Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Jumpa Lagi, Rina!

13

Sekarang aku berada berdua bersama Rina di dalam kamar mandinya. Aku masih mengenakan pakaianku yang setengah basah, sementara Rina tak mengenakan sehelai pakaian pun di tubuhnya, kecuali selembar handuk yang tergantung pasrah di tangan mungilnya.

"Eh?" ucapnya.

"Hah?" balasku.

Suasana menjadi super canggung. Kami saling tatap. Aku berusaha tak menggeser pandanganku dari wajahnya karena aku tak siap menghadapi apa yang akan aku saksikan.

Memang, ini bukan pertama kali kami berada dalam suasana erotis, tapi biasanya Rina selalu berada dalam kondisi berpakaian lengkap. Biasanya akulah yang ia telanjangi, bukan sebaliknya.

Aku tak sanggup menahan pandanganku lagi. Dengan lirikan mataku, aku dapat melihat tubuhnya, nyaris tanpa penutup sama sekali. Sepasang payudara mungil dan padat itu menggantung polos. Aku dapat melihat puting susu Rina yang berwarna coklat muda dan ujung-ujugnya terlihat menegang, mungkin kedinginan.

Tanpa bisa kukendalikan, pandangan mataku terus menjalar ke bawah. Ke arah selangkangannya, tempat paling rahasia yang sekali pun tak pernah terbayang dalam benakku.

"Ih, apa sih? Mas kok ngeliatinnya gitu?" ucap Rina, kemudian segera menutupi bagian bawah tubuhnya menggunakan handuk. Namun handuk itu terlelau kecil sehingga buah dadanya masih tetap terekspos dengan bebas.

"Eh, sori! Sori!" ujarku sambil berusaha mengalihkan pandangan.

"Kenapa, sih?" tanyanya. "Penasaran?"

Aku menelan ludah dan mengangguk. "Maklum lah, baru sekali ini ngeliat."

"Sini, Mas," kata Rina lagi. "Kalau mau pegang boleh, kok. Tapi yang atas aja, ya?"

"Hah? Maksud lo Rin?"

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba Rina menggenggam tanganku, kemudian menariknya dan meletakkan telapak tanganku di atas buah dada kanannya. Aku dapat merasakan permukaan bukit payudaranya yang halus dan tekstur tonjolan putingnya di bagian tengah telapak tanganku. Ketika aku menggerakkan tanganku dan meremasnya perlahan, aku dapat merasakan benda yang kenyal dan lembut itu terasa hangat.

Tanpa diminta, aku langsung mengarahkan tangan kananku ke dada kirinya, sehingga sekarang aku dapat merasakan sepasang benda bulat itu dengan kedua tanganku. Aku meremas keduanya dengan perlahan, mencoba merasakan setiap mili sensasi kelembutan dan kekeyalannya.

"Punyaku kecil, ya Mas?" tanya Rina dengan suara yang agak serak. Sepertinya napasnya mulai terdengar tak beraturan.

"Nggak, kok. Aku suka," kataku, sambil tanganku terus memainkan buah dadanya, memijat, mengelus, dan meremas, seolah sedang mencoba mengukurnya.

"Tapi ... gedean punya Eva, kan?"

Ucapan Rina itu tiba-tiba saja membuat tanganku berhenti bergerak. Dalam benakku, yang muncul bukan lagi sosok Eva dalam video skandalnya, tapi sosok wanita anggun berjilbab putih yang kulihat di bus. Bayangan itu membuatku merasa malu dan sesak.

"Kenapa lo sebut nama itu lagi?" tanyaku sambil menatap mata Rina.

"Maaf, Mas. Aku nggak sengaja, aku lupa!" ucap Rina agak panik.

"Rin... kan gue udah bilang ...."

"Udah, udah. Sebagai permintaan maafku, Mas Panji, Mas boleh kok ...," kata Rina.

Tiba-tiba tangan Rina mengusap pipiku. Ia menatap mataku dengan sepasang mata yang redup, seperti penuh penyesalan, dan membuatku merasa tidak tega. Usapan tangannya kemudian berpindah ke rambutku, kemudian bergerak ke leherku dan menarik kepalaku ke arahnya.

"Mas kalau mau coba, sini, boleh kok," bisik Rina.

Aku tak sanggup menolak tawarannya. Rangkulan tangannya yang lembut itu berhasil membimbing kepalaku untuk menunduk, kemudian turun ke bawah, ke arah dada kirinya. Di depan mataku, hanya berjarak satu senti, terpampang puting payudara Rina yang basah dan menegang keras.

Ia terus menarik kepalaku, hingga akhirnya ujung bibirku mau tak mau menempel pada ujung putingnya. Kugerakkan wajahku perlahan, menggesek-gesekkan bibirku di puncak putingnya. Ketika tanpa sengaja putingnya itu terkena kumisku yang sudah kucukur pendek, Rina mendesah lembut. Kemudian, aku membuka sedikit bibirku, menjepit puting Rina di antara bibirku, kemudian mengemutnya perlahan.

Rina kembali mendesah.

Kalau kuingat-ingat, ini adalah pertama kalinya aku mendengar ia mendesah seperti ini. Dalam beberapa kali insiden terlarang kami, biasanya akulah yang selalu dibuat mendesah. Kali ini, desahan penuh hasrat dari mulut Rina itu membuatku merasa bangga dan juga penasaran. Aku ingin mendengar desahan merdu itu lagi. Lagi dan lagi.

Aku pun menjulurkan lidahku, kemudian menempelkan ujung lidahku ke sisi bawah puting Rina, lalu menyapunya hingga ke atas. Rina mendesah lagi. Setiap kali aku membelai puting Rina dengan lidahku, aku dapat merasakan getaran-getaran halus di tubuhnya. Puting itu terasa semakin keras, tapi juga membuatku semakin penasaran untuk terus menjilatinya.

Aku mengecup puting Rina, menjilati dan mengulumnya. Air sisa mandi di putingnya itu kini bercampur dengan air liurku. Aku mulai mencoba untuk menghisap dan menyedotnya dengan selembut mungkin. Aku hanya ingin mendengar ia mendesah. Desahannya adalah candu bagiku.

Sambil terus mengemut dan menjilati puting susunya, aku melirik ke arah wajah Rina. Aku dapat melihat ekspresi wajahnya yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Matanya setengah terpejam, kulit pipinya merona merah, sementara bibirnya terbuka sedikit dan mengeluarkan erangan-erangan pelan. Sementara itu, tangannya terus saja mengelus rambutku, sambil menahan kepalaku agar aku tak melepaskan hisapanku.

Setelah puas menyusu di dada kirinya, aku pun berpindah ke dada kanannya. Awalnya, Rina sempat protes ketika aku tiba-tiba saja melepaskan hisapanku.

"Mas? Mau ke mana?" tanyanya pelan.

"Kasihan kembarannya, nanti dia cemburu," gumamku, kemudian mulai melahap payudara kanannya.

"Aaah..." Rina mengeluarkan desahan tertahan.

Aku menjilat, menghisap, dan mengulum puting sebelah kanan itu. Awalnya, tangan kiriku kugunakan untuk meremas dan memijat payudara kirinya, tapi setelah beberapa saat, Rina menggenggam tangan kiriku dan mulai mengarahkannya ke tempat lain.

"Aaaahh... Mas... Mas Panji..." desahnya.

"Mmmm... Iya, Rin?" jawabku sambil terus mengulum putingnya.

"Maaf Mas, aku ... aku boleh pinjam tangannya yang ini sebentar?"

"Buat apa?" tanyaku lagi.

"Buat ... buat bantuin yang di bawah sini," ucapnya.

Rina kemudian mengarahkan tangan kiriku ke bagian bawah tubuhnya yang entah sejak kapan sudah tak tertutup handuk lagi. Aku dapat merasakan bagian dalam pahanya yang sangat halus dan basah. Kemudian ujung-ujung jariku di arahkannya untuk menelusuri setiap jengkal permukaan pahanya hingga tiba di antara selangkangannya. Bagian itu terasa hangat, meskipun kami berada di kamar mandi yang cukup dingin.

Jari-jemariku terus menjalar naik, hingga akhirnya aku tiba di sebuah bagian yang terasa jauh lebih lembut dari bagian lainnya. Bagian itu terasa memiliki beberapa lipatan dan kerutan, serta sedikit rambut-rambut halus yang tercukur rapi. Aku mulai menggerakkan jariku, dan aku menemukan sebuah celah yang terasa lembab. Semakin dalam jariku menelusuri celah itu, aku dapat merasakan sesuatu yang basah dan licin. Jelas ini bukan air dari shower kamar mandi, sebab teksturnya terasa licin. Aku pun mulai menggerakkan jari tengahku di bagian celah yang basah itu. Lama-lama jari tengahku itu tergelincir dan masuk lebih dalam lagi, ke bagian yang kini terasa hangat dan sempit.

Tiba-tiba saja, Rina mendesah dengan suara yang nyaring. Desahan itu sekilas seperti terdengar seperti jeritan.

"Kenapa?" tanyaku.

"Gapapa, Mas. Terus, Mas. Lebih dalam lagi. Aah...," gumamnya.

Aku kembali mendorong jariku, menembus celah sempit yang lembut itu. Aku dapat merasakan tekstur yang sedikit bergerinjal tetapi hangat dan basah. Dinding-dindingnya seperti menahan jariku, tapi juga mengundangnya untuk terus masuk ke dalam.

"Tolong, Mas. Please," gumam Rina.

-----
 
Mantap Hu @azlam
Makasih updatenya
Waduh... deskripsinya bikin ngiler Hu. Natural dan bagus banget. Bisa bayangin apa yg dirasakan Panji dan Rina
Ga sabar nunggu update berikutnya Hu. Penasaran euy, akankah Rina dan Panji ahirnya akan....
Lanjut Hu. Lanjut hohoho
Monggo dilanjut
 
14: Di Pintu Masuk

Ketika kakinya terasa lemas, Rina minta izin untuk berhenti sejenak. Ia berjalan mundur, kemudian duduk di atas kloset duduknya yang tertutup. Aku mengikutinya, kemudian berlutut di depan Rina agar posisi tubuhku sejajar dengan posisi tubuhnya sekarang.

"Pegel, ya?" tanyaku.

Rina hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. Ia menaikkan kedua kakinya ke atas, kemudian membuka kedua pahanya lebar-lebar, memperlihatkan bibir vaginanya yang merekah indah, bersiap menikmati permainan jariku lagi. Perlahan, aku kembali memasukkan jari tengahku. Kali ini tidak ada kesulitan berarti karena dinding-dinding intimnya sudah terasa licin dan basah. Aku dapat memasukkan jariku hingga seluruh buku-buku jariku tertelan oleh vagina Rina.

Jari tengahku bergerak maju mundur di dalam vagina Rina, awalnya perlahan, tapi semakin lama semakin cepat. Sementara itu, mulutku kembali menghisap dan mengemut puting susunya secara bergantian. Rina memegangi kepalaku dan mulutnya mulai mengeluarkan racauan tak jelas.

Semakin cepat jariku bergerak, semakin sering juga Rina mendesah dan mengerang. Aku dapat merasakan ada getaran-getaran halus di tubuhnya yang merambat dari pinggul hingga ke sekujur tubuhnya. Sambil terus menghisap putingnya, aku melirik ke atas, ke arah wajahnya.

"Aaaah... Mas! Jangan liatin gitu dong! Mmmh...," desahnya.

"Ngggnappmangny?" ucapan yang keluar dari mulutku terdengar tidak jelas karena tersumpal oleh payudaranya.

"Ma ... Malu tauuu .... Ooohhh..." ucapnya terbata-bata.

Aku tidak peduli. Semakin ia merasa malu, semakin ia bergetar hebat. Aku terus menatapnya meski ia mencoba memalingkan wajah. Aku menikmati setiap ekspresi raut wajahnya yang tak kuasa ia bendung. Ia tak mampu menahan gelombang kenikmatan yang terus menghantam titik sensitifnya. Matanya setengah terpejam, mulutnya terbuka, dan sesekali ia akan menggigit bibirnya sendiri sebelum mengeluarkan desahan merdu.

Ketika jari tengahku menghentak ke bagian terdalam vaginanya, tubuhnya yang semula lemas tiba-tiba saja menegang hebat. Tumitnya terangkat, punggungnya melengkung ke atas, sementara tangannya menjambak dan menekan kepalaku ke antara belahan dadanya.

"Mas! Aku... Aku.... Aaaaah! Aaaah!" jerit Rina.

Aku dapat merasakan jari tengahku dihisap dan dijepit dengan hebat, kemudian arus cairan hangat mengalir deras membasahi jariku, diiringi dengan deru napasnya yang terus meninggi, terus memuncak, hingga pada satu titik, waktu di tubuhnya seperti berhenti berdetak--segalanya hening.

Ia melepaskan sebuah lenguhan panjang, kemudian tubuhnya langsung roboh seperti kehilangan tenaga. Ia menyandarkan kepalanya di pundakku dengan napas yang masih terengah-engah.

"Nikmat banget, Mas, Makasihhh," ucapnya dengan suara yang lemah.

Aku membelai rambutnya, menunggunya yang masih berusaha mengatur napas. Kemudian, aku menyandarkan tubuhnya ke bagian belakang kloset dan menurunkan kedua kakinya hingga posisinya menjadi lebih rileks.

Rasa bangga sekaligus senang memenuhi dadaku melihat Rina yang tampak sangat terpuaskan oleh apa yang aku lakukan. Tidak bisa kupungkiri, sensasi itu membuat penisku terasa sangat tegang di dalam celana, tapi aku tak ingin mengatakan apa-apa. Aku yakin, Rina pun menyadari hal ini.

Sambil duduk dan mengumpulkan tenaga, Rina mengangkat tangan kanannya, kemudian meraih tonjolan penisku yang masih memberontak di dalam celana kerjaku. Ia mengelusnya dari luar restleting. Sungguh, pada awalnya aku memang menolak mengulangi peristiwa semacam ini dengan dirinya, tapi dalam kondisi ini, aku tak kuasa menolak. Setidaknya, aku ingin merasakan kepuasan juga seperti dia.

Dengan jemari lentiknya yang masih sedikit gemetar, Rina membuka retsleting celanaku, kemudian dengan lihainya ia merogoh ke dalam celana dalamku dan segera mengeluarkan penisku yang keras seperti batang pohon. Batang penisku bebas sekarang, seperti tongkat komando yang menunjuk ke arahnya dan membuat ia tersenyum manja. Ia menarik batangku ke arahnya dan memaksaku untuk maju mendekat.

Awalnya, aku mengira ia akan memberiku handjob atau blowjob seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya, tapi rupanya aku salah. Aku meremehkannya. Ia belum puas. Mungkin baginya apa yang barusan aku lakukan dengan jariku hanyalah sebuah pemanasan.

Rina membalikkan badannya, kemudian menungging, memperlihatkan bokongnya yang bulat dan mulus bersih. Punggungnya agak ditekan ke bawah, sehingga pantatnya kini tampak lebih menonjol ke arahku. Aku teringat pada insiden pertamaku dengan Rina di dalam bus. Saat itu, aku hanya bisa menggesek-gesekkan penisku ke pantatnya dari luar celana. Namun dari kejadian itulah semua kegilaan ini bermula. Apakah hari ini aku akan memasuki sebuah babak baru?

Rina menoleh ke arahku sambil menarik penisku ke arah pantatnya. Ia menggesek-gesekkan ujung kepala penisku ke bantalan pantatnya yang empuk. Benda itu tidak terlalu besar ataupun lebar, tapi bentuknya bulat dan padat. Merasakan kulit bokongnya yang berkeringat, rangsangan dahsyat menjalar dari ujung penisku ke seluruh tubuh. Ia terus menggesekkannya, turun ke bawah, hingga ke lipatan pantatnya, terus lagi hingga ke bibir vaginanya yang masih basah.

"Mas, aku masukin ya?" ucapnya sambil berusaha mencari posisi yang pas agar kepala penisku bisa menelusup masuk ke lipatan bibir vaginanya.

Nyaris kehilangan keseimbangan, secara refleks aku pun berpegangan kepada pinggang Rina. Posisi kami sekarang benar-benar posisi doggy yang nyaris sempurna. Yang harus aku lakukan hanyalah sedikit menekan penisku ke depan hingga benar-benar masuk ke dalam lubang vagina Rina.

"Ayo, Mas. Masukin," ucap Rina, kali ini bukan berupa permintaan, tapi sebuah perintah.

Entah kenapa dalam keadaan nafsu yang sedang memuncak di ubun-ubun itu, tiba-tiba saja ingatan tentang Eva berkelebat di dalam pikiranku. Ingatan tentang perselingkuhan yang ia lakukan di dalam rekaman video, tentang perempuan berjilbab mirip Eva yang sedang membaca kitab suci di bus kota, dan juga tentang Aris, tunangan Rina yang kini sedang berada di Australia. Tiba-tiba saja, aku merasa jijik kepada diriku sendiri. Betapa bejat dan munafiknya aku?

"Mas... cepetan, aku udah ga tahann... Mmmhhhh!" ujar rina sambil menggoyang-goyangkan pantatnya ke arah penisku.

Hanya selangkah lagi, hanya sejengkal lagi, dan aku akan dapat melampiaskan seluruh hasratku pada perempuan manis yang kuanggap seperti adik angkatku sendiri ini. Haruskah aku menyerah kepada dorongan birahi ini?

"Nggak, Rin. Gue nggak bisa," ucapku.

Rina seperti tidak mendengar ucapanku barusan. Ia terus saja menggoyangkan dan menggesekkan bokongnya ke kepala penisku. Dalam momen yang penuh kebimbangan itu, tiba-tiba saja aku mendengar suara pintu yang terbuka dari belakang punggungku.

Refleks, aku menoleh ke belakang. Di sana, di celah pintu yang setengah terbuka, aku melihat sesosok pria yang sedang mengintip, melongokkan kepalanya dan memperhatikan kami.

"Aris!" jeritku dengan suara yang tercekat di tenggorokan.

Aris tersenyum. "Santai, gue cuma ngontrol aja, kok. Lanjut, lanjut," ujarnya.

Bersambung
 
Njrit....
Si Suhu. Udah di pintu masuk Hu... :((:p
Terbaik Hu @azlam
Ga sia2 nungguin updatenya. Mantap beuudddd...
Eh maksud Aris cm ngontrol apaan yak? Makin pinisirin ah Hu
Sok segera dilanjut Hu
Penasaran beneran ini mah apa yg akan dilakukan mrk bertiga
Monggo dilanjut
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd