Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kesepianku sebagai Istri

Adek-Adekkan

Bekerja di museum tidaklah menjemukan. Penghasilan sebagai pns di museum terbilang lumayan. Kendati gajinya bukanlah yang ideal, tetapi tunjangannya menggiurkan. Maka, aku tak lagi ambil pusing perihal uang semenjak menjadi PNS. Sepulang kantor bisa jalan-jalan Nge-Mall atau ngopi di kafe sambil mengerjakan pekerjaan kantor. Yang tak biasa adalah beban kerjanya. Aku mengira pada awalnya bakalan santai sebagaimana cerita masyarakat awam. Justru yang terjadi padaku berbeda 180 derajat. Sebagai sarjana desain komunikasi visual, aku menempati jabatan pengelola publikasi museum tempat aku bekerja. Faktanya, aku mendapatkan tugas lainnya yang sebetulnya bukan bagian dari pekerjaanku. Menyedihkan.

Ya apa boleh buat. Sebagai pegawai baru, karena baru 2 tahun menjalani profesi ini, aku terbilang muda oleh mereka yang sudah lama bekerja di museum ini, termasuk Ilham dan beberapa teman seangkatan denganku. Mereka menganggap kami bisa mengerjakan segalanya. Di samping itu, uniknya, ibu-ibu yang telah memasuki usia matang alias menjelang pensiun begitu risih dengan keberadaanku. Aku maklum, hampir seluruh ibu-ibu mengenakan jilbab atau hijab. Sementara aku tidak. Mereka membujuk aku agar juga mengenakan hijab. Aku tak mau dipaksa-paksa. Aku selidik penyebabnya adalah bentuk gemuk tubuhku dan wajahku yang chubby konon kata mereka mampu menggoyahkan kesetiaan seorang laki-laki. Mengguncang iman bapak-bapak dan suami yang bekerja di museum ini. Aku dianggap berpotensi menjadi PELAKOR. Teganya...

Aku mengerti. Mereka bisa dibilang iri dengan bentuk tubuhku yang padahal bukan termasuk bentuk ideal. Setidaknya bukan bentuk bodi khas emak-emak. Kalau kata Ilham, bodiku ini mengarah ke BAHENOL alias MONTOK. Di samping itu, hampir semua pegawai kantor museum sudah mengetahui bahwa aku menjalani hubungan jarak jauh dengan suamiku. Aku yang paling sering menghabiskan cuti duluan. Aku yang dikira mungkin kurang belaian. Namun, aku masih bisa bernafas lega. Mereka tidak mengetahui masalah yang sedang aku alami. Kata Ilham,

"Jangan sesekali mengumbar masalah pribadi atau rumah tangga ke pegawai kantor, bisa jadi bahan gosip!", ujar Ilham memperingatkanku ketika sedang makan siang bersama.

Masalah satu ini paling meresahkan batinku. Terlepas dari kebutuhan uang yang bukan lagi menjadi soal, aku perlu kawan tempat mencurahkan isi hati dan memberiku perhatian. Suami? Dia menghubungi kalau kebutuhan belanja susu anak habis. Apalagi aku mendapat laporan kerja suamiku di kampung hanya bermain hape dan berkumpul santai dengan kawan sejawatnya. Barangkali dia sudah merasa posisi PNS ku membuatnya bisa enteng tanpa harus bekerja alias berpusing-pusing cari uang. Tak heran, aku mulai detik ini mencari kabar anak, memilih lewat ibuku yang kebetulan masih tinggal satu kampung dengan rumahku.

"Maaf, Mbaknya sudah menikah?"

"Oh sudah Pak, hehe", jawabku ketika sedang memandu salah satu pengunjung.

"Kalau begitu boleh minta kontaknya?"

"Untuk apa ya pak?", tanyaku seutuhnya curiga.

"Ya kali bisa ketemuan di luar"

"Aduh, makasih banyak pak hehe"

Di sisi lain, seperti kata Ilham, banyak laki-laki seperti pengunjung ketika aku mendapat giliran memandu di museum, meminta kontak nomorku. Niat mereka aku sudah tahu pasti sedang berupaya mengeluarkan jurus-jurus pendekatan ala mengucap-ngucap rayuan maut iblis, mendadak memberi perhatian, kepengen tahu pribadiku, berakhir dengan mengajak kencan atau menginginkan status pertemanan FRIEND WITH BENEFIT. Sejujurnya aku menolak itu semua karena aku masih menghargai suamiku yang tak peduli di sana. Belum lagi akun media sosialku, seperti facebook, wikipedia, instagram, bahkan whatsappku dikirimi chat ingin berkenalan. Aku diami hingga aku blokir bagi yang sudah kelewatan.

Aku pernah menunjukkan itu semua kepada Mas Pras, suamiku ketika pulang kampung, dan reaksinya adalah

"Beruntung ya kamu, masih banyak yang naksir hehehe, ciee...."

Cuman begitu saja. Padahal, aku menunjukkan itu semua kepadanya agar ia cemburu, marah, dan menghakimi semua laki-laki yang sedang berusaha mendekatiku. Nyatanya ia malah sekadar memberi senyuman.

Kesepian menuntutku ingin membuat sebuah lingkaran pertemanan sendiri, tetapi tidak bisa. Rekan-rekan kerjaku sudah memiliki lingkaran pertemanannya masing-masing dan aku seperti tidak diperkenankan masuk ke sana. Yang patut aku syukuri adalah aku mengenal Ilham. Ia yang paling dekat denganku dan bersamanya aku menemukan kenyamanan yang selama ini aku cari-cari.

"Mbak, nanti habis pulang kantor nongkrong dulu gak?", tanya Ilham kepadaku ketika sedang sibuk mendesainkan konten publikasi ucapan selamat hari pendidikan nasional.

"Boleh, tetapi lo yang traktir ya"

"Ah gantian dong, aku muluk masa"

"Irhhh, utang kamu di aku belum dibayar loh, lupa kan?"

"Kalau sudah ngomongin siapa yang traktir pasti deh pembelaannya begini"

"Hehehe, ya aku kan mau menghemat, Ham"

"Gue juga kalau mau menghemat, bagaimana?"

"Kan kamu masih bujang, mesti sering foya-foya sebelum menikah hahahaha"

"Enak banget ngomongnya lo, Mba. Dikira gue gak ada kebutuhan lain apa"

"Iya deh, maafin..."

Kedekatanku dengan Ilham mulanya baik-baik saja. Beberapa kali kami berkonflik, tetapi kemudian harmonis lagi. Konflik yang kami alami biasanya adalah dari tidak menepati janji apabila kami melakukan janji ketemuan. Atau salah satu dari kami yang biasa diabaikan atau dicuekki. Samahalnya denganku, Ilham perlahan terjebak nyaman denganku. Ia sering curhat mengenai sosok perempuan yang bisa dinikahinya nanti. Katanya, ia sudah ada pilihan perempuan untuk jadi pacar, namun sulit memilih mana yang bisa dijadikan istri. Ilham juga sering bercerita mengenai masa lalunya yang badung ketika sekolah, bertobat ketika kuliah. Ia juga cerita perihal keluarganya.

Keterbukaan Ilham itu membuatku tak sungkan juga untuk terbuka dengannya mengenai keseharianku di kamar kos. Stresnya diriku karena suami jarang menghubungi hingga beban pekerjaan kantor yang tiada kiranya kapan bisa diselesaikan.

Seiring berjalannya waktu, ketika jalan bersama di sebuah Mall sepulang kantor. Ilham memberanikan diri menggandeng tanganku. Aku terkejut dan lekas menarik

"Jangan kurang ajar ya! Gue gak suka", Aku sontak marah dengan Ilham.

"Maaf, maaf... Gue cuman pengen pegang tangan lo sebentar aja, Mba"

"Untuk apa? Gak boleh!"

"Iya deh, maaf...", Karena kedekatan kami, ilham begitu mudah kumaafkan.

Namun, Ilham sepertinya tidak menyerah. Beberapa kali kami ketemuan dan jalan bareng. Ia selalu mengulang ingin menggenggam tanganku. Tentunya kembali aku senantiasa menolak apa yang diinginkannya. Ilham tetap baik-baik saja. Hubungan pertemanan kami tetap berjalan normal. Malahan, kadang tiap malam. Ilham berupaya memancing membahas soal seks. Aku membalasnya sebijak mungkin. Bahkan kadang aku mendiamkan dengan alasan besok kukatakan ketiduran.

"Mba, lo kan jauh dari suami, gak ada rasa kepengen begituankah?", tanya Ilham lewat whatsapp.

"Ya jelas ada, tapi aku mengalihkannya ke hal lain, seperti menonton drama korea, menyelesaikan pekerjaan kantor"

"Terus lo pernah, maaf ya, masturbasi gitu sendirian di kamar kos atau masturbasi bareng suami lewat chat, video call atau telepon?"

"Kepo banget ihh, rahasia dapur itu, hehehe"

"Oh begitu gak boleh tahu ya?"

"Iya, mending bahas yang lain"

Ketika pembahasan beralih ke hal yang lain, Ilham berterus terang kepadaku ia suka onani karena terangsang oleh film porno. Sebaliknya ia pernah bertanya kepadaku apakah aku tidak mencurigai suamiku akan berselingkuh atau main perempuan di kampung sana? Aku jawab bahwa mata-mata di kampungku banyak. Jadi selama ini tidak ada laporan demikian. Gugurlah dugaan ilham yang mengira suamiku cuek karena dia sudah kepincut wanita idaman lain.

Kedekatan dan keterbukaan itu membuat hubunganku dengan ilham semakin intens. Namun, pada dasarnya kami tetap menjaga jarak untuk tidak sampai ke arah yang terlarang nan menjerumuskan. Di samping itu, ada bumerang yang kualami. Pada saat krisis, tekanan batinku akan kesepian memuncak. Ilham senantiasa hadir menenangkan. Bahkan malam-malam ia rela ajak aku yang kesepian ketemuan untuk ngobrol dengan segelas kopi dan teh hangat di sebuah kafe dekat tempat kosku.

Pertemuan malam itu, aku melihat sosok ilham yang lebih dewasa. Aku merasa dia sebagai adik yang hilang selama ini. Yang mengagetkannya lagi.

"Mba, nanti ikut kegiatan gue ke luar kota ya?"

"Ah yang bener, aku kan jarang diajak dinas keluar sama orang kantor"
"Palingan kamu bohong, bercanda, prank kan?"

"Beneran, kita nanti ke Yogya, masa gue bohong. Nanti yang ikut itu ada 4 orang. Gue, elo, Jani, dan Pak Bagus"
"Gue ketuanya"

"Seriusan lo ketuanya?"

"Iya! Kalau beneran gue bisa ajak lo ke yogya gimana?"

"Gimana ya, aku tetep masih belum bisa percaya"

"Kalau bener, di Yogya gue boleh pegang tangan lo ya? Deal?"

"Ih dealnya gak bagus, jahat ih"

"Ya biar lo percaya"

"Ah bodo amat ah, paling gak diajak", percakapan itu kualihkan. Aku tetap tidak percaya dengan yang disampaikan Ilham.

Sampai berjumpa di bagian selanjutnya. Terima kasih sudah membaca.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd