Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kegagahan Ayah Mertua

Kuda Jantanku

Aku bercerita pada Vita tentang kelanjutan ceritaku bersama ayah mertua. Vita terkejut meskipun sebenarnya dia tahu akan ke mana arah hubunganku dengan ayah.

“Sebenarnya aku tahu kalau kalian pasti ke arah yang lebih jauh,” kata Vita. “Tapi aku ga menduga kalau bakal secepat ini.”

“Ya aku juga ga tau, Vit,”

“Tapi kamu seneng kan?”

“Apaan sih kamu,”

“Aku yakin ga lama lagi, kalian pasti udah bisa ML,”

“Ngaco ngomongnya,” sahutku.

“Tapi kamu sebenernya pengin kan?”

“Ehhh…” Aku malu untuk mengakuinya.

“Tuh, kan. Kamu sebenarnya tuh juga pengin, cuma mungkin kamu malu aja buat ngaku.”

“Ayah belum nunjukkan tanda-tanda kok. Kayaknya dia takut. Buktinya sampe sekarang, belum apa-apa.”

“Mungkin dia nunggu momen yang tepat,” kata Vita. “Soalnya risikonya besar. Jadi dia ga mau sembarangan.”

“Gitu ya?”

“Iyalah,” jawabnya. “Eh, kabarin ya kalo udah jadi ML.” Ia langsung tertawa dan kemudian mematikan teleponnya.

Sepertinya apa yang dikatakan Vita benar. Beberapa hari setelahnya, Mas Iwan dengan mengejutkan meminta ijin kepadaku untuk ke kota. Ia berencana akan mengurus barang-barang yang masih ditinggal di rumah kontrakan.

“Mungkin aku di sana 3 hari,” kata Mas Iwan.

“Apa harus sekarang?” tanyaku. Sebenarnya pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi padanya.

“Dua bulan lagi kontraknya habis. Mumpung sekarang tidak banyak kerjaan.”

“Ya sudah terserah kamu saja, Mas. Hati-hati selama di sana ya.”

“Iya. Kamu juga jaga diri. Kalau butuh apa-apa, bilang saja ke bapak,” kata suamiku. “Tolong cukupi kebutuhan bapak juga ya.”

Perasaanku campur aduk mendengar ucapan suamiku tersebut. Ada perasaan senang karena aku akan punya waktu berdua dengan ayah. Ada perasaan sedih karena aku sudah membohongi suamiku. Ada perasaan takut juga karena kemungkinan besar hubunganku dengan ayah akan semakin jauh.

Mas Iwan rupanya juga menyampaikan rencananya kepada ayah. Aku melihat wajah ayah tampak berseri-seri begitu mengetahuinya. Ia tidak bisa menutupi rasa senangnya karena akan punya waktu yang bebas dengan menantunya ini.

Besok siangnya, Mas Iwan berangkat. Ayah mengantarkannya ke terminal. Selama di rumah, yang kupikirkan bukan suamiku melainkan ayah mertua. Apakah benar hal itu akan terjadi? Apakah ayah akan berani? Apakah aku juga akan berani? Sudah siapkah aku?

Ayah baru sampai di rumah kembali hampir menjelang Magrib. Sehabis Magrib, aku menyiapkan makan untuk ayah. Ayah makan dengan lahap. Selama itu tidak ada obrolan atau sikap yang mengarah pada apa yang kupikirkan sejak siang hari. Semua seperti tidak ada sesuatu yang aneh.

Bahkan hingga larut malam, tetap tidak ada apa-apa. Aku hanya berdiam diri dalam kamar. Kurasa ayah benar-benar tidak berani melangkah jauh. Mungkin dia masih mempetimbangkan Mas Iwan, anaknya. Ia tidak mau mengkhinati Mas Iwan. Ah, aku saja yang terlalu berharap lebih. Aku benar-benar sudah gila.

“Ririn,” Tiba-tiba suara ayah dari luar kamar mengangetkanku.

“Eh, iya, yah?”

Aku keluar kamar dan kudapati ayah di sana.

“Ayah boleh minta tolong?”

“Minta tolong apa, yah? Apa ayah mau makan lagi?”

“Oh, ngga. Ayah lagi pegel-pegel nih,” jawabnya. “Boleh minta tolong bantu pijit ya?”

“Ehh…iya, Yah.” aku langsung jadi gugup untuk menjawabnya. “Aku ambil minyak urutnya dulu, yah.”

“Iya. Ayah tunggu di kamar ya?”

“Iya.”

Ada senyum yang terbentuk di bibirku. Hatiku dengan cepat menjadi berbunga-bunga. Apakah ini cara ayah untuk mengajakku melangkah lebih jauh? Atau ayah benar-benar ingin dipijit saja? Ah, sudahlah. Yang terpenting aku sudah ada waktu berdua bersama ayah.

Setelah mengambil minyak urut, aku ke kamar ayah. Rupanya ayah sudah menunggu sambil berbari. Dia sudah tidak mengenakan baju dan hanya sarung yang digunakan untuk menutup bagian bawahnya. Aku masuk setelah ayah menyuruhku.

“Sudah lama ayah ga pijit,” katanya. “Apalagi di sawah banyak kerjaan.”

“Iya, Yah.”

“Anakmu sudah tidur?”

“Sudah tadi, Yah. Sepertinya kecapean gara-gara main terus.”

Lalu tidak ada obrolan lagi. Aku mulai mengurut bagian punggungnya. Aku olesi minyak dan kemudian aku urut perlahan. Sebenarnya aku tidak terlalu pandai mengurut tapi ini kulakukan hanya untuk bisa berdua bersama ayah.

Setelah punggung selesai, ayah meminta untuk menguru bagian paha. Bagian pahanya tertutup oleh sarung. Apakah aku harus mengangkatnya?

“Angkat aja sarungnya,” kata ayah seolah tahu kebimbanganku.

Aku menuruti permintaan ayah. Aku singkap sedikit sarungnya ke atas. Tapi sepertinya ayah tau. Jadinya, ia yang akhirnya menyingkap sendiri sarungnya ke atas hingga memperlihatkan bagian pantatnya. Yang paling mengagetkanku adalah kontolnya yang terlihat di sela-sela pahanya.

“Akhirnya aku melihat kontol itu lagi,” ucapku dalam hati.

Kurasa kontol ayah sudah mulai mengeras. Tapi aku berusaha untuk tetap fokus pada kegiatan mengurutku. Aku mulai mengurut paha ayah yang berbulu cukup banyak itu. Paha ayah sangat keras. Mungkin karena setiap hari bekerja di sawah. Aku mengurutnya secara bergantian. Tapi aku tetap tidak bisa mengalihkan padanganku pada kontolnya. Ah, ingin rasanya aku memegang kontol ayah itu. Sayangnya aku tidak atau belum seagresif itu.

“Sekalian naik ke bagian pantat, Rin.” kata ayah.

Aku menurutinya lagi. Kulakukan apa yang diminta oleh ayah. Aku mulai mengurut pantatnya. Sebelumnya aku belum pernah mengurut pantat bahkan milik suamiku sendiri. Sungguh aneh rasanya. Aku pun jadi semakin dekat untuk menyentuh kontol itu. Sedikit turun saja, aku sudah bisa menyentuhnya.

“Rin,” kata ayah tiba-tiba. “Ayah mau ke kamar mandi dulu ya. Mau kencing dulu.”

“Iya, Yah.”

Ayah bangun dari tidurnya. Saat merapikan sarungnya, aku melihat kontolnya sudah mengeras meskipun belum sepenuhnya. Ia lalu berjalan ke luar kamar. Tak lama kemudian, ia sudah kembali.

“Ayah buka sarung aja gapapa ya?”

“Eh…iya, Yah.” aku dilanda kebingungan untuk menjawabnya.

Ayah langsung membuka sarungnya di depanku. Tampaklah langsung kontolnya yang sudah mengeras sejak tadi. Sepertinya ayah sengaja melakukan ini padaku. Ia langsung kembali naik ke atas ranjang dan kini dengan posisi telentang. Aku jadi makin jelas melihat kontolnya sekarang.

Kini aku mulai mengoleskan minyak ke bagian dada ayah. Aku pun mengurutnya. Dada ayah tampak bidang dan juga keras. Perlahan aku mengurut bagian itu sampai akhirnya ayah minta diturunkan ke bawah.

“Terus ke bawah lagi, Rin,” kata ayah. Aku terdiam. Jika aku turunkan lagi, maka aku akan sampai pada selangkangan ayah.

Karena tahu aku agak ragu, ayah yang kemudian menuntun tanganku meraih kontolnya. Aku melihat ke arah ayah. Ia hanya tersenyum nakal padaku.

“Diurut dong, Rin.” pinta ayah.

Aku kembali menuruti permintaan ayah. Aku mulai mengurutnya. Sebetulnya bukan mengurut. Mungkin lebih tepatnya mengocok dengan perlahan. Kurasakan kontol ayah sudah mengeras dan tegang. Bentuknya sungguh sempurna. Tegak seperti menantang. Apalagi di pangkalnya dihiasi bulu yang lebat.

Tak mau kalah, tangan ayah bergerilya ke dasterku. Tangannya menyelinap masuk dari bagian bawah daster dan terus naik ke bagian paha. Ayah mulai meraba dan mengelus pahaku. Aku pun mulai terangsang dengan rabaan ayah itu.

Kemudian ayah bangkit dan turun dari ranjang. Ia kemudian memintaku berdiri. Kami saling menatap dan beberapa detik berikutnya ayah sudah mencium bibirku. Aku sedikit kaget dengan keberanian ayah, tapi aku mencoba untuk tetap tenang. Ayah mengecup bibirku perlahan. Awalnya aku hanya diam saja menikmati permainan ayah. Lama kelamaan aku akhirnya merespon ciuman ayah dan kami mulai saling berpagutan.

Ayah mendekap tubuhku ke dalam pelukannya. Tangannya perlahan mulai melakukan remasan di pantatku. Aku sendiri merasakan kontolnya menempel di bagian perutku. Kontol itu sudah sangat keras. Kami terus melakukan ciuman. Lidah kami saling beradu. Kurasa ciuman ayah semakin panas.

Cukup lama berciuman, ayah kini mulai membuka pakaianku. Pertama ia melepaskan dasterku. Selanjutnya ia membuka BH-ku dan terakhir ia melepaskan celana dalamku. Jadilah aku kini bertelanjang di depannya.

Kami pun kembali berciuman. Kini badan kami sudah saling menempel tanpa ada penghalang lagi. Ini makin membuat kami bernafsu. Ayah melakukan remasan di pantatku lagi. Sementara aku mulai memberanikan diri untuk meraih kontolnya. Ah, kontol ayah sudah sangat keras dan tegang. Aku mulai melakukan kocokan kecil pada kontolnya itu. Dari pantat, tangan ayah beralih ke dadaku. Ia meraih susuku dan mulai meremasnya. Sementara ciumannya beralih ke bagian leher. Lidahnya menyusuri seluruh bagian leherku. Aku semakin tidak tahan dengan rangsangan ayah.

Ayah kemudian memintaku untuk tidur di ranjang dan mulai menindihku. Ia kembali melakukan ciuman. Tak lama, ciuman itu turun ke leher dan terus ke bagian dada. Sampai di dada, ayah langsung melahap kedua susuku dengan cukup ganas. Ia mencoba menyedot susuku dan memainkan puting dengan lidahnya.

“Ahhh…” aku makin tidak tahan untuk tidak mendesah.

Ayah kurasakan juga melakukan cupang di bagian susuku. Aku tidak mencegahnya. Aku sudah terbuai oleh nafsu untuk bercinta dengan ayah. Apalagi saat ayah menurunkan ciumannya ke bagian perutku. Lalu kemudian turun terus sampai tiba di selangkanganku. Ayah membuka pahaku dan menemukan memekku dengan bulunya yang lebat.

Kurasakan lidah ayah mulai menyentuh memekku. Lidahnya mulai menjilat-jilat bibir vaginaku. Aku jarang menerima perlakuan seperti ini. Suamiku belum tentu mau melakukannya setiap kali kami bercinta. Maka ketika ayah melakukannya, birahiku semakin menjadi-jadi. Lidah ayah terus saja bermain di memekku. Lidah itu juga tak luput untuk menjilati klitorisku.

Permainan lidah ayah jauh lebih jago dari Mas Iwan. Ia sangat pintar memainkan lidahnya. Apalagi ketika bermain di klitorisku. Itu makin membuatku menggelinjang. Aku semakin keenakan.

“Aahh…aayaaahh…” desahku.

Aku sudah tidak tahan dengan permainan ayah. Aku ingin segera dimasuki.

“Yahh…aa...yyooo…” pintaku pada ayah.

Tapi ayah tidak mendengarkanku. Ia masih terus saja melakukan jilatan pada memekku. Memekku pasti sudah sangat basah. Tapi itu tak membuat ayah menghentikannya. Ia masih terus menjilati klitorisku.

“Yaah…aa…kuuuu…” aku merasa sudah akan sampai.

Benar saja. Tidak lama kemudian, aku sampai pada puncak. Aku pegangi kepala ayah dan kubenamkan pada selangkanganku.

Aku merasakan kelelahan karena baru saja meraih orgasmeku. Kulihat mulut ayah sedikit belepotan karena cairan cintaku yang cukup banyak. Ayah kini menempatkan dirinya di antara kedua pahaku. Ia tampak seperti mengarahkan kontolnya ke memekku.

“Yah…” kataku.

“Tenang saja,”

“Aku takut, Yah. Aku lagi masa subur.”

“Ayah keluarin di luar,” kata ayah. Kemudian ia melanjutkan niatnya untuk melakukan penetrasi.

Sebelum melakukannya, kurasakan ayah menggesek-gesek ke memekku sebelum akhirnya kurasakan ada sesuatu yang berusaha menembus. Kontol ayah sangat besar pasti tidak akan mudah, pikirku. Perlahan ayah mulai melakukan dorongan agar bisa menembus memekku. Kurasakan memekku mulai membuka karena dorongan kontol ayah. Dengan cukup usaha, akhirnya kepala kontolnya bisa menembus ke memekku.

“Ahhh…” desahku.

Kurasakan ayah melakukan dorongan agar kontolnya semakin masuk. Perlahan ia melakukannya dan kurasakan memekku terasa penuh. Kontol ayah terasa mulai memenuhi memekku. Setelah dengan usahanya, akhirnya ayah bisa memasukkan seluruh batang kontolnya. Aku pun bisa merasakan kontol kuda itu.

“Aahh...” kudengar ayah juga mendesah. Rasanya tidak ada ruang lagi dalam memekku yang terasa kosong.

Ayah mulai melakukan gerakan maju mundur secara perlahan. Badannya menunduk dan kembali mencium bibirku. Aku membalasnya. Kami saling melumat bibir. Saling memagut satu sama lain. Sementara ritme gerakan pantat ayah mulai dipercepat.

Puas dengan ciuman, kini ia kembali melahap kedua payudaraku. Mulutnya secara bergantian mencium dan menyedot susuku. Ia kembali meninggalkan bekas merah di sana. Aku benar-benar sudah tidak peduli. Kurasakan genjotan ayah makin cepat dan kuat. Badanku ikut bergerak seiring dorongannya. Aku memeluk tubuh ayah sebagai respon atas rasa nikmat yang kurasakan.

“Aa...yah...ee…naakkk...”

“Aa...paanyaa...yyaang...eenaak...?” tanya ayah.

“Ii...ttu...”

“Iituu...aa…paa?”

“Kon…ttoll...aa...yaahh...”

Setelah itu kurasakan gerakan ayah semakin cepat. Ia kembali menundukkan badannya dan kini mulai bergerilya di bagian leherku dengan bibirnya. Bahkan ia memainkan lidahnya di belakang telingaku. Ah, itu salah satu bagian sensitifku. Kenapa ayah bisa tahu? Aku makin tidak tahan.

“Aahh...yyaah...aahh...” aku terus mendesah. “Ee...nnaakk...”

Pinggulku ikut melakukan gerakan mengimbangi irama genjotan ayah. Apalagi rangsangan di leherku oleh ayah makin membuatku tak kuasa. Aku benar-benar merasa diterbangkan oleh ayah. Sebentar lagi rasanya aku akan mencapai puncaknya.

“Yaahh...tte..***ss...ee...nnaakkk...”

Aku mendekap tubuh ayah dengan erat. Pinggulku semakin naik menjemput kontol ayah agar semakin dalam masuk. Aku merasa ayah tidak mengendorkan ritme genjotannya.

“Aahh....” Sampai akhirnya aku melenguh panjang. Aku tiba pada titik puncakku.

Sementara itu, ayah terus menggenjot. Genjotannya terus bertambah kuat. Nafas ayah kudengar semakin menderu. Genjotan itu pun makin cepat dan ayah tiba-tiba secepat kilat menarik kontolnya. Kulihat kontol itu menyemburkan sperma yang banyak ke perutku.

“Ahhh...” lenguh ayah bagai kuda jantan yang selesai bersenggama dengan betinanya.

Ia kemudian tergeletak di sampingku. Kami terdiam beberapa saat. Kemudian aku bangkit dan meraih bajuku.

“Mau ke mana?” tanya ayah.

“Ke kamar mandi,” jawabku. “Mau bersihin ini, Yah.”

“Bajunya ga usah dibawa. Kamu tidur di sini aja malem ini.”

“Rizal gimana, Yah? Dia sendirian.”

“Dia kan udah gede. Biar belajar tidur sendiri.”

Kemudian ayah juga bangkit. Ia mengajak ke kamar mandi berdua. Di sana kami saling membersihkan kemaluan masing-masing. Aku membersihkan kontol ayah dan ayah membersihkan memekku termasuk bekas spermanya di perutku.

Kami kembali ke kamar. Aku menuruti permintaan ayah untuk tidur bersamanya. Kami berdua tidur dengan tetap bertelanjang tanpa mengenakan apa-apa. Aku dengan tanpa malu-malu lagi memeluk tubuh ayah layaknya dia suamiku. Sekilas aku melihat bagian dadaku, sudah banyak bekas cupangan ayah di sana. Bagaimana jika suamiku nanti datang dan mengetahuinya?

Entahlah. Yang jelas kali ini aku sudah pasrah pada kuda jantanku ini.

Bersambung~
 
Kuda Jantanku

Aku bercerita pada Vita tentang kelanjutan ceritaku bersama ayah mertua. Vita terkejut meskipun sebenarnya dia tahu akan ke mana arah hubunganku dengan ayah.

“Sebenarnya aku tahu kalau kalian pasti ke arah yang lebih jauh,” kata Vita. “Tapi aku ga menduga kalau bakal secepat ini.”

“Ya aku juga ga tau, Vit,”

“Tapi kamu seneng kan?”

“Apaan sih kamu,”

“Aku yakin ga lama lagi, kalian pasti udah bisa ML,”

“Ngaco ngomongnya,” sahutku.

“Tapi kamu sebenernya pengin kan?”

“Ehhh…” Aku malu untuk mengakuinya.

“Tuh, kan. Kamu sebenarnya tuh juga pengin, cuma mungkin kamu malu aja buat ngaku.”

“Ayah belum nunjukkan tanda-tanda kok. Kayaknya dia takut. Buktinya sampe sekarang, belum apa-apa.”

“Mungkin dia nunggu momen yang tepat,” kata Vita. “Soalnya risikonya besar. Jadi dia ga mau sembarangan.”

“Gitu ya?”

“Iyalah,” jawabnya. “Eh, kabarin ya kalo udah jadi ML.” Ia langsung tertawa dan kemudian mematikan teleponnya.

Sepertinya apa yang dikatakan Vita benar. Beberapa hari setelahnya, Mas Iwan dengan mengejutkan meminta ijin kepadaku untuk ke kota. Ia berencana akan mengurus barang-barang yang masih ditinggal di rumah kontrakan.

“Mungkin aku di sana 3 hari,” kata Mas Iwan.

“Apa harus sekarang?” tanyaku. Sebenarnya pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi padanya.

“Dua bulan lagi kontraknya habis. Mumpung sekarang tidak banyak kerjaan.”

“Ya sudah terserah kamu saja, Mas. Hati-hati selama di sana ya.”

“Iya. Kamu juga jaga diri. Kalau butuh apa-apa, bilang saja ke bapak,” kata suamiku. “Tolong cukupi kebutuhan bapak juga ya.”

Perasaanku campur aduk mendengar ucapan suamiku tersebut. Ada perasaan senang karena aku akan punya waktu berdua dengan ayah. Ada perasaan sedih karena aku sudah membohongi suamiku. Ada perasaan takut juga karena kemungkinan besar hubunganku dengan ayah akan semakin jauh.

Mas Iwan rupanya juga menyampaikan rencananya kepada ayah. Aku melihat wajah ayah tampak berseri-seri begitu mengetahuinya. Ia tidak bisa menutupi rasa senangnya karena akan punya waktu yang bebas dengan menantunya ini.

Besok siangnya, Mas Iwan berangkat. Ayah mengantarkannya ke terminal. Selama di rumah, yang kupikirkan bukan suamiku melainkan ayah mertua. Apakah benar hal itu akan terjadi? Apakah ayah akan berani? Apakah aku juga akan berani? Sudah siapkah aku?

Ayah baru sampai di rumah kembali hampir menjelang Magrib. Sehabis Magrib, aku menyiapkan makan untuk ayah. Ayah makan dengan lahap. Selama itu tidak ada obrolan atau sikap yang mengarah pada apa yang kupikirkan sejak siang hari. Semua seperti tidak ada sesuatu yang aneh.

Bahkan hingga larut malam, tetap tidak ada apa-apa. Aku hanya berdiam diri dalam kamar. Kurasa ayah benar-benar tidak berani melangkah jauh. Mungkin dia masih mempetimbangkan Mas Iwan, anaknya. Ia tidak mau mengkhinati Mas Iwan. Ah, aku saja yang terlalu berharap lebih. Aku benar-benar sudah gila.

“Ririn,” Tiba-tiba suara ayah dari luar kamar mengangetkanku.

“Eh, iya, yah?”

Aku keluar kamar dan kudapati ayah di sana.

“Ayah boleh minta tolong?”

“Minta tolong apa, yah? Apa ayah mau makan lagi?”

“Oh, ngga. Ayah lagi pegel-pegel nih,” jawabnya. “Boleh minta tolong bantu pijit ya?”

“Ehh…iya, Yah.” aku langsung jadi gugup untuk menjawabnya. “Aku ambil minyak urutnya dulu, yah.”

“Iya. Ayah tunggu di kamar ya?”

“Iya.”

Ada senyum yang terbentuk di bibirku. Hatiku dengan cepat menjadi berbunga-bunga. Apakah ini cara ayah untuk mengajakku melangkah lebih jauh? Atau ayah benar-benar ingin dipijit saja? Ah, sudahlah. Yang terpenting aku sudah ada waktu berdua bersama ayah.

Setelah mengambil minyak urut, aku ke kamar ayah. Rupanya ayah sudah menunggu sambil berbari. Dia sudah tidak mengenakan baju dan hanya sarung yang digunakan untuk menutup bagian bawahnya. Aku masuk setelah ayah menyuruhku.

“Sudah lama ayah ga pijit,” katanya. “Apalagi di sawah banyak kerjaan.”

“Iya, Yah.”

“Anakmu sudah tidur?”

“Sudah tadi, Yah. Sepertinya kecapean gara-gara main terus.”

Lalu tidak ada obrolan lagi. Aku mulai mengurut bagian punggungnya. Aku olesi minyak dan kemudian aku urut perlahan. Sebenarnya aku tidak terlalu pandai mengurut tapi ini kulakukan hanya untuk bisa berdua bersama ayah.

Setelah punggung selesai, ayah meminta untuk menguru bagian paha. Bagian pahanya tertutup oleh sarung. Apakah aku harus mengangkatnya?

“Angkat aja sarungnya,” kata ayah seolah tahu kebimbanganku.

Aku menuruti permintaan ayah. Aku singkap sedikit sarungnya ke atas. Tapi sepertinya ayah tau. Jadinya, ia yang akhirnya menyingkap sendiri sarungnya ke atas hingga memperlihatkan bagian pantatnya. Yang paling mengagetkanku adalah kontolnya yang terlihat di sela-sela pahanya.

“Akhirnya aku melihat kontol itu lagi,” ucapku dalam hati.

Kurasa kontol ayah sudah mulai mengeras. Tapi aku berusaha untuk tetap fokus pada kegiatan mengurutku. Aku mulai mengurut paha ayah yang berbulu cukup banyak itu. Paha ayah sangat keras. Mungkin karena setiap hari bekerja di sawah. Aku mengurutnya secara bergantian. Tapi aku tetap tidak bisa mengalihkan padanganku pada kontolnya. Ah, ingin rasanya aku memegang kontol ayah itu. Sayangnya aku tidak atau belum seagresif itu.

“Sekalian naik ke bagian pantat, Rin.” kata ayah.

Aku menurutinya lagi. Kulakukan apa yang diminta oleh ayah. Aku mulai mengurut pantatnya. Sebelumnya aku belum pernah mengurut pantat bahkan milik suamiku sendiri. Sungguh aneh rasanya. Aku pun jadi semakin dekat untuk menyentuh kontol itu. Sedikit turun saja, aku sudah bisa menyentuhnya.

“Rin,” kata ayah tiba-tiba. “Ayah mau ke kamar mandi dulu ya. Mau kencing dulu.”

“Iya, Yah.”

Ayah bangun dari tidurnya. Saat merapikan sarungnya, aku melihat kontolnya sudah mengeras meskipun belum sepenuhnya. Ia lalu berjalan ke luar kamar. Tak lama kemudian, ia sudah kembali.

“Ayah buka sarung aja gapapa ya?”

“Eh…iya, Yah.” aku dilanda kebingungan untuk menjawabnya.

Ayah langsung membuka sarungnya di depanku. Tampaklah langsung kontolnya yang sudah mengeras sejak tadi. Sepertinya ayah sengaja melakukan ini padaku. Ia langsung kembali naik ke atas ranjang dan kini dengan posisi telentang. Aku jadi makin jelas melihat kontolnya sekarang.

Kini aku mulai mengoleskan minyak ke bagian dada ayah. Aku pun mengurutnya. Dada ayah tampak bidang dan juga keras. Perlahan aku mengurut bagian itu sampai akhirnya ayah minta diturunkan ke bawah.

“Terus ke bawah lagi, Rin,” kata ayah. Aku terdiam. Jika aku turunkan lagi, maka aku akan sampai pada selangkangan ayah.

Karena tahu aku agak ragu, ayah yang kemudian menuntun tanganku meraih kontolnya. Aku melihat ke arah ayah. Ia hanya tersenyum nakal padaku.

“Diurut dong, Rin.” pinta ayah.

Aku kembali menuruti permintaan ayah. Aku mulai mengurutnya. Sebetulnya bukan mengurut. Mungkin lebih tepatnya mengocok dengan perlahan. Kurasakan kontol ayah sudah mengeras dan tegang. Bentuknya sungguh sempurna. Tegak seperti menantang. Apalagi di pangkalnya dihiasi bulu yang lebat.

Tak mau kalah, tangan ayah bergerilya ke dasterku. Tangannya menyelinap masuk dari bagian bawah daster dan terus naik ke bagian paha. Ayah mulai meraba dan mengelus pahaku. Aku pun mulai terangsang dengan rabaan ayah itu.

Kemudian ayah bangkit dan turun dari ranjang. Ia kemudian memintaku berdiri. Kami saling menatap dan beberapa detik berikutnya ayah sudah mencium bibirku. Aku sedikit kaget dengan keberanian ayah, tapi aku mencoba untuk tetap tenang. Ayah mengecup bibirku perlahan. Awalnya aku hanya diam saja menikmati permainan ayah. Lama kelamaan aku akhirnya merespon ciuman ayah dan kami mulai saling berpagutan.

Ayah mendekap tubuhku ke dalam pelukannya. Tangannya perlahan mulai melakukan remasan di pantatku. Aku sendiri merasakan kontolnya menempel di bagian perutku. Kontol itu sudah sangat keras. Kami terus melakukan ciuman. Lidah kami saling beradu. Kurasa ciuman ayah semakin panas.

Cukup lama berciuman, ayah kini mulai membuka pakaianku. Pertama ia melepaskan dasterku. Selanjutnya ia membuka BH-ku dan terakhir ia melepaskan celana dalamku. Jadilah aku kini bertelanjang di depannya.

Kami pun kembali berciuman. Kini badan kami sudah saling menempel tanpa ada penghalang lagi. Ini makin membuat kami bernafsu. Ayah melakukan remasan di pantatku lagi. Sementara aku mulai memberanikan diri untuk meraih kontolnya. Ah, kontol ayah sudah sangat keras dan tegang. Aku mulai melakukan kocokan kecil pada kontolnya itu. Dari pantat, tangan ayah beralih ke dadaku. Ia meraih susuku dan mulai meremasnya. Sementara ciumannya beralih ke bagian leher. Lidahnya menyusuri seluruh bagian leherku. Aku semakin tidak tahan dengan rangsangan ayah.

Ayah kemudian memintaku untuk tidur di ranjang dan mulai menindihku. Ia kembali melakukan ciuman. Tak lama, ciuman itu turun ke leher dan terus ke bagian dada. Sampai di dada, ayah langsung melahap kedua susuku dengan cukup ganas. Ia mencoba menyedot susuku dan memainkan puting dengan lidahnya.

“Ahhh…” aku makin tidak tahan untuk tidak mendesah.

Ayah kurasakan juga melakukan cupang di bagian susuku. Aku tidak mencegahnya. Aku sudah terbuai oleh nafsu untuk bercinta dengan ayah. Apalagi saat ayah menurunkan ciumannya ke bagian perutku. Lalu kemudian turun terus sampai tiba di selangkanganku. Ayah membuka pahaku dan menemukan memekku dengan bulunya yang lebat.

Kurasakan lidah ayah mulai menyentuh memekku. Lidahnya mulai menjilat-jilat bibir vaginaku. Aku jarang menerima perlakuan seperti ini. Suamiku belum tentu mau melakukannya setiap kali kami bercinta. Maka ketika ayah melakukannya, birahiku semakin menjadi-jadi. Lidah ayah terus saja bermain di memekku. Lidah itu juga tak luput untuk menjilati klitorisku.

Permainan lidah ayah jauh lebih jago dari Mas Iwan. Ia sangat pintar memainkan lidahnya. Apalagi ketika bermain di klitorisku. Itu makin membuatku menggelinjang. Aku semakin keenakan.

“Aahh…aayaaahh…” desahku.

Aku sudah tidak tahan dengan permainan ayah. Aku ingin segera dimasuki.

“Yahh…aa...yyooo…” pintaku pada ayah.

Tapi ayah tidak mendengarkanku. Ia masih terus saja melakukan jilatan pada memekku. Memekku pasti sudah sangat basah. Tapi itu tak membuat ayah menghentikannya. Ia masih terus menjilati klitorisku.

“Yaah…aa…kuuuu…” aku merasa sudah akan sampai.

Benar saja. Tidak lama kemudian, aku sampai pada puncak. Aku pegangi kepala ayah dan kubenamkan pada selangkanganku.

Aku merasakan kelelahan karena baru saja meraih orgasmeku. Kulihat mulut ayah sedikit belepotan karena cairan cintaku yang cukup banyak. Ayah kini menempatkan dirinya di antara kedua pahaku. Ia tampak seperti mengarahkan kontolnya ke memekku.

“Yah…” kataku.

“Tenang saja,”

“Aku takut, Yah. Aku lagi masa subur.”

“Ayah keluarin di luar,” kata ayah. Kemudian ia melanjutkan niatnya untuk melakukan penetrasi.

Sebelum melakukannya, kurasakan ayah menggesek-gesek ke memekku sebelum akhirnya kurasakan ada sesuatu yang berusaha menembus. Kontol ayah sangat besar pasti tidak akan mudah, pikirku. Perlahan ayah mulai melakukan dorongan agar bisa menembus memekku. Kurasakan memekku mulai membuka karena dorongan kontol ayah. Dengan cukup usaha, akhirnya kepala kontolnya bisa menembus ke memekku.

“Ahhh…” desahku.

Kurasakan ayah melakukan dorongan agar kontolnya semakin masuk. Perlahan ia melakukannya dan kurasakan memekku terasa penuh. Kontol ayah terasa mulai memenuhi memekku. Setelah dengan usahanya, akhirnya ayah bisa memasukkan seluruh batang kontolnya. Aku pun bisa merasakan kontol kuda itu.

“Aahh...” kudengar ayah juga mendesah. Rasanya tidak ada ruang lagi dalam memekku yang terasa kosong.

Ayah mulai melakukan gerakan maju mundur secara perlahan. Badannya menunduk dan kembali mencium bibirku. Aku membalasnya. Kami saling melumat bibir. Saling memagut satu sama lain. Sementara ritme gerakan pantat ayah mulai dipercepat.

Puas dengan ciuman, kini ia kembali melahap kedua payudaraku. Mulutnya secara bergantian mencium dan menyedot susuku. Ia kembali meninggalkan bekas merah di sana. Aku benar-benar sudah tidak peduli. Kurasakan genjotan ayah makin cepat dan kuat. Badanku ikut bergerak seiring dorongannya. Aku memeluk tubuh ayah sebagai respon atas rasa nikmat yang kurasakan.

“Aa...yah...ee…naakkk...”

“Aa...paanyaa...yyaang...eenaak...?” tanya ayah.

“Ii...ttu...”

“Iituu...aa…paa?”

“Kon…ttoll...aa...yaahh...”

Setelah itu kurasakan gerakan ayah semakin cepat. Ia kembali menundukkan badannya dan kini mulai bergerilya di bagian leherku dengan bibirnya. Bahkan ia memainkan lidahnya di belakang telingaku. Ah, itu salah satu bagian sensitifku. Kenapa ayah bisa tahu? Aku makin tidak tahan.

“Aahh...yyaah...aahh...” aku terus mendesah. “Ee...nnaakk...”

Pinggulku ikut melakukan gerakan mengimbangi irama genjotan ayah. Apalagi rangsangan di leherku oleh ayah makin membuatku tak kuasa. Aku benar-benar merasa diterbangkan oleh ayah. Sebentar lagi rasanya aku akan mencapai puncaknya.

“Yaahh...tte..***ss...ee...nnaakkk...”

Aku mendekap tubuh ayah dengan erat. Pinggulku semakin naik menjemput kontol ayah agar semakin dalam masuk. Aku merasa ayah tidak mengendorkan ritme genjotannya.

“Aahh....” Sampai akhirnya aku melenguh panjang. Aku tiba pada titik puncakku.

Sementara itu, ayah terus menggenjot. Genjotannya terus bertambah kuat. Nafas ayah kudengar semakin menderu. Genjotan itu pun makin cepat dan ayah tiba-tiba secepat kilat menarik kontolnya. Kulihat kontol itu menyemburkan sperma yang banyak ke perutku.

“Ahhh...” lenguh ayah bagai kuda jantan yang selesai bersenggama dengan betinanya.

Ia kemudian tergeletak di sampingku. Kami terdiam beberapa saat. Kemudian aku bangkit dan meraih bajuku.

“Mau ke mana?” tanya ayah.

“Ke kamar mandi,” jawabku. “Mau bersihin ini, Yah.”

“Bajunya ga usah dibawa. Kamu tidur di sini aja malem ini.”

“Rizal gimana, Yah? Dia sendirian.”

“Dia kan udah gede. Biar belajar tidur sendiri.”

Kemudian ayah juga bangkit. Ia mengajak ke kamar mandi berdua. Di sana kami saling membersihkan kemaluan masing-masing. Aku membersihkan kontol ayah dan ayah membersihkan memekku termasuk bekas spermanya di perutku.

Kami kembali ke kamar. Aku menuruti permintaan ayah untuk tidur bersamanya. Kami berdua tidur dengan tetap bertelanjang tanpa mengenakan apa-apa. Aku dengan tanpa malu-malu lagi memeluk tubuh ayah layaknya dia suamiku. Sekilas aku melihat bagian dadaku, sudah banyak bekas cupangan ayah di sana. Bagaimana jika suamiku nanti datang dan mengetahuinya?

Entahlah. Yang jelas kali ini aku sudah pasrah pada kuda jantanku ini.

Bersambung~
Monggo dinikmati, hu. Mungkin yang ditunggu suhu-suhu semua. :tegang:
 
Kuda Jantanku

Aku bercerita pada Vita tentang kelanjutan ceritaku bersama ayah mertua. Vita terkejut meskipun sebenarnya dia tahu akan ke mana arah hubunganku dengan ayah.

“Sebenarnya aku tahu kalau kalian pasti ke arah yang lebih jauh,” kata Vita. “Tapi aku ga menduga kalau bakal secepat ini.”

“Ya aku juga ga tau, Vit,”

“Tapi kamu seneng kan?”

“Apaan sih kamu,”

“Aku yakin ga lama lagi, kalian pasti udah bisa ML,”

“Ngaco ngomongnya,” sahutku.

“Tapi kamu sebenernya pengin kan?”

“Ehhh…” Aku malu untuk mengakuinya.

“Tuh, kan. Kamu sebenarnya tuh juga pengin, cuma mungkin kamu malu aja buat ngaku.”

“Ayah belum nunjukkan tanda-tanda kok. Kayaknya dia takut. Buktinya sampe sekarang, belum apa-apa.”

“Mungkin dia nunggu momen yang tepat,” kata Vita. “Soalnya risikonya besar. Jadi dia ga mau sembarangan.”

“Gitu ya?”

“Iyalah,” jawabnya. “Eh, kabarin ya kalo udah jadi ML.” Ia langsung tertawa dan kemudian mematikan teleponnya.

Sepertinya apa yang dikatakan Vita benar. Beberapa hari setelahnya, Mas Iwan dengan mengejutkan meminta ijin kepadaku untuk ke kota. Ia berencana akan mengurus barang-barang yang masih ditinggal di rumah kontrakan.

“Mungkin aku di sana 3 hari,” kata Mas Iwan.

“Apa harus sekarang?” tanyaku. Sebenarnya pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi padanya.

“Dua bulan lagi kontraknya habis. Mumpung sekarang tidak banyak kerjaan.”

“Ya sudah terserah kamu saja, Mas. Hati-hati selama di sana ya.”

“Iya. Kamu juga jaga diri. Kalau butuh apa-apa, bilang saja ke bapak,” kata suamiku. “Tolong cukupi kebutuhan bapak juga ya.”

Perasaanku campur aduk mendengar ucapan suamiku tersebut. Ada perasaan senang karena aku akan punya waktu berdua dengan ayah. Ada perasaan sedih karena aku sudah membohongi suamiku. Ada perasaan takut juga karena kemungkinan besar hubunganku dengan ayah akan semakin jauh.

Mas Iwan rupanya juga menyampaikan rencananya kepada ayah. Aku melihat wajah ayah tampak berseri-seri begitu mengetahuinya. Ia tidak bisa menutupi rasa senangnya karena akan punya waktu yang bebas dengan menantunya ini.

Besok siangnya, Mas Iwan berangkat. Ayah mengantarkannya ke terminal. Selama di rumah, yang kupikirkan bukan suamiku melainkan ayah mertua. Apakah benar hal itu akan terjadi? Apakah ayah akan berani? Apakah aku juga akan berani? Sudah siapkah aku?

Ayah baru sampai di rumah kembali hampir menjelang Magrib. Sehabis Magrib, aku menyiapkan makan untuk ayah. Ayah makan dengan lahap. Selama itu tidak ada obrolan atau sikap yang mengarah pada apa yang kupikirkan sejak siang hari. Semua seperti tidak ada sesuatu yang aneh.

Bahkan hingga larut malam, tetap tidak ada apa-apa. Aku hanya berdiam diri dalam kamar. Kurasa ayah benar-benar tidak berani melangkah jauh. Mungkin dia masih mempetimbangkan Mas Iwan, anaknya. Ia tidak mau mengkhinati Mas Iwan. Ah, aku saja yang terlalu berharap lebih. Aku benar-benar sudah gila.

“Ririn,” Tiba-tiba suara ayah dari luar kamar mengangetkanku.

“Eh, iya, yah?”

Aku keluar kamar dan kudapati ayah di sana.

“Ayah boleh minta tolong?”

“Minta tolong apa, yah? Apa ayah mau makan lagi?”

“Oh, ngga. Ayah lagi pegel-pegel nih,” jawabnya. “Boleh minta tolong bantu pijit ya?”

“Ehh…iya, Yah.” aku langsung jadi gugup untuk menjawabnya. “Aku ambil minyak urutnya dulu, yah.”

“Iya. Ayah tunggu di kamar ya?”

“Iya.”

Ada senyum yang terbentuk di bibirku. Hatiku dengan cepat menjadi berbunga-bunga. Apakah ini cara ayah untuk mengajakku melangkah lebih jauh? Atau ayah benar-benar ingin dipijit saja? Ah, sudahlah. Yang terpenting aku sudah ada waktu berdua bersama ayah.

Setelah mengambil minyak urut, aku ke kamar ayah. Rupanya ayah sudah menunggu sambil berbari. Dia sudah tidak mengenakan baju dan hanya sarung yang digunakan untuk menutup bagian bawahnya. Aku masuk setelah ayah menyuruhku.

“Sudah lama ayah ga pijit,” katanya. “Apalagi di sawah banyak kerjaan.”

“Iya, Yah.”

“Anakmu sudah tidur?”

“Sudah tadi, Yah. Sepertinya kecapean gara-gara main terus.”

Lalu tidak ada obrolan lagi. Aku mulai mengurut bagian punggungnya. Aku olesi minyak dan kemudian aku urut perlahan. Sebenarnya aku tidak terlalu pandai mengurut tapi ini kulakukan hanya untuk bisa berdua bersama ayah.

Setelah punggung selesai, ayah meminta untuk menguru bagian paha. Bagian pahanya tertutup oleh sarung. Apakah aku harus mengangkatnya?

“Angkat aja sarungnya,” kata ayah seolah tahu kebimbanganku.

Aku menuruti permintaan ayah. Aku singkap sedikit sarungnya ke atas. Tapi sepertinya ayah tau. Jadinya, ia yang akhirnya menyingkap sendiri sarungnya ke atas hingga memperlihatkan bagian pantatnya. Yang paling mengagetkanku adalah kontolnya yang terlihat di sela-sela pahanya.

“Akhirnya aku melihat kontol itu lagi,” ucapku dalam hati.

Kurasa kontol ayah sudah mulai mengeras. Tapi aku berusaha untuk tetap fokus pada kegiatan mengurutku. Aku mulai mengurut paha ayah yang berbulu cukup banyak itu. Paha ayah sangat keras. Mungkin karena setiap hari bekerja di sawah. Aku mengurutnya secara bergantian. Tapi aku tetap tidak bisa mengalihkan padanganku pada kontolnya. Ah, ingin rasanya aku memegang kontol ayah itu. Sayangnya aku tidak atau belum seagresif itu.

“Sekalian naik ke bagian pantat, Rin.” kata ayah.

Aku menurutinya lagi. Kulakukan apa yang diminta oleh ayah. Aku mulai mengurut pantatnya. Sebelumnya aku belum pernah mengurut pantat bahkan milik suamiku sendiri. Sungguh aneh rasanya. Aku pun jadi semakin dekat untuk menyentuh kontol itu. Sedikit turun saja, aku sudah bisa menyentuhnya.

“Rin,” kata ayah tiba-tiba. “Ayah mau ke kamar mandi dulu ya. Mau kencing dulu.”

“Iya, Yah.”

Ayah bangun dari tidurnya. Saat merapikan sarungnya, aku melihat kontolnya sudah mengeras meskipun belum sepenuhnya. Ia lalu berjalan ke luar kamar. Tak lama kemudian, ia sudah kembali.

“Ayah buka sarung aja gapapa ya?”

“Eh…iya, Yah.” aku dilanda kebingungan untuk menjawabnya.

Ayah langsung membuka sarungnya di depanku. Tampaklah langsung kontolnya yang sudah mengeras sejak tadi. Sepertinya ayah sengaja melakukan ini padaku. Ia langsung kembali naik ke atas ranjang dan kini dengan posisi telentang. Aku jadi makin jelas melihat kontolnya sekarang.

Kini aku mulai mengoleskan minyak ke bagian dada ayah. Aku pun mengurutnya. Dada ayah tampak bidang dan juga keras. Perlahan aku mengurut bagian itu sampai akhirnya ayah minta diturunkan ke bawah.

“Terus ke bawah lagi, Rin,” kata ayah. Aku terdiam. Jika aku turunkan lagi, maka aku akan sampai pada selangkangan ayah.

Karena tahu aku agak ragu, ayah yang kemudian menuntun tanganku meraih kontolnya. Aku melihat ke arah ayah. Ia hanya tersenyum nakal padaku.

“Diurut dong, Rin.” pinta ayah.

Aku kembali menuruti permintaan ayah. Aku mulai mengurutnya. Sebetulnya bukan mengurut. Mungkin lebih tepatnya mengocok dengan perlahan. Kurasakan kontol ayah sudah mengeras dan tegang. Bentuknya sungguh sempurna. Tegak seperti menantang. Apalagi di pangkalnya dihiasi bulu yang lebat.

Tak mau kalah, tangan ayah bergerilya ke dasterku. Tangannya menyelinap masuk dari bagian bawah daster dan terus naik ke bagian paha. Ayah mulai meraba dan mengelus pahaku. Aku pun mulai terangsang dengan rabaan ayah itu.

Kemudian ayah bangkit dan turun dari ranjang. Ia kemudian memintaku berdiri. Kami saling menatap dan beberapa detik berikutnya ayah sudah mencium bibirku. Aku sedikit kaget dengan keberanian ayah, tapi aku mencoba untuk tetap tenang. Ayah mengecup bibirku perlahan. Awalnya aku hanya diam saja menikmati permainan ayah. Lama kelamaan aku akhirnya merespon ciuman ayah dan kami mulai saling berpagutan.

Ayah mendekap tubuhku ke dalam pelukannya. Tangannya perlahan mulai melakukan remasan di pantatku. Aku sendiri merasakan kontolnya menempel di bagian perutku. Kontol itu sudah sangat keras. Kami terus melakukan ciuman. Lidah kami saling beradu. Kurasa ciuman ayah semakin panas.

Cukup lama berciuman, ayah kini mulai membuka pakaianku. Pertama ia melepaskan dasterku. Selanjutnya ia membuka BH-ku dan terakhir ia melepaskan celana dalamku. Jadilah aku kini bertelanjang di depannya.

Kami pun kembali berciuman. Kini badan kami sudah saling menempel tanpa ada penghalang lagi. Ini makin membuat kami bernafsu. Ayah melakukan remasan di pantatku lagi. Sementara aku mulai memberanikan diri untuk meraih kontolnya. Ah, kontol ayah sudah sangat keras dan tegang. Aku mulai melakukan kocokan kecil pada kontolnya itu. Dari pantat, tangan ayah beralih ke dadaku. Ia meraih susuku dan mulai meremasnya. Sementara ciumannya beralih ke bagian leher. Lidahnya menyusuri seluruh bagian leherku. Aku semakin tidak tahan dengan rangsangan ayah.

Ayah kemudian memintaku untuk tidur di ranjang dan mulai menindihku. Ia kembali melakukan ciuman. Tak lama, ciuman itu turun ke leher dan terus ke bagian dada. Sampai di dada, ayah langsung melahap kedua susuku dengan cukup ganas. Ia mencoba menyedot susuku dan memainkan puting dengan lidahnya.

“Ahhh…” aku makin tidak tahan untuk tidak mendesah.

Ayah kurasakan juga melakukan cupang di bagian susuku. Aku tidak mencegahnya. Aku sudah terbuai oleh nafsu untuk bercinta dengan ayah. Apalagi saat ayah menurunkan ciumannya ke bagian perutku. Lalu kemudian turun terus sampai tiba di selangkanganku. Ayah membuka pahaku dan menemukan memekku dengan bulunya yang lebat.

Kurasakan lidah ayah mulai menyentuh memekku. Lidahnya mulai menjilat-jilat bibir vaginaku. Aku jarang menerima perlakuan seperti ini. Suamiku belum tentu mau melakukannya setiap kali kami bercinta. Maka ketika ayah melakukannya, birahiku semakin menjadi-jadi. Lidah ayah terus saja bermain di memekku. Lidah itu juga tak luput untuk menjilati klitorisku.

Permainan lidah ayah jauh lebih jago dari Mas Iwan. Ia sangat pintar memainkan lidahnya. Apalagi ketika bermain di klitorisku. Itu makin membuatku menggelinjang. Aku semakin keenakan.

“Aahh…aayaaahh…” desahku.

Aku sudah tidak tahan dengan permainan ayah. Aku ingin segera dimasuki.

“Yahh…aa...yyooo…” pintaku pada ayah.

Tapi ayah tidak mendengarkanku. Ia masih terus saja melakukan jilatan pada memekku. Memekku pasti sudah sangat basah. Tapi itu tak membuat ayah menghentikannya. Ia masih terus menjilati klitorisku.

“Yaah…aa…kuuuu…” aku merasa sudah akan sampai.

Benar saja. Tidak lama kemudian, aku sampai pada puncak. Aku pegangi kepala ayah dan kubenamkan pada selangkanganku.

Aku merasakan kelelahan karena baru saja meraih orgasmeku. Kulihat mulut ayah sedikit belepotan karena cairan cintaku yang cukup banyak. Ayah kini menempatkan dirinya di antara kedua pahaku. Ia tampak seperti mengarahkan kontolnya ke memekku.

“Yah…” kataku.

“Tenang saja,”

“Aku takut, Yah. Aku lagi masa subur.”

“Ayah keluarin di luar,” kata ayah. Kemudian ia melanjutkan niatnya untuk melakukan penetrasi.

Sebelum melakukannya, kurasakan ayah menggesek-gesek ke memekku sebelum akhirnya kurasakan ada sesuatu yang berusaha menembus. Kontol ayah sangat besar pasti tidak akan mudah, pikirku. Perlahan ayah mulai melakukan dorongan agar bisa menembus memekku. Kurasakan memekku mulai membuka karena dorongan kontol ayah. Dengan cukup usaha, akhirnya kepala kontolnya bisa menembus ke memekku.

“Ahhh…” desahku.

Kurasakan ayah melakukan dorongan agar kontolnya semakin masuk. Perlahan ia melakukannya dan kurasakan memekku terasa penuh. Kontol ayah terasa mulai memenuhi memekku. Setelah dengan usahanya, akhirnya ayah bisa memasukkan seluruh batang kontolnya. Aku pun bisa merasakan kontol kuda itu.

“Aahh...” kudengar ayah juga mendesah. Rasanya tidak ada ruang lagi dalam memekku yang terasa kosong.

Ayah mulai melakukan gerakan maju mundur secara perlahan. Badannya menunduk dan kembali mencium bibirku. Aku membalasnya. Kami saling melumat bibir. Saling memagut satu sama lain. Sementara ritme gerakan pantat ayah mulai dipercepat.

Puas dengan ciuman, kini ia kembali melahap kedua payudaraku. Mulutnya secara bergantian mencium dan menyedot susuku. Ia kembali meninggalkan bekas merah di sana. Aku benar-benar sudah tidak peduli. Kurasakan genjotan ayah makin cepat dan kuat. Badanku ikut bergerak seiring dorongannya. Aku memeluk tubuh ayah sebagai respon atas rasa nikmat yang kurasakan.

“Aa...yah...ee…naakkk...”

“Aa...paanyaa...yyaang...eenaak...?” tanya ayah.

“Ii...ttu...”

“Iituu...aa…paa?”

“Kon…ttoll...aa...yaahh...”

Setelah itu kurasakan gerakan ayah semakin cepat. Ia kembali menundukkan badannya dan kini mulai bergerilya di bagian leherku dengan bibirnya. Bahkan ia memainkan lidahnya di belakang telingaku. Ah, itu salah satu bagian sensitifku. Kenapa ayah bisa tahu? Aku makin tidak tahan.

“Aahh...yyaah...aahh...” aku terus mendesah. “Ee...nnaakk...”

Pinggulku ikut melakukan gerakan mengimbangi irama genjotan ayah. Apalagi rangsangan di leherku oleh ayah makin membuatku tak kuasa. Aku benar-benar merasa diterbangkan oleh ayah. Sebentar lagi rasanya aku akan mencapai puncaknya.

“Yaahh...tte..***ss...ee...nnaakkk...”

Aku mendekap tubuh ayah dengan erat. Pinggulku semakin naik menjemput kontol ayah agar semakin dalam masuk. Aku merasa ayah tidak mengendorkan ritme genjotannya.

“Aahh....” Sampai akhirnya aku melenguh panjang. Aku tiba pada titik puncakku.

Sementara itu, ayah terus menggenjot. Genjotannya terus bertambah kuat. Nafas ayah kudengar semakin menderu. Genjotan itu pun makin cepat dan ayah tiba-tiba secepat kilat menarik kontolnya. Kulihat kontol itu menyemburkan sperma yang banyak ke perutku.

“Ahhh...” lenguh ayah bagai kuda jantan yang selesai bersenggama dengan betinanya.

Ia kemudian tergeletak di sampingku. Kami terdiam beberapa saat. Kemudian aku bangkit dan meraih bajuku.

“Mau ke mana?” tanya ayah.

“Ke kamar mandi,” jawabku. “Mau bersihin ini, Yah.”

“Bajunya ga usah dibawa. Kamu tidur di sini aja malem ini.”

“Rizal gimana, Yah? Dia sendirian.”

“Dia kan udah gede. Biar belajar tidur sendiri.”

Kemudian ayah juga bangkit. Ia mengajak ke kamar mandi berdua. Di sana kami saling membersihkan kemaluan masing-masing. Aku membersihkan kontol ayah dan ayah membersihkan memekku termasuk bekas spermanya di perutku.

Kami kembali ke kamar. Aku menuruti permintaan ayah untuk tidur bersamanya. Kami berdua tidur dengan tetap bertelanjang tanpa mengenakan apa-apa. Aku dengan tanpa malu-malu lagi memeluk tubuh ayah layaknya dia suamiku. Sekilas aku melihat bagian dadaku, sudah banyak bekas cupangan ayah di sana. Bagaimana jika suamiku nanti datang dan mengetahuinya?

Entahlah. Yang jelas kali ini aku sudah pasrah pada kuda jantanku ini.

Bersambung~
Mantap suhu
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd