GAROU
VENGEANCE IS MINE - A
Kata Bermula
Halo semuanya. Saya bukan Cak Lontong, salam lemper.
Sembari menunggu kelanjutan cerita Jalak, datang lagi satu cerpen
spin-off yang mudah-mudahan bisa menghibur. Tapi untuk dapat memahami cerita
spin-off ini, dianjurkan anda mengikuti semua serial JALAK, KIDUNG SANDHYAKALA, dan tentunya prekuelnya yaitu cerpen GAROU – RETURN OF THE PRODIGAL SON terlebih dahulu untuk mengenal karakter-karakternya. Karena semua cerita ini memiliki jalinan yang saling berkelindan.
Cerita ini masuk ke dalam inisiasi
Jalak Universe Narratives. Apa itu
narrative? Kalau menurut kamus
Merriem-Webster: “
Narrative is a work with imaginary characters and events that is shorter and usually less complex than a novel”. Badalah, apa
meneh itu maksudnya? Ya
wes pokoknya begitulah. Pokoknya aman,
ngab.
Apakah cerita ini
canon atau
official? Entah. Saya tidak mengatakan ya, tidak juga mengatakan tidak. Cerita ini hanyalah sebuah ide yang iseng-iseng diwujudkan. Bisa saja di sepanjang perjalanan waktu ada yang berubah dan diubah. Saya kan tukang iseng dan hobi nge-
troll.
Cerita ini terbit setelah ide tentangnya saya rebus seusai menulis
Garou – Return of The Prodigal Son dulu. Apalagi karena saya penganut aliran ketik dulu, bikin bersambung, tamat gak tau kapan. Hehehe. Nah, untuk cerita ini, daripada idenya ilang, lebih baik saya tuntaskan dalam bentuk cerpen.
Cerita ini adalah cerita fiktif, semua kejadian yang termuat di dalamnya bukanlah kejadian nyata. Kesamaan nama, tempat, dan kejadian adalah kebetulan belaka. Tentu saja cerita ini jauh dari kata sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Mohon ambil baiknya, buang buruknya. Penulis tidak menganjurkan atau mendukung seandainya ada aktivitas negatif seperti yang mungkin diceritakan dalam cerita.
Mudah-mudahan berkenan.
Selamat menikmati, sobat ambyar.
.::..::..::..::.
.::
INTRO
“Vengeance is Mine. I will repay.”
- Leo Tolstoy
Mungkin.
Seperti halnya kisah yang sebelumnya. Mungkin ini adalah kisah pada suatu ketika.
Di suatu masa, pada sebuah jaman yang saat itu adalah ketika itu.
Kenapa hanya ketika itu? Kenapa lantas tidak menyebutkan waktu? Karena jika ketika dijadikan sebagai penanda masa, maka ketika juga bisa dijadikan pembatas angan yang tidak bisa dan tidak perlu dibatasi. Jadi cukup dipahami, bahwa ini adalah kisah pada suatu ketika. Tidak perlu didalami apalagi dimengerti, tidak perlu mencari-cari, dan tidak perlu membuat repot diri sendiri. Cukup dimaklumi bahwa kita hanya bisa sampai di suatu ketika saat menjelaskan
template waktu tanpa perlu memahami sejatinya bagaimana perjalanan kehidupan berlangsung hingga kejadian terjadi.
Kisah pada suatu ketika ini mungkin bisa berdiri sendiri, mungkin bisa terhubung, atau mungkin saja kemudian tersambung pada sebuah kelanjutan, tapi bisa juga ternyata tidak terjadi sama sekali. Yang jelas kita tidak perlu menyelidiki jaman. Cukup melihat dari kejauhan. Cukup memaklumi keadaan. Bahwa yang mungkin bisa menjadi mungkin saja, dan yang tidak mungkin bisa menjadi bisa saja.
Ini adalah sebuah kisah pada suatu ketika, tentang para serigala, tentang calon pewaris tahta naga, tentang para ksatria muda dan babak lain dari perjalanan panjang para penguasa
Kidung Sandhyakala. Ini adalah sebuah kisah tentang mereka yang paham betul bahwa putih tak selamanya putih dan hitam tak selamanya hitam.
.::..::..::..::.
.:: PROLOG
SANG PENERUS
“Mmmhh… mhhhh…”
Bibir Jano melumat bibir Syahnaz dengan penuh perasaan. Tangannya bergerak meremas-remas buah dada di sebalik daster. Payudara tanpa bra yang akhir-akhir ini terlihat semakin membesar dan menggiurkan membuat hasrat menghentak tanpa perlu banyak bergerak. Sya hanya bisa mendesah dan membiarkan sang suami melakukan apapun yang dia kehendaki saat tubuhnya dielus dan disayang serentak.
Ia bahkan membiarkan Jano melepaskan daster tipis yang dikenakan wanita bertubuh indah itu meski mata hampir-hampir tidak bisa berkompromi. Jano selalu mengagumi lekuk-lekuk tubuh Sya yang menurut pria itu seksinya biadab saking menggodanya. Tubuh indah yang saat ini sedikit berubah.
Sedikit. Tidak banyak kok, sedikit.
Jano memandangi keindahan tubuh telanjang Sya dengan kekaguman dan kepuasan yang nampak dari wajahnya. Sya benar-benar menjaga tubuhnya dengan baik.
“Apa sih, Mas?” desah Sya di sela-sela kantuknya sembari mengelus pipi sang kekasih. “Aku gendutan yah? Biarin.”
Jano tertawa kecil, ia hanya menggeleng lalu kembali mencium bibir mungil sang kekasih. Tangan kanannya kembali beraksi meremas-remas bongkahan besar buah dada Sya tanpa bisa dipuaskan. Jemari tangan kanannya sibuk memilin puting susu, sementara tangan kirinya – terutama jari-jari tangannya yang nakal – memainkan bibir surgawi sang bidadari.
“Mmhhhh… Massss… mulai lagi yaaaa…? Ga ada capek-capeknyaaaa…”
“Aku tidak akan pernah capek bermain cinta denganmu, sayang. Aku bahkan selalu merasa aku ini manusia paling beruntung sedunia, karena tubuh seksi ini dipersembahkan untukku seorang. Hanya aku yang kau ijinkan untuk bermain cinta dan menikmati keindahanmu. Sungguh beruntungnya aku…”
“Heleh. Apaan sih… mmmhhhh…”
Jano mengecup bibir sang istri berkali-kali membiarkan Sya tenggelam dalam lautan cinta berlebih yang diberikan oleh sang kekasih. Kepala Jano turun ke bawah, menyusuri pipi, leher, lalu ke bongkahan kenyal nan indah di dada sang istri. Dengan nakal Jano menggigit-gigit perlahan pentil susu Syahnaz, membiarkan wanita jelita itu menggelinjang, melenguh pelan dan menggigit bibir bawahnya dengan manja.
“Mmmhh… mmmhhh…” Sya merem melek diperlakukan istimewa oleh Jano. Ia memeluk kepala sang suami dan mengelus-elus rambut pria itu. “Enaaak, sayang… nakal tapi enaaaaak…”
“Enak?”
“He’em…”
“Kok berasaan jadi tambah gede ya? Panjang kali lebarnya…”
“Kamu ga suka ya?”
“Siapa bilang? Suka banget… makanya sekarang pengen nambah…”
Jano meneruskan kecup dan jilatannya ke bawah, menyusuri pinggang dan perut Sya yang besar membulat, sampai akhirnya ke bagian bawah yang begitu menggoda. Syahnaz menggelinjang hebat merasakan rangsangan luar biasa dari sang kekasih…
Apalagi ketika kemudian Jano tidak menunggu terlalu lama untuk menikmati kesegaran surga dunia.
“Maaaaaaaaaaaasss!! Hpppghhhhhhh… esssstttttt!! Aaaahhhhhh!!! Maaaaaaaaassss!!”
Kepala Jano turun ke bawah untuk menundukkan bibir surgawi menawan yang ada di selangkangan sang istri. Cairan cinta hangat membanjir di gundukan indah itu. Tipis-tipis keluar melalui sela-sela ketika direnggangkan dan dijilat sempurna oleh sang kekasih. Kalau tadi tangan Sya masih bisa mengelus-elus rambut Jano, kali ini dia sudah tidak mampu bertahan dengan rangsangan hebat itu. Jari jemari Sya menaut di rambut Jano dan menjambaknya dengan gemas. Tubuh wanita jelita itu menggelinjang dan menggeliat ke kiri dan ke kanan.
“Hmmmm… hmmm… hmmmhhh…”
Tahu sang istri sudah tak tahan lagi, Jano menghentikan aksinya.
Napas Syahnaz sudah kembang kempis tidak karuan. Dadanya sampai naik turun menahan rasa. Ia menatap sang suami dengan gemas dan penuh birahi, wajahnya sudah tak bisa diatur rapi, inginnya hanya satu, dan Jano tahu apa itu.
Jano melepas kembali celana boxer yang baru setengah jam lalu ia kenakan. Sang junior tegak bagai tiang bendera. Si junior yang selalu bikin Sya mendesah keenakan sampai pagi menjelang. Hari ini pun tak ada beda, meski sudah mengantuk tapi nafsu syahwat mendesaknya untuk melakukan ini itu dan itu ini.
“Aku yang di atas,” bisik Sya.
Itu salah satu posisi kesukaan Syahnaz. Tidak masalah bagi Jano, dia sih mau posisi apapun oke-oke saja.
Jano berbaring di pembaringan sementara Sya melebarkan kaki untuk menangkup pinggul sang suami. Wanita jelita itu kemudian merenggangkan kaki dan menempatkan selangkangannya di tengah, tepat di atas batang kejantanan Jano yang menjulang menantang. Sambil mendesah dan menggigit bibir bawah, Sya meraih penis Jano dan meletakkannya di bibir vaginanya sendiri.
Lalu Sya menurunkan badan dan semua keindahan itu datang.
Baik Sya maupun Jano sama-sama mengeluarkan desahan nyaring memenuhi ruangan yang tadinya sepi. Batang kejantanan Jano perlahan-lahan lenyap ditelan tangkupan kenikmatan, tenggelam melesak ke lipatan kewanitaan Sya yang nikmat gak ada obat. Syahnaz mengangkat pantatnya, lalu turun, lalu naik lagi, lalu turun, lalu naik lagi, dan kembali turun. ia melakukannya berulang-ulang, dan berulang-ulang, dan berulang-ulang.
Sya menggemeretakan gigi, sementara Jano mencoba mengimbangi dengan melontarkan pinggangnya ke atas. Mennyamai ritme dan irama sang ratu hati. Syahnaz mulai kewalahan ditelan hasrat dan keinginan. Gerakan yang awalnya naik turun, kini menjadi maju mundur. Ia berkeringat dan melenguh. Antara lelah tapi juga ingin.
“A-aku tidak kuat lagi, Mas… aku…”
Baru berjalan beberapa menit, Syahnaz sudah takluk di hadapan sang suami. Gerakannya makin cepat, desahannya makin kencang, irama pinggulnya makin tak beraturan.
“Hnnnghh! Hnnghhh!! Haaaaahhh!! Ahhhh!! Aaaaaaaaaaahhhhhh!!”
Batang kejantanan Jano terasa lancar karena liang cinta sang bidadari kian basah, tiba-tiba saja disesaki cairan cinta yang penuh menyelubungi. Hangat terasa membanjir dan menyelimuti. Cengkraman Sya di tubuh sang suami mengencang, lalu mengendur, dan akhirnya lemas.
Gerak tubuh Syahnaz melambat setelahnya, ia hanya mengangkat saja pantatnya sementara Jano menusuk ke atas dan menarik ke bawah dengan kecepatan tinggi, bagi Sya, kondisinya sekarang mungkin gabungan antara lelah dan mengantuk. Sya bahkan diam saja ketika tangan-tangan nakal Jano merenggangkan kakinya. Ketika dibuka, Jano bisa melihat belahan indah pintu surgawi sang istri. Ah, benar-benar keindahan yang selalu dirindukan.
Saat melihat itu Jano tahu dia harus melakukannya. Sang junior tegak menantang kencang. Jano pun merubah posisi, dia bangkit dari pembaringan, lalu berputar. Kini Jano berlutut di belakang Sya sementara sang istri mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Jano pun membimbing batang kejantanannya ke dalam keindahan lubang surgawi Sya dari belakang.
Desahan manja keluar dari bibir sang kekasih ketika milik Jano mulai masuk dan menjajah. Sudah sangat sering bersatu tapi selalu saja menjadi kejutan indah yang terus menerus ditunggu. Jano memasukkan, lalu menarik, lalu masuk, lalu tarik, lalu masuk, lalu tarik. Ia melakukan dengan perlahan-lahan sekali supaya tidak menyakitkan bagi Syahnaz.
Pelan tapi rasanya sungguh luar biasa. Tentu saja Jano tak berani menindih tubuh sang istri karena takut akan menimbulkan pergerakan yang tak perlu di perut sang istri atau malah menyakitinya. Pelan tapi rasanya… memabukkan. Jano merem melek merasakan batang kejantanannya bermain dan dipermainkan oleh liang surgawi sang bidadari. Tak perlu digenjot dengan kecepatan tinggi, yang begini malah justru membuat Jano merasa linglung dan terangsang luar biasa.
Mungkin itu juga sebabnya, tak sampai lima menit bermain di posisi yang sama, desakan pemuncak mendatangi Jano, dan dia tak ada keinginan untuk menahan. Ia memejamkan mata, mendorong dengan penuh penghayatan, menarik dengan penuh perasaan, dan menyeduh kenikmatan yang luar biasa hebatnya. Perlahan-lahan menaiki tangga kepuasan, pelan tapi pasti naik untuk menyempurnakan permainan. Sya memang hebat dalam kondisi apapun.
Jano makin tak tahan. Ia terus mendaki, terus, terus, terus…
…sampai akhirnya tuntas dalam tiga sentakan. Tubuh Jano seperti mengejang, ketika cairan cintanya membanjiri liang surgawi sang istri.
Jano memeluk sang istri dari belakang. Ia mengelus dahi Sya yang berkeringat dan menyapunya dengan punggung tangan. Pria itu mengecup dahi Sya yang tersenyum puas. Keduanya kini membaringkan punggung.
“Sekarang boleh aku tidur? Beneran aku pengen tidur, huhuhu. Aku capek banget… awas kalau digangguin lagi.” Sya cemberut.
Jano tertawa dan mengangguk. Ia mengelus perut Sya yang membuncit, “Padahal ga tau kenapa aku merasa bersalah melakukannya. Seakan-akan membuat posisi si dedek jadi semakin sesak di dalam sana.”
“
Halah. Ngomongnya sih begitu, tapi malam ini saja sudah dua kali minta jatah. Bilangnya kasihan, tapi kok terus-terusan nambah. Sudah ah. Sekarang aku beneran mau tidur, sayaaaang. Aku ngantuuuuk.”
Jano kembali tertawa.
Jam berapa sih sekarang? Dia juga butuh tidur lagi. Secara reflek Jano mengambil ponsel yang ada di atas meja di samping tempat tidur. Ia melirik ke arah layar. Ada pesan singkat yang masuk ke aplikasi pesan.
“Hmm… ada pesan masuk ternyata, aku bakal kedatangan tamu.”
“Siapa?”
“Si Abe.”
“Tumben dia datang kesini?”
“Iya.” Wajah Jano berubah menjadi serius, “Dia tidak akan datang kalau tidak ada yang penting. Pasti ada masalah.”
.::..::..::..::.
.:: 1.
SANG PEWARIS TAHTA
“Aira.”
“Ya, Mama?”
“Tahu tidak arti nama kamu?”
Aira menggeleng. “Air… artinya udara? Jadi… udaraaaa? A-nya dipanjangin. Hihihihi. Bener ga, Ma?”
Sang Mama tertawa.
Aira bertanya balik, “Memang artinya apa, Ma?”
“Namamu terdiri dari dua suku kata. Ai dan Rai.” Sang Mama dengan lembut menyisir rambut anak gadisnya. “Nama depanmu itu pemberian dari Mama. Ai artinya cinta, sedangkan Rai artinya yang akan datang. Mama dulu sangat mengharap kedatanganmu dengan penuh rasa sayang setelah sembilan bulan menunggu. Sama seperti hadirnya Papa-mu dalam hidup Mama yang selalu Mama nantikan.”
“Uwaaaaaaa…” Mata Aira berbinar saat mereka membicarakan sang Papa. Bagi gadis kecil itu, sang Papa adalah idola.
“Papa sering bepergian, tapi selalu kembali pada Mama. Karena Papa berjanji akan selalu menjaga Mama dan itu dia lakukan sampai akhir hayat. Papa memang harus membagi kasih, tapi itu tidak berarti sayangnya kepadamu atau kepada Mama berkurang sedikitpun. Aira tahu kan, Papa menyayangi Aira lebih dari apapun?”
Aira kecil mengangguk. “Aira sayang Papa.”
“Anak pintar.” Mama Aira mengecup lembut ubun-ubun sang bocah. “Papa cinta pertama kamu ya, Nak? Seperti halnya Papa juga jadi cinta terakhir Mama. Kita sama-sama menyayangi Papa, dari sisi ujung yang berbeda – tapi kita tahu, rasanya tetap indah memiliki seseorang seperti Papa.”
Aira memeluk sang Mama. “Aira juga sayang Mama.”
“Mama sayang Aira juga.” Dengan senyum mengembang, sang Mama membalasnya.
Aira tak pernah melupakan senyum itu.
Senyum seorang bidadari.
.::..::..::..::.
Aira Harnanto menengadah, memejamkan mata, merasakan arus ingatan membanjiri sungai kenangan dalam rindu rindang batin dan perasaan. Rintik-rintik air hujan yang melewati bentang kembangan payung menerpa wajah cantiknya.
Gadis itu membiarkan dirinya terbawa ke suatu masa. Ingatannya menerawang di saat-saat ia duduk bersama sang Mama tercinta - di suatu siang yang tenang di akhir pekan - duduk bercengkerama berdua membaca satu buku bersama-sama. Duduk di
window bench yang mengarah ke taman dan bercanda, berbincang dan tertawa, mengais percakapan tanpa arah tapi menenangkan jiwa.
Rintik hujan yang turun makin lama makin deras.
Tapi derasnya hujan tak memupus keinginan sang gadis jelita untuk mengunjungi sebuah makam yang ada di dekat kawasan
ringroad utara. Ia memayungi dirinya sendiri dengan payung hitam kecil. Gadis itu memang menyukai warna hitam yang teramat kontras dengan kulitnya yang putih cenderung pucat.
Aira gemar mengenakan sandang yang serba hitam, begitu juga hari ini – mulai dari topi hitam, jaket hitam, jeans hitam, sepatu hitam, tas ransel hitam, dan sarung tangan hitam. Yang putih hanyalah kaos ketat yang ia kenakan dan kulitnya yang halus mulus. Rambut hitamnya yang panjang diikat kucir kuda, memudahkannya untuk bergerak.
“
Kon’nichiwa, Papa.”
Gadis itu mengelus nisan yang dingin sembari berjongkok.
“Papa sayang, apa kabar? Maaf Aira baru bisa datang, pekerjaan di Tokyo sedang sangat sibuk. Apalagi sekarang Aira mengurus
sidejob di Nagoya, dan ajaibnya ternyata usaha Aira itu sukses, Papa. Yah, meski kecil-kecilan tapi lumayan untuk tambahan. Kami sedang berusaha mengembangkan usaha yang sama di Kyoto.”
Aira terdiam sejenak.
“Semua itu karena apa yang Papa ajarkan tentang bertahan hidup dan apa yang Mama ajarkan di dunia usaha. Untung aja dulu Mama kuliahnya beneran, ga kayak Papa berantem melulu.” bisik gadis itu perlahan sambil tertawa kecil. Ia meletakkan setangkai mawar merah di atas makam sang Papa. “Papa…
Uchi ga koishii. Aira kangen kota ini. Kangen sama Papa, kangen adik-adik, kangen para Tante. Kangen diajak keliling kota, kangen makan sate gajih di dekat Pasar Gede, kangen lari pagi sama Papa di dekat Universitas Negeri, kangen jalan-jalan di Mal tiap
weekend demi nonton film keluaran Disney terbaru.
“Hmm… Papa masih ingat kedai ramen di
Musashino-shi yang Papa demen banget?
Kaijin Ramen Kichijoji? Kemarin sebelum pulang kesini Aira sempetin makan di sana dulu sama Mama. Aira mewek, Pa. Kangen banget sama Papa. Oh iya, Mama kirim salam. Maaf belum bisa pulang bulan ini, bulan depan katanya akan diusahakan.”
Tentu saja tidak ada yang menjawab percakapan yang dilakukan oleh Aira, tapi ada hangat yang hadir di tengah hujan yang turun. Hangat yang memeluk tubuh Aira dan memberikan rasa tenang. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali ia berkunjung ke area pemakaman ini.
“Papa sudah dengar kabar? Istrinya Jano sudah mengandung. Itu artinya Papa bakal punya cucu. Kebayang ga Pa? Ternyata Jano yang akhirnya jadi yang pertama memberikan cucu buat Papa. Asli Aira ga bisa bayangin gimana senengnya Papa seandainya bisa ketemu cucu pertama itu.” Aira tersenyum sembari terus mengelus-elus nisan, “Aira sendiri benernya sudah lama tidak ketemuan sama Jano, karena dia ada di pulau seberang, di
Kota Seribu Sungai. Tapi kalau adik-adik yang lain sih sudah ketemu terutama si kembar Johan dan Jihan. Gila ya, Pa? Mereka yang dulunya imut-imut banget sekarang tambah keren aja. Tidak salah dipilih sebagai tangan kanan Aira di kota. Jihan bilang bakal main ke Tokyo liburan akhir tahun nanti – doain kami bisa jalan-jalan ya, Pa. Biasanya sih akhir tahun jadwal Aira malah padat. Tapi Aira pengen jadi kakak tertua yang bertanggung jawab dan deket sama adik-adik, pengen selalu bersama mereka semua, jadi Aira akan berusaha membebaskan waktu saat nanti Jihan jalan-jalan ke Tokyo.
“Terus… hari ini ada rencana juga janjian sama si bungsu. Mudah-mudahan jadi. Waktu Aira sebenarnya tidak banyak dan harus segera pulang kembali ke Jepang. Aira sudah ditunggu jadwal yang padat di sana. Eh… tapi di sini pun jadwal Aira luar biasa – ada rapat pemegang saham dan segala macam urusan tetek bengek lain. Papa pasti males berurusan dengan yang beginian, hehehe.”
Aira kemudian berdiri, menepuk bagian-bagian celana yang agak kotor lalu tersenyum pada makam milik sang ayah. “Mama bilang salam sayang, Pa. Tidak ada hari di mana Mama tidak cerita tentang Papa sampai hal sekecil-kecilnya. Saking kangennya sama Papa, Mama selalu nyiapin makan buat kalian berdua padahal sendirian aja di rumah. Aira sudah larang tapi Mama bilang itu justru cara beliau untuk tidak sedih kalau keinget Papa. Aira sih paham, setiap orang punya caranya sendiri untuk menangani duka. Jangan salahin Mama yang kangen berat sama Papa ya… kalau Aira saja kangennya seperti ini, apalagi Mama.”
Ponsel Aira menyalak dengan kencang.
Musik klasik
Eine Kleine Nachtmusik dari Mozart terdengar memenuhi udara pemakaman yang dingin. Gadis itu memang menyukai musik klasik, salah satu alasan kenapa dia dulu mengambil kursus piano yang kemudian menjadikannya salah satu pemain piano yang paling digemari oleh sang Papa tercinta. Aira tersenyum dan menepuk nisan sang Papa.
“Aira pergi dulu ya, Pa. Aira sayang Papa.”
Melewati pintu gerbang makam, Aira akhirnya mengeluarkan ponselnya yang juga berwarna hitam, membuka tekukannya dan melihat nama seseorang yang sangat ia kenal di layar. Aira menekan tombol terima.
“
Moshi-moshi. Apa kabar, Om? Ada yang bisa Aira bantu?”
Sebuah motor Kawasaki Ninja berwarna gelap berdiri gagah di bawah gapura makam. Berusaha berlindung di bawah siraman hujan. Aira mengambil helm yang ia letakkan di pondok bambu kecil yang ada di dekat pintu masuk ke makam sembari menekuk payungnya. Gadis itu lantas memastikan jaket hitamnya melindungi. Ia tidak mempedulikan lagi air hujan yang tumpah dengan deras. Mudah-mudahan saja jaketnya
waterproof.
Gadis itu menunggu suara yang kemudian terdengar dari ujung sana. Agak susah mendengarkan di tengah derasnya hujan. “Iya, Om…? Ah nggak, Aira baru
nyekar ke makam Papa. Hehehe, iya, di sini juga hujan. Tapi tidak apa-apa. Takutnya tidak ada waktu lagi. Gimana? Apa ada yang
urgent yang harus Aira tangani?”
Aira kembali terdiam untuk mendengarkan, wajahnya agak berubah.
“Hah? Ini serius, Om?”
Aira mengerutkan kening.
“Haaah!? Kok bisa? Ada yang mengincar keluarga Tante Dela? Demi apa, Om? Kenapa? Buat apa? Tante kan tidak pernah terlibat apa-apa. Tante Dela orangnya baik banget sama siapapun. Beliau tidak pernah bersalah sama siapapun dan tidak pernah bersalah karena apapun. Mana mungkin ada yang mau mencelakainya! Brengsek betul! Siapa yang mengincar Tante, Om? Terus Om Han dan Abel kabarnya gimana?” Aira buru-buru memasang
headset wireless dan mengenakan helmnya. “Hmm…? Baru dengar. Kelompok apa itu, Om? Orang Aliansi sudah memeriksa
background-nya? Oh gitu, si Bungsu sudah memerintahkannya ya? Bagus. Oke, siapa orang-orang di belakang peristiwa ini? Hmm… IC. Oke, Aira segera meluncur kesana, Om. Minta tolong kabar ini juga diberitahukan ke si kembar ya, Om. Biar mereka juga ambil tindakan. Iya, tidak apa-apa, Om. Kami sekeluarga harus saling menjaga. Terima kasih kabarnya, Om. Aira
on the way.”
Gadis jelita itu buru-buru naik ke motor setelah menyimpan payung ke dalam tas. Dia sudah tidak peduli lagi seberapa basah payung itu.
“Om dari Lima Jari memang baik-baik semua,” Aira menengok ke belakang, ke arah makam. “Jangan khawatir, Pa. Aku sudah pernah berjanji akan melindungi keluarga dan adik-adik. Aku akan selalu memegang teguh janjiku. Kami akan menjunjung tinggi nama
Trah Watulanang. Tidak perlu khawatir. Papa tenang saja.”
Gadis itu naik ke atas motor yang segera meraung kencang.
Motor Ninja yang dikendarai Aira menembus hujan di jalanan utama
ringroad utara, mengarah ke barat, melewati perempatan besar terminal, melalui Universitas Teknologi Digdaya, terus melengkung ke arah kiri. Melalui sisi jalan yang lapang sebelum akhirnya berbelok ke kiri lagi saat sampai di kawasan
Nogobanyu dan berhenti di salah satu rumah setelah meliuk-liuk dari gang ke gang.
Jaketnya basah, tapi tidak kuyup, celana jeans-nya juga sama. Motor Ninja Aira diparkir di tanah lapang yang biasa digunakan untuk arena bermain bulutangkis. Sudah banyak motor diparkir di sana karena jalan memang agak sempit.
Tante Dela adalah sepupu Papa-nya, putri dari keluarga
Mbahlik Darno dan Susan. Anak Tante Dela dan suaminya om Han, sering Aira panggil dengan sebutan Abel.
Rumah yang ia tuju sudah ramai. Ada tetangga dan ada saudara, bahkan pihak yang berwajib pun sudah datang. Apakah mereka dari Tim Garangan? Aira melangkah dengan tenang untuk mendatangi rumah yang dituju. Hujan di sini tidak begitu deras, jaket dan
jeans-nya sudah basah, jadi rasanya tidak perlu menggunakan payung. Apalagi jarak antara motornya diparkir dan rumah yang ia tuju tidak begitu jauh.
Beberapa orang yang berada di tempat itu menyadari kedatangan Aira. Menentang hujan gerimis, mereka buru-buru menyibakkan kerumunan yang berkumpul di depan rumah, dan melapangkan ruang untuk jalan sang putri mahkota. Beberapa orang menyiapkan payung untuk melindunginya dari gerimis.
Orang-orang terkesiap dengan perlakuan sempurna rombongan yang berjaga-jaga di depan rumah terhadap seorang gadis muda yang baru saja hadir. Sepertinya gadis itu orang yang teramat penting.
Hal itu tentunya membuat semua orang kebingungan – siapa sebenarnya gadis berpakaian serba hitam yang baru datang? Kenapa banyak sekali orang menghormatinya? Bagi yang sanggup membaca Ki seseorang, maka kehadiran sang putri mahkota akan membuat siapapun gemetar ketakutan. Meski tubuhnya langsing dan terkesan kurus, tapi Aira bukanlah sosok wanita lemah. Aura Ki yang dahsyat dan mengerikan keluar dari tubuhnya. Padahal Ki itu pun sudah ditekan sampai minimal.
Bagi yang paham dan mampu melihat aura Ki, maka gadis cantik dan mungil itu… adalah seorang monster.
“Selamat datang, Mbak Aira.” Salah seorang pemuda dengan rambut model keriting brokoli dan tato udang di lehernya segera datang bergegas menyambut. “Semua sudah dikondisikan. Sedang dilakukan olah TKP untuk mencaritahu apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang melakukan kejahatan ini.”
“Jadi Tim Garangan sudah datang ya, Ben?”
Benji mengangguk, kapten dari Aliansi itu mensejajari Aira. “Tiga penyelidik sudah datang, mereka ada di dalam. Kami menjaga tempat ini kalau-kalau ada kelompok lain yang ingin mengail di air keruh. Kondisi sedang kacau balau. Setidaknya ada dua anggota kita yang jadi korban. Satu kritis, satu sudah
out.”
“Siapa?”
“Si Bagus Satub.”
“Yang kritis?”
“Fathur, yang dari
Karanglor. Mereka berdua memang bertugas jaga di kawasan sini berdasar perintah Mas Johan. Beruntung ada mereka berdua, kondisi Ibu Dela dan Abel aman tak kurang suatu apa. Mereka telah rela berkorban demi Aliansi.”
“Bapak?”
“Pak Han sayangnya juga kritis. Beliau sudah dilarikan ke rumah sakit bersama Fathur.”
“Kalau penyelidik yang datang?”
“Maulana, Andik dan Rohmanu.”
Aira mengangguk. “Ben, kamu siapkan rumah singgah di kota lain. Bawa Tante Dela dan Abel pergi dari sini dan amankan di sana. Jangan sampai ada yang tahu dimana mereka tinggal. Jaga kerahasiaan sampai tingkat terkecil, kalau ada yang mulutnya ember dan membeberkan rahasia ini keluar, maka aku sendiri yang akan datang untuk merobek mulut dan mencongkel matanya. Paham?”
“Paham, Mbak. Segera kami siapkan. Mungkin di utara saja. Di kota
Benerpitu. Ada satu rumah Aliansi di sana.”
Aira kembali mengangguk. Gadis itu berjalan dengan santai dan memasukkan tangannya ke dalam saku belakang celana. Orang-orang yang menyadari kedatangan sang putri mahkota buru-buru memberi jalan hingga sampai ke depan pintu rumah. Sebagian membungkukkan badan dan kepala saat Aira melewati mereka. Tidak ada satupun yang berani menatap mata gadis itu.
Aira melirik ke kanan dan kiri, mengamati kondisi.
Sudah kacau balau dan porak poranda. Kaca pecah dan darah berceceran. Pagar pintu depan bahkan sampai jebol. Ini jelas bukan pekerjaan satu orang. Ini pekerjaan satu rombongan, ini kerja tim. Mau apa bedebah-bedebah itu menyerang Tante Dela yang tidak tahu apa-apa?
Dasar bajing…
“A-Aira?”
Seorang wanita setengah baya buru-buru berlari kecil mendekati sang dara jelita dan memeluknya. Meskipun sudah tidak bisa dibilang remaja, namun kecantikan Tante Dela masih jelas terlihat. Ia memeluk Aira dan mengecup pipi kanan dan pipi kiri.
“Ya Tuhaaan, Aira. Untunglah kamu sudah datang! Aira! Jelaskan pada Tante kenapa semua ini bisa terjadi? Kejahatan macam apa yang sudah kami lakukan sampai-sampai orang-orang jahat itu menyerang kami?” suara Tante Dela terdengar
shock, ia berderai air mata. “Papanya Abel… Papanya Abel…”
“Iya Tante… Aira sudah dengar semuanya. Aira usahakan yang terbaik ya, Tante. Mudah-mudahan Om Han kondisinya juga bisa segera membaik. Jangan khawatirkan biaya rumah sakit, semua Aira yang tanggung. Sekarang Tante tenang dulu, persiapkan apa yang diminta oleh anak-anak Aliansi dan kami akan membawa Tante dan Abel ke tempat yang aman.”
“Iya sayang… Iya…” Tante Dela mengelap dahi dan rambut Aira. “Kok basah kamu, sayang? Kehujanan? Aduh… handuk mana handuk… Abel! Ambilin handuk! Kak Aira kehujanan ini!”
“Kak Aira!” Seorang remaja buru-buru berdiri dan berlari mendekati Aira dan sang Ibu. Dia mengecup punggung tangan Aira dan bersiap untuk ke belakang, matanya sembab seperti baru saja menangis habis-habisan. Tidak mengherankan. Untung sekarang dia sudah jauh lebih tenang. “Abel ambilin handuk dulu ya, Kak. Ada baju ganti, Kak? Kayaknya sih…”
“Tidak perlu, Bel. Kakak tidak apa-apa kok.” Aira tersenyum. Ia mengacak-acak rambut sang keponakan dengan penuh rasa sayang. “Bagaimana sekolahmu? Udah gede aja si Abel.”
“Baik, Kak. Oh iya, terima kasih Kak Aira selalu bantu SPP Abel ya.”
“Sudah kewajiban kita sebagai keluarga harus saling bantu.” Aira tersenyum. “Kakak-kakak yang lain juga sering datang dan ngasih kamu uang saku kan?”
“Iya Kak, Kak Johan dan Kak Jihan setiap minggu datang, dulu sesekali Kak Jano juga...” Abel berkaca-kaca, “Kak… tolong bantu kami mencari orang yang sudah menyakiti Papa ya, Kak. Hukum mereka seberat-beratnya. Kami kan tidak salah apa-apa. Kenapa mereka tiba-tiba menyerang kami?”
“Pasti. Kak Aira janji untuk menemukan orang yang bertanggung jawab. Untuk sementara kalian bakal tinggal di tempat yang sudah Kak Aira siapkan. Supaya aman dan tidak ada orang jahat yang mengejar lagi. Nanti Papa Abel akan Kakak kirim ke sana juga kalau sudah lebih sehat. Tidak apa-apa ya?”
“Tidak apa-apa, Kak…”
“Abel! Gimana sih! Disuruh ambil handuk juga! Ih ni anak!”
“Eh iyaaa…” Buru-buru remaja belasan tahun itu berlari ke belakang.
“Sudah gede banget ya anak itu.” Aira geleng-geleng kepala, “Apa aku ya yang kelamaan di Jepang?”
“Duduk dulu, sayang. Kapan kamu pulang? Duh, kenapa juga kamu datang pas ada kejadian seperti ini. Tante pengennya kamu datang sewaktu kita semua sedang baik-baik saja. Tante kangen banget sama kamu.”
Aira kembali memeluk erat sang Tante itu. “Aira juga kangen banget. Maaf basah ya, Tante. Maaf juga Aira terlambat datang sampai-sampai Om Han jadi…”
“Tidak apa-apa, sayang. Tante kangen berat, pengen meluk kamu terus.” Sembari mengelus-elus pundak sang keponakan paling disayang, Tante Dela mengulang kembali pertanyaannya. “Kapan kamu pulang? Berapa lama di sini?”
“Sebenarnya pulang ke Tanah Air cuma untuk beberapa hari saja, Tante. Paling banter seminggu. Ada urusan kantor yang
urgent dan harus Aira urus, jadinya datang ke sini. Tapi kalau memang urusan ini belum selesai, mungkin bisa Aira perpanjang.”
“Yaaaah, cuma sebentar dong?”
“Sebentar tapi mudah-mudahan bermanfaat. Tante… bisa minta tolong cerita sama Aira? Kalau bisa sedetail mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi tadi di sini?”
“Oke, Tante ceritain ya… jadi begini… kami berlima sedang duduk-duduk di luar, makan jagung bakar. Tante, Om Han, dan Abel bersenda-gurau seperti biasa bareng mas Fathur dan mas Bagus. Mereka berdua memang sering ditugaskan berjaga di sini sama Aliansi. Biasanya tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi tadi tiba-tiba saja ada rombongan datang sambil marah-marah. Tidak ada angin tidak ada hujan. Mereka semua pakai topeng kayak ninja dan langsung menyerang tanpa babibu. Ma… mas…” Gemetar bibir Tante Dela saat menceritakan serangan itu, dia pasti trauma berat.
“Tidak apa-apa, Tante. Aira di sini.” Aira mengelus punggung sang Tante untuk memberikan
support.
“…mas Fathur dan mas Bagus berusaha keras melindungi kami meski jumlah penyerang tidak sepadan. Om juga ikut bertahan. Mereka bertiga menjadi benteng. Tante dan Abel masuk ke dalam, lalu bersembunyi di ruang dalam. Pintu kami kunci, jadi Tante tidak bisa melihat apa-apa. Keributan yang ditimbulkan orang-orang tak bertanggungjawab itu mengundang masyarakat sekitar yang langsung membantu Om. Para ninja itu pergi setelahnya. Tapi mereka sudah berhasil melukai Om, Fathur, dan Bagus…”
Aira mengangguk-angguk. “Seperti yang tadi Aira sampaikan, Aira pasti akan menyelidiki perkara ini. Selama penyelidikan Aira siapkan rumah singgah untuk Tante Dela dan Adek – dan juga Om kalau sudah sembuh nanti. Pastikan Tante merahasiakan lokasinya untuk sementara waktu ya. Kami akan buatkan juga KTP sementara supaya kalian bertiga aman dengan identitas berbeda.”
“Baik,
nduk…
cah ayu… duh, maaf kami merepotkanmu…” Tante Dela mengelus-elus wajah cantik Aira, “kamu bener-bener anak Bapak kamu,
nduk. Persis Bapak kamu…”
“Ya jelas dong Tante.” Aira tersenyum.
Pandangan matanya terarah ke satu arah. Aira berdiri dan melangkah menuju ke bagian rumah yang porak poranda. Di sana ada foto keluarga besar
Trah Watulanang yang terjatuh ke lantai. Frame-nya sudah pecah sehingga bagian dalamnya terbuka. Tapi bukan foto itu yang menjadi perhatian Aira, ada sesuatu yang aneh… ada barang di sana… barang yang sebelumnya belum pernah ia lihat, dan sepertinya baru diletakkan. Aira mengambil benda itu dan mengamatinya.
Aneh.
Sungguh aneh.
Frame foto dan ruangan yang porak poranda teramat kotor dan berdebu, demikian juga barang-barang yang jatuh ke lantai. Tapi kenapa barang ini rapi jali, apik dan bersih?
“Barang ini sengaja diselipkan di foto setelah peristiwa terjadi.”
“Ba-bagaimana, Kak Aira?”
Aira yang sedang memandang benda yang ia pegang itu agak terkejut, tapi Ia lantas tersenyum pada sang keponakan yang datang mensejajarinya. Tangannya diletakkan ke belakang, menyembunyikan barang itu dari pandangan Abel. “Tidak apa-apa. Tenang saja, Kakak yang akan mengurus ini semua. Bagaimana kondisi Mama kamu, Bel? Apa tidak sebaiknya ikut diperiksa juga?”
“Sebenarnya awalnya tadi Mama cukup
shock, tapi syukurlah sekarang sudah jauh lebih tenang terutama setelah kedatangan Mama si kembar yang ikut bantu menenangkan. Apalagi setelah Kak Aira juga datang, Mama jadi lebih santai. Kejadiannya tadi berlangsung terlalu cepat, Kak. Kami semua terkaget-kaget. Itu pula sebabnya kenapa Mama jadi
shock banget.”
“Syukurlah kalau Mama kamu sudah jauh lebih tenang.” Aira tersenyum, ia melesakkan barang yang ia pegang ke dalam kantong jaket. “Kakak nanti akan kirimkan uang buat kamu sama Mama ya. Kalian untuk sementara bakal Kakak pindahkan ke tempat yang tidak ada seorang pun yang tahu. Jaga terus Mama kamu. Kalau ada apa-apa atau perlu apa-apa, bilang saja sama Kak Aira. Oke?”
“Siap Kak.”
Aira mengangguk. Ia berdiri dan berjalan menuju teras depan rumah. Setelah memastikan sang keponakan tidak lagi mengikutinya, ia mengeluarkan benda dari dalam saku jaketnya. Sebuah kartu nama berwarna hitam. Untung saja Aira menggunakan sarung tangan jadi benda ini masih aman digunakan sebagai barang bukti kalau-kalau ada sidik jari miilk si bedebah.
Kartu nama itu hanya berisikan dua kalimat berwarna kuning keemasan di atas area berwarna gelap
doff. Dari desainnya terlihat mahal dan misterius. Tidak ada nama, tidak ada petunjuk, tidak ada apapun. Niat banget mau menyerang orang pakai bikin kartu nama segala.
Habisi Trah Watulanang, darah dibayar darah. 21.
Aira mengerutkan kening. Dia mengejawantahkan satu demi satu kata dan kalimat yang tertera pada kartu nama misterius itu.
Kalimat pertama.
Habisi Trah Watulanang.
Sepertinya langsung menjurus pada target yang diincar. Tapi siapa yang berani-beraninya mengganggu Trah Watulanang? Ada urusan apa? Keluarga besar mereka rasanya tidak pernah menebar dendam. Apakah mereka rombongan musuh yang dendam sama Papa? Kalau memang mendendam, kenapa secara spesifik disebutkan Trah Watulanang? Kenapa bukan Aliansi? Kenapa bukan nama sang Papa? Kenapa menargetkan keluarga tak bersalah yang tak terlibat apapun?
Kalimat kedua
. Darah dibayar darah.
Kalimat yang menyiratkan dendam. Apakah ada yang dendam? Dendam apa? Setahu Aira keluarganya tidak pernah berurusan dengan keluarga dan kelompok lain yang hasilnya akan menyebabkan dendam kesumat seperti ini. Sungguh urusan ini membuatnya sangat penasaran.
Sepertinya mereka berhadapan dengan lawan baru.
Yang jelas korban telah jatuh dari pihak Aliansi, jadi perkara ini harus diselidiki sampai tuntas. Kalau memang ada riwayat dendam, harus ditelusuri dan dibenahi. Kalau memang Papa bersalah, Aira yang akan membayar dan pasang badan untuk menghapus dendam itu.
Yang ketiga, angka 21.
Dua satu. Dua puluh satu. Dua dan satu. Hanya angka
dua satu saja? Tidak ada penjelasan apa-apa? Nomer telepon? Alamat? Pin ATM? Apa ya? Dua satu… kenapa hanya 21? Kenapa bukan 12? Apakah itu nama kode? Tidak ada nama panjang? Siapa gitu misalnya… Nol nol tujuh, misalnya. Satu empat kosong empat lima, misalnya.
Dua satu. Apa itu dua satu? Hmm… apakah ini
cryptic message? Sebuah kartu nama dengan motif hitam bertuliskan 21. Mungkin ini kode nama? Siapa dua satu?
Otak Aira bekerja dengan cepat. Kartu, hitam, angka dua satu. Hanya satu hal yang terbayang bagi Aira jika ketiga hal tersebut dikaitkan.
Blackjack.
Asem. Ini
Blackjack.
Permainan kartu
blackjack.
Apa itu
Blackjack?
Blackjack adalah permainan taruhan bermedia yang menyajikan pertaruhan antara seorang
dealer dan pemain. Di kasino,
dealer adalah orang yang bertugas membagikan kartu pada pemain. Antara dirinya dan pemain lalu berlomba mendapatkan kartu terdekat dengan nilai dua puluh satu. Masing-masing dari
dealer dan pemain akan membagi peluang dengan dua kartu. Jika nilai
dealer di bawah atau sama dengan 16, maka wajib menambah kartu. Jika nilai
dealer sudah di atas atau sama dengan 17 maka wajib
stay dengan kartu yang ada. Siapapun yang kemudian melebihi nilai 21 atau memiliki nilai akhir paling jauh dari 21, dia akan kalah. Permainannya semudah itu.
Kalau menyebut istilah
Blackjack, maka bayangan Aira langsung tertuju pada sesuatu, BJX.
Setahu Aira ada satu kelompok bernama BJX atau
Blackjax yang beroperasi secara
underground dan
onderbouw-nya menyebar di banyak kota – termasuk ke kota ini. Kekuatan mereka tidak diketahui jumlahnya. Tapi dari yang Aira tahu anggota terdiri dari anak-anak muda yang menganggap kegiatan premanisme itu sah karena hukum rimba berlaku - siapa yang kuat dia yang berkuasa. Mungkin mirip seperti awal-awal RKZ berdiri di masa sang Papa. BJX sendiri dipimpin oleh seorang pria yang dipanggil dengan julukan
King.
Tapi Aira sedikit ragu.
Apakah mereka yang bertanggungjawab? Kok berani sekali berulah di kota ini dan memakan korban dari pihak Aliansi? Aira tidak ingin menghakimi dan menuduh, tapi seandainya memang ini ulah BJX, dan mereka bertanggungjawab, maka Aira akan memburu mereka sampai habis. Tapi dia tidak ingin gegabah, Aira tahu dia harus menghormati Tim Garangan. Biarlah mereka mencari tahu terlebih dahulu dan melakukan penyelidikan.
Gadis itu mendesah. Lalu opsi berikutnya, andaikata 21 yang dimaksud di sini bukanlah geng BJX yang ada di kota, maka pertanyaannya tetap sama.
Siapa 21?
Siapa
Blackjack? Kenapa menyerang keluarganya? Ada urusan apa si
Blackjack dengan
Trah Watulanang? Untung saja kali ini Satub dan Fathur hadir sehingga yang diduga anak-anak
Blackjack itu tidak sempat menyakiti atau bahkan membunuh Tante Dela dan Abel, meskipun Om Han dan dua anggota Aliansi menjadi korban.
Tapi tentunya untuk jaga-jaga, mereka harus bersiap. Apalagi Aira tidak bisa tinggal di negara ini terlalu lama dan harus pulang ke Jepang. Harus ada antisipasi terlebih dahulu. Semua harus disiagakan. Si Kembar dan si Bungsu harus paham situasinya karena mereka ada di kota.
Aira juga harus memberitahu Jano.
Gadis itu geram karena penasaran.
Blackjack… siapapun dia, Aira akan mendapatkannya.
“Mbak Aira…”
Aira menengok ke belakang dan menemui dua orang berjaket hitam, ada tanda pengenal kepolisian tersemat di
nametag yang mereka pakai. Aparat berpakaian preman dari tim Garangan. “Ya, saya Aira. Kalian dari Tim Garangan?”
Maulana mengangguk. “Betul, Mbak. Saya Sersan Maulana, ini Andik, dan teman kami yang masih memeriksa barang-barang di sana namanya Rohmanu. Kami datang atas perintah Kapten Rozan.”
“Baik Sersan, apa yang bisa dijelaskan dari olah TKP?” Entah otoritas macam apa yang dimiliki gadis muda jelita itu sampai-sampai ia bisa bertanya dengan bebasnya pada para penyidik.
“Masih terlalu dini, Mbak. Tapi kami menemukan beberapa hal di sini yang dimungkinkan mengarah pada pelaku perusakan dan penganiayaan.”
“Oh ya?”
“Kami tidak ingin salah menuduh dan tentunya selalu ada azas praduga tak bersalah bagi orang-orang yang terlibat, tapi untuk pencerahan saja - sudah terlalu banyak kasus yang memiliki bukti yang sama. Jadi kami lumayan yakin dengan siapa pelakunya.”
“Begitu ya? Dan ini semua kalian simpulkan hanya dari bukti-bukti mentah saja? Tidak perlu diolah terlebih dahulu di
crime lab atau apalah yang kalian miliki?”
“Sekali lagi, bisa saja kami salah. Tapi kami sudah sangat sering menemukan barang bukti yang khas seperti ini. Bukti-bukti ini bukan tertinggal, melainkan sengaja ditinggalkan.”
“Sengaja?”
“Sengaja. Mereka sengaja melakukannya.”
“Mereka?”
“Tindakan ini dilakukan oleh orang-orang bayaran,
mercenaries. Orang-orang ini sengaja menebarkan bukti tersebut untuk memberikan kesaksian pada benefaktor mereka bahwa mereka telah bekerja sesuai kontrak. Salah satu bukti yang paling jelas adalah beberapa kelereng susu ini.” Sersan Maulana mengeluarkan satu kantong plastik berisikan enam butir kelereng susu. “Aneh bukan di TKP seperti ini ada kelereng susu? Tapi ini justru menunjukkan bahwa orang-orang ini berasal dari satu kelompok
mercenaries yang sudah lama malang melintang di Tanah Air. Mereka menyebut diri mereka sendiri dengan nama
Legion.” Sersan Maulana mendekatkan kantong kelereng susu pada Aira, memilih salah satu dan menunjukkan gambaran di lingkar luar kelereng. “sSeperti yang bisa Mbak lihat di sini, ada tanda seperti huruf L berwarna kecoklatan di kelereng susunya.”
Saat melihat kelereng-kelereng susu itu barulah Aira paham. Dia juga sudah pernah mendengar tentang
Legion tapi baru pertama kali ini bersinggungan dengan mereka. “Aku pernah mendengar kabar tentang mereka. Kalau tidak salah jumlahnya ada delapan orang ya?”
“Sembilan tepatnya, tapi itu yang diketahui – entah sebenarnya berapa jumlah pasukan mereka. Pimpinan mereka jarang ikut serta dalam aksi tapi dia mengatur semuanya dari balik layar. Tim khusus kami sedang mengejar dan memburunya. Namanya
Grant Logan, seorang ekspatriat dan pebisnis asal negeri Paman Sam. Saat ini disinyalir dia sedang dalam perjalanan ke Pulau Seberang.”
“Pulau Seberang?”
“Menuju
Kota Seribu Sungai. Entah apa yang diinginkan.”
Aira terkesiap.
.::..::..::..::.
.:: 2.
SANG PENEGAK
“Bu, aku diterima! Aku diterimaaaaa!! Waahahahaha. Ziapa yang menyangka ya? Ini untung atau celaka ya namanya? Wahahahahah. AKU DITERIMAAAA!!”
“Oh ya? Waaaaaaaaah. Hebat sekali.” Sambut sang Ibu dengan wajah sumringah sembari menyiapkan lauk pauk di atas meja makan. Seperti biasa, wanita yang meski terlihat lelah namun tetap ceria itu meletakkan semuanya dengan rapi. Tujuh piring di hadapan empat orang yang saling berhadapan di meja makan. Dua piring untuk sang ayah, dua piring untuk si anak mbarep, dua piring untuk si anak bungsu, dan satu piring untuk dirinya sendiri. Semuanya porsi monster.
Sang Ibu melanjutkan, “Ibu bangga sama kamu. Itu yang namanya anak Ibu. Ibu doakan semoga kamu mengabdi dengan baik dan tanpa pamrih untuk bangsa dan negara. Jangan manfaatkan jabatan untuk menjebak rakyat kecil. Jangan gunakan jabatan untuk mengeruk keuntungan dari mereka yang kaum papa. Ingat kalau kita ini juga mulai semuanya dari bawah.”
“Ziap, Ibu!!”
“Wah, akhirnya ada juga anggota keluarga kita yang jalur hidupnya beres ya. Hihihi.”
“Diterima di kelompok lain kok malah bahagia.” Sang Bapak menggerutu. Dia melirik ke arah putra sulungnya, “Awas zaja kalau zampai berzeberangan dengan kami.”
Sang Ibu tersenyum, membuka topi flatcap sang suami dan mencium ubun-ubunnya. “Aku sudah sering bilang kan sayang? Aku cinta banget sama kamu. Tapi jangan pernah bikin anak kita minder. Dia kan baru bahagia. Kalau disuruh memilih anak atau Bapak, Ibu jelas pilih anak. Apa perlu Ibu kurangi jatah gorengannya supaya Bapak tidak ngomong yang aneh-aneh lagi?”
Sang suami langsung terdiam sambil memasang muka masam. Ia meninggalkan meja makan untuk mengambil nasi di dalam magic com. Sang Ibu mengedipkan mata pada si sulung kebanggaannya. Dia berbisik perlahan. “Jangan khawatir, Bapak pasti baik-baik saja dengan keputusanmu itu. dia pasti bangga juga sama kamu.”
“Zemoga zaja begitu.”
“Pasti. Ibu sudah kenal Bapak jauh lebih lama dari kamu. Hihihihi.”
Si Sulung melirik ke arah sang Bapak dan berbisik. “Apakah zejak jadi penyandang dizabilitaz, Bapak jadi cranky ya, Bu? Gampang naik darah?”
Sang ibu tersenyum dan menyisir rambut si sulung dengan tangannya. “Tidak. Kejadiannya jauh lebih menyedihkan daripada itu. Dia tidak pernah menyesali disabilitas yang sekarang disandangnya. Dia menyesal karena tidak dapat memenuhi janjinya pada seseorang. Itu yang membuatnya sering menggerutu dan kadang marah. Tapi bukan itu topik utamanya hari ini, topik utamanya adalah kamu. Percayalah sama Ibu kalau Ibu bilang sesungguhnya Bapak bangga sama kamu. Dia juga bahagia dengan hidupnya sekarang. Jadi jangan khawatir terlalu berlebihan. Makanlah dengan lahap seperti biasa.”
Si sulung melirik ke sang Bapak yang sedang menumpuk nasi di piringnya.
Ternyata memang ada seutas senyum di wajahnya yang penuh bekas luka.
Si sulung ikut tersenyum, lalu makan hidangan dari sang Ibu dengan lahap.
Si sulung tak akan pernah melupakan senyum itu. Senyum seorang laki-laki yang selalu menyayangi keluarganya lebih dari apapun. Lebih dari apapun.
Senyum sang Bapak.
.::..::..::..::.
…
“
Be? Be? BEEEEE!”
Bison Aji Pradana terkejut saat ada suara yang memanggilnya dengan nada tinggi. Pemuda yang sering dipanggil dengan nama panggilan Abe itu menengok ke samping dan mendapati wajah cantik seorang gadis berkerudung menatapnya dengan pandangan galak.
“Oe, Pak Bolot! Dipanggil-panggil kok ga nengok. Kuping apa
handle pintu? Ngelamunin apa sih?” Amy menunjuk ke arah kantong sang pemuda. “Itu ponsel kamu sejak tadi bunyi terus. Mau diangkat atau nggak? Berisik tahu! Bisa-bisanya jalan sambil ngelamun sampai ga denger bunyi ponsel sendiri.”
Bison nyengir lebar sembari menatap suasana sekitar, beberapa orang tengah menatapnya. Ini memang bukan lokasi yang tepat untuk berisik, mereka sedang menyusuri koridor bandara yang cukup panjang. Mereka – karena selain Amy, Bison tidak sendiri.
Dia sedang dalam perjalanan dinas bersama tiga orang kawan lain. Selain Amy ada juga si Malih yang sedang mendengarkan musik dengan menggunakan
headset wireless dan seorang lagi – seorang pria yang merupakan pemimpin mereka. Dia mengenakan kacamata hitam dan jaket berwarna coklat muda. Pria itu menunjuk ke arah kantong Abe.
“Tidak diangkat?”
Buru-buru Abe Bison mengambil ponsel dari dalam kantong dan memperhatikan layarnya.
“Weeeeeehhh? Kak Aira?”
Nama pemilik nomer yang tengah menghubunginya membuatnya
surprise sekaligus terkejut. Tumben banget Kak Aira telpon. Ada apa ya gerangan? Yah, tapi kalau Kak Aira yang telpon, itu tandanya ada urusan penting – harus diangkat apapun urusannya. Pertama karena Kak Aira orang yang VIP, kedua karena cantiknya Kak Aira itu ga maen-maen. Kapan lagi Bison bisa ditelpon cewek secakep Aira?
Bison buru-buru menekan tombol hijau untuk menerima panggilannya, “Yahaloooo. Apa kabar, kakak cantik?”
“
Halo. Kabar baik, Be.
Kamu sendiri gimana kabar?”
“Baik-baik juga. Hahahaha. Wah tumben banget nih dikontak Kak Aira. Ada angin apa? Apa ada angin? Jadi meraza terzanjung, hahaha. Gimana, Kak? Apa ada yang biza zaya bantu?”
“
Be, aku butuh bantuanmu. Di mana kamu sekarang? Kalau tidak salah dengar kamu sedang dalam perjalanan ke Kota Seribu Sungai?
Kamu sedang ada perjalanan dinas?”
Bison mengerutkan kening, dari mana Kak Aira tahu? Kenapa informasi serahasia itu bisa didapatkan oleh pimpinan tertinggi Aliansi? Ada apa ya? Kenapa Kak Aira sampai menyelidiki keberadaannya? Suara Abe berubah menjadi lebih serius.
“Iya bener, Kak. Ini baru banget turun di bandara, zekarang mau jalan ke kota. Kami ada janji dengan tim di mabez setelah itu aku ada janji ketemuan sama Jano, Kak. Gimana, Kak? Zepertinya ada masalah?”
“
Ada.” Aira meneguk ludah. “
Baiklah. Dengar baik-baik ya, Be. Aku mau kirim pesan ke Jano, aku pengen kamu memperingatkan dia. Ini pesan penting banget, Be.
Karena sejak tadi aku tidak bisa menghubungi Jano, tapi aku akan terus berusaha menghubunginya. Entah apa yang sedang dia kerjakan.
Peringatkan dia supaya bersiap-siap. Siapapun lawan yang kita hadapi sekarang, dia orang yang berbahaya, sangat berbahaya. Namanya Blackjack dan dia sudah menyewa rombongan mercenaries yang namanya Legion untuk menghabisi kami sekeluarga dari Trah Watulanang.”
Suara Aira yang tegang dan serius membuat Bison juga jadi ikut tegang.
“Leg…
Legion, Kak? Kami datang ke zini memang mau memburunya, Kak. Orang yang Kakak zebut itu mungkin
Grant Logan. Pentolan paling berbahaya dari
Legion.” Bison mulai merasa tidak tenang. Kenapa ada orang yang menyewa tentara bayaran ini untuk memburu keluarga Kak Aira? Apa karena mereka sekarang berkuasa di Kota? “Aku akan memperingatkan Jano, Kak. Aku janji.”
“
Aku tidak bisa datang ke sana karena harus membereskan urusan di sini terlebih dulu, aku akan mengejar orang-orang Legion yang ada di sini dan menuntaskan mereka. Untuk yang di sana, aku titip urusan Jano padamu, Be.
Aku percaya sama kamu.”
“Ziap, Kak. Kak Aira biza mengandalkan aku.”
“
Makasih, Be.”
“Zama-zama.”
Klk.
Amy mendapati wajah Bison tiba-tiba berubah menjadi serius setelah panggilan telepon itu. Siapa yang menelponnya? Apakah ada masalah serius? Gadis cantik berkerudung itu menggunakan siku tangannya untuk menyenggol Bison. “Ada masalah?”
“Mazalah kita zepertinya telah menjadi mazalah perzonal buatku.” Buru-buru Bison melangkah ke hadapan sang pimpinan. Abe memberikan hormat.
Sang pimpinan membalas hormatnya dan mengangguk.
“Ijin bicara, Kapten Rozan.”
“Ada apa? Kenapa formal?”
“Zaya minta ijin untuk menemui zalah zatu zahabat zaya zebelum ke markaz bezar. Kita janji datang ke mabez empat jam dari zekarang. Zaya zudah akan berada di zana zaat itu. Ada zatu mazalah bezar yang akan dia hadapi terkait dengan kazuz kita. Ditengarai kehadiran
Grant Logan di kota ini zepertinya untuk mengejar zahabat zaya itu.”
Kapten Rozan dari Tim Garangan adalah seorang pria bertubuh gagah dan tegap. Pandangan matanya tajam dan serius. Rahangnya kotak, rambutnya cepak.
Kapten Rozan mulai membuka mulutnya, “Dalam kondisi normal, tidak akan aku ijinkan, Be. Kamu prajurit dan kamu ada tugas. Permintaanmu adalah hal yang absurd selama perjalanan dinas. Tugas itu nomor satu, urusan lain nomor berikutnya.”
Bison tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya, dia sungguh khawatir pada Jano.
“Tapi aku tahu siapa yang ingin kamu temui dan kalau itu semua ada hubungannya dengan Grant Logan maka aku beri ijin. Tepatnya aku anggap kamu belum sampai di lokasi. Pergilah. Kita bertemu di mabes di waktu yang telah ditetapkan. Jangan sampai terlambat.”
Bison mengangguk. Ia memberi hormat. “Siap Kapten.”
Amy dan Malih tersenyum saat Bison mengedipkan mata.
Pemuda itu berlari meninggalkan timnya untuk segera menemui Jano.
.::..::..::..::.
.:: 3.
SANG MONSTER
Pertarungan di tepi sungai itu membuat banyak orang berlarian untuk kabur. Mereka yang tadinya memancing dan berjualan di tepian sungai langsung lari tunggang langgang karena keributan yang terjadi. Bahkan preman pasar ikan dan penjaga parkir di depan pun kabur karena tahu siapa yang tengah membuat keributan. Ada yang menjadi pemburu dan ada yang sedang diburu.
Pemburunya? Aliansi. Yang diburu? Kelompok bayaran yang menamakan diri mereka
Legion.
Aliansi sedang memburu
Legion dan mereka akan memburu lawan sampai tertangkap. Mereka akan terus mengejar tanpa lelah dan tanpa kenal menyerah. Karena jika Aliansi menginginkan, maka harus didapatkan.
Saat ini Aliansi berhasil memojokkan tiga anggota
Legion : Radhi, Sugeng, dan Febra.
Tapi para anggota Aliansi tidak memperhitungkan satu masalah besar. Amat-amat besar.
Awalnya Benji dan kawan-kawan berlari kencang menyusur tepian sungai sementara Radhi dan kedua kawannya terus berlari memanfaatkan kemampuan olah tubuh dan olah kanuragan mereka. Tapi sebanyak apapun orang yang mengejar ketiganya, para anggota
Legion belum juga dapat terkejar. Kemampuan ketiga anggota
mercenaries itu ternyata cukup lumayan.
“Berhenti! Berhenti!!” teriak satu orang anggota Aliansi yang kerepotan mengejar.
“Maling!! Maaaaliiing!!” teriak anggota yang lain supaya ketiga anggota
Legion tidak berhasil kabur.
Tapi mereka berhadapan dengan tiga prajurit bayaran yang cukup cekatan dan sepertinya sudah cukup berpengalaman. Ketiganya tak bisa ditangkap semudah itu oleh anak-anak Aliansi yang pengalamannya masih skala lokal. Sampai akhirnya mereka sampai di ujung tepian sungai. Radhi, Sugeng, dan Febri terjebak. Melewati air? Airnya cukup deras. Agak berbahaya, tapi itu satu-satunya jalan untuk lari.
Apalagi di depan ketiga anggota
Legion kini berdiri sosok yang tak disangka-sangka ada di sana. Dia akan menjadi pengubah kondisi.
Benji selaku kapten dari pasukan pemburu Aliansi meneguk ludah. Dia terpaksa menghentikan laju pasukannya meskipun buruan sudah di depan mata.
Kenapa harus dia yang ada di sini?
Di hadapan mereka kini berdiri seorang kakek-kakek berbadan raksasa dengan tubuh yang sama sekali tidak mencerminkan usianya. Dia kekar, besar, dan mengintimidasi. Rambutnya yang seluruhnya berwarna putih keperakan nampak mewah. Wajah dan kulitnya terbakar matahari. Pandangan matanya tajam bagaikan pandangan mata seekor harimau yang selalu mengincar mangsa.
Bagi mereka yang bertemu dengan orang ini dan melakukan kesalahan, maka pilihannya hanya dua, siap kabur meski percuma, atau pasrah untuk dilahapnya. Baik anggota Aliansi maupun
Legion tahu siapa orang itu. Dia adalah legenda hidup yang namanya selalu berkibar dari tahun ke tahun. Sang monster, sang
immortal, dia yang tak bisa dikalahkan, sang Dewa Iblis.
“Rahu Kala.”
Benji terengah-engah saat menyebutkan nama pria di hadapannya, keringatnya mengalir deras. Wajahnya ketakutan menatap sang brahmana bertubuh raksasa yang tadinya mungkin sedang memancing di sungai. Ketiga anggota
Legion mendekat ke arah Rahu – merasa bahwa orang ini akan melindungi mereka. Toh mereka sama-sama anggota dari dunia hitam.
Tapi mereka sebenarnya tak pernah bisa menduga apa yang akan dilakukan sang Dewa Iblis. Dia adalah seorang
loose cannon yang bertindak berdasarkan keinginan dan kemauannya sendiri.
“Kenapa kalian menggangguku?” Sang
Brahmana Raksasa itu mendengus sambil menyeringai lebar. Senyumannya mengerikan. “Aku paling tidak suka diganggu sewaktu memancing. Ulah kalian yang berlari-lari di sungai membuat semua ikan kabur. Aku tidak suka kalau ikan-ikan kabur. Kalian tahu kan apa itu artinya kalau ikan-ikan kabur karena ulah kalian? Itu artinya kalian telah membuatku marah. Kenapa kalian membuatku marah?”
Rahu menampar pelan sebuah pohon yang berdiri kokoh di samping sungai, dengan satu sentuhan lembut, pohon itu ambruk ke samping dan jatuh dengan kerasnya, menimbulkan suara berdebam dan deburan air yang kencang. Rahu menyeringai bengis dan berjalan ke depan mendekati pasukan Aliansi sekaligus
Legion.
“Kalian tidak akan suka kalau aku marah.”
Melihat Rahu, semua anggota
Legion mulai menciut nyalinya. Mereka berpencar menghindari jalur sang Dewa Iblis. Orang ini tidak akan menolong mereka! Orang ini akan melahap siapa saja yang menghalangi jalannya!
Para anggota Aliansi juga bersiap. Sekali lagi, Rahu Kala adalah seorang
loose cannon. Orang yang tidak bisa ditebak sifat, sikap, dan reaksinya terhadap sebuah situasi. Bisa saja dia kemudian melindungi para anggota
Legion, tapi bisa juga mendadak dia akan membunuh mereka, celakanya… bisa jadi dia justru menyerang Aliansi. Dia akan melakukan apapun yang dia mau tanpa peduli konsekuensi dan gilanya, tidak akan ada yang bisa menghentikannya.
“Kalian telah membuatku marah.” Rahu tersenyum mengerikan lalu menundukkan kepala dengan mata tetap mengincar ke arah depan. Dengusannya terdengar seperti suara dengusan banteng yang sedang bersiap-siap menyerbu ke depan. “Kalian tidak akan suka kalau aku marah.”
Swssh.
Dengan satu gerakan cepat, Rahu sudah sampai di belakang salah satu anggota
Legion – Radhi. Pria itu menolehkan kepala ke belakang dan menatap Rahu dengan sangat ketakutan, “Rahu yang agung. Kita sama-sama dari dunia hitam… kita
jape methe. Merekalah yang mengejar dan membuat kami berlari kemari! Kalau mereka tidak mengejar, kami tidak akan sampai ke tempat ini. Jadi kami mohon bagi Rahu yang agung untuk…”
“
Jape methe ndasmu semplak! Apakah wajahku terlihat bagaikan wajah seseorang yang peduli?” Rahu menyeringai. “Aku hanya tahu satu hal dan itu adalah fakta yang terlihat di depan mata. Kedatangan kalian mengganggu ikan-ikan yang aku pancing. ”
“Rahu! Apakah nyawa lebih penting daripada ikan?”
Rahu memiringkan kepala dan menatap ke Radhi dengan tatap mata tajamnya. Ia tertawa. Radhi justru terbata-bata karena tahu ia baru saja salah bicara. “Ma-maksudku… aku… kami… maksud kami…”
Kedua kawan Radhi menatap Rahu dengan ngeri. Mereka berdua tahu apa resikonya salah ucap di hadapan Rahu Kala sang Dewa Iblis.
Radhi hampir kencing di celana menatap sang Brahmana Raksasa. Meski seorang
mercenary yang sudah harus siap dengan segala macam resiko, Rahu adalah pembeda. “Rahu yang agung…”
Terlambat. Kesalahan ucapnya harus dibayar dengan mahal.
Rahu mencengkeram wajah Radhi tanpa bisa ditahan dan dihentikan oleh siapapun, ia menahan wajah pria itu dengan sangat kencang sampai-sampai ia tak bisa bernapas. Radhi meronta-ronta. Dengan satu gerakan ringan, Rahu memutar tubuh Radhi sehingga wajahnya menatap ke arah teman-temannya sementara Rahu mengunci leher sang anggota
Legion itu dengan lengannya yang teramat besar dari belakang.
“
Hgkkkkkghhhh!” Bagaimanapun ia meronta, Radhi tak bisa melepaskan diri dari kuncian sang Dewa Iblis. Ia menatap kedua kawannya dengan memelas, “T-t-tolong…”
Sugeng dan Febri saling bertatapan. Bagaimana ini? Apakah mereka harus menyelamatkan Radhi? Tapi di sisi lain, ada anggota Aliansi yang juga terus mengejar mereka. Sementara Radhi terjebak oleh Rahu ada baiknya mereka melarikan diri!
“Ke sana!” Sugeng berteriak kencang. Febri paham.
Meski menunjuk ke satu arah, tapi sebenarnya itu kode supaya keduanya berpencar. Febri mengeluarkan satu barang dari tas cangklongnya. Sebuah benda berwarna gelap berbentuk bulat.
Booom!
Bom asap meledak.
Meski hanya sesaat, keduanya lenyap tanpa jejak. Meninggalkan Benji dan kawan-kawan Aliansi berhadapan dengan Rahu. Tak jauh dari sang Dewa Iblis berdiri, tubuh Radhi sudah terkulai tak bernyawa dengan kepala terputar sampai belakang.
“Bajingaaaan! Mereka kabur! Kejar merekaaaaa!” Benji kesal melihat buruannya lolos. Ia berteriak dengan kencang untuk memerintahkan pasukan. “Cari mere…hpppp!”
Mulut Benji ditutup oleh satu tangan raksasa.
“Aku bilang apa soal mengganggu ikan-ikan? Apa kamu harus dibunuh dulu supaya paham? Suaramu itu mengganggu!! Dibilang jangan teriak-teriak malah nekat! Sudah bosan hidup rupanya.” Rahu Kala menyeringai.
Benji membelalakkan mata. Yang begini dibilang mengganggu? Tadi dia sendiri yang menjatuhkan pohon ke sungai dan mengotorinya! Bagaimana sih orang ini? Logika semacam apa yang digunakan? Tapi Benji tahu apapun yang Rahu katakan, Rahu selalu benar. Apa mungkin mengkritik Rahu? Tidak ada yang berani dan tidak ada yang bisa.
Napas Benji mulai sesak. Ia tersengal-sengal karena tak bisa bernapas, suaranya tercekat sampai tenggorokan, tubuhnya mulai lemas. Ia meronta sejadi-jadinya tapi tak berhasil melepaskan diri dari kuncian sang Dewa Iblis. Anggota Aliansi lain kebingungan melihat situasi ini. Maju berarti mati tapi kalau diam saja Benji pasti bakal mati konyol seperti Radhi. Apa yang harus mereka lakukan?
“Tunggu apalagi kalian? Kita semua bersaudara! Aliansi harga mati!!” teriak salah satu anggota Aliansi yang geram melihat Benji disepelekan. Ya, dia bisa mati saat menentang Rahu, tapi kalau itu dilakukan demi seorang sahabat, dia rela melakukannya! “Majuuuuuuuu!!”
Benji terbelalak dan menggeleng kepala sebisanya. Tidak! Tidak! Tidak! Jangan maju! Jangan majuuuu!! Mereka tidak boleh maju dan mati konyol! Mereka pergi saja jauh-jauh! Pergi! Jangan bantu dia! Tidak apa-apa dia mati demi Aliansi! Tapi mereka tidak boleh mati! Pergi!!
“Hppphgkkkh…!!” Benji tak bisa mengeluarkan suara. Keringatnya mengalir deras. Dia khawatir sekali dengan anak buahnya. Air matanya tak terbendung. “Jgnnnnn.. mjj…!!”
Pasukan Aliansi terus saja maju.
“Berhenti.”
Saat itulah ada wangi semerbak menyertai semilir angin berhembus di antara pasukan Aliansi, menghentikan
track mereka sebelum sampai di tempat Rahu.
“Kalian diam saja di tempat.”
Terdengar sebuah suara lembut menenangkan.
Suara itu berhasil menghentikan laju pasukan Aliansi. Wangi parfum yang harum tersebar menandakan kedatangan satu sosok penting. Anggota Aliansi pun bagai terbius oleh suara dan wangi itu. Mereka seakan tak bisa bergerak maju walapun ingin. Mereka seperti terhenti di tempat. Waktu seakan tak berdetak sementara dunia di sekeliling mereka masih terus bergerak.
Saat itulah dari atas mereka seorang gadis muncul dengan ilmu ringan tubuh papan atas.
Dia seperti mengendarai angin, bagaikan tidak mempedulikan gravitasi, dia terbang di atas seluruh anggota Aliansi yang tadinya berkumpul untuk menyerang
Legion. Rambut panjangnya berkibar-kibar tertiup angin, syal yang dikenakan melambai ke belakang, wajah jelitanya membius setiap pria, namun kekuatan Ki-nya membuat ngeri siapapun yang bisa merasakannya. Wanita jelita itu bukan gadis yang biasa-biasa saja. Untuk kagum pun mereka segan, tapi kecantikannya memang luar biasa.
Dialah sang
leading lady,
la protagonista, sang
prima donna, pimpinan tertinggi Aliansi.
Aira Harnanto telah hadir.
Benji menatap ke atas dan tak berkedip, antara terpana, terpesona, tapi juga ketakutan luar biasa. Dia takut membuat Aira harus berhadapan langsung dengan monster yang mengerikan ini.
Sang Dewa Iblis justru tersenyum puas melihat kehadiran sang gadis belia yang memiliki Ki
out of this world itu. “Ilmu kanuragan yang mumpuni,
Nduk. Luar biasa. Dengan tubuh seelok itu, dengan usia semuda itu. Kamu membuat orang tua seperti aku terkagum-kagum! Wahahahahah!! Bagus sekali!”
Aira mendarat di depan Rahu dan Benji dengan ringannya. Kakinya menapak di sebuah batu dan ia berdiri dengan jumawa. Gadis itu tersenyum, “Apa kabar Eyang Rahu? Sehatkah
njenengan?”
“Heheheh. Kamu lagi, kamu lagi… Heheheh. Gadis
edan anake wong edan. Apa maumu? Aku pikir kamu sudah tak lagi menetap di
Jawa Dwipa. Dasar Dewi Iblis Kecil.”
“Seenaknya saja Eyang Rahu memberi julukan pada saya,” Aira tersenyum, ia menjura pada sang
Brahmana Raksasa. “Maaf, Eyang. Tapi orang yang sedang Paman Rahu pegang itu adalah teman saya. Mohon maaf kalau kami khilaf dan mengganggu kegiatan Paman Rahu. Pasti tidak akan kami ulangi lagi. Kami melakukan ini karena mengejar penjahat-penjahat yang bertanggung jawab atas kematian salah seorang teman kami. Paman Rahu pasti juga setuju kalau balas dendam adalah solusi terbaik demi bakti kepada sahabat, serta supaya kejadian yang sama tidak terulang lagi. Jadi saya mohon dengan rendah hati, bebaskan teman kami.”
Sang Dewa Iblis tersenyum, “Demi apa aku harus menyerahkan orang ini padamu? Dia telah menghancurkan
mood dan membuat ikan-ikanku tunggang langgang. Bukankah kematian lebih baik daripada hidup tapi percuma? Aku hanya membantu mereka mencari kedamaian. Manusia memang tidak tahu diri, selalu menganggap dirinya lebih tinggi daripada alam. Harus ada penyatuan diri dengan alam! Apa bapakmu tidak mengajarkan itu padamu, Nduk?”
Tangan Rahu bergerak, Benji makin tak bisa bernapas. Ia meronta-ronta dan merem-melek. Seluruh roh dan jiwanya bagaikan disedot keluar.
Aira tersenyum dan menjura, “Jika Eyang Rahu memaksa, maka saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mohon ijin untuk berlaku sembrono, Eyang Rahu.”
“Hahaha, berlaku sembrono? Apa yang kamu…”
“
Wujud hana tan keno kinira.” Aira tersenyum manis sembari mengedipkan mata pada Rahu, sang Dewa Iblis mengerutkan kening. Apa yang gadis muda ini rencanakan? Aira yang tadinya terdiam dan memancang kuda-kuda tiba-tiba saja merapal jurus berikutnya, “
Kawulo namung sadermo…”
Swssssh.
Aira melaju ke depan dengan kecepatan tinggi, hampir tak terlihat oleh siapapun yang memiliki Ki rendah. Saat itu, mungkin hanya Rahu yang mampu melihat kecepatan sang dara jelita. Semua itu dapat dilakukan karena telah Aira merapal pembukaan gerbang kedua, gerbang kecepatan dari ilmu mumpuni warisan keluarga,
Kidung Sandhyakala.
Gelombang pukulan kencang menyerang sang Dewa Iblis. Gadis kecil yang seperti tak berdaya itu ternyata mengirimkan badai pukulan yang luar biasa kencangnya. Gempuran tangan baja-nya mampu seimbang dengan pertahanan Rahu.
Dentuman demi dentuman terdengar bagai tabuhan petir di atas langit.
Dbmmm! Dbmmm! Dbmmmm!
Pertemuan antara kepalan pukulan sang dara dengan pertahanan sang Dewa Iblis membuat goncangan di sekitar kawasan sungai. Orang-orang Aliansi terpaksa mundur karena kedua orang yang seperti monster itu bertemu. Setiap kepalan Aira ditandingi oleh tameng lengan dari sang Dewa Iblis. Keduanya bergerak teramat cepat, bahkan mungkin setara.
Tapi ada perbedaan level.
Rahu mempertahankan diri dari serangan Aira, semua hanya dengan satu tangan saja. Satu tangannya masih mencekik Benji.
Rahu mundur selangkah demi selangkah, ia menerima serangan Aira dengan ringan tanpa mengeluarkan tenaga sedikit pun. Keringat pun tak menetes dari dahinya. Senyuman culas tersungging di bibirnya. “Sudah ini saja kemampuanmu,
Dewi Iblis Kecil? Percuma saja dulu aku berikan kamu
kawruh untuk mengembangkan kemampuan. Percuma dulu kita bertempur mati-matian di Puncak Gunung Menjulang kalau hanya seperti ini saja seranganmu. Kamu akan selalu kalah melawanku,
gadis edan.”
Aira tersenyum sembari meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Gadis jelita itu mengedipkan mata.
“Heehh!?” Rahu baru menyadari kalau dirinya lengah sesaat.
“…
mobah mosik kersaning Hyang Sukmo.”
Swwwsssh.
Tiba-tiba saja kecepatan Aira bertambah. Kakinya menapak dengan kecepatan tinggi ke tanah, kaki jenjang yang mungil itu melakukan gerakan memutar bak tornado yang berpindah-pindah dengan kecepatan tinggi. Ia mampu memutari Rahu dan mengirimkan sentakan pukulan demi pukulan ke seluruh bagian tubuhnya.
Dbmmm! Dbmmm! Dbmmmm!
Benji terbelalak.
Pukulan demi pukulan itu masuk! Tubuh Rahu oleng!
Seakan-akan serangan dari Aira berhasil mendarat di tubuh Rahu karena kecepatan gadis itu tidak bisa ditandingi oleh sang Dewa Iblis, tapi bukankah itu tidak mungkin? Satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah Rahu membiarkan Aira memukulnya.
Benji tidak dapat melihat apa yang terjadi. Ia mengkhawatirkan keselamatan Aira, karena seperti yang semua tahu, Rahu mungkin adalah satu-satunya petarung kelas A+++ yang tersisa di seluruh penjuru negeri. Jika dia sudah berkehendak, ada kemungkinan mereka semua yang saat ini ada di sini akan ditemukan sudah tanpa kepala bergelimpangan di pinggir sungai yang merah oleh darah.
Toh itu sudah pernah terjadi sebelumnya.
“Kamu tidak jera-jera juga ya?” Rahu terkekeh ringan. “Hehehe.
Dewi Iblis Kecil. Bersiaplah. Aku keluarkan sebagian kekuatanku.”
Ka-blaaaaaaaaaaaaammnnnn!!
Semburan tenaga seluas hampir sepuluh meter menghempaskan apapun yang ada di sekitar tubuh sang Dewa Iblis. Para anggota Aliansi lari tunggang langgang menghindari gelombang tenaga yang menimbulkan goncangan hebat itu. Sebagian yang tak sempat lari terlontar, terbang, terhempas, terguling, dan tercebur ke dalam sungai.
Benji pingsan di tangan Rahu.
Rahu terkekeh lagi. “Kalian semua tidak akan…”
“Sudah? Begitu saja sebagian tenaga-nya seorang Rahu Kala?”
Rahu melotot! Dia menengok ke belakang.
Aira sedang duduk dengan santai sembari bertolak pinggang di atas sebuah batu. Seperti tak kurang suatu apa. Matanya menatap tajam ke arah sang Dewa Iblis yang masih terkekeh-kekeh. Pria mengerikan itu terlihat puas dengan kemampuan Aira. Gadis itu kembali mengedipkan mata, “
Njenengan pikir hanya
njenengan yang bisa mengurangi tenaga?”
Rahu tertawa terbahak-bahak. “Naaaaah!! Nah ini baru menarik!! Dewi Iblis Kecil!
Pinter kowe, Nduk!!”
Aira membuka tangannya, melukis di udara membentuk lingkaran. Tiba-tiba saja ada sentakan angin kencang yang keluar dari lingkaran itu! Angin yang sangat-sangat kencang!!
Bmmmmfffhhhhhhh!!
Rahu terhantam serangan angin itu dan jatuh terguling ke belakang! Untuk pertama kalinya! Rahu terjatuh!
Benji terlepas dari tangan sang Dewa Iblis. Aira segera terbang untuk mendekat ke arah Benji. Dengan satu sentakan lembut disertai tenaga angin, tubuh Benji dikirim ke arah rekan-rekan Aliansi yang lain yang masih berdiri. Mereka pun segera membawa Benji pergi.
“Sudah? Kamu sudah tenang sekarang? Bocah itu sudah kamu selamatkan?” Rahu menyeringai. “Aku jatuh karena terpeleset tanah yang licin. Memalukan sekali. Tapi ya sudahlah, apa yang akan kita harapkan kalau sedang berhadapan dengan gadis mungil paling beruntung sedunia.”
Aira tertawa, sesaat kemudian wajah gadis itu berubah menjadi serius. “Eyang Rahu! Urusan kita sepertinya tidak perlu dilanjutkan. Teman saya sudah bebas berkat murah hatinya Eyang. Saya juga masih harus mengejar orang-orang busuk itu. Kita cukupkan sekian dulu ya, Eyang.”
“Enak saja.” Rahu Kala tertawa, “Tiga pukulan! Kita adu tiga pukulan! Kalau kamu berhasil membuatku jatuh terduduk, aku akan menyerah kalah dan membiarkan kalian semua pergi. Tapi kalau sebaliknya aku bisa membuatmu terjatuh, maka aku akan menggunduli rambutmu. Bagaimana? Seru kan taruhannya?”
“Agak tidak imbang ya, Eyang?” Aira tahu dia tidak bisa main-main lagi. Dia tahu di sebalik taruhan absurd itu sebenarnya Rahu hanya ingin menjajal kemampuannya. “Baiklah.”
Gadis itu meneguk ludah. Bisakah dia menang melawan Rahu Kala? Selama ini Aira tidak pernah berhasil melakukannya, bahkan saat ini pun dia tidak yakin bisa mengalahkan sang Dewa Iblis. Perbedaan level mereka berdua sangat kentara. Aira masih butuh berlatih beberapa tahun lagi.
“Aku mulai dulu!!” Rahu terbang ke depan, tangannya ditekuk dan ditarik ke belakang sampai pinggang. Sosoknya yang raksasa terlihat mengerikan di udara, bagaikan pesawat Hercules mengarungi langit. Rahu tak lama melayang di udara, tiba-tiba saja dia menukik turun ke arah Aira. “
Kuasa Dewa Iblis!”
Aira bersiap. “
Kalis ing rubeda. Nir ing sambikala.”
Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaammmm!!
Dua kekuatan besar bertemu. Tubuh Aira terhentak mundur hampir sepuluh meter jaraknya dari posisi semula. Kakinya mengeruk pasir tepian sungai hingga ke dalam seiring jalur ke belakang. Beruntung Aira berhasil mengaktifkan gerbang pertahanan saat pukulan dahsyat dari Rahu Kala dilontarkan. Gadis itu tak akan selamat jika saja gerbang itu tak aktif. Tangan yang disilangkan Aira sebagai perisai di depan wajah terasa linu dan memar.
Rahu tersenyum dan mendarat dengan anggun di atas tanah. Setelah benturan dengan Aira, ia terbang kembali dan melompat ke belakang. Pukulan pertamanya gagal. Tapi tak mengapa. Ia sudah bisa meraba seberapa besar kekuatan lawannya.
Di mata Rahu, Aira memang mengagumkan, tapi dia punya satu kelemahan yang sangat kentara. Secara fisik, Aira bukanlah petarung. Gadis itu tidak punya tulang yang kokoh dan badan yang kekar, tubuhnya langsing bahkan bisa dibilang kurus. Dengan fisik yang seperti itu, maka bisa dipastikan Aira pasti hanya mengandalkan Ki-nya saja saat bertarung. Secara
raw power, Rahu jauh lebih unggul.
Aira memutar lengannya yang nyeri, menghunjukkan kedua tangannya ke depan, dan menatap ke arah Rahu Kala dengan serius. Wajahnya berubah sedikit memerah, karena sedang berusaha mengumpulkan energi Ki. “Giliranku sekarang!
Lir handaya paseban jati!!”
Booom!!
Satu hentakan tenaga dahsyat meluncur dari telapak tangan Aira menuju ke arah Rahu Kala. Sentakan jarak jauh yang hebat itu coba dihadang Rahu menggunakan satu telapak tangannya. Tapi ia terkejut ketika ternyata luncuran tenaga itu sangat-sangat kuat!! Ia terdorong!!
“Hrrrkghhhhh!!” Rahu menggeram.
Sang Dewa Iblis terpaksa menggunakan kedua tangannya untuk bertahan. Tapi tetap saja tubuhnya seperti didorong hingga lima meter ke belakang oleh sentakan ki jarak jauh dari Aira. Satu kakinya bahkan sampai tertekuk dan ia hampir jatuh berlutut di hadapan sang dara jelita. Tentu saja serangan itu tidak berarti besar bagi Rahu, tapi cukup menciderai egonya. “Kurang ajar! Dasar Dewi Iblis Kecil!!”
Serangan usai, Aira mengatur napas. Pertahanan dan serangan yang dilakukannya secara simultan memakan tenaga dalam yang cukup banyak. Ketika gadis itu menatap ke depan, ia melihat Rahu tengah menatapnya marah. Serangan kecilnya telah membuat sang Dewa Iblis kesal.
Rahu Kala berteriak kencang untuk menyalurkan kekesalannya, “Hrrrrghaaaaaaaaaaaaaa!!”
Hembusan tenaga menyebar sekali lagi, kali ini jaraknya bahkan lebih jauh. Pasukan Aliansi yang masih menjaga Aira dari kejauhan kembali berjatuhan. Rahu pasti sedang meningkatkan Ki yang ia aktifkan. Hal ini sebagai pertanda kalau ia semakin menganggap serius kemampuan Aira.
Sang Dewa Iblis mendengus-dengus bagaikan banteng. Ia menjejakkan satu kaki ke tanah sebagai tumpuan, lalu melesat ke depan dengan kecepatan tinggi. Ada percikan energi meletup-letup dari kedua tangan Rahu, percikan tenaga bagaikan kilat yang menyambar-nyambar. Kekuatan besar terbaca dari serangan yang bagaikan mesin
main-battle tank dipacu dengan kecepatan tinggi.
“Bersiaplah Dewi Iblis Kecil! Pukulan kedua!” Rahu meloncat sembari melakukan putaran badan hampir 180 derajat berulang-ulang kali untuk membentuk pusaran. Sesuatu yang ada di luar bayangan manusia biasa. Ada kilatan-kilatan Ki menyala pada pusaran yang ia lakukan. Ini adalah sebuah serangan dahsyat yang terfokus pada lawan.
Aira bersiap dengan segala konsekuensi. Pertahanan apa yang harus dia lakukan?
Pusaran terkuak, Rahu meloncat keluar dari dalamnya. Satu gempuran pukulan menyeruak keluar. “
Kuasa Dewa Iblis! Penghakiman Neraka!”
Aira bersiap. Ki-nya dinyalakan lebih tinggi dari sebelumnya. Gerbang pertahanan kembali dibuka. “
Kalis ing rubeda. Nir ing sambikala.”
Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaammmm!!
Pasir membadai membentuk tornado kecil yang menangkup tubuh Rahu dan Aira. Tidak ada yang dapat melihat hasil dari pukulan sang Dewa Iblis pada sang pemimpin Aliansi. Semua yang menyaksikan bertanya-tanya. Pasukan Aliansi mengkhawatirkan Aira yang terjebak dalam pusaran tornado kecil pekat berkabut itu. Percikan-percikan Ki yang membentuk kilat menimbulkan bunyi memekakkan telinga – bahkan bagi mereka yang tak mampu melihat dan merasakan Ki tetap dapat melihat badai pasir dan mendengar suara kencang itu.
Lalu tanpa tanda-tanda apapun, badai angin itu terkuak dan terpecah, Aira membelah tornado kecil dan menundukkannya. Angin pun tenang kembali. Wajah gadis itu mulai berubah, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya kotor oleh pasir yang bercampur keringat. Ada sobek-sobek di jaket hitam dan celana jeans yang ia kenakan.
Di depan Aira, Rahu Kala bersidekap sambil tersenyum – bersih tak kurang suatu apa. Meski pukulannya gagal menerjang Aira, tapi gadis itu jelas hampir terkena sesuatu yang mengerikan. Terbukti dari hancurnya batu raksasa yang sebelumnya Ia gunakan untuk duduk.
Sambil sedikit terengah-engah Aira menyiapkan diri. ia berlari ke depan, memantulkan diri ke atas, memutar badan, dan menarik angin yang masih tersisa dari badai yang baru saja ia hempaskan. Badai itu terbentuk kembali, kali ini dimulai di tangan sang dara jelita. Targetnya, Rahu Kala.
“
Pukulan Gada Angin,” desis Aira.
Gabungan angin yang dikumpulkan Aira disatukan dengan dahsyatnya Ki yang terkumpul pada kepalan tangannya. Rahu Kala tahu, tangan itu bukan tangan mungil biasa. Tangan itu adalah tangan seorang monster. Sang Dewa Iblis menggemeretakkan giginya. Ini tidak akan berakhir manis.
Jbooooooooooooooooooooooooooooom!!
Hantaman Aira diterima oleh sang Dewa Iblis secara langsung. Tangannya disilangkan di atas wajah. Kepalan Aira mendesak Rahu untuk terus turun, dan turun, dan turun, dan turun. Meski tanah yang dipijak amblas, tapi kaki Brahmana Raksasa itu tetap kokoh bertahan, enggan untuk terjatuh. Desakan Aira terus menerus dilakukan, tiap kali mendesak Rahu, Ki yang dihempaskan oleh sang dara jelita makin menguat.
Aira berteriak kencang, “Heaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrghhhh!!”
Jbooooooooooooooooooooooooooooom!!
Pukulan Aira makin mendera sang Dewa Iblis, tanah yang ia pijak runtuh membentuk bulatan raksasa yang retak dan membanjir. Seperti ada tenaga yang terhempas melewati sang Bahmana Raksasa. Tapi Rahu tetap kokoh meski kali ini wajahnya pun berubah. Ia sedikit lebih berkeringat dan berulang kali menggemeretakkan gigi. Mungkin tidak ada yang percaya hari itu bahwa ada seorang gadis muda yang mampu mendesak Rahu Kala, tapi mereka semua menyaksikannya.
Rahu terdesak. Makin lama dia makin turun!! Kakinya mulai bergetar hebat! Dia akan jatuh!!
“Kuraang ajaaar!!” Rahu marah, dia tidak sudi dikalahkan oleh seorang gadis kecil. Tenaga dalamnya ditingkatkan dan difokuskan pada lengan yang menahan pukulan Aira. “Kurang ajaaaaaaaaaaaaaarrr!!!”
Tanah tempat Rahu berpijak makin lama makin amblas. Brahmana Raksasa itu memaksakan kakinya untuk naik dan memilih tempat berpijak yang lebih kokoh. Rahu menarik lengannya sedikit, lalu melontarkannya ke atas! Tepat ke wajah sang dewi jelita. Tapi Aira juga sudah siap dan menunggu-nunggu, ia juga melontarkan pukulan kencang berselimut Ki. Pada pukulan Aira, desisnya terdengar seperti raungan binatang buas – seakan-akan seperti raungan seekor naga.
Jurus ini… bukankah… Rahu terbelalak, tapi ia tak punya waktu banyak.
Pukulan mereka bertemu.
Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaammmm!!
Tubuh Aira terlempar ke belakang. Rahu Kala pun sama, dia juga terseret ke belakang. Ada bercak darah di jemari sang Dewa Iblis, tangannya terluka. Aira menapakkan kaki ke tanah dengan lembut. Rahu Kala kokoh bertahan setelah mundur sampai lima meter. Dua-duanya masih sanggup berdiri dengan gagah.
Aira berkacak pinggang dan mengedipkan mata pada sang Dewa Iblis.
Rahu terkekeh sembari terengah-engah.
Pasukan Aliansi bersorak-sorai melihat pimpinan mereka berhasil bertahan dari gempuran demi gempuran sang Dewa Iblis bahkan bisa menyudutkannya. Mereka mengelu-elukan nama Aira. Aira mendengus, orang-orang itu tidak tahu saja tubuhnya berasa remuk semua dan tulang-tulangnya terasa copot. Ia berusaha mengatur napasnya seefektif mungkin. Tangan dan kakinya sebenarnya sudah bergetar. Satu pukulan dahsyat lagi Aira pasti akan roboh, untungnya hanya adu tiga pukulan saja.
Rahu mengangguk dan mengangkat jempol.
“Luar biasa,
Nduk Cah Ayu. Kemampuanmu meningkat pesat dibandingkan dulu saat kamu masih seperti lembek seperti lempung gulali. Aku tidak mengira kamu akan bertahan sampai pukulan ketiga.” Rahu bertepuk tangan dan menyeringai. “Baiklah, hari ini aku anggap aku kalah karena dari tiga pukulan kita seakan-akan seimbang. Karena kalah, maka aku akan pergi dari sini. Beruntung Aliansi memiilki pimpinan sepertimu.”
“Terima kasih, Eyang.”
“
Dewi Iblis Kecil! Berlatihlah terus! Aku tunggu pertemuan kita berikutnya!! Kalau kamu datang lagi ke kota, aku akan mencarimu!!”
Boooom!
Rahu Kala melesat pergi dengan sangat cepat sampai-sampai Aira pun tak dapat melihat. Begitu monster itu pergi, suasana kembali terkendali. Pasukan Aliansi bersiap-siap untuk mengejar kedua anggota
Legion yang terlepas meski tentu saja kini mereka sudah sangat jauh kabur entah kemana.
Aira sendiri akhirnya duduk kelelahan di atas sebuah batu. Gadis itu menyelaraskan napasnya yang terengah-engah ketika Rahu sudah tak terlihat. Dia tadi tidak melakukan hal ini karena tidak ingin terlihat lemah di hadapan sang Dewa Iblis. Melawan Rahu itu
russian roulette, untung-untungan. Kalau saja tadi sang Dewa Iblis sedang tidak enak hati, Aira bisa mati terbunuh hari ini.
“Mbak Aira!” seorang anggota pasukan Aliansi datang ke Aira membawa sebotol minuman air putih kemasan. “Silakan diminum, Mbak. Beristirahatlah. Kami yang akan mengejar kedua buruan.”
“Terima kasih.” Aira tersenyum dan mengangguk. Ia mengambil botol air minum yang disediakan oleh sang anak buah, membuka tutupnya, dan segera menenggaknya. Hampir setengah botol habis dalam sekali tegukan.
Saat itulah terdengar suara orang memanggil-manggilnya.
“Kak Airaaaa!”
“Kakaaaaak!”
Aira menoleh ke samping – ke arah hutan dan pepohonan lebat di seberang sungai. Dari sana muncul dua orang muda, masing-masing membawa Sugeng dan Febri. Kedua anggota
Legion itu sudah pingsan dan tak berdaya. Ternyata meskipun mereka berdua berhasil lolos dari Rahu dan kejaran Pasukan Aliansi, mereka tidak lolos dari kedua orang yang telah berjaga di hutan sebelah.
Kedua orang muda itu melambai-lambaikan tangannya ke arah Aira.
Dua orang dengan wajah yang teramat mirip yang tanpa susah payah berhasil menundukkan dua orang anggota
Legion yang tadi melarikan diri. Mereka berdua bukanlah orang asing. Mereka berdua sangat dekat di hati Aira. Hatinya menjadi hangat saat melihat wajah kedua orang itu.
Si Kembar.
Aira berdiri, Ia tertawa dan membalas lambaian tangan mereka.
Untunglah ada mereka berdua.
Sebenarnya Ia sudah lelah sekali.
Aira kembali terduduk di atas batu sembari menunggu kedatangan si Kembar menemuinya. Gadis itu melirik ke arah jauh, ke arah batu raksasa yang kini sudah hancur lebur oleh tangan Rahu Kala… sungguh seorang monster yang seakan-akan lahir di
universe yang berbeda. Dia seperti bukan manusia.
Entah kapan Aira bisa menandingi kemampuannya. Untuk saat ini,
level mereka berdua masih jauh berbeda. Dia masih belum sanggup membuat Rahu bertekuk lutut. Bahkan di usianya yang sekarang sang monster itu malah justru nampak semakin muda dan semakin mengerikan. Julukan Dewa Iblis benar-benar layak disematkan kepadanya.
Sosok yang mengagumkan. Tua tua keladi, makin tua makin jadi. Hari ini Aira beruntung bisa bertahan, entah jika kelak mereka bertemu kembali.
Aira memijat lengannya yang masih saja kesemutan.
“Hkkghh!”
Aira terbatuk, ia buru-buru mengambil
tissue dari dalam kantong jaket.
Tissue itu digunakan untuk menyapu sesuatu yang keluar dari bibirnya. Ada darah di sana. Ini pasti gara-gara lonjakan tenaga dalamnya terlalu dipaksakan tadi.
Salah satu titik kelemahan sekaligus gerbang paling berbahaya dari
Kidung Sandhyakala adalah gerbang pertahanan. Gerbang yang sangat menguras Ki. Banyaknya energi yang harus dikeluarkan kadang justru menjadi senjata makan tuan. Khusus mengenai hal itu sang Papa dulu sudah pernah memperingatkannya. Dari semua anak-anak Papa, mungkin hanya ada satu orang saja yang bisa secara efektif menggunakan gerbang pertahanan – dan itu bukan Aira.
Aira punya tenaga dalam yang teramat besar dan mengagumkan, tapi kemampuan menangani tenaga dalamnya masih kurang jika dibandingkan dengan legenda seperti sang Dewa Iblis. Aira tahu harus lebih banyak berlatih lagi untuk mencapai level yang setara dengan Rahu. Dia juga harus menguasai ilmu pertahanan dengan sempurna.
Kelak Aira pasti bisa mengalahkan Rahu Kala. Pasti. Suatu saat kelak.
Yang penting ancaman
Legion di sisi kota sudah bisa mereka hentikan. Hanya tinggal menunggu hasil di pulau seberang. Dia tak akan bisa mencegat sang pimpinan
Legion, harus sang adik yang melakukannya, dan Aira percaya kalau adiknya itu mampu melakukannya.
Aira menatap langit.
Berdoa dan berharap.
Jano… kalau aku bisa, kamu pun pasti bisa.
GAROU - VENGEANCE IS MINE A SELESAI.
BERSAMBUNG KE GAROU - VENGEANCE IS MINE B