Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kegagahan Ayah Mertua

Permintaan Ayah

Kejadian pada saat aku terjatuh kemarin bagai lampu hijau bahwa hubungan itu bisa berlanjut ke arah yang lebih. Setidaknya itu yang aku rasakan. Keberanian ayah mertuaku menunjukkan bahwa pada suatu saat bisa saja ia melakukan hal yang lebih. Sedangkan diriku, tidak melakukan perlawanan apa pun terhadap perlakuan dari ayah. Kurasa jika ayah melakukan hal yang lebih, aku juga tidak akan melawan. Aku harus berani mengakui bahwa diriku merasa senang melakukan hal seperti di kamar kemarin.

Meski aku merasa bahagia dengan kejadian kemarin, tapi aku tidak menunjukkan di depan siapa pun. Suamiku atau bahkan ayah mertuaku. Aku tidak ingin terlihat sebagai pihak yang paling bahagia dengan kejadian kemarin. Bukan karena aku takut ayah akan semakin nakal padaku, tapi ini soal rasa gengsi semata. Kurang elok rasanya jika wanita terlalu tampak rasa inginnya.

Aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaan ayah. Ia tidak menujukkan gelagat apa pun. Tapi kurasa ia juga bahagia dengan kejadian kemarin.

Suatu siang, pada saat aku di dapur, ayah baru datang dari sawah. Sebelum ia membersihkan diri, ayah menghampiriku.

“Rin,” sapa ayah. “Ayah minta maaf soal kejadian kemarin. Sekali lagi ayah sudah kurang ajar.”

“Iya, yah. Aku juga salah kok.”

“Ayah ga bisa bohong, Nak,” kata ayah. “Sebagai laki-laki dan seorang duda, ayah tidak kuasa menahan nafsu. Apalagi melihatmu seperti kemarin.”

“Sudahlah, yah,” jawabku. “Semua udah terjadi. Apalagi ayah udah mau bantu aku kemarin.”

“Oh ya, kakimu udah membaik?”

“Sudah, yah.”

“Syukurlah kalo gitu.”

Malam harinya, tepat pada malam Jumat, suamiku meminta jatah padaku. Sebagai istri yang patuh pada suaminya, aku mengiyakan permintaannya. Pada saat aku baru datang dari kamar mandi, kudapati suamiku hanya mengenakan sarung. Ia langsung tersenyum padaku: sebuah kode. Dia langsung berdiri dan menghampiriku. Kami berpelukan dan langsung berciuman.

Kurasakan ada sesuatu yang bergerak dalam sarung suamiku. Tangan suamiku juga mulai bergerilya menyusuri badan bagian belakangku. Daster bagian belakang ia singkap hingga menemukan bongkahan pantatku yang terbalut celana dalam. Suamiku melakukan remasan pada pantatku sementara kami terus berciuman. Tanganku sendiri juga mulai menyingkap sarung suamiku. Kudapati ia sudah tidak mengenakan apa pun di baliknya.

“Tutup pintunya,” kata suamiku menghentikan kegiatan kami. Aku menutup pintu kamar.

Kulihat suamiku kini sudah melepaskan sarungnya dan ia lansung telanjang bulat. Pada saat aku menghampirinya kembali, suamiku yang membuka bajuku satu per satu. Mulai dari daster sampai celana dalam. Suamiku duduk di tepian ranjang dan memelukku yang masih berdiri sambil melahap kedua payudaraku yang tepat berada di depannya. Ia melahap keduanya secara bergantian. Aku makin terangsang dengan perlakuan suamiku itu. Apalagi saat suamiku melumat kedua puting susuku.

“Ahh…” aku mulai mendesah.

Tangan suami kini meraba bagian selangkanganku. Entah kenapa tiba-tiba aku ingat dengan ayah. Kemarin ayah juga melakukan hal yang sama padaku. Jadilah aku makin bernafsu membayangkan ayah yang melakukannya. Kurasakan memekku sudah sangat basah.

Menyadari hal itu, suamiku memintaku untuk tidur di ranjang dan ia langsung menindihku. Kulihat kontolnya sudah tegang. Lagi-lagi aku terbayang pada kontol ayah. Kenapa kontol suamiku tidak sama dengan milik ayah? Oh, andaikan kontol yang akan menggagahiku adalah milik ayah. Suamiku membuka pahaku. Ia langsung mengarahkan kontolnya ke memekku.

Malam itu, suamiku berhasil memberiku kepuasan. Entah itu karena memang kemampuannya atau karena aku yang membayangkan bahwa ayah mertuaku yang sedang menindihku.

~~~​

Besok harinya, aku mengantar makanan untuk ayah dan suamiku di sawah. Sesampainya di sana, kulihat hanya ayah yang ada di gubug peristirahatan.

“Iwan mana ya?” tanyaku.

“Lagi ke sungai,” jawab ayah. “Mandi mungkin.”

Aku menyiapkan makanan untuk mereka. Pada saat aku sedang sibuk, tiba-tiba mengajak berbicara.

“Rin,”

“Iya, Yah?”

“Ayah boleh bilang sesuatu gak?” tanya ayah.

“Boleh, Yah.” jawabku. Aku heran tumben ayah meminta ijin terlebih dahulu.

“E…tadi malem ayah ga sengaja,”

“Ga sengaja apa, yah?”

“Ayah ga sengaja lihat kamu main sama Iwan.”

Deg. Kenapa ayah bisa tidak sengaja melihat itu? Dan aku tiba-tiba saja merasa malu padanya. Aku jadi tidak bisa berkata-kata.

“Kalo ayah boleh jujur, ayah bernafsu lihat kamu main sama Iwan.”

Lagi-lagi aku bingung harus menjawab apa.

“Sudah lama hasrat seks ayah tidak tersalurkan, Rin. Jujur aja ayah sering ngocok sambil bayangin kamu.”

Apa yang harus aku jawab? Tapi dari sini aku tahu bahwa ayah mertuaku juga hal yang sama denganku: berimajinasi soal aku. Tentu saja tidak mungkin aku mengaku bahwa melakukan hal yang sama denganku.

“Tadi malem ayah juga ngintip sambil ngocok,” lanjut ayah. “Ayah bernafsu banget lihat kamu main sama Iwan.”

“Udah, yah,” sahutku. “Aku malu.”

“Kenapa malu? Ayah kan udah pernah lihat.”

“Iya. Tapi ngebayangin lagi main sama Mas Iwan terus dilihat ayah, aku jadi malu.”

“Tapi ayah suka, Nak. Desahanmu dan goyanganmu bikin ayah nafsu banget.”

Aku benar-benar tidak paham dengan ayah mertuaku ini.

“Kalau boleh,” lanjut ayahnya. “Ayah mau lihat lagi pas kamu lagi main sama Iwan. Sekalian ayah sambil ngocok. Hitung-hitung jadi pelampiasan ayah.”

Aku benar-benar tidak bisa menjawab lagi. Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab permintaan ayah ini. Bagiku ini permintaan yang aneh. Bukan karena aku tidak suka dan menolaknya, tapi aku tidak pernah mendapat permintaan aneh ini sebelumnya. Kenapa dia tidak berani meminta hal lebih padaku?

“Boleh, kan?” tanya ayah memastikan.

“Aku tidak bisa memastikan kondisinya, yah,” jawabaku. “Tapi nanti aku coba usahakan.”

“Makasih ya, Nak.”

“Iya, Yah.”

Aku merasa bingung dengan sikap ayah. Dia sudah melihatku telanjang, menyentuh bagian terlarangku, tapi ia seolah tidak berani untuk bertindak yang lebih jauh. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku ingin melakukan hal yang lebih jauh dengan ayah. Beberapa kejadian yang kami alami membuatku ingin bertindak lebih jauh bersama ayah. Ini adalah sisi nakalku sebagai Wanita atau bahkan sebagai istri. Tapi ayah masih bersikap biasa saja. Apakah ia masih merasa takut atau menunggu waktu yang tepat?

Ah, entahlah.

~~~​

Suatu malam, aku sedang rebahan bersama suamiku. Kami saling mengobrol banyak hal termasuk ayah. Aku iseng menanyakan soal ayah kenapa tidak mencari istri lagi.

“Aku juga tidak tahu,” jawab suamiku. “Pernah aku saranin tapi ayah nolak. Katanya masih inget sama ibu.”

“Setia banget bapak,” jawabku. “Tapi kasihan kalo tidak ada yang ngurus, Mas.”

“Ya untunglah kita balik ke sini. Paling tidak kan ada kamu yang bantu ngurus kebutuhan ayah.”

Mendengar suamiku berkata begitu, aku jadi teringat pada kejadian antara aku dan ayah. Tentu saja kebutuhan yang dimaksud suamiku adalah kebutuhan sehari-hari seperti makan dan cuci pakaian. Tapi entah kenapa di pikiranku, kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan biologis ayah.

“Sebenarnya kasihan juga melihat ayah sendiri. Sebagai laki-laki dia juga pasti butuh pelampiasan. Semoga saja ayah tidak sampe bikin masalah selingkuh dengan tetangga sini deh. Itu yang aku takutin.”

Tiba-tiba aku jadi merasa bersalah kepada suamiku. Ia tidak tahu bahwa ayah pernah melihatku telanjang dan menyentuh bagian vitalku. Tapi apakah itu juga dimaksud selingkuh?

“Soalnya dulu masa mudanya pernah nakal. Dia sering ganggu istri orang. Aku takut dia kambuh lagi.”

Istri orang? Bukan. Justri istri anaknya sendiri yang sudah dia ganggu.

“Semua orang di masa mudanya juga pasti nakal, Mas,” sahutku. “Lagian kayaknya ayah juga sudah berubah kok.”

“Iya, Ma. Semoga aja. Tapi dulu aku pernah lihat ayah lagi ngocok di kamar mandi,” tambah suamiku sambil tertawa. “Ya mungkin lagi pengin ya dia.”

“Ih, mas. Ngapain ngintip orang lagi ngocok?”

“Mas ga sengaja kok,” jawab suamiku. “Tapi dulu ayah pernah cerita, dia kalo lagi main bisa kuat banget.”

“Udah ah, Mas. Kok jadi cerita gituan sih?”

“Hehehe. Iya, Ma.”

Meskipun aku meminta pembicaraan ini dihentikan, pikiranku jadi berjalan ke mana-mana mendengar informasi dari suamiku itu. Aku jadi berimajinasi: aku bercinta hingga beronde-ronde dengan ayah.

Bersambung~
 
Permintaan Ayah

Kejadian pada saat aku terjatuh kemarin bagai lampu hijau bahwa hubungan itu bisa berlanjut ke arah yang lebih. Setidaknya itu yang aku rasakan. Keberanian ayah mertuaku menunjukkan bahwa pada suatu saat bisa saja ia melakukan hal yang lebih. Sedangkan diriku, tidak melakukan perlawanan apa pun terhadap perlakuan dari ayah. Kurasa jika ayah melakukan hal yang lebih, aku juga tidak akan melawan. Aku harus berani mengakui bahwa diriku merasa senang melakukan hal seperti di kamar kemarin.

Meski aku merasa bahagia dengan kejadian kemarin, tapi aku tidak menunjukkan di depan siapa pun. Suamiku atau bahkan ayah mertuaku. Aku tidak ingin terlihat sebagai pihak yang paling bahagia dengan kejadian kemarin. Bukan karena aku takut ayah akan semakin nakal padaku, tapi ini soal rasa gengsi semata. Kurang elok rasanya jika wanita terlalu tampak rasa inginnya.

Aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaan ayah. Ia tidak menujukkan gelagat apa pun. Tapi kurasa ia juga bahagia dengan kejadian kemarin.

Suatu siang, pada saat aku di dapur, ayah baru datang dari sawah. Sebelum ia membersihkan diri, ayah menghampiriku.

“Rin,” sapa ayah. “Ayah minta maaf soal kejadian kemarin. Sekali lagi ayah sudah kurang ajar.”

“Iya, yah. Aku juga salah kok.”

“Ayah ga bisa bohong, Nak,” kata ayah. “Sebagai laki-laki dan seorang duda, ayah tidak kuasa menahan nafsu. Apalagi melihatmu seperti kemarin.”

“Sudahlah, yah,” jawabku. “Semua udah terjadi. Apalagi ayah udah mau bantu aku kemarin.”

“Oh ya, kakimu udah membaik?”

“Sudah, yah.”

“Syukurlah kalo gitu.”

Malam harinya, tepat pada malam Jumat, suamiku meminta jatah padaku. Sebagai istri yang patuh pada suaminya, aku mengiyakan permintaannya. Pada saat aku baru datang dari kamar mandi, kudapati suamiku hanya mengenakan sarung. Ia langsung tersenyum padaku: sebuah kode. Dia langsung berdiri dan menghampiriku. Kami berpelukan dan langsung berciuman.

Kurasakan ada sesuatu yang bergerak dalam sarung suamiku. Tangan suamiku juga mulai bergerilya menyusuri badan bagian belakangku. Daster bagian belakang ia singkap hingga menemukan bongkahan pantatku yang terbalut celana dalam. Suamiku melakukan remasan pada pantatku sementara kami terus berciuman. Tanganku sendiri juga mulai menyingkap sarung suamiku. Kudapati ia sudah tidak mengenakan apa pun di baliknya.

“Tutup pintunya,” kata suamiku menghentikan kegiatan kami. Aku menutup pintu kamar.

Kulihat suamiku kini sudah melepaskan sarungnya dan ia lansung telanjang bulat. Pada saat aku menghampirinya kembali, suamiku yang membuka bajuku satu per satu. Mulai dari daster sampai celana dalam. Suamiku duduk di tepian ranjang dan memelukku yang masih berdiri sambil melahap kedua payudaraku yang tepat berada di depannya. Ia melahap keduanya secara bergantian. Aku makin terangsang dengan perlakuan suamiku itu. Apalagi saat suamiku melumat kedua puting susuku.

“Ahh…” aku mulai mendesah.

Tangan suami kini meraba bagian selangkanganku. Entah kenapa tiba-tiba aku ingat dengan ayah. Kemarin ayah juga melakukan hal yang sama padaku. Jadilah aku makin bernafsu membayangkan ayah yang melakukannya. Kurasakan memekku sudah sangat basah.

Menyadari hal itu, suamiku memintaku untuk tidur di ranjang dan ia langsung menindihku. Kulihat kontolnya sudah tegang. Lagi-lagi aku terbayang pada kontol ayah. Kenapa kontol suamiku tidak sama dengan milik ayah? Oh, andaikan kontol yang akan menggagahiku adalah milik ayah. Suamiku membuka pahaku. Ia langsung mengarahkan kontolnya ke memekku.

Malam itu, suamiku berhasil memberiku kepuasan. Entah itu karena memang kemampuannya atau karena aku yang membayangkan bahwa ayah mertuaku yang sedang menindihku.

~~~​

Besok harinya, aku mengantar makanan untuk ayah dan suamiku di sawah. Sesampainya di sana, kulihat hanya ayah yang ada di gubug peristirahatan.

“Iwan mana ya?” tanyaku.

“Lagi ke sungai,” jawab ayah. “Mandi mungkin.”

Aku menyiapkan makanan untuk mereka. Pada saat aku sedang sibuk, tiba-tiba mengajak berbicara.

“Rin,”

“Iya, Yah?”

“Ayah boleh bilang sesuatu gak?” tanya ayah.

“Boleh, Yah.” jawabku. Aku heran tumben ayah meminta ijin terlebih dahulu.

“E…tadi malem ayah ga sengaja,”

“Ga sengaja apa, yah?”

“Ayah ga sengaja lihat kamu main sama Iwan.”

Deg. Kenapa ayah bisa tidak sengaja melihat itu? Dan aku tiba-tiba saja merasa malu padanya. Aku jadi tidak bisa berkata-kata.

“Kalo ayah boleh jujur, ayah bernafsu lihat kamu main sama Iwan.”

Lagi-lagi aku bingung harus menjawab apa.

“Sudah lama hasrat seks ayah tidak tersalurkan, Rin. Jujur aja ayah sering ngocok sambil bayangin kamu.”

Apa yang harus aku jawab? Tapi dari sini aku tahu bahwa ayah mertuaku juga hal yang sama denganku: berimajinasi soal aku. Tentu saja tidak mungkin aku mengaku bahwa melakukan hal yang sama denganku.

“Tadi malem ayah juga ngintip sambil ngocok,” lanjut ayah. “Ayah bernafsu banget lihat kamu main sama Iwan.”

“Udah, yah,” sahutku. “Aku malu.”

“Kenapa malu? Ayah kan udah pernah lihat.”

“Iya. Tapi ngebayangin lagi main sama Mas Iwan terus dilihat ayah, aku jadi malu.”

“Tapi ayah suka, Nak. Desahanmu dan goyanganmu bikin ayah nafsu banget.”

Aku benar-benar tidak paham dengan ayah mertuaku ini.

“Kalau boleh,” lanjut ayahnya. “Ayah mau lihat lagi pas kamu lagi main sama Iwan. Sekalian ayah sambil ngocok. Hitung-hitung jadi pelampiasan ayah.”

Aku benar-benar tidak bisa menjawab lagi. Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab permintaan ayah ini. Bagiku ini permintaan yang aneh. Bukan karena aku tidak suka dan menolaknya, tapi aku tidak pernah mendapat permintaan aneh ini sebelumnya. Kenapa dia tidak berani meminta hal lebih padaku?

“Boleh, kan?” tanya ayah memastikan.

“Aku tidak bisa memastikan kondisinya, yah,” jawabaku. “Tapi nanti aku coba usahakan.”

“Makasih ya, Nak.”

“Iya, Yah.”

Aku merasa bingung dengan sikap ayah. Dia sudah melihatku telanjang, menyentuh bagian terlarangku, tapi ia seolah tidak berani untuk bertindak yang lebih jauh. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku ingin melakukan hal yang lebih jauh dengan ayah. Beberapa kejadian yang kami alami membuatku ingin bertindak lebih jauh bersama ayah. Ini adalah sisi nakalku sebagai Wanita atau bahkan sebagai istri. Tapi ayah masih bersikap biasa saja. Apakah ia masih merasa takut atau menunggu waktu yang tepat?

Ah, entahlah.

~~~​

Suatu malam, aku sedang rebahan bersama suamiku. Kami saling mengobrol banyak hal termasuk ayah. Aku iseng menanyakan soal ayah kenapa tidak mencari istri lagi.

“Aku juga tidak tahu,” jawab suamiku. “Pernah aku saranin tapi ayah nolak. Katanya masih inget sama ibu.”

“Setia banget bapak,” jawabku. “Tapi kasihan kalo tidak ada yang ngurus, Mas.”

“Ya untunglah kita balik ke sini. Paling tidak kan ada kamu yang bantu ngurus kebutuhan ayah.”

Mendengar suamiku berkata begitu, aku jadi teringat pada kejadian antara aku dan ayah. Tentu saja kebutuhan yang dimaksud suamiku adalah kebutuhan sehari-hari seperti makan dan cuci pakaian. Tapi entah kenapa di pikiranku, kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan biologis ayah.

“Sebenarnya kasihan juga melihat ayah sendiri. Sebagai laki-laki dia juga pasti butuh pelampiasan. Semoga saja ayah tidak sampe bikin masalah selingkuh dengan tetangga sini deh. Itu yang aku takutin.”

Tiba-tiba aku jadi merasa bersalah kepada suamiku. Ia tidak tahu bahwa ayah pernah melihatku telanjang dan menyentuh bagian vitalku. Tapi apakah itu juga dimaksud selingkuh?

“Soalnya dulu masa mudanya pernah nakal. Dia sering ganggu istri orang. Aku takut dia kambuh lagi.”

Istri orang? Bukan. Justri istri anaknya sendiri yang sudah dia ganggu.

“Semua orang di masa mudanya juga pasti nakal, Mas,” sahutku. “Lagian kayaknya ayah juga sudah berubah kok.”

“Iya, Ma. Semoga aja. Tapi dulu aku pernah lihat ayah lagi ngocok di kamar mandi,” tambah suamiku sambil tertawa. “Ya mungkin lagi pengin ya dia.”

“Ih, mas. Ngapain ngintip orang lagi ngocok?”

“Mas ga sengaja kok,” jawab suamiku. “Tapi dulu ayah pernah cerita, dia kalo lagi main bisa kuat banget.”

“Udah ah, Mas. Kok jadi cerita gituan sih?”

“Hehehe. Iya, Ma.”

Meskipun aku meminta pembicaraan ini dihentikan, pikiranku jadi berjalan ke mana-mana mendengar informasi dari suamiku itu. Aku jadi berimajinasi: aku bercinta hingga beronde-ronde dengan ayah.

Bersambung~
Monggo dinikmati yang udah request update-an. Kalo kurang oke, harap maklum. Mohon bersabar ya. :Peace:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd