Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Jumpa Lagi, Rina!

16. Belum Impas

Tubuh Rina berada di bawah tubuhku, napasnya naik turun, sementara mulutnya berusaha bercerita kepadaku dengan suara yang terbata-bata. Keringat membasahi sela-sela tulang selangkanya, membuatnya tampak berkilau indah.

"Aris ... Aris ceritain semuanya sama aku. Tentang masa lalunya, tentang Evan, dan ... tentang Mas Panji," ucap Rina.

"Terus?"

"Terus ... aku... mmmh .... pastinya aku kecewa dan marah. Kecewa karena Aris pernah ngelakuin semua itu. Dan ... ahhh ... dan marah karena dia khianatin sahabatnya sendiri," kata Rina sambil mencoba menahan desahan akibat kenikmatan yang kuberikan di dinding vaginanya.

"Terus apa hubungannya dengan semua ini, Rin?" tanyaku, nyaris berbisik di leher Rina.

"Aku ... aku ... Ah, pelan mas!"

"Iya, iya. Jelasin," ucapku sambil memperlambat genjotanku.

"Aku hargai kejujurannya. Aku sendiri juga bukan orang suci, Mas. Tapi aku nggak mau diperlakukan nggak adil kaya gitu. Jadi ... mmh ... aku bikin perjanjian dengan Aris."

"Perjanjian apa?"

"Iyah. Untuk nebus kesalahannya supaya impas, dia bolehin aku untuk tidur dengan cowok lain, ngeseks dengan cowok lain. Syaratnya, harus dia yang nentuin siapa cowok itu."

"Maksud lo? Maksud lo gue yang ...."

"Iya, Mas Panji yang dia pilih."

Tiba-tiba Aris menimpali dari belakang sana. "Gue pilih lo, karena pertama, gue yakin lo orang baik. Lo nggak akan nyakitin Rina. Kedua, karena gue ada perasaan bersalah sama lo, jadi ...."

"Diam!" bentakku. "Gue lagi ngomong sama Rina!"

Suasana menjadi hening dalam sesaat. Aku mencoba mengendalikan emosiku. Lonjakan emosi itu sempat membuat ereksiku melemah. Namun Rina langsung menarik leherku dan melumat bibirku, memberikan ciuman yang dalam dan sensual hingga ereksiku perlahan-lahan kembali meningkat. Setelah melepaskan ciumannya, akhirnya Rina buka suara kembali.

"Mas, masih inget nggak pertama kali kita ketemu?"

Ingatanku melambung ke masa lalu, ketika Aris pertama kali memperkenalkan Rina kepadaku. Saat itu kami sedang menghadiri acara festival musik di kampus, kebetulan aku menjadi salah satu panitianya. Kalau tidak salah, itu sekitar satu bulan sejak aku putus dari Eva dan Eva berhenti kuliah. Semua orang di kampus, mulai dari mahasisiwa hingga para dosen menggunjingkan skandal Eva. Mereka pura-pura mengasihani aku, tapi banyak juga yang menuduh bahwa akulah yang ada di video skandal itu meski aku sudah membuktikan sebaiknya.

Aris datang sambil menggandeng seorang perempuan imut yang mencuri perhatian banyak orang. Sebenarnya aku sendiri sudah tidak heran lagi dengan kejadian itu. Aris memang sering gonta-ganti pacar. Hanya saja, ada sesuatu yang tampak berbeda dengan Rina. Ia tidak seperti tipe-tipe pacar Aris sebelumnya yang biasanya berpenampilan seperti fashion model dan berusaha keras terlihat anggun. Rina ceria dan apa adanya.

Di belakang panggung, Aris memperkenalkan Rina kepadaku. Itu adalah sesuatu yang jarang terjadi. Biasanya ia tak pernah memperkenalkan pacarnya kepadaku, karena toh sebelum aku sempat mengenalnya biasanya mereka sudah putus terlebih dahulu. Namun pacar barunya itu berbeda. Ia menjabat tanganku cukup lama sambil menatap wajahku, seperti sedang menyelidiki karakterku lewat ekspresi wajah. Seolah, ia memang benar-benar ingin mengenalku.

Aku kembali ke kesadaranku. Perempuan itu sekarang sedang berada di bawah tubuhku, menyatu dengan diriku dan saling menikmati satu sama lain.

"Jadi ... Rin ... waktu itu lo emang udah berniat buat ...." ucapku terputus-putus.

"Aaah.... Iya, Mas. Tapi waktu itu aku nggak jadi. Aku nggak tega, Mas Panji baru kena masalah. Aku tau Mas Panji orang baik, dan aku nggak tega manfaatin Mas cuma untuk dendam pribadi aku," ucap Rina sambil memain-mainkan sepasang putingku, menimbulkan sensasi geli yang menjalar ke sekujur tubuh.

"Oooh... terus kenapa ... akhirnya lo ... mau?" tanyaku.

"Setelah itu ... mmmh ... aku semakin sering ketemu Mas Panji ... aku semakin kenal sama Mas ... dan lama-lama, aku jadi suka beneran sama Mas," ucap Rina dengan wajah yang memerah, entah karena horny atau karena malu. "Jadi ... waktu Aris berangkat ke Australia, aku tagih janji dia. Aku mau ngeseks sama Mas Panji. Bukan cuma sebagai hukuman buat Aris, tapi karena aku emang suka sama Mas, dan aku pengen ngerasain ... ngerasain ... aaah ... ini ... mmmh ...."

Tiba-tiba saja Rina memelukku dengan sangat erat. Aku merasakan dinding vaginanya menjepit dengan sangat kuat, seluruh tubuhnya bergetar, dan aku dapat merasaskan deru napasnya yang memuncak. Rina seperti akan meledak.

"Mas ... Mas Panji ... Aahhh! Aku ... aaah!"

Merasakan tubuh Rina yang sedang menegang mencapai klimaks, aku tak kuasa lagi menahan diri. Penisku langsung menyemprotkan spermanya di dalam vagina Rina, diiringi rasa nikmat dan lega yang merambat ke tulang belakang dan ubun-ubun kepalaku. Rasanya energi tubuhku seperti terkuras ke luar.

Rina telentang sambil berusaha mengatur napasnya. Sementara tubuhku yang mulai lemas ikut terjerembab ke samping. Sisa-sisa kenikmatan masih belum sepenuhnya meninggalkan tubuh kami, sementara di pojok kamar mandi Aris terus memandangi kami dengan ekspresi wajah yang datar. Entah apa yang ada dalam benaknya ketika melihat pacarnya sendiri sedang meraih orgasme bersama pria lain.

Aku memejamkan mata, berusaha mempertahankan kesadaranku agar tak terlelap atau hilang dalam kegilaan. Saat kesadaranku mulai kembali pulih, aku baru menyadari bahwa selama ini aku tidak menggunakan kondom atau pengaman apa pun. Aku melihat ke arah Rina. Ia masih terbaring dengan mata terpejam. Napasnya terlihat lebih tenang. Ia tidak terlihat panik sama sekali. Apa jadinya kalau dia hamil? Apa ini bagian dari rencana mereka juga?

"Tenang, gue punya stok Postinor banyak," kata Aris tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. "Tapi lain kali pakai kondom, ya, Ji."

"Lain kali? Maksud lo?" Aku terhenyak mendengar pesan-pesannya barusan. Bukankah harusnya ini sudah berakhir? Bukankah mereka sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan?

Aris menarik napas dalam. "Jadi gini, Ji. FYI, tadi ceritanya kurang lengkap. Waktu itu, gue ML sama Eva tuh sampai empat kali. Artinya, supaya impas, lo masih punya jatah tiga kali lagi untuk ngeseks sama Rina."

Jantungku berdetak kencang lagi. Aku merasa dipermainkan. "Bangsat lo, Ris!"

"Kok bangsat, sih? Dikasih enak bukannya bersyukur. By the way, jepitan tunangan gue tadi enak, kan?"

Aku tak menjawab. Namun seandainya aku harus menjawab, jawabannya adalah iya. Aku dan Rina sama-sama menikmati persetubuhan kami, meskipun dilakukan dalam kondisi yang sangat absurd. Aku merasa kewarasanku benar-benar sedang di ambang batas sekarang.

Aris berjalan mendekat, kemudian berjongkok dan memberikan selembar kertas kepadaku. Aku mengambil kertas itu dan membaca isinya. Itu bukan kertas biasa. Kertas berwarna putih bersih itu cukup tebal dan ada aroma wangi yang terpancar dari permukaannya. Tulisan di kertas itu ditulis menggunakan tinta keemasan yang timbul. Isinya sederhana: Rina & Aris. Di bawah nama itu, ada tanggal dan tempat acara.

"Kalian ... Kalian bakal nikah dua minggu lagi?" tanyaku, nyaris menjerit.

"Iya. Makanya, usahain ya jatah lo yang tiga lagi itu lo pake sebelum tanggal ini," ucap Aris.
 
Muantaappppp
Sengaja disimpan dl biar dibaca pas kondisi memungkinkan utk ngaceng maksimal. And it work hahahaaa...
Emang, karya Suhu @azlam nie buat Nubie merupakan salah satu cerita yg yahud banget. Gak rugi nungguin biar lamaan dikit.
Sekali lagi, ga tlalu vulgar, tp sangat bisa mbuat tegang sangat maksimal hahahaa...
3 kali lagi sebelum tanggal itu. Wow. Sampe H-1 hari pernikahan Rina masih bisa doonkkk. Sambil ujicoba ranjang pengantennya Rina wkwkwk
Makasih updatenya Hu @azlam
Monggo dilanjut
 
17: Angka Tiga

Dua minggu lagi. Detik demi detik terasa begitu lambat. Aku berpikir untuk membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja. Memangnya, kalau aku tidak menggunakan tiga jatah yang Aris berikan, mereka mau apa? Memperkosaku? Semakin aku membayangkan apa yang sudah terjadi, semakin aku merasa harga diriku terluka. Namun di sisi lain, bisikan dalam diriku juga berkata: mengapa aku tak menikmati saja kesempatan ini?

Sehari setelah kejadian persenggamaan absurd kami, Rina tak masuk kerja. Ia beralasan ke atasannya bahwa ia sedang masuk angin. Mungkin saja itu benar. Mengingat apa yang ia lakukan di lantai kamar mandi tanpa mengeringkan badan terlebih dahulu, tak heran kalau ia benar-benar masuk angin.

Namun satu hari setelahnya, Rina kembali masuk kantor. Kami berpapasan di pantry saat aku sedang menyeduh kopi. Awalnya, aku sempat mengira bahwa obrolan kami akan menjadi canggung lagi, tapi ternyata tidak demikian. Rina tampak fresh, jauh lebih fresh dari sebelumnya. Ia mengenakan rok pendek berwarna krem dengan kemeja putih ketat yang berlengan pendek. Hari itu rambutnya dikuncir dan ia mengenakan sebuah kacamata berwarna merah.

Ia seperti Rina yang kujumpai saat ia pertama kali datang ke kantor ini.

"Gimana? Bagus nggak kacamata baruku?" tanyanya sambil berpose di hadapanku.

"Ngg... bagus, kok," jawabku sekenanya.

"Nggak kegedean, kan?" tanyanya lagi sambil menggerak-gerakkan posisi kacamatanya.

"Agak kegedean sih, tapi cocok, kok. Lebih fresh aja," ucapku.

Tanpa berusaha mengajaknya mengobrol lebih lanjut, aku segera berlalu sambil membawa cangkir kopiku. Namun ketika melewatinya, aku tak bisa menahan sudut mataku untuk tak melirik ke arah tubuh Rina.

Tengkuk leher itu adalah tengkuk leher yang kuciumi kemarin lusa. Bibir mungil itu adalah bibir yang sama yang menghisap batang penisku dengan penuh nafsu. Bokong bulat itu, selangkangan mulus di balik rok pendek itu, baru kemarin lusa aku memasukkan batang penisku ke dalamnya dan menggenjotnya di atas lantai kamar mandi.

Hasratku bergejolak lagi, tapi aku berusaha mengabaikannya sekuat kemampuan pikiranku. Ini bukan lagi soal kenikmatan, tapi soal harga diri.

Hari ini mungkin akan berjalan dengan normal. Rina selalu menyapaku seperti biasa, mengobrol seperti tak pernah terjadi apa-apa, koordinasi urusan pekerjaan pun berjalan normal. Namun setiap kali mata kami bertatap-tatapan di ruang kantor, aku seolah dapat melihat sebuah angka tiga yang mengambang dan menyala-nyala di atas kepala Rina. Gadis cantik ini, yang berdiri hanya beberapa meter dariku ini ... memberiku kesempatan untuk menyetubuhinya tiga kali lagi, kapan pun aku mau, di mana pun aku mau.

Jantungku berdetak sangat kencang membayangkannya. Pikiranku tak bisa berkonsentrasi mengerjakan pekerjaanku. Setiap kali aku melewati ruangan Accounting tempat Rina berada, imajinasi liarku muncul lagi. Bagaimana jika aku sekonyong-konyong masuk ke ruangan itu, menghampiri kubikel Rina, menggenggam tangannya, lalu berbisik kepadanya: "Rina, gue mau pakai jatah gue, sekarang"? Apa yang akan terjadi? Apakah ia akan mengangguk, lalu mengajakku ke toilet atau tangga darurat, lalu kami akan bercinta dengan liar di sana?

Mustahil. Punya jatah tidak sama dengan bisa melakukannya di mana saja. Bahkan mereka yang suami-istri sekalipun tidak berarti bisa bercinta di toilet atau tangga darurat. Logika pikiranku sepertinya mulai kacau sampai-sampai tak bisa lagi membedakan fantasi dan kenyataan.

Aku memutuskan untuk mengabaikan fantasi itu dan mencoba fokus pada pekerjaanku. Namun sekeras apa pun aku berusaha, aku tak pernah berhasil berkonsentrasi. Akhirnya, aku berencana menghabiskan sisa jam kerjaku siang itu dengan melamun di depan meja kerja. Kupikir aku hanya perlu menunggu beberapa jam dan semua ini akan berakhir. Besok akan jadi hari yang baru dan mungkin akan jadi hari yang jauh lebih ringan.

Sayangnya, semua harapanku itu buyar. Atasanku memanggilku ke ruangannya. Aku tak menyangka, sejak pertama kali aku bekerja di kantor itu, baru pertama kalinya aku dimarahi dan dipermalukan oleh atasanku sendiri. Sebenarnya, itu memang salahku. Salah satu hasil pekerjaanku memiliki kesalahan yang cukup fatal. Klien memprotes keras atas kerugian yang mereka alami. Sementara itu, atasanku menyindir keras kinerjaku. Katanya, beberapa waktu terakhir ini kinerjaku menurun, seolah ada sesuatu yang mendistraksi pikiranku.

Ia tidak salah, memang. Namun rasa malu dan kesal yang ia hunjamkan ke dadaku tidak bisa kusangkal. Aku keluar dari ruangannya dengan kepala yang terasa panas mengepul dan dada yang terasa sesak bukan main. Langkah kakiku memburu di lorong kantor itu. Aku ingin meninju tembok atau memecahkan barang, tapi aku tahu tak dapat melakukannya. Lalu aku melewati ruang Divisi Accounting. Aku berpapasan dengan Rina yang baru saja memfotokopi sesuatu.

Sekonyong-konyong, aku menggenggam pergelangan tangan Rina dan menariknya.

"Rin!" ucapku.

Rina menoleh. Raut wajahnya tampak kebingungan. Ia mengernyitkan dahi.

"Kenapa, Mas Panji?" tanyanya.

"Gue butuh lo. Sekarang," ujarku singkat.

"Ma... maksudnya?" tanya Rina gugup.

"Jatah gue masih berlaku, kan?"

Rina mengangguk.

Dalam waktu kurang dari lima menit kemudian, apa yang terjadi adalah kami sudah berada di ruangan ME yang sepi dan jarang didatangi orang. Ada jadwal-jadwal tertentu para teknisi akan mendatangi ruangan ini, dan jadwal itu bukanlah sekarang.

Aku menutup pintu besi ruangan itu, kemudian menyandarkan tubuh Rina hingga berhimpitan dengan sebuah lemari besi yang berisi peralatan listrik dan kabel-kabel. Aku menciumi bibirnya yang lembut sambil berusaha menanggalkan kancing kemejanya satu per satu. Ketika tiga kancing atasnya sudah terbuka, tanganku segera menelusup dan meremasi sepasang payudaranya yang mungil dan bulat.

"Ah... Mas... Mas Panji... Mmmh," desah Rina ketika ciumanku mulai turun dari leher ke belahan dadanya, kemudian ke putingnya yang sebelah kiri.

"Sori, ya. Tadinya gue nggak mau pake jatah gue, tapi ... tapi ... mmmh," gumamku sambil menjilati dan menghisap payudaranya yang satu lagi.

"Ahhh... nggak apa-apa, Mas. Boleh, kok."

Tangan kiriku mulai bermain di selangkangan Rina, masuk ke balik rok pendeknya, lalu menggunakan jari tengahku untuk menggesek-gesek bibir vaginanya. Sementara itu, tangan kananku kugunakan untuk membuka retselting dan kancing celana kerjaku sendiri. Sepasang tangan Rina membantuku menurunkan celanaku berikut dengan celana dalam yang kukenakan, kemudian dengan lihainya ia mengeluarkan penisku yang sudah tegang sempurna ke alam bebas.

Setelah penisku berhasil ia bebaskan, ia segera menurunkan roknya sendiri hingga terjatuh di mata kaki.

"Kita nggak punya banyak waktu," gumamku.

Rina mengangguk, seolah memahami benar apa yang aku inginkan. Ia segera membalikkan badannya, kemudian menundukkan punggungnya hingga pantatnya berada dalam posisi menungging. Aku langsung memerosotkan celana dalam kremnya hingga pantat mungilnya terpampang jelas di hadapanku. Kuremas pantat mulus itu, kemudian kuarahkan agar ia membuka selangkangannya lebih lebar.

Dengan nafsu yang meluap-luap, aku mulai memasukkan batang penisku dengan posisi doggy, menekannya hingga urat-uratnya yang keras menelusup di antara celah kemaluan Rina yang hangat dan basah. Dengan sekali dorongan, seluruh bagian batangku kini sudah berada di dalam tubuh Rina. Ia mendesah keras ketika ujung kepala penisku terasa menyentuh bagian terdalamnya.

"Mmmmh, ahhh," desah Rina. "Jangan lama-lama, Mas!"

Aku mulai menggoyang dan menggenjot Rina dari belakang di ruangan yang sempit ini. Dalam benakku, aku mencoba meluapkan kekesalan dan rasa maluku. Kata-kata atasanku yang tajam dan sinis masih terasa sakit mengiris dadaku, dan aku ingin meredakan rasa sakit itu dengan memanfaatkan kenikmatan dari tubuh Rina. Tidak ada salahnya, kan? Tidak ada yang dirugikan. Semua pihak telah setuju dan aku hanya mengambil apa yang sudah menjadi hakku.

Ketika aku sedang asyik menikmati dinding lubang kemaluan Rina, tiba-tiba saja pintu ruang ME terbuka. Seseorang membuka pintu itu dengan tiba-tiba. Aku menahan napas. Sempat terbersit dalam pikiranku bahwa ini adalah ulah Aris lagi. Harus sampai berapa kali Aris memergokiku?

Namun rupanya aku salah. Aris tidak mungkin ada di sini. Ia tidak bekerja di kantor ini. Sosok yang muncul dari balik pintu dan menyaksikan persetubuhan kami adalah Dimas. Rekan kerjaku yang sejak lama memang sudah mengagumi Rina.

"Anjir! Gilaaaa!" ujar Dimas dengan mulut menganga.

Bersambung....
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd