Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[LEGEND] Lily Panther The Series #20

19: Tantangan

Peristiwa ini terjadi ketika aku dengan 2 temanku, Yeni dan Ana, menemani 3 orang tamu. Yeni-lah yang mengajak aku dan Ana untuk menemaninya melayani ketiga tamunya, masing masing berpasangan.

Setelah ngobrol sejenak di kamar hotel, kami ber-enam dengan 2 taxi menuju Club Deluxe di bilangan Tunjungan, mereka ingin santai dulu sambil berkaraoke di Club itu.

Sebagian waitress dan mami ditempat itu sudah mengenali Yeni, apalagi aku yang sering sekali menemani tamu tamu bersantai disitu hingga Mami Mami disitu tak perlu repot mencarikan Purel untuk rombongan kami karena sudah cukup pasangannya.

Setelah memesan minuman yang kebanyakan ber-alkohol, kamipun bernyanyi dengan modal nekat meski suara pas pas-an, yang penting enjoy dan tamuku bisa rileks disitu.

Satu jam berlalu, snack dan minuman sudah berulang kali diganti dengan yang baru, entah berapa gelas alkohol yang telah mengisi rongga mulutku, aku tak bisa menghitungnya, kepalaku sudah mulai agak pusing. Untunglah Tomi, pasanganku, mencegah ketika aku pesan Singapore Sling, rupanya dia melihatku mulai agak mabok, sebagai gantinya dipesankan aku teh hangat.

Slow dance, House Music, ataupun joget dangdut bergantian kami lakukan, tidak hanya dengan Tomi tapi tak jarang berganti ke Yudi ataupun Indra, temannya yang lain. Tak bisa dihindari tangan merekapun dengan nakalnya ikutan menjamah pantat dan terkadang buah dadaku, aku tak protes karena Tomi, pasanganku, malakukan hal yang sama pada Yeni atau Ana.

Ketika lagu mandarinnya Andi Lau sedang dikumandangkan Indra dengan suara fals-nya, Yeni memanggil aku dan Ana ke Toilet di kamar itu, meninggalkan ketiga laki laki itu menyanyi sendiri.

"Rek (panggilan khas Surabaya), kita taruhan yuk" sambut Yeni ketika kami bertiga di toilet.

Aku yang sudah terbiasa dengan berjudi jadi tertarik.

"Taruhannya gimana dan hadiahnya apa?" tanyaku penuh minat.
"Kita lakukan dengan cara yang berbeda dari biasanya" sambung Yeni, kulihat matanya berbinar melihat aku dan Ana menyambut dengan antusias.
"Begini, kita lakukan oral pada pasangan kita masing masing, siapa yang bisa membuat orgasme pertama dialah yang menang dan yang terakhir harus membayar, nomer 2 nggak dapat apa apa.."
"Setuju, berapa taruhannya?" potong Ana langsung dengan penuh percaya diri.
"Sabar dulu non, nah disini asiknya permainan ini, yang terakhir membuat orgasme maka dia harus membayar uang bookingan pada tamu berikutnya, dimana yang mencarikan tamu itu adalah pemenang pertama" jelas Yeni.
"Jadi yang kalah harus menyerahkan hasil bookingan untuk tamu yang dicarikan pemenang?" tanya Ana seolah memperjelas.
"Yap, dan tidak boleh menolak tamu macam apapun, apa itu kaya, muda, tua pokoknya terima layani saja tamu yang dikirim pemenang, titik, setuju?" jelas Yeni lagi.
"Deal" tantang Ana.

Aku diam saja.

"Gimana Ly, berani nggak?" tanya Ana sambil menatapku.

Sebelum aku menjawab, pintu toilet dibuka, Indra masuk.

"Eh kalau arisan jangan di toilet dong, kami jadi batu nih sendirian" celetuk Indra, tanpa mempedulikan kami dia langsung membuka celananya dan kencing di kloset, kami terdiam.

"Jangan lama lama ya, ntar kami jadi patung lho" katanya sambil mencium bibir Yeni lalu keluar.
"Aku sih setuju aja, tapi usul boleh kan, supaya permainan lebih menarik dan menantang gimana kalau taruhan dinaikkan, yang kalah menyerahkan hasil bookingan sekarang ke pemenang pertama, dan juga menyerahkan uangnya pada bookingan berikutnya dari tamu yang dicarikan pemenang pertama dan kedua, jadi looser loss all" usulku penuh percaya diri karena yakin bisa mengalahkan mereka, aku sudah sering melihat permainan oral Yeni sedangkan Ana meski belum tahu kelihaiannya tapi rasanya tak mungkin kalah dengan Ana.

Yeni diam memandang Ana.

"Jangan terlalu besar gitu ah, kasihan yang kalah nanti, gimana kalau setengah saja untuk bookingan sekarang, anggap saja uang panjar" kata Ana.

Setelah melakukan beberapa perubahan akhirnya kami sepakat dengan beberapa perubahan aturan main, pemenang dengan menelan sperma mendapat hadiah penuh bila tidak hanya separoh yang didapat, apabila mau melayani tamu pilihan kedua pemenang sekaligus alias 2 in 1, maka cukup menyerahkan setengah perolehannya, sedangkan hasil bookingan kali ini diberikan setengah ke pemenang pertama, Pemenang Pertama dan Kedua diberi kesempatan untuk mencarikan tamu tidak lebih dari 3 hari atau hadiah hangus. Mungkin kami sudah sama sama mabuk hingga melakukan taruhan yang nggak umum ini, bertiga kembali ke ruangan karaoke ke pasangan kita masing masing, kupanggil waitres yang siaga di depan pintu kamar.

"Jangan sekali kali masuk sebelum kami panggil dan tolong redupkan lampu itu" bisikku sambil menyelipkan 50 ribuan ke kantong bajunya.

Kami minta ketiga laki laki itu duduk berjejer di sofa panjang, tanpa bicara, kami langsung jongkok di depan pasangan kami, mereka terlihat bingung tapi tentu saja senang dan gembira melihat kami mulai membuka celananya dan mengeluarkan penisnya.

Seperti dikomando, bersamaan kami memasukkan penis itu ke mulut, perlombaan telah dimulai. Aku yang hanya mengeluarkan penis Tomi dari lubang resliting rasanya kurang bebas, kubuka celananya dan kulorotkan hingga ke lutut.

Kujilati seluruh penis Tomi dari ujung hingga lubang anus, kedua kakinya kunaikkan ke atas hingga aku bebas menyapukan lidahku ke daerah sekitar selangkangannya, kudengar dengan jelas desah kenikmatan dari Tomi, diiringi desahan Indra dan Yudi.

Kukerahkan semua kemampuanku untuk memenangkan permainan ini, sesekali kulirik Yeni menuntun tangan Indra ke balik kaosnya, diremas remasnya buah dada Yeni. Sedangkan Ana aku yang di ujung tak bisa melihat trik-nya karena terhalang tubuh Yeni. Kepala kami bergantian turun naik di selangkangan para laki laki itu, berlomba menggapai tepian nafsu yang tak bertepi.

Beberapa menit berlalu, aku semakin penasaran karena Tomi ternyata "bandel" juga, antara mabuk dan nafsu membuatku semakin nekat, dengan maksud membuat Tomi cepat terangsang dan orgasme, kubuka kaosku hingga menampakkan kedua bra hijau satin transparan yang tak mampu menyembunyikan tonjolan buah dadaku dengan puting yang tampak menerawang meski lampu agak redup.

Tangan Tomi segera meraih dan meremas remas kedua buah dadaku, tapi tampaknya dia ingin lebih, dikeluarkannya buah dadaku dari sarangnya hingga menggantung bebas.

Ternyata aku membuat kesalahan fatal ketika melepas kaosku tadi, Indra yang duduk di sebelah Tomi justru lebih sering melototiku, pada mulanya aku senang saja mendapat perhatian darinya meski dia sedang memperoleh kuluman Yeni, malahan perhatiannya lebih tercurah kepadaku saat Tomi mengeluarkan buah dadaku, padahal Yeni sudah mengikutiku melepas kaosnya.

Tiba tiba kudengar teriakan orgasme dari Indra, teriakan seperti itu biasanya terdengar begitu penuh menggairahkan, tapi kali ini terdengar sangat menyeramkan bagai petir di siang hari bolong. Aku sangat kaget, hampir tak kupercaya bahwa dia yang menurutku permainannya biasa biasa saja, tidak istimewa.

Aku dan Ana menghentikan kuluman sejenak untuk melihat apakah dia menelannya atau tidak, dan kembali aku terkaget saat Yeni menelan dan menjilati sperma yang ada di mulut dan tangannya itu seperti menjilat ice cream, tak biasanya dia melakukan itu. Sungguh dengan telak dia mengalahkan aku pada situasi yang seharusnya aku menangkan.

"Oke nona nona manis, aku sudah selesai" katanya seraya berdiri menuntun pasangannya ke toilet, sepertinya melanjutkan permainan, namun dia sempat menerangkan lampu kamar, biar permainan lebih seru, katanya.

Kini tinggal aku dan Ana yang masih berjongkok dalam terangnya lampu kamar karaoke. Kamipun kembali berlomba memacu nafsu menuju garis tepi. Sudah kepalang tanggung, aku nggak mau menjadi pecundang, kulepas bra yang menutupi dadaku, supaya Tomi lebih bergairah, kurasakan penisnya semakin menegang dalam mulutku, akupun semakin liar mengulumnya, bahkan bertambah nekat, celanaku-pun akhirnya melayang dari tubuhku, menyisakan celana dalam mini string yang masih menempel.

Sempat kulihat mata Yudi melotot melihat tubuhku yang hampir telanjang, desahan Tomi semakin keras seakan mengimbangi alunan musik dari karaoke box yang masih terus bernyanyi tanpa ada yang memperhatikan.

"Wow, semakin panas nih permainan" komentar Yeni ketika keluar dari toilet, aku tak memperhatikan lagi karena sedang memacu nafsu Tomi menuju puncak.
"Aku akan jadi jurinya" lanjut Yeni sambil duduk di pangkuan Indra di sofa seberang.

Sambil menyusurkan lidahku di selangkangan Tomi, kulirik Ana yang tengah asik mengulum penis Yudi, pandanganku bertatapan dengan Yudi yang tengah mengamati tubuh terutama buah dadaku nan tengah dalam remasan pasanganku. Kembali kepala kami mengangguk angguk diselangkangan pasangan masing masing, memacu nafsu menuju tepian birahi.

Namun untuk kedua kalinya aku dikagetkan teriakan orgasme yang serasa menggelagar bagaikan suara guntur di siang hari, merontokkan segala kebanggaan yang selama ini kumiliki. Teriakan itu sepertinya sangat menyeramkan, baru kali ini aku begitu membenci teriakan orgasme dari laki laki, terutama dari Yudi, lemaslah lututku seketika.

Kini kulihat Ana tengah menjilati sperma yang ada di bibir dan sekitar wajahnya sambil tersenyum penuh kemenangan memandangku, pandangan itu terlihat begitu penuh cemooh kemenangan, aku benar benar merasa bagaikan seorang pecundang dihadapan Ana dan Yeni.

Meski sambil memendam kekesalan karena kalah, aku tetap melanjutkan kulumanku pada Tomi hanya untuk menyenangkan hatinya, namun hingga beberapa menit kemudian, tak terlihat ada tanda tanda menuju puncak, akhirnya aku menyerah dan menghentikan kulumanku, untungnya dia nggak marah.

"Nggak apa, kita lanjutkan nanti di hotel" katanya sembari mencium bibirku.

Dengan agak keras karena kesal, kuhempaskan tubuh hampir telanjang ke sofa diantara Yudi dan Tomi, aku benar benar kecewa dengan penampilanku sendiri, sungguh kusesali kekalahan dari Yeni dan Ana, bukan uang yang kupikirkan tapi lebih pada kebanggaan bahwa aku kalah dengan mereka pada situasi yang tidak kuharapkan.

"Tom, untung kamu dapat Lily, disamping body-nya oke, oralnya juga hebat lho aku perhatikan tadi" kata Yudi, kuanggap sebagai hiburan.
"Kalau saja dia nggak telanjang gitu, mungkin dia yang menang" lanjutnya mengagetkanku.
"Jadi.." tanyaku
"Ya, aku melihat bagaimana kamu ber-karaoke dengan tubuh hampir telanjang, makanya cepat naik" akunya cukup mengagetkanku, tak kusangka aku membuat kesalahan sefatal itu, kesalahan yang tanpa kusadari memberi peluang menang pada sainganku, mungkin juga Indra melakukan hal yang sama dan ternyata hal itu diakui olehnya.
"Melihat live show sambil di-oral tentu lebih cepat dibandingkan pemainnya sendiri" timpal Indra berteori sambil memangku dan memeluk Yeni, keduanya tertawa.

Dengan membawa kekalahan telak, kami kembali ke Hotel, aku masih kesal dengan kekalahanku ini tapi Tomi menghibur dengan membesarkan hatiku untuk mengembalikan kepercayaanku.

"Kamu sangat baik kok, cuma karena kalah strategi dan aku juga memang sangat jarang bisa orgasme hanya dengan oral, apalagi rame rame seperti itu, pasti nggak akan bisa keluar, Yeni tahu itu" katanya sesampai di kamar hotel. Aku terperangah, berarti aku sudah "dijebak" oleh Yeni, tetapi dia hanya tertawa saat kutelepon tentang pengakuan Tomi.

"Deal is deal" katanya sambil menutup HP-nya, aku dongkol bukan karena kehilangan uang tapi merasa dipermainkan, awas kubalas nanti, tekadku dalam hati.

Aku menghindar saat Tomi tanya soal uang taruhan permainan tadi, dia mau mengganti karena dia juga merasa terlibat.

"Urusan wanita" jawabku singkat sembari melepas pakaianku untuk kedua kalinya, namun kali ini benar benar telanjang dihadapan Tomi yang baru kukenal beberapa jam yang lalu.
"Body kamu bagus, kencang lagi" katanya sembari mengelus dan meremas buah dadaku, padahal dia sudah melakukannya sedari tadi.

Masih dengan pakaian lengkap, bibirnya langsung mendarat di puncak bukitku, dijilat dan dikulum penuh hasrat birahi, aku mendesah perlahan merasakan kegelian nan nikmat.

Tomi menelentangkan tubuh telanjangku di ranjang, secepat kilat dia melepas pakaiannya hingga kami sama sama bugil. Sedetik kemudian kepala Tomi sudah berada diantara kedua kakiku dengan lidah menari nari menyusuri klitoris dan daerah vagina. Dengan rakus dia menyedot cairan basah yang ada di vaginaku, aku menjerit mendesah nikmat sambil meremas remas rambutnya.

Lidahnya cukup lincah menikmati detail vaginaku yang telah merasakan 2 penis dari tamu sebelumnya, Tomi adalah tamu ketiga-ku di hari itu. Kami berposisi 69, saling melumat dan saling membagi kenikmatan birahi. Aku-pun mulai menapak bukit menuju puncak kenikmatan bersamanya.

Hanya dengan sekal dorong, melesaklah penisnya memenuhi vaginaku, tidak sebesar tamuku sore tadi tapi tetap saja terasa nikmat, apalagi ketika dia mulai mengocokku dari atas sambil menciumi bibir dan leherku, membuat semakin melayang cepat menuju puncak.

Tidak seperti saat oral tadi, hanya beberapa menit berselang dia mengocokku menyemburlah spermanya memenuhi vagina dengan kuatnya, aku menjerit terkaget nikmat menikmati denyutan demi denyutan hingga tetes sperma terakhir.

"Kamu terlalu sexy, nggak tahan aku lebih lama lagi" katanya seraya turun dari tubuhku, padahal aku masih setengah jalan ke puncak.

Mungkin karena foreplay terlalu lama atau masih terpengaruh suasana di tempat karaoke tadi makanya begitu cepat dia selesai, pikirku.

"Nggak apa, kan ada babak kedua, waktu kita masih panjang nggak usah buru buru" hiburku sambil meraih penisnya, dengan nakal aku menjilati sisa sperma yang masih ada di batang kejantanannya dan mengulumnya, dia menjerit kaget tapi tak menolak, aroma sperma begitu kuat menyengat hidung.

Malam itu kami habiskan dengan penuh nafsu birahi hingga pagi, meski Tomi tidak bisa bertahan lama tapi dia begitu cepat recovery, satu posisi satu orgasme hingga tak terasa 5 babak kami lewatkan hingga menjelang pagi dan kamipun tertidur setelah matahari mulai mengintip dari ufuk timur.

Belum lelap tidurku ketika terdengar telepon berbunyi, Tomi mengangkatnya, ternyata dari Ana yang ingin bicara dengan aku. Dia menawari setelah selesai dengan Tomi untuk gabung dengan Yudi, diluar kesepakatan tadi karena ini permintaan Yudi.

"Aduh, aku masih capek nih, barusan juga tidur, kalian udah ganggu" jawabku dengan mata masih berat karena ngantuk dan pengaruh alkohol semalam.

Ana nggak menyerah begitu saja, kini gantian Yudi yang bicara mendesakku, akhirnya aku sanggupi tapi setelah beres dengan Tomi. Kembali aku dan Tomi melanjutkan tidur berpelukan dengan tubuh masih sama sama telanjang, selimut menyatukan tubuh kami di atas ranjang.

Belum lelap tidurku, kembali telepon berbunyi, Tomi mengangkat dan langsung menyerahkan ke aku, dengan mata agak tertutup kuterima juga. Ternyata Yeni, dia mengajak untuk bertukar partner, sebenarnya aku agak malas meladeninya.

"Terserah Tomi deh" jawabku setengah ogah ogahan.

Ternyata Tomi nggak mau menukar aku dengan Yeni.

"Mendingan sama kamu aja, lebih pintar dan liar, lebih sexy dan lebih montok meski Yeni nggak kalah cantik sih, juga aku udah sering sama Yeni" katanya tanpa membuka matanya.
"Dia nggak mau, masih capek katanya, kita barusan tidur" jawabku berbohong.
"Ya udah kamu yang kesini gih, kita keroyok Indra" ajak Yeni.

Aku bingung karena sudah menyanggupi Ana, entah kenapa kok semua menginginkan aku padahal mereka sudah punya pasangan masing masing, mungkin karena tergoda penampilan dan postur tubuhku semalam, meski aku kalah telak.

"Tapi aku udah janji sama Ana ngeroyok Yudi setelah ini, kamu sih teleponnya telat" jawabku.

Meski Indra ikutan membujukku, aku tak bisa memenuhi ajakannya, kudengar nada kecewa darinya tapi apa boleh buat first in first serve.

Pukul 11 siang kami mandi bersama, itupun setelah Ana berulang kali menelepon untuk segera datang. Di kamar mandi kami lanjutkan satu babak permainan lagi. Tomi harus segera terbang ke Balikpapan, itulah sebabnya dia harus check out duluan.

Setelah berpakaian rapi kami menuju kamar Yudi, sengaja tak kukenakan bra dan celana dalamku karena toh sebentar lagi akan dilepas juga, padahal kaosku cukup menerawang transparan, kalau saja ada yang memperhatikan pasti dia bisa melihat bayangan putingku yang menonjol dibalik kaos Versace-ku, Tomi hanya tersenyum melihat kenakalanku.

Ternyata Ana dan Yudi belum berpakaian, mereka sedang makan pagi hanya mengenakan balutan handuk di tubuhnya.

"Eh masuk, kami barusan makan pagi atau makan siang nih" sambut Ana sambil mendaratkan ciumannya di bibir Tomi, begitu juga Yudi menyambutku dengan pelukan dan ciuman bibir, pasti dia bisa merasakan buah dadaku yang tidak terlindung bra.

"Yud, aku harus segera terbang, titip Lily ya" kata Tomi sambil menyalami sobatnya.
"Sip, nggak usah khawatir kalau dengan aku, pasti well maintained" balas sobatnya.
"Oh ya, sebentar lagi si Indra juga terbang ke Denpasar, kalau kamu mau Yeni juga hubungi aja dia" lanjut Tomi.

Setelah memberikan ciuman di bibir padaku dan juga pada Ana, dia meninggalkan kami bertiga.

"Ini dia yang sok pamer semalem" kata Yudi seraya menarik tubuhku dalam pelukannya dan disusul ciuman pada leherku. Aku spontan menggelinjang geli, tangan Yudi sudah menyelinap di balik kaos dan mulai meremas remas buah dadaku. Ana hanya mengamati sambil meneruskan makannya seakan tak terpengaruh kehadiranku.

Kubalas cumbuan Yudi dengan menarik handuknya dan kugenggam penisnya yang mulai menegang, tak kusangka ternyata lebih besar dari perkiraanku semalam, bahkan melebihi punya Tomi. Satu persatu pakaianku terlepas hingga kami sama sama telanjang, namun dia tak melanjutkan cumbuannya, ditatapnya tubuhku yang sekarang telanjang sama sekali.

"Kita makan dulu yuk" ajaknya setelah mengamati tubuhku dari atas bawah depan belakang.

Secepat mungkin kami menghabiskan makanan yang tersedia di meja tanpa sisa, aku tak bisa menolak ketika Ana dan Yudi mengajakku mandi lagi.

Ketiga tubuh telanjang kami akhirnya ber-basah basah dibawah siraman air hangat dari shower, aku benar benar diperlakukan bak ratu oleh mereka, Yudi menyabuniku dari depan sementara Ana dari belakang, padahal setengah jam yang lalu aku sudah mandi.

Empat tangan berada di kedua buah dadaku, aku terjepit dalam pelukan mereka di depan dan belakang, ada erotisme tersendiri seperti ini.

Yudi membalik tubuhku hingga berhadapan dengan Ana, kami saling berpelukan ketika kaki kiriku diangkat ke bibir bathtub. Kupeluk Ana erat saat penis Yudi mulai mengusap bibir vaginaku dari belakang, dan pelukanku semakin erat ketika dia melesakkan penisnya, diiringi desah kenikmatanku.

Siraman air hangat mengiringi kocokan Yudi padaku, semakin lama semakin cepat dan semakin keras pula desahanku, remasan Yudi dan Ana semakin liar menggerayangi buah dadaku. Hentakan demi hentakan keras menerjangku, semakin aku mendesah liar dalam nikmat.

"Ih kamu berisik juga ya" komentar Ana karena baru pertama kali aku melakukannya dengan dia, tapi aku tak peduli, kebanyakan laki laki menyukai "kebisingan" seperti ini.

Aku dan Ana bertukar posisi, giliran Yudi mengocoknya, ternyata dia juga berisik meski tak seheboh aku, berulang kali dia meremas buah dadaku, begitu juga dengan Yudi karena punyaku memang lebih montok dari Ana tentu lebih pas pegangannya.

"Pindah ke ranjang yuk" ajakku beberapa saat kemudian, mereka mengikutiku setelah saling mengeringkan badan dengan handuk.
"Ntar kita panggil sekalian Yeni, sekalian kita berpesta pora" lanjutnya.

Yudi langsung telentang di ranjang, aku dan Ana sudah bersiap di selangkangannya tapi dia minta aku sendirian mengulum penisnya.

"Biar kurasakan nikmatnya kulumanmu seperti yang kamu berikan pada Tomi semalam" katanya sambil meminta Ana bergeser ke pelukannya.

Aku segera memenuhi permintaannya, kujilati seluruh daerah selangkangannya hingga ke lubang anus, Yudi menjerit kaget dan geli sambil mengumpat tak karuan karena nikmatnya. Kuangkat kakinya ke atas hingga aku bisa dengan bebas menyusurkan lidahku antara lubang anus hingga ke ujung penis, bukan main, teriaknya tak menyangka mendapatkan perlakuan semacam itu, padahal aku belum mengulumnya, hanya permainan lidah saja.

Melihat permainan oralku Ana menjadi gemas dan mengikutiku, dua lidah dan dua bibir menjelajah di selangkangan tanpa ada yang mengulum, Yudi semakin kelojotan. Entah mengapa ada perasaan ingin membuktikan bahwa aku tidak layak kalah dalam oral dengan Ana, meskipun kenyataan semalam mengatakan sebaliknya, itu hanya faktor keteledoranku semata, pikirku.

Tanpa memperhatikan Ana, dia minta 69, meskipun begitu aku dan Ana tetap mengeroyok di kedua pahanya, bergantian kami mengulum dan menjilat seakan ingin menunjukkan siapa yang lebih unggul.

"Udah ah aku nggak tahan lagi" teriak Yudi memintaku turun.

Sedetik setelah aku turun, Ana sudah bersiap melesakkan penis Yudi ke vaginanya, dia sudah memposisikan dirinya di atas.

"Aku duluan ya, udah nggak tahan nih" katanya seraya perlahan menurunkan tubuhnya membenamkan penis itu di liang kenikmatannya.

Aku hanya tersenyum bergeser ke belakang Ana, kupeluk dia dari belakang sambil meremas remas buah dadanya yang tidak sebesar punyaku sambil menggeser geserkan putingku ke punggungnya. Tak menyangka kuperlakukan seperti itu, dia menjerit dan menggelinjang, tentu saja yang paling menikmatinya adalah si Yudi.

Gerakan Ana kacau di atas, apalagi saat Yudi ikutan menjamah dadanya. Kualihkan sasaranku ke paha dan kaki Yudi, dia menjerit ketika lidahku terus menyusur dari paha hingga jari jari kakinya, dan semakin mendesah ketika kukulum jari jari kaki itu.

Kedua manusia yang sedang bercinta itu menggeliat, meracu nggak karuan. Kini mereka saling mengocok sambil berpelukan seakan melupakan keberadaanku di kamar itu.

Tiba tiba telepon berbunyi, dengan seijin Yudi, kuangkat, ternyata si Yeni, dia kaget saat tahu aku ada di kamar Yudi, padahal sudah aku kasih tahu tadi. Yudi dan Ana tak peduli, mereka tetap mendesah keras meski bisa didengar dari telepon.

Ternyata Yeni sudah selesai sama Indra, sebenarnya dia mau ngajak check out bareng bareng, tapi sepertinya Yudi mau extend jadi mungkin dia harus check out duluan.

"Suruh mereka kemari sebentar sebelum check out" teriak Yudi sambil merasakan kocokan Ana.
"Tuh kamu udah dengar sendiri kan" kataku lalu menutup telepon.

Ternyata Ana tak bisa bertahan lama, dia terkapar tak lama kemudian mendahului pasangannya, aku segera mengganti posisinya dengan posisi yang sama. Begitu penis Yudi membenam, langsung kugoyang pantatku berputar dan turun naik, kuhentakkan pantatku ke tubuhnya dengan keras, ingin kubuktikan kalau aku lebih hebat dan lebih liar dari Ana, tak pantas aku kalah semalam.

Yudi menarik tubuhku dalam pelukannya tanpa menurunkan irama permainan, kamipun berguling tak lama kemudian, aku dibawah. Dengan bebasnya dia mengocokku membuat kami saling mendesah bersahutan.

Cukup lama Yudi menyetubuhiku, tidak seperti Tomi yang cuma satu posisi setiap babak, sudah berganti bermacam posisi dan tempat dia belum juga orgasme, entah sudah berapa menit berlalu, akupun semakin menikmati permainannya.

Bel pintu berbunyi saat Yudi mengocokku dari belakang.

"Pasti Indra dan Yeni, An, buka pintunya dong" perintah Yudi tanpa berusaha untuk berhenti.
"Wah lagi pesta nih" kudengar suara Indra, pasti dia sudah mendengar desah kenikmatanku.
"Ndra, masuk, sorry lagi tanggung nih" sapa Yudi tanpa menghentikan kocokannya, sesaat agak risih juga dilihat mereka.
"Sayang banget aku harus segera cabut" lanjutnya saat melihat temannya sedang menyetubuhiku dengan penuh gairah.

Indra dan Yeni bukannya segera pergi tapi justru duduk di sofa melihat permainan ranjang kami, sesekali Indra mendekat untuk melihat lebih jelas expresi kenimkatan dariku. Tanpa kusadari ternyata dilihat mereka aku jadi semakin liar mengimbangi kocokan Yudi dan Indra-pun makin dekat malahan duduk di tepi ranjang.

Tadi pagi aku sudah merasakan permainan Tomi, sekarang dengan Yudi, mungkin nggak ada salahnya kalau sekalian ku-servis Indra, sekalian aku bisa menikmati ketiganya, pikirku melihatnya begitu antusias.

"Mau coba?" tanyaku menggoda disela desahanku, dia diam saja memandang ke Yudi trus berganti ke Yeni dan Ana seakan minta persetujuan

Tanpa persetujuan Yudi, kudorong dia hingga penisnya terlepas lalu aku menggeser tubuhku hingga pantat atau vaginaku menghadapnya, aku tak peduli apakah ada sperma di vaginaku.

Indra terbingung sesaat seolah tak tahu harus ngapain padahal aku yakin dia menginginkannya. Hanya beberpa detik dalam kebingungan, segera dia mengeluarkan penisnya lewat celah resliting celana.

Diraihnya pantatku bersamaan dengan sapuan penis ke vagina, disusul dorongan perlahan melesakkannya ke dalam, penis yang tidak besar itupun terbenam semua, tidak sebesar punya Tomi apalagi punya Yudi, tapi yang namanya penis sebesar apapun tetap nikmat rasanya and I love it.

Tangan Indra mulai mengelus punggungku terus merambah ke dada sambil tetap mengocok semakin cepat, kulirik sepintas Yeni, Ana dan Yudi duduk di sofa melihat kami, siapa peduli.

Kocokan dan sodokan Indra semakin cepat dan keras seakan memburu untuk segera menggapai puncak dengan cepat, aku tahu dia memburu waktu. Kugoyang goyangkan pantatku supaya Indra bisa segera menuntaskan hasratnya.

Tiba tiba dia mencabut penisnya keluar dan memintaku jongkok didepannya, kuraih penis itu dan segera kumasukkan ke mulutku, hanya beberapa detik kulakukan oral Indra memenuhi mulutku dengan spermanya diiringi erangan keras dan disaksikan mereka bertiga.

Setelah kubersihkan dengan mulutku, Indra memasukkan penisnya kembali dan berpamitan menciumi satu persatu lalu menghilang dibalik pintu dengan diantar Yeni.

"Nih dari Indra" kata Yeni menyerahkan beberapa lembar 50 ribuan.

Kini tinggal Yudi dengan 3 gadis yang siap melayaninya. Akhirnya kami habiskan siang itu melayani Yudi bergantian sampai dia minta ampun untuk beristirahat.

"Ly, jangan dihabisin disini, ntar malam aku ada tugas untuk kamu, jam 9 tepat, tempatnya aku kasih tau ntar, aku udah atur untuk hadiahku sendiri dari kamu" bisik Yeni pada suatu kesempatan.
"Siapa dia? Apa aku kenal?" tanyaku penasaran.
"Ada deh pokoknya, kamu pasti kenal meski aku yakin kamu nggak pernah sama dia, pokoknya tidak boleh nolak" bisiknya lagi penuh goda.

Malam itu gantian Yeni yang menemani Yudi, Ana ada bookingan lain begitu juga aku sudah tergadai oleh taruhanku sendiri.

Sambil menunggu jam 9 yang masih lama, aku menemani Yeni dan Yudi, meski sebenarnya lebih tepat menjadi penonton permainan mereka karena Yeni tak mengijinkanku ikut permainannya, biar nggak capek, katanya.

"Kamar 812 hotel ini, temui dia, sekarang orangnya udah check in dan menunggumu" perintahnya setelah dia menerima telepon dari seseorang.
"Sekarang? Katanya jam 9, kan baru jam 6" protesku.
"Ada perubahan, udah sana pergi, dia tak mau membuang waktu"

Segera kukenakan kembali pakaianku, dengan make up sekedarnya akupun menuju kamar yang dimaksud. Bagiku tidur dengan siapa saja bukanlah masalah karena memang profesiku, tapi membuat penasaran tentu hal yang berbeda, di lift aku bertanya tanya siapakah yang selama ini kukenal tapi nggak pernah tidur denganku, hingga sampai di depan kamar 812 pertanyaanku belum juga terjawab.

Pintu terbuka sedetik setelah bel kutekan, muncullah wajah yang selama ini kubenci, dia adalah Jimmy Jemblung alias JJ, seorang germo yang sudah berkali kali mengajakku tidur tapi tak pernah kutanggapi dan selalu kutolak meski dia cukup sering memberiku order.

"Eh ngapain kamu disini, mana tamuku?" tanyaku langsung menerobos masuk, kupikir dia sedang membawa seseorang, ternyata hanya dia di kamar itu.
"He.. He.. He, nggak ada siapa siapa non, kecuali aku dan akulah tamumu kali ini atas jasa baik temanmu Yeni" jawabnya dengan senyum penuh kemenangan.

Kuambil HP-ku dan kuhubungi Yeni, tapi HP-nya nggak aktif.

"Kurang ajar" teriak batinku.
"Aku tahu kamu kaget dan nggak suka tapi Yeni bilang kamu nggak akan bisa menolak, makanya aku bayar 3 kali lipat dari biasanya" lanjutnya dengan wajah menyeringai seperti srigala lapar hendak menerkam mangsa yang sudah tak terjerat tak berdaya.

Jimmy Jemblung yang akrab dipanggi JJ, meski dia chinese tapi hitam dan perutnya buncit seperti orang bunting, di usianya yang menjelang 50-an, seusia Papa-ku, dia mempunyai koleksi yang cukup banyak dengan berbagai tingkat harga, sebagai germo senior tentu tak susah mencari tamu, diluar itu sebenarnya dia cukup baik dan perhatian pada anak buahnya meskipun aku yakin semua itu ada niatan tersembunyi. Entah berapa anak buah yang sudah dia "cicipi" namun beberapa menolak dengan tegas termasuk aku, meskipun begitu dia tetap memberiku order, mungkin karena dianggap masih menguntungkan.

Akhirnya aku sadar bahwa aku tak bisa lari darinya, dan sebentar lagi aku masuk kelompok yang telah "dicicipinya" dan tak lama lagi berita ini telah menyebar bahwa Lily telah berhasil ditaklukkan si JJ.

Karena jengkel dan kesal, kuhempaskan tubuhku ke sofa, bersiap menerima terkaman ganasnya. Aku diam saja ketika dia menyusul duduk disebelahku.

"Kok cemberut gitu sih melayani tamu" godanya mulai menciumi pipi dan leherku.

Aku diam saja, kalau tamunya kayak kamu udah kutolak dari tadi, jeritku dalam hati.

"Akhirnya aku bakal membuktikan sendiri apa yang selama ini dipuji puji para tamumu, seperti apa sih kamu dan bagaimana sih servisnya, kalau tahu sendiri kan bisa lebih enak ceritanya" katanya lagi sembari tangannya yang ber-rantai emas mulai menjamah buah dadaku sementara tangan satunya sudah menyelinap di balik kaos di punggung, dipermainkan tali bra.

"Kok nggak dilepas sih, aku kan tamu yang membayar bukan gratisan, apa bedanya sih dengan lainnya" ada nada protes dalam ucapannya yang menyadarkanku akan kebenarannya, meski aku tak akan menerima duitnya.

Dengan terpaksa kubuka kaosku, dia bersiul ketika melihat hamparan dadaku yang masih tertutup bra transparan, decaknya bertambah saat kulepas celana jeans yang menutupi bagian bawah tubuhku, dicegahnya saat aku mau melepas bikini mini yang masih tersisa menempel di tubuh.

JJ berselonjor di sofa menunggu tindakanku lebih lanjut, dengan agak ogah ogahan kulepas bajunya hingga terlihat perutnya yang buncit dan dada berhias kalung rantai emas, ada tato di lengan dan dadanya. Tangan JJ tak pernah lepas dari dadaku, meremas remas dan memainkan putinku. Tubuhku langsung ditarik kepangkuannya setelah aku melepas celananya, ternyata dia sudah tidak mengenakan celana dalam atau memang tidak pernah pakai.

Bibirnya langsung mendarat di leher, diciuminya dengan gemas bak kekasih yang melepas rindu, aku hanya tengadah agak jijik menerima ciumannya.

Satu jentikan jari melepaskan bra-ku, dia memuji saat melihat keindahan buah dadaku yang menggantung dengan sempurna tepat didepan hidungnya, diremas dengan penuh nafsu dan diusap usapkan kepalanya diantara kedua bukitku. Sedetik kemudian putingku sudah berada dalam mulutnya, dia menyedot dengan nafsu yang menggelora sambil lidahnya bermain main pada puting, akupun mulai menggelinjang geli sambil meremas kepala yang menempel di dada, semakin lama jilatannya semakin menggairahkan dan mulai membawaku naik birahi.

Mulutnya berpindah dari satu puting ke puting lainnya seperti anak kecil mendapat mainan baru, bibir dan lidahnya terus bergerak dari dada ke leher dilanjutkan ke bibir, mulanya aku menolak ciuman bibirnya tapi lama kelamaan akupun bisa menerima sentuhan bibirnya pada bibirku, bahkan membalas sapaan lidahnya ketika menyapu bibir dan lidah kamipun bertautan.

Tubuhku mulai merosot turun dan bersimpuh diantara kakinya, penisnya yang tegang tidak disunat hanya beberapa mili dari wajahku, kuremas dan kukocok kocok hingga semakin menegang.

Untuk ukuran dia penis itu cukup besar, aku tak menyangka sebelumnya, kuusap usapkan pada kedua putingku lalu dengan gerakan nakal kusapukan pula pada wajahk.

JJ mulai mendesis sambil memandang tanpa berkedip saat lidahku mulai menyentuh penisnya, pandangan kemenangan seakan menikmati bagaimana penisnya memasuki mulutku, desahnya semakin keras mengiringi gerakan lidahku menyusuri daerah selangkangan. Batang penis kususuri dengan lidah tanpa sisa hingga kantong bola dan berlanjut sampai ke lubang anus. Dia menjerit kaget, seperti halnya tamu lainnya saat kulakukan hal yang sama, tentu mereka tak mengira kuperlakukan seperti itu.

Terlupakan sudah bahwa aku sedang menjilati lubang anus laki laki yang selama ini aku benci, meski agak susah kuangkat kakinya supaya aku bisa lebih bebas menjelajahi daerah belakangnya. Kini aku memperlakukan JJ sebagaimana mestinya seorang tamu yang harus aku puaskan, dan dia memang berhak mendapatkan itu karena memang aku dibayar untuk memuaskannya meski dalam hal ini aku tidak menerima duitnya.

Desahan kenikmatan JJ makin menjadi jadi, lidahku menjelajah tiada henti disekitar selangkangannya. Tanpa mengulumnya, kutinggalkan dia dan kurebahkan tubuhku diranjang, JJ mengikutiku, dilepasnya celana dalam mini yang masih setia menutupi organ kewanitaanku dan dilemparnya entah kemana setelah menciumi terlebih dahulu.

JJ mementangkan kakiku lebar lebar, dia membuka bibir vaginaku dengan jari jari tangannya, diamatinya sebentar lalu kepalanya dibenamkan diselangkanganku. Kurasakan lidahnya mulai menyentuh klitoris dan bibir vagina, tubuhku serasa merinding mengingat lelaki yang kubenci sedang asik menjilati vaginaku, namun itu tak berlangsung lama, perlahan lahan kurasakan kenikmatan dari jilatannya, birahiku semakin naik tinggi merasakan permainan lidahnya pada vagina.

Kugigit bibirku untuk menahan desahan tapi aku tak kuasa menahan lebih lama lagi dan meledaklah desah kenikmatan dari mulutku.

Terlupa sudah segala gengsi, semua terkikis oleh jilatan lidahnya pada klitoris yang sungguh nikmat rasanya, dengan pintar dia memainkan irama permainan, apalagi kombinasi dengan kocokan jari tangan membuatku semakin melayang tak karuan. Tak dapat kutahan lagi saat tubuhku mulai menggelinjang dalam kenikmatan dan akupun tak malu lagi untuk mendesah dengan bebasnya.

Lidah JJ semakin liar menari nari, kocokan jarinya-pun semakin lincah keluar masuk liang vaginaku dan aku benar benar terbakar api permainannya. Harus kuakui JJ sangat pintar bermain oral hingga terhanyut dan aku harus takluk pada kelihaiannya ini, sungguh tak kusangka sebelumnya.

"Sshh.. Truss Jim.. Ya truss" desahku tanpa bisa kukendalikan lagi dan diapun semakin menjadi jadi.

Napasku sudah menderu nggak karuan, kalau ini berlanjut terus aku bisa kebobolan lebih dulu dan ini tentu memalukan, sekuat tenaga berusaha kutahan supaya tak orgasme hanya dari permainan oralnya.

Tiba tiba JJ menghentikan permainan oralnya dan telentang disampingku, ada rasa kecewa ketika dia menghentikan itu.

"Aku mau lagi tak peduli meski harus orgasme lebih dulu, terlalu sayang kalau dihentikan begitu saja" teriak hatiku, maka kunaiki tubuh gendut JJ dengan posisi 69 dan aku yakin dia tidak keberatan.

Aku kembali merasakan nikmatnya permainan oral JJ pada vaginaku, kubalas dengan memasukkan penisnya ke mulutku, maka kamipun mulai mendesah bersahutan bak simfoni dengan nada sumbang.

Jari tangan dan lidah JJ bergantian keluar masuk vagina begitu juga penisnya dengan cepat keluar masuk mulutku dan lidahku-pun tak kalah lincah menari nari diujung penisnya. Maka simfoni mendesah-pun semakin keras terdengar memenuhi kamar hingga berlangsung beberapa menit kemudian.

Kini kami siap untuk ke tahap berikutnya, kuturunkan tubuhku perlahan lahan sambil melesakkan penis JJ memasuki vaginaku, penis keempat dihari itu setelah Tomi, Yudi dan Indra, kini JJ tengah mengisi liang kenikmatanku.

Tubuhku mulai turun naik mengocokkan penisnya ke vaginaku diiringi desah kenikmatan kami berdua, tangan JJ mengiringi dengan remasan remasan kuat dan permainan pada puting. Gerakan pinggulku berubah ubah dari turun naik lalu berputar membuat JJ merem melek merasakan kenikmatan yang kuberikan.

JJ menarik tubuhku dalam pelukannya, dilumatnya bibirku dengan penuh gairah dan kubalas dengan tak kalah gairah, kutatap matanya yang berbinar penuh nafsu, aku benar benar sudah melupakan bahwa sekarang dalam pelukan laki laki yang masih kubenci satu jam yang lalu.

Aku harus jujur mengagumi kekuatannya, meski lebih 20 menit bergoyang dan ber-hola hop diatasnya, dia masih bisa bertahan dan tidak orgasme, apalagi untuk seusia dia, tentu suatu rekor yang luar biasa, bahkan mengalahkan ketiga anak muda yang telah menyetubuhiku sebelumnya.

Kami berganti posisi dogie, dengan posisi ini JJ bisa lebih bebas mengocokku menurut iramanya, ternyata dia lebih liar menyodokkan penisnya ke vaginaku, cepat dan keras, akupun menjerit histeris dalam nikmat. Keliarannya menjurus kasar, dia menjambak rambutku kebelakang sambil menghentak keras, akupun terdongak kaget namun tak menolak karena memang menikmati kekasaran itu.

Bahkan ketika dia memasukkan jari tangannya ke lubang anusku, akupun tak menolak meski lebih satu jari yang mengocoknya. JJ tak berusaha malakukan anal sex karena dia yakin betul kalau aku keberatan dan tentu saja tak mau merusak suasana yang sedang penuh birahi.

Kembali kami mengubah posisi, sebenarnya dia ingin diatas, tapi mengingat perutnya yang buncit tentu akan membuatku sesak napas, maka kami lakukan di meja.

Aku telentang di atas meja sambil berharap meja ini kuat untuk menahan tubuhku dan goyangannya, ternyata JJ tidak langsung memasukkan penisnya tapi kembali melakukan jilatan dan sedotan di vaginaku yang penuh cairan, disedotnya kuat kuat seakan hendak mengeringkan vaginaku, belum pernah ada yang malakukan ini setelah bersetubuh. Akupun tak ayal lagi langsung menjerit menggeliat terkaget tak menyangkanya. Tidak lama tapi cukup memberiku pengalaman baru, dengan terkekeh kekeh dia lalu memasukkan penisnya ke vaginaku yang sudah terbuka lebar, masih dengan wajah menyeringai JJ mulai mengocokku kembali.

Untuk kesekian kalinya desah dan jeritan nikmat menggema memenuhi kamar, kami berpacu menuju puncak birahi yang tak terlihat entah dimana, meja tempatku telentang bergoyang dengan hebatnya, sehebat gempuran penis JJ pada vaginaku, tangannya yang kekar dengan kasar meremas remas buah dadaku yang ikutan bergoyang.

Tatapan matanya tak pernah lepas dari memandang wajahku yang tengah mengerang dalam nikmat, mungkin pemandangan yang tak pernah dia dapatkan selama ini dariku, dia ingin menikmati sepuasnya.

Sepertinya dia begitu menikmati semua dariku, tangannya menjamah semua bagian tubuhku tanpa terlewatkan sedikitpun, sudah berpuluh laki laki yang dia berikan kesempatan seperti ini tapi baru kali ini bisa mendapatkannya sendiri, suatu penantian panjang yang tak boleh disia siakan.

Kurasakan tubuh JJ mulai menegang dan beberapa detik kemudian kurasakan penisnya membesar disusul denyutan kuat menyemburkan sperma liang vagina, aku menjerit tak menyangka denyutan itu begitu kuat menghantam syaraf syaraf dalam vaginaku, begitu nikmat. Kubiarkan dia menikmati saat saat orgasmenya, dicengkeramnya buah dadaku dengan kerasnya hingga terasa sakit, tapi aku diam saja.

JJ mencabut penisnya begitu selesai dan menghempaskan tubuhnya di ranjang, tentu saja kelelahan yang hebat setelah bercinta cukup lama dengan penuh gairah menggebu. Kudekati dia, napasnya masih menderu dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya, kuciumi penis yang masih penuh sperma lalu kumasukkan ke mulut, tak kupedulikan teriakan kaget darinya, penis itu sudah keluar masuk mulutku, kujilati sisa sisa sperma yang masih ada hingga bersih.

Akhirnya kami berdua terkapar di atas ranjang. Meskipun aku belum orgasme tapi merasa puas dengan permainan barusan, rasanya tak ada salahnya untuk mengulangi lagi babak kedua.

"Apa yang kudengar dari tamu tamu itu ternyata tidak benar, yang benar adalah jauh lebih hebat dari itu, pantesan setiap kali tamu kusodori kamu, selanjutnya minta kamu temenin" katanya setelah dia bisa mengatur napasnya dengan normal.
"Setelah ini kamu mau kemana? Pulang atau nemenin aku hingga besok, kalau mau sih?" tanyanya.

Kalau pertanyaan itu diucapkan satu jam yang lalu aku pasti pilih pulang tapi setelah merasakan apa yang baru saja aku alami, aku jadi bimbang, pinginnya sih sampai besok tapi malu mengucapkannya.

"Ya udah kalau kamu nggak mau, aku nggak maksa kok, yang penting aku sudah bisa merasakan servismu yang selama ini hanya kudengar dari orang lain, setelah tahu bagaimana kamu melayaniku barusan, rasanya kok sayang kalau aku harus menyerahkan tubuhmu ke laki laki lain seperti biasanya, kini ada perasaan nggak rela" lanjutnya.

Aku tak peduli perasaan maupun apa yang diomongin barusan, toh selama ini dia memang tak punya perasaan, aku tengah berfikir bagaimana minta menginap tanpa kelihatan menginginkannya.

"Hei Lily, sungguh bodoh kamu, kenapa sekarang menginginkannya? Padahal dia laki laki yang kau benci selama ini" aku berusaha menepis keinginan gila itu, tapi ternyata nafsu lebih unggul dalam kecamuk dikepalaku, kini bagaimana cara memintanya.

JJ berdiri menuju meja disebelah bar, diambilnya bungkusan yang terbungkus rapi dan diberikan padaku.

"Ini untuk kamu, mudah mudahan kamu suka dan cocok ukurannya" katanya sambil menyuruhku membukanya.

Ternyata isinya adalah 2 pasang pakaian dalam mini, baju tidur satin transparan warna pink dan kaos ungu DKNY yang ketat. Kucoba satu persatu, ternyata ukurannya cocok dengan tubuhku dan enak dipakainya.

"Terima kasih Koh, aku jadi pingin mencobanya sekarang" kataku.
"Ya sudah, pake aja nanti kita ke Diskotik kalo kamu mau" jawabnya, aku melihat peluang untuk tetap tinggal tanpa rasa malu.
"Benar nih, kalau begitu aku mandi dulu" kataku.

Ketika aku di kamar mandi kudengar telepon kamar berbunyi, ternyata dari Yeni yang ingin bicara denganku, maka kuterima dari kamar mandi.

"Gimana? Kamu ingin mengumpat aku atau mau ngucapin terima kasih?" godanya.
"Sialan, kamu telah menjebakku" kataku pura pura marah.
"Jangan marah begitu dong non, aku juga taruhan sama dia, kalau nggak bisa membujukmu menemani dia, aku harus menemani JJ ke Tretes, dan aku menang 2 kali sekaligus, disamping dapat 3 kali lipat bayaranmu yang selangit, aku juga dapat 10 juta" katanya dengan nada gembira.
"Dasar monyet" umpatku.
"Tapi dia mainnya hebat kan? Lalu kamu diberi hadiah apa?" godanya.
"Kok kamu tahu?"
"Iya dong, aku kan beberapa kali bobok sama dia, bahkan kemarin sebelum sama Indra, siangnya sempat melayani JJ, KO deh rasanya, makanya kalau sama dia pasti minta seorang lagi untuk berbagi, kalau nggak gitu bisa keok kita, lha wong dia itu hyper kok, biasanya dia minta jatah kalau habis memberi order gede, aku sih OKE saja toh juga enjoy meski pada mulanya muak" lanjutnya.
"Dia minta aku nginap sih, gimana baiknya" tanyaku bohong.
"Kalau masih kuat terima saja, tapi kamu mau nggak bobok sama orang yang selama ini kamu benci" tanyanya mengingatkan.
"Ah, brengsek kamu" tukasku.
"Udah ah, aku mandi dulu kita mau ke Diskotik, ikut yuk"
"Nggak ah, mending ngelonin Yudi dari pada keluar sama si bandot tua"
"Tapi sebenarnya kamu menyukainya kan?" godanya.
"Iya sih, permainannya itu lho, penuh kejutan"

Setelah kubujuk, akhirnya Yeni dan Yudi setuju untuk menemani ke Diskotik, kamipun pergi tak lama kemudian.

Malam itu Diskotik begitu ramai, untunglah JJ cukup dikenal disana hingga tak susah untuk mendapatkan tempat duduk. Ketika House Music bergema, kuajak Yudi jojing, 5 lagu telah terlewati, saat kembali ke tempat duduk kami, kulihat JJ berbicara dengan seorang bapak bapak seusianya, dia mengenalkanku tapi aku tak ingat lagi namanya.

"Dia adalah orang keempat yang menginginkanmu" bisiknya setelah orang itu pergi.
"Yeni mana?" tanya Yudi.
"Ke toilet" jawab JJ.
"Dia dapat orderan Quickie, kalau kamu mau bisa aku atur, kerja ringan duit lumayan, semalam bisa 3-4 kali kalau sama aku, paling lama 10 menit, harus pake kondom" bisiknya ditelingaku tanpa setahu Yudi.

Aku belum pernah melakukan hal seperti itu, tapi membuatku tertarik karena tentu mempunyai sensasi tersendiri.

"Aku belum pernah sih, tapi boleh juga dicoba sih" kataku tertarik.
"Mau coba? Tapi tarifnya nggak sampai separoh biasanya, toh hanya oral, buka celana, nungging, selesai deh dan bayar ditempat" jelasnya disela hingar bingar musik.
"Boleh" jawabku, uang bukanlah masalah kali ini, tapi sensasinya yang ingin kurasakan.
"Tunggu sebentar" katanya lalu berdiri meninggalkanku.

Yeni sudah datang bergabung kembali dengan kami, dengan senyum mengembang di bibir dia lalu duduk di samping Yudi, matanya mengedip ke arahku penuh arti, lima menit kemudian JJ datang bersama bapak yang tadi.

"Tanpa oral, selesai atau tidak, 10 menit keluar" bisiknya sambil menyelipkan kondom ditanganku, sebelum aku digandeng menuju toilet.

Tak kusangka ternyata toilet laki laki penuh dan harus antri untuk memakainya, memang toilet laki laki lebih bebas, wanita bisa keluar masuk tidak seperti toilet wanita.

Sepuluh menit kami menunggu di depan toilet sebelum tiba giliran kami, toilet itu cukup sempit dan agak bau, entah bagaimana mereka bisa melakukan di tempat seperti ini.

Tanpa basa basi, Pak tua itu segera memelukku, meremas remas buah dada dan pantatku dengan kasarnya, diciuminya pipi, leher dan bibirku meski aku berusaha menutup mulut rapat rapat, aroma rokok bercampur alkohol tercium dari mulutnya.

Tanpa menghiraukan jamahan tangannya disekujur tubuhku, secepatnya kubuka resliting celananya dan kukeluarkan penis yang sudah menegang, cuma sebesar genggamanku dan tak lebih besar lagi setelah kuremas remas dan kukocok.

Tangan tangan Pak Tua itu sudah menyusup dibalik kaos dan bra, melanjutkan remasan dan memainkan puting begitu mendapatkannya. Setelah memasangkan kondom, yang aku khawatir kebesaran hingga bisa terlepas, kulorotkan celana jeans beserta celana dalam sekaligus dan nungging di depannya dengan tangan bersandar pada dinding toilet.

Pak Tua itu mulai mengusap usapkan penisnya pada vaginaku, tentu agak susah bagiku karena tanpa pemanasan, meski bukan pertama kali aku melakukan hal ini di toilet umum, tapi di tempat ramai seperti ini adalah pengalaman pertama, tentu hal ini menjadi kesulitan tersendiri.

Kubasahi penis itu dengan ludah dan tanpa kesulitan dia mendorong masuk merasakan nikmatnya vaginaku, penis kelima yang menikmatinya. Pak Tua mulai mengocokku dari belakang diiringi hingar bingar alunan Lemon Tree versi House Music yang menerobos masuk ke toilet. Tak ada desahan kenikmatan, tak ada jeritan histeria, semua berlangsung seperti mesin, hanya kocokan, rabaan dan remasan diseluruh tubuhku menghiasi persetubuhan ini. Aku yang terbiasa main ditempat tenang dan romantis agak kesulitan menyesuaikan dan menikmati kocokannya meskipun aku berusaha menikmati sensasinya.

Alunan Lemon Tree versi House Music menerobos masuk ke toilet mengiringi kocokan kami, tanpa sadar tubuhku bergoyang mengikuti alunan musik itu dan sebelum lagu itu habis kurasakan denyutan denyutan mengenai vaginaku. Seperti kata JJ, semua serba cepat, mungkin hanya 2-3 menit dia mengocokku, lebih lama ngantrinya.

Aku segera berbalik menghadapnya, kulepas kondom dari penisnya dan membuang ke tempat sampah. Setelah kuminta dia mengaitkan kembali bra-ku, kami merapikan pakaian masing masing. Pak Tua mengangsurkan beberapa lembar 50 ribu-an ketanganku lalu kami keluar bersama sama diiringi sorot mata menatap tajam dari para peng-antri toilet, aku tak peduli. Sungguh aneh, hingga kami berpisah di depan toilet aku tak tahu nama Pak Tua yang telah menjamah sekujur tubuh dan mengobok obok vaginaku barusan.

Ketika aku kembali bergabung dengan JJ, tak kulihat Yeni dan Yudi.

"Kok lama?" tanya JJ.
"Ngantrinya yang lama" jawabku pendek sambil meneguk Coca Cola yang sudah tidak dingin lagi.
"Gimana? Masih mau lagi? Kalo begini semalam bisa terima order lebih dari 5 kali nih, udah banyak yang menanyakan kamu tadi" kata JJ, tentu saja mereka semua tahu siapa si JJ, dan gadis yang bersamanya pasti adalah para anak buahnya.
"Satu dua lagi boleh juga sih" jawabku kepalang tanggung, malam ini aku benar benar di obral seperti pelacur jalanan.
"Kalau gitu tunggu disini aku carikan lagi yang tadi udah minta" jawabnya seraya meninggalkanku.

Kulihat Yudi dan Yeni sedang jojing di floor, seorang laki laki mendekatiku, mencoba bersikap akrab meski aku tak pernah melihatnya sebelumnya. Sebenarnya bisa diduga maunya tapi aku pura pura nggak tahu, nggak enak rasanya kalau cari tamu tanpa setahu JJ karena dialah yang memiliki aku malam ini.

"Aku tadi lihat kamu keluar dari toilet" katanya, tapi aku cuek saja.
"Emang kenapa?" jawabku, untunglah Yudi datang, tanpa Yeni, melihat kedatangannya laki laki tadi langsung mundur teratur.
"Mana Yeni?" tanyaku.
"Tuh ngelanjutin turun sama temannya" katanya sambil menunjuk ke floor, tapi tak terlihat dia disana.

JJ datang dan mengajakku ke tempat lain, tempat itu begitu ramai hingga untuk jalan saja susah, terpaksa aku harus merelakan buah tersenggol sana sini.

Kami menemui seorang anak muda cina di dekat DJ, dia sedang bersama temannya, kelihatannya sedang ON. Bergandengan tangan melintasi dance floor, kami menuju ke toilet seperti tadi, ternyata banyak orang sedang menunggu entah apa yang ditunggu.

"Kita ke VIP saja, kalau ngantri kapan mainnya" katanya seraya kembali menggandengku ke lantai 2.

Di salah satu ruangan VIP dia langsung masuk, tanpa kuduga ternyata ruangan itu sedang terjadi persetubuhan seru 2 pasang, sepintas aku mengenali salah satu dari gadis itu, hanya sesaat mereka terkaget atas kedatangan kami tapi langsung kembali ke urusannya masing masing.

"Mau disini rame rame atau di toilet itu, masih ada sofa kosong sih" katanya.
"Disini aja deh, di toilet kurang enak" jawabku.

Sesampai di sofa kosong itu, seperti kedua pasangan itu, kami hanya membuka celana masing masing, tanpa banyak basa basi kupasangkan kondom pada penisnya, agak susah karena masih belum tegang, kukocok dan kuremas sebentar supaya segera bangun, ternyata susah juga membangunkannya, memang pengaruh drug membuat susah terangsang, bahkan ketika kupaksa kupasangkan ternyata masih belum bisa.

Setelah beberapa menit kucoba ternyata masih juga belum berhasil, terpaksa aku harus mengulumnya, padahal itu diluar perjanjian tapi demi servis kulakukan juga. Beberapa kuluman membuahkan hasil, langsung kupasangi kondom dan kubasahi dengan ludah.

Aku sudah nungging siap menerima sodokannya dari belakang tapi dia justru membalik tubuhku, memintanya duduk selonjor di sofa, rupanya dia menginginkan dari depan. Dibuka kakiku lebar lebar seraya memasukkan penis itu ke vaginaku, penis keenam di hari itu, kocokannya langsung cepat dan keras, untung tadi sudah kulumasi dengan ludah, kalau tidak tentu lecet karena vaginaku belum basah.

Tengah asik kami bersetubuh, pasangan lain masuk ke kamar itu, kami semua terkejut sesaat tapi segera kembali melanjutkan tanpa peduli siapa yang masuk. Empat pasang dengan desahan yang tak karuan saling bersahutan mengiringi dentuman musik yang keras.

Ternyata tak secepat yang kuduga, tentu saja masih pengaruh drug yang dia minum. Aku kini duduk dipangkuanya berganti mengocoknya, kaos dan bra-ku sudah tersingkap hingga dada, maka dengan bebas diapun mulai mengulum putingku dikala aku tengah bergoyang pantat di atasnya, kalau dituruti dia sudah minta aku melepas kaos hingga telanjang, tentu saja kutolak.

Satu pasangan sudah menuntaskan hasratnya dan keluar, namun tak lama berganti dengan pasangan lain, entahlah tempat ini sepertinya memang disewa untuk dijadikan tempat pelampiasan nafsu. Pasangan demi pasangan sudah berganti keluar masuk tapi aku masih belum juga menyelesaikannya. Barulah ketika pada posisi dogie dia berhasil menggapai orgasmenya, sekitar 15 menit nonstop.

Belum selesai aku berpakaian dan merapikan make up, dia memberikan uang lalu meninggalkan begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun apalagi ciuman, sungguh aku diperlakukan seperti pelacur jalanan yang hanya menjadi tempat pelampiasan nafsu belaka, tanpa sentuhan romantisme sama sekali seperti selama ini yang aku lakukan pada tamu tamuku, bahkan namanya-pun dia nggak tanya dan akupun tak tahu.

Enam penis sudah kurasakan hari ini, sama dengan rekorku sebelumnya, tambah satu lagi berarti rekor baru bagiku, dengan buru buru aku segera keluar kamar itu meninggalkan beberapa pasang yang tengah mengayuh nafsu birahi.

Baru beberapa meter keluar dari kamar VIP, seorang laki laki mendekatiku.

"Lily, tumben kamu berkeliaran ditempat seperti ini" sapa laki laki itu, aku tak terlalu mengenalnya karena tempat itu memang remang remang, mungkin juga salah satu tamuku.
"Siapa ya?" tanyaku mendekatinya, suaraku tertimpa kebingaran musik yang semakin menggelegar.
"Kebetulan kita kurang satu orang, ikut yuk, dari tadi aku nyari nyari tapi nggak dapat yang cocok" jawabnya agak teriak ditelingaku.

Setelah kuamati lebih seksama ternyata dia adalah teman dari tamu langgananku, aku mengenali meski tak pernah tidur dengannya.

"Eh kamu toh, sama sama dia?" tanyaku mengira dia sedang menemani temannya yang tamuku itu.
"Nggak, mana mau dia datang ke tempat beginian, gimana mau temanin aku nggak?" tanyanya, aku tahu sudah lama dia menginginkan aku tapi segan sama temannya itu padahal tak perlu begitu.
"Kemana?" tanyaku, tanpa menjawab dia menggandengku, ternyata kembali ke tempat VIP tadi.
"Tempat ini memang disewa untuk beginian, kami share menyewanya" jelasnya seraya memasuki kamar, anehnya sofa yang kutempati tadi masih kosong, seolah memang disediakan untuk aku. Saat kulirik ke sofa lain, ternyata pasangan yang ada sudah berganti, sungguh cepat perputarannya.

Seperti tadi, kamipun segera melepas celana, kondom yang kubawa sudah terpakai, sialnya dia juga nggak bawa.

"Ada yang bawa kondom nggak?" tiba tiba teriaknya entah ditujukan pada siapa.
"Ambil di tas biru itu" kata seorang gadis sambil menunjuk tas biru disampingnya karena dia juga sedang menerima kocokan dasyat dari pasangannya.

Setelah mengambil dan memasangnya, baru kusadari ternyata kondom itu berkepala seperti kelinci, aku bisa membayangkan kepala kelinci itu akan menyodok nyodok rahimku karena sebenarnya penis itu sendiri sudah cukup panjang.

Tiba tiba aku teringat bahwa itu adalah penis ketujuh, berarti pemecahan rekor, tanpa tersadar aku merinding membayangkan merasakan tujuh penis berbeda dalam sehari, tapi segera tersadar saat penis ketujuh itu mulai menyentuh bibir vagina.

Kubasahi vaginaku dengan ludah saat dia mulai menyapukan penis itu pada vagina, tangannya menyingkap kaos dan bra-ku keatas sambil mendorong masuk kejantanannya memenuhi vaginaku. Dugaanku benar, penis yang panjang ditambah kepala kelincinya menyodok rahimku dan mengocok serta mengaduk aduk vaginaku, aku menjerit mendesah nikmat, kenikmatan pertama dari tiga persetubuhan terakhir.

Kocokan demi kocokan, sodokan demi sodokan kali ini kuterima dengan penuh kenikmatan, tak kupedulikan lagi pasangan lain yang berganti keluar masuk, aku tengah merasakan nikmatnya sex ditengah kebingaran musik tecno yang mengalun tiada henti.

Bahkan saat ada pasangan yang bermain disamping sofa kami, karena semua sudah penuh, akupun tak peduli lagi, bahkan tak melirik sedikitpun siapa dia. Desah dan jeritanku seakan mengalahkan kerasnya musik itu saat aku dikocok dari belakang, serasa kepala kelinci itu semakin dalam dan mulai menggigit gigit rahimku, ada rasa sakit bercampur nikmat.

Dan akupun berteriak histeris, tak menyangka mendapatkan orgasme dari quickie dan suasana seperti ini, kulirik beberapa orang melihatku saat aku histeria orgasme, tapi siapa peduli. Kembali teriakanku terdengar beberapa menit kemudian saat kurasakan kepala kelinci itu membesar dan berdenyut kuat. Denyutan demi denyutan kurasakan menghantam dinding dinding vaginaku hingga cengkeraman kuat pada buah dadaku tak kurasakan lagi dan kamipun melemas, kali ini aku benar benar lemas.

Aku masih tergeletak di sofa tanpa celana dan kaos berantakan saat dia kembali memakai celananya, diselipkannya uang di sela sela pahaku, setelah memberi ciuman di bibir aku ditinggalkannya sendirian dalam keadaan semula dan terkapar di sofa disekeliling manusia manusia yang tengah mengayuh bahtera birahi.

Begitu sadar bahwa masih ada orang yang mau pakai sofa ini, aku beranjak merapikan pakaian dan mengenakan kembali celanaku, baru kusadar kalau kaitan bra telah terbuka. Aku tak bisa memasang sendiri dalam keadaan seperti ini, mau minta bantuan kulihat semua sedang sibuk, akhirnya kuputuskan untuk melepas sekalian bra itu.

Sebelum keluar kamar, kuhampiri wanita yang memberiku kondom tadi, mereka baru selesai menuntaskan hasratnya.

"Terima kasih kondomnya" kataku sambil mencium pipinya, dia hanya terenyum.
"Lama banget" kata JJ setelah aku kembali, hampir setengah jam kutinggalkan dia.

Aku hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaannya seraya menyerahkan bra-ku.

"Titip tolong disimpan, dari pada bongkar pasang lebih baik nggak pake sekalian" jawabku sembil tersenyum.
"Aku udah dapatkan seorang lagi" katanya, sebenarnya aku menolak, masih lemas karena orgasme barusan tapi JJ mendesak, sudah telanjur bikin janji untuk aku, nggak enak, desaknya.

Akhirnya terpaksa aku melakukannya sekali lagi, di toilet, delapan laki sudah kurasakan dalam satu hari, suatu rekor pribadi baru telah kuciptakan.

"Udah cukup ah, kita pulang yuk" ajakku sekembali dari toilet.
"Ly, terserah kamu mau nggak, ada anaknya cakep masih muda lagi, aku yakin kamu pasti menyukainya, kali ini terserah kamu deh" tawarnya.
"Udah ah, capek nih" tolakku, perasaan dari tadi juga terserah aku, tapi aku memang nggak nolak tawarannya.
"Kamu lihat aja dulu anaknya, kalau oke kita bawa dia ke hotel, aku ngalah deh" desaknya, ternyata justru dia menawari aku anak muda untuk dibawa ke hotel, apakah dia mau main bertiga? Entahlah, tapi aku tertarik dengan promosinya.

Aku terkesima melihat penampilan dan wajah Bobi, meski cahaya remang remang tapi bisa kulihat posturnya yang cukup atletis dengan pakaian ketat menampilkan lekuk sexy tubuhnya, wajahnya terlihat keras dan garang bukannya imut, justru menimbulkan kesan macho, sungguh membuat lemas lututku tapi aku harus menjaga image, tentu saja tak kuperlihatkan kekagumanku, bahkan aku berusaha bersikap cuek seperti biasanya saat baru berkenalan.

"Gimana?" bisik JJ.
"Terserah deh, aku ngikut aja" jawabku berusaha menahan diri.
"Kalo gitu kita cabut sekarang" katanya lalu menghampiri Bobi dan kitapun segera pergi setelah mencari cari Yeni dan Yudi.
"Dia oke kan? Anggap hadiah dariku, selain itu aku ingin lihat bagaimana kamu kalau melayani tamu yang kamu sukai" bisiknya nakal dalam perjalanan menuju tempat parkir. Aku diam saja, tak sabar ingin segera sampai di hotel.

Begitu pintu kamar ditutup, aku tak bisa menahan gejolak nafsu lebih lama lagi, tanpa mempedulikan keberadaan JJ, kupeluk dan kulumat bibir Bobi dengan penuh gairah, seperti laki laki lainnya diapun membalas cumbuanku tak kalah ganasnya. Tangannya langsung mendara di dadaku, meremas remas buah dada yang tidak berpelindung, kubalas dengan remasan di selangkangannya yang sudah mengeras.

"Nggak usah segan, anggap aku nggak ada" komentar JJ melihat aku dan Bobi langsung beraksi, entah sindiran atau memang kemauannya seperti itu.

Tak lebih semenit kami sudah sama sama telanjang, pengamatanku benar, badannya benar benar sexy dengan penis indah besar menggantung diantara kakinya, sunggu pemandangan yang begitu menggoda bagiku.

Aku langsung berlutut didepannya, menciumi dan menjilati sekujur daerah selangkangan dan penisnya yang kurasakan begitu keras dan kenyal, Bobi mengimbangi dengan mengocokkan penisnya pada mulutku hingga aku kewalahan dibuatnya.

Belum puas aku meng-oral tapi Bobi sudah memintaku berdiri, disandarkan tubuhku pada pintu kamar dan dia berlutut didepanku. Setelah mengatur posisi tubuhku yang nyaman, lidahnya mulai menjelajah di sekitar selangkangan dan berhenti di klitoris dan vagina, menari nari dengan lincahnya, meski tak sepintar permainan JJ namun cukup untuk membakar birahiku yang sedang memanas.

Desahanku mulai mengerasm, tak peduli kalau orang lewat di depan kamar mendegarnya, terlalu nikmat untuk ditahan, apalagi ketika Bobi membalik tubuhku menghadap ke pintu lalu melanjutkan jilatannya pada pantat, tubuhku semakin membungkuk hingga lubang anusku bisa terjangkau lidahnya. Sungguh nikmat sekali apalagi jari jari tangannya ikutan mengocok vaginaku, maka lengkaplah sudah kenikmatan oral yang kurasakan.

Tanpa berusaha pindah ke ranjang, Bobi mulai menyapukan penisnya ke bibir vagina, kubiarkan penis tanpa kondom itu mulai menyusuri liang kenikmatanku. Desah dan jerit meledak tak kala penis yang besar itu mulai keluar masuk mengocok, semakin lama semakin cepat dan keras, berulang kali kepalaku terbentur pintu saat dia menyentakku keras namun tak kami perdulikan.

Celotehan dan komentar dari JJ tak kami hiraukan, justru membuat permainan kami semakin memanas, remasan remasan pada buah dada dan sesekali kurasakan tamparan pada pantat mengiringi kocokannya. Kurengkuh kenikmatan demi kenikmatan hingga meledaklah jeritan orgasme dariku.

"Bobii" teriakku saat otot otot vaginaku berdenyut hebat diiringi tubuh mengejang, namun dia tak peduli justru semakin mempercepat kocokannya dan meremas buah dadaku makin kencang.

Lutut serasa melemas tak mampu berdiri, tubuhku merosot turun hingga posisi dogie. Sungguh gila dia mengocokku lebih dari 10 menit di depan pintu tanpa memperdulikan adanya orang lewat depan kamar, pasti bisa mendengar desah dan jeritan kenikmatanku.

Ternyata dengan posisi ini dia bisa lebih bebas mengaduk aduk vaginaku tanpa ampun. Kalau saja kubiarkan, dia sudah melesakkan penisnya ke lubang dubur, tentu saja aku menolak meski dia telah berhasil mempesonaku. Tiga kali usahanya memasukkan penisnya ke dubur kutolak dia tak mencoba lagi, namun seakan melampiaskan ke vagina.

Aku benar benar terhanyut dalam permainannya, kubiarkan saat tubuhku dibalik telentang, masih juga di depan pintu, tak kuhiraukan karpet kamar yang agak bau dan berdebu. Bobi menindih tubuhku bersamaan dengan melesaknya kembali penis ke vagina, untuk kesekian kalinya jeritan lepas tanpa kontrol mengalun keras di kamar ini, sungguh permainannya semakin liar.

Tak ada niatan untuk pindah ke ranjang, bahkan saat aku berada di atas, kami masih melakukannya di tempat yang sama, di depan pintu. Dengan posisi di atas, aku bisa memandang wajah dan postur tubuhnya lebih jelas, begitu juga sebaliknya. Remasan dan kuluman pada putingku mengiringi gerakan di atas Bobi dan,

"Bobii, yess" desahku beberapa menit kemudian saat kugapai orgasme yang kedua darinya, dan disusulnya tak lama kemudian dengan pelukan kuat tubuhku.

Aku langsung terkulai lemas dalam pelukan Bobi, napas kami menyatu dalam irama tak karuan, berulang kali kuciumi wajah dan bibirnya yang tampak semakin menggemaskan, begitu juga dia lakukan padaku. Kutinggalkan Bobi yang masih telentang di atas karpet lantai, aku mandi membersihkan diri dari keringat beberapa orang yang bercampur aduk menempel tubuhku.

Ketika aku kembali ke kamar dengan tubuh berbalut handuk, sebenarnya nggak perlu karena toh mereka berdua telah tahu dan telah menikmati apa yang ada dibalik handuk yang kukenakan, kulitah Bobi telentang di atas ranjang masih telanjang, ngobrol dengan JJ dengan santainya.

Kuambil tempat kosong disebelah JJ, dia mengangsurkan rokok yang baru saja dinyalakan.

"Bob, percaya nggak kalau kamu adalah orang kedelapan yang main sama dia" kata JJ.
"Ha?? Sudah orang kedelapan? Mainnya masih liar gitu, gimana yang pertama dan kedua?" tanyanya heran, aku hanya tersenyum saja sambil menghembuskan asap rokok kuat kuat.

Tak lebih 15 menit kami beristirahat, Bobi sudah membawaku kembali mengayuh biduk birahi, ranjang itu serasa terlalu sempit untuk kami berdua, berbagai gaya dan posisi kami lewati dalam mengarungi lautan birahi. Bahkan kamipun berpindah medan, di sofa tanpa memperdulikan JJ yang makin asyik menikmati permainan kami berdua.

Kali ini lebih lama dari sebelumnya, entah sudah berapa kali kugapai orgasme hingga kamipun terkapar dalam indahnya kenikmatan birahi. Hampir satu jam kami lewati dan aku benar benar tiada daya lagi, bahkan untuk ke kamar mandipun kakiku serasa berat melangkah.

Pukul 2 dini hari, Bobi meninggalkan kami, kulepas kepergiannya dengan berat hati, sebenarnya aku ingin dia tinggal hingga besok tapi dia harus pulang, maklum masih ikut orang tua. Setelah mengantar Bobi hingga pintu, tanpa mandi, kubersihkan vaginaku dari spermanya.

Kamar itu serasa hampa tanpa keberadaannya, apalagi hanya si jelek JJ dengan senyum seringai bak srigala buas yang siap menerkam. Hanya 10 menit semenjak kepergian Bobi, JJ sudah mulai merajuk, tangannya menjamah sekujur tubuhku yang masih berkeringat, dia tak peduli dengan bekas keringat Bobi yang masih menempel di tubuhku dan belum aku bersihkan.

"Aku udah capek Om, besok pagi aja ya" tolakku halus tapi dia tak peduli.
"Nggak, justru aku ingin lihat kamu sampai batas terakhir, bila perlu sampai pingsan juga nggak apa apa, seperti apa sih daya tahan kamu yang hebat itu?" desaknya mulai mengulum putingku seiring permainan jari jari pada vagina.

Sungguh beda rasanya cumbuan JJ dan Bobi, meski dia lebih pintar tapi aku lebih menyukai cumbuan Bobi. Kupejamkan mataku rapat rapat membayangkan Bobi masih ada dan sedang mencumbuku, bahkan saat kurasakan sentuhan di bibirku, akupun membalas lumatan itu seakan sedang berciuman dengannya.

Sisa malam aku habiskan dengan melayani nafsu birahi JJ, dan sepanjang itu pula bayangan Bobi selalu melayang layang dalam angan. Aku merasakan kuluman Bobi saat JJ mencumbuku, bahkan kocokannya serasa Bobi yang melakukan, entahlah mungkin juga JJ yang sudah banyak pengalaman bisa membedakan khayalanku tapi mungkin juga dia menikmatinya karena permainan jadi bertambah panas. Terlupakan sudah kelelahan dan keletihan yang kualami, tak terhitung berapa kali lagi aku mendapatkan orgasme tambahan dari JJ, sepertinya aku benar benar dipacu hingga batas terakhir birahiku.

Terlupakan sudah bahwa JJ tua yang bertubuh gendut dengan mata agak juling sedang memacu birahinya diatas tubuhku, yang ada hanyalah seraut wajah dan bayangan si Bobi yang macho.

Hingga semburat sinar matahari yang mulai menampakkan dirinya diufuk sana, kami baru bisa memejamkan mata dengan keletihan yang teramat sangat, sepertinya aku tak mampu lagi melalui hari esok.

Bunyi telepon membangunkanku, JJ masih terlelap dengan dengkurnya yang keras seperti Babi yang sedang digorok, kembali perasaan jijik menghampiri mengingat bahwa tubuh gendut dan jelek itu semalam telah menyetubuhiku habis habisan dan lebih memalukan lagi bahwa akupun bisa menggapai orgasme darinya meskipun dengan caraku sendiri.

"Hei bangun putri malas" teriak Ana setelah tahu aku yang terima, entah dari mana dia tahu aku berada disini.
"Sialan kamu, aku barusan tidur jam 6 tadi, masih ngantuk nih" jawabku agak marah karena tidurku terganggu.
"Nona manis, sekarang udah hampir jam 11, jadi kamu tidur udah 5 jam, cukup tuh" jawabnya tak kalah sengit.
"Iya.. Yaa.. Yaa, ada apa sih?" tanyaku masih menahan kantuk.
"Waktunya bayar hutang" jawabnya mengingatkan taruhanku.
"Aduuh, aku capek banget nih, apa nggak bisa besok aja" jawabku.
"NO Way sayang, aku udah bikin janjian untuk kamu dan tak mungkin lagi diundur" desaknya.

Dengan berbagai alasan aku berusaha menolak tapi Ana tetap mendesak, akhirnya akupun menyerah untuk menemani tamu pilihannya nanti saat jam makan siang, berarti 1 jam lagi.

"Oke jam 12 aku telepon lagi dimana kamu temuin dia"
"Siapa sih tamunya.." dia sudah menutup teleponnya.

Kutinggalkan JJ yang masih juga mendengkur, siraman air hangat rasanya mengembalikan kesegaran tubuhku yang serasa raib ditelan ganasnya gelombang nafsu. Kumanjakan diriku dalam pelukan air hangat di bathtub, hampir 30 menit aku berendam dengan santainya.

Aku terkaget dan ketika kurasakan sesosok tubuh memasuki bathtub, tentu saja si juling JJ karena memang hanya ada dia.

"Boleh ikutan kan sayang" sapanya tanpa menunggu jawabanku tubuhnya sudah memasuki bathtub, air menjadi tumpah semua dan bathtub itu serasa terlalu kecil untuk kami berdua.
"Om, aku ada janjian jam 12 nanti, please tolong aku dong Om" aku merajuk protes saat tangan JJ mulai menjamah buah dadaku, aku tak ingin kelelahan sekarang, masih nggak tahu kayak apa laki laki yang akan disodorkan Ana nanti, tapi aku yakin bahwa tamu itu pasti spesial.

Bukannya beringsut tapi malah meremas remas buah dadaku dan mulai menciumi leherku.

"Semakin cepat melayaniku semakin cepat pula selesai dan kamu tak akan terlambat janjian" bisiknya sebelum mengulum telingaku.

Rasanya sudah nggak ada lagi jalan keluar, terpaksa kulayani kembali nafsu birahi si bandot tua itu, padahal semalam kami sudah bercinta hingga batas terakhir tapi sepertinya tak ada kata puas dari dia.

"Oke, sampai ada telepon nanti, selesai atau nggak, your time is over" syaratku, sebenarnya adalah suatu kesalahan besar karena masih 20 menit dari jam 12, kalau tidak bersyarat mungkin bisa kuselesaikan 5-10 menit.

Akupun mengambil posisi dogie, dan untuk kesekian kalinya penis JJ kembali melesak diantara celah kenikmatan merasakan nikmatnya vaginaku, langsung keluar masuk dengan tempo tinggi diiringi remasan pada buah dada dan sedikit tamparan pada pantat. Kami bercinta dengan liarnya seperti semalam, begitu liar hingga air bathtub kembali meluber ke lantai, tapi tak kami hiraukan dan desahan nikmatpun tanpa terasa keluar dari mulutku, kuimbangi kocokannya dengan goyangan pinggul.

Entah sudah berapa lama dia menyetubuhiku dari belakang, rasanya tak terlalu lama ketika dia memintaku keluar dari bathtub.

Didudukkan tubuh telanjangku di atas closet yang tertutup, dia lalu berjongkok didepanku, tanpa ragu lidahnya langsung mendarat di vagina, aku menggeliat nikmat. Kusadari, inilah ciri permainan JJ, dia senang menjilati vagina ditengah permainan tanpa mempedulikan apakah aku atau dia sudah keluar, dan itu sering dilakukan, bisa 3-4 kali oral disela permainan, dan sialnya aku sangat menikmati hal itu, cuma khawatir menjadi ketagihan dengan gaya seperti dia, sepertinya belum pernah kutemui laki laki yang mau menjilati vagina di tengah tengah permainan seperti ini.

Sebelum dia melesakkan kembali penisnya, kudengar HP-ku berbunyi, pasti Ana, pikirku. Berarti permainan harus diakhiri, tapi entahlah tiba tiba terasa sayang kalau harus mengakhiri dengan cara begini. Ingin kuabaikan telepon itu tapi aku juga harus jaga gengsi di depan JJ.

"Om telepon udah bunyi tuh" kataku seakan mengingatkan sambil mendorong kepalanya menjauh dari vaginaku.

Namun aku membiarkan saat tangannya meraba raba tubuhku saat aku menerima telepon Ana.

"Yap, dimana dan dengan siapa?" tanyaku singkat karena kepala JJ sudah berada kembali di selangkanganku saat aku duduk di pinggiran ranjang.
"Sabar non, aku juga lagi nungguin di lobby Garden Palace, dia masih meeting, kamu kesini aja deh temenin aku di coffee shop Kencana, nggak enak nih sendirian" jawabnya.

JJ sudah menelentangkan tubuhku, aku diam saja, bahkan ketika tubuhnya menindihku dan dia berusaha melesakkan kembali penisnya, akupun diam saja, malahan membuka lebar kakiku.

"Nggak mau ah, ngapain nongkrong di situ, kayak orang nggak ada kerjaan saja" tolakku sambil menikmati kocokan dan cumbuan nikmat JJ.

Aku memang paling benci kalau harus nongkrong di lobby atau tempat terbuka seperti itu, apalagi di Garden Palace yang sempat menjadi rumah kedua-ku, tentu masih banyak yang mengenalku. Mati matian aku berusaha menahan desah nikmat dari kocokannya.

"Ih kamu jahat ya, awas nanti pembalasanku.." jawabnya tapi aku tak dapat mendengar lagi lanjutan kata katanya karena kocokan JJ semakin liar, kugigit erat bibirku takut kalau mulutku terbuka hanya desahan yang keluar.
"Oke kalau jagoanmu sudah datang, call me, oke?" jawabku supaya segera bisa mengakhiri pembicaraanku dengannya.

Begitu HP kututup, JJ menyambut dengan hentakan keras, akupun menjerit kaget, permainannya memang kasar seakan ingin membalas dendam atas penolakanku selama ini, itulah yang dilakukannya semalam dan berlanjut hingga siang ini, anehnya akupun menikmati pembalasan dendamnya. Akhirnya perahu birahi kami sampai juga ketepian bersamaan dengan bel HP dari Ana.

"Gimana? Udah datang si arjuna?" tanyaku to the point, padahal tubuh JJ masih ngos ngos-an nangkring diatas menindihku karena sengaja HP itu kuletakkan selalu di dekatku.
"Tuan putri, udah kita tunggu nih di kamar 1620, cepat berangkat sekarang" perintahnya langsung mematikan HP.

Kudorong tubuh JJ turun dan aku ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku lagi.

Setelah kembali berpakaian, me-make up wajahku, kutinggalkan JJ yang masih telentang telanjang memandangku seakan berat melepas kepergianku ke pelukan laki laki lain, padahal itu adalah kerjaan dia sehari hari.

"Ly, kapan kita bisa melakukannya lagi" katanya sambil menyelipkan segebok uang dalam belahan dadaku.
"In your dream" jawabku terus meninggalkan kamar itu.

Hanya perlu 10 menit untuk mencapai Garden Palace, tanpa menoleh kiri kanan aku langsung menuju kamar 1620, seperti biasa aku tak ambil peduli siapa laki laki yang bakal kutemani dan bakal meniduriku.

Ana sudah menunggu di kamar bersama seorang laki laki bule muda dan tampan, bermata biru dan berambut blonde.

"Ly kenalin, Dion" katanya, kamipun saling bersalaman, kubiarkan dia mencium pipiku.

Kurang ajar si Ana, sudah tahu aku nggak mau melayani bule dia malah ngasih si bule itu, tapi kalau tampan seperti dia nggak ada salahnya dicoba, pikirku dalam hati, jantungku sudah berdetak kencang menyadari bakal melayani bule untuk pertama kalinya.

"Ly, kamu kan nggak mau melayani bule, jadi ini untuk aku, kamu tunggu aja sebentar lagi dia datang kok" kata Ana dalam bahasa jawa, mungkin supaya si bule tidak mengerti. Sambil berkata demikian dia lalu duduk dipangkuan Dion dan mereka mulai berciuman tanpa menghiraukan keberadaanku.

Tangan Dion sudah bergerilya di dada Ana yang tengah mendesis, ciuman Dion terlihat begitu penuh perasaan dan romantis, aku hanya duduk saja melihat mereka, penasaran untuk menonton bagaimana permainan seorang bule. Tak perlu menunggu lama, pakaian mereka satu demi satu sudah berterbangan. Aku sedikit terkesiap melihat tubuh atletis Dion apalagi dihiasi penis yang besar nan tegang berwarna kemerahan.

Mereka sudah berpindah ke ranjang, mulanya Dion melakukan oral pada Ana kemudian berganti posisi, dan dilanjutkan dengan 69, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana penis kemerahan itu keluar masuk mulut Ana, terlihat Dion begitu pintar bermain oral. Dengan tatapan menggoda dia menatapku setiap kali penis itu mau memasuki mulutnya. Ada perasaan penasaran, iri maupun geli melihatnya, terasa penis itu aneh bagiku.

Sesaat terlupakan sudah siapa bakal tamuku, mereka sudah mulai bercinta, Ana tengah menjerit jerit nikmat menerima kocokan penis Dion yang besar itu. Sepuluh menit berlalu live show dihadapanku ketika bel berbunyi, mereka menghentikan aksinya.

"Tuh lakimu datang" kata Ana yang masih dibawah tindihan Dion.

Aku beranjak menuju pintu menyambut tamuku, ketika pintu kubuka aku begitu terkejut dengan apa yang ada dihadapanku. Berdiri di depan pintu, seorang laki laki setengah baya dengan pakaian lusuh agak kumal, topi kumal menghiasi kepalanya, menutup rambut yang mulai memutih. Aku tertegun hingga tak sempat mempersilahkan dia masuk.

"Ly, masak tamunya nggak dipersilahkan masuk, masuk aja Pak Taryo" teriak Ana dari atas ranjang.

Aku seperti tersadar, segera kupersilahkan masuk, ternyata Ana dan Dion sudah mengenakan piyama-nya.

"Pak Taryo, ini Lily milik Pak Taryo seperti yang kamu inginkan" kata Dion dengan logat bule-nya.
"Tapi tuan, saya nggak biasa dengan yang seperti ini, apalagi cantik kayak Non Lily ini, paling juga dengan si Ina pembantu sebelah, apa Non Lily mau sama saya" kata Pak Taryo terbata bata sambil menatapku bergantian dengan Dion.
"Pak Taryo pernah ke Tandes atau Dolly?" tanya Ana.
"Eh neng, bikin malu aja, sekali kali sih, itupun kalau dapat persen dari tuan" kata Pak Taryo tersipu.

Kepalaku berputar pening mendengar pembicaraan mereka, laki laki macam apa yang akan disodorkan ke aku ini? Siapakah dia?

"Udah anggap aja dia dari Dolly atau Tandes, nggak ada bedanya, cuma dia lebih cantik dan lebih mulus dan lebih.. Pokoknya lebih dari segalanya deh.. Jauuh, mau nggak?" timpal Ana sambil menatapku.

Aku tak bisa berkata apa apa, sama sekali tak menyangka permainan taruhan bisa begini liar.

"Pak Taryo nggak suka sama dia ya, oke I carikan yang lain atau ntar kita ke tempat kamu biasanya" timpal Dion dengan bahasa yang aneh.
"Bu.. Bukan begitu tuan, aku cuma masih seperti bermimpi" jawab Pak Taryo dengan lugunya, sambil menatap ke bawah, dia seperti tak berani menatapku.
"Ly, kamu ini gimana sih kok diam saja, dia kan tamumu" hardik Ana sambil mendorong tubuhku ke arah Pak Taryo, tercium bau keringatnya yang tidak sedap.
"Udah urus dia, aku mau ngelanjutin, ntar aku keburu drop ngelihat Pak Taryo" bisiknya menggoda dan mendorong tubuhku semakin dekat ke Pak Taryo.

Kutatap matanya dengan penuh kemarahan, tapi dia membalas dengan tatapan penuh kemenangan, dia bisa mendapatkan laki laki seperti Dion tapi memberiku Pak Taryo. Dengan sangat terpaksa kugandeng Pak Taryo ke kamar mandi, aku ingin memandikan dia dulu, menghilangkan bau keringatnya yang menyengat.

Kukuatkan hatiku ketika melepas pakaian Pak Taryo satu demi satu sambil menggerutu dalam hati, kalau aku diberi tamu yang tua tapi berduit tentu nggak terlalu masalah karena tentunya masih bisa mengharap tip darinya tapi dengan orang seperti Pak Taryo, mana bisa memberiku tip, paling banter kalau dia memang memberi tak lebih dari 10.000, padahal aku biasa memberi tip pada room boy paling tidak 2 lembar 20 ribuan.

Tubuh Pak Taryo sudah telanjang didepanku, terlihat dia agak rikuh didepanku.

"Nggak usah non, aku mandi sendiri aja, non tunggu aja diluar" katanya saat celananya mau kulepas, tapi aku tak mau diketawain Ana.
"Nggak apa Pak, emang udah tugasku kok" jawabku menghibur diri.
"Kalo begitu non juga harus lepas, masak cuma aku yang telanjang" katanya mulai nakal.

Aku terdiam sejenak, agak marah juga sih sebenarnya, tapi dilepas sekarang atau nanti toh akhirnya memang harus dilepas juga. Dengan terpaksa kulepas juga pakaian dan celanaku.

"Non makin cantik kalo begitu" katanya saat aku mulai mengguyurkan air hangat ke tubuhnya.
"Lepas aja itu sekalian non, ntar basah lho" katanya lagi saat aku mulai menyapukan sabun ke tubuhnya.

Akupun menurutinya, sudah kepalang tanggung, pikirku.

"Aku seperti mimpi bisa begini dengan non Lily" katanya ketika melihat tubuh telanjangku.

Tubuh telanjang kami sudah berada dalam satu bathtub, Pak Taryo sudah mulai berani memegang dan mengelus pundakku ketika aku menyabuni penisnya. Elusannya bergeser ke dadaku dan mulai meremas buah dada saat kuremas remas penisnya dengan sabun.

"Non jauh lebih sintal dari pada si Ina atau Ijah si janda gatel, apalagi kalau dibandingkan Mince yang di Dolly, wah kalah jauh non, mereka nggak ada apa apanya" katanya sambil meremas dan mempermainkan putingku.

Dalam hati aku mendongkol dan marah dibandingkan dengan pembantu atau para pelacur di Dolly, jelas bukan kelasku mereka itu. Kubiarkan dia dengan gemas mempermainkan buah dadaku, toh dia pasti melakukannya dan lebih dari itu penis yang ada digenggamanku ini juga tak lama lagi akan masuk dan menikmati hangatnya vaginaku.

"Emang Pak Taryo apanya Dion" tanyaku sambil mengocok penisnya dengan tanganku.
"Oh dia tuanku, sudah lebih 3 tahun aku menjadi sopirnya, dia itu orangnya baik sekali non, aku sering mendapat persen darinya" katanya memuji muji bos-nya.

Kudengar jeritan kenikmatan dari Ana menikmati permainan Dion, ingin aku melihat bagaimana Dion menyetubuhi Ana segera tapi aku harus melayani Pak Taryo dulu.

"Oouughh.. Shit.. Yes.. Yess.. Fuck me hard.. Harder.. Yes harder" berulangkali desahan lepas dari Ana terdengar melewati pintu kamar mandi yang tidak tertutup.
"Aku mah sudah terbiasa mendengar suara suara seperti itu dari neng Ana" katanya mulai mendesis.

Sambil saling memandikan, akhirnya aku tahu kalau Pak Taryo yang sopir itu sering mengantar Dion dan Ana ke Tretes atau Batu, dan tak jarang dia melihat mereka bercinta, sepertinya Dion tak peduli kalau dilihat atau diintip sama sopirnya. Bukan cuma dengan Ana tapi begitu juga dengan gadis lain yang dia bawa tapi Ana yang paling sering dia bawa, makanya Ana mengenal Pak Taryo.

Sambil cerita Pak Taryo mulai menyabuni tubuhku, dia sudah berani mencium punggung dan leherku dari belakang disela sela ceritanya. Teriakan dan jeritan Ana masih terdengar, malahan semakin nyaring, sepertinya semakin liar.

Setiap dari luar kota, Dion selalu memberinya uang lebih, dan untuk pelampiasan dari apa yang dilihat di Tretes atau Batu, Pak Taryo pergi ke Dolly atau Tandes, memang tempat itulah yang bisa dia jangkau. Akhirnya kebiasaan itu ketahuan Dion, suatu hari Dion bertanya gadis seperti apa yang diimpikan Pak TAryo.

"Saya mah orang kecil nggak berani berangan angan yang muluk muluk" jawab Pak Taryo waktu itu, tapi Dion mendesak akhirnya Pak Taryo mengungkapkan impian nakalnya. Gadis yang putih mulus kalau bisa cina, tinggi, montok dan tentu saja cantik, itu sih semua orang juga mau, ledek Dion saat mengetahui impian Pak Taryo.

"Jangan kuatir Pak Taryo, impian kamu suatu saat pasti terjadi" janji Dion.

Minggu besok Dion mau pulang ke Belanda, karena visanya habis, Pak Taryo tidak berani menagih janjinya tempo hari karena beranggapan itu sekedar menghiburnya, hingga siang tadi sepulang rapat Dion memintanya untuk naik ke kamar ini sekitar jam 1:30 dan beginilah jadinya.

Kami sudah berpelukan sambil membersihkan sisa sisa sabun yang masih menempel di tubuh kami, tubuhnya yang tidak sampai se-telingaku, dengan mudahnya menciumi leher.

Jerit kenikmatan Ana sudah tak terdengar lagi, ketika Pak Taryo memintaku duduk ditepian bathtub. Aku tahu yang dia mau ketika dia mulai jongkok di depanku, kubuka kakiku lebar saat kepalanya mendekat di selangkangan.

Tanpa canggung Pak Taryo mulai menjilati vaginaku, kupejamkan mata saat bibirnya menyentuh klitoris, perlahan tapi pasti akupun mulai mendesah, apalagi ketika tangannya pun ikutan bermain di puting. Mau tak mau birahiku mulai bangkit, kuremas remas buah dadaku sambil meremas rambut Pak Taryo yang berada diselangkangan, kutekan semakin dalam.

Ternyata permainan oral Pak Taryo cukup lihai, tak seperti penampilannya yang lugu, dia mahir mempermainkan irama tarian lidahnya pada klitoris, aku masih malu untuk mendesah bebas, hanya rintihan tertahan.

Lidahnya dengan lincah menyusuri paha, vagina dan klitoris, sepertinya tak sejengkal paha yang terlewatkan dari sapuan bibir dan lidahnya. Kalau saja kubiarkan, tentu bekas merah akan banyak bertebaran di pahaku.

Kedua tangan si sopir itu sudah beralih meremas remas kedua buah dadaku dengan kasarnya, diikuti bibir dan lidahnya mendarat pada puncak bukit itu, dengan kuat dia menyedotnya bergantian, aku menggelinjang antara sakit dan geli, kambali dia berusaha meninggalkan bercak merah pada bukitku tapi segera kucegah, mungkin dia begitu gemas melihat kemulusan buah dadaku yang ada dalam genggamannya itu atau ingin menikmati apa yang selama ini dia impikan.

Mataku terlalu lama terpejam berusaha menikmati cumbuan Pak Taryo, hingga aku dikagetkan suara, ketika kubuka mataku, ternyata Ana dan Dion sudah berdiri disamping kami, mereka masih telanjang. Ana dengan santainya menyandarkan tubuhnya di dada Dion tanpa risih meskipun didepan sopirnya.

"Udah gantian, kamu yang karaoke Ly" kata Ana.
"Sialan" umpatku dalam hati, kutatap matanya tapi dia membalas tatapanku dengan sorot mata penuh kemenangan menggoda.

Pak Taryo menghentikan cumbuannya, menatapku seakan meminta persetujuan, aku diam saja, tak sanggup untuk meng-iya-kan, padahal sebenarnya memang tugasku.

"Itu para cewek di Dolly atau Tandes aja bisa melakukan, masak Lily yang terkenal itu nggak mau sih, lagian Dion juga ingin melihat bagaimana pintarnya kamu setelah kubilang kalau kamu lebih pintar karaoke dari pada aku" lanjut Ana dalam bahasa jawa.

Aku semakin jengkel tapi merasa tertantang saat dibilang Dion ingin melihat kemahiranku, entah kenapa seakan aku ingin membuktikan dihadapan Dion bahwa aku lebih hebat dari Ana.

Kuminta Pak Taryo berdiri, penisnya tepat berada didepanku, kupegang dan kuremas remas, lalu kukocok dengan tangan, kembali ada keragu raguan saat penis itu hendak kucium. Kulirik Ana dan Dion yang tengah melihat kami dengan penuh perhatian, terpancar sorot mata aneh dari Dion yang tak bisa kuterjemahkan.

Penis di genggamanku semakin mengeras seiring desahan nikmat dari Pak Taryo, kubulatkan tekadku sambil memejamkan mata saat bibirku akhirnya menyentuh ujung penis. Sapuan bibir sepanjang penis mengiringi desahan kenikmatan darinya, tangan Pak Taryo mulai meremas remas rambutku, suatu hal yang sangat tabu dilakukan seorang sopir padaku, tapi kali ini dia adalah tamuku yang berhak melakukan apa saja yang dimaui.

Dion mendekat ketika penis sopirnya memasuki mulutku, rasanya mau muntah merasakan penis itu dimulut, meski ini bukan pertama kali aku mengulum penis dari orang "rendah" macam dia tapi kali ini sungguh lain karena apa yang aku lakukan adalah suatu harga yang harus kubayar, dan aku tak mendapatkan sepeserpun dari perbuatanku ini. Mengingat hal ini, perutku semakin mual tapi tetap kuteguhkan tekadku.

Aku agak "terhibur" saat tangan Dion yang penuh bulu itu mulai ikutan menyentuhku, mengelus punggung, rambut dan meremas remas buah dadaku dengan lembut, jauh lebih lembut dari Pak Taryo. Kalau saja diperbolehkan, tentu kualihkan kulumanku pada penis Dion yang kemerahan menggemaskan itu. Tapi, jangankan mengulumnya, ketika tanganku berusaha meraihnya, Ana langsung menepis.

"Ojo nyenggol Dion" katanya, padahal Dion tengah meremas remas buah dada dan mempermainkan putingku.

Sentuhan Dion membuat birahiku perlahan naik, menghilangkan mual diperut, dan kulumankupun semakin bergairah pada Pak Taryo, tentu saja dia semakin senang menikmatinya, berulangkali lidah dan bibirku menyapu sekujur batang hingga kantong bolanya. Pak Taryo-pun semakin berani, dipegangnya kepalaku dan dikocoknya mulutku dengan penisnya.

"Ya begitu, bagus Pak Taryo.. Faster.. Harder" komentar dan perintah Dion dengan nada pelo pada sopirnya, sementara dia sendiri meremasku semakin liar dan satu tangannya dari belakang sudah berada di selangkananku. Tak dapat kutahan lagi ketika pinggulku mulai bergoyang mengikuti permainan jari Dion pada vagina, kini atas dan bawah tubuhku bergoyang bersamaan.

"Kita pindah ke ranjang yuk" usulku sambil berharap bisa mendapat cumbuan lebih banyak dan lebih bebas dari Dion, meski aku belum pernah melayani bule dan selama ini tidak ingin, tapi untuk Dion aku tak keberatan sebagai yang pertama.

Tanpa menunggu persetujuan, aku berdiri meninggalkan mereka menuju ranjang, langsung telentang diatas ranjang bersiap menerima cumbuan, terutama Dion.

Harapan tinggallah harapan, yang muncul ternyata Pak Taryo, tanpa mempedulikan mimik kekecewaanku, dia langsung mencumbu dan menindih tubuhku, menciumi leher dan bibir, melumat habis hingga putingku terasa agak nyeri.

"Oh yess.. Fuck me harder.. Yess faster.. Faster" sayup sayup mulai kudengar jeritan Ana dari kamar mandi. Sebercak iri melintas dibenakku membayangkan Ana mendapat kocokan dari si bule dengan penis yang besar dan kemerahan itu, sementara aku sendiri hanya mendapatkan sopirnya yang tua dan jelek, rakus lagi.

Pak Taryo mulai menyapukan penisnya ke vaginaku.

"Non, aku sungguh nggak nyangka akan mendapat kesempatan seperti ini, bisa bersama non yang cantik, malah lebih cantik dari neng Ana" katanya seraya mulai memasukkan perlahan penisnya. Aku sama sekali tidak merasa tersanjung dengan pujian seorang sopir seperti dia.

Penis Pak Taryo mulai merasakan nikmatnya vaginaku, diiringi wajah tuanya yang menyeringai penuh kepuasan dan nafsu bak singa tua mendapat kambing muda. Begitu melesak semua, digenjotnya vaginaku dengan kecepatan penuh bak mobil tancap gas, tubuh tua itu menelungkup di atasku, terdengar jelas desah napasnya yang menderu dekat telinga, aku sama sekali tak bisa menikmati kocokannya, justru perasaan muak yang kembali menyelimutiku.

Dari dalam kamar mandi Ana berteriak semakin liar, ingin aku melihat apa yang tengah mereka lakukan hingga membuat Ana terdengar begitu histeris.

"Oh.. Yaa.. Come on, Mark can do more than this" terdengar disela desahannya Ana membandingkan Dion dengan orang lain yang aku sendiri tak tahu.

Aku lebih menikmati desahan dan jeritan Ana daripada permainan Pak Taryo yang tengah mengocokku dengan penuh nafsu, justru suara suara itu lebih membangkitkan birah. Kugoyangkan pantatku mengimbangi gerakannya, bukannya karena aku mulai bernafsu tapi lebih berharap supaya Pak Taryo cepat selesai dan aku bisa melihat permainan Ana dan Dion.

"Oh no.. No.. Pleasse.. Not my ass.." teriakan Ana menarik perhatianku, Dion memaksakan anal sex padanya, kudengar Dion berkata tapi terlalu pelan tak bisa kudengar apalagi dengus napas Pak Taryo tepat di telinga.

"Please.. Please don't, I never.. Aauuww.. Sshit.." lalu senyap tak terdengar lagi teriakannya, entah apa yang terjadi, apakah dia pingsan? Tak sempat aku menduga duga karena Pak Taryo sudah melumat bibirku tanpa menghentikan kocokannya.

"Oh shiit.. Bule edaan..my ass.. Ugh.. Ugh.." desah Ana kembali terdengar, rupanya Dion telah berhasil mem-perawani anus Ana, membayangkan penis yang besar itu keluar masuk lubang anusnya, birahiku kembali naik. Goyangan pinggulku semakin cepat, ingin segera kutuntaskan tugas berat ini dan aku yakin Pak Taryo tak bisa bertahan lebih lama lagi, apalagi dengan sedikit berpura pura mendesah nikmat.

Dugaanku benar, dari raut wajahnya tampak dia sudah dekat dengan puncaknya.

"Keluarin di luar aja" pintaku sambil pura pura mendesah, rasanya tak rela kalau vaginaku dikotori spermanya.

Tapi terlambat, belum sempat aku memperhatikannya lebih lanjut tiba tiba kurasakan tubuhnya menegang seiring denyutan kuat penisnya pada vaginaku, aku menjerit keras, bukannya nikmat tapi karena marah, sopir itu telah "mengotori" vaginaku dengan spermanya, sperma yang selama ini disemprotkan pada wanita murahan di Dolly atau tandes.

Aku tak sempat mendorongnya keluar karena tubuhnya sudah ditelungkupkan di atasku bersamaan semprotan hangatnya.

"Sialan.. Sialan.. Sialaan, dasar sopir tak tahu diuntung" gerutuku dalam hati sambil merasakan denyutan demi denyutan.
"Maaf non, habis tanggung sih, lagian non Lily membolehkan aku tanpa kondom, biasanya mereka selalu meminta pakai kondom" kata Pak Taryo setelah denyutan itu habis. Aku tertegun mendengar kalimat terakhirnya.
"Ya udah turun gih, berat nih nggak bisa napas aku" kataku menahan marah sambil mendorong tubuh Pak Taryo yang masih menindihku (saat menulis cerita ini, aku teringat kalau tubuh Pak Taryo mirip Mat Solar dalam sinetron Bajaj Bajuri itu).

Desah kenikmatan dari kamar mandi masih terdengar, segera aku beranjak menuju kamar mandi untuk melihat mereka. Kulihat mereka sedang melakukan dogie di lantai, tampak penis kemerahan itu keluar masuk lubang anus Ana yang tengah mendesah. Tampaknya Ana benar benar sedang melayang tinggi hingga tak menyadari kedatanganku, aku mendekat sambil berharap Dion mau menjamah dan berbagi gairah denganku.

Dion yang tengah mengocok anus Ana melihatku, dia menarik tubuh telanjangku dalam pelukannya, inilah pertama kali aku berpelukan dengan seorang bule, telanjang lagi. Maka akupun tak mampu menghindar saat bibir Dion mendarat ke bibirku dan bibir kamipun bertemu. Aku hanya tertegun tak membalas lumatannya, setelah tangan kekar Dion yang berbulu itu mulai menjamah dan meremas remas buah dadaku, barulah seakan tersadar.

Namun sebelum aku membalas kuluman itu, ternyata Ana menyadari keberadaanku, disela sela desahan kenikmatannya Ana masih sempat menghardik.

"Ly, stay away from him, don't even think about it"

Spontan Dion melepaskan pelukannya dan akupun menjauh melihat mereka dari pintu kamar mandi, rasanya birahiku terbakar hebat tanpa bisa berbuat apa apa, tanpa malu kupermainkan sendiri klitorisku, Dion hanya tersenyum melihat tingkah lakuku.

Beberapa menit berlalu, mereka belum juga selesai, malahan berpindah ke ranjang tempat Pak Taryo tadi melampiaskan nafsunya padaku. Aku sengaja duduk menjauh dari Pak Taryo sambil melihat Dion dan Ana bercinta, berbagai posisi telah mereka lakukan, namun belum juga terlihat tanda tanda menuju puncak, tapi aku yakin sekali kalau Ana telah berkali kali menggapainya. Dalam hati aku mengagumi Dion yang begitu jantan, baik penampilan maupun gaya bercintanya, kembali aku Iri pada Ana.

Ketika Ana sedang bergoyang pinggul di atas Dion, dia melihatku.

"Ly, sini" ajaknya untuk ikut naik diatas ranjang, akupun dengan senang hati menurutinya, akhirnya kesampaian juga untuk merasakan kejantanan Dion, pikirku.

Namun aku harus menelan sekali lagi kekecewaan pada detik berikutnya.

"Pak Taryo, kenapa duduk saja, tuh Lily sudah nganggur dan telah siap" kata Ana lalu melanjutkan goyangan dan desahannya.

Pak Taryo yang merasa mendapat angin segera menuju ranjang dan langsung menubrukku, tubuh telanjang kami kembali menyatu.

Selanjutnya kamipun memacu nafsu di arena yang sama, ranjang. Berulang kali kulihat Ana menatapku dengan sorot penuh kemenangan, dibiarkannya Dion menyentuh dan menjamah tubuhku, tapi tak sekalipun aku diijinkan untuk menyentuh pasangannya, sepertinya dia benar benar menikmati kemenangannya.

Ana dan Dion bercinta seperti tak ada hari esok, mereka benar benar liar, mungkin aku juga melakukan hal yang sama kalau mendapatkan pasangan seperti Dion, tapi kini yang kudapat adalah Pak Taryo, sopirnya.

Hingga akhirnya akupun menyerah kalah atas permainan Ana dan terpaksa harus kurelakan sperma Pak Taryo mencemari vagina dan rahimku dua kali lagi.

"Neng boleh tahu nggak kalau sama non Lily itu berapa ya bayarnya" kata Pak Taryo saat hendak keluar kamar.
"Ha? Udah sana sana pergi, yang jelas kamu nggak akan mampu sampai kapanpun" hardik Ana lalu mengusir Pak Taryo keluar kamar.

Sepeninggal Pak Taryo aku masih bersama mereka, sebenarnya berharap untuk mendapatkan sepenggal kenikmatan dari Dion, tapi hingga batang rokok kedua kuhabiskan sepertinya Ana tidak akan memberi kesempatan itu.

Sesungguhnya aku bisa saja meninggalkan mereka karena taruhan sudah terbayar tapi seberkas harapan masih menahanku untuk lebih lama tinggal bersama mereka. Kalaupun aku tak bisa mendapatkannya paling tidak bisa mengulum penis kemerahan itu atau paling tidak memegang dan meremasnya.

"Ly, aku mau tinggal sampai besok, terserah kamu mau disini atau pergi, tapi jangan harap aku membagi Dion dengan kamu, karena pasti aku kalah kalau harus bersaing denganmu, seperti yang sudah sudah" kata Ana menggoda.

Daripada menjadi penonton pasif, maka kuputuskan untuk meninggalkan mereka. Lebih baik aku mencari tamu lagi, toh masih belum terlalu malam. Aku bertekad untuk melayani tamuku nanti dengan penuh gairah, beruntunglah tamuku malam ini karena akan mendapat bonus sampai pagi, akan lebih baik kalau bisa 2 in 1 atau bahkan 3 in 1, sekedar pelampiasan birahi, bila perlu bercinta sampai pagi.

Kutinggalkan mereka diiringi jeritan kenikmatan Ana saat penis Dion sudah kembali keluar masuk lubang anusnya.

Dalam 2 hari ini aku telah mengalami kejadian yang luar biasa, kemarin telah memecahkan rekor untuk melayani laki laki dalam sehari dan berbuat liar seperti pelacur jalanan. Hari ini aku harus melayani seorang sopir dan mulai membayangkan nikmatnya bermain dengan seorang bule seperti Dion.

Ketika aku melintasi area parkir, kulihat Pak Taryo duduk bergerombol dengan rekan sesama sopir di pojok, kupanggil dia.

"Kalau kamu ngomong macem macem pada siapa saja, awas!!" ancamku, dia hanya manggut manggut.

Sambil menyusuri jalanan malam kota Surabaya, kuhubungi beberapa GM untuk menanyakan orderan, ingin kulampiaskan birahiku segera dengan satu, dua atau bila perlu tiga laki laki sekaligus seperti yang sudah kualami sebelumnya.
 
20: Menembus Batas


Sudah lama aku mengenal tamuku yang bernama sebut saja Dibyo, seorang chinese yang bekerja sebagai pemasaran di Maspion, dia merupakan salah satu tamu langgananku yang pada mulanya adalah teman biasa di bisnis jual beli mobil bekas, pekerjaan "sampingan" sekaligus kamuflase. Dia mengetahui profesiku yang lain secara kebetulan tak kala diajak teman temannya untuk "hunting", dan ternyata salah satu gadis yang dibooking adalah aku, melalui seorang GM, jadi aku tidak menyangka sama sekali kalau "kepergok" seperti ini, begitu juga diapun tak menyangka bertemu aku dalam posisi seperti ini. Tentu saja kami berdua terkejut tapi sama-sama tak mungkin mengelak.

Aku kenal istri dan keluarganya, termasuk adik-adiknya karena kami memang sangat dekat. Sungguh suatu keadaan yang sama sekali lain dan tidak disangka sebelumnya, aku merasa begitu rikuh dan kulihat dia juga mengalami hal yang sama. Ingin rasanya aku lari keluar kembali ke mobilku, tapi tentu saja si GM akan kecewa dan mencoretku dari daftarnya, padahal GM itu banyak memberi orderan dan aku tak ingin hal itu terjadi. Harapan satu satunya adalah aku tidak melayaninya.

Dia ditemani kedua temannya begitu juga aku dengan 2 gadis lain yang dikirim oleh GM yang sama. Saat kami dikenalkan satu persatu, tertangkap sorot mata aneh menatapku tajam, aku tak bisa menerjamahkan sorot mata itu, dengan tersipu malu dan wajah bersemu merah aku memalingkan tatapanku dari sorotnya, tak sanggup melawannya.

Tanpa memberi kesempatan teman temannya, dia langsung memilih aku, membuatku semakin bertambah rikuh, rasanya tak mungkin melakukan dengan orang yang selama ini kukenal sebagai seorang teman dalam batas pertemanan, tak tega rasanya menghianati Wenny, istrinya yang kuanggap sebagai seorang teman.

Berenam kami menuju ke Stasium di Tunjungan Plaza, sepanjang jalan aku dan Dibyo terdiam tanpa bicara, sejuta kecamuk dalam pikiran kami masing masing, tak tahu harus mulai dari mana. Sungguh berbeda dengan kedua temannya yang banyak canda dan tawa dengan kedua gadisnya.

Aku tahu bahwa aku harus bertindak profesional, tapi dalam bisnis ini, emosi dan perasaan tetap memegang peranan yang besar, itu manusiawi.

Keadaan sedikit tertolong karena dia harus nyetir BMW-nya sehingga kekakuan kami tidak terlalu terbaca teman temannya, mereka pasti pikir si Dibyo diam karena konsentrasi pada setirannya, mereka tentu tidak memperhatikan bahwa tak sejengkalpun tubuhku disentuhnya, tidak seperti mereka yang dibelakang yang tangannya sudah menggerayang ke seluruh tubuh pasangannya masing masing.

Detak pekik House musik dan geliat birahi para pengunjung di lantai dance tak mampu mencairkan kekakuan di antara kami, bahkan saat lagu "Lemon Tree" kesukaanku berkumandang nyaring, tetap tak mampu menggerakkan kakiku menuju lantai dansa, begitu kaku, begitu juga Dibyo yang tak berani mengambil inisiatif mengajakku turun, kalau saja dia mengajakku pasti aku tak kuasa untuk menolak tapi hal itu tak terjadi. Padahal sudah sering kali aku turun sama dia saat bersama istrinya ke diskotik.

Butir butir extasi yang mereka bagikan, hanya kugenggam di tanganku. Kami sama sama terpaku membeku dalam panasnya alunan hentakan house music.

Pukul 01.00 kami meninggalkan diskotik menuju Hotel Tunjungan yang hanya bersebelahan dengan komplek pertokoan itu. Tiga jam yang panjang kualami penuh kebekuan, tak seujung rambutpun dia menyentuhku apalagi mencium atau meraba tubuhku, meskipun kesempatan itu sangat luas terbentang.

Ketika kami memasuki kamar masing masing, kekakuan diantara kami masih ada bahkan terasa semakin membeku. Aku tak tahu harus berbuat apa.

"Aku nggak nyangka kalau kita bisa bertemu dalam keadaan seperti ini" katanya setelah menyalakan Marlboronya, inilah kata pertama yang ditujukan padaku sejak ketemu 4 jam yang lalu.

"Aku juga" jawabku singkat sedikit bergetar, keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku, kebiasaan kalau aku dalam keadaan gugup.
"Selanjutnya gimana nih" tanyanya, entah pura pura atau memang karena rikuh.
"Terserah kamu saja, aku ikut" jawabku masih bergetar.

Dibyo beranjak dari tempat duduknya menghampiriku, dia duduk disampingku, jantungku berdetak kencang dan semakin kencang saat dia memelukku. Bukan pertama kali dia memelukku seperti ini, bahkan mencium pipiku pun sudah sering dia lakukan meskipun di depan istrinya, tapi semua itu tentu saja dalam konteks yang lain.

Aku hanya diam saja sambil meremas tanganku semakin erat ketika dia mulai mencium pipiku, sungguh terasa lain ciumannya dibandingkan sebelum sebelumnya, ada getaran aneh menyelimuti hatiku, kembali aku tak tahu harus berbuat apa.

Ciuman Dibyo sudah menyusur ke leharku, kurasakan tangannya gemetar saat mulai mengelus elus buah dadaku, jantungku semakin berdetak kencang saat tangan gemetar itu menyusup dibalik kaosku, terasa dingin ketika menyentuh kulit buah dadaku.

Sesaat aku hanya terdiam saat bibirnya mulai menyentuh bibirku, dilumatnya dengan lembut bibir merahku sembari menuntun tanganku ke selangkangannya, terasa menegang. Tanpa kusadari ternyata dia sudah membuka resliting celananya hingga tanganku langsung menyentuh kejantanannya yang masih terbungkus celana dalam.

Aku mulai membalas kulumannya ketika tanganku sudah menyusup dibalik celana dalamnya dan mulai meremas remas kejantanan sobatku ini.

Menit menit selanjutnya terlupakan sudah siapa Dibyo sebelumnya, terlupakan sudah si Wenny istrinya yang cantik, aku kembali berada dalam duniaku, seorang gadis panggilan yang sedang bekerja memuaskan tamunya, meskipun demikian aku masih tak tega memandang wajah gantengnya, setiap kali kulihat wajahnya aku selalu teringat akan istrinya, jadi aku selalu berusaha untuk memalingkan wajahku atau memejamkan mata saat wajah kami berhadapan.

Harus kuakui ternyata Dibyo seorang yang sabar dan romantis, kuluman pada bibir dan putingku serasa begitu nikmat dan penuh perasaan, akupun tanpa malu mulai mendesah nikmat dalam buaian sobatku.

Perlu hampir 1 jam bagi kami untuk saling menelanjangi, tubuh bugil kami sudah beralih ke atas ranjang, Dibyo melanjutkan ciumannya pada sekujur tubuhku tapi tampaknya masih ada keraguan untuk menjilati selangkanganku, begitu juga aku, seakan ada penghalang yang mencegahku mengulum penisnya.

Ketika tubuh telanjangnya hendak menindihku, tiba tiba terdengar bunyi telepon. Dengan agak malas dia mengangkat telepon, rupanya teman temannya telah lama menyelesaikan satu babak, padahal kami baru akan mulai. Mereka menanyakan apakah akan melanjutkan hingga pagi, dia menanyaiku dan kujawab terserah. Akhirnya diputuskan untuk nginap.

Sebelum kembali ke pelukanku, Dibyo mengambil HP dan menghubungi istrinya untuk memberitahu kalau dia pulang pagi dengan alasan menemaniku di diskotik, entah apa dalam benak Wenny karena tidak ada iringan musik pada backgroundnya. Kami memang sering ke diskotik sama sama hingga menjelang pagi jadi bukan sekali ini Dibyo pulang pagi. Dia memberikan HP-nya kepadaku.

"Hai Wen, sorry malam ini aku pinjam suamimu tanpa permisi" kataku.
"Ya udah, tolong jaga dia jangan sampai lupa pulang, yang penting pulang dengan selamat biar dengan botol kosong" katanya ditutup dengan ketawa ciri khasnya, kami memang sudah biasa bergurau bebas, aku jadi semakin merasa bersalah melihat begitu percayanya dia padaku. Tapi ini adalah bisnis bukan aku berselingkuh dengan suaminya tapi dia yang mem-bookingku, hiburku dalam hati.

Dibyo kembali menghampiriku yang masih telentang telanjang di atas ranjang, kami harus mulai lagi dari awal. Kali ini tiada lagi keraguan diantara kami meski aku tetap tak bisa menatap wajahnya. Dengan memejamkan mata, kusambut lumatan bibirnya sembari meremas remas kejantantannya yang sudah lemas. Dia mulai berani mendesah, akupun demikian saat bibirnya mendarat di puncak bukitku.

Kujepit pinggangnya dengan kakiku saat sedotannya semakin kuat sambil menyapukan kepala penisnya ke bibir vaginaku, kubuka sedikit mataku menatapnya, ternyata dia menatapku dengan penuh perasaan, tak sanggup aku menatapnya lebih lama, kututup kembali mataku rapat rapat dan semakin rapat saat penisnya mulai menerobos memasuki liang vaginaku.

Entahlah, tidak seperti pada tamuku lainnya, kali ini kurasakan getaran getaran aneh menyelimuti diriku, semakin dalam penis itu melesak masuk, semakin keras getaran itu seiring kerasnya degup jantungku yang berdetak kencang. Aku telah menodai persahabatan yang selama ini kubangun, aku telah menghianati Wenny yang begitu percaya padaku. Tapi perasaan nikmat dan semakin nikmat perlahan mengusir rasa bersalah dan segala keseganan antara aku dan Dibyo.

Kejantanan Dibyo perlahan penuh perasaan mengocokku diiringi cumbuan dan lumatan pada bibirku yang kubalas dengan tak kalah gairahnya, dan akupun semakin kelojotan dalam dekapan hangat suami sahabatku ini takkala ciumannya menyusuri leherku.

Berdua kami mengayuh biduk birahi menyeberangi lautan nafsu, lenguh dan desah kenikmatan mengiringi perjalanan kami. Beberapa menit kemudian kamipun telah sampai ke seberang kenikmatan, hanya berselang beberapa detik setelah Dibyo menumpahkan semua cairan birahinya ke rahimku, aku menyusulnya menggapai puncak kenikmatan dari suami sobatku.

Tubuh lemasnya langsung terkulai menindihku, napas kami menyatu mengiringi denyut jantung yang berdetak kencang, hembusan napasnya menerpa telingaku, aku kembali terbuai akan kehangatannya meski perlahan gairah kami mulai menurun.

Beberapa saat suasana hening, entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya, apakah menyesal telah meniduri temannya ataukah puas telah menikmati tubuhku, hanya dia yang tahu. Bagiku tugas melayani seorang tamu telah kulaksanakan, kebetulan dia adalah teman dan suami sobatku, itu adalah diluar kehendak kami masing masing.

Mungkin karena sama sama segan, permainan kami biasa biasa saja, bahkan relatif singkat, tak ada pergantian posisi seperti umumnya, baik dari dia maupun dari aku sendiri.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi ketika telepon berbunyi, dengan segan Dibyo menerima, yang pasti dari temannya di kamar sebelah.

"Hei, kamu yang ke sini atau aku yang ke sana, si kampret satu itu sudah pulang soalnya" kata suara dari seberang sayup sayup kudengar, aku tak tahu maksudnya.
"Kali ini nggak bisa Jon, kita sendiri sendiri aja deh" jawabnya.
"Kok kamu gitu sih, mentang mentang dapat yang si cantik Lily terus nggak mau berbagi, kawan macam apa itu" dari seberang terdengar dengan nada tinggi, aku masih nggak tahu maksudnya.

Dibyo diam sejenak, menatapku dalam dalam seakan hendak mengatakan sesuatu.

"Dia mau ke sini" katanya pelan.
"Emang sudah selesai? Mau check out? Malam malam begini? Tanggung amat" tanyaku nggak ngerti.
"Enggak, mau pindah bergabung ke sini sama ceweknya"
"Pindah? Bergabung? Trus?" tanyaku semakin tak mengerti.

Dia diam sejenak.

"Trus.. Trus.. Ya disini.. Ber.. Berempat" jawabnya terpatah patah, kulihat mimik muka bersalah di wajahnya.
"Sorry ya, aku telah membawamu ke situasi seperti ini, sudah kebiasaan untuk bertukar pasangan atau bersamaan pada akhirnya" lanjutnya sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya, sepertinya untuk menutupi rasa bersalahnya.

Sebenarnya aku tidak keberatan melakukan hal itu, toh sudah sering kulakukan, tapi ini di depan Dibyo, ada keengganan tersendiri yang menjadi penghalang, entahlah perasaan jaga image masih kuat kurasakan. Disamping itu, aku agak kaget mendapati kenyataan bahwa Dibyo yang kukenal cukup pendiam, meski aku cukup yakin sebelumnya dia bukan tipe suami yang setia, ternyata menjalani petualangan seperti ini dengan teman temannya, sungguh jauh dari penampilan keseharian yang terkesan pendiam.

"Terserah kamu saja lah, toh kamu boss-nya" jawabku lirih berusaha memberi kesan terpaksa, takut kalau dia tahu kalau aku sudah sering melakukan permainan seperti ini.
"Ly, kamu boleh menolak, bebas kok, paling resikonya aku dijauhi teman teman dan dibilang egois"
"Janganlah kalau sampai ditinggal teman teman hanya masalah beginian, malu kan" aku menghibur.
"Sebenarnya aku nggak rela kalau kamu harus melayani orang lain, apalagi dihadapanku, tapi semua terserah kamu deh"

Aku diam sejenak memikirkan kalimat yang "innocent" untuk menjawab kata IYA, tak tega rasanya mengatakan kalau selama ini akupun selalu melayani orang lain, apa bedanya dengan sekarang.

"Okelah kalau itu maumu" jawabku sembari mengambil rokok yang ada di jarinya, kulihat sorot mata aneh dari matanya.
"Jon, kamu ke sini aja deh" akhirnya dia meminta temannya untuk datang.

Sambil menunggu kedatangan si Josua, aku mandi membersihkan tubuh terutama vaginaku dari sisa sisa keringat maupun sperma Dibyo.

Tak lebih 10 menit kemudian, teman Dibyo sudah berada di kamar, ternyata gadis yang datang bersamanya adalah Lenny, bukan Cindy yang tadi bersamanya, rupanya dia telah melakukan pertukaran dengan sebelumnya.

"Len, bukannya dia tadi sama Cindy, kok sekarang sama kamu, sudah tukeran rupanya ya" bisikku ketika aku dan Lenny berada di kamar mandi berdua.
"Gila tuh si Josua, kuat banget, dan malam ini dia bakal dapat 3 cewek berurutan" bisiknya pelan.

Kamipun tertawa cekikan di kamar mandi.

Dengan berbalut handuk di dada, aku dan Lenny keluar kamar mandi, Dibyo duduk di sofa sementara Josua sudah telentang di ranjang, keduanya sudah dalam keadaan telanjang.

Lenny langsung mengambil posisi di antara kaki Dibyo, aku mau tak mau harus langsung menuju ranjang melayani Josua. Kejantanan Josua yang sudah tegang memang mengagumkan, meski tidak terlalu panjang tapi cukup besar diameternya dengan hiasan otot melingkar terlihat semakin kokoh.

Josua langsung menarik tubuhku dalam pelukannya, dilemparkannya handuk penutup tubuhku dan tubuh telanjang kami saling berangkulan.

Kubalas lumatan bibirnya dengan tak kalah gairah, desahankupun terlepas bebas tatkala bibir dan lidahnya mempermainkan kedua putingku bergantian. Sesaat kulirik Dibyo sudah merem melek menikmati sapuan bibir mungil Lenny pada penisnya sambil meremas remas kedua buah dadanya yang sedikit lebih besar dari punyaku. Sudah sering kudengar kemahiran Lenny dalam ber-oral, kini kulihat sendiri bagaimana bibirnya menyusuri penis Dibyo dengan bergairah.

Perhatianku kembali beralih ke Josua saat dia membalik tubuhku dibawahnya, lidahnya dengan lincah menari nari dikedua putingku, menyusur turun hingga selangkangan dan kembali bergerak liar saat mendapati klitorisku. Kombinasi antara jilatan dan kocokan jari jari tangannya di vagina membuatku menggeliat dan mendesah dalam nikmat sambil meremas remas kepala Josua yang berada di selangkanganku.

Tiba tiba aku dikagetkan teriakan Lenny, rupanya aku terlalu asik melayang layang hingga tak memperhatikan mereka telah berganti posisi, kepala Dibyo sudah berada di antara paha Lenny sedang asik menjilati vaginanya, ternyata itu yang membuat Lenny menjerit nikmat.

Meskipun cumbuan permainan oral Josua begitu nikmat, aku banyak membagi perhatianku pada Dibyo dan Lenny, sekedar ingin tahu bagaimana permainan Dibyo bila dengan gadis lain setelah aku mengalami dengannya biasa biasa saja. Baru sekarang aku tahu ternyata Dibyo juga seorang great fucker, dengan telaten dia menyusuri seluruh lekuk tubuh Lenny dengan lidahnya, bahkan hingga jari jari kaki tak luput dari sapuan lidahnya, terang saja membuat Lenny kelojotan tak karuan. Andai saja dia tadi melakukannya padaku. Beruntunglah Wenny bisa mendapatkan cumbuan seperti itu setiap saat.

Perhatianku terganggu saat tubuh Josua sudah mekangkang di atas dadaku, menyodorkan kejantanannya ke mukaku, segera kuraih, kukocok sejenak dengan tanganku lalu kujilati kepala penisnya, terasa asin akan cairan yang sudah menetes keluar. Beberapa detik kemudian penis Josua sudah lancar mengisi mulutku, keluar masuk mengocoknya.

Puas mengocokkan penisnya ke mulutku, Josua bergeser ke bawah, mengatur posisinya diantara kakiku, aku membuka lebih lebar saat kepala penisnya menyapu bibir vagina dan perlahan menyeruak membelah celah celah sempit liang kenikmatanku. Perlahan tapi pasti penis itu melesak semakin dalam, namun gerakan penetrasi terganggu ketika Dibyo dan Lenny berpindah ke ranjang di samping kami sehingga mengharuskan kami sedikit bergeser memberi tempat pada mereka. Terpaksa Josua menarik keluar penisnya yang sudah setengah jalan menyusuri liang kenikmatanku.

Aku dan Lenny telentang berdampingan dengan kedua laki laki sudah siap diantara selangkangan kami masing masing. Namun sebelum Josua melesakkan kembali penisnya, Dibyo bergeser ke kepalaku, menyodorkan penisnya tepat di atas mulutku. Segera kuraih dan kumasukkan ke mulutku, hal yang tadi tidak kami lakukan, bersamaan dengan penis Josua mulai meluncur masuk liang vaginaku. Sesaat kuhentikan kulumanku ketika Josua sudah melesakkan seluruh batang kejantanannya, terasa penuh dibandingkan dengan Dibyo sebelumnya. Akupun melanjutkan kulumanku pada Dibyo ketika Josua memulai kocokannya. Hanya beberapa menit Dibyo mengocok mulutku kemudian beralih ke mulut Lenny, rupanya dia hendak membandingkan antara kulumanku dengan Lenny.

Tubuh Josua sudah menindihku, sodokan penisnya semakin cepat dan keras penuh nafsu gairah, akupun mengimbangi dengan jeritan dan desahan nikmat sembari menjepitkan kakiku di pinggangnya. Bibir Josua tak pernah lepas dari tubuhku, menyusur leher, pipi, bibir lalu kembali ke leher.

Kulihat Dibyo masih mengocok bibir Lenny sambil memperhatikan expresi kenikmatan yang terpancar di wajahku, expresi yang tidak aku tunjukkan saat bersamanya dan aku yakin dia mengetahui itu, sesekali jari tangannya dimasukkan ke mulutku yang tengah menengadah mendesah, akupun membalas dengan kuluman dan mempermainkan lidahku pada jari jarinya.

Berulangkali tubuhku terhentak terkaget tapi nikmat merasakan hentakan keras dari Josua, kudekap tubuhnya semakin rapat seakan tubuh telanjang kami menyatu dalam nikmatnya birahi.

Josua mengangkat tubuhnya, masih tetap mengocokku dengan tubuh setengah jongkok, justru kurasakan penisnya semakin dalam tertanam. Bersamaan dengan itu, Dibyo sudah berada di antara kaki Lenny bersiap melesakkan penisnya tapi dia tidak langsung memasukkannya, justru lebih suka melihat wajahku yang tengah mendesah sambil mengamati bagaimana penis temannya keluar masuk menyodok vagina sobat istrinya ini.

Aku sudah tak memperhatikan lebih jauh lagi karena sodokan Josua semakin liar dan nikmat, namun kemudian kudengar desah dan jerit kenikmatan dari Lenny mengiringi desahanku. Dengan irama goyangan yang berbeda, kedua laki laki itu mengocok kami berdua, simfony desah kenikmatan memenuhi kamar yang penuh aroma birahi. Kutatap wajah ganteng Josua yang penuh expresi nikmat birahi. Berulang kali tatapan mataku beradu pandang dengan Dibyo, rupanya meskipun sedang mengocok Lenny yang cantik, tapi tatapan matanya lebih sering tertuju pada wajahku yang tengah mendesah nikmat merasakan kocokan temannya, apalagi Josua mengocokku dengan gerakan yang liar dan tak beraturan diselingi dengan hentakan keras yang membuatku menjerit jerit nikmat.

Josua membalik tubuhku disusul kocokan dari belakang, posisi dogie, Dibyo mengikutinya. Begitu juga ketika kami berganti lagi posisi, aku di atas, diapun meminta Lenny untuk di atas.

Kami bercinta seolah berlomba ketahanan, entah sudah berapa lama dan berapa kali ganti posisi telah kami lakukan. Diluar dugaanku, ternyata Dibyo bisa bertahan lebih lama, ketika kami di posisi dogie, Josua tak bisa bertahan lebih lama lagi, tanpa bisa dicegah lagi, diapun memuntahkan spermanya di vaginaku diiringi teriakan kenikmatan, kurasakan denyutan denyutan nikmat menerpa dinding dinding vaginaku meski tidak terlalu kuat.

Beberapa saat kemudian Josua menarik keluar penisnya, akupun menggelosor tengkurap dengan napas yang menderu setelah permainan panjang. Belum sempat aku mengatur napasku, Dibyo menarik pantatku, memintaku kembali nungging, meskipun capek tapi aku tak tega menolaknya, sepertinya sedari tadi dia sudah memendam keinginan untuk kembali menikmati tubuhku.

Aku hendak mencegahnya saat penisnya sudah di ambang pintu vaginaku, nggak enak rasanya kalau dia harus menyetubuhiku sementara sperma Josua masin di dalam, aku ingin membersihkan dulu, tapi terlambat, sepertinya dia tak peduli, dengan sekali dorongan keras, penis Dibyo kembali memasuki liang vaginaku, terasa masih ada celah kosong saat penisnya melesak semuanya.

Berbeda dengan sebelumnya, tanpa membuang waktu lagi, kali ini Dibyo mengocokku dengan penuh nafsu, begitu keras dan cepat sambil menghentakkan tubuhnya pada pantatku, diiringi tarikan pada rambutku, sungguh liar permainannya kali ini, sangat berlawanan dengan yang tadi. Akupun tak mau kalah, kuimbangi dengan menggoyangkan pantatnya melawan gerakannya, desahan kami berdua saling bersahutan, kecipuk suara cairan vagina bercampur sperma tak kami hiraukan, terlupakan sudah bahwa Dibyo adalah suami dari sobat karibku, yang ada hanyalah nafsu dan birahi diantara kami.

Aku minta mengubah posisi, kali ini aku di atas, ingin kutunjukkan bagaimana goyangan pinggulku membobol pertahanan terakhirnya. Dengan sisa sisa tenaga karena aku sudah beberapa kali orgasme saat dengan Josua tadi, akupun bergoyang liar di atasnya, ingin kuberikan apa yang kuyakin belum pernah dia alami bersama Wenny, istrinya, entah kenapa aku jadi ingin membuktikan bahwa aku tak kalah dengan si istri yang sobatku itu.

Kami bercinta dengan penuh gairah, jauh melebihi apa yang telah kami lakukan tadi, sepertinya kami sudah mengeluarkan watak asli permainan kami yang cenderung liar.

Keringat sudah membasahi tubuh kami berdua, aku begitu bersemangat, begitu juga dia, tak kuhiraukan ternyata justru aku yang mencapai orgasme lebih dulu, sungguh luar biasa stamina Dibyo, jauh dari perkiraanku, kalau aku tak mengalami sendiri tentu sulit untuk percaya bahwa dia begitu perkasa di ranjang.

Menit demi menit berlalu hingga aku tak kuasa lagi menahan orgasme yang kesekian kali, sementara dia masih belum terlihat tanda tanda ke arah sana, dan akhirnya akupun menyerah dalam dekapannya.

"Sudah.. sudah.. Ah.. Ampun, aku menyerah", dan akupun terkulai lemas di atasnya, tak mampu lagi menggoyangkan pinggulku.
"Ya sudah, istirahat sana" katanya seraya mendorong tubuhku turun dari atasnya, dan akupun menggelepar di sampingnya.

Permainan Dibyo tidak berhenti sampai disitu, dia menghampiri Lenny yang dari tadi mengamati kami bercinta sambil berbaring di atas ranjang sembari mempermainkan klitorisnya. Begitu Dibyo menghampirinya, Lenny langsung mengambil posisi telentang dengan kaki terbuka lebar, tapi Dibyo justru memintanya nungging. Dengan irama kocokan yang liar dia mengocok Lenny dengan posisi dogie.

Aku meninggalkan mereka, membersihkan sperma lalu menyusul Josua duduk di sofa mengamati permainan Dibyo dan Lenny, terus terang aku terkagum dengan keperkasaan sobatku ini, entah bagaimana Wenny bisa melayani suaminya itu sendirian kalau di rumah.

"Gila itu orang, kuat banget mainnya" komentarku sembari berbagi Marlboro dengan Josua.
"Dia sih paling kuat diantara kelompok kami berlima, hampir tak pernah dia booking cewek sendirian, biasanya langsung 2 orang, kalau nggak gitu kasihan ceweknya" jawab Josua mengagetkanku, sungguh jauh dari penampilan biasanya yang terlihat pendiam.

Cukup lama mereka bercinta di atas ranjang, sudah beberapa kali berganti posisi sebelum akhirnya mereka menggapai orgasme hampir bersamaan ketika posisi Dibyo sedang di atas.

Mereka berpelukan beberapa saat sebelum Dibyo turun dari tubuh Lenny, tampak wajah kepuasan bercampur kelelahan dari mereka.

Beberapa menit mereka sama sama menggelepar di atas ranjang sambil mengatur napas yang menderu. Dibyo berdiri menghampiriku, duduk menjepit aku dan Josua, diambilnya Marlboro yang ada di tanganku dan menghisapnya kuat kuat.

"Sorry Ly, aku harus segera pulang, ntar istriku curiga dan aku nggak boleh ke diskotik lagi" katanya sambil mengepulkan asap rokoknya.
"Kamu tinggal aja disini nemenin Josua dan Lenny besok siang aku telepon lagi, oke?" lanjutnya.

Aku hanya diam saja tak tahu harus ngomong apa, tanpa menunggu jawaban dariku, dia beranjak mengenakan pakaiannya tanpa membersihkan tubuh terlebih dahulu.

Dibyo memanggilku ke kamar mandi.

"Sebenarnya aku tak tega melakukan ini, tapi harus kulakukan, apa yang kita lakukan barusan hanyalah sekedar bisnis, nothing personal, dan tidak ada yang berubah di antara kita termasuk dengan Wenny maupun Reno adikku, kamu ngerti kan" katanya sembari memberikan segebok uang 50 ribuan. Aku hanya mengangguk tanpa kata, 100 persen setuju apa yang dia katakan.
"Boleh aku minta satu hal?" tanyaku.
"Apa itu?" jawabnya, tanpa menunggu lagi reaksinya aku jongkok di depannya, kubuka resliting celananya dan kukeluarkan penisnya yang lemas.
"Sekedar tip, memberi apa yang belum aku berikan" jawabku sambil memasukkan penis itu ke mulutku.

Dibyo diam saja, penisnya kupermainkan dengan lidahku, kususuri sekujur batang hingga pangkalnya, perlahan mulai menegang dalam genggaman dan mulutku, selanjutnya penis tegangnya sudah meluncur cepat keluar masuk mengisi rongga mulut diiringi desah kenikmatan.

Lima menit sudah aku melakukan oral, tanpa kusadari tanganku ikutan mempermainkan klitorisku sendiri seiring dengan kocokan pada mulutku. Aku tak kuasa menolaknya ketika dia menarik tubuhku berdiri dan memutar menghadap cermin di kamar mandi, dengan sedikit membungkuk, dari belakang Dibyo melesakkan penisnya ke vaginaku.

"Kita quickie saja yaa" bisiknya seraya mendorong masuk penisnya, segera kurasakan sodokan demi sodokan yang semakin keras dari belakang menghantamku diiringi dekapan dan remasan dikedua buah dadaku, sesekali ciuman pada tengkukku yang membuatku semakin menggeliat dalam dekapannya.

Pantulan bayangan kami di cermin membuat suasana semakin bergairah, apalagi belaian lembut pada rambutku yang kurasakan begitu penuh perasaan meski kocokannya makin menjadi jadi.

"Aku mau keluar" bisiknya beberapa menit kemudian, segera kudorong tubuhnya mundur hingga penisnya terlepas dan akupun langsung jongkok di depannya.

"Keluarin di mulut" kataku, tanpa menunggu reaksinya, kumasukkan kejantanannya kembali ke mulutku, entah kenapa rasanya aku ingin memberikan apa yang kuyakin belum pernah dia dapatkan dari istrinya. Dan tak lama kemudian diapun menyemprotkan sisa sisa spermanya di mulutku, kujilati batang kejantanannya hingga bersih lalu kumasukkan ke celananya.

"Salam untuk Wenny" kataku saat menutup reslitingnya, dia hanya tersenyum mencubit pipiku.

Aku membersihkan tubuhku dengan air hangat ketika Dibyo pamit pulang, ketika aku kembali ke kamar, ternyata Lenny sedang bergoyang pinggul di pangkuan Josua, mereka melakukannya di sofa. Kuhampiri mereka dan duduk di samping Josua, dia meraih tubuhku dan mencium bibirku, sembari tangannya meremas remas buah dadaku bergantian.

Sisa malam kami habiskan dengan penuh birahi, bergantian Josua menyetubuhi aku dan Lenny, dilayani 2 gadis cantik dan sexy seperti aku dan Lenny, tentu membuat laki laki bertambah gairah dan ada tambahan energi tersendiri untuk menunjukkan ego keperkasaannya. Akhirnya kondisi fisik jualah yang menjadi pembatas antara keinginan dan kenyataan, kamipun istirahat dan terlelap dalam kelelahan tak kala sang mentari sudah menampakkan sedikit berkas sinarnya di ufuk timur, entah jam berapa itu.

Aku terbangun saat kudengar HP-ku berbunyi, Lenny dan Josua masih terlelap disampingku, matahari sudah tinggi, terang menampakkan sinarnya. Ternyata salah seorang tamu langganan lain yang ingin kutemani makan siang nanti, orderan baru.

Jarum jam menunjukkan hampir ke angka 11, cukup lama kami tertidur tadi.

Perlahan kutinggalkan Josua dan Lenny, aku mandi untuk bersiap menemui tamuku berikutnya di Hotel Westin (sekarang JW Marriot) di Embong Malang. Josua dan Lenny baru bangun ketika aku sudah rapi berpakaian dan ber-make up.

"Sorry, aku ada janji siang ini, aku tinggal dulu ya" sapaku.
"Kamu tetap sexy meski sudah berpakaian, bahkan semakin membuat penasaran yang melihatnya" jawab Josua sambil menghampiriku, dipeluknya tubuhku dari belakang dan diremasnya buah dadaku.
"Wah banyak orderan nih" celetuk Lenny.
"Selamat bekerja sayang" bisik Josua tanpa melepaskan tangannya dari dadaku.
"sudah ah, ntar kusut pakaianku ini, aku nggak bawa ganti nih" jawabku sambil menggelinjang karena bibirnya sudah menempel di telingaku, akupun menghindar menjauh.

Setelah menerima pembayaan dari Josua, akupun meninggalkan mereka yang masih telanjang menuju ranjang lain dengan permainan yang lain pula.

Sejak kejadian itu, sengaja atau tidak, aku jarang bertemu berdua dengan Dibyo seperti sebelumnya, begitupun dengan istrinya, rasanya nggak ada muka untuk ketemu Wendy, kalaupun mereka ngajak jalan bareng, aku pastikan harus ada istrinya, selebihnya semua berjalan seperti biasa.

Akibatnya, aku justru lebih dekat dengan si Reno, adiknya yang terkenal Playboy itu, dengan wajah yang imut tak susah baginya untuk mendapatkan cewek dan aku yakin sudah tak terhitung cewek yang jatuh ke pelukannya dan berhasil dia bawa ke ranjang.

Lebih 2 bulan setelah kejadian itu, aku makan siang berdua dengan Reno di Bon Cafe, sungguh sial ternyata ketemu sama Josua yang menggandeng seorang gadis, atas ajakan Reno mereka akhirnya bergabung dengan table kami.

Kamipun makan sambil ngobrol berempat, entah keceplosan atau disengaja, Josua bercerita betapa hebat permainanku di ranjang, terutama permainan oral, dia kira aku sudah pernah melakukan dengan Reno. Reno yang selama ini mengenalku sebagai teman menatapku seakan tak percaya, aku menghindari tatapannya sambil mengumpat kelancangan Josua, tentu saja dalam hati.

"Selamat bersenang senang, sorry aku nggak bisa gabung dengan kalian, ada acara sama dia" kata Josua sambil menunjuk gadis disebelahnya.
"Dia senang rame rame lho, tanya Dibyo kalo kamu nggak percaya" bisiknya lagi sebelum meninggalkan kami.

Aku terdiam dengan muka memerah, malu karena kedokku dibongkar dihadapan temanku sendiri.

Sepeninggal Josua kami terdiam, entah apa yang terlintas dalam benaknya, kulirik sesaat, ternyata Reno melototi tubuhku, seakan berusaha menembus dibalik pakaianku.

"Kita pulang yuk" ajakku melihat suasana sudah nggak enak lagi.
"Lho, katanya mau shopping di Galaxy"
"Nggak jadi ah, lain kali aja" tolakku, dan kamipun beranjak pergi.

Sepanjang jalan kami sama sama terdiam hingga tiba didepan tempat kos, aku langsung turun tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Beberapa hari kemudian setelah aku selesai melayani tamu di Hotel Sheraton, kulihat missed call di HP-ku, dari Dibyo, entah kenapa aku kok ingin meneleponnya, padahal biasanya aku cuekin saja missed call dari dia.

"Ly, ketemu yuk, kangen nih" katanya dengan suara memelas tak seperti biasanya, pasti dia lagi ada maunya, dan aku yakin maunya tak jauh dari urusan ranjang.

Meski aku berusaha menghindari hal seperti ini, tapi tak dapat dipungkiri akupun merindukan keperkasaannya di atas ranjang, apalagi tamuku barusan tidak bisa memuaskanku, jadi sebenarnya ini hanyalah masalah timing yang tepat. Setelah berpura pura menolak dan dia terus merajuk, akhirnya aku sanggupi permintaannya.

"Oke Hotel Sheraton kamar 816" kataku karena tamuku tadi sudah pulang dan aku belum check out, sekalian saja kumanfaatkan sisa waktu yang ada, daripada terbuang sia sia, check in mahal mahal cuma dipakai 2 jam.

Baru saja HP kututup, dia telepon lagi.

"Ly, boleh nggak bawa teman"

Aku yang sudah tergadai nafsu karena birahi yang tak tertuntaskan barusan hanya mengiyakan tanpa tanya lebih lanjut siapa temannya.

Sambil menunggu kedatangannya, aku segarkan tubuhku dengan air hangat, berendam sejenak untuk menghilangkan rasa capek setelah hari ini melayani 3 tamu sejak pagi tadi. Belum setengah jam aku berendam, bel pintu berbunyi, pasti Dibyo sudah datang, pikirku.

Masih dengan telanjang, kubuka pintu dan aku langsung kembali masuk bathtub.

"Tunggu ya, aku mandi dulu biar segar dan wangi, santai saja anggap rumah sendiri" jawabku meneruskan acara berendam tanpa buru buru menyelesaikan, kalau dia nggak sabar pasti menyusulku ke kamar mandi. Ternyata dia tidak menyusulku hingga kuselesaikan mandiku. Tanpa mengenakan penutup, dengan telanjang aku ke kamar, bersiap untuk menumpahkan segala birahi dengan keperkasaan Dibyo.

"Aku sudah siaap" teriakku sambil melompat ke ranjang, dan baru kusadari ternyata yang duduk di sofa bukanlah Dibyo melainkan si Reno, adiknya.

Begitu tersadar, aku berusaha menutupi tubuhku dengan apa yang ada disekitarku, tapi terlambat, Reno sudah menubruk tubuh telanjangku dan menindihnya.

"Ly, nggak usah sok alim, aku selalu membayangkan sejak diceritakan Josua tempo hari, kebetulan saat kutanya Dibyo dia malah ngajak membuktikan" bisiknya sambil menindih tubuhku, akupun tak bisa berontak.

Didekap tubuh Reno yang atletis ditambah wajah imut yang menempel dekat wajahku, akupun takluk akan kekuatannya, disamping itu akupun tak sunggu sungguh untuk berontak, hanya reaksi spontan melihat laki laki yang tidak diharapkan melihat tubuh telanjangku.

"Oke.. Oke, mana Dibyo" tanyaku.
"Sebentar lagi dia datang, aku disuruh tunggu di lobby tapi kupikir lebih baik langsung aja aku bisa ngobrol sambil nunggu kedatangannya, ternyata aku mendapatkan lebih dari yang kuharapkan" jawabnya sambil mengendorkan dekapannya.

Begitu dekapannya longgar, kudorong tubuhnya hingga terjengkang telentang, ganti aku menindihnya.

"Kalian bersaudara memang nakal, ini namanya jebakan pada teman sendiri" kataku setelah menguasai emosiku.
"Tapi nggak marah kan?" jawab Reno, aku hanya menjawab dengan ciuman pada bibir Reno dan dia membalas dengan bergairah, sedetik kemudian tangannya sudah berada di dadaku, menjelajah dan meremas remas.
"Ih nakal ya" bisikku disela lumatan bibirnya.
"Tapi suka kan" balasnya, kulumat bibirnya sambil mempermainkan lidahku hingga bertaut lidah dengan lidah.

Reno kembali membalik dan menindih tubuhku, bibirnya beranjak menyusuri pipi dan leherku, berhenti pada kedua puncak bukitku.

"Bagus.. Kencang dan padat.. Indah" pujinya sambil mengulum dan menyedot putingku.

Aku mendesah geli meskipun cumbuannya tak sepintar kakaknya tapi cukup membuatku mendesah melayang. Bibir dan lidahnya sudah sampai ke perut dan terus turun hingga ke selangkangan, aku menjerit ketika lidahnya menyentuh klitorisku, tapi dia justru semakin memperlincah gerakan lidahnya, dan akupun semakin menggeliat dalam kenikmatan.

Aku tak tahu mana yang lebih lihai bermain oral apakah dia atau kakaknya karena Dibyo belum pernah melakukannya padaku, siapapun yang lebih pintar yang jelas Reno telah membuatku melayang karena jilatannya pada vaginaku.

"Eh, kamu kok masih pake pakaian gitu, curang deh, sini aku lepasin" kataku ketika sadar bahwa dia belum melepas pakaiannya.

Kudorong tubuh Reno hingga telentang lalu aku melucuti pakaiannya satu persatu hingga menyisakan celana dalamnya yang tampak menonjol pada bagian selangkangan, ketika kuraba dan kuremas tonjolan itu, begitu keras menegang. Segera kulorot celana dalamnya dan aku terkaget melihat ukuran kejantanannya, tidak terlalu panjang bahkan relativ lebih pendek dari umumnya tapi diameternya begitu besar, tak cukup tanganku melingkarinya.

Membayangkan penis besar itu akan memasuki vaginaku, tiba tiba otot vaginaku terasa berdenyut denyut dengan sendirinya. Ini bukanlah penis terbesar yang pernah kupegang, tapi dengan panjang yang tidak terlalu maka penis itu kelihatan begitu gede di genggamanku, dan otot vaginaku semakin berdenyut keras melihat postur tubuhnya yang berotot, ramping dan sexy, jauh lebih menggairahkan tubuhnya dibandingkan kakaknya, apalagi rambut kemaluannya dicukur habis, pentesan banyak gadis yang tergila gila padanya.

Kukocok dan kuremas remas sebentar penis tegang di genggamanku, lalu kususuri lidahku pada seluruh batang dari ujung hingga pangkal, dia mulai mendesis kenikmatan.

Agak susah aku memasukkan penis itu ke mulutku tapi dengan segala usaha akhirnya penis itupun bisa meluncur keluar masuk membelah bibir mungilku. Sembari mendesah, tangannya tak henti menekankan kepalaku pada selangkangannya, seakan memaksaku untuk memasukkan penisnya lebih dalam ke mulutku.

Kami berganti posisi 69, aku di atas, tidak seperti saat pertama kali bercinta dengan Dibyo yang penuh kecanggungan dan kekakuan, kali ini aku bebas lepas mencurahkan segala expresiku untuk menikmati bercinta dengan Reno.

Gerakan lidah Reno yang liar kubalas dengan sapuan liar pula pada penisnya, aku lebih sering menjilati dari pada mengulum batang gede itu.

Puas saling bermain oral, Reno kembali menelentangkan tubuhku, posisi tubuhnya sudah siap untuk segera melesakkan penisnya. Jantungku tiba tiba berdetak kencang seiring otot vaginaku berdenyut ketika kepala penis yang besar itu mulai menyapu bibir vagina.

Aku memejamkan mata sambil membuka kakiku lebar lebar menunggu apa yang akan terjadi, entah sakit entah nikmat. Rasa pedih mulai terasa ketika penis itu perlahan mulai melesak masuk padahal vaginaku sudah basah, dan semakin nyeri tak kala tertanam semua. Aku tak berani menggerakkan kakiku, penis itu terasa begitu mengganjal gerakanku di selangkangan. Perlahan Reno memulai gerakan memompa namun kuberi isyarat untuk menghentikan dulu.

"Sebentar, penuh nih" bisikku bercampur desah.

Namun dia hanya menurut beberapa detik, selanjutnya dia mulai gerakannya tanpa memperhatikan isyaratku. Gerakan memompa yang perlahan semakin lama semakin terasa nikmat, rasa nyeri berangsur menjadi nikmat dan semakin nikmat ketika dia mulai mempercepat gerakannya, aku sangat berharap dia bisa seperkasa kakaknya.

Begitu rasa nyeri hilang, jeritan kesakitankupun berubah menjadi jeritan kenikmatan, tubuh atletis Reno menempel erat di dadaku, ada rasa geli saat dada yang berbulu itu menyentuh putingku, tapi justru semakin menambah rangsangan, apalagi perutnya yang rata tak terasa mengganjal di perut. Kamipun semakin erat berpelukan saling mentransfer kenikmatan.

Sebenarnya aku agak keberatan ketika dia minta posisi dogie, aku masih ingin merasakan lebih lama dekapan tubuh atletisnya, jarang sekali mendapatkan cumbuan dan belaian laki laki seperti dia, apalagi dengan penis yang gede meskipun relatif pendek.



Begitu tubuhku nungging, segera Reno melesakkan kembali penisnya, kali ini tanpa rasa nyeri saat mulai menerobos menguak liang sempit vagina. Gerakan memompa Reno terasa begitu penuh perasaan meskipun terkadang diiringi sodokan sodokan keras, aku merasa dia begitu romantis saat menyetubuhiku. Rabaan dan ciuman di tengkuk mengiringi gerakan kami, akupun semakin menggeliat tak karuan.

"Sshh.. Aduuh.. Ennaak.. Truss.. Truss.. Yang keraass" tanpa malu aku mendesah memintanya lebih keras menyodokku, rasanya penis besar itu masih kurang masuk ke vaginaku, ada bagian lain di dalam yang belum tersentuh.

"Enak mana sama Dibyo" katanya tanpa memperlambat kocokannya.
"Enak.. Inii, lebih keraass" jawabku sejujurnya dan mulai meracu.

Tak lama kemudian aku sudah berada di atasnya, kutekankan pinggulku lebih dalam sekan hendak melesakkan penis yang tidak panjang itu lebih dalam lagi, alangkah enaknya kalau penis yang gede itu lebih panjang lagi, paling tidak sama dengan punya kakaknya, tapi itulah kenyataannya, gede tapi pendek tapi tetap saja enaak.

Kugerakkan tubuhku di atasnya dengan liar, antara turun naik dan berputar seperti hula hop, Reno merem melek sambil meremas remas buah dadaku. Kutatap wajahnya yang sedang mengerang kenikmatan, rasanya tak bosan menatap wajah imut dan dadanya yang bidang. Dan ternyata itu membawaku lebih cepat menuju puncak kenikmatan, tanpa bisa menahan lebih lama lagi, akupun menjerit dalam nikmatnya orgasme.

Sebenarnya aku nggak mau orgasme duluan, perjalanan masih panjang, masih ada Dibyo yang sebentar lagi datang, kalau sampai orgasme tentu energiku akan banyak terkuras dan akan kelelahan sebelum perjalanan berakhir. Tapi itu hanyalah keinginan, kenikmatan yang kudapat dari Reno terlalu sayang untuk ditahan tahan, dan terpaksa aku menyerah dalam pelukan dan kegagahan Reno.

Aku terkulai lemas dalam pelukan Reno, terbalaskan sudah kekecewaan pada tamuku sebelumnya, bahkan melebihi apa yang aku harapkan, begitu puas rasanya. Tapi ternyata Reno tak berhenti sampai disini, tanpa mempedulikan aku yang sedang lemas dalam dekapannya, dia membalik tubuhku dan langsung menindihnya.

Kembali tubuh kekar itu menghimpit nikmat tubuhku, kocokan Reno mulai cepat dan liar namun masih saja kurasakan penuh perasaan. Hanya beberapa kocokan kemudian, gairahku kembali naik dengan cepatnya, apalagi bibir Reno tak pernah lepas dari leher, dada dan bibirku.

Kedua kakiku naik di pundaknya, terasa kejantanannya semakin dalam melesak di vagina, lebih nikmat rasanya. Kuimbangi gerakannya dengan sebisa mungkin menggoyang pinggulku, tentu lebih susah dengan kaki di atas pundaknya. Kami berdua benar benar terhanyut dalam buaian birahi, terlupakan sudah Dibyo yang belum juga datang.

Akhirnya akupun untuk kedua kalinya tak bisa bertahan, kuraih orgasme kedua darinya, namun kali ini diapun menyusulku ke puncak birahi, hampir bersamaan kami saling memberikan denyutan. Sperma Reno terasa begitu banyak membanjiri liang vaginaku, kudekap erat tubuh Reno hingga kurasakan hembusan napasnya menerpa telingaku.

Ketika Reno turun dari tubuhku, penisnya tercabut keluar, vaginaku serasa kosong dan tetesan sperma sepertinya meleleh keluar membasahi sprei. Kamipun telentang berdampingan dengan napas yang masih senin kamis.

"Kamu hebat, 2 kali aku dibikin orgasme" kataku setelah beberapa saat terdiam sambil menumpangkan kepalaku di dadanya yang bidang.
"Kamu juga hebat, kalau cewek lain sudah terkapar minta berhenti" jawabnya ringan sambil membelai rambutku.
"Andai saja aku tahu kamu seperti ini, sudah sejak dulu aku melakukannya" lanjutnya.
"Tapi belum terlambat kan"
"Iya sih, tapi terlalu lama penantiannya"
"Penantian?"
"Iya, laki laki normal mana sih bisa tahan melihat penampilanmu yang selalu sexy dan ceria, pasti mereka punya fantasi terhadapmu kalau di ranjang, bahkan aku pernah berfantasi bercinta denganmu sambil main sama cewek lain"
"Ah yang benar!!" tanyaku terkejut.
"Sungguh dan aku yakin Dibyo juga sudah lama memendam keinginan mengajakmu ke ranjang tapi nggak ada keberanian saja"
"Dan sekarang?" tanyaku penasaran.
"Ternyata apa yang menjadi fantasiku, tidak ada apa apanya dibandingkan kenyataan barusan, jauh melebihi angan dan harapanku"

Sambil berbincang, kurasakan sperma Reno deras mengalir keluar tapi aku biarkan saja.

"Sekarang aku tak perlu lagi memimpikan kehangatan kamu, kalau aku pingin bisa booking kapan saja, dan kita masih tetap berteman, itulah enaknya setelah ini" lanjutnya.

Dibyo datang tak lama kemudian, setelah aku membersihkan tubuhku, Reno membuka pintu menyambut kakaknya, aku cuek saja telanjang di atas ranjang.

"Sorry aku telat" sapanya sambil mencium pipiku.
"Ah nggak apa kok" jawabku, malah kebetulan aku ada kesempatan bersama Reno lebih lama, lanjutku dalam hati.

Tanpa diminta lagi, Dibyo segera melepas pakaiannya hingga telanjang, terlihat kejantanannya yang setengah menegang, tampak kecil dan memanjang sungguh berbeda dengan adiknya.

"Belum terlalu terlambat kan" tanyanya sembari menghampiri dan mencium bibirku dan kubalas dengan lumatan pula, kali ini aku biasa saja melayani ciuman Dibyo, tak ada kecanggungan seperti saat pertama kali dulu.

Tubuhnya langsung menindihku, kamipun berpelukan sambil berciuman bertautan lidah, seolah saling menumpahkan rasa rindu yang hebat. Bibir Dibyo dengan cepatnya menyusuri tubuhku, turun terus, tak dihiraukan puting buah dadaku, hanya sedikit jilatan lalu terus turun ke perut namun kembali lagi ke atas.

Ketika bibirnya mencapai kedua putingku, kudorong kepalanya ke bawah, ke arah selangkangan. Aku mau merasakan jilatan Dibyo di vagina, dia belum melakukannya, ingin kubandingkan kemahirannya dengan si adik.

Ternyata permainan lidahnya tidak kalah hebat, bahkan lebih mahir dibandingkan adiknya, aku menggeliat kelojotan merasakan lidahnya menari nari dengan lincahnya diantara klitoris dan bibir vaginaku. Cukup lama kepalanya terjepit di antara kakiku, dan kalau tak segera kuhentikan bisa bisa aku mengalami orgasme hanya dengan permainan lidahnya, ini sungguh memalukan.

Dibyo tersenyum penuh kemanangan ketika aku minta dia segera memasukkan penisnya, namun bukannya segera memenuhi kemauanku, tapi malah telentang disampingku dan memintaku gantian mengulum kejantanannya.

Aku yang sudah terbakar birahi terpaksa memenuhi keinginannya, ketika aku tengah jongkok diantar kakinya, Reno yang sedari tadi duduk di sofa mengamati kami, sudah berada di sampingku, dia ikutan telentang di samping kakaknya dengan kejantanan yang sudah tegak menantang.

Sembari mengulum penis Dibyo, kuremas dan kukocok kejantanan adiknya, dua penis yang berbeda bentuk dan ukuran berada dalam genggaman kekuasaanku. Meskipun menyolok perbedaannya, tapi keduanya seakan saling melengkapi, yang satu besar dan pendek sedangkan lainnya kecil tapi panjang, kalau digabungkan tentu akan menimbulkan kenikmatan tersendiri.

Bergantian penis kakak beradik itu mengisi dan mengocok mulutku, mereka mendesis nikmat bergairah, akupun melayani dengan tak kalah gairahnya, perbedaan yang menyolok itu semakin menambah sensasi dan erotika pada diriku, bisa dibayangkan betapa nikmatnya kalau penis itu bergantian mengocok vaginaku, membayangkan saja aku sudah semakin terbakar nafsu.

"Siapa duluan" tantangku setelah aku telentang diantara kedua bersaudara itu, sengaja kubuat suasana lebih liar meskipun aku tahu pasti bahwa sekarang giliran Dibyo. Kalau disuruh pilih, aku lebih suka Dibyo duluan supaya masih bisa merasakan "kebesaran" kejantanan adiknya setelahnya. Harapanku terkabul ketika Dibyo sudah berada di antara kakiku.

"Jangan posisi gini dong, aku susah nih" kata Reno lalu dia minta kami untuk ber-dogie.

Reno duduk di atasku saat kakaknya berada di belakang, penisnya tepat berada di wajahku. Ketika kakaknya mulai mendorong masuk kejantanannya, masuk pula penis adiknya di mulutku, dua penis bersaudara yang berbeda itu mengisi kedua lubang kenikmatan tubuhku bersamaan dari arah yang berbeda. Dengan posisi seperti ini, aku lebih suka penis Dibyo yang dimulut dan adiknya di vagina, tapi itu tinggal tunggu waktu saja.

Sodokan Dibyo dari belakang semakin lama semakin cepat dan keras, berkali kali penis Reno terpental dari mulutku saat kakaknya menghentak tubuhku. Cukup kewalahan aku menghadapi sodokan liar dari belakang sambil mengulum penis gede yang ada digenggamanku, justru aku lebih banyak memainkan lidahku menyusuri sekujur daerah kejantanannya.

"Bang gantian dong" pinta adiknya, meskipun mereka chinese, tapi Reno lebih sering memanggil kakaknya hanya nama atau Abang, mungkin karena mereka Chinese Medan.
"Sebentar lagi" balas kakaknya.

Beberapa saat berlalu, Dibyo masih belum ada tanda memberi giliran pada adiknya, tak mau menunggu lebih lama lagi, Reno bergeser ke bawah dan berlutut disamping kakaknya, menunggu giliran dan ternyata si kakak mengalah, dicabutnya penisnya dan dia bergeser sedikit memberi ruang adiknya untuk menyetubuhiku dari belakang. Dibyo tetap berada disamping adiknya yang tengah mengocokku sambil mengelu elus punggungku.

Beberapa menit berlalu, apa yang tidak kubayangkan sebelumnya terjadi, ternyata mereka bergantian mengocokku dari belakang. Beberapa menit Reno mengocokku lalu diberikannya kesempatan berikutnya pada kakaknya, begitu sebaliknya.

Aku yang mendapat kocokan berurutan dari dua penis yang berbeda dan saling melengkapi, tak ayal lagi menggeliat dan menjerit histeris dalam nikmat yang tak terhingga, apa lagi saat pergantian yang begitu cepat, hanya dalam hitungan detik penis yang mengisi dan mengocok vaginaku berganti, tentu saja otot vaginaku tak sempat berkontraksi menyesuaikan diri, tapi kedua penis itu saling melengkapi, menggesek daerah yang tidak tersentuh lainnya, sungguh pengalaman baru bagiku.

Desahan dan jeritan tak henti hentinya keluar dari mulutku, aku meracu dalam kenikmatan yang teramat sangat hingga tak dapat kubendung lagi ketika dorongan kuat dari dalam tubuhku menimbulkan denyutan denyutan hebat pada vagina, akupun orgasme tak lama kemudian, tak lebih dari 15 menit setelah mereka mengocok bergantian. Jeritan histeris orgasmeku hanya ditanggapi dengan senyum kemenangan, mereka meneruskan kocokannya tanpa menurunkan tempo permainan, entah sudah berapa kali bergantian.

"Kalau capek bilang aja, kita istirahat dulu" kata Reno sambil mengocokku, tentu saja aku tak mau, disamping tak ingin kehilangan kenikmatan yang sangat hebat ini, akupun gengsi untuk mengakuinya.
"Kalian memang kakak beradi gila" teriakku disela sela desahan.

Setelah berlangsung beberapa lama, kami berganti posisi. Kali ini aku diatas memegang peranan, kuminta mereka berjejer telentang, segera kunaiki tubuh Dibyo. Sedetik setelah penisnya melesak dalam vagina, aku langsung bergoyang pinggul dengan cepatnya, kami sama sama mendesis, tangan Dibyo meremas remas buah dadaku dengan kerasnya.

Tak lebih 3 menit saat Dibyo mulai mendaki menuju puncak kenikmatan, dengan gerakan spontan kucabut penisnya dan langsung duduk di atas adiknya, tak kuhiraukan teriakan protes darinya.

"Emang enaak" godaku sembari melakukan goyangan yang sama pada Reno, dan hal yang sama pula kulakukan padanya untuk berpindah lagi ke kakaknya. Memang nikmat tapi bagiku lebih capek karena harus berpindah dari satu ke lainnya, tapi sensasinya mengalahkan segalanya.

Setelah beberapa kali berpindah, Dibyo bangkit, berdiri dan menyodorkan penisnya di mulutku disaat aku tengah mendaki puncak kenikmatan bersama adiknya.

Inilah yang kutunggu sedari tadi, penis gede di vagina dan penis panjang di mulut, keduanya mengocokku bersamaan. Penis gede yang tertanam di vagina terasa agak menghalangi gerakanku tapi tak kuhiraukan, justru semakin nikmat rasanya, apalagi kocokan di mulut tak pernah berhenti sambil sesekali disapukan ke wajahku.

Dengan posisi ini ternyata aku juga tak bisa bertahan lebih lama, kenikmatannya terlalu sayang untuk ditahan tahan, dan jebollah pertahananku untuk kedua kalinya. Kulepas penis Dibyo dari genggamanku dan kutelungkupkan tubuhku di atas dada bidang Reno, ingin kunikmati denyutan orgasmeku dalam dekapannya. Seiring dengan habisnya denyutan di vaginaku, habis pula tenagaku, akupun terkulai lemas telentang disamping Reno.

Tanpa memberiku istirahat, Dibyo sudah ambil posisi bersiap melanjutkan gilirannya, tak dipedulikan isyarat kelelahanku, penisnya dengan mudah kembali mengisi relung relung vagina yang habis berdenyut hebat, dengan sisa sisa tenaga yang ada, kucoba mengimbangi kocokannya yang langsung keras dan tak beraturan.

Episode babak awal terulang lagi, bergantian kedua bersaudara itu mengocokku, akupun dengan cepatnya melambung setinggi awan kenikmatan, terlupakan sudah rasa capek yang menyelimutiku, rasanya ada tambahan energi yang timbul dari dalam didorong sensasi yang teramat hebat.

Jerit dan desahku kembali terdengar dengan keras lepas, antara besar pendek dan kecil panjang berurutan mengisi dan keluar masuk vaginaku, tak ayal lagi orgasmeku pun datang dengan cepatnya, entah untuk keberapa kali aku tak bisa menghitungnya lagi, apalagi mereka tak mempedulikan teriakan teriakan kenikmatan orgasmeku.

"Udah udah.. Istirahat dulu.. Ampun deh" desahku akhirnya harus mengakui kehebatan kedua bersaudara itu.

Dibyo yang sedang mengocokku menghentikan kocokannya dan mencabut keluar, tapi adiknya tak mau melihat liang vagina yang kosong, segera digantikannya posisi kakakknya. Dibyo bergeser ke atas, menyapukan penisnya yang penuh lendir vagina ke wajah sembari mengocok dengan tangannya. Tak lama kemudian, menyemburlah sperma mengenai wajah dan rambutku, dipaksakannya penis yang sedang berdenyut itu masuk ke mulutku, rasanya tak ada dayaku untuk menolaknya setelah apa yang telah kudapatkan darinya, dan masuklah penis dengan spermanya kedalam mulutku, sisa sisa sperma masih mengalir deras membasahi tenggorokanku, tertelan masuk.

Reno menghentikan gerakannya saat melihat bagaimana kakaknya mengeluarkan spermanya di wajah dan mulutku, namun dilanjutkan dengan sodokan yang semakin cepat. Tiba tiba dia menarik penisnya dan segera mengangkangkan kakinya di atas mukaku, meniru kakaknya, disapukan penis yang basah ke mukaku yang masih belepotan sperma Dibyo.

Ketika kumasukkan penis itu ke mulutku, langsung menyemprotkan sperma, tak ayal lagi hampir semua sperma yang disemprotkan tertelan ke masuk. Dibyo dan adiknya bersama sama menyapukan penis mereka yang mulai melemas ke wajahku dengan senyum kemenangan.

"Tak kusangka ternyata Lily yang kukenal selama ini begitu hebat di ranjang" komentar Reno sambil menyapukan penisnya.

Aku diam saja sambil menjilati sisa sisa sperma yang masih ada di batang penis mereka. Akhirnya kami bertiga terkulai lemas telentang berjejer di atas ranjang.

Berkali kali Reno memuji kehebatan permainan ranjangku dan berkali kali pula dia menyatakan ketakjuban dan kekagetannya melihat permainan yang aku suguhkan, hampir tak percaya dia melakukannya denganku, yang selama ini dianggap seorang yang cukup dewasa dan terkesan seperti orang rumahan, seperti dalam mimpi.

Tak mungkin percaya kalau tak mengalaminya sendiri, Dibyo hanya mengiyakan celotehan adiknya yang Play Boy itu, seperti anak mendapat mainan baru yang hebat.

Setelah beristirahat cukup lama, kami melakukannya lagi di sofa, hampir dengan pola permainan yang sama, bergantian berurutan, meski dengan posisi yang berbeda beda.

Kami melakukan 2 babak lagi sebelum Dibyo pulang meninggalkan aku dan adiknya bermalam di hotel, aku sangat tak keberatan menemani Reno hingga pagi dan kami memang menghabiskan sisa malam dengan segala nafsu birahi penuh gairah, seperti tidak bercinta dengan tamu melainkan dengan seorang pacar, apalagi postur tubuh Reno yang memang menggugah naluri birahi wanita normal.

Tak terhitung lagi babak demi babak yang kami lewati hingga kelelahan menjelang pagi bersamanya. Nafsu Reno sangatlah besar, sepertinya tak mau membuang kesempatan yang datang sekali seumur hidup, tak pernah dibiarkan aku sedetik menganggur, selalu saja dia minta lagi dan lagi, kalau aku menolak dia yang melakukan oral pada vagina, tentu saja gairahku segera timbul lagi untuk melayaninya.

Keesokan harinya setelah menjalani 1 babak saat bangun tidur, kami check out, dia mengajakku mampir ke rumahnya di kawasan Darmo Satelit yang juga rumah Dibyo karena dia memang masih tinggal bersama kakaknya itu, sebenarnya aku agak segan ke rumahnya, rasanya nggak ada muka untuk ketemu Wenny tapi Reno memaksaku dan berhasil meyakinkan kalau jam segini Wenny tidak ada dirumah.

Ternyata Wenny menyambut kedatanganku, rupanya dia sedang di rumah sehabis dari salon, dengan sumringah wajah cantik nan ceria itu mempersilahkan aku masuk setelah kami berciuman pipi, padahal semalam pipi itu berlumur sperma suaminya dan juga adik iparnya.

"Kudengar kalian bertiga semalam ada pesta di Sheraton, pestanya siapa sih?" tanyanya sambil lalu seraya membikinkan aku makan siang, dia tahu pasti aku menyukai Kwe Tiaw bikinannya.

Dibyo datang tak lama kemudian ketika kami tengah makan bersama, diapun ikutan makan siang, berempat kami mengelilingi meja yang penuh masakan bikinan Wenny, pasti dia tak pernah menyangka bahwa dua laki laki dirumahnya yang kini duduk dihadapannya telah meniduriku semalam, bersamaan malah.

Sehabis makan, Dibyo dan Wenny kembali pergi lagi meninggalkan aku dan Reno, sekali lagi kami melakukannya 1 babak di kamar Reno sebelum dia mengantarku pulang.

"Nanti aku transfer saja, bisnis is bisnis" kata Reno sebelum meninggalkanku.

Di kamar kos, aku ingin merenung tentang apa yang telah kuperbuat dengan kedua sobatku, tapi tak pernah terjadi renungan itu karena bookingan lain telah menunggu.

Itulah kedekatanku dengan keluarga Dibyo, suatu persahabatan yang diawali ketulusan tapi kini telah ternoda oleh bisnisku, aku merasa bersalah setiap kali melihat wajah innocent Wenny yang cantik. Tapi itu bukan salahku, tapi salah suami dan adik iparnya, aku toh hanya seorang call girl yang bersedia diajak ke ranjang oleh siapa saja yang bisa membayarku, hibur hatiku setiap kali perasaan bersalah menggelayut dihatiku. Dan prinsip itu semakin menyeretku semakin dalam ke pusaran persahabatan yang ternoda.

Tak terhitung lagi aku "berbisnis" dengan Dibyo maupun Reno ataupun keduanya, bahkan Reno dengan bangganya memperkenalkanku pada teman temannya, tentu saja menambah jaringan tamu langgananku.

Tak dapat kuhindari kalau kemudian Reno seperti ketagihan akan pelayananku, terutama dia sangat menyukai saat mengeluarkan spermanya di mulut dan wajahku, paling tidak seminggu sekali dia mem-booking-ku.

Hingga saat aku tinggal di Jakarta kini, kami sering berhubungan lewat telepon, terutama dengan Wenny, seakan dia tidak pernah tahu apa yang telah kuperbuat dengan kedua laki lakinya. Entahlah.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd