Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
Waduh munyuk elek telat adoh moco update tan..

Setelah rada maraton baca sepertinya cerita jalak masih jauh menuju ujung. Bakal kaya RYT yg 10 tahun baru tamat, lak ngono to dab? 😀

Masih ada tokoh Rahu dan Mox dan tentunya akan ada cerita sisipan ttg siapa Rahu dan Mox..

Iki crito paling nggapleki sing tak woco suu, mantep tenan.. Tapi sayang, smua bidadari d dlm crita di rusak para antagonis dari Nuke, Shinta, dan yg trakhir Dinda. Kok ra mbok sisakne ra ketang siji yg utuh to dab? Wkwkw..😂

Cerita perang, percintaan, dan pengkhianatan yg scra epic brjalan dg plot dan diksi yg keren 👍

Jika benar, maka om janu adl bajingannya bajingan. Skali lagi jika benar. Ki juru martani yg d perankan olehnya sendiri. Om janu tau dia ga bs menguasai secara utuh kidung sandhyakala, selebung kidung, dan serat 18 naga maka dg sgala cara mengorbankan nada anak pak zein biar di wikwik nanto, dan menculik pacar resmi nanto dr rumah sakit agar nanto mengajarkan smua kesaktian hebat dr trah watulanang yg di warisi nanto..


Eleeh nyangkem opoo iki hahaha 😂.. Wes ngono yo dab, pesenku siji ojo kesuwen leh mu update😘😘😘
Lho padhe ten mriki toh...

Sugeng rawuh...
 
Waduh munyuk elek telat adoh moco update tan..

Setelah rada maraton baca sepertinya cerita jalak masih jauh menuju ujung. Bakal kaya RYT yg 10 tahun baru tamat, lak ngono to dab? 😀

Masih ada tokoh Rahu dan Mox dan tentunya akan ada cerita sisipan ttg siapa Rahu dan Mox..

Iki crito paling nggapleki sing tak woco suu, mantep tenan.. Tapi sayang, smua bidadari d dlm crita di rusak para antagonis dari Nuke, Shinta, dan yg trakhir Dinda. Kok ra mbok sisakne ra ketang siji yg utuh to dab? Wkwkw..😂

Cerita perang, percintaan, dan pengkhianatan yg scra epic brjalan dg plot dan diksi yg keren 👍

Jika benar, maka om janu adl bajingannya bajingan. Skali lagi jika benar. Ki juru martani yg d perankan olehnya sendiri. Om janu tau dia ga bs menguasai secara utuh kidung sandhyakala, selebung kidung, dan serat 18 naga maka dg sgala cara mengorbankan nada anak pak zein biar di wikwik nanto, dan menculik pacar resmi nanto dr rumah sakit agar nanto mengajarkan smua kesaktian hebat dr trah watulanang yg di warisi nanto..


Eleeh nyangkem opoo iki hahaha 😂.. Wes ngono yo dab, pesenku siji ojo kesuwen leh mu update😘😘😘
Lha iki... Ngeriii nek pun mandab Sabdo pandito ratu ne....
Sugeng sehat Pak Dhe..
#koyo pak Dhe Wid, nek pun ngendikan ngaten niku 😅😅
 
GAROU
VENGEANCE IS MINE - A






Kata Bermula

Halo semuanya. Saya bukan Cak Lontong, salam lemper.

Sembari menunggu kelanjutan cerita Jalak, datang lagi satu cerpen spin-off yang mudah-mudahan bisa menghibur. Tapi untuk dapat memahami cerita spin-off ini, dianjurkan anda mengikuti semua serial JALAK, KIDUNG SANDHYAKALA, dan tentunya prekuelnya yaitu cerpen GAROU – RETURN OF THE PRODIGAL SON terlebih dahulu untuk mengenal karakter-karakternya. Karena semua cerita ini memiliki jalinan yang saling berkelindan.

Cerita ini masuk ke dalam inisiasi Jalak Universe Narratives. Apa itu narrative? Kalau menurut kamus Merriem-Webster: “Narrative is a work with imaginary characters and events that is shorter and usually less complex than a novel”. Badalah, apa meneh itu maksudnya? Ya wes pokoknya begitulah. Pokoknya aman, ngab.

Apakah cerita ini canon atau official? Entah. Saya tidak mengatakan ya, tidak juga mengatakan tidak. Cerita ini hanyalah sebuah ide yang iseng-iseng diwujudkan. Bisa saja di sepanjang perjalanan waktu ada yang berubah dan diubah. Saya kan tukang iseng dan hobi nge-troll.

Cerita ini terbit setelah ide tentangnya saya rebus seusai menulis Garou – Return of The Prodigal Son dulu. Apalagi karena saya penganut aliran ketik dulu, bikin bersambung, tamat gak tau kapan. Hehehe. Nah, untuk cerita ini, daripada idenya ilang, lebih baik saya tuntaskan dalam bentuk cerpen.

Cerita ini adalah cerita fiktif, semua kejadian yang termuat di dalamnya bukanlah kejadian nyata. Kesamaan nama, tempat, dan kejadian adalah kebetulan belaka. Tentu saja cerita ini jauh dari kata sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Mohon ambil baiknya, buang buruknya. Penulis tidak menganjurkan atau mendukung seandainya ada aktivitas negatif seperti yang mungkin diceritakan dalam cerita.

Mudah-mudahan berkenan.
Selamat menikmati, sobat ambyar.





.::..::..::..::.





.:: INTRO



“Vengeance is Mine. I will repay.”
- Leo Tolstoy




Mungkin.

Seperti halnya kisah yang sebelumnya. Mungkin ini adalah kisah pada suatu ketika.

Di suatu masa, pada sebuah jaman yang saat itu adalah ketika itu.

Kenapa hanya ketika itu? Kenapa lantas tidak menyebutkan waktu? Karena jika ketika dijadikan sebagai penanda masa, maka ketika juga bisa dijadikan pembatas angan yang tidak bisa dan tidak perlu dibatasi. Jadi cukup dipahami, bahwa ini adalah kisah pada suatu ketika. Tidak perlu didalami apalagi dimengerti, tidak perlu mencari-cari, dan tidak perlu membuat repot diri sendiri. Cukup dimaklumi bahwa kita hanya bisa sampai di suatu ketika saat menjelaskan template waktu tanpa perlu memahami sejatinya bagaimana perjalanan kehidupan berlangsung hingga kejadian terjadi.

Kisah pada suatu ketika ini mungkin bisa berdiri sendiri, mungkin bisa terhubung, atau mungkin saja kemudian tersambung pada sebuah kelanjutan, tapi bisa juga ternyata tidak terjadi sama sekali. Yang jelas kita tidak perlu menyelidiki jaman. Cukup melihat dari kejauhan. Cukup memaklumi keadaan. Bahwa yang mungkin bisa menjadi mungkin saja, dan yang tidak mungkin bisa menjadi bisa saja.

Ini adalah sebuah kisah pada suatu ketika, tentang para serigala, tentang calon pewaris tahta naga, tentang para ksatria muda dan babak lain dari perjalanan panjang para penguasa Kidung Sandhyakala. Ini adalah sebuah kisah tentang mereka yang paham betul bahwa putih tak selamanya putih dan hitam tak selamanya hitam.





.::..::..::..::.





.:: PROLOG
SANG PENERUS




“Mmmhh… mhhhh…”

Bibir Jano melumat bibir Syahnaz dengan penuh perasaan. Tangannya bergerak meremas-remas buah dada di sebalik daster. Payudara tanpa bra yang akhir-akhir ini terlihat semakin membesar dan menggiurkan membuat hasrat menghentak tanpa perlu banyak bergerak. Sya hanya bisa mendesah dan membiarkan sang suami melakukan apapun yang dia kehendaki saat tubuhnya dielus dan disayang serentak.

Ia bahkan membiarkan Jano melepaskan daster tipis yang dikenakan wanita bertubuh indah itu meski mata hampir-hampir tidak bisa berkompromi. Jano selalu mengagumi lekuk-lekuk tubuh Sya yang menurut pria itu seksinya biadab saking menggodanya. Tubuh indah yang saat ini sedikit berubah. Sedikit. Tidak banyak kok, sedikit.

Jano memandangi keindahan tubuh telanjang Sya dengan kekaguman dan kepuasan yang nampak dari wajahnya. Sya benar-benar menjaga tubuhnya dengan baik.

“Apa sih, Mas?” desah Sya di sela-sela kantuknya sembari mengelus pipi sang kekasih. “Aku gendutan yah? Biarin.”

Jano tertawa kecil, ia hanya menggeleng lalu kembali mencium bibir mungil sang kekasih. Tangan kanannya kembali beraksi meremas-remas bongkahan besar buah dada Sya tanpa bisa dipuaskan. Jemari tangan kanannya sibuk memilin puting susu, sementara tangan kirinya – terutama jari-jari tangannya yang nakal – memainkan bibir surgawi sang bidadari.

“Mmhhhh… Massss… mulai lagi yaaaa…? Ga ada capek-capeknyaaaa…”

“Aku tidak akan pernah capek bermain cinta denganmu, sayang. Aku bahkan selalu merasa aku ini manusia paling beruntung sedunia, karena tubuh seksi ini dipersembahkan untukku seorang. Hanya aku yang kau ijinkan untuk bermain cinta dan menikmati keindahanmu. Sungguh beruntungnya aku…”

“Heleh. Apaan sih… mmmhhhh…”

Jano mengecup bibir sang istri berkali-kali membiarkan Sya tenggelam dalam lautan cinta berlebih yang diberikan oleh sang kekasih. Kepala Jano turun ke bawah, menyusuri pipi, leher, lalu ke bongkahan kenyal nan indah di dada sang istri. Dengan nakal Jano menggigit-gigit perlahan pentil susu Syahnaz, membiarkan wanita jelita itu menggelinjang, melenguh pelan dan menggigit bibir bawahnya dengan manja.

“Mmmhh… mmmhhh…” Sya merem melek diperlakukan istimewa oleh Jano. Ia memeluk kepala sang suami dan mengelus-elus rambut pria itu. “Enaaak, sayang… nakal tapi enaaaaak…”

“Enak?”

“He’em…”

“Kok berasaan jadi tambah gede ya? Panjang kali lebarnya…”

“Kamu ga suka ya?”

“Siapa bilang? Suka banget… makanya sekarang pengen nambah…”

Jano meneruskan kecup dan jilatannya ke bawah, menyusuri pinggang dan perut Sya yang besar membulat, sampai akhirnya ke bagian bawah yang begitu menggoda. Syahnaz menggelinjang hebat merasakan rangsangan luar biasa dari sang kekasih…

Apalagi ketika kemudian Jano tidak menunggu terlalu lama untuk menikmati kesegaran surga dunia.

“Maaaaaaaaaaaasss!! Hpppghhhhhhh… esssstttttt!! Aaaahhhhhh!!! Maaaaaaaaassss!!”

Kepala Jano turun ke bawah untuk menundukkan bibir surgawi menawan yang ada di selangkangan sang istri. Cairan cinta hangat membanjir di gundukan indah itu. Tipis-tipis keluar melalui sela-sela ketika direnggangkan dan dijilat sempurna oleh sang kekasih. Kalau tadi tangan Sya masih bisa mengelus-elus rambut Jano, kali ini dia sudah tidak mampu bertahan dengan rangsangan hebat itu. Jari jemari Sya menaut di rambut Jano dan menjambaknya dengan gemas. Tubuh wanita jelita itu menggelinjang dan menggeliat ke kiri dan ke kanan.

“Hmmmm… hmmm… hmmmhhh…”

Tahu sang istri sudah tak tahan lagi, Jano menghentikan aksinya.

Napas Syahnaz sudah kembang kempis tidak karuan. Dadanya sampai naik turun menahan rasa. Ia menatap sang suami dengan gemas dan penuh birahi, wajahnya sudah tak bisa diatur rapi, inginnya hanya satu, dan Jano tahu apa itu.

Jano melepas kembali celana boxer yang baru setengah jam lalu ia kenakan. Sang junior tegak bagai tiang bendera. Si junior yang selalu bikin Sya mendesah keenakan sampai pagi menjelang. Hari ini pun tak ada beda, meski sudah mengantuk tapi nafsu syahwat mendesaknya untuk melakukan ini itu dan itu ini.

“Aku yang di atas,” bisik Sya.

Itu salah satu posisi kesukaan Syahnaz. Tidak masalah bagi Jano, dia sih mau posisi apapun oke-oke saja.

Jano berbaring di pembaringan sementara Sya melebarkan kaki untuk menangkup pinggul sang suami. Wanita jelita itu kemudian merenggangkan kaki dan menempatkan selangkangannya di tengah, tepat di atas batang kejantanan Jano yang menjulang menantang. Sambil mendesah dan menggigit bibir bawah, Sya meraih penis Jano dan meletakkannya di bibir vaginanya sendiri.

Lalu Sya menurunkan badan dan semua keindahan itu datang.

Baik Sya maupun Jano sama-sama mengeluarkan desahan nyaring memenuhi ruangan yang tadinya sepi. Batang kejantanan Jano perlahan-lahan lenyap ditelan tangkupan kenikmatan, tenggelam melesak ke lipatan kewanitaan Sya yang nikmat gak ada obat. Syahnaz mengangkat pantatnya, lalu turun, lalu naik lagi, lalu turun, lalu naik lagi, dan kembali turun. ia melakukannya berulang-ulang, dan berulang-ulang, dan berulang-ulang.

Sya menggemeretakan gigi, sementara Jano mencoba mengimbangi dengan melontarkan pinggangnya ke atas. Mennyamai ritme dan irama sang ratu hati. Syahnaz mulai kewalahan ditelan hasrat dan keinginan. Gerakan yang awalnya naik turun, kini menjadi maju mundur. Ia berkeringat dan melenguh. Antara lelah tapi juga ingin.

“A-aku tidak kuat lagi, Mas… aku…”

Baru berjalan beberapa menit, Syahnaz sudah takluk di hadapan sang suami. Gerakannya makin cepat, desahannya makin kencang, irama pinggulnya makin tak beraturan.

“Hnnnghh! Hnnghhh!! Haaaaahhh!! Ahhhh!! Aaaaaaaaaaahhhhhh!!”

Batang kejantanan Jano terasa lancar karena liang cinta sang bidadari kian basah, tiba-tiba saja disesaki cairan cinta yang penuh menyelubungi. Hangat terasa membanjir dan menyelimuti. Cengkraman Sya di tubuh sang suami mengencang, lalu mengendur, dan akhirnya lemas.

Gerak tubuh Syahnaz melambat setelahnya, ia hanya mengangkat saja pantatnya sementara Jano menusuk ke atas dan menarik ke bawah dengan kecepatan tinggi, bagi Sya, kondisinya sekarang mungkin gabungan antara lelah dan mengantuk. Sya bahkan diam saja ketika tangan-tangan nakal Jano merenggangkan kakinya. Ketika dibuka, Jano bisa melihat belahan indah pintu surgawi sang istri. Ah, benar-benar keindahan yang selalu dirindukan.

Saat melihat itu Jano tahu dia harus melakukannya. Sang junior tegak menantang kencang. Jano pun merubah posisi, dia bangkit dari pembaringan, lalu berputar. Kini Jano berlutut di belakang Sya sementara sang istri mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Jano pun membimbing batang kejantanannya ke dalam keindahan lubang surgawi Sya dari belakang.

Desahan manja keluar dari bibir sang kekasih ketika milik Jano mulai masuk dan menjajah. Sudah sangat sering bersatu tapi selalu saja menjadi kejutan indah yang terus menerus ditunggu. Jano memasukkan, lalu menarik, lalu masuk, lalu tarik, lalu masuk, lalu tarik. Ia melakukan dengan perlahan-lahan sekali supaya tidak menyakitkan bagi Syahnaz.

Pelan tapi rasanya sungguh luar biasa. Tentu saja Jano tak berani menindih tubuh sang istri karena takut akan menimbulkan pergerakan yang tak perlu di perut sang istri atau malah menyakitinya. Pelan tapi rasanya… memabukkan. Jano merem melek merasakan batang kejantanannya bermain dan dipermainkan oleh liang surgawi sang bidadari. Tak perlu digenjot dengan kecepatan tinggi, yang begini malah justru membuat Jano merasa linglung dan terangsang luar biasa.

Mungkin itu juga sebabnya, tak sampai lima menit bermain di posisi yang sama, desakan pemuncak mendatangi Jano, dan dia tak ada keinginan untuk menahan. Ia memejamkan mata, mendorong dengan penuh penghayatan, menarik dengan penuh perasaan, dan menyeduh kenikmatan yang luar biasa hebatnya. Perlahan-lahan menaiki tangga kepuasan, pelan tapi pasti naik untuk menyempurnakan permainan. Sya memang hebat dalam kondisi apapun.

Jano makin tak tahan. Ia terus mendaki, terus, terus, terus…

…sampai akhirnya tuntas dalam tiga sentakan. Tubuh Jano seperti mengejang, ketika cairan cintanya membanjiri liang surgawi sang istri.

Jano memeluk sang istri dari belakang. Ia mengelus dahi Sya yang berkeringat dan menyapunya dengan punggung tangan. Pria itu mengecup dahi Sya yang tersenyum puas. Keduanya kini membaringkan punggung.

“Sekarang boleh aku tidur? Beneran aku pengen tidur, huhuhu. Aku capek banget… awas kalau digangguin lagi.” Sya cemberut.

Jano tertawa dan mengangguk. Ia mengelus perut Sya yang membuncit, “Padahal ga tau kenapa aku merasa bersalah melakukannya. Seakan-akan membuat posisi si dedek jadi semakin sesak di dalam sana.”

Halah. Ngomongnya sih begitu, tapi malam ini saja sudah dua kali minta jatah. Bilangnya kasihan, tapi kok terus-terusan nambah. Sudah ah. Sekarang aku beneran mau tidur, sayaaaang. Aku ngantuuuuk.”

Jano kembali tertawa.

Jam berapa sih sekarang? Dia juga butuh tidur lagi. Secara reflek Jano mengambil ponsel yang ada di atas meja di samping tempat tidur. Ia melirik ke arah layar. Ada pesan singkat yang masuk ke aplikasi pesan.

“Hmm… ada pesan masuk ternyata, aku bakal kedatangan tamu.”

“Siapa?”

“Si Abe.”

“Tumben dia datang kesini?”

“Iya.” Wajah Jano berubah menjadi serius, “Dia tidak akan datang kalau tidak ada yang penting. Pasti ada masalah.”





.::..::..::..::.





.:: 1.
SANG PEWARIS TAHTA




“Aira.”

“Ya, Mama?”

“Tahu tidak arti nama kamu?”

Aira menggeleng. “Air… artinya udara? Jadi… udaraaaa? A-nya dipanjangin. Hihihihi. Bener ga, Ma?”

Sang Mama tertawa.

Aira bertanya balik, “Memang artinya apa, Ma?”

“Namamu terdiri dari dua suku kata. Ai dan Rai.” Sang Mama dengan lembut menyisir rambut anak gadisnya. “Nama depanmu itu pemberian dari Mama. Ai artinya cinta, sedangkan Rai artinya yang akan datang. Mama dulu sangat mengharap kedatanganmu dengan penuh rasa sayang setelah sembilan bulan menunggu. Sama seperti hadirnya Papa-mu dalam hidup Mama yang selalu Mama nantikan.”

“Uwaaaaaaa…” Mata Aira berbinar saat mereka membicarakan sang Papa. Bagi gadis kecil itu, sang Papa adalah idola.

“Papa sering bepergian, tapi selalu kembali pada Mama. Karena Papa berjanji akan selalu menjaga Mama dan itu dia lakukan sampai akhir hayat. Papa memang harus membagi kasih, tapi itu tidak berarti sayangnya kepadamu atau kepada Mama berkurang sedikitpun. Aira tahu kan, Papa menyayangi Aira lebih dari apapun?”

Aira kecil mengangguk. “Aira sayang Papa.”

“Anak pintar.” Mama Aira mengecup lembut ubun-ubun sang bocah. “Papa cinta pertama kamu ya, Nak? Seperti halnya Papa juga jadi cinta terakhir Mama. Kita sama-sama menyayangi Papa, dari sisi ujung yang berbeda – tapi kita tahu, rasanya tetap indah memiliki seseorang seperti Papa.”

Aira memeluk sang Mama. “Aira juga sayang Mama.”

“Mama sayang Aira juga.” Dengan senyum mengembang, sang Mama membalasnya.

Aira tak pernah melupakan senyum itu.

Senyum seorang bidadari.






.::..::..::..::.





Aira Harnanto menengadah, memejamkan mata, merasakan arus ingatan membanjiri sungai kenangan dalam rindu rindang batin dan perasaan. Rintik-rintik air hujan yang melewati bentang kembangan payung menerpa wajah cantiknya.

Gadis itu membiarkan dirinya terbawa ke suatu masa. Ingatannya menerawang di saat-saat ia duduk bersama sang Mama tercinta - di suatu siang yang tenang di akhir pekan - duduk bercengkerama berdua membaca satu buku bersama-sama. Duduk di window bench yang mengarah ke taman dan bercanda, berbincang dan tertawa, mengais percakapan tanpa arah tapi menenangkan jiwa.

Rintik hujan yang turun makin lama makin deras.

Tapi derasnya hujan tak memupus keinginan sang gadis jelita untuk mengunjungi sebuah makam yang ada di dekat kawasan ringroad utara. Ia memayungi dirinya sendiri dengan payung hitam kecil. Gadis itu memang menyukai warna hitam yang teramat kontras dengan kulitnya yang putih cenderung pucat.

Aira gemar mengenakan sandang yang serba hitam, begitu juga hari ini – mulai dari topi hitam, jaket hitam, jeans hitam, sepatu hitam, tas ransel hitam, dan sarung tangan hitam. Yang putih hanyalah kaos ketat yang ia kenakan dan kulitnya yang halus mulus. Rambut hitamnya yang panjang diikat kucir kuda, memudahkannya untuk bergerak.

Kon’nichiwa, Papa.”

Gadis itu mengelus nisan yang dingin sembari berjongkok.

“Papa sayang, apa kabar? Maaf Aira baru bisa datang, pekerjaan di Tokyo sedang sangat sibuk. Apalagi sekarang Aira mengurus sidejob di Nagoya, dan ajaibnya ternyata usaha Aira itu sukses, Papa. Yah, meski kecil-kecilan tapi lumayan untuk tambahan. Kami sedang berusaha mengembangkan usaha yang sama di Kyoto.”

Aira terdiam sejenak.

“Semua itu karena apa yang Papa ajarkan tentang bertahan hidup dan apa yang Mama ajarkan di dunia usaha. Untung aja dulu Mama kuliahnya beneran, ga kayak Papa berantem melulu.” bisik gadis itu perlahan sambil tertawa kecil. Ia meletakkan setangkai mawar merah di atas makam sang Papa. “Papa… Uchi ga koishii. Aira kangen kota ini. Kangen sama Papa, kangen adik-adik, kangen para Tante. Kangen diajak keliling kota, kangen makan sate gajih di dekat Pasar Gede, kangen lari pagi sama Papa di dekat Universitas Negeri, kangen jalan-jalan di Mal tiap weekend demi nonton film keluaran Disney terbaru.

“Hmm… Papa masih ingat kedai ramen di Musashino-shi yang Papa demen banget? Kaijin Ramen Kichijoji? Kemarin sebelum pulang kesini Aira sempetin makan di sana dulu sama Mama. Aira mewek, Pa. Kangen banget sama Papa. Oh iya, Mama kirim salam. Maaf belum bisa pulang bulan ini, bulan depan katanya akan diusahakan.”

Tentu saja tidak ada yang menjawab percakapan yang dilakukan oleh Aira, tapi ada hangat yang hadir di tengah hujan yang turun. Hangat yang memeluk tubuh Aira dan memberikan rasa tenang. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali ia berkunjung ke area pemakaman ini.

“Papa sudah dengar kabar? Istrinya Jano sudah mengandung. Itu artinya Papa bakal punya cucu. Kebayang ga Pa? Ternyata Jano yang akhirnya jadi yang pertama memberikan cucu buat Papa. Asli Aira ga bisa bayangin gimana senengnya Papa seandainya bisa ketemu cucu pertama itu.” Aira tersenyum sembari terus mengelus-elus nisan, “Aira sendiri benernya sudah lama tidak ketemuan sama Jano, karena dia ada di pulau seberang, di Kota Seribu Sungai. Tapi kalau adik-adik yang lain sih sudah ketemu terutama si kembar Johan dan Jihan. Gila ya, Pa? Mereka yang dulunya imut-imut banget sekarang tambah keren aja. Tidak salah dipilih sebagai tangan kanan Aira di kota. Jihan bilang bakal main ke Tokyo liburan akhir tahun nanti – doain kami bisa jalan-jalan ya, Pa. Biasanya sih akhir tahun jadwal Aira malah padat. Tapi Aira pengen jadi kakak tertua yang bertanggung jawab dan deket sama adik-adik, pengen selalu bersama mereka semua, jadi Aira akan berusaha membebaskan waktu saat nanti Jihan jalan-jalan ke Tokyo.

“Terus… hari ini ada rencana juga janjian sama si bungsu. Mudah-mudahan jadi. Waktu Aira sebenarnya tidak banyak dan harus segera pulang kembali ke Jepang. Aira sudah ditunggu jadwal yang padat di sana. Eh… tapi di sini pun jadwal Aira luar biasa – ada rapat pemegang saham dan segala macam urusan tetek bengek lain. Papa pasti males berurusan dengan yang beginian, hehehe.”

Aira kemudian berdiri, menepuk bagian-bagian celana yang agak kotor lalu tersenyum pada makam milik sang ayah. “Mama bilang salam sayang, Pa. Tidak ada hari di mana Mama tidak cerita tentang Papa sampai hal sekecil-kecilnya. Saking kangennya sama Papa, Mama selalu nyiapin makan buat kalian berdua padahal sendirian aja di rumah. Aira sudah larang tapi Mama bilang itu justru cara beliau untuk tidak sedih kalau keinget Papa. Aira sih paham, setiap orang punya caranya sendiri untuk menangani duka. Jangan salahin Mama yang kangen berat sama Papa ya… kalau Aira saja kangennya seperti ini, apalagi Mama.”

Ponsel Aira menyalak dengan kencang.

Musik klasik Eine Kleine Nachtmusik dari Mozart terdengar memenuhi udara pemakaman yang dingin. Gadis itu memang menyukai musik klasik, salah satu alasan kenapa dia dulu mengambil kursus piano yang kemudian menjadikannya salah satu pemain piano yang paling digemari oleh sang Papa tercinta. Aira tersenyum dan menepuk nisan sang Papa.

“Aira pergi dulu ya, Pa. Aira sayang Papa.”

Melewati pintu gerbang makam, Aira akhirnya mengeluarkan ponselnya yang juga berwarna hitam, membuka tekukannya dan melihat nama seseorang yang sangat ia kenal di layar. Aira menekan tombol terima.

Moshi-moshi. Apa kabar, Om? Ada yang bisa Aira bantu?”

Sebuah motor Kawasaki Ninja berwarna gelap berdiri gagah di bawah gapura makam. Berusaha berlindung di bawah siraman hujan. Aira mengambil helm yang ia letakkan di pondok bambu kecil yang ada di dekat pintu masuk ke makam sembari menekuk payungnya. Gadis itu lantas memastikan jaket hitamnya melindungi. Ia tidak mempedulikan lagi air hujan yang tumpah dengan deras. Mudah-mudahan saja jaketnya waterproof.

Gadis itu menunggu suara yang kemudian terdengar dari ujung sana. Agak susah mendengarkan di tengah derasnya hujan. “Iya, Om…? Ah nggak, Aira baru nyekar ke makam Papa. Hehehe, iya, di sini juga hujan. Tapi tidak apa-apa. Takutnya tidak ada waktu lagi. Gimana? Apa ada yang urgent yang harus Aira tangani?”

Aira kembali terdiam untuk mendengarkan, wajahnya agak berubah.

“Hah? Ini serius, Om?”

Aira mengerutkan kening.

“Haaah!? Kok bisa? Ada yang mengincar keluarga Tante Dela? Demi apa, Om? Kenapa? Buat apa? Tante kan tidak pernah terlibat apa-apa. Tante Dela orangnya baik banget sama siapapun. Beliau tidak pernah bersalah sama siapapun dan tidak pernah bersalah karena apapun. Mana mungkin ada yang mau mencelakainya! Brengsek betul! Siapa yang mengincar Tante, Om? Terus Om Han dan Abel kabarnya gimana?” Aira buru-buru memasang headset wireless dan mengenakan helmnya. “Hmm…? Baru dengar. Kelompok apa itu, Om? Orang Aliansi sudah memeriksa background-nya? Oh gitu, si Bungsu sudah memerintahkannya ya? Bagus. Oke, siapa orang-orang di belakang peristiwa ini? Hmm… IC. Oke, Aira segera meluncur kesana, Om. Minta tolong kabar ini juga diberitahukan ke si kembar ya, Om. Biar mereka juga ambil tindakan. Iya, tidak apa-apa, Om. Kami sekeluarga harus saling menjaga. Terima kasih kabarnya, Om. Aira on the way.”

Gadis jelita itu buru-buru naik ke motor setelah menyimpan payung ke dalam tas. Dia sudah tidak peduli lagi seberapa basah payung itu.

“Om dari Lima Jari memang baik-baik semua,” Aira menengok ke belakang, ke arah makam. “Jangan khawatir, Pa. Aku sudah pernah berjanji akan melindungi keluarga dan adik-adik. Aku akan selalu memegang teguh janjiku. Kami akan menjunjung tinggi nama Trah Watulanang. Tidak perlu khawatir. Papa tenang saja.”

Gadis itu naik ke atas motor yang segera meraung kencang.

Motor Ninja yang dikendarai Aira menembus hujan di jalanan utama ringroad utara, mengarah ke barat, melewati perempatan besar terminal, melalui Universitas Teknologi Digdaya, terus melengkung ke arah kiri. Melalui sisi jalan yang lapang sebelum akhirnya berbelok ke kiri lagi saat sampai di kawasan Nogobanyu dan berhenti di salah satu rumah setelah meliuk-liuk dari gang ke gang.

Jaketnya basah, tapi tidak kuyup, celana jeans-nya juga sama. Motor Ninja Aira diparkir di tanah lapang yang biasa digunakan untuk arena bermain bulutangkis. Sudah banyak motor diparkir di sana karena jalan memang agak sempit.

Tante Dela adalah sepupu Papa-nya, putri dari keluarga Mbahlik Darno dan Susan. Anak Tante Dela dan suaminya om Han, sering Aira panggil dengan sebutan Abel.

Rumah yang ia tuju sudah ramai. Ada tetangga dan ada saudara, bahkan pihak yang berwajib pun sudah datang. Apakah mereka dari Tim Garangan? Aira melangkah dengan tenang untuk mendatangi rumah yang dituju. Hujan di sini tidak begitu deras, jaket dan jeans-nya sudah basah, jadi rasanya tidak perlu menggunakan payung. Apalagi jarak antara motornya diparkir dan rumah yang ia tuju tidak begitu jauh.

Beberapa orang yang berada di tempat itu menyadari kedatangan Aira. Menentang hujan gerimis, mereka buru-buru menyibakkan kerumunan yang berkumpul di depan rumah, dan melapangkan ruang untuk jalan sang putri mahkota. Beberapa orang menyiapkan payung untuk melindunginya dari gerimis.

Orang-orang terkesiap dengan perlakuan sempurna rombongan yang berjaga-jaga di depan rumah terhadap seorang gadis muda yang baru saja hadir. Sepertinya gadis itu orang yang teramat penting.

Hal itu tentunya membuat semua orang kebingungan – siapa sebenarnya gadis berpakaian serba hitam yang baru datang? Kenapa banyak sekali orang menghormatinya? Bagi yang sanggup membaca Ki seseorang, maka kehadiran sang putri mahkota akan membuat siapapun gemetar ketakutan. Meski tubuhnya langsing dan terkesan kurus, tapi Aira bukanlah sosok wanita lemah. Aura Ki yang dahsyat dan mengerikan keluar dari tubuhnya. Padahal Ki itu pun sudah ditekan sampai minimal.

Bagi yang paham dan mampu melihat aura Ki, maka gadis cantik dan mungil itu… adalah seorang monster.

“Selamat datang, Mbak Aira.” Salah seorang pemuda dengan rambut model keriting brokoli dan tato udang di lehernya segera datang bergegas menyambut. “Semua sudah dikondisikan. Sedang dilakukan olah TKP untuk mencaritahu apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang melakukan kejahatan ini.”

“Jadi Tim Garangan sudah datang ya, Ben?”

Benji mengangguk, kapten dari Aliansi itu mensejajari Aira. “Tiga penyelidik sudah datang, mereka ada di dalam. Kami menjaga tempat ini kalau-kalau ada kelompok lain yang ingin mengail di air keruh. Kondisi sedang kacau balau. Setidaknya ada dua anggota kita yang jadi korban. Satu kritis, satu sudah out.”

“Siapa?”

“Si Bagus Satub.”

“Yang kritis?”

“Fathur, yang dari Karanglor. Mereka berdua memang bertugas jaga di kawasan sini berdasar perintah Mas Johan. Beruntung ada mereka berdua, kondisi Ibu Dela dan Abel aman tak kurang suatu apa. Mereka telah rela berkorban demi Aliansi.”

“Bapak?”

“Pak Han sayangnya juga kritis. Beliau sudah dilarikan ke rumah sakit bersama Fathur.”

“Kalau penyelidik yang datang?”

“Maulana, Andik dan Rohmanu.”

Aira mengangguk. “Ben, kamu siapkan rumah singgah di kota lain. Bawa Tante Dela dan Abel pergi dari sini dan amankan di sana. Jangan sampai ada yang tahu dimana mereka tinggal. Jaga kerahasiaan sampai tingkat terkecil, kalau ada yang mulutnya ember dan membeberkan rahasia ini keluar, maka aku sendiri yang akan datang untuk merobek mulut dan mencongkel matanya. Paham?”

“Paham, Mbak. Segera kami siapkan. Mungkin di utara saja. Di kota Benerpitu. Ada satu rumah Aliansi di sana.”

Aira kembali mengangguk. Gadis itu berjalan dengan santai dan memasukkan tangannya ke dalam saku belakang celana. Orang-orang yang menyadari kedatangan sang putri mahkota buru-buru memberi jalan hingga sampai ke depan pintu rumah. Sebagian membungkukkan badan dan kepala saat Aira melewati mereka. Tidak ada satupun yang berani menatap mata gadis itu.

Aira melirik ke kanan dan kiri, mengamati kondisi.

Sudah kacau balau dan porak poranda. Kaca pecah dan darah berceceran. Pagar pintu depan bahkan sampai jebol. Ini jelas bukan pekerjaan satu orang. Ini pekerjaan satu rombongan, ini kerja tim. Mau apa bedebah-bedebah itu menyerang Tante Dela yang tidak tahu apa-apa? Dasar bajing

“A-Aira?”

Seorang wanita setengah baya buru-buru berlari kecil mendekati sang dara jelita dan memeluknya. Meskipun sudah tidak bisa dibilang remaja, namun kecantikan Tante Dela masih jelas terlihat. Ia memeluk Aira dan mengecup pipi kanan dan pipi kiri.

“Ya Tuhaaan, Aira. Untunglah kamu sudah datang! Aira! Jelaskan pada Tante kenapa semua ini bisa terjadi? Kejahatan macam apa yang sudah kami lakukan sampai-sampai orang-orang jahat itu menyerang kami?” suara Tante Dela terdengar shock, ia berderai air mata. “Papanya Abel… Papanya Abel…”

“Iya Tante… Aira sudah dengar semuanya. Aira usahakan yang terbaik ya, Tante. Mudah-mudahan Om Han kondisinya juga bisa segera membaik. Jangan khawatirkan biaya rumah sakit, semua Aira yang tanggung. Sekarang Tante tenang dulu, persiapkan apa yang diminta oleh anak-anak Aliansi dan kami akan membawa Tante dan Abel ke tempat yang aman.”

“Iya sayang… Iya…” Tante Dela mengelap dahi dan rambut Aira. “Kok basah kamu, sayang? Kehujanan? Aduh… handuk mana handuk… Abel! Ambilin handuk! Kak Aira kehujanan ini!”

“Kak Aira!” Seorang remaja buru-buru berdiri dan berlari mendekati Aira dan sang Ibu. Dia mengecup punggung tangan Aira dan bersiap untuk ke belakang, matanya sembab seperti baru saja menangis habis-habisan. Tidak mengherankan. Untung sekarang dia sudah jauh lebih tenang. “Abel ambilin handuk dulu ya, Kak. Ada baju ganti, Kak? Kayaknya sih…”

“Tidak perlu, Bel. Kakak tidak apa-apa kok.” Aira tersenyum. Ia mengacak-acak rambut sang keponakan dengan penuh rasa sayang. “Bagaimana sekolahmu? Udah gede aja si Abel.”

“Baik, Kak. Oh iya, terima kasih Kak Aira selalu bantu SPP Abel ya.”

“Sudah kewajiban kita sebagai keluarga harus saling bantu.” Aira tersenyum. “Kakak-kakak yang lain juga sering datang dan ngasih kamu uang saku kan?”

“Iya Kak, Kak Johan dan Kak Jihan setiap minggu datang, dulu sesekali Kak Jano juga...” Abel berkaca-kaca, “Kak… tolong bantu kami mencari orang yang sudah menyakiti Papa ya, Kak. Hukum mereka seberat-beratnya. Kami kan tidak salah apa-apa. Kenapa mereka tiba-tiba menyerang kami?”

“Pasti. Kak Aira janji untuk menemukan orang yang bertanggung jawab. Untuk sementara kalian bakal tinggal di tempat yang sudah Kak Aira siapkan. Supaya aman dan tidak ada orang jahat yang mengejar lagi. Nanti Papa Abel akan Kakak kirim ke sana juga kalau sudah lebih sehat. Tidak apa-apa ya?”

“Tidak apa-apa, Kak…”

“Abel! Gimana sih! Disuruh ambil handuk juga! Ih ni anak!”

“Eh iyaaa…” Buru-buru remaja belasan tahun itu berlari ke belakang.

“Sudah gede banget ya anak itu.” Aira geleng-geleng kepala, “Apa aku ya yang kelamaan di Jepang?”

“Duduk dulu, sayang. Kapan kamu pulang? Duh, kenapa juga kamu datang pas ada kejadian seperti ini. Tante pengennya kamu datang sewaktu kita semua sedang baik-baik saja. Tante kangen banget sama kamu.”

Aira kembali memeluk erat sang Tante itu. “Aira juga kangen banget. Maaf basah ya, Tante. Maaf juga Aira terlambat datang sampai-sampai Om Han jadi…”

“Tidak apa-apa, sayang. Tante kangen berat, pengen meluk kamu terus.” Sembari mengelus-elus pundak sang keponakan paling disayang, Tante Dela mengulang kembali pertanyaannya. “Kapan kamu pulang? Berapa lama di sini?”

“Sebenarnya pulang ke Tanah Air cuma untuk beberapa hari saja, Tante. Paling banter seminggu. Ada urusan kantor yang urgent dan harus Aira urus, jadinya datang ke sini. Tapi kalau memang urusan ini belum selesai, mungkin bisa Aira perpanjang.”

“Yaaaah, cuma sebentar dong?”

“Sebentar tapi mudah-mudahan bermanfaat. Tante… bisa minta tolong cerita sama Aira? Kalau bisa sedetail mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi tadi di sini?”

“Oke, Tante ceritain ya… jadi begini… kami berlima sedang duduk-duduk di luar, makan jagung bakar. Tante, Om Han, dan Abel bersenda-gurau seperti biasa bareng mas Fathur dan mas Bagus. Mereka berdua memang sering ditugaskan berjaga di sini sama Aliansi. Biasanya tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi tadi tiba-tiba saja ada rombongan datang sambil marah-marah. Tidak ada angin tidak ada hujan. Mereka semua pakai topeng kayak ninja dan langsung menyerang tanpa babibu. Ma… mas…” Gemetar bibir Tante Dela saat menceritakan serangan itu, dia pasti trauma berat.

“Tidak apa-apa, Tante. Aira di sini.” Aira mengelus punggung sang Tante untuk memberikan support.

“…mas Fathur dan mas Bagus berusaha keras melindungi kami meski jumlah penyerang tidak sepadan. Om juga ikut bertahan. Mereka bertiga menjadi benteng. Tante dan Abel masuk ke dalam, lalu bersembunyi di ruang dalam. Pintu kami kunci, jadi Tante tidak bisa melihat apa-apa. Keributan yang ditimbulkan orang-orang tak bertanggungjawab itu mengundang masyarakat sekitar yang langsung membantu Om. Para ninja itu pergi setelahnya. Tapi mereka sudah berhasil melukai Om, Fathur, dan Bagus…”

Aira mengangguk-angguk. “Seperti yang tadi Aira sampaikan, Aira pasti akan menyelidiki perkara ini. Selama penyelidikan Aira siapkan rumah singgah untuk Tante Dela dan Adek – dan juga Om kalau sudah sembuh nanti. Pastikan Tante merahasiakan lokasinya untuk sementara waktu ya. Kami akan buatkan juga KTP sementara supaya kalian bertiga aman dengan identitas berbeda.”

“Baik, ndukcah ayu… duh, maaf kami merepotkanmu…” Tante Dela mengelus-elus wajah cantik Aira, “kamu bener-bener anak Bapak kamu, nduk. Persis Bapak kamu…”

“Ya jelas dong Tante.” Aira tersenyum.

Pandangan matanya terarah ke satu arah. Aira berdiri dan melangkah menuju ke bagian rumah yang porak poranda. Di sana ada foto keluarga besar Trah Watulanang yang terjatuh ke lantai. Frame-nya sudah pecah sehingga bagian dalamnya terbuka. Tapi bukan foto itu yang menjadi perhatian Aira, ada sesuatu yang aneh… ada barang di sana… barang yang sebelumnya belum pernah ia lihat, dan sepertinya baru diletakkan. Aira mengambil benda itu dan mengamatinya.

Aneh.

Sungguh aneh.

Frame foto dan ruangan yang porak poranda teramat kotor dan berdebu, demikian juga barang-barang yang jatuh ke lantai. Tapi kenapa barang ini rapi jali, apik dan bersih?

“Barang ini sengaja diselipkan di foto setelah peristiwa terjadi.”

“Ba-bagaimana, Kak Aira?”

Aira yang sedang memandang benda yang ia pegang itu agak terkejut, tapi Ia lantas tersenyum pada sang keponakan yang datang mensejajarinya. Tangannya diletakkan ke belakang, menyembunyikan barang itu dari pandangan Abel. “Tidak apa-apa. Tenang saja, Kakak yang akan mengurus ini semua. Bagaimana kondisi Mama kamu, Bel? Apa tidak sebaiknya ikut diperiksa juga?”

“Sebenarnya awalnya tadi Mama cukup shock, tapi syukurlah sekarang sudah jauh lebih tenang terutama setelah kedatangan Mama si kembar yang ikut bantu menenangkan. Apalagi setelah Kak Aira juga datang, Mama jadi lebih santai. Kejadiannya tadi berlangsung terlalu cepat, Kak. Kami semua terkaget-kaget. Itu pula sebabnya kenapa Mama jadi shock banget.”

“Syukurlah kalau Mama kamu sudah jauh lebih tenang.” Aira tersenyum, ia melesakkan barang yang ia pegang ke dalam kantong jaket. “Kakak nanti akan kirimkan uang buat kamu sama Mama ya. Kalian untuk sementara bakal Kakak pindahkan ke tempat yang tidak ada seorang pun yang tahu. Jaga terus Mama kamu. Kalau ada apa-apa atau perlu apa-apa, bilang saja sama Kak Aira. Oke?”

“Siap Kak.”

Aira mengangguk. Ia berdiri dan berjalan menuju teras depan rumah. Setelah memastikan sang keponakan tidak lagi mengikutinya, ia mengeluarkan benda dari dalam saku jaketnya. Sebuah kartu nama berwarna hitam. Untung saja Aira menggunakan sarung tangan jadi benda ini masih aman digunakan sebagai barang bukti kalau-kalau ada sidik jari miilk si bedebah.

Kartu nama itu hanya berisikan dua kalimat berwarna kuning keemasan di atas area berwarna gelap doff. Dari desainnya terlihat mahal dan misterius. Tidak ada nama, tidak ada petunjuk, tidak ada apapun. Niat banget mau menyerang orang pakai bikin kartu nama segala.

Habisi Trah Watulanang, darah dibayar darah. 21.

Aira mengerutkan kening. Dia mengejawantahkan satu demi satu kata dan kalimat yang tertera pada kartu nama misterius itu.

Kalimat pertama. Habisi Trah Watulanang.

Sepertinya langsung menjurus pada target yang diincar. Tapi siapa yang berani-beraninya mengganggu Trah Watulanang? Ada urusan apa? Keluarga besar mereka rasanya tidak pernah menebar dendam. Apakah mereka rombongan musuh yang dendam sama Papa? Kalau memang mendendam, kenapa secara spesifik disebutkan Trah Watulanang? Kenapa bukan Aliansi? Kenapa bukan nama sang Papa? Kenapa menargetkan keluarga tak bersalah yang tak terlibat apapun?

Kalimat kedua. Darah dibayar darah.

Kalimat yang menyiratkan dendam. Apakah ada yang dendam? Dendam apa? Setahu Aira keluarganya tidak pernah berurusan dengan keluarga dan kelompok lain yang hasilnya akan menyebabkan dendam kesumat seperti ini. Sungguh urusan ini membuatnya sangat penasaran.

Sepertinya mereka berhadapan dengan lawan baru.

Yang jelas korban telah jatuh dari pihak Aliansi, jadi perkara ini harus diselidiki sampai tuntas. Kalau memang ada riwayat dendam, harus ditelusuri dan dibenahi. Kalau memang Papa bersalah, Aira yang akan membayar dan pasang badan untuk menghapus dendam itu.

Yang ketiga, angka 21.

Dua satu. Dua puluh satu. Dua dan satu. Hanya angka dua satu saja? Tidak ada penjelasan apa-apa? Nomer telepon? Alamat? Pin ATM? Apa ya? Dua satu… kenapa hanya 21? Kenapa bukan 12? Apakah itu nama kode? Tidak ada nama panjang? Siapa gitu misalnya… Nol nol tujuh, misalnya. Satu empat kosong empat lima, misalnya.

Dua satu. Apa itu dua satu? Hmm… apakah ini cryptic message? Sebuah kartu nama dengan motif hitam bertuliskan 21. Mungkin ini kode nama? Siapa dua satu?

Otak Aira bekerja dengan cepat. Kartu, hitam, angka dua satu. Hanya satu hal yang terbayang bagi Aira jika ketiga hal tersebut dikaitkan.

Blackjack.

Asem. Ini Blackjack.

Permainan kartu blackjack.

Apa itu Blackjack?

Blackjack adalah permainan taruhan bermedia yang menyajikan pertaruhan antara seorang dealer dan pemain. Di kasino, dealer adalah orang yang bertugas membagikan kartu pada pemain. Antara dirinya dan pemain lalu berlomba mendapatkan kartu terdekat dengan nilai dua puluh satu. Masing-masing dari dealer dan pemain akan membagi peluang dengan dua kartu. Jika nilai dealer di bawah atau sama dengan 16, maka wajib menambah kartu. Jika nilai dealer sudah di atas atau sama dengan 17 maka wajib stay dengan kartu yang ada. Siapapun yang kemudian melebihi nilai 21 atau memiliki nilai akhir paling jauh dari 21, dia akan kalah. Permainannya semudah itu.

Kalau menyebut istilah Blackjack, maka bayangan Aira langsung tertuju pada sesuatu, BJX.

Setahu Aira ada satu kelompok bernama BJX atau Blackjax yang beroperasi secara underground dan onderbouw-nya menyebar di banyak kota – termasuk ke kota ini. Kekuatan mereka tidak diketahui jumlahnya. Tapi dari yang Aira tahu anggota terdiri dari anak-anak muda yang menganggap kegiatan premanisme itu sah karena hukum rimba berlaku - siapa yang kuat dia yang berkuasa. Mungkin mirip seperti awal-awal RKZ berdiri di masa sang Papa. BJX sendiri dipimpin oleh seorang pria yang dipanggil dengan julukan King.

Tapi Aira sedikit ragu.

Apakah mereka yang bertanggungjawab? Kok berani sekali berulah di kota ini dan memakan korban dari pihak Aliansi? Aira tidak ingin menghakimi dan menuduh, tapi seandainya memang ini ulah BJX, dan mereka bertanggungjawab, maka Aira akan memburu mereka sampai habis. Tapi dia tidak ingin gegabah, Aira tahu dia harus menghormati Tim Garangan. Biarlah mereka mencari tahu terlebih dahulu dan melakukan penyelidikan.

Gadis itu mendesah. Lalu opsi berikutnya, andaikata 21 yang dimaksud di sini bukanlah geng BJX yang ada di kota, maka pertanyaannya tetap sama.

Siapa 21?

Siapa Blackjack? Kenapa menyerang keluarganya? Ada urusan apa si Blackjack dengan Trah Watulanang? Untung saja kali ini Satub dan Fathur hadir sehingga yang diduga anak-anak Blackjack itu tidak sempat menyakiti atau bahkan membunuh Tante Dela dan Abel, meskipun Om Han dan dua anggota Aliansi menjadi korban.

Tapi tentunya untuk jaga-jaga, mereka harus bersiap. Apalagi Aira tidak bisa tinggal di negara ini terlalu lama dan harus pulang ke Jepang. Harus ada antisipasi terlebih dahulu. Semua harus disiagakan. Si Kembar dan si Bungsu harus paham situasinya karena mereka ada di kota.

Aira juga harus memberitahu Jano.

Gadis itu geram karena penasaran. Blackjack… siapapun dia, Aira akan mendapatkannya.

“Mbak Aira…”

Aira menengok ke belakang dan menemui dua orang berjaket hitam, ada tanda pengenal kepolisian tersemat di nametag yang mereka pakai. Aparat berpakaian preman dari tim Garangan. “Ya, saya Aira. Kalian dari Tim Garangan?”

Maulana mengangguk. “Betul, Mbak. Saya Sersan Maulana, ini Andik, dan teman kami yang masih memeriksa barang-barang di sana namanya Rohmanu. Kami datang atas perintah Kapten Rozan.”

“Baik Sersan, apa yang bisa dijelaskan dari olah TKP?” Entah otoritas macam apa yang dimiliki gadis muda jelita itu sampai-sampai ia bisa bertanya dengan bebasnya pada para penyidik.

“Masih terlalu dini, Mbak. Tapi kami menemukan beberapa hal di sini yang dimungkinkan mengarah pada pelaku perusakan dan penganiayaan.”

“Oh ya?”

“Kami tidak ingin salah menuduh dan tentunya selalu ada azas praduga tak bersalah bagi orang-orang yang terlibat, tapi untuk pencerahan saja - sudah terlalu banyak kasus yang memiliki bukti yang sama. Jadi kami lumayan yakin dengan siapa pelakunya.”

“Begitu ya? Dan ini semua kalian simpulkan hanya dari bukti-bukti mentah saja? Tidak perlu diolah terlebih dahulu di crime lab atau apalah yang kalian miliki?”

“Sekali lagi, bisa saja kami salah. Tapi kami sudah sangat sering menemukan barang bukti yang khas seperti ini. Bukti-bukti ini bukan tertinggal, melainkan sengaja ditinggalkan.”

“Sengaja?”

“Sengaja. Mereka sengaja melakukannya.”

“Mereka?”

“Tindakan ini dilakukan oleh orang-orang bayaran, mercenaries. Orang-orang ini sengaja menebarkan bukti tersebut untuk memberikan kesaksian pada benefaktor mereka bahwa mereka telah bekerja sesuai kontrak. Salah satu bukti yang paling jelas adalah beberapa kelereng susu ini.” Sersan Maulana mengeluarkan satu kantong plastik berisikan enam butir kelereng susu. “Aneh bukan di TKP seperti ini ada kelereng susu? Tapi ini justru menunjukkan bahwa orang-orang ini berasal dari satu kelompok mercenaries yang sudah lama malang melintang di Tanah Air. Mereka menyebut diri mereka sendiri dengan nama Legion.” Sersan Maulana mendekatkan kantong kelereng susu pada Aira, memilih salah satu dan menunjukkan gambaran di lingkar luar kelereng. “sSeperti yang bisa Mbak lihat di sini, ada tanda seperti huruf L berwarna kecoklatan di kelereng susunya.”

Saat melihat kelereng-kelereng susu itu barulah Aira paham. Dia juga sudah pernah mendengar tentang Legion tapi baru pertama kali ini bersinggungan dengan mereka. “Aku pernah mendengar kabar tentang mereka. Kalau tidak salah jumlahnya ada delapan orang ya?”

“Sembilan tepatnya, tapi itu yang diketahui – entah sebenarnya berapa jumlah pasukan mereka. Pimpinan mereka jarang ikut serta dalam aksi tapi dia mengatur semuanya dari balik layar. Tim khusus kami sedang mengejar dan memburunya. Namanya Grant Logan, seorang ekspatriat dan pebisnis asal negeri Paman Sam. Saat ini disinyalir dia sedang dalam perjalanan ke Pulau Seberang.”

“Pulau Seberang?”

“Menuju Kota Seribu Sungai. Entah apa yang diinginkan.”

Aira terkesiap.





.::..::..::..::.





.:: 2.
SANG PENEGAK






“Bu, aku diterima! Aku diterimaaaaa!! Waahahahaha. Ziapa yang menyangka ya? Ini untung atau celaka ya namanya? Wahahahahah. AKU DITERIMAAAA!!”

“Oh ya? Waaaaaaaaah. Hebat sekali.” Sambut sang Ibu dengan wajah sumringah sembari menyiapkan lauk pauk di atas meja makan. Seperti biasa, wanita yang meski terlihat lelah namun tetap ceria itu meletakkan semuanya dengan rapi. Tujuh piring di hadapan empat orang yang saling berhadapan di meja makan. Dua piring untuk sang ayah, dua piring untuk si anak mbarep, dua piring untuk si anak bungsu, dan satu piring untuk dirinya sendiri. Semuanya porsi monster.

Sang Ibu melanjutkan, “Ibu bangga sama kamu. Itu yang namanya anak Ibu. Ibu doakan semoga kamu mengabdi dengan baik dan tanpa pamrih untuk bangsa dan negara. Jangan manfaatkan jabatan untuk menjebak rakyat kecil. Jangan gunakan jabatan untuk mengeruk keuntungan dari mereka yang kaum papa. Ingat kalau kita ini juga mulai semuanya dari bawah.”

“Ziap, Ibu!!”

“Wah, akhirnya ada juga anggota keluarga kita yang jalur hidupnya beres ya. Hihihi.”

“Diterima di kelompok lain kok malah bahagia.” Sang Bapak menggerutu. Dia melirik ke arah putra sulungnya, “Awas zaja kalau zampai berzeberangan dengan kami.”

Sang Ibu tersenyum, membuka topi flatcap sang suami dan mencium ubun-ubunnya. “Aku sudah sering bilang kan sayang? Aku cinta banget sama kamu. Tapi jangan pernah bikin anak kita minder. Dia kan baru bahagia. Kalau disuruh memilih anak atau Bapak, Ibu jelas pilih anak. Apa perlu Ibu kurangi jatah gorengannya supaya Bapak tidak ngomong yang aneh-aneh lagi?”

Sang suami langsung terdiam sambil memasang muka masam. Ia meninggalkan meja makan untuk mengambil nasi di dalam magic com. Sang Ibu mengedipkan mata pada si sulung kebanggaannya. Dia berbisik perlahan. “Jangan khawatir, Bapak pasti baik-baik saja dengan keputusanmu itu. dia pasti bangga juga sama kamu.”

“Zemoga zaja begitu.”

“Pasti. Ibu sudah kenal Bapak jauh lebih lama dari kamu. Hihihihi.”

Si Sulung melirik ke arah sang Bapak dan berbisik. “Apakah zejak jadi penyandang dizabilitaz, Bapak jadi cranky ya, Bu? Gampang naik darah?”

Sang ibu tersenyum dan menyisir rambut si sulung dengan tangannya. “Tidak. Kejadiannya jauh lebih menyedihkan daripada itu. Dia tidak pernah menyesali disabilitas yang sekarang disandangnya. Dia menyesal karena tidak dapat memenuhi janjinya pada seseorang. Itu yang membuatnya sering menggerutu dan kadang marah. Tapi bukan itu topik utamanya hari ini, topik utamanya adalah kamu. Percayalah sama Ibu kalau Ibu bilang sesungguhnya Bapak bangga sama kamu. Dia juga bahagia dengan hidupnya sekarang. Jadi jangan khawatir terlalu berlebihan. Makanlah dengan lahap seperti biasa.”

Si sulung melirik ke sang Bapak yang sedang menumpuk nasi di piringnya.

Ternyata memang ada seutas senyum di wajahnya yang penuh bekas luka.

Si sulung ikut tersenyum, lalu makan hidangan dari sang Ibu dengan lahap
. Si sulung tak akan pernah melupakan senyum itu. Senyum seorang laki-laki yang selalu menyayangi keluarganya lebih dari apapun. Lebih dari apapun.

Senyum sang Bapak
.





.::..::..::..::.







Be? Be? BEEEEE!

Bison Aji Pradana terkejut saat ada suara yang memanggilnya dengan nada tinggi. Pemuda yang sering dipanggil dengan nama panggilan Abe itu menengok ke samping dan mendapati wajah cantik seorang gadis berkerudung menatapnya dengan pandangan galak.

“Oe, Pak Bolot! Dipanggil-panggil kok ga nengok. Kuping apa handle pintu? Ngelamunin apa sih?” Amy menunjuk ke arah kantong sang pemuda. “Itu ponsel kamu sejak tadi bunyi terus. Mau diangkat atau nggak? Berisik tahu! Bisa-bisanya jalan sambil ngelamun sampai ga denger bunyi ponsel sendiri.”

Bison nyengir lebar sembari menatap suasana sekitar, beberapa orang tengah menatapnya. Ini memang bukan lokasi yang tepat untuk berisik, mereka sedang menyusuri koridor bandara yang cukup panjang. Mereka – karena selain Amy, Bison tidak sendiri.

Dia sedang dalam perjalanan dinas bersama tiga orang kawan lain. Selain Amy ada juga si Malih yang sedang mendengarkan musik dengan menggunakan headset wireless dan seorang lagi – seorang pria yang merupakan pemimpin mereka. Dia mengenakan kacamata hitam dan jaket berwarna coklat muda. Pria itu menunjuk ke arah kantong Abe.

“Tidak diangkat?”

Buru-buru Abe Bison mengambil ponsel dari dalam kantong dan memperhatikan layarnya.

“Weeeeeehhh? Kak Aira?”

Nama pemilik nomer yang tengah menghubunginya membuatnya surprise sekaligus terkejut. Tumben banget Kak Aira telpon. Ada apa ya gerangan? Yah, tapi kalau Kak Aira yang telpon, itu tandanya ada urusan penting – harus diangkat apapun urusannya. Pertama karena Kak Aira orang yang VIP, kedua karena cantiknya Kak Aira itu ga maen-maen. Kapan lagi Bison bisa ditelpon cewek secakep Aira?

Bison buru-buru menekan tombol hijau untuk menerima panggilannya, “Yahaloooo. Apa kabar, kakak cantik?”

Halo. Kabar baik, Be. Kamu sendiri gimana kabar?

“Baik-baik juga. Hahahaha. Wah tumben banget nih dikontak Kak Aira. Ada angin apa? Apa ada angin? Jadi meraza terzanjung, hahaha. Gimana, Kak? Apa ada yang biza zaya bantu?”

Be, aku butuh bantuanmu. Di mana kamu sekarang? Kalau tidak salah dengar kamu sedang dalam perjalanan ke Kota Seribu Sungai? Kamu sedang ada perjalanan dinas?

Bison mengerutkan kening, dari mana Kak Aira tahu? Kenapa informasi serahasia itu bisa didapatkan oleh pimpinan tertinggi Aliansi? Ada apa ya? Kenapa Kak Aira sampai menyelidiki keberadaannya? Suara Abe berubah menjadi lebih serius.

“Iya bener, Kak. Ini baru banget turun di bandara, zekarang mau jalan ke kota. Kami ada janji dengan tim di mabez setelah itu aku ada janji ketemuan sama Jano, Kak. Gimana, Kak? Zepertinya ada masalah?”

Ada.” Aira meneguk ludah. “Baiklah. Dengar baik-baik ya, Be. Aku mau kirim pesan ke Jano, aku pengen kamu memperingatkan dia. Ini pesan penting banget, Be. Karena sejak tadi aku tidak bisa menghubungi Jano, tapi aku akan terus berusaha menghubunginya. Entah apa yang sedang dia kerjakan. Peringatkan dia supaya bersiap-siap. Siapapun lawan yang kita hadapi sekarang, dia orang yang berbahaya, sangat berbahaya. Namanya Blackjack dan dia sudah menyewa rombongan mercenaries yang namanya Legion untuk menghabisi kami sekeluarga dari Trah Watulanang.”

Suara Aira yang tegang dan serius membuat Bison juga jadi ikut tegang.

“Leg… Legion, Kak? Kami datang ke zini memang mau memburunya, Kak. Orang yang Kakak zebut itu mungkin Grant Logan. Pentolan paling berbahaya dari Legion.” Bison mulai merasa tidak tenang. Kenapa ada orang yang menyewa tentara bayaran ini untuk memburu keluarga Kak Aira? Apa karena mereka sekarang berkuasa di Kota? “Aku akan memperingatkan Jano, Kak. Aku janji.”

Aku tidak bisa datang ke sana karena harus membereskan urusan di sini terlebih dulu, aku akan mengejar orang-orang Legion yang ada di sini dan menuntaskan mereka. Untuk yang di sana, aku titip urusan Jano padamu, Be. Aku percaya sama kamu.”

“Ziap, Kak. Kak Aira biza mengandalkan aku.”

Makasih, Be.”

“Zama-zama.”

Klk.

Amy mendapati wajah Bison tiba-tiba berubah menjadi serius setelah panggilan telepon itu. Siapa yang menelponnya? Apakah ada masalah serius? Gadis cantik berkerudung itu menggunakan siku tangannya untuk menyenggol Bison. “Ada masalah?”

“Mazalah kita zepertinya telah menjadi mazalah perzonal buatku.” Buru-buru Bison melangkah ke hadapan sang pimpinan. Abe memberikan hormat.

Sang pimpinan membalas hormatnya dan mengangguk.

“Ijin bicara, Kapten Rozan.”

“Ada apa? Kenapa formal?”

“Zaya minta ijin untuk menemui zalah zatu zahabat zaya zebelum ke markaz bezar. Kita janji datang ke mabez empat jam dari zekarang. Zaya zudah akan berada di zana zaat itu. Ada zatu mazalah bezar yang akan dia hadapi terkait dengan kazuz kita. Ditengarai kehadiran Grant Logan di kota ini zepertinya untuk mengejar zahabat zaya itu.”

Kapten Rozan dari Tim Garangan adalah seorang pria bertubuh gagah dan tegap. Pandangan matanya tajam dan serius. Rahangnya kotak, rambutnya cepak.

Kapten Rozan mulai membuka mulutnya, “Dalam kondisi normal, tidak akan aku ijinkan, Be. Kamu prajurit dan kamu ada tugas. Permintaanmu adalah hal yang absurd selama perjalanan dinas. Tugas itu nomor satu, urusan lain nomor berikutnya.”

Bison tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya, dia sungguh khawatir pada Jano.

“Tapi aku tahu siapa yang ingin kamu temui dan kalau itu semua ada hubungannya dengan Grant Logan maka aku beri ijin. Tepatnya aku anggap kamu belum sampai di lokasi. Pergilah. Kita bertemu di mabes di waktu yang telah ditetapkan. Jangan sampai terlambat.”

Bison mengangguk. Ia memberi hormat. “Siap Kapten.”

Amy dan Malih tersenyum saat Bison mengedipkan mata.

Pemuda itu berlari meninggalkan timnya untuk segera menemui Jano.





.::..::..::..::.





.:: 3.
SANG MONSTER




Pertarungan di tepi sungai itu membuat banyak orang berlarian untuk kabur. Mereka yang tadinya memancing dan berjualan di tepian sungai langsung lari tunggang langgang karena keributan yang terjadi. Bahkan preman pasar ikan dan penjaga parkir di depan pun kabur karena tahu siapa yang tengah membuat keributan. Ada yang menjadi pemburu dan ada yang sedang diburu.

Pemburunya? Aliansi. Yang diburu? Kelompok bayaran yang menamakan diri mereka Legion.

Aliansi sedang memburu Legion dan mereka akan memburu lawan sampai tertangkap. Mereka akan terus mengejar tanpa lelah dan tanpa kenal menyerah. Karena jika Aliansi menginginkan, maka harus didapatkan.

Saat ini Aliansi berhasil memojokkan tiga anggota Legion : Radhi, Sugeng, dan Febra.

Tapi para anggota Aliansi tidak memperhitungkan satu masalah besar. Amat-amat besar.

Awalnya Benji dan kawan-kawan berlari kencang menyusur tepian sungai sementara Radhi dan kedua kawannya terus berlari memanfaatkan kemampuan olah tubuh dan olah kanuragan mereka. Tapi sebanyak apapun orang yang mengejar ketiganya, para anggota Legion belum juga dapat terkejar. Kemampuan ketiga anggota mercenaries itu ternyata cukup lumayan.

“Berhenti! Berhenti!!” teriak satu orang anggota Aliansi yang kerepotan mengejar.

“Maling!! Maaaaliiing!!” teriak anggota yang lain supaya ketiga anggota Legion tidak berhasil kabur.

Tapi mereka berhadapan dengan tiga prajurit bayaran yang cukup cekatan dan sepertinya sudah cukup berpengalaman. Ketiganya tak bisa ditangkap semudah itu oleh anak-anak Aliansi yang pengalamannya masih skala lokal. Sampai akhirnya mereka sampai di ujung tepian sungai. Radhi, Sugeng, dan Febri terjebak. Melewati air? Airnya cukup deras. Agak berbahaya, tapi itu satu-satunya jalan untuk lari.

Apalagi di depan ketiga anggota Legion kini berdiri sosok yang tak disangka-sangka ada di sana. Dia akan menjadi pengubah kondisi.

Benji selaku kapten dari pasukan pemburu Aliansi meneguk ludah. Dia terpaksa menghentikan laju pasukannya meskipun buruan sudah di depan mata.

Kenapa harus dia yang ada di sini?

Di hadapan mereka kini berdiri seorang kakek-kakek berbadan raksasa dengan tubuh yang sama sekali tidak mencerminkan usianya. Dia kekar, besar, dan mengintimidasi. Rambutnya yang seluruhnya berwarna putih keperakan nampak mewah. Wajah dan kulitnya terbakar matahari. Pandangan matanya tajam bagaikan pandangan mata seekor harimau yang selalu mengincar mangsa.

Bagi mereka yang bertemu dengan orang ini dan melakukan kesalahan, maka pilihannya hanya dua, siap kabur meski percuma, atau pasrah untuk dilahapnya. Baik anggota Aliansi maupun Legion tahu siapa orang itu. Dia adalah legenda hidup yang namanya selalu berkibar dari tahun ke tahun. Sang monster, sang immortal, dia yang tak bisa dikalahkan, sang Dewa Iblis.

“Rahu Kala.”

Benji terengah-engah saat menyebutkan nama pria di hadapannya, keringatnya mengalir deras. Wajahnya ketakutan menatap sang brahmana bertubuh raksasa yang tadinya mungkin sedang memancing di sungai. Ketiga anggota Legion mendekat ke arah Rahu – merasa bahwa orang ini akan melindungi mereka. Toh mereka sama-sama anggota dari dunia hitam.

Tapi mereka sebenarnya tak pernah bisa menduga apa yang akan dilakukan sang Dewa Iblis. Dia adalah seorang loose cannon yang bertindak berdasarkan keinginan dan kemauannya sendiri.

“Kenapa kalian menggangguku?” Sang Brahmana Raksasa itu mendengus sambil menyeringai lebar. Senyumannya mengerikan. “Aku paling tidak suka diganggu sewaktu memancing. Ulah kalian yang berlari-lari di sungai membuat semua ikan kabur. Aku tidak suka kalau ikan-ikan kabur. Kalian tahu kan apa itu artinya kalau ikan-ikan kabur karena ulah kalian? Itu artinya kalian telah membuatku marah. Kenapa kalian membuatku marah?”

Rahu menampar pelan sebuah pohon yang berdiri kokoh di samping sungai, dengan satu sentuhan lembut, pohon itu ambruk ke samping dan jatuh dengan kerasnya, menimbulkan suara berdebam dan deburan air yang kencang. Rahu menyeringai bengis dan berjalan ke depan mendekati pasukan Aliansi sekaligus Legion.

“Kalian tidak akan suka kalau aku marah.”

Melihat Rahu, semua anggota Legion mulai menciut nyalinya. Mereka berpencar menghindari jalur sang Dewa Iblis. Orang ini tidak akan menolong mereka! Orang ini akan melahap siapa saja yang menghalangi jalannya!

Para anggota Aliansi juga bersiap. Sekali lagi, Rahu Kala adalah seorang loose cannon. Orang yang tidak bisa ditebak sifat, sikap, dan reaksinya terhadap sebuah situasi. Bisa saja dia kemudian melindungi para anggota Legion, tapi bisa juga mendadak dia akan membunuh mereka, celakanya… bisa jadi dia justru menyerang Aliansi. Dia akan melakukan apapun yang dia mau tanpa peduli konsekuensi dan gilanya, tidak akan ada yang bisa menghentikannya.

“Kalian telah membuatku marah.” Rahu tersenyum mengerikan lalu menundukkan kepala dengan mata tetap mengincar ke arah depan. Dengusannya terdengar seperti suara dengusan banteng yang sedang bersiap-siap menyerbu ke depan. “Kalian tidak akan suka kalau aku marah.”

Swssh.

Dengan satu gerakan cepat, Rahu sudah sampai di belakang salah satu anggota Legion – Radhi. Pria itu menolehkan kepala ke belakang dan menatap Rahu dengan sangat ketakutan, “Rahu yang agung. Kita sama-sama dari dunia hitam… kita jape methe. Merekalah yang mengejar dan membuat kami berlari kemari! Kalau mereka tidak mengejar, kami tidak akan sampai ke tempat ini. Jadi kami mohon bagi Rahu yang agung untuk…”

Jape methe ndasmu semplak! Apakah wajahku terlihat bagaikan wajah seseorang yang peduli?” Rahu menyeringai. “Aku hanya tahu satu hal dan itu adalah fakta yang terlihat di depan mata. Kedatangan kalian mengganggu ikan-ikan yang aku pancing. ”

“Rahu! Apakah nyawa lebih penting daripada ikan?”

Rahu memiringkan kepala dan menatap ke Radhi dengan tatap mata tajamnya. Ia tertawa. Radhi justru terbata-bata karena tahu ia baru saja salah bicara. “Ma-maksudku… aku… kami… maksud kami…”

Kedua kawan Radhi menatap Rahu dengan ngeri. Mereka berdua tahu apa resikonya salah ucap di hadapan Rahu Kala sang Dewa Iblis.

Radhi hampir kencing di celana menatap sang Brahmana Raksasa. Meski seorang mercenary yang sudah harus siap dengan segala macam resiko, Rahu adalah pembeda. “Rahu yang agung…”

Terlambat. Kesalahan ucapnya harus dibayar dengan mahal.

Rahu mencengkeram wajah Radhi tanpa bisa ditahan dan dihentikan oleh siapapun, ia menahan wajah pria itu dengan sangat kencang sampai-sampai ia tak bisa bernapas. Radhi meronta-ronta. Dengan satu gerakan ringan, Rahu memutar tubuh Radhi sehingga wajahnya menatap ke arah teman-temannya sementara Rahu mengunci leher sang anggota Legion itu dengan lengannya yang teramat besar dari belakang.

Hgkkkkkghhhh!” Bagaimanapun ia meronta, Radhi tak bisa melepaskan diri dari kuncian sang Dewa Iblis. Ia menatap kedua kawannya dengan memelas, “T-t-tolong…”

Sugeng dan Febri saling bertatapan. Bagaimana ini? Apakah mereka harus menyelamatkan Radhi? Tapi di sisi lain, ada anggota Aliansi yang juga terus mengejar mereka. Sementara Radhi terjebak oleh Rahu ada baiknya mereka melarikan diri!

“Ke sana!” Sugeng berteriak kencang. Febri paham.

Meski menunjuk ke satu arah, tapi sebenarnya itu kode supaya keduanya berpencar. Febri mengeluarkan satu barang dari tas cangklongnya. Sebuah benda berwarna gelap berbentuk bulat.

Booom!

Bom asap meledak.

Meski hanya sesaat, keduanya lenyap tanpa jejak. Meninggalkan Benji dan kawan-kawan Aliansi berhadapan dengan Rahu. Tak jauh dari sang Dewa Iblis berdiri, tubuh Radhi sudah terkulai tak bernyawa dengan kepala terputar sampai belakang.

“Bajingaaaan! Mereka kabur! Kejar merekaaaaa!” Benji kesal melihat buruannya lolos. Ia berteriak dengan kencang untuk memerintahkan pasukan. “Cari mere…hpppp!”

Mulut Benji ditutup oleh satu tangan raksasa.

“Aku bilang apa soal mengganggu ikan-ikan? Apa kamu harus dibunuh dulu supaya paham? Suaramu itu mengganggu!! Dibilang jangan teriak-teriak malah nekat! Sudah bosan hidup rupanya.” Rahu Kala menyeringai.

Benji membelalakkan mata. Yang begini dibilang mengganggu? Tadi dia sendiri yang menjatuhkan pohon ke sungai dan mengotorinya! Bagaimana sih orang ini? Logika semacam apa yang digunakan? Tapi Benji tahu apapun yang Rahu katakan, Rahu selalu benar. Apa mungkin mengkritik Rahu? Tidak ada yang berani dan tidak ada yang bisa.

Napas Benji mulai sesak. Ia tersengal-sengal karena tak bisa bernapas, suaranya tercekat sampai tenggorokan, tubuhnya mulai lemas. Ia meronta sejadi-jadinya tapi tak berhasil melepaskan diri dari kuncian sang Dewa Iblis. Anggota Aliansi lain kebingungan melihat situasi ini. Maju berarti mati tapi kalau diam saja Benji pasti bakal mati konyol seperti Radhi. Apa yang harus mereka lakukan?

“Tunggu apalagi kalian? Kita semua bersaudara! Aliansi harga mati!!” teriak salah satu anggota Aliansi yang geram melihat Benji disepelekan. Ya, dia bisa mati saat menentang Rahu, tapi kalau itu dilakukan demi seorang sahabat, dia rela melakukannya! “Majuuuuuuuu!!”

Benji terbelalak dan menggeleng kepala sebisanya. Tidak! Tidak! Tidak! Jangan maju! Jangan majuuuu!! Mereka tidak boleh maju dan mati konyol! Mereka pergi saja jauh-jauh! Pergi! Jangan bantu dia! Tidak apa-apa dia mati demi Aliansi! Tapi mereka tidak boleh mati! Pergi!!

“Hppphgkkkh…!!” Benji tak bisa mengeluarkan suara. Keringatnya mengalir deras. Dia khawatir sekali dengan anak buahnya. Air matanya tak terbendung. “Jgnnnnn.. mjj…!!”

Pasukan Aliansi terus saja maju.

“Berhenti.”

Saat itulah ada wangi semerbak menyertai semilir angin berhembus di antara pasukan Aliansi, menghentikan track mereka sebelum sampai di tempat Rahu.

“Kalian diam saja di tempat.”

Terdengar sebuah suara lembut menenangkan.

Suara itu berhasil menghentikan laju pasukan Aliansi. Wangi parfum yang harum tersebar menandakan kedatangan satu sosok penting. Anggota Aliansi pun bagai terbius oleh suara dan wangi itu. Mereka seakan tak bisa bergerak maju walapun ingin. Mereka seperti terhenti di tempat. Waktu seakan tak berdetak sementara dunia di sekeliling mereka masih terus bergerak.

Saat itulah dari atas mereka seorang gadis muncul dengan ilmu ringan tubuh papan atas.

Dia seperti mengendarai angin, bagaikan tidak mempedulikan gravitasi, dia terbang di atas seluruh anggota Aliansi yang tadinya berkumpul untuk menyerang Legion. Rambut panjangnya berkibar-kibar tertiup angin, syal yang dikenakan melambai ke belakang, wajah jelitanya membius setiap pria, namun kekuatan Ki-nya membuat ngeri siapapun yang bisa merasakannya. Wanita jelita itu bukan gadis yang biasa-biasa saja. Untuk kagum pun mereka segan, tapi kecantikannya memang luar biasa.

Dialah sang leading lady, la protagonista, sang prima donna, pimpinan tertinggi Aliansi.

Aira Harnanto telah hadir.

Benji menatap ke atas dan tak berkedip, antara terpana, terpesona, tapi juga ketakutan luar biasa. Dia takut membuat Aira harus berhadapan langsung dengan monster yang mengerikan ini.

Sang Dewa Iblis justru tersenyum puas melihat kehadiran sang gadis belia yang memiliki Ki out of this world itu. “Ilmu kanuragan yang mumpuni, Nduk. Luar biasa. Dengan tubuh seelok itu, dengan usia semuda itu. Kamu membuat orang tua seperti aku terkagum-kagum! Wahahahahah!! Bagus sekali!”

Aira mendarat di depan Rahu dan Benji dengan ringannya. Kakinya menapak di sebuah batu dan ia berdiri dengan jumawa. Gadis itu tersenyum, “Apa kabar Eyang Rahu? Sehatkah njenengan?”

“Heheheh. Kamu lagi, kamu lagi… Heheheh. Gadis edan anake wong edan. Apa maumu? Aku pikir kamu sudah tak lagi menetap di Jawa Dwipa. Dasar Dewi Iblis Kecil.”

“Seenaknya saja Eyang Rahu memberi julukan pada saya,” Aira tersenyum, ia menjura pada sang Brahmana Raksasa. “Maaf, Eyang. Tapi orang yang sedang Paman Rahu pegang itu adalah teman saya. Mohon maaf kalau kami khilaf dan mengganggu kegiatan Paman Rahu. Pasti tidak akan kami ulangi lagi. Kami melakukan ini karena mengejar penjahat-penjahat yang bertanggung jawab atas kematian salah seorang teman kami. Paman Rahu pasti juga setuju kalau balas dendam adalah solusi terbaik demi bakti kepada sahabat, serta supaya kejadian yang sama tidak terulang lagi. Jadi saya mohon dengan rendah hati, bebaskan teman kami.”

Sang Dewa Iblis tersenyum, “Demi apa aku harus menyerahkan orang ini padamu? Dia telah menghancurkan mood dan membuat ikan-ikanku tunggang langgang. Bukankah kematian lebih baik daripada hidup tapi percuma? Aku hanya membantu mereka mencari kedamaian. Manusia memang tidak tahu diri, selalu menganggap dirinya lebih tinggi daripada alam. Harus ada penyatuan diri dengan alam! Apa bapakmu tidak mengajarkan itu padamu, Nduk?”

Tangan Rahu bergerak, Benji makin tak bisa bernapas. Ia meronta-ronta dan merem-melek. Seluruh roh dan jiwanya bagaikan disedot keluar.

Aira tersenyum dan menjura, “Jika Eyang Rahu memaksa, maka saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mohon ijin untuk berlaku sembrono, Eyang Rahu.”

“Hahaha, berlaku sembrono? Apa yang kamu…”

Wujud hana tan keno kinira.” Aira tersenyum manis sembari mengedipkan mata pada Rahu, sang Dewa Iblis mengerutkan kening. Apa yang gadis muda ini rencanakan? Aira yang tadinya terdiam dan memancang kuda-kuda tiba-tiba saja merapal jurus berikutnya, “Kawulo namung sadermo…”

Swssssh.

Aira melaju ke depan dengan kecepatan tinggi, hampir tak terlihat oleh siapapun yang memiliki Ki rendah. Saat itu, mungkin hanya Rahu yang mampu melihat kecepatan sang dara jelita. Semua itu dapat dilakukan karena telah Aira merapal pembukaan gerbang kedua, gerbang kecepatan dari ilmu mumpuni warisan keluarga, Kidung Sandhyakala.

Gelombang pukulan kencang menyerang sang Dewa Iblis. Gadis kecil yang seperti tak berdaya itu ternyata mengirimkan badai pukulan yang luar biasa kencangnya. Gempuran tangan baja-nya mampu seimbang dengan pertahanan Rahu.

Dentuman demi dentuman terdengar bagai tabuhan petir di atas langit.

Dbmmm! Dbmmm! Dbmmmm!

Pertemuan antara kepalan pukulan sang dara dengan pertahanan sang Dewa Iblis membuat goncangan di sekitar kawasan sungai. Orang-orang Aliansi terpaksa mundur karena kedua orang yang seperti monster itu bertemu. Setiap kepalan Aira ditandingi oleh tameng lengan dari sang Dewa Iblis. Keduanya bergerak teramat cepat, bahkan mungkin setara.

Tapi ada perbedaan level.

Rahu mempertahankan diri dari serangan Aira, semua hanya dengan satu tangan saja. Satu tangannya masih mencekik Benji.

Rahu mundur selangkah demi selangkah, ia menerima serangan Aira dengan ringan tanpa mengeluarkan tenaga sedikit pun. Keringat pun tak menetes dari dahinya. Senyuman culas tersungging di bibirnya. “Sudah ini saja kemampuanmu, Dewi Iblis Kecil? Percuma saja dulu aku berikan kamu kawruh untuk mengembangkan kemampuan. Percuma dulu kita bertempur mati-matian di Puncak Gunung Menjulang kalau hanya seperti ini saja seranganmu. Kamu akan selalu kalah melawanku, gadis edan.”

Aira tersenyum sembari meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Gadis jelita itu mengedipkan mata.

“Heehh!?” Rahu baru menyadari kalau dirinya lengah sesaat.

“…mobah mosik kersaning Hyang Sukmo.”

Swwwsssh.

Tiba-tiba saja kecepatan Aira bertambah. Kakinya menapak dengan kecepatan tinggi ke tanah, kaki jenjang yang mungil itu melakukan gerakan memutar bak tornado yang berpindah-pindah dengan kecepatan tinggi. Ia mampu memutari Rahu dan mengirimkan sentakan pukulan demi pukulan ke seluruh bagian tubuhnya.

Dbmmm! Dbmmm! Dbmmmm!

Benji terbelalak.

Pukulan demi pukulan itu masuk! Tubuh Rahu oleng!

Seakan-akan serangan dari Aira berhasil mendarat di tubuh Rahu karena kecepatan gadis itu tidak bisa ditandingi oleh sang Dewa Iblis, tapi bukankah itu tidak mungkin? Satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah Rahu membiarkan Aira memukulnya.

Benji tidak dapat melihat apa yang terjadi. Ia mengkhawatirkan keselamatan Aira, karena seperti yang semua tahu, Rahu mungkin adalah satu-satunya petarung kelas A+++ yang tersisa di seluruh penjuru negeri. Jika dia sudah berkehendak, ada kemungkinan mereka semua yang saat ini ada di sini akan ditemukan sudah tanpa kepala bergelimpangan di pinggir sungai yang merah oleh darah.

Toh itu sudah pernah terjadi sebelumnya.

“Kamu tidak jera-jera juga ya?” Rahu terkekeh ringan. “Hehehe. Dewi Iblis Kecil. Bersiaplah. Aku keluarkan sebagian kekuatanku.”

Ka-blaaaaaaaaaaaaammnnnn!!

Semburan tenaga seluas hampir sepuluh meter menghempaskan apapun yang ada di sekitar tubuh sang Dewa Iblis. Para anggota Aliansi lari tunggang langgang menghindari gelombang tenaga yang menimbulkan goncangan hebat itu. Sebagian yang tak sempat lari terlontar, terbang, terhempas, terguling, dan tercebur ke dalam sungai.

Benji pingsan di tangan Rahu.

Rahu terkekeh lagi. “Kalian semua tidak akan…”

“Sudah? Begitu saja sebagian tenaga-nya seorang Rahu Kala?”

Rahu melotot! Dia menengok ke belakang.

Aira sedang duduk dengan santai sembari bertolak pinggang di atas sebuah batu. Seperti tak kurang suatu apa. Matanya menatap tajam ke arah sang Dewa Iblis yang masih terkekeh-kekeh. Pria mengerikan itu terlihat puas dengan kemampuan Aira. Gadis itu kembali mengedipkan mata, “Njenengan pikir hanya njenengan yang bisa mengurangi tenaga?”

Rahu tertawa terbahak-bahak. “Naaaaah!! Nah ini baru menarik!! Dewi Iblis Kecil! Pinter kowe, Nduk!!

Aira membuka tangannya, melukis di udara membentuk lingkaran. Tiba-tiba saja ada sentakan angin kencang yang keluar dari lingkaran itu! Angin yang sangat-sangat kencang!!

Bmmmmfffhhhhhhh!!

Rahu terhantam serangan angin itu dan jatuh terguling ke belakang! Untuk pertama kalinya! Rahu terjatuh!

Benji terlepas dari tangan sang Dewa Iblis. Aira segera terbang untuk mendekat ke arah Benji. Dengan satu sentakan lembut disertai tenaga angin, tubuh Benji dikirim ke arah rekan-rekan Aliansi yang lain yang masih berdiri. Mereka pun segera membawa Benji pergi.

“Sudah? Kamu sudah tenang sekarang? Bocah itu sudah kamu selamatkan?” Rahu menyeringai. “Aku jatuh karena terpeleset tanah yang licin. Memalukan sekali. Tapi ya sudahlah, apa yang akan kita harapkan kalau sedang berhadapan dengan gadis mungil paling beruntung sedunia.”

Aira tertawa, sesaat kemudian wajah gadis itu berubah menjadi serius. “Eyang Rahu! Urusan kita sepertinya tidak perlu dilanjutkan. Teman saya sudah bebas berkat murah hatinya Eyang. Saya juga masih harus mengejar orang-orang busuk itu. Kita cukupkan sekian dulu ya, Eyang.”

“Enak saja.” Rahu Kala tertawa, “Tiga pukulan! Kita adu tiga pukulan! Kalau kamu berhasil membuatku jatuh terduduk, aku akan menyerah kalah dan membiarkan kalian semua pergi. Tapi kalau sebaliknya aku bisa membuatmu terjatuh, maka aku akan menggunduli rambutmu. Bagaimana? Seru kan taruhannya?”

“Agak tidak imbang ya, Eyang?” Aira tahu dia tidak bisa main-main lagi. Dia tahu di sebalik taruhan absurd itu sebenarnya Rahu hanya ingin menjajal kemampuannya. “Baiklah.”

Gadis itu meneguk ludah. Bisakah dia menang melawan Rahu Kala? Selama ini Aira tidak pernah berhasil melakukannya, bahkan saat ini pun dia tidak yakin bisa mengalahkan sang Dewa Iblis. Perbedaan level mereka berdua sangat kentara. Aira masih butuh berlatih beberapa tahun lagi.

“Aku mulai dulu!!” Rahu terbang ke depan, tangannya ditekuk dan ditarik ke belakang sampai pinggang. Sosoknya yang raksasa terlihat mengerikan di udara, bagaikan pesawat Hercules mengarungi langit. Rahu tak lama melayang di udara, tiba-tiba saja dia menukik turun ke arah Aira. “Kuasa Dewa Iblis!

Aira bersiap. “Kalis ing rubeda. Nir ing sambikala.”

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaammmm!!

Dua kekuatan besar bertemu. Tubuh Aira terhentak mundur hampir sepuluh meter jaraknya dari posisi semula. Kakinya mengeruk pasir tepian sungai hingga ke dalam seiring jalur ke belakang. Beruntung Aira berhasil mengaktifkan gerbang pertahanan saat pukulan dahsyat dari Rahu Kala dilontarkan. Gadis itu tak akan selamat jika saja gerbang itu tak aktif. Tangan yang disilangkan Aira sebagai perisai di depan wajah terasa linu dan memar.

Rahu tersenyum dan mendarat dengan anggun di atas tanah. Setelah benturan dengan Aira, ia terbang kembali dan melompat ke belakang. Pukulan pertamanya gagal. Tapi tak mengapa. Ia sudah bisa meraba seberapa besar kekuatan lawannya.

Di mata Rahu, Aira memang mengagumkan, tapi dia punya satu kelemahan yang sangat kentara. Secara fisik, Aira bukanlah petarung. Gadis itu tidak punya tulang yang kokoh dan badan yang kekar, tubuhnya langsing bahkan bisa dibilang kurus. Dengan fisik yang seperti itu, maka bisa dipastikan Aira pasti hanya mengandalkan Ki-nya saja saat bertarung. Secara raw power, Rahu jauh lebih unggul.

Aira memutar lengannya yang nyeri, menghunjukkan kedua tangannya ke depan, dan menatap ke arah Rahu Kala dengan serius. Wajahnya berubah sedikit memerah, karena sedang berusaha mengumpulkan energi Ki. “Giliranku sekarang! Lir handaya paseban jati!!

Booom!!

Satu hentakan tenaga dahsyat meluncur dari telapak tangan Aira menuju ke arah Rahu Kala. Sentakan jarak jauh yang hebat itu coba dihadang Rahu menggunakan satu telapak tangannya. Tapi ia terkejut ketika ternyata luncuran tenaga itu sangat-sangat kuat!! Ia terdorong!!

“Hrrrkghhhhh!!” Rahu menggeram.

Sang Dewa Iblis terpaksa menggunakan kedua tangannya untuk bertahan. Tapi tetap saja tubuhnya seperti didorong hingga lima meter ke belakang oleh sentakan ki jarak jauh dari Aira. Satu kakinya bahkan sampai tertekuk dan ia hampir jatuh berlutut di hadapan sang dara jelita. Tentu saja serangan itu tidak berarti besar bagi Rahu, tapi cukup menciderai egonya. “Kurang ajar! Dasar Dewi Iblis Kecil!!”

Serangan usai, Aira mengatur napas. Pertahanan dan serangan yang dilakukannya secara simultan memakan tenaga dalam yang cukup banyak. Ketika gadis itu menatap ke depan, ia melihat Rahu tengah menatapnya marah. Serangan kecilnya telah membuat sang Dewa Iblis kesal.

Rahu Kala berteriak kencang untuk menyalurkan kekesalannya, “Hrrrrghaaaaaaaaaaaaaa!!”

Hembusan tenaga menyebar sekali lagi, kali ini jaraknya bahkan lebih jauh. Pasukan Aliansi yang masih menjaga Aira dari kejauhan kembali berjatuhan. Rahu pasti sedang meningkatkan Ki yang ia aktifkan. Hal ini sebagai pertanda kalau ia semakin menganggap serius kemampuan Aira.

Sang Dewa Iblis mendengus-dengus bagaikan banteng. Ia menjejakkan satu kaki ke tanah sebagai tumpuan, lalu melesat ke depan dengan kecepatan tinggi. Ada percikan energi meletup-letup dari kedua tangan Rahu, percikan tenaga bagaikan kilat yang menyambar-nyambar. Kekuatan besar terbaca dari serangan yang bagaikan mesin main-battle tank dipacu dengan kecepatan tinggi.

“Bersiaplah Dewi Iblis Kecil! Pukulan kedua!” Rahu meloncat sembari melakukan putaran badan hampir 180 derajat berulang-ulang kali untuk membentuk pusaran. Sesuatu yang ada di luar bayangan manusia biasa. Ada kilatan-kilatan Ki menyala pada pusaran yang ia lakukan. Ini adalah sebuah serangan dahsyat yang terfokus pada lawan.

Aira bersiap dengan segala konsekuensi. Pertahanan apa yang harus dia lakukan?

Pusaran terkuak, Rahu meloncat keluar dari dalamnya. Satu gempuran pukulan menyeruak keluar. “Kuasa Dewa Iblis! Penghakiman Neraka!

Aira bersiap. Ki-nya dinyalakan lebih tinggi dari sebelumnya. Gerbang pertahanan kembali dibuka. “Kalis ing rubeda. Nir ing sambikala.”

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaammmm!!

Pasir membadai membentuk tornado kecil yang menangkup tubuh Rahu dan Aira. Tidak ada yang dapat melihat hasil dari pukulan sang Dewa Iblis pada sang pemimpin Aliansi. Semua yang menyaksikan bertanya-tanya. Pasukan Aliansi mengkhawatirkan Aira yang terjebak dalam pusaran tornado kecil pekat berkabut itu. Percikan-percikan Ki yang membentuk kilat menimbulkan bunyi memekakkan telinga – bahkan bagi mereka yang tak mampu melihat dan merasakan Ki tetap dapat melihat badai pasir dan mendengar suara kencang itu.

Lalu tanpa tanda-tanda apapun, badai angin itu terkuak dan terpecah, Aira membelah tornado kecil dan menundukkannya. Angin pun tenang kembali. Wajah gadis itu mulai berubah, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya kotor oleh pasir yang bercampur keringat. Ada sobek-sobek di jaket hitam dan celana jeans yang ia kenakan.

Di depan Aira, Rahu Kala bersidekap sambil tersenyum – bersih tak kurang suatu apa. Meski pukulannya gagal menerjang Aira, tapi gadis itu jelas hampir terkena sesuatu yang mengerikan. Terbukti dari hancurnya batu raksasa yang sebelumnya Ia gunakan untuk duduk.

Sambil sedikit terengah-engah Aira menyiapkan diri. ia berlari ke depan, memantulkan diri ke atas, memutar badan, dan menarik angin yang masih tersisa dari badai yang baru saja ia hempaskan. Badai itu terbentuk kembali, kali ini dimulai di tangan sang dara jelita. Targetnya, Rahu Kala.

Pukulan Gada Angin,” desis Aira.

Gabungan angin yang dikumpulkan Aira disatukan dengan dahsyatnya Ki yang terkumpul pada kepalan tangannya. Rahu Kala tahu, tangan itu bukan tangan mungil biasa. Tangan itu adalah tangan seorang monster. Sang Dewa Iblis menggemeretakkan giginya. Ini tidak akan berakhir manis.

Jbooooooooooooooooooooooooooooom!!

Hantaman Aira diterima oleh sang Dewa Iblis secara langsung. Tangannya disilangkan di atas wajah. Kepalan Aira mendesak Rahu untuk terus turun, dan turun, dan turun, dan turun. Meski tanah yang dipijak amblas, tapi kaki Brahmana Raksasa itu tetap kokoh bertahan, enggan untuk terjatuh. Desakan Aira terus menerus dilakukan, tiap kali mendesak Rahu, Ki yang dihempaskan oleh sang dara jelita makin menguat.

Aira berteriak kencang, “Heaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrghhhh!!”

Jbooooooooooooooooooooooooooooom!!

Pukulan Aira makin mendera sang Dewa Iblis, tanah yang ia pijak runtuh membentuk bulatan raksasa yang retak dan membanjir. Seperti ada tenaga yang terhempas melewati sang Bahmana Raksasa. Tapi Rahu tetap kokoh meski kali ini wajahnya pun berubah. Ia sedikit lebih berkeringat dan berulang kali menggemeretakkan gigi. Mungkin tidak ada yang percaya hari itu bahwa ada seorang gadis muda yang mampu mendesak Rahu Kala, tapi mereka semua menyaksikannya.

Rahu terdesak. Makin lama dia makin turun!! Kakinya mulai bergetar hebat! Dia akan jatuh!!

“Kuraang ajaaar!!” Rahu marah, dia tidak sudi dikalahkan oleh seorang gadis kecil. Tenaga dalamnya ditingkatkan dan difokuskan pada lengan yang menahan pukulan Aira. “Kurang ajaaaaaaaaaaaaaarrr!!!”

Tanah tempat Rahu berpijak makin lama makin amblas. Brahmana Raksasa itu memaksakan kakinya untuk naik dan memilih tempat berpijak yang lebih kokoh. Rahu menarik lengannya sedikit, lalu melontarkannya ke atas! Tepat ke wajah sang dewi jelita. Tapi Aira juga sudah siap dan menunggu-nunggu, ia juga melontarkan pukulan kencang berselimut Ki. Pada pukulan Aira, desisnya terdengar seperti raungan binatang buas – seakan-akan seperti raungan seekor naga.

Jurus ini… bukankah… Rahu terbelalak, tapi ia tak punya waktu banyak.

Pukulan mereka bertemu.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaammmm!!

Tubuh Aira terlempar ke belakang. Rahu Kala pun sama, dia juga terseret ke belakang. Ada bercak darah di jemari sang Dewa Iblis, tangannya terluka. Aira menapakkan kaki ke tanah dengan lembut. Rahu Kala kokoh bertahan setelah mundur sampai lima meter. Dua-duanya masih sanggup berdiri dengan gagah.

Aira berkacak pinggang dan mengedipkan mata pada sang Dewa Iblis.

Rahu terkekeh sembari terengah-engah.

Pasukan Aliansi bersorak-sorai melihat pimpinan mereka berhasil bertahan dari gempuran demi gempuran sang Dewa Iblis bahkan bisa menyudutkannya. Mereka mengelu-elukan nama Aira. Aira mendengus, orang-orang itu tidak tahu saja tubuhnya berasa remuk semua dan tulang-tulangnya terasa copot. Ia berusaha mengatur napasnya seefektif mungkin. Tangan dan kakinya sebenarnya sudah bergetar. Satu pukulan dahsyat lagi Aira pasti akan roboh, untungnya hanya adu tiga pukulan saja.

Rahu mengangguk dan mengangkat jempol.

“Luar biasa, Nduk Cah Ayu. Kemampuanmu meningkat pesat dibandingkan dulu saat kamu masih seperti lembek seperti lempung gulali. Aku tidak mengira kamu akan bertahan sampai pukulan ketiga.” Rahu bertepuk tangan dan menyeringai. “Baiklah, hari ini aku anggap aku kalah karena dari tiga pukulan kita seakan-akan seimbang. Karena kalah, maka aku akan pergi dari sini. Beruntung Aliansi memiilki pimpinan sepertimu.”

“Terima kasih, Eyang.”

Dewi Iblis Kecil! Berlatihlah terus! Aku tunggu pertemuan kita berikutnya!! Kalau kamu datang lagi ke kota, aku akan mencarimu!!”

Boooom!

Rahu Kala melesat pergi dengan sangat cepat sampai-sampai Aira pun tak dapat melihat. Begitu monster itu pergi, suasana kembali terkendali. Pasukan Aliansi bersiap-siap untuk mengejar kedua anggota Legion yang terlepas meski tentu saja kini mereka sudah sangat jauh kabur entah kemana.

Aira sendiri akhirnya duduk kelelahan di atas sebuah batu. Gadis itu menyelaraskan napasnya yang terengah-engah ketika Rahu sudah tak terlihat. Dia tadi tidak melakukan hal ini karena tidak ingin terlihat lemah di hadapan sang Dewa Iblis. Melawan Rahu itu russian roulette, untung-untungan. Kalau saja tadi sang Dewa Iblis sedang tidak enak hati, Aira bisa mati terbunuh hari ini.

“Mbak Aira!” seorang anggota pasukan Aliansi datang ke Aira membawa sebotol minuman air putih kemasan. “Silakan diminum, Mbak. Beristirahatlah. Kami yang akan mengejar kedua buruan.”

“Terima kasih.” Aira tersenyum dan mengangguk. Ia mengambil botol air minum yang disediakan oleh sang anak buah, membuka tutupnya, dan segera menenggaknya. Hampir setengah botol habis dalam sekali tegukan.

Saat itulah terdengar suara orang memanggil-manggilnya.

“Kak Airaaaa!”

“Kakaaaaak!”

Aira menoleh ke samping – ke arah hutan dan pepohonan lebat di seberang sungai. Dari sana muncul dua orang muda, masing-masing membawa Sugeng dan Febri. Kedua anggota Legion itu sudah pingsan dan tak berdaya. Ternyata meskipun mereka berdua berhasil lolos dari Rahu dan kejaran Pasukan Aliansi, mereka tidak lolos dari kedua orang yang telah berjaga di hutan sebelah.

Kedua orang muda itu melambai-lambaikan tangannya ke arah Aira.

Dua orang dengan wajah yang teramat mirip yang tanpa susah payah berhasil menundukkan dua orang anggota Legion yang tadi melarikan diri. Mereka berdua bukanlah orang asing. Mereka berdua sangat dekat di hati Aira. Hatinya menjadi hangat saat melihat wajah kedua orang itu.

Si Kembar.

Aira berdiri, Ia tertawa dan membalas lambaian tangan mereka.

Untunglah ada mereka berdua.

Sebenarnya Ia sudah lelah sekali.

Aira kembali terduduk di atas batu sembari menunggu kedatangan si Kembar menemuinya. Gadis itu melirik ke arah jauh, ke arah batu raksasa yang kini sudah hancur lebur oleh tangan Rahu Kala… sungguh seorang monster yang seakan-akan lahir di universe yang berbeda. Dia seperti bukan manusia.

Entah kapan Aira bisa menandingi kemampuannya. Untuk saat ini, level mereka berdua masih jauh berbeda. Dia masih belum sanggup membuat Rahu bertekuk lutut. Bahkan di usianya yang sekarang sang monster itu malah justru nampak semakin muda dan semakin mengerikan. Julukan Dewa Iblis benar-benar layak disematkan kepadanya.

Sosok yang mengagumkan. Tua tua keladi, makin tua makin jadi. Hari ini Aira beruntung bisa bertahan, entah jika kelak mereka bertemu kembali.

Aira memijat lengannya yang masih saja kesemutan.

“Hkkghh!”

Aira terbatuk, ia buru-buru mengambil tissue dari dalam kantong jaket. Tissue itu digunakan untuk menyapu sesuatu yang keluar dari bibirnya. Ada darah di sana. Ini pasti gara-gara lonjakan tenaga dalamnya terlalu dipaksakan tadi.

Salah satu titik kelemahan sekaligus gerbang paling berbahaya dari Kidung Sandhyakala adalah gerbang pertahanan. Gerbang yang sangat menguras Ki. Banyaknya energi yang harus dikeluarkan kadang justru menjadi senjata makan tuan. Khusus mengenai hal itu sang Papa dulu sudah pernah memperingatkannya. Dari semua anak-anak Papa, mungkin hanya ada satu orang saja yang bisa secara efektif menggunakan gerbang pertahanan – dan itu bukan Aira.

Aira punya tenaga dalam yang teramat besar dan mengagumkan, tapi kemampuan menangani tenaga dalamnya masih kurang jika dibandingkan dengan legenda seperti sang Dewa Iblis. Aira tahu harus lebih banyak berlatih lagi untuk mencapai level yang setara dengan Rahu. Dia juga harus menguasai ilmu pertahanan dengan sempurna.

Kelak Aira pasti bisa mengalahkan Rahu Kala. Pasti. Suatu saat kelak.

Yang penting ancaman Legion di sisi kota sudah bisa mereka hentikan. Hanya tinggal menunggu hasil di pulau seberang. Dia tak akan bisa mencegat sang pimpinan Legion, harus sang adik yang melakukannya, dan Aira percaya kalau adiknya itu mampu melakukannya.

Aira menatap langit.

Berdoa dan berharap.

Jano… kalau aku bisa, kamu pun pasti bisa.




GAROU - VENGEANCE IS MINE A SELESAI.
BERSAMBUNG KE GAROU - VENGEANCE IS MINE B
 
GAROU
VENGEANCE IS MINE B


.:: 4.
SANG SAHABAT




Jano memeluk Abe dengan hangat. “Ga nyangka kita bisa ketemuan di sini, Be.”

Yez, brother.” Abe menepuk-nepuk punggung Jano. “Kita zelalu merindukanmu di rumah. Zepi ga ada kamu, bro. Mama kiri zalam, Papa tahu zendirilah, mezki keliatan cuek tapi benernya dia juga perhatian. Nangiz zewaktu aku tinggal.”

Jano tertawa. “Syaaaa. Ini lho ada Abe.”

Syahnaz pun berjalan memasuki ruang tengah, ia mengenakan summer dress rumahan sederhana yang menambah aura kecantikannya padahal Sya tidak mengenakan make up berlebih. Wajah Abe memerah melihat kecantikan Sya, tapi ia lebih sumringah karena istri sahabatnya itu membawa nampan berisikan cemilan dan teh hangat dengan aroma khas Kota Seribu Sungai.

“Waini. Cucok! Makazih Mbak Zya! Wah jadi ngrepotin ini. Yang zering-zering zaja ya. Hahaha.” Wajah Abe berbunga-bunga. Sejak kecil memang si Abe ini doyan makan, mungkin itu salah satu sebab kenapa tubuh Abe tumbuh kembangnya melebihi teman-temannya yang lain. Tidak tepat disebut gendut karena dia membesar, bukan membuncit. Itulah sebabnya di sekolah dulu Abe sering masuk tim basket, karena tinggi dan posturnya yang mengintimidasi.

Sembari menyantap cemilan yang dihidangkan oleh Sya, Abe mulai bercakap-cakap dengan Jano dan sang istri. “Eh, denger-denger Mbak Zya, katanya zudah izi ya? Hohoho tidak zabar lagi, Paman Abe Bizon ingin zegera menggendong zi jagoan cilik.”

Sya mengangguk dan tersenyum, “Baru beberapa bulan kok. Baru menggelembung segini – tapi sudah kelihatan gede ya perutnya. Doakan semua lancar-lancar ya, Be.”

“Paztinya! Pengen tahu zeperti apa pewariz tahta berikutnya dari Kidung Zandhyakala!”

Tahu masalah sang suami cukup serius, Sya memilih untuk masuk ke kamar dan beristirahat.

“Sori merepotkanmu, Dab, seperti biasa telponku mati dan tak bisa dihubungi siapapun.” ujar Jano sembari menepuk pundak sang sahabat. “Tapi tadi aku sudah mendengar kabar dari Jihan yang kontak ke Sya, lalu aku sudah telpon juga dengan Kak Aira. Intinya ada kelompok prajurit bayaran yang sedang menarget semua keturunan Trah Watulanang.”

“Betul. Jadi kamu zudah paham kan mazalahnya?”

“Sudah. Kelompok ini namanya Legion, pimpinannya bernama Grant Logan dan dia sedang berada di kota ini. Kemungkinan besar mereka datang karena mengincarku. Benar begitu?”

“Betul. Tapi tidak hanya itu zaja zebenarnya. Legion ini terlibat banyak zekali kazuz. Bahkan kedatangan tim Garangan kemari untuk mengejar Grant Logan pun zebenarnya karena mazalah lain. Diketahui mereka juga menjalankan bizniz ilegal di kota kita maupun di kota ini ataz perintah dari benefaktor lain, jadi alazan kami untuk menangkap pentolan Legion zebenarnya bukan karena dirimu,” Abe menjelaskan dengan sedikit berbisik supaya Sya tidak dapat mendengarnya, walaupun saat ini Sya sudah berada di ruangan lain. “Antara kaget tidak kaget zewaktu Kak Aira bilang orang ini mengincar keluarga Watulanang. Biza dipahami karena zaat ini keluarga kalian jadi keluarga utama di kota kita, pazti banyak yang mengincar kalian. Zalah zatunya ya melalui jalur menyewa mercenariez zeperti ini. Kacau memang.”

“Si kembar harus benar-benar waspada sekarang. Kondisi kota sepertinya akan kembali penuh masalah,” Jano menghela napas. “Dengan Kak Aira yang tidak bisa full berada di kota dan aku yang sudah tidak mungkin pulang, Aliansi berada di tangan mereka – dan tentunya si Bungsu. Mereka bertiga yang harus benar-benar kuat sekarang.”

“Kamu sudah ketemu si Bungsu?”

“Sudah, sewaktu kemarin aku pulang ke kota aku sudah bertemu dengannya. Setelah bertahun-tahun tinggal di kota aku baru tahu kalau ada dia. Kalau saja dia dan keluarga tidak kembali ke kota kita, aku tidak akan tahu kalau aku punya adik satu lagi. Tahu sendiri lah, bapakku kan memang… yah begitulah…”

Abe tertawa.

“Jadi begitulah mazalahnya. Nah zekarang… ini tawaranku…”

Jano tersenyum, “Sudah kuduga kamu akan melakukan ini, Dab.”

Abe kembali tertawa, “Kamu azet yang tidak tergantikan, brother. Demi kamu, akan kudaki zamudera dan kuzeberangi pegunungan.”

“Kebalik.”

“Ya pokoknya itulah.”

“Apa yang akan kamu tawarkan?”

“Grant Logan menginginkanmu, kami menginginkan dia, kamu biza membantu kami mendapatkannya.” Abe tersenyum, “Zecara umum, ada bajingan yang mendarat di kota ini dan akan mengacaukannya. Aku raza ini zaatnya kita kembali menggabungkan kekuatan zeperti di maza-maza lalu. Bagaimana menurutmu?”

Avengers Assemble.”

Abe Bison dan Jano melakukan fist bump.





.::..::..::..::.





.:: LIMA
SANG PEMBAWA PETAKA




Grant Logan tersenyum saat beragam piring dihidangkan di depan wajahnya. Aroma wangi masakan khas Kota Seribu Sungai yang gurih dan sedap membuat perutnya menggeliat. Di samping pria kulit putih bertubuh besar itu, tiga pengawalnya juga mendapatkan hidangan yang sama.

Pria bule itu segera makan dengan lahap. Semua jenis hidangan tandas dia makan.

Great food. Selalu menyukai makanan di sini.” Pria berambut blonde yang sering dipanggil dengan nama belakangnya – Logan, itu mengambil sendok dan garpu. Sepertinya sang expatriate sudah sangat fasih berbahasa. Tidak ada yang janggal dan awkward dari lafal dan aksennya. “Ikan di sini? One of the best.”

“Oh, sudah pernah kesini juga sebelumnya? Ke kedai makan ini maksudnya, kalau ke kota ini pasti sudah sangat sering.” Orang di depan Logan menanggapi dengan mengambil alat makan yang sama. Dia juga menikmati makanan sedap di depan mereka dengan lahap.

“Sudah sangat sering kemari. Selalu jadi tempat yang jadi favorite saya kalau datang ke kota ini. This Ketupat Pengandang thing is really-really tasty.” Sembari menyapukan tissue ke bibirnya, Logan melirik ke arah sang lawan bicara yang ada di depannya, wajah Logan yang tersenyum misterius terlihat sangat bule dengan bintik-bintik merah di wajah. “Tapi that’s not the reason why we are both here right now, kan? Itu bukan alasan kenapa you mengajak makan di sini, kan?”

“Tentu saja bukan.” Orang di depan Logan terlihat sangat tenang. Ia mengambil secarik kertas dari dalam saku bajunya. Kertas itu kemudian dilebarkan dan dibuka di depan Logan. “Saya tahu Anda sedang dalam perjalanan bisnis ke kota ini.”

“Bisnis. Heheh.”

“Seperti biasa bukan? Memanen bocah dan remaja di kota-kota kecil, dimasukin ke kontainer, lalu disortir ke dalam beberapa klaster dan klasifikasi. Yang menarik dijadikan prostitusi, yang balita dipajang di katalog underground untuk target adopsi, yang kurang menarik dikirim untuk dipotong-potong sesuai kebutuhan organ dan berbagai komoditi. Saya dengar ada juga yang dikirim untuk video snuff ke negeri-negeri tetangga, dan ada yang dikirim untuk komoditi deep web. Kalian memang luar biasa, bisa membaca pasar dan terjun ke bisnis yang menarik yang tidak semua orang mampu melakukannya. Semua itu dilakukan dengan menghindari kejaran polisi.”

Logan tersenyum dan melanjutkan menyantap hidangannya, “Jujur saya tidak pernah menganggap pekerjaan saya sebagai sesuatu yang luar biasa. It’s not something awesome. Pada intinya saya hanyalah seorang pebisnis. Saya mengerjakan apa yang menghasilkan uang, dan yang lebih penting lagi saya mengerjakan apa yang diminta sesuai kontrak. Saya tidak pernah mengerjakan apapun berdasarkan keinginan saya sendiri. Tidak pernah. Never. Semua adalah permintaan klien. Tidak ada something personal. Selama ada peminat, di situ saya terima syarat.”

“Tapi Legion gagal memenuhi permintaan kami.”

“Gagal? Jangan bercanda. Kami tidak pernah gagal. Batas waktunya belum selesai. Due date masih jauh dari apa yang tertera pada kontrak. Kami selalu meminta batas waktu yang lebar. Kami juga punya asuransi kegagalan pengerjaan kontrak. Jadi yah, tidak perlu jauh-jauh datang kemari untuk bertemu dan memperingatkan saya, karena Legion pasti akan melakukan apa yang diminta. Legion always do.”

“Anggota-anggota kalian ditangkap di Kota – oleh tim Garangan.”

Logan mengangkat bahu, “Tidak masalah. Mereka tidak akan menyebutkan nama kalian di depan pihak yang berwajib kalau itu yang kalian takutkan. Karena jika sampai mereka kedapatan menyebutkan nama klien di depan penyidik, seluruh keluarga mereka akan dibantai.”

“Ya… ya… saya juga sudah pernah dengar kasus satu keluarga yang disekap sampai mati di kamar mandi itu. Mereka dibunuh karena sang ayah membuka rahasia mengenai Legion. Begitu juga dengan ayah dan anak yang mati di dalam mobil.” Orang di depan Logan mencibir, “tapi ditangkapnya anggota-anggota kalian menunjukkan seberapa tidak kredibelnya kalian dalam menyelesaikan tugas. Bukan begitu?”

Logan tertawa sampai-sampai kuah Ketupat Pengandang yang mirip opor itu muncrat-muncrat dari mulutnya. “Jangan mengira Legion akan terhenti setelah anak buah saya atau bahkan saya tertangkap. Jangan meremehkan kami. Kami bekerja siang malam tanpa henti demi memenuhi target kontrak. Kami tak peduli harus membunuh tua muda, bayi dewasa, laki perempuan. Kami bukan seperti yang nampak di permukaan. Kami adalah kesatuan.”

Logan memberi tanda pada bodyguard-nya dengan membentuk jarinya seperti lingkaran. Sang bodyguard mengeluarkan sekantong kelereng susu dan meletakkannya di depan Logan.

Marbles. Simple but strong. Benda remeh ini akan berada di TKP yang you inginkan.” Logan menunjuk ke arah kantong itu, “Tertangkap atau mati tidak akan menghentikan kami. Kenapa? Karena kami punya jargon : Legion always do. Kami akan menyelesaikan pekerjaan kami sesulit apapun itu. Kami tidak mengenal anda, anda tidak mengenal kami, saya bahkan tidak tahu siapa nama Anda, dan tidak perlu. Anda tidak perlu percaya pada kami secara verbal, karena kami akan membuktikannya lewat aksi. Trah Watulanang yang dipesan akan dibasmi sesuai kontrak.”

Orang di depan Logan tersenyum.

Grant Logan pun berdiri. Makanannya sudah habis. “Sudah saatnya kita berangkat. Kami sudah memantau orang bernama Janoko itu selama berhari-hari, dia tidak akan lolos.”

Orang di depan Logan mengangguk. “Saya akan ikut dari belakang.”

“Silakan saja. Berdasarkan pengamatan, di sekitar jam segini, Janoko akan melewati Jalan Lingkar Dalam Selatan untuk menghindari kemacetan di tengah kota. Itu jalan yang cukup sepi. Kami akan mencegatnya di tengah jalan.”

Orang di depan Logan mengambil sebuah barang yang ada di dalam tas, barang tersebut berwarna gelap. Ia mengenakannya tanpa takut-takut karena kedai tempat mereka berada saat itu sedang sepi. Klien Logan mengenakan sebuah topeng Klana berwarna hitam, Ia juga kemudian meletakkan kartu nama di atas meja.

“Anda bilang tadi tidak mengenal saya. Kalau ingin hubungan kita baik, mari berkenalan,” ujarnya.

Sebuah kartu nama hitam dengan angka 21 berwarna emas.

Blackjack?” Logan mengerutkan kening saat mengambil kartu nama itu. “Jadi Anda-lah sang Blackjack?”

Si Topeng Klana Hitam terkekeh.

Grant Logan mengangguk-angguk saat akhirnya mengenali siapa sosok yang sejak tadi sebenarnya tidak dia kenal ini. “Awalnya Saya pikir Anda hanyalah messenger biasa saja. Heheheh. Tak menyangka akan berjumpa dengan seorang legenda hidup, masih muda tapi sudah punya nama besar. Salam kenal, wahai Blackjack.”

At your service.” Pria bertopeng Klana Hitam menganggukkan kepala. “Aku akan membayar hidangan kali ini. Terima kasih atas kerjasamanya. Pastikan di tanggal deadline semua urusan kita sudah bisa dirampungkan. Untuk saat ini, aku ingin melihat kalian menuntaskan kontrak.”

“Tidak masalah. Terima kasih traktir makannya, jangan lupa melepas topeng Anda kalau jalan ke kasir. Mereka pasti bakal kaget berjumpa dengan orang aneh yang kemana-mana memakai topeng Jawa.” Logan tertawa dan meninggalkan sang pria bertopeng Klana Hitam yang hanya menimpalinya dengan helaan napas.

Logan dan ketiga bodyguard-nya berjalan keluar dari kedai makan dan masuk ke sebuah mobil. Tak lama setelah mereka, sang Blackjack dan rombongannya juga melakukan hal yang sama. Mereka masuk ke mobil yang berada di belakang mobil Logan.

Kedua mobil itu pun segera berjalan beriringan menyusuri jalanan panjang yang membentang dan disebut dengan nama Jalan Lingkar Dalam Selatan. Jalan lingkar ini bukan jalan biasa, melainkan jalan melingkar yang sangat sepi. Di kiri kanan jalan tidak banyak rumah penduduk ataupun toko. Benar-benar hanya kebun dan padang ilalang kering.

Baru sekitar dua puluh menit perjalanan, kedua mobil itu terhenti. Ada barisan mobil berjajar memenuhi jalan utama sementara di kanan kiri mereka tergelar ladang kering penuh semak beluar.

Mobil Logan berhenti di tengah jalan, demikian pula mobil sang Blackjack. Barisan mobil SUV warna hitam di tengah jalan yang berada di depan menghalangi laju mobil mereka. Di belakang, mobil-mobil lain yang ada di belakang tiba-tiba saja menutup akses mobil milik Logan dan Blackjack. Menyadari mereka tidak bisa kemana-mana, Logan bahu menepuk supirnya untuk mematikan mesin mobil. Di depan dan di belakang mereka, sosok-sosok penghadang keluar dari dalam mobil.

“Siapa?” tanya Logan.

“Mereka polisi, Bos.”

“Polisi kota ini?”

“Sepertinya. Tapi saya mengenal orang yang berdiri paling kiri. Itu Kapten Rozan dari Tim Garangan. Mereka berlibur agak terlalu jauh kalau sampai ke sini.”

Logan mendengus. Ia lalu menyeringai dan menganggukkan kepala. Sepertinya tidak ada jalan lain lagi bukan? “Baiklah kalau begitu. Mereka mencari neraka, kita berikan saja neraka.”

“Apa perintahnya, Bos?” Tiga orang bodyguard Logan menatap sang Bos.

“Apa lagi? Sudah jelas kan?” Logan menyeringai, “Turun – dan bunuh mereka semua.”

Pintu mobil dibuka.





.::..::..::..::.





.:: ENAM
SANG PEMIMPIN




Di satu sisi ada Abe, Kapten Rozan, Amy, Malih, dan Jano. Di sisi lain – ada Grant Logan dan kawanannya. Pemburu melawan yang diburu, orang yang dicari-cari tim Garangan sampai harus menyeberang ke negeri seberang, akhirnya kini bersua. Pria asing bertubuh raksasa itu sama sekali tidak gentar saat berhadapan dengan Kapten Rozan, ia bahkan terus menerus menyeringai tanpa dosa. Seakan-akan hari ini dia sedang melakukan permainan yang amat digemari.

Di sebelah Kapten Rozan dan pasukannya berdiri sudah berjajar pasukan khusus Kota Seribu Sungai dan satuan khusus dari Bandaranyar untuk membantu membekuk pasukan bayaran yang sudah sangat sering menimbulkan keresahan di masyarakat.

“Aku akan menghadapi Grant Logan secara frontal sementara Abe Bison dan Malih menyelesaikan ketiga kawanannya. Amy akan memberikan support seperti biasanya. Pasukan yang lain akan menghadapi mobil yang di belakang.” Kapten Rozan kemudian melirik ke arah Jano, “dan kamu… kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau asal tidak menghalangi kinerja tim kami. Jangan bikin situasi jadi kacau, kalau terjadi hal yang berbahaya menyingkirlah dan biarkan kami menanganinya dengan kemampuan kami.”

Jano hanya tersenyum.

Kapten Rozan melangkah ke depan Grant Logan. Kedua sosok bertubuh perkasa itu saling berhadapan. Kapten Rozan tidak melepas kacamata hitamnya, tapi ia menatap tajam ke mata sang lawan.

Schieeeet. Ya’ looks just like a lazy Indian police officer in a steroid,” ejek Grant. “What’ca gonna do, Captain Midget? Step on my toes? Kalian bahkan tidak punya bukti apapun untuk menangkapku. Kalaupun ada bukti, kalian tetap tidak akan mampu menangkapku. Heheh. Coba saja kalau berani.

“Grant Logan! Bajingan bermata biru. Memang bedebah sampeyan, suka sekali merepotkan kami sampai-sampai harus kami jemput ke lain pulau. Dengan ini kami minta Anda ikut dengan kami untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan Anda dan Legion di mabes Tim Garangan,” Kapten Rozan mendengus – dia tidak tersenyum sama sekali menanggapi semua receh dari Logan, “Sudah saatnya kamu dibekuk dan dijebloskan ke penjara.”

Logan geleng-geleng kepala sembari menunjuk-nunjuk ke arah Kapten Rozan dan pasukannya, “Apa ini? Bisa-bisanya kamu berusaha menjebloskanku ke penjara tanpa pengadilan? Menuduhku tanpa bukti? Mengancamku secara sepihak? Melampaui yurisdiksi!? Ini bahkan bukan wilayah tim Garangan!! Begini yang dinamakan pihak yang berwajib yang akan menuntut keadilan? Keadilan macam apa yang dimiliki negara busuk ini? Orang-orang seperti aku ditangkap di jalan! Dijebak! Out of nowhere! Aku juga tidak mendapatkan kesempatan untuk membela diri dan langsung dituduh melakukan kejahatan yang tidak dilakukan!”

“Jangan banyak bacot! Bedebah! Kamu juga punya kewarganegaraan di sini! Kamu terikat dengan hukum di negara ini!” maki Malih yang lantas berdiri di samping Kapten Rozan. Tangan Kapten Rozan bergerak mencegah dan menahan Malih sebelum ia berlaku seenaknya terhadap Logan sebelum perintah diturunkan.

“Kita bisa melakukan ini baik-baik atau dengan tidak baik. Semua terserah padamu, aku begini adanya.” Kapten Rozan menyeringai.

“Kalian…!!”

Belum sampai Logan menyelesaikan kalimatnya, Jano melangkah ke depan. “Namaku Jano dan aku adalah salah satu alasanmu datang ke Kota Seribu Sungai. Aku di sini sekarang, tepat di depan hidungmu. Kamu tidak perlu jauh-jauh mencari karena targetmu ada di depan mata.”

Logan terbelalak dan tertawa terbahak-bahak. “Mencarimu!!?? Tuduhan apalagi ini? I don’t even friggin’ know ya!! Ya piece of schieeet!! Bagaimana mungkin aku mencarimu!? Aku bahkan tidak mengenalmu!! Tidak ada urusan denganmu!!”

Well now you do,” sanggah Jano, “Kalian dari Legion telah menyakiti keluarga Trah Watulanang dan aku tidak ada niat untuk mengampuni. Kalian akan hancur hari ini.”

“Menyakiti keluarga… tuduhan bohong!! Aku tidak kenal mereka! Berjumpa saja tidak pernah!”

Jano melirik ke mobil belakang. Tidak ada yang turun dari mobil kedua rombongan Logan. Tapi kaca jendela diturunkan dan ia melihat sesuatu yang tak terbayangkan. Di dalam mobil kedua itu… ada seseorang mengenakan Topeng Klana Hitam!!

Topeng Klana Hitam!! Itu tidak mungkin kebetulan!! Keluarganya pernah bermasalah dengan seorang lawan yang mengenakan Topeng Klana Merah!!

Jano segera melesat ke depan dengan sangat cepat. Ia terbang dan mengudara dalam satu loncatan tinggi, begitu tingginya bahkan sampai melewati Grant Logan dan kawanannya. Tapi saat ia berada di atas Logan, pria bermata biru itu meloncat ke atas tegak lurus dan mencengkeram kerah baju Jano!!

Hanya dengan satu tangan, Logan memutar tubuh Jano di udara, dan menghempaskannya ke bawah!

Jano terkejut! Dia sama sekali tidak siap dengan kecepatan, ketangguhan, dan kekuatan Logan! Sang serigala tidak mengira Logan akan sehebat ini. Jano segera menyilangkan tangan di atas kepala, berharap pendaratannya tidak akan sakit. “Kalis ing rubeda, nir ing sambikala.”

Jbooooooooooommmmmhhhhh!!

Haaaaaarghhh! Meski sudah membuka gerbang pertahanan, tetap saja rasa sakit itu tidak lantas nihil, tetap saja membuat Jano jadi pusing dan bocor kepalanya! Darah mengucur dari ubun-ubunnya sang Serigala. Saat Jano berusaha berdiri, tubuhnya oleng. Ia merasa pusing tujuh keliling dan kehilangan orientasi, tiba-tiba Logan meluncurkan serangan bertubi-tubi ke badannya!

Jbkkghh! Jbkkghh! Jbkkghh! Jbkkghh! Jbkkghh!

“Janoooooooo!!” Abe Bison yang khawatir sudah siap maju ke depan, tapi tangan Kapten Rozan menahannya.

Lima hantaman masuk ke dada Jano yang lengah, ia tersengal-sengal ke belakang, tidak menduga Logan selain besar juga cekatan dan sangat cepat. Logan melesakkan satu tendangan yang teramat kencang dan Jano pun terlempar ke belakang!

Jbkkkkkghhhhhh!!

Tubuhnya berputar-putar ke ladang semak kering.

Kapten Rozan mendengus kesal melihat Jano sudah maju sendiri tanpa aba-aba. Dia bisa saja mengacaukan seluruh rencana. Kini saatnya meringkus bedebah ini hidup-hidup! Tangannya mengayun ke depan. “TANGKAP HIDUP-HIDUP!!”

Bentrok tak bisa dihindari.

Pasukan gabungan kebingungan, kenapa tidak menggunakan senjata saja untuk menangkap Logan? Bukankah bisa memaksanya berlutut dan memborgolnya di bawah ancaman senjata api? Bukankah begitu saja bisa?

Tidak. Kapten Rozan ingin menangkap Logan dengan tangannya sendiri. Menggunakan senjata bukan cara mereka.

Malih, Amy, dan Abe Bison masing-masing berhadapan dengan satu bodyguard Logan, sementara sang bule dihadapi langsung oleh Kapten Rozan. Mobil di belakang masih tetap diam tak bergerak – si Topeng Klana Hitam tak berminat dengan upaya Tim Garangan meringkus Logan, pandangannya tertuju ke arah semak-semak tempat Jano tadi terhempas.

“Mencariku?”

Sang Topeng Klana Hitam terkejut!! Jano ternyata berada di atas mobil mereka!!

Blackjack membuka pintu dan keluar dari mobil dengan santai. Dua orang lain mengikutinya. Si Topeng Klana Hitam bertepuk tangan sembari menatap Jano. “Luar biasa, luar biasa. Anda memang hebat sekali. Tak kusangka terhempas ke semak-semak adalah pengalihan saja. Pertunjukan ini membuktikan kehebatan keluarga dari Trah Watulanang.”

Jano tak ingin terpancing.

“Aku tidak tahu siapa kamu, dari mana kamu berasal, dan apa urusanmu dengan keluarga Trah Watulanang. Tapi aku yakin sekali bahwa kamu yang menyewa si Bule dongo itu dan kawanannya.” Jano menggemeretakkan gigi, “Apa yang kamu inginkan dari kami? Kenapa keluarga kami?”

“Kenapa tidak?” sang Topeng Klana Hitam kembali bertepuk tangan, tapi kali ini seperti memberi kode pada kedua rekannya.

Saat itulah ada tangan besar melayang hendak menyambar Jano.

Sang Serigala mengelak, dia menundukkan badan ke belakang seperti kayang. Tangan kanan besar yang menyerangnya menyambar ruang hampa. Mengetahui lawan saat ini terbang di atasnya, Jano bertindak, menjejak ke atas dengan lutut. Tapi lagi-lagi satu tangan menahan serangannya. Lutut Jano dikunci dan diputar. Seandainya dia diam saja, Jano akan kehilangan satu kaki.

Kedua tangan Jano berputar di dada. “Lir handaya paseban jati.”

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaammm!!!


Tubuh sang penyerang terbang ke atas ketika sentakan tenaga dalam dieksekusi Jano dari jarak dekat. Begitu hebatnya sentakan tenaga sang Serigala sampai-sampai baju sang penyerang terkoyak berbentuk lingkaran, darah muncrat keluar dari mulutnya. Jano cepat-cepat menghindar turun dari atas mobil. Orang yang terbang terjatuh dan terhempas ke kap mobil.

Jblmmmmmmmmm!!

Satu orang datang dan langsung menghujani Jano dengan tendangan. Kiri, kanan, atas, bawah, kanan, kiri, bawah, atas. Tangan Jano bergerak bagaikan octopus bertentakel delapan, menghadang setiap serangan dengan telapak tangan. Basic wing chun. Jano terus menyerang tanpa takut.

Sampai kemudian serangan itu berhenti tiba-tiba.

“Sudah? Begitu saja?” Jano menyeringai, “Giliranku.”

Jano berlari ke depan dan melakukan serangan berkecepatan tinggi. Tubuhnya seakan-akan terbagi menjadi delapan yang semuanya melakukan serangan secara bersamaan, kedelapannya mengirimkan tinju maut! Itu adalah jurus Dahagi Delapan Serigala! Jano memadukannya dengan Kidung Sandhyakala.

Angkara gung ing angga anggung gumulung!

Jblmmhhkkkgh! Jblmmhhkkkgh! Jblmmhhkkkgh! Jblmmhhkkkgh!

Jblmmhhkkkgh! Jblmmhhkkkgh! Jblmmhhkkkgh! Jblmmhhkkkgh!


Sang penyerang tidak punya kesempatan. Duet jurus andalan Jano yang merupakan hasil penggabungan membuat tubuh sang lawan tersengal-sengal dan tidak mampu bertahan, Ia langsung ambruk tak berdaya hilang kesadaran.

Di lain tempat, pasukan gabungan Tim Garangan, Malih, Amy, dan Abi Bison juga sudah berhasil menundukkan ketiga lawan-lawannya. Para pengawal Logan tak berdaya dikeroyok banyak orang. Mereka segera diantisipasi dengan mudah.

Hanya tinggal Tim Garangan versus Grant Logan sekarang. Untuk menghadapi pentolan Legion itu pasukan gabungan tak boleh maju atas perintah Kapten Rozan. Dia khawatir jika pasukannya berhadapan langsung dengan Logan yang garang maka akan memakan korban.

Hanya tinggal Logan?

Jano mengejapkan mata.

Tunggu sebentar… di mana bedebah yang satu lagi? Di mana si Topeng Klana Hitam? Jano dan yang lain tak dapat menemukannya. Tiba-tiba saja orang itu lenyap tanpa jejak!! Sialan! Ilmu kanuragan macam apa yang dimiliki orang itu sehingga sejumlah pasukan gabungan ditambah tim Garangan dan Jano tak dapat mendeteksi kepergiannya? Kemana dia pergi? Bagaimana dia bisa pergi? Ke belantara semak belukar sejauh mata memandang ini?

Bangsat itu tidak boleh lolos! Dia harus berhasil membekuknya dan bertanya kenapa dia mengincar keluarga Trah Watulanang!

Jano terdiam, berkonsentrasi, memejamkan mata, dan berusaha membuka gerbang kedelapan. Dengan gerbang ini dia bisa melihat dan membaca aura Ki yang bertebaran. Termasuk milik si bedebah Topeng Klana Hitam seandainya dimungkinkan. Jano mulai membaca rapalan, “Weruh ro…”

“Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Jeritan Amy membuat Jano terkejut! Rapalan dan konsentrasinya buyar.

Ketika membuka mata ia lebih terkejut lagi. Sebagian besar pasukan gabungan sudah tumbang! Apa-apaan ini!?

Grant Logan ternyata bukan lawan kelas teri, dikeroyok pun dia masih bisa bertahan. Bukan… bukan bertahan, Logan malah berhasil membalikkan keadaan. Padahal hanya tinggal dia sendiri yang tersisa dari Legion. Dengan tangan kosong, Logan menundukkan satu persatu pengeroyoknya dan menyisakan Kapten Rozan, Abe Bison, Amy, Malih, dan segelintir pasukan gabungan.

Amy dalam bahaya.

Posisinya berada di bawah sang bule, kakinya terangkat ke atas, pergelangan kakinya dicengkeram oleh sang lawan, dan terus menerus diangkat. Posisi tubuh gadis mungil itu kini tidak menguntungkan. Dia bergelantungan terbalik. Kaki di kepala, kepala di kaki. Logan bisa membunuh gadis itu dengan satu gerakan.

Logan tertawa sembari menatap Kapten Rozan. “Well? Masih berniat menangkapku? Mau mengorbankan anak buahmu, he? Ya’ freakin’ fookface.”

Kapten Rozan, Malih, Abe Bison, dan pasukannya tertahan tak bergerak, perhatian mereka fokus pada gerakan Logan dan Amy. Mereka tidak mungkin menyerang karena nyawa Amy taruhannya. Logan tertawa terbahak-bahak melihat rencananya berhasil. Dia menyeret Amy secara terbalik ke arah sebuah mobil. Logan melirik ke dalam dan melihat kunci masih terpasang di tempatnya.

“Lepaskan senjata kalian dan lemparkan ke arah semak-semak,” perintah Logan pada pasukan gabungan yang masih memegang senjata. “THROW IT!!

Pasukan itu saling berpandangan dan menatap ke arah Kapten Rozan. Sang Kapten mengangguk. Pasukan gabungan pun menurut. Mereka melemparkan senjata api mereka ke semak-semak, tapi lantas mengepung sang bule.

“Mau bagaimanapun kamu tidak akan bisa lolos, Grant Logan. Saat kamu masuk ke mobil itu, kami akan menyergapmu,” ancam Kapten Rozan. “Tidak ada skenario apik apapun yang menyebutkan bahwa kamu bisa lolos dari kami – dengan atau tanpa senjata.”

Abe Bison fokus ke belakang Logan. Ada pergerakan bayangan di sana. Dia tersenyum.

Logan yang melihat sekilas perubahan wajah Abe mengernyitkan dahi. Kenapa si bongsor itu tersenyum? Dia pasti melihat sesuatu yang tak nampak olehnya. Pria bule itu melirik ke arah spion mobil. Benar saja. Di atas kap mobil ada seseorang!

Angkara gung ing angga agung gumulung.”

Bleeeedaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!

Tubuh Grant Logan terbang dengan satu hantaman di wajahnya, tepat telak di samping, meremukkan rahang. Pria sadis itu bahkan tak sempat memperhatikan dengan pasti siapa yang telah melontarkan pukulan. Tubuhnya berputar-putar bak gasing liar.

Pegangan eratnya pada Amy pun terlepas. Gadis itu terlempar namun tak jatuh. Karena ada satu tangan kokoh menopangnya. Amy sempat menutup mata karena dia mengira bahwa itu akhir hidupnya. Tapi satu pertanyaan lembut membuatnya tersadar.

“Kamu tidak apa-apa?”

Saat Amy membuka mata, dia aman di tangan Jano. “Ti-tidak apa-apa. Terima kasih.”

Jano mengangguk dan membantu Amy berdiri kembali. Kini tim Garangan sudah kembali lengkap. Grant Logan yang terjerembab ke tanah juga sudah berdiri dengan wajah penuh amarah. “Young man, ya’ have such a nerve. Ya’ piece of schieet! Get ready fer sumthin’ shockin. Bersiaplah karena yang berikut ini akan mengantarkanmu ke neraka.”

Karepmu.” Ledek Jano. Dia mengayunkan jari-jemarinya ke dalam, mengundang Grant Logan ke arahnya.

Sang bule maju dengan amarah. Bagaikan binatang buas yang terluka dia meradang dan menyerang. Sebelumnya dia sanggup menaklukkan banyak orang seorang diri, tentu saja itu kemampuan yang bukan main-main.

Dari gerak-geriknya, Jano langsung tahu kalau Logan adalah petarung bertipe boxer. Pertarungan keduanya tak terelakkan. Gempuran Logan yang rahangnya terluka sungguh bagai binatang buas. Dia menyerbu tanpa ampun dengan maksud untuk menghancurkan Jano. Setiap pukulannya bertenaga, Jano menghindar ke arah mobil. Punggungnya berbenturan dengan sisi-sisi mobil sang bule.

Saat Logan memukul, saat itu pula mobilnya penyok, karena Jano selalu menghindar. Semakin lama, Logan semakin geram karena dia tak kunjung bisa menghantam sang lawan. Bule itu marah-marah. “Diam dulu kenapaaaa!?”

Jano mengedipkan mata. “Kalau aku diam. Kamu akan kalah. Mau dicoba?”

Jano pun terdiam di tempat tak bergerak, memancing kemarahan lawan.

“Bangsaaaaaaaaaaaaa…!!”

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Rangkaian pukulan meledak dari Jano, setiap hentakan tangannya masuk ke tubuh Logan. Dagunya, dadanya, pundaknya, rusuknya, bahunya, rahangnya, wajahnya. Semua tersambar sentakan tangan sang ksatria muda.

Logan tersengal-sengal, dia tak mengira Jano akan menyerangnya dengan kecepatan tinggi. Tubuhnya yang terdesak mundur ke belakang setiap hentakan. Untung saja kakinya mampu menapak dengan kokoh sehingga dia tak kunjung roboh.

Dari hidung pria bule itu mengucur darah. Logan menghapus darahnya dengan punggung tangan. Wajahnya kian memerah karena amarah. “This is not funny. THIS IS NOT FUNNY!!

Tapi dia tak menduga kalau selanjutnya telapak tangan Jano justru menghajar wajahnya berulang-ulang kali dan membuat darahnya kian tak beraturan.

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Kali ini Logan roboh, tapi masih mampu menopang dengan kaki kanan kokoh sementara kaki kiri tertekuk.

“Hraaaaaaaaaaaaaarrghhhhhhh!!!!”

Jboooooooooooooogkkkhkkkkk!!

Satu loncatan dari samping. Pukulan kencang dilontarkan. Pukulan mentah tanpa diselubungi Ki. Meski tanpa tenaga dalam, kekuatan dan kencangnya pukulan di wajah sang bule membuat kaki kanan Logan tertekuk. Tubuhnya jatuh bersimpuh.

Sang penyerang mendarat di samping Jano – Abe Bison.

Logan menggemeretakkan gigi. “Kalian memang harus mati hari ini…!!”

Ada tenaga dalam menyala dari tubuh sang bule. Tenaga yang tak disangka-sangka ternyata dimilikinya. Jano dan Abe saling berpandangan. Bagaimana mungkin seorang berkulit putih memiliki tenaga dalam yang cukup besar? Ternyata dia juga punya ilmu kanuragan? Pantas saja tadi dia berhasil merobohkan banyak orang!

Logan berancang-ancang untuk berdiri sementara Jano dan Abe Bison bersiap dengan kuda-kuda masing-masing. Ada tenaga seekor binatang buas terasa dari sosok Logan – itu yang diwaspadai oleh Jano dan sahabatnya. Orang ini pasti punya sesuatu yang mumpuni. Tidak mungkin dia bisa menjadi pimpinan lapangan Legion jika tidak punya sesuatu.

“Kamu sudah kalah.”

Logan terbelalak! Dia menoleh ke samping dan di sana sudah berdiri Kapten Rozan!! Tangan sang Kapten terhunjuk ke depan dengan telapak tangan terbuka lebar tepat di pelipisnya. Ada tenaga Ki yang besar di telapak tangan sang Kapten. Logan tahu dia tak punya kesempatan untuk mengelak.

Son of a b…”

Hfah.”

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!

Wajah Logan terpapar serangan sentakan Ki jarak dekat dari Kapten Rozan. Kali ini dia tak mungkin menahannya dan tak bisa bertahan. Tubuhnya akhirnya roboh ke tanah dengan berdebam. Ada asap di sisi wajah yang memerah seperti gosong.

Napas Logan tersengal-sengal. Ia sudah tak bisa lagi melawan. “Hrrrh… hrrrhhh… hrrrhh…”

“Ringkus dia!” perintah Sang Kapten.

Tangan Logan dipelintir ke belakang oleh Malih dan Amy, lalu dikunci dengan borgol.

“Heheh… hrrh… hrrhh… kalian pikir dengan mengalahkanku kalian akan menghentikan aksi kami? Heheheh… bodohnya orang-orang seperti kalian ini. Kalian naif dan tidak pernah berpikir menggunakan logika, kalian tak mampu melihat dengan pandangan yang luas. Kalian terjebak dalam sempitnya pemahaman yang tidak bisa diajak maju. Jangankan di negeri ini. Kami sudah bergerak secara sistematis di lokasi-lokasi yang strategis di seluruh penjuru dunia. Saat aku jatuh – yang lain akan menggantikan,” Grant Logan menyeringai meski tubuhnya sudah sangat lemah, ia bahkan tak bisa berdiri. Darah mengucur dari sela-sela bibirnya. “Kami akan selalu hadir. Legion always do.”

Logan melirik ke arah Jano dan mengedipkan mata. Sesaat kemudian ada bayangan menutup wajahnya. Ada sosok yang berdiri di depannya. Sosok yang tengah mengangkat kakinya. Logan mendengus. Sang Kapten berdiri di hadapannya, siap memberikan tanggapan.

“We are Legion, for we are many,” desis Logan.

“Satu kata saja,” desis Kapten Rozan. “Bacot.”

Jboooooooooookghhhhh!!

Bagian bawah sepatu boot sang Kapten menginjak wajah Grant Logan. Bule itu akhirnya pingsan.

Malih dan Amy menarik napas lega. Mereka melakukan tos.

Abe yang terengah-engah berdiri dengan tegap di samping Jano. Keduanya saling bertatapan, Abe mengangguk dan menepuk pundak sang sahabat. Mereka sudah berhasil, mereka telah meringkus gembong prajurit bayaran kelas kakap.

“Cukup. Zudah cukup.” Abe tersenyum.

Jano mengangguk.

Ia menengadah untuk menatap langit terang. Hari ini terasa begitu indah. Indah ketika semua masalah telah berhasil diselesaikan dengan sempurna.

Selesai sudah tugasnya.

Jano tersenyum.

Aku berhasil, Kak.





.::..::..::..::.





.:: TUJUH
SANG TAMU






Bison Aji Pradana melangkah perlahan menuju ke pintu depan bandara. Dari tempat parkir mobil ke pintu depan bandara harus melewati jalur jalan kaki yang cukup panjang. Untung saja barang bawaannya tidak terlampau banyak. Ia hanya membawa satu kardus tambahan sebagai oleh-oleh untuk orang-orang di kampung halaman.

Seperti biasa, Abe datang jauh lebih awal dari jadwal seharusnya, sehingga kali ini pun dia berjalan dengan santai tanpa takut akan ketinggalan pesawat. Semua sudah diperhitungkan dan sesuai rencana awal.

Apalagi dia tidak sendiri.

Kapten Rozan, Amy, dan Malih sudah ada di dalam. Hanya tinggal dia yang terakhir datang karena memang mereka berempat semalam tidak menginap di tempat yang sama.

Di sampingnya, Abe ditemani oleh Jano yang mengantarkannya sampai bandara. Lokasi bandara di Kota Seribu Sungai ini memang cukup jauh dari pusat kota – kurang lebih dua puluh lima kilometer. Kalau dari waktu tempuh, mungkin ada sekitar empat puluh lima menit atau satu jam perjalanan jika jalanan padat. Kalau pakai taksi online pasti biayanya melejit tinggi, jadi Abe meminta tolong pada Jano untuk mengantarkannya.

“Tidak kuzangka ternyata kita akhirnya bisa reunian, Brother. Mezki reuniannya dalam kondizi zeperti ini.” Abe tersenyum dan menepuk pundak sang sahabat. “Zeperti anak zeperti bapak. Heheheh. Biza banget kita dapat mazalah zeperti ini kayak Bapak-Bapak kita dulu. Mungkin zeperti ini ya razanya zewaktu mereka dulu nongkrong bareng. Ada aja mazalahnya.”

“Hahaha. Jadi gimana? Kapok datang ke sini gak, Be?”

“Mana ada kapok? Juztru zeru zekali razanya karena biza mengerahkan kemampuan yang zudah dipelajari zejak lama, atau dengan kata lain… zelama biza getok kepala orang, pazti azyik. Hahahaha. Di kota kita zemua aman karena zi Kembar menjadi penjaga baik – tidak lagi biza praktek gebuk kepala orang dengan bebaz. Hahaha.” Bison tersenyum lebar, “Omong-omong zoal kota kita… lain kali kalau pulang – kunjungilah aku di rumah. Oke? Ziapa tahu kita juga akan berpetualang lagi. Ibu juga pazti akan zenang kalau kamu datang. Pazti bakal dibikinin kue atau gorengan. Hahahaha.”

“Hahhaha, wueeenaaak itu. Aku selalu suka masakannya Tante. Siap, Be. Kapan-kapan ya. Sudah lama juga tidak sowan ke Tante. Akan aku ajak Syahnaz dan si kecil ke sana nanti kalau sudah lahir dan agak besar.”

Abe menghela napas. Dia menatap Jano dengan pandangan mata serius. “Orang-orang ini… mereka mazih belum habiz, Bro. Berhati-hatilah. Negeri di Awan bukanlah kelompok geng ecek-ecek kelaz teri dituang di ataz nazi bazi. Jaringan mereka luaz, kelaz nazional atau bahkan internazional. Bukan lagi wilayah kota. Mereka punya kemampuan untuk menyebar zampai ke sini, itu artinya mereka memiliki kekuatan lintaz wilayah. NDA juga punya jendral lapangan mizteriuz yang kita lihat itu… zi Klana Hitam berjuluk Blackjack. Dia legendaris di NDA. Aku mazih penazaran ziapa dia zebenarnya.”

“Aku juga penasaran, Be. Bukan sosok yang biasa-biasa saja. Tubuhnya berperawakan gagah, pandangan mata tajam, dan yang lebih mencolok lagi… dia memakai topeng Klana berwarna hitam. Kamu tahu sendiri bagaimana ngerinya cerita Bapak-Bapak kita dulu perihal sosok yang menggunakan topeng Klana Merah. Pembantaian-pembantaian yang terjadi…”

“Kenapa juga orang mizteriuz itu pakai topeng Klana ya? Apakah dia zebenarnya zozok yang terkenal di publik? Menyebalkan uruzan ini. Mazih banyak yang belum terungkap. Zeperti mizalnya kenapa zi Klana Hitam tidak membantu Logan? Kalau mereka berazal dari kelompok yang zama, kenapa tidak menolongnya? Itu zaja zudah aneh menurutku.”

“Persis, aku yakin masih banyak hal yang tidak kita ketahui tentang orang-orang ini, Be. Kamu hati-hati saja. Entah kenapa perasaanku tidak enak sewaktu melihat ke arah si Klana Hitam. Ada perasaan yang unik. Kayaknya dia mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui. Kan kampret.”

“Aku akan menyelidiki ziapa dia. Kalau memang dia ada hubungan dengan NDA, pazti akan ada datanya. Nanti aku kabari perkembangan lebih lanjut. Orang zeperti dia biazanya berbahaya. Paztikan kabarkan ke aku juga kalau kamu bertemu dengannya lagi.”

Bison membenahi tas dan bawaannya. Satu barang yang ia bungkus dan diikat di luar kardus membuat Jano tersenyum. “Tongkat kursi lipat? Kamu beli ginian juga, Be?”

“Buat Ibu,” ujar sang Bison sembari menggaruk-garuk kepala dan tersenyum lebar. “Hehehe… akhir-akhir ini beliau sering olahraga pagi di sekitaran Kampus Negeri kalau hari minggu, menikmati Sunday Morning. Kalau dengan tongkat seperti ini, mudah-mudahan bisa lebih membantu. Bisa duduk kalau pas capek. Tahu sendiri kondisi Ibu bagaimana.”

Jano tersenyum.

Bison menunjuk ke pintu masuk. “Zudah zampai. Pulanglah, Bro. Tugaz kita zudah zelesai. Buruan utama Tim Garangan zudah ditangkap dan negeri ini jadi lebih aman dengan tertangkapnya orang zeperti dia. Berkurang zatu bajingan di ataz bumi pertiwi. Ga ngira zama zekali dia akan lari ke zini.”

“Ulet banget memang orang satu itu. Bikin kita semua kewalahan. Susah juga jika punya buronan semacam dia. Awas kalau dia sampai lepas, Brother.”

“Tidak akan. Kami dari Tim Garangan tidak melepaznya zampai kapanpun.” Bison terkekeh. “Bajilak memang kok biza-bizanya orang zeperti zempat hidup tenang dan mewah di dunia ini.”

“Aku siap membantu lagi kalau dibutuhkan.”

“Pazti Bro… Pazti…”

Jano mengulurkan tangan, “Sampai jumpa di lain kesempatan, Be. Sampaikan salamku pada semua, pada keluarga. Kalau ketemu si Kembar atau si Bungsu, sampaikan salamku juga.”

“Pazti. Apalagi zedang ada Kak Aira… Uuuuh… aku kangen zekali zama Kak Airaaaaa. Mazih ada tidak yaaaa? Jangan-jangan zudah pulang? Huuhuhu… Padahal aku ingin zekali menjaganya dalam pelukankuuuu. Huhuhuhu…”

“Asem. Yang sedang kamu bicarakan itu Mbakyu-ku, kampret.” Jano memukul pundak Bison sambil tertawa. “Urusin dulu itu si Logan. Kak Aira mah gak perlu dijaga siapa-siapa. Kamu juga pasti bakalan dibanting kalau berani macam-macam.”

“Hahahaha. Baiklah.” Bison tertawa dan membalas dengan memukul pelan pundak Jano, “Zetelah ini, kamu juga lupakan uruzan Loga. Kamu zudah membantu… ralat… zudah zangat banyak membantu. Zekarang tidak perlu lagi khawatir dengan dia, aku yang akan memaztikan dia pulang dan mazuk penjara. Pulanglah. Ada iztri cantik yang zedang mengandung calon anakmu menunggu di rumah.”

“Oke. Sekali lagi, sampaikan salamku pada yang lain,” ujar Jano. “Jujur sih, aku selalu kangen kampung halaman. Tapi seperti yang kamu bilang, aku punya istri cantik yang sedang menungguku di rumah. Aku sudah terikat di sini dan akan tetap di sini sampai hari tua. Tugasku di sana sudah selesai. Gelar serigala penjaga kota sudah dipegang si Kembar.”

“Zebenarnya zayang zekali kalau kamu tidak akan lagi pulang ke kota kita, Brother. Kamu itu zalah zatu azzet yang kadang membagongkan tapi zangat berharga baik buat Alianzi maupun Tim Garangan. Tapi aku paham zih. Aku lihat kamu zudah bahagia di zini. Jadi jangan khawatir, kami akan memberezkan zegala zezuatunya di zana dengan zi Kembar. Kami benar-benar akan sangat merindukanmu. Baik-baiklah kamu di zini. Au revoir, mon ami. Zampai kita berjumpa lagi.”

“Sampai jumpa lagi, Be.”

Kedua sahabat itu berpisah di depan pintu masuk. Saling melambaikan tangan, lalu berbalik arah dan melangkah ke tujuan masing-masing.

Entah kapan mereka akan bertemu kembali.

Mungkin saja lebih cepat dari dugaan mereka sendiri.





.::..::..::..::.





.:: EPILOG
SANG PENUNTAS




Lelah sekali rasanya.

Untunglah akhirnya Jano bisa menyelesaikan semua masalah dengan baik. Kadang memang butuh waktu untuk bisa menyelesaikan sebuah persoalan - tidak ada yang instan di dunia ini kecuali indommie dan kopi sachetan. Jika sedang menghadapi masalah yang berat, harus punya kesabaran. Harus paham kemungkinan, kesempatan, dan fokus pada tujuan. Sebenarnya semua bisa saja diselesaikan dengan baik-baik, tidak perlu ada keributan, tidak perlu ada pertarungan.

Tapi yah, yang namanya prajurit jalanan. Bertempur adalah keseharian.

Ya sudahlah.

Yang penting semua urusan hari ini sudah diselesaikan, dia ingin langsung ambruk di pembaringan, santai sejenak, istirahat, mengakhiri hari dengan hati yang tenang, tidur sembari memeluk istri tersayang, dan mendengarkan detak suara sang calon bayi di dalam perut sang bidadari surganya. Jano duduk di kursi pendek yang ada di samping pintu depan, melepas sepatu yang ia kenakan.

Minum kopi dan makan soto sepertinya akan sangat nikmat. Menyegarkan suasana, memberikan nuansa hangat dalam jiwa. Setelah ini dia akan memesan soto dan rawon saja. Dia suka soto, istrinya suka rawon. Dipadu padan dengan krupuk jadi hidangan lezat.

Ponselnya bergetar dalam saku. Siapa lagi ini? Jano sedang tidak ingin menerima telpon dari siapapun.

Pemuda itu menarik smartphone dari dalam kantong dan melihat ke layar. Tidak ada nama, hanya nomor saja. Tapi entah kenapa dia penasaran, lagipula tidak semua orang mengetahui nomornya. Jano menekan tombol terima.

“Ya?” Jano mulai mendekatkan ponsel itu ke telinga, ia mengempit ponsel itu dengan bahu sementara ia melepas kaus kakinya.

Janoko.

Suaranya berat dan asing. Jano belum pernah mendengar suara orang ini. Dia juga sangat jarang dipanggil dengan nama depannya secara lengkap. Sepertinya bukan orang yang ia kenal dekat.

“Siapa ini? Dari mana kamu dapat nomorku?” Jano jadi waspada. Ada yang tidak nyaman dari panggilan ini. Entah apa itu.

Trah Watulanang. Darah dibayar darah.”

“Trah…” Jano mengerutkan kening. Alisnya yang tebal bagaikan hendak bersatu, “Kamu pasti orang bertopeng tadi. Yang hanya mengamati dari kejauhan. Sang pengguna Topeng Klana Hitam ya? Dasar bajingan klonengan. Sepertinya kamu mengetahui sejarah kelam Topeng Klana Merah. Kenapa meniru aksi bajingan lain seperti pengecut yang bersembunyi di balik topeng? Kenapa tidak langsung datang saja padaku kalau memang ada masalah? Kamu takut atau memang dasarnya pengecut?”

Heheh.”

Tawa yang dingin terdengar. Jano masih belum tahu siapa dia.

“Tidak masalah dipanggil pengecut, tapi aku hanya menelpon karena rasa simpati dan empati. Kalau aku datang menemuimu sekarang, kamu tidak akan siap melawanku. Aku benci berhadapan dengan orang yang lemah. Aku akan mengalahkanmu dengan mudah seperti kalian mengalahkan Grant Logan. Antiklimaks. Sungguh mengecewakan. Tapi itu semua bagian dari rencana. Heheheh.

“Kamu pikir kamu dapat mengalahkanku? Tidak. Tidak semudah itu. Ki-mu masih dibawahku. Aku juga tidak ingin langsung membunuhmu, aku akan membuatmu nelangsa dan merasakan apa yang aku rasakan selama ini melihat Trah Watulanang berkuasa. Lagipula… aku tidak akan melawan orang yang sedang mengalami kesedihan. Jadi… ijinkan aku turut berduka cita.


“Berduka? Apa maks…?”

Saat itulah Jano menyadari sesuatu.

Ada jejak di lantai. Jejak-jejak berwarna merah. Jejak sepatu. Mata pemuda itu langsung terbelalak. Jantungnya berdegup dengan kencang. Sangat-sangat kencang.

Apa yang

Heheh.”

Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak…!!

Janoko.” Suara di seberang terdengar sangat tenang, dia sudah tahu Jano akan mengeluarkan reaksi seperti itu. “Kutunggu kamu pulang ke kota kita. Jangan khawatir, aku akan menunggu sampai kamu datang dan mempersiapkan diri baru akan mengerahkan semua rencanaku terhadap keluarga terakhir Trah Watulanang. Akan kupastikan kalian semua menderita sebelum mati. Satu demi satu. Sebelumnya mohon maaf, karena aku tidak sepemaaf itu, ini masalah personal. Aku akan menghabisi tali keturunan Trah Watulanang sekali dan selamanya. Kalian terlalu merepotkan.” Suara di ponsel itu terdengar kembali.

Jano langsung berdiri dan menyusuri jejak-jejak yang ada di lantai dengan perasaan kacau balau. Lebih dari satu tipe tapak sepatu, lebih dari satu orang. Batinnya makin berkecamuk saat jejak itu mengarah ke kamar tidur. Jejak-jejak yang tidak ia inginkan itu ada yang mengarah ke dalam dan ada yang mengarah keluar, seperti keluar masuk dari sana. Jejak-jejak sepatu yang hanya dimungkinkan tertinggal setelah menginjak genangan berwarna merah.

Siapapun yang meninggalkan jejak-jejak itu mereka bahkan tidak repot-repot untuk membersihkannya. Sebuah pertanda, bahwa mereka memang tidak ingin melakukannya, mereka tidak ingin membersihkan jejak. Mereka ingin menjadikan jejak-jejak itu sebagai peringatan, ancaman, dan hukuman. Siapapun orang-orang yang meninggalkan jejak-jejak itu… mereka ingin dikenali dan ingin diketahui.

“Tidak. Tidak… Apa yang telah kamu lakukan? APA YANG TELAH KAMU LAKUKAAAN!?”

Salah. Bukan apa yang telah aku lakukan, tapi apa yang sudah aku rencanakan. Ini semua sudah direncanakan sejak awal. Ketahuilah, JanoAkulah pembalasan. Akulah perwujudan dendam. Sakit hati ini akan kutuntaskan, dan kalian semua akan membayarnya. Satu persatu dari kalian. Aku akan mengantarkan kalian ke neraka sampai tuntas.”

“BEDEBAAAH!! APA YANG TELAH KAMU LAKUKAAAAN!?”

Kejarlah aku, Jano. Kutunggu di kota.”

Klk.

Detak jantung Jano serasa hampir copot di setiap langkahnya. Dia tahu apa yang akan dia lihat, tapi berharap dia tidak akan melihatnya. Dia ingin memejamkan mata tapi tak bisa melakukannya, dia tahu kenyataan akan sangat menyakitkan.

Kamar tidurnya berantakan.

“Sya… sayang…?”

Mimpi buruk itu nyata.

Tubuh Syahnaz Juliana tergeletak di lantai, ada genangan darah di sekitar tubuhnya. Tubuhnya telanjang. Ada bekas gigitan memerah di buah dada dan pahanya, kakinya terbentang melebar, darah juga keluar dari selangkangan.

Tebaran foto polaroid langsung jadi tersebar di kamar menggambarkan kengerian. Gambar yang menunjukkan empat sampai lima orang memperkosa Syahnaz yang menangis hebat. Jano tak ingin memperhatikan foto-foto itu, tapi posisi mereka membuatnya terpaksa melihat.

Jano jatuh bersimpuh di dekat sang istri. “Sya? Sayang…?”

Tapi Syahnaz dengan matanya yang menatap ke atas tak menjawab, tangisannya pun telah kering, atau setidaknya garis bekas membasahnya telah kering. Ia tadi pasti menangis dengan hebat. Kamar yang berantakan menandakan bahwa ia melawan sampai akhir. Darah di mana-mana.

“Sya…”

Syahnaz tak akan pernah lagi menjawab pertanyaan Jano.

Ada garis merah di lehernya, garis merah yang membuka lebar bagian tenggorokannya begitu dalam sampai-sampai hendak putus. Perutnya terburai, seakan ada seseorang yang hendak mengeluarkan janin di dalam perut Sya secara paksa namun tak berhasil melakukannya. Sya pasti melindungi buah hatinya dengan sekuat tenaga.

Sya telah berjuang.

“Syaaaaa… bangun sayang… banguun. Aku sudah pulang… aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu lagi…” Jano mulai berderai air mata, bibirnya gemetar mengucapkan setiap kalimat. Tangannya mengelus rambut istrinya tercinta yang sebenarnya tengah hamil muda anak pertama mereka. “Syaaaaaa… Maafkan aku sayang, maaf aku terlambat datang… Syaaaaa…”

Jano meraung dengan hebat.

Jano sempat merasa punya segalanya. Dia tahu sekarang dia tidak punya apa-apa.

Dia tahu dia sudah terlambat. Apapun yang dia lakukan sekarang, tidak akan merubah apapun. Sakit sekali rasanya menjadi seseorang yang tak bisa melakukan apa-apa untuk orang yang paling dicintai. Dia memiliki kemampuan tapi tak mampu melindungi orang yang paling ia sayangi. Ia menggerakkan tangan untuk menutup mata Syahnaz, dan memeluknya erat-erat.

“Jangan khawatir, Sya. Aku tidak akan membiarkan orang yang menyakitimu lepas begitu saja. Siapapun yang telah melakukan ini akan membayarnya. Dia akan membayarnya berkali-kali lipat. Dia akan merasakan pembalasan dendam kawanan serigala. Dia tak akan bisa lari karena kami akan mengejarnya sampai mati. Kamu tidurlah dengan tenang.”

Tentu tak ada jawaban dari Syahnaz. Dia juga tidak akan kesakitan lagi.

Dia sudah tenang dalam keabadian.

Bersama bayi mereka yang belum sampai menghirup udara sudah ikut menemani sang bunda ke alam keabadian. Bergandengan tangan di nirwana, berdua, menunggunya.

Jano memejamkan mata.

Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba saja direnggut dalam diri Jano. Ada satu hal yang sangat besar yang hilang dari tubuhnya. Ia sadar sepenuh hati, ia tak akan pernah lagi bisa melihat senyum Sya, tak bisa lagi melihat wajah senang sang istri, tak bisa lagi bersenda gurau, berbagi tawa, bahagia bersama, merencanakan masa depan mereka, merencanakan kamar bayi, memikirkan nama sang bayi.

Ia juga tak akan pernah melihat bagaimana lucunya wajah sang bayi dan menggendongnya dalam pelukan yang aman. Dia sudah pergi bahkan sebelum menjadi.

Ada lebih dari sekedar kosong dalam jiwanya.

Tubuh Jano bergetar hebat.

Jano memeluk kepala Syahnaz, berteriak sekencang-kencangnya. Membiarkan air matanya tumpah. Membiarkan kesadaran lepas sesaat dari jiwanya. Membiarkan dirinya remuk redam dibawa duka nestapa yang tumpah ruah di dalam angan dan pikirannya.

Jano bukan orang yang selalu berharap lebih, dia orang yang hanya ingin hidup apa adanya. Tapi bahkan itupun rasa-rasanya terlalu berlebihan sekarang. Setega itu semua hal yang paling penting direnggut dari dirinya. Semuanya. Semua yang ia kasihi, semua yang ia cintai, semua yang ia jaga sepenuh hati dan ia rencanakan untuk hidup sampai nanti.

Semua hilang dalam sekejap.

Semuanya.

Bedebah-bedebah yang melakukan tindakan keji ini harus membayarnya.

Mereka semua harus membayarnya!

Sejak tadi Jano masih belum memeriksa ruangan secara menyeluruh karena dia fokus pada Syahnaz. Dia meletakkan Sya dengan hati-hati dan menutup tubuhnya dengan selimut. Setelah beberapa saat lamanya terdiam di samping Sya, Jano bergerak. Dia harus memeriksa ruangan terlebih dahulu. Setelah itu dia akan memanggil polisi. Sudut demi sudut ia periksa, ia amati dengan seksama. Apa yang kira-kira bisa dijadikan barang bukti? Apa yang bisa dijadikan petunjuk?

Sampai kemudian Jano menemukannya. Di atas meja rias Sya – ada kelereng-kelereng susu bewarna putih dan sebuah kartu nama hitam.

Kartu nama hitam.

Di balik kartu nama itu ada dua kalimat yang ditulis dengan warna emas.

Habisi Trah Watulanang. Darah dibayar darah.
- 21

Ini… ini kan yang diperingatkan Kak Aira? Sial! Jadi serangan ke Trah Watulanang itu benar-benar ada dan mereka menyerang semua target. Jano tahu dia lengah satu-satunya anggota Trah Watulanang di sini hanyalah dirinya. Tidak. Anaknya yang masih berada dalam perut sang Bunda juga Trah Watulanang. Siapa sebenarnya si Blackjack? Kenapa dia begitu dendam? Siapa dia?

SIAPAAAAAA!!??

Tak sadar Jano berteriak. Tapi teriakannya tidak akan pernah bisa membangunkan sang istri yang telah beristirahat dalam kekekalan. Juga anaknya… anggota Trah Watulanang yang bahkan sebelum lahir sudah menjadi korban para maniak.

Legion berhasil melaksanakan niatnya. Begitu juga Blackjack.

Mereka membuat Jano hancur.

Saat merasakan kesedihan manusia akan disadarkan bahwa seutuh-utuhnya mereka tetap tidak akan ada apa-apanya dibandingkan kuasa Langit. Sekuat dan setangguh apapun seorang manusia, ketika Langit ingin mereka jatuh, maka mereka akan jatuh. Manusia tidak akan pernah bisa menentukan apapun karena seampuh-ampuhnya manusia, mereka tak akan pernah menjadi dewa.

Manusia akan selamanya terjebak dalam perputaran roda kehidupan, kadang berada di atas, berikutnya di bawah. Seperti pagi menjadi malam, seperti malam berubah menjadi pagi. Tidak ada yang kekal kecuali perubahan.

Jano sedang berada di titik terendah kehidupannya.

Jano tidak pernah tahu kalau beberapa hari ini ternyata merupakan hari-hari terakhir bersama sang istri.

Seperti halnya Jano tidak akan pernah tahu, saat itu ada seorang pemuda yang sedang berjalan dengan tenang di bandara – hanya berselisih jam dengan kepergian Abe Bison, tidak ada yang mengetahui siapa dia, darimana asalnya, dan apa yang dia lakukan sebelumnya.

Saat ini tidak ada yang mengenalinya, tapi dia akan menjadi sangat dikenal di waktu-waktu mendatang. Dia akan menjadi ancaman utama bagi lima bersaudara harapan Trah Watulanang.

Khususnya bagi Jano, pembalasan akan menjadi miliknya.





.::..::..::..::.





Orang yang baru saja berbincang-bincang dengan Jano di telepon berjalan dengan tenang seakan tanpa beban. Tas ransel yang ia bawa menjadi barang paling berharga, karena di dalam tas itu terdapat satu topeng Klana berwarna hitam. Wajahnya sama sekali tidak menyunggingkan senyum. Dia tidak senang melakukan ini – menyakiti dan membunuh wanita tak berdaya bukanlah hal yang ia gemari. Tapi the show must go on dan rencana sudah dijalankan. Saatnya untuk menggulirkan rencana berikutnya.

Untuk menguasai kota, harus menghancurkan dinasti trah Watulanang. Untuk itu dibutuhkan rencana yang matang demi mendongkel mereka dari tahta.

Bahkan saat ini pun, di otaknya, berbagai rencana sedang disusun untuk menjalankan niatnya.

Saat ia berjalan menyusuri koridor panjang di bandara, tiba-tiba saja muncul empat orang bertubuh tegap berjalan dari empat penjuru arah. Mereka langsung mengawal di belakangnya sepanjang perjalanan di bandara tersebut. Keempatnya mengenakan pakaian serba hitam. Sang Klana Hitam tetap berjalan santai seolah itu hal yang biasa. Salah satu dari mereka berjalan lebih cepat, ia mensejajari sang pemuda, membuka ponsel dan memutar sebuah rekaman tanpa suara. Ia menunjukkannya pada sang pemuda.

Pemuda itu tahu tanpa harus menebak bahwa rencananya telah berjalan dengan baik.

Legion sudah mengirimkan video dan sudah disebarkan ke Mimbar,” ujar sang pengawal berbadan tegap. “Para Dewa sudah mengirimkan jawaban.”

Rekaman video itu berisikan adegan pemerkosaan Syahnaz dan kesadisan mereka saat menancapkan pisau berkali-kali ke perut sang wanita tak berdosa. Perutnya dibelah saat Syahnaz masih tersadar dan terus melawan dengan berani. Perlawanan wanita malang itu baru berakhir saat lehernya digorok sampai hampir putus.

Video itu di-share ke dalam sebuah grup aplikasi wikipedia yang dbentuk secara khusus oleh satu grup stakeholder yang terdiri dari 12 orang petinggi dan belasan orang anggota. Kesadisan yang dipublikasikan oleh sang pengawal langsung mendapat tanggapan. Emoticon jempol bertebaran, emoticon wajah mupeng terlihat dari beberapa orang. Orang-orang yang berada dalam grup itu tidak ada yang menggunakan nama asli. Ke-12 petinggi utama menggunakan berbagai nama samaran. Kedua belas orang itu disebut para dewa di Mimbar Annunaki, pemimpin kolektif kelompok underground besar Negeri di Awan atau sering disingkat NDA.

Salah satu wakil Mimbar Annunaki yang memiliki nama samaran Marduk mengetikkan sesuatu di keyboardnya. Tulisan itu muncul di layar.

Target pertama : si Kembar. Perlakukan yang perempuan seperti memperlakukan wanita yang baru saja tampil di video dan kuliti hidup-hidup yang laki-laki. Hancurkan mereka, permalukan mereka, dan kubur mereka hidup-hidup. Kuasai kota sebelum si sulung dan pemuda seberang pulau pulang. Lanjutkan kontrak dengan Legion.”

Melihat update tanggapan terbaru di grup, sang pemuda akhirnya puas. Ia menganggukkan kepala pada sang pengawal. Orang itu pun kembali menyimpan ponselnya. Mereka berlima berjalan menuju ruang tunggu keberangkatan di ujung bandara dengan wajah ketus dan serius, tanpa tawa, tanpa senyum, tanpa percakapan.

Sang pemuda yang berjalan paling depan itu tahu, dengan tragedi seperti ini Jano dipastikan akan kembali lagi ke kota untuk memburunya. Dengan begini, dia akan lebih mudah menghabisi satu persatu harapan Trah Watulanang karena terkumpul di satu kota.

Sang pemuda sudah tahu siapa saja yang akan ia incar. Aira, si Kembar, Jano, dan si Bungsu. Dia tidak akan membunuh mereka dengan mudah, dia akan memastikan mereka menderita terlebih dahulu… baru kemudian membunuh mereka satu persatu. Sesudahnya, tanpa mereka berlima, Aliansi akan runtuh dan kota akan chaos. Trah Watulanang akan habis dan regime baru akan menggantikan.

Saat itulah NDA datang dan merebut semua wilayah. Itu adalah rencana awalnya.

Tapi sesungguhnya pemuda itu tidak peduli siapa yang akan mengambil alih kekuasaan, dia tidak peduli apa keinginan Mimbar Annunaki dan apa tujuan NDA. Tujuannya hanya satu, untuk menimbulkan kekacauan. Tujuannya bukan kejayaan, tujuannya adalah penuntasan dendam.

Dendam terpendam kepada keluarga Trah Watulanang.

Sekilas lirik ia menatap ke arah kaca yang mengitari sebuah coffee shop di bandara Kota Seribu Sungai, kaca yang bisa membuatnya menatap diri sendiri.

Si Kembar akan menjadi target pertama.

Itu artinya Mimbar Annunaki akan mengerahkan pasukan besar untuk memburu kedua pemimpin lapangan Aliansi. Saat si Kembar berhasil mereka bunuh, sudah pasti Jano dan Aira akan pulang ke kota dan melakukan perburuan besar-besaran
. Tapi dia berharap, Jano akan langsung datang setelah peristiwa yang menimpa istrinya.

Jano oh Jano. Datanglah Jano, datanglah dengan dendammu, datanglah dengan kemampuan hebatmu. Aku akan siap menyambutmu. Kita adu sampai mati dendam siapa yang lebih mendarah daging. Kamu yang baru kesakitan, atau aku yang sudah sejak lama merasakan sakit itu. Kamu baru akan paham dengan siapa kamu berhadapan setelah berhadapan denganku.

Dendam adalah pemicu, Jano.

Kita adu, dendam siapa yang lebih hebat. Dendam siapa yang lebih kuat.

Suatu saat kelak pemuda itu yakin Jano pasti akan menemuinya dan saat mereka berdua bertemu, Jano pasti akan menuntut balas padanya. Karena si Klana Hitam adalah orang yang paling bertanggung jawab akan semua duka lara yang dia rasakan, Jano pasti berharap dendam itu dibayar lunas sampai tuntas.

Persis seperti apa yang ia rasakan saat ini.

Pemuda berpakaian hitam mendengus.

Tidak masalah siapa di antara dirinya dan Jano yang kalah atau menang, karena keadaan bisa berbalik kapan saja. Sang pemburu bisa menjadi buruan dan sebaliknya. Setahu sang pembawa topeng Klana Hitam, seumur hidupnya Jano tak pernah membiarkan satu pun buruannya hidup dengan tenang. Justru itulah yang dia harapkan, supaya Jano datang kepadanya dengan segenap kekuatan. Matipun ia tak akan menyesal, karena ia akan membuat mereka berlima menderita.

Itulah satu-satunya saat pemuda itu tersenyum.

Kejarlah aku, Jano. Kejarlah.

Aku akan siap menyambutmu.

Tapi sadarilah baik-baik, terus berlatih, dan jangan lengah. Karena ketika saat itu tiba, waktu pembalasan akan datang
.

Kita tahbiskan siapa yang bertahan dan siapa yang tuntas. Siapa yang menjadi pemburu dan siapa yang menjadi buruan. Siapa yang akan menjadi predator dan siapa yang akan menjadi mangsa. Datanglah dengan penuh amarah. Datanglah sebagai serigala buas, bawa kawananmu. Aku akan menunggumu. Aku akan menjawab tantanganmu.

Dengan segenap kemampuan aku akan siap menghadapimu. Aku akan mengalahkanmu, aku akan mempermalukanmu, dan Aku akan membunuhmu.

Kamu baru saja merasakan dendam. Tapi bagiku, dendam adalah hidupku. Dendam adalah pemicu
. Dendam adalah hasratku.

Dendam adalah aku.

Jano…

Pembalasan akan menjadi milikku
.





GAROU – VENGEANCE IS MINE.
SELESAI?
 

Similar threads

Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd