Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
Selamat datang kembali suhu semoga setelah bertapa ber-tahun".. Subes @killertomato bakal mendapat pangsit yg dahsyat hingga bisa membuat cerita ini makin mantap & menggairahkan untuk dibaca,
Terimakasih updatenya & ditunggu update selanjutnya
Lega rasanya atas comebacknya sang Begawan Zubez @killertomato......, yang dalam semedinya kemaren sudah siap juga akan segera menayangkan Part 9 dan 10 yang akan memperjelas :
1. Detail perseteruan Utara - Selatan serta status Om BMW apakah beraliansi dengan Utara, Selatan atau malah dengan Tim Garangan.
2. Sang Putra Mahkota si Cikal dari Kinan, kedua dari Nada dan ketiga dari Nada yang juga sepertinya anak Bu Asty juga dapat adik tiri.
3. Nasib orangtua Shinta serta liku asmara segiempat antara Amar, Deka, Dinda dan Shinta....., atau malah Rahu yang tertarik dengan Shinta.

Untuk Pangsit mohon maaf tidak ada karena Sponsornya adalah Cireng

Hanupis Zubez @killertomato

Salam sehat selalu
 
BAGIAN 9
SATU SISI




Di dunia ini, kita berjalan-jalan di atas hamparan neraka.
Sambil menatap bunga-bunga
.”
- Kobayashi Issa





.:: SEBULAN YANG LALU



Om BMW berjalan dengan langkah kaki cepat. Telpon genggamnya tidak berhenti berdering sejak dari bangsal tempat si Bengal dirawat sampai saat menyusuri lorong demi lorong menuju pintu gerbang halaman parkir rumah sakit. Ponselnya berteriak-teriak dan menggeliat ingin segera diangkat. Wajah sang pimpinan tertinggi Dinasti Baru yang biasanya tenang nampak sedikit berbeda hari itu – gerak langkahnya laju, tingkahnya grusa-grusu, jelas ia sedang terburu-buru.

Bunyi gaduh ponsel sejatinya memang mengganggunya, orang-orang yang ia lewati di sepanjang koridor tak berhenti memandangnya. Wajah-wajah tak dikenal menatapnya risih karena melihat sang pimpinan Dinasti Baru itu tidak segera mengangkat telepon yang nada deringnya terus saja menyala. Tidak hanya deringnya, tatapan mereka pun membuat om BMW gusar gundah gulana.

Gusar akan melahirkan rasa sebal, sebal menjadi kesal.

Kesal karena orang-orang salah sangka. Bukan dia tak ingin mengangkat telepon yang pasti sangat penting itu, tapi dia harus berpikir dan berpikir dan berpikir, berpikir berulang-ulang demi menentukan sikap. Nasib Dinasti Baru kedepannya akan ditentukan keputusannya hari ini. Bukan perkara mudah.

Wes mbuhlah.

Akhirnya om BMW mengangkat telpon yang sepertinya berasal dari salah satu prajurit Unit Slayer Biru - anak buahnya om Kimpling. Om BMW mulai menekan tombol hijau, menerima telepon, membuka jalur percakapan, dan mendengarkan suara teriakan demi teriakan dari ujung sana.

Ha-haloooo!? Halooooo!?” Suara panik terdengar. “Boooos? Boss??

“Aku di sini. Apa yang terjadi? Posisi di mana?”

Ijin lapor, pimpinan!! Posisi kami sedang di bawah… Je-Jembatan Tjinta… di… di… bawah jembatan… JXG sudah datang, mereka mau jalan ke utara, Bos Kimpling mencegat. Nohara SSX datang dengan pasukan bermotor. Kami melawan, semua turun, adu banteng. Meski kami unggul jumlah, tapi kalah kemampuan, satu persatu anggota pasukan kami bertumbangan, saya tidak… saya tidak melihat Bos Kimpling dimanapun... mungkin sedang menghadang Nohara. Pasukan mereka ngotot… terus merangsek…

Tanpa henti anak buah om Kimpling itu bercerita tanpa jeda dengan terengah-engah dan makin lama makin lirih. Mungkin ia sembunyi, mungkin ia panik. Teriakan dan bentakan marah terdengar di belakang.

Mereka kuat sekali… apa yang harus kami…

Klk.

Om BMW menatap ponselnya sembari menggemeretakkan gigi. Pria yang sedang gusar itu lantas mendengus kesal. Sialan, cepat benar Pak Zein mengerahkan pasukannya. Kalau di gerbang timur sudah digenjot, ada kemungkinan gerbang barat juga akan mendapatkan serangan yang sama. Apakah Z akan langsung all out?

Tidak mungkin.

Bukan gayanya. Seperti yang dulu pernah dilakukannya, pertarungan yang akan diledakkan oleh Pak Zein adalah pertarungan gerilya yang makin lama makin besar, bukan serangan besar-besaran sekali jadi – kecuali keadaan menjadi terlalu parah barulah gung ho dilakukan. Taktik Pak Zein sebenarnya jelas, dia akan merebut satu demi satu wilayah dan mempersempit wilayah gerak sang lawan, meskipun itu harus mengorbankan anggotanya.

Kembali ponsel pimpinan Dinasti Baru itu berdering. Kali ini dari salah satu anak buah Unit Slayer Merah. Om BMW kembali mengangkat teleponnya.

Yo. Ngomongo. Apa yang terjadi? Posisi di mana?”

Bos Besar! Bos Besar! Kirim pasukan! Kami tidak akan bisa bertahan! Mereka sangat banyak! Mereka hendak menembus barikade, motor-motor sudah kami atur berjajar, tapi tidak akan bertahan lama, ada hongib juga datang… kami terjepit… kami tidak bisa…

“Di mana kalian? Mana Pakdhe Nur?”

Bos Nur sedang menerjang JXG, di paling depan. Kami butuh pasukan tambahan, Bos. JXG tiba-tiba saja datang bak air bah. Mereka entah ada berapa motor dan mobil. Kami terdesak. Ah itu! Terlihat! Bos Nur sedang ada di… sedang ada di… Booos! Booos!! Mereka dataaaang!!

Klk.

Belum sempat memberitahukan lokasi dan posisi, sambungan om BMW dengan sang anggota Unit Slayer Merah sudah terputus. Mirip seperti yang terjadi tadi dengan Unit Slayer Biru sebelumnya.

Kakekane!!! Gaplek! Suloyo iki. Bakalan repot.

Dua sambungan telpon terputus mendadak saat pasukan JXG menyerang. Jelas bukan pertanda yang bagus. Selain dua unit pasukan itu, Dinasti Baru memang masih punya Empat Belati, armada geng motor, dan beberapa unit lain yang bisa dikerahkan untuk menjaga akses utara selatan. Om Kimpling di timur dan Pakdhe Nur di barat jelas sedang butuh bantuan.

Tapi yang mana yang harus dibantu terlebih dahulu dan siapa yang akan membantu? Siapa yang akan dia kirimkan? Om BMW tidak ingin gegabah mengirimkan pasukan, mereka harus berstrategi supaya dapat mengirimkan orang yang bisa menghadapi lawan yang tepat.

Tapi siapa orang JXG yang menyerang kemana sama sekali tidak jelas. Bagaimana sebaiknya ia mengatur penjagaan di perbatasan? Siapa yang harus berhadapan dengan siapa?

Terlalu cepat. Ini semua terlalu cepat.

Sial memang, nafsu sekali sepertinya Pak Zein mengerahkan pasukannya ke utara. Kenapa? Kenapa sedemikian bernafsunya dia? Apakah ada alasan selain melampiaskan kemarahan pada om Janu dan si Bengal Nanto? Sepertinya pengerahan pasukan seperti ini terlalu berlebihan untuk hanya sekedar pembuktian kekuatan bukan? Apa alasan Pak Zein menyerang utara sebenarnya? Jangan-jangan kasus si Nanto hanyalah pemicu yang sebenarnya tengah ia tunggu-tunggu? Nanto sebenarnya hanyalah trigger dari bom waktu yang memang sudah waktunya meledak.

Jadi kenapa? Apa alasan lain yang membuat Pak Zein sangat murka?

Tebak-tebak buah manggis om BMW sepertinya harus menunggu waktu karena kali ini dia didekati oleh seseorang yang berdiri di belakangnya.

Orang itu lantas mengajukan pertanyaan, “Aku baru saja mendengar laporannya dari petugas di lapangan. Sepertinya invasi sudah dimulai. Barbarians is at the gate. Bagaimana Dinasti Baru menghadapinya?”

Om BMW membalikkan badan saat mendengar suara di belakang tubuhnya. Ada sosok seorang pria yang berdiri sembari berkacak pinggang – Ridwan Danuri, Kapten Ri, sang pimpinan Tim Garangan, pasukan khusus Special Crime Unit kota yang dengan sengaja hendak merecokinya dengan parafrase-parafrase kelas kampret.

“Ya sampeyan mestinya sudah mendengar juga kan dari petugas lapangan Tim Garangan? Kondisi di kota sedang sangat mengkhawatirkan, jadi aku harus segera mengerahkan pasukan untuk menyelamatkan sayap timur dan barat.”

“Tidak perlu juga sebenarnya.” Kapten Ri mencondongkan bibir, ia melesakkan tangannya ke dalam saku celana. “Tidak perlu mengirimkan pasukan. Kalau sampeyan mau mendengarkan, sesungguhnya ada cara lain untuk mengatasi masalah ini.”

Om BMW menatap Kapten Ri dengan pandangan mata tajam. Hah? Orang ini gimana sih? Apa ya dia tidak tahu kalau saat ini pasukannya sedang mati-matian menahan JXG? Dia pikir ini sekedar taktik politik di atas petak catur?

“Memangnya saya sedang guyon?! Saya tidak main-main dengan sampeyan! Ini serius! Anak-anak Dinasti Baru sedang mempertaruhkan nyawa di wilayah tengah untuk menghadang JXG! Anak buah saya sedang mati-matian bertahan! Mati-matian! Lengah sedikit bisa saja mati beneran! Sebaiknya sampeyan punya alasan untuk menghentikan saya saat ini, karena saya tidak akan berhenti hanya untuk mendengarkan celotehan aparat yang tidak bertindak! Kenapa hongib tidak menurunkan armada kesana?”

“Pasukan kami sedang diterjunkan untuk mengamankan, tenanglah. Jangan emosi dulu sampeyan itu, saya benar-benar ada ide.”

“Saya harap sekali ide sampeyan itu begitu cemerlangnya sampai-sampai menghalangi tangan saya untuk mencekik leher sampeyan!”

Kapten Ri tersenyum sinis, dia maju untuk menantang om BMW. Mata mereka saling tajam menatap. Kapten Ri lagi-lagi mencibir. “Jangan lupa dengan siapa anda berhadapan. Begini-begini saya ini pihak yang berwajib. Cekik-mencekik? Ada hukum yang bakal bicara. Anda berani mencubit saya dengan genit, penjara jawabannya. Tindakannya sudah ditentukan oleh undang-undang.”

“Terserah sampeyan lah. Yang jelas anak-anak Dinasti Baru sedang dalam bahaya besar. Seorang BMW tidak bisa tinggal diam! Saya harus menyelamatkan mereka, harus mengerahkan pasukan ke barat dan timur dan saya tidak tahu kenapa saya terus menerus ngobrol ga guna sama sampeyan! Percakapan ini membuang waktu saja! Cih!” Om BMW membalikkan badan dan berjalan meninggalkan Kapten Ri.

“Sekali lagi… ada cara lain.” Kapten Ri berucap sedikit lantang. “Tidak perlu sampai mengirim pasukan!”

Om BMW tidak peduli dan terus melangkah.

Kapten Ri berjalan perlahan ke depan, seperti hendak mengejar tapi tidak mengejar. Dia tepat berada di belakang om BMW. “Bagaimana kalau Dinasti Baru tunduk pada JXG?”

“Serangan JXG tidak hanya akan sekali ini saja. Kita semua tahu pertempuran JXG lawan QZK akan berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Darah dendam sudah terlalu dalam. Saat mereka bertikai terlalu lama, alasan kenapa bertarung menjadi blur, menjadi kabur. Apa yang semula sebenarnya hanya permasalahan antara ketua kelompok lambat laun bakal berubah menjadi penegakan bendera wilayah dan perebutan kekuasaan. Ketika berbicara mengenai perebutan wilayah, saat itulah Dinasti Baru terancam. Kami tidak bisa membiarkan pertempuran besar yang akan berlangsung lama itu terulang kembali.”

Kapten Ri berjalan di samping om BMW. “Sampeyan tahu bendungan kan? Tahu apa itu dam kan? Sampeyan kan tahu dam itu digunakan untuk menahan aliran air. Ketika air yang ada di dalam bendungan sudah sangat tinggi, maka dam sudah tak mampu lagi menahan, apa yang sebaiknya dilakukan?”

Om BMW berhenti melangkah dan terdiam. Perlahan-lahan wajah paniknya berubah menjadi tenang dan ia pun tersenyum, ia berbalik kembali untuk menatap wajah cengengesan Kapten Ri. “Sampeyan memang bajingan, Kapten. Aku tahu apa yang sampeyan maksudkan.”

“Kalau memang sudah tidak bisa dibendung ya dialirkan. Tentu sampeyan paham, masalah yang sedang kita hadapi sekarang ini bukan masalah si bendungan atau si dam. Ini masalah aliran air yang teramat deras yang ingin mengalir dari selatan ke utara. Kalau dibiarkan saja air bisa membludak dan bendungan bisa jebol. Jadi apa tugas penjaga bendungan? Ya membuka pintu airnya. Begitu saja kok repot. Jaga dan kawal mereka, kasih akses melalui satu pintu atau dua. Atur kerjasama, jangan konfrontasi, Dinasti Baru tidak akan mampu bertahan jika digencet atas bawah.” Kapten Ri menunjuk ke arah ponsel yang sedang dipegang oleh om BMW. “Sampeyan tahu siapa yang harus dihubungi. Sampaikan salam dariku. Bilang saja kalau kondisi kota menjadi tidak terkendali gara-gara ulahnya, maka beliau menjadi orang pertama yang akan dijemput Tim Garangan. Aku akan menyampaikan hal ini secara personal saat ini juga, bilang saja pada beliau untuk menunggu kedatanganku.”

“Oh?”

Kali ini Kapten Ri yang berjalan melalui om BMW dengan aura yang berbeda dari sebelumnya. Wajah pria itu menjadi terlihat lebih tegas dan berwibawa. “Kita tinggal di negara hukum. Tidak ada seorang pun yang lebih tinggi dari hukum yang berlaku di negeri ini.”

Om BMW tersenyum.

Tangan sang pimpinan Dinasti Baru memencet-mencet tombol di layar sentuh. Nada tunggu terdengar cukup lama. Tidak ada yang mengangkat. Apa yang sedang dikerjakan si busuk itu sekarang?

Terdengar suara terima.

“Halo Bos.” Om BMW berusaha sesantai mungkin.

Apa maumu? Aku tidak punya banyak waktu.

“Hehehe, sabar dulu. Ini terkait situasi yang sama-sama tidak menguntungkan kita berdua. Clash sudah terjadi, darah sudah tertumpah, tapi masih belum terlambat untuk meredamnya. Aku hendak mengajukan satu penawaran. Heheh. Aku yakin njenengan tertarik.”

“Hhh…”

Om BMW tersenyum pahit.





.::..::..::..::.





Pertempuran berlangsung dengan sengit dan frontal.

Pasukan Dinasti Baru berusaha keras menghadang pasukan JXG yang hendak melaju ke utara. Masyarakat yang tadinya menonton barisan motor datang saling berhadangan, kini kocar-kacir karena tawuran terjadi. Para pria berangasan saling hajar. Motor yang hendak melaju di bawah jembatan balik arah karena tidak mau ambil resiko. Beberapa orang polisi datang dari pos terdekat tapi kewalahan karena geng motor yang bertarung lebih banyak dan sangat garang. Yang berwajib pun mundur dan meminta bantuan lebih banyak untuk segera datang. Prioritas mereka adalah menyelamatkan warga yang bisa menjadi salah sasaran.

Di sisi Dinasti Baru ada unit Slayer Biru pimpinan om Kimpling, dan di sisi JXG ada pasukan yang dipimpin oleh Nohara - salah satu dari sepuluh anggota unit Shinsengumi X atau SSX. Pertemuan mereka di bawah Jembatan Tjinta menandai berkobarnya kemelut yang akan melanda kota.

Tubuh-tubuh mulai berjatuhan, kulit terkoyak, darah muncrat, gigi tanggal, tulang patah. Jika ada dendam lama mungkin terbalaskan, tapi pasti akan muncul dendam baru tanpa bisa ditahan. Ini bukan hanya sekedar pertarungan antar geng. Ini pertarungan penguasaan kota. Siapa yang unggul, akan menjadi penguasa wilayah tengah.

Kecuali ada perintah dari pimpinan yang mengubah alur pertempuran.

Om Kimpling terengah-engah, keringatnya bercucuran. Dia tertawa tertahan. Mungkin usianya sudah terlalu tua untuk urusan anak-anak muda seperti ini. Unit-nya, Unit Slayer Biru atau lebih ngetop dengan sebutan NWO pernah menjadi palang pintu terkokoh Dinasti Baru dan harus tetap menjadi seperti itu – New World Order tidak akan menyerah dari Shinsengumi X.

Martoyo Kimpling melepas jaketnya, melemparkannya ke samping, dan melangkah dengan tegap ke arah lawan. Di kanan kirinya, tubuh-tubuh berjatuhan. Tak jauh di depannya, ada pertarungan satu lawan satu. Anggota NWO lawan JXG.

Prajurit NWO kewalahan. Dia berusaha bertahan di bawah gempuran, terkunci tubuh sang lawan. Tangannya menyilang di wajah yang sudah remuk redam. Darah mengucur dari hidung dan bibir. Beberapa pukulan lagi dan dia tak akan sanggup bertahan. Sang anggota JXG bersiap-siap mengayunkan hujan serangan untuk yang mengakhiri perlawanan. Dia sudah mengangkat lengan kanannya untuk menghajar sang anggota NWO. Senyuman menyambangi wajah.

“Selesai sudah,” ujar sang anggota JXG. “Maaf ini bukan urusan personal.”

Lengan itu mengayun.

Lalu tertahan di udara.

Pergelangan tangannya dicengkeram oleh satu tangan yang kuat. Anggota JXG itu terkejut dan menatap ketakutan saat melihat satu tato gurita merah menjalar di lengan orang yang saat ini memegang tangannya. Ia melihat wajah seorang pria yang sudah banyak makan asam garam. Tubuhnya gagah, kumis tebal menutup lingkar bibir hingga ke janggut, slayer biru menutup kening, rambut panjang hitam perak dikuncir dengan ikat kepang temali.

Sang pimpinan New World Order mendengus, “Apa maksudmu selesai sudah? Kita bahkan belum mulai.”

Satu sambaran kencang melemparkan tubuh sang anggota JXG melayang jauh hampir dua meter jaraknya. Sengatan Lebah Maut menghunjam ke dagunya, dua gigi terlepas dan pandangan menjadi gelap. Entah apakah anggota JXG itu kemudian mendarat dengan sadarkan diri atau tidak.

Tangan Om Kimpling mengulurkan tangan dan segera disambut oleh anggotanya yang kemudian berdiri, sang pimpinan Unit Slayer Biru itu menganggukkan kepala. “Kamu tidak apa-apa? Siapa namamu?”

“Ti-tidak apa-apa, Bos. Terima kasih. Na-nama saya Uyik. Sa-saya masih kuat… saya akan bertahan dan membantu yang lain untuk…”

“Membantu apa? Bikin nasi goreng? Bikin babat gongso? Rupamu wes koyo telek jaran kepidak ban becak. Mundur dulu sana! Kamu sudah kepayahan, daripada mati lebih baik bantu aku. Lihat sela-sela gelap di antara toko itu? Masuk ke sana dan telpon Bos Besar – bilang saja aku yang menyuruhmu. Sembunyi sampai semuanya aman. Sampaikan ke Bos kalau situasi gawat dan kita butuh backup. Laporkan kalau kita saat ini sedang terdesak, pasukan JXG datang silih berganti, ini sudah gelombang ketiga. Kita tidak akan bisa bertahan. Minta bantuan tambahan pasukan pada Bos BMW atau cari solusi lain. Aku tidak bisa menghubungi beliau karena harus membantu yang lain.”

“Ba-baik, Bos…”

Anak buah Om Kimpling itu pun segera bergegas dan berlari menuju arah yang telah ditunjuk sang pimpinan. Om Kimpling sendiri mulai memindai situasi, memang apa yang dia ucapkan barusan beralasan, pasukan Dinasti Baru sepertinya sudah tidak sanggup menahan gelombang kedatangan JXG yang silih berganti seperti ini. Bos Besar sebaiknya segera mengirimkan pasukan pelapis untuk mendukung mereka di sini.

Suara gaduh kembali terdengar, tubuh-tubuh anggota Dinasti Baru melayang. Pasti ulah Nohara.

Pria gagah itu mendekati salah satu anggota Dinasti Baru yang baru saja terlempar. Ia terkapar dan mengerang kesakitan. Om Kimpling berjongkok dan memeriksanya. “Bagaimana keadaanmu? Siapa namamu?”

“Sa-saya masih bisa… Bo-Bos… Ma-masih kuat…”

“Nama?”

“Kinoy.”

“Noy. Lihat mataku.” Om Kimpling mengamati sang anak buah. “Tidak. Kamu jelas tidak kuat, kelihatan kok. Sudahlah, tidak perlu mempertaruhkan nyawa. Not worth it. Mundurlah dan hubungi teman-teman New World Order lain yang masih berkeliling kota. Panggil mereka dan kumpulkan semuanya di sini. Kita buktikan kalau jumlah kita juga tidak sedikit. Saat ini kita boleh terdesak, tapi tidak untuk waktu yang lama. Lihat celah di dekat warung Burjo itu? Masuk kesana, jalan lurus terus masuk ke pelosok-pelosok kampung, jangan sampai terkejar. Hubungi yang lain. Paham?”

“Ba-baik, Bos!” orang kedua itu pun diselamatkan oleh sang pimpinan. Dia segera pergi ke arah yang ditunjuk oleh om Kimpling.

Setelah orang kedua diminta menyingkir, kembali om Kimpling berjalan ke depan. Targetnya? Nohara. Dia tumbang, pasukan JXG pasti kocar-kacir.

Dua orang JXG datang menyerang dari kanan dan kiri. Mereka mengira bisa menyergapnya. Sang tetua tersenyum, ia memutar kedua tangannya dan memilin sesuatu di udara, seperti sedang merajut. Dengungan terdengar dari bibirnya. Telapak tangannya dibuka ke atas, lalu dikatupkannya ujung atas jari tengah dan ruas dalam jempol. Kedua jemari baik di tangan maupun kiri seakan-akan seperti hendak melemparkan kelereng dari jemari.

Aura Ki besar mulai terhimpun. Sang lawan tidak tahu hal itu.

Jari-jemari tangan om Kimpling pun segera beraksi! Ia membentangkan tangannya ke kanan dan ke kiri.

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Bak berondongan peluru berkecepatan tinggi, sentakan Ki berukuran kecil mendorong tubuh kedua orang JXG yang langsung tersengal-sengal, berteriak-teriak kesakitan, dan akhirnya terjengkang ke belakang. Tubuh mereka ibarat ditusuk oleh ribuan jarum suntik yang menyerang bersamaan. Itulah jurus sentakan Ki yang meskipun berukuran kecil tapi memiliki kuantitas mengerikan seperti berondongan Gattling Gun. Jurus andalan sang pimpinan NWO, Amukan Sejuta Lebah.

Tidak sempat mengelak. Kedua anggota JXG terkejut karena tidak memperkirakan kemampuan sang tetua NWO. Seluruh tubuh mereka terpapar tembakan. Mulai dari paha, dada, pinggang, selangkangan, kepala, leher, pundak. Kedua anggota JXG yang terkena sengatan langsung terlempar ke belakang, tersentak ke tembok beton jembatan, terbanting ke depan, dan terkapar tak berdaya.

“OM KIMPLING!!!!”

Terdengar teriakan kencang dari arah kiri.

Nohara.

Aura Ki terasa. Sang pimpinan NWO langsung menunduk ke bawah, satu sabetan tangan yang kencang melewati posisi di mana sebelumnya kepalanya berada. Beruntung dia dapat turun tepat waktu.

Kibasan serangan si Jepang hanya menyasar rambutnya.

Konyol sekali.

Menyerang kok berteriak-teriak, ya jelas ketahuan lah! Itu Namanya memberitahukan lawan di mana posisi sendiri!

Dengan kecepatan tinggi, om Kimpling memutar tubuh pada saat yang tepat. Pria itu kini berhadapan langsung dengan dada Nohara yang melintas di atas tubuhnya. Sang Tetua bergerak dengan cepat, ia mengeluarkan suara dengungan kembali. Tangannya terkepal dengan pusaran tenaga Ki terpusat dalam genggaman. Lecutan pukulan kencang dilontarkan ke atas, tepat ke dada si Jepang yang terlanjur melayang.

Blddddmmmmmmmhhhh!

Sengatan Lebah Maut
kembali beraksi. Dada Nohara terhantam, mulutnya langsung memuntahkan darah dan tubuhnya terlontar ke atas sebelum terbanting dengan keras ke aspal jalan. Pemuda itu rupanya tidak menyangka om Kimpling masih punya kekuatan dan kecepatan seperti seorang muda. Usia memang hanyalah sekedar angka.

Om Kimpling menggunakan tangannya sebagai tumpuan. Ia meloncat ke atas dan kembali berdiri dengan gagah. Sang tetua lantas memutar tangannya dan menyiapkan Ki kembali di kedua telapak tangan. Kuda-kuda kembali digelar. Masih belum menyerah? Majulah. Tidak semudah itu menundukkan Martoyo Kimpling si Gurita Merah!

“SEMUANYAAAAAAAA!! HENTIKAAAN!! HENTIKAAAAAAAN!! HENTIKAAAAN!!”

Terdengar suara orang berteriak-teriak. Awalnya hanya satu orang, lalu akhirnya dua, tiga, empat, dan akhirnya baik JXG maupun Dinasti Baru berhenti bertikai dan bertempur, mereka menatap ke arah suara. Ada beberapa orang yang melambaikan tangan mereka. Orang-orang yang tadinya bertempur, beberapa dari Dinasti Baru dan beberapa lagi dari JXG.

“HENTIKAN SEMUANYAAAAAAA!!! HENTIKAN SEMUAANYAAAAAAAAA!! GENCATAN SENJATAAA!!!”

Om Martoyo Kimpling mendengus dan meludah ke samping.

Jinguk su. Gencatan senjata? Apa-apaan!? Gencatan senjata apaan lagi sekarang?! Bodohnya.

Om Kimpling melirik ke arah Nohara yang sedang terengah-engah dan menatap ke orang-orang yang tengah mengangkat tangan mereka. Ia pun akhirnya menatap ke arah orang-orang itu. Dua diantaranya adalah Santoso dan Genjik – anggota NWO. Santoso berusaha memberitahu kawan-kawannya untuk menghentikan pertikaian. Kenapa dia berteriak-teriak seperti orang gila begitu? Apa ada perkembangan baru yang tidak dia ketahui?

Genjik berlari-lari ke arah Om Kimpling. “Bos… Bos…! Kabar baru dari pusat. Kita tidak akan melawan. Kita akan membiarkan JXG lewat. Sudah diputuskan. Dua pimpinan sudah setuju. Kita tidak akan melawan JXG, kita akan membiarkan mereka lewat. Kita tidak perlu melawan.” Seakan-akan tidak percaya apa yang dia ucapkan sendiri, Genjik mengulang kalimat-kalimatnya.

Genjik memberikan ponselnya pada om Kimpling. Ada pesan yang disampaikan oleh si Jebe melalui grup WA kelompok. Pesan yang menyebutkan bahwa pertikaian harus dihentikan karena Dinasti Baru tidak akan menghalangi laju JXG dan memberikan jalan pada mereka dengan syarat JXG hanya diperbolehkan melenggang melalui gerbang timur dengan pengawasan ketat dari Dinasti Baru.

Om Kimpling tersenyum dan geleng kepala. Apa-apaan ini? Membiarkan JXG lewat? Jadi Bos BMW sudah bernegosiasi dengan Pak Zein? Mereka dari New World Order yang sudah terlanjur ancur-ancuran ini harus membiarkan saja orang-orang selatan ini lewat dengan pongahnya? Jinguk su. Perkembangan yang membagongkan. Jadi buat apa sedari tadi mereka bertaruh nyawa? Konyol sekali.

Nohara mendekati om Kimpling dengan tertatih-tatih dan memegang dadanya yang berasa remuk. Ia menatap sang tetua dengan seringai di wajahnya. “Bagaimana, apakah kami boleh lewat sekarang? Palu sudah diketuk bukan?”

Om Kimpling menatap Nohara dengan sengit, lalu meludah. “Bosok rupamu, Le.”

Nohara tersenyum dengan sinis. “Bukan aku yang meminta ini terjadi, Om. Jika aku yang mengatur semuanya, aku lebih memilih habis-habisan melawan kalian. Unit Slayer Biru sangat mengerikan, tidak mudah menembusnya.”

Taek kocheng oren, kowe su. Ya sudahlah. Lewat!”

“Terima kasih.” Nohara memberikan tanda pada rekan-rekannya untuk menaiki motor dan segera melaju ke utara. “Sekali lagi terima kasih, Om Kimpling.”

“Jangan lupa upetinya. Sekali-kali bawakan aku ramen, oke?” Om Kimpling mencibir dengan kesal dan berjalan ke arah pasukannya. “NWO!! Berikan jalan untuk semua anggota JXG!! Kita atur barisan di sisi jalan! Tutup jalur ke Jalan Oslo! Biarkan mereka lewat ringroad! Kalau mereka nekat lewat tengah kota, kita hajar mereka lagi!!” teriak Om Kimpling.

“HOOOOOO!!” Teriakan bergemuruh dari anggota Dinasti Baru yang tersisa.

Hanya dengan sekali arahan, NWO bergerak dan membentuk satu barisan. Meski badan mereka hancur lebur karena pertempuran percuma barusan, tapi mereka tidak akan melawan perintah dari sang Tetua Gurita Merah.

Nohara berjalan melewati om Kimpling dan menganggukkan kepala memberi hormat. “Salam kami untuk Bos BMW. Sepertinya beliau masih berpikiran jernih. Heheh.”

“Jalan aja, Su. Jangan memancing kami lagi,” ujar om Kimpling. “Masih belum cukup aku kasih kado buat dadamu? Mau dikirim buat kepala juga?”

Nohara terbatuk kecil saat terkekeh. Serangan Om Kimpling benar-benar membuatnya kesakitan, dadanya masih terasa nyeri. Sekali lagi ia mengangguk dan berlalu. Semua anggota JXG sudah naik ke motor mereka. Yang sakit dibawa pulang atau ke rumah sakit, yang sehat melaju kembali ke utara. Misi masih belum tuntas.

Jajaran motor demi motor berlalu melewati anggota Dinasti Baru yang hanya bisa diam dalam geram.

Wong-wong edan. Beginilah kalau orang gila diberi panggung.” Om Kimpling kembali meludah ke tanah. Ia mencari-cari jaketnya. Si Uyik yang tadi diselamatkan oleh om Kimpling berlari kecil sambil menahan nyeri dan membawakan jaket sang tetua Gurita Merah. Wajahnya lebih cerah dan segar sekarang.

“Makasih, Le. Kamu bukannya yang tadi ya…?” om Kimpling memakai kembali jaketnya. “Sopo mau jenengmu, halah. Wes tuwo akeh laline. Bener-bener lupa sama nama kamu…”

“Saya Uyik, Bos Kimpling. Terima kasih tadi sudah menyelamatkan saya. Saya berhutang budi pada Bos. Entah seperti apa nasib saya sekarang.”

“Hmm… ya ya… Uyik ya… beuh lali aku jenengmu… yang satu lagi tadi siapa ya? Dia selamat tidak ya?” Om Kimpling memandang berkeliling, tapi tidak menemukan wajah salah satu pemuda Dinasti Baru yang tadi ia selamatkan juga. Mungkin dia sudah dibawa ke rumah sakit atau bersembunyi di mana gitu. Ya wes lah.

Om Kimpling menepuk pundak Uyik dan memberi kode pada Genjik dan Santoso untuk mengambil alih komando di lokasi. Tetua Gurita Merah kembali ke arah angkringan yang kini sudah porak poranda. Ia membenahi kursi panjang yang tergeletak, menegakkannya, lalu mencari-cari sesuatu di dalam gerobak.

Ia menemukannya. Satu bungkus rokok.

Om Kimpling mencabut satu batang, menarik korek yang masih tergantung dengan seutas tali di ujung gerobak, dan menyalakan rokok itu. Ia duduk jegangan di atas kursi sembari menghela napas panjang.

Bajingan su. Antiklimaks.

Dengan begini sebenarnya Dinasti Baru berhasil atau gagal? Taek kocheng tenan. Kawasan utara akan menjadi ramai setelah ini. Pasti banyak masalah yang akan segera menghampiri mereka di wilayah tengah. Tidak mungkin JXG hanya akan melewati wilayah dengan sebegitu mudahnya. Apalagi tujuan Pak Zein masih abu-abu.

Wilayah tengah bukan sekedar jembatan, tapi juga pulau harta. Baik JXG maupun QZK pasti akan datang. Mereka pasti berebut kawasan ini cepat atau lambat.

Membiarkan JXG lewat memang jadi solusi sebab akibat, tapi ini bukan berarti Dinasti Baru selamat. Justru sebaliknya, kalau tidak berhati-hati mereka bisa tamat. Ini bukan penyelesaian, ini penundaan sesaat.

Asap mengepul dari bibir om Kimpling.

Tak jauh posisi dari saat ini sang Tetua Gurita Merah itu berada, sesosok pria yang sejak tadi mengamati jalannya pertarungan tersenyum. Bukan hanya om Kimpling sepertinya yang kecewa pertarungan berakhir antiklimaks.

“Kenapa sad ending ya? Heheheh. Sial. Seharusnya mereka mati-matian dulu di sini baru ke utara,” ujar sang pengintai.

“Hkkhghhh… khhhhh…”

Kinoy yang tadi diselamatkan oleh om Kimpling, ternyata tengah meregang nyawa dalam cekikan tangan si pria yang sejak tadi mengintai dengan tenang di balik kegelapan itu. Kinoy mencoba meronta, tapi tangan yang kini mencekiknya terlampau kuat dan perkasa. Mereka bukan lawan seimbang.

Orang itu tersenyum sadis.

“Hehehe. Maafkan aku. Tapi kamu masuk ke wilayah yang salah tadi. Kebetulan kamu bertemu denganku di sini. Kalau saja kamu masuk ke lorong yang lain, kamu tidak akan menerima nasib buruk seperti saat ini.” Si pencekik itu mengangkat tubuh Kinoy dengan satu tangan saja. Menempelkan tubuh anggota Dinasti Baru bernasib malang itu menyusur tembok. Kakinya tak lagi menggapai tanah. Ia benar-benar terangkat dengan mudahnya. “Aku sebenarnya tidak tertarik dengan politik. Aku tertarik dengan kekuatan. Lagipula, orang yang cerdas… aku ulangi lagi… orang yang cerdas… tahu kemana dia harus berpihak. Situasi ini harus dilaporkan ke orang-orang yang tepat.”

Sang pencekik mengakhiri kalimatnya dengan mengedipkan mata.

“Hkkhghhh… khhhhh…”

Saat tubuh Kinoy terangkat dengan tangan kanan, tangan kiri si pencekik beraksi, berputar dengan kecepatan tinggi sembari mengeluarkan aura gelap lalu membentuk cakar dan dengan satu sentakan kencang menancap di dada sang pemuda.

“Hkkhghhh… khhhhh…”

Kinoy bagaikan disedot tenaga dan jiwanya, semua saripati hidup dialirkan ke dalam tubuh sang penyerang yang merem melek kemasukan energi menyegarkan.

“Aaahhh… ya… ya… ini yang namanya tumbal yang lezat. Heheheh. Jangan khawatir, kematianmu tak akan sia-sia. Kamu akan menjadi salah satu tumbal yang membuat aku jadi orang terkuat di kota ini. Tentu saja itu bisa membuatmu bangga bukan? Hahahaha… ya… ya…”

“Hkkhghhh… khhhhh…”

Kinoy makin tak tahan. Matanya mendelik, tenaganya sudah sampai ke ujung, napasnya sudah tak lagi bisa ditarik. Ia benar-benar sudah mencapai akhir. Bibirnya hendak mengucapkan maaf kepada orangtua dan adiknya yang tak lagi bisa ia temui, tak sempat ia buat bangga, tak sempat ia berikan kebahagiaan. Ingin ia mengucapkan selamat tinggal, tapi rasa-rasanya ia sudah tak sanggup lagi untuk…

Kinoy menghembuskan napasnya. Tubuhnya lunglai. Jiwanya sudah naik.

Nah begini baru enak.

“Jangan sembrono, ini juga sambil sembunyi-sembunyi.” Sang pencekik terkekeh saat berbincang dengan sosok astral dalam jiwanya.

Pria mengerikan itu bahkan tak menyadari kekuatannya bisa terus tumbuh dan berkembang seperti sekarang, ia bahkan tak paham kalau ia bisa menjadi lebih kuat dan lebih kuat lagi. Ilmu hitam memang menakjubkan. Tak butuh waktu lama untuk meraih kejayaan. Dia juga tidak paham, apa yang akan menimpanya kelak dengan mempertahankan ilmu terlarang.

Tubuh Kinoy dilemparkan ke samping. Sudah tak bernyawa dengan luka di dada yang dengan cepat menghitam, nyawanya sudah tak mungkin diselamatkan. Sang pencekik tersenyum puas, meludahi Kinoy, naik ke sebuah motor Tiger, lalu bergegas meninggalkan tempat itu dari sisi yang lain.

Untuk sesaat wajah tampannya terlihat melalui spion.

Ada garis hitam di sekeliling mata, kulitnya pun semakin pucat. Dia menatap spionnya sendiri dan tersenyum. Apa-apaan ini? Jangan-jangan dia lama-kelamaan berubah menjadi menjadi monster?

Bangsat.

Tak apalah jadi monster, asal bisa menjadi kuat.

Reynaldi tertawa saat mengenakan helm, menggeber gas, dan melesat meninggalkan lokasi.





.::..::..::..::.





Dua serangan muncul bersamaan dari arah kanan dan kiri.

Tidak masalah.

Seorang Bambang Jenggo sudah sangat sering menghadapi serangan yang mirip seperti ini sebelumnya. Bukan untuk yang pertama kali. Beruntung dia bisa membaca gerakan lawan yang baginya hanyalah ibarat gerakan slow motion. Apalagi duet Young Guns anak Joko Gunar ini menggunakan taktik yang sama yang terus menerus diulang-ulang, ketahuan kalau mereka minim bertarung jarak dekat tanpa tenaga dalam.

Gerakan monoton? Sebuah kesalahan fatal tentunya.

Jika diibaratkan permainan sepakbola, tim yang sepanjang pertandingan menggempur lawan dengan taktik yang sama berulang-ulang kali jelas akan mudah dibaca apa maksud dan tujuannya. Mau pakai taktik apa? Teknik kick and run sangat mudah dihadang. Mau menggunakan serangan yang memanfaatkan gerakan di posisi sayap dengan umpan lambung maut? Mungkin efektif untuk sekali dua kali serangan yang tidak berturut-turut, tapi jika terlalu sering diterapkan dan berulang-ulang kali dipraktekkan, lawan sudah pasti mampu menutup lubang di pertahanan. Mau pakai man marking dengan pertahanan gerendel alias catenaccio? Kalau tidak bisa mencetak gol, tim tidak akan menang. Taktik ini sudah dipupuskan oleh keberadaan Total Football.

Begitu juga dalam pertarungan, serangan monoton akan memudahkan lawan untuk mengatur strategi pertahanan dengan menahan serangan lawan sembari bersiap mengatur posisi untuk melakukan serangan balik.

Kesalahan itulah yang dilakukan oleh Aswin dan Ajo.

Kesalahan itulah yang disukai oleh Bambang Jenggo.

Dua orang pemuda itu maju bersamaan, mengira bahwa tenaga mentah keduanya sama dengan dua kekuatan yang tak akan bisa dibendung dan dilawan, mereka masih berpikir berdasarkan kuantitas, bukan kualitas. Padahal semua yang mereka sajikan untuk melawan Jenggo ibarat pertarungan ala textbook, dua kekuatan memang seharusnya lebih unggul, tapi tidak berarti mustahil ditahan.

Sekali lagi, Jenggo beringsut ke samping kiri. Menghadapi Ajo di kanan lebih krusial daripada Aswin yang ngotot di posisi sebaliknya. Meski selalu di belakang Aswin saat menghadapi lawan, Ajo punya pemikiran yang lebih terkondisi, lebih matang, dan lebih berbahaya – dia lebih taktis dan mampu memanfaatkan logika. Itu sebabnya Ajo adalah lawan yang harus diwaspadai.

Itu sebabnya Jenggo hendak membenamkan Aswin terlebih dahulu. Karena kalau yang satu ini sudah diredam, Ajo bakal jadi fokusnya. Melawan Ajo butuh waktu, menghentikan Aswin hanya tinggal menggerakkan bahu.

Pukulan Aswin terlontar – sekali lagi dengan gerakan yang mudah ditebak, Jenggo hanya tinggal memutar badan untuk menghindar. Ia mendorong pundaknya untuk menggempur dada sang pemuda.

Aswin terjengkang ke belakang namun masih mencoba memukul.

Tapi pukulan Aswin mudah sekali terbaca. Gerakannya terkirim sebelum pukulan dilontarkan, Jenggo beraksi. Tangan kiri Jenggo maju dan berputar dari sisi bawah bak ular Python, melingkari pergelangan tangan Aswin, memutarinya, menguncinya dengan erat, dan menariknya maju. Terkejut dengan sergapan itu, Aswin tak sempat berbuat apa-apa. Saat tubuh Aswin maju, tangan kanan Jenggo beraksi dengan kecepatan tinggi, kepalan tangan kokohnya menghunjam dan mendorong lengan Aswin. Pemuda itu berteriak kesakitan saat terdorong tanpa bisa mengatur badan, terlebih kakinya kemudian dikait Jenggo yang kokoh berpijak.

Aswin jatuh berdebam.

Sang Kakak dirobohkan, Ajo bergerak ke depan untuk melontarkan pukulan yang berbeda dari Aswin. Tidak seperti kakaknya yang gerakannya mudah terbaca, pukulan Ajo lebih random dan tak bisa dipahami dengan sekali jalan, lengannya tak bisa dikait dengan mudah, tak semudah itu dipetakan dan dipindai. Dari kanan, dari kiri, dari atas, dari bawah – kadang dibalik kadang dirancak. Bocah ini punya sesuatu yang cukup menjanjikan, menjelang dewasa dia akan menjadi orang yang sangat berbahaya. Serangannya membuat Jenggo mundur dan harus menghindar. Kalau Aswin punya warisan emosi dari Joko Gunar, maka Ajo pasti kebagian warisan otak cerdasnya.

Bambang Jenggo tersenyum, untungnya ia unggul pengalaman. Ia mundur satu dua langkah, bersiap menghadang serangan.

Ajo menarik lengan kiri ke belakang – apakah ini penanda pukulan tangan kiri akan segera menjelang? Oho, Jenggo tidak akan tertipu. Belum tentu Ajo akan melepaskan pukulan tangan kirinya. Mata Raja Para Anjing melirik ke bawah dan kaki Ajo melesat naik, mengincarnya. Benar intuisinya, Ajo punya strategi.

Hahaha, bangsat juga bocah ini.

Jbuuuakkkkgh!!

Tendangan Ajo masuk ke pinggang Jenggo. Sang Raja Para Anjing mengernyit kesakitan, tapi ia sudah memperhitungkannya. Cerdas, bocah ini memang cerdas. Pikirannya moncer. Tapi sayang dia kalah pengalaman. Jenggo tersenyum. Dengan kecepatan yang luar biasa, pukulan beruntun disarangkan ke kaki Ajo yang baru saja menendang pinggang Jenggo. Tak butuh waktu lama setelah tendangan itu masuk, pukulan demi pukulan menghujani.

Bmmh! Bmmh! Bmmh! Bmmh! Bmmh!

“Haaaaaaaaaaarrrghhh!!” Ajo berteriak kesakitan. Ia berusaha mundur dengan menarik kakinya. Itulah momen yang ditunggu Jenggo karena pada saat itulah dia pasti lengah.

Jenggo meloncat bagaikan terbang, satu jejakan kaki menggunakan paha Ajo sebagai tumpuan, sang pemuda terkejut melihat gerakan dan kecepatan dahsyat dari pria bertubuh gempal yang sedang ia hadapi. Bagaimana mungkin orang dengan proporsi tubuh seperti ini sanggup bergerak sedemikian cepatnya dan mengudara?

Tapi dia tidak akan sempat memikirkannya terlalu lama. Tubuh gempal yang sedang terbang di atas tubuhnya tiba-tiba saja menukik, kaki Jenggo ditekuk di udara, tepat di dada Ajo.

Jbbbkkkkkkkkkghhh!

Sodokan lutut Jenggo mendorong tubuh Ajo dengan kerasnya ke bawah. Ajo mencoba melontarkan kepalan tangan ke atas, tapi sebelum sempat melakukan apapun, tangan besar Jenggo sudah mencengkeram wajahnya.

Tubuh Ajo dibenamkan ke tanah dengan kencangnya! Kepalanya bagaikan ditanam!

Jbbbbblmmmmmm!

Ajo ta kuasa berdiri lagi, ia terkapar tanpa daya.

Sudah jelas siapa yang berada di atas angin untuk memenangkan pertarungan ini.

Bambang Jenggo berdiri dengan jumawa.

Dua orang pemuda beringsut kesakitan di dekat kakinya. Wajah mereka lebam, luka di sekujur wajah ibarat polesan makeup warna-warni. Ada yang bibirnya pecah, ada yang hidungnya bengkok. Kedua pemuda itu sama-sama menatap sengit pada sang pria gempal yang kini menyeringai ke bawah dan mencibir pada kedua pemuda yang baru saja ia taklukkan dengan mudah.

Wedhuuuus!” Aswin mencoba berdiri tapi berulang kali gagal.

“Sudah? Puas kalian? Perbedaan kemampuan di antara kita sudah jelas bukan? Kalau pakai tangan kosong, ternyata kalian berdua bukan lawanku. Kalian cuma berani main Ki saja – cuma berani kalau pakai tenaga dalam! Dasar pengecut semua. Bukan aku ingin menghina kalian, tapi coba buka wawasan kalian.” Bambang Jenggo jongkok dan menatap satu persatu lawannya dengan pandangan mata yang jauh lebih tenang. “Kalian mau jadi pemimpin? Tidak masalah bagiku. Tapi bagaimana seandainya saat kalian menjadi pimpinan nanti kalau hanya mengandalkan Ki semata? Bayangkan seandainya lawan menggunakan cagak bebandan. Apa ya kalian bakal selamat? Kalau sudah begitu, bagaimana nasib anggota yang lain? Apakah keadaan yang seperti itu terlintas di benak kalian? Cobalah berpikir untuk kepentingan bersama – bukan hanya untuk diri sendiri!”

“Bedebah…! Ka-kami tidak akan mengakuimu…” Aswin mencoba berdiri lagi dan lagi dan lagi, ia menggemeretakkan gigi dengan sangat kesal. “…kami tidak akan menyerah kalah semudah itu! Kami tidak butuh Ki untuk mengalahkanmu!! Kami akan…”

“Mas.” Ajo menyentuh pundak kakak tirinya dengan perlahan, napasnya masih terengah, tapi suaranya jauh lebih tenang. “Mungkin ada baiknya kita mengakui kekalahan ini. Apa yang dia sampaikan ada benarnya…”

Aswin terbelalak mendengar ucapan sang adik, “APA MAKSUDMU!? Kita tidak akan menyerah semudah itu pada si cecunguk bangsat satu ini! Kerajaan yang sudah dibangun dengan susah payah oleh ayah kita tidak boleh jatuh ke tangan yang tidak berhak seperti dia!! Bagian mana dari kenyataan itu yang membuatmu goyah?” Aswin kesetanan. Dia tidak mengira sang adik akan melemparkan handuk ke arena. “Jo! Jangan membuat keluarga kita malu! Kita punya nama besar yang harus dijaga!”

“Mas… aku tidak bermaksud untuk…”

“Sepertinya adikmu lebih punya otak. Heheheh.” Jenggo memancing di air keruh dengan menggoda Aswin. “Tanpa Ki – tanpa tenaga dalam… kamu tidak akan ada apa-apanya di dunia ini, bocah!”

Mata Aswin memerah karena emosi. “BAJINGAAAAAAAAAAAA…!”

Hembusan angin menerpa wajah Aswin dengan kencangnya. Belum selesai Aswin berteriak karena murka, satu kepalan tangan berhenti tepat di depan wajahnya. Jarak antara kepalan tangan Jenggo dan hidungnya hanyalah beberapa sentimeter saja. Salah perhitungan satu detik, kepalanya sudah akan kena hajar.

Pemuda itu pun tergagap. “A-aa…aaa…”

Aswin jatuh terduduk di depan Jenggo. Ajo menundukkan kepala. Mereka sudah tunduk. Ia hanya bisa memasrahkan nasib.

Sang Klana Putih terbang ke depan ketiga orang itu sembari tertawa-tawa unik. “Bagaimana? Apakah kita mendengar kata menyerah dari pihak Aswin dan Ajo? Bagaimana? Bagaimana? Bagaimana? Huahahahahaha. Siapakah pemenang pertarungan ini?”

Ajo mengangkat tangan dengan geram karena kesal pada dirinya sendiri yang masih tidak mampu bertarung dengan baik. Mau bagaimanapun caranya, sepertinya dia tidak akan sanggup mengalahkan si Raja Para Anjing dengan kemampuannya yang sekarang. Kalau sang kakak menolak, maka dia yang akan menjadi penyeimbang.

Mereka haruslah kalah secara jantan. Jenggo bertarung dengan fair and square.

Kekalahan harus diakui, harus jadi jantan, harus jadi laki. Kalah kuwi butuh nyali, ora berarti nyerah, tapi mergo wani. “Aku mengakui keunggulan Bambang Jenggo. Aku menyerah kalah.”

“Hahahaha! Bagus! Bagus!” Klana Putih mengangkat jempolnya ke udara. “Satu lawan sudah menyerah!”

Pendukung Jenggo dari pihak RKZ berteriak-teriak kegirangan mereka bertepuk tangan, membunyikan bel dengan ribut, dan berteriak-teriak bagaikan sedang berada di lapangan sepakbola. Pihak PSG menggerutu dengan kesal, keributan mulai terjadi. Mereka menyatakan ketidakpuasan dengan penampilan Aswin dan Ajo yang mereka anggap tidak setara dengan Joko Gunar.

“Tenang semuanya tenang… baru satu orang menyerah. Pertarungan ini baru benar-benar akan berakhir kalau keduanya sudah menyerah! Hahahaha.” si Klana Putih tertawa dan tergelak, dia sepertinya sangat bahagia. “Bagaimana Mas Aswin? Apakah anda juga akan menyerah?”

Aswin yang terduduk mengernyit sadis ke arah Jenggo. Tanpa kata, dengan wajah masam dan bermuram durja, ia menganggukkan kepala. Benci sekali ia mengakui, tapi bisa apa dia tanpa sang adik? Awas saja nanti, dia tidak akan semudah itu tunduk. Jika ada kesempatan, dia pasti akan menggulingkan posisi Jenggo dan Ki Juru Martani.

Klana Putih terkekeh dan melemparkan pisau yang sudah disiapkan pada Bambang Jenggo. Jenggo menerimanya dalam satu tangkapan. Sesuai perjanjian, siapa yang kalah harus menunjukkan bakti mereka pada sang pimpinan baru dengan memotong salah satu jari.

“Silakan potong jariku. Ambil saja!” Aswin meludah dan menghunjukkan tangannya pada Jenggo. Ajo melakukan hal yang sama mengikuti kakaknya. Kepalanya menunduk, tapi ia melirik ke arah sang Raja Para Anjing.

Jenggo ternyata malah tersenyum lunak pada keduanya. Ia melemparkan pisau itu ke tanah sampai tertancap tegak. “Tidak akan ada jari yang terpotong hari ini.”

Aswin dan Ajo saling berpandangan. Mereka kemudian menatap Jenggo keheranan.

“Kita lupakan saja soal jari jemari dan potong memotong – kita anggap saja semuanya impas dan berhenti sampai di sini. Kita butuh tim yang solid dan saling mendukung, bukan saling menjatuhkan,” ujar Jenggo bijak, “Dan kalian berdua berhutang jari padaku. Hahahahha.”

Aswin menggeram, “aku tidak ingin berhutang apapun padamu, bajinga…”

“Tidak masalah, kita bertiga punya tugas untuk bersama-sama mengambil alih kota ini dari tangan JXG, QZK, dan Dinasti Baru. Sendiri saja tidak akan ada artinya, tapi dengan bersatu kita pasti bisa melakukannya. Bagaimana menurut pendapat kalian berdua? Komando Ratu Adil butuh orang-orang seperti kalian sebagai panglima. Dukungan dari Lima Topeng Badut dan 3GB juga sangat kita butuhkan.” Bambang Jenggo mengulurkan tangannya pada kedua pemuda yang selamat dari ancaman kehilangan salah satu jari mereka itu. Ajo menyambut uluran tangan Jenggo sementar Aswin mencibir dan memillih berdiri sendiri dengan kesusahan.

Sekarepmu lah.” Aswin masih geram dengan kekalahannya.

Klana Putih mendekati Jenggo dan mengangkat tangan.“Mari kita sambut pemenang pertarungan hari ini sekaligus ketua baru gabungan PSGxRKZ, Komando Ratu Adil! Bambang Jenggooooooo!!”

Sorak sorai pasukan terdengar, terutama dari mantan anggota RKZ. Orang-orang PSG masih belum terima dengan kekalahan ini, secara jumlah mereka lebih banyak dan lebih kuat dari RKZ, kenapa harus mengakui orang luar ini sebagai ketua mereka? Mereka sebenarnya masih tidak rela. Suara kasak-kusuk terdengar. Suara itu juga sampai di telinga sang Klana Putih.

Si Klana Putih tersenyum. Dia pun berdiri di tengah lapangan, lalu berteriak dengan lantang. “Komando Ratu Adil di bawah Bambang Jenggo sebagai ketua, Aswin dan Ajo sebagai panglima, dan Ki Juru Martani sebagai penasehat tertinggi, mulai hari ini… kita akan merebut kota dari tangan mereka-mereka yang tidak berhak! Kita adalah Komando Ratu Adil!”

Pria bertopeng Klana Putih itu tersenyum puas di balik topengnya. Ia lantas membuka topengnya perlahan-lahan. Wajahnya merupakan wajah yang tidak asing bagi sebagian orang. Yang mengenalinya akan terkejut karena dia adalah sosok yang dekat dengan pihak yang berwajib. Ia pun tersenyum lebar merasa dia punya andil besar dalam penciptaan kelompok baru yang akan menjadi yang terbesar. Wajah di balik topeng Klana Putih adalah wajah tampan dengan senyuman yang sebenarnya memikat kalau saja orang tidak paham bahwa pria ini memiliki niat buruk.

Wajah tampannya, adalah wajah tampan Rama.

Dan dia punya banyak rencana.





.::..::..::..::.





Amar dan Deka saling berpandangan.

Apa yang dilakukan Dinda di sini?

Kedua kakak beradik itu pun bertanya-tanya.

Atau lebih tepatnya, bertanya-tanya apa yang dilakukan Dinda di sini dengan membawa koper segede Gaban? Bukankah dia kuliah dan bekerja membantu orangtuanya di warung milik Pakdhe Wid di kota sebelah? Apa yang dilakukan Dinda di tempat ini?

Jangan-jangan liburan?

Saat Amar Barok dan Deka sedang kebingungan, Dinda cemberut karena sudah menunggu teramat lama hari ini di depan bengkel Amar – apalagi kemudian ada sosok cewek lain di samping sang calon suami. Gadis manis itu berjalan ke arah Amar Barok dengan langkah perlahan, mencoba memahami situasi dan posisi. Siapa sebenarnya wanita berambut pendek di samping calon suaminya itu? Kawan atau ancaman? Haruskah dia khawatir, ataukah justru sebaliknya harus merelakan?

“Dinda?” Amar Barok berdiri kebingungan melihat si manis itu berdiri di depannya dengan terdiam. Meski Deka sudah maju terlebih dahulu, tapi Amar kemudian melewati Deka untuk memegang pundak sang dara jelita. “Apa yang kamu lakukan di sini?”

“Memangnya tidak boleh? Padahal aku sudah telpon, sms, WA, semua cara dipakai untuk menghubungi Mas, tapi tidak pernah ada jawaban. Kenapa semua pesanku tidak dibaca? Kenapa aku dicuekin lama? Setelah semuanya yang Mas sampaikan ke keluarga, kenapa tidak segera datang?” ketus Dinda bertanya pada Amar Barok dengan wajah menunduk.

“Segera datang? Kenapa harus segera datang?” Amar Barok mengerutkan kening, apakah ada sesuatu yang dia lupakan? Tanggal berapa ini? Ada urusan apa yang harus dia selesaikan dengan Dinda? Bukankah pernikahan mereka tidak…

“Sudah tahu kita sebentar lagi mau mengadakan acara pernikahan. Kenapa tidak segera datang untuk membahasnya? Apa sebenarnya Mas mau ninggalin aku? Pakdhe Wid memintaku datang kemari untuk memastikan apakah pernikahan kita jadi dilaksanakan atau tidak, karena Mas dan aku sama-sama bungkam soal pernikahan. Beliau meminta jika memang lanjut, maka aku harus tinggal di sini selama beberapa sebulan ke depan untuk membantu kebutuhan sehari-hari Mas Amar. Untuk memastikan bahwa Mas memang serius.”

“Hah? Alasannya sesepele itu?” Deka terkejut, “Bagaimana dengan warung? Bukankah kamu membantu orang tua untuk menjaga warungnya Pakdhe Wid?”

“Sudah ada yang menggantikan aku untuk sementara waktu ke depan, Mas. Keponakan Ibu.”

“Gegabah sekali. Kalau kamu ke sini, terus kamu mau ngapain? Mau tinggal di mana?”

Dinda menunduk dan menggeleng, “Aku juga menanyakan itu ke Pakdhe Wid, tapi beliau bilang – mas Amar pasti sudah tahu bagaimana harus memperlakukan aku. Kalau mas Amar dan mas Deka memang tidak menghendaki kehadiranku, aku bisa pulang sekarang kok. Aku tahu kehadiranku tidak dikehendaki. Terlebih sudah ada… sudah ada… mbak itu…”

Shinta melotot. “HAH!? Eh… ma-maaf, aku tidak tahu apa-apa nih, Mbak. Suwer. Ma-maaf kalau aku mengganggu acara kalian hari ini. Kebetulan aku ikut mereka berdua karena ada beberapa hal yang harus aku obrolin seputar beberapa masalah yang aku hadapi. Maaf ya, Mbak. Duh jadi tidak enak ini… aku pamit dulu kalau begitu, Mas Amar, Mas Deka. Kita bertemu lagi dalam waktu dekat untuk membicarakan kasus Rahu dan keluargaku…”

“Sebentar. Sebelum kamu pergi…” Amar menghunjukkan tangannya ke samping. Menahan laju Shinta yang tadinya sudah bersiap-siap untuk pergi. Pria gagah itu menatap mata sang dara dengan tatapan mata tajam, jelas bahwa ia mengkhawatirkan gadis itu. “Hubungi kami jika ada apa-apa. Jangan melakukan semuanya sendiri. Kami dari Aliansi selalu ingin memastikan bahwa tidak ada sahabat kami yang kesusahan.”

Shinta tersenyum dan mengangguk. “Pasti, Mas. Aliansi akan menjadi benteng dan tamengku mulai sekarang. Sebagai balasan, aku akan menjadi mata kalian di Tim Garangan.”

“Setuju.”

Deal.”

Keduanya bersalaman.

“Kalau begitu saya pamit dulu. Mas Amar, Mas Deka, Mbak…” Sebelum ada pohon pisang tumbang karena dihajar Dinda, Shinta pun menganggukkan kepala memberi hormat dan buru-buru berjalan meninggalkan Amar dan Deka.

Saat melihat Shinta berjalan pergi, Amar memanggil adiknya. “Kun.”

“Ya Mas?”

“Pastikan dia pulang dengan selamat, suasana sedang terasa aneh. Aku punya intuisi jelek. Lebih baik kamu antarkan dia pulang sampai rumah.”

“Hah? Aku kan tidak bawa motor.”

“Shinta juga tidak bawa, jadi itu bukan alasan. Jadilah kreatif.”

“Halah. Asem… kenapa jadi aku yang harus…” Tapi saat melihat Dinda, Deka pun paham dan menggaruk-garuk kepala. Dia melirik ke arah gadis manis itu dan tersenyum, “Senang ketemu kamu, Din. Tetaplah di sini ya. Siapa tahu kapan-kapan ada waktu buat kita ngobrol-ngobrol banyak seperti biasanya, ya?”

Amar melotot.

Dinda tersenyum manis dan mengangguk.

Deka mencibir pada Amar dan berlari kecil untuk mengejar Shinta yang tengah berjalan meninggalkan bengkel sang panglima. Tidak butuh waktu lama sebelum Deka bisa mengejar polwan cantik berambut pendek itu tengah berjalan menuju jalan besar – Jalan Oslo.

“Ha… Hai.” Kaku Deka mensejajari Shinta.

“Lho? Kok ke sini, Mas?”

“Ma-Mas Amar memintaku menemanimu paling tidak sampai di depan rumah. Kami dari Aliansi tidak ingin apapun terjadi padamu terlebih setelah semua peristiwa yang terjadi hari ini – dengan Rahu, om Tarjo, dan lain-lain.”

Shinta cekikikan, “aku lebih dari capable untuk pulang sendiri ke rumah, Mas. Sepertinya aku sudah cukup umur untuk bisa pulang kembali dengan aman. Hanya sejauh mencari taksi atau memanggil ojek online. Bukan hal yang susah.”

“Betul… tapi kami tetap saja khawatir karena kamu kan tetap seorang… seorang…” Deka meneguk ludahnya, takut apa yang ia ucapkan akan menyinggung sang dara jelita.

Shinta tersenyum, “Seorang apa? Cewek? Mas meremehkan aku karena aku cewek? Begini-begini aku juga polwan, Mas. Mungkin tidak terlalu kelihatan tapi kalau berhadapan dengan orang-orang yang mau bertindak kurang ajar sepertinya aku bisa menghadapi mereka. Kecuali kalau yang menghadang itu Rahu. Nah itu baru beda perkara.”

“Hahahaha. Oke… oke… aku menyerah.” Deka tertawa sejenak, tapi wajahnya kemudian ditekuk dan ia pun bersungut-sungut, “paling-paling Mas Amar mengusirku karena mau berduaan saja sama Dinda.”

“Nah itu tahu…” Shinta mengedipkan mata dan tersenyum manis, gadis itu memang terlihat lemah, tapi langkahnya tegap dan penuh keyakinan. “Aku juga tidak bisa mengganggu urusan keluarga kalian jadi aku memilih pergi dulu. Tapi tidak apa-apa, Mas. Aku harus tetap fokus pada tujuanku untuk menyelamatkan keluargaku bagaimanapun caranya.”

“Kami pasti akan membantumu, pasti. Jangan khawatir.”

“Aku tidak khawatir… karena aku…”

Telpon genggam Deka berdering dengan kencang, hampir bersamaan dengan berbunyinya ringtone ponsel Shinta. Keduanya tertegun. Mereka kemudian menarik ponsel masing-masing dengan penasaran. Apa yang terjadi? Kenapa bisa…

“Celaka.” Deka menggemeretakkan gigi dan tangannya terkepal.

“A-aku harus pergi. Situasi mendadak gawat, kami harus segera turun ke lapangan.” Shinta terkejut membaca berita di ponselnya. “Perang sudah dimulai.”

“Aku juga baru saja membaca kabar. Nanto ditus… hkkkghhh!

“Mas?”

Deka meremas baju di bagian dada, rasanya sakit sekali. Ia membungkuk mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyebar di seluruh tubuhnya. Sial! Kenapa sekarang!? Ia membuka kancing bajunya dengan terburu-buru supaya tidak terlampau panas dan menyengat.

“Mas…!”

Deka menengok ke samping. Di sana ada Shinta yang baru saja terpekik sedang menatapnya dengan mata yang terbelalak. Gadis itu menunjuk ke arah dada Deka.

“A-ada sesuatu di…”

Deka mengerutkan kening. Kenapa pula gadis itu sekarang? Dia melihat ke dadanya sendiri yang kebetulan sudah terbuka dan terlihat dengan jelas oleh Shinta karena ia baru saja membuka kancing bajunya. Di dada pemuda itu sekarang ada garis-garis menghitam yang menyebar tanpa terkendali seperti akar pohon, laksana tato yang bergerak secara mistis.

“Ce… celaka…!” Deka membuka kaus yang ia kenakan.

Lingkaran menghitam di dadanya yang menyebar dan meluas ke seluruh bagian badan. Si Gondes menggeram dan memukul dadanya sendiri seakan-akan dengan begitu bagian menghitam itu akan kembali seperti sedia kala. Tapi itu tidak terjadi.

Deka memejamkan mata. Bajingan! Kenapa sekarang!? Kenaapa di saat seperti ini? Si Gondes mendengar batinnya sendiri mengumpat.

Sudah terlalu lapar!! Aku butuh makaaaaaan!! Aku tidak pernah makaaaaaan!!

“Ba-bangsat!” Deka memukul-mukul dadanya sendiri.

Deka menatap Shinta ketakutan dan tubuhnya gemetar, sembari menahan rasa sakit yang menghebat dengan meremas bagian dada, Deka menggemeretakkan giginya sembari menatap sang polwan muda yang jelita itu. “Pe-pergi!”

“Mas?!”

“Pergi! Jangan mendekat! Aku takut aku bakal… kamu akan jadi…”

“Mas Deka kenapa?”

“PERGI!!”

“Mas?”

“Hkkkkghhh!!”

Deka tersedak bersamaan dengan semakin menyebarnya bagian menghitam pada dadanya. Tubuhnya mengerucut dan pemuda itupun terjatuh ke depan. Tubuhnya langsung kejang-kejang, matanya melotot dan mulutnya terbuka lebar. Ia meronta kesakitan pada sesuatu yang tak nampak. Tangannya yang satu memegang dada sementara tangan yang lain mencoba meraih tangan Shinta.

Mulut Deka terbuka dan suara menyeramkan keluar tak tertahan, “Lapar…”

Shinta mundur beberapa langkah. Suara yang keluar dari mulut Deka itu bagaikan suara yang keluar di film-film horor. Sama sekali si cantik itu tidak menduga akan berjumpa dengan hal semacam itu di kehidupan nyata.

Saat Shinta mundur, Deka mulai kehilangan kesadaran.

Sesuatu mengambil alih.





BAGIAN 9 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 10
 

Similar threads

Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd