus yang sampai mati disimpan oleh Eyang Bara itu.

“Apa yang kamu pikirkan, Mas?”

Nanto mendongak ke arah Nada yang duduk di pembaringan. Pakaian gadis itu acak-acakan, wajah dan matanya sembab karena menangis. Entah sudah berapa kali ia mendapat ancaman perkosaan dari TKO. Untunglah sejauh ini Nanto masih bisa menyelamatkannya – dan ia berjanji untuk selalu menjaganya demi membayar kesalahan yang ia lakukan pada Nada.

“Tidak ada. Aku hanya sedang mencari cara bagaimana kita bisa menyelamatkan diri dari tempat ini.” Nanto dengan kesal memandang tembok yang mengungkung mereka berdua. “Menurutmu apa yang bisa kita lakukan?”

“Sejauh ini tidak ada. Penjagaan mereka sangat ketat, untuk mengantar makanan saja mereka melakukan pengamanan berlapis-lapis.”

Nanto manggut-manggut, dia benci situasi di mana dia tidak bisa memegang kendali. Ki Juru Martani jelas adalah seorang strategist yang mahir. Dia sudah merencanakan semuanya ini secara matang dan terinci. Nanto sudah pasti bukan apa-apanya dibandingkan dengan sang arsitek.

Si Bengal melirik ke arah Nada yang sangat kuyu. Wajah dan tubuhnya lesu. Semangatnya sedang dilanda sendu. Ayolah, Nanto – kamulah yang lelaki di sini, kamulah yang harus tahu bagaimana caranya menggiring opini kala seorang gadis merasa kalut dalam diri.

Si Bengal berdehem, membuat Nada berpaling padanya.

“Aku tahu situasinya memang sedang sulit, tapi percayalah, aku tidak membiarkan satu orang pun di tempat ini menyakitimu. Dengan cara apapun aku pasti akan melindungimu semampuku. Aku juga tidak akan membiarkan orang lain menyakitimu seandainya kita berdua sudah berada di luar sana,” ucap Nanto.

Wajah Nada memerah, dia tersenyum. Di luar sana. Apakah ucapan itu kelak akan memburu si Bengal seperti seekor burung elang yang memburu seekor tikus? Apakah Nanto tetap akan melindungi Nada di saat dia sedang bersama Kinan - kekasihnya yang sejati? “Aku senang kamu seperti itu, Mas. Menunjukkan sikapmu sebagai seorang laki-laki yang tidak lari dari tanggung jawab. Tapi sebaiknya jangan ucapkan janji yang kamu sendiri tidak yakin. Sekali lagi aku ingatkan kalau aku ini tidak butuh bantuan apapun. Apa yang terjadi pada kita sebelum ini sebaiknya dilupakan – hanyalah sebuah insiden yang hanya akan kita ingat sebagai sebuah kenangan buruk.”

Nanto menunduk. Bukan karena kecewa, tapi karena jujur ia memang merasa sangat bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi pada Nada setelah ini. Nada melihat wajah kecewa si Bengal, gadis itu pun mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Pacarmu cantik ya, Mas. Aku pernah ketemu sewaktu di cafe.”

Nanto tersenyum.

Ah ya, Kinan.

Berada di dalam ruang tertutup ini bersama Nada di bawah gempuran serangan psikologis dari Ki Juru Martani membuat Nanto melupakan sosok kekasihnya, Kinan. Dia juga pasti sangat khawatir karena tidak bisa menghubungi Nanto selama beberapa hari ini.

“Iya. Dia cantik.” Nanto tersenyum.

“Jadi minder kalau ketemu sama dia, wajahnya cerah banget, aura yang keluar bikin adem. Aku tahu pasti kenapa kamu memilih dia sebagai kekasihmu, Mas. Jaga dia baik-baik dan jangan sampai dilepaskan. Wanita seperti Kinan tidak ada duanya.” Nada ikut tersenyum, dia mengingat saat-saat yang menyenangkan di cafe The Donut’s Pub bersama Nanto, Kinan, dan juga mendiang Lady. Agak sesak rasanya dada Nada kalau ingat apa yang telah terjadi pada sahabatnya itu.



“Kenapa harus minder? Kalian berdua cantik dengan keindahan masing-masing. Kecantikan yang berbeda yang tidak bisa disejajarkan.”

Wajah Nada memerah saat Nanto menyebutnya cantik. Entah kenapa saat Nanto mengucapkan itu, ia menjadi sedikit salah tingkah – meski Nada sekali lagi langsung mengalihkan pembicaraan. “Hahaha... pret ah, bisa aja. Aku kan tidak cantik. Wajahku aneh, nyampur-nyampur kayak kombinasi es teler sama es putu mayang. Hihihi. Tapi begini-begini sebenarnya ada darah jepang sedikit lho, Mas.”

“Oh ya? Jepang ya? Pantesan cantik banget.” Nanto jadi teringat sesuatu yang sering ia dengar saat mereka berdua dan Lady ngobrol. Ia mencoba mengingat-ingat, “kalau tidak salah dulu almarhum Lady sering memanggilmu dengan sebutan hime, ya? Bener kan? Hime kalau tidak salah asalnya dari bahasa Jepang yang artinya putri.”

He’em.”

“Kalau begitu mulai sekarang, aku juga akan memanggilmu dengan sebutan hime.” Nanto nyengir nakal, “boleh?”

Nada tertawa, wajahnya semakin memerah seperti kue ku isi kelapa. “Boleh.”

Si Bengal tersenyum sembari menengadah menatap langit-langit ruang tempat mereka disekap.

Sedikit longgar kini perasaannya, tidak lagi tegang seperti tadi. Nanto amat sadar bahwa dia punya tugas untuk mengeluarkan sang putri jelita yang ada di hadapannya untuk keluar dari tempat yang mengerikan ini.

Setelah sukses memulangkan Nada pada orangtua dan kekasihnya, barulah Nanto akan merasa tenang. Barulah si Bengal punya muka untuk pulang dan bertemu dengan Kinan – meski tentu saja dia berniat untuk tutup mulut mengenai kejadian yang berlangsung di tempat ini.

Mana mungkin dia terus terang pada sang kekasih bahwa ia sudah meniduri wanita lain? Meski itu tanpa sadar dan di bawah gendam sekalipun, dia tetap merasa bersalah. Nada sudah berjanji untuk menutup mulut, maka demikian juga si Bengal.

Demi kebaikan bersama dan demi menjaga perasaan Kinan sang kekasih.

Sedang apa ya Kinan sekarang?

Si Bengal tiba-tiba rindu.

“Mas...”

Nada tiba-tiba memanggil Nanto, wajahnya takut. Si Bengal tahu apa yang menyebabkan Nada tiba-tiba saja merasa ketakutan. Pintu ruangan dibuka perlahan, sesosok pria masuk ke dalam.

Nada buru-buru pergi menemui si Bengal dan berlindung di sebalik badannya. Tapi saat sosok pria itu masuk ke dalam, Nanto justru terbelalak.

Orang itu meletakkan satu jarinya melintang di depan bibir – menandakan kalau Nanto dan Nada sebaiknya diam dan tenang.

“Jangan bersuara,” bisiknya, “Sekarang saatnya kalian keluar dari sini.”





.::..::..::..::.





Kandang walet sudah kembali kondusif.

Suasana sudah kembali aman.

Markas DoP kemarin diserang oleh pasukan RKZ di bawah pimpinan Roni, Albino, dan Tedi Ganesha. Namun alih-alih tunduk, kandang walet justru berhasil bertahan dan mengusir lawan-lawannya. Serangan lawan dimentahkan oleh anak-anak DoP dengan bantuan kelompok Aliansi baik itu dari kaki cabang Sonoz, Patnem Baru, ataupun Lima Jari yang membawa serta Rao yang langsung mengamuk. Seberapapun RKZ berusaha, mereka masih belum berhasil menembus pertahanan berlapis yang dikomando oleh Remon dan Simon Sebastian dari Sonoz, apalagi ketika Rao kemudian datang dan memporak-porandakan seluruh pasukan RKZ sehingga Tedi Ganesha meminta pasukan RKZ untuk mundur.

RKZ pun gagal dan kandang walet masih kokoh di bawah DoP.

Tapi di balik keberhasilan mereka, Aliansi justru tidak merasa puas. Serangan RKZ seperti serangan yang tidak serius karena tidak ada pentolan-pentolan RKZ yang turun tangan langsung. Tedi Ganesha, Roni, dan Albino? Kenapa mereka? Kenapa menyuruh tiga pemuda kelas teri untuk memimpin pasukan RKZ menyerang Kandang walet? Are we a joke to you?

“Jangan-jangan itu memang rencana mereka untuk mengalihkan perhatian kita?” ungkap Remon sembari ongkang-ongkang kaki di atas sebuah lemari tinggi, ia mencoba memberikan alasan kenapa serangan RKZ kemarin terkesan aneh. “Kemungkinan ada strategi lain yang sedang mereka susun sehingga meskipun seakan-akan mereka menyerang kita tapi sesungguhnya serangan mereka tidak serius. Jadi seolah-olah keberadaan mereka di sini seperti hendak merebut Kandang Walet – padahal ada maksud lain di balik serangan itu.”

Hageng mengangguk setuju. “Jangan-jangan ada bakwan di balik tempe mendoan. Mencurigakan. Zetuju dengan Bang Remon, zeperti ada yang mengganjal. Zeperti makan bakpia tapi yang dikukuz. Razanya berbeda. Itu zih bukan bakpia. Itu bolu kukuz.”

“Kalaupun ada alasan di balik serangan kemarin, aku tidak paham strategi apa yang sedang disusun, apa alasannya, dan kenapa dilakukan tiba-tiba.” Simon mengelus-elus dagunya, tanda ia sedang berpikir keras. “Tapi memang kesannya tidak serius. Berbeda dengan saat RKZ menyerang Sonoz tempo hari, kekuatan mereka lebih besar daripada kemarin dan jauh lebih massive. Serangan mendadak yang mirip tapi dengan kekuatan yang berbeda. Memang mencurigakan sih ya.”

Pertemuan antar pentolan Aliansi dilakukan di lantai teratas Kandang Walet hari itu – untuk membahas apa yang sebaiknya mereka lakukan selanjutnya setelah adanya serangan dari RKZ. Mereka yang hadir cukup bervariasi: dari DoP – hadir Rao dan Remon; dari Sonoz - ada Simon; dari Lima Jari – ada Deka, Hageng, dan Bian; serta terakhir dari Patnem Baru – hadir Beni Gundul.

“Ketua kita sudah cukup lama menghilang – dia tidak akan dapat dihubungi untuk sementara waktu. Jadi kepemimpinan sementara akan jatuh ke kedua wakilnya, Rao dan Simon,” ucap Remon. “Kalian berdua yang akan menentukan apa yang sebaiknya kita lakukan selanjutnya. Apakah kita akan membalas serangan ke RKZ? Kalau iya, bagaimana caranya? Kita tidak tahu secara pasti di mana lokasi markas mereka berada.”

Bian yang sejak tadi terdiam di belakang Deka dan Hageng terus menerus ngemil kacang cap dua marmut. Matanya berulang kali melirik ke arah Rao. Sejak kemarin mereka jemput dari lapangan Klabangan dan mengamuk untuk menghabisi anggota RKZ di Kandang Walet, Rao terus saja terdiam. Dia bahkan tidak terlihat berminat melakukan percakapan penting ini karena pikirannya melanglang buana.

Bian tersenyum, bahkan seekor hyena yang gila pun bisa jatuh cinta.

Bian mengangkat bungkus kacangnya dan berjalan perlahan menuju Rao sementara Deka, Simon, Remon, dan Beni Gundul membahas langkah-langkah terbaik yang harus mereka tempuh. Si Bandel itu lantas meletakkan kacang di samping Rao.

“Nyemil-nyemil dulu, Bos-e.”

Rao hanya tersenyum kecut, ia menggeleng. Pandangannya tetap mengarah ke jalan raya ringroad utara di bawah sana. Memandang lalu lalang mobil dan motor dengan pandangan kosong.

“Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu.” Bian membuka kulit dua kacang dan melesakkan isinya ke dalam mulut. Dia tidak ingin berbasa-basi dan langsung ke topik utama yang ingin dia incar dari sang hyena gila. “Kamu sedang mengkhawatirkan gadis itu, kan?”

Hrmph.” Rao mendengus, ia mencibir. “...sepertinya itu bukan urusanmu.”

“Memang. Tapi aku paling benci kalau ada jagoan yang meratapi nasib gara-gara cewek. Kalau ada orang yang kelamaan jomblo dan meratapi nasib karena kesepian, seharusnya itu aku. Tapi aku malah bahagia-bahagia saja seperti ini.” Bian tertawa, “setahuku Rao yang perkasa tidak pernah mempedulikan wanita manapun. Kalau sang hyena gila sampai fallen in love, itu tandanya gadis itu memang benar-benar istimewa sekali.”

Rao melirik ke arah Bian, “seperti yang aku bilang, itu bukan urusanmu.”

“Pasti. Paham kok, tapi aku juga pernah mengalami yang hampir mirip denganmu. Aku pernah menyukai seseorang – bahkan mungkin sangat menyukai sampai-sampai dia aku anggap sosok wanita yang paling sempurna. Tapi sayangnya gadis itu justru berpacaran dengan sahabatku, maka aku tidak memaksakan diri dan memilih mundur. Aku lebih mengutamakan persahabatan daripada cinta.” Bian melesakkan beberapa biji kacang ke dalam mulutnya. “Ketika gadis itu dan sahabatku putus, aku juga tidak buru-buru mendekatinya, aku lebih ingin dia meredakan hatinya dulu. Karena aku tahu pasti bagaimana rasanya sakit hati itu. Aku berusaha menjauh sampai merasa dia tenang. Kamu tahu apa yang kemudian terjadi?”

“Aku tidak peduli.”

“Betul sekali. Dia ternyata tidak peduli sama aku. Dia ternyata sudah pacaran lagi dengan cowok lain – yang mana juga sahabatku yang lain lagi.” Bian geleng-geleng. “Sepertinya kami memang tidak berjodoh. Aku juga yang bodoh, tidak kunjung menyatakan perasaanku padanya.”

“Sepertinya kasus kita berbeda. Aku juga sudah bilang sejak tadi, aku tidak peduli dengan urusanmu.”

“Apakah kamu sudah pernah menyatakan perasaan kepadanya secara langsung?”

“Belum.”

“Berarti kasus kita sama. Ini jadi pelajaran buat kita berdua. Lain kali kalau kita menyukai seseorang, jangan tunggu waktu terlalu lama untuk menyatakan perasaan padanya. Jawabannya kan hanya ada dua; diterima atau ditolak. Kita harus tegar menghadapi semua resiko jawaban yang diberikan, kalau diterima kita bersyukur, kalau ditolak kita tidak membuang waktu untuk menyakiti hati sendiri lebih lama. Kalau tidak menyatakan, apa jaminannya hati kita tidak akan sakit? Sama-sama sakitnya kan? Jadi lebih baik sakit tapi menyatakan daripada sakit dengan perasaan yang dipendam, dan hanya diam. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana perasaannya pada kita.”

“Sekali lagi... kasus kita sepertinya beda.”

“Anggap saja aku yang curhat.” Bian tertawa, Ia mengambil dua gelas kosong, dan membuka kaleng berisi bir. SI Bandel menuang bir ke dua gelas itu dengan isi yang setara. Ia memberikan satu gelas pada Rao. “Mari angkat gelasmu, kawan.”

Rao tertawa dan geleng kepala melihat ulah Bian. Ia mengangkat gelas birnya, terdengar bunyi dentingan, dan kedua pemuda itu menenggak bir mereka sampai ludes.

Sang hyena gila berucap lirih, “aku harap dia baik-baik saja.”

“Pasti. Karena setelah melalui ini semua, kami akan membantumu melacak dan mencari gadis itu. Kami pasti akan menemukannya. Jangan khawatir. Kalau sampai dia naksir seorang hyena sepertimu, dia pasti gadis yang kuat.”

“Kalau sampai kenapa-kenapa, aku akan membunuh Joko Gunar.” Tangan Rao tergenggam dan mengepal. “Aku tidak peduli kalau aku mati di tangan anggota PSG – yang penting aku bisa memenggal kepala si kodok besar.”

Bian mengangguk. “Aku juga punya dendam sama PSG. Mereka sudah membumihanguskan Patnem. Akan ada saatnya mereka semua mendapatkan ganjarannya.”

Terdengar satu sentakan terkejut dari sebuah ujung. Itu suara Deka. Si gondes itu sedang mengerutkan kening ketika para sahabatnya bertanya-tanya kenapa dia tiba-tiba berteriak, Deka meneguk ludah. “ada pesan WhatsApp.”

“Dari ziapa?” Hageng yang sedang mengikat betisnya dengan perban mengernyit kesakitan sesaat. “Zi Bengal? Apakah dia zudah berhazil menyelamatkan gadiz yang diduga diculik itu?”

Deka menggeleng. “Bukan. Sepertinya ada yang aneh.”

“Aneh bagaimana?”

“Ini dari Amar. Dia punya berita penting untuk Aliansi.”

Deka menatap Bian, Rao, Hageng, Remon, Beni Gundul, dan Simon.

Mereka tentu saja tahu siapa itu Amar Barok.

Berita penting apa?





.::..::..::..::.





Di kesunyian malam ini.
Ku datang menghampiri,
Dirimu yang pernah berjanji.
Sehidup dan semati.

Kuingin bersama.
Berbaring di dadamu.
Lupakan khianat yang lalu
.”



“Serius lah, Jay.” Brom tertawa. “Ya kali dari semua lagu yang bisa kamu nyanyikan malam ini, kamu memilih menyanyikan lagu itu. Mana ini pohon-pohon kamboja baunya bikin zombie pengen party.”

Jay terkekeh, “suasana dan dinginnya cocok, Brom. Ambience-nya dapet.”

Kedua orang itu menunggu sebentar sebelum pintu dibukakan. Ada satu orang lagi di belakang mereka yang juga menunggu pintu depan gudang RKZ dibuka.

TKO Johnson dan kawan-kawan penjaga mempersilahkan Jay dan Brom masuk, demikian juga orang di belakang mereka. Jay dan Brom melangkahkan kaki ke gudang barang-barang bekas yang mirip hangar itu.

Gudang barang distribusi milik RKZ yang berada di kawasan utara kota berdiri megah dan angker di sebalik malam yang gelap menyapa. Suasana luar yang senyap berbeda dengan kondisi di dalam yang teramat sibuk meski cukup rapat penjagaan. Mulai dari penjaga di dekat pintu depan, hingga para pekerja yang tengah mengemas barang.

Jay dan Brom berjalan dengan yakin menuju ruang perkantoran yang berada di belakang gudang. Keduanya bercakap-cakap mengenai keadaan terbaru di RKZ. Beberapa kali mereka berdua melewati orang-orang yang tengah memasukkan bubuk putih ke dalam plastik-plastik kecil. Sementara di sisi lain, beberapa orang pekerja melepaskan label pada botol-botol miras impor dan menggantikannya dengan tempelan brand cuka, sebelum memasukkannya ke dalam kardus.

“Kemana Bos Jenggo?” Brom bertanya pada Jay yang berjalan di sampingnya sembari memperhatikan kegiatan orang-orang itu.

“Pergi. Ga tau kemana dia, mungkin ada keperluan.”

Brom manggut-manggut.

“Tapi seperti yang tadi sore dia bilang – dia mengizinkan orang di belakang kita ini untuk ikut menunggunya di sini, katanya mau ada perintah yang mau disampaikan.” Jay memainkan permen lolipop di mulutnya. “Jan-jane yo wagu. Sudah disuruh datang, eh pas beneran dia datang malah ditinggal sama Bos Jenggo. Jadinya kita yang harus jadi babysitter. Asem. Nanti kamu ajak saja dia keliling dan melihat-lihat tempat ini.”

“Apa tidak berbahaya membiarkan orang seperti dia masuk ke sini?”

“Itu urusan Bos Jenggo. Dia yang memberikan ijin. Kita hanya mengikuti saja perintahnya. Lagipula tempat ini kan sementara saja.”

“Aku takutnya keputusan Bos Jenggo jadi blunder. Kekekeke... sama seperti waktu kita hendak menjemput Lek Suman - entah kenapa kedatangan kita bisa bersamaan dengan datangnya Kori dan Rikson. Saat kita laporkan situasinya ke si Bos, bukannya disuruh melawan mereka, eh kitanya yang justru diminta mundur. Aneh sekali. Bukankah kita membutuhkan cagak bebandan dari si orang tua busuk yang bau tanah itu? Kenapa harus mundur hanya karena kedatangan dua cecunguk kelas teri? Aneh sekali.”

“Memang aneh, tapi kalau menurut perkiraanku, sepertinya ada rahasia yang tidak disampaikan ke kita. Mungkin kedatangan kedua orang itu di luar perkiraan dan bisa mengacaukan rencana para petinggi. Itu sebabnya sewaktu aku menyampaikan ke Bos Jenggo kalau ada tiga kelompok yang memperebutkan Lek Suman secara bersamaan, tak lama kemudian Bos Jenggo justru meminta kita mundur. Kenapa bisa begitu, ya mana aku tahu.”

“Padahal dengan tambahan cagak bebandan di arsenal kita jelas akan menambah kekuatan menjelang perang besar. Sayang sekali.”

Jay mengangkat bahunya, “bisa saja karena ada alasan lain sehingga kita tidak membutuhkan keris-keris bertuah itu lagi.”

“Dari yang aku tahu, justru Kori dan Rikson yang akhirnya berhasil membawa Lek Suman. Kenapa Arhan Gunadi mengalah ya?”

Kuwi yo aneh jan-jane. Itu juga aneh. Dari segi kemampuan, Arhan Gunadi seharusnya berada di atas kedua orang pemuda itu, jadi aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja dia merelakan Lek Suman mereka bawa... atau mungkin karena dia ingin Oppa, Amon, dan Lek Suman yang secara kemampuan sedang tidak mampu bertarung bisa selamat dari Kori dan Rikson?” Jay tersenyum, “memang banyak yang aneh. Tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah Lek Suman si sukun goreng. Ini saat untuk memperkenalkan kawan kita yang baru ke gudang distribusi kita ini, sebagai pengenal untuk bisa mengenal RKZ lebih dalam.”

Jay terkekeh saat melirik ke belakang, disambung oleh tawa membahana Brom.

Semenjak Jay dan Brom berjalan bersebelahan masuk ke dalam gudang yang menjadi tempat distribusi barang haram milik RKZ. Tak jauh di belakang mereka, sesosok pria bertubuh tegap selalu mengikuti. Pria bertubuh tegap itu hanya mengenakan kaus kutung putih yang sudah tidak lagi putih karena bercak oli dan celana jeans yang robek-robek. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai dibiarkan tertiup angin malam sementara rokoknya terus mengebul, dan sepatu boot yang ia kenakan meninggalkan jejak-jejak bekas tanah yang becek di depan gudang.

“Hehehehe... Bos Jenggo pasti akan senang sekali menyambut kedatangan tamu agung seperti sampeyan,” ujar Jay yang tanpa malu-malu meledek orang yang berada di belakangnya. “Selamat datang di gudang kami, Amar Barok.”

Sang panglima singa emas hanya mendengus. Dia mengamati gudang megah yang disewa oleh RKZ itu dengan seksama – tempat ini cukup kokoh dan memiliki pertahanan berlapis. Tidak ada jalan masuk kecuali dari depan dan tidak ada lubang di manapun untuk lari. Mereka sudah memastikan tidak ada yang bisa keluar kalau sudah masuk.

Hmm.

Amar Barok menggerakkan kedua tangannya – melenturkan dan mempersiapkan. Ia mengencangkan handwrap tinju warna abu-abu yang ia kenakan. Tempat ini adalah lokasi yang penuh tipu daya, jadi ia harus bersiap dengan segala kemungkinan – kedatangannya kemari bagaikan membawa ikan masuk ke kandang buaya.

Brom yang memperhatikan Amar pun tersenyum. “Kita kesini bukan untuk bertarung, Mas Amar. Tidak perlu terlalu bersiap-siap seperti itu.” ucap Brom. Dia menatap mata sang panglima singa emas dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskan. “Yang perlu dipersiapkan hanyalah mental menghadapi Bos Jenggo yang pasti punya perintah khusus untukmu. Hehehee...”

Jay tiba-tiba saja berhenti saat mereka bertiga sampai di sebuah pertigaan lorong selasar. Dia membalikkan badan ke belakang dan tersenyum pada sang panglima singa emas. “Aku harus mengerjakan sesuatu yang penting, jadi silakan lanjutkan perjalanan bersama Brom. Dia akan membawamu ke belakang menemui Galung, Agun, Gamal, dan teman-teman lain.”

Amar hanya mendengus.

Jay tertawa melihat wajah Amar yang masam, ia kemudian mendendangkan sebuah lagu super jadul, sembari melenggang masuk ke lorong di samping dan melemparkan tangan bagaikan memberi hormat ke udara pada Amar.

Lima sembilan tujuh tiga angka untuk kamu,
ber-QSO lalu cherio.
Cup ah cup ah cup ah.
Hahahaha
.”

Sama halnya seperti Brom yang ragu-ragu, sebenarnya Jay sangat tidak setuju membawa Amar ke gudang distribusi RKZ. Ini seperti membawa seekor singa ke kandang menjangan. Entah apa yang dipikirkan oleh Bos Jenggo meminta Jay dan Brom membawa Amar ke tempat ini. Yang jelas dia sangat tidak setuju dengan keputusan itu.

Jay pun berjalan menyusuri lorong sendirian, meninggalkan Amar dan Brom. Mereka berdua menyaksikan Jay berjalan agak jauh sebelum kembali melanjutkan langkah.

Tapi tiba-tiba saja Brom memalangkan tangannya di depan Amar Barok.

Sang panglima singa emas menatap pria berjuluk gorila besar itu dengan seribu tanda tanya. Apa lagi maksudnya ini? Kenapa dia menahannya?

“Tetap berjalan ke depan, bersikaplah seolah-olah kita hanya berbicara hal-hal yang formal dan basa-basi. Di sini banyak CCTV.” Brom berkata dengan wajah tak menunjukkan perubahan.

Yo.” Singkat Amar menjawab. Dia masih belum tahu apa maksud dan kemauan Brom.

“Ada yang harus kita bicarakan,” bisik Brom sembari mendengus kecil, dia melirik ke samping dan ke depan untuk memastikan Jay serta yang lain sudah jauh dari posisi keduanya. “Kita harus bicara tentang seseorang yang kita kenal yang ditahan di tempat ini.”

Amar mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?”

“Ssst. Kecilkan suara sampeyan. Selain CCTV, lorong-lorong ini punya banyak telinga. Informasi yang hendak aku aku sampaikan hanya sampeyan saja yang boleh tahu. Termasuk ada baiknya kalau teman saya yang meninggalkan kita barusan tidak tahu kalau sampeyan juga tahu.”

Amar mengangguk. Apa lagi ini? Brom menyimpan rahasia dari Jay? Kenapa? Bukannya mereka berdua adalah partner yang kemana-mana selalu bersama? Amar Barok harus berhati-hati dan tidak gegabah menyikapi. Banyak sekali lika-liku di RKZ.

Brom mendekat ke sang panglima singa emas, “Aku punya satu informasi rahasia. Informasi yang sebenarnya tidak boleh bocor ke siapapun.”

Amar mendengus mendengarkan bisikan dari Brom. Kalau memang rahasia, lalu kenapa dia membicarakannya informasi ini dengan dirinya? Kenapa Brom mempercayai Amar Barok?

“Ada sebuah ruangan di tempat ini yang dikunci dengan empat keris cagak bebandan di setiap ujungnya, membentuk lingkaran penahan Ki yang maha ampuh yang membuat siapapun yang terjebak di ruangan itu tak bisa menggunakan Ki,” sang gorila besar mulai membisikkan kata demi kata yang berbahaya jika sampai diketahui orang lain. “Ada dua orang di sana. Pemuda berbakat yang memimpin kelompok anak muda di utara dan pemudi cantik putri seorang pimpinan dari selatan. Dua orang yang menunggu diselamatkan.”

Amar tidak perlu berpikir keras untuk langsung mengetahui siapa yang dimaksud oleh Brom. “Mereka sedang dicari kesana-kemari oleh empat kelompok besar, bahkan ada pergerakan dari JXG yang menyebar ke seluruh penjuru kota. Berarti benar ya selama ini mereka berdua ada di sini? RKZ yang menculik? Menarik. Sangat menarik... kalian benar-benar berani.”

“Semua itu karena perintah dari pimpinan, kami yang di bawah hanya mengikuti perintah saja.”

“Yang juga menarik dan mengherankan – darimana kalian bisa mendapatkan cagak bebandan - benda bertuah yang bisa mengubah jalannya perang? Bukankah benda-benda itu sulit sekali dicari lokasi keberadaannya?”

Brom mengangguk. “Keempatnya berasal dari pojok beteng, dibawa oleh penasehat RKZ yang berjuluk Ki Juru Martani. Entah bagaimana ia berhasil mengambilnya dari keempat wilayah itu.”

“Ki Juru Martani?” Amar mengerutkan kening, “siapa dia?”

“Orang yang lebih baik tidak kita kenal dan tidak pernah kita jumpai, dia sangat berbahaya.” bisik Brom yang sepertinya enggan menyebutkan nama di balik julukan Ki Juru Martani. “Yang lebih penting sampeyan ketahui... malam ini penjagaan akan sedikit berkurang karena para pimpinan tidak berada di lokasi ini. Ini kesempatan sampeyan untuk menyelamatkan mereka berdua.”

Amar sedikit terkejut, tapi lalu mengangguk.

Brom melirik ke kanan dan kiri saat mereka berdua sampai di suatu sudut yang tak terjangkau CCTV, setelah merasa semua aman, ia merogoh ke dalam kantongnya dan mengambil beberapa kunci yang terkait dalam satu lingkaran besi. Ia memberikannya ke Amar Barok.

“Aku tidak pernah memberikan kunci apapun pada sampeyan. Apalagi kunci menuju ruangan di bagian paling ujung kanan lorong ini dan kunci borgol sang pemuda di dalam ruangan. Aku tidak pernah memberikan kunci apapun. Aku hanya menunjuk ke arah toilet yang ada di sana.”

“Kamu tidak pernah memberikan kunci apapun. Kamu hanya menunjukkan arah ke toilet.”

Brom mengangguk – ia senang karena Amar akhirnya paham.

Tapi sang panglima singa emas masih penasaran. Apakah informasi ini valid? Dia tidak mau main-main dengan urusan yang serius seperti ini. Banyak sekali pihak yang akan terlibat jika informasi yang diberikan oleh Brom benar ataupun jika informasi itu salah – karena akan membahayakan posisi Amar di RKZ Apakah dia benar-benar yakin kalau ada ruangan di tempat ini yang menjadi lokasi penyekapan ketua Aliansi dan putri dari pimpinan JXG?

“Kenapa aku harus mempercayaimu? Apakah ini jebakan?”

Brom tersenyum dan terkekeh dengan senyuman misterius.

Dia meninggalkan Amar Barok sembari menggoyangkan kepala ke arah sebuah ruangan yang terkunci rapat di ujung paling kanan dari lorong tempat mereka berada.

“Jadi bagaimana? Ruangan tempat para anggota RKZ berkumpul ada di belakang sana, tapi kalau sebelumnya sampeyan tiba-tiba mau mampir ke ‘kamar kecil’ maka kami akan menunggumu di sana.” Brom tersenyum, “bagaimana – apakah sampeyan mau ke ‘kamar kecil’ dulu?”

Amar melirik kunci yang ia pegang, lalu ke arah ruangan di sebelah kanan. Jadi itu... tempat Nanto dan Nada disekap?

Baiklah.

Sang pemuda berbadan tegap itu pun mendengus dan tersenyum, tanpa gentar ia berjalan menuju ke arah ruangan di sebelah kanan sembari meninggalkan Brom.

RKZ beberapa kali melakukan blackmail pada Amar dan memintanya melakukan beberapa hal yang tidak ia inginkan sembari mengancam untuk menyakiti orang-orang yang dekat dengannya – termasuk orang-orang dari rumah makan padang tetangga ruko bengkelnya. Keterlaluan sekali mereka menculik dan mengancam orang-orang yang tak mengerti apa-apa itu. Mereka ini bajingan-bajingan yang menempuh segala macam cara.

Kini saatnya untuk membalas.

Brom bergegas meninggalkan Amar Barok.

Pria berbadan tegap itu berjalan dengan waspada untuk mencari celah posisi area yang mungkin tidak terdeteksi CCTV. Amar tidak ingin cari masalah terlalu awal, dia tentu tidak takut bertarung dengan siapapun – dia hanya tidak ingin terjadi pertarungan yang terlalu dini sehingga nasib Nanto dan Nada menjadi tidak menentu dan posisinya sebagai telik sandi Dinasti Baru menjadi kacau.

Jadi dia tidak ingin gegabah dan melakukan konfrontasi langsung – dia harus mencari cara yang paling taktis sekaligus memungkinkan.

Saatnya membebaskan mereka. Amar bergegas ke ruangan paling pojok. Ia melihat kunci yang diberikan Brom. Bangsat! Kenapa banyak sekali kuncinya? Satu persatu kunci dicoba oleh Amar, hingga satu kemudian berhasil membuka pintu yang teramat berat.

Ia pun masuk ke dalam satu ruangan pengap.

Amar menjumpai dua orang yang meringkuk di pojok ruangan, ia segera menyilangkan jari telunjuknya di depan bibir. “Jangan bersuara. Sekarang saatnya kalian keluar dari sini.”

Ia melemparkan serangkaian kunci yang tadinya ia bawa ke arah Nanto dan Nada yang terbelalak kaget dan meninggalkan mereka secepat mungkin.

Nanto mengejapkan mata. Itu tadi kan...?

“Ma... Mas Amar?”





.::..::..::..::.





Mang Kadir membawa gerobak nasi gorengnya melewati Jalan Raksa di kala malam – semangatnya tebal, nyalinya mekar. Ia maju tak gentar meski suasana jalan sangat gelap dan menyeramkan. Jalan Raksa memiliki reputasinya karena jalan yang menjadi penghubung dua jalan utama area perumahan besar di utara mal Hartawan itu merupakan jalan yang gelap dan sepi. Kalau bisa tidak dilewati, kenapa maksain? Itu pedoman para pengguna jalan tentang Jalan Raksa.

Jalan Raksa adalah jalan yang minim penerangan, lampu hanya ada di ujung jalan, tiga rumah raksasa yang ada di Jalan Raksa selalu gelap dan tidak pernah dihuni, apalagi di ujung sini dan ujung sana sama-sama digunakan sebagai lokasi pemakaman, belum lagi bentangan sawah dan ladang yang kalau malam terlalu tenang dan sepi. Dengan jarak antara jalan masuk dan keluar yang berujung di perumahan cukup memakan waktu yang lumayan kalau berjalan kaki, Jalan Raksa sangat tidak dianjurkan dilewati malam-malam sembari jogging – cari masalah banget kalau nekat.

Mang Kadir mungkin salah satu yang nekat.

Banyak anggota grup SATUBANG atau Serikat Asongan, Tukang Bakso, dan Nasi Goreng yang bercerita kalau malam-malam lewat sini, besok paginya hanya akan tertinggal gerobaknya saja. Abang-abang penjualnya sudah akan lenyap dengan meninggalkan sendal jepit merk Selow dan semangkok bakso atau sepiring nasi goreng yang baru dimakan tiga sendok saja.

Tempat ini memang konon katanya angker. Konon sih katanya begitu – tetapi Mang Kadir yang sudah berjualan nasgor keliling hampir tujuh tahun tidak takut dan tidak percaya konon. Kenapa? Karena Jalan Raksa adalah jalan tercepat untuk menuju ke perumahan terdekat yang jaraknya menjadi sangat jauh kalau harus memutar menggunakan jalan utama yang lebih terang dan ramai. Jalan Raksa menjadi jalan tikus andalan kalau dia mau sampai lebih dahulu dibandingkan tukang nasgor pesaing. Ini adalah tindakan yang efektif dan efisien demi mencapai break event point dalam penjualan atau kalau syukur-syukur bisa – justru memuncakkan grafik yang beberapa hari belakangan ini terus saja melandai.

Tapi Mang Kadir tetaplah manusia biasa. Dia bukanlah Mang Eloh yang seperti iron man.

Dia tetap bisa takut juga.

Terlebih lagi malam ini entah kenapa suasana jauh lebih mencekam dari biasanya. Dia yang konon tidak pernah takut menjadi sedikit merinding. Napasnya juga jadi lebih berat, mana gerobaknya entah kenapa jadi semakin berat didorong. Lengkap sudah penderitaan.

Jangan-jangan karena roda gerobaknya ditahan oleh tangan-tangan para memedi yang...

Hiiiiy.

Mang Kadir menggelengkan kepala. Hus ah! Malah berpikiran yang tidak-tidak.

Tapi beneran malam ini dinginnya beda. Kayak ada kulkas segede-gede gaban dibuka semua.

Tubuh pria setengah baya itu menggigil. Untuk menutupi ketakutannya, Mang Kadir berbicara pada gerobaknya – dia sering melakukan ini kalau kesepian, apalagi kalau baterai alat pemutar mp3 dan radionya belum di-charge. “Bak, wahai gerobak. Kenapa malam ini rasanya lebih dingin dari biasanya ya, Bak? Kamu jangan rewel ya, kalau kita bisa sampai di sana lebih cepat, siapa tahu dagangan kita laris. Kita bisa beli pemutar musik yang lebih bagus lagi. Jadi kalau lewat sini kita bisa nyanyi-nyanyi. Aku tahu kamu suka lagunya Twice secara aku juga nge-fans sama Tzuyu.”

Tentu saja tidak ada yang menjawab kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Mang Kadir. Kalau ada yang menjawab, dia malah bakal lari tunggang langgang!

Tapi serius lho. Malam itu terasa seperti malam yang berbeda. Seperti malam yang tidak akan pernah dilupakan oleh Mang Kadir.

Malam yang terlalu dingin dan senyap, hembusan napas sang penjual nasi goreng itu sampai terlihat bak uap meski dalam gelap. Serius nih. Malam ini sepertinya bukan malam yang bertaburan kabar baik. Asem, kok dadi wedi yo? Bayangan pepohonan menjadi sesuatu yang mistis dan menyeramkan, sawah yang lengang justru menjadi ladang menakutkan seandainya tiba-tiba saja ada yang muncul dari balik padi yang ditanam.

Mang Kadir menengok ke belakang. Dia mulai ragu-ragu untuk melanjutkan menyusuri jalan ini karena perasaannya tidak enak. Apakah sebaiknya putar balik saja ya? Tapi jaraknya sudah terlalu jauh – dia sudah setengah jalan.

Duh gimana nih? Mana kebelet kencing pula.

Apa sebaiknya kencing di dekat pepohonan yang rimbun? Siapa juga yang bakal tahu ye kan? Eh, tapi jangan deng. Takutnya nanti kalau kencing sembarangan, si tongki bisa bengkak alias gendelen. Mending nanti saja di WC umum di pombensin. Dia juga takut kalau sembarangan kencing – jangan-jangan dia mengganggu pohon keramat atau malah lebih parah lagi tidak sengaja menginjak nisan yang tak terlihat. Aduh aduh aduh, amit-amit lah.

Mang Kadir mengencangkan ikat pinggang dan menarik celananya.

Ditahan sebentar lah kencingnya. Maju yok. Bisa yok bisa.

Dia melirik ke arah pepohonan rindang. Tuh kan, pohonnya juga rindang, lebat, dan lembap. TKP-nya aja seserem itu, masa iya mau dijadiin lokasi buang air kecil? Cari masalah saja. Jangan-jangan malah jadi lokasi kerajaan jin pohon-pohon yang bentuknya begituan. Hhiiiiy, nggak ah.

Apalagi kalau bayangan yang ada di bawah pohon itu sampai bergerak, hiiiy. Serem banget. Mang Kadir mempercepat laju gerobaknya. Bayangan di bawah pohon itu kok sepertinya aneh ya? Bagian atas seperti berputar mengikuti arah gerobak Mang Kadir?

Haduh tulung tuluuuuung lah malam ini jangan dikasih lihat yang tidak-tidak. Jangan dikasih yang serem-serem... Mang Kadir belum pernah ketemu Isyana... huhuhu...

Daripada takut mending main tebakan aja, yuk. Ayo Mang, main tebakan dalam hati. Mang Kadir mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan berbicara dalam batin.

“Hantu-hantu apa yang disukai sama cewek-cewek?” Mang Kardi meneguk ludahnya sendiri sembari mempercepat langkah. “Pocongan harga.”

Srrkh.

Huwaaa? Suara apaan itu?

Eh, bener lho! Bayangan di bawah pohon itu bergerak! Pait! Pait! Pait!

“Huwaaaaaaaaaaaa...!” Mang Kardi tambah merinding dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak melihat ke arah bayangan yang menurut pandangan matanya bergerak-gerak dengan menyeramkan. Ayo tebak-tebakan lagi saja yuk. “Setan-setan apa yang hobinya ngibul? Sundel boong!”

Huwaaaa kenapa tebak-tebakannya soal ginian sih? Mang Kardi baru sadar.

Bayangan itu bergerak dengan sangat cepat, sehingga sekarang berada di depan gerobak Mang Kardi. Tepat berada di tengah jalan, menghalangi laju gerobak Mang Kardi untuk menuju komplek perumahan seberang. Duh aduh mampusmu kapan Mang?

Bayangan itu mendekat. Sosoknya seperti seorang wanita berambut panjang yang wajah dan pakaiannya tidak karuan. Wajahnya juga sangat seram karena tertutup rambut yang acak-acakan!

Panik ga? Panik ga? Ya panik lah, masa ga panik.

“Woy-lah! To-tolong...” Mang Kardi berteriak-teriak ketakutan. “Jangaaaaan mendekat! Jangaaaaan mendekaaaaat! Saya cuma jualan nasi goreng! Saya tidak pernah kencing sembarangan, saya tidak pernah menginjak nisan! Saya setia sama anak istri! Saya tidak pernah kirim wasap ke Marni janda kampung sebelah! Saya tidak pernah... eh... pernah deng kirim wasap ke Marni tapi cuman sekali aja... dua kali... eh tiga kali... huwaaaa...” Mang Kadir mencoba menutup matanya dengan menggunakan telapak tangan sembari menyisakan beberapa jemari terbuka sehingga dia bisa mengintip.

Tapi si setan itu tidak mengejar. Dia berjalan dengan tertatih-tatih. Tangannya menyorong ke depan. Mang Kardi melirik ke bawah. Sebentar-sebentar... setan tapi kok menapak tanah ya?

“To... tolong saya... Pak...”

Sosok wanita itu akhirnya ambruk di depan gerobak Mang Kadir.

Mang Kadir tersengal-sengal. Hidungnya mengeluarkan ingus saking takutnya. Keringatnya mengalir deras. Kenapa juga tadi lewat Jalan Raksa? Orang-orang pan sudah pada ngingetin jangan lewat sini, orang-orang suka pada ilang. Kenapa juga dia ngeyel? Beginilah kalau tamak pengen lebih cepet daripada saingan, boro-boro dapet duit dari goreng nasi, ini yang ada malah setan nutup jalan dia ga bisa kemana-mana. Maju kena mundur jauh. Mampus lah ini.

“To...” setan itu menggelengkan kepala, lalu menangis.

Weladalah kok nangis? Dadi tambah medeni. Huwaaaaa.

Tapi... ada sesuatu dari si setan yang membuat Mang Kadir penasaran.

Mencoba memberanikan diri dengan mengucap segala macam doa di setiap langkahnya, Mang Kadir mendekati sosok wanita yang tadi membuat jantungnya hampir copot. Kalau ini setan – seharusnya tidak bisa menapak tanah, kan? Masa iya juga ada setan pingsan di tengah jalan? Eh, tapi jangan-jangan mau menculiknya? Jangan-jangan rumor tukang nasgor yang diculik setan dan meninggalkan sendal selow itu beneran?

“Hiiiiy...” Mang Kadir menggeleng kepala, dia menarik gerobaknya untuk mundur. Demi apa dia mendekat ke arah wanita itu. Tidak. Tidak mau. Tidak.

Dia boleh miskin tapi tidak bodoh.

Mana ada hantu kok malah dideketin? Bodoh itu. Adegan bodoh yang hanya ada di film horor. Horor apa itu yang Malam Jumat Kliwon. Hiiiy. Horornya si Mbak Sunana yang makan sate nembus ke punggung. Hiiiy. Untung dia jualnya nasgor, bukan sate.

Jadi dia tidak mau mendekat. Tidak mau lah.

Mang Kadir memilih mundur.

“Tolong...” sosok wanita itu menarik sesuatu dari saku celananya, celana yang sudah tidak pada tempatnya karena menggantung turun di antara paha. Ia mengambil sesuatu dan melemparkannya ke Mang Kadir dengan menggunakan tenaga terakhirnya.

“Hiiiiiiiiyaaaat......!” Mang Kadir meloncat ketakutan ke belakang. Apaan yang baru aja dilempar?

Jangan-jangan bayi jin? Hiiiiy!!

Mang Kadir yang aslinya bernyali kini justru semakin jiper. Dia sudah bersiap untuk meninggalkan gerobaknya demi melarikan diri, tapi sesaat kemudian dia melirik ke arah barang yang dilempar oleh si setan. Cahaya lampu teplok dari gerobaknya memberikan penerangan seadanya yang malam itu berfungsi dengan baik.

Barang itu bentuknya kotak kecil.

Itu kan... dompet?

Mang Kadir mengerutkan kening dan mencoba memicingkan mata – mencoba memperhatikan lebih baik lagi di malam yang gelap dan menyesatkan pandangan. Ngapain setan nglemparin dompet? Jangan-jangan setannya mati penasaran karena belum bayar utang? Setan kredit?

Dia buru-buru bangkit dan menghampiri benda yang dilempar oleh si setan. Eh tapi beneran dompet dong. Mang Kadir membukanya. Ada beberapa lembar uang dengan bercak darah, jumlahnya tidak seberapa. Tapi ada satu barang yang sepertinya menarik perhatian pria tua itu.

Ia melirik ke arah si setan yang masih tergeletak tak jauh dari gerobaknya.

Lalu mendekatkan dompet itu ke arah lampu.

KTP.

Ini KTP asli kan?

Mang Kadir menengok kembali ke arah sosok setan yang sejak tadi ia hindari. Sembari berjingkat dan memberanikan diri, Mang Kadir mencoba mendekat selangkah, lalu selangkah, lalu selangkah hingga akhirnya dia benar-benar dekat.

“Tolooong...”

“Hyaaaa!” Mang Kadir menjerit kaget.

Si setan itu tiba-tiba saja berdiri dan bernapas dengan berat saat Mang Kadir mendekat.

Dia bukan setan.

Ini perempuan biasa yang sedang terluka!!

Sembari mengucap doa, Mang Kadir buru-buru menghampiri sosok setan yang sesungguhnya seorang gadis yang sedang terluka parah dengan darah di mana-mana. Tubuhnya kotor tidak karuan, entah cairan apa saja yang membungkus tubuhnya sekarang selain darah, bisa jadi air sawah atau comberan. Pelupuk matanya sembap, pandangannya kosong, tangan yang kiri sepertinya patah, dan bajunya... bajunya sudah morat-marit berantakan. Celananya melorot sampai ke paha, menampakkan celana dalam yang dikenakan seadanya. Bajunya kotor dan terbuka, bra yang dikenakan sudah lepas dan hanya bisa menutup satu buah dada.

A-apa yang telah terjadi?

“Mb-Mbak?” Mang Kadir buru-buru menghampiri gadis malang itu. Dia baru menyadari bahwa gadis ini ternyata sedari tadi sudah berusaha keras untuk meminta tolong tapi dasar dianya yang bego malah mengira gadis itu setan.

Mang Kadir harus segera menolongnya! Harus! Mang Kadir mulai panik saat melihat kondisi parah sang gadis. “Mbaaaak!? Waduh keno opo iki, Mbaaak? Kenapa bisa seperti ini?”

“Tolong saya, Pak... to...”

Gadis itu terkulai lemas. Ia kembali jatuh dengan lunglai, beruntung kali ini Mang Kadir bisa menangkap tubuh sang gadis sebelum benar-benar terjerembab jatuh. Gadis itu pingsan, matanya terpejam dan napasnya tak lagi berat – bahkan nyaris tidak ada.

Mang Kadir yang kini berubah menjadi khawatir terhadap sosok yang ia kira setan, sekarang berusaha membangunkannya. Gadis yang malang, kondisinya sangat mengenaskan. Dia teringat anaknya semata wayang yang sekarang berada di rumah. Usia gadis ini sepertinya sepantaran dengan putri tercintanya, membuatnya tidak tega. Aduh kasihan sekali.

Jemari keriput Mang Kadir dirintangkan di depan hidung sang gadis. Tidak ada udara berlalu. Ia mencoba merasakan detak nadi di pergelangan. Tidak ada, tidak ada detak terasa.

Hanya ada luka unik seperti tusukan lima jari di dada kiri sang dara. Luka yang mulai menghitam. Mang Kadir harus segera menyelamatkannya dan membawanya ke klinik dengan bermodal tanda pengenal sang dara! Mana tadi KTP-nya?

Siapa tadi namanya ya?

Ah ya.

Siapapun gadis bernama Tiara Maharani ini.

Gadis itu sekarat.

Mang Kadir harus bergegas.





.::..::..::..::.





Nanto dan Nada berlari menyusuri lorong demi lorong sembari bergandengan tangan. Sebisa mungkin si Bengal melindungi Nada dan membawanya keluar dari tempat ini dengan selamat. Mereka sudah tidak peduli lagi apa rintangannya, mereka harus selamat. Sayangnya tak mungkin bagi mereka berdua untuk meninggalkan lokasi tanpa terlihat oleh CCTV dan kamera pengawas.

Sirene berbunyi nyaring di seluruh penjuru gudang.

“Gawat. Sialan. Bajingan.” Nanto mengumpat, “Hime – jangan pernah melepaskan tanganku. Sampai kapanpun jangan kamu lepaskan.”

Wajah Nada memerah karena merasa begitu diperhatikan oleh si Bengal, tapi ia sadar ini bukan saatnya untuk malu-malu. Keadaan sedang sangat genting. Ia pun mengangguk dan berucap lirih. “Aku tidak akan melepas tanganmu. Sampai kapanpun.”

Erat keduanya bergenggaman.

Nanto dan Nada sampai di halaman antara gedung di bagian belakang gudang dan pintu depan, halaman yang penuh tumpukan barang bekas berukuran tinggi. Tempat ruang luas yang menjadi kuburan besi dan perangkat lain yang tak lagi berfungsi.

Terdengar derap langkah kaki yang menghentak-hentak tanah.

Nanto menggeleng kepala. Cepat sekali! Bangsat-bangsat penjaga gudang itu rupanya sudah mulai sadar kalau mereka berdua kabur. Orang-orang yang tadinya mengemasi barang dagangan seperti bubuk putih dan botol miras juga mulai menyadari kehadiran Nanto dan Nada. Mereka menatap si Bengal dengan pandangan membunuh. Orang-orang itu mulai meninggalkan pekerjaan mereka untuk mengejar si Bengal dan Nada.

Nanto mendesah panjang. Gawat kalau begini. Musuh terlalu banyak, tenaganya belum pulih seutuhnya, dan dia punya kewajiban melindungi Nada. Harus bisa bagaimanapun caranya! Bahkan kalau sampai berkorban diri! Ayo cari solusinya. Si Bengal melihat ke kanan dan kiri. Ia melihat tumpukan-tumpukan besi yang ditata di pinggir kanan dan kiri halaman. Mulai dari gedung belakang hingga pintu depan, penuh dengan barang bekas. Ibarat kuburan besi raksasa.

Hmm... mungkin itulah satu-satunya kesempatan mereka! Mereka berdua bisa memanfaatkan lingkungan yang unik ini. Harus dicoba kalau tidak mau mati konyol dikeroyok preman.

Untunglah ia mulai bisa merasakan aliran Ki-nya lancar mengalir ke seluruh tubuh, meski belum sempurna betul. Baiklah, mari kita coba. Ia melirik ke arah Nada, “Melompatlah ke punggungku. Aku gendong.”

“Hah? Tapi kan...”

“Kita tidak punya banyak waktu. Cepatlah.”

Melihat banyaknya orang yang hendak menyerang mereka, tanpa babibu pun Nada segera naik ke punggung si Bengal.

Nanto membungkuk sedikit, membiarkan aliran tenaga Ki mengalir lebih lancar dan ditahan sampai di posisi tangan dan kaki. Ketika orang-orang mulai datang dan menyerbu, aliran tenaga Ki yang ia tahan pun diledakkan!

Boom!

Si Bengal dan Nada langsung melesat tinggi bak roket ke arah tumpukan ban dan besi bekas. Pemuda itu pun segera berlari dan meloncat ke sana kemari sembari membawa tubuh Nada seakan-akan teramat ringan.

Kanan kiri, tumpukan kulkas tua, tumpukan besi bekas pagar, tumpukan besi bekas tiang. Kiri kanan. Tumpukan ban bekas, tumpukan motor tua. Kanan kiri. Kiri kanan.

Si Bengal berusaha keras untuk tidak mendengarkan teriakan-teriakan dan makian dari para prajurit RKZ yang sejak tadi mengejar-ngejarnya ke kanan dan kiri. Tugasnya hanya satu. Dia harus segera membawa Nada pergi dari tempat terkutuk ini, dia harus meyakinkan kalau Nada akan selamat!

Pintu ada di depan sana!

Nanto melesat ke depan.

Terdengar bunyi berdesing di telinga.

Mundur selangkah.

Gerbang kewaspadaan! Sudah aktif kembali! Nanto pun mengikuti apa yang diperintahkan gerbang pertamanya. Dia memundurkan kepala dan...

Swwwoooooossshhhh!

Brrrrkghhhh!


Tiba-tiba saja ada velg roda sedan melayang di depan kepalanya! Nyaris sekali! Sangat-sangat dekat! Seandainya saja tadi dia tidak mundur, ia dan Nada pasti akan terkena sambarannya!

Velg itu menghantam besi rangka langit-langit gudang dan langsung menimbulkan bunyi nyaring yang memekakkan telinga.

Gawat.

Nanto melirik ke bawah dan melihat ada seseorang berkulit legam yang rupa-rupanya sedang berlatih lempar cakram dengan menggunakan velg mobil dan dirinya sebagai sasaran. Ia tidak boleh berhenti! Nanto memanfaatkan kemampuan dan kecepatannya.

Satu demi satu velg dilempar ke atas.

Siaaaaal!

Maju. Kanan. Maju lagi. Turun.

Bagus. Terima kasih gerbang pertama. Nanto tidak membuang-buang kesempatan. Ia segera membawa Nada ke depan, lalu ke kanan, lalu maju, sebelum akhirnya si Bengal yang terengah-engah membawa Nada turun ke bawah. keduanya berada di antara dua kelompok penjaga gudang yang mulai menyergap dari sisi kanan dan kiri.

The eagle has landed.” Seorang pria bertubuh legam dan tegap melemparkan velg ke samping. Dia membuka bajunya sehingga menampakkan tubuhnya yang berkilat oleh keringat. Badan six-pack bak roti sobek dipamerkan dengan otot-otot yang besar dan rajin angkat berat. “Going somewhere sucka? Lewat dulu aku. Bertemu lagi untuk terakhir kali.”

Nanto mendengus, ia mencoba melindungi Nada sebisanya dari sosok TKO Johnson yang tinggi, besar, dan menyeramkan. Kulitnya yang legam dan berkeringat memantulkan cahaya keemasan dari sinar lampu.

Nanto mundur, ia menggenggam erat tangan Nada yang kini turun dari gendongannya. “Aku tak akan pernah meninggalkanmu. Aku janji. Tetaplah di belakang.”

“Iya.” Nada mengangguk, wajahnya khawatir melihat pasukan RKZ mulai menggerombol – apalagi datangnya si kulit legam.

TKO Johnson tersenyum, meski kesal melihat Nanto berada di luar ruang penyekapan, tapi dalam hati ia cukup senang melihat si Bengal lepas dari borgolnya. Karena sekarang ia bisa melakukan apa yang tidak bisa ia lakukan sebelumnya. Menghajar pemuda sialan ini sampai menjadi krappy patty!

Sang pria legam memukulkan tinju ke dalam kepalan tangannya sendiri. “First we fight.”

Nanto membuang ludahnya.

Si Bengal menatap tajam mata TKO Johnson, lalu menekuk kepalanya ke kanan dan kiri. Sembari tetap melindungi Nada di belakangnya, ia lantas menggemeretakkan jari jemari tangan kanan dengan tangkupan tangan kiri. Satu lawan berapa nih? Tidak saja ia harus mengkhawatirkan TKO, tapi juga kawan-kawannya yang lain.

“Maju kamu, roti sobek gosong. Kita buktikan saja semuanya sekarang.” maki Nanto penuh dendam.

Tapi sial buat si Bengal...

Belum lagi pertarungannya dengan TKO Johnson berlangsung, para kapten RKZ sudah datang – Jay, Brom, Gamal, Galung, dan Agun. Kelimanya hadir untuk menyaksikan pertarungan antara TKO dan si Bengal. Tak jauh di belakang mereka, Amar Barok juga hadir dan ia langsung menatap Nanto dengan pandangan khawatir. Sial. Mereka tidak berhasil lari terlalu jauh.

“Bagaimana dia bisa lepas?” tanya Agun terheran-heran.

Jay tersenyum, “tidak masalah bagaimana dia bisa lepas. Yang jelas Bos Jenggo sudah bilang – kalau sampai dia dan ceweknya lepas, hidup mati mereka sudah ada di tangan kita. Jadi itu artinya kini mereka jadi hak milik kita. Kemarin dulu kita pernah dipecundangi di bengkelnya Amar dan markas Sonoz. Tidak akan pernah lagi ada cerita yang sama. Tidak sekarang dan tidak nanti. Penggal kepala si bedebah itu – dan tiduri ceweknya sampai mampus!!”

Para anggota RKZ yang jumlahnya sekitar 20-an orang berteriak-teriak kesetanan.

Malam ini mereka pesta!

Amar Barok menatap mata si Bengal yang nyalang membara. Keduanya saling bertatapan saat menyadari kehadiran masing-masing. Apakah yang harus dilakukan oleh Amar Barok? Membongkar penyamarannya yang baru seumur jagung dan membantu si Bengal – atau sebaliknya? Menyelamatkan sahabat sang adik dan memupuskan harapan Om BMW untuk mengorek keterangan mengenai RKZ.

Yang mana yang harus dipilih?

TKO Johnson berteriak kencang, dia bersiap lari ke depan dengan satu tangan terkepal.

Tiba-tiba saja...

Terdengar suara deru beberapa motor meraung-raung di luar gudang. Bukan hanya satu motor saja, tapi ada beberapa sekaligus. Seorang pemuda RKZ yang tadinya berjaga-jaga di luar berlari masuk ke dalam dengan wajah panik. Keringatnya menetes deras, matanya tak henti-hentinya berkejap. Ia buru-buru berlari ke arah Jay dan Brom.

“Mereka dataaaaaang!”

Jay tersenyum sembari menggaruk-garuk leher, “Tenangkan dirimu dulu. Siapa yang datang? Daripada panik, lebih baik kamu tutup pintunya terlebih dahulu.”

Menyadari kesalahannya, pemuda yang baru masuk pun segera berlari untuk menutup pintu dengan terburu-buru. Karena pintu itu cukup berat, maka beberapa orang temannya sesama penjaga pintu gudang RKZ pun turut membantunya untuk mendorong.

“Siapa yang datang?” Jay mengulang pertanyaannya.

Pemuda itu meneguk ludah, “mereka...”

Satu kepalan tangan tiba-tiba saja menyeruak masuk ke dalam dan menghantam wajah pemuda yang baru saja masuk dan hendak menutup pintu.

Bledaaaaaaaaaaaammm!

Bak dihajar palu raksasa, pemuda itu terlempar ke belakang tiga meter jaraknya. Demikian juga dengan kawan-kawannya yang lain. Mereka terlempar dari pintu depan karena pukulan beruntun yang dilontarkan dari sela-sela pintu yang masih terbuka.

“Itu... pukulan geledek?” Nanto seperti mengenali pukulan yang baru saja terlontar.

Bledaaam! Bledaaam! Bledaaam! Bledaaam!

Empat orang menyusul terlontar disambar oleh pukulan yang membahana.

“Pintunya. Jaga pintunyaaaaaaaaaaaaaa!!” Jay berteriak kencang melihat orang-orang yang tadi berniat menutup pintu kini mulai kewalahan dan terkapar, para kapten RKZ pun buru-buru ikut maju ke depan untuk mencoba menutup pintu bersama dengan para prajuritnya.

Tapi mereka terlambat.

Beberapa orang penyusup sudah masuk ke dalam. Pintu terbuka lebar. Siapa yang masuk? Mereka adalah Simon, Deka, Hageng, Bian, dan Beni Gundul – para anggota Aliansi.

“Heheheh. Apa kabar para sampah?” Bian tertawa-tawa saat melihat para penjaga terkapar dihajar pukulan geledek. Dia melambaikan tangan pada para kapten RKZ. Eh ketemu lagi ya ternyata. “Kalian lagi-kalian lagi. Muka udah kek pengki bau tae. Kapan sih kapoknya ga bikin masalah?”

Simon tersenyum sembari memainkan kepalan tangannya. Ia melirik ke samping dan mendapati Nanto dan Nada yang lega melihat wajahnya. “Halo! Kalian berdua baik-baik saja kan?”

Nanto tersenyum lebar. “Untunglah kalian semua datang!”

“Simon!” Nada menempel pada si Bengal. Ia pun bertanya, “Aku kenal dengan Simon, tapi tidak yang lain. Siapa mereka?”

“Jangan khawatir. Mereka teman-temanku. Kita selamat.”

“Hahaha... apa kabarmu, Boz?! Kami kangen dan rindu zekali...” Hageng melambaikan tangan pada si Bengal. “Zekian lama tak berjumpa, hati razanya gelizah ingin membuat pantun dan puizi. Baiklah. Untuk merayakan pertemuan ini, maka aku akan.... hahaha... aku akan menyumbangkan zebuah pantun berjudul tempoyak...”

Belum selesai Hageng berbicara, tiba-tiba saja terdengar bunyi berderak hebat. Dua tumpukan besi bekas berukuran tinggi sekitar empat sampai lima meter yang berada di halaman dalam gudang ibarat terkena gempa bumi lokal. Keduanya bergetar hebat hingga menimbulkan bunyi teramat kencang.

Nanto buru-buru menarik Nada ke tempat yang lebih aman.

BRrrrrrrgkkkkkkkkhhhhhhhhh!!!

BRrrrrrrgkkkkkkkkhhhhhhhhh!!!


Dua tumpukan yang tinggi bagaikan tower itu pun ambruk ke bawah, beberapa anggota RKZ berlarian mencoba menyelamatkan diri sementara beberapa anggota Aliansi juga mencari tempat yang lebih aman. Suasana menjadi kacau dengan sangat tiba-tiba.

Belum sampai efek kejutan dari runtuhnya tumpukan besi bekas mereda, dua tumpukan berikutnya menyusul rubuh.

BRrrrrrrgkkkkkkkkhhhhhhhhh!!!

BRrrrrrrgkkkkkkkkhhhhhhhhh!!!


Amar mundur ke belakang, dia bertatap-tatapan dengan Deka dari kejauhan. Sama-sama berharap untuk keselamatan masing-masing.

BRrrrrrrgkkkkkkkkhhhhhhhhh!!!

BRrrrrrrgkkkkkkkkhhhhhhhhh!!!


Tumpukan kelima dan keenam runtuh. Suasana menjadi semakin kacau, bunyinya nyaring tak karuan. Tumpukan debu bercampur dengan tanah. Di mana kawan, di mana lawan? Sudah tak lagi terlihat dengan jelas.

Aliansi yang mengira kedatangan mereka mengagetkan, justru dikejutkan dengan rentetan runtuhnya tumpukan besi yang mengancam keselamatan semua orang. Siapa yang tiba-tiba saja datang dan memporak-porandakan tempat ini?

Debu-debu tinggi mulai turun.

Nanto memicingkan mata. Ia melihat empat bayangan berkelebat. Tenaga Ki yang terpancar ini... hebat sekali! Siapa yang telah datang?

Tiga bayangan berdiri di atas tumpukan besi yang baru saja rubuh. Tiga bayangan menyeramkan. Bambang Jenggo, Alang Kumitir, dan Tunggul Seto.

Sang pemimpin lapangan RKZ itu tersenyum lebar sembari menunjuk satu persatu anggota Aliansi yang baru saja masuk ke dalam gudang. “Mau bikin pantun? Aku kasih satu pantun. Pohon delima pohon jati.... Malam ini... akan ada yang mati.”

Hageng meneguk ludah.





BAGIAN 22 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 23


NB : Selamat lebaran bagi yang merayakan. Mohon maaf lahir batin, dab!
Sedap sekali updatenya masbro...eh bung @killertomato..
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd