Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 4
HANYA MIMPI






“Terkadang hati melihat apa yang tidak terlihat oleh mata.”
- H. Jackson Brown, Jr.




Hanna terbaring pasrah dan berharap-harap dengan cemas.

Antara mau, malu, tapi juga was-was.

Nanto mendekatinya, ia menangkup tubuh sang dewi dengan bayangan tubuhnya sendiri di bawah suasana remang-remang kamar yang hanya menggunakan cahaya lilin. Dengan lengan menumpu tubuh, Nanto tepat berada di atas Hanna meskipun masih ada jarak di antara mereka. Jarak teramat dekat yang jika Nanto menghembuskan napas, Hanna akan merasakannya.

Si Bengal sekali lagi bertanya pada sang bidadari. “Yakin akan melakukan ini?”

Hanna menatap mata si Bengal dalam keremangan. Ia mengangguk.

Sekali lagi mereka berciuman, merasakan hasrat yang menggelora di masing-masing badan. Mungkin saat itu logika tersingkirkan dan birahi mengambil alih jati diri, tapi sesungguhnya ini adalah hal yang alami, sesuatu yang wajar terjadi, antara dua orang anak manusia yang bertengger di bumi, yang memang sudah berbagi hati.

Dua tubuh telanjang di atas pembaringan. Meskipun dalam keremangan, Nanto tetap harus mengakui keindahan Hanna yang memang teramat wangi dan menawan. Entah sudah berapa laki-laki ia tolak dan kucilkan, sehingga saat ini Hanna jarang memiliki teman. Si Bengal beruntung karena bagi Hanna dia adalah sosok idaman. Untungnya tidak bertepuk sebelah tangan. Nanto juga sudah kagum pada sang bidadari sejak pertama kali berkenalan.

“Bolehkah aku pegang?” Si cantik itu berbisik di telinga sang pemuda pujaan.

Si Bengal mengangguk dan mengecup pipi Hanna pelan.

Dengan berani Hanna menyentuh batang kemaluan si Bengal, memegangnya erat, dan menggesekkannya ke belahan kemaluannya sendiri. Ia memejamkan mata, merasakan sentuhannya.

“Mmmhhhh…” lenguh Hanna lembut. Birahi sang dara mulai mendidih. Wajahnya memerah, untung ruang ini gelap sehingga wajahnya tak nampak jelas dan ia tak terlalu malu.

Tangan kiri memegang kemaluan Nanto, tangan kanan menarik kepala si Bengal untuk turun. Begitu jaraknya dekat, bibir Hanna langsung melumat bibir Nanto. Keduanya berbalas pagutan. Bibir saling mengelus, saling mengatup, mencium, dan menikmati manisnya asmara. Lidah bergulat, berpadu, melingkar, mengular, dan merasakan panasnya cinta.

Nanto menurunkan kepalanya, mencium pipi Hanna, lalu ke leher, menjelajah kulit putih bersih mulus sang bidadari di bagian bahu dan lingkar lengan atas. Lalu turun perlahan-lahan, ke arah dada sentosa milik Hanna yang pasti akan membuat semua lelaki iri pada si Bengal. Buah dada itu tidak hanya memuaskan untuk dilihat melainkan juga untuk dipegang, diremas, dan dijilati. Bongkahan kenyal yang karena ukurannya pasti akan susah disembunyikan oleh pakaian ketat.

Lidah si Bengal beraksi, mengecup ujung puting susu Hanna yang menegang dan menghunjuk ke atas, lidah Nanto mengitarinya, ia lalu mengatupkan bibirnya untuk menangkup penghujung mungil buah dada sang dara itu dengan bibirnya, dan memberikan sentakan kenikmatan yang membuat sang bidadari bergetar menahan lonjakan birahi.

“Maaaasss… aaaaahm…”

Hanna sudah tidak tahan lagi, tubuhnya menegang, hasratnya menghebat, dan ia pun mengatupkan bola mata indahnya. Ia menaikkan pinggulnya sendiri. Ujung gundul kemaluan si Bengal mulai masuk perlahan. Napas gadis itu mulai terdengar terengah-engah.

“Nnghhhh… hhh… hhhh… hhh…”

Sedikit demi sedikit Hanna membimbing batang penis Nanto memasuki liang vaginanya yang sempit dengan dinding yang mencengkeram erat meskipun sudah mulai basah di dalam.

“Sakit?” bisik Nanto lembut.

“Nnggghhh… hhh… hhhhh… hhhh…” Hanna membuka mata, ada linang air mata di sana. “He’em…. Hhh.. hhh… hhh… nggghh…”

“Aku keluarin saja?”

“Ja-jangan! Dorong saja… dorong… a-aku tidak apa-apa… dorong… Mas…”

Mengikuti apa yang diinginkan Hanna, Nanto perlahan-lahan mendorong batang kejantanannya. Si Bengal mulai ikut memejamkan mata menahan nikmat tiada tara karena penisnya serasa dipijat-pijat oleh dinding liang cinta sang bidadari, batang kejantanannya serasa memasuki sesuatu yang sesak dan belum pernah dijelahi siapapun sebelumnya.

“Sa… sakit…” bisik Hanna, ia mulai sesunggukan. “Sakit…”

Nanto menghentikan dorongannya, padahal batang kemaluannya baru melesak separuh. Si Bengal mengelus-elus rambut wanita jelita dalam pelukannya. Mereka berciuman sekali lagi, mencoba meredakan rasa sakit yang sesungguhnya nikmat namun diselimuti rasa nikmat yang menyakitkan.

“Sudah kalau begitu ya. Tidak perlu memaksakan diri.” Bisik si Bengal. “Aku tarik saja tidak perlu dilanjutkan.”

“Nggak… nggak mau… dilanjut saja…” Hanna memeluk Nanto erat, “Lanjut, Mas… tapi pelan saja… punya Mas besar… kayak ga muat… nnghhhh… sakit…”

Nanto jelas bingung, Hanna terlihat kesakitan tapi tidak mau menghentikan persetubuhan mereka.

“Beneran ga apa-apa? Katanya sakit? Tetep dilanjut?” Nanto mendekatkan kepalanya ke wajah Hanna, keduanya bertatapan dekat sekali. Si Bengal memejamkan mata dan mulai mengecup pipi sang bidadari, lalu menggerakkan bibirnya menjelajah wajah sang jelita.

“Hmm… essst… ahh.. lanjutkan… Mas…” sepertinya perlahan-lahan Hanna mulai menikmati karena pinggulnya bergerak memutar, seakan mencoba menyesuaikan liang cinta miliknya dengan ukuran batang kejantanan si Bengal yang penuh menyesakinya. Hanna menggerakkan tangannya, mengelus wajah Nanto. “Ma-mas… enak tidak?”

“Enak… sempit banget…”

“Yang penting… Mas juga enak… esssst… ehmmm…. Ahhh… Mas…”

Batang kejantanan si Bengal mulai menyeruak lebih dalam lagi, lalu ditarik perlahan, lalu ditusukkan sekali lagi dengan sedikit lebih kencang. Kali ini sodokannya lebih dalam, tapi belum seluruh batang dijejalkan masuk. Nanto menariknya penisnya lagi, lalu mengulang menyodokkannya ke dalam. Perlahan saja, tapi masuk dengan mantap dan berkuasa, menetap seakan tak ingin keluar lagi. Pijatan dinding-dinding kemaluan Hanna membuat si Bengal mendesis nyaman. Ia menarik penisnya sekali lagi dan menyodok lebih kencang.

“Ahaaaaakghhhh!!” tubuh Hanna bagaikan disentak ke belakang.

“Ka-kamu tidak apa-apa?” Nanto terkejut, takut kalau-kalau sodokannya membuat Hanna semakin kesakitan.

Hanna memejamkan mata dan menggemeretakkan gigi, tangannya mencengkeram tubuh Nanto. “Pe-perih…”

“Perih? Sakit banget?”

Hanna mengangguk, tapi dia menggoyang pantatnya tanpa berbicara, dia tidak ingin mengecewakan Nantio. Sang bidadari itu pun menarik wajah si Bengal dan mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Keduanya berpagutan tanpa lepas sementara di bawah, pinggul keduanya bergerak seirama, saling berbalas untuk menciptakan simfoni permainan yang lebih dapat dinikmati dengan nyaman.

Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh.

Nanto menggerakkan kemaluannya dengan semakin gencar, makin lama makin melesak, hingga akhirnya ia benar-benar mendesakkan penisnya untuk menyesaki liang vagina Hanna. Keduanya berpelukan. Tidak ada yang sadar kalau saat itu Hanna sebenarnya sudah resmi menjadi wanita dewasa.

“Aaaaaaaaaaahaaagkkh… aahhh… ahh… ahhhh… ehmm… ahhh… ahhh…”

Apa yang awalnya sakit dan perih, kini menjadi sesuatu yang dinanti dan diharapkan. Setiap sodokan si Bengal disambut goyangan pinggul yang membuat keduanya megap-megap mencari udara karena kenikmatan tiada tara.

“Aaaakhhh… aaahhhh….” Hanna mulai bisa merasakan nikmatnya bergulat asmara. Ia bisa merasakan liang cintanya mulai menyesuaikan sisi-sisi dindingnya dengan besar dan panjang batang kemaluan si Bengal. Terdengar bunyi selangkangan basah beradu di balik desah nafas yang berpacu. Liang cinta sang bidadari benar-benar sudah sangat basah dan becek.

Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh.

“Aaaaahhh… ahhh… ahhh… ahhhh…” suara lenguhan Hanna terdengar menggema di ruang yang kosong. Tubuhnya masih terus diserang sementara kedua tangannya terkalung di leher si Bengal. Apalagi ketika Nanto mempercepat gerakannya. Ia menggoyang pantatnya maju mundur sembari meremas payudara sempurna di dada sang bidadari. Sesekali si Bengal menurunkan wajah untuk mengecup, mencium, dan menjilat bongkahan kenyal sempurna di dada Hanna.

Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh.

“Bagaimanaa…?”

Hanna mengangguk, “E-enak bangeeeet… Maaas… ennaaaaakgghhh… teruuuuusss…”

Nanto menarik penisnya, lalu menyodok ke dalam, lalu menarik lagi, lalu disodokkan lagi. Ditarik, didorong, ditarik, didorong, sekali, dua kali, tiga kali, empat kali. Makin lama sodokan si Bengal semakin dalam, dan gerakannya semakin cepat.

“Hngggh! Hngggh! Aaaahaaakghhh! Hnnghhhhh!!”

Suasana kamar yang hangat menjadi semakin panas. Keduanya bermandikan keringat, namun tak lagi peduli karena kedua orang yang sedang dimabuk birahi itu sama-sama saling menikmati. Suara lenguhan bercampur dengan rintihan kenikmatan.

Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh.

Suara mereka berdua saling bersahutan dalam gumaman dan erangan, kepala digoyangkan ke kiri dan ke kanan, tubuh bergerak maju mundur dan naik turun, kadang menggelinjang merasakan nikmat, kadang menuntut karena ingin memuncak.

Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh.

“Aaaaahhh… ahhh… ahhh… ahhhh… eenaaaakgh, Mas… enaaakkghh…”

“Aku sudah mau keluar… hnghhhhhh! Hnnnghh!” Nanto memberikan tanda bahwa dia sudah akan menarik batang kejantanannya dari dalam liang cinta Hanna dalam beberapa saat lagi. Gerakannya semakin cepat, Nanto sudah tidak malu-malu lagi menggenjot kemaluan sang bidadari dengan ritme yang makin lama makin terakselerasi. Ia menundukkan badannya, bibirnya menggapai bibir indah sang bidadari.

Mereka berpagutan.

“Mmmhhh… mmhhh… mhhh…,” desah Hanna sembari memejamkan mata, menikmati adu bibir mereka, sementara vaginanya terus menerus menerima sodokan kencang dari si Bengal yang gerakan pinggulnya sudah tak lagi pada ritme yang semula. Saat pagutan mereka berdua lepas, Hanna megap-megap berusaha mencari udara. “Aaaah… ahh… ahhh. Ahhh… hngghhh!! Aaaaaahh… ahh… essst… Mas… Mas…”

Keluar. Masuk. Keluar. Masuk. Keluar. Masuk.

Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh. Jlebh.

Hanna menggelinjang hebat diperlakukan seperti ini oleh Nanto. Rasa yang baru ia rasakan, tapi sudah sejak lama ia dambakan. Ternyata mimpi bisa menjadi kenyataan.

“Sudah mau… hngghkkkk…” Nanto kian mempercepat arus sodokannya.

Hanna mengimbangi dengan goyangan pada pinggulnya. “Ahhh… ahhh… ahhh… eessst… aaahhh… a-aku juga sudah mau… ahhh… ahhh… aku juga sudah mau… Maaaass!! Aku jugaaaa…!”

Nanto kian menggila, ia memeluk kepala sang bidadari dengan erat, membenamkan wajah cantik Hanna dan menahannya seakan ia ingin memiliki gadis itu selamanya. Sampai pada akhirnya gadis itupun makin keras lenguhannya.

“Aaaaaaah… ahhhh… ahhh… aaaaaaaaahhh... Maaaaas! Maaaas!! Aku tidak tahaaan lagi! Aaaah… Aaahhhh!! Ahhhh!!... Aaaaaaaaaaaaaaaakkkhhh!!”

Hanna memejamkan mata dan merintih cukup lama, ia memeluk tubuh Nanto bagaikan memeras jeruk karena kencang dan eratnya. Saat itulah tubuh sang bidadari akhirnya mengejang dan tersentak-sentak beberapa kali.

Ketika akhirnya ia terdiam, ada sesuatu yang membanjir di dalam liang cinta Hanna. Rasanya makin becek dan basah. Batang kejantanan Nanto makin lancar berkuasa di vaginanya.

Sama seperti sang pasangan, si Bengal juga tak lagi kuat menahan keinginan untuk memuncak. Untuk sesaat Ia menahan diri, menggemeretakkan gigi, dan akhirnya melepas muntahan mani. Awalnya Nanto hendak menarik batangnya untuk keluar dari liang cinta sang bidadari, namun Hanna menggeleng kepala dan memeluk erat sang laki-laki.

Ujung gundul si Bengal meledak tanpa bisa ditahan.

Nanto sebenarnya tidak ingin mengulang kesalahan, namun Hanna mencegahnya dan tetap menerima apapun resikonya. Bibir sang bidadari maju mengudara, menangkup bibir sang pria yang berada di atasnya. Keduanya memejamkan mata, merasakan denyut bersatu dalam nikmat asmara.

“Hnnnghhhhhhkkk!” Nanto melenguh menuntaskan semuanya di dalam, “aaaaaaah… haaah… haahh…”

Pelukan Hanna semakin erat, seakan tidak ingin Nanto melepasnya. Tapi mereka berdua sama-sama lelah dan harus mengambil jeda. Keduanya berpandangan, saling mengecup pelan, dan mengakhiri sesi pertama dengan kondisi tenang dan sepemahaman.

Nanto menarik mundur pinggulnya.

Plp.

Terdengar bunyi letupan lembut saat si Bengal menarik mundur batang kejantanannya sehingga lepas dari vagina milik sang bidadari. Cairan cinta meleleh keluar dari bibir kemaluan mungil sang dara jelita, cairan kental yang tadinya keluar dari ujung gundul si Bengal. Selain cairan cinta itu, ada juga semburat warna merah yang menggenang – yang tentunya tak terlihat dalam kegelapan.

Nanto pun rebah di samping Hanna. Ia mengatur napas yang tersengal-sengal. Demikian juga Hanna yang mencoba mengatur napasnya.

Kepala Hanna rebah di lengan si Bengal, bantal yang tidak empuk tapi hangat dan tentram. Pandangan mereka beradu, tatapan mata mereka seakan berseru, mengucapkan sejuta aksara tanpa kata yang memiliki milyaran makna. Hanya dengan berdekatan begitu saja.

“Mas…”

“Hmm?”

“Aku sayang sama kamu. Sungguh sayang sama kamu.”

Nanto tersenyum dan mengecup kening sang bidadari. “Aku juga.”

“Oh ya? Ini pertama kalinya kamu bilang begitu. Apa karena baru saja tidur sama aku terus Mas Nanto bilang begitu?”

“Tidak lah. Aku memang sejak dulu menyimpan sesuatu untuk kamu. Tapi aku merasa aku tidak akan pernah bisa meraih bintang cerah yang berada di atas langit. Aku tidak tahu apa yang bisa aku tawarkan pada bintang yang sedemikian cerah.”

Hanna terdiam, ia menatap Nanto tanpa berkedip. Sepertinya ia sedang membulatkan tekad. “Mas…”

“Hmm?”

Hanna terdiam sejenak. “Seandainya aku minta Mas memenuhi tiga janji, mau atau tidak?”

“Janji? Janji apa?”

“Macam-macam.”

“Sebutin satu-satu. Mungkin tidak semua bisa aku tepatin.”

“Dih.”

“Makanya sebutin satu-satu.”

“Oke... janji kesatu… berjanjilah padaku…”

“Ini yang pertama ya?”

Hanna mengangguk, “Yang pertama… Mas Nanto harus berjanji padaku untuk menikahi Kinan.”

Nanto sedikit terkejut akan permintaan itu, tapi tidak kaget. Hanna memang sangat menyayangi Kinan dan ia tahu apa yang sedang dialami oleh Kinan tidak main-main, itu sebabnya Hanna ingin Nanto bertanggungjawab penuh terhadap janin yang dikandung oleh sang kekasih.

“Pasti. Entah bagaimana caranya, aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahinya.” Nanto mengelus rambut bidadari berhati lembut di hadapannya.

“Terima kasih, Mas. Dia sedang sangat membutuhkan Mas Nanto lebih dari siapapun, jadi aku pikir prioritas pertama Mas Nanto adalah menikahinya.”

“Kamu tidak cemburu?”

“Mana bisa aku cemburu sama dia, Mas. Justru aku sekarang yang merasa bersalah karena seakan-akan merebut Mas Nanto.”

“Lha? Terus kamu tidak khawatir…”

“…kalau dia mengetahui hubungan kita?” Hanna tersenyum dan menggeleng, “Tidak. Kalau dia keberatan kelak saat aku jujur dengannya, bahwa aku juga mencintai Mas, maka aku akan mundur untuk selama-lamanya. Tapi kalau dia bersedia sedikit berbagi, mungkin bisa…”

Wadoooh. Satu aja puyeng kamu sudah ngusulin yang beginian. Aku mana bisa…”

“Udah diem dulu, Mas. Sekarang mungkin tidak, tapi kelak siapa tahu. Apa Mas pikir aku tidak akan membantu Mas?”

“Aku tidak mau tergantung pada siapapun soal materi dan kemapanan. Kalau memang tidak mampu, aku tidak akan memaksakan.”

Hanna tersenyum, “jadi berusahalah.”

Nanto geli, apa-apaan sih Hanna ini. Bisa-bisanya mengusulkan hal yang sama sekali tidak terbayang olehnya. Mana mungkin dia bisa menikahi Kinan tapi pada saat bersamaan juga mencintai Hanna? Menikah dengan dua orang? Ya gila aja. Untuk saat ini semua masih belum terpikir olehnya. Tapi Hanna benar, Nanto hanya akan melakukannya jika Kinan mengijinkan. Jika tidak, Nanto tak akan memaksa. Prioritasnya jelas menikah dengan sang kekasih yang tengah mengandung anaknya.

“Lalu apa yang janji yang berikutnya?”

“Janji yang kedua. Aku ingin Mas berjanji jika suatu saat nanti Mas sedang mengalami kesusahan dan merasa sendiri karena apapun, Mas hubungi aku. Aku akan langsung terbang ke sini untuk menemanimu.”

Nanto tertawa, “Mana bisa begitu. Aku tidak akan pernah mengganggu hidupmu yang tenang. Belajarlah dengan sungguh-sungguh. Kalau semua sudah benar-benar selesai di sana, maka pulanglah dan temui aku dengan semangat baru. Jangan lagi hiraukan cerita lama. Tidak ada gunanya,” ujar Nanto. “Tapi kalau misalnya aku sudah mati saat kamu kembali, maka…”

“Ih ngomong apaan sih! Jelek banget ngomongnya! Ga mau ah!” Hanna mendorong Nanto menjauh. Ia menatap si Bengal dengan pandangan galak.

“Lho kan bener? Kita hidup di jaman yang serba keras dan serba jahat. Bisa saja sekarang aku kokoh, tapi besok roboh. Jadi mudah-mudahan…”

“Ga mau berandai-andai yang jelek! Ga mau ah! Apaan! Mas… kalau kamu mati, maka aku juga akan ikut mati bersamamu! Jelek banget ngomongnya! Omongan adalah doa lho! Jangan pernah mengucapkan hal-hal bodoh seperti itu lagi.” Hanna pun membalikkan badan dan memunggungi Nanto.

Nanto tertawa, “Iya… iya… Maaf, aku ngomongnya kadang suka asal.”

“Sebel ih.”

“Kalau aku bilang aku sayang kamu gimana?”

“Aku lebih sayang… tapi kan…”

“Boleh balik sebentar?”

“Asal jangan ngomong ngawur lagi.”

“Iya… iya…”

Hanna pun kembali berbalik.

Nanto memejamkan mata dan mencium bibir Hanna sekali lagi – bibir si cantik itu terlalu indah untuk hanya didiamkan saat merekah begitu indah. Keduanya berpagutan, saling menyelami rasa kasih masing-masing, seakan tahu jika setiap sentuhan yang mereka lakukan, kelak mungkin hanya akan terjadi dalam angan dan hanya menjadi impian – tidak sebebas dan selepas saat ini. Mereka melakukannya dengan teramat lembut.

Seakan-akan khawatir jika bibir masing-masing akan habis ditelan masa. Hanna terengah sebentar, mencoba menggapai napas, dan mundur untuk melihat wajah Nanto. Si cantik itu tersenyum.

“Kenapa kok liatinnya begitu?” tanya si Bengal sedikit berbisik. Wajahnya sangat dekat dengan Hanna.

Si cantik itu tersenyum dan menggeleng kepala pelan. “Tidak apa-apa. Aku baru tahu kalau begini ternyata rasanya bahagia itu. Aku bahagia, Mas.”

“Kamu pantas bahagia.”

“Aku ingin bahagia bersamamu.”

Nanto tersenyum sembari merapikan poni milik Hanna, “Pertanyaanku sebenarnya cuma satu, kenapa? Aku tidak punya apa-apa yang bisa aku berikan untukmu tapi kamu begitu ngotot untuk menjalani ini bersamaku, padahal kamu sudah punya segalanya dan bisa mendapatkan yang lebih…”

Hanna meletakkan jemari di dada Nanto sembari menatapnya syahdu. “Ini. Kamu punya ini, cukup ini saja yang aku minta. Aku tidak butuh apa-apa lagi. Buat aku, Mas… hanya satu yang aku inginkan di dunia ini. Berada di hatimu dan menyimpanmu di hatiku. Tidak ada satu hartapun yang sanggup menggantikan itu, dan sayangnya mungkin tidak ada satupun yang dapat aku lakukan yang sanggup mewujudkannya.”

Hanna menarik tangannya lalu kembali menjadi syahdu.

“Siapa bilang tidak bisa?”

“Eh?” Hanna terkejut dan menatap Nanto dengan pandangan mata bulat

“Sejak kembali ke kota ini, ada satu cewek yang selalu hadir di saat-saat yang tepat. Di saat aku membutuhkan seseorang, dan di saat aku membutuhkan bantuan – dia ada di sana. Dia selalu mengalah pada cewek lain, selalu pasrah pada keadaan, entah karena memang sudah sifatnya, ataukah karena kebiasaan selama ini ditekan untuk selalu mengalah.” Nanto menatap lekat mata Hanna, membuat wajah dara itu merah bukan main. Nanto mengenggam lengan Hanna dan meletakkan kembali jemari sang dara di dadanya. “Aku ingin dia tahu, kalau aku akan selalu menyimpan namanya, wajahnya, dan cintanya… dalam hatiku. Jika dia harus pergi maka aku berharap yang terbaik untuknya. Jika kelak dia pulang dan mencariku, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka.”

“Mas…” air mata meleleh di pipi Hanna yang tertawa dengan manisnya. “Kamu memang paling bisa kalau ngerayu cewek. Dasar.”

Nanto tersenyum.

Bibir keduanya kembali bertemu.

Saat itulah lampu kembali menyala terang. Mereka bahkan tidak sadar hujan telah reda, entah sejak kapan. Keduanya berkutat dengan pelukan dan ketelanjangan masing-masing.

Keduanya tidak beranjak dari pembaringan.

“Tidak mau nge-charge hape dulu, Mas?”

“Tidak. Posisiku sudah pewe. Kamu?” Nanto balik bertanya.

Hanna menggeleng lembut dan memeluk si Bengal semakin erat seakan tidak ingin melepaskannya untuk alasan apapun. Bidadari itu tahu, mungkin ini satu-satunya kesempatan bagi mereka berdua untuk bisa merenggut asmara dan mengendarai biduk cinta bersama, “Tidak. Bahagiaku di sini bersamamu. Apapun yang ada di hape itu tidak akan sepenting bersamamu.”

Nanto tersenyum. Laki-laki mana yang tidak akan melambung tinggi diperlakukan seperti ini oleh wanita seindah Hanna?

Malam ini terlampau dingin untuk dilalui seorang diri.

Nanto kembali memeluk Hanna erat.

Dalam pelukan si Bengal, Hanna berbisik lembut.

“Ini yang ketiga. Berjanjilah padaku…”

“Apa?”

“Kamu akan menjadi seseorang yang lebih kuat, lebih percaya diri, tapi tidak sombong, dan tetap peduli pada sesama. Saat aku pulang nanti, aku ingin melihatmu berdiri dengan gagah dan tahu apa yang kamu inginkan untuk masa depanmu, aku tidak bicara nominal atau pencapaian, aku bicara tentang tujuan hidup dan tanggung jawab. Karena saat pulang nanti… dan jika kita berdua masih sama-sama memiliki rasa, kamu tahu kan apa itu artinya, Mas?”

“Ha? Memangnya apa artinya?”

“Artinya kamu harus menemui orangtuaku... seandainya Kinan mengijinkan.”

Nanto terdiam untuk beberapa saat lamanya.

“Takut?”

Nanto menggeleng, ia mengecup punggung tangan Hanna. “Tidak. Demi kamu aku tidak akan takut menghadapi apapun.”

“Salah. Jangan takut menghadapi apapun demi aku, tapi demi dirimu sendiri. Aku yakin kamu mampu menjadi yang terbaik ketika kamu sudah menetapkan apa yang kamu inginkan. Jadilah yang terbaik, Mas. Aku ingin saat pulang nanti aku bertemu dengan kekasih yang telah menjadi yang terbaik.”

Nanto mengangguk.

Mereka kembali berpelukan erat.

Nanto berbisik pada Hanna.

“Aku janji.”





.::..::..::..::.





Hageng mengelus hidungnya dengan punggung tangan. Wajahnya sedikit menunduk, poni kribonya turun sampai menutup kening. Matanya tetap tajam menatap ke depan, dingin dan tanpa ampun. Ada dua orang pria. Satu membawa pisau berdarah, satu lagi bersiaga menghadangnya.

Ia bersiap.

Ponselnya yang lain berbunyi.

Hageng menyimpan ponsel dari Kapten Ri ke kantong celana, dan mengangkat ponselnya yang lama. Ia menekan tombol terima. Langsung ada suara Bian yang ngamuk-ngamuk.

Dab! Nang endi kowe, Nyuk!? Kamu di mana? Aku wes nunggu lama banget di kost tapi kowe ra teko-teko! Jinguk’e munyuk tenan! Ini ada kabar kamu ditangkap polisi, aku cari-cari info di polres tapi katanya kamu sudah dibebasin. Woy, jampes! Kamu di mana sekarang?

“Aku di zini.” Jawab Hageng singkat. Dia mengirimkan posisi tempat dia berada melalui aplikasi map dan terus melangkah tanpa peduli ke dua orang yang terkejut melihat kedatangannya.

Hageng berjalan ke orang terdekat.

“Sebentar… sebentar… kok rasa-rasanya aku pernah lihat kamu, ya?” Adam Ladam menatap Hageng sembari mengerutkan kening. Dia merasa kalau wajah Hageng itu tidak asing. Di mana ya dia pernah bersua dengan si kribo bongsor ini? Sesaat kemudian barulah dia ingat. “Bajingaaaaan! Ternyata kamu lagi!”

Sang T-Rex dan Adam Ladam bertatapan.

Hageng menatap pria itu tanpa ekspresi, sang T-Rex tidak peduli siapa pria tersebut. Bahkan jika sebenarnya dia pernah mengenali Adam di suatu waktu, tetap saja dia tidak akan ambil peduli. Adam Ladam benar jika mengenali Hageng karena sesungguhnya mereka pernah bertemu saat Hageng dan kawan-kawan dari Lima Jari sedang membantu Bian yang tengah dikeroyok oleh PSG. Saat itu PSG sedang memburu dan membumihanguskan Patnem.

Adam Ladam dulu punya kumis yang khas, yang membuatnya mendapatkan nama julukan… Chaplin. Kumis yang kini sudah berganti.

Si Chaplin pun berteriak kencang saat mengenali Hageng, dia sudah siap melompat untuk menyerang sang T-Rex. “Setaaaaaaaan! Kalian kok ga mati-mat…”

Jblaaaaaaaam!

Hanya dengan sekali pukul, Hageng membenamkan kepala Chaplin ke tembok. Tinjunya bersarang di wajah Chaplin, bahkan hingga melesak ke dalam. Pisau yang digunakan untuk menusuk Eva jatuh berdenting. Ketika tangan Hageng ditarik, tubuh Chaplin luruh ke lantai.

Hageng berjalan ke depan tanpa berhenti, kali ini menuju ke arah Rama yang sudah memancang kuda-kuda. Chaplin mencoba mengambil pisaunya, tangannya bergetar. Dia tidak akan menyerah begitu saja. Bagaimana mungkin Hageng jadi sedemikian kuat? Dulu mereka masih bisa seimbang. Dia masih bisa…

Hageng memutar badannya ke samping hampir seratus delapan puluh derajat. Kepalan tangan kiri diputar dengan kecepatan tinggi dan melesat bagaikan peluru kendali.

Bibirnya berucap perlahan, “Pukulan Palu Dewa Petir.”

Jblaaaaaaaaaaaam!

Wajah Chaplin dihajar dari belakang hingga terbenam di lantai. Tubuhnya berkelojotan seperti baru saja kena setrum ribuan watt. Tangan Adam Ladam dengan lemah menggapai kaki Hageng, mencoba memeganginya dengan kekuatan seadanya.

Hageng mendengus. “Zejuta Palu Dewa Petir.”

Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam!

Hempasan pukulan tangan Hageng dari kiri dan kanan menghujani punggung dan kepala belakang Adam Ladam. Dia tidak lagi mampu melawan, tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya berulang kali bergetar dan mengejang. Darah mulai menggenang. Hageng bahkan sudah tidak peduli jika dia benar-benar akan membunuh si Chaplin.

Rama memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari melewati Hageng. Dia tidak akan mengambil resiko dengan menghadapi lawan kuat yang sedang gelap mata.

Tombak Dewa Samudera.

Hageng dengan sigap berlari, melompat dan menubruk Rama bagaikan seekor banteng yang hendak membelah bagian tengah tubuh sang reserse. Bagaikan trisula yang dilemparkan dari kejauhan dan menancap di perut Rama.

Haaaaakghhhh!

Rama terlempar ke belakang karena sodokan spear ala Goldberg dari Hageng. Perutnya remuk redam, tubuhnya terasa tidak karuan. Hageng mengangkat lengannya, pertanda dia akan menghantamkan pukulan ke kepala Rama.

Lengan terangkat, dada terbuka.

Rama meletakkan telapak tangannya di dada Hageng secepat kilat. Anggota tim Garangan itu menggemeretakkan gigi dan mengucapkan sesuatu yang tidak didengar oleh sang T-Rex.

Boooom!

Jbooooogkkhhh!


Tubuh Hageng terhempas ke belakang hingga tiga meter jauhnya, mungkin seandainya tidak terhalang tembok ia akan terlempar lebih jauh lagi. Rama terengah-engah, sial. Akhirnya keluar juga Ajian Rengkah Lemah Bongkah-nya. Buru-buru ia berkelebat menjauh dari Hageng dan Adam Ladam, keluar melalui pintu darurat. Ia pasti menggunakan Ki untuk memanggil ilmu ringan tubuh karena dengan mudahnya ia kini melesat meninggalkan Hageng.

Hageng mendengus kesal. Ia harus mengejar Rama.

Terdengar suara erangan.

A-apakah Eva?

Buru-buru Hageng berlari menghampiri tubuh wanita cantik yang kini bersimbah darah itu. Tangan besar Hageng mencari nadi Eva. Tidak ada detakan, kalaupun ada pasti sangat lemah. Tubuhnya mulai dingin – apakah masih bisa diselamatkan? Darah yang keluar terlalu banyak.

“Tidak… apa-apa…” terdengar suara lirih.

“E-Eva?”

“Aku… akan baik-baik saja… aku… tidak apa-apa…”

“Ka-kamu mazih hidup? Tenanglah! Zimpan tenagamu… aku akan memanggil bantuan! Aku akan memanggil ambulanz untuk membawamu ke rumah zakit! Bertahanlah!”

“Ha-Hageng… Terima… kasih…”

“Eva…”

“Kamulah… kekasih… yang tak pernah kumiliki…”

“Eva… tolong jangan bercanda di zaat-zaat zeperti ini…” Hageng menggenggam erat jari jemari Eva. Wanita berparas indah itu hanya tersenyum.

“Benang merah… talinya semu… meski berpisah… aku akan selalu menyayangimu.” Tangan lembut Eva bergerak ke atas untuk menyentuh pipi Hageng, “Ke pasar minggu… membeli bejana… aku akan menunggumu… di nirwana.”

Tangan itu terkulai ke bawah.

Hanya begitu saja… kisah Eva akhirnya berakhir.

Hageng berteriak sekencang-kencangnya memanggil nama Eva.

Tidak adil. Ini semua tidak adil.

Eva hanya ingin mengubah hidupnya. Dia hanya ingin bertobat dan menjadi pribadi yang lebih bersih. Tapi kenapa tidak diijinkan? Kenapa mereka memburunya dengan keji? Kenapa dia harus dihabisi? Hageng meraung dan berteriak-teriak pedih. Kenapa ia tidak bisa menyelamatkan Eva?

Sang T-Rex memejamkan mata. Satu persatu kilasan saat bersama Eva terbayang. Terutama saat Hageng diundang sarapan di apartemen Eva untuk mencicipi omelette kornet-nya. Saat itu Hageng makan dengan lahap.

Senyum dan tawa Eva terbayang. Dia cantik sekali saat itu.

“Enak juga.”

“Syukurlah kalau kamu suka. Hihihi. Aku ga tau mau masakin sarapan apa lagi, karena bahannya yang ada itu.”


Saat mereka sarapan bersama Hageng masih ingat bagaimana lepasnya Eva tertawa, bukan tawa yang dibuat-buat, bukan tawa yang genit, bukan tawa yang terpaksa, tapi tertawa bahagia yang sebenar-benarnya.

Tubuh Hageng bergetar saat mengingatnya, ia mendekap Eva erat. “Bangun. Ayo bangun… ayo kita sarapan berzama lagi… kamu mau makan apa? Giliran aku yang akan mazakin. Tenang zaja, tidak akan ada lagi yang mengejar dan menyakitimu. Tidak akan ada lagi yang biza menyentuhmu. Aku akan zelalu menjagamu. Mulai zekarang kamu biza hidup dengan tenang, aku akan menjagamu… tapi kamu haruz bangun. Ayo bangun…”

Tubuh Eva perlahan-lahan menjadi dingin.

Si cantik itu sudah pergi dalam senyum.

“Eva… bangun, Va…” Hageng memeluk tubuh dingin Eva dengan tangan yang bergetar. “Bangun, ayo bangun… aku berjanji akan membuatkan puizi untukmu, menjadi badut zekocak apapun yang kamu minta, menjadi bahan lelucon yang tidak lucu dengan puizi konyol hanya untukmu, aku akan memazak apapun makanan yang kamu inginkan. Tapi kamu haruz bangun... bangun ya, Va? Bangun ya? Ayolah bangun…”

Tapi Eva tidak menjawab, ia tidak akan pernah lagi bisa menjawab.

Sekali lagi Hageng berteriak. Ia meninju lantai dengan kencang.

Lantai itu retak.

Ada gerakan di kejauhan.

Ia melihat Chaplin bergerak merangkak menjauh, pria itu sudah terluka, wajahnya dipenuhi darah, tapi ia masih nekat merangkak untuk meninggalkan Hageng dan Eva sendirian. Hageng menatap Chaplin dengan sengit. Jadi ini toh si Adam Ladam? Bajingan ini yang telah menghancurkan hidup Eva? Hageng mengecup dahi sang bidadari yang telah terlelap dan berdiri. Ia menidurkan Eva dengan lembut.

“Tidurlah dulu. Ada zezuatu yang haruz aku zelezaikan. Kamu tidur zaja ya, akan aku nyanyikan lagu nina bobo.” Hageng berdiri, lalu bergumam dan berdendang sembari melangkah perlahan-lahan. Setiap langkahnya mantap maju ke depan. Tangannya tergenggam kencang, wajahnya tak menampilkan canda, air mata menetes di pipinya. Hageng menatap sasarannya.

Nina bobo, oh… nina bobo…”

Chaplin menatap ke arah Hageng yang mendatanginya dengan pandangan yang kabur. “Ja-jangan… a… aku menyerah… aku.. ampun… jangan… aku PSG… kamu akan diburu oleh… jangan… ampun… aku mohon ampun…”

Hageng tetap melangkah ke depan tanpa peduli sembari terus mendendangkan sebuah lagu untuk Eva, “Kalau tidak bobo… digigit nyamuk.”

“Ja-jangan… aku minta maaf. Sudah cukup… aku… sudah cukup… itu bukan ulahku… aku juga tidak mau semua berakhir seperti ini… aku tidak pernah… kejar orang tadi… dia yang membunuhnya… kejar dia…”

Tangan besar Hageng mencengkeram bagian belakang kepala Chaplin, ia mengangkatnya dengan satu tangan.

Chaplin menatap ke depan, tepat di depannya ada sebuah cermin yang terpasang di dinding. Terdapat tulisan di atas cermin itu. Sudahkah anda rapi hari ini?

Prannnggghkkkk!


Wajah Chaplin dihentakkan ke cermin dengan kerasnya sampai cermin itu pecah berantakan. Lalu ditarik, lalu dihempaskan lagi, lalu ditarik, lalu dihempaskan lagi, lalu diseret ke atas, lalu diseret ke bawah, lalu ke atas lagi, lalu ke bawah, dan akhirnya dihempaskan ke lantai.

Teriakan Adam Ladam alias Chaplin bergema di seluruh penjuru ruangan. Tapi tidak ada yang menyahut, tidak ada yang membalas, tidak ada yang menolong. Dia hanya bisa meronta tanpa bisa banyak berarti. Hageng sudah benar-benar gelap mata.

Wajah Adam Ladam hancur.

Ketika darah sudah semakin kental di bekas cermin, Hageng mengangkat dan melempar Chaplin ke samping dengan mudahnya. Adam Ladam menghantam tembok dan jatuh tertelungkup ke lantai kembali. Sial buat Chaplin, rasa takut justru membuatnya bisa bertahan. Ia mencoba mengangkat tubuh, tapi lantas terhenti karena menyadari kedatangan sang T-Rex.

“Ss… sssdah ckp… ssdah… ak.. ssdah tk… bsssa… jang… an…. Ckp… ampn… mpun…” Adam Ladam berusaha berbicara, namun bibirnya pecah dan dipenuhi kaca.

Krghk!

Semua ucapan Chaplin terhenti ketika kaki besar Hageng menginjaknya. Hageng mengangkat kakinya dan mengulangi lagi gerakannya. Ia membenamkan kakinya ke kepala Chaplin.

Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Lima kali. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Sepuluh. Sebelas. Dua belas. Tiga belas. Empat belas. Lima belas. Enam belas. Tujuh belas. Delapan belas. Sembilan belas. Dua puluh…

Chaplin sudah tidak lagi dapat membalas dan berbicara.

Entah pingsan entah sudah tak bernyawa.

Entah pada injakan yang keberapa akhirnya Hageng berhenti.

Kepala Chaplin sudah tak berbentuk, darah memancar kemana-mana. Hageng sudah tidak lagi peduli apakah preman PSG itu hidup atau mati.

Hageng melangkah kembali ke arah Eva, ia mendekap dan merapikan rambut gadis itu, lalu memeluk, dan membopongnya.

“Tenanglah. Tidurlah. Zemua cecunguk-cecunguk di luar zana, mau itu PZG, mau itu RKZ, mau itu Dinazti Baru, mau itu JXG, mau itu QZK, mereka zemua akan aku habizi. Aku akan menjadi lebih kuat dan lebih pantaz kamu banggakan. Aku akan zelalu membawamu dalam doaku. Kita habizi berzama kelompok-kelompok jahanam ini, Va. Itu zumpahku.”

Lift tiba-tiba terbuka.

Beberapa orang karyawan yang bekerja di lantai itu terhenyak saat menyaksikan apa yang terjadi. Wajah normal mereka berubah menjadi wajah ngeri saat menyaksikan darah dan tubuh tergeletak. Mereka mengurungkan niat untuk lembur malam ini dan memilih bungkam seribu bahasa.

Hageng tidak banyak kata, dia masuk ke dalam lift sembari membopong Eva.

“Lantai dazar.”

Satu orang mengangguk dan memencet tombol.

Lift pun turun ke bawah.





.::..::..::..::.





Rao mengejapkan mata.

Seperti ada sesuatu yang aneh yang tak biasa.

Ada rasa yang berbeda.

Rasa sakit.

Ia baru saja terlelap lama. Anehnya tubuh Rao bukannya segar setelah tertidur, tapi malah sakit hampir di sekujur badan. Ada perih, ada linu, ada pegal, ada badan yang terasa tidak nyaman. Rao mengerang kesakitan.

Apa yang telah terjadi?

Saat membuka mata dan semua yang samar perlahan terlihat jelas, barulah Rao menyadari apa yang telah terjadi. Meski hanya sekelebatan mata saja, tapi dia telah dihajar tanpa ampun oleh Joko Gunar dan 3GB tanpa bisa memberikan perlawanan yang berarti.

Dia pingsan sejak tadi.

Rao melirik ke kanan dan kiri. Tangannya terikat dan dibentangkan pada sebuah pancang, begitu juga kakinya. Dia tak bisa bergerak. Rao mulai melihat lingkungan tempat dia berada, sebuah lokasi yang terlihat hijau. Banyak pepohonan di sekitarnya. Seperti sebuah taman besar, atau hutan? Di mana sebenarnya dia berada?

Jbyrrrr!

Satu ember kecil air disiramkan pada sang Hyena Gila.

“Gaaaaaaaahh!!” Rao akhirnya benar-benar tersadar dari pingsannya.

“Heheheh. Sudah bangun?”

Rao dipaksa mendongak. Sosok gempal Joko Gunar berada di hadapannya, menjambak rambut jabriknya supaya ia bisa menatap wajah sang Hyena Gila dengan senyum terkembang puas. Jauh di belakang si Gunar, sekitar tiga meter jaraknya – Nuke tengah dipegang erat oleh Arhan Gunadi.

“Lepaskan dia! Lepaskan!!” Nuke berteriak-teriak kesetanan dan menangis melihat Rao diperlakukan seperti itu. “Abang sudah berjanji! Lepaskan dia, Bang!!”

Rao terengah-engah, dia merasa sesak, dadanya, mulutnya, semua terasa sesak. Kepalanya beralih ke kanan, dan dia memuntahkan darah segar.

“Heheheheh. Sepertinya tanpa kami perlu campur tangan pun, tubuhmu sudah hancur dengan sendirinya. Nyenengke aku nek ngene ki.” Gunar mendorong kepala Rao ke belakang, membenturkan bagian belakang kepalanya dengan satu batang pohon. “Kamu bahkan tidak bisa mengatur tenaga dalammu sendiri. Kebiasaanmu minum minuman keras telah menghancurkanmu, bodoh.”

Bkkkghhh!

“Hrrrghhh!” Rao mengernyit kesakitan sampai memejamkan mata saat benturan terjadi. Sekail lagi ia muntah darah.

“Abaaaaaang!! Lepaskan mas Rao! Abang sudah janji!! Abang sudah janji sama akuuuuuuu!!”

Joko Gunar mendengus. Ia sedikit kesal tapi lantas mengangguk-angguk. “Huh! Aku memang sudah berjanji pada Nuke, jadi harus aku tepati. Baiklah, aku ikuti apa maumu!”

Pria bertubuh besar itu membalikkan badan dan meninggalkan Rao yang kembali kelimpungan karena kepalanya pusing bukan main. Sembari berjalan ke arah Nuke dan Arhan Gunadi, ia memalingkan kepala ke arah beberapa orang di sebelah kirinya dan mengangguk.

Oppa, Amon, dan Remon berjalan dengan seringai buas ke arah Rao. Mereka punya urusan yang belum selesai dengan sang Hyena Gila. Amon dan Remon menyiapkan kepalan, Oppa menyiapkan tendangan.

Ketiganya beraksi.

Semua rasa kesal dan benci yang mereka pendam terhadap sang mantan pimpinan akhirnya bisa ditumpahruahkan pada Rao. Inilah kesempatan mereka untuk menghajarnya. Mereka memukul dan menendang Rao tanpa jeda. Silih berganti. Serangan mereka semakin kuat dan semakin beringas.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

“Hentikaaaaaaaaaan! Hentikaaaaaaaaan!!” Nuke kembali histeris, “Abang sudah berjanji!! Abang sudah berjanji!!”

Joko Gunar tersenyum, “Memang. Aku sudah berjanji tidak akan menyakitinya lagi jika kamu mau ikut denganku dan segera menikahiku. Tapi itu kan janjiku. Mereka bertiga punya dendam pribadi terhadap Rao. Jadi itu bukan urusanku dan tidak termasuk ke dalam janjiku. Bukankah adil yang seperti itu!?”

“Mas Raoooooo!! Tidak!! Tidak!! Jangaaaaaan!!”

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!


Rao menjadi bulan-bulanan ketiga mantan kapten dan jendral DoP. Mereka bertiga tertawa-tawa karena kali ini Rao benar-benar tidak berdaya. Kaki Oppa melesat ke kanan dan kiri dengan kecepatan tinggi, setiap serangannya membuat kepala Rao terhenyak ke kanan dan kiri. Darahnya makin deras mengalir, darah karena luka luar dan karena luka dalam.

“Abaaaaang! Aku mohon. Aku mohon, Bang… jangan sakiti dia lagi… aku mohooon.” Nuke menangis deras dan tersungkur di bawah kaki Joko Gunar saat Arhan Gunadi melepaskan badan sang dewi jelita yang kini pasrah oleh angkara murka itu. “Abang! Aku harus ngapain, Bang!? Akan aku lakukan. Tapi lepaskan dia, Bang! Jangan sakiti dia lagi…!”

“Hmm…” Joko Gunar tersenyum. “Lepaskan behamu. Aku ingin meremas-remas susumu.”

Nuke melirik ke kanan kiri dan melihat para anak buah Joko Gunar terkekeh dan melihat ke arah Nuke dengan pandangan cabul. “Ta-tapi…”

“Terserah mau atau tidak. Itu urusanmu. Aku kan tidak berkewajiban menghentikan mereka. Perjanjianmu denganku adalah menghentikan aku menyiksa kekasihmu. Aku sudah melakukannya. Apa lagi maumu?”

Nuke geram bukan kepalang, ia lalu menelusupkan tangannya ke dalam kaos yang ia kenakan dan mulai melepas beha yang ia kenakan tanpa mencopot kaosnya. Untung ia mengenakan kaos berlengan pendek sehingga mudah sekali melepaskan kait dan tali beha. Usai melepaskannya, Nuke melemparkan behanya pada Joko Gunar. “Ambil ini! Lepaskan dia! Jangan biarkan mereka memukul Mas Rao!”

“Tut tut… kamu tidak mendengar apa yang aku ucapkan tadi? Aku ingin meremas susumu, bukan ingin menyimpan behamu. Buat apa behamu ini?”

Nuke tambah geram. Ia menarik pergelangan tangan Joko Gunar dan menelusupkan tangannya ke bawah kaos. Dengan begini Joko Gunar bisa bersentuhan dengan payudara Nuke tanpa ia membuka kaos di hadapan para anak buah PSGxRKZ. Gunar tersenyum dan meneguk ludah. Ia menjilat bibirnya sendiri sembari meremas-remas buah dada sang dara jelita.

“Ehhhghhhkkk! Le… lepaskan dia…”

Pentile wes kenceng, cah! Wes sange ket mau jebule cah wadon iki! Dia mulai sange!” ucap Gunar untuk mempermalukan Nuke di hadapan anak buahnya sekaligus membuat Rao geregetan. “Dikenthu ora iki enake? Dientotin ya?”

Kenthuuuuu, Bos!!”

Kenthuuu laaaah!

Diojlok-ojlok nganti sesoooook!! Bwahahahahahha.”

Rao yang melihat Nuke dilecehkan mulai meronta. “Nu… Nuke… ja-jangan…”

“Khawatirkan saja dirimu sendiri. Urusanmu masih belum selesai dengan kami!” Oppa mencibir dan kembali melancarkan serangan.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!


“Mas Raaaoooooooo!!” Nuke menggemeretakkan giginya dan menatap Joko Gunar dengan pandangan galak, “Lepaskan mas Rao! Kamu sudah berjanji akan melepaskannya setelah meremas dadaku!”

Gunar tersenyum, ia masih terus melaksanakan niatnya meremas-remas dada Nuke. Semakin lama semakin kencang, “Bagaimana kalau kita naikkan pembayarannya?”

Nuke tertegun, “Apa maksudmu?”

“Kamu mau dia selamat?”

“Iya.”

“Maka kamu harus berjanji untuk menikah denganku dan tak pernah berjumpa lagi dengannya. Bagaimana?”

“Aku sudah menyetujuinya! Kenapa harus diulang terus!? Cepat lepaskan dia!!”

“Ada satu syarat lagi.”

Jantung Nuke berdetak kencang, “Apa itu?”

“Mulai malam ini kamu akan tidur denganku dan melayaniku bermain cinta. Kamu tidak boleh meninggalkan sisiku sampai saatnya nanti kita menikah. Ucapkan itu di hadapan dia dan kami akan membebaskan Rao.”

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!


“Kenapa mereka masih menyakitinya? Tungguuuuu! Tungguuuuuuuuu!!”

Nuke memukul-mukul lengan besar Gunar yang masih meremas-remas dadanya tanpa henti. Nuke melirik ke arah Rao dan tahu, apapun yang ia lakukan saat ini, tak akan bisa menyelamatkan sang Hyena Gila dari nasib buruk. Kecuali Nuke melakukan sesuatu yang mungkin seharusnya ia lakukan sejak dulu.

Gunar maju ke depan, lalu berbisik. “Bilang ke Rao kalau kamu akan menyediakan memekmu hanya untuk aku seorang mulai hari ini. Bilang seperti itu dan aku akan membebaskan dia. Tapi kalau dia berani-beraninya datang untuk menyelamatkanmu di kediamanku, maka aku akan menghabisi DoP hingga ke jaringan terbaru mereka – Aliansi!”

Nuke menundukkan wajahnya. “Aku akan melakukannya. Hentikan dulu mereka.”

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!


“HENTIKAN DULU MEREKAAA!!”

Nuke berteriak di depan Gunar. Sang kodok besar tersenyum dan mengibaskan tangan. Saat itu pula Amon, Oppa, dan Remon mundur teratur dari Rao yang sudah babak belur. Gunar melepaskan tangannya dari payudara Nuke yang sudah terasa sakit dan nyeri karena diremas-remas kencang oleh sang kodok besar.

Nuke berjalan pelan ke arah Rao. Air matanya tak bisa dibendung. Ia mendekat, sangat dekat, dan menggunakan punggung tangan untuk menghapus keringat Rao. Ia mengelus-elus dan merapikan rambut sang Hyena Gila.

“Mas…” Nuke mulai terisak, tapi ia berusaha kuat dan menahan emosinya agar tidak merusak semua negosiasi dengan Joko Gunar, dia menahan diri untuk tidak menangis. “Mu-mulai malam ini, aku akan menyerahkan tubuhku pada Bang Gunar… tidak apa-apa ya…”

“N.. N… Nnnu…” bibir Rao yang pecah bergerak dengan getar. Wajahnya sudah sembab, biru, merah, tak lagi jelas.

Nuke memajukan kepalanya, memejamkan mata, dan mengecup bibir Rao. Lalu mundur dan tersenyum sangat manis. Ia masih terus membersihkan wajah Rao dengan lembut.

“Tidak apa-apa… semuanya akan baik-baik saja… kamu dan aku akan sama-sama selamat. Aku yakin Bang Gunar akan memperlakukan aku dengan baik. Kamu juga jaga diri ya, Mas. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Hari ini, mungkin hari terakhir kita dapat bertemu.”

“N.. N… Nnnu… kke…”

“Mas. Aku sayang sama Mas, tapi… mulai sekarang… mohon lupakan aku ya.” Nuke tersenyum semanis yang ia bisa sementara hatinya teriris-iris.

“J… Jangan…” Rao mendengus-dengus, matanya hanya bisa dibuka separuh. Yang separuh lagi terkatup tak kuasa ia buka.

“Lupakan aku, Mas.” Nuke tersenyum sembari menahan isak tangisnya, si cantik itu mengelus-elus wajah Rao berulang. “Aku berterima kasih karena selama ini Mas Rao telah memberikan aku harapan. Telah memberikan aku apa artinya hidup bahagia. Kini saatnya Mas juga merasakan hal yang sama, tidak lagi terkekang olehku. Mas Rao bisa kembali terbang tinggi dengan bebas, dan aku… aku akan memperhatikan setiap langkahmu dengan bangga dari kejauhan.”

Rao menggeram. Dia menggunakan sisa Ki yang mungkin ia punya untuk menguatkan kondisi supaya ia bisa berucap. “A-a… Aku tidak pernah terkekang… aku bahagia bersamamu…”

Ada garis air mata menetes di pipi Nuke.

Betapa bahagianya ia mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Rao yang selama ini hanya terdiam beribu bahasa. Ia tahu betapa Rao telah menelan harga dirinya sendiri untuk mengucapkan kata-kata itu. Seorang Rao, bertekuk lutut di hadapan seorang wanita!

“Aku juga, Mas. Tapi aku akan lebih bahagia lagi melihatmu menjadi diri sendiri. Meski dari kejauhan aku akan memperhatikanmu tanpa pernah mengganggu hidupmu lagi. Berdirilah tegar dan aku akan selalu bangga padamu. Aku akan selalu menyimpanmu di sini, di hatiku, tidak akan pernah terganti.”

Nuke lantas menyentuhkan jarinya di dada Rao, “Aku juga ada di sini dan tidak akan pernah pergi.”

“Tidak… tidak… tidak seperti ini…”

Nuke mengecup bibir Rao sekali lagi.

Keduanya tenggelam dalam angan, pada apa yang mungkin terjadi, pada apa yang bisa terjadi, pada apa yang terjadi, dan pada apa yang akan menjadi memori. Bibir lembut Nuke dan bibir keras sang Hyena Gila saling mengelus lembut, bukan karena nafsu, tapi karena sesuatu yang lebih murni dan lebih sejati.

Keduanya tahu, inilah perpisahan sebenar-benarnya.

Ketika Nuke menarik wajah, Rao bisa melihat linang air mata deras mengalir di wajah yang sedang tersenyum lembut padanya.

“Tidak… jangan… jangan…” Rao menggeleng kepala. Sang Hyena Gila mencoba memberontak dari tali yang mengikatnya, namun ia tak mampu. Ia memandang ke arah wanita yang ia puja dengan pandangan yang tak pernah ia tunjukkan ke siapapun sebelumnya. Pandangan yang membuktikan bahwa seorang pimpinan preman pun juga manusia yang punya hati dan punya rasa.

“Selamat tinggal, Mas. Aku sayang sama kamu, selalu.”

Nuke membalikkan badan dan melangkah ke arah Joko Gunar.

Rao hendak berteriak dengan kencang, tapi ada sosok berdiri di sebelahnya yang menyeringai penuh kemenangan.

“Dia sudah mengucapkan selamat tinggal. Sudah saatnya kamu juga melakukan hal yang sama. Kekekek. Adios, amigo.”

Sosok itu adalah sosok Arhan Gunadi. Pria itu tersenyum, ia mengangkat lengan, menariknya mundur hingga sejajar telinga, lalu melesatkan satu pukulan dengan kencang yang diselimuti oleh tenaga Ki cukup besar.

Karma Punch.”

Jbkkkkghhh!

Kepala Rao terbanting ke kanan.

Ia pingsan seketika.





.::..::..::..::.





Rama berlari sekencang-kencangnya begitu ia sampai di lantai terbawah gedung apartemen. Ia berbelok ke kanan, ke kiri, ke kanan, ke kiri lagi, mencoba mencari celah untuk mencapai kendaraannya yang berada di halaman parkir. Dia harus segera sampai di sana dan cabut dari tempat terkutuk ini sebelum terjadi sesuatu yang…

Ka-boooom!

Tubuh Rama tiba-tiba saja melayang terbang ke belakang karena terhempas satu sentakan energi dahsyat. Ia hanya bisa pasrah karena sekujur tubuhnya tiba-tiba saja tak bisa digerakkan. Bagaikan terkunci begitu erat oleh ikatan begitu kuat.

Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh!

Bruaaaaakgh!


Ia terlempar ke belakang dan terhampar ke tembok pagar yang kokoh bertahan, membuat tubuhnya remuk redam tak kuasa menahan benturan. Rama terjatuh luruh melorot ke bawah, sekujur tubuhnya kesakitan. Pemuda itu memegang dadanya, sentakan energi dahsyat itu bagaikan menghantam dadanya berkali-kali namun ke tempat dan posisi sasaran yang sama. Bagaimana bisa?

Siapapun yang melakukannya serangan itu, ia bagaikan seorang sniper yang mampu mengincar dan menembak titik sasaran tepat berulang-ulang kali.

Apakah dia benar-benar harus mengeluarkan jurus-jurus rahasianya untuk melawan siapapun yang telah…

Rama terbelalak melihat siapa yang telah datang.

…ah sial. Seharusnya dia tahu.

Berdiri sekitar empat meter jauhnya dari Rama, seorang gadis dengan telapak tangan kanan terbuka, sementara tangan kiri menggenggam pergelangan tangan kanan. Ia berlutut dengan satu kaki dan posisi tubuhnya menyamping. Mata bulat indahnya memicing mengincar sang pemuda yang kini sepertinya lemas tak berdaya. Mencoba memahami apakah benar Rama sudah remuk redam, ataukah hanya akting semata.

Dari belakang gadis itu muncul satu sosok lain yang menepuk pundak sang gadis. “Kerja bagus. Gajimu kunaikkan.”

Rama menggeram. Kapten Ri dan Shinta! Ternyata sundal itu yang telah…!

“Rama! Sudah waktunya kamu memberikan laporan!!” Kapten Ri berdiri di samping Shinta yang masih memasang kuda-kudanya, Rama tahu kapanpun ia bergerak, Shinta akan sanggup menembakkan sentakan tenaga jarak jauh, memang tidak melumpuhkan tapi cukup dahsyat untuk menyengat. Tangan Kapten Ri bersidekap sementara ia menatap Rama dengan sorot mata tajam.

Rama memeriksa situasi, kondisi, toleransi, pandangan dan jangkauan. Di belakang Shinta serta sang Kapten, sudah berdiri Hafiz dan pasukan tim Garangan. Mereka benar-benar sigap mengejar begitu ada laporan dari Eva tadi.

Rama menyeringai dan berusaha berdiri dengan sekuat tenaga. Ia lantas memberi hormat pada sang pimpinan. Kapten Ri berjalan mendekat dan membalas hormatnya.

“Kapten Ri,” ujar Rama sembari tersenyum.

“Kenapa kamu lari?” Kapten Ri tak membalas senyumnya. “Apakah ada sesuatu yang terjadi? Ataukah yang aku dengar tadi benar-benar ulahmu yang melakukan tindakan di luar batas? Jelaskan padaku atau tim Garangan akan bergerak untuk menangkapmu.”

Kali ini Rama tidak akan bisa berkelit lagi, dia sudah tersudut. Mana yang akan dia pilih? Jalan negosiasi atau bertarung? Tim Garangan sedang mengepungnya. Ada Kapten Ri, Shinta, dan Hafiz di sana. Mereka bertiga jelas punya kemampuan untuk membuat malam ini jadi lebih ancur dari seharusnya. Rama tahu dia ada kesempatan fifty-fifty untuk melenggang pergi seandainya dikeroyok, tapi apa iya dia mau mempetaruhkan karirnya untuk urusan sereceh Eva? Dia masih butuh berada di mabes tim Garangan. Negosiasi atau bertarung?

Negosiasi.

“Tu-tunggu dulu, Kapten. Mari kita berpikir dengan jernih menggunakan kepala dingin.”

“Apalagi maumu? Kepala dingin apalagi!?” Shinta mulai geregetan dengan tingkah Rama, dia curiga Rama-lah yang menjadi penghubung bagi Bambang Jenggo. Dengan kata lain, dialah sang musuh dalam selimut. “Kamu sudah tertangkap basah. Tidak akan ada jalan keluar dari semua ini.”

Rama tidak mempedulikan Shinta dan tetap fokus pada sang Kapten.

“Kapten, semua ini salah paham. Saya tahu kalau saat ini saya terlihat bersalah karena memang ada korban yang jatuh, tapi itu situasi genting yang tidak bisa dihindari. Saya melakukannya karena saya melaksanakan tugas sesuai juknis yang berlaku pada kondisi dan situasi yang saya hadapi. Saat ini saya berdiri di antara dua kelompok yang berbeda demi kepentingan orang banyak. Saya harus aman dari rasa curiga kedua kelompok tersebut dengan melakukan tindakan di luar batas bahkan jika apa yang saya lakukan harus mengorbankan satu dua orang korban untuk menjadi necessary victims.” Rama mengemukakan alasannya, “Seperti yang Kapten ketahui, satu kaki saya berdiri di JXG, kaki lain di PSGxRKZ. Bukankah posisi saya sangat menguntungkan bagi kita semua? Saya selama ini sudah melaporkan apapun pada Kapten Ri. Percayalah, Kapten. Jiwa dan hati saya tetap berada di Tim Garangan. Peristiwa tadi… memang disesalkan, tapi tak bisa saya hindari.”

Shinta dan Hafiz berdiri di belakang Kapten Ri, keduanya bersiap kalau-kalau Kapten Ri mendapatkan kesulitan atau berada dalam bahaya.

“Laporan? Laporan apa? Bagaimana aku bisa percaya padamu kalau kamu selama ini tidak pernah mengucapkan apa pun tentang hal ini? Bahkan laporan pun tidak ada, jadi laporan seperti apa yang kamu maksudkan?” Kapten Ri mendekat ke arah Rama dengan tenang. “Tapi sudahlah, untuk saat ini aku tidak peduli. Apapun alasanmu, kamu sudah tahu prosedurnya. Ada korban jatuh, itu artinya kami harus membawamu ke mabes terlebih dahulu untuk pemeriksaan lebih lanjut.”

“Siap laksanakan.” Rama tersenyum dan mengangguk.

Kapten Ri mengayunkan tangan dan beberapa orang anggota tim Garangan berjalan berhati-hati untuk mendekati Rama. Mereka lantas merangkulnya dan membawa Rama ke mobil tahanan. Semua berjalan dengan tenang dan tanpa perlawanan.

“Kapten. Ijin untuk mengemukakan pendapat.” Shinta berdiri dan memberikan hormat.

Gaskeun.”

“Terima kasih, Kapten. Mohon maaf kalau pendapat saya ini terkesan kurang ajar dan membuat Kapten kurang berkenan. Tapi menurut saya memberikan kepercayaan berlebih kepada Rama dan membiarkannya bebas sepertinya bukan keputusan yang bijak. Kita tidak tahu apakah hal yang dia ungkapkan benar-benar dapat dipercaya ataukah ini semua hanya alasan dia saja untuk lolos dari hukum. Secara bukti dia sudah jelas tertangkap tangan membunuh korban tak bersalah. Ada nyawa yang hilang di sini, bukankah itu saja sudah cukup untuk menjeratnya? Demikian pendapat saya, Kapten.”

“Sudah? Itu saja?”

“Hormat saya, Kapten. Sudah itu saja.”

“Kita bertindak sesuai kewenangan dan kebijakan yang berlaku. Apapun yang dilakukan Rama, kalau korps menyatakan bahwa ini semua memang harus dilakukan - bahkan jika hal tersebut akan memakan korban sebagai necessary victim atau jika seandainya kita tidak setuju sekalipun, maka kita harus menerimanya dengan lapang dada dan mendukung keputusan tersebut. Kita bertugas di bawah sumpah setia pada korps.”

Rama tersenyum sinis pada Shinta yang melengos. Gadis itu masih tidak bisa percaya seratus persen pada sang pemuda. Shinta pun menjawab, “Siap Kapten.”

“Bagaimana dengan korban dan pacarnya?” tanya Kapten Ri.

“Mereka sudah dikirim menggunakan ambulans ke rumah sakit terdekat. Kondisi korban sepertinya sudah fatal.” Jawab Shinta.

Ponsel Rama tiba-tiba saja berbunyi.

Karena tangannya tidak diborgol, sebenarnya Rama dapat dengan bebas untuk mengangkatnya. Tapi karena tahu posisinya sedang dalam pengawasan, pemuda itu pun bertanya pada Kapten Ri apakah dia diijinkan untuk menerimanya dengan satu pandangan mata. Sang pimpinan mengangguk memperbolehkan.

Rama pun segera mengangkatnya. “Selamat malam.”

Kapten Ri, Shinta, dan Hafiz mengamati Rama.

“Betul sekali. Baik. Baik. Kebetulan beliau ada di depan saya. Baik.” Rama menyerahkan ponselnya pada Kapten Ri. “Mohon maaf, Kapten. Ada yang ingin bicara dengan Kapten.”

“Siapa yang…?!” Kapten Ri mengerutkan kening. Ia menerima ponsel Rama dan meletakkannya di telinga, “Halo? Siapa… Oh? Njenengan? Nggih. Bagaimana? Apa yang bisa saya…? Hahaha. Siap, siap. Tentu saja saya hapal suara njenengan, hahaha. Mohon maaf. Siap.”

Rama kembali tersenyum dan bersidekap di hadapan Shinta. Pemuda itu hendak mendatangi sang gadis namun berhenti saat Shinta menatapnya tajam dan galak.

“Baik. Baik. Siap laksanakan. Baik. Ba…” Kapten Ri terdiam setelah mendengar satu kalimat yang diucapkan oleh seseorang di seberang sana, “Maaf sebelumnya, apakah bisa diulang sekali lagi supaya saya tidak salah mendengar? Koneksi sinyal di sini sedang buruk.”

Kapten Ri menatap Rama yang tersenyum.

“Saya harus melakukan itu? Membe…” Wajah Kapten Ri berubah masam saat terdengar beberapa patah kata tambahan. “Baik. Tentu saja. Apakah hal tersebut sudah dipertimbangkan oleh... Betul. Tentu saja sudah. Saya pastikan saya tidak akan melawan perintah tersebut jika memang sudah menjadi keputusan dari korps. Baik. Siap laksanakan.”

Telpon ditutup. Kapten Ri sempat terdiam dan mengenggam kepalan tangan dengan sangat erat setelah menerima panggilan telepon itu. Giginya bergemeretak. Dia terlihat benar-benar geram. Satu tangannya melesat dan menghantam tembok pagar di sampingnya.

Bmm.

Ada lubang dan retakan melingkar besar berdiameter hampir satu meter pada dinding itu. Kapten Ri mendengus dan berteriak, “HAFIZ! KE SINI KAMU!”

“Siap, Kapten.”

Ketika sang anggota Tim Garangan yang dipanggil telah menghampirinya, Kapten Ri segera menepuk pundaknya. Wajahnya masih tak berubah, ia seperti menahan amarah yang meluap-luap. Hari ini sepertinya bakal jadi hari yang buruk baginya.

“Saat ini juga kamu pulang ke mabes… dan bebaskan Bambang Jenggo. Kembalikan semua barang-barang yang kita sita darinya saat ditangkap. Dia dibebaskan karena kurang bukti.”

Wajah Hafiz yang terkejut seakan menyiratkan ungkapan tak percaya.

Kapten Ri juga dapat melihatnya, tapi dia tetap menepuk pundak sang bawahan sekali lagi. Perintah dari atasan adalah perintah bagi bawahan. Dalam korps, perintah dari atasan adalah perintah yang harus dilaksanakan no question asked. Seberapa absurd pun perintah tersebut.

Tak jauh dari mereka, Shinta yang mendengar percakapan keduanya juga terbelalak tak kuasa menahan tanya mendengar perintah sang pimpinan.

“Kapten, apakah…” Hafiz mencoba mengulang dan memastikan.

“Perintahnya sudah jelas. Bebaskan Bambang Jenggo.”

“Si-siap laksanakan.”

“Bawa Rama ke mabes. Kita interogasi dia sebagai saksi, bukan terdakwa.”

“Siap, Kapten.”

Kapten Ri melirik ke samping, ke arah Shinta yang menatapnya tajam.

Tapi sang Kapten lantas melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun sembari mendengus kesal, sang komandan tim Garangan masuk ke mobilnya dan melesat pergi begitu saja. Shinta hanya dapat berdiri terdiam dengan tubuh bergetar.

Mereka akan membebaskan Bambang Jenggo. Rama dapat melangkah pergi. Lalu bagaimana nasib kedua orangtuanya? Bagaimana ia dapat menyelamatkan mereka?

Gadis itu mendongak dan menatap langit yang makin gelap.

Apa yang selanjutnya akan terjadi?

Kapan ini semua usai?





BAGIAN 4 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 5
 
BAGIAN 5
PUPUS






“Akulah yang akan mati ketika waktunya aku mati.
Jadi biarkan aku menjalani hidupku seperti hidup yang aku inginkan.”
- Jimi Hendrix






Sebuah mobil berwarna gelap akhirnya berhenti di sebuah jalan. Jalan yang berada di pertengahan antah berantah. Kanan kiri sawah, lampu redup berjarak jauh, tidak ada rumah dalam jangkauan tiga kilometer dari ujung ke ujung. Entah posisi mereka ada di mana sekarang karena semuanya gelap.

Pintu geser mobil berwarna gelap itu terbuka dan sesosok seorang pemuda yang sudah tak berdaya dilemparkan ke luar begitu saja dari dalam mobil ke parit dangkal di pinggir sawah.

Beberapa orang yang berada di dalam mobil memberikan komentar saat mereka melemparkan pemuda itu.

Modyar kowe, Nyuk!” komen salah seorang dari mereka.

“Kamu beruntung nyawamu diselamatkan oleh pacarmu, jadi kami tidak perlu membuang mayatmu ke laut selatan. Kalau cerdas, mulai sekarang jangan pernah mencampuri urusan PSG lagi apalagi kami sudah bergabung dengan RKZ – tidak ada yang bisa mengalahkan koalisi Axis Joko Gunar dan Bambang Jenggo. Kalian tidak sebanding dengan kami! Cuh!” komen orang yang lain sembari meludah ke wajah sang pemuda yang dibuang di parit tepi sawah.

“Hehehe. Dasar bodoh. Sudahlah… laki-laki semacam kamu tidak pantas bersanding sama cewek secakep itu. Jadi relakan saja pacarmu yang mulus itu dientotin Bang Gunar. Kamu cukup nyari lonte di pinggir jalan.” Komen orang yang satu lagi. “Doakan kami juga mudah-mudahan setelah Bang Gunar bosan sama cewek kamu, kami kebagian memeknya.”

“Hahahahahaha…” semua yang di dalam mobil tertawa.

Mobil itupun segera pergi setelah pintu ditutup kembali.

Pemuda yang terpuruk di parit itu… adalah Rao, sang Hyena Gila. Tangan Rao menggapai tepian jalan dan ia harus menyeret tubuhnya sendiri untuk bisa kembali ke atas. Dia tahu jaraknya dengan pemukiman sangat jauh dan dengan kekuatannya yang sekarang, dia mungkin tak akan dapat mengejar para bedebah itu.

Rao mencoba menggapai napasnya yang tersengal-sengal, berulang kali dia terkapar di pinggir jalan setelah merangkak, pingsan, merangkak, pingsan, merangkak lagi, sampai akhirnya dia terlentang di hamparan rumput yang luas sembari menatap langit yang berbintang, dia sudah tidak peduli di mana dia sekarang. Mau mati pun tak peduli.

Sakit terasa di sekujur tubuh, tulang-tulangnya terasa ngilu, tenaganya habis, semangatnya hilang tanpa bekas, dan ia bahkan hampir tak bisa menggerakkan badan. Semua ia rasakan dan semua menyakitkan. Tapi sesungguhnya yang paling sakit adalah hatinya yang remuk redam bukan kepalang. Rasa-rasanya dia sudah tak bisa apa-apa lagi dengan perasaan yang sedemikian.

Jadi seperti ini ya rasanya?

Seperti ini ya rasanya patah hati?

Bangsat.

Sang Hyena Gila hanya bisa tersenyum dan tertawa. Bisa-bisanya dia merasakan hal yang absurd seperti ini? Dia. Rao. Dijatuhkan lawan karena cinta. Karena cinta! Bajingan, Nyuk. Jadi rasa seperti ini yang membuat banyak orang kalang kabut sepanjang masa? Sampai-sampai berjutaan puisi dituliskan dalam berbagai macam aksara?

Cinta.

Ia menepuk kepalanya sendiri.

Kopet.

Rao mengulang lagi, ia memukul kepalanya sendiri. Lalu memukul lagi, lalu lagi, lalu lagi, dan lagi, dan lagi.

Sang Hyena Gila tidak memukul kepalanya dengan main-main. Ia benar-benar memukul dengan teramat keras. Sakitkah? Ya sakit. Kepalanya benar-benar sakit terkena pukulan meski pukulan itu ia lakukan sendiri, tapi tetap saja tidak bisa menggantikan rasa sakit yang ia rasa dalam dadanya.

Kenapa dadanya terasa sesak? Kenapa dia diberkahi dengan rasa sakit yang seperti ini? Kenapa ada cinta jika berujung duka? Kenapa ada rindu di dada jika diakhiri perpisahan yang menyakitkan? Kenapa dia yang seperti batu harus dilunakkan jika kemudian hanya untuk dibentuk kembali menjadi batu?

Apa gunanya?

Rao mendengus.

Kesal? Ya dia kesal. Marah? Sudah pasti dia marah. Menyerah? Jangan harap.

Rao adalah Rao. Setelah ini, sang Hyena Gila akan mengobarkan kemarahannya. Dia masih punya DoP, dia masih punya Aliansi. Wanita yang ia sayang mungkin sudah meninggalkannya, tapi kawan-kawan yang baik masih berada disisinya. Menyerah tidak ada dalam kamusnya. Dia akan bangkit dan harus bisa bangkit.

Tidak cukup hanya Lontaran Tenaga Dalam, tidak cukup hanya Tendangan Tanpa Bayangan. Rao harus menguasai sesuatu yang baru – sesuatu yang mampu mengantarkan namanya memuncaki semuanya. Sesuatu yang punya efek dahsyat untuk melampiaskan kemarahannya. Demi apapun dia harus menguasai jurus pemuncak dari Lontaran Tenaga Dalam-nya.

Dia tahu ada seseorang yang bisa membantunya melatih ilmu kanuragan pilih tanding. Ilmu kanuragan yang akan memberikannya tambahan kekuatan. Untuk itu dia harus kembali menemui seseorang yang berjuluk Sang Juru Kunci. Seorang guru yang berada di desa teratas di kaki Gunung Menjulang, seseorang yang pernah memberikan dirinya ilmu lontaran Ki.

Rao menatap langit, menggeram, dan berteriak dengan kencang melampiaskan kekesalan.

Cukup sudah semua urusan melelahkan ini. Cukup sudah menjadi bulan-bulanan. Cukup sudah dipermainkan bak seorang pecundang. Dia mungkin akan menjadi orang yang sangat membenci cinta dan tak lagi ingin jatuh cinta – untuk selamanya.

Hidupnya akan ia berikan untuk Aliansi dan kejatuhan semua kelompok bangsat yang menyesakkan dadanya. Saatnya untuk bangkit telah tiba. Cerita tentang wanita dan kisah cengeng yang menyertai? Tidak ada lagi.

Tidak ada.

Tidak ada yang dapat menghentikannya sekarang.

Tidak ada yang dapat menghentikan amarahnya.

Dia pasti bangkit dan saat dia bangkit nanti, dia tidak lagi menjadi mangsa. Dia akan menjadi sang pemangsa. Karena seperti nama julukannya, dia adalah Hyena.

Itulah janji Rao, janji penuh amarah pada langit.





.::..::..::..::.





“Semua kemewahan ini, akan menjadi milikmu seorang,” ucap Joko Gunar dengan bahagia.

Pria bertubuh gempal itu menggandeng Nuke memasuki kediamannya, melewati pendopo, dan masuk ke ruang tengah yang megah dan mewah meskipun masih bernuansa kedaerahan. Nuke pernah masuk ke sini, tapi tidak menyangka ia akan datang kembali sebagai istri muda sang pemilik rumah.

Gunar terus menerus menyiramnya dengan puja dan puji semu yang bagi Nuke tidak ada artinya. “Kamu… akan jadi nyonya rumah yang sempurna. Cantik, seksi, putih, dan aduhai indah tubuhnya. Tak akan pernah aku ijinkan kamu mengenakan celana dalam selama berada di dalam rumahku supaya aku bisa mengakses memekmu kapanpun aku mau. Huahahahahaha.”

Wajah Nuke memerah, orang ini kalau ngomong benar-benar tidak tahu waktu dan tidak tahu malu. Apakah hanya selangkangan saja yang selalu ia pikirkan? Dasar otak cabul. Gadis itu menjadi tidak nyaman ketika beberapa orang penjaga menatapnya dengan pandangan aneh dan mesum usai Gunar mengucapkan kata-kata biadabnya. Sama saja orang-orang ini - ketika sang bos melecehkannya, mereka juga akan menatapnya dengan pandangan menelusur dari ujung kaki ke ujung rambut. Pandangan yang seakan-akan menelanjanginya.

Nuke merasa tidak nyaman.

Joko Gunar menyadari ketidaknyamanan sang bidadari pujaan, “Jangan pedulikan mereka. Pedulilah hanya padaku seorang. Hehehe.”

Nuke melirik ke Joko Gunar yang sepertinya tahu apa yang sedang dirasakan oleh Nuke.

Gunar terkekeh pelan, “Mereka itu preman pasar yang tidak punya pasangan. Satu-satunya hiburan mereka adalah ngentotin lonte di selatan stasiun kereta menjelang malam, atau banci di dekat Kali Mambu. Keberadaanmu di sini mulai hari ini jelas akan menjadikan hari-hari mereka berbeda ke depannya. Kapan lagi mereka bisa melihat seorang bidadari dari hari ke hari? Saat kamu masih sering berjualan di dekat lapangan besar saja mereka sudah sering membicarakan tentangmu, apalagi sekarang.”

Pernyataan itu terdengar menenangkan sekaligus menggelikan. Terlebih keluar dari mulut seorang bajingan seperti Joko Gunar.

Gunar menggenggam tangan Nuke dengan erat, ia menatap perempuan berparas jelita itu dengan pandangan yang lembut, “Tapi aku beda dengan mereka. Aku dengan tulus akan mencintaimu, dengan semua daya upayaku sampai akhir masa. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak kamu masih remaja, tak kusangka aku akan benar-benar dapat mengawinimu.”

Nuke mendongak dan menatap wajah sang Kodok Besar. Bukan wajah yang rupawan apalagi nyaman dipandang, tapi saat itu ia bisa merasakan ketulusan. Mungkinkah ia bisa berbahagia di sisi Joko Gunar sebagai pasangan?

Dia sudah berjanji untuk menikahi Joko Gunar, jadi dia harus belajar untuk menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang tidak dia inginkan tapi harus dilakukan.

Mereka berdua melalui dapur dan bertemu dengan seorang wanita berusia senja yang mengenakan pakaian sederhana sedang membawa sepiring ayam kung pao yang baunya sangat sedap. Setelah wanita tua itu meletakkan piring di atas meja makan, Gunar membawa Nuke untuk menemuinya.

“Nah ini yang namanya Mbok Emban,” ucap Gunar memperkenalkan pasangan barunya pada sang asisten rumah tangga.

Wanita tua itu sempat terhenyak kaget ketika melihat sosok Nuke untuk beberapa saat lamanya – mungkin karena ia tak menyangka Joko Gunar akan membawa pulang seorang nyonya rumah baru, tapi ia lantas tersenyum ramah. “Sugeng ndalu, Den Ayu. Selamat malam, sudah makan nopo dereng? Saya siapkan makan nggih?”

Nuke bertatapan dengan perempuan tua yang tersenyum ramah itu. Ada sesuatu yang…

Mbok Emban itu ahli masak serba bisa. Kalau mau pesan makanan apa saja tinggal bilang.” Joko Gunar terkekeh, tapi sesaat kemudian ia terdiam seribu bahasa saat melirik keluar jendela. Ada sedikit perubahan di wajahnya. Tadi ia selalu ceria, tapi sekarang ia muram.

Gunar mendorong Nuke ke arah Mbok Emban, Nuke bertanya-tanya kenapa Gunar melakukannya.

“Ini adalah salah satu privilege-mu sebagai istri mudaku. Apapun yang kamu inginkan, akan aku penuhi, semua keinginanmu akan aku turuti. Termasuk masakan apapun yang kamu inginkan. Kurang baik bagaimana lagi aku ini? Sudah, pesanlah apapun. Nanti pesanannya akan diantarkan ke kamar kita, sayang.”

Nuke terdiam dan mengangguk malu-malu ke Mbok Emban yang sepertinya tidak terkejut tuannya secara paksa membawa seorang wanita muda untuk dijadikan istri. Jelas ini bukan kali pertama. Tapi ada sesuatu yang berbeda yang membuat Mbok Emban itu terlihat ceria, seperti seorang kawan yang sudah lama tidak berjumpa. Nuke pun membungkuk dan membisikkan sesuatu ke Mbok Emban yang langsung dibalas dengan angguk dan senyuman.

Kerso dhahar meniko, Den Ayu? Mau makan itu, Den Ayu? Siap. Bahan-bahannya kebetulan ada jadi akan saya siapkan semuanya untuk makan malam.”

Nuke melirik ke belakang, sosok Joko Gunar sudah tak lagi terlihat.

Memang benar.

Joko Gunar meninggalkan Nuke sejenak untuk menemui dua orang tamu yang duduk di pendoponya. Mereka terlihat dari posisi di mana sang dara berada. Nuke pun kemudian bercengkerama dan ngobrol dengan Mbok Emban.

“Selain masak yang tadi saya pesan… Mbok Emban bisa masak apalagi?”

“Saya bisa masak…” Mbok Emban meremas tangan Nuke. Seperti ada air mata yang menetes dari pelupuk matanya. “Den Ayu… maafkan saya yang tidak bisa menahan rasa… tapi Den AyuDen Ayu…”

Mbok Emban terbata-bata sembari tiba-tiba saja memeluk Nuke. Dara jelita itu mengernyitkan dahi, apa yang…? Apakah Mbok Emban merasa kasihan dengannya? Nuke mengelus-elus punggung wanita tua yang sesunggukan sambil memeluknya itu. Awalnya Nuke merasa heran, tapi lantas ia sadar kalau mungkin ada alasan yang berbeda di balik itu semua.

“Mbok… bagaimana kalau kita masak bersama…?”

Keduanya kemudian berjalan menuju dapur.

Di luar, Joko Gunar menemui dua orang pemuda yang gelisah dengan wajah sumringah – wajah seseorang yang lamarannya diterima. Setelah mendapatkan Nuke, sang pimpinan preman itu memang tak berhenti untuk menebar senyumannya. Hari ini dia menjadi pria yang sangat berbahagia karena telah berhasil mendapatkan wanita idamannya sejak lama dan memastikan tidak ada lagi drama. Joko Gunar sudah ngiler dengan kecantikan dan tubuh Nuke sejak gadis itu masih SMA, tak disangka-sangka sekarang ia benar-benar akan mendapatkannya.

Dua orang pemuda menyambut Joko Gunar dengan wajah yang nampak tidak senang, mimik wajah keduanya tidak karuan. Sang kodok besar sudah bisa menebak alasannya kenapa.

“Ada apa ini? Kenapa kalian tiba-tiba datang kesini? Kenapa wajah kalian seperti itu?” Jenggo mendengus, “Mbok ya kalian kalau ketemu Bapak itu wajahnya tidak pating pleketut, tidak masam begitu. Aku ini Bapak kandung kalian lho! Dasar anak-anak bleguk semua. Setidaknya yo bisa to ya menunjukkan wajah hormat saat bertemu denganku? Kurang apalagi coba aku sama kalian? Uang sudah kuberi, kemewahan tidak pernah berhenti, ilmu kanuragan sudah kubagi. Apalagi yang kalian inginkan? Bisa tidak sejenak saja ikut berbahagia hari ini?”

Gunar duduk di kursinya, memandang satu persatu dari kedua pemuda di hadapannya dan mendengus kesal. Kedua pemuda itu bukannya semakin tenang namun justru tambah gelisah mendengar kata-kata Joko Gunar barusan.

“Bahagia? Bahagia?? Pak! Bisa-bisanya kami bahagia kalau Bapak masih mengumbar nafsu pada wanita muda! Kami berdua sudah mendengar semuanya! Dia… dia bahkan hanya beberapa tahun lebih tua dariku!” salah satu anak Joko Gunar protes, “Kami sudah melihatnya dan tidak menyukai wanita jalang yang bakal Bapak jadikan istri muda itu! Kami tidak peduli Bapak mau mengawini siapapun tapi setidaknya perhatikan ibu kami! Bagaimana dengan nasib ibu yang sampai saat ini belum juga Bapak nikahi secara resmi? Bagaimana dengan kesejahteraan ibu yang saat ini sakit-sakitan?”

Pemuda bernama Aswin Aswatama itu berapi-api. Dia adalah salah satu anak Joko Gunar dengan wanita yang belum juga dibawa ke KUA, padahal Aswin sekarang sudah dewasa. Dari wajah dan penampilan, Aswin Aswatama memiliki sosok yang mirip dengan sang ayahanda, gempal dan besar dengan dagu berlipat-lipat karena kelebihan daging.

“Aswin betul, Bapak sama sekali tidak memberikan hak-hak pada Ibu-Ibu kami yang sudah menderita luar dalam. Ini tidak adil. Bukannya membenahi hubungan dengan wanita-wanita yang telah memberikan keturunan, eh sekarang Bapak malah mau menikahi wanita lain, benar-benar tidak ada hati nurani.” Ajo Gunarso - adik tiri Aswin juga ikut protes.

Berbeda dengan kakaknya, Ajo memiliki paras yang cukup lumayan dan berkulit kaukasia karena dia terlahir dari seorang ibu asal Skandinavia. Ibunya dulu adalah seorang turis asing yang diperkosa dan dipaksa tinggal di negara ini oleh Joko Gunar sampai kemudian dideportasi. Ajo yang ditinggal di negara ini akhirnya dirawat oleh ibu Aswin.

Kedua kakak beradik beda ibu itu benar-benar kokoh mempertahankan kehormatan ibu mereka masing-masing yang hidupnya terlunta-lunta karena tidak diperhatikan oleh Joko Gunar.

Hrmph.” Gunar menggerutu. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong jaket yang ia kenakan – buku cek. Ia melemparkannya ke meja di depan Aswin dan Ajo. “Tuliskan berapapun yang kalian mau. Berikan ke Ibu kalian. Aku tidak akan mempermasalahkan jumlahnya.”

“Ibu kami butuh perhatian, bukan uang.” Aswin masih protes.

“Aku tidak bisa memberikannya ke seorang wanita tua yang sudah sakit-sakitan. Aku memiliki perusahaan untuk dijalankan dan kelompok untuk dibina, semua kesibukanku membutuhkan perhatian seratus persen. Mana sempat aku mengurus rumah jompo!”

“Pak! Ibu bukan…” Aswin kembali protes, namun kalimatnya sudah dipotong sang bapak.

“Aku membesarkan perusahaan demi kalian! Bukan untuk siapa-siapa! Untuk kalian! Jadi kalau kalian masih bilang aku tidak memperhatikan, maka aku akan memberikannya ke orang lain yang iri melihat keberuntungan kalian! Aku ingin kalian meneruskan usahaku, menjadi pewaris kelompok PSG, mewarisi ilmu kanuraganku, aku ingin kalian berdua menerima warisanku. Apakah itu belum cukup?” Joko Gunar mendengus-dengus dengan kesal, ia mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan emosi. “Masih menuntut macam-macam padahal kalian berdua sudah sama-sama menerima Jurus Kodok, sama-sama sudah menerima Hikmat Penyesap Prana. Lalu apa lagi yang kalian inginkan? Itu ambil ceknya yang ada di atas meja, tulis nominalnya, bawa ke bank, dan berikan ke ibu kalian! Sudah, selesai masalah!”

Joko Gunar berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Aswin dan Ajo yang hanya bisa berdiri terdiam. Mereka geram diperlakukan seperti itu tapi tak kuasa melawan Gunar, bagaimanapun pria itu adalah ayah mereka.

“Jadi bagaimana?” tanya Ajo.

Aswin mengambil cek itu dan menatap adik tirinya. “Kita belikan ibu sesuatu.”

Ajo mengiyakan dengan mengangkat jempolnya. “Bagaimana dengan cewek itu?”

Aswin mengangkat bahunya tapi lantas tersenyum lebar, “Biar saja. Itu urusan Bapak. Aku sih tidak peduli dia mau ngentotin siapa, yang penting cek ini bisa terus dicairkan.”

Ajo tertawa. Taktik mereka untuk mendapatkan uang dengan dalih memperhatikan Ibu ternyata berhasil. Seperti anak, seperti bapak. Aswin dan Ajo sama brengseknya dengan Joko Gunar.

Buah memang tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.





.::..::..::..::.





“Apa yang akan kita lakukan, Bos?”

Syam memandang Ki Kadar, Ki Kadar memandang Syam. Mereka berdua saling berpandangan, menandakan sama-sama saling mempertanyakan. Ki Kadar mengangguk pertanda mengiyakan, Syam pun mengangguk untuk melaksanakan.

“Maaf, Bos.” Syam mengulang pertanyaannya. “Mengenai serangan gabungan PSGxRKZ ini, apa yang akan kita lakukan? Tidak mungkin kan kita diam saja? Ini jelas-jelas tindakan ngawur yang bisa kita ibaratkan bagaikan hinaan. Ini bagaikan meludah langsung ke wajah kita. Mereka sudah seenak wudel-nya sendiri membumihanguskan Talatawon yang jelas-jelas netral.”

Om Janu duduk dengan tenang sembari membolak-balik halaman majalah Panjebar Semangat yang setelah bertahun-tahun masih tetap bertahan terbit. Sang pimpinan terdiam tanpa melirik sedikitpun ke arah anak buahnya. Ia masih tetap menikmati membaca sebuah artikel.

“Bos?” ulang Syam. Ia berdehem untuk meminta perhatian om Janu. “Jadi bagaimana?”

“Apanya yang bagaimana?” om Janu akhirnya membalas pertanyaan Syam.

Di depannya kini, berdiri Syamsul Bahar, Ki Kadar, Mugianto alias Muge Monster, dan Agus Lodang. Empat punggawa jajaran atas QZK yang sering disebut dengan nama Empat Perisai QZK, para punggawa yang ekuivalen dengan Empat Anak Panah JXG, Empat Belati Dinasti Baru, dan Tiga Gentho dari Bondomanan PSG. Sementara di belakang sang pimpinan tertinggi QZK itu berdiri Pak Mangku dan seorang sekretaris bernama Erina. Mereka semua sedang menantikan keputusan dari om Janu mengenai serangan yang dilakukan oleh PSGxRKZ.

“Netral. Apa sebenarnya netral itu?” om Janu meletakkan majalah yang ia baca ke atas meja, lalu duduk santai dan menyilangkan kakinya sembari menatap keempat anak buahnya. Mereka terdiam beribu bahasa tanpa ada yang berani menjawab. “Netral itu artinya tidak berpihak. Apa kalian berpikir selama ini Talatawon tidak berpihak? Mereka memang berada di bawah lindungan kita karena posisinya yang dekat ke wilayah utara, tapi Talatawon itu sejatinya bukan onderbouw kita. Mereka maunya mandiri, bebas dari segala macam urusan kelompok, dan tidak pernah mau ikut campur jika kita membutuhkan bantuan – terutama karena mereka ingin mempertahankan kenetralannya. Mereka memang memberikan supply sumber daya untuk dijadikan pasukan besar pada kita, tapi Talatawon tidak pernah mau menjadi bagian resmi dari QZK. Terlepas dari itu, Talatawon sebenarnya juga memiliki kepentingan dengan memijakkan kaki di kelompok lain – kelompok yang kemungkinan besar adalah JXG. Kalau begini urusannya tentu saja kita tidak bisa menolong mereka begitu saja, atau protes pada PSGxRKZ. Ini masalah Talatawon dan mereka harus menghadapinya sendiri.”

Jawaban itu agak sedikit mengagetkan Syam dan kawan-kawan. Selama ini mereka mengira QZK tidak ada masalah dengan Talatawon. Kenapa sekarang tiba-tiba saja om Janu enggan membantu mereka? Apakah ada sesuatu yang tidak mereka ketahui? Syam tentunya hanya bisa terdiam dan mematuhi om Janu.

“Ada yang lain lagi?”

Nuwun sewu. Dengan tidak mengurangi rasa hormat karena mengalihkan pembicaraan, saya ada satu laporan juga. Karena kita sudah berbicara mengenai JXG, maka bisa saya laporkan ada pergerakan dari JXG yang masuk ke wilayah utara untuk memburu sisa-sisa RKZ melalui unit SSX mereka. Saya dan rekan-rekan sudah menghentikan mereka untuk masuk lebih jauh demi mencegah huru-hara. Apakah akan ada pembicaraan lebih lanjut dengan Pak Zein mengenai hal ini? Mohon memberikan kepastian apakah kami bisa mengijinkan SSX masuk ke wilayah utara dan memburu RKZ.”

“Aku dan Pak Zein akan membicarakan hal ini pada saat pertemuan di pernikahan Ahmad minggu depan – termasuk dengan om BMW. Karena terkait dengan penculikan Nada, maka setidaknya aku bisa mengijinkan mereka masuk dengan syarat-syarat tertentu sebagai bentuk simpati. RKZ sendiri sekarang sudah bergabung dengan PSG, kalau memang Joko Gunar dan Bambang Jenggo berkoalisi, hal itu akan menjadi ancaman bagi semua pihak termasuk Dinasti Baru. Jadi memang harus ada yang dibicarakan di antara kami bertiga. Kalau sudah ada keputusan nanti pasti aku sampaikan ke kalian. Ada yang lain lagi?”

“Mungkin saya ada,” ujar Muge. “Ada beberapa orang Aliansi yang memburu Mas Reynaldi hingga menyatroni rumahnya. Unit saya kebetulan sedang berjaga di sana. Mungkin kita perlu memperingatkan mereka supaya tidak…”

“Aliansi?” kening om Janu berkerut, “Ngapain lagi Reynaldi? Kenapa dia dikejar-kejar Aliansi? Dasar! Anak itu selalu saja bikin masalah. Ki Kadar, apa lagi yang dilakukan Rey? Kemana dia sekarang?”

Nuwun sewu,” Ki Kadar menjura. “Mas Rey saat ini sedang berada di kamar belakang dan berlatih ilmu kanuragan. Akhir-akhir ini beliau memang tinggal di sini seperti yang diperintahkan oleh Bos dan amat menggemari berlatih ilmu kanuragan. Meski selalu kami awasi siang dan malam, tapi ada beberapa kali kami gagal menghentikan terjadinya insiden, dan kami juga gagal membersihkan tilasannya. Diketahui sudah ada beberapa… korban meninggal… termasuk seorang pria dan seorang wanita renta, sementara ada korban kritis seperti seorang wanita muda dan bocah balita.”

Om Janu geleng-geleng kepala. “Bocah itu selalu saja cari masalah. Aku akan mencari Nanto dan kawan-kawannya dari Aliansi dan mencoba mencari tahu apa akar masalahnya sampai-sampai mereka mencari Rey. Kemungkinan besar mereka punya hubungan khusus dengan para korban itu. Untuk sementara waktu jangan sampai Aliansi sadar kalau Reynaldi ada di bawah perlindunganku dan jangan biarkan adikku itu pergi kemana-mana. Bisa kacau semuanya nanti.”

“Baik, Bos.” Ki Kadar dan Muge sama-sama menjura dan menjawab.

Pandangan om Janu beralih ke Agus Lodang, “Bagaimana denganmu? Apa ada yang perlu dilaporkan juga?”

Agus yang memiliki rambut mullet alias gondrong ndeso itu menggeleng sembari tersenyum. Dia justru menyerahkan sebuah amplop coklat besar ke hadapan om Janu. Sang pimpinan QZK membuka amplop itu dan mengeluarkan beberapa foto dari dalamnya, ada sosok seorang bapak-bapak dan wanita muda di masuk dan keluar dari hotel.

Om Janu pun terkekeh, “Nah begini lah. Paling tidak ada berita baik hari ini. Orang ini adalah Dukuh paling bejat di Jalan Kalipenyu, seenaknya sendiri ngumbar kemaluan. Sekarang kita bisa pegang buntut orang ini dan memaksanya melakukan apa yang kita mau, termasuk menjual beberapa tanah miliknya dengan harga murah. Dia pasti tidak berani berkutik karena kalau macam-macam foto ini akan beredar. Dasar Dukuh ora nggenah, anak KKN kemaren sore diembat juga sama. Mentang-mentang jidatnya jenong langsung maen celup.”

Ada suara ponsel berbunyi, semua anggota QZK secara reflek memegang ponsel mereka masing-masing meskipun mereka tahu itu bukan nada dering yang mereka pasang. Sesaat kemudian mereka menyadari kalau yang berbunyi ternyata ponsel milik Erina. Sang sekretaris berparas jelita dan bertubuh indah itu pun mengangkat panggilan telpon setelah om Janu menganggukkan kepala.

“Ya? Bagaimana?” Mata Erina terbelalak. “Be-benarkah berita itu?”

Wanita jelita yang rambutnya dikuncir ke atas model bun itu benar-benar terkejut saat menerima telepon. Dia pun mengangguk-angguk meski orang yang memberikan kabar jelas-jelas tidak akan dapat melihat sosoknya.

“Baiklah, akan segera aku sampaikan pada Bos Janu. Baik. Terima kasih infonya.” Erina mengakhiri telpon itu dengan meneguk ludah. Baru saja ada sebuah berita besar. Sangat besar malah. Berita besar yang akan mengubah tatanan kota.

“Bapak. Ada berita baru. Ini pasti akan mengagetkan.” Erina mendekati sang Bos, ia menyampaikannya perlahan pada om Janu melalui bisikan.

Om Janu mengerutkan kening saat mendengarkan bisikan Erina dan memahami apa yang disampaikan oleh sekretarisnya itu. Semua wajah di ruangan itu tegang menatap sang Bos - mereka tidak paham apa yang telah terjadi. Memangnya ada apa?

Erina kemudian mundur ke posisi semula setelah menyampaikan kabar, wajahnya menyiratkan bahwa ada sesuatu yang serius yang telah terjadi. Om Janu kembali duduk di kursinya, kali ini bahkan dengan lebih santai.

Om Janu lalu tertawa, tawa yang tidak seperti biasanya.

Ia tertawa terbahak-bahak.

Pria tua itu kemudian tiba-tiba saja berdiri, lalu berjalan ke arah jendela rumahnya. Dari sana ia bisa melihat taman yang hijau, asri, dan indah penuh warna yang berselimutkan gelapnya malam. Hanya cahaya lampu yang membantu mereka kentara di bawah sinar purnama, antara ada dan tiada, antara mekar indah mewangi, atau hilang begitu saja.

“Sungguh sebuah kabar yang tak disangka-sangka. Siapa yang akan mengira? Kematian datang ketika kita sama sekali tidak menduganya. Heheheh… Hahahahaha…” Om Janu memalingkan kepala ke arah Empat Perisai, “Bersiaplah kalian semua. Kota akan segera bergejolak lebih cepat dari seharusnya. Asah ilmu kanuragan kalian setinggi-tingginya. Karena begitu kalian lengah, nyawa kalian taruhannya. Paham?”

“Paham!” jawab keempat punggawa QZK itu hampir serempak.

Om Janu tersenyum.





.::..::..::..::.





Bau wangi aroma therapy memenuhi ruangan, bau khas batik menyebar. Ada hawa mistis sekaligus etnis yang menyeruak dari sisi kiri kamar ke sisi kanan, dari sela-sela tirai penutup jendela hingga ke ujung pojok ruangan. Angin dingin dihembuskan oleh air conditioner yang berderik pelan, kadang mengatup kadang membentang.

Suasana sepi di luar kamar, hanya terdengar suara jangkrik memainkan biola alami menyambut malam. Hanya ada paduan suara sang kodok saling bersahutan di tepian empang. Langkah kaki beberapa penjaga terdengar, namun hanya dari kejauhan. Satu-satunya ruangan yang masih bekerja di rumah itu hanyalah dapur yang sibuk menyelesaikan masterpiece terakhir mereka hari ini. Asap yang membumbung dari dapur ibarat pertanda akan terciptanya maha karya berupa masakan lezat nikmat mantap.

Ada ruangan yang pintunya tertutup tapi tak terkunci. Jika mendengarkan sejak beberapa jam yang lalu, akan terdengar suara desah bersahut-sahutan. Meski sudah cukup lama di dalam, namun suara desahan itu tak menunjukkan tanda-tanda akan segera berhenti.

“Aaaaaaah! Aaaaaah!! Ahhhhh!! Hngggkkkkhhh!!”

Nuke memejamkan mata saat batang kejantanan Joko Gunar kembali melesak memenuhi rongga liang cintanya hingga ujung terdalam – seakan-akan hendak tembus hingga ke rahim. Ia meremas seprei dan menjatuhkan kepalanya ke kasur. Berulang kali Gunar menampar pantat Nuke dan memaksakan kemaluannya keluar masuk.

“Aaahhhh… ahhh… ahhh…”

Nuke melenguh berulang, ada air mata leleh di pipinya. Joko Gunar adalah orang terakhir di dunia ini yang ia harapkan akan menembus liang cintanya. Tapi nyatanya sekarang dia mampu melakukannya dan ia benar-benar berhasilkan menaklukkan Nuke. Bertumpu dengan lengan dan lutut dengan posisi menunduk alias doggy style, Nuke beruntung dia tidak perlu menatap wajah sang kodok besar yang buruk rupa.

“Haaaaaah! Hahaaaaahhh!! Enaaaaakghhh!! Enaaaakghhh!!”

Joko Gunar terus saja berteriak-teriak menikmati. Wajar jika dia merasa senang, karena dia sudah mengidam-idamkan Nuke sejak berjumpa dengannya bertahun-tahun lalu saat Gunar masih menjabat sebagai deputi ayah Nuke dan gadis itu masih sekolah.

“Sebentarh lagihhh… sebentarrr lagihhh!!! Teruuuusss!! Genjooot teruuuuuss!!” Goyangan Joko Gunar menggila, makin cepat dan menghebat. Tubuh Nuke melonjak-lonjak ke depan dan belakang melayani nafsu buas pria yang menjajah tubuhnya itu.

Joko Gunar mempercepat sodokannya yang perlahan-lahan meningkat semakin cepat sehingga membuat tubuh Nuke kelojotan. Si cantik itu mengerang tak tertahan, mau ditahan seperti apapun juga – seks adalah seks. Ketika tak ada kehadiran cinta maka begitu penis masuk ke vagina, kita mulai melupakan siapa dengan siapa, melainkan menikmati prosesnya secara alami. Nuke berusaha menahan diri untuk tidak menikmati, tapi itu mustahil ia lakukan.

“Aaaahhhh… ahhhh... ahhhh… Bang…. Banggg….”

“Iyaaaa sayaaaang… ini Abang keluar masukkan punya Abaaaang!! Masuk keluar masuk keluaaar!!! Enaaaaakghh memek kamu sayaaaaaaang!!”

“Aaaaaahhh… ahhhh… aaaaaahhh…” air cinta Nuke kembali mengalir deras membanjiri liangnya. Tubuhnya bergetar-getar menahan rasa tak karuan dan semprotan-semprotan kenikmatan yang keluar di dalam bagian paling rahasia pada tubuhnya.

“Satu kali lagi!!!!” Gunar menyodokkan penisnya keras-keras ke dalam vagina Nuke yang ikut menjerit. Batang kemaluan si kodok besar melesak sangat dalam dan akhirnya menyemprotkan air cintanya tanpa bisa ditahan. Basah, becek, banjir hingga ke rahim.

Joko Gunar memejamkan mata untuk menuntaskan hingga tetes terakhir dan akhirnya menarik kemaluannya dengan kasar. Ia ambruk ke pembaringan setelah mendorong Nuke ke samping.

Keduanya menggapai napas masing-masing dan akhirnya berbaring berdampingan. Gunar di kiri, Nuke di kanan. Joko Gunar menebar senyuman puas yang tak ada habis-habisnya.

Nuke benar-benar menjadi miliknya! Mimpinya menjadi kenyataan!

“Bang…”

“Ya?”

“Kenapa keluarin di dalem?” tanya Nuke dengan suara bergetar.

“Biar kamu hamil.”

Nuke menatap langit-langit kamar dan memejamkan mata. Ia merasa sangat kotor dan sangat berdosa. Satu karena telah menerima Joko Gunar dan kedua karena ia menikmati permainan cintanya. Ada air mengalir dari pelupuk matanya. Seharian ini matanya sembab karena berulang kali menangis. Siapa yang menyangka kalau ia pada akhirnya akan menyerahkan miliknya yang paling berharga pada seorang Joko Gunar. Tidak ada pernikahan syahdu, tidak ada pria yang dirindu, tidak ada pelaminan dengan sosok ayah ataupun ibu, dan jelas ini bukan bulan madu.

Dkg dkg dkg.

Terdengar pintu kamar diketuk perlahan.

Nuke buru-buru mengambil selimut untuk menutupi ketelanjangannya dan membalikkan badan, memunggungi pintu, supaya siapapun yang datang tidak dapat melihatnya. Meski sudah berusaha menutupi diri, Joko Gunar tidak membiarkan Nuke bebas dari pelecehan begitu saja. Ia menarik selimut Nuke supaya punggung dan pantatnya tetap terbuka. Wajah Nuke langsung memerah dan ia menggigit bibirnya sendiri karena merasa malu bukan kepalang.

“Masuk.” Perintah Gunar. Tangannya mengelus-elus pantat bulat putih mulus milik Nuke.

“Nu-nuwun sewu, Den. Permisi. Mau mengantarkan makanan pesanannya Den Ayu.” Ternyata Mbok Emban yang datang.

“Oh? Apa ini?”

Satu nampan besar berisi hidangan dibawa masuk ke kamar oleh Mbok Emban. Nuke kemudian terduduk dan membailikkan badan sembari tetap memegang selimut untuk menutup dadanya yang terbuka. Ia menatap sang asisten rumah tangga, Mbok Emban hanya tersenyum, mengangguk memberi hormat, dan meletakkan nampan di salah satu meja di pojok ruangan.

Mbok Emban menjura, “monggo dipun rahapi. Silakan dinikmati, Den Ayu.”

“Terima kasih, Mbok Emban.” Nuke menatap perempuan tua itu dengan lembut.

Joko Gunar tersenyum lebar, “nah begini dong. Baru beberapa jam di tempat ini tapi Nuke telah membawa perubahan yang berarti. Ada perubahan menu dan makanan yang didatangkan langsung di tempat tidur. Memang tempat ini butuh sentuhan wanita jadi bisa lebih hidup dan semarak. Terima kasih, sayang.”

Sang kodok besar membungkukkan badan untuk mengecup dahi Nuke yang duduk di sampingnya. Mbok Emban tidak berani mendongak dan melihat ke arah ranjang karena sudah pasti tidak sopan. Wajah Nuke sendiri sedikit memerah karena malu.

“Apakah… semua pesanan saya ada, Mbok?” tanya Nuke dengan lembut.

“Ada, Den Ayu. Semuanya sudah disiapkan di sini.” Ujar Mbok Emban dengan kepala tertunduk, entah kenapa nada suaranya bergetar. Dia seperti akan mengatakan susunan kalimat yang panjang kali lebar namun ditahannya. “Sa-Saya mohon maaf kalau selama ini saya ada kekurangan-kekurangan yang… ma-maksud saya… saya mohon maaf kalau rasanya kurang enak, Den.”

“Ah apa. Masakan Mbok Emban selalu enak! Hahahahahah!” Joko Gunar tertawa. Dengan nakal tangannya menelusup ke sebalik selimut dan meremas-remas payudara Nuke kembali.

“Esssthhh!” Nuke sedikit memekik saat jemari Gunar memutar dan memencet-mencet puting payudaranya. Ia mendorong tangan pria yang baru saja memerawaninya itu, “Ini ada Mbok Emban ini lho, Bang. Yang sabar sedikit kenapa!?”

Mbok Emban tahu dia harus pergi. “Saya permisi, Den... Den Ayu…”

“Ya… ya… makasih, Mbok.” Gunar mengangguk.

Mbok Emban beringsut keluar dari kamar. Sebelum menutup pintu, ia menatap ke arah Nuke yang juga tengah mengamatinya. Ada tetes air mata di pelupuk mata Mbok Emban yang turun membasahi pipi. Mungkin dia juga kasihan dengan nasib Nuke.

Pintu pun ditutup.

Ketika sang asisten rumah tangga itu benar-benar sudah keluar dari kamar, Joko Gunar tersenyum dan menyibakkan selimut yang melindungi tubuh indah Nuke. Pria bertubuh gempal itu terkekeh melihat body gitar sang dara yang kini sudah menjadi miliknya.

“Mmmhhh… mau apa lagi sih, Bang? Dingin ini…” Nuke memukul pelan Gunar dan mengambil selimutnya kembali, udara dingin dari air conditioner membuat Nuke yang telanjang bulat menggigil kedinginan. Ia meringkuk dan berbaring kembali.

Joko Gunar tak peduli, ia memainkan jemarinya di sisi-sisi tubuh Nuke yang terbias sinar lampu temaram. Sungguh indah wanita jelita ini, benar-benar indah dengan bentuk yang teramat seksi. Memang sudah benar sejak dulu ia mengidam-idamkan tubuh Nuke. Sudah benar ia memimpikan tubuh indah Nuke di pelukannya. Ia selalu membayangkan Nuke, di setiap ia onani, di setiap ia menggauli.

Bagi Joko Gunar, Nuke adalah segalanya. Puncak prestasinya. Putri dari mantan bosnya yang kini berhasil ia perawani. Sang putri, sang emas berlian yang disayang-sayang bos lamanya, akhirnya menjadi milik Joko Gunar. Rasa bahagianya membuncah, ia benar-benar bahagia dan merasa beruntung karena akhirnya dapat memiliki Nuke.

Sekali lagi Gunar memainkan telunjuk dan jari tengahnya untuk menelusuri tubuh Nuke, dari pundak geser ke samping, ke lengan, turun ke dada, memutar bundaran besar bulat menggiurkan menggairahkan, lalu geser ke samping lagi ke perut rata yang luar biasa menyalakan api birahi dalam diri sang pimpinan preman.

Gunar memeluk tubuh Nuke dari belakang dan mengecup pundaknya. “Sudah hangat sekarang?”

“Hmmm…”

“Aku entotin lagi ya, sayang? Ini kali keberapa ya? Keempat hari ini? Hahahaha.”

“Hmmm….”

Nuke memejamkan mata karena ia lelah, lelah lahir batin. Jadi dia biarkan saja si preman sialan itu melakukan apa saja ke tubuhnya. Biarkan saja sudah sebodo amat. Dia sudah terlalu lelah untuk protes ataupun melawan. Lagipula bukankah dia harus menjalani hal-hal seperti ini di sisa hidupnya? Harus rela dijadikan mainan seks oleh sang kodok besar? Sesakit apapun hatinya, dia harus…

Eh, tunggu sebentar…

Kehadiran Mbok Emban tadi sedikit menyadarkan Nuke akan sesuatu.

Lidah Gunar beraksi, mengukur jengkal demi jengkal kulit Nuke yang seputih pualam.

“Mmmhh…” Nuke membalik tubuh sehingga dia berhadapan langsung dengan Joko Gunar dan menghentikan aksinya mandi kucing. “Aku lapar, Bang. Aku mau makan dulu. Seharian aku belum makan.”

Melihat wajah Nuke tepat berada di depan wajahnya Joko Gunar tersenyum. Dengan berani Gunar mengecup bibir Nuke, “Kamu boleh aku makan tidak? Seluruh tubuhmu lezat dijilat dan enak digigit.”

“Apaan sih.” Nuke berusaha menyibakkan selimut lebih lebar agar dia bisa keluar dari ranjang. Tapi Joko Gunar menghentikan Nuke. Si cantik itu menengok ke arah pria yang saat ini memegang lengannya dengan erat. “Bang, kita sudah empat kali gituan. Sekarang aku lapar berat, ijinkan aku makan sebentar saja.”

“Coba lebih santun mengucapkan permohonanmu.”

Nuke mendesah dengan kesal, ia memejamkan mata. Demi apa dia harus mengucapkan kata-kata menjijikkan itu? Tapi dia harus melakukannya. “Abang sayang… aku lapar. Aku mau makan dulu boleh?”

“Aku juga lapar… akan tubuh indahmu. Gimana kalau ngentot sekali lagi habis itu baru makan?”

“Bang… aku tidak akan kemana-mana. Kita kan sudah buat perjanjian. Asal Mas tidak menyakiti mas Rao, aku akan tetap tinggal di sini. Jadi ditahan dulu sebentar nafsunya.”

“Sudah pasti aku akan melepaskan Rao. Dia sudah selamat seperti yang kamu lihat dari bukti kiriman anak buahku. Dia dilepas di pinggiran sawah jauh di kawasan timur. Dia pasti bisa balik lagi. ke kota dengan mudah” Joko Gunar mendengus, “kenapa? Kamu masih belum bisa move-on dari dia? Akulah yang akan menjadi suamimu. Bukan dia. Paham?”

“Ya paham lah. Abang pikir sedari tadi kita ngapain? Sudah berapa kali Abang gituin aku? Memangnya aku akan menyerahkan milikku yang paling berharga ke orang sembarangan? Aku sudah tahu kalau aku bakal nikah sama Abang jadi aku rela diapa-apain sedari tadi. Masih belum percaya juga sama aku?” Nuke sewot. Ini orang emang ga ngotak. Udah jelas mereka tidur bersama dan sudah berkali-kali melakukan masih saja meragukan komitmen Nuke. “Sekarang aku siapkan makanannya, Abang tetap rebahan saja. Kita makan bareng. Gimana?”

“Boleh bangetlah! Hahahahaa! Asyik banget ini akhirnya bisa makan bareng kamu di tempat tidur. Habis makan, ngentot lagi. Hahahhaaha.”

Nuke menarik napas panjang. Dia sebenarnya geram dan ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tapi si cantik itu tahu kalau dia melakukan hal itu sekarang, dia akan membahayakan keselamatan Rao. Hal terakhir yang ingin dia lakukan adalah menyakiti Rao.

Nuke memejamkan mata.

Maafkan aku, Mas.

Ijinkan aku melayani bedebah ini di sisa hidupku, mudah-mudahan kamu mendapatkan yang terbaik yang akan melayanimu di sisa hidupmu
. Aku akan bahagia jika kamu bahagia.

Nuke berjalan menuju nampan yang telah disiapkan oleh Mbok Emban.





.::..::..::..::.





Seorang suster perawat berparas manis memeriksa catatan-catatan yang terdapat pada lembaran kertas yang dikaitkan pada writing-pad-nya. Obat-obatan yang diberikan sudah benar sesuai takaran, botol infus yang menjelang habis sudah diganti, pemeriksaan tensi darah juga sudah dilakukan pada shift sebelumnya. Semuanya sepertinya sudah sesuai dengan prosedur dan apa yang dituliskan di catatan-catatan ini.

Suster manis itu pun bersiap mengunjungi satu persatu pasien di bangsal masing-masing untuk memastikan obat sudah diminum. Dia melangkah ringan untuk keluar dari bilik perawat.

“Pasien-pasien yang sudah pulang saya coret dari daftar ya, Suster Ros,” ujar sang suster manis pada kepala perawat yang sedang merapikan administrasi pergantian shift di dekat pintu keluar bilik perawat.

Sang kepala perawat mengangguk, “Iya, Suster Okti. Coreten wae. Itu tadi si Suster Ani yang shift sebelumnya lupa mau coret.”

“Siap. Termasuk… Mbak Kinan ini ya? Kan sudah pulang tapi di sini tertulis masih harus perawatan.”

“Mbak Kinan?” Kepala perawat mengerutkan kening, “Apa iya dia sudah boleh pulang? Bukannya dokter Abbas belum memperbolehkan pulang paling tidak untuk sehari lagi?”

“Sudah kok. Ada surat-suratnya lengkap,” Sang suster manis membuka sebuah selipan amplop, “ini ada pernyataan kalau keluarga ingin merawat Mbak Kinan di rumah dan bertanggung jawab penuh seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

Sang suster kepala memeriksa surat pertanggungjawaban mutlak itu, sepertinya tidak ada yang salah, tanda tangan lengkap, cap beres. Tapi… kenapa perasaannya tidak enak ya? Dia sudah beberapa kali berbicara dengan Mbak Kinan dan sepertinya ada satu masalah dengan keluarga yang masih belum terselesaikan. Kenapa tiba-tiba dia sekarang pulang bersama keluarga? Apakah akhirnya sudah dibicarakan baik-baik?

“Kalau yang surat satu lagi? Siapa yang tanda-tangan di surat pemberian ijin rawat jalan? Suster Ani sama dokter jaganya siapa? Dokter Pitoyo?”

“Iya.”

“Coba aku cek.”

Sang suster kepala memeriksa surat ijin yang dikeluarkan oleh rumah sakit. Lagi-lagi tidak ada masalah, semua sudah diselesaikan termasuk biaya dan lain-lain. Jadi tidak ada yang aneh dan ganjil, mungkin hanya perasaannya saja.

“Saya permisi ya, suster. Pulang duluan.”

Suster kepala dan sang suster manis menengok ke arah suster yang baru saja melalui mereka.

“Suster Ani,” panggil suster kepala.

Suster Ani menghentikan langkah dan berjalan ke arah suster kepala. “Ya, Suster?”

“Pasien atas nama Kinan. Siapa yang jemput?”

“Dijemput keluarganya beberapa jam yang lalu, Suster. Dijemput sewaktu tertidur lelap jadi tidak bangun sama sekali sewaktu proses. Capek sepertinya si Mbak Kinan.”

“Keluarganya? Siapa yang jemput? Bapak ibunya?”

“Bukan sih kayaknya, yang jemput bapak-bapak bawa-bawa tongkat dan rombongannya.”

“Bapak-bapak bawa tongkat? Kayaknya belum pernah datang menjenguk Mbak Kinan ya?” Suster kepala mengernyitkan dahi, “apakah keluarga Mbak Kinan itu memperkenalkan diri? Setidaknya memberitahukan siapa namanya?

“Mar… Mar… Martoyo? Agak lupa saya, suster.”

“Martoyo?”

“Iya, ada kok namanya di surat pertanggungjawaban.”

Sang suster kepala sekali lagi memeriksa surat yang dimaksud. Surat yang menyatakan bahwa keluarga akan bertanggungjawab penuh atas kepulangan Kinan. Entah kenapa detak jantung sang suster kepala semakin berpacu ketika ia membaca dengan teliti surat itu. Ada yang membuatnya ragu-ragu tapi entah apa. Ia akhirnya bisa memastikan nama orang yang menjemput Kinan.

“Ah ini bukan atas nama Martoyo, Suster Ani. Tapi atas nama Bapak Martani.”

“Hahahahah, ah iya. Martani. Pak Martani.”

Suster kepala mengangguk-angguk.

Ya sudahlah. Mungkin instingnya salah. Mungkin sebenarnya tidak ada apa-apa karena semua surat-surat terbukti lengkap dan sah. Ia meletakkan semua berkas-berkas itu di tumpukan administrasi.

Sang suster kepala menarik napas lega. Syukurlah kalau Kinan ternyata sudah bisa pulang ke keluarganya. Dengan kondisi hamil dia harus tenang dan nyaman secara fisik maupun mental demi kesehatan ibu dan anak. Mudah-mudahan semua baik-baik saja.

Kasihan gadis itu.





.::..::..::..::.





Sakit.

Terasa sakit.

Sakitnya tidak main-main.

Ini sakit sekali.

Joko Gunar mengejapkan mata. Seperti ada sesuatu yang aneh dan tak seperti biasanya ia rasakan.

Ia sebenarnya baru saja terlelap dan tidur cukup lama, tapi badannya bukannya segar, melainkan justru sakit hampir di sekujur badan – bahkan sakitnya sangat luar biasa, perih dan pedih sekali seperti tak terperi. Joko Gunar mengerang. Sungguh badannya terasa tidak nyaman. Ada rasa sakit yang benar-benar tak tertahankan.

Ugh.

Eh?

Kenapa ini?

Preman itu baru menyadari kalau dia tidak bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Saat membuka mata dan semua terlihat jelas, barulah Joko Gunar menyadari apa yang terjadi. Kedua tangan dan kakinya terikat ke ujung ranjang.

“Apa yang…”

Tapi bukan itu saja…

Joko Gunar akhirnya menyadari.

Rasa tidak nyaman itu… adalah sebuah pisau yang menancap di perutnya yang telah robek dan terbuka lebar. Sebagian isi perutnya terburai kemana-mana. Merah darah yang muncrat tumpah ruah ke seprei putih. Pemandangan yang tidak pernah terbayang di benak Joko Gunar. Ia tidak bisa melihat lebih jelas lagi.

“A-APA APAAN INI!?”

Sang pimpinan preman itu masih belum merasakan sakit yang luar biasa karena shock – tapi perlahan-lahan, rasa itu hadir dan menyergap. Ia gemetar dan berusaha menahan diri agar tidak beteriak, tapi sebentar lagi ia pasti akan pingsan karena darahnya benar-benar membanjir.

“Akhirnya bangun juga.” Nuke yang masih telanjang duduk dengan tenang di antara kaki Gunar yang kemudian meronta dan menatap perempuan itu dengan geram. “Bagaimana rasanya, Bang? Akui saja kalau kamu meremehkanku, Joko Gunar. Kamu pikir aku tidak berdaya? Kamu pikir kamu akan aman-aman saja dengan membiarkan aku berdua denganmu tanpa penjagaan? Kamu bahkan tidak berpikir untuk melindungi diri dengan cara apapun karena kamu mengira aku lemah. Salah besar. Kamu belum pernah merasakan pembalasan seorang wanita yang teraniaya. Ini saatnya pembalasan, Joko Gunar – atas semua yang kamu lakukan padaku. Aku tahu kalau saat kamu tidur adalah saat terlemahmu, karena di saat itulah Ki-mu tidak aktif.”

Nuke memutar jemari dengan sekuat tenaga, pisau itu makin merobek perut Joko Gunar, ususnya makin terburai keluar. Pria bertubuh gempal yang tadi berulangkali menidurinya itu kini menggelinjang kesetanan dan tersedak-sedak. Ia mencoba meronta, tapi gerakan itu justru membuat rasa sakitnya merajam.

Tidak ada ampun, Nuke juga ikut berteriak kencang sembari terus menggeser pisau yang sangat tajam itu sementara Joko Gunar menjerit-jerit dan menggila. Tangan dan kaki Joko Gunar terikat tak bisa digerakkan.

Nuke baru saja merobek perut sang Kodok Besar dan mengeluarkan isi di dalamnya secara paksa. Semuanya menjadi merah hari itu. Darah mengalir deras, nyawa sudah ada di ujung utas. Ketika jiwa sudah tak punya harapan, kekuatan menjadi sangat besar. Nuke benar-benar sudah nothing to lose, pisau teramat tajam ia gerakkan dengan halus.

Bukan jagoan mahir, bukan pendekar pilih tanding, bukan kelompok putih, bukan kelompok hitam, bukan preman papan atas, bukan anggota geng, bukan polisi, bukan siapa-siapa. Hanya seorang gadis tak berdaya yang telah ia rudapaksa – yang akhirnya mampu menaklukkan sang pimpinan PSG dengan jari jemari yang kukuh dan niat yang tak padam.

“Kamu tak akan pernah bisa menyakiti siapa-siapa lagi.” bisik Nuke sambil tersenyum menyeringai. “Jangan pernah meremehkan anak seorang preman sejati, Bang. Mbok Emban yang tadi masuk dan kamu pekerjakan, dulu bekerja untuk keluargaku – dan dia mengenaliku. Aku meminta pisau yang paling tajam yang dia punya untuk diantarkan ke kamar dan disembunyikan di bawah nampan. Dia pula yang membantuku mengikat tangan dan kakimu.”

Joko Gunar terbalalak mendengar cerita itu. Ia menggeleng dan meraung. Bajingan! Bahkan Mbok Emban pun mengkhianatinya? Tidak. Tidak seperti ini. Tidak dengan cara seperti ini. Rencananya masih banyak, ilmu-ilmu yang ia kuasai masih belum tuntas. Pertarungan kelas hebat belum ia rasakan, kemenangan atas pimpinan lain belum ia raih, penghinaan atas statusnya sebagai pimpinan PSG belum ia dapatkan. Dia tidak boleh mati sebegini mudahnya.

Dia seharusnya masih bisa berkelit.

Ya, dia bisa. Kerahkan ilmu! Kerahkan tenaga! Apa saja yang penting selamat!

Masa dia akan habis dengan cara seperti ini?

Masih ada perang yang harus ia tuntaskan, masih banyak urusan yang masih belum usai ia rampungkan. Dia masih harus membawa PSG menuju puncak kesuksesan – apalagi mereka baru saja sukses membongkar Talatawon dan mengalahkan pimpinan DoP dengan mudah. Langkah pertama untuk menaklukkan utara sedang ia jalani.

Masa iya seorang Joko Gunar akan berakhir seperti ini saja? Di tangan seorang wanita lemah?

“Aku kehilangan semuanya di tanganmu. Aku kehilangan Papa yang kamu khianati demi merebut pengikutnya dan mendirikan PSG, aku kehilangan tunanganku yang kalian buat cacat, aku baru saja merelakan pria yang aku cintai demi keselamatannya, dan sekarang aku kehilangan kesucian dan harga diriku. Kamu pikir aku baik-baik saja dengan semua itu?” Nuke menyeka air matanya yang turun sembari menyeringai, “Tidak. Aku tidak baik-baik saja dan tidak akan pernah baik-baik saja jika bajingan semacam kamu tetap dibiarkan hidup. Cukup sampai di sini saja kamu bisa bertingkah. Aku sudah muak menjadi wanita lemah yang selalu menghindar. Kamu memang preman, tapi bahkan kamu pun tak ada apa-apanya saat berhadapan denganku.”

Pintu kamar Joko Gunar digedor-gedor dari luar oleh pasukan yang mendengar teriakan sang pimpinan. Tapi mereka tidak bisa membukanya. Upaya mendobrak pun dilakukan. Sebentar lagi mereka akan masuk. Pintu semakin ringkih.

“BAJINGAAAN!! BAJINGAAAAANN!! MATI KAMUUUUU! MATI KAMU, SUNDAAAAAAAL! MEREKA AKAN MASUK DAN MENYELAMATKANKU!!” teriak Joko Gunar dengan beringas, wajahnya terlihat menyeramkan. “BEGITU MASUK MEREKA AKAN MEMBUNUHMU! MEREKA AKAN MEMPERKOSAMU SAMPAI MATI!!”

Tapi Nuke tetap tenang. “Lalu? Memangnya yang begituan bakal jadi masalah buatku? Aku sudah tidak peduli, aku sudah tidak takut apa-apa lagi, dan sudah tidak punya apa-apa lagi. Dengan begini kita impas.” Air mata mengalir di pipi Nuke, tapi dia tetap tersenyum pada Joko Gunar. Sang preman terus menerus berteriak dan meronta. Nuke sudah tahu, sesuatu yang tidak baik akan segera menimpanya, dan dia sama sekali tak gentar. Dia sudah tahu semua resikonya.

“A-APA YANG KAMU LAKUKAN?”

Nuke memegang kemaluan sang Kodok Besar dan menggenggamnya. Pisau yang menancap di perut Joko Gunar ditarik. Nuke menghembuskan napas dan tersenyum. “Ucapkan selamat tinggal pada kawan sejatimu, Bang.”

Pisau itu digerakkan menyilang.

Darah kembali tersebar.

Joko Gunar berteriak kesakitan, wajahnya menegang, matanya terbelalak, dan ia melolong tanpa daya. Sekuat tenaga sang Kodok Besar mencoba bangkit. Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ia menarik tali-tali yang mengikat tangannya. Pria gempal itu berteriak kencang, mengerahkan Ki yang sebisa mungkin ia kumpulkan dalam keadaan desperate, dan tali-tali itupun putus setelah beberapa kali sentakan.

Sang kodok besar melontarkan satu pukulan pamungkas dengan kedua tangan besarnya secara bersamaan. Ia tahu ia mungkin tidak akan selamat dari upaya Nuke untuk membunuhnya, tapi demi apapun dia tidak akan jatuh sendirian. Kalau mati bersama yang gadis itu inginkan, maka jadilah. Pria bertubuh gempal itu menghentak badan gempal yang tadinya rebah untuk bangkit dengan sekuat tenaga, rasa sakit di perut dan selangkangan ia lupakan sesaat, ia menggunakan Ki terakhir yang masih bisa ia kumpulkan. Tangannya melesat.

Nuke tahu dia tidak akan bisa menghindar.

Bibir si cantik itu merekah kecil, ia mendongak ke atas, memejamkan mata, dan berbisik. “Mas. Aku pergi dulu. Doaku untukm…”

Krrrrgggkkgghkkk!

Tepukan dahsyat di kepala sang dara mengakhiri perlawanannya. Bagai raksasa menepuk nyamuk, warna merah darah membias di mata Nuke yang terbelalak, mungkin kepalanya pecah. Joko Gunar menarik tangannya dengan cepat dan mengumpulkan satu energi hebat di tangan, lalu menghentakkan tenaga sekuat-kuatnya ke dada wanita yang baru saja merobek perutnya.

Bledaaaaaaaaammmn!!!

Gadis itu terbang ke belakang, menubruk pesawat televisi raksasa dan beberapa perangkat elektronik lain sebelum akhirnya terhempas ke tembok dengan teramat keras. Tumbukan tubuh sang dara menimbulkan bunyi berdebam nyaring dan bekas retakan berdarah di tembok.

Gadis itu luruh ke bawah dengan bersimbah darah, tanpa nyawa.

Joko Gunar mendengus berulangkali, lalu melihat ke perut dan ususnya yang telah terurai keluar, lalu ke kemaluan yang sudah terpisah dari tubuhnya. Napasnya makin sesak, matanya makin kabur, dan ia tahu waktunya sudah dekat.

Sang Kodok Besar mengumpat. “Sialan… bajingan… cewek sundal sialan… tidak seperti ini… tidak sekarang… aku masih banyak ilmu yang harus aku… bajingan… baji...”

Pria gempal itu terhempas ke belakang. Napasnya telah habis, ia tersengal-sengal menggapai udara yang rasa-rasanya tidak ada yang masuk ke dalam tubuh. Dadanya terasa sesak dan kegelapan makin menjemput. Matanya terbelalak, tapi ia tahu sudah sampai di ujung usia.

Ia jatuh, karena nafsunya sendiri.

Jiwanya perlahan-lahan meninggalkan badan. Tidak ada ilmu kanuragan yang ia kuasai yang sanggup membalikkan takdir.

Dua tubuh akhirnya terkulai tanpa kehidupan.

Dua nyawa terangkat.

Pintu berhasil didobrak, tapi pasukan PSG masuk terlambat. Banyak yang berteriak-teriak, mencoba memanggil dan membangunkan sang pimpinan, ada yang berteriak mencoba mengamankan kamar, ada yang berteriak memanggil ambulans.

Semua panik, kecuali Mbok Emban yang kemudian meninggalkan rumah yang menyeramkan itu dengan tangis berderai. Sembari menyusuri gang, bibir sang wanita tua terbata-bata, “Den ayuden ayu…”

Satu persatu punggawa PSG masuk ke ruangan yang penuh darah. Tapi apapun yang mereka lakukan, Joko Gunar sudah tak lagi bisa diselamatkan.

Siapa yang mengira?

Pada akhirnya sang pimpinan preman Pasargede yang legendaris tidak tewas oleh lawan, tidak tewas dalam perang, tidak secara gagah, dan tidak secara jantan. Dia dihancurkan oleh obsesinya sendiri karena secara paksa ingin memiliki apa yang tidak menjadi haknya. Sekali lagi sejarah membuktikan bagaimana pria gagah akan dikalahkan oleh kemolekan. Seperti halnya Tunggul Ametung yang akhirnya jatuh karena terbius kecantikan, seperti halnya Samson yang roboh karena terlena dibuai keindahan, dan seperti halnya Attila the Hun yang keperkasaannya memudar ditelan jaman karena tikaman wanita idaman.

Wanita, akan selalu menjadi salah satu alasan kejatuhan seorang pria.

Kematian datang di saat yang paling tidak diduga-duga.

Kematian Joko Gunar mungkin terasa prematur di tengah gejolak antar kelompok yang makin memanas dan belum lagi memuncak, kelompok sebesar PSG pasti akan menjadi buntung dan timpang. Tapi bukankah tidak pernah ada yang pasti di dunia ini kecuali perubahan? Dunia ini kejam dan tidak akan berubah menjadi lembut hanya demi satu dua orang. Manusia adalah makhluk lemah yang harus menyesuaikan diri demi memahami gejolak alam, bukan sebaliknya.

Lagipula, ada yang lebih tahu kapan jari-jari sang elmaut harus beraksi untuk memutus tali kehidupan. Ada yang lebih tahu kapan, ada yang lebih tahu bagaimana, dan ada yang lebih tahu di mana. Kalaupun akhirnya datang pun tidak pernah menunggu kita untuk siap.

Kapan saja, di mana saja, entah bagaimana.

Kalau memang sudah waktunya, ya sudah waktunya.

Sekarang sudah waktunya bagi Joko Gunar.

Eranya telah usai.





.::..::..::..::.





Suasana duka begitu terasa di rumah yang berada di sebuah kompleks perumahan di kawasan kota bagian utara. Meski pemakaman jenazah sudah selesai dilakukan sejak lama, tapi suasana duka masih tetap terasa, awan mendung serasa menggelayut hingga beberapa hari lamanya. Beberapa karangan duka masih ada di depan rumah, beberapa tetangga masih membenahi tikar dan mengumpulkan barang-barang yang baru digunakan untuk acara doa bersama.

Sang pemilik rumah mengucapkan terima kasih dan memberikan makanan kepada mereka yang baru saja mengikuti acara doa bersama. Beberapa orang tetangga meninggalkan rumah duka dan bercakap-cakap. Termasuk Pak RT dan Pak Lis yang berjalan beriringan pulang ke rumah mereka.

“Kasihan sekali. Masih muda dan cantik, tapi sudah menjadi janda,” Pak Lis geleng-geleng kepala. Pria tua ini termasuk orang yang dituakan dan dihormati di kompleks dan teramat sering ngobrol dengan Pak RT. “Kok bisa-bisanya almarhum mendapatkan kematian yang begitu mengerikan ya? Padahal beliau terkenal baik dan tidak pernah ada masalah dengan warga sekitar. Memang sungguh umur tidak ada yang tahu.”

“Iya, Pak. Yang bikin kasihan itu almarhum juga meninggalkan anak yang masih kecil padahal setahu saya sang istri tidak bekerja.”

“Oh ya? Bukannya dulu istrinya jadi guru, Pak?”

“Setahu saya sudah agak lama keluar. Memang benar beliau lama jadi guru, Pak.”

“Oh begitu…”

Seseorang berjalan dengan tergesa-gesa sehingga menabrak Pak Lis. Begitu kencangnya tabrakan itu sampai-sampai Pak Lis hampir terjatuh, untung saja Pak RT memegang lengan Pak Lis sehingga posisinya masih setengah berdiri.

Pemuda yang menabrak Pak Lis justru melirik dengan tatapan galak seolah-olah ini kesalahan pria tua itu. Pak Lis tadinya hendak protes, tapi ia mengurungkan niatnya saat melihat lingkaran menghitam di sekeliling mata sang pemuda yang bagaikan mengenakan maskara.

“Heh! Jangan kurang ajar ya! Jalan ini lebar! Lihat-lihat kalau jalan…! Kami ini warga yang…” Pak RT menunjuk-nunjuk ke arah sang pemuda dengan emosi.

“Sudah, Pak. Sudah. Tidak perlu diperpanjang. Maaf ya, Nak… saya tadi tidak melihat kamu melintas,” justru Pak Lis yang minta maaf.

Orang itu hanya mendengus dan berlalu dengan cepat. Ia sempat bertatapan dengan Pak RT.

“Dasar pemuda tidak tahu diri, bukannya minta maaf malah marah-marah. Dasar anak muda jaman sekarang, sudah hilang semua tatakramanya.” Pak RT geleng-geleng kepala. “Awas saja nanti kalau bikin masalah. Langsung kita panggilkan yang berwajib sekalian.”

“Sudah, Pak. Sudah…”

Kedua orang tua itu berlalu sembari memperbincangkan kelakukan anak muda di jaman ini.

Pemuda itu sendiri tidak peduli. Dia berjalan dengan grusa-grusu menuju ke arah rumah duka. Dia sudah tidak peduli dengan segala macam omongan, tuduhan, ancaman, urusan receh, dan segala macam tetek bengek lainnya. Ia hanya punya satu tujuan… untuk menemui seseorang.

Karena suasana sedang agak ramai, pemuda itu dengan mudah menyelinap ke halaman rumah tanpa dikenali oleh banyak orang. Pemuda itu sampai di depan pintu, ia melongokkan kepala ke kanan dan kiri untuk mencari seseorang.

Ia menemukannya.

Orang yang ia cari adalah seorang wanita cantik yang saat ini tengah sibuk memunguti akwa gelas plastik yang bertumpuk di sudut-sudut ruangan. Memang kalau sudah jodoh tidak akan lari kemana. Sekarang sabar sebentar, tunggu beberapa saat lagi, tapi amati terus pergerakan targetnya.

Pemuda itu pun menunggu sebentar sampai suasana benar-benar sepi – benar-benar hanya menyisakan sang wanita jelita itu bebersih sendiri. Saudara yang lain sedang berpindah untuk membersihkan rumah tetangga lain yang digunakan sebagai tempat untuk memasak. Sang wanita jelita hanya menjadi satu-satunya orang yang tertinggal.

Pemuda itu pun tersenyum, tanpa melepas sepatu ia masuk ke dalam rumah, menutup pintu, mengunci, dan mendatangi sang wanita jelita. Dengan satu gerakan cepat, pemuda itu merenggut pergelangan tangan sang wanita.

“Heeeei!”

Perempuan cantik yang sedang mengumpulkan gelas plastik bekas itu protes. “Apa-apaan sih. Saya sedang…” Wajahnya berubah menjadi ketakutan ketika ia melihat siapa yang merenggut tangannya. “Re-Reynaldi!?”

“Apa kabar, cinta?”

Tidak perlu tebak-tebak buah manggis. Pemuda itu adalah Reynaldi dan wanita cantik yang baru saja menjadi janda itu adalah Asty.

Asty mencoba meronta tapi pergelangan tangannya tak bisa dilepaskan, cengkraman Rey bahkan sampai meninggalkan bekas menghitam.

“Setelah mendengarmu menjadi janda, aku sudah ingin datang ke sini sejak berhari-hari yang lalu, tapi badanku tiba-tiba saja menjadi sakit, baru sekarang aku bisa datang. Aku butuh asupan memek segar jadi aku langsung mencarimu. Wahai dewi pujaanku, ijinkan aku menjadi pengganti suamimu. Ijinkan aku setiap malam tidur denganmu untuk mengisi hari-harimu yang kini kosong. Jangan khawatir, kamu tidak akan pernah merasa sepi dan sendiri karena kita setiap malam akan bercinta sampai pagi.”

Plaaaaaaaak!

Asty menampar Rey. “Kurang ajar! KELUAR! KELUAAR KAMUUU!”

Rey hanya tersenyum, tak bergeming. Ia malah menjilat bibirnya sendiri dan memutar-mutar lidahnya. “Sekali lagi kamu berteriak, aku akan memukulmu pingsan, membawamu ke kamar, dan memperkosa tubuh indahmu itu sampai kamu tak bisa lagi berjalan dengan tegak. Kamu mau itu terjadi?”

“Ba-bajingan kamu, Rey! Kalau aku berteriak, semura orang akan datang dan kamu akan dihajar massa. Kamu tidak lihat aku sedang…”

“Dengar… tenangkan dirimu dan aku janji tidak akan ada siapa-siapa yang tersakiti. Aku hanya hendak mengajukan sesuatu padamu, terserah kamu mau menyetujuinya atau tidak.” Perlahan-lahan Rey melepaskan pergelangan tangan Asty. “Bagaimana?”

Asty mundur setelah Rey melepaskan tangannya, tapi ia tidak bisa kemana-mana. Tubuhnya tersudut ke tembok. “Rey… ja-jangan…”

“Aku bahkan tidak menyentuhmu. Kamu yang ribut sendiri sejak tadi.”

Wajah Asty memerah, ada benarnya juga. Sejak tadi Rey memang tidak memperlakukannya dengan kasar selain memegang pergelangan tangannya. Tapi ia jelas tidak boleh begitu saja percaya. Asty hanya harus mengulur waktu sampai tetangga dan saudaranya pulang kembali ke rumah ini.

“Bagaimana?” Reynaldi tersenyum dan mendekati Asty. “Bolehkan aku mengajukan sesuatu padamu?”

Asty menghela napas panjang. “Apa maumu?”

“Sejak tahu suamimu meninggal, aku tak pernah berhenti memikirkanmu dan si kecil. Aku bahkan merasa bertanggungjawab, dan menurutku sepertinya hanya ada satu solusi untuk masalah ini.” Rey meneguk ludah dan berlutut di hadapan Asty, “Menikahlah denganku, sayang. Aku akan membahagiakanmu. Aku pasti akan membuatmu bahagia.”

Asty terbelalak.

Wajah ibu muda jelita itu berubah menjadi merah karena marah dan emosi. “Apa sebenarnya yang ada di dalam kepalamu itu, Rey? Apa yang kamu pikirkan? Apa kamu sudah gila!? Makam almarhum suamiku belum lagi kering kamu sudah punya pikiran segila ini? Kamu sudah tidak waras ya?”

Rey mendengus kesal, ia berdiri dengan tangan tergenggam, tangan yang berubah menghitam. Ia menundukkan kepala, “aku sudah berusaha bicara baik-baik denganmu – aku bahkan kabur dari rumah kakakku karena ingin menemuimu. Kalau tidak kamu turuti, maka aku terpaksa mengambil jalur kekerasan. Aku tidak peduli kamu mau melawan atau ngapain, aku hanya ingin ngentotin kamu setiap hari.”

Plaaaaaak!

Sekali lagi Asty menampar Rey. “Jangan. Pernah. Berbicara. Kotor. Padaku. Lagi.”

“Aku hanya…”

Plaaaaaaak!

“KELUAR KAMU! KELUAR!”

Bkgh!

Satu pukulan mendarat di perut sang wanita jelita. Pukulan yang sebenarnya ringan, tapi memiliki daya lebih ampuh karena Asty tak memiliki perlindungan apapun. Si jelita itu pun tersungkur ke bawah. Wajahnya tak karuan, matanya melotot menahan kesakitan. Seluruh isi perutnya seakan mendesak hendak keluar dari mulut.

“Kamu sendiri yang berulah. Aku sudah mencoba berbicara baik-baik, tapi kamu tidak mau dan lebih ingin diperkosa. Karena kamu pengen diperkosa, maka jadilah. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya, aku harus ngentot sama kamu hari ini.” Rey mendengus dan mendekati sang janda jelita.

“Apa ada masalah di sini, Dek Asty?”

Terdengar satu suara penuh kharisma terdengar. Baik Rey maupun Asty sama-sama menengok ke arah awal suara. Ke arah satu sosok yang masuk melalui belakang. Rey memang terlalu nekat menyerang Asty di tengah ramainya suasana di rumah duka yang terbuka ini.

“Aku masuk dari belakang karena pintu depan ditutup.” Orang itu meletakkan buket bunga mawar indah di atas meja makan, dia berjalan dengan gagah untuk menemui sang janda muda dan sang durjana.

Reynaldi mendengus kesal karena rencananya lagi-lagi berantakan. Siapa lagi orang yang baru masuk ini? Kenapa dia mengenakan seragam? Sang durjana menggemeretakkan gigi dengan kesal. Bajingaaaaan! Apa tidak bisa ia memasukkan kontolnya ke memek Asty sekali saja tanpa gangguan? Ki pemuda yang sudah gelap mata itu langsung menyala dan tangannya menghitam.

Masa bodoh! Tidak dapat Asty, dia harus dapat tumbal.

Orang yang baru masuk mengernyitkan dahi dan menatap Rey dengan aneh. Sepertinya ia bisa merasakan ada tenaga dalam sedang bergejolak di tubuh sang durjana. Pria yang baru datang itu pun segera memasang kuda-kuda dan menyalakan Ki-nya sendiri.

“Siapa orang ini, Dek Asty? Njenengan tidak apa-apa?”

“Ma… Mas Ri.”

Rey tidak tahu kalau dia sedang berhadapan dengan komandan tim Garangan.





BAGIAN 5 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 6

no quote
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd