Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .

killertomato

Guru Semprot
Daftar
5 Dec 2017
Post
632
Like diterima
39.822
Bimabet
KATA BERMULA

Setelah ibundanya meninggal karena sakit, Jalak Harnanto (Nanto) yang sudah yatim piatu tinggal di desa dengan Kakek-nya. Beberapa tahun tinggal di desa, sang kakek akhirnya juga wafat. Nanto pun kembali ke kota untuk melanjutkan hidup dengan bekerja dan kuliah melalui dukungan kawan-kawan dan keluarganya yang tersisa. semua demi masa depan yang lebih baik.

Tapi hidup si Bengal tidak semudah yang ia bayangkan. Kerasnya hidup di kota, rangkaian pertarungan jalanan, tantangan pertempuran tangan kosong yang entah kenapa selalu menghampiri, manis pahit kehidupan yang naik turun seperti roller-coaster, dan lingkaran wanita yang menyambanginya silih berganti menjadi takdir hidup yang harus ia jalani.

Nanto sadar betul, hitam tak selamanya hitam seperti putih tak selamanya putih.

Inilah kelanjutan kisah perjalanan Nanto si Bengal. Untuk kisah perjalanan sebelumnya dapat dibaca pada serial JALAK dan JALAK v2.

Cerita ini adalah karya fiksi. Semua karakter, tempat, dan peristiwa yang termuat di dalamnya bukanlah tokoh, lokasi, dan kejadian nyata. Kemiripan akan penamaan, perilaku, penggambaran ataupun kejadian yang terdapat dalam cerita ini murni ketidak sengajaan dan hanya kebetulan belaka. Saya tidak menganjurkan dan atau mendukung seandainya terdapat aktivitas negatif seperti yang mungkin diceritakan.

Mohon maaf sebelumnya jika cerita ini juga akan sangat minim adegan SS (sex scene) dan mungkin lebih banyak menitikberatkan pada adegan pertarungan. Jika anda mencari rentetan adegan SS dan proses binal-binalan dari awal sampai akhir maka ini bukan cerita yang tepat. Read at your own risk.

Mudah-mudahan berkenan.
Selamat menikmati, sobat ambyar.


Sebelum membaca cerita ini ada baiknya anda membaca terlebih dahulu: JALAK dan JALAK v2



KATA BERMULA
PROLOG - JALAN KITA MASIH PANJANG
BAGIAN 1 SATU
BAGIAN 2 KOSONG
BAGIAN 3 DUA SEJOLI
BAGIAN 4 HANYA MIMPI
BAGIAN 5 PUPUS
BAGIAN 6 NONSENS
BAGIAN 7 SERIBU BINTANG
BAGIAN 8 AKU TETAPLAH AKU
BAGIAN 9 SATU SISI
BAGIAN 10 CINTA KAN MEMBAWAMU KEMBALI
BAGIAN 11 BAYANG-BAYANG
KISAH SISIPAN - STILL I'M SURE WE'LL LOVE AGAIN
BAGIAN 12 ANGIN
BAGIAN 13 ROMAN PICISAN

BAGIAN 14 PANGERAN CINTA
BAGIAN 15-A SEPARUH NAFAS
BAGIAN 15-B SEPARUH NAFAS
BAGIAN 16-A KITA TIDAK SEDANG BERCINTA LAGI
BAGIAN 16-B KITA TIDAK SEDANG BERCINTA LAGI
BAGIAN 17-A HADAPI DENGAN SENYUMAN
BAGIAN 17-B HADAPI DENGAN SENYUMAN
BAGIAN 18.1 BUKAN RAHASIA
BAGIAN 18.2 BUKAN RAHASIA
BAGIAN 18.3 BUKAN RAHASIA
BAGIAN 19.1 HIDUP ADALAH PERJUANGAN
BAGIAN 19.2 HIDUP ADALAH PERJUANGAN
BAGIAN 19.3 HIDUP ADALAH PERJUANGAN
BAGIAN 20 MAHAMERU
BAGIAN 21 LARUT
BAGIAN 22 MANUSIA BIASA
BAGIAN 23 ARJUNA
BAGIAN 24 SEBELUM KAU TERLELAP
BAGIAN 25 TERBAIK TERBAIK
BAGIAN 26 SAYAP-SAYAP PATAH
BAGIAN 27 RESTU BUMI
Struktur keanggotaan di Jalak v2. Akan di-update sesuai jalan cerita.
Silakan klik untuk memperbesar.





 
Terakhir diubah:
PROLOG
JALAN KITA MASIH PANJANG






“Aku tidak akan pernah takut pada pasukan singa yang dipimpin oleh seekor domba;
aku hanya akan takut pada pasukan domba yang dipimpin oleh seekor singa.”
- Alexander the Great






.:: 1. KETIKA SORE



Selatan.

Di sebuah hotel, yang terletak di ujung selatan pulau, di ujung selatan provinsi, di ujung selatan kota, dan di ujung selatan semuanya untuk saat ini bagi sebagian orang.

Seorang pemuda tengah menenteng sebuah helm full face untuk dibawa ke halaman parkir. Ia meminjam helm itu dari seorang satpam yang kebetulan bertugas dan tidak akan kemana-mana sepanjang malam hari. Sore itu tidak begitu ramai di pantai, halaman hotel yang sepi membuat sang pemuda melenggang dengan bebas. Rambutnya beberapa kali tersibak tersapu angin laut yang hilir mudik.

Pikirannya padat tapi ia penuh semangat. Beberapa kali ia menggunakan punggung tangan untuk menghapus keringat, saat ia berjalan, ia tahu ada sepasang mata yang menatapnya lekat.

“Mau berangkat sekarang?” Jalak Harnanto yang tengah mengunyah kuaci bertanya pada sang pembawa helm. Tangannya sibuk membuka kuaci dan melemparkan isinya ke mulut. Kakinya bersandar ke tiang penyangga teras sementara ia bersandar di dinding. Ia “Jangan lupa penuhin lagi bensinnya pas kamu balik, Ndes.”

“Santai, Nyuk.” Deka yang membawa helm mengangguk. “Aku juga bakal ambil duit nanti di ATM sama beli beberapa kebutuhan buat seminggu kita di mari. Aku pulang ke sini besok pagi.”

“Okelah.” Nanto menghela napas panjang, “Kamu lihat si Bian?”

“Terakhir aku lihat di kamarnya. Pegang botol.”

Nanto mengangguk-angguk.

Mereka saat ini berada di halaman parkir hotel dan di depan Deka sudah tersedia satu motor Hond@ CBR yang merupakan pinjaman dari om Janu. Didatangkan langsung dari kota.

Deka bersiap-siap, ia memasang sarung tangan, jaket tebal, dan sepatu gunung warna coklat miliknya. “Syukurlah hari ini akhirnya dapat pinjaman motor yang lumayan kenceng dari om Janu. Jarak dari hotel ini ke kota cukup lumayan, kalau motornya kenceng pasti bakal sangat membantu. Sayangnya cuma ada satu motor, jadi kita harus menggunakannya bergantian. Hari ini aku yang pakai, besok kamu, besok lagi Roy, lalu Bian kalau dia gak mabuk, Hageng kalau dia sembuh, dan seterusnya dan seterusnya. Intinya bergantian.”

Nanto mengangguk. “Paham.”

“Om Janu juga bilang ada baiknya kita tetap stay low dulu karena situasi di utara masih panas, paling tidak untuk seminggu dua minggu ke depan. Selain menghindari pihak yang berwajib yang pasti memeriksa gudang RKZ, sisa-sisa anteknya Bambang Jenggo juga sudah pasti sedang gerilya. Dapat dipastikan mereka bakal menyerang pos-pos Aliansi seperti Kandang Walet atau markas Sonoz untuk balas dendam. Jangan lupa bahwa RKZ masih memiliki Tunggul Seto, Tedi Ganesha, Roni, dan Albino untuk menggerakkan pasukan. Tapi ada juga ancaman serangan dari JXG yang akan membabibuta menghabisi RKZ setelah ketahuan mereka yang menculik putri Pak Zein. Hanya saja aku tidak tahu bagaimana perjanjian Pak Zein dan om Janu tentang hal ini. Bagaimana menurutmu?”

Nanto mendengus, “JXG bakal tetap ngelabrak ke utara, tapi dalam jumlah yang tidak masif. Kalau besar-besaran itu namanya cari goro-goro sama om Janu dan QZK. Perang besar bakal pecah hanya dengan sejentikan jari. Tidak, Pak Zein pasti juga punya strategi. Dia tidak akan gegabah mengerahkan pasukan besar-besaran untuk ngeluruk ke utara karena dia tahu om Janu juga tidak mau halaman rumahnya diacak-acak orang selatan. Mereka berdua pasti bakal bikin perjanjian.”

Deka mengangguk, “Sudah dipastikan bakal seperti itu. Bagaimana posisi kita? Sampai kapan kita bakal terus di sini menurutmu?”

“Kita lihat dulu kondisi Hageng apakah dia bisa sehat dengan cepat, baru kita ambil keputusan. Paling tidak seminggu ini kita lihat apakah kita bisa balik ke kota atau tidak. Urusan Aliansi kita percayakan pada Rao dan Simon. Mereka lebih dari sanggup memimpin pasukan.”

“Urusan sisa-sisa RKZ?”

“Untuk sementara kita stay low, serahkan urusan pada JXG. Intinya kan mereka yang ingin menghabisi sisa-sisa RKZ. Sebaiknya kita tidak ikut campur dan sebisa mungkin tidak berada di tengah-tengah urusan mereka. Tidak ada untungnya. Kalau RKZ menyerang kita, ya kita bertahan. Kita tahu Tedi Ganesha, Roni, dan juga Albino pasti sedang dalam bahaya besar. Nyawa mereka terancam.”

“Itu resiko mereka.”

“Memang, tapi kalau boleh jujur aku masih tidak rela nyawa dibuat main-main dengan mudahnya. Terlebih nyawa orang-orang yang sebaya dengan kita. Mereka memang lawan, tapi Tedi Ganesha, Roni dan Albino itu sebenarnya kan masih mahasiswa, eman-eman sekali kalau mereka dieksekusi hanya gara-gara mengikuti perintah Bambang Jenggo. Kalau saja mereka mau berubah dan sadar mereka bisa saja berdiri di sisi kita...”

Deka setengah tertawa, “Naif itu ada batasnya, Nyuk. Mereka sendiri yang sudah memilih jalan yang pengen mereka lalui, lagipula belum tentu juga mereka bakal mati. Ketiga orang itu cukup alot dan tukang loncat, mulai dari berafiliasi ke Sonoz, lalu KSN, sekarang RKZ. Mereka pasti bisa bertahan atau mungkin gabung kelompok lain. Lagipula kita tidak bisa menyelamatkan semua orang, kamu itu bukan dewa.”

“Memang bukan. Hanya pemikiran saja.” Nanto mengangkat bahunya, “Kowe dewe arep nang ndi, dab? Kamu mau kemana?”

“Seperti yang kemarin lusa aku bilang, aku harus menemui Ara. Aku mengkhawatirkan keadaannya. Kemarin dia bilang sudah lebiih membaik tapi tidak bilang siapa yang menyerang atau apa yang sebenarnya terjadi. Aku sudah ga sabar, tapi sayangnya kita baru mendapatkan motor hari ini.”

Nanto mengangguk. Dia memukul pelan pundak sang sahabat. “Pastikan dia sehat-sehat saja. Hubungi aku kalau ada yang bisa kubantu. Setelah semua beres, cepatlah balik ke sini. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan saat kamu pulang nanti.”

Deka terdiam. Dia sudah tahu arah pembicaraan ini. Nanto pasti pengen tahu perihal Ki Demang Undur-Undur. “Nyuk...”

“Aku nanya karena aku anggap kamu lebih dari saudara, Ndes. Aku cuma pengen tahu bagaimana bisa kamu mendapatkan seorang guru aliran hitam? Kenapa dia yang kamu pilih untuk mendulang ilmu? Apa masih kurang di dunia ini guru-guru dari aliran putih? Lagipula kenapa dia lantas datang kemari? Tahu darimana dia tempat ini? Itu saja. Jawaban apapun darimu tidak akan masalah, aku akan selalu mendukungmu asal kamu masih eling lan waspodo.”

“Untuk saat ini aku hanya bisa bilang kalau semuanya akan baik-baik saja. Percayalah padaku. Lusa kemarin memang aku yang mengundang beliau kemari. Beliau juga cuma sebentar saja kan datangnya, hanya memberikan ilmu mengenai cara meditasi untuk menenangkan dan menyembuhkan diri.”

Ndes...”

“Percayalah. Penjelasannya nanti setelah aku pulang dari kota. Kamu percaya kan sama aku?”

“Aku selalu percaya sama orang yang sudah aku anggap saudara sendiri, tapi aku tidak akan pernah mempercayai ilmu hitam. Apapun alasannya. Aku tidak ingin kamu terjerumus. Jadilah bijak, Ndes. Aku tahu kamu pengen kuat dengan cepat dan aku yakin kamu pasti bisa, tapi tidak seperti ini caranya.”

Deka terdiam, tapi kemudian menepuk pundak sang sahabat. “Hitam tak selamanya hitam seperti putih tak selamanya putih. Dari semua orang yang memahami ilmu putih maupun hitam, kamu yang seharusnya paling memahami mengapa aku melakukan itu. Tapi sekali lagi, aku akan menjelaskannya nanti setelah aku pulang dari kota. Oke? Aku takut kemalaman, aku pergi dulu.”

Deka mengarahkan kepalan ke Nanto dan langsung dibalas dengan tepukan kepalan juga. Fist bump.

Deka mengenakan helm dan menaiki motor yang ia dapatkan dari om Janu. Tak lama kemudian terdengar bunyi motor meraung, dan motor itupun melaju keluar dari hotel. Nanto hanya dapat mengamati sang sahabat mengendarai motornya dari kejauhan.

Tepat saat motor Deka baru saja lenyap di penghujung jalan, ponsel si Bengal yang berada di kantong celana menyalak nyaring. Saat melihat nomor yang ada di layar, Ia tersenyum dan mengangkatnya.

“Hai.”

Hai.”

“Gimana kabarmu?”

Tidak begitu baik. Apalagi kamu tidak ada di sisiku. Kalau tadi tidak kirim WA, mungkin aku sudah loncat keluar jendela. Kamu jahat banget sih, Mas?

“Hah? Kok loncat? Emang kenapa? Jangan becanda tentang yang begituan ah. Maaf ya, aku tidak segera memberi kabar. Bukan karena tidak ingin tapi karena tidak bisa. Situasinya benar-benar kacau balau. Tapi ini sudah membaik, aku bakal balik ke kota setelah beberapa hari di Pantai Selatan seperti yang aku bilang di WA.” Nanto mendesah sekaligus merasa tenang saat mendengar suara lembut sang kekasih. “Jujur, aku kangen banget sama kamu.”

Gombal. Kalau kangen sudah pasti telpon aku. Ini sudah beberapa hari tidak menghubungi, ditelpon ga bisa, dicari di kontrakan ga pernah ada. Eh, tahu-tahu hari ini nge-chat kalau sudah ada di Pantai Selatan. Gimana sih ni orang, apa sudah lupa kalau punya pacar?

Nanto terbayang penyekapannya di gudang RKZ bersama Nada. “Aku... sedang menghadapi masalah yang cukup pelik. Susah diteranginnya, menyangkut... kerjaan sampinganku.”

Aku paham sama apa yang kamu lakukan, tapi mau sampai kapan kamu seperti ini terus? Kamu tidak khawatir dengan keselamatan kamu sendiri? Kamu pikir aku tidak khawatir membayangkan kamu sedang apa dan bagaimana kondisimu? Tahu tidak sudah berapa malam aku menangis karena ga denger kabar kamu? Aku kesepian! Kamu benernya sayang ga sih sama aku?

“Ya sayang dong. Sayang banget. Makanya kirim WA. Kamu di mana sekarang? Besok aku akan ke kota, Kami harus bergantian pakai motor perhari selama seminggu ini. Jatahku besok, asli udah ga sabar. Aku pengen banget ketemu kamu.”

Aku di rumah sakit.”

“Hah!? Di rumah sakit?” Nanto tertegun, jelas ia sangat terkejut. “Kenapa kamu ada di rumah sakit? Kamu sakit apa? Kamu tidak apa-apa kan? Kamu kenapa?”

Kira-kira kenapa, Mas?

“Lho? Ya aku tidak tahu dong, sayang. Kenapa memangnya? Kamu sakit apa? Duh, maaf aku tidak bisa ke sana sekarang dan menjagamu karena harus sementara waktu menghilang dulu dari kota. Tapi akan aku usahakan menjengukmu besok. Kamu sakit apa? Di rumah sakit mana?”

He’em. Aku paham kok. Aku tidak apa-apa, hanya capek saja. Bedrest saja di sini, mungkin lusa sudah boleh pulang.” Suara kekasih Nanto itu terdengar sangat capek, lalu terdiam untuk beberapa saat. Ia kemudian menjawab dengan suara lelah. “Aku di rumah sakit depan Bank CBSA, Mas. Tahu kan? Yang di parkirannya ada warung bakso ngetop. Deket perempatan Jalan Oslo.”

“Iya, aku tahu tempatnya, sayang. Yakin kamu tidak apa-apa? Kalau tidak hari ini, besok aku akan ke sana. Aku gantian sama Deka keluarnya. Jadi harus menunggu dia balik lagi ke sini baru aku bisa pergi. Maaf banget ya. Jarak tempat ini sama kota lumayan jauh, jadi butuh waktu perjalanannya, itu sebabnya kami mengatur penggunaan motornya bergantian. Rencananya aku juga mau ziarah ke makam Lady. Kamu tahu sendiri dia telah...”

Iya. Aku tahu Mas. Nanti atau besok, aku tetap akan menunggumu. Kami akan selalu menunggumu.”

“Iya.” Nanto memandang ke arah laut yang membentang luas di depan matanya, perasaan ada yang aneh. “Kok kami...? Ada siapa saja memang di situ?”

Iya. Aku dan dia akan selalu menunggu kamu datang.”

Nanto mengerutkan kening, jawaban yang aneh. “Dia? Dia siapa?”

Kinan tidak segera menjawab, ada pause yang cukup lama. Kalau saja tidak ada dengus napas yang terdengar, maka si Bengal akan mengira sambungan telpon mereka terputus. Nanto ikut terdiam, ada perasaan aneh yang menyeruak ke dadanya. Perasaan yang aneh dan tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, dan perasaan itu perlahan-lahan membungkus jiwanya.

Nanto mulai merasa tidak nyaman, “Sayang? Masih di situ?”

Masih. Mas... ehm... sebenarnya ada sesuatu... ada sesuatu yang pasti bakal bikin Mas kaget. Sesuatu yang penting banget. Tapi aku bingung gimana ngomongnya sama Mas.”

“Oh? Kenapa bingung? Mau bilang apa emang?”

Aku tidak tahu apakah ini kabar baik atau kabar buruk buat Mas. Jadi kasih tahunya ntar aja kalau Mas udah sampai di sini. Aku tidak mau ngomongin ini di telpon.”

Nanto tersenyum, “Hmm, apa sih? Sumpah bikin penasaran. Tapi ya udah ga apa-apa. Aku juga pengen ngobrol sama kamu-nya langsung, ga pengen lewat telpon begini. Aku pasti datang kok. Kangen banget sama kamu, sayang.”

Aku juga kangen banget, Mas. Aku butuh kamu di sini.”

“Aku pasti datang. Aku janji.”

Aku tahu.”

“Sayang...”

Ya?

“Hidupku tanpamu takkan pernah terisi sepenuhnya, karena kau separuhku...”

Lawan bicara si Bengal tidak menjawab. Tapi Nanto tahu dia pasti sedang tersenyum. Tak lama kemudian terdengar bisikan suara lembut dari ujung sana.

“...ku sadar beruntungnya aku.”

Ada rasa nyaman yang mengelus rindu mereka dengan lembut. Mengisi perasaan keduanya dengan rasa bahagia yang hanya bisa mereka yang rasa.

Tak sabar ingin bertemu.

Berbagi suka duka, saling mengisi dan menyempurnakan.





.::..::..::..::.





.:: 2. KETIKA MENJELANG MALAM



“Simon.”

“Deka.”

Deka meletakkan keranjang buah di meja yang ada di dekat pesawat televisi di depan ranjang yang digunakan oleh Ara. Gadis itu sendiri tengah terlelap, keringatnya deras mengucur, saat tertidur terlihat Ara memegang dadanya dengan napas pendek-pendek.

“Bagaimana kondisinya?” tanya Deka sembari mensejajari Simon, mengamati Ara dari seberang.

“Mulai stabil, tapi tidak dalam kondisi yang terbaik. Masih ada racun yang menyebar, kemungkinan dari jurus Cakar Tangan Hitam kalau melihat luka di dadanya. Apakah kondisi ini mirip dengan Roy? Mungkin kita bisa membantu Ara dengan menggunakan cara pengobatan yang sama.” jawab Simon sekaligus mengajukan pertanyaan balik. Ada kekhawatiran di nada suaranya. “Aku takut pengobatan medis tidak akan cukup cepat menyembuhkan dan menetralisir sebaran racunnya.”

Deka melirik ke arah pria tampan bertubuh tinggi tegap itu, “Mirip, tapi kalau dilihat dari gejala dan luka yang ditimbulkan. Aku akan mencoba mengundang Roy kemari dan juga orang yang membantu menyembuhkannya untuk melihat kondisi Ara. Mudah-mudahan mendapatkan jawaban yang terbaik. Aku juga akan menanyakannya ke guruku, siapa tahu dia punya jawaban cara untuk menetralisir racun dari jurus terkutuk itu.”

“Terima kasih.”

Deka mendengus. Ia tidak menatap langsung ke sang Pemuncak Gunung Menjulang, tapi mengajukan pertanyaan dengan ketus. “Kenapa justru kamu yang berterima kasih? Sudah kewajibanku untuk mendatangkan Roy dan si tabib ahli racun kemari, karena wanita yang sedang kesakitan di depan itu adalah tunanganku. Seingatku dia bukan siapa-siapa kamu.”

Look, Deka. Aku sangat menghormatimu. Aku juga tahu kamu akan mempermasalahkan hubunganku dengan Ara, tapi jujur aku sangat menya...”

“Hubunganmu dengan Ara? Hubunganmu? Hub... Dengar. Sudah beruntung aku tidak menghajarmu karena berani-beraninya mendekati tunanganku di saat kami berdua masih belum memutuskan apa yang akan kami lakukan terkait pertunangan kami berdua,” ujar Deka setengah mengancam. “Jangan pernah punya pikiran macam-macam tentang Ara... atau kuseret kamu keluar dari kamar ini dan menghajarmu di luar sana.”

“Hhh. Interesting.” Simon menarik napas dan tersenyum, sang Pemuncak Gunung Menjulang mengangkat tiga jari di depan si Gondes. “Pertama, aku masih akan menghormatimu karena kamu benar, aku bukan siapa-siapa. Secara resmi Ara adalah kekasih dan tunangan kamu dan karena aku sangat menghormati Ara, maka aku akan diam saja; Kedua, aku masih akan menghormatimu karena kamu bagian dari Lima Jari dan wakil langsung dari Nanto. Itu artinya kita sama-sama rekan di Aliansi dan karena aku sangat menghormati perjanjian Sonoz dengan DoP dan Lima Jari, maka aku akan diam saja; Ketiga, aku masih menghormatimu karena ini rumah sakit dan aku tidak ingin menimbulkan keributan di tempat yang tidak tepat...”

Deka membalikkan badan supaya dia dapat dengan tepat berhadap-hadapan dengan sang Pemuncak Gunung Menjulang. Keduanya saling bertatapan dengan tajam, saling menantang. Keduanya adalah pesaing yang memperebutkan cinta sang dara yang tergoleh lemah tanpa daya tak jauh dari mereka, dua orang pria yang merasa paling berhak memiliki Ara.

Simon mendesis, “...tapi kalau sekali saja kamu mengira kamu bisa menginjak-injak seorang Sonoz dengan ledekanmu, harap dipertimbangkan lagi dengan masak-masak. Karena saat itu aku tidak akan peduli lagi kamu siapa dan kita sedang berada di mana. Aku akan tutup mulut dan membiarkan Pukulan Geledek yang berbicara sampai kamu diam tak bergerak di bawah injakan kakiku dan memahami apa yang sedang aku ucapkan.”

Deka tersenyum, “Nah begitu dong, ngegas. Bagaimana kalau kita buktikan saja sekarang di luar? Siapa sebenarnya yang lebih pantas ngomong besar. Di saat yang lain bertarung melawan RKZ, di mana ketua Sonoz yang terhormat? Butuh berapa lama sih buat nganterin seorang cewek balik ke rumahnya? Kenapa memangnya kamu tidak balik lagi ke gudang? Takut lihat Bambang Jenggo? Kalau memang bisa ngomong besar, setidaknya dibuktikan juga dengan tindakan besar. Jangan menggoda tunangan orang.”

“Aku tidak ngomong besar. Aku berdiri di sini karena aku memiliki alasan yang kuat. Ada sebabnya kenapa aku yang dia hubungi pertama kali dan bukan tunangannya sendiri. Lebih baik kamu menyerah kalau memang tidak bisa memberikannya kebahagiaan, karena aku bisa memberinya segalanya lebih baik. Dia pantas mendapatkan kebahagiaan.” Simon menyeringai sembari menunjuk Ara.

Deka jelas geram. “Dasar baji...”

“Ma... Mas Deka? Kamu datang, Mas?”

Percakapan dua pemuda yang sedang saling bersaing itu terputus ketika terdengar suara lirih sang wanita yang menjadi sumber penyebab perseteruan. Deka buru-buru menghampiri Ara yang sedang tergolek lemah. Saat itulah Deka baru menyadari kalau wajah Ara sangat pucat dan bibirnya terlihat berwarna gelap. Racun yang menyebar di tubuhnya sepertinya tidak main-main.

“Bagaimana keadaanmu?” Deka duduk di kursi yang ada di samping ranjang Ara. Tangannya erat memegang tangan gadis yang lemas itu.

“Su-sudah mendingan...” Ara menatap tunangannya dengan mata berkaca-kaca, “Mas... Mas... aku di... aku di...”

“Sshh... sudah tenanglah. Aku di sini sekarang, aku di sini. Tidak ada lagi yang bisa menyakiti kamu. Aku berjanji. Maaf aku tidak bisa berada di sisimu saat itu.” Deka mengelus-elus tangan Ara dengan penuh perasaan. “Kamu akan baik-baik saja. Aku akan memastikan kalau kamu pasti akan baik-baik saja.”

Ara ambruk di pelukan Deka, menangis sesunggukan dalam pelukan laki-laki yang sudah ia kenal baik sejak SMA itu. Deka melirik ke arah Simon yang kemudian memilih untuk melangkah keluar dari bangsal. Entah karena dia menghormati Ara dan Deka, atau karena dia cemburu berat.

“Aku akan mencoba mencari cara bagaimana bisa menyembuhkanmu. Oke? Tenang saja. Aku tidak akan pergi jauh darimu, aku pasti akan kembali lagi kemari. Hanya saja seminggu ini aku akan menghilang dulu dari kota karena satu dan lain hal...”

Ara mengangguk sembari menghapus air matanya.

“Maaf ya, Mas. Aku merepotkanmu...”

“Aku tunanganmu. Sudah seharusnya aku melakukan ini...”

Ara menunduk. “Mas... tentang itu...”

Deka melirik jemari Ara, dia baru menyadari tidak ada lagi cincin di sana. “Dengar... tentang itu bisa kita bicarakan nanti. Yang penting kamu sembuh dulu, oke. Setelah itu aku berjanji tidak akan membuatmu bersedih lagi. Kamu sangat berarti bagiku dan untuk itu akan aku kerahkan semua kemampuanku untuk menyembuhkanmu. Bahkan jika setelah itu kamu akan memilih untuk tetap setia bersamaku atau lebih memilih untuk bersama dengan dia...”

“Mas... maaf... aku...” Ara berkaca-kaca. Ia merasa bersalah. Jemarinya menggenggam erat tangan Deka.

“Aku tahu.” Deka menggerakkan jemarinya untuk kembali menghapus air mata sang tunangan. “Tenanglah... Aku tahu.”

Deka tersenyum.

Pahit.





.::..::..::..::.





.:: 3. KETIKA MALAM



Hageng meregangkan badannya yang terasa remuk dari atas sampai bawah, samping ke samping, belakang ke depan, ujung ke ujung. Beginilah kalau habis berantem, selalu saja badannya jadi nggreges-nggreges. Semua terasa pegal, dari kepala, pundak, lutut, kaki, lutut, kaki.

Dia menguap untuk kesekian kalinya malam itu, mungkin sudah saatnya tidur. Tapi sudah hampir seharian ini dia sebenarnya tidur melulu. Bukannya sehat, tapi badan jadi pegal-pegal. Mungkin dia harus jalan-jalan keluar untuk menikmati pagi sekalian berolahraga, hal semacam itu termasuk terapi untuk penyembuhan kan?

“Gimana kondisimu, Dab?” Nanto muncul sambil bersidekap dan bersender di pintu yang sejak awal tidak ditutup oleh Hageng. Wajah tampannya terasa terlalu cerah ceria di malam yang dingin. Hageng tersenyum, pasti baru saja telpon pacarnya si bocah ini gembira begini. Nanto menunjuk ke badan sang T-Rex, “Sudah mendingan?”

“Hahahahaha, lumayan, Dab! Dokter dari om Janu memang manjur dan cezpleng obatnya. Diolez zekali dua kali langzung ketagihan enaknya. Badan pegel dari pagi zampe malam. Hahaahahah.”

“Wkwkwwk, dasar Hageng. Ya tidak apa-apa lah sakit sebentar, kalau sudah sembuh nanti kita berlatih bersama, oke? Sepertinya tinju Pukulan Palu Dewa Petir-mu... atau apapun nama yang kamu bikin-bikin... yang tentu saja sebenarnya adalah Pukulan Geledek dari Simon, pantas untuk di-upgrade kemampuannya. Jadi tidak hanya sekedar satu jurus pukulan saja. Barangkali nanti kita bisa menemukan cara untuk meng-upgrade sehingga tidak mentah-mentah sekedar mengeksekusi jurus pukulan saja. Bagaimana menurut pendapatmu?”

“Ha boleh zaja. Aku zelalu ziap dengan zegala mazukan darimu, Mazdab! Ziapa tahu aku biza mengejar ketinggalan dari yang lain.” Hageng berbinar dan mengangguk gembira. Dia bahkan tidak mempedulikan ponselnya yang berbunyi nyaring meminta perhatian darinya, ingin diangkat tapi dicuekin.

Nanto tersenyum dan melambaikan hormatnya. “Bilang saja kalau kamu sudah merasa lebih sehat, oke? Kita latihan bareng. Toh aku bakal terus berada di sini.”

“Ziyap, Boz!”

Nanto tertawa. “Oh iya, kamu lihat Bian?”

“Bian? Bukannya ada di kamar ya? Raza-razanya dia jarang zekali keluar dari kamar.”

“Oh oke. Ya udah kalau gitu.”

“Ziyap.”

Si Bengal pun meninggalkan Hageng.

Akhirnya Hageng meraih ponselnya yang terus menyalak dengan nyaring. Hmm, siapa sih ini kok ngotot betul? Saat Hageng mengangkat ponselnya Ia terkejut melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Lho? Ngajakin video call-an? Yuk lah, tarik. Gaskeun.

Hageng menekan tombol terima.

“Haaai.”

“Lho, kamu toh? Aku kira ziapa!” Hageng terkejut ketika melihat wajah indah yang menghias layar ponselnya. Sesosok wajah berkerudung yang tersenyum manis. “Dek Na?”

“Hehehe. Iyaaa. Maaf ya Na mengganggu Mas Hageng malam-malam begini. Mas Geng sedang sibuk?”

“Oalah ya tidak. Kenapa haruz zibuk kalau biza ngobrol zama Dek Na. Hahahaha. Di zamping raja ada zang ratu, apa kiranya yang biza zaya bantu? Ahahahaha. Ihir. Zungguh zangat makbedunduk zekali Dek Na ngajakin video call. Zepanjang umur, baru Dek Na-lah cewek pertama yang aku kenal yang mau ngajakin aku video call-an, biazanya ngobrol aja udah muntah. Xixixi. Ini zebuah preztazi baru, zebuah hal yang zepatutnya dirayakan. Hip hip hore.”

“Hahahaha. Sampai segitunya ya?”

“Zegitunya. Jadi gimana, apa yang biza Hageng bantu untuk Dek Hazna Novita? Buah mangga dipotong rapih, kira-kira ada apa nih?”

“Err... ga penting-penting banget sih benernya, Mas Geng. Na cuma bertanya-tanya saja. Beberapa hari ini Mas Hageng kok tidak kelihatan di kost. Padahal Na sudah buatin beberapa cemilan dan roti kering lho. Semacam percobaan gitu. Rencananya Na mau jual besok pas lebaran. Meski masih lama, tapi belajarnya mulai dari sekarang. Kalaupun tidak enak atau ternyata beracun, kan udah dicicipin Mas Hageng duluan, begitu. Hihihi. Maaf ya, Mas. Soalnya Na jarang-jarang nemuin kelinci percobaan yang ikhlas seperti Mas Geng.”

Hmm. Ini harus gembira atau malah sedih ya benernya?

“Tenang zaja Dek Na. Maz Hageng paztinya akan pulang demi mencicipi zemua kue dan roti buatan Dek Na yang maknyuz lezatoz joz kotoz-kotoz. Tapi pulangnya kemungkinan baru zeminggu lagi. Tidak apa-apa ya? Maz Hageng zedang liburan dadakan berzama kawan-kawan ini.”

“Oh iya... iya, Mas... maaf jadi ngrepotin.” Hasna menampakkan wajah kecewanya di layar.

Hageng tentunya tak kurang akal. “Tapi beberapa hari lagi Maz Geng akan berjalan-jalan ke kota zebentar untuk mencari bahan makanan yang dibutuhkan di tempat liburan. Barangkali biza mengajak Dek Na keluar zebentar untuk makan ziang berzama?”

“Eh... eh...? Ma-makan siang?” Hasna gelagapan. Ini bukan ajakan nge-date kan? Gadis itu jadi agak gelisah. “Di-di... di mana, Mas?”

“Belum terpikirkan zih. Kalau mizalnya tidak keberatan, Dek Na boleh memilih tempatnya. Jadi kita nanti biza zama-zama nyaman. Biza ngobrol zepuaznya mengenai kezepakatan kontrak kerja zaya zebagai pencicip ofiziyel dari roti lebaran Dek Na. Ihihihi.”

Wajah Hasna berubah menjadi cerah, ia mengangguk dengan cepat, “Iya deh, boleh. Nanti aku cari tempatnya dulu ya, Mas. Tidak perlu jauh-jauh dari rumah kan? Tahu sendiri aku kemana-mana harus membawa ehm... anu...”

“Ziap, Dek Na. Hageng zelalu ziap zedia. Jangan khawatir, Hageng nanti yang akan menguruz zemuanya. Hageng gitu loh.” Sang T-Rex kribo menepuk dadanya bak King Kong.

Hasna tertawa renyah melihat kelakuan Hageng.

“Ya udah kalo gitu. Hubungi aku ya, Mas. Kapan Mas Hageng mau ke kota.”

“Ziap.”

“TTYL. Ciao.” Hasna tersenyum sekali lagi dan menutup sambungan teleponnya dengan Hageng.

Hageng mengernyitkan kening, “Eh... Titiyeyel? Titiyil? Apa itu? Hahaha, kok aku ora mudeng.”

Tapi Hasna sudah tak lagi nampak di layar ponsel sebelum si Kribo sempat menanyakan apapun. Dia pun mengangkat pundaknya dan tertawa, lalu kembali berbaring untuk bersantai. Tangannya meraih kertas dan pensil yang diberikan gratis oleh pihak hotel, lalu mulai corat-coret. Daripada manyun, lebih baik berkarya. Ini baru namanya jiwa seni yang produktif.

Hageng tersenyum, sepertinya sudah saatnya dia membuat puisi. Dia sudah menyiapkan judul yang amat sesuai dengan situasi yang dia hadapi sekarang. Semua rasa sakit yang ia rasakan, penyembuhan yang harus ia lakukan, dan video call dari seorang wanita cantik yang sama sekali tidak ia duga-duga. Semua hal itu membenamkan segenap rasa karya dan karsa dalam jiwanya, membuatnya ingin meledak dengan jutaan kata dan kalimat penuh makna.

Dia harus membuat puisi itu.

Puisi yang judulnya... Kecombrang.

Hageng mulai corat-coret asyik di kertas, mulutnya komat-kamit sembari menulis. Inilah kebiasaan sang T-Rex yang selalu monyong ketika berkarya.

“Bipbipbipbip ponselku berbunyi. Bipbipbipbip begitu bunyinya.”

Ringtone ponsel Hageng berbunyi kembali. Hahaha, mau apa lagi nih si Hasna? Apakah dia sudah menemukan tempat makan yang sesuai untuk mereka berdua? Bagus, jadi dia nanti bisa...

Hageng tertegun.

Nomor di layar itu bukan nomor Hasna, itu nomor milik orang lain. Satu kalimat yang muncul di layar ponsel Hageng yang berasal dari aplikasi pesan singkat membuat sang raksasa mengerutkan kening dengan heran. Dia membuka layar dengan terburu-buru dan membuka aplikasinya.

Hageng, aku butuh bantuanmu. Aku dikejar-kejar seseorang. Aku takut. Tolong.”

Hageng menggigit bibir bawahnya, nomor ini kan milik... Eva. Kenapa lagi wanita seksi itu sekarang? Kena masalah apalagi dia? Haduh. Mana badannya sendiri masih seperti ini pula, mana mungkin dia bisa menolong Eva.

Tapi sungguh Hageng penasaran.

Hageng mencoba menelpon Eva. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada wanita cantik itu. Hageng mengangkat ponselnya ke telinga. Hanya terdengar nada dering saja, tidak ada tanda-tanda kalau telponnya akan diangkat. Hmm... apakah Eva baik-baik saja?

Ketika Hageng sudah hampir menyerah setelah tiga kali menelpon tanpa hasil, tiba-tiba saja panggilannya diangkat.

“Halo, Eva?”

Tidak ada suara di ujung sana.

“Eva?”

Masih tidak ada suara di ujung sana. Tapi terdengar bunyi dengusan napas.

“Eva...?”

Hageng mulai curiga. Ini tidak seperti biasanya. Dia mulai benar-benar mengkhawatirkan wanita cantik yang memang sepertinya sering bersinggungan dengan dunia hitam itu. Hageng berulang kali mendengarkan dengusan napas di telepon.

“Halo? Eva? Jangan main-main lah. Kamu kenapa?”

Saat itulah tiba-tiba saja ada jawaban.

“Jangan ikut campur. Nanti menyesal.”

Klk.

Telpon ditutup. Detak jantung Hageng terpacu. Ia terbelalak kaget. Siapa itu tadi? Jelas itu bukan Eva. Itu suara laki-laki dengan suara berat. Kenapa dia yang mengangkat panggilan masuk di smartphone si cantik itu?

Apa yang terjadi pada Eva?





.::..::..::..::.





4. KETIKA MENJELANG TENGAH MALAM



“Kamu lihat Bian?” tanya Nanto saat berjalan bersama Roy selepas dari ruang makan. Nanto baru saja menyempatkan makan dengan dua porsi mie goreng rasa ayam bawang, sementara Roy hanya mampir untuk mengambil sebotol minuman dingin bersoda dari kulkas.

“Kalau tidak salah sih dia baru aja keluar kamar. Mungkin jalan ke pantai kayak kemarin.”

“Oh ya? Malam-malam begini?”

“Iya, cari angin. Mau aku susul nih. Aku selalu ngawasin dia, Dab. Takut kalau kenapa-kenapa. Tahu sendiri kondisinya gitu.”

Nanto mengangguk, “Ke pantai ya? Aku pengen ajak ngobrol sebentar, aku saja wes yang cariin dia. Mudah-mudahan habis ngobrol bisa meringankan beban dia. Aku tahu dia sedang mengalami masa-masa yang berat. Apalagi kematian Beni sangat mengenaskan dan itu terjadi di depan matanya.”

Roy mengangguk. Ia menenggak minuman bersodanya. Nanto melirik sang sahabat. Ada yang berbeda dari raut mukanya.

“Tegang banget, Roy. Ada masalah?”

“Iya. Agak lumayan banyak pikiran.”

“Kenapa? Cewek?”

Roy cengengesan, tapi kemudian mengangguk. Nanto tertawa, ia merangkul sang sahabat.

“Cerita,” ujar si Bengal memancing. “Apa masalahmu? Aku tidak yakin bisa bantu, urusanku sendiri juga ruwet. Tapi siapa tahu bisa kasih masukan. Siapa tahu tambah ambyar. Hahahaha...”

“Hahahaha.” Roy menunduk dan mengangguk – menandakan dia bersedia membagi cerita dengan si Bengal, “Dia maunya serius, maunya nikah. Gimana menurutmu, Dab. Enaknya siap tidak ya?”

“Siap tidak siap, ya disiap-siapin. Seorang laki-laki yang sudah berjanji tidak akan menarik janjinya. Aku tahu kamu pasti akan menjadi seorang suami yang bertanggung-jawab suatu saat kelak. Kelaknya itu yang tentative, bisa dalam waktu dekat bisa pas tahun kabisat. Terserah kalian berdua. Hohoho, wah dia pasti bakal sangat terkejut kalau tahu kamu masih hidup, Dab. Wasu. Aku we mikir kowe ki wes mati je.”

Roy tertawa dan ikut mengangguk setuju, “Aku juga sempat mikir hal yang sama, aku pikir aku bakal mati tapi ternyata masih selamat. Sayangnya racun yang masih menyebar di dalam dadaku bukan main-main. Aku harus terus melatih ilmu kanuragan untuk bisa menetralisir dan semoga pada akhirnya bisa membuang semua racunnya.”

Nanto menepuk pundak Roy. “Jaga kesehatan dan teruslah berlatih. Kita akan buang racun itu bersama-sama, Dab.”

Roy tersenyum, “Sebenarnya... sejak aku kembali, aku merasa ada yang kurang pas dengan badanku. Ada perasaan semua yang telah aku lakukan tidak lagi bisa seratus persen. Aku tidak tahu apakah aku bakal sanggup untuk terus berada di samping kalian sebagai anggota Lima Jari. Maksudku... aku ingin melakukannya terus dan terus dan terus untuk selamanya. Tapi kesehatan, kepercayaan diri, dan kekuatanku sedang berada di titik terendah dan aku tidak tahu pasti kapan semua bisa kembali normal.”

“Roy, aku percaya sepenuhnya padamu, Dab. Hanya kamu sendiri yang bisa menentukan apa yang terbaik karena hanya kamu yang mengerti kondisi tubuhmu. Kalau aku yang ditanya, ya jelas jawabanku pasti pengen kamu terus bersama kami. Tapi kalau kamu ingin istirahat dulu... rasa-rasanya tidak masalah. Aku sangat-sangat paham. Yang lain juga pasti...”

“Aku pikirkan dulu ya, Dab. Aku masih belum yakin akan melakukan yang mana. Tetap di Lima Jari atau istirahat dulu.”

“Mudah-mudahan kamu cepat bisa mengambil keputusan. Kami jelas sangat membutuhkanmu, Roy.”

Roy kembali mengangguk dan menggeleng kepala, “Aku tidak bisa memilih sesuatu yang sama-sama aku butuhkan.”

Nanto menunjuk ke depan. “Kalau begitu kamu harus menentukan mengenai yang satu itu.”

Roy yang sedari tadi menunduk, akhirnya mendongak, melihat arah yang ditunjuk oleh si Bengal. Dia hampir meloncat karena terkejut. Di sana, di depan pintu kamarnya... ada seorang wanita cantik dengan mata sembab telah menunggunya.

“Ra... Rania?”

Nanto tersenyum dan meninggalkan mereka berdua.

Roy berjalan ke depan pintu kamarnya dengan kebingungan, Ia menatap wanita indah itu dengan pandangan rindu.

“Hai.” Ucapnya. “K-Kok bisa sampai sini? Siapa yang memberitahumu kalau kami berada di sini?”

Rania tidak membalas sepatah katapun, ia hanya menatap Roy dengan pandangan tajam, begitu tajamnya sehingga seakan-akan bisa merobek daging yang paling tebal sekalipun dengan sekali sayat. Napas si cantik itu mendengus-dengus.

Roy masih tersenyum bahagia, ia mencoba menyentuh sang wanita pujaan.

Tapi tangannya ditepis Rania dengan galak. “Jangan sentuh aku!!”

“Ra-Rania...”

“Kamu janji tidak akan meninggalkan aku...”

Roy terperangah sesaat, tapi akhirnya dia paham apa yang telah dirasakan oleh wanita pujaannya itu. “Aku minta maaf aku sudah membuatmu khawatir dan sedih. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku terkena racun yang sangat ganas dan itu membuatku... harus mengasingkan diri untuk sementara waktu, harus mempelajari sesuatu yang berat dalam waktu singkat, dan...”

“Kamu sudah berjanji tidak akan meninggalkan aku.” Air mata Rania mulai menetes, dia tak peduli sepatah kata pun yang diucapkan oleh sang kekasih. “Kamu pikir seperti apa perasaanku melihatmu sekarat dan berhenti bernafas di depan mataku? Kamu pikir bagaimana aku kemudian melalui hari-hariku? Kamu pikir aku tidak lelah setiap hari menangis tidak tahu di mana kamu berada? Tidak tahu di mana tubuhmu? Tidak bisa berhenti memikirkanmu?”

“Sayang...” Roy mencoba memeluk wanita pujaannya itu.

“Jangan sentuh aku!! Aku bilang jangan sentuh ya jangan sentuh!!” Rania mendorong Roy sembari melangkah mundur. “Aku benci sama kamu!! Aku benci sama kamu!! Kamu jahat!! Kamu jahat!!”

Roy tersenyum dan tetap melaksanakan niatnya untuk memeluk Rania meski si cantik itu terus saja meronta. Rania memberontak dan memukul-mukul dada pria yang sangat-sangat ia rindukan, berulang-ulang kali. Ia memukul dengan sangat kencang, lebih kencang, sangat kencang, lalu perlahan-lahan melembut, lebih lembut, amat lembut, dan akhirnya sangat lembut. Si cantik itu tidak bisa menahan diri lagi, ia menangis sejadi-jadinya di pelukan Roy.

Jelas ini bukan salahnya. Ia mengira Roy sudah mati, ia mengira mereka tak akan bisa berjumpa lagi, ia mengira seluruh harapan di hidupnya runtuh tepat di depan matanya.

“Kenapa...”

“Kenapa apa?”

“Kenapa kamu tidak segera menemuiku? Tidak segera menjelaskan semuanya padaku? Apa tidak ada sedikitpun rasa rindu?”

Roy menghela napas. Ia lalu mendorong Rania dengan lembut untuk dapat melihat wajah wanita yang amat ia cintai itu. Roy mengecup dahi sang kekasih, lalu berbisik perlahan sembari menghapus air matanya dengan jemarinya, “kamu tidak akan percaya betapa kamu adalah harapan yang membuat aku bisa terus bertahan dan berusaha untuk terus hidup. Kamu lah yang membuatku mempelajari ilmu yang sama sekali tidak aku pahami hanya demi bertemu denganmu. Aku bisa bertahan sekarang, bisa bertemu, bisa memelukmu... ini semua karena kamu.”

Rania mendongak. Pandangan mereka berdua bertemu. Tak perlu lagi ada kata-kata ketika hati sudah tahu apa yang dirasa.

Rania memejamkan mata.

Roy menurunkan wajahnya.

Bibir mereka bertemu untuk saling menyapa.

Saling berbalas rindu yang tak bisa diungkap kata.

Tangan-tangan yang saling sentuh, jemari yang saling bercanda.

Hanya ada pintu kamar yang kemudian tertutup, kunci yang kemudian berputar, lampu yang kemudian dipadamkan, baju yang kemudian dilepaskan, dua insan yang kemudian saling berpelukan di atas pembaringan, melepas dahaga, mengarungi biduk di samudera cinta.

Ada desahan napas tertahan.

Ada kecupan penuh rasa sayang.

Ada gerakan lembut, ada yang kencang.

Yang jelas, malam itu ada senyuman.





.::..::..::..::.





.:: 5. KETIKA LEWAT TENGAH MALAM





Bian terengah-engah. Ia melempar botolnya ke pantai, lalu berulangkali mengumpat. Marah, kecewa, sedih. Semua jadi satu di dalam hatinya. Ia merasa lemah, merasa tak berdaya, dan yang lebih membuatnya hancur, ia merasa sangat bersalah. Seandainya dia tak gegabah melawan Bambang Jenggo, maka Beni Gundul tidak akan tewas dengan mengenaskan.

Semua karena salahnya.

Semua karena dia tidak menguasai ilmu yang mumpuni. Dia akan selalu kalah dari Roy – sang saudara kembar cerdas yang akan selalu cemerlang, Hageng – yang tidak pernah peduli apapun tapi selalu mendapatkan hasil terbaik, Deka – yang ambisius dan akan melakukan segala hal untuk mendapatkan yang ia inginkan, dan Nanto. Apa yang mau ia bilang tentang Nanto? Dia adalah segalanya di Lima Jari. Tidak ada Nanto, tidak ada Lima Jari.

Semua punya ilmu, semua punya ilmu kanuragan mumpuni. Siapa dia? Siapa Bian?

Bukan siapa-siapa. Dia yang paling lemah. Dia hanya beban. Dia tidak menguasai apa-apa, dia tidak bisa apa-apa. Dia bahkan menyebabkan seorang sahabat tewas dengan sangat mengenaskan. Dia seharusnya lenyap saja.

Bian meraih satu botol minuman keras lagi, membuka tutupnya. Lalu menenggak untuk kesekian kali. Langkah kakinya sudah sangat doyong, ia berjalan ke arah pantai. Pagi ini dia ingin bernyanyi, bernyanyi sambil mabuk. Kalaupun mabuk sampai pingsan, setidaknya dia pingsan dengan bahagia, dengan bernyanyi.

Yuk nyanyi!

Nyanyi lagu pantai, nyanyi lagu santai, yea...
Nyanyi lagu pantai. Mari kita santai...


Brkgh.

Kaki Bian terselip di pasir yang dalam. Ia tersandung, ambruk memeluk bumi. Sebagian minumannya tumpah. Tapi bukannya bangkit lagi dan melakukan hal lain yang lebih berguna, ia justru berguling-guling dan tertawa terbahak-bahak.

Ahahahahahah.
Nyanyi lagu pantai, nyanyi lagu santai, yea...
Nyanyi lagu pantai. Mari kita santai...”


Bian kembali lanjut bernyanyi meski dia telentang di tepian pantai, matanya terpejam. Hidup atau mati sudah tak lagi ia pikirkan sekarang. ia hanya ingin batinnya tenang tanpa ingat apapun. Kalaupun mati lebih baik, kenapa tidak? Toh tidak akan ada yang kehilangan dirinya di dunia ini. Tidak akan ada yang sedih. Tidak akan ada yang menangis.

Bian tertawa-tawa. Matanya terus terpejam. Otaknya sudah melanglang buana tidak tahu pergi kemana. Bian bahkan tidak sadar ketika tubuhnya perlahan-lahan terseret ombak, seakan seperti menuruti keinginannya yang sudah putus asa dengan kondisi dunia.

Tubuh makin terbawa, semakin ke tengah, semakin ke tengah, ke tengah, ke tengah...

Hpp!

Ada satu tangan menangkap kaus yang dikenakan si Bandel. Ia berusaha keras untuk menarik tubuh Bian yang cukup berat. Awalnya ia tidak sanggup dengan satu tangan. Seakan-akan tarik tambang, saling berebut dengan ombak lautan. Tiba-tiba ada hawa hangat yang Bian rasakan dan tubuhnya mulai ditarik ke tepian secara lebih mudah, apakah itu Ki? Satu langkah ke belakang, dua, tiga, empat, lima, enam. Aahh... akhirnya berhasil juga. Bian sudah sampai di tempat aman.

Bian mencoba membuka matanya yang teramat berat. Siapa sih yang baru saja iseng-iseng menyelamatkannya? Dia justru lebih ingin tenggelam di laut yang dalam! Tapi Bian tidak dapat melihat siapa-siapa. Hanya ada gambaran kabur di depan mata.

Seorang cewek.

Bian terkejut.

Ha? Yang baru saja menyelamatkannya seorang cewek?

Sang penolong yang cantik tampak gugup ketika Bian menatapnya lekat-lekat, buru-buru ia membenahi sesuatu yang nampak seperti topeng. Topeng rubah putih. Bian tak lagi sanggup melihat wajah cantiknya.

“Pu... Putri... Duyung...” Bian meracau.

“Naoko!”

Terdengar satu suara memanggil dari kejauhan. Bian yang pandangannya masih kabur kembali memejamkan mata, sebagai gantinya ia mencoba menajamkan pendengaran. Meskipun itu juga susah sekali dengan kondisinya yang sudah very-very stoned.

“Kak Matsu.”

“Apa yang kamu lakukan di situ?” itu seorang pria. Entah di mana posisinya sekarang, Bian tidak paham. Jangankan posisi pria itu, posisinya sendiri pun dia tidak tahu sedang berada di mana. Yang jelas mereka ada di balik karang-karang besar yang menangkup satu tepian pantai berpasir bersih.

“Pemabuk bodoh ini bisa saja terseret ombak dan tenggelam. Aku paling benci kalau hal seperti itu terjadi.” Terdengar suara cewek. Inikah suara penyelamatnya? Baik si cewek maupun yang cowok memiliki logat dan aksen yang unik.

“Tumben sekali kamu sentimentil. Buat apa diselamatkan? Pemabuk seperti ini tidak ada gunanya di dunia, lebih baik dibiarkan mati. Sudah tinggalkan saja! Kita sudah mendapatkan apa yang kita inginkan! Tidak perlu berlama-lama di sini. Sebentar lagi kita akan dijemput, kita harus berada di posisi yang sudah disepakati.”

“Baik.”

“Pasang topengmu dengan benar, jangan miring begitu. Apakah tadi dia melihat wajahmu?”

“Ti-Tidak, aku tidak pernah melepas topengku.”

“Baiklah kalau begitu, kalau dia melihat wajahmu, kita terpaksa membunuhnya.”

Terdengar bunyi ringtone smartphone yang berbunyi berulang-ulang tanpa diangkat.

“Ini pasti dari Kak Usagi. Dia pasti sudah sampai di tempat penjemputan. Ayo Naoko! Jangan sampai kakak marah. Cepatlah.”

“Baik, Kak Matsu.”sebelum pergi, gadis itu sempat menyelipkan sesuatu ke tangan Bian. Dia berbisik, tak ingin suaranya terdengar oleh orang lain, “aku paling benci orang mabuk. Orang yang sangat penting bagiku meninggal karena mabuk. Lebih baik kamu makan apa yang aku kasih ini daripada minum minuman keras. Semoga hidupmu jadi lebih baik lagi.”

“Pu... putri...” lirih suara Bian memanggil.

Sosok bertopeng rubah putih itu lenyap seiring pemunculannya yang juga tak jelas. Bian mencoba membuka mata, tapi rasanya berat sekali. Terlalu berat bahkan.

“Pu... putri? Putri duyungku...? Jangan pergi... jangan... aku janji... tidak akan... makan sarden lagi... Putri... putri duyungku...” tangan Bian menggapai-gapai ke atas. Dia tidak bisa berdiri. Bian tertawa, jangan-jangan itu semua halusinasinya saja? Dasar pemabuk bodoh. Hidup jadi beban, mati pun tak berkenan. Maumu apa sih, Nyuk?

Mana ada putri duyung.

Bian mendengus-dengus.

Kemana tadi botolnya? Dia harus minum seteguk lagi, hanya seteguk saja. Kalau dia sudah bisa melupakan semua masalah yang membebaninya, barulah dia akan berhenti. Dia ingin semua bayangan kematian Beni di dalam kepalanya bisa ia hapus dengan mudah. Rasa bersalahnya bisa dia lepas dari pundak.

Tak terasa mata Bian berair. Ingat bagaimana Beni Gundul dan kekasihnya si Wati membantu Bian pindah kost, berkeliling kota bersama di tahun baru, dan bersenda gurau di depan api unggun di lereng gunung. Lebih dari saudara. Beni Gundul itu lebih dari segalanya.

Di saat semua orang meninggalkannya, Beni-lah yang mengangkat semangat hidupnya. Bahkan di akhir hidupnya, Beni masih sempat menyelamatkan Bian dengan mengorbankan dirinya sendiri.

“Maaf... maafkan aku...”

Terdengar suara kaki menapak mendekat.

“Pu... putri? Putri... sarinande... kamu balik lagi ke sini? Putri...”

“Kamu mabuk berat, dab. Ayo kita balik lagi ke hotel. Aku sudah mencarimu keliling pantai dari sana ke sini, dari sini ke sono, eh akhirnya ketemu juga di situ.” suara itu... suara si Bengal.

“Aku... bukan... siapa... siapa... tidak perlu dicari... Dab...”

Haish. Ngomongnya ngawur. Kamu adalah saudaraku dalam susah dan senang. Tentu saja aku harus mencarimu.” Nanto membantu Bian berdiri. Dia menendang botol minuman keras yang ada di dekat kaki Bian supaya lebih jauh. “Aku akan membantumu melalui semua masalah berat yang kamu alami saat ini. Jangan khawatir, ada aku. Aku juga pernah berada di posisimu. Aku tahu seperti apa rasanya. Kita hadapi semuanya bareng-bareng.”

“Aku tidak bisa apa-apa... tidak punya ilmu... tidak bisa setara kalian... aku lemah... aku... beban...”

“Siapa bilang?” Nanto memapah sang sahabat untuk kembali ke hotel. “Saat ini kamu memang tidak memiliki satu pun ilmu kanuragan yang bisa diandalkan. Ki-mu juga masih mentah. Tapi itu bukan berarti kamu harus terhenti sampai di sini. Ini justru artinya kamu masih harus terus berkembang dan mencari jati diri dan di mana kamu akan mendapatkan ilmu kanuragan yang sesuai dengan pattern Ki-mu. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Sudah tahu kan pepatah lama itu?”

“Kalian... hebat... aku... hanya... jadi... beban...”

“Kamu adalah batu karang kami, pemersatu kami, semangat kami. Tidak ada yang berteriak lebih kencang dari kamu, tidak ada yang berusaha lebih keras dari kamu, tidak ada yang lebih ngotot dari kamu, semua semangat Lima Jari muncul ketika kami bersama kamu.” Nanto mengetuk dada Bian, “Kamu adalah batu kokoh yang berdiri di tengah-tengah Lima Jari. Tidak ada orang bodoh lain yang memberikan semangat pada kami selain kamu. Kamu memang gila, tanpa kemampuan pun kamu tetap maju menerjang lawan tanpa rasa takut, apalagi jika kelak kamu punya ilmu kanuragan. Itulah alasan kenapa kami membutuhkanmu.”

Bian terdiam.

Kepalanya pusing sekali.

Semuanya berubah menjadi gelap.

Dia tidak sadar ketika beberapa saat kemudian ia sudah dibaringkan oleh si Bengal di tempat tidur. Bian sudah tenggelam dalam tidurnya yang nyenyak. Nanto lantas membuang semua botol-botol minuman keras yang ada di ruangan Bian, termasuk yang masih ada isinya.

Bian harus segera bangkit kembali dan menggunakan kesedihannya untuk menjadi orang yang lebih baik. Untuk itu, Nanto harus membantunya dengan selalu berdiri di dekat sang sahabat. Dialah yang harus membantu Bian untuk kembali berdiri tegak, bukan botol-botol ini, mereka berfungsi untuk menghangatkan diri, bukan untuk melarikan diri. Sesusah apapun, sesulit apapun, Nanto akan berusaha hadir untuk Bian.

“Mmmhh... putri dugong...” Bian meracau dalam kantuknya.

Ketika sang sahabat akhirnya tertidur, Nanto mematikan lampu dan berjalan keluar kamar. Keluar hotel dan berjalan menuju pantai.

Di tangan Bian masih tergenggam sebungkus permen ment0s.





.::..::..::..::.





.:: 6. KETIKA MENJELANG PAGI



Reynaldi mengendarai mobilnya dengan grusa-grusu.

Matanya memerah, badannya sudah lelah. Hampir semalaman dia tidak tidur. Niat untuk menemui Ki Demang Undur-Undur menjadi berantakan karena gurunya yang bangsat itu ternyata tidak berada di kediaman. Dihubungi pun tidak bisa.

Kemana lagi perginya si tua busuk itu?

Kenapa tidak ada di saat ia sangat membutuhkannya?

Dia ingin tahu bagaimana cara mengendalikan suara-suara yang terus saja mengganggu batinnya.

Keringat deras mengucur, berulang kali ia harus membersihkan keringat yang menetes melalui mata agar tidak menghalangi pandangan. Berulang kali pemuda itu mengumpat.

“Bajingan... bajingan... bajingan...”

Akhirnya sampai juga dia di selatan kota. Betapa kecewa Rey karena sudah jauh-jauh ke pantai selatan tapi gagal menemui sang guru. Hasilnya cuma bikin dia emosi dan geregetan, karena suara yang mengganggu batinnya tak kunjung hilang. Dengan penuh amarah Rey mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan, sepanjang perjalanan melaju kencang, berbelok pun tajam, kadang membahayakan.

Aku lapar.

“Sabar... sabar... aku akan memberikanmu makan.”

Aku sangat lapar.

“Sabaaaaaar!”

Kemana nih? Menjelang subuh biasanya banyak orang-orang yang mulai beraktivitas, berangkat ke pasar ataupun ke tempat lain. Tapi terlalu bahaya kalau mencomot orang di jalan yang tidak ia kenali. Ia harus mencari lokasi yang benar-benar dia ketahui untuk menghindari semua resiko ketahuan sekaligus resiko pihak yang berwajib.

Barangkali mengorbankan seseorang yang ia kenali?

Rumah yang paling dekat dari sini... rumah yang paling dekat dari sini... adalah rumah Rania.

Reynaldi tersenyum sembari menatap tangannya yang kembali menghitam. Hari ini dia akan memuaskan sosok gelap yang menghuni relung batinnya dengan tiga tumbal sekaligus. Sosok yang akan terus menambah kekuatannya akan ia puaskan. Dengan begini ia tak akan tertinggal dari siapapun, dengan begini sang kakak bisa mengakui bahwa dia sanggup menjadi penerusnya. Entah itu di perusahaan yang ia kelola, ataupun sebagai penerus kerajaan underground yang ia bangun – Qhaoz-Kings.

Sejauh ini om Janu tidak pernah mengaitkan dirinya dengan QZK. Entah apa alasannya. Tapi Rey berniat untuk mengubah semuanya. Dengan kekuatan dan kemampuan yang ia kuasai dan terus ia kembangkan, dia akan membuktikan pada sang Kakak bahwa ia sanggup menjadi suksesornya. Dia akan membuat om Janu mengijinkan Reynaldi masuk ke bisnis bawah tanah yang ia bangun tanpa bisa menolaknya.

Berikan aku makan. Aku masih lapar.

“Sabar, sabarlah... Ki Suro.” Reynaldi menjawab dengan kesal, ya... Rania dan keluarganya yang rapuh pasti cukup untuk dijadikan tumbal bagi sosok yang berada dalam tubuhnya ini. Bahkan jika yang harus ia korbankan adalah anaknya sendiri. Kehadiran mereka di dunia tidak artinya bagi Rey. “Aku pasti akan memberimu makan seperti yang kamu inginkan.”

Rey agak-agak menyesal dia mengijinkan Ki Suro menyusup, merasuk, dan menggunakan tubuhnya untuk kembali membuat kekacauan di atas muka bumi. Tapi kekuatan Ki Suro yang pilih tanding membuat Reynaldi ngiler. Tanpa perlu banyak berlatih, dia sudah bisa jadi jawara ilmu kanuragan dalam waktu singkat – tentunya dari aliran ilmu hitam.

Tapi ya seperti ini hasilnya... dia harus terus menerus memberikan tumbal untuk memperkuat keberadaan sosok Ki Suro sekaligus menambah kekuatannya sendiri.

Mobil yang dikendarai Reynaldi berhenti di depan rumah Rania. Sebentar lagi matahari akan terbit dengan cerah, mengatup bumi dengan cahaya indahnya. Memberikan hari baru bagi semua insan di dunia, memberikan harapan bahwa di hari yang baru sudah pasti akan ada semangat baru.

Sayang mereka yang saat ini berada di dalam rumah di depannya itu tidak akan sanggup lagi menyaksikan matahari pagi. Bahkan anak kecil itu juga harus pergi. Pertama Rey tidak ingin ada saksi, kedua karena Reynaldi sejak awal memang tidak pernah menginginkan anak dari Rania. Sudah saatnya memutus hubungan itu. Dia tidak ingin dipanggil ayah oleh si anak haram ataupun kelak berurusan dengannya. Dulu dia sangat menyukai anak kecil, saat ini, dia jauh lebih menyukai kekuatan lebih dari apapun.

Reynaldi turun dari mobil. Ia melangkah pelan menuju rumah yang sepi. Senyumnya tersungging, tidak ada orang lain di kampung ini yang bangun sepagi ini. Yang semalam ronda pun pasti sudah pulang. Sungguh menyenangkan situasi yang teramat sangat mendukungnya ini.

Tangannya perlahan-lahan berubah menjadi hitam.

Reynaldi mencoba membuka pintu depan, sama sekali tidak terbuka. Ia menggoyang kaitnya, tidak bisa juga. Apakah harus didobrak?

“Siapa itu? Rania? Kamu sudah pulang?” terdengar suara Ibu Rania dari dalam.

Oh Rania tidak ada di rumah ya? Apakah sedang piket di rumah sakit? Tapi masa bodohlah. Sepertinya ini hari keberuntungan Rey karena ada penghuni rumah yang sudah bangun. Tentu saja sudah bangun, karena Ibu Rania hendak memasak untuk kebutuhan warung makannya. Rey tersenyum saat mendengar kunci pintu dibuka dari dalam.

Pintu terbuka sedikit. Ibu Rania mengintip dari dalam dengan tangannya yang keriput penanda usianya yang sudah sepuh.

Reynaldi mendorong pintu itu dengan kasar, membuat Ibu Rania mundur dengan tertatih, hampir saja ia jatuh terjengkang kalau tidak berpegangan ke almari yang ada di dekat pintu.

“Rani... Oh!!”

Sblkgh!

“Maaf, bukan maksudku untuk berlaku seperti ini. Tapi kalian ada di tempat yang salah di waktu yang salah. Sayang sekali sepertinya Rania tidak ada di rumah ya. Ya sudah... dua dari tiga tak masalah. Yang penting Ki Suro bisa makan dengan enak hari ini.”

Jemari Rey menancap di kepala ibu Rania, yang saking terkejutnya sampai tak bisa bersuara. Ia hanya menatap orang yang telah menyerangnya dengan pandang ketakutan yang teramat sangat. Sungguh ia kesakitan. Sang nenek tua itu hendak menjerit tapi tak mampu, tenaga dan nyawanya seperti disedot oleh cakar yang menyakiti dan menembus kulitnya. Ia lebih ngeri lagi, saat melirik ke arah kanan.

Ia tidak peduli jika ia mati... tapi... dia memohon agar... suaranya tercekat tak bisa keluar...

Saat itulah ada langkah kaki kecil berjalan ke arah mereka. Sang nenek menatap ngeri senyuman menyeringai bengis di wajah sang durjana. Tidak... tidak... jangan... jangan... ia mencoba meronta tapi tak ada artinya dibandingkan Reynaldi yang makin jumawa.

Reynaldi tersenyum saat melihat sosok kecil yang datang dengan langkah yang masih lucu. Sosok kecil yang kemudian terkejut melihat kehadiran sang durjana. Rey mempersiapkan cakar hitamnya. Mata membulat indah tanpa dosa itu hanya bisa menatap pasrah ketika satu tangan menghitam melaju dengan kencang ke arahnya. Rey tertawa.

“Halooo. Selamat pagi anak manis. Selamat tinggal.”





.::..::..::..::.





.:: 7. KETIKA PAGI



Pagi yang dingin di tepian pantai.

Hamparan luas beraksen biru, seluas selebih pandangan mata. Kejar-mengejar ombak yang nakal, saling melompat, mencebur, dan berdebur. Coba tarik napas, Isi sekat-sekat dada dengan segarnya pagi, setiap tarikan napas sepadan merata. Coba lihat bangkitnya sang mentari yang mengembang di ufuk, sinarnya bercampur, berbaur di cakrawala.

Jalak Harnanto duduk di kursi santai dengan nyaman, kakinya diangkat ke atas palang pagar balkon. Di tangan terpegang segelas kopi hangat, sesekali diminum untuk menghangatkan badan. Pagi ini memang dingin sekali. Ia mengenakan jaket ber-capuchon, dengan kancing tertutup rapat sampai ke leher. Matanya masih sayup, ia tidak tidur. Mungkin nanti. Sengaja sekali ia tidak tidur hanya untuk menyaksikan matahari terbit di ufuk sana, di horizon Pantai Selatan yang membentang seperti garis tanpa ujung. Memperlihatkan kemegahan Sang Empunya Dunia.

Senangnya melihat matahari terbit dengan hati yang lebih cerah seperti ini. Seakan-akan seperti melihat suatu awalan yang baru, seperti seorang anak sekolah yang sedang membuka buku tulis kosong di awal pelajaran baru. Meninggalkan sejenak dunia pertarungan dan kehidupan yang tak nyaman, untuk menikmati apa adanya alam di bawah kuasa semesta dengan satu harapan baru; bahwa semua akan lebih baik.

Dia harus membuat semuanya jadi lebih baik. Tidak boleh ada Lady lain, atau Beni Gundul lain. Nanto meninggalkan gelas kopinya di meja, berjalan turun keluar dari kamar, menuruni tangga, dan membuka pintu menuju pantai.

Ia menghirup udara yang segar. Masih sangat dingin. Ia melepas jaketnya di dekat pintu dan diletakkannya di atas sebuah kursi. Ia lalu berjalan menuju pesisir untuk mencapai sebuah kawasan berkarang.

Nanto membuka bajunya, meletakkannya di atas sebuah batu karang besar yang menjorok naik.

Si Bengal kini hanya mengenakan celana panjang jeans saja. ia memulai dengan berdiri tegap, menghadap sang mentari. Lalu dibuka dengan kuda-kuda dari teknik wing chun, tubuh merunduk sedikit, kaki ditekuk, tangan menghadap ke depan dengan telapak tangan dibuka ke atas. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu dihembuskan, tarik napas lagi, lalu dihembuskan, lalu ditarik lagi, dan dihembuskan lagi. Tangan si bengal bergerak dengan gemulai, seperti menari mengikuti angin.

Ia membuka mata, menatap fajar mentari pagi yang mulai mengangkasa di cakrawala, hadir menerangi bumi, dari pagi sampai senja nanti.

Kaki dijejakkan sekali dua kali ke depan, melangkah perlahan, menapak pasir, merasakan deburan air. Tubuhnya berputar, tangan yang tadinya menari mulai bergerak sigap memukul udara dengan gerakan-gerakan tegas, jarak tetap, tubuh tegap, hempasan mantap.

Si Bengal mulai memainkan jurus demi jurus yang ia pelajari secara kosong, tanpa mengalirkan Ki. Semua yang pernah ia pelajari. Ilmu tangan kosong dari sang bunda dan kakeknya, ilmu pengendalian Ki dari om Janu, dan tentunya seluruh ilmu kanuragan dahsyat yang ia peroleh dari sang mahaguru Eyang Bara. Nanto beruntung dia tidak pernah berhenti belajar dan mengembangkan kemampuan, sehingga bisa mencapai titiknya sekarang.

Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas. Setengah jam. Empat puluh lima. Satu jam. Satu seperempat, satu setengah. Dua jam.

Cukup. Saatnya cooling down sebelum dilanjut lagi.

Angin berhembus kencang, saat si Bengal lantas duduk bersila. Mata dipejamkan, tangan di atas paha, telapak tangan menghadap angkasa. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Sinar surya yang masih lembut menyentuh Nanto, menyebar membentang di atas kepala.

Sejatine menungso kudu eling lan waspodo.” bisik Nanto, “Eyang. Beri aku pencerahan.”

Dalam alam bawah sadar si Bengal, kini duduk bersila di sebelah kirinya, sesosok pria tua yang tersenyum dan memainkan jenggotnya nan panjang sembari menatap matahari yang mulai bersinar di cakrawala. Seorang kakek yang gagah dan kehadirannya membawa aura yang menenangkan.

“Kenapa tidak semua orang bisa menguasai Selubung Kidung termasuk mereka yang memiliki darah Watulanang sekalipun? Karena Selubung Kidung itu sebenarnya berhubungan dengan bagaimana kita mengelola diri sendiri, mengatasi permasalahan badan, jiwa, dan hati. Tujuh tingkat untuk mengatasi lawan, tiga tingkat untuk mengatasi diri. Kenapa tiga penguasaan diri ditempatkan terakhir? Bukan di awal? Karena setelah melalui lawan yang mumpuni, kita akan menyadari bahwa lawan terberat kita selalu adalah diri kita sendiri,” ucap sang pria tua. Dia memainkan pasir di tangan, lalu meniupnya. “Selubung Kidung terdiri dari tiga tahapan, gerbang kedelapan untuk pengamatan dan gerbang kesembilan untuk pemulihan. Setelah menguasai gerbang kesembilan dan sanggup membukanya untuk memulihkan Ki, maka di gerbang kesepuluh akan ada gerbang kemanunggalan. Gerbang yang sanggup menggabungkan semua gerbang lain dalam satu kesatuan. Kuat di dalam, kuat di luar, mampu menyerang, tapi juga kokoh bertahan – itulah sebabnya kita menyalurkan seluruh kekuatan dari Kidung Sandhyakala ke dalam satu serangan paripurna, Serat 18 Naga.”

“Seandainya saja saya memiliki Ki yang stabil, mungkin saya akan sanggup lebih cepat mempelajarinya. Tapi saya masih kesusahan mengatasi energi yang cepat terkuras, terutama saat menggunakan gerbang pertahanan, Eyang. Apa yang bisa saya lakukan untuk membenahinya?”

“Hanya ada satu cara. Biasakan. Turun temurun keluarga Watulanang memiliki darah dan tubuh yang istimewa. Kenapa istimewa? Karena memiliki kandungan buah ajaib dari gua Kidung Sandhyakala. Tapi tidak semua keturunan Watulanang sanggup memanfaatkan darah dan tubuh yang mereka miliki. Tidak ada yang benar-benar bisa mengatur keseimbangan kekuatan dalam tubuhnya. Sebagian karena merasa cukup, sebagian karena merasa tidak perlu, sebagian lagi karena terlalu berambisi dan bernafsu untuk berkuasa. Tidak ada yang benar-benar bisa sampai hadirnya dirimu. Kamu tidak memiliki ambisi untuk menyerah pada angkara murka, karena tujuanmu hanya ingin melindungi orang-orang yang kamu cinta. Itulah kunci sejati dari Kidung Sandhyakala.” lanjut sang Eyang, “Bocah. Sampai saat ini hanya kamu yang sanggup menguasai Selubung Kidung dan Serat 18 Naga, karena selain dalam dirimu mengalir darah trah Watulanang murni, kamu juga memiliki niat yang tulus untuk melindungi.”

“Membiasakan diri ya. Saya harus bagaimana untuk dapat membiasakan diri mengeluarkan Ki yang cukup pada saat mengerahkan Kidung Sandhyakala?”

“Kami akan membantumu berlatih.” Suara lembut seorang wanita terdengar, sosok astralnya kemudian duduk di sisi kanan si Bengal. “Secara batin, kamu bisa menguasai cadangan Ki lebih dari ini. Tapi jangan lupa untuk melatih fisik – karena dari tubuh yang sehat dan kuat, akan muncul cadangan Ki yang seimbang. Makan yang cukup, makan yang sehat. Cari pasangan yang sanggup memasak karena aku tidak bisa lagi memasak makanan sehat untukmu.”

Ada rasa hangat dalam diri Nanto saat suara lembut itu muncul, si Bengal tersenyum bahagia. Suara itu adalah suara yang teramat sangat ia rindukan. Suara yang entah berapa kalipun ia meminta maaf, sepertinya tidak akan pernah mampu membalas semua yang telah beliau perbuat untuk si Bengal. Sungguh ia sangat rindu.

“Hari-harimu ke depan nanti akan sangat berat. Lebih berat dari yang sebelumnya. Jangan lupa untuk cari kerja yang bener dan belajar yang bener. kamu itu masih kuliah – jangan pernah lupakan dan sia-siakan upaya Om dan Tantemu menyekolahkanmu. Tentu, jangan pernah juga berhenti belajar ilmu kanuragan dan meningkatkan kemampuan diri. Ingat untuk selalu eling lan waspodo. Kami akan selalu membantumu. Tugasmu yang pertama tentu saja adalah meningkatkan cadangan Ki.” Sesosok pria tua muncul secara astral di belakang si Bengal, menepuk kepalanya, dan duduk di samping sang wanita di sebelah kanan. “Sekali-sekali tengoklah Sagu. Dia pasti kangen. Jangan cewek-cewek melulu yang kamu permainkan. Dasare cah mbeling.”

Nanto tersenyum bahagia, “Kalian bertiga... terima kasih. Aku akan berusaha untuk...”

“Aku juga akan membantumu.” Sepasang telapak tangan memijat lembut pundak si Bengal, satu di pundak kanan, satu di pundak kiri. Itu sepasang telapak tangan dari seorang pria yang bertubuh tegap dan memiliki genggaman tangan yang mantap. “Seperti yang disampaikan oleh Mahaguru Eyang Bara, tingkat tertinggi dari ilmu kanuragan bukanlah datang dari siapa yang memiliki jurus yang paling hebat, melainkan dari siapa yang memiliki niatan tulus untuk menggunakan ilmunya demi membantu dan menolong orang lain.”

Tubuh Nanto bergetar hebat karena kaget, matanya terbelalak karena terkejut. Suara itu! Pijatan tangan ini...!

Seketika matanya terbuka dan fokusnya lenyap, semua sosok astral yang baru saja ia rasakan perlahan-lahan menghilang dari pandangan. Bayangan mereka sesaat terlihat tersenyum menatap si Bengal. Sosok pertama, sosok kedua, sosok ketiga... dan sosok keempat.

Semakin lama semakin kabur dan akhirnya lenyap.

Nanto berdiri dengan tegap sembari menatap langit di pagi yang cerah. Dia sangat terkejut dengan kehadiran sosok keempat di alam bawah sadarnya. Sama sekali tidak menduga sosok itu ternyata akan muncul juga. Sosok yang teramat ia rindukan dan tak pernah ia duga akan muncul begitu saja.

Si Bengal menatap cakrawala dengan pandangan mata tajam dan mengucapkan sepatah kata yang tidak ia duga akan keluar dari mulutnya setelah bertahun-tahun lamanya. Si Bengal mengepalkan tangannya dengan erat. Bisikannya terbawa oleh angin laut.

“Bapak.”





PROLOG SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 1



no quote
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd