Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 12
ANGIN




Lupakan anggapan bahwa kita harus sama seperti orang lain.
Itu sama saja merampas kesempatan kita untuk menjadi luar biasa,
dan hanya akan membuat kita menjadi orang yang biasa-biasa saja.

- Uta Hagen





.:: SEKARANG



Roy berdiri dan menggosok telapak tangannya.

Dia berasa seperti sang Laba-Laba Merah yang jumawa di atas gedung bertingkat.

Dari atas hotel bercat putih yang ada di ujung jalan raya utama, bisa terlihat stasiun kereta api terbesar di kota membentang dari timur ke barat dan membelah jalan utama menjadi dua sisi, jalan menuju keraton dan jalan dari Tugu. Di sisi selatan stasiun sendiri, banyak hotel demi hotel berjajar dari sisi ke sisi, bersejajar, dan berbaris. Sama seperti kawasan lain di kota ini, tiap sudut jalan selatan stasiun nan populer ini juga menawarkan sajian khas berselera.

Dulu kawasan di selatan stasiun kereta adalah kawasan ‘merah’ yang tidak perlu dijelaskan apa artinya. Sajian khas yang tersaji adalah sesawangan lesehan para mbokdhe-mbokdhe yang bertebaran dari ujung sampai ke ujung meski tentu saja bukan mereka lawuh dan iwak-nya, mereka adalah penyergap, genus nepenthes. Tujuan utama keberadaan mereka adalah untuk memancing para pria hidung belang yang ingin secelup dua celup melepaskan dahaga selangkangan. Pria-pria yang terjerat lantas digiring masuk ke labirin jalan tikus untuk masuk ke hotel-hotel di dalam gang demi memilih satu nama – atau kadang dua – dari daftar katalog para penjaja yang akan menemani malam yang dingin menjadi lebih hangat.

Tapi itu dulu.

Dan itu katanya.

Kawasan itu kini telah dibersihkan oleh Pemda supaya lebih tertata, sopan dan lebih representatif jika ada turis dan tamu luar kota yang datang berkunjung. Tertata lho ya. Tertata berarti lebih rapi, tertata bukan berarti yang dulu ada menjadi tidak ada, masih ada hanya saja lebih secretive, lebih secluded, lebih tersembunyi, berkamuflase dalam gang-gang mengular bak labirin, dan menjelma menjadi gelap di terang hari.

Tapi mohon maaf ini bukan cerita tentang kawasan itu.

Ini cerita tentang Sang Pengendara Angin. Orang yang kini berdiri dengan tenang di atas hotel tua yang berada di pengkolan jalan. Hotel tua yang telah berdiri sejak tahun 1908 dan berjuluk The Grand Hotel. Hotel legendaris yang jika kita berdiri di depannya maka hal itu akan menjadi penanda bahwa kita telah sampai di kawasan yang menjadi jantung kota.

Roy berdiri di atas hotel, menatap ke arah jauh – ke arah kawasan di sebelah stasiun kereta.

Tangannya masuk ke saku celana, matanya tak henti-hentinya bergerak untuk menelaah landscape, mulut komat-kamit tapi bukan karena berdoa atau mengucapkan mantra. Bibir pemuda itu komat-kamit karena sedang mengunyah permen karet Big Bobal. Matanya sendiri tak henti-hentinya bergerak untuk menelisik dan memindai.

Ia sedang mencatat dan memperhitungkan setiap gerakan yang mungkin ia lakukan untuk mencapai lokasi seberang.

Jika hendak ke sana, maka dia harus ke situ, lalu ke sini, dan akhirnya ke sana. Lalu jika jalan ke situ, maka dilanjutkan ke sana, dan akhirnya ke sini. Seperti itu.

Pikiran pemuda itu bergerak dengan cepat untuk memperkirakan gerakan yang bisa ia eksekusi jika melakukan lompatan ke arah-arah tertentu. Parkour adalah olah tubuh yang membutuhkan kecekatan, kecepatan, ketepatan, dan ketelitian. Meleng sedikit, patah tulang akibatnya. Itu sebabnya dia tidak boleh salah, bukannya keren malah jadi konyol.

Walaupun dia sebenarnya tidak ingin pamer. Bagi Sang Pengendara Angin, parkour adalah sarana untuk berlatih ilmu kanuragan. Oleh Roy ilmu ringan tubuh yang diajarkan oleh Pak Uya digabungkan dengan ilmu kanuragan berbasiskan tenaga dalam yang diajarkan oleh Ki Kadar. Selama ini dia masih belum berhasil menggabungkan keduanya karena tidak ada chemistry-nya. Tenaga dalam justru digunakan untuk mengatur laju racun Cakar Tangan Hitam yang masih mengalir dalam tubuhnya.

Roy memejamkan matanya. Ia mengusap kedua telapak tangannya yang berasa dingin dan mulai membisikkan kalimat demi kalimat yang diajarkan oleh Ki Kadar sembari menjulurkan tangannya ke depan, mengaitkan jari jemari, membentuk segitiga di depan dada.

Langit terbelah awan menangis membasahi bumi.
Guntur berderak marah mengisi relung hati.
Putus asa tercurah dalam madah,
Malam sedih berkabut air mata darah
.”

Saat Roy membuka mata, setetes air mata menggaris menuruni pipi, ke bawah terus, dan terus, dan terus, dan terus, dan terus turun ke bawah. Roy mengepalkan tangannya, menerima air mata yang menetes dengan punggung tangannya. Pertemuan antara kepalan dan punggung tangan hanya sekejap, tapi percikannya membangkitkan sesuatu dalam diri Sang Pengendara Angin.

Inilah dia, jurus yang justru akan menghebat ketika penggunanya didera kesedihan luar biasa. Saat air mata bertemu kepalan, tenaga dalam Roy terpantik, aura Ki-nya menyala. Inilah dia, Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah.

Inilah… hmm…

Roy merasakan sesuatu yang berbeda.

Kenapa terasa tidak seperti biasanya, ya? Tenaga dalamnya menyala tapi tidak sehebat sebelum-sebelumnya. Seperti ada yang tertahan dalam tubuhnya. Seperti botol soda yang sudah dikocok tapi tutupnya tak dibuka.

Kenapa itu terjadi?

Apakah karena dia tidak sedang merasa sedih?

Sebenarnya Roy penasaran… jika dia tidak sedang mengalami kesengsaraan yang membuat hatinya pedih, akankah ilmu kanuragan ini jadi efektif? Sesuai namanya, ilmu ini disebut Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah. Tapi bagaimana kalau sang pengguna sedang tidak sedih? Sekali waktu, Roy pernah bertanya kepada Pasat.

Kalau kita tidak sedang sedih apakah jurus ini akan bisa terpakai? Bagaimana kalau aku sedang gembira? Atau sedang bungah? Atau sedang baik-baik saja?” tanya Roy.

“Aku selalu merasa sedih, jadi tidak pernah memperhatikan hal semacam itu
.” kata Pasat, “Tapi aku setuju dengan pertanyaan itu. Meragukan ya? Kalau memang yang kita pertanyakan itu terjadi, maka bisa jadi hal itu menjadi kelemahan ilmu kanuragan ini. Dari namanya saja sudah mengandung kesedihan, kalau kita gembira tentu tidak bisa digunakan. Kita harus menyiasatinya. Pilihannya ada dua, mengembangkan ilmunya dan menerapkannya pada banyak kondisi dengan mengubah ambang batas kesedihan, atau kita menerapkan kesedihan pada diri kita sepanjang waktu. Secara mental tentu itu tidak bagus. Kecuali bagi yang hidupnya dipenuhi kesedihan sepertiku.”

Jawaban dari Pasat itu sepertinya cukup menjelaskan. Ilmu kanuragan yang ia miliki beresiko tidak bisa digunakan.

Roy menyeka hidungnya yang juga terasa dingin. Bagai makan buah simalakama. Begini salah, begitu juga salah. Dia harus menemukan cara untuk mengoptimalkan kemampuannya dengan tenaga dalam yang ada tanpa harus merasa bersedih. Tentu saja tenaga dalam yang ia miliki seharusnya bisa digunakan untuk bela diri, selain hanya untuk menjaga laju racun.

Tapi bagaimana caranya memaksimalkan tanpa harus bersedih?

Coba dia rasakan dulu tenaga dalam ini, lalu dia terapkan. Jika sudah terbiasa menggunakan, mungkin bisa dia nyalakan tanpa harus merasa sedih. Sang Pengendara Angin menganggukkan kepalanya.

Gentlemen, start your engine.”

Roy menyebarkan aliran tenaga yang memendar dalam jiwanya ke seluruh tubuh. Seperti ada kesemutan yang mejalar sesaat ketika tenaga itu disebarkan. Pemuda itu lantas menarik napas panjang, merunduk dengan pose seperti orang berlari, memejamkan mata sesaat, lalu membukanya dengan menghempaskan satu lepasan tenaga ke belakang.

In three, two, one. Go!

Roy melesat ke depan dengan kecepatan tinggi, tubuhnya terasa sangat ringan. Dengan mudahnya ia melompati dari satu bangunan ke bangunan lain. Kakinya menapak dan menjejak, dari satu beton ke tembok, dari satu dinding ke pagar. Roy melompat, berguling, melompat, berguling. Semua ia lakukan dengan mudahnya seperti tanpa perlu mengeluarkan banyak effort. Begitu cepatnya ia bergerak, orang-orang hanya bisa melihatnya sekejap tanpa bisa mengikuti.

Hajigur, dia berasa seperti Sapider-Man. Semua ia lompati dengan mudahnya. Gedung tinggi di kota ini tidak banyak, sehingga posisi jejak menjejak kakinya harus sesekali perlahan turun ke bawah, melewati trotoar dan jalan setapak antar gedung, lalu naik lagi ke pohon, ke tiang pancang, baru kemudian naik lagi melalui tingkatan dan bangunan yang menjulang ke atas. Persis seekor kadal yang melompat dari satu daun ke daun lain.

Tidak ingin orang-orang melihatnya, Roy melakukannya dengan kecepatan tinggi.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lompat kanan, kiri, depan, kanan. Kaki menapak, tapak menjejak. Ia berguling dan melompat, bersiap, dan berlari.

Boom!

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lompat ke atas, naik, ke samping, naik lagi.

Boom!

Roy menyadari mudahnya melakukan ini semua karena didukung kekuatan tenaga dalam yang membungkus tubuhnya dengan perlindungan ekstra tak kasat mata. Ia juga merasakan tubuhnya jauh lebih ringan sehingga dapat melompat jauh lebih tinggi. Mungkin di jaman simbah-simbah dulu, ilmu kanuragan seperti ini yang disebut-sebut sebagai ilmu meringankan tubuh karena tubuhnya benar-benar terasa ringan bagaikan kapas. Gabungan ilmu yang diajarkan oleh Pak Uya dan ilmu pemberian Ki Kadar memberikannya satu gabungan ilmu ringan tubuh yang luar biasa. Ia bisa melakukan parkour dengan mudahnya.

Ya, sebenarnya masih ada satu kelemahan sih – dan itu agak fatal. Ilmu tenaga dalam yang ia dapatkan dari Ki Kadar hanya dapat diaktifkan dalam keadaan sedih. Tentu saja itu sedikit merepotkan kalau dia sedang gembira. Harus ada cara lain. Harus cari cara lain. Harus ada cara…

“Tolooooooong!”

Roy sedang berada di atas salah satu gedung di Jalan Protokol Utama ketika terdengar teriakan minta tolong itu. Suasana sudah menjelang malam, meski lampu bergelimang, tapi di beberapa sudut jalan dan gang gelap sudah menyelinap. Roy mulai menjejakkan kaki dengan cekatan ke arah datangnya suara. Dia tidak boleh terlambat!

Suara itu begitu nyaring terdengar, pasti tidak jauh dari tempatnya berada!

Roy memandang sekeliling. Sebenarnya ada beberapa orang di sana. Ada tukang-tukang becak juga. Kenapa orang-orang seperti terhipnotis untuk tidak mencari orang yang minta tolong itu? Kenapa orang-orang ini hanya diam saja? Kenapa tidak ada yang berniat untuk mencari dan menolong? Kampret! Sudah se-apatis itukah orang-orang sekarang?

“Toloooooooong! Toloooooong!! Jambreeeeeeeeeeeettt!! Jambreeeet!!”

Roy menggemeretakkan gigi karena geregetan. Kebangetan nih orang-orang!

Mau tidak mau dia harus turun tangan!

Tidak ingin dikenali siapapun, Roy langsung mengenakan topi dan masker hitamnya. Ia mengaitkan ritsleting jaketnya yang juga hitam hingga mentok ke atas, lalu melesat menuju ke arah suara. Lompatan demi lompatan dilakukan, setiap sekali hentakan kaki ia melompat sampai beberapa meter ke depan. Dalam hitungan detik, jarak yang ia tempuh sudah sangat luar biasa. Itupun dia merasa tak terlampau cepat.

Ia harus cepat karena korban dan pelaku tak akan menunggu lama.

Tak sampai beberapa lama, begitu Roy sampai di lokasi, ia melihat seorang ibu-ibu hamil terjatuh di trotoar jalan, sementara anaknya yang masih usia PAUD menangis kejer di samping sang bunda. Sudah cukup jauh jarakanya dari posisi mereka, seorang laki-laki berlari kencang sembari membawa tas wanita. Sudah pasti itu pelakunya.

Bangsat.

“Toloooooong! Toloooooong!” sang Ibu kembali berteriak kencang.

Roy mendengus kesal, orang sialan itu harus diberi pelajaran!

In three, two, one. Go!”

Sang Pengendara Angin pun segera melompat-lompat untuk naik ke atas gedung menggunakan kemampuan ringan tubuhnya, ia lalu mulai berlari ke arah selatan, ke mana sang jambret kabur. Laki-laki sialan itu ternyata kemudian berbelok ke arah Jalan Degan, tepat di depan Mal Pratama – pusat perbelanjaan modern yang merupakan Mal pertama di kota ini. Roy tidak menyerah begitu saja, ia terus saja mengejar. Ia hanya takut si jambret itu masuk ke gang-gang kecil dan masuk rumah warga sehingga bakal sulit sekali dikejar dan diketahui tempat sembunyinya.

Benar saja. Ketakutan Roy terjadi. Sang jambret mencari-cari gang kecil dan berbelok ke kanan hendak masuk ke dalam sebuah gang. Tapi Roy sudah menduganya, ia melompat dengan satu salto ke atas dan menghunjam ke bawah dengan kecepatan tinggi!

Boom!

Roy mendarat tepat di depan sang jambret yang terkejut bukan kepalang! Jambret itu mengenakan pakaian serba hitam, kacamata hitam, dan topi hitam. Mirip seperti Roy! Bedanya hanya ada di brewoknya.

“Sudah cukup jauh larimu, Mat Brewok. Kembalikan barang itu dan semua akan baik-baik saja.”

Sopooo weee!?” teriak sang jambret yang tertangkap basah. Dia maju untuk memukul Roy. “Minggirrr weee suuuu!!

Roy tentu saja tidak ingin menjawab pertanyaan dan bentakan itu. Dengan satu gerakan menghindar, pukulan sang jambret berhasil dielakkan. Dia memutar badan dengan gerakan seratus delapan puluh derajat, kakinya ditekuk sedikit lalu melesat dengan kecepatan tinggi bagaikan baling-baling. Satu sambaran melesat mengenai kepala sang jambret tanpa bisa ditahan!

Bletaaaaaakghh!

Wajah sang jambret ibarat bergeser ke samping, mengerucut terkena sambaran.

Pencuri sialan itu tersungkur tanpa sempat membalas, tas yang ia pegang terlepas. Roy tersenyum sembari mengambil tas wanita yang tadi dibawa oleh sang jambret. Ternyata masih efektif juga tendangannya. Nah kalau gerakan ini adalah ajaran dari Pak Uya, beliau mengajarkan banyak sekali serangan dan pertahanan – terutama dengan kaki sebagai media.

Senyum Roy menghilang sesaat kemudian. Rasa-rasanya ada sesuatu yang berbeda. Ada hawa yang tak nyaman.

Mat Brewok Sang Jambret bangkit dari jatuhnya, ia menyeka bibirnya yang pecah dan berdarah. Pria berangasan itu meludah ke tanah. “Bajingan tengik! Anak muda sialan! Kamu tidak tahu dengan siapa kamu berhadapan, Su! Kamu sok jago di saat yang salah dan waktu yang tidak tepat. Kamu tidak tahu siapa aku – siapa kami! Mampus kamu sekarang!”

Roy mendengus dan mengambil kuda-kuda sembari menyeringai, “Oh ya? Rasa-rasanya sih tidak ada yang salah dan tidak tepat. Jambret bangsat seperti kamu yang hanya pandai mengincar wanita tak berdaya dan anak-anak sudah sepantasnya diberantas. Orang semacam kamu memang NPC yang sudah jadi menu wajib untuk dihabisi.”

Sang Jambret tersenyum. “Nyuuuuuk! Ono wasu siji njaluk disunat meneh kih! Beleh waee!! Kemlinti sok iyes! Asuuooog! Jingaaaaan!!

Di sekeliling Roy, serombongan orang datang untuk menyergap dari empat penjuru mata angin. Rupa-rupanya sang Jambret tidak bekerja sendiri. Ia masih punya kawan-kawan lain. Roy sih sudah menduga hal semacam ini akan terjadi. Tidak mungkin tukang jambret semacam Mat Brewok ini bekerja sendiri. Roy memantapkan diri, meneguhkan hati, dan mulai bersiap.

Dia pasti bisa mengatasi kelima orang ini jika…

Jika…

Jika…

Roy terbatuk-batuk. Dadanya terasa sakit. Ugh. Ia mengerutkan kening dan memegang dadanya seperti hendak mencengkeramnya, keringatnya mengalir deras. Tiba-tiba saja pandangannya berkunang-kunang dan ia pusing sekali. Tubuhnya seakan hendak tumbang. Degup jantung di dadanya ibarat tabuhan genderang yang terus menerus menghentak membuat kepalanya berdenyut tak tertahankan. Apa yang terjadi?

Roy berusaha menelaah situasi. Apa yang terjadi padanya?

Gawat.

Sekarang barulah terasa.

Atau tepatnya sekarang sudah tidak terasa.

Ada sesuatu yang menguap dari dalam tubuhnya, sesuatu yang sebelumnya sempat membuatnya seperti seorang superhero. Mampu melompat tinggi dan merasakan lonjakan kemampuan di luar kebiasaan. Tapi sekarang semuanya sudah tak lagi ada.

Tenaga dalamnya tiba-tiba saja hilang lenyap tanpa bekas. Jadi apa yang ia takutkan dan ia perkirakan benar-benar terjadi. Tenaga dalam yang ia himpun hilang dengan cepat jika dalam hatinya dia tidak merasakan kesedihan. Jurus yang diwariskan oleh Ki Kadar padanya punya kelemahan fatal.

Masalahnya sekarang dia harus menghadapi lima orang bersamaan. Kalau dilihat dari raut muka mereka, sepertinya mereka orang-orang KRAd. Pasukan terpilih yang sudah pasti punya sesuatu. Kalau saja Racun Cakar Hitam tidak membuatnya kehilangan lebih dari separuh kemampuannya, maka Roy tidak akan terlalu banyak mengeluh. Masalahnya gara-gara harus selalu menjaga racun yang masih menetap di dadanya supaya tidak menyebar, dia tidak bisa seratus persen menggunakan Ki aslinya yang belum terasah.

Tapi tak urung sang Pengendara Angin memasang kuda-kuda untuk menghadapi para lawan. Dulu dengan mudah ia akan menundukkan sepuluh orang sekaligus tanpa memakai tenaga dalam apapun. Apakah sekarang ia masih bisa melakukannya dengan tetap harus menjaga kondisi badan sendiri dan memastikan racunnya tidak bereaksi?

“Heheheh. Kepercayaan dirimu sepertinya menguap dengan cepat sewaktu teman-temanku datang, Su. Sudah sadar sekarang bagaimana sebenarnya posisimu di sini? Kamu tidak akan dapat selamat hidup-hidup. Pilih mati atau cacat?”

Wedhus.

Saat ini bukanlah waktunya untuk bertanya apakah ia masih bisa melakukannya atau tidak. Sekarang saatnya untuk percaya pada kemampuannya sendiri bahkan jika harus bertarung tanpa Ki. Roy melirik ke sekeliling. Mengamati satu persatu posisi lawan. Satu di sana, dua dan tiga di situ, empat di samping sini, yang kelima di sebelah sana.

Lima orang.

Bagaimana caranya percaya diri? Tambahkan kata hanya.

Hanya lima orang.

Pasti bisa.

Roy bersiap.





.::..::..::..::.





Jun menghembuskan napasnya perlahan-lahan, lalu membuka mata yang sebelumnya terpejam dengan sangat pelan. Ia berusaha mengamati semua yang terjadi dengan hati-hati. Jarak antara di mana dia berdiri dan apa yang sedang dia amati memang cukup jauh, tapi dia bisa tahu hanya dengan mengandalkan penglihatannya untuk memahami apa yang tengah terjadi.

Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Jun adalah kemampuan penglihatannya yang di atas rata-rata manusia biasa. Mungkin karena keturunan, mungkin karena ilmu kanuragan, mungkin emang karena dasarnya dia manusia anomali. Yang sudah pasti, pokoknya dia mampu. X tidak tahu bagaimana bangsat rambut perak itu melakukannya.

“Apa yang terjadi di sana?” tanya X.

“Sudah kuduga pada akhirnya dia akan bertemu dengan masalah. Telik sandi kita benar. Si Jangkrik tukang lompat itu sering berlatih di tempat ini,” ujar Jun sembari menatap ke arah jauh, “Lebih seru lagi… ternyata si Jangkrik itu malah golek perkoro. Dia ketemu sama orang-orang KRAd.”

Kedua kapten QZK itu duduk-duduk santai di dekat warung Masakan Padang pinggir jalan di Jalan Degan. Kawasan yang kini ramai karena ada bentrok. Di satu sisi ada seorang pemuda berpakaian serba hitam dengan masker dan topi hitam, di sisi lain ada dari rombongan preman tukang jambret yang ditengarai dari kelompok KRAd.

X dan Jun sengaja tidak mendekat, mereka dengan santai menonton saja dari kejauhan. Terutama karena ini kawasan KRAd dan PSG. Mereka melihat pertikaian dan pertarungan antara sosok-sosok yang terlibat di sana.

“Bagaimana? Bisa terlihat?” tanya X dengan seringai di wajahnya saat melihat X merapal ilmu kanuragannya. Jangan-jangan sudah kelar nih bocah ngerjainnya. “Bisa kamu makan?”

“Bisa. Butuh beberapa saat memang, tapi aku bisa membacanya. Jangan khawatir. Pasti akan aku makan semuanya. Bersamaan ataupun satu persatu tidak masalah,” ucap Jun tanpa berkedip. “Yang satu ini sudah ada dalam genggamanku.”

Ada denyut aura biru keluar dari tubuh Jun, matanya berkilat sesekali seperti pemindai yang sedang meraba media untuk memindahkan gambaran ke media lain. Ibarat scanner. Itu pula sebenarnya yang tengah dilakukan oleh sang pemuda berambut perak itu. Ilmu kanuragan yang ia miliki memang tidak sembarangan dan merupakan hasil binaan dari seorang Tetua yang kini sudah tiada, almarhum Datuk Darah Raksa.

Tak berapa lama kemudian Jun menunduk lemas. Dia tidak bergerak dan terdiam. Matanya terpejam, tubuhnya tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sampai kemudian dia akhirnya mendongak dan mengangguk pada sang rekan.

“Selesai.”

Jinguk. Ngeri, Su.” X mendengus melihat perubahan aura Ki pada diri sang rekan, antara kagum tapi juga penasaran. Dia tahu potensi yang dimiliki oleh Jun, sehingga dia memperkirakan kemampuan si rambut perak pasti akan semakin meningkat. menyeringai sesat. “Aku mau mencobanya.”

Jun tertawa dan mengedipkan mata pada sang sahabat.

Bagi Jun, kalau ada satu orang yang menjadi tempatnya curhat, berkeluh kesah, dan mengutarakan unek-unek paling lancar, orang itu adalah X. Bukan karena dia pendengar yang baik dan bukan karena dia bisa memberikan masukan. X yang terbaik karena dia ada di sebelahnya setiap waktu. Sudah itu saja alasannya. Dia yang terbaik karena dia ada di sana, di sisinya, dan tak pernah beranjak. Jun tidak pernah menyembunyikan apapun dari X, termasuk jika dia ingin menunjukkan kemampuan paling baru, dia pasti ingin melatihnya dengan sang rekan.

Jun kemudian bangkit dan menepuk pundak X. “Kita cari tempat kosong.”

Tidak butuh waktu lama, mereka berhasil menemukan tempat yang mereka cari di sebuah lapangan badminton yang ada di belakang Mal Pratama. Keduanya bahkan tidak mempedulikan hasil akhir bentrok yang sebelumnya mereka saksikan. Mereka tidak peduli hasilnya. Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka cari.

Jun dan X berdiri di depan sebuah lapangan bulutangkis tanpa net yang dikelilingi pagar jaring besi setinggi tiga meter lebih dengan pintu terkunci gembok. Keduanya lantas saling bertatapan.

Jun meringis.

X membuka rompi dan memamerkan tubuh penuh tonjolan otot yang mengerikan. Dia benar-benar seorang monster, bukan lagi six pack. X melenturkan pundaknya, entah apa yang hendak dilakukannya. Kemungkinannya ada dua, antara hendak menjebol gembok atau memanjat.

Jun tidak akan menggunakan cara yang sama.

Dengan menggunakan pundak kokoh sang sahabat sebagai tumpuan tangan untuk mendaki. Tubuh Jun tiba-tiba saja melesat tinggi. Jejakan kakinya menapak tembok di samping mereka, loncat ke pundak X, lalu ke tembok kanan, tembok kiri, tembok kanan, tembok kiri, lompat kanan, lompat kiri, cekatan sekali seperti seekor monyet yang cerdas mencari pijakan. Jun terus saja naik dan naik dan naik, lalu berhenti saat berhasil mencapai ujung tembok teratas. Dia jongkok di sana dan tersenyum meringis ke bawah, ke arah X yang memandangnya takjub.

Dari posisinya sekarang, Jun hanya tinggal meloncat masuk ke arena lapangan bulutangkis. Tidak akan ada yang menghalanginya.

X meringis, “Dasar uban bajingan.”

Edan juga kemampuan si Jun, dia mampu melakukan persis seperti apa yang sudah dilakukan oleh Roy sebelumnya hanya dengan mengamati saja. Pengamatan itupun dilakukan dari jarak yang lumayan jauh. Itu adalah kemampuan yang didapatkan dari ilmu kanuragan berjuluk Gatraganda – salah satu jurus yang diajarkan oleh gurunya, Datuk Darah Raksa. Jurus yang tak bisa dikuasai sembarang orang. Bahkan ketika sudah mempelajarinya dari Jun, X tak bisa menguasainya. Entah bakat, entah keturunan.

Kembali ke Jun dan kemampuannya meniru. Sejauh pengamatan X, perbedaan hanya ada di tenaga dalam keduanya. Sudah pasti Jun tidak akan bisa menguasai tenaga dalam yang sama dengan Roy hanya dengan sekali lihat, karena itu butuh latihan entah berapa lama dan entah bagaimana. X belum pernah mendengar ada orang yang sanggup meniru jurus luar sekaligus dengan tenaga dalamnya.

Tapi mereka tidak perlu khawatir akan hal itu. Jun punya tenaga dalam mumpuni lain yang tengah ia latih, energi dari hasil olah kanuragan berkelas berjuluk Matahari Menjemput Rembulan. Dengan terus belajar dan menyatukannya dengan Gatraganda, Jun akan bisa setingkat dengan sang pimpinan Aliansi dan menghajar pimpinan-pimpinan kelompok lain dengan mudahnya. Dia akan memanjat jenjang untuk menjadi petarung Kelas A sejati.

X mendengus. Lengannya mengeras bak baja. Tubuhnya makin membesar, ibarat Rahwana di puncak kekuatannya. Ia meraung dengan kencang, satu tendangan dilakukan. Pintu yang tadinya terkunci kini terbuka lebar dengan satu dobrakan.

Pemuda bertubuh raksasa itu berjalan masuk ke lapangan dengan santai.

“Sudah siap?” tanya Jun dari atas.

X menyeringai dan mengangguk. Dia berdiri tenang, terlihat santai tapi sesungguhnya penuh penguasaan diri. Dadanya naik turun dan napasnya menggerus-gerus mirip seekor banteng yang siap menyeruduk.

“Turun.”

Boooom!

Jun melesat ke bawah dengan kecepatan tinggi bak peluru kendali lepas dari peluncurnya. X mempersiapkan lengan kanannya. Pertemuan keduanya menghasilkan sesuatu yang tak bisa dinalar. Gelombang serangan dari Jun diluncurkan namun tak berhasil menembus sekalipun. Padahal X hanya menggunakan satu lengan saja.

Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh!

Hujan serangan tak berhenti, tapi tetap tak ada hasil. Satu lengan X berhasil menahan gempuran dari Jun. Dari arah manapun Jun menyerang, X selalu berhasil menahan.

“Jangan main-main, Jun.” desah X kesal.

“Heheh. Oke.”

Jun mundur dua langkah, melakukan one-two step ke samping kanan dan kiri. Lalu melaju dengan kencang ke depan setelah menjejakkan kakinya ke belakang. X langsung bersiap. Dia tahu kalau Jun tidak lagi main-main. Dia menggunakan jurus yang sama seperti yang dipraktekkan oleh Roy tadi. Jadi ini menggunakan kaki. Dari suara langkah kaki yang menjejak X bisa memperkirakan kalau…

Jbooom! Jbooooom!

Dua tendangan dilepas.

Pinggul dan dada X tersambar. Dia mundur ke belakang sekitar lima tapak. Pemuda bertubuh raksasa dengan luka silang di wajah itu terperanjat. Serangan dari Jun memang tidak menyakitinya, namun cukup mengagumkan karena mampu mendorongnya ke belakang. Heheh. Tapi tidak semudah itu untuk…

Jbooooooom!

Satu serangan meluncur dengan deras dari atas. Tumit kaki Jun sudah siap mendarat di ubun-ubun X. Untuk pertama kalinya X menggunakan kedua tangannya untuk bertahan. Meski mampu menghalangi serangan, tapi itupun tidak cukup. X jatuh terduduk bertongkat lutut dengan satu kaki.

Jun melompat ke belakang sembari nyengir.

X tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia melepas pertahanannya.

“Hebat. Hebat sekali. Aku mengakui kehebatanmu, Dab. Sayang sekali kemampuanmu meng-copy jurus beladiri tidak berlaku untuk tenaga dalam ya. Kalau bisa melakukan keduanya – meniru jurus luar dan mendapatkan kemampuan tenaga dalam - tentu bakal lebih mengerikan lagi. Kamu memang mengerikan.” X berdiri sembari menepuk lututnya yang kotor karena tadi harus duduk bertongkat lutut saat menghadang serangan dari Jun. Dia berdiri dan geleng kepala, kagum dengan kemampuan si rambut perak. “Jinguk. Kalau saja kamu bisa melakukannya, kamu bakal jadi tak terkalahkan, Su.”

Jun menyeringai sembari menatap X dengan kilatan di matanya. Senyumnya sangat lebar. “Kata siapa aku tidak bisa melakukannya? Menurutmu Gatraganda jurus peniru murahan?”

X terperangah sesaat. Dia menggelengkan kepala. Ia menatap ke arah Jun dengan mulut menganga. Ia tertawa renyah, pasti Jun main-main dengan ucapannya. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sanggup melakukannya. “Tidak… tidak mungkin. Jangan bercanda, Nyuk.”

Jun meloncat ke belakang dan bersandar di pagar besi. “Kenapa tidak mungkin?”

“Tidak mungkin ada orang yang mampu melakukan itu!! Belum pernah ada!! Bahkan jagoan sepanjang sejarah yang aku tahu tidak ada yang sanggup! Aku tidak percaya kamu bisa…”

“Mari kita coba adu kekuatan sekali lagi. Kali ini… kamu gunakan tenaga dalam untuk pertahananmu. Aku tahu kamu punya pertahanan kelas wahid. Akan aku coba buka gerendelnya dengan jurus dan tenaga dalam yang baru saja aku kuasai. Heheh.”

X menatap ke arah sang sahabat dengan pandangan tak percaya.

Mana mungkin dia bisa melakukannya! Tidak mungkin!

Seringai dari Jun itu sangat menyeramkan. Apalagi matanya yang terus berkilat-kilat.

Jun merunduk dan mengambil kuda-kuda. “Aku akan membuktikan padamu bahwa aku pantas berhadapan dengan si Bengal, bahkan dengan pimpinan-pimpinan kelompok lain. Aku hanya menunda waktu saja karena butuh belajar banyak. Tapi sekarang, waktunya sudah hampir tiba untuk menunjukkan pada dunia, siapa Jun sebenarnya. Jadi sobat, pada hitungan ketiga, seranglah aku. Akan kuperlihatkan sesuatu yang baru kamu seorang yang tahu. Heheheh. Datuk Darah Raksa telah memberikan aku senjata rahasia yang akan menguasai dunia.”

Usai berkata seperti itu, ada segaris air mata meluncur di pipi Jun yang turun dan menetes di kepalan tangannya. Saat itu pula aura Ki yang menyelubunginya meledak.

X mulai paham dan tertawa. “Bajingan.”

Pemuda kekar itu tahu dia akan mendapatkan sebuah kejutan yang luar biasa dari si Rambut Perak.





.::..::..::..::.





Pasat memainkan gitarnya sambil duduk di atas tandon air. Jari jemarinya memetik dan menggunakan jemarinya untuk memapankan senar demi senar supaya berbunyi sesuai kunci. Dentingan gitar menggema di angkasa malam, deretan lirik lagu Jawa didendangkan dari bibirnya dengan merdu. Suaranya memang empuk dan padat, membuat lagunya nyaman didengarkan di sela-sela udara malam yang dingin mengungkung badan.

Tanpa keluarga, tanpa teman, tanpa pasangan. Pasat hanya punya diri sendiri. Keluarga terdekatnya kini hanyalah sang Guru Ki Kadar. Saudara seperguruan sekaligus partner-nya Handoko Hamdani sedang mengalami koma dan tidak tahu apakah dia benar-benar akan bisa kembali normal dengan luka tubuh yang sudah membuatnya invalid.

Petikan gitar si Rambut Coklat menembus gelapnya malam, mengelana di bawah rembulan yang bertahta dalam kelam, mengendap di relung batin terdalam. Setiap dentingan tersangkut, tertambat, dan tersulam. Sang pemetik gitar berambut coklat pun menjelajah nada, liriknya membuatnya tenggelam, arus lagunya membuatnya menyelam.

Dek jaman berjuang, njur kelingan anak lanang.
Mbiyen tak openi, neng saiki, ono ngendi?
Jarene wes menang, keturutan seng digadang.
Mbiyen ninggal janji, neng saiki, opo lali.

Neng gunung, tak jadongi sego jagung.
Yen mendhung tak silihi caping gunung.
Sukur biso nyawang, nggunung deso dadi rejo.
Ben’e ora ilang nggone podho loro lopo
.”

Lagu yang dinyanyikan Pasat berjudul Caping Gunung - sebuah lagu Jawa yang diciptakan oleh sang maestro musik keroncong yaitu almarhum Gesang. Secara lirik sebenarnya lagu ini menceritakan tentang seorang tua yang sedih karena ditinggal anaknya merantau tapi tak kunjung pulang. Meski begitu ada juga yang bilang kalau konon lagu ini merupakan sebuah sindiran politik, mempertanyakan sikap pemerintah pada warga desa yang dulu ikut berjuang dan membantu memerdekakan negeri, namun sekarang dilupakan begitu saja.

Ada yang tersurat dan ada yang tersirat.

Hidup pemuda itu terkesan selalu sepi, seolah-olah ia selalu sendiri. Ia telah kehilangan kakak kandung dan kakak ipar yang menjadi korban mafia kelas kakap di kota ini. Mereka meninggal sia-sia setelah terjebak urusan underground. Ia juga tidak pernah lagi bertemu dengan keponakannya yang dibawa pergi oleh orang yang bertanggung jawab dengan kematian orang-orang yang paling dia sayang itu.

Salah satu sumpah Pasat dan alasan utama dia terjun ke dunia hitam, adalah untuk menemukan sang keponakan, lalu undur diri dari dunia yang menyengsarakan. Mundur ke desa dan hidup tenang, kerja apapun tak masalah yang penting bisa cukup. Dia bersedia mengorbankan apapun, asal semua itu tercapai.

Hanya itu saja keinginannya.

Tapi bahkan itu pun belum bisa ia wujudkan sekarang.

Apalagi dengan munculnya Hantu.

Pemikiran itu muncul di batin Pasat. Apakah sungguh benar Hantu adalah kakak iparnya? Benarkah dia Mas Dika? Jika benar, apa yang terjadi padanya selama ini? Mengapa dia berubah menjadi sosok yang mengerikan? Jika bukan, mengapa Hantu beberapa kali menyelamatkan Pasat saat terancam? Banyak misteri, tidak ada jawaban.

Satu angin lembut terasa melewati Pasat. Dia tahu tanpa harus melihat ke belakang kalau ada seseorang hadir dan memperhatikannya. Pasat menghentikan permainan gitar dan meletakkan alat musik petik itu di samping duduknya.

“Selamat malam, Guru. Salam hormat.”

“Kenapa berhenti?”

“Guru datang, tentu saja saya harus memberi hormat.”

Ki Kadar mendengus dan tertawa ringan, “Kamu ini… Sudah berapa lama kita bersama? Masih saja kamu menganggap hubungan kita formal. Dasar anak bodoh.”

“Seberapa lamapun rasa-rasanya tidak akan pernah cukup membalas semua yang telah Guru lakukan untuk saya yang tidak ada apa-apanya ini. Guru telah mengajarkan saya tentang arti kehidupan.”

Pasat menjura di atas tandon air saat menghadap sang Guru yang sangat ia hormati. Saat itu Ki Kadar berdiri di atas genteng rumah. Pria tua itu mengangguk-angguk. Luar biasa ilmu kanuragan dan begitu ringan tubuhnya, sehingga tak ada suara derik sedikit pun terdengar dari genteng itu.

Angin malam berhembus kencang, memainkan rambut dan membuat ujung baju menari. Kedua pria itu lantas terbang ke atas atap rumah dengan ilmu ringan tubuh papan atas. Kebetulan Ki Kadar membawa besertanya sekantong makanan ringan berupa kacang dan jagung rebus. Ki Kadar bahkan sempat-sempatnya membuatkan minuman wedang uwuh hangat dalam tumbler untuk minum. Keduanya lantas duduk bersebelahan sembari menikmati makanan dan minuman itu.

“Sudah berapa lama kamu ikut denganku, Le?” tanya Ki Kadar sembari membuka kulit kacang rebus.

“Mungkin sudah hampir separuh umur saya, Guru.” Pasat tersenyum. Rambut coklatnya yang mulai panjang tertiup angin malam. “Entah apa jadinya saya sekarang kalau tidak Guru selamatkan dulu. Mungkin saya sudah jadi bangkai di bawah jembatan atau terselip di bawah nisan tanpa nama. Mati dengan sia-sia tanpa pernah berguna untuk siapapun.”

Haiyah, mbelgedes. Sesungguhnya aku tak melakukan apa-apa. Aku tidaklah sempurna seperti bayanganmu itu, Le. Kamu yang membuatku seakan-akan seperti seorang pahlawan yang hebat. Secara tidak langsung kamu juga telah berperan banyak karena memberikan aku teman menjalani masa-masa menjelang pensiun. Selebihnya, aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah orang tua yang menjalankan tugas sesuai dengan baktiku.”

“Karena Guru memang orang yang hebat dan bagi saya Guru adalah seorang pahlawan.”

“Mungkin sekarang terasa seperti itu, tapi percayalah kalau aku tidak pantas diperlakukan seperti yang kamu bayangkan. Aku hanyalah orang tua busuk yang mencoba mencari kenyamanan dengan secangkir kopi hitam pahit di penghujung malam seperti ini. Aku hanya ingin beristirahat, merasa tenang, dan pulang ke rumah di mana aku seharusnya berada.”

Pasat mengerutkan kening.

Apa maksud gurunya itu? Kata-katanya terdengar aneh malam ini.

“Guru… sepertinya…”

Ki Kadarusman menekuk kepalanya ke bawah sembari menyunggingkan senyum, perlahan-lahan ia berdiri. Tenaga dalam membuatnya seperti mengambang di udara. “Le, aku akan memberikanmu penawaran terbaik yang pernah kamu dapatkan dalam hidupmu. Penawaran ini aku lakukan karena aku menganggapmu sebagai anakku sendiri. Aku tidak akan memberikan tawaran ini jika situasinya lebih baik. Tapi kita sudah hampir sampai di ujung perjalanan, dan aku khawatir jika kita tetap seperti sekarang, kita akan menghadapi situasi yang sangat berbahaya. Kita harus terbang bersama angin, bukan bertahan dan ditelan jaman. Akan ada perubahan besar.”

Pasat meneguk ludah, tapi dia sangat mengagumi Ki Kadar sehingga dia sudah siap dengan apapun, termasuk mengikuti petunjuk sang Guru. “Tawaran apa itu, Guru? Kalau diijinkan, saya ingin tetap melangkah dengan Guru.”

Ki Kadar terkekeh sejenak sebelum melanjutkan. “Ada sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan karena terikat sumpah. Tapi ini aku sampaikan karena aku kenal siapa kamu dan ingin kamu menjadi orang yang lebih baik lagi. Berada di bawah naungan QZK bukanlah hal terbaik untukmu. Sudah berapa lama kita menjadi babysitter untuk menjaga Den Reynaldi yang bajingan itu? Kita selalu membereskan tindakan kotornya, kita selalu pasang tameng untuknya. Sudah saatnya itu berubah.”

“Maksud Guru?” Pasat makin bingung, sungguh ia tidak mengerti apa yang dimaksud sang guru. Apakah Ki Kadar menginginkan Pasat keluar dari QZK? Mana bisa begitu? “Jujur saya tidak paham, Guru. Berada di bawah QZK bukanlah hal yang terbaik? Selama ini Guru mengajarkan supaya saya dan Handoko untuk setia dan berbakti kepada QZK. Lalu kenapa hal itu dibantah? Apa yang terjadi?”

“Bergabunglah dengan Aliansi.” Ki Kadar tersenyum dan menepuk pundak muridnya. “Mereka memang saat ini bukanlah kekuatan terbesar, tapi mereka merupakan kelompok paling netral dari semua kelompok yang berkuasa saat ini.”

“Bukankah QZK juga baik-baik saja, Guru? Bahkan dari pertikaian yang saat ini berlangsung pun, QZK nampak sedikit lebih unggul dibandingkan JXG. Mereka masih belum mampu menembus ke utara.”

“Angin yang berhembus memberikan ancaman badai kekacauan. Sekarang masih belum muncul, tapi jika saatnya tiba, akan ada banjir darah di tanah harapan. Ketika saat itu tiba, aku tidak bisa melindungi siapa-siapa lagi. Tidak keluargaku, tidak temanku, tidak muridku, dan jelas tidak bisa melindungimu. Aku hanya sanggup mengurus diriku sendiri. Apalagi karena aku juga akan menjadi daun yang jatuh dari tingginya ranting pepohonan.”

Pasat makin merasa aneh, apakah ini pertanyaan menjebak? Apakah ini metafor atau memang ungkapan sejati? “Saya yakin saya tidak perlu dilindungi, Guru. Saya sudah berjanji untuk berbakti dan setia dengan segenap jiwa raga. Bahkan jika saya harus gugur di medan laga sekalipun, saya akan tetap menjunjung tinggi nama Guru dan QZK. Saya akan selalu ingat jasa-jasa Guru dan QZK, tanpa kalian - entah sudah jadi apa saya. Sungguh saya berhutang budi.”

“Sebenarnya tidak perlu begitu. Kamu itu terlalu berlebihan dan apa-apa yang berlebihan jelas tidak baik.” Ki Kadar tersenyum. Ia berdiri di bawah sinar rembulan. Sosoknya terlihat anggun dan jumawa. “Terlebih lagi seandainya kuceritakan apa yang menjadi latar belakang percakapan kita malam ini, Le. Aku ingin tahu bagaimana menurut pendapatmu kalau ada pilihan bagimu untuk bergabung dengan Aliansi?”

Pertanyaan macam apa itu?! Jantung Pasat berdetak kencang, ia ikut berdiri untuk berhadap-hadapan dengan Ki Kadar. Sepertinya ini ada masalah serius. “Apa maksud Guru?”

“Kamu bilang tadi kamu menjunjung tinggi namaku dan QZK. Bagaimana jika aku memintamu memilih? Sebenarnya bisa saja aku mengharuskan kamu untuk memilih, tapi aku tidak ingin melakukannya. Aku ingin kamu tetap menjadi dirimu sendiri. Itu sebabnya aku ingin kamu bergabung dengan Aliansi dan tidak terlibat dalam hiruk pikuk politik kelompok yang akan merugikan.”

“Mohon maaf, saya semakin tidak paham.”

Ki Kadar tersenyum aneh. Tiba-tiba terbias hembusan kencang di bawah rumah, tepat di halaman. Angin yang kini berubah menjadi topan kecil. Hembusan topan-topan itu mereda, menunjukkan tiga sosok berdiri di halaman. Tiga sosok berdiri di sana dengan tegap. Ketiganya menatap ke arah Ki Kadar dan Pasat.

Saat menyadari siapa yang datang, Pasat langsung bersiaga dan memasang kuda-kuda. Ia meloncat hendak melindungi sang Guru sembari menyalakan Ki-nya.

“Guru! Kita diserang! Bersiaplah!!”

Tapi Pasat dibuat tertegun tak lama kemudian. Ia menatap ke bawah. Orang-orang di bawah itu adalah… mereka adalah… Empat Anak Panah JXG!!

“Hehehehe… bukan, Le.” Ki Kadar tersenyum aneh. “Mereka datang untuk menjemputku. Aku sudah dijemput oleh sahabat-sahabat lamaku. Dengan ini aku akan bergabung dengan mereka dan menjadi pelengkap dan pengganti. Empat tetap akan menjadi Empat. Tapi bukan Empat Perisai. Aku akan menjadi pengganti Pak Pos, aku adalah Anak Panah keempat.”

Pasat terbelalak. “Gu-Guru…?”

Ki Kadar menyeringai. “Tawaranku masih tetap sama, Pasat – aku tidak akan memaksamu. Apakah kamu akan ikut saranku bergabung dengan Aliansi? Ataukah kamu akan jalan bersamaku? Ataukah kamu akan tetap bertahan di QZK dan melawanku? Semua terserah padamu. Kamu sudah dewasa dan bebas menentukan pilihanmu.”

Dengan satu keluaran tenaga lembut, Ki Kadar melompat ke bawah dengan gerakan tanpa beban bak sehelai kapas. Ia mendarat dengan ringan dan bergabung dengan ketiga sosok yang lain. Berempat berdiri sejajar di bawah. Di sana sudah ada Sulaiman Seno sang Jagal, Hantu, dan Rogo sang Barakuda. Tiga dari Empat Anak Panah yang tersisa.

“Selamat datang kembali ke JXG, Ki Kadar. Kehadiranmu sudah sangat lama kami nantikan,” ujar Jagal. “Kini kita resmi kembali menjadi Empat Anak Panah.”

“Heheh. Sudah terlalu lama aku pergi, Seno. Saatnya aku kembali. Capek juga berpura-pura dendam pada JXG selama ini. Jadi telik sandi kok belasan tahun. Bahkan muridku yang satu itu percaya dengan dendamku. Hahahahaha.”

Hantu berdiri dengan aneh dan melirik ke arah Pasat. Ia cekikikan melihat pemuda itu kebingungan. Tangannya menunjuk ke atas ke arah si Rambut Coklat. “Wekekekeekkeek. Bingung tanda tujuh keliling, aku di sini, dia di situ, eh kok kamu malah di sana. Hueekekekke. Puyeng kan? Puyeng ga? Pasti puyeng dong. Sama saja tidak sama dengan sama dengan. Kekekekekekek. Mau kemana? Bingung arah? Jangan bingung, tapi bingung saja. Kekekekekek.”

“Gu-Guru…?” Pasat terbata-bata – Ia mencoba menafikan kalimat meracau tak jelas dari sang Hantu, ia benar-benar kebingungan dengan apa yang dimaksud oleh sang guru yang kini berdiri sejajar dengan para Anak Panah dari JXG.

“Apa maksudnya ini? Mereka musuh kita!”

“Sudah saatnya aku kembali ke jatidiriku yang sebenarnya, menjadikan lengkap lingkaran nasibku. Seperti tujuanku sejak awal dulu, hadir untuk melengkapi Empat Anak Panah.” Ki Kadar menyeringai. “Aku sudah tahu luar dalam QZK, termasuk siapa-siapa saja yang busuk. Ternyata hampir semua harus dihancurkan, hampir semua anggota QZK adalah jiwa-jiwa yang korup. QZK tidak boleh dibiarkan berdiri terus menerus. Satu-satunya yang bisa menghancurkannya hanya JXG. Kamu juga setuju kan?”

“Guru… ini tidak mungkin… Guru tidak bisa…”

“Tentukan nasibmu mulai dari sekarang, Le. Kamu sudah bukan anak kecil lagi. Setelah aku pergi dari sini, kamu harus paham posisimu.” Ki Kadar tak lagi tersenyum pada Pasat, wajahnya teramat serius. Ia melambaikan tangan tanda berpisah. “Sampai jumpa lagi. Mudah-mudahan kelak kita tidak bertemu di medan laga.”

Ki Kadar menganggukkan kepala kepada Jagal, Hantu, dan Rogo sang Barakuda. Dalam satu lompatan bersama, mereka berempat melesat dan menghilang dari pandangan. Meninggalkan Pasat seorang diri di rumah yang kini kosong melompong tanpa penghuni. Rumah milik QZK. Pemuda itu kebingungan harus bagaimana karena semua berlangsung begitu cepatnya.

Bagaimana ini?

Kemana Pasat akan berlabuh?





.::..::..::..::.





Roy menggemeretakkan gigi, dadanya makin terasa sakit setiap kali ia mengaktifkan Ki aslinya. Kalau kondisinya masih terus seperti ini, jangankan untuk melawan musuh, untuk bertahan saja kerepotan. Ki yang tersisa harus digunakan untuk menahan racun yang tersisa supaya tidak menyebar. Jadi untuk saat ini, dia sepertinya dia harus bertarung tanpa menggunakan tenaga dalam. Ujung matanya melirik ke kanan dan kiri. Lawan mulai berdatangan dari segala penjuru.

Kampret memang.

Ya sudah, tangan kosong saja. Toh kakinya masih bisa digerakkan.

Dia juga sih yang cari perkara. Kena batunya kan sekarang? Roy menghembuskan napas perlahan, lalu tarik, hembuskan lagi, tarik, hembuskan lagi. Dia mencoba bersiap. Roy memejamkan mata, mengatur diri supaya berada di posisi yang tepat. Kalau lawan menyerang bersamaan, dia bisa kewalahan.

“Sepertinya dia sudah kepayahan, Bang,” ujar salah seorang lawan. “Sampai merem-merem begitu. Napasnya juga mengkis-mengkis. Sudah habis dia, Bang!!”

Tuntaske wae!” Sambung lawan yang lain yang sudah tidak sabar menghunus kepalan.

Sang Jambret brewok berteriak kencang memberi komando, “MAJUUUUU!!”

Saat itu pula Roy membuka mata dan berteriak kesetanan. “Hraaaaaaaaaaaagghh!!”

Sang Pengendara Angin menyerbu ke depan. Kakinya menjejak ke kanan kiri untuk menghindar sekaligus mencari celah. Roy bergerak lincah. Satu sambaran ke kanan, membuyarkan dagu lawan dari kanan. Sang lawan kontal ke belakang. Kaki ditarik, tubuh diputar, sambar ke kiri. Mengenai pipi orang di sebelah kiri. Sang lawan luruh ke bawah. Ia menunduk ke bawah, kaki disapukan ke belakang. Orang di belakang jatuh berdebam.

Tiga jatuh. Dua tersisa.

Roy membalik berdiri dan memutar badan.

Bledaaaaam!

Bogem mentah Mat Brewok masuk ke wajah Sang Pengendara Angin tanpa bisa ditahan. Roy terbanting ke kiri dengan wajah bagaikan menghantam pentungan baseball. Seram juga pukulan dari si Jambret itu. Pukulan yang meskipun mentah tapi menimbulkan dampak yang dahsyat.

Kampret. Pusing juga kepala Roy.

Kawan Mat Brewok yang masih berdiri segera melontarkan tendangannya ke perut Roy.

Jbkkkghhh! Jbkkkghhh! Jbkkkghhh! Jbkkkghhh! Jbkkkghhh! Jbkkkghhh! Jbkkkghhh! Jbkkkghhh!

“Hrrrghhhhh!”

Mat Brewok tertawa, “Rasain! Mampus sekarang! Wedhus! Makanya jangan sok!”

Sial. Karena fisiknya sedang tidak seratus persen, Roy gagal menjaga pertahanan. Delapan tendangan beruntun masuk tanpa bisa ditahan. Roy menekuk tubuhnya ke dalam, mengurangi efek supaya tendangan dari sang lawan tidak masuk ke perut.

Roy menahan rasa sakit. Sakit yang lama-lama menjadikannya marah. Marah teramat sangat. Marah besar. Kemarahan itu memantik sesuatu dalam tubuhnya. Sesuatu yang terasa seperti… menjadi utuh kembali.

Roy memejamkan mata.

Kawan Mat Brewok beraksi, tendangan dilontarkan kembali. Kali ini sasarannya kepala Sang Pengendara Angin. Kaki diayunkan sekuat tenaga. Pecah kepala Roy sekarang!!

Swwsh.

Kepala Roy tidak ada di posisi semula.

Kali ini teman Mat Brewok menendang ruang kosong.

Baik sang penendang maupun Mat Brewok kebingungan. Apa yang terjadi? Kemana bocah itu? Bagaimana mungkin tiba-tiba saja menghilang? Kedua begundal saling bertatapan penuh tanda tanya.

“Mencari apa kalian?”

Kedua begundal mendongak ke atas. Roy berdiri dengan santai di atas tiang lampu kota yang klasik. Tubuhnya begitu ringan seakan-akan tak tanpa bobot sehingga bisa berdiri dengan tenangnya di tempat yang ajaib seperti itu.

Kemarahan, luapan perasaan, semangat yang tinggi, semua itu ternyata bisa digunakan untuk memantik tenaga dalam yang sebenarnya sudah terkumpul dalam dirinya. Dia tidak lagi memerlukan kesedihan seperti yang diajarkan oleh Pasat dan Ki Kadar. Kalau sudah begini artinya dia tidak menggunakan ilmu kanuragan yang sama lagi – ini bukan Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah, karena ini bukan berawal dari kesedihan.

Tapi masalah nama itu belakangan.

Roy tersenyum saat menghadapi sisa kawanan jambret yang kini mengepung dirinya. Heheheh. Keadaan sudah berbalik sekarang. “Kalian bajingan-bajingan tengik cuma NPC. Sebentar lagi juga bakal koit. Pilih hancur, mati, atau kabur? Pilihan kalian dimulai dari sekarang,” ujar Roy sembari menyeringai.

Ketiga lawan yang tadi dijatuhkan Roy ikut berdiri dan bergabung dengan Mat Brewok dan si Penendang. Mereka semua menatap ke atas. Satu lawan lima lagi sekarang. Tapi wajah Roy sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Lawan-lawannya saling berpandangan. Meracau apalagi bangsat satu ini sekarang? Jelas-jelas dia dikeroyok satu lawan sekian. Masih bisa saja banyak bicara.

Sayang mereka tidak bisa membaca Ki.

Sang Pengendara Angin terdiam, merasakan tenaga dalam mengalir mengisi setiap syaraf dan sendi. Roy kembali mampu bergerak dengan bebas, dadanya sudah tak terasa sakit lagi. Gerakan tubuhnya lebih ringan dan jalur alirannya rapi. Ajaran Pak Uya bakal bisa dipraktikkan tanpa jeda untuk membuat lawan kecil nyali. Fly like a butterfly, sting like a bee. Dengan gerakan halus bak kapas Roy melompat sekali, mendarat ringan ke bawah tiang tepat di sisi, wajahnya menampakkan tawa geli. Ia lalu berjungkat-jungkit ke kanan dan ke kiri, melakukan footwork alias tarian kaki, seperti seekor kelinci, seperti seorang Bruce Lee, seperti seorang Muhammad Ali.

Pak Uya selalu memberikan wejangan pada Roy untuk sesekali memperhatikan gerakan kaki kedua sosok legendaris itu. Toh dia bisa menontonnya dari mana saja, dari Yousoup misalnya, atau sumber video lain. Roy masih ingat sekali apa yang dikatakan oleh Pak Uya saat mengajarkan footwork itu.

Gerakan tarian kaki Ali bisa disebut juga dengan shuffle. Lincah, tanpa henti, dan membingungkan lawan yang tidak bisa menebak kemana Ali akan bergerak. Mereka juga mengira gerakan itu akan melelahkannya karena menghabiskan stamina. Mereka salah memperkirakan kemampuannya. Karena saat bertarung, Ali justru akan selalu menggerakkan kakinya dengan lincah seolah tak pernah kehabisan tenaga, membuat lawan pontang-panting mengikuti. Gerakan cepat ini juga bisa digunakan saat ingin mengelabui. Salah satu pengikutnya adalah Bruce Lee yang mengagumi Ali, Bruce Lee mengkorporasikan gerakan footwork ini ke dalam tarian kung-fu dengan kelincahan tingkat tinggi.

Luar biasa bukan? Kata-kata kelas atas itu diucapkan oleh seorang penjaga sekolah sederhana seperti Pak Uya? Roy terdiam sesaat dan mengamati dirinya sendiri dalam hening.

Kelima lawan maju serentak.

Kali ini mereka bukan lawan bagi Roy. Sang Pengendara Angin berlari ke arah dinding, menjejakkan kakinya ke tembok sekitar satu meter di atas tanah. Lalu memutar badan untuk melakukan serangan mendadak. Kecepatan dan tenaganya tidak sama dengan yang tadi. Kali ini semua lawan dihabisi dengan cepat.

Jbkghhh! Jbkghhh! Jbkghhh! Jbkghhh! Jbkghhh!

Kelima kepala tersambar seketika dalam satu serangan cepat. Kelima lawan ambruk luruh dengan wajah dijejak. Ada yang terkena pipi, ada yang kena dahi, ada yang hidung, ada yang dagu, dan ada yang mulut. Mat Brewok terkapar dan mengerang. Tapi dia tetap bangkit dengan kesal. Termasuk empat kawannya yang lain.

Jbkghhh! Jbkghhh! Jbkghhh! Jbkghhh! Jbkghhh!

Roy tidak memberi ampun. Ia melesat bagaikan peluru kendali. Satu persatu lawan roboh tanpa sempat melawan kembali.

Usai sudah.

Mat Brewok dan kawanannya sudah tak berdaya.

Gerimis tiba-tiba saja datang tanpa diundang. Awan menggumpal bertindak seperti pemadam api yang menyala dalam tubuh sang Pengendara Angin.

Gerimis lama kelamaan berubah menjadi hujan.

Tapi Roy tetap berdiri dan terdiam. Bukan menggerutu dan menyesali diri, tapi berusaha mengakui jati diri. Sepertinya dia telah menemukan kemampuannya.

“M-Mas… kami mau berterima kasih.” Sang ibu hamil menggandeng anaknya yang ketakutan mendekati Roy, mereka memakai payung kecil dan agak ketakutan saat merapat ke arah sang Pengendara Angin. Sang bocah memandang pemuda itu dengan tatapan lugunya. Ada sembab warna biru di wajah sang anak. Mungkin bengkak karena tadi terjatuh atau dipukul oleh sang Jambret sialan. Dia berpegangan ke cardigan sang Bunda dengan erat, tak ingin lepas dan berpisah.

Roy tersenyum dan mengangguk. Ia mengambil tas yang tergeletak di samping sang Jambret yang pingsan. Lalu memberikannya pada sang Ibu hamil.

“I-ini, Mas…” Buru-buru Ibu itu membuka tasnya, hendak mengambil uang. “Jumlahnya tak seberapa, tapi saya harap dapat…”

Roy menggeleng. “Tidak perlu.”

“Tapi Mas…”

“Sungguh tidak perlu kok, Bu. Saya ikhlas membantu. Saya melakukannya karena orang-orang seperti jambret itu memanfaatkan kelemahan dan kelengahan untuk berbuat jahat. Simpan saja untuk kebutuhan berobat kalian berdua.”

“Te-terima kasih, Mas…” Ibu hamil itu sesunggukan.

Sang Pengendara Angin lantas membungkuk dan jongkok di hadapan sang bocah. Ia memperhatikan luka lebam yang ada di pelipis bocah itu. Itu bukan luka jatuh, itu luka pukulan. Biadab banget si Jambret itu memukul bocah sekecil ini. Roy tersenyum dan mengangkat jempolnya, “Kamu benar-benar hebat, anak baik. Menjaga Bunda dan Adik yang masih di perut Bunda. Om bangga banget sama kamu. Kalau sudah besar kamu pasti bertambah kuat, jaga selalu Bunda dan Adik kamu ya. Ceritakan sama Ayah kalau kamu sudah menjaga Bunda dengan baik.”

Bocah itu menganggukkan kepala. Ada sedikit senyum seutas di sana. Rasa sakit digantikan rasa bangga.

“Siapa nama kamu?”

Bocah itu menatap sang Bunda dengan pandangan bertanya-tanya. Anak pintar, sang Bunda pasti sudah mengajarkan kepadanya supaya tidak sembarangan berkenalan dengan orang asing, tapi sang Bunda mengangguk lembut menandakan persetujuan. Anak itu pun terbata-bata menyebutkan nama, “Be-Benji.”

“Kerja bagus, Benji.” Roy berdiri dan menatap sang Ibu hamil. “Sebaiknya kalian berdua segera pulang. Langit sudah sangat gelap, pasti hujannya nanti deras. Ada kendaraan pulang?”

“Sa-saya akan memesan taksi online saja.”

Smartphone Roy bergetar. Ia menariknya dari saku dan melihat pesan singkat yang muncul di layar. Dia tidak perlu membuka kunci layar untuk dapat membaca pesan karena muncul di notifikasi. Sebuah seruan berkumpul dari Amar Barok - pimpinan sementara Aliansi. Sepertinya penting karena Amar tidak mengirimkan kabar menggunakan jalur grup seperti biasanya dan memilih mengirimkan pesan secara japri.

“Baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya. Saya pamit dulu, Bu… Benji…”

“Terimakasih banyak, Mas…” wajah sang Ibu hamil terlihat lega dan tenang, “Ben… bilang gimana sama Om?”

“Terima kasih, Om.”

“Sama-sama.” Roy mengedipkan mata. Setelah meninggalkan Benji dan Bundanya, sekali lagi Ia memastikan rombongan jambret sudah terikat erat. Beberapa orang petugas berwajib datang tergopoh-gopoh di tengah derasnya hujan ditemani beberapa orang warga yang berkumpul untuk memberikan keterangan. Seperti biasa, yang berwenang terlambat datang.

Roy tidak ingin terlalu banyak urusan, ia melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan kerumunan. Hanya dalam sekelebatan, sosoknya sudah menghilang dan tak lagi kelihatan. Kepergiannya membuat banyak orang kebingungan. Kemana dia? Tak ada lagi yang melihat sosok sang pemuda tampan.

Sang Pengendara Angin benar-benar menjelma menjadi agen sang bayu. Ia sudah berhasil menguasai Ki-nya sekarang. Tinggal bagaimana memanfaatkannya dengan lebih tepat guna, efektif dan efisien. Itu harus dilakukannya dengan banyak berlatih.

Meski hujan mendera, ada sedikit harapan, dan secercah rasa bahagia. Tantangan memang selalu ada, tapi di setiap tantangan selalu ada jalan keluar, selalu ada solusi. Karena seperti itulah jalan hidup manusia. Kita melanjutkan hidup dengan memecahkan satu persatu masalah yang menghadang. Seperti itulah kita menjadi dewasa.

Ada satu pesan abadi dari semua ini.

Jangan pernah menyerah.

Pasti ada jalan.





.::..::..::..::..::.





.:: BEBERAPA HARI YANG LALU



Ada orang yang bilang, satu-satunya cara agar kita selamat saat berada di tengah-tengah badai, adalah melaluinya. Karena apapun yang terjadi, badai pasti berlalu. Berapakalipun badai itu datang. Satu-satunya jalan adalah bertahan dan lalui.

Rania Martin Agesti telah membuktikannya.

Berkali-kali.

“Rania.”

Awalnya Si cantik yang sedang memilih-milih pakaian itu tidak mendengar suara memanggil, tapi setelah panggilan yang kedua ia akhirnya mendengar dan memutar badan. Si manis bergigi gingsul itu tersenyum lebar saat ada yang menyapanya.

“Ya, Mas Roy?”

Suaminya sudah datang menjemput ya? Tadi mereka bertiga berpisah. Sementara Roy dan Lena berjalan-jalan untuk membeli pretzel cinnamon di salah satu kios franchise yang ada di dalam mall, Rania memilih-milih baju di department store. Sudah lama sekali rasanya dia tidak membeli baju untuk dirinya sendiri seperti saat ini. Jadi ketika ada kesempatan dia pun tidak akan menyia-nyiakannya, kebetulan dia dan Roy baru saja ada rejeki lebih.

Belanja baju baru memang tidak ada di list teratas mereka. Terlebih karena biasanya selalu saja ada yang mengganggu. Entah itu urusan pekerjaan, urusan sang suami dengan restoran, urusan sang suami dengan kelompoknya, urusan ini, dan urusan itu. Tidak ada waktu untuk sekedar bersantai mengisi waktu memanjakan diri sendiri. Sekarang Roy sudah bekerja, dirinya sudah bekerja, Lena juga sehat-sehat saja setelah diberikan obat dari Guru Deka, semua berjalan dengan baik dan sempurna.

Hidupnya sudah tenang dan berjalan di track lurus yang terbaik.

Memang sepertinya selalu ada berkah di balik malapetaka. Rania tidak pernah menginginkan malapetaka, namun setelah didera bertubi-tubi, setidaknya kini dia bisa merasakan ketenangan. Berkat Roy dan teman-temannya dari Aliansi, berkat dukungan rekan-rekan di Rumah Sakit tempatnya bekerja, dan berkat kegigihan Lena yang membuatnya terharu. Rania kini mendapatkan ketenangan itu.

Atau setidaknya itu yang dia harapkan.

Sampai sekarang.

“Yaaa…?” Rania membalikkan badan untuk menemui sang suami.

Ia sedang memegang baju putih dengan motif tipis. Bagus untuk makan malam atau sekedar jalan-jalan berdua dengan sang suami, lekuk tubuhnya akan sangat terpampang jika mengenakan baju yang cukup seksi itu. Tapi sebenarnya cocok sih. Senyum perempuan jelita itu mengembang, menunjukkan gigi gingsulnya yang manis. “Ini bagus nggak, Mas? Aku mau beli yang ini saja sepertinya… kamu pasti juga seneng kan kalau aku pakai baju yang menerawang seperti…”

Mata Rania terbelalak ketika melihat sosok menyeringai yang saat ini berada di depannya. Sosok jahat yang rasa-rasanya tak pernah berhenti mengganggu kehidupannya. Sosok yang selalu membuatnya jatuh bangun dalam penderitaan yang tak kunjung usai.

Reynaldi.

“Ka-kamu!!?”

Bisa-bisanya dia ada di tempat ini!! Takdir macam apa ini!?

“Kamu suka baju itu? Bagus kok. Tapi sebenarnya lebih bagus lagi kalau kamu tidak memakai apa-apa. Heheheh. Aku sudah pernah melihat tubuhmu yang indah itu tanpa sehelai benang pun dan aku ingin melihatnya lagi. Tapi… cuma melihat sepertinya eman. Lebih demen lagi kalau bisa sekalian menyentuh dan menjilati sekujur tubuhmu yang molek itu, sayang. Mungkin sekalian masukin batangnya ke dalam untuk bikinin adek anak kita.”

Rania terbelalak. Baju yang ia pegang terjatuh dari tangannya. Matanya bergerak dengan cepat, ia mencari jalan keluar, mencoba mencari celah untuk melarikan diri, bersembunyi, kabur, pokoknya menghindar dari sang durjana sialan ini! Suaminya! Dia harus lari menemui suaminya!

“Mau kabur? Mana bisa. Suamimu belum balik. Aku sudah sedari tadi mengamati kalian. Memang aneh sekali ya. Kenapa kita bisa selalu bertemu seperti ini. Ajaib bukan? Seperti berjodoh.” Rey mengedipkan mata, penampilannya kian menyeramkan sekarang, ada lingkaran hitam di sekeliling matanya. Seperti orang yang tidak tidur berhari-hari. Tapi ia tetap sosok yang mengintimidasi, tubuhnya terlihat makin kekar dan besar. Otot dan uratnya yang bertonjolan gagal disembunyikan oleh bajunya yang slimfit. Rey menjilat bibirnya sendiri saat memandang kemolekan Rania. “Beneran sepertinya kita memang jodoh, sayang. Kalau tidak berjodoh kita tidak akan punya anak bareng. Ya kan?”

Tidak! Tidak! Tidak! Baru saja ia bebas dari kehidupan penuh penderitaan, kehilangan ibunda tersayang, anak terluka parah karena racun, dan calon suami yang diduga meninggal meski akhirnya kembali. Kini orang ini datang lagi?

Kenapa takdir begitu kejam padanya? Apa salah Rania?

“Ja-jangan mendekat!”

Reynaldi tersenyum menyeringai.

“Jangan mendekat? Aku akan melakukan lebih dari hanya sekedar mendekat. Bukannya kamu suka diperlakukan seperti itu?” Pria itu melangkah perlahan ke depan. “Ayolah sayang… sudah lama kita tidak kenthu kan? Kamu dulu kan demen banget aku entotin? Sampai mendesah-desah minta nambah. Hahaha. Jangan bilang kalau kamu tidak suka. Jangan bilang sesuatu yang konsensual kamu sebut non-konsensual. Bukan perkosaan kalau sama-sama suka. Heheh.”

Rania gemetar ketakutan. Ia terus berjalan mundur di antara baju-baju yang dipajang. Dia sendiri tidak tahu akan sampai di mana. Dia harus bisa lari. Semua itu karena wajah yang ia temui ternyata bukan wajah yang ingin ia temui. Rania bertemu kembali dengan si Durjana! Penyebab semua duka lara dan penderitaannya!

Reynaldi!

Pemuda pemetik bunga yang juga ayah kandung Lena itu terkekeh melihat Rania salah tingkah. Si cantik itu kebingungan mencari cara untuk melepaskan diri sembari mencoba mundur teratur. Tapi kemana dia harus lari?

“A-aku akan berteriak! Suamiku sebentar lagi datang!”

“Kenapa memang? Apakah keberadaanku mengganggumu? Dulu kamu bilang sayang sama aku, cinta sama aku. Tidak ingin aku pergi. Kenapa sekarang semuanya berubah?”

“Jangan memutar balik fakta! Aku akan teriak dan…”

Swsssssh.

Kecepatan dahsyat sang Durjana tak bisa dilawan oleh Rania. Reynaldi bergerak dengan cekatan untuk menotok syaraf wanita muda jelita itu. Hanya dengan melewati Rania, tangannya sudah dapat meluncurkan dua totokan kencang di bahu yang membuat Rania terpaku tak bisa bergerak!

Rania tertegun tak percaya.

Ia tak berdaya.

Dia tak bisa bergerak! A-apa yang dilakukan oleh sang Durjana ini!? Apa yang akan dia lakukan? Dia tidak mau! Dia tidak mau!! Dia tidak mauuuu!! APA YANG AKAN DIA LAKUKAN PADANYAAA!?

Rania berkeringat dingin tanpa bisa melakukan apa-apa. Seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan. Dia terkunci, terpaku, dan terjebak bersama dengan orang yang paling dia benci! Meski ini di tengah-tengah keramaian, tapi Rania tidak bisa berteriak meminta tolong pada siapapun. Keselamatannya berada di tangan orang yang telah menghancurkan masa mudanya! Orang yang membuat nasib suami dan anaknya menjadi tergantung pada obat penyembuh! Orang yang telah membunuh ibu tersayangnya! Kenapa dia harus selalu bertemu dengannya?

Hal yang sama juga disadari oleh Reynaldi. Dia mendekat sembari melingkarkan tangannya di pinggang Rania. Kepalanya diletakkan di pundak sang perempuan berparas manis itu. Dari kejauhan, mereka berdua nampak seperti sepasang kekasih. Yang meskipun agak vulgar, tapi tak terlalu aneh di masa modern. Tidak akan ada yang curiga.

Rey memeluk Rania dari belakang dan mengecup pipinya yang mulus.

Si cantik itu jijik sekali tapi tak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa pasrah dilecehkan oleh sang Durjana.

“Entah kenapa aku selalu bertemu denganmu, sayang. Mungkin memang aku yang selalu beruntung – atau memang kita berdua itu sebenarnya benar-benar jodoh yang sesungguhnya. Tentu saja aku datang ke tempat ini tanpa tendensi apapun, iseng saja - eh tak kuduga tak kusangka justru bertemu denganmu. Memang kita tak terpisahkan ya? Selalu hadir untuk pasangan. Kamu selalu menjadi milikku sebagaimana aku juga akan selalu menjadi milikmu. Bersama kita bahkan sudah memiliki seorang putri. Seharusnya aku memanggilmu Mama dan kamu memanggilku Papa. Ingin rasanya bermain-main dengan anak kita.”

Jangan pernah kamu dekati Lena! Bajingan! Jangan pernah!

Rania hanya bisa geram dalam hati.

“Dulu sewaktu masih sekolah, kamu bagaikan bintang di antara langit malam. Paling mencolok dengan kecantikanmu dan menjadi kembangnya sekolah. Aku suka sekali melihat lekuk tubuhmu saat memakai baju olahraga atau seragam ketat yang membungkus tubuh mungilmu. Kamu cantik, ceria, dan cekatan. Kamu membuatku jatuh cinta. Sudah pantas rasanya dulu kita memadu kasih. Tapi sekarang… kamu sudah bertransformasi menjadi wanita matang dengan status istri orang.” Rey terkekeh dan kembali mengecup pipi halus mulus sang ibu dari anaknya itu, “Status barumu itu justru membuat birahiku bergejolak tak menentu, sayang. Kamu jadi jauh lebih menarik. Istri orang. Heheheheh.”

Tangan Reynaldi mulai berani dengan meremas-remas bulat pantat sang bidadari, Rania yang tak bisa bicara menggigil dan mulai meneteskan air mata. Dia tidak mau! Tidak mau! Tidak maaaauuuuu!!

“Hmm, rambut dan leher kamu wangi sekali… bikin aku tidak tahan. Sepertinya kita harus ke ruang ganti pakaian. Mari kita berdua tuntaskan rindu di antara kita. Jangan bilang-bilang ke suamimu yaa…” sekali lagi ucapan Reynaldi membuat istri Roy itu gemetar ketakutan. Ia masih bisa berkedip, masih bisa terbelalak, masih bisa menangis, tapi tak seutas kata pun bisa keluar dari bibirnya. Dia ingin berteriak minta tolong, tapi berbisik pun dia tak mampu.

Setelah mengambil pakaian pilihan Rania yang tadi terjatuh, Reynaldi menarik tangan istri Roy itu dan menyeretnya masuk ke ruang ganti. Entah kenapa seperti tidak ada yang memperhatikan kedua orang itu.

Kecuali satu orang.

Seorang satpam.

“Mas! Berhenti! Maaf! Apa yang anda lakukan!?” Satpam itu mengejar ke arah sebuah lorong tempat ruang ganti pakaian berjajar. Ada empat bilik di sana. Semuanya kosong. Satpam itu curiga karena Reynaldi seperti menyeret Rania. “Mengapa anda membawa Mbak-nya ke sini? Apa yang anda lakukan dengan Mbak-nya, Mas?”

Air mata Rania meleleh. Akhirnya ada yang menolong! Dia selamat!

Rey mendengus. Dia melepaskan Rania yang tak bisa bergerak dan dengan kecepatan tinggi mencengkeram leher sang satpam. Satpam bertubuh gemuk itu tak menduga Rey secara tiba-tiba akan menyerangnya!

“Hkkkkkghhhh!”

“Tempat yang salah, waktu yang salah, sobat.” Rey tersenyum. Jari jemarinya yang menghitam diangkat ke wajah sang satpam yang langsung memberontak. Tapi terlambat. Cakar beracun Reynaldi menancap di dada sang satpam. “Mudah-mudahan pengorbananmu memberikan aku kekuatan yang aku butuhkan untuk menaklukkan kota ini. Ssshh… tidak usah meronta. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”

Hanya beberapa detik saja. Rey mendorong satpam malang itu masuk ke dalam salah satu bilik yang kebetulan sedang kosong. Terdengar suara gedebukan di sana. Tapi Rania tahu ada sesuatu yang salah yang terjadi.

Rania menangis.

Dia berusaha keras menggerakkan tubuhnya, tapi tidak bisa, dia seperti terkunci, terjerat, dan tak bisa berbuat apa-apa. Dia terjebak. Tapi… bagaimana mungkin Reynaldi bisa melakukan hal ini?

Reynaldi keluar dari bilik sambil tersenyum. Ada bercak merah di tangan dan bajunya. Rey menutup bilik tempatnya menghempaskan sang satpam dan menguncinya. Kunci yang sepertinya ia dapat dari sang satpam.

Rey melirik ke arah Rania yang ketakutan dan mengedipkan mata. Ia menarik pergelangan tangan istri Roy itu menuju ke ruang ganti pakaian. Air mata wanita cantik itu pun membanjir semakin deras.

Kenapa…? Kenapa ini terjadi? Kenapa tidak ada yang peduli? Dia jelas-jelas sedang diseret! Kenapa tidak ada yang menolong? Apa yang bajingan ini lakukan pada satpam malang tadi?

Rania berusaha berteriak sekuat tenaga, tapi tidak ada suara yang keluar!

Reynaldi terkekeh melihat penderitaan Rania. Dia mendorong ibu muda jelita itu masuk ke dalam bilik, menutup, dan menguncinya. Ia membuka menundukkan kepala dan memagut bibir Rania. Si cantik itu pun terbelalak dan mencoba berteriak, tapi sekali lagi, tidak ada suara yang keluar.

Dada Rania menjadi sasaran selanjutnya. Meski masih ditutup oleh baju, tangan kurang ajar Rey meremas-remas buah dada sang Ibu Muda.

“Heheheh. Sial… kamu benar-benar membuatku mabuk kepayang hari ini. Dulu kayaknya tidak segede ini.” Rey menatap ke arah Rania yang masih gemetar ketakutan. “Aku lepaskan totokanku. Tapi kalau kamu melawan atau berteriak, kamu tahu apa yang akan terjadi.”

Tkk! Tkk!

Rania dilepaskan dari penjara aliran darah. Meski kaku, ia bisa menggerakkan badannya sekarang. Ia juga bisa berbicara meskipun serak.

“A-apa yang mau kamu lakukan? Lepaskan aku!! Lepaskan atau…” Rania menatap Rey dan langsung ketakutan.

Tiba-tiba saja aura gelap mengungkung sang Durjana. Matanya bagai digantikan oleh nuansa mistis yang mengubah warna putih sklera mata Reynaldi menjadi hitam gelap. Mata seorang monster. ilmu hitam Reynaldi sudah mencapai tahap mengerikan. Bahkan suaranya pun berubah seperti ada dua orang yang berbicara bersamaan. Suara yang tidak normal. “Suami dan anakmu pasti masih berada di luar sana ya? Mereka sudah pernah merasakan Cakar Tangan Hitam-ku. Sepertinya harus dituntaskan supaya mereka benar-benar bakal jadi santapan yang lezat buatku.”

Rania terbelalak. Dia merunduk ke bawah, memegang celana Rey, dan menggelengkan kepala. “Ja-jangaaan! Jangan sakiti mereka!! Jangan sakiti merekaaaaa! Aku saja! Kamu boleh melakukan apa saja dengankuuu!! Tapi jangan sakiti merekaaaa!! Aku mohon!!”

Rey terkekeh. “Apa untungnya buatku? Akan aku habisi mereka.”

“Jangaaaan!”

Reynaldi menunduk sembari tersenyum, “Baiklah… ada beberapa syarat. Syarat-syarat yang harus kamu lakukan supaya aku tidak menyerang anak dan suamimu. Ini perjanjian di antara kita berdua. Heheheh. Ini perjanjian kita yang terakhir.”

“Sya-syarat? Syarat apa?”

“Jika kamu ingin semua keluargamu yang tersisa selamat dariku, semua orang-orang yang kamu kenal tidak mampus ditanganku, maka kamu hanya perlu menuruti apa mauku.” Reynaldi mengeluarkan satu smartphone dari kantong celananya dan melemparkannya ke bawah. “Bawa handphone itu supaya aku bisa menghubungimu kapanpun aku mau. Kamu hanya perlu mengikuti apa yang kuinginkan, kapanpun aku inginkan. Tidak perlu ada orang yang tahu selain kita berdua – terlebih suami brengsekmu itu.” ucap Reynaldi sembari menyeringai menyeramkan. “Jangan khawatir. Begini-begini aku ayah kandung anakmu kan?”

Rania menggemeretakkan gigi. Ayah macam apa yang dengan tega menyakiti anaknya sendiri tempo hari? Dasar bajingan si durjana ini! Dia mengancam Rania dengan prasyarat yang tak mungkin ditolak. Rania tidak yakin Roy mampu mengalahkan Reynaldi dengan semua backing di belakangnya. Tidak saat ini saat Roy masih belum bisa mencapai kemampuannya seperti semula. Fisiknya masih belum seratus persen. Dia juga tidak mungkin terus menerus sembunyi karena entah kenapa Rey selalu berhasil menemukannya. Orang ini memang bangsat sebangsat-bangsatnya.

Rania tidak punya pilihan.

“Bagaimana? Bersedia?”

Rania menghapus airmatanya dengan punggung tangan. Apalagi sih maunya si Durjana bajingan ini? Syarat apalagi yang dia inginkan untuk menghancurkan Rania?

“Apa maumu? Apa masih kurang semua penderitaan yang kamu timpakan padaku? Pada keluargaku? Kamu sudah membunuh ibuku!! IBUKUUU!! PEMBUNUUUUUH!! Aku bersumpah atas nama Ibu, aku akan membunuhmu suatu saat kelak! Aku bersumpah!”

Reynaldi tertawa dan mengedipkan mata. “Apa yang aku mau? Kamu sudah tahulah. Aku memang suka membuka segel perawan, rasanya tiada duanya. Tapi entah kenapa aku lebih suka meniduri istri orang. Ada kenikmatan tersendiri. Untung sekarang kamu sudah jadi istri orang ya. Heheh. Pesonamu meningkat drastis, sayang.”

Keringat Rania turun deras. “Ja-jangan macam-macam kamu! Kita ada di tempat umum! Aku akan teriak minta tolong, orang-orang akan berdatangan, dan kamu akan…”

“Heheh. Bodoh. Kamu lihat sendiri apa yang baru aku lakukan dengan satpam tadi. Kamu mau lebih banyak korban? Kamu pikir bisa apa mereka jika berhadapan denganku? Kamu mau racun di tubuh suamimu lebih menyebar jika berhadapan denganku? Kamu mau anakmu benar-benar mati? Lebih baik kamu mulai buka bajumu dan kita selesaikan ini sekarang. Aku akan pergi setelah semuanya rampung. Kan tidak lama.” Reynaldi mengecup dahi Rania. “Kamu sudah tahu apa yang aku inginkan. Mulailah. Buka semua.”

Rania memejamkan mata, tangannya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar, air matanya mulai mengalir. Dia ingin berteriak minta tolong. Tapi dia tahu bahkan berteriak pun bisa membuat orang tak bersalah menjadi korban.

Siapa sekarang yang bisa menolongnya?

Rania teringat Roy, teringat Lena, teringat sang Ibu.

Jari jemari lentik si manis itu menyentuh kancing bajunya dengan berat hati.

Rey membuka celana.





BAGIAN 12 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 13
 
BAGIAN 12
ANGIN




Lupakan anggapan bahwa kita harus sama seperti orang lain.
Itu sama saja merampas kesempatan kita untuk menjadi luar biasa,
dan hanya akan membuat kita menjadi orang yang biasa-biasa saja.

- Uta Hagen





.:: SEKARANG



Roy berdiri dan menggosok telapak tangannya.

Dia berasa seperti sang Laba-Laba Merah yang jumawa di atas gedung bertingkat.

Dari atas hotel bercat putih yang ada di ujung jalan raya utama, bisa terlihat stasiun kereta api terbesar di kota membentang dari timur ke barat dan membelah jalan utama menjadi dua sisi, jalan menuju keraton dan jalan dari Tugu. Di sisi selatan stasiun sendiri, banyak hotel demi hotel berjajar dari sisi ke sisi, bersejajar, dan berbaris. Sama seperti kawasan lain di kota ini, tiap sudut jalan selatan stasiun nan populer ini juga menawarkan sajian khas berselera.

Dulu kawasan di selatan stasiun kereta adalah kawasan ‘merah’ yang tidak perlu dijelaskan apa artinya. Sajian khas yang tersaji adalah sesawangan lesehan para mbokdhe-mbokdhe yang bertebaran dari ujung sampai ke ujung meski tentu saja bukan mereka lawuh dan iwak-nya, mereka adalah penyergap, genus nepenthes. Tujuan utama keberadaan mereka adalah untuk memancing para pria hidung belang yang ingin secelup dua celup melepaskan dahaga selangkangan. Pria-pria yang terjerat lantas digiring masuk ke labirin jalan tikus untuk masuk ke hotel-hotel di dalam gang demi memilih satu nama – atau kadang dua – dari daftar katalog para penjaja yang akan menemani malam yang dingin menjadi lebih hangat.

Tapi itu dulu.

Dan itu katanya.

Kawasan itu kini telah dibersihkan oleh Pemda supaya lebih tertata, sopan dan lebih representatif jika ada turis dan tamu luar kota yang datang berkunjung. Tertata lho ya. Tertata berarti lebih rapi, tertata bukan berarti yang dulu ada menjadi tidak ada, masih ada hanya saja lebih secretive, lebih secluded, lebih tersembunyi, berkamuflase dalam gang-gang mengular bak labirin, dan menjelma menjadi gelap di terang hari.

Tapi mohon maaf ini bukan cerita tentang kawasan itu.

Ini cerita tentang Sang Pengendara Angin. Orang yang kini berdiri dengan tenang di atas hotel tua yang berada di pengkolan jalan. Hotel tua yang telah berdiri sejak tahun 1908 dan berjuluk The Grand Hotel. Hotel legendaris yang jika kita berdiri di depannya maka hal itu akan menjadi penanda bahwa kita telah sampai di kawasan yang menjadi jantung kota.

Roy berdiri di atas hotel, menatap ke arah jauh – ke arah kawasan di sebelah stasiun kereta.

Tangannya masuk ke saku celana, matanya tak henti-hentinya bergerak untuk menelaah landscape, mulut komat-kamit tapi bukan karena berdoa atau mengucapkan mantra. Bibir pemuda itu komat-kamit karena sedang mengunyah permen karet Big Bobal. Matanya sendiri tak henti-hentinya bergerak untuk menelisik dan memindai.

Ia sedang mencatat dan memperhitungkan setiap gerakan yang mungkin ia lakukan untuk mencapai lokasi seberang.

Jika hendak ke sana, maka dia harus ke situ, lalu ke sini, dan akhirnya ke sana. Lalu jika jalan ke situ, maka dilanjutkan ke sana, dan akhirnya ke sini. Seperti itu.

Pikiran pemuda itu bergerak dengan cepat untuk memperkirakan gerakan yang bisa ia eksekusi jika melakukan lompatan ke arah-arah tertentu. Parkour adalah olah tubuh yang membutuhkan kecekatan, kecepatan, ketepatan, dan ketelitian. Meleng sedikit, patah tulang akibatnya. Itu sebabnya dia tidak boleh salah, bukannya keren malah jadi konyol.

Walaupun dia sebenarnya tidak ingin pamer. Bagi Sang Pengendara Angin, parkour adalah sarana untuk berlatih ilmu kanuragan. Oleh Roy ilmu ringan tubuh yang diajarkan oleh Pak Uya digabungkan dengan ilmu kanuragan berbasiskan tenaga dalam yang diajarkan oleh Ki Kadar. Selama ini dia masih belum berhasil menggabungkan keduanya karena tidak ada chemistry-nya. Tenaga dalam justru digunakan untuk mengatur laju racun Cakar Tangan Hitam yang masih mengalir dalam tubuhnya.

Roy memejamkan matanya. Ia mengusap kedua telapak tangannya yang berasa dingin dan mulai membisikkan kalimat demi kalimat yang diajarkan oleh Ki Kadar sembari menjulurkan tangannya ke depan, mengaitkan jari jemari, membentuk segitiga di depan dada.

Langit terbelah awan menangis membasahi bumi.
Guntur berderak marah mengisi relung hati.
Putus asa tercurah dalam madah,
Malam sedih berkabut air mata darah
.”

Saat Roy membuka mata, setetes air mata menggaris menuruni pipi, ke bawah terus, dan terus, dan terus, dan terus, dan terus turun ke bawah. Roy mengepalkan tangannya, menerima air mata yang menetes dengan punggung tangannya. Pertemuan antara kepalan dan punggung tangan hanya sekejap, tapi percikannya membangkitkan sesuatu dalam diri Sang Pengendara Angin.

Inilah dia, jurus yang justru akan menghebat ketika penggunanya didera kesedihan luar biasa. Saat air mata bertemu kepalan, tenaga dalam Roy terpantik, aura Ki-nya menyala. Inilah dia, Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah.

Inilah… hmm…

Roy merasakan sesuatu yang berbeda.

Kenapa terasa tidak seperti biasanya, ya? Tenaga dalamnya menyala tapi tidak sehebat sebelum-sebelumnya. Seperti ada yang tertahan dalam tubuhnya. Seperti botol soda yang sudah dikocok tapi tutupnya tak dibuka.

Kenapa itu terjadi?

Apakah karena dia tidak sedang merasa sedih?

Sebenarnya Roy penasaran… jika dia tidak sedang mengalami kesengsaraan yang membuat hatinya pedih, akankah ilmu kanuragan ini jadi efektif? Sesuai namanya, ilmu ini disebut Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah. Tapi bagaimana kalau sang pengguna sedang tidak sedih? Sekali waktu, Roy pernah bertanya kepada Pasat.

Kalau kita tidak sedang sedih apakah jurus ini akan bisa terpakai? Bagaimana kalau aku sedang gembira? Atau sedang bungah? Atau sedang baik-baik saja?” tanya Roy.

“Aku selalu merasa sedih, jadi tidak pernah memperhatikan hal semacam itu
.” kata Pasat, “Tapi aku setuju dengan pertanyaan itu. Meragukan ya? Kalau memang yang kita pertanyakan itu terjadi, maka bisa jadi hal itu menjadi kelemahan ilmu kanuragan ini. Dari namanya saja sudah mengandung kesedihan, kalau kita gembira tentu tidak bisa digunakan. Kita harus menyiasatinya. Pilihannya ada dua, mengembangkan ilmunya dan menerapkannya pada banyak kondisi dengan mengubah ambang batas kesedihan, atau kita menerapkan kesedihan pada diri kita sepanjang waktu. Secara mental tentu itu tidak bagus. Kecuali bagi yang hidupnya dipenuhi kesedihan sepertiku.”

Jawaban dari Pasat itu sepertinya cukup menjelaskan. Ilmu kanuragan yang ia miliki beresiko tidak bisa digunakan.

Roy menyeka hidungnya yang juga terasa dingin. Bagai makan buah simalakama. Begini salah, begitu juga salah. Dia harus menemukan cara untuk mengoptimalkan kemampuannya dengan tenaga dalam yang ada tanpa harus merasa bersedih. Tentu saja tenaga dalam yang ia miliki seharusnya bisa digunakan untuk bela diri, selain hanya untuk menjaga laju racun.

Tapi bagaimana caranya memaksimalkan tanpa harus bersedih?

Coba dia rasakan dulu tenaga dalam ini, lalu dia terapkan. Jika sudah terbiasa menggunakan, mungkin bisa dia nyalakan tanpa harus merasa sedih. Sang Pengendara Angin menganggukkan kepalanya.

Gentlemen, start your engine.”

Roy menyebarkan aliran tenaga yang memendar dalam jiwanya ke seluruh tubuh. Seperti ada kesemutan yang mejalar sesaat ketika tenaga itu disebarkan. Pemuda itu lantas menarik napas panjang, merunduk dengan pose seperti orang berlari, memejamkan mata sesaat, lalu membukanya dengan menghempaskan satu lepasan tenaga ke belakang.

In three, two, one. Go!

Roy melesat ke depan dengan kecepatan tinggi, tubuhnya terasa sangat ringan. Dengan mudahnya ia melompati dari satu bangunan ke bangunan lain. Kakinya menapak dan menjejak, dari satu beton ke tembok, dari satu dinding ke pagar. Roy melompat, berguling, melompat, berguling. Semua ia lakukan dengan mudahnya seperti tanpa perlu mengeluarkan banyak effort. Begitu cepatnya ia bergerak, orang-orang hanya bisa melihatnya sekejap tanpa bisa mengikuti.

Hajigur, dia berasa seperti Sapider-Man. Semua ia lompati dengan mudahnya. Gedung tinggi di kota ini tidak banyak, sehingga posisi jejak menjejak kakinya harus sesekali perlahan turun ke bawah, melewati trotoar dan jalan setapak antar gedung, lalu naik lagi ke pohon, ke tiang pancang, baru kemudian naik lagi melalui tingkatan dan bangunan yang menjulang ke atas. Persis seekor kadal yang melompat dari satu daun ke daun lain.

Tidak ingin orang-orang melihatnya, Roy melakukannya dengan kecepatan tinggi.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lompat kanan, kiri, depan, kanan. Kaki menapak, tapak menjejak. Ia berguling dan melompat, bersiap, dan berlari.

Boom!

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lompat ke atas, naik, ke samping, naik lagi.

Boom!

Roy menyadari mudahnya melakukan ini semua karena didukung kekuatan tenaga dalam yang membungkus tubuhnya dengan perlindungan ekstra tak kasat mata. Ia juga merasakan tubuhnya jauh lebih ringan sehingga dapat melompat jauh lebih tinggi. Mungkin di jaman simbah-simbah dulu, ilmu kanuragan seperti ini yang disebut-sebut sebagai ilmu meringankan tubuh karena tubuhnya benar-benar terasa ringan bagaikan kapas. Gabungan ilmu yang diajarkan oleh Pak Uya dan ilmu pemberian Ki Kadar memberikannya satu gabungan ilmu ringan tubuh yang luar biasa. Ia bisa melakukan parkour dengan mudahnya.

Ya, sebenarnya masih ada satu kelemahan sih – dan itu agak fatal. Ilmu tenaga dalam yang ia dapatkan dari Ki Kadar hanya dapat diaktifkan dalam keadaan sedih. Tentu saja itu sedikit merepotkan kalau dia sedang gembira. Harus ada cara lain. Harus cari cara lain. Harus ada cara…

“Tolooooooong!”

Roy sedang berada di atas salah satu gedung di Jalan Protokol Utama ketika terdengar teriakan minta tolong itu. Suasana sudah menjelang malam, meski lampu bergelimang, tapi di beberapa sudut jalan dan gang gelap sudah menyelinap. Roy mulai menjejakkan kaki dengan cekatan ke arah datangnya suara. Dia tidak boleh terlambat!

Suara itu begitu nyaring terdengar, pasti tidak jauh dari tempatnya berada!

Roy memandang sekeliling. Sebenarnya ada beberapa orang di sana. Ada tukang-tukang becak juga. Kenapa orang-orang seperti terhipnotis untuk tidak mencari orang yang minta tolong itu? Kenapa orang-orang ini hanya diam saja? Kenapa tidak ada yang berniat untuk mencari dan menolong? Kampret! Sudah se-apatis itukah orang-orang sekarang?

“Toloooooooong! Toloooooong!! Jambreeeeeeeeeeeettt!! Jambreeeet!!”

Roy menggemeretakkan gigi karena geregetan. Kebangetan nih orang-orang!

Mau tidak mau dia harus turun tangan!

Tidak ingin dikenali siapapun, Roy langsung mengenakan topi dan masker hitamnya. Ia mengaitkan ritsleting jaketnya yang juga hitam hingga mentok ke atas, lalu melesat menuju ke arah suara. Lompatan demi lompatan dilakukan, setiap sekali hentakan kaki ia melompat sampai beberapa meter ke depan. Dalam hitungan detik, jarak yang ia tempuh sudah sangat luar biasa. Itupun dia merasa tak terlampau cepat.

Ia harus cepat karena korban dan pelaku tak akan menunggu lama.

Tak sampai beberapa lama, begitu Roy sampai di lokasi, ia melihat seorang ibu-ibu hamil terjatuh di trotoar jalan, sementara anaknya yang masih usia PAUD menangis kejer di samping sang bunda. Sudah cukup jauh jarakanya dari posisi mereka, seorang laki-laki berlari kencang sembari membawa tas wanita. Sudah pasti itu pelakunya.

Bangsat.

“Toloooooong! Toloooooong!” sang Ibu kembali berteriak kencang.

Roy mendengus kesal, orang sialan itu harus diberi pelajaran!

In three, two, one. Go!”

Sang Pengendara Angin pun segera melompat-lompat untuk naik ke atas gedung menggunakan kemampuan ringan tubuhnya, ia lalu mulai berlari ke arah selatan, ke mana sang jambret kabur. Laki-laki sialan itu ternyata kemudian berbelok ke arah Jalan Degan, tepat di depan Mal Pratama – pusat perbelanjaan modern yang merupakan Mal pertama di kota ini. Roy tidak menyerah begitu saja, ia terus saja mengejar. Ia hanya takut si jambret itu masuk ke gang-gang kecil dan masuk rumah warga sehingga bakal sulit sekali dikejar dan diketahui tempat sembunyinya.

Benar saja. Ketakutan Roy terjadi. Sang jambret mencari-cari gang kecil dan berbelok ke kanan hendak masuk ke dalam sebuah gang. Tapi Roy sudah menduganya, ia melompat dengan satu salto ke atas dan menghunjam ke bawah dengan kecepatan tinggi!

Boom!

Roy mendarat tepat di depan sang jambret yang terkejut bukan kepalang! Jambret itu mengenakan pakaian serba hitam, kacamata hitam, dan topi hitam. Mirip seperti Roy! Bedanya hanya ada di brewoknya.

“Sudah cukup jauh larimu, Mat Brewok. Kembalikan barang itu dan semua akan baik-baik saja.”

Sopooo weee!?” teriak sang jambret yang tertangkap basah. Dia maju untuk memukul Roy. “Minggirrr weee suuuu!!

Roy tentu saja tidak ingin menjawab pertanyaan dan bentakan itu. Dengan satu gerakan menghindar, pukulan sang jambret berhasil dielakkan. Dia memutar badan dengan gerakan seratus delapan puluh derajat, kakinya ditekuk sedikit lalu melesat dengan kecepatan tinggi bagaikan baling-baling. Satu sambaran melesat mengenai kepala sang jambret tanpa bisa ditahan!

Bletaaaaaakghh!

Wajah sang jambret ibarat bergeser ke samping, mengerucut terkena sambaran.

Pencuri sialan itu tersungkur tanpa sempat membalas, tas yang ia pegang terlepas. Roy tersenyum sembari mengambil tas wanita yang tadi dibawa oleh sang jambret. Ternyata masih efektif juga tendangannya. Nah kalau gerakan ini adalah ajaran dari Pak Uya, beliau mengajarkan banyak sekali serangan dan pertahanan – terutama dengan kaki sebagai media.

Senyum Roy menghilang sesaat kemudian. Rasa-rasanya ada sesuatu yang berbeda. Ada hawa yang tak nyaman.

Mat Brewok Sang Jambret bangkit dari jatuhnya, ia menyeka bibirnya yang pecah dan berdarah. Pria berangasan itu meludah ke tanah. “Bajingan tengik! Anak muda sialan! Kamu tidak tahu dengan siapa kamu berhadapan, Su! Kamu sok jago di saat yang salah dan waktu yang tidak tepat. Kamu tidak tahu siapa aku – siapa kami! Mampus kamu sekarang!”

Roy mendengus dan mengambil kuda-kuda sembari menyeringai, “Oh ya? Rasa-rasanya sih tidak ada yang salah dan tidak tepat. Jambret bangsat seperti kamu yang hanya pandai mengincar wanita tak berdaya dan anak-anak sudah sepantasnya diberantas. Orang semacam kamu memang NPC yang sudah jadi menu wajib untuk dihabisi.”

Sang Jambret tersenyum. “Nyuuuuuk! Ono wasu siji njaluk disunat meneh kih! Beleh waee!! Kemlinti sok iyes! Asuuooog! Jingaaaaan!!

Di sekeliling Roy, serombongan orang datang untuk menyergap dari empat penjuru mata angin. Rupa-rupanya sang Jambret tidak bekerja sendiri. Ia masih punya kawan-kawan lain. Roy sih sudah menduga hal semacam ini akan terjadi. Tidak mungkin tukang jambret semacam Mat Brewok ini bekerja sendiri. Roy memantapkan diri, meneguhkan hati, dan mulai bersiap.

Dia pasti bisa mengatasi kelima orang ini jika…

Jika…

Jika…

Roy terbatuk-batuk. Dadanya terasa sakit. Ugh. Ia mengerutkan kening dan memegang dadanya seperti hendak mencengkeramnya, keringatnya mengalir deras. Tiba-tiba saja pandangannya berkunang-kunang dan ia pusing sekali. Tubuhnya seakan hendak tumbang. Degup jantung di dadanya ibarat tabuhan genderang yang terus menerus menghentak membuat kepalanya berdenyut tak tertahankan. Apa yang terjadi?

Roy berusaha menelaah situasi. Apa yang terjadi padanya?

Gawat.

Sekarang barulah terasa.

Atau tepatnya sekarang sudah tidak terasa.

Ada sesuatu yang menguap dari dalam tubuhnya, sesuatu yang sebelumnya sempat membuatnya seperti seorang superhero. Mampu melompat tinggi dan merasakan lonjakan kemampuan di luar kebiasaan. Tapi sekarang semuanya sudah tak lagi ada.

Tenaga dalamnya tiba-tiba saja hilang lenyap tanpa bekas. Jadi apa yang ia takutkan dan ia perkirakan benar-benar terjadi. Tenaga dalam yang ia himpun hilang dengan cepat jika dalam hatinya dia tidak merasakan kesedihan. Jurus yang diwariskan oleh Ki Kadar padanya punya kelemahan fatal.

Masalahnya sekarang dia harus menghadapi lima orang bersamaan. Kalau dilihat dari raut muka mereka, sepertinya mereka orang-orang KRAd. Pasukan terpilih yang sudah pasti punya sesuatu. Kalau saja Racun Cakar Hitam tidak membuatnya kehilangan lebih dari separuh kemampuannya, maka Roy tidak akan terlalu banyak mengeluh. Masalahnya gara-gara harus selalu menjaga racun yang masih menetap di dadanya supaya tidak menyebar, dia tidak bisa seratus persen menggunakan Ki aslinya yang belum terasah.

Tapi tak urung sang Pengendara Angin memasang kuda-kuda untuk menghadapi para lawan. Dulu dengan mudah ia akan menundukkan sepuluh orang sekaligus tanpa memakai tenaga dalam apapun. Apakah sekarang ia masih bisa melakukannya dengan tetap harus menjaga kondisi badan sendiri dan memastikan racunnya tidak bereaksi?

“Heheheh. Kepercayaan dirimu sepertinya menguap dengan cepat sewaktu teman-temanku datang, Su. Sudah sadar sekarang bagaimana sebenarnya posisimu di sini? Kamu tidak akan dapat selamat hidup-hidup. Pilih mati atau cacat?”

Wedhus.

Saat ini bukanlah waktunya untuk bertanya apakah ia masih bisa melakukannya atau tidak. Sekarang saatnya untuk percaya pada kemampuannya sendiri bahkan jika harus bertarung tanpa Ki. Roy melirik ke sekeliling. Mengamati satu persatu posisi lawan. Satu di sana, dua dan tiga di situ, empat di samping sini, yang kelima di sebelah sana.

Lima orang.

Bagaimana caranya percaya diri? Tambahkan kata hanya.

Hanya lima orang.

Pasti bisa.

Roy bersiap.





.::..::..::..::.





Jun menghembuskan napasnya perlahan-lahan, lalu membuka mata yang sebelumnya terpejam dengan sangat pelan. Ia berusaha mengamati semua yang terjadi dengan hati-hati. Jarak antara di mana dia berdiri dan apa yang sedang dia amati memang cukup jauh, tapi dia bisa tahu hanya dengan mengandalkan penglihatannya untuk memahami apa yang tengah terjadi.

Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Jun adalah kemampuan penglihatannya yang di atas rata-rata manusia biasa. Mungkin karena keturunan, mungkin karena ilmu kanuragan, mungkin emang karena dasarnya dia manusia anomali. Yang sudah pasti, pokoknya dia mampu. X tidak tahu bagaimana bangsat rambut perak itu melakukannya.

“Apa yang terjadi di sana?” tanya X.

“Sudah kuduga pada akhirnya dia akan bertemu dengan masalah. Telik sandi kita benar. Si Jangkrik tukang lompat itu sering berlatih di tempat ini,” ujar Jun sembari menatap ke arah jauh, “Lebih seru lagi… ternyata si Jangkrik itu malah golek perkoro. Dia ketemu sama orang-orang KRAd.”

Kedua kapten QZK itu duduk-duduk santai di dekat warung Masakan Padang pinggir jalan di Jalan Degan. Kawasan yang kini ramai karena ada bentrok. Di satu sisi ada seorang pemuda berpakaian serba hitam dengan masker dan topi hitam, di sisi lain ada dari rombongan preman tukang jambret yang ditengarai dari kelompok KRAd.

X dan Jun sengaja tidak mendekat, mereka dengan santai menonton saja dari kejauhan. Terutama karena ini kawasan KRAd dan PSG. Mereka melihat pertikaian dan pertarungan antara sosok-sosok yang terlibat di sana.

“Bagaimana? Bisa terlihat?” tanya X dengan seringai di wajahnya saat melihat X merapal ilmu kanuragannya. Jangan-jangan sudah kelar nih bocah ngerjainnya. “Bisa kamu makan?”

“Bisa. Butuh beberapa saat memang, tapi aku bisa membacanya. Jangan khawatir. Pasti akan aku makan semuanya. Bersamaan ataupun satu persatu tidak masalah,” ucap Jun tanpa berkedip. “Yang satu ini sudah ada dalam genggamanku.”

Ada denyut aura biru keluar dari tubuh Jun, matanya berkilat sesekali seperti pemindai yang sedang meraba media untuk memindahkan gambaran ke media lain. Ibarat scanner. Itu pula sebenarnya yang tengah dilakukan oleh sang pemuda berambut perak itu. Ilmu kanuragan yang ia miliki memang tidak sembarangan dan merupakan hasil binaan dari seorang Tetua yang kini sudah tiada, almarhum Datuk Darah Raksa.

Tak berapa lama kemudian Jun menunduk lemas. Dia tidak bergerak dan terdiam. Matanya terpejam, tubuhnya tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sampai kemudian dia akhirnya mendongak dan mengangguk pada sang rekan.

“Selesai.”

Jinguk. Ngeri, Su.” X mendengus melihat perubahan aura Ki pada diri sang rekan, antara kagum tapi juga penasaran. Dia tahu potensi yang dimiliki oleh Jun, sehingga dia memperkirakan kemampuan si rambut perak pasti akan semakin meningkat. menyeringai sesat. “Aku mau mencobanya.”

Jun tertawa dan mengedipkan mata pada sang sahabat.

Bagi Jun, kalau ada satu orang yang menjadi tempatnya curhat, berkeluh kesah, dan mengutarakan unek-unek paling lancar, orang itu adalah X. Bukan karena dia pendengar yang baik dan bukan karena dia bisa memberikan masukan. X yang terbaik karena dia ada di sebelahnya setiap waktu. Sudah itu saja alasannya. Dia yang terbaik karena dia ada di sana, di sisinya, dan tak pernah beranjak. Jun tidak pernah menyembunyikan apapun dari X, termasuk jika dia ingin menunjukkan kemampuan paling baru, dia pasti ingin melatihnya dengan sang rekan.

Jun kemudian bangkit dan menepuk pundak X. “Kita cari tempat kosong.”

Tidak butuh waktu lama, mereka berhasil menemukan tempat yang mereka cari di sebuah lapangan badminton yang ada di belakang Mal Pratama. Keduanya bahkan tidak mempedulikan hasil akhir bentrok yang sebelumnya mereka saksikan. Mereka tidak peduli hasilnya. Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka cari.

Jun dan X berdiri di depan sebuah lapangan bulutangkis tanpa net yang dikelilingi pagar jaring besi setinggi tiga meter lebih dengan pintu terkunci gembok. Keduanya lantas saling bertatapan.

Jun meringis.

X membuka rompi dan memamerkan tubuh penuh tonjolan otot yang mengerikan. Dia benar-benar seorang monster, bukan lagi six pack. X melenturkan pundaknya, entah apa yang hendak dilakukannya. Kemungkinannya ada dua, antara hendak menjebol gembok atau memanjat.

Jun tidak akan menggunakan cara yang sama.

Dengan menggunakan pundak kokoh sang sahabat sebagai tumpuan tangan untuk mendaki. Tubuh Jun tiba-tiba saja melesat tinggi. Jejakan kakinya menapak tembok di samping mereka, loncat ke pundak X, lalu ke tembok kanan, tembok kiri, tembok kanan, tembok kiri, lompat kanan, lompat kiri, cekatan sekali seperti seekor monyet yang cerdas mencari pijakan. Jun terus saja naik dan naik dan naik, lalu berhenti saat berhasil mencapai ujung tembok teratas. Dia jongkok di sana dan tersenyum meringis ke bawah, ke arah X yang memandangnya takjub.

Dari posisinya sekarang, Jun hanya tinggal meloncat masuk ke arena lapangan bulutangkis. Tidak akan ada yang menghalanginya.

X meringis, “Dasar uban bajingan.”

Edan juga kemampuan si Jun, dia mampu melakukan persis seperti apa yang sudah dilakukan oleh Roy sebelumnya hanya dengan mengamati saja. Pengamatan itupun dilakukan dari jarak yang lumayan jauh. Itu adalah kemampuan yang didapatkan dari ilmu kanuragan berjuluk Gatraganda – salah satu jurus yang diajarkan oleh gurunya, Datuk Darah Raksa. Jurus yang tak bisa dikuasai sembarang orang. Bahkan ketika sudah mempelajarinya dari Jun, X tak bisa menguasainya. Entah bakat, entah keturunan.

Kembali ke Jun dan kemampuannya meniru. Sejauh pengamatan X, perbedaan hanya ada di tenaga dalam keduanya. Sudah pasti Jun tidak akan bisa menguasai tenaga dalam yang sama dengan Roy hanya dengan sekali lihat, karena itu butuh latihan entah berapa lama dan entah bagaimana. X belum pernah mendengar ada orang yang sanggup meniru jurus luar sekaligus dengan tenaga dalamnya.

Tapi mereka tidak perlu khawatir akan hal itu. Jun punya tenaga dalam mumpuni lain yang tengah ia latih, energi dari hasil olah kanuragan berkelas berjuluk Matahari Menjemput Rembulan. Dengan terus belajar dan menyatukannya dengan Gatraganda, Jun akan bisa setingkat dengan sang pimpinan Aliansi dan menghajar pimpinan-pimpinan kelompok lain dengan mudahnya. Dia akan memanjat jenjang untuk menjadi petarung Kelas A sejati.

X mendengus. Lengannya mengeras bak baja. Tubuhnya makin membesar, ibarat Rahwana di puncak kekuatannya. Ia meraung dengan kencang, satu tendangan dilakukan. Pintu yang tadinya terkunci kini terbuka lebar dengan satu dobrakan.

Pemuda bertubuh raksasa itu berjalan masuk ke lapangan dengan santai.

“Sudah siap?” tanya Jun dari atas.

X menyeringai dan mengangguk. Dia berdiri tenang, terlihat santai tapi sesungguhnya penuh penguasaan diri. Dadanya naik turun dan napasnya menggerus-gerus mirip seekor banteng yang siap menyeruduk.

“Turun.”

Boooom!

Jun melesat ke bawah dengan kecepatan tinggi bak peluru kendali lepas dari peluncurnya. X mempersiapkan lengan kanannya. Pertemuan keduanya menghasilkan sesuatu yang tak bisa dinalar. Gelombang serangan dari Jun diluncurkan namun tak berhasil menembus sekalipun. Padahal X hanya menggunakan satu lengan saja.

Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh!

Hujan serangan tak berhenti, tapi tetap tak ada hasil. Satu lengan X berhasil menahan gempuran dari Jun. Dari arah manapun Jun menyerang, X selalu berhasil menahan.

“Jangan main-main, Jun.” desah X kesal.

“Heheh. Oke.”

Jun mundur dua langkah, melakukan one-two step ke samping kanan dan kiri. Lalu melaju dengan kencang ke depan setelah menjejakkan kakinya ke belakang. X langsung bersiap. Dia tahu kalau Jun tidak lagi main-main. Dia menggunakan jurus yang sama seperti yang dipraktekkan oleh Roy tadi. Jadi ini menggunakan kaki. Dari suara langkah kaki yang menjejak X bisa memperkirakan kalau…

Jbooom! Jbooooom!

Dua tendangan dilepas.

Pinggul dan dada X tersambar. Dia mundur ke belakang sekitar lima tapak. Pemuda bertubuh raksasa dengan luka silang di wajah itu terperanjat. Serangan dari Jun memang tidak menyakitinya, namun cukup mengagumkan karena mampu mendorongnya ke belakang. Heheh. Tapi tidak semudah itu untuk…

Jbooooooom!

Satu serangan meluncur dengan deras dari atas. Tumit kaki Jun sudah siap mendarat di ubun-ubun X. Untuk pertama kalinya X menggunakan kedua tangannya untuk bertahan. Meski mampu menghalangi serangan, tapi itupun tidak cukup. X jatuh terduduk bertongkat lutut dengan satu kaki.

Jun melompat ke belakang sembari nyengir.

X tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia melepas pertahanannya.

“Hebat. Hebat sekali. Aku mengakui kehebatanmu, Dab. Sayang sekali kemampuanmu meng-copy jurus beladiri tidak berlaku untuk tenaga dalam ya. Kalau bisa melakukan keduanya – meniru jurus luar dan mendapatkan kemampuan tenaga dalam - tentu bakal lebih mengerikan lagi. Kamu memang mengerikan.” X berdiri sembari menepuk lututnya yang kotor karena tadi harus duduk bertongkat lutut saat menghadang serangan dari Jun. Dia berdiri dan geleng kepala, kagum dengan kemampuan si rambut perak. “Jinguk. Kalau saja kamu bisa melakukannya, kamu bakal jadi tak terkalahkan, Su.”

Jun menyeringai sembari menatap X dengan kilatan di matanya. Senyumnya sangat lebar. “Kata siapa aku tidak bisa melakukannya? Menurutmu Gatraganda jurus peniru murahan?”

X terperangah sesaat. Dia menggelengkan kepala. Ia menatap ke arah Jun dengan mulut menganga. Ia tertawa renyah, pasti Jun main-main dengan ucapannya. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sanggup melakukannya. “Tidak… tidak mungkin. Jangan bercanda, Nyuk.”

Jun meloncat ke belakang dan bersandar di pagar besi. “Kenapa tidak mungkin?”

“Tidak mungkin ada orang yang mampu melakukan itu!! Belum pernah ada!! Bahkan jagoan sepanjang sejarah yang aku tahu tidak ada yang sanggup! Aku tidak percaya kamu bisa…”

“Mari kita coba adu kekuatan sekali lagi. Kali ini… kamu gunakan tenaga dalam untuk pertahananmu. Aku tahu kamu punya pertahanan kelas wahid. Akan aku coba buka gerendelnya dengan jurus dan tenaga dalam yang baru saja aku kuasai. Heheh.”

X menatap ke arah sang sahabat dengan pandangan tak percaya.

Mana mungkin dia bisa melakukannya! Tidak mungkin!

Seringai dari Jun itu sangat menyeramkan. Apalagi matanya yang terus berkilat-kilat.

Jun merunduk dan mengambil kuda-kuda. “Aku akan membuktikan padamu bahwa aku pantas berhadapan dengan si Bengal, bahkan dengan pimpinan-pimpinan kelompok lain. Aku hanya menunda waktu saja karena butuh belajar banyak. Tapi sekarang, waktunya sudah hampir tiba untuk menunjukkan pada dunia, siapa Jun sebenarnya. Jadi sobat, pada hitungan ketiga, seranglah aku. Akan kuperlihatkan sesuatu yang baru kamu seorang yang tahu. Heheheh. Datuk Darah Raksa telah memberikan aku senjata rahasia yang akan menguasai dunia.”

Usai berkata seperti itu, ada segaris air mata meluncur di pipi Jun yang turun dan menetes di kepalan tangannya. Saat itu pula aura Ki yang menyelubunginya meledak.

X mulai paham dan tertawa. “Bajingan.”

Pemuda kekar itu tahu dia akan mendapatkan sebuah kejutan yang luar biasa dari si Rambut Perak.





.::..::..::..::.





Pasat memainkan gitarnya sambil duduk di atas tandon air. Jari jemarinya memetik dan menggunakan jemarinya untuk memapankan senar demi senar supaya berbunyi sesuai kunci. Dentingan gitar menggema di angkasa malam, deretan lirik lagu Jawa didendangkan dari bibirnya dengan merdu. Suaranya memang empuk dan padat, membuat lagunya nyaman didengarkan di sela-sela udara malam yang dingin mengungkung badan.

Tanpa keluarga, tanpa teman, tanpa pasangan. Pasat hanya punya diri sendiri. Keluarga terdekatnya kini hanyalah sang Guru Ki Kadar. Saudara seperguruan sekaligus partner-nya Handoko Hamdani sedang mengalami koma dan tidak tahu apakah dia benar-benar akan bisa kembali normal dengan luka tubuh yang sudah membuatnya invalid.

Petikan gitar si Rambut Coklat menembus gelapnya malam, mengelana di bawah rembulan yang bertahta dalam kelam, mengendap di relung batin terdalam. Setiap dentingan tersangkut, tertambat, dan tersulam. Sang pemetik gitar berambut coklat pun menjelajah nada, liriknya membuatnya tenggelam, arus lagunya membuatnya menyelam.

Dek jaman berjuang, njur kelingan anak lanang.
Mbiyen tak openi, neng saiki, ono ngendi?
Jarene wes menang, keturutan seng digadang.
Mbiyen ninggal janji, neng saiki, opo lali.

Neng gunung, tak jadongi sego jagung.
Yen mendhung tak silihi caping gunung.
Sukur biso nyawang, nggunung deso dadi rejo.
Ben’e ora ilang nggone podho loro lopo
.”

Lagu yang dinyanyikan Pasat berjudul Caping Gunung - sebuah lagu Jawa yang diciptakan oleh sang maestro musik keroncong yaitu almarhum Gesang. Secara lirik sebenarnya lagu ini menceritakan tentang seorang tua yang sedih karena ditinggal anaknya merantau tapi tak kunjung pulang. Meski begitu ada juga yang bilang kalau konon lagu ini merupakan sebuah sindiran politik, mempertanyakan sikap pemerintah pada warga desa yang dulu ikut berjuang dan membantu memerdekakan negeri, namun sekarang dilupakan begitu saja.

Ada yang tersurat dan ada yang tersirat.

Hidup pemuda itu terkesan selalu sepi, seolah-olah ia selalu sendiri. Ia telah kehilangan kakak kandung dan kakak ipar yang menjadi korban mafia kelas kakap di kota ini. Mereka meninggal sia-sia setelah terjebak urusan underground. Ia juga tidak pernah lagi bertemu dengan keponakannya yang dibawa pergi oleh orang yang bertanggung jawab dengan kematian orang-orang yang paling dia sayang itu.

Salah satu sumpah Pasat dan alasan utama dia terjun ke dunia hitam, adalah untuk menemukan sang keponakan, lalu undur diri dari dunia yang menyengsarakan. Mundur ke desa dan hidup tenang, kerja apapun tak masalah yang penting bisa cukup. Dia bersedia mengorbankan apapun, asal semua itu tercapai.

Hanya itu saja keinginannya.

Tapi bahkan itu pun belum bisa ia wujudkan sekarang.

Apalagi dengan munculnya Hantu.

Pemikiran itu muncul di batin Pasat. Apakah sungguh benar Hantu adalah kakak iparnya? Benarkah dia Mas Dika? Jika benar, apa yang terjadi padanya selama ini? Mengapa dia berubah menjadi sosok yang mengerikan? Jika bukan, mengapa Hantu beberapa kali menyelamatkan Pasat saat terancam? Banyak misteri, tidak ada jawaban.

Satu angin lembut terasa melewati Pasat. Dia tahu tanpa harus melihat ke belakang kalau ada seseorang hadir dan memperhatikannya. Pasat menghentikan permainan gitar dan meletakkan alat musik petik itu di samping duduknya.

“Selamat malam, Guru. Salam hormat.”

“Kenapa berhenti?”

“Guru datang, tentu saja saya harus memberi hormat.”

Ki Kadar mendengus dan tertawa ringan, “Kamu ini… Sudah berapa lama kita bersama? Masih saja kamu menganggap hubungan kita formal. Dasar anak bodoh.”

“Seberapa lamapun rasa-rasanya tidak akan pernah cukup membalas semua yang telah Guru lakukan untuk saya yang tidak ada apa-apanya ini. Guru telah mengajarkan saya tentang arti kehidupan.”

Pasat menjura di atas tandon air saat menghadap sang Guru yang sangat ia hormati. Saat itu Ki Kadar berdiri di atas genteng rumah. Pria tua itu mengangguk-angguk. Luar biasa ilmu kanuragan dan begitu ringan tubuhnya, sehingga tak ada suara derik sedikit pun terdengar dari genteng itu.

Angin malam berhembus kencang, memainkan rambut dan membuat ujung baju menari. Kedua pria itu lantas terbang ke atas atap rumah dengan ilmu ringan tubuh papan atas. Kebetulan Ki Kadar membawa besertanya sekantong makanan ringan berupa kacang dan jagung rebus. Ki Kadar bahkan sempat-sempatnya membuatkan minuman wedang uwuh hangat dalam tumbler untuk minum. Keduanya lantas duduk bersebelahan sembari menikmati makanan dan minuman itu.

“Sudah berapa lama kamu ikut denganku, Le?” tanya Ki Kadar sembari membuka kulit kacang rebus.

“Mungkin sudah hampir separuh umur saya, Guru.” Pasat tersenyum. Rambut coklatnya yang mulai panjang tertiup angin malam. “Entah apa jadinya saya sekarang kalau tidak Guru selamatkan dulu. Mungkin saya sudah jadi bangkai di bawah jembatan atau terselip di bawah nisan tanpa nama. Mati dengan sia-sia tanpa pernah berguna untuk siapapun.”

Haiyah, mbelgedes. Sesungguhnya aku tak melakukan apa-apa. Aku tidaklah sempurna seperti bayanganmu itu, Le. Kamu yang membuatku seakan-akan seperti seorang pahlawan yang hebat. Secara tidak langsung kamu juga telah berperan banyak karena memberikan aku teman menjalani masa-masa menjelang pensiun. Selebihnya, aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah orang tua yang menjalankan tugas sesuai dengan baktiku.”

“Karena Guru memang orang yang hebat dan bagi saya Guru adalah seorang pahlawan.”

“Mungkin sekarang terasa seperti itu, tapi percayalah kalau aku tidak pantas diperlakukan seperti yang kamu bayangkan. Aku hanyalah orang tua busuk yang mencoba mencari kenyamanan dengan secangkir kopi hitam pahit di penghujung malam seperti ini. Aku hanya ingin beristirahat, merasa tenang, dan pulang ke rumah di mana aku seharusnya berada.”

Pasat mengerutkan kening.

Apa maksud gurunya itu? Kata-katanya terdengar aneh malam ini.

“Guru… sepertinya…”

Ki Kadarusman menekuk kepalanya ke bawah sembari menyunggingkan senyum, perlahan-lahan ia berdiri. Tenaga dalam membuatnya seperti mengambang di udara. “Le, aku akan memberikanmu penawaran terbaik yang pernah kamu dapatkan dalam hidupmu. Penawaran ini aku lakukan karena aku menganggapmu sebagai anakku sendiri. Aku tidak akan memberikan tawaran ini jika situasinya lebih baik. Tapi kita sudah hampir sampai di ujung perjalanan, dan aku khawatir jika kita tetap seperti sekarang, kita akan menghadapi situasi yang sangat berbahaya. Kita harus terbang bersama angin, bukan bertahan dan ditelan jaman. Akan ada perubahan besar.”

Pasat meneguk ludah, tapi dia sangat mengagumi Ki Kadar sehingga dia sudah siap dengan apapun, termasuk mengikuti petunjuk sang Guru. “Tawaran apa itu, Guru? Kalau diijinkan, saya ingin tetap melangkah dengan Guru.”

Ki Kadar terkekeh sejenak sebelum melanjutkan. “Ada sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan karena terikat sumpah. Tapi ini aku sampaikan karena aku kenal siapa kamu dan ingin kamu menjadi orang yang lebih baik lagi. Berada di bawah naungan QZK bukanlah hal terbaik untukmu. Sudah berapa lama kita menjadi babysitter untuk menjaga Den Reynaldi yang bajingan itu? Kita selalu membereskan tindakan kotornya, kita selalu pasang tameng untuknya. Sudah saatnya itu berubah.”

“Maksud Guru?” Pasat makin bingung, sungguh ia tidak mengerti apa yang dimaksud sang guru. Apakah Ki Kadar menginginkan Pasat keluar dari QZK? Mana bisa begitu? “Jujur saya tidak paham, Guru. Berada di bawah QZK bukanlah hal yang terbaik? Selama ini Guru mengajarkan supaya saya dan Handoko untuk setia dan berbakti kepada QZK. Lalu kenapa hal itu dibantah? Apa yang terjadi?”

“Bergabunglah dengan Aliansi.” Ki Kadar tersenyum dan menepuk pundak muridnya. “Mereka memang saat ini bukanlah kekuatan terbesar, tapi mereka merupakan kelompok paling netral dari semua kelompok yang berkuasa saat ini.”

“Bukankah QZK juga baik-baik saja, Guru? Bahkan dari pertikaian yang saat ini berlangsung pun, QZK nampak sedikit lebih unggul dibandingkan JXG. Mereka masih belum mampu menembus ke utara.”

“Angin yang berhembus memberikan ancaman badai kekacauan. Sekarang masih belum muncul, tapi jika saatnya tiba, akan ada banjir darah di tanah harapan. Ketika saat itu tiba, aku tidak bisa melindungi siapa-siapa lagi. Tidak keluargaku, tidak temanku, tidak muridku, dan jelas tidak bisa melindungimu. Aku hanya sanggup mengurus diriku sendiri. Apalagi karena aku juga akan menjadi daun yang jatuh dari tingginya ranting pepohonan.”

Pasat makin merasa aneh, apakah ini pertanyaan menjebak? Apakah ini metafor atau memang ungkapan sejati? “Saya yakin saya tidak perlu dilindungi, Guru. Saya sudah berjanji untuk berbakti dan setia dengan segenap jiwa raga. Bahkan jika saya harus gugur di medan laga sekalipun, saya akan tetap menjunjung tinggi nama Guru dan QZK. Saya akan selalu ingat jasa-jasa Guru dan QZK, tanpa kalian - entah sudah jadi apa saya. Sungguh saya berhutang budi.”

“Sebenarnya tidak perlu begitu. Kamu itu terlalu berlebihan dan apa-apa yang berlebihan jelas tidak baik.” Ki Kadar tersenyum. Ia berdiri di bawah sinar rembulan. Sosoknya terlihat anggun dan jumawa. “Terlebih lagi seandainya kuceritakan apa yang menjadi latar belakang percakapan kita malam ini, Le. Aku ingin tahu bagaimana menurut pendapatmu kalau ada pilihan bagimu untuk bergabung dengan Aliansi?”

Pertanyaan macam apa itu?! Jantung Pasat berdetak kencang, ia ikut berdiri untuk berhadap-hadapan dengan Ki Kadar. Sepertinya ini ada masalah serius. “Apa maksud Guru?”

“Kamu bilang tadi kamu menjunjung tinggi namaku dan QZK. Bagaimana jika aku memintamu memilih? Sebenarnya bisa saja aku mengharuskan kamu untuk memilih, tapi aku tidak ingin melakukannya. Aku ingin kamu tetap menjadi dirimu sendiri. Itu sebabnya aku ingin kamu bergabung dengan Aliansi dan tidak terlibat dalam hiruk pikuk politik kelompok yang akan merugikan.”

“Mohon maaf, saya semakin tidak paham.”

Ki Kadar tersenyum aneh. Tiba-tiba terbias hembusan kencang di bawah rumah, tepat di halaman. Angin yang kini berubah menjadi topan kecil. Hembusan topan-topan itu mereda, menunjukkan tiga sosok berdiri di halaman. Tiga sosok berdiri di sana dengan tegap. Ketiganya menatap ke arah Ki Kadar dan Pasat.

Saat menyadari siapa yang datang, Pasat langsung bersiaga dan memasang kuda-kuda. Ia meloncat hendak melindungi sang Guru sembari menyalakan Ki-nya.

“Guru! Kita diserang! Bersiaplah!!”

Tapi Pasat dibuat tertegun tak lama kemudian. Ia menatap ke bawah. Orang-orang di bawah itu adalah… mereka adalah… Empat Anak Panah JXG!!

“Hehehehe… bukan, Le.” Ki Kadar tersenyum aneh. “Mereka datang untuk menjemputku. Aku sudah dijemput oleh sahabat-sahabat lamaku. Dengan ini aku akan bergabung dengan mereka dan menjadi pelengkap dan pengganti. Empat tetap akan menjadi Empat. Tapi bukan Empat Perisai. Aku akan menjadi pengganti Pak Pos, aku adalah Anak Panah keempat.”

Pasat terbelalak. “Gu-Guru…?”

Ki Kadar menyeringai. “Tawaranku masih tetap sama, Pasat – aku tidak akan memaksamu. Apakah kamu akan ikut saranku bergabung dengan Aliansi? Ataukah kamu akan jalan bersamaku? Ataukah kamu akan tetap bertahan di QZK dan melawanku? Semua terserah padamu. Kamu sudah dewasa dan bebas menentukan pilihanmu.”

Dengan satu keluaran tenaga lembut, Ki Kadar melompat ke bawah dengan gerakan tanpa beban bak sehelai kapas. Ia mendarat dengan ringan dan bergabung dengan ketiga sosok yang lain. Berempat berdiri sejajar di bawah. Di sana sudah ada Sulaiman Seno sang Jagal, Hantu, dan Rogo sang Barakuda. Tiga dari Empat Anak Panah yang tersisa.

“Selamat datang kembali ke JXG, Ki Kadar. Kehadiranmu sudah sangat lama kami nantikan,” ujar Jagal. “Kini kita resmi kembali menjadi Empat Anak Panah.”

“Heheh. Sudah terlalu lama aku pergi, Seno. Saatnya aku kembali. Capek juga berpura-pura dendam pada JXG selama ini. Jadi telik sandi kok belasan tahun. Bahkan muridku yang satu itu percaya dengan dendamku. Hahahahaha.”

Hantu berdiri dengan aneh dan melirik ke arah Pasat. Ia cekikikan melihat pemuda itu kebingungan. Tangannya menunjuk ke atas ke arah si Rambut Coklat. “Wekekekeekkeek. Bingung tanda tujuh keliling, aku di sini, dia di situ, eh kok kamu malah di sana. Hueekekekke. Puyeng kan? Puyeng ga? Pasti puyeng dong. Sama saja tidak sama dengan sama dengan. Kekekekekekek. Mau kemana? Bingung arah? Jangan bingung, tapi bingung saja. Kekekekekek.”

“Gu-Guru…?” Pasat terbata-bata – Ia mencoba menafikan kalimat meracau tak jelas dari sang Hantu, ia benar-benar kebingungan dengan apa yang dimaksud oleh sang guru yang kini berdiri sejajar dengan para Anak Panah dari JXG.

“Apa maksudnya ini? Mereka musuh kita!”

“Sudah saatnya aku kembali ke jatidiriku yang sebenarnya, menjadikan lengkap lingkaran nasibku. Seperti tujuanku sejak awal dulu, hadir untuk melengkapi Empat Anak Panah.” Ki Kadar menyeringai. “Aku sudah tahu luar dalam QZK, termasuk siapa-siapa saja yang busuk. Ternyata hampir semua harus dihancurkan, hampir semua anggota QZK adalah jiwa-jiwa yang korup. QZK tidak boleh dibiarkan berdiri terus menerus. Satu-satunya yang bisa menghancurkannya hanya JXG. Kamu juga setuju kan?”

“Guru… ini tidak mungkin… Guru tidak bisa…”

“Tentukan nasibmu mulai dari sekarang, Le. Kamu sudah bukan anak kecil lagi. Setelah aku pergi dari sini, kamu harus paham posisimu.” Ki Kadar tak lagi tersenyum pada Pasat, wajahnya teramat serius. Ia melambaikan tangan tanda berpisah. “Sampai jumpa lagi. Mudah-mudahan kelak kita tidak bertemu di medan laga.”

Ki Kadar menganggukkan kepala kepada Jagal, Hantu, dan Rogo sang Barakuda. Dalam satu lompatan bersama, mereka berempat melesat dan menghilang dari pandangan. Meninggalkan Pasat seorang diri di rumah yang kini kosong melompong tanpa penghuni. Rumah milik QZK. Pemuda itu kebingungan harus bagaimana karena semua berlangsung begitu cepatnya.

Bagaimana ini?

Kemana Pasat akan berlabuh?





.::..::..::..::.





Roy menggemeretakkan gigi, dadanya makin terasa sakit setiap kali ia mengaktifkan Ki aslinya. Kalau kondisinya masih terus seperti ini, jangankan untuk melawan musuh, untuk bertahan saja kerepotan. Ki yang tersisa harus digunakan untuk menahan racun yang tersisa supaya tidak menyebar. Jadi untuk saat ini, dia sepertinya dia harus bertarung tanpa menggunakan tenaga dalam. Ujung matanya melirik ke kanan dan kiri. Lawan mulai berdatangan dari segala penjuru.

Kampret memang.

Ya sudah, tangan kosong saja. Toh kakinya masih bisa digerakkan.

Dia juga sih yang cari perkara. Kena batunya kan sekarang? Roy menghembuskan napas perlahan, lalu tarik, hembuskan lagi, tarik, hembuskan lagi. Dia mencoba bersiap. Roy memejamkan mata, mengatur diri supaya berada di posisi yang tepat. Kalau lawan menyerang bersamaan, dia bisa kewalahan.

“Sepertinya dia sudah kepayahan, Bang,” ujar salah seorang lawan. “Sampai merem-merem begitu. Napasnya juga mengkis-mengkis. Sudah habis dia, Bang!!”

Tuntaske wae!” Sambung lawan yang lain yang sudah tidak sabar menghunus kepalan.

Sang Jambret brewok berteriak kencang memberi komando, “MAJUUUUU!!”

Saat itu pula Roy membuka mata dan berteriak kesetanan. “Hraaaaaaaaaaaagghh!!”

Sang Pengendara Angin menyerbu ke depan. Kakinya menjejak ke kanan kiri untuk menghindar sekaligus mencari celah. Roy bergerak lincah. Satu sambaran ke kanan, membuyarkan dagu lawan dari kanan. Sang lawan kontal ke belakang. Kaki ditarik, tubuh diputar, sambar ke kiri. Mengenai pipi orang di sebelah kiri. Sang lawan luruh ke bawah. Ia menunduk ke bawah, kaki disapukan ke belakang. Orang di belakang jatuh berdebam.

Tiga jatuh. Dua tersisa.

Roy membalik berdiri dan memutar badan.

Bledaaaaam!

Bogem mentah Mat Brewok masuk ke wajah Sang Pengendara Angin tanpa bisa ditahan. Roy terbanting ke kiri dengan wajah bagaikan menghantam pentungan baseball. Seram juga pukulan dari si Jambret itu. Pukulan yang meskipun mentah tapi menimbulkan dampak yang dahsyat.

Kampret. Pusing juga kepala Roy.

Kawan Mat Brewok yang masih berdiri segera melontarkan tendangannya ke perut Roy.

Jbkkkghhh! Jbkkkghhh! Jbkkkghhh! Jbkkkghhh! Jbkkkghhh! Jbkkkghhh! Jbkkkghhh! Jbkkkghhh!

“Hrrrghhhhh!”

Mat Brewok tertawa, “Rasain! Mampus sekarang! Wedhus! Makanya jangan sok!”

Sial. Karena fisiknya sedang tidak seratus persen, Roy gagal menjaga pertahanan. Delapan tendangan beruntun masuk tanpa bisa ditahan. Roy menekuk tubuhnya ke dalam, mengurangi efek supaya tendangan dari sang lawan tidak masuk ke perut.

Roy menahan rasa sakit. Sakit yang lama-lama menjadikannya marah. Marah teramat sangat. Marah besar. Kemarahan itu memantik sesuatu dalam tubuhnya. Sesuatu yang terasa seperti… menjadi utuh kembali.

Roy memejamkan mata.

Kawan Mat Brewok beraksi, tendangan dilontarkan kembali. Kali ini sasarannya kepala Sang Pengendara Angin. Kaki diayunkan sekuat tenaga. Pecah kepala Roy sekarang!!

Swwsh.

Kepala Roy tidak ada di posisi semula.

Kali ini teman Mat Brewok menendang ruang kosong.

Baik sang penendang maupun Mat Brewok kebingungan. Apa yang terjadi? Kemana bocah itu? Bagaimana mungkin tiba-tiba saja menghilang? Kedua begundal saling bertatapan penuh tanda tanya.

“Mencari apa kalian?”

Kedua begundal mendongak ke atas. Roy berdiri dengan santai di atas tiang lampu kota yang klasik. Tubuhnya begitu ringan seakan-akan tak tanpa bobot sehingga bisa berdiri dengan tenangnya di tempat yang ajaib seperti itu.

Kemarahan, luapan perasaan, semangat yang tinggi, semua itu ternyata bisa digunakan untuk memantik tenaga dalam yang sebenarnya sudah terkumpul dalam dirinya. Dia tidak lagi memerlukan kesedihan seperti yang diajarkan oleh Pasat dan Ki Kadar. Kalau sudah begini artinya dia tidak menggunakan ilmu kanuragan yang sama lagi – ini bukan Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah, karena ini bukan berawal dari kesedihan.

Tapi masalah nama itu belakangan.

Roy tersenyum saat menghadapi sisa kawanan jambret yang kini mengepung dirinya. Heheheh. Keadaan sudah berbalik sekarang. “Kalian bajingan-bajingan tengik cuma NPC. Sebentar lagi juga bakal koit. Pilih hancur, mati, atau kabur? Pilihan kalian dimulai dari sekarang,” ujar Roy sembari menyeringai.

Ketiga lawan yang tadi dijatuhkan Roy ikut berdiri dan bergabung dengan Mat Brewok dan si Penendang. Mereka semua menatap ke atas. Satu lawan lima lagi sekarang. Tapi wajah Roy sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Lawan-lawannya saling berpandangan. Meracau apalagi bangsat satu ini sekarang? Jelas-jelas dia dikeroyok satu lawan sekian. Masih bisa saja banyak bicara.

Sayang mereka tidak bisa membaca Ki.

Sang Pengendara Angin terdiam, merasakan tenaga dalam mengalir mengisi setiap syaraf dan sendi. Roy kembali mampu bergerak dengan bebas, dadanya sudah tak terasa sakit lagi. Gerakan tubuhnya lebih ringan dan jalur alirannya rapi. Ajaran Pak Uya bakal bisa dipraktikkan tanpa jeda untuk membuat lawan kecil nyali. Fly like a butterfly, sting like a bee. Dengan gerakan halus bak kapas Roy melompat sekali, mendarat ringan ke bawah tiang tepat di sisi, wajahnya menampakkan tawa geli. Ia lalu berjungkat-jungkit ke kanan dan ke kiri, melakukan footwork alias tarian kaki, seperti seekor kelinci, seperti seorang Bruce Lee, seperti seorang Muhammad Ali.

Pak Uya selalu memberikan wejangan pada Roy untuk sesekali memperhatikan gerakan kaki kedua sosok legendaris itu. Toh dia bisa menontonnya dari mana saja, dari Yousoup misalnya, atau sumber video lain. Roy masih ingat sekali apa yang dikatakan oleh Pak Uya saat mengajarkan footwork itu.

Gerakan tarian kaki Ali bisa disebut juga dengan shuffle. Lincah, tanpa henti, dan membingungkan lawan yang tidak bisa menebak kemana Ali akan bergerak. Mereka juga mengira gerakan itu akan melelahkannya karena menghabiskan stamina. Mereka salah memperkirakan kemampuannya. Karena saat bertarung, Ali justru akan selalu menggerakkan kakinya dengan lincah seolah tak pernah kehabisan tenaga, membuat lawan pontang-panting mengikuti. Gerakan cepat ini juga bisa digunakan saat ingin mengelabui. Salah satu pengikutnya adalah Bruce Lee yang mengagumi Ali, Bruce Lee mengkorporasikan gerakan footwork ini ke dalam tarian kung-fu dengan kelincahan tingkat tinggi.

Luar biasa bukan? Kata-kata kelas atas itu diucapkan oleh seorang penjaga sekolah sederhana seperti Pak Uya? Roy terdiam sesaat dan mengamati dirinya sendiri dalam hening.

Kelima lawan maju serentak.

Kali ini mereka bukan lawan bagi Roy. Sang Pengendara Angin berlari ke arah dinding, menjejakkan kakinya ke tembok sekitar satu meter di atas tanah. Lalu memutar badan untuk melakukan serangan mendadak. Kecepatan dan tenaganya tidak sama dengan yang tadi. Kali ini semua lawan dihabisi dengan cepat.

Jbkghhh! Jbkghhh! Jbkghhh! Jbkghhh! Jbkghhh!

Kelima kepala tersambar seketika dalam satu serangan cepat. Kelima lawan ambruk luruh dengan wajah dijejak. Ada yang terkena pipi, ada yang kena dahi, ada yang hidung, ada yang dagu, dan ada yang mulut. Mat Brewok terkapar dan mengerang. Tapi dia tetap bangkit dengan kesal. Termasuk empat kawannya yang lain.

Jbkghhh! Jbkghhh! Jbkghhh! Jbkghhh! Jbkghhh!

Roy tidak memberi ampun. Ia melesat bagaikan peluru kendali. Satu persatu lawan roboh tanpa sempat melawan kembali.

Usai sudah.

Mat Brewok dan kawanannya sudah tak berdaya.

Gerimis tiba-tiba saja datang tanpa diundang. Awan menggumpal bertindak seperti pemadam api yang menyala dalam tubuh sang Pengendara Angin.

Gerimis lama kelamaan berubah menjadi hujan.

Tapi Roy tetap berdiri dan terdiam. Bukan menggerutu dan menyesali diri, tapi berusaha mengakui jati diri. Sepertinya dia telah menemukan kemampuannya.

“M-Mas… kami mau berterima kasih.” Sang ibu hamil menggandeng anaknya yang ketakutan mendekati Roy, mereka memakai payung kecil dan agak ketakutan saat merapat ke arah sang Pengendara Angin. Sang bocah memandang pemuda itu dengan tatapan lugunya. Ada sembab warna biru di wajah sang anak. Mungkin bengkak karena tadi terjatuh atau dipukul oleh sang Jambret sialan. Dia berpegangan ke cardigan sang Bunda dengan erat, tak ingin lepas dan berpisah.

Roy tersenyum dan mengangguk. Ia mengambil tas yang tergeletak di samping sang Jambret yang pingsan. Lalu memberikannya pada sang Ibu hamil.

“I-ini, Mas…” Buru-buru Ibu itu membuka tasnya, hendak mengambil uang. “Jumlahnya tak seberapa, tapi saya harap dapat…”

Roy menggeleng. “Tidak perlu.”

“Tapi Mas…”

“Sungguh tidak perlu kok, Bu. Saya ikhlas membantu. Saya melakukannya karena orang-orang seperti jambret itu memanfaatkan kelemahan dan kelengahan untuk berbuat jahat. Simpan saja untuk kebutuhan berobat kalian berdua.”

“Te-terima kasih, Mas…” Ibu hamil itu sesunggukan.

Sang Pengendara Angin lantas membungkuk dan jongkok di hadapan sang bocah. Ia memperhatikan luka lebam yang ada di pelipis bocah itu. Itu bukan luka jatuh, itu luka pukulan. Biadab banget si Jambret itu memukul bocah sekecil ini. Roy tersenyum dan mengangkat jempolnya, “Kamu benar-benar hebat, anak baik. Menjaga Bunda dan Adik yang masih di perut Bunda. Om bangga banget sama kamu. Kalau sudah besar kamu pasti bertambah kuat, jaga selalu Bunda dan Adik kamu ya. Ceritakan sama Ayah kalau kamu sudah menjaga Bunda dengan baik.”

Bocah itu menganggukkan kepala. Ada sedikit senyum seutas di sana. Rasa sakit digantikan rasa bangga.

“Siapa nama kamu?”

Bocah itu menatap sang Bunda dengan pandangan bertanya-tanya. Anak pintar, sang Bunda pasti sudah mengajarkan kepadanya supaya tidak sembarangan berkenalan dengan orang asing, tapi sang Bunda mengangguk lembut menandakan persetujuan. Anak itu pun terbata-bata menyebutkan nama, “Be-Benji.”

“Kerja bagus, Benji.” Roy berdiri dan menatap sang Ibu hamil. “Sebaiknya kalian berdua segera pulang. Langit sudah sangat gelap, pasti hujannya nanti deras. Ada kendaraan pulang?”

“Sa-saya akan memesan taksi online saja.”

Smartphone Roy bergetar. Ia menariknya dari saku dan melihat pesan singkat yang muncul di layar. Dia tidak perlu membuka kunci layar untuk dapat membaca pesan karena muncul di notifikasi. Sebuah seruan berkumpul dari Amar Barok - pimpinan sementara Aliansi. Sepertinya penting karena Amar tidak mengirimkan kabar menggunakan jalur grup seperti biasanya dan memilih mengirimkan pesan secara japri.

“Baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya. Saya pamit dulu, Bu… Benji…”

“Terimakasih banyak, Mas…” wajah sang Ibu hamil terlihat lega dan tenang, “Ben… bilang gimana sama Om?”

“Terima kasih, Om.”

“Sama-sama.” Roy mengedipkan mata. Setelah meninggalkan Benji dan Bundanya, sekali lagi Ia memastikan rombongan jambret sudah terikat erat. Beberapa orang petugas berwajib datang tergopoh-gopoh di tengah derasnya hujan ditemani beberapa orang warga yang berkumpul untuk memberikan keterangan. Seperti biasa, yang berwenang terlambat datang.

Roy tidak ingin terlalu banyak urusan, ia melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan kerumunan. Hanya dalam sekelebatan, sosoknya sudah menghilang dan tak lagi kelihatan. Kepergiannya membuat banyak orang kebingungan. Kemana dia? Tak ada lagi yang melihat sosok sang pemuda tampan.

Sang Pengendara Angin benar-benar menjelma menjadi agen sang bayu. Ia sudah berhasil menguasai Ki-nya sekarang. Tinggal bagaimana memanfaatkannya dengan lebih tepat guna, efektif dan efisien. Itu harus dilakukannya dengan banyak berlatih.

Meski hujan mendera, ada sedikit harapan, dan secercah rasa bahagia. Tantangan memang selalu ada, tapi di setiap tantangan selalu ada jalan keluar, selalu ada solusi. Karena seperti itulah jalan hidup manusia. Kita melanjutkan hidup dengan memecahkan satu persatu masalah yang menghadang. Seperti itulah kita menjadi dewasa.

Ada satu pesan abadi dari semua ini.

Jangan pernah menyerah.

Pasti ada jalan.





.::..::..::..::..::.





.:: BEBERAPA HARI YANG LALU



Ada orang yang bilang, satu-satunya cara agar kita selamat saat berada di tengah-tengah badai, adalah melaluinya. Karena apapun yang terjadi, badai pasti berlalu. Berapakalipun badai itu datang. Satu-satunya jalan adalah bertahan dan lalui.

Rania Martin Agesti telah membuktikannya.

Berkali-kali.

“Rania.”

Awalnya Si cantik yang sedang memilih-milih pakaian itu tidak mendengar suara memanggil, tapi setelah panggilan yang kedua ia akhirnya mendengar dan memutar badan. Si manis bergigi gingsul itu tersenyum lebar saat ada yang menyapanya.

“Ya, Mas Roy?”

Suaminya sudah datang menjemput ya? Tadi mereka bertiga berpisah. Sementara Roy dan Lena berjalan-jalan untuk membeli pretzel cinnamon di salah satu kios franchise yang ada di dalam mall, Rania memilih-milih baju di department store. Sudah lama sekali rasanya dia tidak membeli baju untuk dirinya sendiri seperti saat ini. Jadi ketika ada kesempatan dia pun tidak akan menyia-nyiakannya, kebetulan dia dan Roy baru saja ada rejeki lebih.

Belanja baju baru memang tidak ada di list teratas mereka. Terlebih karena biasanya selalu saja ada yang mengganggu. Entah itu urusan pekerjaan, urusan sang suami dengan restoran, urusan sang suami dengan kelompoknya, urusan ini, dan urusan itu. Tidak ada waktu untuk sekedar bersantai mengisi waktu memanjakan diri sendiri. Sekarang Roy sudah bekerja, dirinya sudah bekerja, Lena juga sehat-sehat saja setelah diberikan obat dari Guru Deka, semua berjalan dengan baik dan sempurna.

Hidupnya sudah tenang dan berjalan di track lurus yang terbaik.

Memang sepertinya selalu ada berkah di balik malapetaka. Rania tidak pernah menginginkan malapetaka, namun setelah didera bertubi-tubi, setidaknya kini dia bisa merasakan ketenangan. Berkat Roy dan teman-temannya dari Aliansi, berkat dukungan rekan-rekan di Rumah Sakit tempatnya bekerja, dan berkat kegigihan Lena yang membuatnya terharu. Rania kini mendapatkan ketenangan itu.

Atau setidaknya itu yang dia harapkan.

Sampai sekarang.

“Yaaa…?” Rania membalikkan badan untuk menemui sang suami.

Ia sedang memegang baju putih dengan motif tipis. Bagus untuk makan malam atau sekedar jalan-jalan berdua dengan sang suami, lekuk tubuhnya akan sangat terpampang jika mengenakan baju yang cukup seksi itu. Tapi sebenarnya cocok sih. Senyum perempuan jelita itu mengembang, menunjukkan gigi gingsulnya yang manis. “Ini bagus nggak, Mas? Aku mau beli yang ini saja sepertinya… kamu pasti juga seneng kan kalau aku pakai baju yang menerawang seperti…”

Mata Rania terbelalak ketika melihat sosok menyeringai yang saat ini berada di depannya. Sosok jahat yang rasa-rasanya tak pernah berhenti mengganggu kehidupannya. Sosok yang selalu membuatnya jatuh bangun dalam penderitaan yang tak kunjung usai.

Reynaldi.

“Ka-kamu!!?”

Bisa-bisanya dia ada di tempat ini!! Takdir macam apa ini!?

“Kamu suka baju itu? Bagus kok. Tapi sebenarnya lebih bagus lagi kalau kamu tidak memakai apa-apa. Heheheh. Aku sudah pernah melihat tubuhmu yang indah itu tanpa sehelai benang pun dan aku ingin melihatnya lagi. Tapi… cuma melihat sepertinya eman. Lebih demen lagi kalau bisa sekalian menyentuh dan menjilati sekujur tubuhmu yang molek itu, sayang. Mungkin sekalian masukin batangnya ke dalam untuk bikinin adek anak kita.”

Rania terbelalak. Baju yang ia pegang terjatuh dari tangannya. Matanya bergerak dengan cepat, ia mencari jalan keluar, mencoba mencari celah untuk melarikan diri, bersembunyi, kabur, pokoknya menghindar dari sang durjana sialan ini! Suaminya! Dia harus lari menemui suaminya!

“Mau kabur? Mana bisa. Suamimu belum balik. Aku sudah sedari tadi mengamati kalian. Memang aneh sekali ya. Kenapa kita bisa selalu bertemu seperti ini. Ajaib bukan? Seperti berjodoh.” Rey mengedipkan mata, penampilannya kian menyeramkan sekarang, ada lingkaran hitam di sekeliling matanya. Seperti orang yang tidak tidur berhari-hari. Tapi ia tetap sosok yang mengintimidasi, tubuhnya terlihat makin kekar dan besar. Otot dan uratnya yang bertonjolan gagal disembunyikan oleh bajunya yang slimfit. Rey menjilat bibirnya sendiri saat memandang kemolekan Rania. “Beneran sepertinya kita memang jodoh, sayang. Kalau tidak berjodoh kita tidak akan punya anak bareng. Ya kan?”

Tidak! Tidak! Tidak! Baru saja ia bebas dari kehidupan penuh penderitaan, kehilangan ibunda tersayang, anak terluka parah karena racun, dan calon suami yang diduga meninggal meski akhirnya kembali. Kini orang ini datang lagi?

Kenapa takdir begitu kejam padanya? Apa salah Rania?

“Ja-jangan mendekat!”

Reynaldi tersenyum menyeringai.

“Jangan mendekat? Aku akan melakukan lebih dari hanya sekedar mendekat. Bukannya kamu suka diperlakukan seperti itu?” Pria itu melangkah perlahan ke depan. “Ayolah sayang… sudah lama kita tidak kenthu kan? Kamu dulu kan demen banget aku entotin? Sampai mendesah-desah minta nambah. Hahaha. Jangan bilang kalau kamu tidak suka. Jangan bilang sesuatu yang konsensual kamu sebut non-konsensual. Bukan perkosaan kalau sama-sama suka. Heheh.”

Rania gemetar ketakutan. Ia terus berjalan mundur di antara baju-baju yang dipajang. Dia sendiri tidak tahu akan sampai di mana. Dia harus bisa lari. Semua itu karena wajah yang ia temui ternyata bukan wajah yang ingin ia temui. Rania bertemu kembali dengan si Durjana! Penyebab semua duka lara dan penderitaannya!

Reynaldi!

Pemuda pemetik bunga yang juga ayah kandung Lena itu terkekeh melihat Rania salah tingkah. Si cantik itu kebingungan mencari cara untuk melepaskan diri sembari mencoba mundur teratur. Tapi kemana dia harus lari?

“A-aku akan berteriak! Suamiku sebentar lagi datang!”

“Kenapa memang? Apakah keberadaanku mengganggumu? Dulu kamu bilang sayang sama aku, cinta sama aku. Tidak ingin aku pergi. Kenapa sekarang semuanya berubah?”

“Jangan memutar balik fakta! Aku akan teriak dan…”

Swsssssh.

Kecepatan dahsyat sang Durjana tak bisa dilawan oleh Rania. Reynaldi bergerak dengan cekatan untuk menotok syaraf wanita muda jelita itu. Hanya dengan melewati Rania, tangannya sudah dapat meluncurkan dua totokan kencang di bahu yang membuat Rania terpaku tak bisa bergerak!

Rania tertegun tak percaya.

Ia tak berdaya.

Dia tak bisa bergerak! A-apa yang dilakukan oleh sang Durjana ini!? Apa yang akan dia lakukan? Dia tidak mau! Dia tidak mau!! Dia tidak mauuuu!! APA YANG AKAN DIA LAKUKAN PADANYAAA!?

Rania berkeringat dingin tanpa bisa melakukan apa-apa. Seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan. Dia terkunci, terpaku, dan terjebak bersama dengan orang yang paling dia benci! Meski ini di tengah-tengah keramaian, tapi Rania tidak bisa berteriak meminta tolong pada siapapun. Keselamatannya berada di tangan orang yang telah menghancurkan masa mudanya! Orang yang membuat nasib suami dan anaknya menjadi tergantung pada obat penyembuh! Orang yang telah membunuh ibu tersayangnya! Kenapa dia harus selalu bertemu dengannya?

Hal yang sama juga disadari oleh Reynaldi. Dia mendekat sembari melingkarkan tangannya di pinggang Rania. Kepalanya diletakkan di pundak sang perempuan berparas manis itu. Dari kejauhan, mereka berdua nampak seperti sepasang kekasih. Yang meskipun agak vulgar, tapi tak terlalu aneh di masa modern. Tidak akan ada yang curiga.

Rey memeluk Rania dari belakang dan mengecup pipinya yang mulus.

Si cantik itu jijik sekali tapi tak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa pasrah dilecehkan oleh sang Durjana.

“Entah kenapa aku selalu bertemu denganmu, sayang. Mungkin memang aku yang selalu beruntung – atau memang kita berdua itu sebenarnya benar-benar jodoh yang sesungguhnya. Tentu saja aku datang ke tempat ini tanpa tendensi apapun, iseng saja - eh tak kuduga tak kusangka justru bertemu denganmu. Memang kita tak terpisahkan ya? Selalu hadir untuk pasangan. Kamu selalu menjadi milikku sebagaimana aku juga akan selalu menjadi milikmu. Bersama kita bahkan sudah memiliki seorang putri. Seharusnya aku memanggilmu Mama dan kamu memanggilku Papa. Ingin rasanya bermain-main dengan anak kita.”

Jangan pernah kamu dekati Lena! Bajingan! Jangan pernah!

Rania hanya bisa geram dalam hati.

“Dulu sewaktu masih sekolah, kamu bagaikan bintang di antara langit malam. Paling mencolok dengan kecantikanmu dan menjadi kembangnya sekolah. Aku suka sekali melihat lekuk tubuhmu saat memakai baju olahraga atau seragam ketat yang membungkus tubuh mungilmu. Kamu cantik, ceria, dan cekatan. Kamu membuatku jatuh cinta. Sudah pantas rasanya dulu kita memadu kasih. Tapi sekarang… kamu sudah bertransformasi menjadi wanita matang dengan status istri orang.” Rey terkekeh dan kembali mengecup pipi halus mulus sang ibu dari anaknya itu, “Status barumu itu justru membuat birahiku bergejolak tak menentu, sayang. Kamu jadi jauh lebih menarik. Istri orang. Heheheheh.”

Tangan Reynaldi mulai berani dengan meremas-remas bulat pantat sang bidadari, Rania yang tak bisa bicara menggigil dan mulai meneteskan air mata. Dia tidak mau! Tidak mau! Tidak maaaauuuuu!!

“Hmm, rambut dan leher kamu wangi sekali… bikin aku tidak tahan. Sepertinya kita harus ke ruang ganti pakaian. Mari kita berdua tuntaskan rindu di antara kita. Jangan bilang-bilang ke suamimu yaa…” sekali lagi ucapan Reynaldi membuat istri Roy itu gemetar ketakutan. Ia masih bisa berkedip, masih bisa terbelalak, masih bisa menangis, tapi tak seutas kata pun bisa keluar dari bibirnya. Dia ingin berteriak minta tolong, tapi berbisik pun dia tak mampu.

Setelah mengambil pakaian pilihan Rania yang tadi terjatuh, Reynaldi menarik tangan istri Roy itu dan menyeretnya masuk ke ruang ganti. Entah kenapa seperti tidak ada yang memperhatikan kedua orang itu.

Kecuali satu orang.

Seorang satpam.

“Mas! Berhenti! Maaf! Apa yang anda lakukan!?” Satpam itu mengejar ke arah sebuah lorong tempat ruang ganti pakaian berjajar. Ada empat bilik di sana. Semuanya kosong. Satpam itu curiga karena Reynaldi seperti menyeret Rania. “Mengapa anda membawa Mbak-nya ke sini? Apa yang anda lakukan dengan Mbak-nya, Mas?”

Air mata Rania meleleh. Akhirnya ada yang menolong! Dia selamat!

Rey mendengus. Dia melepaskan Rania yang tak bisa bergerak dan dengan kecepatan tinggi mencengkeram leher sang satpam. Satpam bertubuh gemuk itu tak menduga Rey secara tiba-tiba akan menyerangnya!

“Hkkkkkghhhh!”

“Tempat yang salah, waktu yang salah, sobat.” Rey tersenyum. Jari jemarinya yang menghitam diangkat ke wajah sang satpam yang langsung memberontak. Tapi terlambat. Cakar beracun Reynaldi menancap di dada sang satpam. “Mudah-mudahan pengorbananmu memberikan aku kekuatan yang aku butuhkan untuk menaklukkan kota ini. Ssshh… tidak usah meronta. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”

Hanya beberapa detik saja. Rey mendorong satpam malang itu masuk ke dalam salah satu bilik yang kebetulan sedang kosong. Terdengar suara gedebukan di sana. Tapi Rania tahu ada sesuatu yang salah yang terjadi.

Rania menangis.

Dia berusaha keras menggerakkan tubuhnya, tapi tidak bisa, dia seperti terkunci, terjerat, dan tak bisa berbuat apa-apa. Dia terjebak. Tapi… bagaimana mungkin Reynaldi bisa melakukan hal ini?

Reynaldi keluar dari bilik sambil tersenyum. Ada bercak merah di tangan dan bajunya. Rey menutup bilik tempatnya menghempaskan sang satpam dan menguncinya. Kunci yang sepertinya ia dapat dari sang satpam.

Rey melirik ke arah Rania yang ketakutan dan mengedipkan mata. Ia menarik pergelangan tangan istri Roy itu menuju ke ruang ganti pakaian. Air mata wanita cantik itu pun membanjir semakin deras.

Kenapa…? Kenapa ini terjadi? Kenapa tidak ada yang peduli? Dia jelas-jelas sedang diseret! Kenapa tidak ada yang menolong? Apa yang bajingan ini lakukan pada satpam malang tadi?

Rania berusaha berteriak sekuat tenaga, tapi tidak ada suara yang keluar!

Reynaldi terkekeh melihat penderitaan Rania. Dia mendorong ibu muda jelita itu masuk ke dalam bilik, menutup, dan menguncinya. Ia membuka menundukkan kepala dan memagut bibir Rania. Si cantik itu pun terbelalak dan mencoba berteriak, tapi sekali lagi, tidak ada suara yang keluar.

Dada Rania menjadi sasaran selanjutnya. Meski masih ditutup oleh baju, tangan kurang ajar Rey meremas-remas buah dada sang Ibu Muda.

“Heheheh. Sial… kamu benar-benar membuatku mabuk kepayang hari ini. Dulu kayaknya tidak segede ini.” Rey menatap ke arah Rania yang masih gemetar ketakutan. “Aku lepaskan totokanku. Tapi kalau kamu melawan atau berteriak, kamu tahu apa yang akan terjadi.”

Tkk! Tkk!

Rania dilepaskan dari penjara aliran darah. Meski kaku, ia bisa menggerakkan badannya sekarang. Ia juga bisa berbicara meskipun serak.

“A-apa yang mau kamu lakukan? Lepaskan aku!! Lepaskan atau…” Rania menatap Rey dan langsung ketakutan.

Tiba-tiba saja aura gelap mengungkung sang Durjana. Matanya bagai digantikan oleh nuansa mistis yang mengubah warna putih sklera mata Reynaldi menjadi hitam gelap. Mata seorang monster. ilmu hitam Reynaldi sudah mencapai tahap mengerikan. Bahkan suaranya pun berubah seperti ada dua orang yang berbicara bersamaan. Suara yang tidak normal. “Suami dan anakmu pasti masih berada di luar sana ya? Mereka sudah pernah merasakan Cakar Tangan Hitam-ku. Sepertinya harus dituntaskan supaya mereka benar-benar bakal jadi santapan yang lezat buatku.”

Rania terbelalak. Dia merunduk ke bawah, memegang celana Rey, dan menggelengkan kepala. “Ja-jangaaan! Jangan sakiti mereka!! Jangan sakiti merekaaaaa! Aku saja! Kamu boleh melakukan apa saja dengankuuu!! Tapi jangan sakiti merekaaaa!! Aku mohon!!”

Rey terkekeh. “Apa untungnya buatku? Akan aku habisi mereka.”

“Jangaaaan!”

Reynaldi menunduk sembari tersenyum, “Baiklah… ada beberapa syarat. Syarat-syarat yang harus kamu lakukan supaya aku tidak menyerang anak dan suamimu. Ini perjanjian di antara kita berdua. Heheheh. Ini perjanjian kita yang terakhir.”

“Sya-syarat? Syarat apa?”

“Jika kamu ingin semua keluargamu yang tersisa selamat dariku, semua orang-orang yang kamu kenal tidak mampus ditanganku, maka kamu hanya perlu menuruti apa mauku.” Reynaldi mengeluarkan satu smartphone dari kantong celananya dan melemparkannya ke bawah. “Bawa handphone itu supaya aku bisa menghubungimu kapanpun aku mau. Kamu hanya perlu mengikuti apa yang kuinginkan, kapanpun aku inginkan. Tidak perlu ada orang yang tahu selain kita berdua – terlebih suami brengsekmu itu.” ucap Reynaldi sembari menyeringai menyeramkan. “Jangan khawatir. Begini-begini aku ayah kandung anakmu kan?”

Rania menggemeretakkan gigi. Ayah macam apa yang dengan tega menyakiti anaknya sendiri tempo hari? Dasar bajingan si durjana ini! Dia mengancam Rania dengan prasyarat yang tak mungkin ditolak. Rania tidak yakin Roy mampu mengalahkan Reynaldi dengan semua backing di belakangnya. Tidak saat ini saat Roy masih belum bisa mencapai kemampuannya seperti semula. Fisiknya masih belum seratus persen. Dia juga tidak mungkin terus menerus sembunyi karena entah kenapa Rey selalu berhasil menemukannya. Orang ini memang bangsat sebangsat-bangsatnya.

Rania tidak punya pilihan.

“Bagaimana? Bersedia?”

Rania menghapus airmatanya dengan punggung tangan. Apalagi sih maunya si Durjana bajingan ini? Syarat apalagi yang dia inginkan untuk menghancurkan Rania?

“Apa maumu? Apa masih kurang semua penderitaan yang kamu timpakan padaku? Pada keluargaku? Kamu sudah membunuh ibuku!! IBUKUUU!! PEMBUNUUUUUH!! Aku bersumpah atas nama Ibu, aku akan membunuhmu suatu saat kelak! Aku bersumpah!”

Reynaldi tertawa dan mengedipkan mata. “Apa yang aku mau? Kamu sudah tahulah. Aku memang suka membuka segel perawan, rasanya tiada duanya. Tapi entah kenapa aku lebih suka meniduri istri orang. Ada kenikmatan tersendiri. Untung sekarang kamu sudah jadi istri orang ya. Heheh. Pesonamu meningkat drastis, sayang.”

Keringat Rania turun deras. “Ja-jangan macam-macam kamu! Kita ada di tempat umum! Aku akan teriak minta tolong, orang-orang akan berdatangan, dan kamu akan…”

“Heheh. Bodoh. Kamu lihat sendiri apa yang baru aku lakukan dengan satpam tadi. Kamu mau lebih banyak korban? Kamu pikir bisa apa mereka jika berhadapan denganku? Kamu mau racun di tubuh suamimu lebih menyebar jika berhadapan denganku? Kamu mau anakmu benar-benar mati? Lebih baik kamu mulai buka bajumu dan kita selesaikan ini sekarang. Aku akan pergi setelah semuanya rampung. Kan tidak lama.” Reynaldi mengecup dahi Rania. “Kamu sudah tahu apa yang aku inginkan. Mulailah. Buka semua.”

Rania memejamkan mata, tangannya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar, air matanya mulai mengalir. Dia ingin berteriak minta tolong. Tapi dia tahu bahkan berteriak pun bisa membuat orang tak bersalah menjadi korban.

Siapa sekarang yang bisa menolongnya?

Rania teringat Roy, teringat Lena, teringat sang Ibu.

Jari jemari lentik si manis itu menyentuh kancing bajunya dengan berat hati.

Rey membuka celana.





BAGIAN 12 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 13
Makasih apdetnya bro @killertomato ....
 

Similar threads

Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd