Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 23
MENYELAMATKANMU






“Seberapapun penting atau betapapun dibenarkan,
jangan pernah berpikir kalau perang bukanlah kejahatan.”
- Ernest Hemingway






Aliansi telah hadir di gudang distribusi barang milik RKZ.

Kedua kelompok itu jelas tidak kompatibel.

Hanya dalam hitungan menit pertarungan akan segera dimulai, darah akan segera tumpah, tubuh-tubuh akan segera bergelimpangan, dan nyawa akan segera dipertaruhkan. Perhatian khusus si Bengal kini fokus pada keselamatan Nada. Gadis yang sejak tadi ia lindungi itu harus segera dibawa pergi dan diselamatkan dari gudang yang akan menjadi gelanggang pertempuran kedua kubu yang sudah jelas tidak akan saling bersabar. Gadis itu harus selamat. Nada harus selamat. Itu janji yang paling penting yang saat ini harus ia tepati.

Melihat kawan-kawannya mulai berkumpul, si Bengal akhirnya yakin tentang keputusan yang paling ia yakini tentang Nada. Nanto menatap Nada dengan pandangan mata lekat, pandangan mata penuh kekhawatiran sekaligus menenggelamkan Nada – sesuatu yang tidak akan pernah dilupakan sang gadis kelak.

Hime, dengarkan aku baik-baik. Ini saatnya. Kamu harus segera pulang. Keadaan akan menjadi sangat berbahaya dan kamu tidak boleh berada di sini.” ujar si Bengal yang terus menggenggam tangan Nada dengan erat sembari membawanya mendekat ke arah rombongan Aliansi. “Secara realistis, aku tidak akan bisa melindungimu sembari menghadapi mereka. Aku tidak bisa menjamin keselamatanmu jika kamu tetap berada di tempat ini. ”

“Ta-tapi aku... tidak...”

Suara Nada terdengar tercekat saat ia menghentikan kalimatnya. Gadis itu sebenarnya tidak ingin berpisah dari si Bengal karena dia merasa jauh lebih aman jika selalu bersama-sama dengan pria yang selama penyekapan selalu berusaha melindunginya itu, tapi dia juga paham kalau dia tetap berada di gudang ini, itu artinya dia akan menjadi beban bagi si Bengal dan kawan-kawan. Keberadaannya hanya akan merepotkan.

Nada lantas terdiam. Sebagai putri dari seorang pimpinan kelompok gangster dia tahu apa yang harus dia lakukan dalam kondisi seperti ini; yaitu mengikuti semua perintah yang si Bengal tanpa membantah. Dia akan menurut dan tahu waktunya untuk bersama-sama Nanto telah sampai di penghujung pertemuan. Meski begitu, tangannya terus menggenggam tangan si Bengal, bahkan lebih erat. Dia tahu ini adalah saat-saat terakhir dan ia berharap mereka dapat bertemu kembali kelak. Sampai saatnya tiba, tidak ada yang lebih ia harapkan selain keselamatan pemuda itu.

Ndes, aku butuh satu orang untuk mengantar cewek ini pulang.” Nanto mendekat ke arah Deka sembari menggandeng Nada. “dia akan terus berada dalam bahaya kalau tetap berada di tempat ini. Nada inilah cewek yang diculik RKZ, kita harus mengantarnya pulang ke orangtuanya di bagian selatan kota. Tapi pastikan orang yang akan mengantarkannya itu punya kemampuan karena aku tidak ingin ada orang-orang RKZ yang akan menghadang mereka di jalan nanti. Sebelum dia benar-benar sampai di tangan ayahnya, aku tidak akan merasa tenang.”

Deka mengangguk, dia lalu mencari-cari orang yang akan mengantarkan Nada pulang. Tapi siapa? Mereka hanya akan mengurangi kekuatan Aliansi kalau dijumput salah satu punggawa yang kuat. Siapa yang bisa diminta mengantarkan Nada? Mungkin salah satu kapten dari DoP atau Sonoz akan lebih...

Satu orang maju ke depan Nanto dan Deka.

“Nada? Aku saja. Aku yang akan mengantarkannya pulang. Aku tahu tempat tinggalnya, aku juga sudah kenal dengan keluarganya. Rasa-rasanya aku bisa dengan aman mengantarkannya. Kalian tidak akan pernah tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya kalau Nada diantar oleh orang yang tak dikenal.” Simon mengajukan diri. “Setelah mengantarkannya, aku akan kembali kemari secepat yang aku bisa.”

“Mas Simon...” Nada memang mengenal Simon, pemuda yang dulu sering jalan bareng dengan mendiang Abi sepupu Nada.

Simon tersenyum lembut pada Nada.

Deka dan Nanto bertatapan, lalu sama-sama mengangguk dengan berat hati. Simon adalah salah satu pilar kekuatan di pihak Aliansi, kehilangan dirinya dalam pertarungan ini berarti kehilangan kekuatan yang cukup besar. Tapi itu tidak berarti mereka akan lantas menyerah kalah begitu saja di hadapan RKZ, dengan ataupun tanpa Simon, Aliansi tetap akan berusaha.

“Aku titipkan anak-anak Sonoz padamu,” ucap Simon pada Hageng.

Hageng mengangguk. “Ziap, Boz. Kami akan pezta malam ini.”

“Baiklah, Simon yang akan mengantarkan gadis ini pulang – sementara kita menunggu kedatangan Rao dan Remon dari DoP.” Deka mulai mengatur pasukan di belakang mereka. Dia memukul pundak sang pemuncak gunung menjulang, “Aku harap kamu segera kembali. Kita benar-benar butuh geledek.”

Simon mengangguk. “Nada, yuk? Lebih cepat lebih baik.”

Tangan Nada masih menggenggam erat jemari si Bengal seakan tak mau lepas. Nanto membalik badannya dan bertatapan langsung dengan gadis jelita yang kini wajahnya terlihat kuyu dan teramat lelah itu. Si Bengal merapikan rambut Nada dan membersihkan wajahnya yang kotor dengan punggung tangan.

“Sekarang saatnya kamu pergi dengan Simon. Kamu pasti selamat sampai di rumah seperti yang sudah aku janjikan,” ujar si Bengal sembari tersenyum lembut pada Nada.

Ada tirai air mata yang menggenang di pelupuk mata gadis itu, sudah siap untuk tumpah tapi tidak dia biarkan. Nada menahan diri untuk tidak jadi gadis yang cengeng. Meski suaranya tercekat, tapi tak ada tangis yang meleleh. “Terima kasih banyak, Mas. Terima kasih untuk semuanya.”

Nanto melepaskan genggamannya. Ia mendorong lembut pundak Nada untuk segera pergi dengan Simon. “Berhati-hatilah kalian, ancaman masih belum usai – bisa saja di jalan nanti akan ada serangan dadakan.”

Simon mengangguk. “Siap, Bro. Tenang saja, aku pasti akan mengantarkannya ke rumah dengan selamat. Kalian habisi saja RKZ dengan sekuat tenaga.”

Nada masih tak melepas pandangannya dari si Bengal, “Mas...”

“Hmm?” Nanto menatap Nada.

“Berjanjilah kamu akan baik-baik saja.”

“Aku akan baik-baik saja.”

“Berjanjilah kita akan berjumpa lagi kelak.”

“Kita pasti akan berjumpa lagi kelak, kita kan masih kuliah bareng.” Nanto mengedipkan mata.

Nada tertawa kecil dan mengangguk. Ia berlari bersama Simon keluar gudang, sempat ketika hendak melalui pintu, gadis itu sekali lagi melirik ke dalam dan menatap mata Nanto lekat-lekat. Si Bengal masih terus mengawasi kepergian Nada dari jauh. Gadis itu mengucapkan kalimat di udara, entah Nanto mendengarnya atau tidak – yang jelas ia mengucapkan terima kasih untuk yang kesekian kalinya.

Nanto terus mengamati sampai gadis itu benar-benar tak terlihat lagi. Saat Nada sudah pergi, Nanto kembali berjajar dengan anggota Aliansi yang ada di depannya.

“Baiklah, bagaimana kondisi kita saat ini?” tanya si Bengal. “Kepergian Simon jelas menurunkan kekuatan kita. Tapi itu tidak berarti kita akan menyerah begitu saja pada bajingan-bajingan RKZ. Saatnya membereskan urusan kita dengan mereka sekali untuk selamanya meski kondisi kita sedang sangat compang-camping dan kelelahan.”

“Baiklah, kita coba atur strategi. Pertama kita mulai dengan menghitung kepala,” ujar Deka. “Ada Nanto, aku, Bian, Hageng, dan Beni Gundul. Di belakang kita ada pasukan ex-Patnem dan gabungan DoP-Sonoz. Ada Jo, Bondan, dan Surya dari DoP, sedangkan dari Sonoz ada kapten mereka, Si Jack dan Abed. Jumlah pasukan kita lebih banyak dari mereka, tapi rasa-rasanya masih belum cukup kalau melihat lawan kita berjajar lengkap ada Agun, Gamal, Brom, Jay, Galung. Itupun masih ditambah si kulit hitam itu, Mas Amar, dua hulubalang, dan tentunya Bambang Jenggo sendiri.”

Nanto menatap sengit ke arah TKO Johnson dan Bambang Jenggo, “si kulit legam itu bagianku. Begitu pula dengan bos RKZ. Mereka yang paling bertanggung jawab atas kematian Lady, jadi aku harus menuntaskan dendam.”

“Brom bagianku.” Hageng yang masih berjalan pincang tersenyum. Kondisinya memang masih belum pulih betul dan ia harus memaksakan diri. “Bongzor lawan bongzor.”

“Aku yang mana saja boleh.” Bian terkekeh, “asal masih bisa dipukul, hayuk aja.”

“Setuju sama Bian.” Beni Gundul mengangguk. “Aku juga tidak peduli mau berhadapan sama yang mana.”

“Aku yang akan menghadapi Amar Barok. Kakakku itu tidak akan main keroyok, itu bukan style-nya. Jadi sebelum aku berhadapan dengan dia, aku akan mencoba bertarung dengan punggawa RKZ lain. Seandainya aku kalah, maka kuserahkan Amar pada Nanto.” ujar Deka sembari menatap kakaknya yang menatap balik tanpa ekspresi peduli. “Mas Amar... entah makan apa dia sampai-sampai mau berdiri di sisi RKZ. Akan aku getok batok kepalanya.”

“Amar-lah yang tadi membantu aku keluar dari sekapan,” bela Nanto. “Jadi aku berpikir sepertinya dia masih punya nurani. Aku juga tidak tahu atas kepentingan apa dia berdiri di sisi Bambang Jenggo. Aku harap dia masih bisa kita bujuk untuk bergabung dengan Aliansi.”

“Bagaimana dengan kedua hulubalang yang mengerikan di samping si Jenggo? Mereka sepertinya bakal jadi lawan yang alot,” tanya Bian. “Aku tidak melihat kita sanggup melawan mereka dengan mudahnya.”

Kraaaaaaaaaaaooooook!

Terdengar teriakan seperti seekor Elang yang tiba-tiba membahana di langit-langit gudang. Ada dua bayangan berkelebat di atas para anggota Aliansi dan melompat dari satu kontainer ke kontainer lain hingga akhirnya berdiri tegap di kontainer yang paling tinggi. Entah sejak kapan mereka berdua masuk ke dalam dan sejak kapan mereka berdua bisa naik ke tumpukan tinggi itu, gerakan keduanya cepat sekali sehingga susah diamati oleh mata telanjang.

Adalah keduanya yang baru saja menirukan lengkingan burung elang yang menjerit kencang untuk memberikan penanda kehadiran mereka. Nanto mengejapkan mata, siapa yang berdiri di atas sana? Sosok itu...? Tidak mungkin. Itu kan si...?

Deka mengayunkan kepalan ke udara dengan senang. “Yes. Tambahan dua orang lagi. Roy dan Pasat sudah datang. Mereka yang akan berhadapan dengan kedua hulubalang”

“Roy!?” Nanto menyentuh pundak Deka, dia tidak salah dengar kan? “ROY!?”

Deka mengangguk dan tertawa saat melihat rekahan senyum lebar di bibir sang sahabat, kabar yang menggembirakan itu membuat semangat anggota Lima Jari kembali menyala-nyala. Senyum merekah di bibir Deka dan Nanto juga diikuti oleh Bian dan Hageng. Akhirnya ada juga kabar gembira untuk mereka semua setelah apa yang dilalui beberapa hari belakangan ini. Bahkan jika saat ini mereka sedang menjadi underdog saat berhadapan dengan RKZ.

“Roy masih hidup, nyuk. Dia datang membantu kita meski saat ini kondisinya juga sedang tidak full seratus persen,” Bian membantu menjelaskan. “Pasat yang berdiri di sebelahnya juga mulai sering membantu kita.”

“Pasat?”

“Orang QZK, ceritanya agak panjang. Akan aku jelaskan nanti kalau semua sudah beres. Sekarang bukan saat yang tepat untuk bercerita panjang lebar.” Deka tersenyum sembari menepuk pundak si Bengal, “sekarang lepaskan semua kekuatanmu tanpa perlu takut kami akan membebanimu. Kami pasti bisa membantu. Jangan khawatirkan kami.”

Si Bengal mengangguk – meski kemungkinan belum bisa mengeluarkan semua Ki karena harus memulihkan diri tapi paling tidak dia bisa mulai bertarung secara jantan dengan bajingan-bajingan dari RKZ ini. Dia juga punya kawan-kawan yang amat dia percaya yang sudah pasti akan sanggup menghadapi lawan mereka masing-masing.

Yang tentu saja lebih menggembirakan lagi adalah...

“ROOOOY!!” Nanto berteriak kencang.

Di atas tumpukan besi tua, sang pengendara angin melambaikan tangannya sembari tertawa. Dia mengangkat jempolnya ke udara tinggi-tinggi. “Ayo maju, Bos!!”

Nanto mengangguk dan ikut mengangkat jempolnya tinggi-tinggi ke udara. Meski rasanya ingin sekali ikut ke atas sana dan menjumpai Roy, tapi sekarang bukan saatnya untuk itu. Mereka sedang berhadapan dengan RKZ yang bengis dan keji yang harus segera dituntaskan.

Si Bengal mengalihkan pandangan untuk menatap penuh kebencian pada TKO Johnson yang sedang menyeringai ke arahnya dari kejauhan. Pertemuan mereka berdua sepertinya sudah ditakdirkan dan tak bisa dielakkan.

Tanpa menengok, Nanto bertanya pada Deka, “Ndes, tidak ada lagi yang harus diperbincangkan kan?”

Deka menggeleng. “Tidak ada. Anak-anak di luar juga sudah siap. Mereka sedang mengepung orang-orang RKZ. Tinggal menunggu komando.”

“Sudah saatnya. Pada hitungan ketiga, kita berikan neraka.”

Seluruh anggota Lima Jari dan Aliansi bersiap.

Nanto merunduk ke bawah dan mengambil pose seperti seorang pelari yang hendak melaju kencang. Genggaman tangannya dihentakkan ke tanah, kepalanya mendongak. Matanya tajam menatap ke depan ke arah si kulit legam yang menjadi incaran utamanya.

“Satu... dua...” si Bengal mengangkat dan mengayunkan lengannya, “Bantai.”

“Woryaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”





.::..::..::..::.





“Sial.”

Gamal mendengus kesal saat melihat tiba-tiba saja ada lubang menganga di bagian depan gudang. Bagian tembok yang kurang kokoh dirobohkan secara paksa oleh orang-orang Aliansi, membuat pintu depan terbuka lebar. Tepatnya sih bukan pintu depan yang digunakan untuk keluar masuk, tapi pintu yang terbuat karena robohnya dinding yang lebih ringkih di sebelah kiri pintu utama.

Lubang yang menganga besar itu kini menjadi akses keluar masuk anggota Aliansi yang menyerbu ke dalam sekaligus jalan bagi penjaga gudang RKZ untuk mendorong mereka keluar. Pertemuan rusuh terjadi di dekat lubang.

Jenggo tertawa. “Hahaha. Bangsat-bangsat yang kreatif. Kenapa harus lewat pintu kalau bisa menjebol dinding? Haahaha. Wasu.”

“Kita harus berjaga di sana, jangan sampai ada yang bisa masuk!” gemas Gamal melihat lubang itu. Dia memanggil dua orang pasukan RKZ, lalu memberikan komando. “Usir mereka keluar!”

Kedua orang itu mengangguk dan mengajak kawan-kawan mereka untuk menghalau pasukan Aliansi. Pertempuran pun pecah.

Bambang Jenggo melambaikan tangan untuk memanggil Tunggul Seto dan Alang Kumitir. Kedua hulubalang segera hadir di hadapan sang pimpinan. Jenggo mulai mengatur strategi, “Pertama; kalian berdua pastikan semua pasukan kita yang ada di dalam gudang berpindah untuk fokus bertarung di luar. Kirim Jay, Gamal, Galung, dan Brom untuk memimpin mereka menghabisi orang-orang Aliansi. Pastikan kalau cecunguk-cecunguk Aliansi itu tidak ada yang bisa masuk – akan jadi sangat berbahaya kalau mereka bisa masuk terlalu jauh apalagi kalau bisa sampai ke tempat penyimpanan dagangan di belakang. Itu yang pertama. Yang kedua, kita utamakan keselamatan barang-barang dagangan yang masih disimpan di dalam dengan menyelamatkan apa yang bisa kita selamatkan.”

“Kami akan menghalau mereka semua keluar. Tapi bagaimana dengan pentolan-pentolan Aliansi yang sudah ada di dalam?” tanya Alang.

Jenggo tersenyum lebar, “Hehehehe. Ya mau gimana lagi? Kita harus menjamu mereka dengan baik. Apa susahnya berhadapan dengan anak-anak kampus yang sotoy? Salah mereka sendiri kok mau mati konyol.”

“Jadi?” kali ini giliran Tunggul yang ingin memastikan.

“Perintah yang ketiga; habisi pentolan-pentolan Aliansi sampai tak ada yang tersisa!”

Alang Kumitir dan Tunggul Seto saling bertatapan dan tersenyum. Mereka mengangguk dan langsung menuju unit mereka masing-masing untuk mengatur area pertahanan. Jumlah anggota RKZ yang berada di gudang malam ini tidaklah banyak, karena sebagian sedang menyebar di luar dan sebagian lagi istirahat usai pertarungan di Kandang Walet. Kondisi gawat darurat sudah disebarkan pada seluruh anggota dan mereka pasti akan menyusul ke gudang.

Meski saat ini kalah jumlah, hal itu jelas tidak menjadikan RKZ takut karena mereka punya punggawa-punggawa yang mumpuni dan sanggup menghadapi anak buah Aliansi dengan mudahnya. Dengan teriakan membahana, pasukan RKZ pun berlarian keluar – melabrak pasukan Aliansi yang mengepung. Pertempuran di pintu depan gudang tak terelakkan.

Jay, Gamal, Galung, dan Brom memimpin pasukan RKZ, sementara dari sisi Aliansi ada gabungan kapten DoP dan Sonoz yaitu Jo, Bondan, Surya, si Jack, dan Abed. Seimbang? Jelas tidak. RKZ punya pasukan yang terbiasa bertarung di jalan dan Aliansi hanya terdiri dari anak-anak kuliahan yang sudah kelelahan. Saat ini satu-satunya keunggulan mereka hanyalah jumlah.

Teriakan demi teriakan terdengar. Tubuh-tubuh mulai roboh bergelimpangan.

Saling mengancam, saling menghajar. Dua kubu beradu kuat, mencari kelemahan, dan sama-sama berusaha untuk memupus harapan. Baku hantam langsung terjadi, tanpa menunggu babibu dan basa basi. Pukulan dilepaskan, jotosan dihempaskan, pukulan dilontarkan, tendangan dilayangkan, sepakan dilakukan, dan tubuh demi tubuh pun jatuh bergelimpangan. Darah muncrat tertuang di tanah kala luka terbuka dan semburat.

Siapa yang menang, siapa yang kalah? Tidak bisa ditentukan dengan mudah. Jangan-jangan imbang? Tidak juga bisa dipastikan - karena kedua kubu masih saling menyerang.

Kraaaaaaaaaaaaaaoooook!

Suara teriakan laksana elang terdengar dari kejauhan, menimbulkan ngeri di hati mereka yang mendengarkan, itu suara burung atau mbak kunti? Dua orang pemuda yang tadinya berada di atas kontainer, tiba-tiba saja berlompatan ke bawah dan menerjang beberapa orang pasukan RKZ yang sedianya hendak menutup lubang yang menganga.

Duet Pasat dan Roy bagaikan dua ekor elang yang menyambar anak-anak ayam yang berlarian tak tentu arah. Sepakan dan terjangan kaki Roy yang kali ini sudah memiliki ilmu kanuragan yang lebih matang bergerak lincah menghajar satu persatu kepala anggota RKZ. Gesit ia melompat dari satu posisi ke posisi lain, menyepak satu kepala dan menjadikan kepala yang lain sebagai tumpuan.

Sang pengendara angin melenggang dari sergapan dan serangan lawan yang bergantian, sekaligus melontarkan tendangan untuk membuat para prajurit RKZ bubar jalan ketika tersengat. Ada yang sampai terbanting ke tanah, ada yang mundur beberapa langkah, ada pula yang berdiri tegap meski tak tahu apa yang membuatnya terkena sambaran karena lawan sudah berkelebat secepat kilat.

Kalau Roy menyerang dari udara, maka di bawah, Pasat membantu dengan serangan cepat untuk menjatuhkan dan menuntaskan lawan-lawan yang lolos dari sergapan Roy. Dua orang maju dan mencoba menyerang si rambut coklat tapi gerakan mereka ragu-ragu. Tidak demikian dengan Pasat yang tangannya bergerak teramat cepat.

Jbkgh! Jbkgh!

Keduanya tersentak saat pukulan Pasat melesat dan masuk ke wajah. Mereka mundur ke belakang sembari memegang hidung dan bibir yang tersengat dan mengucurkan darah. Saat kedua orang itu mundur, dua orang lagi datang untuk flanking dari sisi kiri dan kanan. Si rambut coklat pun mundur sesaat, ia membiarkan pukulan lawan dari kiri datang menerjang. Setelah tangan yang menghentak itu maju sampai di area pertahanannya, barulah Pasat menangkis serangan sang lawan dengan siku tangan kiri dan pada saat bersamaan melontarkan tinju tangan kanan ke lawan yang satu lagi!

Jbkgh! Jbkgh!

Lawan yang kanan terjengkang, saatnya menghadapi yang di kiri. Lengan sang lawan yang tadi dimentahkan, kini ditarik dan dipuntir. Lawan sebelah kiri Pasat langsung berteriak kesakitan. Saat tangan lawan terkunci, Pasat menggerakkan kakinya untuk berkelebat naik dan melakukan tendangan berulang.

Kaki dihentakkan berkali-kali untuk menghajar rahang kanan, lalu kiri, lalu kanan lagi, lalu kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, dan akhirnya satu hentakan kencang ke dada! Lawan Pasat terjungkal ke belakang dengan wajah yang telah dirombak.

Satu tumbang yang lain terbilang. Beberapa orang lagi datang.

Sang pemuda berambut coklat pun mengambil aksi lebih cepat. Ia melangkah ke kanan, melangkah kiri, melangkah ke depan, dan mundur ke belakang. Kemanapun Pasat pergi, prajurit lawan ambruk tak berdaya. Satu, dua, tiga, empat orang terpapar serangan dan jatuh berdebam. Satu lagi, dua lagi, tiga lagi, dan empat, kembali empat orang terjatuh.

Roy mendarat di samping Pasat.

Delapan lawan ambruk di hadapan sang pengendara angin dan sang pemuda dari QZK. Tapi lawan-lawan yang ambruk itu masih belum menyerah dan berusaha untuk kembali berdiri. Pasat mendengus dan bersiap, ternyata tidak semudah itu untuk menundukkan orang-orang RKZ yang juga sangat ngeyelan karena ingin melawan sampai titik darah penghabisan. Ngotot sekali mereka.

“Sepertinya tidak akan berakhir dengan cepat, padahal lawan masih banyak. Batok kepalanya pasti keras sekali.” ucap Pasat yang mengambil ancang-ancang. “Bagaimana cara menuntaskan mereka? Ada usul?”

Roy memandang sekeliling. “Kita harus memanfaatkan tempat ini. Ada senjata, ada landscape. Ada...” Sang pengendara angin tiba-tiba saja memegang pundak Pasat dan terbatuk.

Pasat mengerutkan kening dan memeriksa nadi Roy, “kayaknya tenagamu harus disimpan dulu, bro. Kalau terus menerus menggerus Ki, bisa-bisa kamu pingsan kelelahan dan upaya pemulihanmu jadi percuma. Kita sudah menggunakan tenaga Ki yang terlalu besar.”

“Aku tahu, aku berusaha menahan diri untuk tidak menggunakan Ki.” Roy mengangguk sembari melirik ke kawan-kawan Lima Jari-nya, “tapi aku tak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Aku harus membantu mereka bahkan kalau aku harus mati hari ini.”

Haish, ngomongmu sembarang. Begini saja... aku akan mencoba menghubungi guru dan Mas Hamdani. Mungkin mereka bisa membantu kita...”

Roy menggeleng. “Jangan. Untuk sementara jangan. Kedatangan mereka justru akan menimbulkan gesekan besar antara QZK dan RKZ karena Jenggo pasti akan mengenali Ki Kadar. Kalau QZK dan RZK berseteru, itu akan menjadi awal dari perang yang jauh lebih parah. Jangan mengundang masalah dengan QZK terlebih dahulu, mereka saat ini masih bergerak di bawah tanah dan ada baiknya kita biarkan saja begitu. Kita harus mengatasi masalah ini semampu kita.”

“Baiklah kalau begitu.” Pasat memperhatikan sekeliling. “Bagi tugas. Kamu empat di depan, aku empat di samping.”

“Setuju.”

Delapan orang yang tadi ambruk kini sudah berdiri dan mengepung Roy serta Pasat.

Roy melesat ke depan dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Meski dengan kondisi tubuh yang makin lemah, tapi itu tak akan menghentikan si pengendara angin. Gerakan halusnya mengantarkan Roy meloncat teramat tinggi bagaikan terbang. Lompatan tinggi Roy tidak bisa diantisipasi oleh lawan yang terkejut, lawan itu tepat berada di jalur serangan sang pengendara angin. Roy merenggangkan kakinya untuk menyambar kepala lawan!

Buoooookghh! Buoooookghh!

Dua lawan di depan terkapar tersambar kaki sang pengendara angin.

Belum selesai! Roy salto ke depan sembari menjejakkan tangan ke bawah, lengannya kini menjadi tumpuan dan kakinya yang dibentangkan berputar dengan kencang bagaikan kincir. Dua orang lawan yang masih berdiri menjadi sasaran.

Buoooookghh! Buoooookghh!

Dua lawan Roy langsung tersambar tendangan si pengendara angin. Wajah mereka bengap terkena sambaran kaki yang kuat menerjang. Mereka berdua pun terjatuh dan mengaduh. Tapi masih menggeliat karena tak ingin kalah begitu saja.

Roy menurunkan badan dengan tumpuan lengan, lalu dengan satu sentakan kencang ia melontarkan badan bak pegas ke udara dengan posisi kaki terlontar terlebih dahulu. ia memutar badan seperti anak panah dan memutar badan kembali seakan-akan mengendarai jalur sebuah busur.

Kakinya langsung menginjak kepala dua orang lawan yang tadi masih mengaduh.

Buoooookghh! Buoooookghh!

Kepala kedua lawan Roy yang tadinya telentang di tanah, kini dihentak dengan keras, membuat keduanya tidak akan dapat bangkit untuk sementara waktu. Roy berdiri dengan gagah setelah menjatuhkan dua orang dengan mudahnya.

Pasat tidak mau kalah dengan apa yang dilakukan oleh Roy, ia pun berbisik pada dirinya sendiri saat melihat posisi keempat lawan di depannya. “Maximum overdrive.”

Dengan memanfaatkan kecepatan yang ia miliki, pemuda itu maju ke depan dan melompat zigzag memanfaatkan tiang dan lempeng besi yang berdiri miring di pinggir mereka. Kiri kanan kiri kanan, gerakan Pasat membingungkan lawan. Hanya dalam hitungan detik, pemuda itu melesat dan melesakkan kepalan ke wajah keempat lawannya dalam satu serangan beruntun yang tak bisa terlihat dengan mudah.

“Hiyaaaaa! Hiyaaaaaaaa! Hiyaaaaaaaaa!! Hiyaaaaaaaa!!”

Kiri kanan. Satu kena, dua kena. Kiri kanan. Tiga kena, empat kena.

Buoooookghh! Buoooookghh! Buoooookghh! Buoooookghh!

Empat lawan jatuh satu persatu.

Pasat berhenti meloncat. Ia berdiri dengan santai dengan tangan terkepal. Pemuda berambut coklat itu pun mendengus dan mencolek hidungnya dengan jempol sembari tersenyum sinis ala-ala Bruce Lee. Tidak saja keempat lawannya terjerembab ke tanah, wajah mereka juga sembab terpapar pukulan teramat kencang.

“Awaaas!”

Terdengar teriakan kencang dari Roy.

Tiba-tiba saja ada satu bayangan menutup tubuh Pasat. Ada seseorang di atas! Pasat bergulir ke belakang sembari memutar badannya dengan cepat.

Jbb! Jbb! Jbb! Jbb!

Beruntung bagi Pasat yang tidak menghentikan putaran tubuhnya ke belakang. Serangan beruntun hadir menjejak tanah di posisi di mana ia sebelumnya berada. Pasat selamat – tapi yang barusan benar-benar hampir saja. Pemuda asal QZK itu pun mundur ke belakang untuk berdiri sejajar dengan Roy dan mengambil kuda-kuda tanpa banyak tanya.

Di hadapan mereka kini berdiri dua hulubalang alias penjaga pribadi sang pimpinan, mereka adalah si duet maut Alang Kumitir dan Tunggul Seto.

Pasat meneguk ludah.





.::..::..::..::.





Kepergian Nada bersama Simon yang tentunya dapat dipercaya, membuat Nanto menjadi lebih tenang dan leluasa dalam menghadapi RKZ. Si Bengal kini berhadapan dengan TKO Johnson yang menjadi satu-satunya penghalang yang berdiri di tengah-tengah antara sang pimpinan Aliansi dan pimpinan RKZ Bambang Jenggo.

Bambang Jenggo hanya duduk saja di atas besi baja bekas sembari ongkang-ongkang kaki dan makan sate sosis yang ia beli dari kedai belum lama tadi. Dia hanya tersenyum menggoda saat menatap Nanto yang sepertinya sangat benci kepadanya.

Si Bengal memalingkan muka untuk melihat mata memerah si kulit legam. Keduanya saling berpandangan dan saling menantang.

“Dalam hidup ini, aku tidak pernah meminta banyak hal,” ucap Nanto sambil tajam menatap TKO Johnson. Pemuda itu memainkan pergelangan tangan dan kakinya. “Tapi kalau ada satu hal yang sangat aku inginkan beberapa hari ini... maka hal itu adalah bertarung denganmu satu lawan satu, wahai brotowali.”

TKO tertawa, ia mencibir, “Kamu pasti rindu sekali padaku. Listen up, loser. I will g’out dere, search for dat girl, and fook her real good and dere’s noodin’ ya’ can do bout it, sucka. ”

Tiba-tiba saja Nanto mengangkat telapak tangannya ke depan wajah si kulit legam.

TKO langsung mengerutkan kening. Apa lagi maksud si cabe nyelip di gigi ini?

Saat TKO tertegun, Nanto membalik telapak tangannya dan menarik masuk jari-jemarinya ke dalam berulangkali. Menantang dan menentang, seolah hendak mengucapkan... bring it on! TKO Johnson mendengus kesal dan langsung bersiap, ia sudah tak sabar ingin membungkam Nanto. Berani-beraninya meremehkan!

Si kulit legam memainkan kedua lengannya seolah-olah sedang mengokang dan mengisi kedua tangannya dengan peluru shotgun. Ia tidak dikenal dengan julukan TKO Johnson karena alasan sembarang saja. Kedua tangannya jelas punya hulu ledak yang bisa menghabisi Nanto dengan sekali sambar.

Sekali lagi si Bengal tersenyum penuh makna, ia menatap TKO tanpa berkedip lalu mengacungkan tiga jari pada si kulit legam. TKO Johnson jelas tertegun. Apa lagi maksud si kacang kulit lupa garingnya ini?

Whaddaya’meanby...”

“Kamu pikir kamu bisa datang ke negeri ini dengan pengalaman bertinjumu dan akan dengan mudah mengalahkan kami-kami ini kaum pribumi? Dasar bedebah bangsat yang ga pernah baca buku sejarah. Sial buatmu, kami sudah cukup puas dijajah orang asing selama tiga setengah abad plus tiga setengah tahun. Pengalaman kami sudah lebih dari cukup.”

Fookfacemonkeyass...” TKO mencibir, apa hubungannya urusan hari ini dengan penjajahan? Dasar otak udang ngomongnya sembarang.

“Tiga jari ini maksudnya... aku akan memberikanmu jatah tiga pukulan. Cukup tiga pukulan saja untuk membuatmu terkapar dan menangis-nangis minta pulang kandang.” Si Bengal menunjuk ke belakang TKO, ke sosok pimpinan RKZ. “Mohon maaf sebelumnya kalau tujuan utamaku bukan kamu tapi dia. Kamu sebenarnya tidak ada apa-apanya. Kamu itu cuma tumo kirik, cuma kutu saja. Tujuanku adalah bajingan di belakangmu – yang dengan tega membakar kedai donat yang tidak pernah berhubungan apapun dengan RKZ dan membunuh karyawan tak berdosa yang ada di dalamnya. Demi semua yang telah kalian korbankan, aku akan membalas dendam. Aku tidak saja akan membunuhmu, aku juga akan membunuhnya.”

TKO Johnson melirik ke belakang dan bertatapan dengan Bambang Jenggo. Keduanya seperti menahan sesuatu, lalu beberapa saat kemudian meledak dalam tawa. Mereka tertawa terbahak-bahak bersama-sama. Bocah ini sudah mulai gendeng rupanya, kelamaan ditahan di ruangan tertutup membuat otaknya terganggu. Kasihan sekali padahal masih muda.

Stupiddickheadmaddafakka...” TKO mengumpat.

“Awas atas.” Bambang Jenggo tiba-tiba saja memperingatkan.

TKO pun terkesiap karena terkejut, dia mendongak. Tapi terlambat, dia sudah kalah selangkah dari si Bengal. Nanto tiba-tiba saja sudah berada di atasnya.

Si Bengal melompat sangat tinggi dan melaju kencang ke arah TKO dengan tangan kanan terkepal ditarik ke belakang dan jemari tangan kirinya dibentangkan ke depan seakan menandai posisi TKO bagaikan radar. Begitu mendekat, pukulannya sudah siap diledakkan.

Sonofbiaaaaaaaaaaaaaaa...!!” TKO berteriak kencang. Ia tidak siap!

Dengan reflek andalannya, si kulit legam menyilangkan tangan sebagai pertahanan, kepala diselipkan ke dalam persilangan untuk mengurangi efek dari kontak langsung. Pertahanan ala boxer terpaksa dikerahkan TKO karena Nanto menyerang dengan sekuat tenaga! Dasar bocah bodoh. TKO tahu dia pasti bisa mengatasi si Bengal. Si kulit legam sudah sangat sering menerima pukulan dari segala penjuru oleh petarung-petarung besar di atas maupun di luar ring tinju. Akan dia tunjukkan kepada bocah yang kencingnya belum lurus itu apa artinya berhadapan dengan seorang...

Jboooooom!!

Satu pukulan kencang menyeruak masuk ke persilangan tangan TKO. Pelipis kiri si kulit legam tersambar. Bagian yang sejatinya dilindungi oleh lengannya itu ternyata bisa terpapar dengan mudahnya oleh sang jagoan muda dari Aliansi. Kepala TKO terlempar ke kanan dan tubuhnya oleng.

Biatch.

TKO terlempar ke kanan dengan satu sambaran itu. Badannya terlontar dan terguling berulang-ulang kali. Terbanting ke tanah, sekali, dua kali, tiga kali, terhentak, terantuk, dan berakhir terkapar telentang menghadap langit-langit gudang setelah terguling-guling beberapa saat lamanya. Pukulan yang benar-benar kencang.

Beberapa orang anggota RKZ yang melihat kejadian itu terbelalak tak percaya. Ba-bagaimana mungkin seorang pemuda dengan badan seperti Nanto bisa melemparkan TKO yang jauh lebih gagah, lebih gede, lebih dhuwur, luwih medeni tur ireng hanya dengan sekali sambaran saja?

Nanto berdiri dengan jumawa saat menatap TKO yang terkapar tak berdaya. “Jangan menganggap bahwa kamu itu turis jadi aku akan memberikan pengecualian. Aku tidak akan mengampunimu, bangsat. Demi Nada aku tidak akan mengampunimu.”

TKO tertawa, ia mencibir dan tersenyum menghina. Ia sudah kembali bangkit dan meludah ke samping, anak kecil ini sok banget. Yang barusan jelas kebetulan saja. Bisa apa bocah kemarin sore lawan petualang arena macam dia? Sang juara tinju mengambil kuda-kuda. Kali ini TKO tidak mau lagi bertahan, ia tidak mau memberikan kesempatan pada si cecunguk. TKO melangkah ke kanan dan kiri dengan setiap hentakan kaki di tanah yang makin lama makin cepat sembari memutari tubuh Nanto. Tarian ala Cassius Clay.

Cuh. Aku tidak butuh kasihan. Aku akan hajar si monyet! Ya’fookindamndirtyape..!

“Siapa yang bilang aku akan mengasihani kamu? Dasar biji bunga matahari! Tiga disiapkan, satu sudah dilepaskan. Tinggal dua lagi.”

Nanto melesat ke depan, hingga saat ini ia sama sekali belum mengaktifkan Kidung Sandhyakala atau menggunakan Ki. Dia hanya menggunakan tenaga mentah untuk menghadapi TKO yang juga tidak menggunakan kekuatan berbasis Ki.

“Ini yang kedua!!” ucap si Bengal.

TKO mendesis marah. Lho kok ngatur? Enak saja! Dia tidak mau didikte!! Si kulit legam berniat menghadang dan menangkis pukulan dari si Bengal dengan pukulan juga. Ia melepaskan pukulan teramat kencang untuk menghadapi serangan dari Nanto! Dua kepalan siap bertemu dalam satu jalur, jelas tidak akan menghadirkan ending yang manis bagi Nanto dan TKO kalau pukulan mereka saling bertumbuk di udara, bisa-bisa jari keduanya hancur oleh kekuatan hebat yang saling bertolak belakang.

Eatdisya’maddafakkaaaaaaaaa!!” TKO mengeluarkan tenaga terhebatnya dalam satu pukulan balasan. Dengan ini Nanto pasti terkapar dengan tangan patah!

Satu detik. Dua detik. Kenapa pukulannya tidak mengenai sasaran? Kemana si Bengal? Seharusnya Nanto sudah terjatuh! Seharusnya dia sudah merintih kesakitan!

Seharusnya kan? Tapi tidak yee. TKO tertipu.

Si Bengal sama sekali tidak melontarkan pukulan untuk menumbuk pukulan TKO. Hanya kepalan TKO saja yang terlontar dan mengambang di udara.

Dengan satu gerakan ringan yang sama sekali tak disangka oleh si kulit legam, Nanto berkelebat ke bawah, memanfaatkan posisi tubuh si kulit legam yang sudah terlanjur maju dan melontarkan pukulan. Serangan itu mengakibatkan adanya gap yang terbuka antara tinju kanan yang melayang, badan yang terbuka, dan tangan kiri yang ditarik mundur – ke posisi itulah Nanto menyelip masuk.

Nanto memelintir kepalan tangan untuk menambah kekuatan pukulan. Pukulan yang tak mungkin dihentikan oleh TKO.

Mulut TKO menganga karena sama sekali tak mengira Nanto sanggup menembus pertahanannya. Tapi itu tidak menghentikan si kulit legam untuk mencoba menerjang balik. Meski lengan kanannya sudah terlanjur dilecutkan ke depan, tapi ia masih menyimpan tangan kiri yang tertahan. Ia pun melontarkan tangan kirinya untuk menghentikan laju si Bengal dengan mengayunkannya secepat mungkin meski dengan kekuatan seadanya.

Jboooooooooom!!

Sekali lagi TKO kalah cepat.

Si Bengal unggul kecepatan. Serangan menohok meluncur deras, kali ini tepat di ulu hati, menyentak si kulit legam hingga matanya terbelalak bagaikan hendak meloncat keluar dari soketnya. TKO Johnson melayang ke belakang tiga meter jaraknya. Ia kembali jatuh terguling-guling dan berulang kali terbanting. Kepalanya terantuk berulang ke bawah sementara tubuhnya menyusur tanah.

Tubuh besarnya ambruk tak berdaya, TKO terkapar di atas tanah.

Sang pria bertubuh tegap itu tak dapat dengan mudah berdiri karena seluruh badannya terasa nyeri. Geram si kulit legam, ia mencoba berdiri dengan tenaga yang dipicu dendam dan penasaran. Saat akhirnya ia bisa berdiri, Nanto sudah berdiri tepat di hadapannya.

“Aku bilang tiga pukulan itu artinya tiga pukulan. Aku selalu menepati janji bahkan terhadap bajingan sepertimu.” Si Bengal menggemeretakkan gigi dengan geram kalau teringat perlakuan TKO pada Nada. “Ini yang ketiga. Aku akan menjatuhkanmu sekali lagi, jangan bangkit kalau tidak mau mati.”

TKO Johnson jelas marah besar karena dipermainkan seperti anak kecil. Ia berdiri dengan tegap, siap menerima segala kemungkinan. Mana mungkin tubuh setegap, sekuat, segagah, dan sekencang yang ia miliki bisa dikalahkan sedemikian mudahnya oleh seorang bocah yang...

Baru saja TKO berdiri, ia sudah melihat satu kepalan melaju kencang ke arahnya.

Tidak semudah itu, ferguso.

TKO mengecilkan pandangan, fokus ke depan. Ia memberangus semua bunyi yang menjadi distorsi sampai akhirnya ia bisa melihat arah serangan si Bengal. Tangan TKO menyeruak dari bawah. Kepalannya menghajar punggung tangan Nanto yang meluncur deras ke arahnya.

Jbkgh!

Kena!

Tangan si Bengal terhampar pukulan dari TKO dan mencelat ke atas. Serangan yang menyentak tangan Nanto itu membuat pukulan si Bengal terhenti tiba-tiba dan jeda itu membuat TKO memiliki kesempatan emas untuk membalas semua pukulannya tadi.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Badai pukulan diluncurkan oleh TKO tanpa mengenal jeda!

Si kulit legam berhasil menjebak Nanto yang salah langkah dan meletupkan kepalan berulang-ulang kali. Pukulan yang dilesakkan selalu masuk tanpa berhasil ditahan oleh si Bengal. Delapan pukulan menyeruak masuk ke dada, perut, dan rusuk. Tubuh Nanto tersengal-sengal dihajar pukulan beruntun dan terus-menerus didesak mundur ke belakang.

TKO Johnson berteriak kegirangan, “Hahahahahah!! Eatdat! And dat! And dat! Ya’fookinrubbish!

Bagi TKO, rasa-rasanya tidak ada satu makhluk hidup pun di dunia ini yang sanggup menghentikan badai serangannya yang menggelora tanpa jeda. Tidak ada satu orang pun yang bisa menyelamatkan si Bengal sekarang. Tidak akan ada yang bisa menghentikannya dari merujag-uleg Nanto.

Tidak akan ada yang bisa menyelamatkan si Bengal dari serangan terakhirnya, pukulan andalan yang sukses mengkanvaskan banyak opponent di atas ring.

“Tiga pukulan, heh? Tiga pukulan myass! Ya’stupiddickhead!!” ledek TKO sembari melecutkan pukulan pamungkasnya tepat ke wajah si Bengal.

Jbooooooooooookkghhh!

Mendarat sempurna. Dengan ini tubuh si Bengal akan terlempar ke belakang sejauh...

Heh?

Meski terhantam, ternyata Nanto masih sempat bertahan! Ia bahkan menyerang balik dengan menyentakkan kakinya ke bawah, tepat ke lutut TKO. Mencoba mengkondisikan kaki TKO supaya kehilangan keseimbangan!

Si kulit legam melihat sekilas apa yang hendak dilakukan oleh Nanto, dan dengan segera ia menarik mundur kaki dan lututnya. Hal itu membuat tubuh si Bengal terjerembab ke depan, tepat ke arah TKO Johnson. Tepat ke arah kepalan berikutnya.

Jbooooooooooookkghhh!

Tubuh Nanto melayang ke belakang tiga meter jauhnya. Ia jatuh terguling, terjerembab berulang, terlempar ke atas, dan terjerembab kembali ke tanah beberapa kali. Sebelum akhirnya terbaring tengkurap di atas tanah yang mulai becek.

Kena kamu sekarang.

Bambang Jenggo tertawa terbahak-bahak.

TKO Johnson mendengus, ternyata hanya sebegitu saja? Ia menggoyangkan pergelangan tangannya dan berjalan dengan santai ke depan. Si kulit legam meludah ke atas kepala si Bengal yang tubuhnya tengkurap tanpa gerak. Pria bertubuh gagah itu jongkok dengan santai di depan tubuh Nanto.

Threepuncha’s ya’ said. Tiga pukulan apa? Hanya dengan satu pukulan kamu sudah...”

Tiba-tiba saja tubuh Nanto yang tadinya tengkurap melecut ke depan bak seekor ular yang terbang menyambar mangsa. TKO yang tak menyangka kalau si Bengal masih sigap tak sempat berbuat banyak, ia bahkan tak sempat menyilangkan tangan ataupun bertahan dengan cara apapun. Nanto melompat ke depan, tangan kanannya menangkup wajah TKO dengan bentangan jemarinya, mendorongnya ke belakang.

TKO meronta kesetanan, kedua tangannya mencoba merobek-robek lengan Nanto yang menangkup wajahnya – tapi tidak berhasil. Tangan si Bengal ibarat lintah yang menyedot seluruh tenaga dan kekuatan si kulit legam. Dengan kekuatan yang teramat besar, Nanto mendorong TKO hingga sampai di depan sebuah tabung gas oksigen besar.

“Hrrmppppgh!” TKO melirik tabung tua yang berkarat itu dan berteriak kesetanan.

Nanto menarik kepala TKO ke arahnya, lalu mendorongnya ke belakang.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkkkkghhhhhh!

Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Lima kali. Berulang-ulang kali kepala sang lawan dihantamkan ke tabung gas tua yang sudah berkarat! TKO terus saja meronta tak terima diperlakukan bak mainan. Hantaman besi yang terus menerus mengenai bagian belakang kepalanya membuat rasa nyeri yang tak terperi. Tapi bagaimanapun TKO meronta, si Bengal sama sekali tak berhenti.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkkkkghhhhhh!

Tubuh TKO melemas.

Melihat sang lawan sudah mulai teler, Nanto akhirnya menghentikan serangannya dan mundur beberapa tapak ke belakang. TKO melangkah dengan goyah, gerakannya terhuyung-huyung, darah mengucur dari belakang kepalanya.

“Aku bilang tiga pukulan,” ulang si Bengal. “Yang barusan tidak dihitung.”

TKO menatap ke depan dengan geram, kedua lawan saling bertatapan mata. Pria berkewarganegaraan asing itu pun menggemeretakkan gigi dengan kepala yang pusing bukan kepalang tapi masih mampu melawan. Ia berteriak kencang dan maju ke depan dengan kepalan siap diledakkan.

Jbooooooooooookgh!

Telapak kaki si Bengal menyambar wajah TKO. Mendorongnya sekali lagi ke belakang, menumbuk bagian belakang kepala TKO ke arah tabung oksigen besar yang biasa dipakai di rumah sakit, membuka luka, dan menyemprotkan darah.

Nanto tidak berhenti. Sekali lagi ia hentakkan kaki, lalu sekali lagi, lalu sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi. Nanto mengamuk dengan hentakan kakinya. “Ini untuk Nada...! Ini untuk Nada...! Yang ini untuk Nada...! Yang ini untuk Nada!”

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Nanto tak berhenti. Tendangannya terus menerus membuat sang lawan berteriak kesakitan tak berkesudahan. Hentakan kaki membadai menyentak-nyentak kepala TKO ke arah tabung gas. Ketika akhirnya si Bengal menarik kakinya, TKO makin terhuyung, pandangan matanya sudah tak lagi fokus, dan darahnya mengucur kian deras.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Nanto akhirnya meledakkan satu pukulan kencang ke arah wajah TKO. Si kulit legam berusaha melesakkan wajah di antara dua persilangan lengan. Tapi gerakannya semakin lambat, ia tak lagi dapat melakukan gerakan cepat dengan kepala yang teramat pusing.

Tak dapat dielakkan, serangan si Bengal masuk tanpa dapat ditahan.

Jbuuuooooooooooookgh! Jdaaaaaaaakgh!!

Kepala TKO tersambar dengan kencangnya, kepalanya terbanting ke belakang dan terantuk dengan teramat keras ke tabung gas. Depan kena, belakang kena. Mata TKO terbelalak saat kesadarannya kian memudar. Ia pun jatuh terjerembab ke tanah. Si kulit legam jatuh di depan Nanto yang berdiri tegap dengan tangan terkepal.

TKO telah di-KO.





.::..::..::..::.





Melihat TKO Johnson sedang berhadapan dengan si Bengal, sedangkan Alang Kumitir dan Tunggul Seto berhadapan dengan Roy dan Pasat, maka Amar Barok dan Agun bergerak untuk melindungi Bambang Jenggo. Kedua pria itu mengisi pos di sisi kanan dan kiri Jenggo yang biasanya ditempati oleh Alang Kumitir dan Tunggul Seto yang kali ini turun ke gelanggang.

Sebagai pengganti kedua hulubalang, mereka berdua bersiap untuk menghadapi siapapun yang akan mendatangi sang bos – bahkan jika orang tersebut Nanto sekalipun.

Bambang Jenggo sendiri sedang sibuk mendengarkan kata demi kata yang terucap melalui headset bluetooth yang ia kenakan. Sang pemimpin lapangan RKZ itu terlihat fokus untuk memahami satu persatu perintah yang diucapkan oleh sosok yang tak nampak di pertarungan malam ini, namun sanggup mengamati semuanya dari tempat yang tak terlihat.

“Dia baru saja menghancurkan TKO dengan mudah tanpa tenaga dalam sama sekali. Bagaimana kita akan...? Oh baiklah. Jadi kita harus memastikan bahwa... oh, baik. Baik Ki... pastikan bocah itu menggunakan selubung-nya. Supaya jelas langkah-langkah penggunaan-nya? Baik Ki... baik... kita harus memancingnya dengan pertarungan ini. Baik.” Bambang Jenggo mengangguk-angguk. “Baik, Ki... baik... betul... itu tujuan kita melepaskan bocah itu. Betul... untuk memastikan apakah langkah-langkah yang diberikan pada Agun itu... betul semua akan terekam CCTV... baik, Ki.”

Kata demi kata Bambang Jenggo tak lepas dari telinga Amar Barok. Si Jenggo sepertinya sedang mendengarkan perintah dari Ki Juru Martani. Kalau tidak salah dengar, mereka sengaja membebaskan Nanto melalui dirinya karena hendak menyaksikan Nanto terpancing menggunakan Selubung Kidung dari Kidung Sandhyakala. Jadi mereka memang menginginkan pertarungan ini berlangsung, mereka memang ingin si Bengal lepas. Mereka menjadikannya pion dan tahu Amar Barok pasti akan membukakan jalan untuk Nanto dan Nada, mereka memang sudah siap dengan segala konsekuensi dan dampak apapun hanya demi Selubung Kidung! Gila.

“Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan mendengarkan percakapan apapun dari Bos Jenggo, kawan baru,” ujar Agun dengan nada mengancam. “kamu sudah melakukan satu kesalahan malam ini. Kamu dengan sengaja membebaskan si bocah kutubuduk meskipun itu bagian dari rencana kami. Kamu kena perangkap. Jadi bersiaplah dengan hukuman yang akan dijatuhkan karena telah melakukan kesalahan.”

Amar melirik ke arah Agun, lalu melengos tanpa peduli. Pria berambut gondrong itu hanya menyilangkan tangan di depan dada sembari berdiri tegap dengan gagahnya. Ia mendengus menanggapi ledekan dari Agun.

Sejujurnya ia juga bertanya-tanya mengenai posisinya di RKZ usai masalah pembebasan Nanto ini. Dia jelas-jelas dijebak dan masuk ke dalam perangkap. Ia seharusnya membebaskan diri dari semua urusan RKZ yang akan membahayakannya, tapi ia belum tuntas menjalankan tugas untuk mencari tahu siapa Ki Juru Martani.

Saat Ki Juru Martani muncul, barulah dia akan...

Agun tersenyum sinis karena tahu Amar Barok pasti sedang kebingungan harus berbuat apa karena telah ketahuan melakukan tindakan terlarang yaitu membebaskan Nanto dan Nada.

“Amar oh Amar oh Amar... kamu sama sekali tdak menyadarinya ya? Kamu telah melakukan kesalahan dengan mempercayai jebakan dari Brom.” Ledek Agun, “Kamu yang membebaskan bocah itu kan? Kamu pikir kami akan membiarkan mereka pergi semudah itu? Kami melepaskan mereka karena kami ingin melepaskan mereka, bukan karena kamu beruntung mendapatkan semua kunci. Hahahaha...”

“Bedebah busuk banyak bacot...” Amar menggumam marah.

“Aku beri kamu kesempatan.”

Agun dan Amar sama-sama melirik ke belakang, ke arah suara yang baru saja berucap, ke arah Bambang Jenggo yang tersenyum lebar menatap sang panglima singa emas.

“Aku akan memberikan kamu kesempatan untuk tetap berada di RKZ, Amar Barok. Entah apapun tujuanmu berada di sini. Heheheh.” ujar Bambang Jenggo. Tangannya menunjuk ke arah pertarungan yang sedang berlangsung. “Aku akan memberikanmu kesempatan, kalau kamu berhasil membunuh anggota-anggota Aliansi malam ini dan membuktikan di mana kakimu sebenarnya berpijak.”

Amar menatap ke arah Bambang Jenggo dengan pandangan mata tak percaya.

Bajingan busuk ini benar-benar...





.::..::..::..::.





Panas, pengap, ramai, dan kacau. Gudang distribusi barang RKZ menjadi arena perang.

Ada orang menggebuk orang, ada orang memukul orang, ada orang menendang orang, ada orang saling pukul-pukulan, semua ada. Yang sana tidak mau mengalah, yang sini tidak ingin pasrah. Tinju beradu, keringat berderai, dan darah tercurah. Ada yang di dalam gudang, ada yang di luar gudang, ada yang menjerit kesakitan, ada yang minta tolong, ada yang ngilu, ada yang meradang. Pasukan RKZ yang tidak full squad kali ini harus menghadapi serangan dari Aliansi yang datang dengan pasukan besar menantang.

“Rekap cepat! Bagaimana situasinya?” Bian terengah-engah dengan napas memburu saat masuk ke dalam gudang kembali melalui dinding depan yang sudah roboh dijebol oleh Aliansi. Tak jauh darinya ada Deka, Beni Gundul, dan Jo yang datang dengan memimpin pasukan bantuan dari DoP.

Deka menunjuk ke beberapa arah dengan cepat, “Nanto sedang sibuk berhadapan dengan si hitam jauh di depan sana, dia sepertinya mengincar bukit-bukit besi. Di atas tumpukan bukit besi ada Bambang Jenggo. Kedua hulubalang si Jenggo sudah berpencar untuk menghadapi Roy dan Pasat di antara tumpukan ban bekas dan container. Jadi bagian kita adalah sisanya, bagaimana dengan pembagian kekuatan di luar gudang?”

“Kalau dari lawan kita - Jay, Gamal, Galung, dan entah siapa lagi sudah keluar gudang untuk memimpin pasukan mereka menghadapi serangan dari gabungan pasukan DoP, Sonoz, dan Ex-Patnem yang dipimpin oleh Surya, Bondan, serta kapten-kapten Sonoz si Jack dan Abed. Keadaan kacau parah, korban sudah jatuh. Karena saking ributnya - takutnya akan ada warga desa sekitar yang akan memanggil pihak yang berwajib jadi kita juga harus menutup jalan,” Jo memberikan laporan dengan cepat.

“Bagus. Kita memang harus menutup jalan,” Deka mengangguk. “Bagaimana kekuatan lawan?”

“Kapten-kapten RKZ seperti Jay dan Galung cukup kuat jadi korban di sisi kita lumayan besar. Aku, Surya, dan Bondan bahkan harus bekerja sama bertiga untuk menghadapi satu kapten RKZ dan itupun tidak berhasil merobohkan dia. Kami butuh bantuan dari punggawa Aliansi.”

Deka mengangguk, “Nanti akan kita lihat apa yang bisa kami lakukan. Bagaimana dengan kondisi pasukan kita yang menghadapi RKZ? Berapa jumlah pasukan yang datang kemari? Aku hanya takut bantuan mereka akan segera datang.”

“Untuk saat ini kekuatan kita di luar sana jauh lebih besar dari RKZ. Tapi kita harus bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah di sini sebelum RKZ mendatangkan bantuan. RKZ dikenal sebagai geng motor, jadi saat ini pasukan mereka pasti sedang mobile,” Beni Gundul membantu menjelaskan.

“Bagaimana dengan Rao dan Remon?”

Beni Gundul dan Jo saling berpandangan. Jo menggelengkan kepala, “Sayangnya Rao dan Remon masih belum terlihat sampai saat ini tapi kabarnya kalau mereka sudah selesai mengamankan Kandang Walet maka akan menyusul. Kalau RKZ mendatangkan bantuan, kita juga punya bala bantuan dari Rao dan Remon – serta Simon yang mungkin akan balik kembali kemari.”

Deka mengangguk dan menepuk pundak Jo. “Baiklah, tugas kalian sekarang adalah membantu pasukan Aliansi melawan RKZ. Jangan fokus ke punggawa-punggawa RKZ, tapi hajar pasukan RKZ sampai habis dengan cepat dan biarkan kami yang akan menghadapi dan menahan para punggawa lawan. Nanto sedang mengejar Bambang Jenggo di dalam sana dan tidak bisa diganggu gugat, Roy dan Pasat juga sedang menghadapi kedua hulubalang. Yang lain akan menjadi urusan kami.”

“Aku akan mencari Gamal,” ujar Bian.

“Aku akan mengurus Galung. Jurus Tangan Pedang-nya pasti sangat merepotkan untuk mereka yang tidak terbiasa. Tapi sepertinya sebelum berhadapan dengan Galung aku harus menyelesaikan satu urusan terlebih dahulu.” Deka memandang sekeliling. “Mana Hageng?”

“Dia ada di dalam. Mungkin sedang menghadapi salah satu punggawa,” ujar Beni lagi. “Kalau begitu aku yang akan menghadapi Jay. Sialnya si licik itu tidak terlihat di mana-mana. Dia pintar sekali berkelit dan bersembunyi.”

“Baiklah. Ingat target kita masing-masing. Lakukan gerak cepat, temukan sebelum bantuan mereka atau pihak berwajib datang. Kalau bisa segera cari, buru, dan taklukkan target kita masing-masing.” Deka memberikan komando dan para punggawa Aliansi pun berpencar mencari lawan yang sudah mereka pilih.

Cari. Buru. Taklukkan.

Kalau bisa.





.::..::..::..::.





Nanto berjalan dengan tenang ke arah Bambang Jenggo yang sedang tertawa-tawa dan bertepuk tangan melihat kedatangan sang pemuda yang baru saja mengkanvaskan TKO Johnson.

“Luar biasa sekali! Hebat! Akhirnya jatuh juga ya itu si TKO. TKO yang di-KO. Waahahahaha. Asyem ik. Wangun, su! Waaahahahaha!”

Bambang Jenggo tetap santai ketika Nanto mendekat. Sama sekali tidak menunjukkan wajah takut apalagi panik. Tidak mungkin santai begini tanpa ada sesuatu. Pasti ada yang direncanakan oleh si bongsor gempal itu. Jenggo bahkan meracau tidak jelas sembari makan kentang goreng..

“Tut tut tut... keretaku sudah hendak berangkat, apakah kamu mau ikut? Kenapa tidak bergabung dengan kereta kami saja? Kami pasti membutuhkan orang dengan kemampuan sepertimu untuk ikut ke gerbong kami, le tole. Bahkan Amar saja bergabung dengan kami. Kenapa kamu tidak?”

Nanto tertawa sinis. “Hehehe. Simpan saja tawaranmu yang mustahil aku ambil. Satu-satunya tawaran yang akan aku terima adalah kalau kepalamu dihidangkan di atas nisan Lady.”

“Hwrakadah. Ngeri men ik. Merinding dong. Takut ga? Takut lah. Masak ga takut. Wahahahah. Wasu. Tapi Lady ki sopo? Aku ora kenal.” Jenggo mengangkat bahunya tanda tidak tahu.

Pimpinan lapangan RKZ itu memang tidak bohong, dia tidak mengenal siapa itu kawan si Bengal atau siapa nama korban-korban yang terbunuh dan terluka oleh ulah RKZ selama ini – bahkan jika orang itu menjadi korban di tangannya secara langsung. Tugas Bambang Jenggo hanya satu, dia hanya harus menjalankan rencana besar RKZ sesuai dengan strategi rancangan Ki Juru Martani, tidak peduli siapapun korban yang jatuh. Seperti sebuah ungkapan tentang perang - korban memang kadang harus jatuh demi memenuhi kebutuhan yang lebih besar.

Sometimes victims are necessary for the greater good.

Pernyataan Bambang Jenggo jelas membuat Nanto geregetan, bagaiman mungkin ada manusia yang menganggap nyawa manusia lain tidak ada artinya? Orang seperti itu sebaiknya diberangus cepat-cepat. Si Bengal segera bersiap untuk menyalakan Ki-nya. Dia akan membuat pimpinan RKZ itu menelan semua ucapannya.

Tapi belum sampai si Bengal ke depan Jenggo, seorang pria sudah menghentikannya dengan tangan yang membentang dan menghalangi. Seorang pria dengan tubuh tegap dan rambut gondrong yang digerai.

“Aku tidak akan melakukan itu kalau jadi kamu.”

Terdengar suara yang amat dikenal oleh Nanto.

“Mas Amar,” Nanto mendesis dan melirik ke kiri.

Amar Barok berdiri tegap di sebelah kiri Nanto, sementara Agun berdiri di sebelah kanan. Keduanya menjadi penghalang bagi si Bengal untuk mencapai Bambang Jenggo. Nanto memainkan tangannya, menangkup kepalan tangan kiri dengan tangan kanan, lalu menggemeretakkannya. Setelah itu dia menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri.

Dia tidak peduli jika untuk mencapai tujuan dia harus berhadapan dengan Amar Barok dulu. Dia menginginkan Bambang Jenggo.

“Aku yang menolongmu keluar dari sekapan. Aku juga bisa mengembalikanmu ke tempat itu lagi. Jadi pikirkan baik-baik sebelum bertindak.” Amar berdiri dengan tegap, ia menatap ke arah Nanto tanpa berkedip. Si Bengal tahu Amar sebenarnya ingin Nanto dan kawan-kawan segera meninggalkan gudang untuk menyudahi perseteruan Aliansi dengan RKZ, tapi dendam si Bengal jauh lebih dalam. Amar juga paham apa yang dirasakan oleh Nanto, dia pun melanjutkan. “Aku tahu apa yang kamu pikirkan, tapi ini bukan saat yang tepat. Lihat teman-temanmu dan lihat kekuatan RKZ. Berlakulah bijak, jangan sampai jatuh korban yang tidak perlu. Aku akan meminta pada Bos Jenggo untuk melepaskan kalian tanpa penalti jika kalian mau segera meninggalkan tempat ini.”

Nanto mengangkat jari telunjuknya ke arah Amar. “Aku hormat sekali pada Mas Amar dan aku tahu Mas Amar orang baik setelah apa yang Mas Amar lakukan selama ini untuk kami. Tapi sayangnya bergabung dengan RKZ sama sekali bukanlah hal yang pantas dihormati. Aku tahu Mas Amar pasti masih punya nurani dan memahami apa yang aku ucapkan dari lubuk hati yang terdalam. Mas, orang yang akalnya sehat tidak akan mau bergabung dengan gerombolan bangsat seperti RKZ. Jadi aku harap Mas Amar paham jika aku harus mengatakan dengan tegas kali ini, bukan sebagai seorang yang saling kenal, tapi sebagai dua orang yang punya kepentingan masing-masing: Mas Amar... menyingkirlah dari hadapanku.”

“Majulah. Aku tidak akan segan-segan.” Amar Barok tersenyum. Meski hanya berdiri dengan tegap, Ki-nya meningat drastis. Terasa dari hempasan energi besar yang keluar dari tubuh tegapnya. Debu dan tanah tersingkir oleh tenaga yang tidak main-main dari sang panglima singa emas.

Agun melirik ke samping, apa yang akan dilakukan Amar sekarang? Apapun yang akan dilakukan oleh pria itu, Agun tidak boleh gegabah dan fokus pada tugasnya sendiri. Tugasnya sekarang adalah mengeksekusi ilmu yang dipelajarinya dari Nanto... Agun menyalakan Ki dan mencoba mengaktifkan Kidung Sandhyakala seperti yang dipelajarinya dari si Bengal kemarin.

Bambang Jenggo hanya tertawa melihat tiga orang di hadapannya mulai bersiap dengan tenaga dalam masing-masing. Ini yang dia tunggu-tunggu, pasti akan jadi menarik.

Nanto tidak mengindahkan peringatan Amar Barok. Ia terus berjalan menanjaki bukit yang terbentuk dari tumpukan besi yang dihamparkan dan disusun acak hampir menyerupai bukit. Bambang Jenggo duduk santai di atas tong yang berada di atas bukit besi.

Si Bengal melesat ke atas.

ROAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRR!!

Melihat Nanto sepertinya terus saja menaiki bukit besi, Amar Barok mengeluarkan jurus andalannya – Raungan Singa Emas. Tak pelak, tubuh si Bengal diterjang oleh tenaga dalam maha dahsyat yang dikeluarkan oleh Amar. Seakan diserbu stampede kuda liar, tubuh Nanto berkibar bagaikan orang-orangan sawah di tengah badai tornado. Jelas Amar tidak main-main dengan kemampuan yang dikeluarkannya! Dia tidak setengah-setengah!

“Siaaaaaaaal!” Nanto merunduk, Ia mencengkeram besi-besi yang menjadi bagian dari bukit dan berada di bawah telapak kakinya, namun satu-persatu besi itu lepas terkena terjangan tenaga Amar Barok yang tak henti-hentinya mendesak.

Hajigur! Nanto jelas tidak mau menyerah kalah begitu saja!!

Wujud hana tan keno kinira.”

Usai mengucap rapalan gerbang kelima, serasa ada lapisan sarung tangan baja yang melapis kedua tangan si Bengal. Ia pun segera mencengkeram besi-besi yang digunakan untuk berpijak dengan menggunakan kekuatan jemarinya yang sudah berlipat ganda. Sebagian lempeng besi dengan mudah rontok dan terlepas karena diterbangkan oleh kekuatan Amar Barok, sebagian lain cukup kencang untuk dijadikan tempat bertahan. Seandainya saja dia tidak mengerahkan kekuatan dan Ki, Nanto pasti sudah diterbangkan seperti pesawat kertas.

Si Bengal bertahan cukup lama di bawah tekanan energi lepasan dari Amar Barok. Ketika akhirnya serangan mereda, tempat itu sudah porak poranda dan sial bagi Nanto – Bambang Jenggo juga turut hilang entah kemana.

Taktik mereka berhasil, saat Amar Barok menyibukkan si Bengal, bos Jenggo melesat pergi. Tugasnya untuk menghalangi Nanto berhasil dilakukan.

Setelah Amar mencegah laju si Bengal, sekarang giliran Agun yang penasaran siap mencoba apa yang selama ini ia pelajari dari Nanto sendiri.

Sembari tersenyum sinis Agun pun bersiap, ia mengambil kuda-kuda yang mirip dengan Nanto.

Agun mencoba menyalakan Ki-nya.

Tapi tidak ada yang menyala. Badannya masih biasa-biasa saja. Tidak ada tenaga yang muncul, tidak ada tenaga yang menghebat. Ia mulai menyebutkan satu persatu rapalan Kidung Sandhyakala tapi tidak ada yang berfungsi sama sekali. Dengan jengkel sembari menggebrak-gebrak besi yang ia pijak, Agun meraung kesal.

“Bajingan! Si tengik itu menipuku! Jurusnya sama sekali tak berfungsi! Kidung Sandhyakala jurus tengik! Jurus tae! Jingan! Wasu!” Agun pun mempersiapkan jurusnya sendiri dan hendak meninggalkan Kidung Sandhyakala yang gagal dieksekusi. Pemuda itu mengumpat karena dia tidak dapat mengaktifkan apa yang sudah dipelajari repot-repot.

Agun meraung kesal sekali lagi.

Jboooooooookgh!

Hidung Agun langsung terpapar kepalan si Bengal. Ia tersodok ke belakang sampai jatuh terduduk. Si Bengal berdiri gagah sembari menatap Agun dengan wajah kesal, “Tidak berhasil muncul? Itu bukan karena ilmunya – tapi karena kamunya yang tak pantas mempelajarinya. Aku sudah mengajarkan langkah-langkah yang benar untuk menguasainya... kamunya saja yang tidak becus! Kidung Sandhyakala itu bukan hanya sekedar menggunakan otak dan otot, tapi juga hati. Manusia bengis semacam kalian mana paham.”

“Wasu! Berani-beraninya kamu memukulku!” Agun melompat berdiri dan kembali menantang, ia menengok ke arah Amar Barok. “Amar! Bereskan dia! Gunakan ilmu kanuraganmu! Jangan hanya...”

Agun tertegun saat Amar Barok tiba-tiba saja dihadang seseorang. Ia tak bisa lagi berlindung pada Sang Panglima Singa Emas! Sial! Itu artinya dia harus segera cabut dari tempat terkutuk ini! Agun buru-buru berlari dengan kencang.

“Nyuuuk, majuuuu! Yang ini bagianku!!” ujar sang pemuda yang kini menghadang Amar Barok.

Nanto tersenyum, “Siap, Ndes! Aku serahkan padamu.”

Amar menggeram karena tidak bisa lagi menghalangi laju si Bengal. Semua gara-gara orang yang berdiri di depannya. Orang itu bukan orang asing, dia adalah sang adik kandung. Deka.

Amar berteriak, “Kuuun. Jangan main-main! Menyingkirlah!”

Deka mendengus, ucapannya lirih. Dia menunduk seakan-akan hendak melakukan hal yang akan ia sesali seumur hidup. “Aku sangat menghormati kakakku. Sangat-sangat menghormati. Tapi kalau dia bergabung dengan RKZ, itu artinya dia sudah menjadi lawanku. Aku tidak akan pandang bulu. Ayo, Mas. Ini ronde kedua kita. Kerahkan semua kekuatanmu yang sebenarnya!”

ROAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRR!!

Kembali Raungan Singa Emas berkumandang.

Tapi Agun sudah tidak peduli, ia berlari menyelamatkan diri.

Terdengar suara keras seperti ledakan, dan satu tower tumpukan bekas bemper mobil yang susunannya tinggi ambruk di belakang Agun. Ambruknya tower tumpukan barang itu menimbulkan debu yang menyebar dan suara yang teramat nyaring.

Entah apa yang terjadi pada Deka dan Amar Barok, Agun tidak mau melihat dan tidak mau terlibat. Dia yang tadinya berusaha melindungi Bambang Jenggo kini beralih melarikan diri dari amukan Nanto sepeninggal Bos Jenggo yang entah sekarang berpindah kemana lagi.

“Bangsaaaaaat! Kenapa mereka ngotot sekali!? Orang-orang Aliansi sialan!” Agun berlari tak tentu arah, mencoba mencari tempat sembunyi.

Jboooooooooooooooooogggggkhhhhhhh!!!

Kaki Nanto mendarat di tengkuk Agun, mendorongnya ke depan hingga terjerembab ke sebuah tumpukan! Kepalanya dihantamkan pada sebuah rangka besi yang dulunya membentuk rak. Bibir sang lawan langsung moncrot dan sobek, ia terjatuh ke tanah.

Begitu berhasil merubuhkan Agun, Nanto memutar badan ke belakang dengan satu salto. Lalu menjejak tanah dan berlari ke depan. Ia tidak akan berhenti menuntaskan Agun. Sang lawan yang kepayahan mencoba bangkit. Belum sampai ia benar-benar bisa berdiri, satu tendangan menyeruak menghentak rahangnya.

Jddddkghhhhh!

Agun terlontar ke kiri, rahang bagai remuk, bibir bocor dengan darah bercucuran, wajah sembab membiru di segala penjuru. Tubuhnya terlontar dan terbanting berulang.

Sial. Sial. Sial. Sial. Agun mencoba bangkit dari posisi tengkurap. Rasanya susah dan berat sekali, tubuhnya tidak mau kompromi. Dia sudah kehabisan pikir. Harus bagaimana dia membalas serangan dari...

“Hkkkkgh!”

Krgh!

Punggung Agun yang masih terbaring dihajar oleh lutut si Bengal. Ada bunyi tulang yang berderak. Agun berteriak kesakitan dan berguling-guling mencoba memegang punggungnya yang tak terpegang. Lawan si Bengal itu meringis hingga menangis karena rasa sakit tak terperi yang ia rasakan. Seperti ada tulang yang patah atau retak – mudah-mudahan bukan tulang punggung.

Melihat lawannya tengkurap tak mampu berdiri, Nanto jongkok dan memegang leher Agun dari belakang – persis seperti sedang menjumput leher seekor kucing, tangan si Bengal hampir mencekik Agun. Sang lawan yang tadinya berguling-guling tak jelas, kini terdiam dengan keringat bercucuran dan napas satu dua.

Kidung Sandhyakala adalah jurusan warisan nenek moyang keluarga trah Watulanang yang amat disegani selama ratusan tahun. Ilmu yang kami puja ini didapatkan dan dipelajari dengan mengorbankan keringat dan darah, ditempa bertahun-tahun untuk dikuasai dan dihormati. Tidak untuk diberikan dan dicemooh oleh bocil tengik semacam kamu yang baru tahu seupil saja sudah merasa paling ngerti sedunia,” ujar si Bengal dengan geram. “Aku bahkan tidak perlu menggunakan Kidung untuk mengalahkanmu.”

“Bajingan! Ilmu busukmu lebih baik dikubur dalam-dalam! Ilmumu tidak lebih baik dari tendangan banci! Bu-bunuh saja aku...!!” Agun meronta kecil, “buktikan kalau memang kamu yang hebat! Bunuh aku!”

Nanto mendengus, “Demi apa aku harus mengotori tanganku untuk membunuhmu.”

“Bajingaaaaaaaaaaaaa~...”

Si Bengal merenggut bagian kepala Agun. Mencengkeramnya, lalu menghentakkannya ke bawah. Membenamkan kepala penghina Kidung Sandhyakala itu seakan-akan menggunakan kepalanya untuk menggali tanah.

Jbkkkkghh! Jbkkkkghh!

“Bajingaaa~...”

Jbkkkkghh! Jbkkkkghh! Jbkkkkghh! Jbkkkkghh! Jbkkkkghh! Jbkkkkghh!

Hentakan beruntun membuat kepala Agun terpapar berulang ke tanah. Apa yang terlihat jelas bagi sang anggota RKZ kini perlahan-lahan menjadi kabur. Matanya yang tadi masih menyala melawan, perlahan-lahan berubah menjadi putih.

Tubuh lawan Nanto itu langsung terdiam, semua perlawanannya menghilang sekejap. Ia yang tadinya meronta kini hanya terbujur tak sadarkan diri dengan napas berhembus satu dua, dadanya masih bergerak naik turun, meski sangat pelan.

Nanto berdiri dan mengatur napas.

Dua sudah terbilang. TKO Johnson dan Agun sudah ia tuntaskan hari ini. Giliran Bambang Jenggo. Mana si Jenggo? Mana si penyebar petaka itu?

Nanto mencoba mencari-cari posisi sang pentolan RKZ. Kalau si Bengal bisa menghancurkannya, dia akan menghancurkan juga perlawanan ngotot dari RKZ. Itu artinya pertarungan ini bisa lebih cepat berhenti.

Ah itu dia. Di atas container. Buru-buru Nanto mengejar Jenggo yang kembali tertawa-tawa saat melihatnya datang. Ia mengayunkan tangan dan memanggil si Bengal.

“Ayo sini saja! Pemandangan dari sini sangat indah! Pasti kamu suka!”

Si Bengal melesat. Sayang ini bukan hari yang bagus untuk Nanto.

Bagaikan malaikat penjaga yang setia, dua orang hulubalang berkekuatan besar segera menutup jalur Nanto untuk kembali menyelamatkan Bos Jenggo. Alang Kumitir dan Tunggul Seto sudah tegap menunggu tak jauh darinya. Kenapa mereka bisa berdiri di sini? Kalau tidak salah mereka berdua tadi berhadapan dengan Roy dan Pasat. Apa yang terjadi pada Roy dan sahabat barunya itu?

Ada bercak darah di pakaian keduanya.

Hmm. Pertanda buruk kah? Sialan. Tidak ada yang boleh menyakiti Lima Jari apapun alasannya! Nanto menyalakan Ki-nya kembali dengan wajah geram. Dia harus menyelesaikan mereka berdua dulu sebelum mengkhawatirkan soal Roy.

Nanto bersiap dengan ancang-ancang.

Dia tahu yang dua ini jelas tidak boleh diremehkan.





.::..::..::..::.





Dua pria bertubuh raksasa bertemu.

Ini bukan kali pertama mereka berdua saling berhadapan. T-Rex vs King Kong, the Fight of the Titans. Pertarungan menyeramkan dari dua orang bertubuh bongsor, ada banyak alasan kenapa kedua orang ini memang ditakdirkan untuk bertemu. Alasan ketiga akan membuat kamu terkejut.

“Kita lagi. Lagi-lagi kita.” Brom tertawa saat berhadapan dengan Hageng sang T-Rex kribo dari Aliansi. “Rasa-rasanya tidak baik kalau harus terus menerus bertemu seperti ini, nantinya akan jadi kebiasaan. Ada baiknya kita tuntaskan pertarungan kita di sini. Sekali untuk selamanya.”

“Hidih, kok pake zelamanya-zelamanya zegala, kezannya zeperti wedding. Ndak ah, ndak mau zaya. Pokoknya zaya tidak mau ketemu zampeyan lagi zetelah ini. Kita tidak berjodoh.” Hageng menggeleng, ia menggulung lengan bajunya hingga sampai ke pundak dan mempertontonkan otot-otot bisepnya yang kekar.

“Ya aku juga barusan bilang begitu.” Brom tersenyum kecut. “Aku juga tidak mau ketemu kamu lagi, sudah cukup semua ini, sudah cukup semua yang telah kamu lakukan padaku. Setelah ini tuntas, kita tidak akan pernah bertemu lagi. Sudah cukup hubungan kita selama ini.”

“Jangan begitu. Mezki ini yang terakhir, mezki ini perpizahan, jangan membuatku meraza berat, ini zemua untuk kebaikan kita berzama. Aku tahu kalau ini zemua karena zalahku. Tolong mengertilah. Ini bukan karena kamu... ini karena aku...”

Baik Brom maupun Hageng kembali saling bertatapan setelah meracau tidak jelas, keduanya langsung menahan diri sejenak, sebelum akhirnya tenggelam dalam tawa terbahak-bahak yang membahana. Mereka mungkin lupa kalau saat ini mereka sedang menjadi lawan di arena, bukan di kedai kopi tempat mereka bisa berbagi canda.

Brom mengangkat tangannya ke atas, menandakan dia ingin berbicara.

“Kenapa kita bertempur? Kita seharusnya bisa menjadi kawan. Ayolah, ini semua tidak perlu.”

“Kamu memang benar, kita zeharuznya biza menjadi kawan. Tapi kami tidak datang kemari karena kami ingin datang. Kami datang karena kalian yang memakza. Kalau zaja RKZ tidak menahan pimpinan kami, atau menyerang markaz-markaz kami, atau melakukan tindakan yang aneh lain, maka kami tidak akan zegeram ini menuntazkan zemua mazalah dengan RKZ. Kalian zendiri yang mengundang mazalah. Kenapa haruz begitu?”

“Kenapa juga harus berseteru dengan RKZ? Kenapa tidak bergabung dengan kami saja? Kami membutuhkan orang-orang sepertimu. Yang kuat, berangasan, dan hobi makan. Kami berlimpah ruah kalau soal makanan. Mau apapun tinggal bilang. Rendang ada, ayam goreng ada, spaghetti, ayam geprek, soto ayam, sop iga, semua ada, semua lengkap, semua tinggal disajikan – tapi dalam bentuk mie instan.”

“Azem. Awalnya zudah mau beneran pindah kelompok kok makanannya lengkap bener, ini benernya geng preman atau catering... eh alah, tapi endingnya kok mie inztan. Ya zudah aku tetap di Alianzi zaja.”

“BROOOOOOM!!” dari kejauhan terdengar suara Jay yang mengingatkan rekannya, “ingat ini bukan podcast. Ngapain pakai diajak ngobrol lama-lama? Ga bakal dapat adsense juga.”

Brom tersadar.

Hageng juga.

Mereka kembali bertatapan. Kali ini dengan lebih serius.

“Aku tak main-main,” Brom sekali lagi berucap sembari melepas kaus putih yang ia kenakan hingga menampakkan dada bidang dan perut sixpack. Tubuhnya ternyata juga lebih kekar dari yang diperkirakan oleh sang T-Rex. Brom menatap wajah Hageng dengan tatapan mata dingin meski senyumnya tetap mengembang. Suaranya juga terdengar lebih tegas, “Bergabunglah dengan kami, maka kamu akan terhindar dari pembantaian. RKZ sedang merencanakan sesuatu yang besar untuk menundukkan seluruh kota – aku yakin kamu tidak ingin berdiri di sisi yang salah saat itu terjadi.”

Hageng tersenyum sinis, “aku berdiri tepat di mana aku ingin berdiri. Berzama zahabat-zahabat yang akan teruz mendukung mezki kami zedang berada di ataz ataupun zedang jatuh.”

“Tidak ada jalan untuk membujukmu bergabung dengan kami sepertinya.”

“Jelaz tidak ada.”

“Jangan pernah menyesali keputusanmu.”

“Tidak akan.”

“Kalau begitu bersiaplah.”

Brom berjalan dengan tenang ke depan, langkah-langkahnya pasti dan tegap, tidak lari dan tidak terburu-buru. Ia siap membantai, matanya tajam ke depan tanpa memandang ke arah lain. Hanya fokus pada sosok Hageng yang berada di depannya.

Sang T-Rex juga tak kalah gahar, dia ikut berjalan pelan ke depan dengan sesekali merentangkan tangan. Dia tidak ingin membuka baju seperti Brom karena di bagian perutnya masih ada perban yang mengikat. Hageng memang sedang tidak dalam kondisi fit seratus persen. Tapi demi apa dia akan mengaku kalah dan menyerah begitu saja. Tidak akan pernah. Si kribo bongsor itu tidak mengenal kata pasrah dalam kamusnya... kalaupun ada pasti bukan kata pasrah tapi pazrah.

Sampai langkah keempat, Hageng menghentikan kakinya. Brom-lah yang maju dengan seringai senyum menyeramkan.

Hageng tersenyum sinis. “Majulah. Akan kuberikan operazi plaztik gratiz.”

“Rupamu.”

Mereka kini hanya berjarak setengah meter, masing-masing bahkan sudah bisa mendengar dengus napas yang memburu. Baik Hageng dan Brom sama-sama maju, tangan mereka mengunci pundak masing-masing. Kepala diadu dan dengus napas bertemu. Tubuh saling mendorong, badan saling menghantam, dengus napas berpacu, kaki kokoh berpijak, menghentak tanah, menandai posisi.

Tarung gulat bebas dimulai, ibarat dua pegulat sumo yang tengah mencari cara untuk menjatuhkan lawan dengan kuncian yang serupa.

Hageng yang kunciannya lebih rapat berhasil mendorong Brom mundur. Selangkah, dua langkah, tiga, empat, lima. Makin lama Brom makin terdesak dengan kekuatan yang ditunjukkan oleh Hageng. Kakinya menapak semakin mundur dan mundur.

Makin lama Hageng makin kuat mendorong Brom ke arah sebuah kulkas tua berukuran besar. Sembari berteriak kencang, sang T-Rex bersiap mendorong dan menghentakkan punggung Brom.

Namun tidak semudah itu tentu saja.

Brom yang sejak tadi terdesak tiba-tiba saja tertawa, “Hahaha. Sudah? Begini saja?”

Hageng mendengus kesal karena Brom ternyata tidak menggunakan seluruh kekuatannya. “Hmm. Azem. Zudah kudagu.”

Brom menghentakkan kaki kirinya satu langkah ke belakang, sementara tangannya menahan dorongan tubuh raksasa Hageng. Dengan satu sentakan kencang, kini justru Brom yang berbalik menguasai adu kekuatan dengan sang T-Rex. Tapi ia tidak mendorongnya. Brom menempatkan posisi tubuhnya lurus ke depan sembari mengunci dan menarik tangan Hageng, sementara ia menyeruak masuk ke sisi tengah dada lawan. Setelah pasti Hageng tak lagi melawan, ia lalu menggunakan pundak belakang sebagai tumpuan dan mengangkat tubuh sang T-Rex!

“Hnnnghhhhhh!”

Jbbbbddddddgghhhkkkgh!

Alih-alih terdorong, kini Brom justru membanting Hageng!

Sang T-Rex dihempaskan ke arah kulkas tua tiga pintu yang langsung bergetar hebat saat dua kekuatan besar saling tumbuk. Punggung Hageng terkena handle kulkas yang panjang dan kencang, membuatnya langsung meradang!

Hageng dibanting dengan posisi terbalik – kaki di atas dan kepala di bawah. Ia pun jatuh berdebam ke tanah. Tahu kalau lawan kesulitan berdiri dengan posisi terbalik seperti sekarang, kaki Brom langsung menginjak kepala sang T-Rex.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.

Lima kali tapak sepatu gunung milik Brom menghentak wajah Hageng – bahkan sampai mencetak bekasnya di pipi sang T-Rex. Hageng hanya dapat memejamkan mata menahan pedih, posisi tubuhnya yang terbalik menyulitkannya menebak arah serangan Brom. Tangannya mencoba menghalangi, tapi entah bagaimana sang King Kong selalu bisa melesakkan hentakan kaki.

Banci kurang kecap!

Tidak bisa begini terus! Hageng tahu hanya ada satu cara lolos dari situasi ini.

Sang T-Rex melepas perlindungannya. Ia membuka tangannya yang sejak tadi mencoba menyilang untuk menahan serangan dan membiarkan Brom sekali lagi menghentakkan kakinya.

Jbkgh!

Benar saja, satu hentakan kaki terlepas dan merunyamkan bibir Hageng. Tapi sang T-Rex tidak berbuat apa-apa. Dia hanya menerima saja. Hageng bahkan tidak menutup matanya saat kaki Brom kembali terayun. Dia hanya terdiam menahan pedih.

Jbkgh!

Satu lagi masuk. Hageng kembali terdiam meski bibirnya mulai bengap. Kaki Brom terangkat sedikit dan diayunkan ke bawah sekali lagi.

Jbkgh!

Satu lagi.

Jbkgh!

Lalu satu lagi. Bibir Hageng mulai pecah, darah mulai mengalir, wajahnya pun sudah membengkak. Saat kaki Brom sekali lagi terayun. Hageng hanya menarik napas panjang dan bersiap.

Jboooooookgh!

“Haaaaaaaaaarghhh!”

Satu teriakan kesakitan bergema. Tapi bukan suara Hageng, melainkan Brom. Saat ia mengayunkan kakinya, Hageng secepat kilat melontarkan pukulan dari kedua tangan untuk menghantam tulang kaki Brom dari dua arah. Dari kanan dan kiri. Dengan menggunakan kepalan terbungkus Ki.

Brom mundur tertatih dan pincang.

Saat Brom mundur, Hageng memanfaatkan waktu untuk memutar badan dan kembali berdiri tegap. Ia menekuk kepalanya ke kiri dan kanan. Sang T-Rex menggunakan punggung tangan untuk menghapus bekas darah di bibirnya yang pecah. “Kaget gak? Kaget gak? Ya kaget lah mazak gak. Heheh.”

“Bangsat.” Brom memekik kesakitan karena tulangnya berasa retak. Sialan bongsor itu sepertinya menggunakan kekuatan Ki untuk memukul tulang kakinya barusan, itu sebabnya pukulannya terasa lebih sakit dari seharusnya. “Bangsaaaaaaaaaat!”

“Kamu pikir aku akan teruz meneruz pazrah menerima pukulan? Yang benar zaja! Kamu bahkan tidak melihat aku berziap-ziap tadi. Dari zeranganmu aku bisa menghapalkan ritmenya dengan mudah dan mengirim zerangan dengan zatu uzaha zaja. Huh payah. Zengklek kan zekarang kakimu? Mana biza berhadapan dengan Hageng zang putera petir.”

“Hajigur... Memangnya Gundala.” Brom memaki dirinya sendiri yang tadi terlena. Ia berdiri dengan tertatih karena kaki yang sakit, tapi Brom melihat sedikit kelemahan yang tadi ditunjukkan oleh Hageng, ia pun terkekeh. “Hehehe... bukan hanya aku saja yang punya titik lemah, sobat Gundalaku.”

Hageng menjulurkan lidah.

Brom tersenyum sinis, sebentar lagi Hageng akan paham. Brom tadi sudah melihat perban di pinggang Hageng saat bajunya tersingkap kala tubuhnya terbalik.

“Akan aku lihat bagaimana kamu menghentikan serangan yang kali ini!”

Brom berlari ke depan sebisa mungkin, ia tidak mempedulikan kaki yang terasa nyeri karena tadi dihantam oleh Hageng. Brom mendengus-dengus seperti banteng, kalau Hageng mau pakai Ki – maka dia juga akan memakai Ki. Brom menarik kedua tangannya ke samping kiri dengan saling menangkup, lalu diayunkan ke kanan di atas kepala seperti sedang mengangkat martil raksasa untuk bersiap meremukkan beton.

Sang T-Rex mengerutkan kening, apalagi yang diincar oleh si King Kong? Ini ibarat Godzilla vs Kong, Petruk vs Gareng, atau Homer Simpson vs Peter Griffin. Efeknya pasti akan dahsyat.

Hageng bersiap.

Sayang karena terlalu fokus pada apa yang ia lakukan, sang T-Rex tidak melihat ada sosok menyelinap di belakangnya.





.::..::..::..::.





Setelah masing-masing petarung menciptakan arena, dengan satu orang berhadapan dengan satu lawan atau lebih, maka Bambang Jenggo pun mulai mengundurkan diri untuk mencari posisi yang aman di atas sebuah container tua yang tingginya sekitar dua setengah hingga tiga meter. Dia berencana untuk duduk manis di sana sembari menyaksikan pertarungan antara RKZ dan Aliansi.

Satu-satunya orang yang melihat keberadaan Jenggo adalah Bian.

Pemuda bandel yang tadinya hendak keluar untuk mencari Gamal itu secara tak sengaja melihat posisi Bambang Jenggo dan langsung menerjang semua rintangan yang ada di depannya supaya dapat dengan cepat menggapai posisi sang pucuk pimpinan lawan, Bian berlari menghindari lawan-lawan kelas keroco yang dengan mudah ia elakkan. Tidak ada hulubalang, tidak ada Amar, tidak ada Agun, tidak ada Gamal, tidak ada siapapun.

Hanya Bambang Jenggo saja.

Aturan pertama dalam peperangan: potong kepala ular untuk menghentikan serangan. Mereka harus menundukkan Jenggo. Nanto sedang tidak mungkin menghadapi sang pimpinan RKZ, Bian harus membantunya.

Si Bandel melesat maju dengan tangan menggenggam kencang kepalan yang sudah disiapkan. Ia menjejakkan kaki ke sana kemari, menaiki tumpukan besi yang bisa digunakan sebagai tangga menuju bagian atas container tempat Jenggo berada. Di atas container itu rupanya ada kursi sofa santai dan sebuah meja kecil dengan asbak penuh rokok. Tempat ini pasti sudah sering digunakan sebagai lokasi pengintaian.

Jenggo yang tadinya bersiap hendak duduk, akhirnya berdiri kembali demi menyambut kehadiran Bian. Tiwas arep leyeh-leyeh je.

“Welah ada tamu rupanya. Tamu yang datangnya tak diundang, pulangnya tak diantar.” Jenggo tertawa sendiri dengan joke-nya yang garing dan tidak kompor gas. Pria bertubuh bongsor itu menggoyangkan pergelangan tangannya. Ki yang besar juga disiapkan karena ia masih belum bisa menebak kemampuan seperti apa yang dikuasai Bian. “Mau mati dengan cara seperti apa kamu? Kok berani-beraninya naik ke sini, le tole? Heheheh.”

“Aku sebenarnya agak ga begitu suka sama guyonannya sampeyan. Garing gitu, guyonan khas jamet.” Bian mencibir, dia juga menyiapkan kepalan yang tergenggam. “aku harap sampeyan suka makan ketupat; ketupat bengkulu.”

“Hahahaha. Bocah ndagel. Awas hati-hati. Bocah ndagel matinya cepet.”

Ora ndagel tapi gayane sok ndagel biasane mati ketiban pring sak trek. Yang biasanya bikin lelucon garing biasanya...”

Swssh!

Dengan satu gerakan cepat yang terlalu luar biasa untuk dilihat dengan mata telanjang, Jenggo tiba-tiba saja sudah berada di hadapan Bian yang terkejut karena tidak sama sekali tidak menyangka orang segemuk Bambang Jenggo punya peringan tubuh kelas wahid. Sang pimpinan RKZ pun tersenyum melihat ketidaksiapan sang lawan.

Kedua tangan Bambang Jenggo membuka, punggung tangan diletakkan menghadap sang lawan, lalu diputar gemulai hingga telapak berada di depan. Pria gempal itu lantas menarik kedua tangannya ke belakang hingga pinggang.

Bibir Jenggo terbuka sedikit sambil tersenyum, sambil menyeringai main-main bibirnya membisikkan beberapa kata yang tidak terdengar.

Usai merapal kata demi kata, tiba-tiba saja kedua tangan Jenggo dihentakkan ke depan dengan sekuat tenaga.

Bian terbelalak.

Jdukkgh! Jdukkgh! Jdukkgh! Jdukkgh!

Tubuhnya terlontar ke belakang terkena sebuah sentakan Ki yang maha kencang dan menohok dada dengan sangat menyakitkan – tubuh si Bandel terbang dan terlontar dari ujung container, ia terpejam menahan nyeri. Tak dapat berpijak, Bian terjatuh dari container setinggi dua setengah meter lebih sembari terantuk beberapa kali mengenai besi dan baja yang tentunya tidak selembek roti bakar, sebelum akhirnya terjerembab ke tanah.

Beberapa kali Bian harus mengernyit kesakitan karena tulang-tulangnya nyeri tertampar besi. Dia hanya sanggup berguling.

Dari atas container, Bambang Jenggo menatap Bian dengan pandangan mata meremehkan, mulutnya terus menerus membiaskan senyuman sinis, “kalau tahu kekuatan kalian tidak akan bisa menyamai kami, setidaknya kalian seharusnya kabur dari tempat ini selagi bisa. Kalau sejak tadi sudah kabur kan tidak jadi begini kejadiannya.”

Dengan satu lompatan ringan, Jenggo mendarat di dekat posisi Bian.

Bian mendengus-dengus marah, sekujur badan yang linu susah sekali digerakkan. Ia bahkan tak bisa mengangkat satu tangan pun. Sial! Sial! Sial! Kenapa juga tangannya tak bisa digerakkan!? Apakah patah? Siaaaal!!

Bambang Jenggo melangkah ringan menuju ke arah Bian sembari memainkan pergelangan tangannya. Monster bertubuh gempal itu berjalan dengan zigzag. Aneh memang, tapi itu adalah bagian dari ilmu kanuragan yang ia kuasai dan sedang ia rapal.

Hanya sedikit yang tahu kemampuan seperti apa yang sebenarnya dimiliki oleh pemimpin lapangan RKZ itu, hanya sedikit yang tahu monster seperti apa sebenarnya si Jenggo.

Bambang Jenggo melirik ke arah lain, semuanya sedang sibuk dengan lawan masing-masing. “Sepertinya kamu sedang sial hari ini karena harus berhadapan denganku. Kalau saja kamu tadi tidak ikut datang ke sini, kejadiannya mungkin akan berbeda. Yah sayang sekali... padahal masih muda... sayang sekali sayang sekali... apakah kamu punya kata-kata terakhir yang ingin diucapkan?”

“Grrr...”

Bian mencoba berdiri. Sial, badannya benar-benar sangat linu dan nyeri. Ia kepayahan sekali. Mungkin ini akumulasi dari pertarungan yang ia lakukan terus menerus selama beberapa hari belakangan ini, tubuhnya pun akhirnya menyerah dan tak mampu lagi bertahan.

“Berhubung aku tidak ada masalah denganmu, aku beri kesempatan untuk lari. Aku akan hitung mundur dari sepuluh sampai satu. Kalau sudah sampai satu dan kamu belum juga menyingkir dari hadapanku, maka kamu akan aku habisi. Sesimpel itu. Paham ya? Begitu saja ya penjelasannya? Mudah kan? Jangan bilang aku kejam atau sadis. Aku sudah memberikan kamu kesempatan. Jadi aku harap kamu segera lari...? Apa...? Kamu kesusahan untuk berdiri? Ya kalau susah berdiri, bisa dicoba untuk merangkak seperti seekor anjing. Waahahahhaha!”

Bian marah bukan kepalang. Dia pasti akan...

Ada satu kelebat bayangan datang.

Bledaaaaaaaaaaaaagkhhhhh!

Jenggo terpapar satu benda yang sangat keras yang menghajar sisi kepalanya sampai-sampai tubuhnya terpelanting ke samping. Tubuh raksasa Jenggo ambruk tak berdaya dengan luka merah menganga di pelipisnya. Kepalanya pusing bukan main.

Beni Gundul berdiri di samping Jenggo dengan napas terengah-engah dan tangan memegang kunci inggris besar yang menjadi andalannya. Sang pimpinan Patnem itu menengok ke arah Bian. “Kowe ora popo? Kamu tidak apa-apa?

Bian mendongak dan terbelalak. Berdiri di hadapannya sekarang adalah Beni Gundul ex-Patnem. Be-Beni yang menyelamatkannya? Sekali lagi Beni, selalu Beni yang menyelamatkannya. Selalu Beni... Beni yang selalu... tapi... Bian sekonyong-konyong menyadari sesuatu.

Celaka.

“Awaaaaaaassss! Ben!!! Menyingkir dari situuuuuuuuuu!!” Bian berteriak kencang. Ia mencoba mati-matian untuk berdiri, tapi kaki dan badannya mengingkari. Bahkan hanya untuk berdiri pun Bian rasanya sudah tak mampu lagi.

“Hah?” Beni Gundul mengerutkan kening melihat Bian begitu panik. Ia melirik ke samping, dan melihat tubuh Jenggo tak lagi berada di tempat semula.

Hkghhh!

Lengan kiri besar milik Jenggo menyelinap masuk dengan cepat ke leher Beni Gundul dari arah belakang. Ia berhasil menjepit, mencekik dan mengunci sang mantan pimpinan Patnem sembari menekannya ke belakang. Tangan kanan Jenggo segera beraksi dengan cekatan untuk menghajar punggung Beni Gundul berulang-ulang kali.

Bkkkgh! Bkkkgh! Bkkkgh! Bkkkgh! Bkkkgh!

“Haaaaaaaaaaarghhhh!” Beni Gundul berteriak kesakitan. Tapi ia hanya mampu meronta, tak bisa melepaskan dari dari kuncian kencang sang pimpinan RKZ yang makin lama makin membuatnya tak dapat bernapas. Lengan besar itu tak bisa digerakkan sama sekali! Menekan lehernya!

Tangan kanan Jenggo memegang pergelangan tangan Beni yang memegang kunci Inggris, lalu menguncinya dengan kencang, dan memutarnya ke arah yang berlawanan dari seharusnya.

Krkghhh!

“Haaaaaaaaaaarghhhh!” Beni Gundul berteriak kesakitan.

“Kamu sepertinya suka memakai alat pertukangan jadi senjata ya?” tanya Bambang Jenggo sembari menahan perlawanan dari Beni yang terus menerus meronta. “Aku kebetulan baru saja mengambil sesuatu dari bawah saat kamu jatuhkan.”

Jenggo mengetatkan kunciannya di leher Beni.

“Hkghh!” Beni tercekat. Napasnya makin sesak.

Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp!

Ujung runcing obeng ditancapkan berulang kali di dada Beni Gundul yang tubuhnya ditahan oleh kuncian Bambang Jenggo. Semua upaya meronta dan melawan tidak berhasil, cakaran tangan Beni di lengan si Jenggo juga tak membuahkan hasil. Darah mengucur deras dari bekas luka tancapan obeng. Meski masih memegang kunci Inggris, tapi Beni tak bisa menggunakannya karena tulang lengannya dipatahkan oleh Jenggo tadi.

“Be-Beni...!?” Bian menatap ke arah sahabatnya dengan mata tak percaya. Tidak. Jangan Beni Gundul. Tidak. Tidak boleh. Tidak. “Tidak... tidak...! Jangaaaaan!”

Beni menatap ke arah Bian dengan pandangan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Bi... Bi... sampaikan maafku pada si Wa...”

Tangan kiri Jenggo yang menjepit leher Beni ternyata justru mulai melonggar dan akhirnya turun, membuat anggota Aliansi itu bisa bernapas sesaat dan memiliki harapan. Tapi penderitaan sang mantan pimpinan Patnem itu justru dimulai. Obeng yang dipegang tangan kanan Bambang Jenggo diputar dan dengan kecepatan tinggi diarahkan ke atas, menembus dagu dan mulut Beni.

Sblp!

Pandangan mata terbelalak kesakitan dari sang pimpinan Patnem semakin membuat Bian kian menggila dan berteriak-teriak kesetanan. Tidak... tidak... jangan! Jangan! Jangan Beni Gundul! Jangan!!

Darah sang pimpinan Patnem mengucur deras.

Bambang Jenggo menyeringai ke arah Bian, sekali lagi tangan kirinya menjepit dan mengunci leher Beni Gundul yang kini bertengger sebuah obeng. Pimpinan RKZ itu menundukkan kepala, dan berbisik perlahan ke telinga Beni. “Ampun tidak?”

Tangan Beni hanya dapat bergetar dengan rasa kesakitan yang tak terbayangkan. Ia sudah tak mungkin lagi melawan, ia bahkan tak dapat bertahan. Apalagi yang diinginkan oleh...

“Ampun tidak...?” bisik Jenggo mengulang pertanyaannya.

Beni menepuk lengan raksasa yang menjepit lehernya dengan kekuatannya yang tersisa. Ia mengangguk pelan. Ampun. Ia minta ampun. Ia tak dapat lagi berucap, tak dapat berkata dengan sesaknya himpitan di leher yang...

Srkgh! Krgkkhghh!

“Kuampuni kamu.”

Kepala Beni Gundul diputar.

Kunci inggris yang sehari-hari menjadi andalan Beni Gundul terjatuh ke tanah. Tubuh mantan pimpinan Patnem itu terkulai dan ambruk di hadapan sang pemangsa.

Tak lagi bernyawa.

Bambang Jenggo berdiri jumawa dengan seringai mengerikan di mulutnya. “Aku bilang juga apa, akan ada yang mati hari ini.” Jenggo mengedipkan mata ke Bian, “dan ini belum selesai.”

Bian terbelalak melihat tubuh sahabatnya terbujur kaku, dia sama sekali tak menyangka kalau hari ini Beni Gundul akan tewas di tangan seorang pria yang sadis - yang mudah sekali menghilangkan nyawa orang tanpa berpikir panjang.

Bian berteriak sangat kencang meluapkan kekesalan. Mata dan wajahnya memerah terbakar amarah. Dia harus membunuh Bambang Jenggo hari ini juga! Harus! Demi apapun bajingan ini harus mati hari ini di tangannya!

Jenggo tersenyum sinis. “Majulah. Hari ini sudah ada satu yang jadi korban di tanganku, aku tidak pernah puas kalau cuma satu. Kedua tanganku yang haus darah tidak akan puas. Tidak lucu kalau cuma satu kecoak saja yang kuinjak sampai gepeng. Mau jadi yang kedua?”

Bian mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang ada dan hendak berlari menuju ke arah Jenggo dengan langkah kaki tertatih. Meski tadi kesusahan berdiri, tapi karena kalap oleh nasib Beni Gundul, tiba-tiba saja Bian bisa tegap kembali. Ia sudah tidak peduli lagi! Ia harus maju! Harus menghabisi Jenggo! Harus! Dia harus...

Hpph.

Kepala Bian tiba-tiba saja dicengkeram oleh Jenggo yang tersenyum riang. Gerakannya terlampau cepat tanpa bisa dilihat oleh mata telanjang. Hanya dengan satu tangan, pimpinan RKZ yang tinggi dan gempal itu mampu mengangkat kepala dan tubuh Bian ke atas dengan mudahnya, kekuatan cengkramannya tidak main-main kuat dan kencangnya.

Cengkraman tangan itu makin lama makin kencang, siap meremukkan kepala si Bandel.

Bian mencoba meronta dengan percuma. Ia mencoba melontarkan pukulan dan tendangan yang tidak berarti apa-apa bagi Jenggo. “Heaaaaaaaaaaarrrghh!!”

Jenggo berbisik perlahan.

“Selamat tinggal.”

Krghk.





BAGIAN 23 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 24
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd