Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 10
CINTA KAN MEMBAWAMU KEMBALI




Kisah kehidupan berjalan lebih cepat dari kedipan mata.
Sedangkan kisah cinta adalah apa kabar, selamat tinggal, dan sampai jumpa lagi
.”
- Jimi Hendrix





.:: TIGA MINGGU YANG LALU



“Apa yang akan dilakukan Aliansi? Itu pertanyaan paling besarnya.”

Pertemuan darurat dilakukan oleh Amar Barok sang panglima sebagai ketua sementara dan dihadiri oleh Simon Sebastian sang Pemuncak Gunung Menjulang, Roy si Pengendara Angin, si bandel Bian, sang T-Rex Hageng, dan Don Bravo si Pemakan Bengkuang di Kandang Walet setelah dalam seminggu terakhir bentrokan demi bentrokan QZK dan JXG berlangsung secara sporadis di berbagai penjuru kota. Nama yang disebut terakhir juga berperan sebagai wakil utama dari DoP karena Rao sang Hyena Gila hingga saat ini masih missing in action.

Nanto diketahui masih dirawat di rumah sakit karena luka tusukan, sedangkan Deka sudah seminggu tak kelihatan batang hidungnya. Amar hanya bilang menghilangnya Deka karena menyepi di Pantai Selatan. Benar atau tidaknya tidak ada yang tahu – bahkan Lima Jari sekalipun tidak tahu karena ponsel Deka tidak bisa dihubungi.

Amar mengetuk meja dengan pensil. Ia berdiri sembari menatap satu persatu anggota Aliansi yang hadir. “Saat menengok Nanto kemarin dia bilang ada pesan dari Om Janu. Pesan itu adalah supaya kita untuk sementara tidak ikut campur pertikaian antara QZK dan JXG. Rasanya itu arahan yang wajar, karena sekali saja kita tercebur dan terlanjur basah, maka kita harus bertanggung jawab dengan memutuskan hendak mendukung kelompok yang mana. Keputusan itu akan menentukan nasib kita. Mendukung utara berarti melawan selatan, membantu selatan berarti melawan utara. Jurang pemisahnya sudah dipastikan. Ini bukan main-main, Aliansi tidak akan sanggup melawan siapapun dengan kekuatan yang sekarang. Sebagian besar dari kita hanyalah anak-anak kampus yang sok-sokan nge-geng, campuran dari tetilasan Patnem, dan sebagian kecil preman utara yang tidak gabung ke QZK.”

“Jadi kita mundur dari arena?”

“Jangankan Aliansi, bahkan Dinasti Baru dan gabungan PSGxRKZ yang sekarang disebut KRAd pun tidak mau turut campur di perseteruan QZK dan JXG. Dengan kekuatan yang kita miliki sekarang, kita akan digilas oleh salah satu dari dua besar jika kita mengambil salah satu pilihan.”

“Agak berkesan seperti pengecut ya? Tidak turun di medan laga.” Bian mendengus. Kalau dia sih maunya hajar bleh.

“Ini bukan menjadi pengecut, ini memikirkan opsi yang terbaik dalam kondisi darurat. Ingat kita harus memikirkan kemampuan dan kondisi pasukan kita.” ujar Amar Barok. “Tapi saya kembalikan lagi ke forum. Bagaimana menurut kalian?”

“Nanto tidak ada. Deka entah sedang ngapain. Rao bahkan tidak diketahui masih hidup atau mati. Wekekekek. Apes sekali kita ini.” Don Bravo menggigit bengkuangnya, “Aliansi sedang timpang, rasanya kita harus meredam semua kegiatan dulu untuk sementara waktu. Kecuali kampus-kampus menjadi sasaran, kita tidak perlu ikut campur. Itu saja sih kalau dari DoP. Kami setuju. Cari aman adalah opsi yang terbaik untuk saat ini.”

Simon merengut, dia sebenarnya juga kurang suka bersikap pasif – sesuatu yang bagi orang luar akan nampak seperti tindakan pengecut, tapi Amar Barok benar, ini bukan menjadi pengecut tapi bagaimana menjadi taktis – apa itu tindakan yang taktis? Melakukan tindakan yang tepat pada saat yang tepat.

Simon mengangguk. “Setuju. Sonoz juga akan mengambil keputusan yang sama dengan DoP, kecuali Unzakha digempur lawan, Sonoz untuk sementara tidak akan bergerak.”

“Kita tetap akan berkonsolidasi, saling menghubungi, dan saling mendukung. Satu dari kita diserang, semua dari kita akan melawan. Itu yang kita namakan semangat Aliansi – all for one and one for all, bagaimanapun Aliansi adalah harga mati,” ujar Amar Barok.

“Sebenarnya bagaimana posisi semua kelompok saat ini? Ada yang tahu? Ini benar-benar kabur, kita tidak ada yang tahu pasti siapa sedang menyerang siapa, kapan, dan di mana,” tanya Roy. “Seandainya saja kita tahu posisi dan gerakan lawan, mungkin bisa sedikit membantu bagaimana kita akan menempatkan diri dan menghindari posisi lokasi-lokasi yang rawan.”

“Kekuatan masih sama kuat. JXG tertahan di perbatasan, QZK masih cukup kuat menghadang. Tapi lubang demi lubang mulai tercipta. SSX disebar di segala penjuru. Tujuan utama QZK kini menghabisi semua anggota SSX satu demi satu,” ujar Amar Barok menjelaskan temuannya di lapangan. “DoP sudah memberikan masukan, Sonoz juga. Bagaimana dengan kalian berlima?”

Semua mata memandang ke arah Roy, Bian, dan Hageng. Sejak pertama kali berada di ruangan, Hageng tidak mengucapkan sepatah katapun.

“Sedang bertiga tepatnya saat ini, tapi aku akan mencoba mewakili Lima Jari.” ujar Roy sembari mendesah. “Kalau kami sudah jelas tetap akan mendukung Aliansi apapun keputusannya, karena sejak awal kami berdiri di belakang Nanto. Kami yakin dia tahu apa yang terbaik untuk kita semua.”

Bian mengangguk. Hageng masih terdiam.

“Baiklah. Keputusan sudah bulat dari tiga kelompok utama,” Amar Barok memutuskan. “Sampai Nanto kembali ke kota, kita akan vakum, dan tidak saling bertemu. Semua untuk menghindari konfrontasi dengan pihak QZK maupun JXG. Tapi aku harap – di saat-saat krusial tersebut, kalian mencoba meningkatkan kemampuan dan kekuatan. Karena kita tahu… sepertinya Aliansi tidak mungkin tidak terjun ke medan perang. Entah lambat atau cepat, kita pasti akan terseret. Bukan maasalah ya atau tidak, tapi masalah kapan saja. Jadi persiapkan kemampuan kalian semua, seperti aku juga akan meningkatkan kemampuanku,” ujar Amar Barok memberikan komando kepada rekan-rekannya yang lain. “Ingat baik-baik… sampai saatnya tiba, kita tidak boleh menyakiti anggota JXG ataupun QZK apapun alasannya. Aliansi yang sekarang tidak akan mampu menghadapi mereka.”

Semua yang berada di dalam ruangan itu saling berpandangan.

Mereka semua berdiri dan satu persatu meninggalkan ruangan. Bahkan sang tuan rumah Don Bravo pun memilih turun dari lantai teratas Kandang Walet. Meninggalkan Amar Barok seorang diri di atas.

Pria gagah itu menatap lajur kendaraan dari rooftop gedung terbengkalai, memetakan mobil demi mobil yang lalu lalang, menghabiskan waktunya sembari melemaskan otaknya yang seakan beku karena digenjot sejuta masalah berulang-ulang kali.

Ponselnya bergetar, Amar mengangkat smartphone yang ia masukkan di kantong celana. Saat melihat nama yang tertera di layar, pandangannya langsung berputar dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan. Memastikan anggota Aliansi tidak ada yang berada di atas kembali.

Dia menggeser layar dan menekan tombol hijau.

Dia paling benci video-call.

Satu wajah muncul di sana. Wajah itu tersenyum lebar, “Bagaimana? Sudah diputuskan?

“Sudah.”

Jadi bagaimana? Apa yang akan kalian lakukan?

“Kami akan vakum dengan batas waktu saat Nanto kembali nanti. Kita akan lihat apakah kami akan tetap vakum atau tidak.”

Bagus sekali. Pastikan si Bengal tidak kembali untuk sementara waktu dan kamu tetap di pucuk pimpinan Aliansi. Bisa diatur?

“Sepertinya bisa.”

Heheheh. Terima kasih, Bung. Senang bekerjasama dengan anda.” Wajah Rama yang sedang tersenyum nampak di layar menatap Amar Barok yang tanpa ekspresi. “Tunggu kabar dari kami, akan ada tugas buat anda, Bung. Sehat selalu.”

Klk.

Telepon terputus. Wajah yang nampak di layar mulai menghilang dan digantikan gelap layar, lalu layar itu berpindah ke home – menandakan video call benar-benar telah usai. Amar Barok mendengus, menggosok hidungnya yang gatal dengan punggung jari telunjuk, lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam kantong celana.

Ia kembali menatap ke arah jalanan.

Kadang ada mobil yang berjalan lurus, kadang ada yang menyeberang, kadang ada yang berputar balik. Yang memutuskan mobil hendak berputar atau kemanapun adalah sang supir – jalannya sendiri masih akan tetap lurus dari ujung ke ujung, tak mempedulikan hendak kemana mobil akan dibawa oleh sang supir.

Seperti halnya kehidupan.

Seperti halnya yang dia jalani saat ini. Kadang kita harus tahu kapan tetap berada di jalur cepat, kapan berpindah ke jalur lambat, dan kapan harus memutar balik. Kadang harus gaspol untuk mencapai tujuan, kadang harus pelan dan bersabar, kadang harus balik arah jika menemui kegagalan. Semua demi tujuan, tujuan dapat berubah. Yang selalu tetap hanyalah jalannya. Yang tetap hanyalah…

Hanyalah…

Sebentar

Amar memiringkan kepalanya ke kiri. Dia seperti merasakan sesuatu, tapi hanya untuk sesaat. Seperti ada aura yang muncul dari belakang. Ketika dilirik ternyata tidak ada siapa-siapa. Apakah hanya perasaannya saja? atau…? Hmm

Amar kembali menatap ke arah jalan raya. Tangannya kencang mencengkeram dalam kepalan. Entah dia sadar atau tidak, entah dia tahu atau tidak. Tapi saat ini di tangga, ada seorang pria yang sedang duduk dengan santainya.

Dia duduk sambil memainkan potongan bengkuangnya.

Ada senyum menyeringai di wajahnya.





.::..::..::..::.





.:: DUA MINGGU YANG LALU



“Hai.”

“Hai juga, Hime.”

Wajah Nada memerah saat duduk di kursi di samping pembaringan si Bengal. Tingkahnya awkawrd, ia merasa serba salah. Begini salah, begitu juga salah, apalagi beginu.

Mereka berdua sedang berada di rumah sakit. Setelah dua minggu berjalan, Nada akhirnya menjenguk Nanto. Ia tampil cantik dengan rok musim panas ala K-drama yang cukup panjang dan baju putih yang bagian lengannya seperti tirai, memperlihatkan lengan putih mulus yang cantik di sela-selanya.

“Tumben kamu datang.”

“Ga boleh?” Nada mencibir. “Ya udah aku pulang lagi saja, di sini tidak diterima.”

Nada berdiri sambil bermain-main seakan ngambek, tapi tangan si Bengal menahannya. Nada tak mencoba menepis, meski tetap cemberut.

Hime, ayolah… maafin aku. Aku cuma bercanda,” Nanto tersenyum melihat bidadari indah di depannya itu merajuk.

“Jelek.” Nada duduk kembali sambil bersidekap. Kepalanya dilempar ke samping. Bibirnya dimonyongkan. Masih ngambek sepertinya. Tapi yah namanya cewek cakep ya son, mau ngambek aja tetep cakep. Mau monyong juga tetep gemesin.

“Jadi… Papa-mu tidak marah kamu kesini?”

Wajah Nada berubah ketika Nanto langsung menanyakan hal yang agak-agak sensitif. Langsung main tembak aja nih Bengal.

Lirih Nada menjawab, suaranya jadi jauh lebih ramah dari sebelumnya. “Marah? Kenapa harus marah?”

“Ya kan kamu tahu sendiri gimana perasaan beliau sewaktu di pernikahan Mas Ahmad dua minggu yang lalu. Aku takut beliau jadi semakin marah kalau tahu kamu… yah, tahu sendirilah, Hime. Bagi dia aku pasti masuk daftar pencarian orang. Sebaiknya tidak tambah masalah dengan menggoda macan yang sedang geram.”

“Papa akan marah kalau Papa tahu aku di sini. Kalau tidak tahu kan tidak apa-apa.” Nada menundukkan kepala. Ada aura kesedihan tergambarkan di wajahnya.

“Diam-diam?”

Nada mengangguk, ia mendongak, dan dengan malu-malu menatap si Bengal. “Hatsukashi desu. Sebenarnya malu banget. Tapi memang iya, aku ke sini diam-diam. Tidak ada yang tahu kecuali mas Eros dan mas Ahmad. Bahkan hari ini mereka berdua yang mengantar, sekarang sedang menunggu di depan. Alasannya nganterin aku muter-muter kota karena pikiran kacau balau.”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

Nanto menatap Nada dengan pandangan penuh arti. Si cantik ini ucul juga kalau pas lagi malu-malu begini. Dia punya wajah yang ngangenin yang bahkan Nanto sekalipun tak sanggup lepaskan dari benaknya. Gawat ini gawat. Kinan mau dikemanain? Belum lagi Hanna. Hubungannya dengan Asty juga masih ambigu. Dasar bungkus kacang kurang ajar, kok semuanya diembat ini lho.

Nanto bertanya dengan serius, “Kenapa tetap kesini meskipun tahu kalau Papa kamu melarang?”

“Karena aku mau! Ih kok nanyanya gitu banget sih? Kamu ga suka aku dateng? Ya udah aku pergi aja!”

“Lho kok jadi marah lagi?”

Nanto tertawa, meski sejak tadi merajuk, tapi Nada tak melepaskan tangan yang dimainkan oleh si Bengal. Begitupula si Bengal, dia tak melepaskan tangan Nada sama sekali. Sejak tadi ia memainkan jari-jemari gadis jelita itu dengan berani.

Nanto menatap ke arah Nada dengan pandangan mata tajam tapi penuh perasaan. “Aku kangen sama kamu, asli. Kamu punya aura menggemaskan yang bikin aku ga bisa lupa.”

Nada berkaca-kaca menatap si Bengal. “Aku juga…”

“Apa gara-gara itu kamu nekat ke sini meski Papa-mu melarang?”

Nada mengangguk sembari menghapus segaris airmata yang menetes dengan nekatnya padahal sudah coba ia halangi sekuatnya. Mudah-mudahan Mas Nanto gak lihat. Dia benci terlihat lemah saat ini. Dia harus kuat. “A-ada yang harus kamu ketahui, Mas. Aku tidak ingin kamu jadi khawatir atau apa nantinya karena aku pasti akan… maksudku… aku sudah tahu apa yang akan aku lakukan… aku sudah tahu dan aku sudah yakin… meski… tidak yakin-yakin banget…”

Nanto mengernyitkan dahi. Ada yang aneh dari Nada. Kenapa dia bersikap seperti ini? Seperti bukan Nada. “Khawatir sama kamu? Kenapa aku harus khawatir sama kamu? Kamu kenapa? Jangan aneh-aneh ah! Kamu kenapa?”

Suara Nada seperti tercekat tak bisa keluar dari dalam mulutnya. Bagaimana dia bisa cerita ke Mas Nanto ya? Situasi dan kondisinya sepertinya sedang tidak cocok. “A-a… aku… aku tidak apa-apa. Masih agak shock karena peristiwa kemarin, tapi overall sudah tidak apa-apa. Sudah lebih mendingan. Mas Nanto sendiri bagaimana kondisinya? Sudah lebih baik?”

“Sudah lumayan sih. Luka tusuknya sedang dalam penyembuhan, sudah dijahit. Untunglah tusukannya tidak terlalu dalam.” Nanto mencoba bergerak, tapi ia lalu mengernyit nyeri. “Adududuuh!”

“Eh! Eh! Eh! Mas!? Masss!?”

Nada panik melihat Nanto kesakitan, ia buru-buru bangkit dan mendekati si Bengal lalu ke kanan, ke kiri, memutar, ke depan, ke samping. Ia ingin memastikan si Bengal baik-baik saja. Nanto lantas tersenyum, melihat bagaimana wanita berparas jelita dengan tubuh indah itu begitu mengkhawatirkannya.

“Tenanglah aku tidak apa-apa.” Nanto tersenyum. Ia memperbaiki duduknya. Sebenarnya ia tidak bohong, lukanya memang membuatnya nyeri kesakitan, dia hanya tidak ingin membuat Nada lebih khawatir dari seharusnya. Kasihan gadis itu nantinya.

“Ih!! Sebel banget! Jangan main-main gitu ah!!” Nada mendekat ke arah Nanto, mengeluarkan sapu tangan dan mengelap kening si Bengal yang basah oleh keringat dengan hati-hati. “Please jangan buat jantungku copot lah, Mas. Jangan main-main sama penyakit. Pamali tahu!”

“Lho, lha ini aku beneran sakit lho, ga dibikin-bikin. Yah, emang sebenarnya ga sesakit itu sih. Tapi tetep aja sakit dan ini ga pura-pura sakitnya.”

“Iya… tapi aku kan jadi khawatir, Maaaassss!! Pikirin perasaanku dikit aja kenapaaa sih?”

“Perasaanmu?” pandangan mata si Bengal bagaikan menusuk ke dalam jiwa Nada. Jadi memang benar ya? Mereka berdua ternyata telah terkena panah si bocah asmara yang dengan nakalnya melompat dari awan ke awan untuk mencari incaran dari masa ke masa.

“Eh… iya… ma-maksudku… maksudku… nganu… aaaaaah!” Wajah Nada kembali memerah, tapi saat ia melihat senyuman di wajah si Bengal, wajah khawatirnya berubah menjadi galak. Ia pun memukul pundak si Bengal. “Ih! Sebel banget ga sih! Orang sudah khawatir banget malah…”

Entah apa yang membuat Nanto melakukannya, tapi saat itu ada vibe yang berbeda dari keberadaan Nada yang menemaninya di hari yang sepi. Ia menarik tubuh gadis jelita itu, menggamit pinggul rampingnya, dan menariknya mendekat.

“Mas! Apa-apaa… hmmmmphh!” Nada mencoba meronta.

Sesaat kemudian bibir keduanya bertemu.

Saling membelit menjadi satu. Saling mengelus dan bercumbu. Menghapus rasa rindu yang selalu hadir tapi tak tahu harus ke mana untuk mengadu. Rasa sayang yang tumbuh secara natural membuat Nada takluk di hadapan si Bengal, membuat Nanto seakan-akan kembali menjadi anak nakal. Ciuman yang apa adanya tanpa dibuat-buat, tanpa nafsu, hanya rindu, bergabung, dan bersatu. Tunduk pada situasi yang tepat dan waktu yang laju.

Nada yang tadinya meronta akhirnya justru memejamkan mata. Ia merangkulkan tangannya ke leher Nanto, lalu mencium bibir sang pemuda tanpa kenal hari esok. Napas menderu, jantung berpacu. Keduanya sebenarnya punya perasaan yang sama dan saling merindu. Tidak terucapkan tapi saling tahu.

Ketika bibir mereka terlepas pada akhirnya, satu kait cairan masih terangkai membentuk jembatan di antara keduanya. Pandang mata menjadi pertanyaan dan jawaban yang tersusun dalam premis sebab akibat yang tersusun menjadi satu kesimpulan. Dari pandang misteri, sebenarnya sudah tersedia solusi yang keduanya mungkin tidak dapat mengakui. Karena jurang pemisah nyata itu ada dan sangat lebar meski jembatan penghubung sebenarnya sangat mungkin dibentangkan.

“A-aku…” Nada begitu dekat wajahnya dengan si Bengal. Wajahnya yang manis memerah dan begitu indah. Ia serba salah, tapi akhirnya menyerah. “Sebenarnya aku…”

“Aku juga kok.” Nanto tersenyum.

“Ih…” Nada mencoba melepaskan diri dari pelukan si Bengal, tapi sesaat kemudian ia terhenti karena ragu-ragu. Jangan-jangan si Bengal main-main dengannya?

Keduanya kembali saling pandang. Mata Mas Nanto menatap ke arah bulat mata Nada, menembus ke jiwanya. Tidak bisa… Nada tidak bisa melakukannya… dia tidak bisa melawan dirinya sendiri. Dia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Wanita jelita itu kembali memeluk si Bengal. Tangannya dikait dan dikalungkan pada sang pemuda, berusaha tidak menyentuh tempat luka. Nada membenamkan kepalanya di pelukan pemuda yang ternyata membuatnya kalang kabut itu.

“A-aku harus pergi, Mas… pergi jauh…” bisik Nada perlahan. “Padahal aku tidak mau… aku pengen di sini saja bersamamu…”

“Kemana?”

“Papa mengirimku ke tempat Mama. Dengan semua hal yang terjadi sekarang, kata Papa itu yang terbaik.”

“Setuju kalau begitu. Papa kamu benar. Seandainya saja aku sehat, aku akan menjadi pelindungmu. Seperti yang sudah pernah aku bilang, aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu.”

Nada tersenyum, “Aku tahu…”

“Berapa lama?”

“Aku juga tidak tahu. Yang jelas aku bakal cuti kuliah setahun… ada kemungkinan melanjutkan di sana kalau kondisi di sini tidak kondusif. Jadi bisa saja aku akan pergi secara permanen, tidak akan pernah pulang lagi, atau kalau ternyata Papa ingin semua keluarganya pulang. Maka hanya beberapa bulan ke depan aku sudah kembali ke sini. Semuanya masih belum bisa dipastikan.”

“Permanen? Yakin? Memangnya kamu tidak rindu sama kota ini?”

“Pasti akan sangat rindu. Namaku tengahku saja Rindu.”

“Sama Papa?”

“Pasti.”

“Mas Eros? Mas Ahmad? Kakak-kakak ipar? Keponakan?”

“Ya pasti dong. Tapi mereka kan bisa setiap saat berkunjung ke sana, Mama juga tinggal di sana kan. Kakak-kakak ipar dan keponakanku juga ikut kesana kok.”

“Jadi kalian bisa saja benar-benar baka pindah permanen ke sana ya?”

Nada mengangguk. “Kan sudah aku ulang-ulang dari tadi…”

“Kamu tidak rindu sama aku?”

“Ih Jelek! Ya kangen banget lah!”

“Oh ya?” Nanto tersenyum, ia memeluk gadis itu erat semampunya. Tapi sesaat kemudian ia mengernyit kesakitan.

Nada buru-buru melepaskan pelukannya dengan khawatir. “Eh? Eh? Masih sakit ya? Maaf yaa… pasti sakit banget ya?”

“Masih lebih sakit tidak bisa ketemu kamu selama berbulan-bulan.” Nanto mengedipkan matanya.

“Apaan sih, Mas.” Nada menunduk karena malu..

“Jangan khawatir. Aku akan mencari cara…”

“Cara? Cara apa? Mau ngapain? Jangan aneh-aneh ah! Kamu itu istirahat aja kenapa sih? Udah tahu lagi dirawat malah kepikiran yang aneh-aneh. Kamu ga mikirin perasaanku gimana kosongnya ga bisa ketemu kamu, Mas?”

“Justru itu. Aku sedang mencari cara untuk memperbaiki hubungan dengan Papa kamu. Aku ingin membuat beliau tahu apa yang sebenarnya terjadi dan menerima permintaan maaf yang tulus dariku. Aku ingin beliau mengetahui dengan pasti kalau apa yang kita lakukan – kalau apa yang sudah aku perbuat memang salah, tapi aku melakukannya ketika berada dalam pengaruh hipnotis entah oleh siapa. Mudah-mudahan suatu saat kelak beliau akan paham bahwa rasaku padamu benar-benar ada…”

“Hah!?” Bukannya berbunga-bunga, Nada malah mencibir, “Ya kali yang bohong… cewek Mas kan banyak. Lady sudah pernah cerita sama aku, Mas biangnya playboy cap kaleng krupuk subur.”

“Idih.”

Nada tertawa manis.

Nanto tidak bisa tidak terpesona oleh wajah jelita itu, dia maju dan kembali mengecup bibir sang dara. Keduanya berciuman lembut kembali untuk beberapa saat. Setelah itu kembali Nada membenamkan kepalanya di dada si Bengal.

“Kapan berangkat?” tanya Nanto dalam bisikan lirih.

“Lusa…”

“Maaf aku tidak bisa mengantarkanmu…”

“Tidak usah… Papa pasti ada di sana.”

“Aku bisa cosplay jadi satpam.”

Keduanya tertawa.

“Aku bakal kangen berat sama kamu,” ujar si Bengal sembari mengelus-elus rambut halus sang bidadari jelita. “Entah kapan kita bisa berjumpa kembali.”

“Suatu saat nanti kita pasti berkumpul lagi, Mas. Suatu saat nanti… aku pasti akan menemuimu dan kita berkumpul kembali. Mudah-mudahan saat itu Papa sudah merestui hubungan kita.”

“Mudah-mudahan.”

“Iya… kita bertiga akan berkumpul dan hidup bersama…”

“Iya… kita ber…” Nanto terkejut, matanya terbelalak, lidahnya kelu, seluruh tubuhnya menegang, bibirnya kering, keringat pun deras menuruni wajahnya. “EH!?”

Nada mengangkat badannya, menatap si Bengal dengan derai air mata berlinang, dan mengangguk dengan senyuman bahagia. Ia menarik tangan Nanto dan meletakkannya di perutnya sendiri.

HiHime?”

“Ada yang sedang berjuang di sini, Mas… sesuatu milikmu yang juga milikku. Ini titipan yang harus kita jaga. Kita berdua mungkin bersalah karena menghadirkannya di dunia meski belum memiliki ikatan yang resmi. Tapi dia tidak bersalah karena kehadirannya adalah anugerah.”

Hime…” Nanto bingung harus berkata apa. Antara bingung, susah, senang, ragu, sedih, tapi juga bahagia. Apa yang akan terjadi kelak kalau sudah begini? Bagaimana perasaan sang ketua JXG kalau mendengar kabar seperti ini? “A-apa yang Papa kamu… a-apakah beliau…”

Nada menggeleng. “Beliau masih belum tahu. Tapi jangan khawatir, dia tidak akan berani menyakitiku atau seseorang yang akan aku cintai mati-matian. Tugasku akan aku tuntaskan tanpa Mas perlu khawatir. Tugas Mas sekarang adalah mendekati beliau… bersedia atau tidak? Mau atau tidak?”

Nanto bagaikan dihujani oleh kenyataan demi kenyataan yang silih berganti menampar jiwa dan perasaannya. Apa-apaan ini? Pertama Kinan – yang menghilang tanpa kabar, lalu sekarang Nada juga mengalami nasib yang sama? Bagaimana dia bisa… bagaimana dia akan… bagaimana dia nanti memilih? Selain Kinan, dia juga masih ada Hanna, lalu bu Asty dan…

Bagaimana ini?

…ah, bagaimana-nya nanti saja. Untuk saat ini, Nanto tahu apa yang harus dia ucapkan.

“Aku akan bertanggung jawab.” Nanto maju memeluk Nada dengan erat. Dia menghujani ciuman ke pipi sang bidadari sembari mengelus perut gadis itu dengan rasa sayang berlipat ganda. “Aku akan melakukan semuanya untuk kalian… asal kalian kembali kemari suatu saat nanti.”

“Pasti, Mas…” Nada berkaca-kaca. “Pasti.”

Keduanya berpelukan cukup lama.

Nada tiba-tiba bertanya, “Mas… Mas tidak ingin membuangnya? Bukankah ini aib yang…?”

“Aib apaan! Kan kamu sendiri yang tadi bilang. Dia adalah keajaiban yang dititipkan untuk dirawat dan dibesarkan, bukan dibenci dan dibuang. Aku tidak akan pernah melakukan itu… aku pernah ragu-ragu dulu… tapi sekarang tidak lagi, sekarang aku akan bertanggung jawab.”

“He? Dulu?”

“Ceritanya agak panjang tapi suatu saat nanti aku akan menceritakannya padamu. Saat ini… aku hanya ingin menunggu kalian kembali supaya kita bisa berkumpul kembali.”

“Yakin Mas serius sama aku?”

“Yakin lah.”

“Terus cewe-cewek yang lain bagaimana?”

“Nada… aku tidak bisa…”

“Aku butuh bukti, bukan janji.”

“Justru sebagai buktinya, aku berjanji akan memperbaiki hubunganku dengan Papa kamu… entah bagaimana caranya. Bukti baktiku padamu dan pada… dia yang masih berada di perut kamu.”

“Terima kasih, Mas…”

“Aku yang berterima kasih, Hime.” Nanto mengecup kening Nada. Nada bisa merasakan getaran yang berbeda dari si Bengal. Dia mungkin tidak pandai mengungkapkan, tapi Nada tahu kalau Nanto sedang luar biasa bahagia. “Kamu telah memberikanku anugerah terindah yang pernah kumiliki.”

Perasaan Nada tidak bisa diutarakan, perasaan si Bengal tidak bisa dijabarkan. Meski mungkin hanya sementara karena harus berpisah, tapi saat ini mereka bahagia.

Sampai suatu saat nanti, mereka kan berkumpul kembali.

Asal tidak ada keraguan yang memayungi.

Ataukah…?





.::..::..::..::.





.:: SEMINGGU YANG LALU



Haaaaaaaaahhhhh!!

Deka terbangun dengan mulut terbuka lebar, megap-megap, terengah-engah, dan banjir keringat. Apa yang terjadi? Di mana dia? Dengan siapa? Semalam berbuat apa?

Hgkkkgg! UffCeleng! Wedhus!

Sesak sekali rasa di dadanya!

Sesaknya ibarat diinjak-injak oleh sekumpulan kerbau yang tidak ingin diet yang sedang menggendong badak, buat napas sangat susah. Seseg banget, jon! Mana kepalanya juga terasa pusing sekali sampai berputar-putar. Kalau sedang pusing begini biasanya Deka bakal mencari obat kepala Bedrox.

Ini jelas bukan migren biasa.

Mana obat sakit kepala itu ya? Biasanya dia menyimpannya di… eh?

Lho, lemarinya di mana? Mejanya di mana? Kok tidak ada semua? Kok dia tidur menghadap ke arah yang berbeda?

Lho, di mana dia sebenarnya berada?

Deka mengernyitkan dahi dan mengerutkan kening tanda kebingungan melanda. Malah ada sedikit mules pula. Ada satu pertanyaan besar melintas dalam benaknya. Satu pertanyaan yang menjadi rahasia yang harus ia kuak secepatnya.

Apa yang terjadi?

Si Gondes bukan orang bodoh.

Saat mulai sadar ia langsung menelaah apa yang harus ia benamkan di kepala. Pertama, ia sedang tidak berada di rumahnya. Tempat ini sudah sangat jelas bukanlah rumahnya. Kamar bernuansa pink ini sudah jelas bukan kamarnya. Mana mungkin di kamarnya ada poster Jungkook BTS bersanding dengan poster gajah afrika dari Greenpeace? Kedua, rasa sakit karena pusing, pegal, dan linu yang ia rasakan jelas bukan rasa biasa-biasa saja.

Rasanya seperti… mendapatkan kembali sesuatu yang sebelumnya direbut oleh orang lain.

Deka mendengus kesal. Kepalanya berdenyut karena pusing. Pemuda itu pun menyibakkan selimut dan mendapati... pentungan.

Badalaaaaaah!!

Deka terkejut ketika mendapati kalau ternyata dirinya saat itu sedang telanjang bulat di balik selimut. A-apa-apaan ini? Kenapa dia telanjang? Kenapa banyak pertanyaan kalau tidak ada jawaban?

Jeeeeeezh! Pantes ae semriwing!

Deka melihat ke kanan dan ke kiri. Tidak nampak bajunya dimanapun. Kok dia bisa telanjang begini? Siapa yang telah membuka baju dan celananya? Wasu. Baju? Celana? Baju? Celana? Celana? Baju?

Pertanyaan yang sangat penting adalah… di mana sempaknya? Wassuuuu wasuuu! Kalau tidak pakai sempak kan kontal-kantil. Ga nyaman rasanya.

Wedhuuuuuus! Siapa sih yang sudah nek…

Eh?

Apa ini di dadanya?

Deka mengejapkan mata.

Hal ketiga yang menjadi misteri baginya… dia mendapatkan dirinya sendiri telanjang dengan adanya ornamen hitam yang melingkar bagaikan tato tribal matahari di dadanya.

Weladalah munyuk ketiban kroto. Kapan dia ditato?

Hmm, bukan. Ini bukan tato sepertinya. Saat mengamati tanda hitam melingkar itu Deka seperti melihat sesuatu yang berbeda dari hanya sekedar tato biasa. Rasa-rasanya tidak ada tato senatural ini.

Ah benar, itu bukan tato. Deka sepertinya tahu apa itu - itu adalah markah kutukan hitam yang didapat oleh seorang pengguna jurus terlarang dari aliran ilmu hitam.

Dengan bermodalkan selimut, Deka bangun dari tidurnya karena hendak mencari di mana sebenarnya baju dan celananya. Kok ya ada-ada saja bajingan yang telah menelanjanginya.

Langkah Deka seperti oleng saat menapakkan kaki ke tanah, seperti seorang bayi yang baru melangkah, seperti seseorang yang sedang mabuk laut. Deka melingkarkan selimut di bagian bawah tubuhnya bak sarung dan kesana kemari mencari pakaian di dalam ruangan itu dengan gerak yang lemah dan perlahan. Badan si Gondes terasa kaku semua, tapi dia berusaha keras mencari baju dan celananya. Sayang sampai semua lemari dibuka, ia tak kunjung menemukan pakaiannya.

“Sudah bangun, Mas?”

Kebingungannya belum terjawab, sudah muncul masalah lain – sesaat kemudian ada yang masuk melalui pintu yang ternyata terbuka lebar dan tidak terkunci.

Pintu yang hanya ditutup oleh tirai tersibak. Seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster santai memasuki ruangan. Rambutnya yang tergerai melambai-lambai ditiup kipas angin. Raut muka cerahnya yang dipoles oleh make up tipis membuat wajahnya menjadi terkesan natural dan eksotis.

Siapa dia? Apakah mereka saling mengenal?

Wanita paruh baya itu meneguk ludah saat melihat Deka setengah telanjang, ia buru-buru memalingkan wajah karena malu dan menutup wajahnya dengan tangan meski sekali-sekali mengintip dengan malu-malu.

Meski memalingkan wajah, tapi Deka sempat melihat penampilannya. Wanita paruh baya ini wajahnya cukup unik kalau tidak bisa dibilang magical. Tulang pipinya menonjol keluar, bibirnya teramat tebal, hidungnya beraksen, bulu matanya menantang langit, dan suara beratnya lantang terdengar. Entah kenapa suara itu terdengar begitu khas terutama ketika jakun sang wanita paruh baya itu bergerak naik turun saat meneguk ludah.

…saat meneguk lud…

Eh… sebentar-sebentar…

Ada sesuatu yang…

Pabu sacilad! Dagadu!!

Orang ini… orang ini… jangan-jangan transgender? Jangan-jangan orang ini yang sudah membuka baju Deka dan menelanjanginya? Tidak tidak tidak… ini tidak boleh terjadi. Ini tidak boleh terjadi!

Bajilaaaaaaaaaak!! Celakaaaaa!! Celakaaaaaa!! Aku ternodaaaa!!

Plaaakkk!


“Adoooooooh!” Deka melirik ke sisi kanan, siapa yang baru saja menampar ubun-ubunnya.

“Eh ma-maaf. Kamu sudah benar-benar bangun ya? Ini Mas Deka kan? Ini benar-benar Mas Deka kan?”

Asem ig. Ya sudah jelas aku Deka!! Kamu siap… oh.”

Wajah cantik Shinta muncul dihadapannya. Cantik dan bening, hanya mengenakan kaus rumahan yang menutup tubuh mungilnya sampai ke batas paha dengan celana jeans super pendek yang membuat paha putih mulusnya terlalu licin bahkan untuk dinaiki seekor semut, saking besarnya kaus yang ia kenakan, ada kesan seolah-olah gadis itu tidak mengenakan celana. Wow, bangun-bangun sudah disuguhin paha yang mulus begini. Deka pun meneguk ludah.

“Syukurlah kalau Mas Deka sudah sadar kembali, Mas… syukurlah… syukurlah…” Shinta menepuk-nepuk pundak Deka dengan sangat senang. Matanya bahkan berkaca-kaca. “Akhirnya aku bisa bilang ke Mas Amar kalau Mas Deka sudah benar-benar sembuh sekarang. Syukurlah.”

“A-apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa aku bisa sampai di sini dan…”

“Ceritanya panjang dan lebar, Mas. Tapi mas Deka berada di sini dengan sepengetahuan mas Amar juga kok. Sini, duduklah di sini dulu – aku akan buatkan teh hangat dan nanti kita cerita tentang hari ini… eh hari-hari yang telah berlalu.” Shinta pun menarik tangan Deka supaya duduk di samping pembaringan. Tapi yang ia tarik ternyata bukan tangan Deka, tapi selimut yang ia jadikan sarung. Gadis itu langsung terkejut dan menjerit secara reflek karena otomatis Deka menjadi telanjang bulat.

“HIIAAAAA!!”

“HUWAAAAAAAA!!” Deka juga berteriak.

Ibu-ibu berjakun juga berteriak. “KYAAAAAAAAAA!!!”

Buru-buru Deka mengenakan selimutnya kembali. “Su-sudaaaah! Ada baiknya kalau sebelum ngobrol kalian kembalikan dulu pakaianku. Bagaimana? Setuju ya semuanya? Setuju ya?”

Shinta yang memalingkan wajah mengangguk.

Ibu-ibu berjakun menggeleng. Tapi lantas mengangguk dengan wajah memerah. Yah siapa tahu kan? Namanya juga usaha.

“Jadi di mana bajuku?”

Ibu-ibu berjakun langsung ambil inisiatif untuk menjelaskan. “Di luar kamar ini ada lorong ke kanan dan kiri, ambil jalan yang ke kiri. Di sana ada dapur. Di samping dapur ada kulkas. Kulkas saya baru lho. Saya tempel-tempel foto sewaktu saya jalan-jalan ke luar negeri dulu. Ihihihihi. Jangan diintip ya. Ihihihiihihi. Malu. Malu. Malu. Ihihihihihi.”

“Nganu… baju saya?”

“Eh… ehm. Oke, jadi di samping dapur ada ruangan kecil yang biasa dipakai untuk setrika. Di sana ada tumpukan baju Mas-nya. Ada juga handuk kalau-kalau mau… ihihihihihi…”

“O-oke. Terima kasih.” Deka pun buru-buru kabur untuk mengambil pakaiannya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Deka pun kembali dengan pakaian lengkapnya. Wajahnya sudah lebih tenang dan segar. Sepertinya dia juga baru saja mandi sesuai petunjuk ibu-ibu berjakun.

Deka sudah ditunggu oleh Shinta yang sayangnya sekarang juga mengenakan pakaian yang lebih sopan. Yang tidak disayangkan adalah ibu-ibu berjakun yang masih tetap mengenakan daster tipis menerawang. Si Gondes pun duduk di kursi yang sudah dikosongkan di samping sebuah meja, sudah ada teh manis hangat di sana. Shinta membuatkannya saat Deka mandi.

“Oke… jadi… apa yang terjadi?” Deka melirik-lirik ke arah si ibu-ibu berjakun yang juga melirik balik ke arahnya. Pemuda itu meneguk ludah pengen bunuh diri saat sang ibu-ibu berjakun tiba-tiba mengedipkan mata. “Lalu… mas… eh… pak… eh mbak… eh ibu… ini siapa?”

Shinta tersenyum dan merangkul ibu-ibu berjakun itu dengan penuh rasa sayang, “ini om Tarjo. Om yang paling aku sayang di seluruh dunia.”

Bajingaaaaaaak!!

Jadi ini om Tarjo!? Keturunan tabib paling ampuh sedunia itu!? Yang beginian?! Yang bikin Rahu Kala sampai kalangkabut itu yang beginian? Yang benar sajaaaa!

“Kenalkan, Mas…” Shinta meminta Deka mengulurkan tangan setelah melihat sang ibu-ibu berjakun mengajak pemuda itu bersalaman.

“Salam kenal, Om… saya Tarjo… eh… sa-saya Deka.”

“Ih, Mamas Deka sukanya godain saya. Ihihihihihihi.”

“Sumpah nggak ada niat sama sekali, Om… eh Tante… eh… duh manggilnya siapa sih enaknya? Sumpah saya nggak ada niat menggoda sama sekali. Sumpah.”

“Ihihihihi… panggil saja Tante.” Sesaat kemudian raut wajah ibu-ibu berjakun itu berubah menjadi sangat lelaki, “atau bisa saja tetap panggil om Tarjo. Saya tidak akan marah dipanggil yang mana juga. Saya menerima kodrat saya.”

“Ba-baik.”

Shinta tertawa cekikikan tapi kemudian terdiam dan menunjukkan wajah seriusnya. “Baiklah. Jadi sebenarnya Mas Deka itu sudah hampir dua minggu ini tidak benar-benar sadarkan diri.”

“DUA MINGGUUUU!?”

“Dua minggu tapi tidak full. Kesadaran Mas Deka keluar masuk. Seperti ada peperangan di dalam jiwa Mas. Peperangan memperebutkan siapa yang berhak menguasai tubuh. Semuanya karena ilmu hitam yang Mas dapatkan.”

“Hah?” Deka benar-benar tidak nyambung. Kok mistis banget? “Lalu?”

“Mamas Deka hampir kalah dan lenyap jadi setan kredit ketika roh yang masuk ke dalam tubuh itu sedikit lagi akan berkuasa penuh. Atau singkat cerita, Mamas Deka hampir mati ditelan roh yang membawa ilmu hitam yang Mamas ampu. Kondisi kesehatan Mamas benar-benar kritis seminggu yang lalu,” ujar om Tarjo menjelaskan. “Saya benar-benar khawatir.”

Om Tarjo menyentuh lutut Deka untuk menunjukkan kekhawatirannya. “Saya khawatir. Banget.”

Deka langsung berdiri. “Hiyaaaaa! Eh, iyaaa… terima kasih.”

Shinta melanjutkan percakapan, “Aku awalnya bingung kenapa Mas pingsan di depanku. Aku lantas membawa Mas ke Mas Amar dan menjelaskan kalau om Tarjo yang sedang sakit ini sebenarnya bisa menyembuhkan ketergantungan dari ilmu hitam. Tapi butuh waktu. Itu sebabnya aku minta ijin untuk membawa mas Deka sekaligus membawanya ke om Tarjo. Ini kebetulan banget pas Mas Deka datang ke sini, om Tarjo juga langsung sehat dan segar.”

“Ralat. Aku hanya mampu meredakan, bukan menyembuhkan pasien dari ilmu hitam . Ihihihi. Sepertinya memang butuh torped… maksud saya daging segar… ihihihihihihi.”

“Jangan bilang kalau… jangan bilang kalau…”

“Mas Amar yang membantu om Tarjo setiap hari mencoba melakukan terapi. Setiap saat pula mas Deka koma, tenggelam dalam perebutan jiwa. Kami berpacu dengan waktu. Om Tarjo memberikan terapi berupa akupunktur, totok, dan pengobatan herbal. Hasilnya ternyata memang manjur.”

“Ihihihihih… aku kan hanya… hanya….”

Om Tarjo lantas terbatuk-batuk, suaranya terdengar sangat menyakitkan. Shinta buru-buru mengambilkan tissue dan kantong obat untuk sang Om yang tampilannya seperti Tante itu. di balik sikapnya yang flamboyan, ternyata om Tarjo tengah sakit keras. Namun ia menyempatkan diri untuk membantu Deka.

“Hari ini Om belum minum obat kan? Om minum ya…” Shinta dengan rasa sayang memberikan beberapa butir obat. Om Tarjo mengangguk dan tersenyum. Deka juga ikut membantu dengan mengambilkan segelas air putih.

“Terima kasih, Mamas Deka…” om Tarjo meminum obat dan melancarkannya dengan minum air putih yang diambilkan oleh Deka barusan.

“Saya yang seharusnya berterima kasih.” Deka sudah mulai bisa menerima sifat dan sikap om Tarjo yang flamboyan. Memang tidak ada salahnya bukan? “Dengan kondisi om yang sudah parah ini, om mau menyembuhkan aku.”

Masih terbatuk-batuk, om Tarjo melambaikan tangannya. “Tidak-tidak… aku hanya bisa mencoba menolong semampuku di sisa-sisa hidupku yang gak jelas ini. Lagipula kamu masih belum bersih betul dari ilmu hitam itu. Hanya kamulah yang bisa menyembuhkan dirimu sendiri, hanya kamulah yang berhak atas tubuhmu. Kamulah yang harus menentukan siapa yang menjadi tuan bagi siapa. Dia hanya diredam sementara, tapi tidak selamanya. Dia akan kembali kapan saja dan menuntutmu melakukan hal-hal tak baik untuknya.”

Shinta menundukkan kepala, “Seandainya saja kami dapat membantu…”

Deka tersenyum lembut, “Tidak apa-apa. Begini saja sudah cukup. Memang mungkin salahku yang terlalu ingin cepat menjadi jagoan dengan ilmu hitam. Ternyata sama sekali tidak worth it. Sekarang aku hancur karena ulahku sendiri.”

Om Tarjo mengangguk-angguk, “Hanya segelintir saja penguasa ilmu hitam yang pada akhirnya bisa menguasai dirinya sendiri dan menaklukkan roh jahat yang memberikannya kekuatan. Sebagian besar tewas karena tak kuat menahan rasa dahaga dalam jiwa dan dikalahkan oleh roh yang merasuk. Kamu sudah terlanjur memilih ilmu hitam, mustahil menghapusnya bersih. Kamu hanya tinggal memilih yang mana, mau jadi tuan atau jadi budak.”

“Bagaimana jika dia lapar?” tanya Deka lagi. “Aku takut melukai orang-orang disekitarku. Bisa saja kan tiba-tiba dia muncul, mengambil alih, dan aku bangun dengan kondisi ternyata telah menyakiti orang-orang terdekatku? Yang seperti itu yang aku takutkan. Apa yang harus aku lakukan, Om? ”

“Aku tidak bisa memberikan obat yang secara khusus menyembuhkanmu dari kerasukan. Tidak ada yang seperti itu.” Om Tarjo mendekat ke arah Deka. Ia menunjuk ke dada Deka, ke jantungnya, menunjuknya berulang-ulang kali. “Obatnya adalah ini… dekatkan ke sana.” Jari telunjuk Om Tarjo menunjuk ke atas sembari tersenyum.

“Itu jawabannya. Bekali dirimu dengan kekuatan untuk memupus yang merasuki. Ketika terang dibawah bayang-bayang kegelapan, jadilah terang yang seterang-terangnya sehingga bahkan bayangan pun takut dan menyingkir. Sebesar dan sekuat apapun dia pasti bisa dikalahkan. Jangan pernah lupa kalau derajat manusia lebih tinggi.”

Pria flamboyan itu melangkah ke rak buku dan memilih satu buku yang terletak di paling ujung. “Dari pattern aura-mu, aku sudah bisa membaca kalau kamu menguasai banyak ilmu kanuragan. Aku dengar dari Babang Amar ganteng kalau kamu menguasai Perisai Genta Emas sebagai basis tenaga dalam untuk pertahanan. Ki-mu sudah pasti besar. Sudah saatnya kamu juga menguasai ilmu lain yang mumpuni sebagai andalan sehingga kamu tidak perlu mengeluarkan Api dan Es-mu. Akan sangat sakit sekali menahan gejolak roh itu, dan akan susah sekali dibendung jika dia sudah berniat menguasaimu. Tapi kamu harus bertahan dan tidak pernah menyerah. Paham? Sekali saja kamu menyerah, dia mengira dapat menundukkanmu kapan saja.”

Om Tarjo memberikan sebuah buku pada Deka.

“Agak berdebu sih tapi yang penting isi bukan? Don’t judge a book by it’s cover, ye cyin. Ihihihihih… Ini bukan ilmu kanuragan. Ini ilmu pernapasan, jika bisa melakukan pernapasan dengan benar dan baik, maka kamu akan sanggup mengatasi yang bergejolak di dalam batin dengan lebih tenang. Siapa tahu dengan mempelajari ilmu ini, kamu justru bisa menetralkan ilmu hitam dan menjadi salah satu penakluknya, yang pada akhirnya membuatmu mampu menggunakan ilmu hitam dengan bebas tanpa kerasukan.” Om Tarjo mengedipkan mata, “Tapi di dalamnya ada juga cara untuk menguasai ilmu yang spesial. Pelajari saja.”

“Ba-baik… terima kasih, terima kasih sekali.” Mata Deka membesar karena bersemangat. Luar biasa sekali, dia mendapatkan sesuatu yang tak disangka-sangka.

Setelah menerima kitab dari Om Tarjo, pandangan Deka pun beralih pada Shinta. “Lalu… bagaimana dengan orangtu…”

“Shinta.”

“Iya, Om?”

“Bisa minta tolong ambilin koyo cabe di kamar? Pundak agak capek ini. Habis batuk-batuk tadi pengennya nempelin koyo.”

“Baik, Om.” Shinta pun bergegas. Dia tahu pasti betapa rapuhnya tubuh om Tarjo. Jika mengeluh mau koyo, itu artinya seluruh badannya sedang bergejolak karena kesakitan.

Saat Shinta meninggalkan ruangan, tiba-tiba saja om Tarjo mendekati Deka. “Aku mau meminta tolong sesuatu padamu. Sesuatu yang personal, private, intim, harus berdua saja. Ihihihihihi.”

“Minta tolong apa, Om?” tegang juga Deka cuma berduaan begini bareng si Om yang cowok iya cewek iya. Ini orang kalau ngisi data penduduk jenis kelaminnya apa ya? Kalau ke toilet umum beloknya kemana?

“Kamu tahu sendiri aku sudah sekarat. Nyawaku pasti tak akan lama,” bisik om Tarjo.

Deka tertegun.

“Aku tidak mungkin membiarkan orangtua si Shinta sekarat di tangan Rahu Kala. Aku harus menolong mereka. Sebenarnya Shinta tidak ingin aku pergi, dia sedang gamang di pilihan siapa yang akan dia korbankan. Dia takut kemampuanku akan membuat Rahu semakin unggul, tapi jika dia menahanku di sini, nasib orangtuanya tidak diketahui dan dia menjadi anak durhaka.” Om Tarjo batuk lagi, kali ini ada darah yang menetes dari bibir. “Umurku tak akan lama, kita semua tahu itu kan ya. Jadi aku mau minta tolong padamu untuk menjaga dia dan memastikan orangtuanya selamat sampai di rumah. Aku yang akan menghadapi Rahu Kala dengan napas terakhirku.”

“Tapi Om bakal… aku tidak mau berkata jelek, tapi nasib Om bakal…”

Om Tarjo tersenyum. “Biarlah aku menyongsong nasibku dengan keindahan. Apapun yang terjadi padaku, aku sudah ikhlas. Lebih baik aku mati membalas budi, daripada hidup tapi tertekan dan menyesal.”

Deka terdiam.

“Bagaimana, kamu bisa berjanji padaku?”

“Aku usahakan sebaik-baiknya, Om.”

“Ihihihihi, Mamas memang ganteng. Sebagai bukti terima kasih, akan aku beritahukan sesuatu yang menjadi rahasiamu. Ini akan menentukan menang kalahmu kelak.” Om Tarjo semakin mendekatkan diri ke arah Deka, ia kemudian membisikkan sesuatu.

Sesuatu yang membuat mata Deka terbelalak karena terkejut.

Saat itulah Shinta masuk.

Karena om Tarjo membungkuk di dekat wajah Deka, posisi tubuh mereka pun terlihat seperti dua orang yang sedang begitulah. Shinta langsung menutup mulutnya sebelum akhirnya bertanya dengan penasaran. “A-apa yang kalian lakukan?”

“EH!! KAMI TIDAK NGAPA-NGAPAIN!!!” Deka langsung beringsut ke samping dengan wajah polos dan merah semerah-merahnya seperti jambu air.

Om Tarjo sebaliknya malah menowel pipi Deka dengan manja, “Ihihihihii Mamas ganteng ini lho. Masa Mamasnya godain Om terus kan Om jadi gak kuat yaaaaa. Ihihihihihihi. Belah aku Mas, belahlah punyakuuu.”

“MAMPUSSSSS AKUUUUU!! TIDAK ADA CERITA BEGITUAAAAAN!!”

Shinta tertawa karena bingung harus bagaimana.





.::..::..::..::.





Suasana bandara sedang-sedang saja.

Tidak ramai, tidak sepi, tidak penuh, tidak kosong.

Dua orang duduk di kursi yang berada di antara pintu masuk dan pintu keluar. Mereka tahu hanya satu di antara mereka berdua yang dapat melewati pintu masuk. Satu orang yang jika sudah melewatinya, entah kapan akan kembali.

“Sebenarnya kamu tidak perlu mengantarkan aku, Mas. Kondisimu masih seperti itu. Jangan memaksakan diri… jangan membuat aku jadi tambah sedih.”

Hanna menyentuh lembut tangan si Bengal. Jemari tangan mereka rapat saling menggenggam saat keduanya duduk bersebelahan. Tatapan mata khawatir nampak dari bulat mata sang dara jelita yang tak henti-hentinya menatap wajah sang pria, namun selalu mengalihkan pandangan saat ditatap balik. “A-Apalagi kita juga tidak boleh terlihat di tempat umum berdua. Mereka pasti akan kembali curiga padaku setelah apa yang aku….”

“Tenanglah, tidak ada yang mengikuti dan mengawasi kita. Tim Garangan juga tidak bakalan segitunya amat ngikutin kemanapun kamu pergi. Aku tidak pernah sekalipun curiga sama kamu dan aku juga tidak peduli apa kata semua orang karena aku sangat yakin kamu tidaklah seperti itu.” Nanto mengelus rambut Hanna. “Tidak usah pedulikan apa yang orang bilang. Aku tahu apa yang kamu lakukan itu di luar kesadaranmu. Yang harus kita cari adalah bedebah yang telah membuatmu seperti itu. Karena hal yang sama terjadi padaku dan membuatku menyakiti Nada.”

“Ta-tapi, Mas… tetap saja itu tanganku yang menusukkan pisau. Itu aku yang membuatmu jatuh, aku yang membuatmu berdarah, aku yang melukaimu dengan parah. Itu semua aku. Bukan orang lain.” ada genangan air mata di pelupuk mata Hanna, dia mungkin masih merasa bersalah telah melukai sang pria pujaan walaupun ia dihipnotis sekalipun. “Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri kalau kamu sampai kenapa-kenapa.”

“Aku tidak apa-apa. Lihat saja sekarang, ada di depan kamu. Tidak apa-apa. Yah meski dengan punggung masih seperti ini, tapi aku tidak apa-apa.”

“Aku tidak bisa menghilangkan bayanganku sendiri yang dengan tanpa perasaan menusukmu, Mas. Sesuatu yang sama sekali tak terpikirkan olehku. Apa yang akan terjadi seandainya hal yang sama terulang kembali? Jika ternyata pengaruh hipnotisnya beum hilang? Apakah ada jaminan aku tidak akan melakukannya lagi? Tidak ada kan, Mas?” Hanna menundukkan kepala. “Untuk saat ini, rasa-rasanya Mas Nanto tidak akan aman jika berdua saja denganku.”

Suara pesawat yang lepas landas melintas di atas mereka. Keduanya tengah duduk di sebuah kursi yang ada di depan sebuah kedai kopi. Di meja kecil yang ada di depan keduanya, ada dua gelas kopi susu yang sudah hampir habis dan dua bekas tempat roti croissant.

“Aku pergi dulu ya, Mas. Tidak tahu kapan akan kembali.”

Nanto menghela napas dengan berat hati. “Belajar dengan tenang di sana dan pulang kembali ke sini dengan membawa prestasi. Jangan khawatir. Aku akan tetap di sini, tetap seperti ini, tetap tidak berubah, dan tetap menjadi Nanto yang kamu kenal. Seperti kamu nantinya, aku juga akan berusaha menjadi lebih baik lagi.”

“Mudah-mudahan.”

Si Bengal kembali mengelus rambut Hanna, lalu mengecup dahinya. “Ada pertemuan ada perpisahan. Kita pasti akan bertemu lagi kelak, tapi untuk itu kita harus berpisah terlebih dahulu. Aku hanya berharap, jika kelak kita bertemu kembali, kita akan menjadi diri kita yang lebih baik lagi.”

“Mungkin.” Senyum Hanna kecut, “Mungkin iya mungkin tidak. Mungkin suatu saat kelak kita akan kembali berjumpa, aku sudah bisa memaafkan diriku sendiri. Aku ingin bisa bertemu lagi denganmu. Tapi sampai saat itu tiba… aku rasa-rasanya masih belum sanggup menghadapi perasaan bersalahku. Bahkan melihat wajahmu pun aku merasa bersalah.”

“Hanna... aku sudah bilang berkali-kali… ini bukan salahmu…”

“Salahku, Mas. Aku lengah. Aku pernah berjanji untuk selalu bersamamu dan selalu menemanimu. Dalam hati aku akan selalu melakukannya. Sekarang pun aku melakukan yang terbaik yang dapat aku pikirkan untuk melindungimu, dan itu adalah melepaskanmu dari sisiku.” Hanna semakin tertunduk. “Aku membenci diriku sendiri saat ini, Mas. Aku hancur tapi aku harus melakukannya. Jangan buat aku tambah bersedih dengan melakukan hal yang tidak-tidak ya...”

“Jika ada satu hal yang harus kamu lakukan adalah berhenti menyalahkan diri sendiri. Kamu tidak bersalah. Tidak pernah.” Nanto menghela napas, “Kita tidak akan pernah berpisah – kecuali kamu ingin melakukannya. Jadi jangan pernah kehilangan kontak ya, hubungi aku terus. Kita sudah berjanji, kan? Aku ingin selalu ngobrol sama kamu.”

“Rasa-rasanya kamu akan jadi susah sekali dihubungi, dengan semua keadaan kacau yang terjadi di kota akhir-akhir ini. Aku juga tidak tahu bagaimana besok.” Hanna menunduk, “Bisa jadi mungkin ini saat terakhir kita bertemu.”

Nanto tentu tidak bisa menahan rasa kecewanya, jerat jemari tangannya semakin erat, tapi dia tidak bisa menahan Hanna. Tidak bisa dan tidak ingin.

“Sebenarnya tidak harus seperti itu. Dulu kamu pernah membantuku meneguhkan kaki dan harapan saat aku baru datang kembali di kota ini, maka sekarang aku juga ingin membantumu melakukan hal yang sama. Jalannya? Dengan tidak akan menahanmu di sini karena aku tahu kamu berhak hidup tenang dan berhak punya masa depan yang lebih baik. Jadi tetaplah dengan tujuan semula, tinggal di sana, kuliah dengan baik, dan suatu saat nanti pulang dengan hati yang bersih dan lembaran baru. Mudah-mudahan saat itu aku masih diperkenankan menyambutmu pulang.”

Hanna meneteskan air mata, hanya berupa garis-garis transparan, tapi itupun karena dia sudah bertahan mati-matian untuk tidak jatuh ke dalam tangis yang deras. “Aku juga belum tahu apa yang akan terjadi saat aku pulang nanti.”

“Kalau menurut ramalan, kamu akan menjadi wanita yang hebat kelak,” ucap si Bengal sembari tersenyum dan mencoba menenangkan Hanna. “Kamu punya pesan untukku?”

“Pesanku hanya satu, Mas... janganlah kamu ikut perang yang sedang berkecamuk di luar sana. Aku akan selalu khawatir jika Aliansi turun ke jalan – takut jika suatu saat nanti aku melihat wajahmu di TV dengan berita yang tidak baik.”

“Jangan khawatir. Aliansi sedang kami non-aktifkan mengikuti petunjuk om Janu. Semua anggotanya sedang berpencar. Bahkan teman-temanku dari Lima Jari sedang tidak aktif.” Tentu saja si Bengal sedang berbohong. Dia tidak ingin Hanna khawatir. “Pesan yang baik-baik saja dong, jangan yang membuat kita berdua sama-sama tegang.”

“Makan sayur, jaga kondisi, jaga kesehatan, jangan berantem. Jangan berantem kalau tidak penting. Ga tau apa kalau aku selalu khawatir? Dasar Bengal.” Hanna tersenyum sembari menyandarkan kepalanya di dada si Nanto. “Aku harus gimana kalau kangen kamu, Mas? Beberapa minggu ini saja aku tidak bisa tidur tidak ketemu kamu.”

“Cari pacar baru mungkin?”

Bkh.

Tangan mungil Hanna memukul dada sang pemuda. “Apaan sih kamu, Mas. Memangnya kamu mau aku ketemu cowok lain di sana?”

“Seandainya dia lebih baik dariku. Kenapa tidak?” Nanto membenahi poni gadis cantik di pelukannya. “Aku bukan orang baik. Seperti yang sudah kamu bilang tadi, aku bengal. Aku berduaan dengan kamu di sini sementara kekasihku sendiri entah sedang di mana sekarang, belum lagi jika ternyata ada cewek lain yang…”

Hanna cemberut, “bisa-bisanya ngomong begitu di saat aku mau pergi.”

“Bukankah itu pertanda kalau aku jahat?”

Hanna tidak ingin membicarakan itu sekarang, walaupun suatu saat nanti pasti akan terkuak juga. Dia merasa dia lah yang membuat Nanto mengkhianati Kinan. Hanna menggeleng, “Kamu tidak jahat. Mungkin akulah yang jahat. Tetap menarikmu mendekat padaku padahal kamu sudah punya Kinan.”

“Entah kemana dia. Sepertinya aku selalu gagal kalau berpacaran. Begini rasanya di-ghosting ya?” Nanto menggelengkan kepala, “Aku hanya tidak percaya Kinan begitu saja. Mungkin aku memang orang yang tidak pantas dicintai dan dipercaya oleh orang lain. Aku selalu menimbulkan masalah dan orang-orang…”

Hanna meletakkan telunjuknya di bibir si Bengal. Ia menggelengkan kepala. “Kamu pasti bisa, Mas. Tunjukkan pada semua orang. Kamu yang terbaik.”

Nanto tersenyum dan mengangguk.

Terdengar suara panggilan melalui pengeras suara.

Hanna melirik ke jam tangannya lalu memeluk si Bengal sekali lagi. “Aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal.”

“Kalau begitu tidak usah.”

“Terus?”

“Ucapkan sampai bertemu kembali. Itu rasanya lebih menenangkan. Janji untuk bertemu. Padahal entah kapan ketemunya.”

Hanna mengangguk. Ia mengecup bibir si Bengal, lalu berbisik perlahan. “Sampai bertemu kembali.”

Gadis cantik itu lantas berdiri dan berjalan menuju metal detector sementara si Bengal mengamati dari kejauhan. Hanna tidak sanggup menengok ke belakang karena dia tahu Nanto benar-benar akan terus berdiri di sana sampai kemudian Hanna menghilang dari pandangan.

Sampai akhirnya… menghilang dari pandangan.

Akhirnya Hanna juga pergi.

Pemuda itu menunduk. Pertama Kinan menghilang, lalu Nada pergi, sekarang Hanna juga.

Mungkin saja ini karma.

Mungkin saja dia lupa diri dan terlalu rakus. Semua wanita yang dekat dengannya diterima tanpa ada keinginan untuk memilah dan memilih, membuatnya merasa dapat memiliki semua meski kenyataannya mungkin tidak mungkin melakukannya, dan kini secara natural dia dihadapkan pada kenyataan untuk mengucap perpisahan pada semuanya.

Apalagi dua di antaranya ternyata tengah

Ah. Kamu memang kaleng sarden, Bengal. Kamu biarkan saja hubunganmu ambigu dengan mereka padahal mereka menaruh harapan padamu. Kenapa tidak menjadi laki-laki dengan memilih dan teguh pada pilihanmu?

Tapi ya… mau bagaimana lagi? Dia tidak pernah bisa menolak wanita cantik. Nanto menggaruk-garuk kepala. Lagipula sekarang terbukt kalau dia malah sendirian lagi.

Mungkin memang aturan dunia. Kalau rakus mau semuanya, maka bersiap kehilangan semuanya.

Ah.

Jalani saja. Dunia tidak akan berhenti ketika kita mengeluh. Lebih baik hadapi semuanya dengan ikhlas dan lapang dada. Kinan sudah pergi, mudah-mudahan dia sehat dan selalu baik. Entah di mana dia berada. Mudah-mudahan Nada juga sehat dan Papa-nya bisa mengerti keadaan si Bengal saat itu.

Kini saatnya Hanna.

Setelah jauh melangkah, Hanna menatap ke belakang. Ke arah hatinya yang hilang. Tertinggal mungkin tapi akan dirindukan. Hingga suatu saat nanti berjumpa kembali, entah berapa tahun, berapa bulan, berapa pekan.

Ketika berjumpa cinta sejati, ingin sehidup semati, tapi arah hidup menggarisbawahi, bahwa perpisahan harus dilakukan demi jatidiri. Tidak terperi rasa sakit dalam hati Hanna, yang setiap malam selalu membisikkan doa, untuk sang pemuda pemilik hatinya. Doa yang tulus dengan harapan, bahwa kelak mereka akan berjumpa, dan semua baik-baik saja.

Hanna melirik ke arah tas dan mengambil sebuah buku tulis. Buku yang sering ia gunakan untuk corat-coret puisi-puisi kesayangannya. Ia merobek kertas berisikan puisi dari dalam buku itu, lalu menyelipkan kertasnya di balik casing bening ponsel yang ia bawa-bawa.

Kertas itu bertuliskan satu puisi dari seorang penulis di awal abad ke-20. Tentang perpisahan di bandara. Hanna menemukannya beberapa hari yang lalu dan sangat menyukainya. Mungkin memang saat ini mereka berdua harus terpisahkan jarak dan waktu, entah akan bisa saling menghubungi atau tidak. Entah apakah Mas Nanto apakah masih akan menyayanginya atau tidak, tapi dia akan selalu menyimpan nama pemuda itu dalam hatinya.

Kini, dia akan menyaksikan Mas Nanto dari kejauhan, dari berita dan dari kabar. Dia ingin menyaksikan keajaiban si Bengal bangkit di antara reruntuhan. Dia ingin menyaksikan Mas Nanto bangkit seperti burung Phoenix yang terbang tinggi dengan sayap api di antara abu-abu yang berterbangan.

Dia akan bangga ketika saat itu tiba..

Sepertinya hari ini dia terlalu banyak menangis, Hanna tersenyum, dan melirik ke bagian belakang casing ponselnya.

Sampai jumpa, Mas. Terbanglah tinggi.

Sampai kita bertemu kembali
.





BAGIAN 10 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 11
 

Similar threads

Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd