Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Jumpa Lagi, Rina!

azlam

Semprot Kecil
Daftar
9 Jun 2015
Post
95
Like diterima
1.627
Bimabet
145362772-256-k209158.jpg


1

Suatu hari, di kantorku ada lowongan pekerjaan di bagian akuntansi. Semua karyawan boleh merekomendasikan teman atau saudaranya. Kalau teman/saudaranya itu diterima, karyawan itu akan mendapatkan imbalan (lumayan lah, satu kali gaji, hehe). Aku langsung teringat pada Rina, adik tingkatku sewaktu kuliah dulu yang baru saja diwisuda.

Rina sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Kami saling kenal ketika sama-sama menjadi panitia acara kampus dulu. Dia pacaran dengan Aris, salah seorang teman seangkatanku, dan hubungan kami bertiga tak pernah mengalami masalah. Hal yang paling kuingat dari Rina adalah sikapnya yang ramah dan mudah akrab dengan siapa saja. Meski begitu, ia tetap menghormatiku sebagai yang lebih tua.

"Halo Rina, gimana kabarnya?" tanyaku di telepon.

"Baik, Mas Panji. Tumben nelpon? Kirain udah lupa, " jawabnya. Suaranya yang kekanakan masih belum berubah.

"Iya nih. Lo udah dapat kerja belum? Kebetulan di kantor gue lagi ada lowongan nih. Mau nginfoin aja sih."

"Wah boleh tuh Mas. Bagian apa? Gede ga gajinya? Hehe," tanya Rina, suaranya terdengar senang sekali.

Aku pun menjelaskan tentang lowongan pekerjaan itu sambil sedikit berbasa-basi menanyakan kabar Aris yang kini sedang mengambil s2 di Aussie. Sejujurnya, aku kagum pada mereka karena berani menjalani hubungan jarak jauh. Tidak semua orang bisa.

Singkat cerita, Rina pun mengirimkan lamaran ke kantorku. Berkat IPKnya yang lumayan tinggi dan wawasannya yang luas, Rina pun diterima bekerja sebagai karyawan percobaan.

Mau tidak mau, dia pun harus pindah ke Jakarta, tapi karena kost di Jakarta mahal-mahal, terpaksa ia tinggal di daerah pinggiran kota yang dapat ditempuh dengan dua kali naik busway.

"Besok mau berangkat bareng?" tanyaku di telepon.

"Nggak usah, makasih Mas, besok ketemuan di kantor aja," jawabnya sopan.

Aku tidak sabar ingin bertemu Rina. Ada rasa kangen kepada gadis yang sudah kuanggap sebagai adikku itu. Seperti apa ya dia sekarang?



2



"Sumpah, Jakarta panas banget!" keluhnya saat pertama kali melihatku di depan kantor.

Aku sedikit kaget. Dandanannya berbeda dengan sewaktu kuliah. Dulu, ia selalu tampil casual dan agak tomboy. Tapi sekarang ia terlihat feminin.

Ia memakai kemeja putih tangan pendek yang cukup ketat, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang mungil dan ramping. Roknya model span ketat, sejengkal di atas lutut. Sebagian pahanya yang putih mulus terlihat jelas, begitu juga cetakan pantatnya yang bulat kecil. Postur tubuh Rina memang tidak terlalu tinggi, tapi berkat hak sepatunya, ia jadi hampir sejajar denganku. Oh ya, ada lagi yang berbeda. Sekarang rambutnya panjang dan agak berombak di bagian bawah. Satu satunya yang masih sama hanyalah kacamata yang ia pakai.

"Hahaha, penampilan lo udah cocok jadi cewek kantoran ibukota!" ucapku menggodanya.

Ia tersipu malu sambil menarik-narik ujung roknya.

"Kependekan ga sih?" tanyanya.

"Kurang pendek sih kalo menurut gue," candaku.

"Huuu! Ini aja aku udah risih banget."

"Santai... Lo cantik kok pake dandanan begitu."

Rina tersipu lagi. Saat masuk ke dalam lift yang cukup penuh, aku bisa mencium aroma parfumnya. Manis dan memesona. Sesekali, aku juga curi-curi pandang lewat pantulan di dinding cermin. Rina jadi cantik.

BERSAMBUNG

PART 3 dan 4: "Perasaanku Lega, tapi Celanaku Sempit"
PART 5: "Tanggung Jawab Dong!"
PART 6: "Miss Bully"
PART 7: "Lega Rasanya"

PART 8: "Salah Ngomong"
PART 9: "Maju Mundur"
PART 10: "Agoni"
PART 11: "Berdua Lagi"
PART 12: "Terlanjur Basah"
PART 13: "Di Kamar Mandi"
PART 14: "Di Pintu Masuk"
PART 15: "Begini Ceritanya"
PART 16: "Belum Impas"

duduk.jpg
 
Terakhir diubah:
rinaaa..

jadi jebayang rina nose..
hehehehee

monggo dilanjut oom suhu, stanby nunggu adetan yaa..
 
rinaaa..

jadi jebayang rina nose..
hehehehee

monggo dilanjut oom suhu, stanby nunggu adetan yaa..

wkwk..rina nose itu body nya yahud yak suhu :senam:
 
3

Di kantor, aku tidak banyak berkomunikasi dengannya karena divisi kami memang berbeda. Tapi aku lihat Rina cepat akrab dengan teman-teman yang lain. Dalam waktu kurang dari seminggu saja, ia sudah masuk ke geng cewek-cewek gokil di kantor. Geng ini terdiri dari karyawati-karyawati muda yang paling seru dan sering melawak di sela-sela jam kerja. Mungkin karena sifat Rina yang terbuka dan ramah, ia bisa masuk ke lingkungan mereka.

Bukan cuma teman-teman perempuan yang menyukainya. Para karyawan pria pun banyak yang tertarik kepada Rina. Dimas, rekan kerja yang duduk di sebelahku, sempat terlihat penasaran.

"Anak accounting yang baru tuh cute juga ya. Imut imut lucu gimana… gitu. Siapa deh namanya?" tanya Dimas sambil melongok dari balik kubikel.

"Namanya Rina. Baru juga kenalan, udah lupa. Gimana sih lo?" jawabku.

"Hehe. Maklum, waktu salaman tadi gue terlalu terpesona sama senyumnya, sampe ga dengar dia bilang apa. Haha."

"Biasa lo ah, setiap ada anak baru selalu diincar."

"Siapa bilang gue ngincer? Kan gue cuma penasaran aja," dia ngeles. Ngomong-ngomong kayanya lo lumayan akrab ya sama dia?"

"Lumayan. Dia itu adik tingkat gue dulu waktu kuliah. Kan gue yang bawa dia ke sini."

"Oooh, gue tau," ucap Dimas, "Gebetan lo ya?"

Aku tertawa. "Nggak lah. Dia udah punya cowok, kali. Temen gue sendiri."

Jam dua belas siang, waktunya makan siang. Akhirnya interogasi Dimas berakhir juga, aku bisa bernapas lega.

Iseng-iseng, aku melongok ke ruangan Rina. Rupanya hari ini Rina tidak makan di kantin bersama gengnya, ia membawa bekal sendiri. Kulihat ia sedang membuka tupperware berisi nasi dan lauk. Kasihan, dia makan sendirian. Aku buru-buru mengambil kotak makanku dan masuk ke ruangan kerjanya yang sedang sepi itu.

"Tumben bawa makan," ucapku sambil mengambil kursi kosong dan menghampiri kubikelnya.

"Eh, Mas Panji. Iya nih, lagi bosan sama makanan kantin." jawabnya sambil menawariku makanannya, nasi dan capcay. Aku menolak, soalnya aku membawa makananku sendiri.

"Gimana Rin? Betah sama teman-teman di sini?" tanyaku.

"Mmm, betah kok. Di sini orangnya asik-asik, ga ada senioritas, semuanya akrab." Sambil menyuap makanan, dia mulai menceritakan kesan-kesannya mengenai kantor ini. Tadinya, dia sempat khawatir tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan dunia kerja, tapi semua kekhawatirannya itu sudah sirna.

Sambil mendengarkan ceritanya, mataku melirik-lirik ke arah kolong mejanya. Ada sesuatu yang menarik perhatianku di sana. Paha mulus Rina lumayan terekspos. Tak kusangka, gadis yang dulu imut dan manis itu sekarang terlihat seksi di mataku. Ah! Tidak boleh. Tidak sepatutnya aku punya pikiran ngeres terhadap Rina. Kucoba mengalihkan pembicaraan.

"Kuliah udah, kerja udah, berarti lo tinggal nunggu lamaran dari Aris dong?" aku menggodanya.

"Haha, belum lah Mas. Aku ga mau berharap terlalu jauh. Dia kan masih kuliah, belum waktunya mikirin merid. Lagian kita masih muda kok. Enjoy dulu aja lah," jawabnya.

"Iya sih. Lagian mana tau di sana Aris udah dapet cewek baru. Bule Aussie mungkin?"

"Iiih... jahat!" ia pura-pura marah, lalu berusaha mencubiti pinggangku. Karena kaget, tanganku refleks menangkis. Tapi tanpa sengaja telapak tanganku malah menyentuh buah dadanya yang sebelah kiri. Selama sepersekian detik, aku dapat merasakan sesuatu yang bulat dan kenyal.

"So... Sori, nggak sengaja. " ucapku.

Rina menyilangkan kedua tangannya di depan dada tanpa bicara apa-apa. Tiba-tiba saja suasana menjadi canggung.

"Udah ah, lanjut lagi makannya. Gara-gara Mas Panji, jadi ga selesai selesai nih!"

Setelah itu, kami tidak banyak bicara. Kami menghabiskan makanan, lalu kembali ke ruangan masing-masing.

"Mas, nanti sore pulangnya bareng, ya?" ucap Rina saat aku pamit pergi.

"Oke!"


4.

Biasanya, aku pulang setelah Magrib karena ingin menghindari macet dan ingin nongkrong dulu dengan geng perokok, tapi sore ini aku pulang tepat waktu. Aku menunggu Rina di depan lobi. Dimas sempat mengajakku nongkrong, tapi aku menolak. Aku bilang saja kalau aku ada janji dengan teman. Tidak bohong kan?

Tidak lama kemudian, Rina muncul. Rambutnya kini dikuncir ke belakang, pakaiannya sedikit kusut, tapi ekspresi mukanya masih cerah seperti biasa. Rina memang tidak pernah terlihat murung. Ngidam apa ya ibunya dulu?

"Nunggu lama, ya?" tanyanya.

"Baru kok. Yuk." Aku segera mengajaknya masuk lift karena kebetulan ada lift yang kosong.

"Busway kalo jam segini tuh penuh ya?" ujarnya.

"Iya lah, namanya juga jam pulang kerja. Makanya, gue biasanya nongkrong dulu, terus baru pulang abis magrib. Lumayan, nggak terlalu penuh."

"Oh, gitu ya? Lain kali aku juga gitu deh. Aku ikut nongkrong juga deh sama Mas Panji sambil nunggu jalanan sepi."

"Yee, aku kan nongkrongnya sama geng smoking room. Emangnya sekarang lo ngerokok, Rin?"

"Ngerokok apa dulu nih?"

"Ya ngerokok rokok lahh, rokok tembakau. Masa' nyimeng?" jawabku sambil tertawa. Sedetik kemudian aku kepikiran candaan porno yang berhubungan dengan pertanyaan Rina, tapi tidak jadi kuucapkan.

Sepanjang jalan menuju halte, Rina menceritakan pengalamannya beberapa hari belakangan ini menggunakan busway. Katanya, ia risih harus berdesak-desakan di busway. Kadang-kadang ada laki-laki yang berdiri di belakangnya dan menggesek-gesekkan selangkanga ke pantatnya.

"Kenapa lo nggak teriak aja? Biar tu bajingan digebukin orang satu bis!" ucapku agak emosi.

"Aku ragu-ragu. Habisnya dia tampangnya orang baik-baik, terus bisnya emang penuh banget, siapa tahu dia nggak sengaja?" jawabnya.

Benar juga, pikirku. Kadang-kadang aku juga tidak sengaja bergesekan dengan perempuan di bis.

Bis pertama tiba. Isinya sangat penuh. Aku tadinya ingin mencegah Rina supaya tidak naik, tapi ia sudah terlanjur melangkahkan kakinya. Aku mengikuti dia dari belakang, lalu mendorong penumpang lain yang malas memberi jalan.

Perasaanku mulai tidak enak karena melihat para penumpang di sekitar Rina ternyata laki-laki semua. Rina berdiri menghadap kursi penumpang sambil berpegangan di besi. Di belakangnya ada seorang bapak-bapak yang tampak mencurigakan. Bis semakin penuh, bapak-bapak itu kelihatannya semakin menghimpit pantat Rina. Rina melirik ke arahku, wajahnya kelihatan takut. Bagaimana ini? Aku harus melakukan sesuatu!

Aku tidak berani menuduh bapak-bapak itu melakukan pelecehan, sebab dia memang tidak melakukan apa-apa. Akhirnya aku mendapatkan ide.

"Permisi Pak!"

Aku masuk di antara Rina dan bapak-bapak itu. Bapak-bapak itu memberi jalan walau terlihat kesal. Sekarang, akulah yang berada tepat di belakang Rina. Sudah aman, pikirku.

"Makasih, Mas," bisik Rina.

Aku mencoba menghalangi selangkanganku dengan tas supaya tidak bergesekan langsung dengan pantat Rina, tapi tidak ada gunanya. Tasku sangat tipis. Isinya cuma ada charger HP dan beberapa lembar kertas. Aku masih bisa merasakan pantat Rina yang bulat dan empuk itu menggesek-gesek selangkanganku, terutama waktu bis mengerem mendadak.

Jalanan sangat macet dan agak miring. Tubuhku terdorong-dorong ke depan dan ke belakang. Waktu aku terdorong ke depan, selangkanganku menekan pantat Rina. Rina lebih pendek dariku, tapi karena hak sepatunya lumayan tinggi, pantatnya jadi hampir sejajar dengan penisku. Terasa sekali penisku menempel di belahan pantatnya Rina. Lalu saat Rina terdorong ke belakang, pantatnya menekan selangkanganku. Rasanya menyiksa sekali, tapi nikmat.

Tubuhku sangat rapat dengan tubuh Rina. Leher Rina yang putih mulus terpampang jelas di depan mukaku, karena rambutnya dikuncir tinggi. Hidungku mencium aroma parfum Rina yang tercampur dengan keringatnya. Uh! Semakin lama penisku semakin keras. Rina pasti menyadarinya. Aku berusaha menahannya, tapi tidak bisa. Aku takut Rina mengira aku melakukan pelecehan seksual kepadanya.

Tiba-tiba saja Rina menoleh ke arahku, mukanya manyun.

"Maaf," bisikku.

Kejadian itu terjadi selama 30 menit. Akhirnya kami turun juga di halte busway. Aku bisa bernapas lega, tapi masih deg-degan karena takut dengan reaksi Rina selanjutnya.

"Marah ya?" tanyaku.

Rina masih memasang wajah manyun. Pipinya digembungkan.

"Sumpah, nggak sengaja!" ucapku lagi.

Wajah Rina berubah, kelihatannya ia berusaha menahan tawa.

"Hihih, aku nggak marah." ia tertawa.

"Habisnya gue nggak bisa nahan kalo...."

"Iya… Wajar kok, wajaaaar," ucapnya sambil tersenyum. Ia menjulurkan lidah seperti ingin meledek aku.

"Huu, ngeledek lo ya? Padahal udah gue tolongin tadi."

"Hihi, iyaa makasih banget ya, Mas Panji udah ngelindungin aku tadi." Rina nyengir.

Perasaanku lega sekali melihat reaksi Rina yang santai. Ya…Perasaanku memang lega, tapi celanaku sempit.

Aku mengantar Rina sampai depan tempat kostnya. Tempat kost khusus karyawati yang lumayan bagus. Di depannya ada satpam dan CCTV. Pasti harganya mahal.

"Mau masuk dulu?" tanyanya.

"Ah, nggak usah. Nanti kemalaman. Lagian nggak enak masuk kostan perempuan."

Sebenarnya aku ingin masuk, tapi aku takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sensasi di bis tadi masih belum hilang.

"Ya udah. Besok bareng lagi mau nggak? Kan busway kita satu jurusan?" tanyanya.

"Boleh, setiap hari juga boleh" jawabku.

Setelah itu, aku pun langsung pamit. Aku masih harus naik Metro Mini lagi sampai depan kostku. Sepanjang jalan, aku bertanya-tanya, apa kejadian tadi akan berulang setiap hari juga?
 
Setiap hari dong gan........
Updatenya
 
lanjut lagi master!

seneng banget ada cerita softcore begini...

mantab!
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd