BAGIAN 4
HANYA MIMPI
“Terkadang hati melihat apa yang tidak terlihat oleh mata.”
- H. Jackson Brown, Jr.
Hanna terbaring pasrah dan berharap-harap dengan cemas.
Antara mau, malu, tapi juga was-was.
Nanto mendekatinya, ia menangkup tubuh sang dewi dengan bayangan tubuhnya sendiri di bawah suasana remang-remang kamar yang hanya menggunakan cahaya lilin. Dengan lengan menumpu tubuh, Nanto tepat berada di atas Hanna meskipun masih ada jarak di antara mereka. Jarak teramat dekat yang jika Nanto menghembuskan napas, Hanna akan merasakannya.
Si Bengal sekali lagi bertanya pada sang bidadari. “Yakin akan melakukan ini?”
Hanna menatap mata si Bengal dalam keremangan. Ia mengangguk.
Sekali lagi mereka berciuman, merasakan hasrat yang menggelora di masing-masing badan. Mungkin saat itu logika tersingkirkan dan birahi mengambil alih jati diri, tapi sesungguhnya ini adalah hal yang alami, sesuatu yang wajar terjadi, antara dua orang anak manusia yang bertengger di bumi, yang memang sudah berbagi hati.
Dua tubuh telanjang di atas pembaringan. Meskipun dalam keremangan, Nanto tetap harus mengakui keindahan Hanna yang memang teramat wangi dan menawan. Entah sudah berapa laki-laki ia tolak dan kucilkan, sehingga saat ini Hanna jarang memiliki teman. Si Bengal beruntung karena bagi Hanna dia adalah sosok idaman. Untungnya tidak bertepuk sebelah tangan. Nanto juga sudah kagum pada sang bidadari sejak pertama kali berkenalan.
“Bolehkah aku pegang?” Si cantik itu berbisik di telinga sang pemuda pujaan.
Si Bengal mengangguk dan mengecup pipi Hanna pelan.
Dengan berani Hanna menyentuh batang kemaluan si Bengal, memegangnya erat, dan menggesekkannya ke belahan kemaluannya sendiri. Ia memejamkan mata, merasakan sentuhannya.
“Mmmhhhh…” lenguh Hanna lembut. Birahi sang dara mulai mendidih. Wajahnya memerah, untung ruang ini gelap sehingga wajahnya tak nampak jelas dan ia tak terlalu malu.
Tangan kiri memegang kemaluan Nanto, tangan kanan menarik kepala si Bengal untuk turun. Begitu jaraknya dekat, bibir Hanna langsung melumat bibir Nanto. Keduanya berbalas pagutan. Bibir saling mengelus, saling mengatup, mencium, dan menikmati manisnya asmara. Lidah bergulat, berpadu, melingkar, mengular, dan merasakan panasnya cinta.
Nanto menurunkan kepalanya, mencium pipi Hanna, lalu ke leher, menjelajah kulit putih bersih mulus sang bidadari di bagian bahu dan lingkar lengan atas. Lalu turun perlahan-lahan, ke arah dada sentosa milik Hanna yang pasti akan membuat semua lelaki iri pada si Bengal. Buah dada itu tidak hanya memuaskan untuk dilihat melainkan juga untuk dipegang, diremas, dan dijilati. Bongkahan kenyal yang karena ukurannya pasti akan susah disembunyikan oleh pakaian ketat.
Lidah si Bengal beraksi, mengecup ujung puting susu Hanna yang menegang dan menghunjuk ke atas, lidah Nanto mengitarinya, ia lalu mengatupkan bibirnya untuk menangkup penghujung mungil buah dada sang dara itu dengan bibirnya, dan memberikan sentakan kenikmatan yang membuat sang bidadari bergetar menahan lonjakan birahi.
“Maaaasss… aaaaahm…”
Hanna sudah tidak tahan lagi, tubuhnya menegang, hasratnya menghebat, dan ia pun mengatupkan bola mata indahnya. Ia menaikkan pinggulnya sendiri. Ujung gundul kemaluan si Bengal mulai masuk perlahan. Napas gadis itu mulai terdengar terengah-engah.
“Nnghhhh… hhh… hhhh… hhh…”
Sedikit demi sedikit Hanna membimbing batang penis Nanto memasuki liang vaginanya yang sempit dengan dinding yang mencengkeram erat meskipun sudah mulai basah di dalam.
“Sakit?” bisik Nanto lembut.
“Nnggghhh… hhh… hhhhh… hhhh…” Hanna membuka mata, ada linang air mata di sana. “He’em…. Hhh.. hhh… hhh… nggghh…”
“Aku keluarin saja?”
“Ja-jangan! Dorong saja… dorong… a-aku tidak apa-apa… dorong… Mas…”
Mengikuti apa yang diinginkan Hanna, Nanto perlahan-lahan mendorong batang kejantanannya. Si Bengal mulai ikut memejamkan mata menahan nikmat tiada tara karena penisnya serasa dipijat-pijat oleh dinding liang cinta sang bidadari, batang kejantanannya serasa memasuki sesuatu yang sesak dan belum pernah dijelahi siapapun sebelumnya.
“Sa… sakit…” bisik Hanna, ia mulai sesunggukan. “Sakit…”
Nanto menghentikan dorongannya, padahal batang kemaluannya baru melesak separuh. Si Bengal mengelus-elus rambut wanita jelita dalam pelukannya. Mereka berciuman sekali lagi, mencoba meredakan rasa sakit yang sesungguhnya nikmat namun diselimuti rasa nikmat yang menyakitkan.
“Sudah kalau begitu ya. Tidak perlu memaksakan diri.” Bisik si Bengal. “Aku tarik saja tidak perlu dilanjutkan.”
“Nggak… nggak mau… dilanjut saja…” Hanna memeluk Nanto erat, “Lanjut, Mas… tapi pelan saja… punya Mas besar… kayak ga muat… nnghhhh… sakit…”
Nanto jelas bingung, Hanna terlihat kesakitan tapi tidak mau menghentikan persetubuhan mereka.
“Beneran ga apa-apa? Katanya sakit? Tetep dilanjut?” Nanto mendekatkan kepalanya ke wajah Hanna, keduanya bertatapan dekat sekali. Si Bengal memejamkan mata dan mulai mengecup pipi sang bidadari, lalu menggerakkan bibirnya menjelajah wajah sang jelita.
“Hmm… essst… ahh.. lanjutkan… Mas…” sepertinya perlahan-lahan Hanna mulai menikmati karena pinggulnya bergerak memutar, seakan mencoba menyesuaikan liang cinta miliknya dengan ukuran batang kejantanan si Bengal yang penuh menyesakinya. Hanna menggerakkan tangannya, mengelus wajah Nanto. “Ma-mas… enak tidak?”
“Enak… sempit banget…”
“Yang penting… Mas juga enak… esssst… ehmmm…. Ahhh… Mas…”
Batang kejantanan si Bengal mulai menyeruak lebih dalam lagi, lalu ditarik perlahan, lalu ditusukkan sekali lagi dengan sedikit lebih kencang. Kali ini sodokannya lebih dalam, tapi belum seluruh batang dijejalkan masuk. Nanto menariknya penisnya lagi, lalu mengulang menyodokkannya ke dalam. Perlahan saja, tapi masuk dengan mantap dan berkuasa, menetap seakan tak ingin keluar lagi. Pijatan dinding-dinding kemaluan Hanna membuat si Bengal mendesis nyaman. Ia menarik penisnya sekali lagi dan menyodok lebih kencang.
“Ahaaaaakghhhh!!” tubuh Hanna bagaikan disentak ke belakang.
“Ka-kamu tidak apa-apa?” Nanto terkejut, takut kalau-kalau sodokannya membuat Hanna semakin kesakitan.
Hanna memejamkan mata dan menggemeretakkan gigi, tangannya mencengkeram tubuh Nanto. “Pe-perih…”
“Perih? Sakit banget?”
Hanna mengangguk, tapi dia menggoyang pantatnya tanpa berbicara, dia tidak ingin mengecewakan Nantio. Sang bidadari itu pun menarik wajah si Bengal dan mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Keduanya berpagutan tanpa lepas sementara di bawah, pinggul keduanya bergerak seirama, saling berbalas untuk menciptakan simfoni permainan yang lebih dapat dinikmati dengan nyaman.
Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh.
Nanto menggerakkan kemaluannya dengan semakin gencar, makin lama makin melesak, hingga akhirnya ia benar-benar mendesakkan penisnya untuk menyesaki liang vagina Hanna. Keduanya berpelukan. Tidak ada yang sadar kalau saat itu Hanna sebenarnya sudah resmi menjadi wanita dewasa.
“Aaaaaaaaaaahaaagkkh… aahhh… ahh… ahhhh… ehmm… ahhh… ahhh…”
Apa yang awalnya sakit dan perih, kini menjadi sesuatu yang dinanti dan diharapkan. Setiap sodokan si Bengal disambut goyangan pinggul yang membuat keduanya megap-megap mencari udara karena kenikmatan tiada tara.
“Aaaakhhh… aaahhhh….” Hanna mulai bisa merasakan nikmatnya bergulat asmara. Ia bisa merasakan liang cintanya mulai menyesuaikan sisi-sisi dindingnya dengan besar dan panjang batang kemaluan si Bengal. Terdengar bunyi selangkangan basah beradu di balik desah nafas yang berpacu. Liang cinta sang bidadari benar-benar sudah sangat basah dan becek.
Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh.
“Aaaaahhh… ahhh… ahhh… ahhhh…” suara lenguhan Hanna terdengar menggema di ruang yang kosong. Tubuhnya masih terus diserang sementara kedua tangannya terkalung di leher si Bengal. Apalagi ketika Nanto mempercepat gerakannya. Ia menggoyang pantatnya maju mundur sembari meremas payudara sempurna di dada sang bidadari. Sesekali si Bengal menurunkan wajah untuk mengecup, mencium, dan menjilat bongkahan kenyal sempurna di dada Hanna.
Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh.
“Bagaimanaa…?”
Hanna mengangguk, “E-enak bangeeeet… Maaas… ennaaaaakgghhh… teruuuuusss…”
Nanto menarik penisnya, lalu menyodok ke dalam, lalu menarik lagi, lalu disodokkan lagi. Ditarik, didorong, ditarik, didorong, sekali, dua kali, tiga kali, empat kali. Makin lama sodokan si Bengal semakin dalam, dan gerakannya semakin cepat.
“Hngggh! Hngggh! Aaaahaaakghhh! Hnnghhhhh!!”
Suasana kamar yang hangat menjadi semakin panas. Keduanya bermandikan keringat, namun tak lagi peduli karena kedua orang yang sedang dimabuk birahi itu sama-sama saling menikmati. Suara lenguhan bercampur dengan rintihan kenikmatan.
Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh.
Suara mereka berdua saling bersahutan dalam gumaman dan erangan, kepala digoyangkan ke kiri dan ke kanan, tubuh bergerak maju mundur dan naik turun, kadang menggelinjang merasakan nikmat, kadang menuntut karena ingin memuncak.
Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh.
“Aaaaahhh… ahhh… ahhh… ahhhh… eenaaaakgh, Mas… enaaakkghh…”
“Aku sudah mau keluar… hnghhhhhh! Hnnnghh!” Nanto memberikan tanda bahwa dia sudah akan menarik batang kejantanannya dari dalam liang cinta Hanna dalam beberapa saat lagi. Gerakannya semakin cepat, Nanto sudah tidak malu-malu lagi menggenjot kemaluan sang bidadari dengan ritme yang makin lama makin terakselerasi. Ia menundukkan badannya, bibirnya menggapai bibir indah sang bidadari.
Mereka berpagutan.
“Mmmhhh… mmhhh… mhhh…,” desah Hanna sembari memejamkan mata, menikmati adu bibir mereka, sementara vaginanya terus menerus menerima sodokan kencang dari si Bengal yang gerakan pinggulnya sudah tak lagi pada ritme yang semula. Saat pagutan mereka berdua lepas, Hanna megap-megap berusaha mencari udara. “Aaaah… ahh… ahhh. Ahhh… hngghhh!! Aaaaaahh… ahh… essst… Mas… Mas…”
Keluar. Masuk. Keluar. Masuk. Keluar. Masuk.
Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh.
Hanna menggelinjang hebat diperlakukan seperti ini oleh Nanto. Rasa yang baru ia rasakan, tapi sudah sejak lama ia dambakan. Ternyata mimpi bisa menjadi kenyataan.
“Sudah mau… hngghkkkk…” Nanto kian mempercepat arus sodokannya.
Hanna mengimbangi dengan goyangan pada pinggulnya. “Ahhh… ahhh… ahhh… eessst… aaahhh… a-aku juga sudah mau… ahhh… ahhh… aku juga sudah mau… Maaaass!! Aku jugaaaa…!”
Nanto kian menggila, ia memeluk kepala sang bidadari dengan erat, membenamkan wajah cantik Hanna dan menahannya seakan ia ingin memiliki gadis itu selamanya. Sampai pada akhirnya gadis itupun makin keras lenguhannya.
“Aaaaaaah… ahhhh… ahhh… aaaaaaaaahhh... Maaaaas! Maaaas!! Aku tidak tahaaan lagi! Aaaah… Aaahhhh!! Ahhhh!!... Aaaaaaaaaaaaaaaakkkhhh!!”
Hanna memejamkan mata dan merintih cukup lama, ia memeluk tubuh Nanto bagaikan memeras jeruk karena kencang dan eratnya. Saat itulah tubuh sang bidadari akhirnya mengejang dan tersentak-sentak beberapa kali.
Ketika akhirnya ia terdiam, ada sesuatu yang membanjir di dalam liang cinta Hanna. Rasanya makin becek dan basah. Batang kejantanan Nanto makin lancar berkuasa di vaginanya.
Sama seperti sang pasangan, si Bengal juga tak lagi kuat menahan keinginan untuk memuncak. Untuk sesaat Ia menahan diri, menggemeretakkan gigi, dan akhirnya melepas muntahan mani. Awalnya Nanto hendak menarik batangnya untuk keluar dari liang cinta sang bidadari, namun Hanna menggeleng kepala dan memeluk erat sang laki-laki.
Ujung gundul si Bengal meledak tanpa bisa ditahan.
Nanto sebenarnya tidak ingin mengulang kesalahan, namun Hanna mencegahnya dan tetap menerima apapun resikonya. Bibir sang bidadari maju mengudara, menangkup bibir sang pria yang berada di atasnya. Keduanya memejamkan mata, merasakan denyut bersatu dalam nikmat asmara.
“Hnnnghhhhhhkkk!” Nanto melenguh menuntaskan semuanya di dalam, “aaaaaaah… haaah… haahh…”
Pelukan Hanna semakin erat, seakan tidak ingin Nanto melepasnya. Tapi mereka berdua sama-sama lelah dan harus mengambil jeda. Keduanya berpandangan, saling mengecup pelan, dan mengakhiri sesi pertama dengan kondisi tenang dan sepemahaman.
Nanto menarik mundur pinggulnya.
Plp.
Terdengar bunyi letupan lembut saat si Bengal menarik mundur batang kejantanannya sehingga lepas dari vagina milik sang bidadari. Cairan cinta meleleh keluar dari bibir kemaluan mungil sang dara jelita, cairan kental yang tadinya keluar dari ujung gundul si Bengal. Selain cairan cinta itu, ada juga semburat warna merah yang menggenang – yang tentunya tak terlihat dalam kegelapan.
Nanto pun rebah di samping Hanna. Ia mengatur napas yang tersengal-sengal. Demikian juga Hanna yang mencoba mengatur napasnya.
Kepala Hanna rebah di lengan si Bengal, bantal yang tidak empuk tapi hangat dan tentram. Pandangan mereka beradu, tatapan mata mereka seakan berseru, mengucapkan sejuta aksara tanpa kata yang memiliki milyaran makna. Hanya dengan berdekatan begitu saja.
“Mas…”
“Hmm?”
“Aku sayang sama kamu. Sungguh sayang sama kamu.”
Nanto tersenyum dan mengecup kening sang bidadari. “Aku juga.”
“Oh ya? Ini pertama kalinya kamu bilang begitu. Apa karena baru saja tidur sama aku terus Mas Nanto bilang begitu?”
“Tidak lah. Aku memang sejak dulu menyimpan sesuatu untuk kamu. Tapi aku merasa aku tidak akan pernah bisa meraih bintang cerah yang berada di atas langit. Aku tidak tahu apa yang bisa aku tawarkan pada bintang yang sedemikian cerah.”
Hanna terdiam, ia menatap Nanto tanpa berkedip. Sepertinya ia sedang membulatkan tekad. “Mas…”
“Hmm?”
Hanna terdiam sejenak. “Seandainya aku minta Mas memenuhi tiga janji, mau atau tidak?”
“Janji? Janji apa?”
“Macam-macam.”
“Sebutin satu-satu. Mungkin tidak semua bisa aku tepatin.”
“Dih.”
“Makanya sebutin satu-satu.”
“Oke... janji kesatu… berjanjilah padaku…”
“Ini yang pertama ya?”
Hanna mengangguk, “Yang pertama… Mas Nanto harus berjanji padaku untuk menikahi Kinan.”
Nanto sedikit terkejut akan permintaan itu, tapi tidak kaget. Hanna memang sangat menyayangi Kinan dan ia tahu apa yang sedang dialami oleh Kinan tidak main-main, itu sebabnya Hanna ingin Nanto bertanggungjawab penuh terhadap janin yang dikandung oleh sang kekasih.
“Pasti. Entah bagaimana caranya, aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahinya.” Nanto mengelus rambut bidadari berhati lembut di hadapannya.
“Terima kasih, Mas. Dia sedang sangat membutuhkan Mas Nanto lebih dari siapapun, jadi aku pikir prioritas pertama Mas Nanto adalah menikahinya.”
“Kamu tidak cemburu?”
“Mana bisa aku cemburu sama dia, Mas. Justru aku sekarang yang merasa bersalah karena seakan-akan merebut Mas Nanto.”
“Lha? Terus kamu tidak khawatir…”
“…kalau dia mengetahui hubungan kita?” Hanna tersenyum dan menggeleng, “Tidak. Kalau dia keberatan kelak saat aku jujur dengannya, bahwa aku juga mencintai Mas, maka aku akan mundur untuk selama-lamanya. Tapi kalau dia bersedia sedikit berbagi, mungkin bisa…”
“Wadoooh. Satu aja puyeng kamu sudah ngusulin yang beginian. Aku mana bisa…”
“Udah diem dulu, Mas. Sekarang mungkin tidak, tapi kelak siapa tahu. Apa Mas pikir aku tidak akan membantu Mas?”
“Aku tidak mau tergantung pada siapapun soal materi dan kemapanan. Kalau memang tidak mampu, aku tidak akan memaksakan.”
Hanna tersenyum, “jadi berusahalah.”
Nanto geli, apa-apaan sih Hanna ini. Bisa-bisanya mengusulkan hal yang sama sekali tidak terbayang olehnya. Mana mungkin dia bisa menikahi Kinan tapi pada saat bersamaan juga mencintai Hanna? Menikah dengan dua orang? Ya gila aja. Untuk saat ini semua masih belum terpikir olehnya. Tapi Hanna benar, Nanto hanya akan melakukannya jika Kinan mengijinkan. Jika tidak, Nanto tak akan memaksa. Prioritasnya jelas menikah dengan sang kekasih yang tengah mengandung anaknya.
“Lalu apa yang janji yang berikutnya?”
“Janji yang kedua. Aku ingin Mas berjanji jika suatu saat nanti Mas sedang mengalami kesusahan dan merasa sendiri karena apapun, Mas hubungi aku. Aku akan langsung terbang ke sini untuk menemanimu.”
Nanto tertawa, “Mana bisa begitu. Aku tidak akan pernah mengganggu hidupmu yang tenang. Belajarlah dengan sungguh-sungguh. Kalau semua sudah benar-benar selesai di sana, maka pulanglah dan temui aku dengan semangat baru. Jangan lagi hiraukan cerita lama. Tidak ada gunanya,” ujar Nanto. “Tapi kalau misalnya aku sudah mati saat kamu kembali, maka…”
“Ih ngomong apaan sih! Jelek banget ngomongnya! Ga mau ah!” Hanna mendorong Nanto menjauh. Ia menatap si Bengal dengan pandangan galak.
“Lho kan bener? Kita hidup di jaman yang serba keras dan serba jahat. Bisa saja sekarang aku kokoh, tapi besok roboh. Jadi mudah-mudahan…”
“Ga mau berandai-andai yang jelek! Ga mau ah! Apaan! Mas… kalau kamu mati, maka aku juga akan ikut mati bersamamu! Jelek banget ngomongnya! Omongan adalah doa lho! Jangan pernah mengucapkan hal-hal bodoh seperti itu lagi.” Hanna pun membalikkan badan dan memunggungi Nanto.
Nanto tertawa, “Iya… iya… Maaf, aku ngomongnya kadang suka asal.”
“Sebel ih.”
“Kalau aku bilang aku sayang kamu gimana?”
“Aku lebih sayang… tapi kan…”
“Boleh balik sebentar?”
“Asal jangan ngomong ngawur lagi.”
“Iya… iya…”
Hanna pun kembali berbalik.
Nanto memejamkan mata dan mencium bibir Hanna sekali lagi – bibir si cantik itu terlalu indah untuk hanya didiamkan saat merekah begitu indah. Keduanya berpagutan, saling menyelami rasa kasih masing-masing, seakan tahu jika setiap sentuhan yang mereka lakukan, kelak mungkin hanya akan terjadi dalam angan dan hanya menjadi impian – tidak sebebas dan selepas saat ini. Mereka melakukannya dengan teramat lembut.
Seakan-akan khawatir jika bibir masing-masing akan habis ditelan masa. Hanna terengah sebentar, mencoba menggapai napas, dan mundur untuk melihat wajah Nanto. Si cantik itu tersenyum.
“Kenapa kok liatinnya begitu?” tanya si Bengal sedikit berbisik. Wajahnya sangat dekat dengan Hanna.
Si cantik itu tersenyum dan menggeleng kepala pelan. “Tidak apa-apa. Aku baru tahu kalau begini ternyata rasanya bahagia itu. Aku bahagia, Mas.”
“Kamu pantas bahagia.”
“Aku ingin bahagia bersamamu.”
Nanto tersenyum sembari merapikan poni milik Hanna, “Pertanyaanku sebenarnya cuma satu, kenapa? Aku tidak punya apa-apa yang bisa aku berikan untukmu tapi kamu begitu ngotot untuk menjalani ini bersamaku, padahal kamu sudah punya segalanya dan bisa mendapatkan yang lebih…”
Hanna meletakkan jemari di dada Nanto sembari menatapnya syahdu. “Ini. Kamu punya ini, cukup ini saja yang aku minta. Aku tidak butuh apa-apa lagi. Buat aku, Mas… hanya satu yang aku inginkan di dunia ini. Berada di hatimu dan menyimpanmu di hatiku. Tidak ada satu hartapun yang sanggup menggantikan itu, dan sayangnya mungkin tidak ada satupun yang dapat aku lakukan yang sanggup mewujudkannya.”
Hanna menarik tangannya lalu kembali menjadi syahdu.
“Siapa bilang tidak bisa?”
“Eh?” Hanna terkejut dan menatap Nanto dengan pandangan mata bulat
“Sejak kembali ke kota ini, ada satu cewek yang selalu hadir di saat-saat yang tepat. Di saat aku membutuhkan seseorang, dan di saat aku membutuhkan bantuan – dia ada di sana. Dia selalu mengalah pada cewek lain, selalu pasrah pada keadaan, entah karena memang sudah sifatnya, ataukah karena kebiasaan selama ini ditekan untuk selalu mengalah.” Nanto menatap lekat mata Hanna, membuat wajah dara itu merah bukan main. Nanto mengenggam lengan Hanna dan meletakkan kembali jemari sang dara di dadanya. “Aku ingin dia tahu, kalau aku akan selalu menyimpan namanya, wajahnya, dan cintanya… dalam hatiku. Jika dia harus pergi maka aku berharap yang terbaik untuknya. Jika kelak dia pulang dan mencariku, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka.”
“Mas…” air mata meleleh di pipi Hanna yang tertawa dengan manisnya. “Kamu memang paling bisa kalau ngerayu cewek. Dasar.”
Nanto tersenyum.
Bibir keduanya kembali bertemu.
Saat itulah lampu kembali menyala terang. Mereka bahkan tidak sadar hujan telah reda, entah sejak kapan. Keduanya berkutat dengan pelukan dan ketelanjangan masing-masing.
Keduanya tidak beranjak dari pembaringan.
“Tidak mau nge-charge hape dulu, Mas?”
“Tidak. Posisiku sudah pewe. Kamu?” Nanto balik bertanya.
Hanna menggeleng lembut dan memeluk si Bengal semakin erat seakan tidak ingin melepaskannya untuk alasan apapun. Bidadari itu tahu, mungkin ini satu-satunya kesempatan bagi mereka berdua untuk bisa merenggut asmara dan mengendarai biduk cinta bersama, “Tidak. Bahagiaku di sini bersamamu. Apapun yang ada di hape itu tidak akan sepenting bersamamu.”
Nanto tersenyum. Laki-laki mana yang tidak akan melambung tinggi diperlakukan seperti ini oleh wanita seindah Hanna?
Malam ini terlampau dingin untuk dilalui seorang diri.
Nanto kembali memeluk Hanna erat.
Dalam pelukan si Bengal, Hanna berbisik lembut.
“Ini yang ketiga. Berjanjilah padaku…”
“Apa?”
“Kamu akan menjadi seseorang yang lebih kuat, lebih percaya diri, tapi tidak sombong, dan tetap peduli pada sesama. Saat aku pulang nanti, aku ingin melihatmu berdiri dengan gagah dan tahu apa yang kamu inginkan untuk masa depanmu, aku tidak bicara nominal atau pencapaian, aku bicara tentang tujuan hidup dan tanggung jawab. Karena saat pulang nanti… dan jika kita berdua masih sama-sama memiliki rasa, kamu tahu kan apa itu artinya, Mas?”
“Ha? Memangnya apa artinya?”
“Artinya kamu harus menemui orangtuaku... seandainya Kinan mengijinkan.”
Nanto terdiam untuk beberapa saat lamanya.
“Takut?”
Nanto menggeleng, ia mengecup punggung tangan Hanna. “Tidak. Demi kamu aku tidak akan takut menghadapi apapun.”
“Salah. Jangan takut menghadapi apapun demi aku, tapi demi dirimu sendiri. Aku yakin kamu mampu menjadi yang terbaik ketika kamu sudah menetapkan apa yang kamu inginkan. Jadilah yang terbaik, Mas. Aku ingin saat pulang nanti aku bertemu dengan kekasih yang telah menjadi yang terbaik.”
Nanto mengangguk.
Mereka kembali berpelukan erat.
Nanto berbisik pada Hanna.
“Aku janji.”
.::..::..::..::.
Hageng mengelus hidungnya dengan punggung tangan. Wajahnya sedikit menunduk, poni kribonya turun sampai menutup kening. Matanya tetap tajam menatap ke depan, dingin dan tanpa ampun. Ada dua orang pria. Satu membawa pisau berdarah, satu lagi bersiaga menghadangnya.
Ia bersiap.
Ponselnya yang lain berbunyi.
Hageng menyimpan ponsel dari Kapten Ri ke kantong celana, dan mengangkat ponselnya yang lama. Ia menekan tombol terima. Langsung ada suara Bian yang ngamuk-ngamuk.
“Dab! Nang endi kowe, Nyuk!? Kamu di mana? Aku wes nunggu lama banget di kost tapi kowe ra teko-teko! Jinguk’e munyuk tenan! Ini ada kabar kamu ditangkap polisi, aku cari-cari info di polres tapi katanya kamu sudah dibebasin. Woy, jampes! Kamu di mana sekarang?”
“Aku di zini.” Jawab Hageng singkat. Dia mengirimkan posisi tempat dia berada melalui aplikasi map dan terus melangkah tanpa peduli ke dua orang yang terkejut melihat kedatangannya.
Hageng berjalan ke orang terdekat.
“Sebentar… sebentar… kok rasa-rasanya aku pernah lihat kamu, ya?” Adam Ladam menatap Hageng sembari mengerutkan kening. Dia merasa kalau wajah Hageng itu tidak asing. Di mana ya dia pernah bersua dengan si kribo bongsor ini? Sesaat kemudian barulah dia ingat. “Bajingaaaaan! Ternyata kamu lagi!”
Sang T-Rex dan Adam Ladam bertatapan.
Hageng menatap pria itu tanpa ekspresi, sang T-Rex tidak peduli siapa pria tersebut. Bahkan jika sebenarnya dia pernah mengenali Adam di suatu waktu, tetap saja dia tidak akan ambil peduli. Adam Ladam benar jika mengenali Hageng karena sesungguhnya mereka pernah bertemu saat Hageng dan kawan-kawan dari Lima Jari sedang membantu Bian yang tengah dikeroyok oleh PSG. Saat itu PSG sedang memburu dan membumihanguskan Patnem.
Adam Ladam dulu punya kumis yang khas, yang membuatnya mendapatkan nama julukan… Chaplin. Kumis yang kini sudah berganti.
Si Chaplin pun berteriak kencang saat mengenali Hageng, dia sudah siap melompat untuk menyerang sang T-Rex. “Setaaaaaaaan! Kalian kok ga mati-mat…”
Jblaaaaaaaam!
Hanya dengan sekali pukul, Hageng membenamkan kepala Chaplin ke tembok. Tinjunya bersarang di wajah Chaplin, bahkan hingga melesak ke dalam. Pisau yang digunakan untuk menusuk Eva jatuh berdenting. Ketika tangan Hageng ditarik, tubuh Chaplin luruh ke lantai.
Hageng berjalan ke depan tanpa berhenti, kali ini menuju ke arah Rama yang sudah memancang kuda-kuda. Chaplin mencoba mengambil pisaunya, tangannya bergetar. Dia tidak akan menyerah begitu saja. Bagaimana mungkin Hageng jadi sedemikian kuat? Dulu mereka masih bisa seimbang. Dia masih bisa…
Hageng memutar badannya ke samping hampir seratus delapan puluh derajat. Kepalan tangan kiri diputar dengan kecepatan tinggi dan melesat bagaikan peluru kendali.
Bibirnya berucap perlahan, “Pukulan Palu Dewa Petir.”
Jblaaaaaaaaaaaam!
Wajah Chaplin dihajar dari belakang hingga terbenam di lantai. Tubuhnya berkelojotan seperti baru saja kena setrum ribuan watt. Tangan Adam Ladam dengan lemah menggapai kaki Hageng, mencoba memeganginya dengan kekuatan seadanya.
Hageng mendengus. “Zejuta Palu Dewa Petir.”
Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam!
Hempasan pukulan tangan Hageng dari kiri dan kanan menghujani punggung dan kepala belakang Adam Ladam. Dia tidak lagi mampu melawan, tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya berulang kali bergetar dan mengejang. Darah mulai menggenang. Hageng bahkan sudah tidak peduli jika dia benar-benar akan membunuh si Chaplin.
Rama memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari melewati Hageng. Dia tidak akan mengambil resiko dengan menghadapi lawan kuat yang sedang gelap mata.
“Tombak Dewa Samudera.”
Hageng dengan sigap berlari, melompat dan menubruk Rama bagaikan seekor banteng yang hendak membelah bagian tengah tubuh sang reserse. Bagaikan trisula yang dilemparkan dari kejauhan dan menancap di perut Rama.
Haaaaakghhhh!
Rama terlempar ke belakang karena sodokan spear ala Goldberg dari Hageng. Perutnya remuk redam, tubuhnya terasa tidak karuan. Hageng mengangkat lengannya, pertanda dia akan menghantamkan pukulan ke kepala Rama.
Lengan terangkat, dada terbuka.
Rama meletakkan telapak tangannya di dada Hageng secepat kilat. Anggota tim Garangan itu menggemeretakkan gigi dan mengucapkan sesuatu yang tidak didengar oleh sang T-Rex.
Boooom!
Jbooooogkkhhh!
Tubuh Hageng terhempas ke belakang hingga tiga meter jauhnya, mungkin seandainya tidak terhalang tembok ia akan terlempar lebih jauh lagi. Rama terengah-engah, sial. Akhirnya keluar juga Ajian Rengkah Lemah Bongkah-nya. Buru-buru ia berkelebat menjauh dari Hageng dan Adam Ladam, keluar melalui pintu darurat. Ia pasti menggunakan Ki untuk memanggil ilmu ringan tubuh karena dengan mudahnya ia kini melesat meninggalkan Hageng.
Hageng mendengus kesal. Ia harus mengejar Rama.
Terdengar suara erangan.
A-apakah Eva?
Buru-buru Hageng berlari menghampiri tubuh wanita cantik yang kini bersimbah darah itu. Tangan besar Hageng mencari nadi Eva. Tidak ada detakan, kalaupun ada pasti sangat lemah. Tubuhnya mulai dingin – apakah masih bisa diselamatkan? Darah yang keluar terlalu banyak.
“Tidak… apa-apa…” terdengar suara lirih.
“E-Eva?”
“Aku… akan baik-baik saja… aku… tidak apa-apa…”
“Ka-kamu mazih hidup? Tenanglah! Zimpan tenagamu… aku akan memanggil bantuan! Aku akan memanggil ambulanz untuk membawamu ke rumah zakit! Bertahanlah!”
“Ha-Hageng… Terima… kasih…”
“Eva…”
“Kamulah… kekasih… yang tak pernah kumiliki…”
“Eva… tolong jangan bercanda di zaat-zaat zeperti ini…” Hageng menggenggam erat jari jemari Eva. Wanita berparas indah itu hanya tersenyum.
“Benang merah… talinya semu… meski berpisah… aku akan selalu menyayangimu.” Tangan lembut Eva bergerak ke atas untuk menyentuh pipi Hageng, “Ke pasar minggu… membeli bejana… aku akan menunggumu… di nirwana.”
Tangan itu terkulai ke bawah.
Hanya begitu saja… kisah Eva akhirnya berakhir.
Hageng berteriak sekencang-kencangnya memanggil nama Eva.
Tidak adil. Ini semua tidak adil.
Eva hanya ingin mengubah hidupnya. Dia hanya ingin bertobat dan menjadi pribadi yang lebih bersih. Tapi kenapa tidak diijinkan? Kenapa mereka memburunya dengan keji? Kenapa dia harus dihabisi? Hageng meraung dan berteriak-teriak pedih. Kenapa ia tidak bisa menyelamatkan Eva?
Sang T-Rex memejamkan mata. Satu persatu kilasan saat bersama Eva terbayang. Terutama saat Hageng diundang sarapan di apartemen Eva untuk mencicipi omelette kornet-nya. Saat itu Hageng makan dengan lahap.
Senyum dan tawa Eva terbayang. Dia cantik sekali saat itu.
“Enak juga.”
“Syukurlah kalau kamu suka. Hihihi. Aku ga tau mau masakin sarapan apa lagi, karena bahannya yang ada itu.”
Saat mereka sarapan bersama Hageng masih ingat bagaimana lepasnya Eva tertawa, bukan tawa yang dibuat-buat, bukan tawa yang genit, bukan tawa yang terpaksa, tapi tertawa bahagia yang sebenar-benarnya.
Tubuh Hageng bergetar saat mengingatnya, ia mendekap Eva erat. “Bangun. Ayo bangun… ayo kita sarapan berzama lagi… kamu mau makan apa? Giliran aku yang akan mazakin. Tenang zaja, tidak akan ada lagi yang mengejar dan menyakitimu. Tidak akan ada lagi yang biza menyentuhmu. Aku akan zelalu menjagamu. Mulai zekarang kamu biza hidup dengan tenang, aku akan menjagamu… tapi kamu haruz bangun. Ayo bangun…”
Tubuh Eva perlahan-lahan menjadi dingin.
Si cantik itu sudah pergi dalam senyum.
“Eva… bangun, Va…” Hageng memeluk tubuh dingin Eva dengan tangan yang bergetar. “Bangun, ayo bangun… aku berjanji akan membuatkan puizi untukmu, menjadi badut zekocak apapun yang kamu minta, menjadi bahan lelucon yang tidak lucu dengan puizi konyol hanya untukmu, aku akan memazak apapun makanan yang kamu inginkan. Tapi kamu haruz bangun... bangun ya, Va? Bangun ya? Ayolah bangun…”
Tapi Eva tidak menjawab, ia tidak akan pernah lagi bisa menjawab.
Sekali lagi Hageng berteriak. Ia meninju lantai dengan kencang.
Lantai itu retak.
Ada gerakan di kejauhan.
Ia melihat Chaplin bergerak merangkak menjauh, pria itu sudah terluka, wajahnya dipenuhi darah, tapi ia masih nekat merangkak untuk meninggalkan Hageng dan Eva sendirian. Hageng menatap Chaplin dengan sengit. Jadi ini toh si Adam Ladam? Bajingan ini yang telah menghancurkan hidup Eva? Hageng mengecup dahi sang bidadari yang telah terlelap dan berdiri. Ia menidurkan Eva dengan lembut.
“Tidurlah dulu. Ada zezuatu yang haruz aku zelezaikan. Kamu tidur zaja ya, akan aku nyanyikan lagu nina bobo.” Hageng berdiri, lalu bergumam dan berdendang sembari melangkah perlahan-lahan. Setiap langkahnya mantap maju ke depan. Tangannya tergenggam kencang, wajahnya tak menampilkan canda, air mata menetes di pipinya. Hageng menatap sasarannya.
“Nina bobo, oh… nina bobo…”
Chaplin menatap ke arah Hageng yang mendatanginya dengan pandangan yang kabur. “Ja-jangan… a… aku menyerah… aku.. ampun… jangan… aku PSG… kamu akan diburu oleh… jangan… ampun… aku mohon ampun…”
Hageng tetap melangkah ke depan tanpa peduli sembari terus mendendangkan sebuah lagu untuk Eva, “Kalau tidak bobo… digigit nyamuk.”
“Ja-jangan… aku minta maaf. Sudah cukup… aku… sudah cukup… itu bukan ulahku… aku juga tidak mau semua berakhir seperti ini… aku tidak pernah… kejar orang tadi… dia yang membunuhnya… kejar dia…”
Tangan besar Hageng mencengkeram bagian belakang kepala Chaplin, ia mengangkatnya dengan satu tangan.
Chaplin menatap ke depan, tepat di depannya ada sebuah cermin yang terpasang di dinding. Terdapat tulisan di atas cermin itu. Sudahkah anda rapi hari ini?
Prannnggghkkkk!
Wajah Chaplin dihentakkan ke cermin dengan kerasnya sampai cermin itu pecah berantakan. Lalu ditarik, lalu dihempaskan lagi, lalu ditarik, lalu dihempaskan lagi, lalu diseret ke atas, lalu diseret ke bawah, lalu ke atas lagi, lalu ke bawah, dan akhirnya dihempaskan ke lantai.
Teriakan Adam Ladam alias Chaplin bergema di seluruh penjuru ruangan. Tapi tidak ada yang menyahut, tidak ada yang membalas, tidak ada yang menolong. Dia hanya bisa meronta tanpa bisa banyak berarti. Hageng sudah benar-benar gelap mata.
Wajah Adam Ladam hancur.
Ketika darah sudah semakin kental di bekas cermin, Hageng mengangkat dan melempar Chaplin ke samping dengan mudahnya. Adam Ladam menghantam tembok dan jatuh tertelungkup ke lantai kembali. Sial buat Chaplin, rasa takut justru membuatnya bisa bertahan. Ia mencoba mengangkat tubuh, tapi lantas terhenti karena menyadari kedatangan sang T-Rex.
“Ss… sssdah ckp… ssdah… ak.. ssdah tk… bsssa… jang… an…. Ckp… ampn… mpun…” Adam Ladam berusaha berbicara, namun bibirnya pecah dan dipenuhi kaca.
Krghk!
Semua ucapan Chaplin terhenti ketika kaki besar Hageng menginjaknya. Hageng mengangkat kakinya dan mengulangi lagi gerakannya. Ia membenamkan kakinya ke kepala Chaplin.
Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Lima kali. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Sepuluh. Sebelas. Dua belas. Tiga belas. Empat belas. Lima belas. Enam belas. Tujuh belas. Delapan belas. Sembilan belas. Dua puluh…
Chaplin sudah tidak lagi dapat membalas dan berbicara.
Entah pingsan entah sudah tak bernyawa.
Entah pada injakan yang keberapa akhirnya Hageng berhenti.
Kepala Chaplin sudah tak berbentuk, darah memancar kemana-mana. Hageng sudah tidak lagi peduli apakah preman PSG itu hidup atau mati.
Hageng melangkah kembali ke arah Eva, ia mendekap dan merapikan rambut gadis itu, lalu memeluk, dan membopongnya.
“Tenanglah. Tidurlah. Zemua cecunguk-cecunguk di luar zana, mau itu PZG, mau itu RKZ, mau itu Dinazti Baru, mau itu JXG, mau itu QZK, mereka zemua akan aku habizi. Aku akan menjadi lebih kuat dan lebih pantaz kamu banggakan. Aku akan zelalu membawamu dalam doaku. Kita habizi berzama kelompok-kelompok jahanam ini, Va. Itu zumpahku.”
Lift tiba-tiba terbuka.
Beberapa orang karyawan yang bekerja di lantai itu terhenyak saat menyaksikan apa yang terjadi. Wajah normal mereka berubah menjadi wajah ngeri saat menyaksikan darah dan tubuh tergeletak. Mereka mengurungkan niat untuk lembur malam ini dan memilih bungkam seribu bahasa.
Hageng tidak banyak kata, dia masuk ke dalam lift sembari membopong Eva.
“Lantai dazar.”
Satu orang mengangguk dan memencet tombol.
Lift pun turun ke bawah.
.::..::..::..::.
Rao mengejapkan mata.
Seperti ada sesuatu yang aneh yang tak biasa.
Ada rasa yang berbeda.
Rasa sakit.
Ia baru saja terlelap lama. Anehnya tubuh Rao bukannya segar setelah tertidur, tapi malah sakit hampir di sekujur badan. Ada perih, ada linu, ada pegal, ada badan yang terasa tidak nyaman. Rao mengerang kesakitan.
Apa yang telah terjadi?
Saat membuka mata dan semua yang samar perlahan terlihat jelas, barulah Rao menyadari apa yang telah terjadi. Meski hanya sekelebatan mata saja, tapi dia telah dihajar tanpa ampun oleh Joko Gunar dan 3GB tanpa bisa memberikan perlawanan yang berarti.
Dia pingsan sejak tadi.
Rao melirik ke kanan dan kiri. Tangannya terikat dan dibentangkan pada sebuah pancang, begitu juga kakinya. Dia tak bisa bergerak. Rao mulai melihat lingkungan tempat dia berada, sebuah lokasi yang terlihat hijau. Banyak pepohonan di sekitarnya. Seperti sebuah taman besar, atau hutan? Di mana sebenarnya dia berada?
Jbyrrrr!
Satu ember kecil air disiramkan pada sang Hyena Gila.
“Gaaaaaaaahh!!” Rao akhirnya benar-benar tersadar dari pingsannya.
“Heheheh. Sudah bangun?”
Rao dipaksa mendongak. Sosok gempal Joko Gunar berada di hadapannya, menjambak rambut jabriknya supaya ia bisa menatap wajah sang Hyena Gila dengan senyum terkembang puas. Jauh di belakang si Gunar, sekitar tiga meter jaraknya – Nuke tengah dipegang erat oleh Arhan Gunadi.
“Lepaskan dia! Lepaskan!!” Nuke berteriak-teriak kesetanan dan menangis melihat Rao diperlakukan seperti itu. “Abang sudah berjanji! Lepaskan dia, Bang!!”
Rao terengah-engah, dia merasa sesak, dadanya, mulutnya, semua terasa sesak. Kepalanya beralih ke kanan, dan dia memuntahkan darah segar.
“Heheheheh. Sepertinya tanpa kami perlu campur tangan pun, tubuhmu sudah hancur dengan sendirinya. Nyenengke aku nek ngene ki.” Gunar mendorong kepala Rao ke belakang, membenturkan bagian belakang kepalanya dengan satu batang pohon. “Kamu bahkan tidak bisa mengatur tenaga dalammu sendiri. Kebiasaanmu minum minuman keras telah menghancurkanmu, bodoh.”
Bkkkghhh!
“Hrrrghhh!” Rao mengernyit kesakitan sampai memejamkan mata saat benturan terjadi. Sekail lagi ia muntah darah.
“Abaaaaaang!! Lepaskan mas Rao! Abang sudah janji!! Abang sudah janji sama akuuuuuuu!!”
Joko Gunar mendengus. Ia sedikit kesal tapi lantas mengangguk-angguk. “Huh! Aku memang sudah berjanji pada Nuke, jadi harus aku tepati. Baiklah, aku ikuti apa maumu!”
Pria bertubuh besar itu membalikkan badan dan meninggalkan Rao yang kembali kelimpungan karena kepalanya pusing bukan main. Sembari berjalan ke arah Nuke dan Arhan Gunadi, ia memalingkan kepala ke arah beberapa orang di sebelah kirinya dan mengangguk.
Oppa, Amon, dan Remon berjalan dengan seringai buas ke arah Rao. Mereka punya urusan yang belum selesai dengan sang Hyena Gila. Amon dan Remon menyiapkan kepalan, Oppa menyiapkan tendangan.
Ketiganya beraksi.
Semua rasa kesal dan benci yang mereka pendam terhadap sang mantan pimpinan akhirnya bisa ditumpahruahkan pada Rao. Inilah kesempatan mereka untuk menghajarnya. Mereka memukul dan menendang Rao tanpa jeda. Silih berganti. Serangan mereka semakin kuat dan semakin beringas.
Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!
“Hentikaaaaaaaaaan! Hentikaaaaaaaaan!!” Nuke kembali histeris, “Abang sudah berjanji!! Abang sudah berjanji!!”
Joko Gunar tersenyum, “Memang. Aku sudah berjanji tidak akan menyakitinya lagi jika kamu mau ikut denganku dan segera menikahiku. Tapi itu kan janjiku. Mereka bertiga punya dendam pribadi terhadap Rao. Jadi itu bukan urusanku dan tidak termasuk ke dalam janjiku. Bukankah adil yang seperti itu!?”
“Mas Raoooooo!! Tidak!! Tidak!! Jangaaaaaan!!”
Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!
Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!
Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!
Rao menjadi bulan-bulanan ketiga mantan kapten dan jendral DoP. Mereka bertiga tertawa-tawa karena kali ini Rao benar-benar tidak berdaya. Kaki Oppa melesat ke kanan dan kiri dengan kecepatan tinggi, setiap serangannya membuat kepala Rao terhenyak ke kanan dan kiri. Darahnya makin deras mengalir, darah karena luka luar dan karena luka dalam.
“Abaaaaang! Aku mohon. Aku mohon, Bang… jangan sakiti dia lagi… aku mohooon.” Nuke menangis deras dan tersungkur di bawah kaki Joko Gunar saat Arhan Gunadi melepaskan badan sang dewi jelita yang kini pasrah oleh angkara murka itu. “Abang! Aku harus ngapain, Bang!? Akan aku lakukan. Tapi lepaskan dia, Bang! Jangan sakiti dia lagi…!”
“Hmm…” Joko Gunar tersenyum. “Lepaskan behamu. Aku ingin meremas-remas susumu.”
Nuke melirik ke kanan kiri dan melihat para anak buah Joko Gunar terkekeh dan melihat ke arah Nuke dengan pandangan cabul. “Ta-tapi…”
“Terserah mau atau tidak. Itu urusanmu. Aku kan tidak berkewajiban menghentikan mereka. Perjanjianmu denganku adalah menghentikan aku menyiksa kekasihmu. Aku sudah melakukannya. Apa lagi maumu?”
Nuke geram bukan kepalang, ia lalu menelusupkan tangannya ke dalam kaos yang ia kenakan dan mulai melepas beha yang ia kenakan tanpa mencopot kaosnya. Untung ia mengenakan kaos berlengan pendek sehingga mudah sekali melepaskan kait dan tali beha. Usai melepaskannya, Nuke melemparkan behanya pada Joko Gunar. “Ambil ini! Lepaskan dia! Jangan biarkan mereka memukul Mas Rao!”
“Tut tut… kamu tidak mendengar apa yang aku ucapkan tadi? Aku ingin meremas susumu, bukan ingin menyimpan behamu. Buat apa behamu ini?”
Nuke tambah geram. Ia menarik pergelangan tangan Joko Gunar dan menelusupkan tangannya ke bawah kaos. Dengan begini Joko Gunar bisa bersentuhan dengan payudara Nuke tanpa ia membuka kaos di hadapan para anak buah PSGxRKZ. Gunar tersenyum dan meneguk ludah. Ia menjilat bibirnya sendiri sembari meremas-remas buah dada sang dara jelita.
“Ehhhghhhkkk! Le… lepaskan dia…”
“Pentile wes kenceng, cah! Wes sange ket mau jebule cah wadon iki! Dia mulai sange!” ucap Gunar untuk mempermalukan Nuke di hadapan anak buahnya sekaligus membuat Rao geregetan. “Dikenthu ora iki enake? Dientotin ya?”
“Kenthuuuuu, Bos!!”
“Kenthuuu laaaah!”
“Diojlok-ojlok nganti sesoooook!! Bwahahahahahha.”
Rao yang melihat Nuke dilecehkan mulai meronta. “Nu… Nuke… ja-jangan…”
“Khawatirkan saja dirimu sendiri. Urusanmu masih belum selesai dengan kami!” Oppa mencibir dan kembali melancarkan serangan.
Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!
Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!
“Mas Raaaoooooooo!!” Nuke menggemeretakkan giginya dan menatap Joko Gunar dengan pandangan galak, “Lepaskan mas Rao! Kamu sudah berjanji akan melepaskannya setelah meremas dadaku!”
Gunar tersenyum, ia masih terus melaksanakan niatnya meremas-remas dada Nuke. Semakin lama semakin kencang, “Bagaimana kalau kita naikkan pembayarannya?”
Nuke tertegun, “Apa maksudmu?”
“Kamu mau dia selamat?”
“Iya.”
“Maka kamu harus berjanji untuk menikah denganku dan tak pernah berjumpa lagi dengannya. Bagaimana?”
“Aku sudah menyetujuinya! Kenapa harus diulang terus!? Cepat lepaskan dia!!”
“Ada satu syarat lagi.”
Jantung Nuke berdetak kencang, “Apa itu?”
“Mulai malam ini kamu akan tidur denganku dan melayaniku bermain cinta. Kamu tidak boleh meninggalkan sisiku sampai saatnya nanti kita menikah. Ucapkan itu di hadapan dia dan kami akan membebaskan Rao.”
Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!
Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!
“Kenapa mereka masih menyakitinya? Tungguuuuu! Tungguuuuuuuuu!!”
Nuke memukul-mukul lengan besar Gunar yang masih meremas-remas dadanya tanpa henti. Nuke melirik ke arah Rao dan tahu, apapun yang ia lakukan saat ini, tak akan bisa menyelamatkan sang Hyena Gila dari nasib buruk. Kecuali Nuke melakukan sesuatu yang mungkin seharusnya ia lakukan sejak dulu.
Gunar maju ke depan, lalu berbisik. “Bilang ke Rao kalau kamu akan menyediakan memekmu hanya untuk aku seorang mulai hari ini. Bilang seperti itu dan aku akan membebaskan dia. Tapi kalau dia berani-beraninya datang untuk menyelamatkanmu di kediamanku, maka aku akan menghabisi DoP hingga ke jaringan terbaru mereka – Aliansi!”
Nuke menundukkan wajahnya. “Aku akan melakukannya. Hentikan dulu mereka.”
Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!
Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!
“HENTIKAN DULU MEREKAAA!!”
Nuke berteriak di depan Gunar. Sang kodok besar tersenyum dan mengibaskan tangan. Saat itu pula Amon, Oppa, dan Remon mundur teratur dari Rao yang sudah babak belur. Gunar melepaskan tangannya dari payudara Nuke yang sudah terasa sakit dan nyeri karena diremas-remas kencang oleh sang kodok besar.
Nuke berjalan pelan ke arah Rao. Air matanya tak bisa dibendung. Ia mendekat, sangat dekat, dan menggunakan punggung tangan untuk menghapus keringat Rao. Ia mengelus-elus dan merapikan rambut sang Hyena Gila.
“Mas…” Nuke mulai terisak, tapi ia berusaha kuat dan menahan emosinya agar tidak merusak semua negosiasi dengan Joko Gunar, dia menahan diri untuk tidak menangis. “Mu-mulai malam ini, aku akan menyerahkan tubuhku pada Bang Gunar… tidak apa-apa ya…”
“N.. N… Nnnu…” bibir Rao yang pecah bergerak dengan getar. Wajahnya sudah sembab, biru, merah, tak lagi jelas.
Nuke memajukan kepalanya, memejamkan mata, dan mengecup bibir Rao. Lalu mundur dan tersenyum sangat manis. Ia masih terus membersihkan wajah Rao dengan lembut.
“Tidak apa-apa… semuanya akan baik-baik saja… kamu dan aku akan sama-sama selamat. Aku yakin Bang Gunar akan memperlakukan aku dengan baik. Kamu juga jaga diri ya, Mas. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Hari ini, mungkin hari terakhir kita dapat bertemu.”
“N.. N… Nnnu… kke…”
“Mas. Aku sayang sama Mas, tapi… mulai sekarang… mohon lupakan aku ya.” Nuke tersenyum semanis yang ia bisa sementara hatinya teriris-iris.
“J… Jangan…” Rao mendengus-dengus, matanya hanya bisa dibuka separuh. Yang separuh lagi terkatup tak kuasa ia buka.
“Lupakan aku, Mas.” Nuke tersenyum sembari menahan isak tangisnya, si cantik itu mengelus-elus wajah Rao berulang. “Aku berterima kasih karena selama ini Mas Rao telah memberikan aku harapan. Telah memberikan aku apa artinya hidup bahagia. Kini saatnya Mas juga merasakan hal yang sama, tidak lagi terkekang olehku. Mas Rao bisa kembali terbang tinggi dengan bebas, dan aku… aku akan memperhatikan setiap langkahmu dengan bangga dari kejauhan.”
Rao menggeram. Dia menggunakan sisa Ki yang mungkin ia punya untuk menguatkan kondisi supaya ia bisa berucap. “A-a… Aku tidak pernah terkekang… aku bahagia bersamamu…”
Ada garis air mata menetes di pipi Nuke.
Betapa bahagianya ia mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Rao yang selama ini hanya terdiam beribu bahasa. Ia tahu betapa Rao telah menelan harga dirinya sendiri untuk mengucapkan kata-kata itu. Seorang Rao, bertekuk lutut di hadapan seorang wanita!
“Aku juga, Mas. Tapi aku akan lebih bahagia lagi melihatmu menjadi diri sendiri. Meski dari kejauhan aku akan memperhatikanmu tanpa pernah mengganggu hidupmu lagi. Berdirilah tegar dan aku akan selalu bangga padamu. Aku akan selalu menyimpanmu di sini, di hatiku, tidak akan pernah terganti.”
Nuke lantas menyentuhkan jarinya di dada Rao, “Aku juga ada di sini dan tidak akan pernah pergi.”
“Tidak… tidak… tidak seperti ini…”
Nuke mengecup bibir Rao sekali lagi.
Keduanya tenggelam dalam angan, pada apa yang mungkin terjadi, pada apa yang bisa terjadi, pada apa yang terjadi, dan pada apa yang akan menjadi memori. Bibir lembut Nuke dan bibir keras sang Hyena Gila saling mengelus lembut, bukan karena nafsu, tapi karena sesuatu yang lebih murni dan lebih sejati.
Keduanya tahu, inilah perpisahan sebenar-benarnya.
Ketika Nuke menarik wajah, Rao bisa melihat linang air mata deras mengalir di wajah yang sedang tersenyum lembut padanya.
“Tidak… jangan… jangan…” Rao menggeleng kepala. Sang Hyena Gila mencoba memberontak dari tali yang mengikatnya, namun ia tak mampu. Ia memandang ke arah wanita yang ia puja dengan pandangan yang tak pernah ia tunjukkan ke siapapun sebelumnya. Pandangan yang membuktikan bahwa seorang pimpinan preman pun juga manusia yang punya hati dan punya rasa.
“Selamat tinggal, Mas. Aku sayang sama kamu, selalu.”
Nuke membalikkan badan dan melangkah ke arah Joko Gunar.
Rao hendak berteriak dengan kencang, tapi ada sosok berdiri di sebelahnya yang menyeringai penuh kemenangan.
“Dia sudah mengucapkan selamat tinggal. Sudah saatnya kamu juga melakukan hal yang sama. Kekekek. Adios, amigo.”
Sosok itu adalah sosok Arhan Gunadi. Pria itu tersenyum, ia mengangkat lengan, menariknya mundur hingga sejajar telinga, lalu melesatkan satu pukulan dengan kencang yang diselimuti oleh tenaga Ki cukup besar.
“Karma Punch.”
Jbkkkkghhh!
Kepala Rao terbanting ke kanan.
Ia pingsan seketika.
.::..::..::..::.
Rama berlari sekencang-kencangnya begitu ia sampai di lantai terbawah gedung apartemen. Ia berbelok ke kanan, ke kiri, ke kanan, ke kiri lagi, mencoba mencari celah untuk mencapai kendaraannya yang berada di halaman parkir. Dia harus segera sampai di sana dan cabut dari tempat terkutuk ini sebelum terjadi sesuatu yang…
Ka-boooom!
Tubuh Rama tiba-tiba saja melayang terbang ke belakang karena terhempas satu sentakan energi dahsyat. Ia hanya bisa pasrah karena sekujur tubuhnya tiba-tiba saja tak bisa digerakkan. Bagaikan terkunci begitu erat oleh ikatan begitu kuat.
Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh!
Bruaaaaakgh!
Ia terlempar ke belakang dan terhampar ke tembok pagar yang kokoh bertahan, membuat tubuhnya remuk redam tak kuasa menahan benturan. Rama terjatuh luruh melorot ke bawah, sekujur tubuhnya kesakitan. Pemuda itu memegang dadanya, sentakan energi dahsyat itu bagaikan menghantam dadanya berkali-kali namun ke tempat dan posisi sasaran yang sama. Bagaimana bisa?
Siapapun yang melakukannya serangan itu, ia bagaikan seorang sniper yang mampu mengincar dan menembak titik sasaran tepat berulang-ulang kali.
Apakah dia benar-benar harus mengeluarkan jurus-jurus rahasianya untuk melawan siapapun yang telah…
Rama terbelalak melihat siapa yang telah datang.
…ah sial. Seharusnya dia tahu.
Berdiri sekitar empat meter jauhnya dari Rama, seorang gadis dengan telapak tangan kanan terbuka, sementara tangan kiri menggenggam pergelangan tangan kanan. Ia berlutut dengan satu kaki dan posisi tubuhnya menyamping. Mata bulat indahnya memicing mengincar sang pemuda yang kini sepertinya lemas tak berdaya. Mencoba memahami apakah benar Rama sudah remuk redam, ataukah hanya akting semata.
Dari belakang gadis itu muncul satu sosok lain yang menepuk pundak sang gadis. “Kerja bagus. Gajimu kunaikkan.”
Rama menggeram. Kapten Ri dan Shinta! Ternyata sundal itu yang telah…!
“Rama! Sudah waktunya kamu memberikan laporan!!” Kapten Ri berdiri di samping Shinta yang masih memasang kuda-kudanya, Rama tahu kapanpun ia bergerak, Shinta akan sanggup menembakkan sentakan tenaga jarak jauh, memang tidak melumpuhkan tapi cukup dahsyat untuk menyengat. Tangan Kapten Ri bersidekap sementara ia menatap Rama dengan sorot mata tajam.
Rama memeriksa situasi, kondisi, toleransi, pandangan dan jangkauan. Di belakang Shinta serta sang Kapten, sudah berdiri Hafiz dan pasukan tim Garangan. Mereka benar-benar sigap mengejar begitu ada laporan dari Eva tadi.
Rama menyeringai dan berusaha berdiri dengan sekuat tenaga. Ia lantas memberi hormat pada sang pimpinan. Kapten Ri berjalan mendekat dan membalas hormatnya.
“Kapten Ri,” ujar Rama sembari tersenyum.
“Kenapa kamu lari?” Kapten Ri tak membalas senyumnya. “Apakah ada sesuatu yang terjadi? Ataukah yang aku dengar tadi benar-benar ulahmu yang melakukan tindakan di luar batas? Jelaskan padaku atau tim Garangan akan bergerak untuk menangkapmu.”
Kali ini Rama tidak akan bisa berkelit lagi, dia sudah tersudut. Mana yang akan dia pilih? Jalan negosiasi atau bertarung? Tim Garangan sedang mengepungnya. Ada Kapten Ri, Shinta, dan Hafiz di sana. Mereka bertiga jelas punya kemampuan untuk membuat malam ini jadi lebih ancur dari seharusnya. Rama tahu dia ada kesempatan fifty-fifty untuk melenggang pergi seandainya dikeroyok, tapi apa iya dia mau mempetaruhkan karirnya untuk urusan sereceh Eva? Dia masih butuh berada di mabes tim Garangan. Negosiasi atau bertarung?
Negosiasi.
“Tu-tunggu dulu, Kapten. Mari kita berpikir dengan jernih menggunakan kepala dingin.”
“Apalagi maumu? Kepala dingin apalagi!?” Shinta mulai geregetan dengan tingkah Rama, dia curiga Rama-lah yang menjadi penghubung bagi Bambang Jenggo. Dengan kata lain, dialah sang musuh dalam selimut. “Kamu sudah tertangkap basah. Tidak akan ada jalan keluar dari semua ini.”
Rama tidak mempedulikan Shinta dan tetap fokus pada sang Kapten.
“Kapten, semua ini salah paham. Saya tahu kalau saat ini saya terlihat bersalah karena memang ada korban yang jatuh, tapi itu situasi genting yang tidak bisa dihindari. Saya melakukannya karena saya melaksanakan tugas sesuai juknis yang berlaku pada kondisi dan situasi yang saya hadapi. Saat ini saya berdiri di antara dua kelompok yang berbeda demi kepentingan orang banyak. Saya harus aman dari rasa curiga kedua kelompok tersebut dengan melakukan tindakan di luar batas bahkan jika apa yang saya lakukan harus mengorbankan satu dua orang korban untuk menjadi necessary victims.” Rama mengemukakan alasannya, “Seperti yang Kapten ketahui, satu kaki saya berdiri di JXG, kaki lain di PSGxRKZ. Bukankah posisi saya sangat menguntungkan bagi kita semua? Saya selama ini sudah melaporkan apapun pada Kapten Ri. Percayalah, Kapten. Jiwa dan hati saya tetap berada di Tim Garangan. Peristiwa tadi… memang disesalkan, tapi tak bisa saya hindari.”
Shinta dan Hafiz berdiri di belakang Kapten Ri, keduanya bersiap kalau-kalau Kapten Ri mendapatkan kesulitan atau berada dalam bahaya.
“Laporan? Laporan apa? Bagaimana aku bisa percaya padamu kalau kamu selama ini tidak pernah mengucapkan apa pun tentang hal ini? Bahkan laporan pun tidak ada, jadi laporan seperti apa yang kamu maksudkan?” Kapten Ri mendekat ke arah Rama dengan tenang. “Tapi sudahlah, untuk saat ini aku tidak peduli. Apapun alasanmu, kamu sudah tahu prosedurnya. Ada korban jatuh, itu artinya kami harus membawamu ke mabes terlebih dahulu untuk pemeriksaan lebih lanjut.”
“Siap laksanakan.” Rama tersenyum dan mengangguk.
Kapten Ri mengayunkan tangan dan beberapa orang anggota tim Garangan berjalan berhati-hati untuk mendekati Rama. Mereka lantas merangkulnya dan membawa Rama ke mobil tahanan. Semua berjalan dengan tenang dan tanpa perlawanan.
“Kapten. Ijin untuk mengemukakan pendapat.” Shinta berdiri dan memberikan hormat.
“Gaskeun.”
“Terima kasih, Kapten. Mohon maaf kalau pendapat saya ini terkesan kurang ajar dan membuat Kapten kurang berkenan. Tapi menurut saya memberikan kepercayaan berlebih kepada Rama dan membiarkannya bebas sepertinya bukan keputusan yang bijak. Kita tidak tahu apakah hal yang dia ungkapkan benar-benar dapat dipercaya ataukah ini semua hanya alasan dia saja untuk lolos dari hukum. Secara bukti dia sudah jelas tertangkap tangan membunuh korban tak bersalah. Ada nyawa yang hilang di sini, bukankah itu saja sudah cukup untuk menjeratnya? Demikian pendapat saya, Kapten.”
“Sudah? Itu saja?”
“Hormat saya, Kapten. Sudah itu saja.”
“Kita bertindak sesuai kewenangan dan kebijakan yang berlaku. Apapun yang dilakukan Rama, kalau korps menyatakan bahwa ini semua memang harus dilakukan - bahkan jika hal tersebut akan memakan korban sebagai necessary victim atau jika seandainya kita tidak setuju sekalipun, maka kita harus menerimanya dengan lapang dada dan mendukung keputusan tersebut. Kita bertugas di bawah sumpah setia pada korps.”
Rama tersenyum sinis pada Shinta yang melengos. Gadis itu masih tidak bisa percaya seratus persen pada sang pemuda. Shinta pun menjawab, “Siap Kapten.”
“Bagaimana dengan korban dan pacarnya?” tanya Kapten Ri.
“Mereka sudah dikirim menggunakan ambulans ke rumah sakit terdekat. Kondisi korban sepertinya sudah fatal.” Jawab Shinta.
Ponsel Rama tiba-tiba saja berbunyi.
Karena tangannya tidak diborgol, sebenarnya Rama dapat dengan bebas untuk mengangkatnya. Tapi karena tahu posisinya sedang dalam pengawasan, pemuda itu pun bertanya pada Kapten Ri apakah dia diijinkan untuk menerimanya dengan satu pandangan mata. Sang pimpinan mengangguk memperbolehkan.
Rama pun segera mengangkatnya. “Selamat malam.”
Kapten Ri, Shinta, dan Hafiz mengamati Rama.
“Betul sekali. Baik. Baik. Kebetulan beliau ada di depan saya. Baik.” Rama menyerahkan ponselnya pada Kapten Ri. “Mohon maaf, Kapten. Ada yang ingin bicara dengan Kapten.”
“Siapa yang…?!” Kapten Ri mengerutkan kening. Ia menerima ponsel Rama dan meletakkannya di telinga, “Halo? Siapa… Oh? Njenengan? Nggih. Bagaimana? Apa yang bisa saya…? Hahaha. Siap, siap. Tentu saja saya hapal suara njenengan, hahaha. Mohon maaf. Siap.”
Rama kembali tersenyum dan bersidekap di hadapan Shinta. Pemuda itu hendak mendatangi sang gadis namun berhenti saat Shinta menatapnya tajam dan galak.
“Baik. Baik. Siap laksanakan. Baik. Ba…” Kapten Ri terdiam setelah mendengar satu kalimat yang diucapkan oleh seseorang di seberang sana, “Maaf sebelumnya, apakah bisa diulang sekali lagi supaya saya tidak salah mendengar? Koneksi sinyal di sini sedang buruk.”
Kapten Ri menatap Rama yang tersenyum.
“Saya harus melakukan itu? Membe…” Wajah Kapten Ri berubah masam saat terdengar beberapa patah kata tambahan. “Baik. Tentu saja. Apakah hal tersebut sudah dipertimbangkan oleh... Betul. Tentu saja sudah. Saya pastikan saya tidak akan melawan perintah tersebut jika memang sudah menjadi keputusan dari korps. Baik. Siap laksanakan.”
Telpon ditutup. Kapten Ri sempat terdiam dan mengenggam kepalan tangan dengan sangat erat setelah menerima panggilan telepon itu. Giginya bergemeretak. Dia terlihat benar-benar geram. Satu tangannya melesat dan menghantam tembok pagar di sampingnya.
Bmm.
Ada lubang dan retakan melingkar besar berdiameter hampir satu meter pada dinding itu. Kapten Ri mendengus dan berteriak, “HAFIZ! KE SINI KAMU!”
“Siap, Kapten.”
Ketika sang anggota Tim Garangan yang dipanggil telah menghampirinya, Kapten Ri segera menepuk pundaknya. Wajahnya masih tak berubah, ia seperti menahan amarah yang meluap-luap. Hari ini sepertinya bakal jadi hari yang buruk baginya.
“Saat ini juga kamu pulang ke mabes… dan bebaskan Bambang Jenggo. Kembalikan semua barang-barang yang kita sita darinya saat ditangkap. Dia dibebaskan karena kurang bukti.”
Wajah Hafiz yang terkejut seakan menyiratkan ungkapan tak percaya.
Kapten Ri juga dapat melihatnya, tapi dia tetap menepuk pundak sang bawahan sekali lagi. Perintah dari atasan adalah perintah bagi bawahan. Dalam korps, perintah dari atasan adalah perintah yang harus dilaksanakan no question asked. Seberapa absurd pun perintah tersebut.
Tak jauh dari mereka, Shinta yang mendengar percakapan keduanya juga terbelalak tak kuasa menahan tanya mendengar perintah sang pimpinan.
“Kapten, apakah…” Hafiz mencoba mengulang dan memastikan.
“Perintahnya sudah jelas. Bebaskan Bambang Jenggo.”
“Si-siap laksanakan.”
“Bawa Rama ke mabes. Kita interogasi dia sebagai saksi, bukan terdakwa.”
“Siap, Kapten.”
Kapten Ri melirik ke samping, ke arah Shinta yang menatapnya tajam.
Tapi sang Kapten lantas melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun sembari mendengus kesal, sang komandan tim Garangan masuk ke mobilnya dan melesat pergi begitu saja. Shinta hanya dapat berdiri terdiam dengan tubuh bergetar.
Mereka akan membebaskan Bambang Jenggo. Rama dapat melangkah pergi. Lalu bagaimana nasib kedua orangtuanya? Bagaimana ia dapat menyelamatkan mereka?
Gadis itu mendongak dan menatap langit yang makin gelap.
Apa yang selanjutnya akan terjadi?
Kapan ini semua usai?
BAGIAN 4 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 5